Balairung Koran_Membaca Dinamika Ruang Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Edisi Mahasiswa Baru 2011DAFTAR ISULAPORAN UTAMATendensi Regulasi Mempengaruhi Langkah Perpustakaan [8]Problematika Taman Pustaka [10]Pemetaan Strategi Tentukan Nasib Perpustakaan [12]Strategi Solutif dalam Ruang Pustaka Alternatif [14]STATISTIKTimpangnya Jumlah Ketersediaan Buku di Perpustakaan Yogyakarta [16]SISI LAINSudut Terlupakan dari Perpustakaan [18]APRESIASIEkspresi Responsif Konstruksi Ruangan Pustaka [20]SOSOKMengintip Keterampilan Menulis Sang Seniman [22]REHALMembukukan Buku [24]POTRETMengucap Syukur Lewat Tradisi [26]EUREKAMenilik Urgensi Perlindungan Karya Cipta Buku [28]KOLOM PAKARPustakawan Penggila Buku [30]KILASMenyoal Tarif Masuk Kampus Kerakyatan [32]OPINIBuku, Magnet Utama yang Diabaikan [33]Memupuk Asa di Dalam Perpustakaan [34]Mari Membuang Buku [36]

Citation preview

balkon

Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

Pustaka

Ruang

www.balairungpress.com

Membaca

Dinamika

Selamat datang

mahasiswa biasa

biasa-biasa saja

di kampus yang

LINCAK

Wajah-wajah segar kembali menghiasi kampus biru. Layaknya sebuah siklus, kedatangan mahasiswa baru adalah peristiwa yang terjadi tahun demi tahun. Penyambutan pun seolah menjadi ritual wajib untuk dipersembahkan kepada segolongan elit yang disebut-sebut sebagai kalangan intelektual. Namun kami tak mau menjadikan penyambutan ini sebagai rutinitas biasa ataupun basa-basi ala kadarnya. Kami menginginkan sebuah pemberian yang berkesan dan benar-benar dipandang perlu. Untuk itu, kami mempersiapkan Balkon spesial mahasiswa baru ini dengan penuh pikiran dan tenaga. Koordinator dan Tim Kreatif dibentuk jauh-jauh hari. Serangkaian pertemuan untuk membahas ide dan teknis kerja dihelat. Seluruh rencana akhirnya lebur dalam kerja. Tentunya dengan segenap awak yang bersedia menyisikan hari liburnya untuk menghasilkan sesuatu yang berharga. Menyajikan sesuatu yang terlihat berat secara lugas namun tetap mengedepankan ketajaman analisis adalah sebuah tantangan. Tema Perpustakaan memang terdengar klise pada awalnya. Namun setelah berbagai sesi curahan ide bersama, kami melihat relevansi tema ini. Secara singkat, ruang pustaka selalu memiliki dinamika yang patut dicermati sekaligus dikritisi. Begitulah, Balkon Spesial ini hadir dengan berita dan ulasan seputar ruang pustaka saat ini. Karena keterbatasan tenaga dan waktu, kami hanya mampu menghadirkan ruang pustaka di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan segala kerendahan hati kami suguhkan Balkon Spesial mahasiswa baru ini sebagai pemantik kesadaran intelektual dan nalar kritis kita. Inilah cara kami menyambut teman-teman mahasiswa baru. Bukan dengan rupa-rupa biaya setinggi menara, atau pungutan uang seribu di depan pintu. Selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja!

Koordinator Balkon Spesial : Muhammad Nafi Tim Kreatif Balkon Spesial : Pelindung : Ibnu Hajjar Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D L. Zaqiy Jatibenang (Rektor UGM) Tommy Gustaviano Yeza Yolanda Fajar Nurmanto Pembina : Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc. Pemimpin Redaksi : Pemimpin Umum : Gading Gumilang Putra Azhar Irfansyah Editor : Ali Anisa Ayuningtyas

Arif Akbar JP Ayu Budi Kusuma W Deni Cahyono Didik Srihartopo Dini Prima Yuniarsih Faris Fachriyan Galih SAN M. Adhi Pratama M. Adib Staf Redaksi : Alfan Suhandi Desi Martika Vitasari Dewi Kharisma Michellia Ferdi Febriano Aggriawan

Fitriani Mamonto Fransiska Mutiara Damarratri Hanindya Naafiani Hesa Adrian Kaswanda Hillary Reinhart Linna Permatasari Muhammad Luthfi Ardyanto Nicko Rizqi Azhari Purnama Ayu Rizky Rizki Ahmad Fauzi Ronald Pippo Hutagao Shandy Wilo Sonia Fatmarani

DAFTAR ISILaporan UtamaTendensi Regulasi Mempengaruhi Langkah Perpustakaan

EurekaMenilik Urgensi Perlindungan Karya Cipta Buku

[28]

[8]

Problematika Taman Pustaka

[12] Strategi Solutif dalam Ruang Pustaka Alternatif [14]Pemetaan Strategi Tentukan Nasib Perpustakaan

[10]

Kolom PakarPustakawan Penggila Buku

[30] [32]

StatistikTimpangnya Jumlah Ketersediaan Buku di Perpustakaan Yogyakarta

KilasMenyoal Tarif Masuk Kampus Kerakyatan

[16]

Opini

Sisi LainSudut Terlupakan dari Perpustakaan

[18]

[33] Memupuk Asa di Dalam Perpustakaan[34] Mari Membuang Buku [36]Buku, Magnet Utama yang Diabaikan

Apresiasi

Ekspresi Responsif Konstruksi Ruangan Pustaka

[20]

Seputar KampusPenolakan KIK Berlanjut

SosokButet Kertaradjasa

[38]Interupsi

[22]Rehal

Mengintip Keterampilan Menulis Sang Seniman

Lain Lain

Membukukan Buku

[24]PotretMengucap Syukur Lewat Tradisi

[4] Isu[6] Si Iyik [40]Lincak

[42] Dapur[44] Gores [47] Bukan Ngakak [48]

[26]

Kepala Riset : Inda Marlina Staf Riset : Beniardi Nurdiansyah Dewi Pertiwi Dhatu Wicaksono Dyah Wahyuningtyas Errina Puspitasari L. Zaqiy Jatibenang M. Misbakhul Ulum Nur Rosyid Pemimpin Perusahaan : Ratri Kartika Sari

Staf Iklan : Lady Denker Mitra Adjie Siti NurAini Wiwit Endri N. Yolanda Fajar Nurmanto

ilustrator : Eka Apriliawan Lukas Alfario Muhammad Khalid Kasogi Tedy Harnawan

Cover Model : Nina Indahsari Fotografer : Medikantyo J. Konsep : Tim Produksi dan Artistik

Layouter : Kepala Produksi dan Artistik : Afdi Alfian Afriana Dwi Cahyani Barlian Gumay Limbaran Tomi S. W. Tommy Gustaviano Yeza Fotografer: Aulia Reza Meziardi Hary Prasojo Syafaatillah Medikantyo Junandika Wulan Septiningtyas

