73
Aku Malu Pernah Jadi Aktivis! luqmanhakim.multiply.com Daftar Isi i Daftar Isi Sketsa I Permulaan 1 II Masa Lalu 13 III Ujian Masuk 27 IV Manggarai 39 V Pengumuman 47 VI 464545 49 VII Yogyakarta, Aku Datang! 65 VIII Ini Kampusku! 85 IX Kuliah 101 X Taqlid 117 XI Gusuran 131 XII Tampilan Luar yang Menipu 135 XIII Yang Terlupakan 145 XIV Cerita Cinta 159 XV Agnostik 171 XVI Marah 181 XVII Aktivis 187 XVIII Gunung Lawu 201 XIX Aku Bukan Pelacur! 229 XX Putus! 241 XXI XXII XXIII XXIV XXV Daftar Isi ii Aku Malu Jadi Aktivis! 1 [pernah] Persiapan Matahari sudah lama tidur. Malam kian larut. Udara dingin menusuk bercampur dengan polusi bekas asap kendaraan sejak tadi. Saat malam bertambah pekat, makin sedikit lalu-lalang kendaraan yang memecah kesunyian kota dengan deru-debunya. Mobil dan motor sesekali lewat, bis kota sudah hilang dari peredaran, stasiun kereta mematikan lampu dan peron ditutup sejak para penumpang terakhir diangkut oleh kereta penghabisan jam sepuluh malam tadi. Angkutan murah rakyat tak lagi bisa dijumpai, mikrolet tak bersisa, bajaj tak lagi berkeliaran, yang ada hanya beberapa taksi lalu-lalang di jalan protokol, ojek mangkal

BAHAN BARU

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAHAN BARU

Aku Malu Pernah Jadi Aktivis!luqmanhakim.multiply.com

Daftar IsiiDaftar IsiSketsa I Permulaan 1II Masa Lalu 13III Ujian Masuk 27IV Manggarai 39V Pengumuman 47VI 464545 49VII Yogyakarta, Aku Datang! 65VIII Ini Kampusku! 85IX Kuliah 101X Taqlid 117XI Gusuran 131XII Tampilan Luar yang Menipu 135XIII Yang Terlupakan 145XIV Cerita Cinta 159XV Agnostik 171XVI Marah 181XVII Aktivis 187XVIII Gunung Lawu 201XIX Aku Bukan Pelacur! 229XX Putus! 241XXIXXIIXXIIIXXIVXXVDaftar IsiiiAku Malu Jadi Aktivis!1[pernah]PersiapanMatahari sudah lama tidur. Malam kian larut. Udaradingin menusuk bercampur dengan polusi bekas asap kendaraansejak tadi. Saat malam bertambah pekat, makin sedikit lalu-lalangkendaraan yang memecah kesunyian kota dengan deru-debunya.Mobil dan motor sesekali lewat, bis kota sudah hilang dariperedaran, stasiun kereta mematikan lampu dan peron ditutupsejak para penumpang terakhir diangkut oleh kereta penghabisanjam sepuluh malam tadi. Angkutan murah rakyat tak lagi bisadijumpai, mikrolet tak bersisa, bajaj tak lagi berkeliaran, yang adahanya beberapa taksi lalu-lalang di jalan protokol, ojek mangkaldi beberapa sudut jalan dan omprengan plat hitam yangmengantar penumpangnya ke pinggiran kota. Ciputat, Cileduk,Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi adalah tempat tinggalsebagian besar aktivis di ibukota negeri ini.Di belakang Jalan Sudirman lewat ke arah Jalan Senopati,dari sekian banyak gang yang berjejer, ada salah satunya yanglumayan lega untuk dilalui kendaraan roda empat. Persis dipinggir kiri depan gang masuk, masih ada warung rokok yangbuka. Terbuat dari kayu bekas kusen bangunan, papan dantriplek yang dibentuk menyerupai gerobak dengan dua buah

Page 2: BAHAN BARU

rodanya di kiri dan kanan. Dicat warna biru dengan bentuk agakbesar, cukup lega untuk satu orang setinggi seratus tujuh puluhansentimeter berbaring lurus tanpa harus menekuk badan.Pemiliknya lelaki paruh baya usia empat puluhan asal Kebumen,Jawa Tengah. Ia sering menganggap tempat itu sebagai rumahkedua setelah kontrakan petaknya yang masih masuk lagi kedalam gang sekitar lima ratus meter. Warung itu buka 24 jam, diAku Malu Jadi Aktivis!2[pernah]situ pula ia banyak menghabiskan waktu dari pagi, siang, sore,malam, hingga pagi menjelang lagi. Gerobaknya sengaja dibuatberoda agar mudah diungsikan apabila Dinas Keamanan danKetertiban DKI Jakarta melakukan penertiban mendadak.Tramtib datang tak kenal ampun, pedagang kaki lima yangberdagang sembarangan langsung diangkut paksa ke kantorwalikota. Alasan petugas melakukan kewajiban yang bertentangandengan pemberdayaan sektor riil adalah keindahan kota yang takboleh tercemar atas kehadiran mereka sebagai bunga liar dipinggir jalan.Tumbuh dan merebaknya pedagang kaki lima seringmelupakan ampas sisa dagangan yang tak dititipkan di tempatsampah, malah dibiarkan berkelompok di pinggir jalan hinggaberbau tak sedap. Mereka berbuat begini karena merasa telahmembayar uang yang ditagih setiap hari oleh petugas berseragam.Orang yang menagih, mengaku utusan langsung dari Kecamatan,darinya juga dikatakan bahwa uang itu digunakan untuk biayaKeamanan dan Kebersihan.Pedagang kaki lima di sini kebanyakan penjual gorengan,bakso dorong, bakwan malang, es cendol, es cincau, teh botol,juga siomay sepeda. Dagangan yang mobile alias gampangberpindah karena memang dilengkapi roda. Bila sepi pembelimereka berpindah tempat mencari pembeli lain di daerah itu-itujuga. Pagi hari sebelum siang mangkal di SD Selong di pinggirJalan Senopati, cukup banyak pelanggan di situ, anak-anak SDyang gemar jajan. Sebelum matahari tepat berada di atas kepala,mereka berpindah lokasi ke gang tempat si tukang rokok asalKebumen biasa berjualan di depan. Masuk lagi ke dalam sampaike ujung, bergabung dengan pedagang lain yang membukawarung semi permanen di situ.Aku Malu Jadi Aktivis!3[pernah]Di tempat itu, kira-kira satu kilometer dari depan jalanraya menurut hitungan berjalan kaki di gang yang berkelok-kelok,sebuah tembok besar membatasi pemukiman warga dengangedung-gedung bertingkat. Di situ juga terdapat lapangan tanahmerah yang tak terlalu luas tempat anak-anak biasa bermain.Tanah lapang yang tak seberapa luas ini di musim panas ramaioleh banyak aktivitas namun beceknya minta ampun di musimhujan. Saat musim layangan banyak anak yang menerbangkandan mengadunya. Ketika kelereng jadi permainan favorit, anakanakdi sana keranjingan menggelindingkan bola kaca seukuransatu ruas jari jempol tangan di tanah merah untuk salingmengadu ketepatan bidikan. Sewaktu Acara Sepakbola Duniaditayangkan di televisi dan menyita perhatian masyarakat dibanyak negara termasuk Indonesia, anak-anak di sana juga tak

Page 3: BAHAN BARU

mau ketinggalan, tanah kosong yang belum dibangun apa-apa itudisulap jadi lapangan bola ala kadarnya.Di salah satu sisi dari tembok besar yang menghalangidaerah pemukiman dengan perkantoran, ada satu bagian yangbolong seukuran orang dewasa, sengaja dibongkar warga untukakses keluar-masuk dan jalan pintas. Lobang itu tingginya sekitardua meter dengan lebar satu meter, tembus ke gang sempit yangdihimpit oleh gedung-gedung bertingkat. Bila berjalan terus tigaratus meter ke depan akan langsung bertemu dengan JalanSudirman. Bolongan itu juga yang menjadi gerbang pertemuanantara orang kantoran di gedung-gedung bertingkat dengan parapedagang makanan yang sudah siap menanti di pinggiranlapangan. Di tempat itu juga banyak rumah makan semipermanen yang didirikan warga untuk mengais rezeki.Bergabungnya pedagang kaki lima yang ikut berjualan di situmakin melengkapi aktivitas transaksi jual-beli urusan perut laparAku Malu Jadi Aktivis!4[pernah]atau sekedar cemilan. Harga yang relatif murah dan jenismakanan nan bervariasi, membuat tempat itu ramai dikunjungidi setiap hari kerja.Beranjak petang, karyawan malas keluar gedung karenawaktu pulang segera datang. Warung makan semi permanenmenutup gerainya karena pembeli yang makin sepi. Pedagangkaki lima ikut-ikutan meninggalkan tempat itu dan berlalumenuju trotoar di Jalan Senopati. Saat matahari memindahkansinggasananya ke ufuk barat, di waktu itu pula mulaibertumbuhan warung-warung tenda seperti bunga liar yangmerekahkan kelopaknya disiram hangat mentari sore. Satupersatu mulai berdiri, warung Ayam Goreng & Pecel Lele, SateAyam & Kambing, Soto Babat, Sea Food dan beberapa warunglainnya yang bertebaran di sisi-sisi jalan. Pedagang kaki lima jugatak mau ketinggalan, ikutan nimbrung di salah bagian yang masihagak luas dekat berdirinya tenda, bergabung di situ untukmelengkapi. Biasanya yang suka ikut berjualan bareng adalahpedagang minuman seperti teh botol, es cendol dan es cincau.Sesekali bakso dorong dan siomay sepeda ikutan nimbrung, meskitidak setiap hari.Banyak cara untuk mencari rezeki yang halal, namun cumaberdagang kaki lima yang sanggup dilakukan di tengah himpitanekonomi yang makin sesak. Pendidikan tak tinggi, keahlian cumaberdagang, itupun parsial. Penjual bakso tak bisa meracik cendol,penjual cendol tak tahu campuran ikan tenggiri hingga menjadisiomay dan penjual siomay tak mengerti apa-apa tentang rahasiagilingan daging menjadi bakso. Tapi saat berkumpul, saling tukarbarang dagangan dan mencicipi sudah jadi hal yang biasa. Takjarang di antara mereka saling membungkusi sisa dagangan untukdinikmati keluarga rekannya sesama pedagang kaki lima. PernahAku Malu Jadi Aktivis!5[pernah]kejadian tukang siomay sepeda asal Tasikmalaya, istrinya yanghamil muda merengek ingin minum es cendol sebab desakan bayiyang dikandung. Buatnya gampang saja, ia langsung mengajakrekan penjual cendol ke rumah kontrakan petaknya. Begitu suamitercinta datang dengan kebutuhan ngidam atas bayi yang belum

Page 4: BAHAN BARU

dilahirkan, si istri langsung menikmati cendol sepuas-puasnya.Para pejuang ekonomi keluarga ini memang kreatif membentukvariasi makanan keluarga dari barter dagangan sesama pedagangkaki lima meski bukan hidangan yang bergizi dan hanya jenismakanan jajan.Iuran yang mereka bayar setiap hari ditukar dengan kertasberwarna putih bertuliskan "Iuran Retribusi Kebersihan danKeamanan". Kertas itu dianggap sebagai karcis mencari nafkah disekitar Jalan Senopati. Mereka pikir sepanjang memegang tiketberjualan dan masih ada di sekitar situ, bebas untuk berjualan.Namun lain kepala lain isinya, pemahaman dan aplikasipenerapan pungutan retribusi kebersihan dan keamanan seringbeda persepsi. Kenyataan yang ada, warung tenda yang mangkalsaja tak pernah aman dari ancaman operasi penertiban keindahantata kota, apalagi yang nomaden seperti mereka. Ironisnya, PolisiPamong Praja yang paginya makan di situ, siang atau sore haribisa langsung membongkar atas instruksi atasan. Dilematisnya,masyarakat menengah ke bawah membutuhkan, tapi jadi bahanincaran petugas karena merusak keindahan tata kota.Pernah sekali waktu, pemilik warung rokok di salah satugang di Jalan Senopati ini meninggalkan dagangannya sebentaruntuk Shalat Zhuhur, mengadukan nasibnya pada Sang PemberiRezeki di Masjid yang berjarak lima puluh meter dari tempatnyaberjualan. Lima belas menit ditinggalkan, begitu kembaligerobaknya sudah tidak ada di tempat, hilang entah ke manaAku Malu Jadi Aktivis!6[pernah]seperti disulap oleh ilusionis terkenal. Kaget bukan alangkepalang, dicarinya ke sana ke mari gerobak tempatnya mencarinafkah. Sampai salah seorang penghuni rumah dekat tempatnyaberjualan mengatakan bahwa tadi ada petugas Tramtib yangmenertibkan para pedagang kaki lima. Orang-orang yangberseragam melihat ada warung rokok yang menyembul keluargang, menurut mereka pemandangan itu merusak estetika kotadan langsung diangkutnya ke atas truk untuk dipindahkan keKantor Walikota. Saat meminta balik miliknya ia malahdihadapkan tuntutan pencemaran keindahan tata kota. Sebagaijaminan, sekian ratus ribu rupiah harus disetor sebagai tandadenda. Ketika gerobak rokoknya dibawa pulang, diperiksa lagibarang dagangannya, ada saja yang hilang. Beberapa bungkusrokok raib, beberapa makanan dan minuman kecil tinggalsampah pembungkus. Mau protes tak berani, takut disangkamenuduh. Yang bisa dilakukan cuma mengelus dada danmenerimanya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yangmemang harus dijalani. Sulitnya hidup di Jakarta denganpendidikan tak tinggi dan kemampuan yang pas-pasan.Kurang lebih dua ratus meter dari tempatnya berjualan, adasebuah rumah berarsitektur Betawi dengan halaman yang cukupluas. Di rumah itu pula si pemilik warung rokok seringmenitipkan gerobak bila ia pulang kampung. Rumah itu berpagarbesi karatan dengan warna coklat kehitaman. Dindingnya dicatputih namun sudah agak menguning karena terpaan cuaca panasdi musim terik dan hujan yang tak kenal ampun di musim banjir.Halaman luasnya ditumbuhi rumput gajah, meranggas takberaturan di permukaan tanah. Pohon kecapi tumbuh di sampingberanda, pohon jambu air cangkokan di dekat pagar dan

Page 5: BAHAN BARU

beberapa pot berisi tanaman hias bertebaran di sekeliling rumah.Aku Malu Jadi Aktivis!7[pernah]Rumah itu milik pasangan keluarga Betawi, Ali Sabeni danSiti Saidah. Mereka punya dua orang anak, Muhammad Sarwanidan Fatimah Nur Marwah. Sarwani itu aku, Marwah itu adikku.Di sini, di rumah ini, aku dan adikku lahir juga dibesarkan. Dikediaman ini pula lewat orang tua dan lingkungan aku banyakbelajar mengenal kehidupan. Di sinilah cerita itu dimulai.* * * * *Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat ujianmasuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku dapat tempat ujian di SMATujuh Puluh Bulungan dekat dengan Gelanggang Remaja JakartaSelatan. Cuma beberapa kilometer saja dari rumahku, kira-kiralima belas menit juga sampai di lokasi. Lain cerita kalau macet,paling sekitar tiga puluh sampai empat puluh lima menit, palinglama satu jam. Setidaknya semaksimal mungkin satu jam sebelumujian dimulai aku sudah harus berangkat dari rumah.Saat menghadapi ujian, sudah seharusnya segala sesuatu itudipersiapkan. Latihan soal, hafalan, pemahaman materi yangdiujikan dan yang terpenting adalah kesiapan mental. Teramatsering gagal datang karena masalah faktor mental meski semuapersiapan sudah dikedepankan. Aku juga begitu, sedih saatdihadapkan kenyataan bahwa aku gagal masuk Perguruan TinggiNegeri di saat lulus SMA. Gagalku bukan karena faktor mentalbelaka tapi persiapan yang tak ada. Sedihku itu saat menyaksikanteman-teman kuliah, akunya malah menganggur.Menganggur di bulan-bulan awal lulus SMA memangmenyenangkan. Tak ada tanggung jawab belajar dan pergi kesekolah. Tiap hari yang kutahu hanya bermain dan bermain.Namun kejenuhan itu akhirnya datang juga. Bosan menyianyiakanwaktu, bosan tiap hari hanya bermain, bosan tak adaAku Malu Jadi Aktivis!8[pernah]teman sebaya karena pada kuliah dan bosan dari hari ke hari yangkujalani cuma begitu-begitu saja. Menganggur satu tahun ituternyata lama. Aku iri pada teman-teman yang langsung kuliahbegitu lulus SMA.Aku masih sempat menertawakan teman-temanku di haripertama mereka kuliah. Berdandan aneh dengan atribut ajaibkarena diplonco kakak angkatan. Seperti Wahyu teman SMAkuyang diterima di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Depok,ia yang sudah berambut jabrik dari lahir dengan kulit hitamlegam seperti pantat dandang, senior-senior di kampus dengansemena-mena menjulukinya 'landak ireng'. Temanku ini disuruhmembuat tas dari karung bekas tepung terigu, juga kalung papannama untuk digantung di leher dari lembaran kardus yang diberitali rafia serta harus ditulisi nama julukan pemberian kakakangkatan dengan cat warna merah. Atribut dan segala aturanberpakaian harus dipakai saat berangkat dari rumah, bukannyadari depan kampus. Apabila ketahuan tidak mematuhi peraturansanksinya lumayan berat, disuruh memungut sampah sekelilingkampus dengan tangan telanjang dan tanpa alat bantu.Hukuman memungut sampah berguna untuk memeliharakampus Universitas Indonesia tetap bersih dan asri. Memulung

Page 6: BAHAN BARU

sampah sejauh sepuluh hingga seratus meter tergantung hukumanatas kesalahan itu memang melelahkan, juga memalukan. Tukangsampah di rumahku saja setiap mengangkut sampah selalumenggunakan sarung tangan karet dan tutup hidung, ini malahdengan tangan telanjang. Kalau yang dipungut daun kering ataukertas sisa fotokopi mungkin tak terlalu bermasalah, masih jenissampah kering yang tidak berbau. Yang menyebalkan bilamenemukan sampah bekas makanan apalagi yang sudah busuk.Pastinya sangat merepotkan juga menjijikkan.Aku Malu Jadi Aktivis!9[pernah]Pernah satu hari aku memergoki Wahyu jam lima pagikeluar rumah dengan dandanan aneh, menunggu bis ke arah BlokM yang disambung ke Depok. Ia memakai kopiah hitam denganbagian atasnya berwarna kuning, kemeja putih dibungkus jaketkuning, celana panjang dan kaus kaki putih, dilengkapi sepatufantovel hitam. Wahyu persis seperti orang-orang kantoran diJalan Sudirman, tapi lebih norak karena yang mirip cuma carabersepatunya. Aku tergelak-gelak melihatnya, yang membuatkutambah terbahak adalah karung bekas tepung terigu dengan capsegitiga biru masih berbentuk utuh, dijahit terbalik dan diberisumbu kompor hingga menjadi tas. Aku sangat yakin karung itudidapatnya dari tukang martabak di Jalan Senopati. Belum lagiplang nama dari kardus dengan tulisan 'landak ireng' melingkar didadanya. Aku tertawa melihat kebodohan Wahyu."Sejak kapan elo ganti nama jadi 'landak ireng' Yu? Udehselametan belom? Keren banget nama baru lo, ha ha ha..."Aku tertawa geli melihat Wahyu berdandan begitunoraknya. Tapi dasar temanku, bukannya malu malah bangga."Begini deh kalo jadi mahasiswa baru Wan. Ospek emangnyebelin, tapi sebenernye asyik kok!"Dipermalukan, itu istilahku melihat Wahyu diperlakukanbegitu oleh seniornya tapi tidak menurutnya. Kata Wahyu,Ospek adalah bagian dari mengenal kampus dan mahasiswa barumemang seharusnya mengenal kampus dari proses ini. Meskibanyak aktivis kampus yang mengecam kegiatan orientasipendidikan model perploncoan, tapi tetap saja Ospek selaludiberlangsungkan di beberapa kampus, pun sampai sekarang.Unsur feodal yang kental terasa dari setiap prosesi penerimaanAku Malu Jadi Aktivis!10[pernah]mahasiswa baru, budaya meneruskan feodalisme yang pernahditerima oleh mahasiswa senior saat baru masuk kampus. Ketikajadi kakak, dendam yang dulu dibentak-bentak dan dikerjai olehkakak angkatan diwariskannya ke adik angkatan. Sempat telintasdi pikiranku, senior yang mengenalkan kampus dengan caramenganggap diri sendiri paling hebat dan powerful lalumemandang adik angkatannya sebagai bukan siapa-siapa, samapersis seperti perlakuan majikan pada pembantunya. Tuan rumahmenyuruh jongos melakukan sesuatu dengan bentakan galak,memiliki hak dan kuasa penuh karena merasa sudah menggaji. Ahfeodal sekali! Seperti dilempar sekian ratus tahun ke belakang saatkompeni menjajah Indonesia.Depdiknas dan beberapa Perguruan Tinggi sering kalimeminta mahasiswa senior meninggalkan budaya feodal dalam

Page 7: BAHAN BARU

prosesi pengenalan kampus. Hukuman fisik disertai kekerasandilarang keras, orientasi ditujukan ke arah yang lebih mendidik.Lucunya dalam ospek, sering kejadian menerapkan hukumanklasik dengan membuat puisi cinta dalam waktu sekian menit dandibacakan pada kakak kelas. Hukuman yang sering diberikanpada mahasiswa baru yang ganteng untuk senior perempuannyayang kecentilan atau sebaliknya, ditujukan pada mahasiswi baruyang cantik untuk senior laki-lakinya yang kegatelan. Ujungujungnyanyasudah bisa ditebak, mencoba merebut hati adikangkatan dengan cara senioritas. Lantas apakah kewajibanmemakai kalung nama dari kardus juga mendidik? Itu yangmembuatku tertawa saat melihat Wahyu seperti sapi potong yangsudah dinomeri dan siap masuk rumah jagal."Elo ngetawain gue soalnye belom ngerasain kayak beginiWan! Gue sih cuek aje, namanye juga Ospek. Selame nyuruhnyeAku Malu Jadi Aktivis!11[pernah]masih wajar sih buat gue oke-oke aje. Itung-itung latihan mentalbiar bisa lebih cuek. Ntar deh kalo elo kuliah, gantian gue celaabis-abisan, kayak elo nyelain gue melulu sekarang!"Aku makin termenung dalam lamunanku di meja belajar.Buku-buku pelajaran jadi saksi tekadku untuk bisa lulus. Sudahdari jam delapan malam tadi aku mengutatinya, entah berapalembar kertas yang telah kucoret-coret untuk latihan soal.Setahun sudah waktuku tersia-sia, tahun ini aku tak boleh gagal.Kuingin diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang kudaftarkan.Segala persiapan juga sudah kusiapkan. Besok pagi ujian yangmenentukan langkahku di masa depan akan segera dimulai.Kurapihkan buku-buku dan kertas yang berserakan di meja.Kusiapkan kartu ujian, pensil 2B, penghapus dan rautan pensil.Pagi-pagi sebelum berangkat semuanya sudah tersedia."Uaaaaaaaahhhh...!" Uapan kantukku makin lebar. Jammenunjukkan pukul satu lewat lima menit. Ah! Lebih baik akupergi tidur.Aku Malu Jadi Aktivis!12[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!13[pernah]Masa LaluSedari kecil aku paling suka menggambar. Kata ayah, sejakusia tiga tahun aku sudah bisa membuat bulatan rapi tanpa alatbantu berbentuk lingkaran seperti uang logam, tutup botol, gelasatau benda berbentuk bulat lainnya. Seiring waktu, gambarbulatan itu mulai bisa kutambahi beberapa garis, menghiasinyadengan blocking warna juga gradasi hingga menjadi sebuahgambar. Aku paling suka menggambar yang ada di depan mata.Apapun yang menarik perhatian pastilah kugambar.Saat usiaku beranjak empat tahun, kupunya adik bayi yanglucu. Perempuan, cantik, kulitnya merah dan bisanya cumamenangis. Senang sekali rasanya punya adik bayi, Aku punyateman di rumah selain pensil, crayon dan kertas gambar.Sekali waktu pernahku disuruh ibu menjaga adik karenaibu mau membeli sayuran di tukang sayur yang lewat depanrumah. Tiba-tiba kulihat tangan adik mengepal dan meninjuninju

Page 8: BAHAN BARU

sesuatu ke samping kiri dan kanan. Kakinya juga begitu, takbisa diam bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri, seperti sedangmengayuh sepeda. Matanya yang belum bisa membuka danhanya berbentuk garis lengkung meneteskan air. Mulutnya jugamembuka, mengeluarkan tangis bayi seperti minta sesuatu. Entahkepanasan, kehausan, risih karena ngompol atau apa, aku tak tau.Melihat itu langsung kuambil pensil, crayon, kertas putihdan mulai menggambar. Persis seperti apa yang kulihat di depanmata, adikku yang sedang menangis kuterjemahkan dalam bahasamotorik tarikan-tarikan garisku di kertas gambar. Kubikin sketstipis berbentuk lingkaran dengan pensil, di kanan dan kirinyakubuat lagi beberapa garis lengkung yang saling menyambungAku Malu Jadi Aktivis!14[pernah]hingga membentuk badan, tangan dan kaki. Tak lupakutambahkan banyak garis di atas kepala sebagai rambut jugabeberapa kurva berbentuk butiran air di samping dua garislengkung, seperti air yang menyembur keluar dari mata, layaknyagambar air mata seperti di komik yang pernah kubaca atau filmkartun yang sering kutonton. Selanjutnya skets tipis itukutebalkan lagi dengan crayon, tak lupa kuwarnai. Di bawahnyakuberi judul "Fatimah Nur Marwah", itu memang nama adikku.Sedang asyiknya aku menggambar, tiba-tiba dari depanrumah ibu menyeruak masuk ke kamar. Marwah juga masih asyikdengan tangisnya."Wani! Jangan gambar melulu kenape! Adiknye nangismalah didiemin aje! "Ibu langsung mengangkat Marwah dari tempat tidur,membopong dan menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut.Aku melipir ke belakang."Cep... cep... Nak. Kenape? Bang Wani nakal ye? Marwahnangis kok didiemin aje. Ooo... ngompol... Pantesan. Ya udeh,Waniii...! Ambilin popoknye Marwah di kamar belakang! Adekngompol nihhh...!"Halah! Ternyata ngompol! Dasar Marwah saja yangcengeng! Tapi wajarlah, adikku ini masih bayi, komunikasi efektifyang mampu dilakukannya cuma menangis, Waktuku kecil pastijuga begitu, tukang menangis seperti Marwah. Tak berlama-lamalangsung kuambil popok bayi di kamar orang tuaku di lemarikhusus baju-baju Marwah. Gambar yang sudah selesai kubawasekalian ke kamar depan. Kuberikan popok bayi itu pada ibu dangambar "Fatimah Nur Marwah" kutempelkan di dinding kamar.Aku Malu Jadi Aktivis!15[pernah]"Maaarwaaaahhh... Bang Wani sayang sama Marwah tuh.Marwah digambarin sama Bang Wani. Cakep deh gambarnye."Ah dasar ibu! Mana ngerti bayi diajak ngomong begitu!Tapi setelah besar aku baru mengerti bahwa pendidikan itumemang harus dimulai sejak masih di dalam rahim. Saat ibumengandung Marwah, aku sering melihat ayah berbicara padaperut gendut ibu. Bukan cuma berbicara, kadang setiap habisShalat Isya, perut itu dingajikannya ayat-ayat Alqur'an. Surahyang paling sering dibaca adalah Surah Yusuf. Tak hanya itu,earphone juga ditempelkan di perut ibu lalu didengarkannya lagulaguyang tak kumengerti. Lagu tak bersyair dan irama yang

Page 9: BAHAN BARU

menakutkan seperti di film-film horor. Kata ayah itu lagu klasik.Tapi kenapa juga harus ditempelkan di perut bukannya dikuping, aku makin tambah tak mengerti.Ayah bilang bahwa saat pertama kali janin terbentuk,sebenarnya ia bisa mendengar dan merepresentasikan apa-apayang didengarnya dalam bentuk gerakan-gerakan halus di perutibu. Bayi yang dari dalam kandungan sudah terbiasa diajakberkomunikasi dengan bahasa yang baik dan kasih sayang,dibacakan surah-surah Alqur'an juga dikenalkan dengan musikklasik, biasanya ketika besar akan tumbuh menjadi pribadi yangmudah menyerap kebaikan, peka terhadap sesama dan dapatmenjadi pribadi yang unggul. Katanya itu sudah diteliti bertahuntahunoleh pakarnya. Ibu juga bilang waktu mengandungku ayahsering memotret-motret perutnya. Ayahku yang arsitek dan sukamenggambar rumah serta bangunan, gambarnya itu seringdiperlihatkan di depan perut ibu dan diajaknya berbicara. Anehmemang, yang diajak berbicara itu justru perut, bukan ibu. Tapimungkin karena itu aku jadi senang menggambar.Aku Malu Jadi Aktivis!16[pernah]Pernah satu waktu di kelas satu SD, Paman Ahmad yangtinggal di Pasar Minggu datang membawa durian kegemaranayah. Keinginan menggambarku tak bisa dibendung, kuambilpensil, crayon dan kertas gambar, langsung kucari di mana adikbungsu ayah menaruh bawaannya. Di beranda depan kulihat ayahdan Paman Ahmad asyik berbicara sambil makan durian.Kuminta mereka berhenti makan dan menyusun buah bawaanpamanku itu berdasarkan estetika yang ada dalam pikiran.Gambar yang ingin kubuat adalah durian dalam keadaanapa adanya, utuh dengan kondisi besar, bulat dan duri-durinyayang tajam. Di depannya ada durian lainnya yang kulitnya sudahterbuka, memamerkan isinya yang kuning meranum. Aku marahbila ayah dan Paman Ahmad masih meneruskan makan durianlalu mengacak-acak susunan yang sudah kubentuk itu."Tunggu Wani kelar gambar, Babe sama Encing Ahmadbaru boleh makan lagi!"Mereka mengalah dan membiarkanku menggambar sampaiselesai. Saat aku sedang menggambar, Madun tetanggaku, temansekolahku dan sahabatku ini datang mengajak main bola dilapangan. Kutinggalkan gambar itu sambil mewanti-wanti Ayahdan Paman Ahmad untuk tidak boleh menyentuh durian itu."Pokoknye Babe sama Encing Ahmad tetep nggak bolehmakan duren sampe Wani kelar maen bola! Ntar kalo berantakan,gambar Wani malah nggak jadi!"Aku main bola lumayan lama. Saat matahari makin ke ufukbarat baru kupulang ke rumah. Kulihat durian itu masih ada ditempat. Susunannya memang tidak berubah, tapi jadi banyaklalat karena bau durian yang mengundang. KeinginankuAku Malu Jadi Aktivis!17[pernah]menggambar langsung hilang gara-gara lalat. Aku masuk kedalam mencari ayah dan Paman Ahmad, kulihat mereka masihmeneruskan obrolannya di ruang belakang namun tanpa durian."Beh, durennye mau dimakan lagi nggak? Noh masih adedi depan. Wani nggak jadi nerusin gambar, abis durennye udeh

Page 10: BAHAN BARU

dilaletin gitu...""Yaaahhh... Wani, kenape juga Babe sama Encing Ahmaddilarang makan duren. Sekarang malah dilaletin deh tuh. Gimanesih...""Yang dilaletin dikit kok Beh, cuman yang kebuka doang.Pan masih ade yang belom dibuka?"Ayah kecewa melihat duriannya sudah dikerubungi lalat.Dipisahkannya buah yang sudah disentuh lalat itu dan dibuang ditempat sampah luar rumah. Durian yang belum dibuka dibawake dalam dan dimakannya lagi bersama Paman Ahmad. Akumenyesal melarang orang tuaku makan buah kegemarannya garagarahasrat menggambar yang tak bisa kubendung. Dari sini akubelajar untuk menggambar tanpa terpengaruh suasana hati. Bilapunya keinginan menggambar, selesaikan sampai tuntas, janganmelakukan aktivitas lain apabila aktivitas yang pertama belumdituntaskan. Pun ketika saat itu aku masih mau meneruskanmenggambar, lalat-lalat yang datang justru menjadi tambahanobjek yang menarik. Gambarku lebih hidup dan berkarakter.Masuk SMP, aku menemukan sekumpulan teman yangsama-sama suka menggambar. Kami berlima, aku, Agung, Erwan,Hari dan Edi punya banyak kesamaan bahwa bahwa bisamenggambar saja tidak cukup. Goresan tangan itu jangan cumasekedar dipandang teman, guru, orang tua, dan orang-orang yangAku Malu Jadi Aktivis!18[pernah]kami kenal. Tak jarang kami meminta komentar atas gambarkami. Sering dikritik, jarang dipuji, sesudah itu dilupakan begitusaja. Dari dulu tetap saja begitu, sepertinya jadi percuma bilamenggambar hanya diapresiasi sebatas itu. Kami merasa tak puas!Gambar itu harus punya makna! Punya arti! Bukan sekedardilihat orang lalu dilupakan!Kami berlima tinggal di gang yang sama meski jaraknyayang saling berjauhan, juga tidak satu sekolah. Namun faktorkesamaan ide, keinginan dan harapan itulah yang membuat kamisaling bersepakat untuk selalu bersama.Agung yang pertama kali berusul mengirimkan gambargambaritu ke media cetak. Ia melihat bahwa di banyak koran danmajalah punya kolom kartun lepas. Ia juga yang menyarankanagar kami mengkhususkan teknik menggambar kartun. Semuadari kita memang bisa mengartun, tapi hanya sebatas meniru-nirukarakter yang sudah ada. Meniru karakter Disney, superhero gayaMarvel, komik Jepang ala Manga, dan lainnya. Yang dimaksudadalah membuat gambar lucu berdasarkan kenakalan berpikirdalam menterjemahkan hal-hal yang ada di sekitar kita. Gambaritu dibuat dalam bentuk karakter kartun yang harus kita ciptakansendiri. Membuat karakter sendiri dengan tidak meniru karakteryang sudah ada adalah wajib untuk urusan orisinalitas karya.Di situ kami sepakat untuk menciptakan tokoh karakterkartun dari imajinasi sendiri. Sesudahnya karakter itu kamikembangkan untuk dibuat ragamnya; laki-laki, perempuan, tua,muda, tinggi, pendek, besar dan kecil. Dari penciptaan karakteritu beberapanya diambil untuk menggambarkan sosok gambarlucu satu karya. Sisanya masuk dalam perbendaharaan karakterkartun. Sangat banyak gunanya menciptakan tokoh-tokohkarakter rekaan berbentuk kartun. Suatu saat ketika menggambarAku Malu Jadi Aktivis!

Page 11: BAHAN BARU

19[pernah]kartun lain yang membutuhkan karakter tertentu, karakter yangsudah dibuat itu pasti terpakai. Kami menggambarnya banyakbanyak,lalu mengirimkannya ke media cetak.Kartun itu tidak kami kirimkan lewat pos melainkanlangsung datang ke kantor redaksi. Pertimbangannya adalahuntuk memastikan bahwa karya kami sampai di tangan yangtepat. Syukur-syukur bila bujukan kami pada redaksi untukmemuatnya dipertimbangkan atau malah dijanjikan, berarti saatterbit di edisi esok ada harapan karya kami yang dimuat.Beberapa di antara kantor redaksi itu malah mengajak kamiberkeliling tempat kerja media cetak untuk mengenalkan prosesproduksi sebuah koran atau majalah. Wartawan menulis berita,layouter membuat tata letak di tiap halaman, desainer grafismempercantiknya dengan desain, bilamana diperlukan infografikatau ilustrasi, ilustratorlah yang melengkapkannya.Setelah itu, kami tak sabar untuk menunggu terbitnya edisiterbaru media yang kami kirimkan karya kartun. Hampirsebagian besar koran harian yang ada kolom kartunnya terbit dihari Minggu, tabloid dan majalah biasanya Senin atau Kamis.Kebiasaan kami juga sebelum berangkat ke sekolah berkumpul diagen koran milik Pak Yanto di seberang jalan. Di hari itu kamimemang berebut dulu-duluan ingin jadi yang pertama melihatkoran, majalah atau tabloid saat baru dikeluarkan dari mobil boxsirkulasi.Bila orang mulai membaca koran dari depan, kami selaludari belakang. Masalahnya kolom kartun di koran, tabloid danmajalah itu kebanyakan memang berada di halaman belakang.Kami cuma mau melihat apakah kartun kami dimuat atau tidak.Bila dimuat, wah! Senangnya bukan main! Dimuat di media cetakberarti karya kami memang layak ditampilkan dan diapresiasiAku Malu Jadi Aktivis!20[pernah]dengan baik. Dibalik itu semua ada honor atas kartun yangdimuat. Makanya kami rajin mengartun dari hari ke hari.Membuat sesuatu yang kreatif dan bisa menghasilkan uang itumemang menyenangkan.Rumah kami masih satu daerah dan tidak terlalu jauh.Untuk memudahkan komunikasi, kami saling memasangintercom01. Lewat situ juga kami sering janjian menentukan waktuuntuk 'menyerbu' kantor redaksi lagi. Bahasa yang sering dipakaisaat nge-break itu lucu-lucu, sok bergaya seperti prajurit perangyang akan menyerang lokasi musuh."Lapan enam, lapan enam, Agung di sini, gimane persiapankite nyerbu Palmerah, gitu ganti...""Lapan enam, lapan enam, di sini Erwan, lagi nyiapinamunisi buat nyerbu. Ntar pas senjata kite amunisinye udeh padepenuh, baru kite bisa nyerang. Yang laen sendiri gimanepersiapannye, gitu ganti...""Lapan enam, lapan enam..."Selalu itu. Selalu nomer itu yang disebut. Delapan enam...Apa maksudnya aku juga tak mengerti. Pernah di jalan aku jugamendengar seorang polisi berbicara di Handy Talkie-nya dengankode angka yang sama, "Lapan enam, lapan enam..." Waktu aku

Page 12: BAHAN BARU

tanyakan ke bapak si Agung yang kebetulan polisi, ia mengatakanbahwa itu adalah kode polisi untuk menyatakan situasi amanterkendali. Ke depannya sekarang, banyak orang yangmenggunakan kode itu untuk menyatakan situasi dan kondisidalam keadaan baik. ORARI (ORganisasi Radio Amatir1 Alat komunikasi terbatas yang terhubung dengan kabel di satu lingkup daerahyang terbatas. Di tahun 80-an intercom sempat tren seperti halnya radio amatir.Aku Malu Jadi Aktivis!21[pernah]Indonesia) sering memakainya, sekuriti di gedung-gedungbertingkat juga menggunakannya. Pun sekarang, teman-temankumemakainya di obrolan intercom.Masuk SMA kami sama-sama satu sekolah. Dari sini kamiberpikir butuh nama untuk kumpulan ini. Agung yang pertamakali mengusulkan untuk mengusung sebuah nama. Berkumpultanpa nama sepertinya ada yang kurang. Lagipula bila nanti adateman yang ingin bergabung, berarti akan menambah temanuntuk kreatif bersama. Selama ini setiap ada kompetisi, lombapun pameran kartun, cuma kami berlima yang paling gilamengejarnya. Belum lagi kebiasaan mengirim kartun sehabispulang sekolah ke berbagai kantor redaksi di setiap minggu.Dengan membuat nama, membuat struktur organisasi yang jelas,itu sudah merupakan undangan bagi teman-teman lain untukikut kreatif bersama-sama. Ide yang bagus, kami semuamenyambutnya.Sekarang tinggal memilih nama. Entah nama apa yangcocok yang kiranya mencerminkan kami sebagai kartunis. Namatersebut harus lucu, cerminan dari kartun itu sendiri dan yangterpenting adalah mudah diingat. Edi ditugaskan menulis semuausulan nama yang nantinya akan kami sepakati bersama.Agung yang paling banyak ide mengusulkan nama Arsenik,singkatan dari Anak Rakyat Senopati Itu Kartunis. Nama yangcukup unik, namun arti singkatannya itu tidak mengenakkan,nama dari racun. Sebagai pertimbangan nama ini boleh juga.Erwan mengusulkan nama Karia, singkatan dari KartunisCeria. Cukup unik untuk mencerminkan kami yang selalu ceria.Namun singkatannya lebih mengarah pada nama seseorang danmasih bukan kriteria nama yang tergolong lucu. Agung malahmemplesetkannya jadi Waria, singkatan dari Wadah KartunisAku Malu Jadi Aktivis!22[pernah]Ceria. Sontak kami tertawa mendengarnya. Masih jadi bahanpertimbangan, nama ini juga ditulis oleh Edi.Edi yang agak aneh, ia mengusulkan nama Senopati Jaya.Alasan dia nama itu mencerminkan nama daerah kami agar tetapjaya. Entah apa yang ada di pikiran Edi hingga ia mengusulkannama yang mirip toko bahan bangunan dan tidak membawa artiapa-apa. Berhubung ia sekretaris yang menulis semua usulan,nama aneh inipun tetap juga ditulisnya.Hari lain lagi, ia mengusulkan nama Lima Sekawan.Alasannya karena kami berlima selalu kompak dalam berkaryadan mengirimkannya ke redaksi. Namun yang lebih mendasariHari mengusulkan nama ini karena ia pecinta buku-buku EnidBlyton. Ia terinspirasi oleh novel serial Lima Sekawan. Kami

Page 13: BAHAN BARU

langsung mengkritik untuk mencari nama yang orisinil dan tidakmencatut nama yang sudah ada. Lagipula seandainya ada temantemanlain yang ingin ikut perkumpulan ini, nama itu bisaberubah seiring dengan bertambahnya personil. Bisa jadi enamsekawan, sepuluh sekawan, atau seratus sekawan. Mendengarpendapat teman-temannya yang antagonis, Hari langsungmencabut usulannya, namun tetap dicatat Edi.Aku bingung mengusulkan nama apa. Putar otakmemformulasikan huruf, mencari kata lucu yang merupakansingkatan kumpulan kartunis kami berlima. Di kepalaku yangterlintas cuma kata aneh dan nyeleneh, Kokain, singkatan dariKomunitas Kartunis Indonesia. Namun saat kusebut nama ituyang lain langsung protes. Mereka bilang nama itu identikdengan narkoba dan kita generasi muda harus menjauhinya!Protes dari teman-teman membuatku sama seperti Hari, langsungmencabut usulan nama ini dengan berbagai pertimbangan.Namun dasar Edi, tetap saja mencatatnya.Aku Malu Jadi Aktivis!23[pernah]Sampai akhirnya Agung menengahi, "Sudah-sudah!Biarkan saja. Usulan nama jangan dibunuh kreativitasnya. Tetapmengusulkan nama dan Edi harus tetap mencatatnya. Sampainanti pasti ketemu nama yang pas buat kita."Malamnya seperti biasa kami nge-break lagi di intercom.Lagi-lagi bahasa aneh yang keluar, "lapan enam, lapan enam..."Huh!Saking terlalu seringnya menyebut angka itu di intercom,tiba-tiba Agung punya ide usulan nama yang lucu yang benarbenarmencerminkan kami berlima yang suka nge-break. Kenapatidak namanya jadi Kartunis Delapan Enam, alias kartunis yangselalu siap siaga dan kartunis yang aman dan terkendali, disingkatjadi KALEM. Serasa di film-film kartun, di atas kepala kamiseperti ada pijaran lampu yang bersinar-sinar mendengar ide dariAgung. Nama itu lucu dan unik, benar-benar pas untukmencerminkan kumpulan kartunis ini. Tanpa banyak protes,nama itu akhirnya yang disetujui.Sesudah memiliki nama, kami makin rajin mengartun.Teman-teman lain juga banyak yang ikut. Awalnya memangberlima, kemudian malah bertambah banyak hingga puluhanorang. Saat mengirim kartun ke kantor redaksi, beberapa kalikami bertemu dengan kartunis lain. Kenalan, lalu ngobrolngobrol.Dari situ kami tahu kalau ternyata ada banyakperkumpulan kartunis di seluruh Indonesia. Di Jakarta adaSENJA (Seniman Jakarta) dan PERKARA (Persatuan KartunisRawamangun). Semarang ada SECAC (Semarang CartoonistClub) juga WAK SEMAR (Wadah Kartunis Semarang).Kaliwungu, sebuah daerah di pinggiran kota Semarang adaAku Malu Jadi Aktivis!24[pernah]KOKKANG (Kelompok Kartunis Kaliwungu Semarang).Bandung ada KARUNG (Kartunis Bandung). Yogyakarta adaPAKYO (Paguyuban Kartunis Yogyakarta). Solo ada PAKARSO(Paguyuban Kartunis Solo) dan SLOKI (Solo Kartunis).Banjarmasin ada IKAN ASIN (Ikatan Kartunis Banjarmasin).Malang ada NGAKAK. Gombong ada KOCAK (Kelompok

Page 14: BAHAN BARU

Pecinta Kartun). Purwokerto ada KELAKAR (Keluarga KartunisPurwokerto) atau sering menyebut dirinya PURWOKARTUN.Daeng Makassar ada KARAENG (Kartunis Kota DaengMakassar). Ungaran ada TERKATUNG (Terminal KartunUngaran). Sukoharjo ada KLIK. Pun Medan ada ALAMAK danmasih banyak lagi yang lainnya. Ternyata juga, masih banyakkartunis lain yang tak ikut wadah kelompok kartunis seperti dariBali, Bengkulu, Surabaya dan daerah-daerah lainnya di seluruhIndonesia.Sampai akhirnya pada hari Rabu, tanggal 13 Desember1989, kartunis seluruh Indonesia berkumpul di Pasar Seni Ancol,sepakat untuk meleburkan diri dalam wadah nasional yang diberinama PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia). Di situ cumakami dari KALEM yang isinya anak-anak sekolah berseragamputih abu-abu. Di situ pula untuk pertama kalinya kami belajarberorganisasi dalam sebuah organisasi besar kumpulan kartunisseluruh Indonesia. Duduk bersama membincangkan masalahmasalahkartun dan kegiatan berkreativitas.Dan, gara-gara kartun juga aku jadi malas belajar. Bisamencari uang dari kreativitas sendiri itu memang mengasyikkan.Sampai-sampai di saat ujian akhir SMA aku masih jugamengartun dan melupakan belajar. Waktu hasil ujian kelulusanSMA diumumkan, Alhamdulillah aku lulus meski dengan nilaipas-pasan. Namun saat pengumuman ujian masuk PerguruanAku Malu Jadi Aktivis!25[pernah]Tinggi Negeri, aku gagal diterima. Namaku tak ada di koranpengumuman yang dibagikan gratis di Senayan.Tinggal aku sendiri yang tidak kuliah dan tidak bekerja.Jadi pengangguran, itu predikatku sekarang. Teman-temankreatifku juga pada berpencaran mengambil jalannya sendirisendiri.Agung diterima di Desain Interior Institut SeniIndonesia, Yogyakarta. Edi kuliah di Fakultas Seni Rupa DesainInstitut Teknologi Bandung. Erwan dan Hari kuliah diPerguruan Tinggi Swasta di Jakarta, Erwan di Teknik TekstilUniversitas Pembangunan Nasional dan Hari di TeknikInformatika Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Budi Luhur.Aku seperti berada di tanah lapang yang luas dan takberujung. Tak ada pohon, tak ada semak, juga rumput barangsejumputpun. Yang ada di sekelilingku hanya hamparan kosongdan melompong. Seperti hatiku sekarang ini, sendiri. Tiba-tibakurasakan ada tetesan air hujan yang jatuh membasahi mukadengan suara bergemuruh menggelegar dari langit..."Wani bangun! Katenye mau ujian! Enyak udeh banguninye! Jangan sampe nganggur lagi gara-gara nggak ujian!"Ternyata ibu yang membangunkanku, menciprati mukakudengan air. Kulihat jam, pukul empat lewat dua puluh limamenit. Sepuluh menit lagi waktu Shubuh tiba. Kuambil handukdi jemuran belakang dan langsung ke kamar mandi.Aku Malu Jadi Aktivis!26[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!27[pernah]Ujian Masuk

Page 15: BAHAN BARU

Pagi ini aku berangkat ke tempat ujian. Sudah setahunkupersiapkan semuanya dan hari ini adalah waktunya. Sepertihalnya pendekar silat yang bertapa di puncak gunungmemperdalam kesaktian, hari ini adalah saatnya aku turungunung untuk menguji ilmu. Tahun lalu waktuku berlalu tanpaarti apa-apa, hari ini adalah pelaksanaan momentum tekadkuuntuk tak lagi menyia-nyiakannya. Optimisme itu juga yangmengantarkan semangatku melalui hari ini.Pagi, jam enam lewat empat puluh lima, kucium tanganayah dan ibu sembari meminta restu. Orang tuaku berpesanuntuk berhati-hati mengerjakan soal, dibaca dulu berkali-kalisebelum menjawab. Jebakan soal itu banyak, pertanyaan yangsepertinya gampang justru malah mengecoh di pilihan jawabanyang hampir sama. Nasihat yang sering kudengar namun kali inibenar-benar mengena di saatku sangat membutuhkan dukungandari orang-orang terdekatku. Keluargaku, orang-orang yang selalumeluangkan waktunya ketikaku benar-benar membutuhkannya.Segala dukungan, pengertian, dan kehangatan, kudapatkansemuanya di rumah ini. Adikku juga ikut menyemangatikusambil berlalu begitu saja."Sukses ye Bang! Moga-moga dapet di UGM! Biar ntarkalo Marwah maen ke Yogya ade yang nemenin!"Celetukan Marwah membuatku terlempar ke hari-harisilam saat aku dan Madun sama-sama ingin keluar dari Jakarta.Kota kelahiran kami telah terasa sumpek dan tak lagi bersahabat.Jakarta sudah milik orang lain. Rencana besar penggusuranAku Malu Jadi Aktivis!28[pernah]daerah kami sudah terdengar sejak lama. Katanya tempat tinggalkami sudah tidak cocok lagi untuk daerah hunian. Pemukimanyang berjejal terhimpit dengan gedung-gedung bertingkat didaerah Sudirman. Ada rencana dari pemerintah kota bahwatempat ini akan digusur dan dijadikan proyek besar kawasanbisnis bergengsi di Jakarta. Ayah yang bekerja di Dinas Tata KotaPemerintah Daerah DKI Jakarta juga sudah mendengarnya dariobrolan selintas sesama pegawai Pemda DKI, namun belum adakejelasan dan kepastiannya apa-apa. Atasan ayah sendiri jugabelum mengajaknya berbicara mengenai rencana tata kota danpembuatan kawasan bisnis bergengsi Jakarta. Namun berita itusudah tersebar luas dari dari mulut ke mulut di tempat kami. Saatpertemuan RW, bapak-bapak ramai mendiskusikannya. Ibu-ibujuga tak mau ketinggalan, sehabis memasak dan menyelesaikanpekerjaan rumah tangga, mereka berkumpul di sekitar gang danmenggosipkannya. Adapun kejelasan beritanya susah untukdipertanggungjawabkan. Petugas Kelurahan yang ditanya jugatidak tahu-menahu. Entah sudah tahu dan disuruh tutup mulutatau memang benar-benar tidak tahu.Madun beruntung, saat lulus SMA ia langsung lulus ujianmasuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima kuliah di FilsafatUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia juga yang lebih dulumewujudkan impiannya saat kami sama-sama berniat kuliah diYogyakarta dan keluar dari Jakarta. Masih terbayang olehku saatMadun berpamitan pada seluruh warga di RT kami.Aku menyalaminya dengan senyum getir sambil berkata,"Tunggu taon depan Dun! Gue pasti nyusul elo di Yogya!"Madun tersenyum mendengarnya dan berkata, "Gue