ISU

Dari

Alfabet

Internet

ke

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

da percakapan singkat yang menarik dalam The Day After Tomorrow, film Hollywood besutan Rolland Emmerich. Dalam film yang dirilis 2004 itu, sebagian besar wilayah Amerika Serikat dihajar badai salju. Begitu juga dengan New York. Sebagian warga New York terperangkap di dalam perpustakaan kota, sementara di luar suhu semakin mendingin dan salju mulai mengubur gedung perpustakaan. Tak mau mati membeku, mereka yang terjebak dalam perpustakaan menyalakan perapian dengan membakar apapun. Buku-buku koleksi perpustakaan menjadi bahan bakar utama. Dari buku petunjuk pajak sampai babon filsafat masuk ke perapian. Di tengah upaya yang putus asa itu, seorang laki-laki yang menjabat kepala perpustakaan menggenggam Injil sambil menggigil. Seorang gadis di sampingnya kemudian bertanya: apakah anda percaya pada Tuhan? Tidak, jawab kepala perpustakaan. Lalu kenapa anda menggenggam Injil itu erat-erat? tanya gadis itu heran. Ini Injil Gutenberg, salah satu Injil yang pertama kali dicetak. Injil ini adalah sebongkah peradaban dan aku harus menyelamatkannya, kata kepala perpustakaan sambil memandangi orang-orang yang memasukkan buku-buku ke perapian. Percakapan singkat ini menarik karena tokoh kepala perpustakaan menunjukkan karakter

A

yang unik. Seorang ateis yang mengenggam Injil dalam kekalutan, tapi bukan karena keadaan kalut yang membuatnya mendadak beriman pada Injil. Ia menggenggamnya karena percaya bahwa Injil itu bukan hanya berisi firman dan doa yang tidak ia percaya, tapi juga peradaban! Namun, apakah benar buku-buku menyimpan peradaban manusia? Dalam bahasa Inggris, peradaban disebut civilization. Kamus Merriam-Webster mendefinisikan civilization sebagai Suatu tahapan perkembangan budaya ketika manusia sudah dapat menulis dan menyimpan catatan. Definisi ini jelas meletakkan teks sebagai dasar peradaban, bukan sekadar menyimpan peradaban layaknya museum. Di dalam buku juga bukan hanya gagasan yang dimumikan, namun juga gagasan yang membawa perubahan. Bagian paling kecil namun paling penting dalam buku, yaitu huruf yang sejak awal membuka kemungkinan baru dalam hidup manusia. Bangsa Fenisia merupakan salah satu bangsa pertama yang menggunakan sistem penulisan dengan huruf. Di wilayah Fenisia, yang sekarang disebut Libanon, huruf mulai digunakan pada 870 S.M. Susunan huruf ini merupakan hasil penemuan kota Byblos. Dalam novel The Fifth Mountain, Paulo Coelho secara sederhana menceritakan seorang imam Fenisia yang menganggap huruf adalah ancaman. Bagi sang imam, huruf adalah senjata penghancur

6

paling berbahaya ciptaan manusia. Kalau ritualritual suci sudah diketahui orang banyak, akan banyak orang yang menggunakannya untuk berusaha mengubah alam semesta, dan dewadewa akan bingung dibuatnya, pikir sang imam. Ia menganggap negerinya telah menciptakan sistem penulisan yang dapat dipelajari semua orang, termasuk mereka yang tidak siap. Sistem penulisan dari Byblos kala itu memang revolusioner karena kemudahannya dipelajari. Sistem penulisan ini merupakan bentuk penyederhanaan gambar-gambar Mesir yang rumit. Mulanya, gambar-gambar Mesir diubah ke dalam bentuk suara. Lalu setiap suara dibuatkan huruf. Urutan dari huruf ini membentuk pola suara yang melukiskan segala sesuatu di alam semesta. Huruf tersebut ditulis di daun papirus, kulit hewan, kayu, atau lempeng tanah liat. Banyak bangsa-bangsa lain mengadopsi sistem penulisan Byblos karena hurufnya tidak terikat pada satu bahasa. Huruf Byblos pun dapat disusun untuk membunyikan bahasa lain, sesuai keinginan penggunanya. Bahkan bangsa Yunani yang biasanya tidak mau mengadopsi budaya lain pun akhirnya ikut menggunakan huruf Byblos. Sistem penulisan Byblos oleh orang-orang Yunani kemudian dimodifikasi dengan penyisipan huruf vokal. Sistem penulisan Byblos dengan penambahan huruf vokal ini segera mempunyai nama Yunani: alfabet. Sistem penulisan alfabet tersebar lebih luas lagi dan bertahan sampai berabad-abad kemudian. Tulisan yang sedang anda baca sekarang misalnya, juga menggunakan metode alfabet. Konsekuensi dari penemuan alfabet dan penggunaannya secara jamak sangat luas. Seandainya huruf Byblos tidak dipelajari secara massal dan Yunani tidak mengadopsinya menjadi alfabet, sejarah manusia pasti akan sangat berbeda. Kita, misalnya, tidak akan membaca buku-buku buah pikiran Plato, Aristoteles, dan Socrates untuk selama-lamanya. Sistem demokrasi yang cikalbakalnya dari Yunani juga tidak akan sampai pada kita. Kini buku mulai menemui tantangan yang akan menentukan nasibnya di masa depan, yakni perkembangan teknologi komunikasi dan berdampak pada dinamika bahasa. Perkembangan teknologi komunikasi belakangan ini menimbulkan pertanyaan: apakah buku dan perpustakaan konvensional masih relevan? Dengan hadirnya internet, masyarakat modern mengalami apa yang disebut Jean Baudillard sebagai obesitas media atau disebut Bill Kovach sebagai tsunami informasi. Pada ranah politik, perkembangan ini menciptakan suasana yang demokratis namun bising. Di ranah keilmuan, akses informasi yang melimpah membuat orang jadi semakin praktis. Para mahasiswa tidak perlu lagi ke perpustakaan