Page 16: BAHAN BARU

tunggu janji lo Wan! Jangan sampe nggak ye!"Aku Malu Jadi Aktivis!29[pernah]Kini aku harus bisa membuktikan kata-kataku. Janji yangkuucap pada Madun harus bisa kutepati. Berangkatlah aku ketempat ujian. Rasa khawatir akan gagal lagi untuk yang kedua kalitiba-tiba menyelubungi isi kepalaku. Buru-buru kutepis pikiranitu dengan meyakinkan diri bahwa sudah setahun penuhkupersiapkan dan kini tinggal waktuku untuk membuktikannya.Ketakutan itu tak beralasan. Untuk apa takut pada hal-hal yangbelum terjadi? Bukankah sebaiknya justru menghadapi denganberani hal-hal yang sepantasnya tidak perlu ditakuti? Hasilnyabukan urusan kita, manusia. Man purposes, God disposes, tugaskita cuma berusaha, biar Tuhan nanti yang menentukan. Ketikaaku berhasil mengambil keputusan singkat monologku di pagiitu, ruang di hatiku lebih terasa lega. Kuambil motorku yang diparkir di belakang rumah dan langsung menuju ke lokasi.Jam tujuh lewat dua puluh lima pagi, aku sampai di tempatujian. Masih ada waktu tiga puluh lima menit lagi sebelumdimulai. Kucari ruang kelas tempatku ujian, ada di dekat ruangTata Usaha yang menghadap ke lapangan basket. Entah kelasberapa itu di SMA Tujuh Puluh, yang pasti di dalamnya ada duapuluh empat bangku berjejer empat ke samping dan enam kebelakang. Di setiap meja, di tengahnya sudah ditempel kertasdengan kode-kode nomer peserta ujian. Kulihat nomer ujianku,ada di bangku pinggir paling kiri kelas dekat jendela, bangkuurutan ketiga dari depan. Syukurlah, saat mengerjakan soal nantiada pemandangan keluar jendela, meski itu hanya lapanganbasket kosong yang menghadap ke jalan raya.Di dalam kelas ada tiga orang mahasiswa berjaket kuning,satu laki-laki dan dua perempuan. Yang perempuan duduk dibangku dan yang laki-laki berdiri mengitari sambil salingAku Malu Jadi Aktivis!30[pernah]berbicara. Di meja itu ada beberapa bundel amplop coklat besardan tebal, kutahu pasti itu soal-soal ujian. Saat hendak menaruhtas dan menyiapkan alat-alat tulis, aku disuruh keluar. Katanyapeserta ujian baru boleh diperkenankan masuk lima belas menitsebelum ujian dimulai.Aku berjalan keluar ruangan, tas kutinggalkan di bangku.Berjalan terus agak ke pinggir lapangan dengan pandangankuarahkan ke sekeliling sekolah, melihat-lihat siapa tahu ada yangkukenal. Namun yang kuperhatikan hanyalah muka-muka asingyang tak kukenal satupun.Pandangan kupindahkan ke arah pagar sekolah, kulihat adamobil Starlet warna merah marun masuk ke halaman sekolahmenuju tempat parkir. Dari mobil itu keluar seorang perempuanberambut pendek dengan potongan gaya laki-laki berjalan danberhenti di setiap ruang kelas, celingak-celinguk memperhatikannomer-nomer ujian yang dipasang di depannya. Aku langsungmenduga pasti ia peserta ujian juga sama sepertiku. Makin dekatberjalan ke arahku dan tetap memperhatikan nomer-nomer ujianyang dipasang depan kelas. Tiba-tiba ia berseru pelan."Nah ini dia!"Ternyata ia satu ruang tempat ujian denganku. Tak berapa

Page 17: BAHAN BARU

lama ia keluar ruangan, agaknya sama sepertiku, disuruh keluaroleh panitia ujian karena belum waktunya untuk disuruh masuk.Ia keluar ruangan dengan menggerutu lantas lewat di depankudan duduk di bangku taman dekatku berdiri. Hmmm...wanginya.Aku terbius oleh bau harum semerbak wangi parfumnyadan mataku langsung tertuju menatapnya dari belakang.Potongan rambutnya bak laki-laki seperti Demi Moore dalamAku Malu Jadi Aktivis!31[pernah]film Ghost. Memang sejak film itu booming banyak perempuanyang meniru potongan rambut ala Demi Moore, seperti halnyaperempuan yang ada di depanku ini. Bercelana jins biru mudadengan sepatu Converse warna pink, serasi dengan polo shirt-nyayang juga berwarna pink dibungkus sweater warna biru muda.Hari itu memang sedang mendung dan udara Jakarta sedangdingin, aku sendiri masih memakai jaket warna hitam yang sejaknaik motor tadi belum kubuka. Selagi asyik memperhatikannyadari belakang, tiba-tiba ia menoleh ke arahku dan tersenyum.Manis sekali senyumnya."Ujian juga ya?"Ia menegurku duluan dengan sapaan yang sangat wajar.Tapi itu justru membuatku grogi serta salah tingkah karenamemperhatikannya dari belakang tanpa kedip. Aku berusahamewajarkan sikapku yang grogi karena memperhatikannya sedaritadi dan membalas senyumnya sambil menganggukkan kepala.Aku beranjak menghampiri dan duduk di sampingnya."Iya. Sepertinya kita satu ruangan. Kamu duduk di mana?""O ya? Aku kurang tahu duduk di mana, sepertinya dibelakang. Tadi baru mau kulihat sudah disuruh keluar. Katanyasih belum boleh masuk.""Iya, sama. Aku tadi juga disuruh keluar. Mungkin takutkalau kita nyoret-nyoret meja itu buat contekan. Kayak waktuSMA aja, setiap mau ujian meja kelas dicoret-coret dulu buatcontekan, he he he."Ia tersenyum lagi. Deretan gigi yang rapi namun ada satugingsul di sebelah kanan menambah kemolekan wajahnya saatAku Malu Jadi Aktivis!32[pernah]tersenyum. Tanpa sadar aku malah memperhatikan wajahnyayang memang cantik, putih seperti pualam. Mata bulatnyaberbinar indah seperti salah satu lagunya Iwan Fals, 'Mata IndahBola Pingpong', pasti seperti ini rupanya. Hidungnya mancungdan bangir dengan bulu-bulu halus tumbuh di atas bibir yangtersaput lipstick tipis, seperti kumis tipis pada seorang perempuan.Tiba-tiba ia mengagetkan aku lagi dengan sebuah pertanyaan."Kamu baru ujian tahun ini ya?""Lho kok nuduh? Ini ujianku di tahun kedua. Tahunkemarin aku gagal, nganggur setahun, lalu ujian lagi tahun ini.Mudah-mudahan sih diterima.""O ya? Sama dong. Ini juga ujianku di tahun kedua. Tahunkemarin aku juga gagal, trus kuliah di swasta."Belum sempat aku melanjutkan pembicaraan dengan sicantik, tiba-tiba pengawas ujian dari dalam ruangan memberitahubahwa seluruh peserta ujian boleh masuk ke ruangan. Kami

Page 18: BAHAN BARU

berjalan masuk ke ruang kelas dan ternyata ia duduk di deretansebelahku persis. Tiga mahasiswa berjaket kuning itu membagibagikankertas ujian dalam keadaan terbalik lantas memberikanpengarahan. Peserta ujian dilarang menyentuh soal-soal ujiansebelum tanda waktu dimulai. Tepat jam delapan, kami semuadiperbolehkan membuka soal itu lalu mengisinya.Aku membaca soal-soal itu dengan cermat, mengisinyadengan hati-hati, bila tak mengerti baiknya memang tak perludiisi. Bila diisi lantas salah nilainya adalah minus satu, apabilatidak diisi maka nilainya adalah nol dan apabila benar makanilainya adalah empat. Begitu kiranya sistem penilaian dalamujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku asyik mengerjakanAku Malu Jadi Aktivis!33[pernah]soalku dan tanpa sadar waktu berjalan makin cepat. Detik demidetik, menit demi menit dan jam demi jam berlalu, waktu ujianhari pertama telah selesai. Aku berlalu meninggalkan bangku danberjalan menuju pintu keluar kelas. Begitu juga dengan si cantik,ia tersenyum lagi padaku dan kami saling berlalu tanpa sempatberbicara lagi seperti pagi tadi.Hari kedua aku datang lebih awal, jam tujuh kurangsepuluh pagi sudah sampai di lokasi. Sengajaku datang lebih pagiagar waktuku bertemu si cantik bisa lebih awal dan lebih panjang.Aku ingin berbincang-bincang lagi dengannya sebelum ujiandimulai. Kutunggu ia di depan kelas sambil berharap banyak, akubelum tahu namanya, belum juga sempat berkenalan. Namunsampai pengawas ujian mempersilahkan peserta ujian masuk keruang kelas ia masih juga belum datang.Ke mana gerangan?Aku masuk ke ruang ujian, duduk di bangku. Kertas ujianmulai dibagikan, tanda waktu ujian sudah diberitahukan, sicantik belum juga datang. Sampai menit ke sepuluh saat ujiandimulai ia datang tergesa-gesa, melapor ke pengawas ujian atasketerlambatannya, kemudian dibolehkan duduk. Aku sempatmenoleh ke arahnya dan ia tersenyum padaku. Aku balassenyumannya lalu kembali lagi membaca soal-soal ujian.Namun, kira-kira beberapa menit sebelum ujian berakhir,aku dipusingkan dengan salah satu soal Pengetahuan Sosial.Soalnya sepertinya gampang namun pilihan jawabannya itusangat mengecoh. Di soal itu tertulis;Trias Politica adalah sistem pemerintahan yang dianut olehnegara-negara demokrasi, yaitu adanya Legislatif, Eksekutifdan Yudikatif. Seperti halnya Indonesia yang menganut sistempemerintahan:Aku Malu Jadi Aktivis!34[pernah]a. Pemisahan Kekuasaanb. Pembagian Kekuasaanc. Penyeragaman Kekuasaand. Penggabungan Kekuasaane. Penyetaraan KekuasaanSoal itu memang sempat kutinggalkan karena beberapajawabannya yang hampir sama. Ketika kubaca lagi soal itu,kucermati lagi, hampir aku menjawab 'a' karena yang kutahuTrias Politica adalah teori politik yang menerapkan sistem

Page 19: BAHAN BARU

pemisahan kekuasaan secara tegas. Lembaga legislatif, eksekutifdan yudikatif benar-benar dipisahkan kekuasaannya. Aku agakragu menjawab 'a' karena di jawaban 'b' itu adalah pembagiankekuasaan. Pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaanadalah dua kata yang saling berbeda arti. Kuingat-ingat lagi saatsekolah, guruku Pak Singarimbun pernah menceritakannya saatmengajar di depan kelas."Perlu kalian ingat! Trias Politica tidak diterapkan secaramurni di Indonesia karena teori politik yang diajarkan oleh JohnLocke dan Montesquieu penerapannya tidak sesuai dengandemokrasi di Indonesia! Trias Politica itu menganut azaspemisahan kekuasaan! Indonesia menganut azas DemokrasiPancasila yang membagi-bagi kekuasaan menjadi tiga; legislatif,eksekutif dan yudkatif! Ingat! Bukan pemisahan kekuasaan! Tapipembagian kekuasaan!"Ditambahkannya lagi oleh guruku, "DPR sebagai lembagalegislatif yang (katanya) dipilih oleh rakyat, nyata-nyatanya adalahkumpulan sanak-kerabat dari presiden, para menteri dan pejabatpejabatnegara lainnya sebagai eksekutif! DPR bisa menggunakanhaknya secara berlebihan dengan hak interpelasinya pada menteri,Aku Malu Jadi Aktivis!35[pernah]pejabat tinggi bahkan presiden secara langsung langsung! Hal inidilakukan untuk menginterogasi dan mengkonfrontasipertanggungjawaban kekuasaan eksekutif! Cara ini jelas-jelasintervensi kekuasaan yudikatif! Belum lagi tindakan eksekutifyang semena-mena terhadap kebijakan bernegara, keputusan yangdiambil sering berseberangan dengan kepentingan rakyat! Rakyatbingung sebab DPR bisa menjadi lembaga yang paling berkuasakarena bisa saja menjadi jaksa dan hakim, memeriksa orang yangperlu diperiksa! Pemerintah kita juga tak memihak rakyat tapikonglomerat! Hukum membela yang kuat dan yang lemahdiperdaya! Inilah Indonesia! Banyak ketidakjelasannya!"Pak Singarimbun berbicara lantang dan berapi-api di depankelas mengenai Trias Politica. Kata-katanya yang keras danmenggelegar memenuhi seluruh isi ruangan. Saat beliau mengajartak ada yang berani melakukan aktivitas lain selain mendengarkansaja. Guruku ini galaknya minta ampun, ia tak pernah suka saatberbicara ada yang tak mendengarkan. Di ruang guru juga iasering berbicara mengenai kehidupan politik di Indonesia padaguru lainnya. Mereka yang sangat mengenal karakter PakSingarimbun hanya termanggut-manggut, entah setuju ataucapek dengan pembicaraan yang tak ada penyelesaiannya.Kasihan guruku ini, omongan dan kritikannya tak pernah sampaike tingkat penyelenggara negara karena ia cuma seorang guru.Apapun yang dibicarakannya hanya bisa menghujam langung kepemikiran murid-muridnya atau sesama rekan guru lainnya.Sepertiku sekarang, kata-katanya yang keras itu langsungmenghujam ke otak ini dan terekam dengan jelas di sana.Dari situ aku dengan sangat yakin menjawab 'b' yaitupemisahan kekuasaan. Kuisi dengan hati-hati jawaban 'b' diAku Malu Jadi Aktivis!36[pernah]kertas ujian. Itu soal terakhir yang kujawab karena pengawasujian memberitahukan bahwa ujian telah selesai. Ketika

Page 20: BAHAN BARU

merapihkan lembaran kertas jawaban dan soal di meja, akumenengok ke bangku si cantik, ia sudah tidak ada di tempat.Berarti ia keluar lebih dulu dan aku tak sempat melihatnya. Adasedikit rasa penyesalanku karena tak sempat mengetahuinamanya. Tapi sudahlah, pertemuan singkat itu hanya ada ditempat ujian. Kalaupun kutahu namanya juga buat apa? Belumtentu kubisa bertemunya lagi. Tujuanku datang ke tempat iniadalah untuk ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, bukandengan tujuan yang lain.* * * * *Alhamdulillah, ujian masuk Perguruan Tinggi Negeritahun ini dapat kulalui dengan baik. Sebagian besar soal kujawabdengan sangat yakin akan kebenaran jawabannya berkatkontemplasiku selama satu tahun membolak-balik lagi semuabuku pelajaran SMA, bukan dengan keyakinan buta yang asaltebak dan asal tembak. Saat menjawab soal, apa-apa yang kubacadan kupelajari sebelumnya seperti tergambar di depan mata danmemudahkanku mengisi jawabannya.Tak seperti tahun lalu, soal-soal kujawab sekenanya. Akujuga lebih banyak bingung dan melongo karena banyak yang takkumengerti. Saat itu aku memang tanpa persiapan, seperti tentarayang berperang hanya menggunakan pisau belati. Jelas-jelas akubukan Rambo, kisah fiksi veteran perang Vietnam yang berperangmelawan Vietcong dengan senjata seadanya. Aku butuh amunisisuper lengkap untuk menghadapi perang ini. Bila tidak, bukanlagi babak belur yang kualami, aku bisa tewas seketika di medanperang.Aku Malu Jadi Aktivis!37[pernah]Itu sudah terbukti di tahun kemarin, kegagalanku di tahunpertama ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri memangmenyakitkan. Setahun aku jadi pengangguran. Waktu setahun ituaku jadikan materi kontemplasi menghadapi dua hari ini, ujianyang akan menentukan langkahku di masa depan.Satu bulan lagi aku tinggal menunggu hasilnya. Semogaperjuanganku kali ini tak sia-sia.Aku Malu Jadi Aktivis!38[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!39[pernah]ManggaraiHari-hari kulewati sambil tetap menggambar kartun danmengirimkannya ke media cetak. Bila dulu ada empat orangteman kreatif yang sama gilanya terhadap eksplorasi kartun, kinisemuanya kulalui sendiri. Pun bertambahnya teman-temankreatif sejak KALEM dibentuk, tetap saja ada yang kurangsepeninggal Agung, Erwan, Hari dan Edi. Sejak lulus SMA, sejakkeempat sahabatku berpencaran, tak ada lagi yang memotivasiteman-teman kreatif di KALEM dengan ide-ide gilanya. Agungdan Edi kuliah di luar Jakarta, jelas sulit untuk diajak sepertidulu. Namun Erwan dan Hari yang kuliah di Jakarta sepertinyasudah kehilangan semangat mengartun seperti dulu. Ajakankuuntuk berkreatif lagi selalu ditampiknya. Tidak sempat, tidak adawaktu dan banyak tugas kuliah yang keteter bila mengartun lagi.

Page 21: BAHAN BARU

Mereka malah bilang untuk sementara waktu berhenti mengartunsampai waktu yang tak ditentukan, sampai punya lagi waktuluang yang banyak.Satu lembar memori tercerabut dari buku kenangankubersama mereka. Romantisme masa lalu mengurungku dalambayangan masa silam. Entah aku yang sentimentil atau tak pandaimenyikapi diri bahwa masa lalu itu tak bisa disamakan denganwaktu sekarang. Kata mereka, ketika kita kuliah, beban tanggungjawab jadi lebih berat. Sepertinya aku yang sulit mengerti karenamemang belum bisa kuliah seperti mereka.Bila dulu banyak waktu berkreatif bersama kini sudah takada lagi. Waktu terasa semakin sempit dan semakin sulit untukdiajak untuk berkompromi. Banyak hal yang tak mampudikerjakan bersama dan waktu itulah yang dikambinghitamkan.Aku Malu Jadi Aktivis!40[pernah]KALEM mati karena tak ada yang mengurusi. Temantemanbaru di organisasi ini juga kehilangan penyemangatkreatifnya. Dalam kondisi begini aku tak bisa jadi api yangmembakar semangat mereka karena nyala apiku sendiri makinmengecil. Sendirian aku berusaha bangkit dan berdiri lagi darihal-hal yang bisa membunuhku secara perlahan, keputusasaanyang ingin menjadi kawan karibku. Keputusasaan itu juga yangkini banyak mengisi hari-hariku. Untuk berbalik memusuhinya,aku memompa motivasi di diri ini dengan sisa-sisa keyakinanakan kemampuanku yang belum dieksplorasi.Kenyataan menjadi pengangguran memang menyakitkan.Malu pada kondisi yang tak produktif, malu minta uang padaorang tua dan malu bila pada kenyataannya aku cuma jadi bebanmereka di antara usia yang harus memilih, bekerja atau kuliah.Masa menganggurku, masa menungguku, hanya bisa kuisidengan tetap mengartun. Setidaknya dari sini aku bisa mendapatuang honor kartun dan tidak meminta-minta pada orang tua.* * * * *Tak terasa sudah satu bulan aku melewati ujian masukPerguruan Tinggi Negeri. Besok adalah waktu diumumkannyahasil itu serentak di seluruh Indonesia. Aku kelewat tak sabarmenantinya. Gelisah, khawatir, keingintahuan akan hasil ujiankuditerima atau malah gagal lagi makin memenuhi rasaku. Daripadaperasaanku makin tak karuan dan tak tenang, sendirian tak jelaskarena menunggu kepastian itu, aku memutuskan pergi ke rumahUwak Sanusi di Manggarai untuk menginap di sana. Sudah lamaaku tak berkunjung.Aku pamit pada ibu sambil mencium tangannya, "Nyak,Wani nginep di rumeh Wak Uci ye. Udeh lama Wani nggakAku Malu Jadi Aktivis!41[pernah]maen ke sono. sekalian besok mau ngeliat pengumuman dariManggarai aje.""Ya udeh ati-ati! Daerahnye Wak Uci entu sering ribut.Awas aje! Pokoknye enyak nggak mau lagi ngedenger Wani ikutikutanberantem kalo ade di sono!""Nggak kok Nyak. Lagian juga ngapain ribut sama bukandaerah sendiri. Udeh ye Nyak, Wani permisi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam"

Page 22: BAHAN BARU

Aku ambil motorku di belakang dan berangkat ke rumahkakak pertama ayahku. Di perjalanan kumemikirkan Manggaraiyang selalu berkelahi dengan daerah lain di sekitarnya. Sudahbertahun-tahun daerah tempat uwakku tinggal selalu saja tawurandengan Jalan Tambak, Paseban, Kebon Manggis, Matraman danBerlan. Penyebab tawurannya bermacam-macam, biasanya hal-halyang sepele, masalah harga diri yang tak pasti. Awalnya dari salinglihat-lihatan, melotot kemudian adu otot. Ada juga karena takterima warganya diganggu oleh daerah lain, saling ejek, salingmencela, lalu berkelahi. Ada juga karena faktor kriminal.Daerahnya kecurian, lantas saling tuduh, Daerah yang dituduhtak diterima dibilang maling, lalu beramai-ramai menyerbudaerah yang menuduh itu.Aku pernah satu kali ikut tawuran Manggarai dengan JalanTambak gara-gara Nurul, sepupuku anak Uwak Sanusi, digangguoleh anak-anak Jalan Tambak. Pulang sekolah Nurul digoda,layaknya laki-laki yang menggoda perempuan karena inginberkenalan, meski cara ini norak sekali. Sepupuku disapa denganpanggilan hai-hai, ia diam tak menjawab. Kemudian didekati,diajak bicara dengan bahasa yang melecehkan. Anak uwakku iniAku Malu Jadi Aktivis!42[pernah]marah, yang menggoda malah tertawa dan berani-beraninyamenyolek sampai menepuk pantatnya. Yang menggoda ituditampar sambil dimaki-maki. Teman-temannya tak terima,lantas ikut-ikutan melecehkan. Habis sudah Nurul jadi bulanbulananmereka, dicolek-colek lengannya, kakinya, jugapantatnya. Sepupuku pulang ke rumah sambil menangis. Dirumah ia ceritakan semuanya pada Fahrul, saudara kembarnya.Fahrul marah besar, tak terima saudaranya diperlakukan taksenonoh oleh orang lain. Ia kumpulkan semua temannya diManggarai untuk menyerbu Jalan Tambak. Aku yang saat itu adadi sana juga ikut diajak tawuran. Malamnya Jalan Tambakdiserbu Manggarai dan lempar-lemparan batu tak bisa dihindari.Polisi datang dan mencoba melerai, namun gilanya aparatkeamanan tak dianggap sama sekali, hujan batu tetap sajamenderas. Sampai akhirnya gas air mata ditembakkan polisi,tawuran baru berhenti.Kabar ini menyebar ke seluruh Manggarai. Uwak Sanusimemerah mukanya begitu tahu Fahrul, aku dan teman-temanlain berkelahi dengan anak-anak Jalan Tambak. Dikumpulkannyakelompok Manggarai yang dipimpin Fahrul, dimarahinya merekatermasuk aku."Mau pade jadi ape udah gede-gede begini masih padeberantem?! Masalah ape yang bikin elo-elo pade nyerang JalanTambak?! Masalah ape! Hah!""Itu Beh, Nurul lewat di situ digodain sama anak-anakJalan Tambak! Kurang ajarnye sampe nepok pantat Nurul segale!Babe terima nggak anaknye digituin sama orang laen? Nggak kan?Nah Fahrul ngajakin anak-anak nyerang Jalan Tambak! Wajardong Beh! Lah Fahrul salah di mane?!"Aku Malu Jadi Aktivis!43[pernah]Fahrul membela diri, tak terima disalahkan begitu saja olehayahnya. Menurutnya cara itu adalah untuk membela adiknya