dan meminjam bertumpuk-tumpuk buku. Mereka tinggal duduk di depan komputer dengan koneksi internet, mengetik kata kunci yang dibutuhkan, bim salabim, informasi yang diinginkan si mahasiswa langsung tersaji di hadapannya. Bagi perpustakaan, perkembangan ini harus ditanggapi dengan penyesuaian. Buku sampai sekarang masih dianggap sebagai media informasi yang paling mendalam. Tapi yang dicari orang kini bukanlah kedalaman lagi melainkan kecepatan dan kepraktisan. Hal ini menjelaskan alasan laku perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan koneksi internet. Tapi apakah koneksi internet di perpustakaan ini merupakan fasilitas yang strategis atau justru kuda Troya yang diundang masuk? Kecepatan perputaran informasi juga mempengaruhi dinamika berbahasa masyarakat. Bahasa Indonesia misalnya, bobot diskursusnya semakin dirongrong oleh bebasnya penggunaan media. Kekhawatiran imam Fenisia akan penggunaan tulisan oleh mereka yang tidak siap justru kembali relevan di era modern. Penggunaan bahasa yang tidak tepat atau bahkan sengaja disalahartikan terus saja diproduksi dan dipertontonkan pada masyarakat luas. Dalam iklan minuman energi dengan tajuk laki enggak minum rasa-rasa misalnya, mengandung berbagai kesalahkaprahan semantik tapi tetap disebarluaskan oleh kepentingan kapital. Akibat penggunaan yang tidak bertanggung jawab ini, upaya untuk menjadikan bahasa sebagai tipe diskursus bersama menjadi terancamatau memang sudahgagal. Sebaliknya, semakin berbobot diskursus, bahasa kita kini justru kembali menjadi sebatas linguafranca, bahasa pergaulan sehari-hari. Bedanya, jika dulu lingua-franca digunakan di bandarbandar ramai, kini lingua-franca digunakan lewat media-media canggih seperti televisi dan internet. Penggunaan lingua-franca yang tidak berbobot, diskursus ini membuat daya pikir masyarakat semakin banal: dangkal, tumpul, dan mengulangulang. Banalisasi masyarakat ini membuat peran perpustakaan sebagai cagar peradaban manusia justru semakin penting saat diombang-ambing kebangkrutan. Sebab semua pencapaian terbaik manusia tetap tersimpan meskipun kemerosotan sedang terjadi. Lalu bagaimana wajah perpustakaan masa depan? Itu tergantung pada bagaimana laku kita sekarang dalam mengolah informasi. Bukan aspek fisik yang digital atau konvensional saja yang perlu dipikirkan, tapi juga catatan yang tersimpan di dalamnya. Semoga saja isi perpustakaan generasi masa depan nanti tidak dipenuhi oleh kegagalan generasi kita. Oleh : Azhar Irfansyah

7

LAPORAN UTAMA

Tendensi Regulasi Mempengaruhi Langkah Perpustakaan

Pedoman penyelenggaraan perpustakaan telah termaktub jelas dalam undangundang. Namun implementasi di lapangan terbentur limitasi.

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

erpustakaan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 43 Tahun 2007, diartikan sebagai institusi pengelola koleksi yang bertujuan memenuhi kebutuhan para penggunanya. Berdasarkan jenisnya, perpustakaan dipilah menjadi Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus. Dalam pasal 7 ayat 1 UU di atas disebutkan, pemerintah wajib menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan. Akan tetapi dalam prakteknya ditemukan banyak ketimpangan. Ada perbedaan perlakuan dari pemerintah kepada tiap perpustakaan, tutur Hindar Purnomo, M. Si., penanggung jawab urusan Sumber Daya Manusia Perpustakaan UGM. Ketimpangan tersebut berkorelasi dengan arah kebijakan badan pembina dan pengelola perpustakaan. Merujuk pada pasal 7 ayat 1 di atas, pemerintah melimpahkan kewenangan pembinaan dan pengelolaan perpustakaan daerah kepada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Kewenangan BPAD yakni membina perpustakaan di wilayah provinsi, baik perpustakaan tempat ibadah, desa, sekolah, umum, khusus (instansi), hingga Perguruan Tinggi (PT). Adapun kegiatan teknis yang masuk ke ranah pembinaan BPAD DIY meliputi pembinaan SDM, pendampingan penataan

P

dan pengelolaan, pelayanan pengguna, kerja sama dengan pihak lain, dan pengawasan, tutur Heru Purwanto, Kepala Bidang Pengembangan BPAD DIY. Salah satu kerjasama BPAD adalah katalog online Jogja Library For All. Portal tersebut beranggotakan 18 perpustakaan PT di Yogyakarta yang dikoordinir BPAD. Selain menyediakan katalog, jaringan tersebut juga menyediakan silang layanan. BPAD memang menilai perpustakaan PT relatif baik sehingga dijadikan sebagai mitra kerja. Serupa tapi tak sama, ada pula Jogja Library Network (JLN). JLN adalah sebuah katalog online berbagai perpustakaan di DIY namun murni didirikan oleh komunitas Senayan Library Management System (SLiMS) Yogyakarta, JLN sama sekali tidak terikat dengan pemerintah. Lain dengan katalog BPAD, perpustakaan anggota JLN bervariasi mulai dari perpustakaan yayasan, LSM, sekolah, sampai pribadi. Purwoko, koordinator JLN menyatakan, Kami akan membantu mengatur semua jenis perpustakaan tanpa terkecuali. JLN hanyalah satu produk komunitas yang mengabdikan diri ke dunia literasi di Yogyakarta. Salah satu di antara sekian banyak penghias wajah literasi kota gudeg adalah Literati, perpustakaan komunitas yang bertempat di daerah Condong Catur. Di luar perpustakaan komunitas, banyak juga perpustakaan yang terikat dengan PT. Misalnya

8

perpustakaan di UGM dan Universitas Sanata Dharma (USD). Mereka umumnya memiliki tata kelola dan sistem operasional yang berbeda. Dalam bidang pengelolaan, perpustakaan UGM menerapkan pengelolaan mandiri untuk mengurus rumah tangga tanpa bayang-bayang pemerintah. Namun perpustakaan UGM bersifat pseudo-mandiri, karena suntikan dana pemerintah tetap ditampung. Y. Paijo, S. IP., penanggung jawab kegiatan Perpustakaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) II mengakui ada kerancuan pada sistem kelola khususnya di bidang pendanaan. Pendanaan perpustakaan universitas seyogianya bersumber dari universitas saja, ungkapnya. Pernyataan Paijo tersebut senada dengan pernyataan Drs. Lasa Harsana, M. Si., anggota Dewan Perpustakaan DIY. Ia tak memungkiri, perpustakaan UGM memang mendapat bantuan dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hanya saja semua dana bantuan masuk lewat UGM dulu, baru disalurkan ke perpustakaan, ungkapnya. Sementara itu, perpustakaan USD tak mengalami kendala pengelolaan yang signifikan terutama dalam pendanaan buku. Universitas adalah konsultan dana, lalu perpustakaan yang mengelola, tutur Suparmo, Wakil Ketua Perpustakaan USD. Perpustakaan lah yang menjadi penentu anggaran mana yang harus didahulukan. Universitas swasta ini memiliki sistem perpustakaan terpusat di unit Mrican dan satu unit di Paingan. Pengunjung perpustakaan pusat di USD bisa berkisar mencapai 700 pengunjung per hari, menurut Suparmo. Secara umum padat. Tapi ada pasang surutnya, terangnya. Lain lagi dengan Literati yang dikelola secara mandiri. Kami harus pontang-panting karena pendanaan minim yang hanya mengandalkan uang pribadi dan ketiadaan sponsor, tutur Windu W. Jusuf, salah satu programmer Literati. Ia menambahkan, mereka kewalahan merestorasi dan mereklasifikasi buku yang rusak. Perpustakaan komunitas yang berdiri pada 2007 ini mengandalkan sinergisme para programmer baik dalam pengelolaan juga pendanaan. Tak ada struktur organisasi hierarkis di tubuh Literati. Semua kegiatan operasional dikelola sendiri oleh saya dan empat kawan saya, tambahnya. Terkait kendala yang dihadapi Literati, Lasa pun menjawab. Menurut Lasa, seharusnya perpustakaan yang bersangkutan aktif mencari bantuan. Masalahnya perpustakaan yang dikelola perorangan (swasta) biasanya enggan meminta bantuan, ujarnya. Terkait tudingan dari beberapa kalangan yang menilai BPAD pilih kasih pada perpustakaan, Lasa dengan tegas membantahnya. Keterbatasan dana lah yang membuat BPAD membuat skala prioritas, mana saja perpustakaaan yang harus didahulukan untuk dibantu, ujarnya.