Page 23: BAHAN BARU

yang dilecehkan oleh anak-anak Jalan Tambak."Salah elo itu, nggak liat dulu siape yang lo serbu! Udehtanya sama Nurul belom siape aje yang gangguin die? Ade berapeorang? Muke-mukenye pade kayak ape? Inikan sama aje elo-elopade bekelai ngandelin emosi doang, otak nggak dipake! Babejuga nggak terima Nurul digituin! Tapi cara begini sama aje bikinrunyam masalah! Jauh lebih baek diselidikin dulu, trus samperinanak-anak yang gangguin Nurul. Lo pade ajak bekelai deh tuh,bukannye maen asal timpuk gitu aje! Masih untung elo-elo padenggak di penjara gara-gara tawuran!"Dan Uwak Sanusi pun mengadu pada ayahku, habis sudahaku dimarahi karena ikut-ikutan tawuran. Tak heran setiap akumain ke rumah Uwak Sanusi, ibu selalu mewanti-wanti akuuntuk tidak ikut-ikutan berkelahi.Sesampainya di Manggarai, di kediaman Uwak Sanusi, didepan rumah aku bertemu Tante Mutia sedang menyiram bunga.Aku cium tangannya dan langsung memasukkan motorku kepelataran. Sejak aku kecil tanteku ini memang tak mau dipanggildengan sebutan Uwak karena bukan orang Betawi. Ia memintakami keponakan-keponakannya memanggil dengan sebutan yangumum, tante. Tante Mutia orang Palembang, menikah denganUwak Sanusi lantas punya empat anak, Bang Helmi, Fahrul danNurul yang kembar lahir beda empat menit, terakhir si bungsuRahmat. Fahrul dan Nurul itu seusia denganku, hanya selisih satutahun. Faktor saudara dan usia yang sebaya itulah yang membuatkedekatan kami sudah terjalin lekat sejak kecil.Aku Malu Jadi Aktivis!44[pernah]Di dalam rumah aku cuma bertemu Rahmat. Uwak Sanusipasti belum pulang kerja, Bang Helmi juga pasti masih kuliah,Fahrul dan Nurul juga tak kutemui."Sepi amat rumah. Bang Fahrul sama Mpok Nurul kemane Mat?""Bang Fahrul nggak tau ke mane. Mpok Nurul lagi kerumah temennye di Tebet. Ntar sore juga paling udeh pulang.""Ya udeh, Bang Wani tungguin aje ye."Aku tunggui Nurul dan Fahrul sambil membakar rokokkudi beranda depan. Belum habis rokok kuhisap, tak berapa lamaNurul tiba."Eh, ade Wani. Kapan dateng?""Baru aje kok. Nurul dari Tebet ye?""Iye. Kok tau?""Tadi dibilangin Rahmat."Nurul menyapaku dengan senyuman khasnya yang manis.Memang cantik sepupuku ini, paduan silang Betawi denganPalembang. Kulitnya putih seperti orang Cina dengan rambutpanjang menjuntai sampai ke punggung. Tak heran bila lewat diantara kumpulan orang yang nongkrong, Nurul selalu sajadigoda. Aku dan Fahrul sudah sering mengingatkannya agar tidaklagi lewat di tempat orang yang sedang nongkrong, takut kejadiandi Jalan Tambak itu terjadi lagi."Eh Nurul, besok kan pengumuman ujian masukPerguruan Tinggi Negeri nih. Elo ngambil apaan?"Aku Malu Jadi Aktivis!45[pernah]

Page 24: BAHAN BARU

"Ambil Akuntansi UI. Tapi Nurul sih nggak ngarepin. Taubanget deh kalo saingannye berat-berat. Lagian Nurul juga udehditerima di Akuntansi Trisakti. Fahrul juga udeh diterima di SipilTrisakti. Kuliah di negeri atau swasta sama aje Wan, tergantungkitenye aje bisa ngikutin ape nggak. Tinggal elo nih, gimane? Eloitu maksain diri banget sih pengen banget kuliah di negeri sampenganggur segala. Udeh siap belom kalo besok nggak diterima?Ntar nganggur lagi lho, he he he.""Ye Nurul! Doanye jangan jelek gitu kenape! Doain ajebesok gue diterima! Elo sama sodara gitu banget sih!""Iye, iye, maap... Elo belakangan sejak nganggur jadisensitif amat ye, he he he. Eh, ngobrolnye di dalem aje nyok,udah mau maghrib nih."Aku dan Nurul masuk ke dalam rumah, menunggumaghrib. Sebelum matahari tenggelam, Fahrul juga sudah pulang.Begitu Azan Maghrib berkumandang, aku dan Fahrul pergi keMasjid untuk shalat berjamaah.Aku Malu Jadi Aktivis!46[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!47[pernah]PengumumanPagi-pagi sekali aku sudah bangun. Tante Mutia malahsudah melek dari tadi dan sibuk di dapur. Uwak Sanusi sudahmandi, berpakaian rapi dan bersiap-siap hendak ke Masjid.Fahrul berjalan limbung ke kamar mandi, masih berjuang kerasmelawan kantuk, mengumpulkan kesadarannya yang masihberkeliaran, belum menyatu dengan tubuhnya. Bang Helmi danNurul masih saja terlelap meski sudah berkali-kali dibangunkanibunya, Begitu Azan berkumandang, Uwak Sanusi mengajakkudan Fahrul pergi ke Masjid untuk Shalat Shubuh berjama'ah.Di Masjid, saat imam mengucapkan takbir, pikirankumakin tak karuan menunggu kepastian pengumuman ujian hariini. Akankah menganggur lagi seperti kemarin atau kuliah diswasta bila tidak diterima. Tapi buru-buru kutepis pikiran itu,bila shalat aku masih juga memikirkan hal-hal seperti ini,shalatku pasti tak khusyu'. Bukankah ketika shalat, sudahseharusnya jiwa, raga bahkan pikiran kita serahkan pada SangPemilik Semua Jawaban? Saat takbir kuucap untuk memulaishalat, kupasrahkan semua kepada-Nya. Apapun hasilnya, itupasti hal terbaik untukku yang telah dipilihkan oleh-Nya.Selesai shalat, aku tak langsung masuk ke dalam rumah.Kuingin pergi ke agen koran seberah jalan membeli surat kabaryang memuat pengumuman hasil ujian masuk Perguruan TinggiNegeri. Uwak Sanusi menyarankanku untuk menunggu sajakoran langganan yang diantar ke rumah."Sabar dulu kenape Wan. Jam enem juga udeh dateng tuhkoran, elo bisa puas-puasin deh melototin nama yang ade di situ."Aku Malu Jadi Aktivis!48[pernah]"Bukan begitu Wak, Wani pengen ngeliat sendiri, nggakmau diganggu Nurul, apalagi die nih, si tukang nyela! Rese' abis!"Fahrul tertawa melihatku seperti itu."Ya udeh Wan, ntar gue temenin deh ngeliatnye. Kalo elo

Page 25: BAHAN BARU

nggak diterima lagi kan bisa gue cela, ha ha ha."Kularang Fahrul ikut, tapi tetap saja ia menggoda sepertitak mengerti perasaanku menunggu hari ini dengan berharapsangat banyak. Di agen koran, kubeli satu surat kabar,membacanya di tempat sembari mengucap Basmalah berkali-kali.Saat masuk ke lembar halaman pengumuman hasil ujian masukPerguruan Tinggi Negeri, tanganku gemetaran, kutelusuri satudemi satu deretan nama yang terpampang di situ, sampaiakhirnya...Aku menemukan namaku tertulis jelas di situ!"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. AKU DITERIMA!"Aku Malu Jadi Aktivis!49[pernah]464545464545, nomer yang tertera di koran pengumuman ujianmasuk Perguruan Tinggi Negeri. Enam digit nomer terakhir dibagian belakang yang tertulis jelas di samping namaku. Nomeryang sedang kusiapkan untuk mendaftar ulang di kampus yangakan kumasuki nanti. Nomer itu adalah kode untuk AkuntansiUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Jangan tanya kenapa kupilih jurusan ini. Selain pilihanfavorit hampir setiap lulusan SMA, akuntansi adalah ilmu praktisyang (katanya) gampang mencari kerja. Aku manut saja ketikabanyak yang bilang seperti itu. Alhamdulillah kontemplasikuselama satu tahun membuahkan hasilnya juga, aku diterimakuliah di universitas tertua negeri ini.Ayah dan ibu senangnya bukan main mendapat kabar akululus ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, Marwah juga senang,bila ia main ke Yogya nanti ada yang menemani.Sayangnya, di ujian masuk Perguruan Tinggi NegeriFahrul dan Nurul tidak diterima. Tapi setidaknya ia sudah lulusujian masuk Perguruan Tinggi Swasta. Keluarga Uwak Sanusimenyelamatiku dan lagi-lagi Fahrul dan Nurul mengatakan halyang sama seperti Marwah, senangnya bila main ke Yogya adayang menemani.Sebelum berangkat ke Yogya, kusiapkan semua dokumenyang dibutuhkan untuk mendaftar ulang seperti ijazah SMA,kartu ujian, beberapa pas foto juga sekian lembar meterai. Bahkansudah kusiapkan pula Surat Keterangan Pindah Sementara darikelurahan untuk pembuatan Kartu Identitas Penduduk Musiman(KIPEM) di Yogyakarta, juga Surat Keterangan Kelakuan BaikAku Malu Jadi Aktivis!50[pernah]dari Kepolisian bila dibutuhkan. Beberapa pakaian dan peralatanmenggambar kubawa serta. Tak cuma itu, beberapa perlengkapanfotografi milik ayah ikutan kuboyong.Ayahku meski bukan fotografer profesional tapi punya tigakamera, Nikon FM2, F2 dan F3. Belum lagi puluhan lensanya,tripod saja ada empat. Entah untuk apa peralatan fotografisebanyak itu. Kata ayah berguna untuk memotret bangunan yangia temui saat berkeliling Indonesia atau tugas ke luar negeriberkaitan dengan pekerjaannya di Dinas Tata Kota DKI Jakarta.Untuk bahan studi komparasi katanya. Kesukaan ayah memotretitu juga yang sering menjadikan keluarganya sebagai objek foto,ibu, aku dan Marwah tak luput dari bidikannya. Saat di bangku

Page 26: BAHAN BARU

SMP aku mulai tertarik untuk belajar menggunakan kamera.Beda dengan Marwah, senangnya hanya difoto, tak berminatsedikitpun belajar menggunakannya. Dari sini pula hobiku jadibertambah memotret selain menggambar. Saat mempersiapkanbarang bawaan sebelum berangkat ke Yogya, aku minta salah satukamera, beberapa lensa dan satu buah tripod milik ayah. Akudiizinkan membawa kamera Nikon FM2, beberapa lensa dan satutripodnya. Ayahku bilang F2 dan F3 jangan dibawa karena itukamera profesional, harganya juga mahal. Bila rusak, reparasinyahanya ada di Jakarta.Sebelumnya, di hari saat diumumkannya hasil ujian masukPerguruan Tinggi, aku langsung menyurati Madun dan Agungdengan kilat khusus untuk menjemputku di Stasiun Tugu.Setidaknya biar aku tak terlalu tampak bodoh di Yogyakartakarena kota itu memang belum banyak kukenal.Malam hari sebelum berangkat, kuikuti ritual yang pernahdilakukan Madun pada tetangga-tetangga di RT, berpamitan mauke Yogya untuk kuliah di sana. Sebagian besar mereka yangAku Malu Jadi Aktivis!51[pernah]mengerti kedekatanku dengan Madun selalu mengatakan bahwakami memang tak bisa dipisahkan, sudah bersama sejak daridalam kandungan, saat ibuku dan ibunya Madun mengandungkami. Lahir di rumah sakit yang sama, tempat bersalin yangbersebelahan dan kelahiran yang hanya beda beberapa jam,Madun lahir lebih dulu sebelum shubuh sekitar jam empat pagi,aku jam enam lewat. Bukan cuma itu, sekolahpun kami selalubersama, dari TK, SD, SMP, SMA, kini kuliahpun lagi-lagi jugadi kampus yang sama. Saat aku berpamitan ke rumahnya, Ibusahabatku menitipkan sesuatu untuk anaknya."Wani, Enyak nitip dodol Betawi buat Madun ye, soalnyeini kedoyanannye Madun. Di Yogya pasti nggak ade. Enyak titippesen juga buat kalian bedua, saling ngejaga, saling ngebantu ye!Yang namanye temen dari orok, kalian bedua itu udeh kayaksodare, emang kudunye pade-pade saling ngejage!""Iye Nyak. Ntar Wani sampein titipannye ke Madun.Wani pamit ye, besok pagi Wani berangkat ke Yogya."Hari Senin adalah jadwalku mendaftar ulang sebagaimahasiswa baru di Universitas Gadjah Mada. Minggu pagi usaiShalat Shubuh kusudah berangkat meninggalkan rumah. Ayahmenyalamiku layaknya laki-laki dewasa bersalaman. Ibu memelukdan mencium pipiku. Lain halnya dengan Marwah, ia malahmeninju lenganku."Babe pesen, Wani kudu jaga diri baek-baek, kuliah yangbener, jangan sampe ngegambar kartun bikin lupa belajar! Awasaje kalo nilainye sampe jeblok! Kalo Wani ketauan kayak gitu,mending nggak usah kuliah sekalian! Babe modalin aje jadiseniman di Pasar Seni Ancol, mau?!"Aku Malu Jadi Aktivis!52[pernah]"Inget kate Babe Wan, belajar yang bener. Enyak juga nitipsalam buat Madun. Kalian bedua udeh nggak enyak beda-bedainmane anak sendiri mane anaknye tetangge, udeh lebih kayaksodare sedarah, jadi kudu saling bantu kalo ade kesusahan.""Inget ye Bang, kapan-kapan Marwah pasti maen ke

Page 27: BAHAN BARU

Yogya, Bang Wani kudu nemenin Marwah nganterin ke manemane!Awas kalo nggak!"Kehangatan ini yang membuatku menitikkan air mata.Meski saat ini aku akan berangkat dan belum meninggalkannya,tapi rindu itu sudah ada. Kerinduan yang makin tebal danmenyelimuti seluruh perasaan ini. Keharuan akan keluargaku ituyang akan kubawa ke Yogyakarta. Pesan-pesan mereka selalukuingat dan kujaga baik-baik.* * * * *Aku naik Kereta Api Fajar Utama dari Gambir. Kira-kirajam delapan pagi kereta berangkat. Bangku kereta itu duduknyasaling berhadapan dan aku dapat di dekat jendela, membelakangiarah laju kereta. Duduk di sampingku persis seorang laki-laki buleyang sedang memegang buku, di depanku juga seorangperempuan bule dengan anaknya yang berusia sekitar tujuhtahunan. Sepertinya mereka keluarga turis yang hendak berwisatake Yogyakarta. Aku tersenyum pada mereka sembari menaruhcarrier dan bawaanku di tempat barang di atas tempat duduk.Merekapun membalas senyumku.Aku duduk sambil pikiran ini menerawang. Apa yang akankutemui di Yogya nanti? Seperti apa rasanya sekolah jauh dariorang tua? Segala masalah akan kuhadapi seorang diri. Tak adaayah tempatku bertanya segala sesuatu, tak ada ibu tempatkuAku Malu Jadi Aktivis!53[pernah]mengadu, juga tak ada Marwah yang selalu mengganggukunamun selalu kurindu adikku tersayang itu."Hai... Mau ke Yogyakarta?"Orang di sampingku menegurku dengan sapaan yanghangat dan Bahasa Indonesia yang kaku. Aku sangat memaklumikalau di sampingku ini orang bule, pasti Bahasa Indonesianyajuga belum fasih benar. Kubalas sapaannya dengan BahasaInggris."Yup. I wanna go to Yogyakarta.""Tidak, tidak. Bicara Bahasa saja. Saya cukup fasih bicaraBahasa."Orang di sampingku menolak aku menjawab tegurannyadengan Bahasa Inggris, meski aksen Bahasa Indonesianyaterdengar janggal karena banyak sengau, seperti bule kebanyakanyang berbicara Bahasa Indonesia. Jauh lebih baik bila ia berbicaraBahasa Inggris dan jadi kesempatanku untuk melancarkannya.Entah bagaimana tiba-tiba aku dapat ide mengajaknya berbicaradalam dua bahasa yang berbeda."Ehm... How about this, We talk in two different language, Ispeak in English, you speak in Bahasa. Agree?""Agree! Papa, You do speak Bahasa but I don't. So doesSuzanne. Right Suzanne?"Tiba-tiba perempuan bule di depanku menyelakpembicaraan kami, ia tak bisa bicara Bahasa Indonesia, juga anakkecil di sampingnya yang hanya mengangguk-angguk. Akhirnyakami sepakat untuk berbicara dalam dua bahasa berbeda tapiAku Malu Jadi Aktivis!54[pernah]saling mengerti. Dari percakapan itu aku jadi tahu kalau merekamemang satu keluarga. Ayahnya bernama Philippe, ibunya

Page 28: BAHAN BARU

bernama Jacqueline dan anaknya bernama Suzanne.Perjalanan Jakarta-Yogyakarta yang lumayan lama jadi takterasa dengan adanya mereka. Hanya Philippe dan Jacquelineyang aktif bertanya-tanya padaku tentang Indonesia, tidak denganSuzanne, ia asyik dengan dunianya sendiri. Sesekali berbicaradengan ayah dan ibunya, berjalan-jalan menyusuri gerbongkereta, membeli beberapa penganan yang dijajakan oleh pedagangyang menyeruak masuk ketika kereta istirahat di StasiunPurwokerto. Lucunya, penganan itu tak dimakannya malahdiberikan padaku."This is for you Wani, hope you like it.""Thank you Suzanne, You're very kind."Kelakuannya itu jelas membuat orang tuanya tersenyum.Aku senang saja, apalagi diberi oleh gadis kecil seperti Suzanne.Kereta berhenti cukup lama di Stasiun Purwokerto, putriPhilippe dan Jacqueline ini diam-diam keluar kereta lalu berjalanmenuju area stasiun. Ibunya panik melihat Suzanne dari jendelakereta, berlari-larian ke sana kemari sambil sesekali bercandadengan pedagang penganan. Dikejarnya gadis manis berambutpirang itu, ditegurnya dengan tegas kenapa keluar dari gerbongkereta tanpa memberitahu orang tua. Bagaimana bila keretameninggalkan Stasiun Purwokerto dan Suzanne tertinggal disana? Sebagai hukuman, ia disuruh duduk di dekat jendeladengan tangan di paha dan tak boleh banyak bergerak. Suzannemenggerutu namun tetap melaksanakan hukuman itu.Kebosanan berjam-jam di dalam kereta itu yang membuatnyaAku Malu Jadi Aktivis!55[pernah]bertingkah laku aneh. Tapi namanya anak-anak, di mana jugatetap sama, aku saja bosan di dalam kereta demikian lama.Untuk menghilangkan kebosanan, kuambil Nikon FM2dari tas kamera dan kupotret pemandangan di luar kereta. TibatibaSuzanne menarik lenganku, memintaku untuk memotretnya.Aku tersenyum dan kupotret dia sembari memintanya berposeseperti yang kukehendaki. Bak foto model, ia mengikuti arahangayaku. Beberapa frame film kuhabiskan untuk memotretnya.Selesai itu sepertinya Suzanne tak puas, ditarik lengan ayahnyadan memintanya memotret kami berdua. Aku geleng-gelengkepala melihat anak manis nan superaktif ini. Kamera kuberikanpada Philippe dan kuberitahu cara memotret dengan kamera SLR(Single Lens Reflect)."Tak perlu Wani, saya tahu cara menggunakannya, saya inijournalist, jadi saya tahu menggunakan kamera ini."Jurnalis? Berarti Philippe itu wartawan? Sehabis berpotretdengan Suzanne, aku bertanya kepadanya."Sure, you are a journalist, Philippe? Is Jacqueline too?"Jacqueline memotong sebelum Philippe menjawab."No. I'm just a mother of this little kid. Her father is ajournalist."Aku bertanya lagi."So, in what media you work for, Philippe?""Saya wartawan di Asia News Magazine. Saya ingin menulistentang culture Indonesia. Karena Bali sudah banyak yangmenulis, saya ingin menulis tentang Yogyakarta saja."Aku Malu Jadi Aktivis!56

Page 29: BAHAN BARU

[pernah]"Why you wanna write about Yogyakarta? I think the cultureof Yogyakarta is quiet often in many articles about Indonesia. Howabout Jakarta? Have you researched about Jakarta? The culture andthe society? Betawi? Have you heard about that? It's very interesting, Ithink."Aku agak kecewa dengan pendapat beberapa turis yangdatang ke Indonesia. Kenapa tempat-tempat yang menarikperhatian mereka itu selalu saja Bali dan Yogyakarta? Sudahbanyak orang bule yang menulis tentang Yogyakarta apalagi Bali,tempat itu juga yang sering menjadi inspirasi para seniman danpenulis luar negeri. Tapi kenapa sedikit orang bule yangmengeksplorasi budaya Betawi dengan Jakartanya?Aku berusaha memahami bahwa Jakarta sama seperti kotakotabesar lainnya di seluruh dunia. Kebudayaan yang tertutupoleh kesibukan warganya. Jakarta yang macet, Jakarta yang penuhpolusi dan Jakarta yang tak bersahabat, kerap menutup mata turismancanegara akan keindahan tersembunyi dari kebudayaanBetawi dengan Jakartanya. Yang dilihat dan dihamparkan didepan mata dari tempat asalku ini selalu saja kota besar yang saratdengan kekerasan. Tramtib yang mengangkut paksa pedagangkaki lima karena berjualan sembarangan, preman yang memeraspara pedagang, copet yang berkeliaran di pasar dan pusat-pusatperbelanjaan, belum lagi tawuran antar pelajar di jalan rayaibukota. Selalu itu-itu saja.Aku berusaha memahami Philippe ketika mengatakanpadaku bahwa keraton Yogyakarta punya daya tarik yang kuatuntuk dikunjungi turis-turis mancanegara. Budaya masyarakatJawa yang kuat dengan unsur paternalistik itulah yang menarikbanyak orang untuk mempelajarinya, sebagaimana PhilippeAku Malu Jadi Aktivis!57[pernah]tertarik mengeksplorasinya dalam sebuah tulisan. Namun ketikaaku menceritakan tentang masyarakat Betawi, Philippe danJacqueline tertarik untuk mendengarkan. Tidak dengan Suzanneyang masih dalam masa hukuman tak boleh banyak bergerak, iahanya bersiul sendiri sambil sesekali bernyanyi dengan pandanganmata keluar jendela.Aku menceritakan pada mereka bahwa orang Betawisebagai penduduk asli Jakarta itu adalah hasil kawin campur daribanyak suku. Kebudayaannya sendiri juga bentukan daricampuran banyak budaya.Jauh sebelumnya di abad ke-6 masehi, orang-orang yangtinggal di tempat ini awalnya adalah orang Sunda yang berasaldari kerajaan Tarumanegara, kemudian berdasarkan manuskripnaskah Wangsakerta, Kerajaan Tarumanegara digantikan olehKerajaan Sunda. Tempat ini juga diberi nama Sunda Kelapakarena penduduknya yang orang Sunda dan tinggal di pesisirpantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Sunda Kelapatumbuh dan berkembang menjadi kota pelabuhan yang sibuk.Banyak pedagang dan pelaut dari mancanegara yang singgah ketempat ini, seperti dari Cina, Gujarat juga Parsi. Beberapa darimereka menetap dan menikah dengan penduduk setempat.Sampai kemudian kerajaan lain melihat potensi besar dari SundaKelapa, berusaha untuk menaklukkannya, seperti KerajaanCirebon, Demak dan Palembang Darussalam. Namun di abad

Page 30: BAHAN BARU

ke-16, Raja Sunda, Surawisesa sempat meminta bantuan Portugisuntuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa dari serbuan kerajaanlain. Belum sempat benteng terbentuk, lewat Fatahillah denganpasukan dari Kerajaan Demak, Sunda Kelapa ditaklukkannyatanggal 22 Juni 1527. Fatahillah menyebutnya sebagai 'Jayakarta',yang artinya kemenangan. Di sinilah awal mulanya nama Jakarta.Aku Malu Jadi Aktivis!58[pernah]Di tanggal itu pula, setiap 22 Juni di setiap tahunnya selaludiperingati sebagai ulang tahun kota Jakarta.Kemudian di akhir abad ke-16, banyak orang Belanda yangdatang ke tempat ini karena ketertarikannya akan perdagangan.Namun pada tahun 1619, VOC (Vereenigde OostindischeCompagnie) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yangdipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen dengan serakah menguasaiJayakarta. Ia lalu mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia,berasal dari kata Batavieren, salah satu nama suku bangsa yangtinggal di tepi Sungai Rhein antara Belanda dan Jerman. Coensendiri melihat penduduk Sunda Kelapa hidup dekat dengandengan kali Ciliwung yang saat itu masih jernih, tak sepertisekarang yang kotor dan berbau. Orang-orang Jayakarta sulitmengeja kata Batavia, mereka malah menyebutnya dengan'Betawi'. Dari sinilah awal sebutan untuk penduduk asli Jakarta.Adapun penduduk Jakarta sendiri, sangat sulit dicarisilsilahnya mereka keturunan dari mana saja. Urbanisasi di SundaKelapa sudah ada sejak berabad-abad. Kaum urban pertama yaituorang Sunda, banyak yang menikah dengan orang Palembangketika Sunda Kelapa ditaklukkan oleh Kerajaan PalembangDarussalam. Kemudian saat pedagang negeri lain yang awalnyahendak berdagang, tapi begitu melihat kota ini malah jadi jatuhcinta, akhirnya pedagang dari Cina, Arab dan India itu ikutikutantinggal, menetap dan menikah dengan penduduk SundaKelapa. Ketika orang asing datang menjajah Indonesia yaituPortugis dan Belanda, tertarik untuk tinggal dan menetap di kotaini, kemudian mereka juga ikut-ikutan mengawini penduduksetempat. Dari kawin campur ini terjadi akulturasi dan asimilasibahasa, berbagai ragam bahasa yang berbeda saling campur-baurhingga menjadi Bahasa Betawi.Aku Malu Jadi Aktivis!59[pernah]Kebudayaannya juga hasil dari campuran banyak budaya.Musik Tanjidor banyak terpengaruh oleh budaya Arab, India danPortugis. Alat musik yang menggunakan rebab terpengaruh olehbudaya Arab, terompetnya dari India dan alunan gitarnya banyakbernuansa musik Portugis. Tari Topeng, Tari Yapong dan taritarianlainnya juga banyak terpengaruh oleh unsur budaya Cina.Lenong juga begitu, ondel-ondel juga sama, banyak terpengaruholeh budaya-budaya luar yang masuk ke sini.Pun Beladiri silat Betawi dipengaruh unsur kungfu Cina,pertama kali dikenalkan oleh Lie Ceng Oek, orang Tionghoa asliyang tinggal di daerah Dadap, Tangerang, mengajarkan beladiripada masyarakat sekitar dengan keharusan menjaga pertahananempat penjuru angin, dalam bahasa Cinanya disebut 'Bie Sie'.Salah satu muridnya, Ki Marhali, mengembangkannya dengangerakan kepalan tangan ke atas, pukulan sikut dan sapuan kaki. Ia