Ia juga menegaskan, proposal pengajuan dana selaiknya dialamatkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Fokus BPAD ada pada bantuan pembinaan, bukan pendanaan, tambahnya. Damar, sesama programmer di Literati mengungkapkan, pihak Literati berencana mengajukan proposal bantuan ke Pemda Sleman. Bukan karena malas bekerja sama dengan pemerintah, kami hanya belum paham prosedur dan belum ada waktu saja, kilahnya. Seperti halnya Literati, perpustakaan hibah Hatta Corner di UGM kondisinya pun cukup memprihatinkan. Koleksi buku semakin banyak yang rusak, jumlah pengunjung pun minim karena dana pengelolaan kian terbatas, keluh Marjono, Staf Pelaksana Hatta Corner. Pernyataan tersebut diamini oleh Paijo. Koleksi buku-buku yang lawas, lokasi yang tak strategis di lantai tiga Perpustakaan UPT II, dan ketiadaan fasilitas internet gratis membuat pengunjung enggan datang, ungkapnya. Tidak berbeda jauh, Literati pun mengalami hal serupa. Windu mengeluhkan minimnya jumlah pengunjung yang datang ke Literati. Sehari ratarata hanya terdapat satu hingga dua pengunjung, tak sebanding dengan kerja keras kami, ujarnya. Padahal menurutnya Literati terus berusaha meningkatkan jumlah koleksi dan mutu pelayanan. Kerja sama pun direngkuh dengan komunitas lain seperti Kinoki dan Daftar Pustaka untuk meramaikan Literati dengan mengadakan diskusi rutin. Dari uraian di atas, tergambar banyak permasalahan pengelolaan perpustakaan. Salah satunya pemerataan bantuan kepada perpustakaan masyarakat di daerah. BPAD sendiri masih kewalahan mengelola perpustakaan formal yang ada di bawahnya, jelas Lasa. Di sisi lain masyarakat masih belum sadar akan hak mendapatkan pengetahuan. Perpustakaan ada atau tidak ada, tak berpengaruh banyak di masyarakat kita, bukan? tutur Hindar. Terlepas dari segala problem, BPAD DIY berharap kesadaran pemanfaatan informasi semakin meningkat. Pengelolaan yang baik akan mendukung perwujudan DIY sebagai provinsi pendidikan terkemuka di ASEAN. Perpustakaan itu jendela dunia, pembelajaran sepanjang hayat. Kalau mau sejahtera lahir dan batin, baca buku, datang ke perpustakaan! pungkas Heru.

Penulis : Purnama Ayu Rizky Fransiska Mutiara Damarratri Nicko Rizqi Azhari Fotografer : Hary Prasojo Syafaatillah

9

LAPORAN UTAMA

Y

ogyakarta adalah tempat banyak orang menimba ilmu di bidang akademis. Maka, buku dan literatur tentu saja menjadi penting. Hal ini disadari benar pemerintah Republik Indonesia, terbukti dengan dibangunnya Perpustakaan pertama kali di Indonesia bernama Perpustakaan Negara RI di Yogyakarta pada tahun 1948. Perpustakaan tersebut terletak di jalan Malioboro yang kini menjadi Jogja Library Center (JLC). Perpustakaan lain yang muncul salah satunya adalah Perpustakaan Kota (Puskot) yang semula terletak di daerah Alun-alun Utara. Kondisi perpustakaaan yang sangat memprihatinkan karena tidak terawat dan sepi pengunjung membuat masyarakat tergerak mengusulkan perbaikan Puskot. Maka, sejak awal tahun 2009, berdirilah Puskot Yogyakarta di jalan Suroto no. 9 di bekas gedung DPRD Kota Yogyakarta. Puskot berada di bawah pembinaan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Karena otonomi daerah, pengelolaan diserahkan kepada pemerintah kota. BPAD mengusahakan pemerataan perpustakaan di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemerataan tersebut tidak berarti setiap desa

mempunyai perpustakaan. Namun perpustakaan yang ada diletakkan di berbagai titik yang dianggap dapat mewakili desa-desa tersebut. Dalam satu wilayah kecamatan, BPAD mengusahakan ada beberapa desa yang sudah memiliki perpustakaan. Jadi tidak hanya terpusat di wilayah tertentu, papar Heru Purwanto, Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan BPAD. Usaha mengembangkan pemerataan perpustakaan di seluruh DIY diwujudkan dengan adanya program perpustakaan di desa, Puskesmas, dan tempat ibadah. Menurut data dari BPAD, seluruh desa di DIY sudah mempunyai perpustakaan sendiri. Tahun 2011 ini, pihak BPAD menargetkan akan membina 156 desa untuk mengadakan perpustakaan di wilayahnya. Diharapkan tahun depan, seluruh desa secara formal sudah memiliki perpustakaan sendiri. Usaha lain yang dilakukan BPAD adalah pengadaan bus Perpustakaan Keliling. Program Bus Keliling diadakan untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang sulit mendapatkan akses bacaan. Ada enam armada yang dimiliki BPAD untuk dikerahkan ke seluruh wilayah DIY. BPAD provinsi saat ini memiliki tiga

Problematika

Taman Pustaka

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

Yogyakarta disebut Kota Pelajar. Namun perpustakaan yang ada tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan literatur.