Page 31: BAHAN BARU

juga menurunkan beladiri ini ke murid-muridnya sesama orangBetawi dengan filosofi beladiri yang memasukkan unsurkeagamaan dalam hal ini Islam dalam sisi kerendahan hati,membantu sesama dan tidak menyombongkan diri. OrangBetawi sulit mengeja kata 'Bie Sie' namun malah menyebutnyadengan kata 'Beksi'. Sejalan dengan waktu, Silat Beksi diartikansebagai singkatan dari 'Berbaktilah Engkau Kepada SesamaInsan', sebuah filosofi yang juga dimaksudkan oleh Ki Marhalisebagai sesepuh tokoh beladiri silat Betawi.Adapun dongeng dan cerita yang beredar di kalanganmasyarakat Betawi adalah kisah perjuangan keras rakyat melawanpenjajah. Sebut saja cerita Pitung, Ji'i juga Nyai Dasima,merupakan cerita dengan setting di jaman penjajahan Belanda.Dalam hal kepercayaan beragama, mayoritas Betawi asli ituadalah muslim karena kuatnya pengaruh yang dibawa FatahillahAku Malu Jadi Aktivis!60[pernah]sejak tahun 1527, juga oleh para pedagang dari Parsi dan Gujaratyang masuk ke sini sembari mengajarkan Islam. Ada juga yangberagama Kristen sejak masuknya Portugis dan Belanda, orangCina yang datang turut menyebarkan ajaran Budha dan masihadanya sisa-sisa pengaruh dari kerajaan Tarumanegara dulu yangberagama Hindu, namun semuanya tak begitu banyak. Mayoritasorang Betawi itu beragama Islam.Yang sangat disayangkan, seiring dengan perkembanganjaman pelestarian budaya asli Jakarta kurang mendapat tempatdan perhatian dari pemerintah daerah. Dulu sekali, Bang Ali,sebutan untuk Ali Sadikin, Gubernur Jakarta di masa lalu, padatanggal 10 November 1968 mendirikan Taman Ismail Marzukisebagai Pusat Kesenian Jakarta. Namun dengan berlalunya waktutempat itu justru jadi pusat banyak kesenian, tidak melulu budayaBetawi. Tak cuma itu, di tahun 1974 lewat Surat KeputusanGubernur DKI Jakarta Nomer D.IV-115/E/3/1974 Bang Alimendirikan Cagar Budaya Betawi di atas lahan tanah seluas18.228 hektar di daerah Condet. Namun karena dianggap gagalsebagai cagar budaya, kelak di kemudian hari Cagar BudayaBetawi di Condet ini dipindahkan ke Setu Babakan di daerahSrengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.Kota kelahiranku dengan masyarakat Betawinya memangbanyak terpengaruh oleh urbanisasi dari berbagai pelosok daerahdi seluruh Indonesia. Itu juga karena karakter masyarakatnyayang sejak dulu sangat terbuka menerima segala bentuk akulturasidan asimilasi budaya lain yang masuk dan melebur di dalamnya.Namun apabila di tempat ini, di Setu Babakan juga tidak bisa lagimenjadi cagar budaya, mau dipindah ke mana lagi Cagar BudayaBetawi ini? Akankah budaya Betawi hilang akibat banyaknyakawin campur berbagai budaya yang sudah ada sejak dulu danAku Malu Jadi Aktivis!61[pernah]ketidakpedulian dari banyak orang Betawi sendiri akan kekayaanbudayanya?Sulitnya, budaya asing jauh lebih memikat ketimbangbudaya bangsa sendiri. Aku masih ingat ketika Break Dancepopuler, saat itu aku bersama Madun yang masih di kelas tiga SDbelajar tari kejang dan latihan di rumahnya. Aku dan sahabatku

Page 32: BAHAN BARU

lebih senang belajar moonwalk yang berjalan seperti gayaberjalannya astronot di bulan juga electric boogaloo yang bergerakmengikuti gerakan robot, ketimbang belajar ngelenong. Aku jugalebih menyukai belajar windmill yang memutar badan dengantumpuan bahu dan tangan di lantai juga spin head yang memutarbadan dengan tumpuan kepala di lantai, ketimbang belajarkesenian ondel-ondel. Ibu Madun teriak-teriak begitu melihataku dan anaknya bergaya bak orang gila. Habis-habisan kamidimarahi dan dilarang melakukannya lagi. Kalau leher patahmemang bisa disambung? Begitu kata ibunya sahabatku denganmata melotot dan kami yang tertunduk diam.Aku menceritakan semua itu dengan penuh semangat,cerita tentang Jakarta, kotaku tercinta. Selepas bercerita, aku taksadar kalau Philippe dan Jacqueline masih memperhatikankudengan seksama. Mereka sangat tertarik mendengarkan ceritakutanpa memotongnya sedikitpun."Waw Wani, ini menarik sekali. Saya jadi ingin menulistentang Jakarta dan saya harus bertemu kamu lagi. Di manakamu tinggal? Boleh saya tahu alamat kamu? Sekarang saya inginmenulis dahulu tentang Yogyakarta, ini permintaan dari ChiefEditor saya. Nanti akan coba saya usulkan menulis tentangJakarta, culture and society-nya. Pasti menarik sekali dan saya jadipunya waktu yang lama untuk tinggal di Indonesia. JacquelineAku Malu Jadi Aktivis!62[pernah]dan Suzanne juga pasti senang tinggal di sini. Orang Indonesiaitu ramah-ramah."Jacqueline mengiyakan, tapi tidak dengan Suzanne. Gadiskecil itu tertidur karena bosan berjam-jam lamanya di kereta. Akumenyobek selembar kertas dari bukuku kemudian menuliskanalamat di Jakarta, di Yogya sendiri aku belum tahu akan menetapdi mana. Pastinya sebelum dapat tempat tinggal aku akanmenumpang di tempat Madun atau Agung, dua orang sahabatkuyang sudah lebih dahulu ada di kota ini.Philippe menerima sobekan kertas yang aku tulisi alamatrumahku di Jakarta. Gantian ia mengeluarkan selembar kartunama dari dompetnya dan memberikannya padaku. Kubaca disitu ia memang wartawan dari Asia News Magazine. Akukemudian bertanya pada Jacqueline sembari bercanda, manakartu namanya karena ia belum memberiku. Jacquelinemenjawabku sambil tertawa, apa perlu seorang ibu rumah tanggasepertinya juga harus memiliki kartu nama. Aku dan Philippeikutan tergelak mendengar jawaban itu. Menyenangkan sekalisatu kereta bersama mereka. Berbicara banyak hal, mencari tahudari turis-turis asing apa yang dimaui dari Indonesia. Perjalananyang cukup lama ini jadi tak terasa dengan adanya mereka.Tak terasa sudah sembilan jam aku ada di kereta bersamamereka dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta. Laju kereta mulaimelambat dan perlahan-lahan mulai memasuki Stasiun Tugu.Sayup-sayup kudengar alunan lagu Sepasang Mata Bola karyaIsmail Marzuki, komposer besar Indonesia asli Jakarta, kelahiranKwitang, Jakarta Pusat, 11 Mei 1914. Lagu ini berkisah tentangseorang kekasih yang menunggu kedatangan pahlawannya diStasiun Yogyakarta. Mendengarnya aku serasa seperti pahlawanAku Malu Jadi Aktivis!63

Page 33: BAHAN BARU

[pernah]yang diterima dengan baik di kota ini. Belum lagi sambutan suaraperempuan yang kutahu itu dari pita kaset bahwa kereta sudahsampai di Yogyakarta. Ah! Masih untung disambut, daripadadisambit, pikirku. Aku jadi sungkan dengan sambutan ini, masihbanyak yang harus kuhadapi di kota ini, ceritaku juga barudimulai di sini, di kota ini. Tapi kenapa juga mereka menyambutorang-orang yang datang ke Yogyakarta seperti layaknyamenyambut pahlawan? Hebat benar Yogyakarta, menyambutpendatangnya dengan sambutan yang hangat.Begitu kereta berhenti, kuambil carrier dan beberapabarang bawaanku yang ada di atas bangku kereta di tempatmenaruh barang. Philippe mengemasi tasnya yang banyak,beberapa diberikan kepada Jacqueline yang membangunkanSuzanne dari tidurnya karena bosan di kereta. Buku yang dariawal perjalanan hanya dipegang-pegang, ditaruhnya di bagiandepan ransel yang memiliki rongga seperti jaring. Sekilas akusempat membaca tulisan di bagian depan buku itu, L'Indon�sie.Saking asyiknya kami berbincang soal Indonesia, buku itu malahtak sempat dibacanya.Kami bergegas keluar meninggalkan kereta dan menujupintu stasiun. Di depan pintu keluar, dua orang petugasmemeriksa kembali tiket kereta pada para penumpang yang barusaja turun. Aku, Philippe, Jacqueline dan Suzanne berjalanberbarengan keluar stasiun.Aku Malu Jadi Aktivis!64[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!65[pernah]Yogyakarta, Aku Datang!Yogyakarta, aku datang! Teriakku dalam hati saat tiba dikota ini. Kuhirup udara sore di Stasiun Tugu, mengalir derasmelewati rongga nafas dan langsung menuju titik kesadaranku,memompa semangat untuk menimba ilmu banyak-banyak ditempat ini. Yogyakarta, kota inspirasi banyak orang biasa, musisi,seniman juga sastrawan. Kota pelajar yang telah mendidik banyakpemimpin bangsa dengan kehidupannya yang bersahaja.Aku masih bersama keluarga bule yang menemanikuselama di kereta. Phillipe tetap meneruskan perbincangannyatentang Indonesia, Jacqueline sibuk memegangi Suzanne yang takbisa diam. Di pelataran Stasiun Tugu banyak supir taksi, tukangbecak dan ojek sepeda yang menawarkan jasa angkutannya,mengajukan diri untuk mengantar kami ke tempat tujuan.Mataku sesekali celingak-celinguk mencari Madun atauAgung. Di mana mereka? Apakah mereka akan menjemputkuseperti surat yang kukirim kemarin dengan kilat khusus? Ketikaaku masih penasaran belum ada yang menjemputku, tiba-tibaseorang tukang becak menghalangi jalan kami dan menawarkanbecaknya dengan ramah."Becak sir, This is traditional transportation in Yogyakarta.Would you like to try it?"Aku tertegun melihat tukang becak yang menawarkan jasaangkutannya pada teman buleku dengan Bahasa Inggris berlogatJawa yang kental. Begitu juga Philippe, matanya menatap kagum,namun ia menolaknya.

Page 34: BAHAN BARU

"Tidak. Terima kasih."Aku Malu Jadi Aktivis!66[pernah]Philippe menampik halus tawarannya dengan tegas namuntetap ramah. Tapi penolakan itu justru membuatnya tertunduklesu. Sempat kulihat ia tidak lagi menawarkan becaknya padacalon penumpang lain, justru menatap kami lekat-lekat daribelakang. Tiba-tiba matanya terbelalak lebar dan berlari mengejarPhilippe lalu menawarkannya lagi."Vous devez essayer le becak, monsieur. Parceque c'est letransport traditionnel de Yogyakarta. Vous le regretterez si vous nel'essayez pas." (Becak tuan. Kendaraan tradisional Yogyakarta.Rugi kalau tidak mencoba).Aku bengong menatapnya, seperti tak percaya ada tukangbecak bisa berbicara Bahasa Perancis meski tetap dengan medhokJawanya. Bagaimana ia bisa berbicara bahasa yang susah danbanyak sengaunya itu? Di mana belajarnya? Terlebih lagi,bagaimana ia bisa menebak dengan benar kalau teman buleku ituorang Perancis? Apakah karena tulisan sampul buku L'Indon�sieyang terbaca olehnya? Aku yang sembilan jam bersamanya sajatak pernah tahu kalau Philippe itu orang Perancis. Percakapanbilingual kami di kereta tadi memang membuatku bingungmencerna Bahasa Inggrisnya Jacqueline apalagi Suzanne, sepertiorang yang bukan dari negara yang biasa berbahasa Inggris.Melihat tukang becak bisa berbicara dalam dua bahasa asing, akuberdecak kagum. Hebat sekali! Orang-orang di sini tak bisadianggap sepele. Kulihat Philippe, seperti tak yakin dengan apayang didengarnya, mulutnya menganga dan malah bertanya."Vous savez parlez fran�ais?" (Anda bisa berbicara BahasaPerancis?)"Oui c'est vrai." (Ya, saya bisa).Aku Malu Jadi Aktivis!67[pernah]Selanjutnya, aku makin tak mengerti apa yang dibicarakanteman buleku itu dengan si tukang becak. Kemudian, Philippemengajak istri dan anaknya naik angkutan tradisional beroda tigaini, posisi mereka di dalam becak persis ikan sarden dalam kaleng,sempit dan berjejal. Suzanne senangnya bukan main, dudukdipangku ibunya sambil melompat-lompat sementara Jacquelinememeluknya erat-erat biar tak melompat lagi. Si ibu takut apabilakendaraan kecil yang sudah sesak diduduki mereka bertiga jaditerbalik karena kelakuan anaknya yang superaktif ini. Philippemasih asyik mengajak berbicara tukang becak itu dalam BahasaPerancis.Perpisahanku dengan keluarga bule ini akhirnya datangjuga, kami dipisahkan oleh waktu di pelataran Stasiun Tugu,kuucapkan salam perpisahan pada mereka. Suzanne mengerlinggenit, Jacqueline menyalami tanganku, Philippe juga menjabatkuerat-erat, seperti sahabat yang tak mau dilepaskan oleh sebuahperpisahan."Tunggu kabar dari saya Wani! Ingat, saya harus bertemukamu lagi!""I'll be waiting for you Philippe. See you Jacqueline, see youSuzanne. It's nice to know you all well."

Page 35: BAHAN BARU

Kembali aku celingak-celinguk mencari Madun atau Agungyang belum juga datang. Sampai di depan Jalan Malioboro, salahsatu dari dua temanku itu belum juga datang. Kukeluarkan rokokdari tas pinggang, kubakar dan kuhisap dalam-dalam.Kulayangkan pandangan ke arah Jalan Malioboro, sebelah kananbanyak kumpulan pedagang pakaian dan souvenir, ramai olehlalu-lalang orang. Aku sempat tergoda untuk mengunjungi danAku Malu Jadi Aktivis!68[pernah]membeli barang sesuatu, tapi kutakut berselisih jalan denganMadun atau Agung apabila mereka benar-benar menjemputku.Kuputuskan untuk tetap diam di tempat sampai dijemput. Persisdi samping jalan yang mengarah masuk ke Stasiun Tugu, adatukang es dawet yang sibuk dengan pembelinya. Tak tahu kenapatiba-tiba saja tenggorokanku jadi kering, kupesan satu danminum di tempat. Mataku juga masih tertuju ke jalanan, siapatahu salah satu dari dua temanku datang menjemput.Es dawet sudah habis kuminum tapi Madun atau Agungbelum juga datang. Kubakar lagi rokok sembari menunggumereka. Baru kuselipkan sebatang rokok di mulut, tiba-tibakulihat motor Honda Astrea tua yang sangat kukenal melintaspelan di jalanan masuk ke arah pelataran Stasiun Tugu. Akuberteriak keras pada pengendara motor itu."Madun! Gue di sini!"Alhamdulillah, sahabatku sejak dari dalam kandunganmenjemputku. Dari motornya Madun melirikku sambil tertawa,ia melihatku seperti orang udik yang pulang kampung denganbarang bawaan yang banyak. Carrier di punggung belakang,ransel kamera di bagian depan, tas pinggang yang pastinyamenempel di pinggang dan bukan di perut, belum lagi dua buahkardus bekas mie instan yang kutaruh di bawah tanah. MotorMadun langsung menuju ke arahku dan ia masih saja tertawa."Mudik yo Mas? Neng Jakarta dadi supir opo tukang kebon?"(Mudik ya Mas? Di Jakarta jadi supir apa tukang kebun?)Madun menegurku dengan Bahasa Jawa berlogat Betawi.Sok benar ia, baru setahun di Yogya sudah berlagak mengajakkuberbicara Bahasa Jawa. Begitu menghampiriku langsung kutinjuAku Malu Jadi Aktivis!69[pernah]lengannya. Sebal sekali rasanya, sudah menunggu lama masihjuga dicela. Turun dari motor, ia langsung memeluk erat-eratsampaiku sulit bernafas, sesudah itu tubuhku diguncangguncangkannyasambil melepas kangen dan mengucapkan apakabar berkali-kali, hampir sajaku terjatuh karena keberatanbeban. Slapstick12 sekali Madun ini! Gayanya sudah seperti CharlieChaplin, komedian film bisu di awal abad dua puluhan yangmelepas kangen begitu bertemu temannya."Nggak sia-sia elo nganggur Wan! Akhirnye dapet juga diUGM! Satu kampus deh kite! Dari TK, SD, SMP, SMA, ehsekarang kuliah satu kampus juga! Bosen-bosen deh gue barenganelo melulu! Eh, ngomong-ngomong bawa apaan aje lo, sampebanyak begitu? Nggak salah kan kalo gue bilang elo udeh kayakpembantu yang pulang mudik, ha ha ha.""Rese' lo! Udeh deh, bantuin bawain barang-barang gue

Page 36: BAHAN BARU

aje! Enyak lo nitip dodol Betawi satu kardus sendiri tuh! Katanyeelo sampe kemimpi ngiler di Yogya nggak ade dodol Betawi!"Madun mengangkat kardus yang berisi dodol Betawibawaanku. Dicium-ciumnya kardus itu lalu dipeluknya."Dari enyak gue Wan? Gimane kabarnye? Baek-baek aje?Jualannye masih laku nggak? Ah! Gue kok jadi kangen enyak ye.""Ye! Anak Mami! Mane gue tau! Waktu gue pamitan,enyak lo cuma nitip dodol Betawi sembari pesenin ke elo supayejangan maen perempuan, kalo maen banci nggak ape, ha ha ha."2 Jenis komedi yang mengeksploitasi lawakan dengan kekerasan fisik sepertibadut dalam sebuah sirkus. Humor-humor model begini dipelopori oleh CharlieChaplin dan The Three Stooges di awal abad 20.Aku Malu Jadi Aktivis!70[pernah]"Sial lo! Ya udeh, nyok kite cabut. Ntar keburu maghrib.Kalo capek lo ilang, sore ini juga gue ajak muter-muter UGMsama pacar gue, Astuti..."Madun menyebut tunggangannya itu Astuti, Astrea TujuhTiga, motor peninggalan almarhum ayahnya yang meninggal saatia masih berumur empat tahun. Ayah Madun tukang pos dankendaraan itu yang menemaninya selama mengantarkan surat. Disatu siang yang panas, ketika mengantar surat di daerah kami diSenopati, sebuah truk melaju kencang dan menubruknya daribelakang. Sang kepala keluarga ini terpental tinggi dan kepalanyalangsung menghantam tiang listrik, motornya masuk ke kolongtruk. Supir yang tak bertanggung jawab itu langsung lari daritempat kejadian begitu tahu kendaraannya menabrak oranghingga parah. Ibu Madun menangis sejadi-jadinya ketika mayatsang suami dibawa pulang ke rumah. Ibuku memeluknya sambilikutan menangis. Aku dan Madun yang saat itu masih kecil, takmengerti kenapa orang-orang di rumahnya pada menangis.Ayahku langsung pulang begitu dikabari bahwa tetanggaterdekatnya meninggal dunia dan mengkoordinir warga di RTkuuntuk mengurus jenazah ayahnya Madun. Dari memesan tenda,membeli kain kafan, mengkoordinir ibu-ibu untuk merangkaibunga, bahkan sampai mengurus ke tempat penguburan. Sepertibiasa, pejabat RT di tempatku datang terlambat saat mayat sudahsiap diberangkatkan ke pemakaman, alasannya karena kesibukandi kantor yang tak bisa ditinggalkan. Ia datang ke rumah Madunseperti pejabat yang akan meresmikan sebuah bangunan,mengucapkan belasungkawa secara formil lalu menanyakan padawarga mengenai pemakaman yang langsung dijawab bahwasemuanya sudah diurus oleh Bang Ali, ayahku.Aku Malu Jadi Aktivis!71[pernah]Motor tua itu banyak kenangannya buat Madun dankendaraan ini juga yang menjemputku di depan Stasiun Tugu,melaju pelan menuju Utara Yogyakarta ke arah Bulaksumur. Ditengah jalan Madun mengajakku berbicara lagi."Eh Wan, dagangan enyak gue laku ape nggak? Eloditanyain dari tadi nggak dijawab-jawab. Sumpeh gue kangenbanget sama enyak. Sehat nggak enyak gue?""Sehat Dun. Waktu gue pamitan mau ke Yogya samawarga di RT kite, yang paling lama itu ye di rumah elo. Tadi panudeh gue bilang, enyak elo cuma nitipin dodol Betawi ini doang.