Penulis : Mochammad Luthfi Ardyanto Ratih Wilda Oktafiana Hillary Reinhart Ilustrasi : Lukas Alfario

10

perpustakaan. Yaitu JLC di Jalan Malioboro, Jalan Tentara Pelajar, dan di Kota Baru. Pemerintah juga merencanakan pembangunan perpustakaan yang terletak di sekitar Pasar Ngoto. Empat perpustakaan tersebut menyimpan literatur yang berbeda. Perpustakaan ada yang berisi buku-buku pustaka, ada pula yang menyimpan arsip. JLC ini hanya menyimpan pustaka, jelas Hendrikus Franz J. M.Si., karyawan di JLC. Perpustakaan yang menyimpan arsip negara berada di jalan Tentara Pelajar. Sedangkan perpustakaan untuk anak-anak terletak di daerah kota baru. Perpustakaan-perpustakaan tersebut banyak mengalami hambatan dalam perkembangannya. Misalnya JLC membutuhkan banyak dana untuk pemindahan literatur menjadi pustaka digital. Saat ini, pemindahan tersebut baru bisa dilakukan dengan cara memfoto literatur dengan kamera digital untuk diubah menjadi e-book. Franz juga menambahkan bahwa dana tersebut juga termasuk untuk biaya operasional sehari-hari. Hal ini dibenarkan oleh Heru. Bantuan dana sangat terbatas dan belum mencukupi,ujarnya. Dana tersebut hanya diberikan pada perpustakaan pemerintah, desa dan Puskesmas. Sedangkan untuk perpustakaan khusus tidak diberikan bantuan karena terbatasnya dana. Tak hanya perpustakaan pemerintah yang mengalami permasalahan dana, perpustakaan swasta juga mengalami hal yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh Benerditus Hadi, karyawan Perpustakaan Kolese Santo Ignatius di Jalan Abu Bakar Ali. Meskipun koleksinya sudah cukup lengkap, namun ada kekurangan dana untuk kebutuhan belanja buku dan perawatan. Padahal perpustakaan ini dikenal dengan berbagai koleksi buku yang terbilang langka. Ia mengungkapkan bahwa banyak buku terbitan tahun 1800-an masih bisa dibaca di tempat tersebut. Perpustakaan Kolese Santo Ignatius ini dibuka untuk umum dan dikoordinir Pusat Pastoral Yogyakarta. Peminatnya kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Buku-bukunya pun tidak disewakan dan hanya bisa dibaca di tempat atau di foto kopi. Namun demikian, tetap saja ada kasus buku yang rusak. Ini cukup menyulitkan kalau kami hanya punya satu eksemplar dari tiap judul. Jika rusak, tidak ada cadangan, lanjut Benerditus. Untuk itu, perpustakaan ini memiliki standar yang berbeda dengan perpustakaan lainnya dalam operasional. Buku di sini tidak boleh dibawa pulang. Hanya beberapa orang tertentu saja seperti dosen Universitas Kristen Duta Wacana dan Sanata Dharma atau pastor yang boleh meminjam dan membawa pulang buku, ungkap Benerditus. Karena sistem tersebut maka perpustakaan ini pernah menolak undangan pembinaan pengelolaan perpustakaan dari UGM.

Buku di perpustakaan ini 65 persen tentang teologi. Pengunjungnya pun bukan hanya mahasiswa kristiani, banyak pula dari kalangan umum. Pasalnya, perpustakaan ini menyediakan buku-buku yang mereka butuhkan. Buku-buku tersebut biasanya untuk bahan penulisan skripsi. Keadaan ini berbeda dengan Puskot yang menyediakan seluruh jenis buku kebutuhan masyarakat, namun jumlah buku tersebut sedikit. Sedangkan pustaka di JLC fokus kepada penyimpanan koleksi surat kabar dan majalah yang dikumpulkan sejak puluhan tahun lalu. Selain mengalami pendanaan dan operasional, ada pula perpustakaan yang sempat terbengkalai. Contohnya Perpustakaan Hatta yang saat itu tidak terurus dan kurang dikenal masyarakat. Perpustakaan ini semula terletak di Jl. Laksda Adisucipto. Pemiliknya adalah Yayasan Hatta yang berpusat di Jakarta. Koleksi yang disimpan pun banyak terbitan Belanda sejak tahun 1600. Mulai tahun 2006, Perpustakaan Hatta dipindahtangankan ke pihak UGM dan berpindah tempat pula ke lantai 3 Unit Pelaksanaan Teknis 2 UGM. Hatta Corner mulai dibuka untuk umum pada tahun 2007. Dua pegawai dari tempat yang lama juga turut dipindahkan. Namun belum lama ini, mereka ditugaskan di ruang sirkulasi di lantai 2 dan di bagian Tata Usaha. Padahal mereka justru lebih tahu tentang buku-buku disini karena banyak yang berbahasa belanda, papar Sarwono, SIP, karyawan di Hatta Corner. Masalah pegawai juga dikeluhkan oleh perputakaan lainnya seperti JLC. Franz mengungkapkan, pegawai yang ada di perpustakaan tidak memiliki basis pendidikan yang sesuai. Kepala JLC ini saja berasal dari alumni Teknik Mesin, jelasnya. Selain itu jumlah karyawan JLC sangat sedikit. Sehingga, tidak jarang dia harus meminta tolong pada pedagang kaki lima untuk berjaga sementara ia pergi ke belakang sebentar. Di balik semua masalah tersebut, eksistensi perpustakaan merupakan hal yang harus dipertahankan. Kemajuan bidang akademis menuntut pula kemajuan literatur. Banyaknya permasalahan yang ada harus segera menemukan jalan keluarnya, diantaranya adalah masalah pendanaan. Menjawab hal ini, Triyanta, S.Pd, pustakawan Puskot Yogyakarta memiliki pendapat sendiri. Perpustakaan harus memahami kebutuhan mereka, untuk itulah dana dibutuhkan dalam memperlancar operasional perpustakaan tegasnya.

11

LAPORAN UTAMA

Pemetaan Strategi Tentukan Nasib PerpustakaanBanyak strategi diterapkan dalam membangun perpustakaan yang ideal. Perpaduan antara buku-buku berkualitas dan atmosfer perpustakaan yang nyaman dijadikan pilihan.Penulis : Dewi Kharisma Michellia Ferdi Febriano Anggriawan Fotografer : Wulan SeptianingtyasHendrikus Franz, selaku pustakawan JLC, mengaku perpustakaan JLC hanya kedatangan kurang dari lima puluh pengunjung setiap harinya. Mereka (para pengunjung-red) rata-rata hanya numpang internetan, diskusi, atau sekadar ngobrol-ngobrol, tuturnya. Kini JLC hanya dimanfaatkan oleh Komunitas Poliglot Jogja, komunitas pertukaran bahasa, untuk mengadakan diskusi. Padahal banyak orang memperoleh gelar S3 dengan memanfaatkan koran-koran dari perpustakaan ini, ungkap Hendrikus. Di lain pihak, Perpustakaan Kota (Perpuskot) tak mau kalah saing. Meski sama-sama dipayungi pemerintah, kedua perpustakaan ini menerapkan strategi yang berbeda dalam menarik pengunjung. Diskusi Rutin Bulanan bersama Komunitas Kembang Merak, Sanggar Menulis Cahaya dengan Forum Lingkar Pena, dan Program Berhari Minggu di Perpuskot merupakan tiga program yang cukup banyak menarik pengunjung. Triyanta, selaku Staf Kerjasama dan Pengembangan Perpuskot Jogja bahkan mengklaim Perpuskot sebagai perpustakaan yang paling sering dikunjungi. Yang paling berkesan, kami pernah mendapat pengunjung sampai 350 orang dalam sehari, ujar Triyanta. Sanjaya, Koordinator Goodreads Indonesia (GRI) wilayah Kota Yogyakarta, memberikan pendapat positif mengenai Perpuskot. Ia mengaku tertarik pada Perpuskot dikarenakan suasana dan pelayanannya yang lebih baik. Ada tempat yang enak untuk membaca. Meski kalau soal koleksi, saya

P

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 201112

erpustakaan adalah tempat di mana ide terlahir dan sejarah menjadi nyata, demikian pernyataan Norman Cousins, seorang jurnalis Amerika, mengutip Socrates. Ini menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang istimewa. Untuk mempertahankan keistimewaan ini, tak jarang para pustakawan menerapkan berbagai strategi. Di Yogyakarta, Badan Pusat Arsip Daerah Provinsi (BPAD) DIY menangani empat unit perpustakaan: Unit Badran 1, Unit Badran 2, Unit Malioboro, dan Unit Jogja Study Center (JSC). Sebagian besar unit perpustakaan provinsi tersebut menyediakan layanan wi-fi, ruang audiovisual, fasilitas diskusi, serta katalog online. Bahkan, Perpustakaan JSC menyimpan koleksi buku dengan huruf Braille untuk penyandang tunanetra. Mereka juga bekerjasama dengan beberapa perpustakaan di Yogyakarta untuk membentuk Jogja Library For All (JLFA). Melalui program ini, mahasiswa bisa mengakses database perpustakaan dari berbagai universitas, jelas Sukasti, selaku Kepala Bidang Layanan dan Pelestarian Perpustakaan BPAD DIY. Meski demikian, tidak semua perpustakaan pemerintah bernasib sama. Jogja Library Center (JLC) contohnya. Ruko dua tingkat di depan komplek Garuda, Malioboro ini terlihat sangat sepi.

tentu lebih memilih perpustakaan lain, ucapnya. Ia juga mengkritik perpustakaan daerah yang ia anggap terkesan kaku dan tidak terawat. Namun, ia mengaku sebagian besar komunitas pembaca di Yogyakarta cenderung lebih dekat dengan perpustakaan komunitas dan perpustakaan pribadi yang dikelola para anggota GRI wilayah Yogyakarta. Ia menduga hal ini dipengaruhi berbagai strategi menarik yang diterapkan perpustakaan komunitas. Koleksi buku khusus menjadi senjata utama para pengelola perpustakaan komunitas dalam menarik pengunjung. Sebagian besar perpustakaan komunitas menyediakan buku-buku langka yang sulit ditemukan masyarakat umum. Muhiddin M. Dahlan, pegiat Perpustakaan Gelaran I:boekoe, menyatakan bahwa keunikan buku yang disediakan adalah hal terpenting dalam pembangunan perpustakaan. Demi mendapatkan buku-buku langka untuk dipajang di Gelaran I:boekoe, timnya telah melakukan riset pembaca. Kemudian barulah mereka menyiapkan koleksi buku serta referensi yang dibutuhkan dalam jumlah besar, yakni 40.000 koleksi koran dari 20 media dan 10.000 buku untuk dipajang di perpustakaan. Buku adalah jantung perpustakaan. Jumlah dan jenis koleksi penting, tegas Muhiddin. Jumlah buku yang besar tersebut sebelumnya dipergunakan sebagai bahan meriset. Sejak enam tahun lalu, kami telah mengadakan 27 riset. Semuanya sudah kami bukukan, ujar pria yang akrab disapa Gus Muh tersebut. Pada tahun 2005, misalnya, sebelum perpustakaan diresmikan, tim Gelaran I:boekoe meriset mengenai Seabad Kronik kebangsaan Indonesia (1 Januari 1908Desember 2008), Pers Bangsa (19072007), dan Partai Indonesia (19121999). Spesifikasi Karya Gelaran I:boekoe ditujukan untuk komunitas tertentu. Di sini tidak

menggunakan sistem Dewey, kita pakai sistem klasifikasi berdasarkan Sumpah Pemuda, ungkap Muhiddin. Klasifikasi tersebut lantas dituangkan menjadi tiga bagian besar: Tokoh Bangsa, Tanah dan Air, serta Sastra, Seni, dan Kebudayaan. Di lain pihak, pengelola Perpustakaan Literati, Windu W. Jusuf, mengaku mereka menyediakan lebih dari 1.300 buku bertemakan Sosial Humaniora, Filsafat, Kebudayaan, Sastra, dan Politik. Perpustakaan Literati yang ia dirikan pada tahun 2008 ini hanya bertujuan mewadahi mahasiswa yang gemar membaca dan berdiskusi. Selain koleksi, menurut Muhiddin, keunggulan perpustakaan komunitas adalah ketersediaan ruang untuk tempat berkumpul bagi para pengunjung. Keunggulan tidak hanya soal buku. Untuk membuat betah para pengunjung, kami menciptakan style perpustakaan yang menarik, ujar Muhiddin sambil menunjukkan angkringan di depan perpustakaan. Berbagai fasilitas yang mereka sediakan, diakui Muhiddin, mendatangkan pengunjung yang beragam. Tak hanya warga Patehan, masyarakat Jogja, dan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta, tapi juga pengunjung dari luar kota, seperti Jember, Purwokerto, dan Surabaya. Selain fasilitas fisik, kedua perpustakaan komunitas tersebut mengadakan program bulanan untuk mendatangkan pengunjung. Literati bekerjasama dengan Daftar Pustaka dan Cinema Poetica dalam mengadakan event bulanan, yakni acara pembahasan sastrawan dunia serta menonton film bertema khusus. Gelaran I:boekoe menyediakan beberapa program, seperti Cinebookclub, di mana komunitas pencinta film menayangkan film-film yang berhubungan dengan buku, dan Obrolan Senja, sebuah kegiatan membedah draf naskah bagi penulis yang ingin membagi drafnya. Meski memiliki program serupa, programprogram Literati hanya mendatangkan sedikit pengunjung. Menurut Windu, hal tersebut dikarenakan tema-tema program Literati yang cenderung ekstrem. Salah satunya adalah program pertama mereka yang bertajuk Radikalitas Politik di Indonesia. Diskusinya terlalu susah buat orang awam. Jadi, kalau datang diskusi tapi belum pernah baca, bisa jadi obat nyamuk, komentar Prima Sulistya, pengunjung perpustakaan Literati, Pada akhirnya, semua strategi yang diimplementasikan menopang terselenggaranya perpustakaan yang ideal. Perpaduan antara atmosfer baca yang kondusif dan buku-buku berkualitas dapat meningkatkan minat baca pengunjungnya. Perpustakaan yang baik harus menyediakan buku yang berkualitas dan menyediakan tempat yang membuat betah untuk membaca, tandas Sanjaya.