Page 37: BAHAN BARU

Katanye ini kedoyanannye lo banget. Enyak elo juga pesen ke kitebedua kudu tetep kompak, kudu saling ngejage. Enyak gue juganitip pesen yang sama kayak enyak elo.""Aduh enyak, Madun kangen banget nih, nyak! Susahpayah dia dagang cuma buat gue kuliah. Asli gue sedih bangetkalo sampe ngecewain enyak gue satu-satunye. Bener ye Wan, diYogya kite kudu saling ngejage!"Aku bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Madun padaibunya. Sejak ayahnya meninggal, ibu Madun berdagang sotolaksa, makanan khas Betawi di lapangan ujung gang tempat kamibiasa bermain, dekat dengan gedung-gedung bertingkat di JalanSudirman. Pembelinya karyawan kantoran yang bekerja di situ.Sejak kecil Madun juga sudah membantu ibunya mencuci piringbekas makan para pelanggan. Pernah di satu siang saat akubersama teman-teman bermain bola di lapangan, sahabatkumelihat kami dari warung ibunya sambil melayangkan tinjunyake udara, kesal karena main bolanya bukan sore hari dan saat iatidak bisa ikut. Siang itu ia memang harus membantu ibunyaAku Malu Jadi Aktivis!72[pernah]karena banyak karyawan kantoran yang makan soto laksa.Sesekali aku ikut membantunya mencuci piring, sehabis itu akudan Madun diberi uang lima ratus rupiah oleh ibunya. Uang itukami belikan pedang-pedangan dan bermain seperti ksatriaberpedang di halaman rumahku. Ibuku bingung melihatku punyapedang-pedangan padahal uang jajan sudah habis kubelikanmakanan di sekolah. Begitu tau aku mendapat uang dari ibunyaMadun, ibuku langsung marah dan menasihatiku."Wani! Enyak nggak suka ye, punye anak tukang mintaminta!Wani minta duit sama enyaknye Madun buat beli pedangpedanganye?! Bikin malu orang tua aje! Nggak kasian ape samaenyaknye Madun?!""Nggak nyak, Wani nggak minta duit, tadi Wani bantuinMadun ikut nyuciin piring, udeh gitu kite dikasih duit samaenyaknye Madun. Dikasih Nyak, bukannye minta.""Pokoknye enyak tetep nggak suka kalo Wani ngerepotinorang! Bukannye enyak nggak mau Wani dikasih duit samaenyaknye Madun, tapi coba Wani pikir, begitu babenye Madunmeninggal, enyaknye buka warung soto laksa di lapangan buatbiayain sekolah anak satu-satunye. Enyak sedih liat perjuanganenyaknye Madun sampe segitunye. Kalo sampe Wani ngerepotinminta duit gitu, enyak bener-bener marah banget. Coba pikirindeh Wan, Kesian kan."Aku berusaha memahami ketika Madun menanyakanwarung soto laksanya ibunya laku apa tidak. Sejauh yang kutahu,dari dulu warung itu ramai pembeli. Tidak ada pedagang sotolaksa di daerah itu selain ibunya. Lagipula soto laksa buatannyamemang enak, ibuku saja bila malas masak sering menyuruhkuAku Malu Jadi Aktivis!73[pernah]membelinya di warung itu. Sejak Madun kuliah di Yogya, ibunyamemang agak keteteran melayani pembeli sambil mencuci piringbekas makan, tapi tak kuceritakan padanya.Astuti berjalan lambat dan aku jadi bisa menikmati jalanjalandi Yogyakarta. Ketika memasuki area Bunderan UGM di

Page 38: BAHAN BARU

Jalan Boulevard, jantungku berdegup kencang seakan tak percayakalau ini kampusku. Megah dalam kebersahajaan. Dari jauhkulihat Gedung Pusat berlatarbelakang Gunung Merapi sore hariyang tertutup awan, berbentuk seperti padepokan silat di kakigunung. Saat memasuki jalanan kampus, Madun menunjuksebuah bangunan besar dan tua di samping kiri jalan yang banyakmahasiswanya. Ada yang berlatih beladiri, teater, Marching Band,atau sekedar duduk-duduk sambil diskusi, yang agak autisbiasanya cuma membaca buku sendirian tanpa teman. Di situjuga kulihat climbing wall yang berdiri tegak tengah dipanjatseorang mahasiswa, beberapa temannya memegang tali daribawah sambil menginstruksi."Itu Gelanggang Mahasiswa Wan. Ntar kalo udeh kuliahelo kudu aktif berorganisasi! Contoh kayak gue nih!""Emangnye di UGM lo ikut apaan Dun?""Gue ikut Pers Mahasiswa Wan. Gue kan anak Filsafat,gue juga suka nulis, Pers Mahasiswa itu punya majalah samatabloid yang jadi media pembelajaran gue buat nulis yang benerketimbang tulisan ngaco mulu dari jaman dulu."Sejak SMP Madun memang sudah suka menulis. Akumasih ingat ketika di kelas tiga ia naksir Tati, adik kelas kamiyang cantik di kelas dua. Madun menulis surat cintanya dalambentuk pantun. Singkat, jelas dan mengena.Aku Malu Jadi Aktivis!74[pernah]Motong arang pake belatidipotong rata dan hati-hatiSaat Abang memandang Tatidarilah mata turun ke hatiMakan sabun malu-maluineneg gitu malah nggak dipikirinAbang Madun mau ngomonginMalem Minggu boleh nggak didatenginKe Tanah Abang mau nantanginjagoan yang nggak takut matiSingkatnye Abang mau bilanginhati abang yang buat TatiOrang santun gundah-gulanajikalau hati tak punya cintaAbang Madun bisa meranajikalau Tati tak menjawabnyaPantun itu dibuatnya mendadak saat mengambil keputusanmendatangi Tati di kelas dan memberikannya secara langsung.Sebelum diberikan ke Tati, pantun itu ditunjukkannya dulupadaku. Aku tergelak-gelak membacanya dan Madun hanyatersenyum-senyum sendiri. Entah senyum percaya diri atau malukarena pantunnya kuketawai. Kutemani Madun menghampiriTati dan segala kelakuan lucu menghadapi orang yang ia sukai."Tati, ini ade pantun dari abang, ditunggu jawaban pantunini secepetnye. Udeh dulu ye, Abang Madun mau ke kelas dulu."Tati mendelik curiga mendapat surat dari Madun,langsung dibuka dan dibacanya. Sama seperti aku, Tati terbahakAkuMalu Jadi Aktivis!75[pernah]bahak membacanya dan teman-teman di kelasnya diunjuki

Page 39: BAHAN BARU

pantun itu. Mereka ikutan tertawa, bahkan ada salah satu anaklaki-laki yang merebut kertas itu dari tangan Tati dan membacabait terakhir tulisan Madun keras-keras.Orang santun gundah-gulanajikalau hati tak punya cintaAbang Madun bisa meranajikalau Tati tak menjawabnya"Ha ha ha... Madun, keren amat surat cinta elo! Woi Tati,kalo sampe nggak dijawab, berarti elo bikin Madun merana, tegabener lo kalo sampe begitu, ha ha ha."Madun memerah mukanya jadi bahan tertawaan anak kelasdua, tapi ia masih tetap memaksakan diri tersenyum ke arah Tatiyang berubah jadi malu. Aku tak terima sahabatku dipermalukanbegitu, kuhampiri anak laki-laki yang membuat Madun merahpadam, kurebut kertas itu dari tangannya sambil kucengkramkerahnya, lantas kutegur dengan keras disertai ancaman."Elo berani-beraninye kurang ajar sama kelas tiga! Anakmane lo?! Ntar pulang abis lo sama gue! "Kudorong ia sampai terjatuh hingga kepalanya terantukkaki meja. Sebelum bangun kutendang kakinya keras-kerassampai mengaduh. Ia berusaha bangun sambil menatapku takterima. Kuberikan surat itu pada Tati tanpa berbicara. Kupelototianak itu sambil menunjuk ke arahnya."Tunggu ntar pulang!"Madun masih memandangi Tati dengan muka bak udangrebus, merona merah tak karuan. Tati masih tertunduk malu danAku Malu Jadi Aktivis!76[pernah]teman-temannya terdiam melihatku menendang teman kelasnyayang mempermalukan sahabatku. Kuajak Madun ke kelas, iamasih saja bengong dengan kejadian tadi. Pulang sekolah, kuajaksahabatku menunggu anak yang kurang ajar tadi. Begitu lewatlangsung kucengkram kerahnya kuat-kuat, ia meronta-rontanamun masih kalah kuat denganku meski badan kami sama besar.Kuseret ke tempat sepi di lapangan bola belakang sekolah dankudorong hingga terjatuh. Tak puas kudorong, kutendangbadannya, ia menghindar dan kakiku ditangkapnya lalu dilempar.Emosiku menggelegak, berani juga melawan, pikirku. Ia berdirimengepalkan tinjunya lalu menyerangku. Sebelum pukulannyamengenaiku, tendanganku lebih dulu mengenai mukanya danlangsung terjatuh. Amarahku mendidih, kupukuli habis-habisansampai ia mengaduh-ngaduh minta ampun juga menangis."Huhuhu, ampun bang! Ampun!"Masih kucengkram kerah bajunya dengan tangan kirisekaligus mencekik. Tangan kanan sudah kuangkat di udara, jagajagabila tiba-tiba ia memukulku mendadak. Anak ini nyalinyaboleh juga meski berkelahinya seperti perempuan, menyerangtanpa perhitungan seperti babi buta."Ngomong ampun-ampun, tapi lo sadar ape nggak kalokelakuan elo tadi bikin malu temen gue? Sok jagoan lo disekolah?! Preman lo di kelas?! Sekarang bisanye cuma ngaduhminta ampun! Bangun lo! Hadepin gue lagi!"Kataku sambil mengeplak kepalanya berkali-kali. Lagi-lagiia mengaduh minta ampun sambil menangis."Huhuhu, ampun bang, ampun. Iye saya tau saya salah,maafin saya bang, huhuhu."

Page 40: BAHAN BARU

Aku Malu Jadi Aktivis!77[pernah]Aku menghajarnya keras sekali sampai tak sadar mukanyabiru lebam dan bibirnya berdarah karena habis-habisan kupukuli.Emosiku sulit dibendung melihat sahabatku dibuat malu begitu."Kalo salah, minta maaf sama Madun! Bukan sama gue!Cium kakinye Madun daripade elo gue gebukin lagi!"Anak itu menghampiri Madun yang masih berdiri bengongtanpa ekspresi. Ia merangkak kesakitan mendekati sahabatku,menghampiri sepatu Madun yang kotor dan menciumnya sambilmeminta maaf. Sahabatku tetap saja diam tanpa ekspresi dengantatapan kosong ke depan. Emosi yang masih menguasai pikirankumembuatku bertindak lebih feodal lagi, kuinjak kepalanya, makinterpuruk ia di sepatu Madun."Minta maaf yang bener! Ikhlas nggak nih minta maaf?!Kalo nggak ikhlas, gue gebukin lagi nih!""Huhuhu... iye saya ikhlas bang. Saya bener-bener mintamaaf sama Bang Madun. Maafin saya ye bang. Huhuhu.""Bangun lo! Anak laki cengeng kayak gitu! Malu-maluinnangis kayak perempuan! Gue bilangin ye! Kalo lo nggak terimague gebukin, bilang sama anak-anak daerah lo, gue Wani anakSenopati nantangin daerah lo kalo nggak suka gue gebukin!""Iye bang saya salah. Nggak-nggak lagi saya bang. Sayaterima diginiin karena saya kurang ajar sama Bang Madun.Maafin saya bang, huhuhu.""Pergi lo sono!"Aku masih saja bersikap kelewatan, kutendang lagi ia saatberanjak bangun. Anak kelas dua itu lari meninggalkan kamiAku Malu Jadi Aktivis!78[pernah]sambil menangis. Madun masih saja terbengong-bengong takjelas, tanpa ekspresi dan tanpa bicara. Kusenggol lengannyadengan siku tanganku."Elo kayak orang bego aje dari tadi bengong mulu. Kenapelo?! Kesambet jin?! Woi Madun! Diajakin ngomong diem aje!""Nggak kok Wan, gue cuma bingung. Emang cara guesalah ye, nyatain suka ke Tati pake pantun? Gue bingung kenapeanak kelas dua jadi ngetawain gue?""Udeh deh, ngapain pake lo pikirin?! Yang penting masalahlo udeh gue beresin Dun!""Iye sih Wan, tapi gimane Tati nih? Malem Minggu panpengen gue datengin. Kalo die nggak mau gimane ye?""Halah! Takut amat sih lo! Tenang aje Dun, gue temeninlo Malem Minggu ke rumahnye!"Janjiku pada Madun kutepati. Malam minggu sehabismaghrib kutemani sahabatku ke rumah gadis pujaannya. Kamiditerima pembantunya di beranda rumah, Tati agak lama keluar,pembantunya membawakan tiga cangkir teh manis yang langsungkutenggak habis, maklum haus. Madun memarahiku yang taktahu sopan. Ia bilang teh itu diseruput, bukan ditenggak, apalagiyang punya rumah belum keluar. Aku manggut-manggut sajadibilang begitu.Menunggu lama di beranda akhirnya Tati keluar juga daridalam rumah. Cantik sekali ia, rambut sebahunya dikepang dua,berkaos putih dengan celana kulot warna coklat. Ia menegurku

Page 41: BAHAN BARU

duluan bukannya Madun yang masih terpana tanpa kedipmelihat kecantikan Tati.Aku Malu Jadi Aktivis!79[pernah]"Eh Bang Wani, kapan dateng? Tati sampe kaget loh liatBang Wani dateng ke rumah, ada apa nih Bang?""Nggak ade ape-ape, gue cuma nganterin Madun doang.Eh maap nih Tat, minum gue abis, boleh nggak gue minta lagi?Gue emang aus banget, tadi aje langsung gue tenggak, eh Madunmalah ngomelin gue, katanye nggak sopan minum langsungditenggak begitu. Tapi mendingan jujur kan kalo kite aus?Sumpah gue emang aus banget, maap banget Tat, kalo boleh sihgue minta yang dingin aje, he he he.""Oh itu. Nggak apa-apa kok Bang, nanti Tati ambilin lagi,Bang Madun juga nggak?""Makasih Tat, pan minuman gue belom diminum. Maafye kalo gue bawa temen yang nggak tau malu."Lagi-lagi Madun memelototiku yang tak tahu adat, akucengengesan tak karuan. Biar saja, toh Tati incarannya Madunbukan aku, jadi tak ada kewajibanku menjaga wibawa depan Tati.Gadis pujaan Madun masuk ke dalam sambil membawa cangkirkosong yang sudah kuminum habis isinya. Tak lama ia keluarmembawa tiga gelas kosong dan satu teko kaca berisi sirup jerukdengan es batunya. Makin tambah hausku melihatnya, tanpamalu kuambil gelas yang disodorkan Tati, kutuang berkali-kaliminuman itu sampai tak sadar hampir setengah teko sirup jeruktandas kutenggak. Kembali Madun memelototiku sambilmenahan malu."Emang dasar elo Wan! Bikin malu gue aje!""Nggak apa-apa kok. Masih banyak di dalem. Mau Tatiambilin lagi?"Aku Malu Jadi Aktivis!80[pernah]"Jangan Tat, nggak usah repot-repot. Mendingan jauhinminumannye dari Wani, kasih aje die selang aer biar minum darisitu. Onta kalo minum emang nggak tau sopan!"Tati tertawa mendengar komentar Madun dan aku cumabisa cengar-cengir. Malam itu kami bertiga memang lebih banyakbercanda. Berkali-kali kupancing sahabatku untuk mengutarakanisi hati pada gadis pujaannya, tapi Tati lebih banyak berbicarapadaku ketimbang Madun. Sampai jam delapan malam lewat,kami berpamitan. Di depan pagar sebelum pulang, mata Tatimalah menatapku penuh arti dan bukannya ke Madun. Ini justrumembuatku merasa tak enak.Waktu berlalu, sampai akhirnya kutahu Tati menyukaikudari surat yang dikirimkannya. Aku kaget setengah mati, takmenyangka bisa begini kejadiannya.Bang Wani,Tati seneng banget waktu Bang Wani dateng ke rumah.Seperti nggak percaya kalo orang yang Tati sukai datang kerumah. Tati memang sering merhatiin abang dan ada rasasuka yang terus tumbuh. Tapi Tati ini perempuan yang nggakmungkin bilang duluan.Namun dengan kedatangan abang ke rumah, Tati jadi yakinkalo rasa kita juga sama. Sebelum Bang Wani ngomong, Tati

Page 42: BAHAN BARU

mau bilang duluan kalo Tati juga suka sama Bang Wani.Tati akan terus menunggu kedatangan Bang Wani. Nggakharus Malam minggu, kapanpun datang ke rumah, Tati siapmenerimanya.Salam sayang,TatiAku Malu Jadi Aktivis!81[pernah]Surat dari Tati itu seperti mengkhianati sahabatku sendiri.Aku juga menyukai Tati, tapiku tak ingin menjadi penghalanghasrat hatinya mendekati gadis manis adik kelas kami. Akumemang agak kecewa ketika tahu ia menyukai Tati, kukuburdalam-dalam hasrat hatiku demi sahabatku. Datangnya surat itujustru membuatku merasa tak enak dengan persahabatan yangsudah terjalin sejak di alam rahim.Kuberikan surat itu pada Madun, dibacanya dalam-dalamdengan serius dan akhirnya terduduk lesu."Emang rejeki elo Wan, ternyata Tati sukanye sama elobukan sama gue. Nggak ape kok, gue rela elo sama Tati.""Woi Dun! Gue nggak mau makan temen gitu. Sampekapanpun gue nggak akan macarin si Tati. Tapi bingungnyekenape Tati suka sama gue ye? Di rumahnye kan gue nggak taumalu gitu. Yang pasti gue nggak akan macarin Tati demi elo!""Nggak ape-ape kok Wan, gue rela elo dapetin Tati. Masaiye elo nolak cewek yang jadi impian banyak cowok kayak Tatigitu? Banyak tuh yang ngejar-ngejar die, goblok aje kalo nolakTati yang udeh bilang suka duluan ke elo.""Nggak bakalan Dun! Mau dibawa ke mane perasaan guekalo nekat macarin Tati padahal gue tau elo suka mati-matiansama die? Gue betemen sama elo udeh lama, masa cuma garacewek persahabatan kite ancur? Inget ye Dun! Gue bukan tipetemen yang kayak begitu!"Dan selanjutnya Tati selalu mendekatiku, mencariku,bahkan berani datang ke kelas tiga, aku saja yang selalumenghindarinya. Sesekali pernahku berpapasan langsung, iaAku Malu Jadi Aktivis!82[pernah]tersenyum dengan manisnya sambil bertanya kenapaku tak kerumahnya lagi. Aku menggaruk-garuk kepala, beralasan bahwaEBTANAS segera tiba dan aku ingin konsentrasi untuk ujian.Sampai saat kelulusan SMP, aku masuk SMA, kulupakan Tati,perempuan yang pernah menaruh hatinya padaku, kulakukan itudemi sahabatku. Dan waktupun berlalu, hasrat hati Madun yangberakhir kecewa karena tak bisa memenangkan hati gadis manisadik kelas kami, hilang juga dengan sendirinya.Kini motor sahabatku sampai di depan kostnya. Dimatikanmesin motor itu lalu didorong ke pelataran. Capekku datang,sepertinya kubutuh istirahat sehabis perjalanan panjang sembilanjam menuju Yogya. Banyak yang harus kulakukan besok dan hariini memang baiknya untuk istirahat. Kutolak ajakan Madunkeliling UGM karena lelahku yang teramat sangat. Kukatakanpada sahabatku dan ia mengiyakan."Siap Wan! Gue temenin elo besok. Daftar ulang, kelilingkampus sampe dapet kost sekalian. Lebih bagus sih elo satu kostaje sama gue, sayangnye kamar di sini udeh pade penuh. Tapi

Page 43: BAHAN BARU

mendingan kite nanya dulu sama ibu kost nyok, sekalian guekenalin sama temen-temen di sini."Kuikuti Madun menuju rumah yang agak besar. Sahabatkumenemui seorang ibu berbadan pendek dan tambun yangmenyambutnya dengan ogah-ogahan, melirik ke arah Madundengan pandangan yang meremehkan."Ini Wani temen saya Bu, baru dateng dari Jakarta, dapetkuliah di Akuntansi UGM. Pengen kost di sini kira-kira masihade nggak ye Bu?"Wis penuh!"Aku Malu Jadi Aktivis!83[pernah]"Ya udeh. Makasih Bu."Ibu itu menjawab ketus bak priyayi Jawa yang tak maudiganggu oleh rakyat jelata seperti kami. Madun langsungmenarik lenganku tanpa mengenalkanku padanya, kemudianberbisik pelan."Ibu itu ngiri sama kite, anak-anaknye nggak ade yangkuliah di UGM, padahal kost-kostan die isinye anak UGMsemua. Ya udeh, mending gue kenalin sama temen-temen kostgue aje nyok!"Dikenalkannya aku ke teman-teman kostnya. Banyak sekalidari beragam fakultas. Sampai kebanyakan nama yang haruskuhafal, yang kuingat hanya nama Bang Tigor, mahasiswaAkuntansi asal Medan yang akan jadi seniorku di kampus.Rasanya, batere di badanku sudah sangat melemah danbutuh di-charge dengan istirahat. Madun menyuruhku mandi laluistirahat.Aku Malu Jadi Aktivis!84[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!85[pernah]Ini Kampusku!Pagi buta aku sudah bangun, begitu juga dengan Madun.Beberapa menit berselang kumandang Azan Shubuh terdengarmemenuhi penjuru langit, mengisi ruang dan waktu, mengajakpenduduk bumi memulai hari ini dengan awal yang baik. Dalamsisa kantukku Madun mengajak ke Masjid dekat sini untukShalat Shubuh berjama'ah. Matahari masih malu menampakkandirinya, teman-teman kost sahabatku juga belum terbangunkarena malam yang dihabiskan dengan bergelas-gelas kopi,beberapa bungkus rokok dan obrolan tanpa henti seputar kuliah,pacar dan masa depan. Ketika semburat merah jingga keluar daribalik awan, matahari mulai menghapuskan gelapnya langit danmenggantinya dengan benderang pagi. Selesai mandi danberpakaian Madun mengeluarkan Astuti, aku yang baru keluardari kamar mandi sudah diteriakinya dari depan."Ayo Wan, cepetan! Mau keliling kampus nggak? Kemarenkan elo kecapekan, jadi batal kite keliling kampus. Kalo mausekarang nih, sebelom elo daftar ulang!"Setengah berlari kuhampiri Madun yang tengah menunggudi atas motor bututnya."Sabar kenape Dun, gue kudu nyiapin dulu berkas-berkasbuat daftar ulang. Elo pake tereak-tereak segala!"

Page 44: BAHAN BARU

"Ya udeh cepet! Semua dokumen udeh lo bawa? Pas foto?STTB? Fotokopi yang udeh dilegalisir? Tanda peserta UMPTN?Meterai jangan lupa! Semuanye udeh lo siapin kan?""Udeh Dun, udeh! Elo itu cerewet banget ye!"Aku Malu Jadi Aktivis!86[pernah]"He he he, ya udeh kalo gitu. Enaknye pagi-pagi gini kiteudeh berangkat ke kampus, udaranye masih bersih, sekalian kitesarapan gudeg di Jalan Kaliurang."Astuti berjalan lambat di tengah matahari yang belumtampak benar, menyusuri jalan-jalan kampus, melewati berbagaifakultas, melalui Jalan Sekip, kemudian belok ke Bunderan UGMmasuk ke Jalan Boulevard. Motor tua itu berhenti di pinggirtrotoar dan parkir di sisinya. Dingin pagi di Yogya benar-benarmenusuk rasuk hingga ke sumsum tulang, untungnya jakethitamku masih membungkus badan, meski begitu udara dinginmasih terasa menembus di sela-selanya. Turun dari motor,Madun berjalan ke depan sambil menunjuk ke arah utara."Itu Gunung Merapi Wan, ngebelakangin Gedung Pusat.Kemaren sore kan nggak begitu jelas gara-gara ketutupan kabut,sekarang keliatan banget tuh. Keren ye, kampus kite?"Aku terdiam tak menjawab. Mataku terpejam, menikmatiudara pagi yang mengisi penuh paru-paruku. Pikiranku terbangmenembus batas dan ruang di tempat ini. Sementara sahabatkumasih terus melanjutkan omongannya."Di sini sering jadi tempat demonstrasi mahasiswa Wan!Bikin mimbar bebas, orasi. Kebebasan berpendapat cuma ada ditempat ini. Ntar kalo udeh kuliah, kalo ada demo, lo kudungikut! Kemukakan pendapat lo di sini! Mau ngomong ape jugabebas, asal jangan ngomong jorok! Ha ha ha.""Ye! Itu sama aje nggak bebas dong! Ha ha ha...""Ya udeh nyok, jangan kelamaan! Gue tunjukin kampuselo yang tetanggaan sama kampus gue!"Aku Malu Jadi Aktivis!87[pernah]Dari Jalan Boulevard kami lurus ke depan, di pertigaanjalan belok ke kanan, menikung, lalu masuk ke Jalan Humaniora."Itu kampus gue Wan! Filsafat! Belakangnye gedungPascaSarjana. Nah, kampus lo Ekonomi itu ade di belakangnye,depan-depanan sama Sastra, saling ngebelakangin sama Fisipol!"Madun begitu bersemangat menunjukkannya. Ada rasabangga terselip dari kata-katanya sebagai bagian dari keluargabesar universitas tertua negeri ini. Motor yang sudah lambat itumakin pelan jalannya, berhenti di depan pagar Fakultas Ekonomiyang masih terkunci. Aku berjalan menghampiri, bermaksudmembukanya."Kok dikunci Dun? Tadi waktu kite shalat aje mesjid udehbuka, kenape ini belom dibuka ye?""Woi! Ngaco aje pertanyaan lo! Wajar shubuh-shubuhmesjid dibuka buat shalat! Lah kalo kampus dibuka jam segini,siape yang mau kuliah pagi-pagi buta?!"Kulirik jam tangan, masih jam setengah enam pagi, akujadi tertawa sendiri dengan pertanyaan bodohku yang dijawabspontan oleh Madun."Emang dibukanye jam berape Dun?"

Page 45: BAHAN BARU

"Paling ntar jam enem, kuliah biasanye baru mulai jamtujuh lewat. Lo mau nunggu di sini sampe kampus dibuka apemau ikut gue keliling lagi? Laper nih Wan, kite sarapan gudegdulu di Jalan Kaliurang nyok!"Astuti kembali mengelilingi kampus, menyeruak ke dalammelewati Fakultas Teknologi Pertanian, Hukum, Kehutanan danAku Malu Jadi Aktivis!88[pernah]masuk ke Jalan Kaliurang. Aktivitas di pagi itu belum banyak,beberapa orang berjalan di sisi trotoar dan omprengan berbentukminibus yang berdiam di sisi jalan. Beberapa orang sudah dudukdi dalamnya namun angkutan rakyat itu belum juga berangkat,menunggu penumpang penuh barangkali."Itu trayek ke Kaliurang Wan! Tempatnye sejuk, udaranyedingin kayak di Puncak, ada di kaki Gunung Merapi. Di sonoasyik banget buat ngerenung atau sekedar ngelamun. Kite kanhobi naek gunung, kapan hari kite naek Gunung Merapi tapibukan dari Kaliurang, naeknye dari Jalur Selo di Boyolali. Bolehjuga laen waktu kite naek Gunung Lawu lewat Tawang Mangu,Solo. Deket kok dari Yogya. Lo mau nggak?""Ni anak pake nanya lagi! Ye mau lah! Tapi ntar-ntaran ajengkali Dun, nggak sekarang. Lah daftar ulang aje gue belom, eloudeh ngajakin naek gunung. Yang nggak-nggak aje!""Lagian, siape juga yang mau ngajakin elo naek gunungsekarang?! Ha ha ha.""Rese' lo!"Di pinggir Jalan Kaliurang, kulihat ibu penjual gudeg kakilima ramai dikerumuni pembeli. Aku dan Madun ikut mengantridan membelinya dua pincuk. Kembali sahabatku mengajak kekampus dengan dua bungkus makanan khas Yogya yang belumdimakan. Kami berhenti di Gedung Pusat, mencari tempat yangenak untuk duduk, lantas makan di situ."Nggak ape kite makan di sini Dun? Ntar kalo diusirsatpam gimane? Elo ini aneh-aneh aje pake ngajak gue makan disini segala!"Aku Malu Jadi Aktivis!89[pernah]"Ha ha ha, elo itu khawatiran melulu ye! Tenang aje Wan!Nggak bakal ada yang ngomelin asal sampahnye jangan dibuangsembarangan, buang di tong sampah situ tuh."Madun menunjuk tong sampah yang agak jauh dari tempatduduk kami, dekat dengan hutan buatan yang dipagar kawat,membatasi Gedung Pusat dengan Fakultas Kehutanan di sebelahutara. Kulihat sekeliling, memang bangunan tua, hampir setuakampus ini. Saat kami berkeliling, sempat kulihat prasastibangunan yang luasnya 18.450 meter� diresmikan oleh PresidenSoekarno tanggal 19 Desember 1959. Berarti sepuluh tahunpersis setelah didirikannya Universitas Gadjah Mada. Gedungpertama dan paling bersejarah dengan arsitekturnya yang unik,bangunan ini juga yang menjadi icon dan ciri khas UGM sebagaikampus rakyat.Langit makin terang, jam juga sudah menunjukkan angkaenam lewat empat puluh lima menit. Tak terasa sudah satu jamlebih sahabatku mengenalkan kampus, berkeliling fakultas sampaisarapan gudeg di pelataran Gedung Pusat. Kemudian Madun

Page 46: BAHAN BARU

mengingatkanku untuk segera registrasi."Daftar ulang jam setengah delapan Wan, kite berangkatnyok! Kalo kesiangan ntar malah lama ngantrinye. Mendingandari sekarang elo udeh ngantri."Sampai di tempat registrasi, kulihat beberapa mahasiswasudah berbaris di depan loket pendaftaran ulang yang belumdibuka, di kaca tiap loket ditempeli kertas bertulis nama beberapafakultas. Aku ikut antri mendaftarkan diri sebagai pendatang barudi kampus ini. Beberapa jam proses administrasi kulalui, selesaijuga registrasiku sebagai mahasiswa baru di Universitas GadjahAku Malu Jadi Aktivis!90[pernah]Mada. Senin depan aku sudah harus mengikuti OrientasiPendidikan dan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan danPengamalan Pancasila). Saat beranjak pulang, tiba-tiba sahabatkuberhenti sejenak dan mengarahkan pandangannya ke salah satumahasiswi yang tengah mengantri, memandangnya tanpa kedip."Liat Wan! Cakep banget tuh cewek!"Aku memandang ke arah yang ditunjuk Madun. Tiba-tibasaja jantungku berdegup kencang. Gadis itu memang cantikdengan wajah yang begitu kukenal, orang yang pernah satu kelasdenganku saat ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Perempuanyang sudah membuatku penasaran, sempat berbincang akrabnamun tak pernah tahu siapa namanya. Lucunya aku malahmenemukannya di sini, di kampus ini, berarti ia diterima juga diUniversitas Gadjah Mada. Kulihat sahabatku tak mau melepaskanpandangan, begitu terpukaunya ia oleh kecantikannya."Woi Dun! Jaga tuh mata! Ngeliatnye jangan sampe nggakngedip gitu kenape!""Bukan begitu Wan, asli cakep banget ni cewek! Kalo liatdandanannye pasti bukan orang asli sini. Gue pengen ngajakkenalan tapi nggak berani. Lo yang mulai aje gimane? Biasanyeelo paling cuek kalo ngajak cewek kenalan. Terserah gimanecaranye, yang penting kite kudu kenalan sama die!""Halah kite! Yang mau kenalan itu elo! Bukan gue! Kenapejuga gue yang mulai duluan?! Pengecut banget sih Dun! Kapanbisa pacaran kalo pengecut mulu kayak begini?! Gue yakinbanget, di Yogya lo pasti belom juga punya pacar! Dari dulusampe sekarang tetep aje begini, nggak pernah berani mulaiduluan! Gimane sih hidup lo?! Malu-maluin gue aje!"Aku Malu Jadi Aktivis!91[pernah]"Ahhh! Cerewet lo Wan! Yang penting berani nggak?! Kalotakut bilang aje terus terang! Pake sok nasehatin gue segala!""Kalo gue berani, lo mau traktir apaan?!""Makan siang gue traktir! Udeh, sono cepetan!"Sengaja tak kuberitahu Madun kalau aku pernah bertemudengannya. Biar saja sahabatku belajar dari kepengecutannyamenghadapi perempuan, sifat yang membuatnya sendirian terustanpa pacar. Pelan-pelan kuberjalan menghampiri gadis itu,mengitar lewat sisi antrian dan menegurnya dari belakang."Maaf, boleh nyelak antriannya nggak? Abis ngantrinyapanjang banget sih."Perempuan itu menoleh cepat ke arahku, raut mukanyaterlihat marah, merasa antriannya yang sudah di barisan belakang

Page 47: BAHAN BARU

saja ingin diselak. Tapi begitu ia melihatku, ia malah tersenyumdengan manisnya, menunjukkan gingsul di gigi kanan namunmalah menambah kecantikannya."Hei! Kamu yang UMPTN bareng aku di SMA TujuhPuluh kan? Dapet di UGM juga ya? Di jurusan apa?""Eh jangan nuduh dulu, dosa lho kalo nuduh tanpa bukti!""He he he, bohong! Pasti kamu dapet di UGM juga kan?Nggak usah bohongin aku deh. Ngapain juga ke sini kalo nggakdaftar ulang?""Lho, kalo aku mau jualan meterai gimana?"Aku membuka tas pinggang dan mengeluarkan sisa meteraiyang tak terpakai lalu menunjukkannya. Ia malah tertawa.Aku Malu Jadi Aktivis!92[pernah]"Nggak mungkin! Ngapain juga jauh-jauh dari Jakarta, kesini cuma jualan meterai. Ngaku aja deh kalo kamu bohong.""He he he, iya, aku bohong. Alhamdulillah aku dapet diAkuntansi. Kamu di jurusan apa?""Aku di Psikologi. Eh, ngomong-ngomong kamu udahregistrasi belum? Kok santai-santai aja? Aku tadi sampe sini jamdelapan lewat, antriannya malah udah panjang begini. Kelarnyajam berapa ya? Panas nih ngantri begini dijemur matahari.""Aku udah di sini dari tadi, dari jam tujuh kurang, dariloket belum dibuka aku udah ngantri, makanya sekarang udahkelar. Nggak apa kok ngantri panas-panas, matahari pagi sehatlho, baru juga jam sembilan. Mau aku temenin ngantrinya? Ehiya, kita belum kenal, aku Muhammad Sarwani, panggil ajaWani. Kalo kamu?""Aku Kirana Vidyadhari Lalita, panggil aja aku Kirana.Tapi bener temenin aku ngantri ya? Males nih ngantri panaspanassendirian. Aku tadi bareng temenku, dia diterima di SastraInggris, tapi ngantrinya di sebelah sana. Nanti aku kenalin deh.""Iya aku temenin. Sama, aku juga bareng temenku yangudah kuliah duluan dari tahun kemaren di Filsafat, tuh dia."Aku menunjuk ke arah Madun yang melihatku denganpandangan macam-macam. Entah kesal, sebal, iri atau cemburukarena begitu mudahnya aku langsung berakrab ria dengan sicantik. Kudiamkan sahabatku sekian lama dan asyik berbincangdengan Kirana, kulihat Madun mondar-mandir tak jelas sambilsesekali memandang ke arahku, menunggu tak karuan karena takberkabar berita padanya setelah berhasil berkenalan.Aku Malu Jadi Aktivis!93[pernah]"Eh Kirana, aku tinggal sebentar ya, kasian temenkunungguin. Harusnya sih tadi aku langsung pulang, tapi begitu liatkamu, aku jadi kepikiran ngajak kamu pulang sama-sama. Darishubuh aku udah muterin kampus diajak sama temenku. Maunggak nanti kita pulang bareng sekalian keliling kampus?""Boleh. Aku juga belum banyak tau UGM nih.""Sip! Nanti biar temenku yang jadi guide-nya. Sebentar,aku tinggal dulu ya."Setengah berlari kuhampiri sahabatku yang mondarmandirdi tempat, menunggu kabar beritaku dengan tak sabar.Begitu ada di depannya, Madun langsung menembakku denganberagam pertanyaan.

Page 48: BAHAN BARU

"Emang-emang lo Wan! Paling jago deh kalo kenalan samacewek! Siape namanye? Fakultas ape? Kostnye di mane?"He he he, sabar dulu Dun! Kalo mau lebih sabar lagi, kitepulang bareng sekalian, lo mau nggak? Die juga bareng temennyetuh, lo mau kenal juga nggak?""Ye mau lah! Eh, lo mau ke mane lagi?!""Gue mau nemenin die lagi, lo tunggu aje di sini!""Rese lo!"Kubiarkan sahabatku kesal menungguku. Madun memangharus belajar menghadapi perempuan, ia tak pernah beranimenegur duluan, selalu aku yang dijadikan tamengnya. Kembaliaku menghampiri si cantik, menemaninya selesai registrasi jugatemannya. Beberapa menit berlalu, aku, Kirana dan temannyamenghampiri Madun, lalu kukenalkan.Aku Malu Jadi Aktivis!94[pernah]"Oiya, kenalin temenku nih, dia udah kuliah duluan tahunkemaren di Filsafat.""Aku Madun.""Aku Kirana.""Aku Fitri.""Lho, kok ngenalinnya singkat gitu? Saling nyebutin namalengkap kenapa? Jelasin adat istiadat, latar belakang budaya jugasekalian, pokoknya semuanya. Tapi maaf ya, temenku ini nggakpunya adat dan nggak berbudaya, namanya aja singkat, cuma'Madun' doang, ha ha ha. Maaf lho Dun, becanda gue."Madun memerah mukanya. Kulihat Kirana yang tertawamendengar celetukanku. Fitri juga tersenyum. Manis sekali temanKirana ini, mungil dengan rambut panjang sepundak dan agakpendiam. Madun meneruskan pembicaraan setelah kupancing."Iya, namaku cuma 5 huruf, M-A-D-U-N, Madun. Maudipanjangin juga boleh, singkatan dari MAsalah DUNia atauapalah terserah, yang pasti namaku cuma itu, Madun. Aku udahkuliah dari tahun kemaren di Filsafat. Jangan sampe lupa, ya."Aku, Kirana dan Fitri terpingkal-pingkal mendengarspontanitas Madun mengenalkan dirinya. Begitu dong! Tak adayang perlu ditakuti berkenalan dengan perempuan! Lepaskan sajasegala ketakutan dan rasa malu itu ketika berhadapan denganlawan jenis. Kirana memegang perut menghentikan tertawanyasedang Fitri menutupnya dengan sapu tangan."Iya deh. Aku Kirana Vidyadhari Lalita, biasa dipanggilKirana, baru kuliah tahun ini di Psikologi. Cukup kan, itu aja?!"Aku Malu Jadi Aktivis!95[pernah]"Aku Fitri Lestari Dewi, panggil aja aku Fitri. Aku jugabaru kuliah tahun ini di Sastra Inggris.""Nah gitu dong, kan akrab! Sekarang kita mau ke mananih? Tadi aku janji ngajak Kirana keliling kampus, sekalian ajaberempat biar Madun yang jadi guide-nya. Mau jalan kaki apanaik bis? Ada sih motornya Madun, tapi nggak mungkin dongnaek motor berempat, emangnye mau akrobat? He he he."Lagi-lagi Kirana tak bisa menutupi tertawanya. Ia begituterpingkal-pingkal sampai memegangi perutnya. Fitri juga tertawanamun menutupinya dengan sapu tangan. Madun makin lepasmeneruskan percakapan itu.

Page 49: BAHAN BARU

"Iya, mendingan kita jalan kaki aja biar sehat. Enak kokjalan-jalan di kampus, sekalian aku tunjukin tempat-tempat yangmenarik di sini, mau nggak? Motor aku pindahin dulu ke Teknikya, deket kok dari sini. Gimana? Kita jalan kaki aja?""Ehm..., Aku bawa mobil, gimana kalo kita naek mobil aja?Nggak mungkin dong mobil aku tinggal di sini trus kita jalankaki keliling kampus? Mending Madun parkir dulu aja di Teknik,kita tungguin deh di sini. Aku sama Fitri juga nggak diuber-uberwaktu kok. Santai aja.""Ya udah, tunggu sebentar ya."Madun memindahkan motornya ke parkiran FakultasTeknik. Tak lama ia kembali, kami beranjak ke mobil Kirana.Masih seperti yang kulihat dulu saat ujian, Starlet warna merahmarun. Ia menyerahkan kunci mobilnya padaku, kumintasahabatku duduk di sampingku untuk jadi pemandu jalan,namun pendapatku berbeda dengan Kirana.Aku Malu Jadi Aktivis!96[pernah]"Jadi guide di belakang bisa ya, Dun? Aku pengen liatkampus dari depan nih, biar nanti bisa lebih tau jalan-jalannya.Nggak apa-apa kan?"Madun mengiyakan dan ke belakang bersama Fitri. Akududuk di depan menyetir mobil bersama Kirana di sampingku.Di belakang Madun dan Fitri sepertinya masih canggung danbelum bisa langsung mengakrabkan diri. Kujalankan mobil pelanpelanmenyusuri kampus melewati berbagai fakultas di UGM.Kampus rakyat dengan kesederhanaannya, meleburkan segalaperbedaan mahasiswanya yang datang dari beragam daerah diIndonesia. Bercampur menjadi satu dalam bagian kebersahajaanmasyarakat Yogya dengan budaya JawanyaSahabatku memberi tahu tempat-tempat yang kami lalui,menyeruak terus hingga ke Jalan Humaniora, tempat FakultasEkonomi, Sastra, Filsafat dan Psikologi berkumpul. Seperti akudan Madun shubuh tadi, mobil berhenti di sisi jalan depanFakultas Ekonomi, sahabatku menjelaskannya."Ini kampusnya Wani, depannya itu kampus Fitri, kalokampusku ada di depan tadi, sebelahan sama kampusnya Kirana.Tapi Filsafat sama Psikologi kalo kuliah masih di Gedung Pusat."Madun menambahkan lagi."Cuma kampus kita yang punya fakultas terbanyak. UGMitu ada delapan belas fakultas, di kampus laen pasti nggaksebanyak di sini. Menariknya dengan fakultas sebanyak itu, kitabisa saling diskusi, sharing keilmuan dengan latar belakangdisiplin ilmu yang berbeda. Tadi pagi aku udah bilang ke Wani,kalo bisa jangan cuma kuliah aja, isi juga dengan berorganisasi.Percaya deh, makin banyak kita kenal temen yang berbedaAku Malu Jadi Aktivis!97[pernah]disiplin ilmu lewat organisasi, makin 'kaya' kita dengan beragamkeilmuan. Aku aktif di Pers Mahasiswa, kalo Kirana sama Fitrinanti mau aktif di mana? Madun sih nggak usah ditanya, palingyang dicari ekstra kulikuler menggambar kartun, nggak ada diUGM Wan!"Kirana menjawab duluan."Wah menarik ya? Aku tadi sempet baca sekilas buku

Page 50: BAHAN BARU

panduan ekstra kulikuler yang ada di UGM, kayaknya MarchingBand deh. Soalnya dulu aku pernah ikut di SMA.""Aku apa ya? Ehm, Pecinta Alam mungkin. Aku dulu diSMA juga pernah ikut, sayang aja kalo nggak diterusin di kuliah."Aku dan Madun kaget melihat Fitri yang kalem danpendiam ini ternyata anak pecinta alam di SMAnya."Beneran kamu suka naek gunung Fit? Wah, klop tuh! Akusama Madun juga hobi, tapi nggak terdaftar klub pecinta alammanapun. Biar nggak ikut tapi kita ngerti kok gunain kompas,nentuin navigasi sama baca peta kontur. Mau nggak, kapanwaktu kita berempat naek gunung bareng? Kamu suka naekgunung juga kan, Kirana?"Mendengar ajakanku, tiba-tiba Fitri malah tertawa."Kirana suka naek gunung? Ha ha ha, waktu ke puncaksama aku aja, cuma naek bukit yang nggak terlalu tinggi, Kiranaudah ngeluh melulu, capek katanya. Gimana mau naek gunungyang berjam-jam baru sampe puncak? Ha ha ha.""Eh, jangan ngeremehin dulu ya! Waktu itu aku memangcapek banget, wajar dong kalo nggak kuat! Tapi boleh juga tuhAku Malu Jadi Aktivis!98[pernah]ajakan Wani, kapan waktu kita naek gunung sama-sama, siapatakut!"Kirana membela diri, namun disanggah oleh Fitri."Naek gunung itu bukan kayak window shopping di pusatpertokoan sayang, kalo haus, kalo lapar, asal punya uang bisa belidi restoran fastfood. Naek gunung itu persiapannya harus matang,fisik juga harus kuat. Tanya aja sama Wani atau Madun kalonggak percaya."Aku dan Madun tak mau menambahi polemik dua orangyang baru kukenal ini. Baru beberapa jam saja karakter merekasudah menunjukkan perbedaannya. Kulihat sahabatku terkagumkagummelihat Fitri yang mulai menunjukkan dirinya dibalik sisipendiam yang kami ketahui tadi. Akhirnya Madun menengahi."Udah begini aja, kapan waktu kita naek Gunung Lawusama-sama, naeknya dari Tawang Mangu, Solo. Di situ jalurpendakiannya gampang dan nggak susah, melandai gitu. Sekalianbawa makanan minuman yang banyak, tapi harus diumpetin darikuda nil yang satu ini, bisa abis bekal kita dimakan dia nanti!"Madun menyindirku yang dibalas tertawaan Kirana danFitri. Tak terasa hari makin siang dan aku belum dapat tempatkost. Fitri juga belum, ia masih menumpang di rumah milikorang tua Kirana yang cukup besar di tengah kota di JalanTimoho. Saat diterima di UGM, ayah ibunya memang menyuruhanaknya itu tinggal di situ sembari mengutus dua orangpembantu dan dua orang tukang kebun untuk menemani. Kiranasendiri sudah berkali-kali membujuk Fitri menemaninya tinggaldi rumah besar itu, namun perempuan manis nan mungil iniselalu menolaknya. Ia tak mau merepotkan temannya denganAku Malu Jadi Aktivis!99[pernah]menumpang. Kami berkeliling di perumahan penduduk dekatkampus mencari kost, akhirnya aku dapat di di Jalan Kinanti,kebetulan masih ada kamar yang kosong, Madun ikut-ikutanpindah di situ bersebelahan dengan kamarku. Fitri dapat di

Page 51: BAHAN BARU

daerah Pogung yang masih masuk lagi ke dalam.Saat hari bertambah siang, kami berempat mampir diwarung tenda dekat Rumah Sakit Sardjito. Madun yangmembayari semua, kebetulan dia baru dapat honor tulisan darikoran daerah, jadi tak ada masalah bila makanku banyak sepertibiasanya. Selesai itu, di depan Fakultas Teknik tempat motorMadun dititipkan, kami berpisah dan saling berjanji untuk tetapbertemu lagi di lain waktu.Ketika Astuti melaju ke rumah kost Madun, tiba-tiba akuteringat Agung. Bagaimana ia kabarnya? Apakah suratku sampaike tangannya? Apa kabar ceritanya di Yogya?Aku Malu Jadi Aktivis!100[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!101[pernah]KuliahPenataran P4 pola 100 jam benar-benar membuatku lelah.Dari pagi sampai sore selama dua minggu penuh kami mahasiswadiwajibkan mendengar ceramah tentang kebanggaan menjadibagian dari Indonesia tercinta. Bhinneka Tunggal Ika dalamseribu kepulauan, pertumbuhan ekonomi berjangka melaluiswasembada pangan, keberlangsungan demokrasi politik lewatpembangunan bertahap, toleransi dan kerukunan umat beragama,juga berbagai permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegarayang tak luput dalam pembahasan. Nantinya juga dalampembagian kelompok kami diwajibkan membuat banyak makalahuntuk saling mengadu keyakinan Pancasila lewat berbagai diskusi.Di SMA aku pernah belajar Tata Negara, guruku PakSingarimbun dengan suara yang keras dan lantang menyuarakanpendapatnya tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.Berbagai permasalahan yang mengendap dan terlupakan di negeriini diumbarnya dalam kelas. Tapi saat kuikuti penataran P4 yangkudengar adalah hal-hal ideal, segala bentuk cerita yang pernahdikemukakan guruku seolah tak pernah terjadi, namun tak adapenjelasan konkrit atas itu semua, kami hanya diajarkan untukhidup dalam satu keseimbangan sistem sebuah negara tanpa perlubanyak protes, semua sudah ada yang mengatur.Sudahlah, aku juga tak mau ambil pusing, kuikuti sajasemua proses ini tanpa banyak protes, toh hanya dua minggu.Sesudah itu kegiatan orientasi pengenalan kampus selama empathari, setelahnya nanti kuliah baru dimulai.Hari pertama Ospek seluruh mahasiswa dari delapan belasfakultas dikumpulkan di depan Gedung Pusat, dibentuk kegiatanAku Malu Jadi Aktivis!102[pernah]mencintai kampus. Kulihat Kirana di barisan Fakultas Psikologi,aku tersenyum padanya yang dibalas dengan manisnya.Jantungku berdegup kencang, entah apa yang kurasa tapi setiapkali melihatnya selalu ada desiran halus di hati ini. Rasa yang takkaruan sejak pertama kali melihatnya di SMA Tujuh Puluh saatujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, pun ketikaku bertemu lagidi kampus ini sebagai mahasiswa baru.* * * * *Pulang kuliah kulangsung masuk ke kamar Madun, ia

Page 52: BAHAN BARU

masih terlelap sehabis bergadang semalaman mengetik artikeluntuk majalah kampus. Begituku datang, ia menggeliat malas,bangun dari tidur dan duduk di pinggir kasur."Sekarang jam berape Wan?""Udeh jam sepuluh! Ini anak tidur udeh kayak uler ajenggak inget waktu gitu! Kuliah nggak Dun? Kalo nggak, anteringue ke tempat Agung nyok! Ampir sebulan gue di Yogya belomjuga ketemu tuh anak. Kost di mane die?""Wah, lumayan jauh tuh, di Wirobrajan, deket kampusnyegitu. Untungnye hari ini gue nggak ade kuliah, jadi bisa nganterinelo sekalian kite keliling Yogya. Tapi si Agung tuh emang payahWan! Udeh setaun sama-sama kuliah di Yogya, udeh tiga kali gueke tempatnye, dienye malah belom pernah ke mari. Kayak yangpaling sibuk aje sampe nggak inget temen gitu!"Madun beranjak ke kamar mandi, aku melihat tulisan yangbaru diketiknya, 'Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Indonesia?'.Sahabatku menulis sebuah kutipan di paragraf pertama yangmembuatku tertarik untuk membacanya.Aku Malu Jadi Aktivis!103[pernah]Ada dua cara untuk menjalani hidup ini dengan mudah,percaya pada segala sesuatu atau meragukan segala sesuatu;kedua cara tersebut membebaskan kita dari berpikir.(Theodore Rubin)Selanjutnya di tulisan itu sahabatku membahas gerakanmahasiswa angkatan 66, 74 dan membuat perbandingannyadengan angkatan sekarang. Nama Soe Hok Gie dan HarimanSiregar disebutnya sebagai bahan komparasi. Saatku membaca,Madun membuka pintu kamar, cengengesan melihatku tengahmembaca tulisannya, persis ketika dulu ia memintaku membacapantun cintanya untuk Tati di SMP."Gimane menurut lo Wan? Dapet nggak poin yang maugue sampein di tulisan itu?""Sabar Dun, gue kelarin dulu bacanye baru gue komentar!"Selesai membaca empat halaman tulisan Madun, ada yangtak kumengerti dan kutanyakan padanya."Maksud lo di tulisan ini ape Dun? Gue nggak ngerti samaperbandingan yang lo bikin, ngebedain mahasiswa sekarang samaangkatan 66 juga 74. Di tulisan ini ada kesan mahasiswa sekarangcenderung permisif, kuliah cuma kuliah doang, nggak ada kesanjadi agent of change, emangnye ade ape? Trus sebenernye ape sihyang mau lo angkat di tulisan ini?""Gini Wan, sistem yang ada sekarang memang susah bikinkite kayak mahasiswa angkatan dulu, begitu ngeliat pemerintahnggak beres langsung protes turun ke jalan nyuarain isi hatinurani rakyat. Mahasiswa itu juga rakyat, wajar kalo kite jugaberhak menyuarakan apa-apa yang kite rasa sebagaiAku Malu Jadi Aktivis!104[pernah]ketidakberesan. Lo liat sekarang paling nggak ntar lo rasainsendiri, di kampus mahasiswa dibikin sibuk sama tugas-tugaskuliah, sistem SKS, belom lagi tenggat waktu kuliah yang dibatasikalo nggak mau D.O. Lah, hal-hal kayak begini bikin mahasiswabanyak yang nggak peduli sama keadaan. Simbol perguruantinggi itukan ada tiga, menara gading sebagai simbol eksklusivitas