13

LAPORAN UTAMA

Strategi Solutif dalam Ruang Pustaka

Alternatif

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

arlina Leksono dalam buku Alfons Taryadi yang berjudul Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial mengatakan bahwa membaca dan menulis merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan pemikiran kritis independen dan kepekaan terhadap kemanusiaan. Perpustakaan yang hadir di tengah masyarakat adalah sebuah ikhtiar untuk mewujudkan apa yang dikatakan Karlina, yakni menjadi tempat membaca, diskusi, penelitian dan aktivitas keilmuan lainnya. Dengan begitu perpustakaan dapat menjadi sebuah episentrum ilmu bagi masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, masyarakat dari berbagai elemen bergeliat untuk menciptakan sebuah perpustakaan alternatif. Perpustakaan itulah yang saat ini dikenal sebagai Taman Bacaan Masyarakat (TBM) atau Perpustakaan Komunitas. Dalam pendiriannya, perpustakaan komunitas terbentuk dari gagasan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Afia Rosdiana, M.Pd, Seksi Pengolahan Perpustakaan Kota Yogyakarta, perpustakaan komunitas yang ada saat ini mayoritas terbentuk karena inisiatif masyarakat. Biasanya berasal dari perpustakaan pribadi yang dihibahkan, sehingga menjadi terbuka untuk umum, ujarnya. Harapan dari hadirnya perpustakaan komunitas adalah sebagai pilihan alternatif akan permasalahan perpustakaan pemerintah saat ini. Baik dalam implementasi regulasi, tidak meratanya penyebaran, dan minimnya strategi untuk menarik pengunjung. Agar harapan tersebut dapat tersampaikan pada masyarakat, pada tahun 2007 Indonesian Visual Art and Archieve (IVAA) membentuk sebuah jaringan Perpustakaan Komunitas yang dinamakan Biblio. Jaringan ini

K

Perpustakaan komunitas yang diharapkan tumbuh sebagai pilihan alternatif bagi masyarakat, nyatanya tidak berjalan mulus karena sikap pemerintah yang kurang responsif.

merupakan gabungan lebih dari 30 perpustakaan komunitas di Yogyakarta. Masing-masing perpustakaan tersebut memiliki spesifikasi koleksi di bidang yang berbeda-beda. IVAA sendiri sebagai penggagas sekaligus anggota di dalamnya memiliki fokus koleksi pada bidang seni rupa. Segala sesuatu yang berbau seni rupa baik literatur, rekaman, poster, lukisan, bahkan video, dapat ditemukan di perpustakaan yang terletak di daerah Mergangsan ini. Kami percaya bahwa seni rupa adalah salah satu cara untuk merefleksikan perubahan sosial, jelas Yoshi Fajar Kresno Murti, selaku Kepala Outreach Program IVAA. Dalam awal pendiriannya, IVAA merupakan sekelompok orang yang terdiri dari seniman, wartawan, serta aktivis budaya yang memiliki minat pada pendokumentasian seni rupa kontemporer. Seiring waktu berjalan, IVAA berubah menjadi sebuah Yayasan yang saat itu bernama Yayasan Cemeti. Tujuan dijadikan yayasan agar memudahkan birokrasi secara formal, jelas Yoshi. Hingga saat ini IVAA terus bergerak dan berkembang sehingga menjadi sebuah komunitas yang memiliki peran penting dalam mata rantai dunia seni rupa di Indonesia. Kuatnya produksi pengetahuan akan berjalan pararel dengan kuatnya posisi IVAA, tegas Yoshi dengan yakin. Selain IVAA ada pula KUNCI Cultural Studies Center, sebuah komunitas yang mengonsentrasikan kajiannya pada isu sosial budaya. Kita ingin membicarakan sosial budaya dengan bahasa yang berbeda, ujar Nuraini Pujiastuti yang menjabat sebagai Direktur KUNCI. Berbeda dengan perpustakaan komunitas pada umumnya, dalam keanggotaannya, KUNCI sangat selektif dalam memilih. Anggota saat ini ada lima orang, ditambah satu akuntan dan satu pustakawan, jelasnya. Lebih lanjut Nuraini menerangkan bahwa sangat sulit untuk mencari orang yang sejalan dengan karakteristik komunitas. Nuraini juga mengatakan bahwa jumlah anggota memang sewajarnya disesuaikan dengan kebutuhan komunitas. Hal ini dibuktikan dengan KUNCI yang tetap bertahan hanya dengan sedikit anggota dan tetap memiliki andil dalam perkembangan isu sosial budaya. Sama seperti filosofi kunci, kecil dan berguna, pungkas alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada ini. Namun terlepas dari hal tersebut perpustakaan yang dimiliki KUNCI tetap terbuka untuk umum. Di balik cerita sukses IVAA dan KUNCI yang dapat bertahan dan tetap melakukan kegiatankegiatan keilmuannya, sangat disayangkan perhatian pemerintah terhadap perpustakaan komunitas masih sangat minim. Hal itu dapat dilihat dari sikap pemerintah yang kurang responsif dalam memberikan sokongan bantuan. Pemerintah

14

sampai saat ini cuek, bantuan dana bahkan buku pun tidak ada, sesal Yoshi. Sikap pemerintah yang cenderung menunggu seperti ini telah berakibat buruk, terbukti dalam data yang dimiliki Perpustakaan Kota Yogyakarta. Dari 183 perpustakaan komunitas yang ada di wilyah kota Yogyakarta, terdapat 20-25 persen yang pengelolaannya tidak sistematis dan bahkan beberapa diantaranya sudah tutup. Salah satu contoh perpustakaan yang tutup ialah Perpustakaan Keliling Mabulir yang berada di daerah Kauman. Perpustakaan yang setiap hari berkeliling dari desa ke desa ini tutup dua tahun setelah pendirinya yakni Dauzan meninggal pada tahun 2007. Hilangnya sosok Dauzan memberikan efek yang sangat besar pada Perpustakaan Mabulir, karena ia adalah penyumbang dana tetap dalam setiap kegiatan Perpustakaan Mabulir. Tugino yang pernah menjadi pustakawan di Perpustakaan Mabulir mengatakan bahwa Dauzan selalu memberikan honor kepada para pustakawannya. Sepeninggalan Dauzan tidak ada lagi yang menggantikan peran Dauzan sebagai pengurus sekaligus penyumbang dana. Walaupun Perpustakaan yang berdiri di tanah wakaf tersebut sempat bertahan setelah Dauzan meninggal, akan tetapi hal tersebut tidak bertahan lama. Keluarga Pak Dauzan tidak ada yang melanjutkan karena ada masalah keluarga, lagipula tidak ada yang mengerti cara mengelola perpustakaan, terang Tugino yang saat ini menjadi pengurus Masjid Kauman. Berkaca dari kasus tutupnya Perpustakaan Mabulir yang mengalami kesulitan untuk bertahan karena ketiadaan dana dan kurangnya pengawasan dari pemerintah, IVAA dan KUNCI harus menjadi contoh