Page 53: BAHAN BARU

mahasiswa, menara api sebagai penyemangat ke arah perbaikandan menara air sebagai peran perguruan tinggi dalam menerapkanilmunya untuk masyarakat. Yang ada sekarang, mahasiswa cumadiliat sebagai menara gadingnye doang! Itu sih yang mau guesampein, mengkritisi supaya nggak cuma kuliah doang. Pedulijuga dong sama masyarakat, sama lingkungan!"Aku termanggut-manggut mendengar penjelasan Madun.Baru juga kuliah beberapa hari sudah diceramahi hal-hal anehyang baru kudengar darinya."Lantas apa hubungannye sama kutipan awal tulisan elo ituDun? 'Membebaskan berpikir itu dengan percaya pada segalasesuatu atau meragukan segala sesuatu?' Gue nggak ngerti.""He he he, itu cuma pembuka tulisan, istilah jurnalistiknyelead, atau paragraf pertama dalam sebuah tulisan. Berhasiltidaknya sebuah tulisan menarik minat pembacanya, ditentukansama lead itu sendiri. Gue masukin kutipan itu buat penghubungke isi tulisan, kalo kite percaya sama sesuatu, segigih apapunmeyakininya, kite nggak akan pernah peduliin orang lain maungomong apa atas keyakinan itu, begitu juga sebaliknya, ketikakite ngeraguin sesuatu, kite bener-bener nggak akan pernah bisalangsung percaya apa-apa yang diyakinin orang laen, peduli orangmau ngomong apa atas keyakinan yang kite raguin itu. GueAku Malu Jadi Aktivis!105[pernah]ngajak orang yang baca tulisan gue ini buat percaya, bahwamahasiswa sebenernye agent of change, sekumpulan orang yangbisa merubah keadaan dengan aksi-aksinya. Elo baca lagi bukunyaSoe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran. Ehm... tapintar aje dilanjutin lagi, kite kan mau ke tempatnye Agung. Kalolo minat, masuk aje Pers Mahasiswa, di sono banyak tementemenyang punya pemikiran kayak begini."Di atas motor Madun aku memikirkan segala omongansahabatku ini. Sedemikian rumitkah jadi mahasiswa? Mesti jugamengurusi hal-hal di luar batas belajar dan menuntut ilmu?Peduli sama masyarakat dan lingkungan? Bentuknya seperti apa?Kusimpan dalam-dalam pertanyaan itu dan tak kulontarkanpadanya. Sampai di depan gang tempat kostnya Agung, Madunmenyuruhku turun lalu menuntun motornya melalui jalan kecilitu."Tuh kamarnye Agung Wan, yang di depannye ade stikerMetallica. Sono gih, elo duluan yang nyamperin. Jangan lupa ye,lo ketok Agungnye, ntar pintunye yang keluar, ha ha ha...""Tebalik woi! Yang bener ketok pintunye, Agungnye yangkeluar! Elo ngomong pake dibalik-balik!"Madun meminggirkan motornya mencari tempat parkir,aku agak ragu mengetuk pintu kamar kost Agung, takut salahkalau itu bukan kamarnya. Agak lama kuterdiam di depan kamarsampai Madun menghampiri dan membuka pintu seperti polisiyang sedang menggerebek lokalisasi."Cepet angkat tangan! Kamar ini sudah kami kepung!Ditaroh di mane tuh perempuan! Jangan berzinah di tempatgelap kalo nggak mau digerebek!"Aku Malu Jadi Aktivis!106[pernah]"Setaaaaaaaaaannn...! Bikin kaget gue aje! Eh, ada elo Wan,

Page 54: BAHAN BARU

kapan dateng? Sori kalo gue nggak sempet ngejemput, tugaskuliah gue banyak banget."Madun tertawa ngakak melihat Agung yang tengah tidursiang jadi terbangun kaget karena kelakuannya. DitimpuknyaMadun dengan bantal, lalu dengan agak terhuyung Agungbangun dari tempat tidurnya, menatapku kosong. Sahabatkreatifku ini menyapaku datar-datar saja, seolah kedatangankudan Madun ke tempatnya adalah hal yang biasa. Tak sepertiMadun, sahabatku dari alam rahim saat menjemputku di StasiunTugu dengan sambutannya yang hangat."Elo ini kenape Gung? Depresi? Ade ape? Muke lo nggakbisa bo'ong, kayak orang lagi tertekan gitu. Bilang sama gueGung, siape yang udeh merenggut keperjakaan lo! Bilang samague! Jangan cuma diem aje!"Aku mencandai Agung seperti Madun mencandainya. TapiAgung tak tertawa, tetap saja berekspresi datar. Sementara Madunhabis-habisan tergelak-gelak tawanya melihat Agung yang tak bisamenyunggingkan satu kurva senyum kecilpun di bibirnya."Halah! Elo bedua nih sama aje, becandaaaaa... mulu kayaknggak pernah susah! Sori Wan, gue lagi pusing banget samatugas-tugas kuliah. Gue juga nggak tau gimane cara nyelesaiinnye.Kuliahnye sih suka, tapi tugas-tugasnye bikin gue muntah! Lobayangin aje, mata kuliah Ilustrasi tugas satu semester kudungerampungin lima ratus gambar sketsa! Itu aje gue ngulangsemester ini. Trus mata kuliah Gambar Bentuk gue juga ngulang,tiap minggu harus bikin tiga gambar benda yang saling berbedadan nggak boleh sama. Belom lagi mata kuliah laen yang bikinAku Malu Jadi Aktivis!107[pernah]kepala gue rasanye mau pecah. Ternyata kuliah di PerguruanTinggi Seni nggak seasyik yang gue kira!""Elo itu Gung, kerjanye ngeluuuuuuhhh... melulu! Jalaninaje ape adenye, nggak usah dibawa beban! Kalo emang suka samakuliahnye masa iye bisa pusing sama tugas-tugasnye?! Lah panyang milih kuliah seni elo juga, nggak ade yang maksa. Itu udehkonsekuensi sama ape yang lo pilih Gung! Mumpung gue bawaWani nih, mau nggak dibantuin die? Tuh Wan, lo bantuinAgung gih ngerjain tugas kuliahnye, elo kan juga seneng gambar!Mumpung tuh, gimane?!""Emang tugas kuliah elo kayak apaan aje sih Gung? Sampesegitu depresinye elo. Mau gue bantuin nggak? Tapi ntar temeningue sama Madun keliling Yogya ye?! Gue belom pernah keMalioboro nih! Gimane?! Mau gue bantuin?!""Nggak usah deh Wan, biar gue aje yang ngelarin. Lagiankalo elo yang gambar ntar karakter gambarnye malah beda. Kalodosen gue tau, bisa berabe di gue!"Kulihat kamar Agung yang berantakan. Gelas bekas kopiyang sudah mengering di sudut kamar, gulungan kertasmenumpuk tak beraturan, meja gambar yang penuh denganlembaran kertas sketsa ilustrasi dan tinta cina serta kuasnya yangmasih terbuka. Kuambil kumpulan goresan ilustrasi Agung dimeja gambar, kususun rapi lalu kulihat-lihat."Sori nih Gung, gue nggak ngerti seni secara akademis, tapidari coretan ini ketauan kalo elo kayaknye emang lagi depresi.Gue ngeliatnye, di gambar-gambar awal tarikan garis lo itu luwesabis, natural dan apa adanya. Tapi pas di gambar-gambar yang

Page 55: BAHAN BARU

terakhir, keliatan banget kalo elo ngerjainnye buru-buru, garisnyeAku Malu Jadi Aktivis!108[pernah]patah-patah, banyak bentuk nggak jelas, kayaknye asal jadi aje.Bener begitu Gung?!""Eeeghhh... Nggak tau deh Wan! Bisa jadi bener ape yanglo tebak. Stres gue ngerjain tugas kuliah banyak begini. Yang adegue ngerjain tugas udeh kayak supir omprengan ngejar setoran,yang penting kelar nggak peduli sama kualitas.""Tapi ini parah Gung! Di gambar-gambar terakhir guenggak bisa nangkep karakter elo! Ayo dong! Di KALEM elo ituyang paling kreatif, masa iye ngadepin tugas kuliah aje jadi kayakbegini?! Emang gimane sih cara elo ngerjainnye?!""Ye! Gue ngerjainnye kayak biasa! Tugas dari kampus, guekerjain di kost, udeh, gitu doang! Emangnye mau yang kayakgimane? Sampe nungging-nungging?!""Lah ni anak emang aneh! Dulu paling kreatif, udeh gitukuliahnye di seni, sekarang malah jadi tumpul begini! Asli guekecewa Gung! Sumpah! Mending sekarang lo ikut gue deh! Bawapapan gambar lo sekalian, kerjain tugas elo di jalanan, jangan dikost mulu! Bodo amat orang ngeliatin yang penting elo ngerjain!Nyok berangkat! Lo bawa motor juga ye!"Setengah malas Agung beranjak dari kasur lalu mengambilbeberapa lembar kertas A4 lumayan banyak, tak lupa juga segalaperlengkapan menggambarnya dimasukkan ke dalam tas. Ia jugabilang kalau aku ingin ikut menggambar sudah dibawakannyasekalian. Selanjutnya kami bertiga berangkat ke Malioboro,memarkir motor di tempat parkiran lantas menyusuri jalansambil cuci mata. Di depan Pasar Bering Hardjo mata Agungtiba-tiba berbinar melihat sesuatu. Seorang ibu paruh baya tengahmenggendong barang yang diselubungi kain di punggungnya.Aku Malu Jadi Aktivis!109[pernah]"Nongkrong di sini sebentar ye! Gue mau ngegambarsuasana di Bering Hardjo, asyik nih kayaknye!"Aku dan Madun manut saja. Agung mengeluarkanperlengkapannya, ia juga memberiku papan gambar, beberapalembar kertas, pensil dan spidol hitam. Awalnya aku tak mengertiapa yang dimaksud Agung dengan menggambar suasana PasarBering Hardjo, namun begitu melihat sketsa yang ia buat, ibutadi yang menggendong barang besar di punggungnya dengansuasana dan latar belakang keriuhan pasar, aku jadi mengerti. Akuikut-ikutan seperti Madun menggambar suasana di situ dari sudutyang berbeda, pedagang souvenir yang tengah menunggu pembelidengan latar belakang orang-orang yang berjalan menyusuriMalioboro.Beberapa orang yang lewat sesekali menengok, bahkan adayang menghampiri dan melihat kami dari dekat. Madun yang takbisa menggambar, menggerecoki dengan berteriak-teriak bakorang kesurupan, seperti pedagang kaki lima yang menjajakanbarang, namun yang dijajakannya itu aku dan Agung."Mari Pak, Bu, Mas, Mbak, menggambar cepat! Monggo!Ada dua orang pegawai saya yang siap menggambarkannya.Gratis! Nggak usah bayar! Mari, nggak usah malu-malu!"Aku mendelik sebal ke arahnya yang dibalas dengan

Page 56: BAHAN BARU

tertawaan Madun. Kulihat Agung tetap tenang tanpa ekspresi,menggambar tanpa terganggu orang-orang yang melihat kamidari dekat dan kelakuan aneh Madun. Sebelas gambar sketsadibuat Agung dengan cepat, sedang aku hanya tiga gambar.Selanjutnya kami berpindah ke perempatan ujung jalanMalioboro di depan Gedung Bank Indonesia. Kumpulan tukangAku Malu Jadi Aktivis!110[pernah]becak lagi-lagi menarik perhatian Agung untuk menggambarnya.Kebetulan di sana juga ada pertunjukan jathilan23 lengkap dengankerumunan orang yang menonton, membuat alternatif suasanapenggambaran sketsa jadi lebih banyak ragamnya. Akumenggambar tak secepat Agung, baru satu yang kuselesaikan,sahabat kreatifku sudah lima, sampai akhirnya aku hanyamerampungkan empat, Agung menyelesaikan delapan belassketsa. Begitu terus, kami berjalan mencari tempat-tempat yangmenarik di sepanjang jalan sampai tak sadar hampir lima puluhgambar sketsa dibuat Agung dengan cepat dalam perjalanan kamidi Malioboro."Wah, thanks banget nih Wan, Dun, kalo nggak ada elobedua, nggak mungkin gue bisa bikin tugas sketsa ilustrasi sampesebanyak ini. Sekarang mau ke mane nih kite?!""Terserah Wani, gue sih cuma nganterin doang. Mau kemane kite Wan?!"Aku bingung mau ke mana lagi. Pikiranku masih terbayangwajah cantik Kirana. Sewaktu Ospek selesai, ia memberiku alamatrumahnya dan berpesan untuk mampir ke kediamannya."Eh, kita ke rumah Kirana aje nyok! Gimane?!""Wah! Ide bagus Wan! Gimane Gung?! Elo mau nggak,kite kenalin sama anak Psikologi UGM?! Orangnye cantik, asyik,baek pula. Tapi jangan coba-coba deketin die ye! Udeh jatah kitebedua! Kalo elo mau, cari yang laen aje, jangan yang lagi kiteincer! Ibu-ibu di Bering Hardjo cocok buat elo tuh, ha ha ha..."3 Tarian tradisional yang penarinya menggunakan kuda kepang dan dilengkapidengan unsur magis. Tarian ini digelar dengan iringan beberapa macam alat musikgamelan seperti kendang, saron dan gong. (Sumber: Dinas Pariwisata DIY)Aku Malu Jadi Aktivis!111[pernah]"Kirana? Siapa tuh?"Agung bertanya bingung, aku juga agak kaget mendengarMadun yang berniat mendekati Kirana. Aku tak mau kejadianTati terulang, di mana saat itu aku lebih mengorbankan perasaandemi sahabatku dari alam rahim ini. Saat ini rasaku tak karuanpada Kirana, mungkin memang suka atau malah cinta. Rasa itujuga yang membuatku jadi terbakar perasaan oleh pernyataanMadun, kemudian aku jawab pertanyaan Agung."Kayak kata Madun tadi Gung, Kirana itu anak PsikologiUGM, tinggalnye di Timoho, tapi rumahnye di Jakarta, di Yogyadie emang punya rumah di situ.""Timoho?!""Iye, die tinggal di Timoho. Nah elo sendiri gimane Dun?Elo suka juga sama Kirana? Ngaku aje deh, terus terang!"Ada nada cemburu yang keluar dari kata-kataku ketika

Page 57: BAHAN BARU

menanyainya yang dijawab sambil tertawa."Emangnye kenape kalo suka? Elo lagi ngincer Kirana ye?Ha ha ha, Wani, Wani.... Nggak kok Wan, gue liat Kirana itulebih suka sama elo ketimbang sama gue. Ketauan banget kok,waktu kite berempat keliling kampus sama Fitri, die maunyedeket elo melulu. Lagian nih, Kirana juga kayaknye agak borju,nggak bakalan cocok deh sama gue. Mendingan juga gue samaFitri, anaknye manis, kalem, tapi ternyata banyak hal di diri dieyang bikin kite jadi terbengong-bengong gitu. Iye kan? Siapesangka anak kalem kayak die sukanye naek gunung? Pokoknyekapan waktu kite kudu nepatin janji naek gunung sama-samamereka. Ajak si Agung sekalian, itu juga kalo die mau!"Aku Malu Jadi Aktivis!112[pernah]Ada sedikit rasa legaku mendengar penuturan Madun. Akutak mau menambah pertanyaan lagi padanya, biar saja di rumahnanti kumintai pendapatnya bilamana aku mendekati Kirana.Bertiga kami langsung menuju Jalan Timoho, mencari rumahKirana dan sampai di rumah besar berpagar putih denganhalamannya yang luas. Seorang bapak kisaran umur empatpuluhan menanyai kami dari balik pagar, kami menjawab bahwasemuanya adalah teman kampusnya Kirana. Ia membuka pagardan mempersilahkan kami duduk di beranda rumahnya yang asri.Madun terkagum-kagum melihat rumah besar itu, lain denganAgung, ia malah mengeluarkan peralatan menggambar danmenggoreskannya di atas kertas, membuat lagi sketsa ilustrasi.Tak lama Kirana keluar dari dalam rumah, tersenyumdengan manisnya, matanya yang bulat dan besar berbinar indahbegitu melihat kami, menyambut dengan hangat ditemani Fitriyang ternyata juga ada di situ."Eh Wani, Madun. Susah nggak nyari rumahku? Ayomasuk, jangan di luar aja! Temennya juga tuh."Madun menatap Fitri. Ada binar kagum yang terpancardari matanya. Aku melihat Kirana cantik sekali hari ini. Kaosmerah muda dengan celana pendek putih selutut bermotif batik.Ah, tiba-tiba saja rasaku makin tak karuan. Berbasa-basi sedikitlalu kukenalkan Agung pada mereka berdua."Eh, Fitri lagi di sini juga ya?! Kenalin dulu nih temenku,Agung, kuliah di ISI udah dari tahun kemaren. Temen dariJakarta juga, sama kayak si 'Dung Dung Pret' ini."Kirana tertawa ngakak sedang Fitri tersenyum manismendengarku asal ngomong menyebut Madun dengan panggilanAku Malu Jadi Aktivis!113[pernah]'Dung Dung Pret'. Agung yang sudah kubilang untuk berkenalandengan dua perempuan cantik teman kampusku ini masih sajaasyik menggambar, lama setelah itu ia baru menoleh. Sebelummenyodorkan tangannya pada Fitri dan Kirana, teman kreatifkuini menatap mereka berdua dan terpana, beranjak bangun lalumengenalkan namanya."Aku Agung.""Aku Kirana.""Aku Fitri."Di rumah itu kami berbincang-bincang sambil bercanda.Dasar Agung, setelah menyebutkan namanya ia tak lagi bicara

Page 58: BAHAN BARU

malah diam-diam menggambar Kirana juga Fitri. Selesai ituditunjukkannya gambar itu yang dibalas kekaguman Kirana padasahabat kreatifku."Waaaah.... Agung gambarnya bagus! Kamu pinter deh,pantes sih anak ISI. Ini buat aku ya?!""Ambil aja. Cuma sket doang kok.""Makasih ya Agung. Kamu baik deh."Aku agak cemburu melihat Agung mencuri perhatianKirana dengan gambarnya. Sebelum hatiku makin terbakar olehperasaan, Madun membelaku di hadapan Kirana."Wani juga bisa gambar lho Kirana. Dari SMP merekaberdua udah sering ngartun trus dikirim ke koran sama majalah.Ayo Wan! Karikaturin tuh Kirana sama Fitri!"Kuambil papan gambar dan kertasnya dari Agung,kukarikaturi mereka berdua dalam satu kertas. Kepala agak besarAku Malu Jadi Aktivis!114[pernah]dengan badan yang lebih kecil, jauh dari proporsi gambaranatomi manusi secara normal. Wajar saja, inikan karikatur.Selesai menggambar kuberikan pada Fitri."Gambarnya buat Fitri aja ya? Kirana kan udah dapet dariAgung, he he he.""Iiiiiiiiiihhh... lucuuu...!"Fitri berkomentar singkat. Kirana yang melihat karikaturgoresanku, langsung merebutnya, memberikan sket yang dibuatAgung untuknya dan diberikan pada Fitri."Waaah, gambarnya lucuan ini. Aku ini aja deh, Fitri yangitu aja ya?!""Nggak bisa Kirana! Wani ngasih ini buat aku! Kamunggak boleh gitu dong! Kebiasaan jelek kamu dari dulu nggakilang-ilang! Selalu nggak pernah puas sama apa yang kamu punya!Belajar dong menghargai pemberian dan haknya orang lain!Katanya kuliah di Psikologi, kok ya masih begini aja sih!"Fitri merebut kembali gambar karikatur yang direbuttemannya, sementara mulut Kirana memonyong cemberut sambilmengambil sket buatan Madun. Melihat itu aku menengahi.Sudah, sudah... Nanti aku bikinin karikatur spesial cumabuat Kirana. Tapi jangan lupa, honornya ditransfer ke rekeningbank aku secepatnya ya? Ha ha ha..."Iiiih� Wani jahat! Masa aku harus bayar! Tapi bener ya?!Gambarin aku karikatur yang bagus."Kirana menyubit perutku pelan, efeknya pada jantungkuyang terasa berhenti sekian milidetik, kemudian berdegup lagiAku Malu Jadi Aktivis!115[pernah]lebih kencang. Madun melihatku sambil mengisyaratkan sesuatu.Agung menyelak pembicaraan, menawarkan diri."Daripada nungguin gambar Wani kelamaan, gimana kalosekarang Kirana aku gambar lagi aja?!""Nggak usah repot-repot Gung, aku tetap setia nungguingambar temennya 'Dung Dung Pret' ini kok, ha ha ha... Aduh,maaf ya Madun, gara-gara Wani nih, aku jadi ketawa melulu.Ada-ada aja sih celetukannya Wani, he he he."Kirana menjawab Agung sambil mencandai Madun. LagilagiKirana memegang tanganku gemas, lalu mencubitnya pelan.

Page 59: BAHAN BARU

Rasaku makin tak karuan saja.Setelah sekian lama di rumahnya, kami bertiga pamitpulang. Kirana melepas kami di depan pagar sambil mengucapjangan bosan datang ke rumahnya. Fitri tersenyum denganmanisnya. Madun masih saja cerewet, mengatakan pada Kiranadan Fitri bahwa janjinya mengajak naik gunung akan ditepatinyananti. Agung masih tetap dengan lagak sok pendiamnya.Sementara aku, masih saja mengagumi wajah cantik Kirana saatberanjak pulang.Aku Malu Jadi Aktivis!116[pernah]Aku Malu Jadi Aktivis!117[pernah]Taqlid34Omongan Madun tentang mahasiswa, kuliah, kampus danagent of change benar-benar meracuniku. Tak sekedar kuliah, akujuga aktif di organisasi mahasiswa. Tak tanggung-tanggung,kuikut tiga kegiatan, Koperasi Mahasiswa karenaku mahasiswaFakultas Ekonomi, Pers Mahasiswa untuk menyalurkan hobikreatifku serta silat Merpati Putih melanjutkan yang pernahkuikuti saat di SMA dulu.Hari-hariku penuh dengan segala aktivitas. Di Kopma akubelajar organisasi perusahaan dalam skala koperasi. Di PersMahasiswa tak hanya menggambar untuk menyalurkan hobikreatif, aku juga belajar menulis yang baik seperti Madun. Di silatMerpati Putih untuk berolah raga, jadwal latihannya Senin danKamis sore, berbarengan dengan jadwal Marching Band Kirana.Setiap selesai latihan, biasanya kami saling menunggu untukmenghabiskan sore bersama-sama.Aku jadi dekat dengan Kirana. Hari-hari yang kami laluitelah mengikat erat rasa ini. Entah dengan Madun, sudah berapajauh mengekspresikan perasaannya pada Fitri, perempuan yangtelah menumbuhkan rasa di hatinya. Kost Fitri dekat dengantempat kami, sekian ratus meter jaraknya, tapi sahabatku belumjuga berani mengunjungi sendiri, selalu memintaku menemani.Aku makin asyik dengan aktivitasku dan membiarkanMadun menyelesaikan masalahnya sendiri. Permasalahan yang4 Menurut definisi para ulama, taqlid adalah mengikuti, tunduk, mengambilpendapat orang lain, seseorang atau sekelompok ulama, dengan tanpa mengetahuidalilnya. Misalnya mengambil satu hukum, atau tata cara ibadah dari salah satumadzhab tanpa mempelajari dalilnya.Aku Malu Jadi Aktivis!118[pernah]tak pernah selesai bertahun-tahun, ketidakberaniannya dalammengekspresikan perasaan pada perempuan yang disukainya,pelan-pelan bisa membunuh rasa percaya dirinya.Madun sudah teramat sering kuingatkan, namun tetap sajadiindahkan. Sudah beberapa kali Kirana mampir ke kostmencariku dan belum pernah sekalipun Fitri datang ke marimencari Madun. Kalaupun Fitri datang ke sini biasanya kamiberempat janjian dulu untuk ngobrol atau sekedar bercandasepulang kuliah. Banyak yang kami bicarakan; kampus, kuliah,dan masa depan. Sesekali berdiskusi kontemplatif tentang tujuan

Page 60: BAHAN BARU

hidup, pencarian dan kehidupan. Di sini biasanya Madun yangmemegang kendali, Kirana dan Fitri diam menyimak, tapi akuselalu melencengkannya ke arah bercanda agar tak terlalu serius.Tapi sebaliknya saatku serius membahas sesuatu, Madun malahmembalas meledekku yang selalu disambut tertawaan Kirana danFitri. Tapi lagi-lagi, belum pernah kulihat Madun melakukanpendekatan khusus pada Fitri seperti aku yang selalu bersamaKirana setiap Senin dan Kamis."Gimana elo bisa dapetin Fitri kalo begini melulu Dun?!Dateng dong ke kostnye sendiri, ajak jalan ke mane kek, jangantiap mau ke kostnye ngajak gue melulu! Ntar kalo Fitri naksir guegimane? Berabe tau!""Halah! Jangan sok kegantengan deh Wan! Sok yakinbanget kalo Fitri bakal suka sama elo! Lagian kayaknye Fitri jugatau kalo elo lagi deketin Kirana, masa iye bisa naksir elo, ha ha ha,mimpi kali Wan! Masalah gue udeh deh, biarin aje! Gue percaya,cinta itu datang dengan sendirinya, cinta itu hadir tanpa terpaksa,cinta itu tumbuh dari benih-benih kebutuhan setiap insan untuksaling mencintai. Gue memang harus bersabar atas rasa ini."Aku Malu Jadi Aktivis!119[pernah]"Sabar sampe kapan?! Sumpah gue geregetan ngeliat elopengecut gini Dun!"Madun tak menjawab, hanya tersenyum lantas berlalu kekamarnya. Aku tak pernah mengerti apa yang ada dalampikirannya tentang cinta, pandai sekali ia merangkai kata danmenuangkannya dalam bentuk kalimat, namun bodoh dalampenerapan. Aku tak pernah berpikir banyak tentang cinta. Rasakuyang tak karuan terhadap Kirana, membuatku ingin selalumelihatnya tersenyum, tertawa dan bahagia, melalui hari bersamadengan keceriaan dan kegembiraan. Cuma itu, aku tak pandaimengungkapkannya dengan untaian kalimat yang indah sepertiMadun. Kepercayaan buta bahwa cinta datang tanpa usaha benarbenarmembuatku tak mengerti apa yang dikonsepkan sahabatkuini tentang cinta.* * * * *