perpustakaan komunitas yang dapat bertahan bahkan tanpa bergantung pada sokongan dana pemerintah. Hanya dengan modal dan usaha sendiri mereka tetap dapat melakukan sebuah terobosan untuk mengisi kekosongan dalam dunia kepustakaan seni rupa dan budaya yang selama ini tidak banyak dilirik masyarakat. IVAA dan KUNCI memiliki strategi masing-masing untuk dapat bertahan dengan mandiri tanpa bergantung pada sokongan dana pemerintah. Bagi KUNCI, kegiatan riset, penelitian, dan proyek-proyek lain yang bersifat keilmuan juga dijadikan sebagai sumber dana untuk menjalankan kegiatan komunitas sehari-hari. Kita tidak pernah punya sumber dana tetap untuk menunjang lembaga, jadi akhirnya bergantung pada tiap proyek, jelas Nuraini. Proyek-proyek yang dilakukan oleh KUNCI diantaranya ialah mengisi kuliah umum dan riset yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional seperti Ford Foundation. Adapun IVAA dalam usahanya mencari sumber dana, selain melakukan pengajuan proposal ke Ford Foundation, IVAA juga tiap tahunnya melakukan fund raising, salah satu konsep pengumpulan dana. Kegiatannya tidak hanya seputar pengumpulan uang, tapi juga pengumpulan koleksi para seniman, katalog, ataupun dokumentasi suatu karya. Kita juga memiliki IVAA Shop yang cukup memberikan keuntungan, ungkap Yoshi yang sering bersentuhan langsung dengan kegiatan dana usaha IVAA. Perpustakaan Komunitas sebagai perpustakaan alternatif sejak awal memang dirancang untuk mandiri layaknya IVAA dan KUNCI. Tapi hal itu tidak menafikan peran pemerintah untuk tetap mengawasi keberlangsungan dari tiaptiap perpustakaan komunitas, maka tidak akan ada lagi perpustakaan komunitas yang bernasib sama dengan Perpustakaan Mabulir yang tutup karena pemerintah yang tidak peka. Dengan terjaminnya keberlangsungan perpustakaan komunitas, cita-cita perpustakaan sebagai episentrum ilmu di tengah masyarakat dapat terwujud. Ketika Perpustakaan Komunitas memiliki posisi yang kuat, perannya akan semakin dibutuhkan, dengan begitu eksistensinya akan tetap terjaga, tandas Yoshi. Penulis : Hesa Adrian Kaswanda Ronald Pippo Hutagaol Sonia Fatmarani Ilustrasi : Tedy Harnawan

15

STATISTIKA STATISTIK

Timpangnya Jumlah Ketersediaan Buku di Perpustakaan YogyakartaKebutuhan pembaca akan ilmu pengetahuan di perpustakaan dibatasi oleh kondisi ketersediaan buku.Penulis : Beniardi Nurdiansyah M. Misbakhul Ulum Nur Rosyid Grafis : Afdi Alfian

P

erpustakaan menjadi gudang ilmu pengetahuan dengan barisan bukubuku yang setia menjalankan roda pendidikan. Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan mutlak membutuhkan perpustakaan. Cerminan Kota Pendidikan dapat dilihat dari keadaan beberapa perpustakaannya. Pusat ilmu pengetahuan dan buku di pusat kota dapat dilihat melalui Perpustakaan Kota Yogyakarta (PKY), sedangkan Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul (PUKB) sebagai replika perpustakaan umum tingkat kabupaten. Kedua perpustakaan tersebut diharapkan dapat menyediakan buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya Terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap Ilmu Pengetahuan terkait erat dengan tingkat ketersediaan buku di perpustakaan. Tingkat ketersediaan buku dapat dilihat dari jumlah koleksi yang disediakan di perpustakaan. Menurut data, koleksi buku di kedua tempat tersebut dibagi menjadi sepuluh klasifikasi. Kesepuluh klasifikasi itu hampir sama di kedua perpustakaan, hanya

Grafik Statistik Klasifikasi Buku Perpustakaan Kota Yogyakarta

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

(Judul)

8791 7620 7977 8601

3856 3287 2106 888 2165 1201 532 579

3607

3716 2496 1892

1467

1048

1140 394

beberapa yang berbeda nama. Contohnya, bila di PKY ada klasifikasi Karya Umum, maka di PUKB adalah Pengetahuan Umum. Meskipun ada beberapa nama yang berbeda, klasifikasi tersebut telah menunjukkan standar yang sama. Tentunya, setiap klasifikasi terdiri dari sejumlah buku dengan jumlah yang berbeda-beda. Apabila keseluruhan jumlah buku pada setiap klasifikasi ditambahkan, maka akan menjadi keseluruhan jumlah koleksi buku di perpustakaan. Berdasarkan data Statistik Buku Perpustakaan Kota Yogyakarta, tercatat bahwa jumlah buku keseluruhan sebanyak 12.916 judul. Sementara itu, jumlah eksemplar yang tersedia sebanyak 25.976. Di lain tempat, data dari PUKB hingga tahun 2010 menyebutkan bahwa koleksi buku yang dimiliki sebanyak 19.047 dengan jumlah eksemplar yang tersedia sebanyak 43.776 terdapat di sana. Ilmu Sosial merupakan klasifikasi terbanyak di PKY dengan jumlah 2.674 judul buku. Disusul kemudian oleh klasifikasi Kesusasteraan dengan jumlah 2.362 judul buku dan Ilmu Terapan (Keterampilan dan Teknologi) sebanyak 2.146 judul buku. Selanjutnya adalah klasifikasi Agama serta Kesenian dan Olahraga, dengan jumlah masingmasing 1.713 dan 834 judul buku. Begitupun di PUKB, buku klasifikasi Ilmu Sosial, Kesusasteraan, dan Teknologi juga termasuk yang terbanyak. Di PUKB, klasifikasi Ilmu Sosial terdiri dari 3.856 judul buku, Kesusasteraan sebanyak 3.716, dan Teknologi dengan jumlah 3.607. Disusul juga oleh Agama juga Kesenian, Olahraga, dan Hiburan dengan jumlah 3.287 dan 1.140 judul buku. Perbedaan peringkat mulai terlihat berbeda antara kedua perpustakaan tersebut dalam lima klasifikasi selain yang disebutkan di atas. Di PKY peringkat keenam adalah Ilmu Murni dengan jumlah 834 judul, sedangkan di PUKB ditempati oleh klasifikasi Filsafat dan Psikologi dengan jumlah 1.048 judul buku.

Sumber: Perpustakaan Kota Yogyakarta

16

Grafik Statistik Klasifikasi Buku Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul

(Judul)

5090 4534 3689

4822

1458 2146 1713 1458 945 529 728 462 890 789 1635 834 2362 1617 1296 679

Sumber: Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul

Di PKY, peringkat ketujuh dan kedelapan adalah Filsafat dan Sejarah & Geografi dengan jumlah 728 dan 679 judul buku. Sementara itu, untuk peringkat yang sama, di PUKB Pengetahuan Umum dengan jumlah 888 dan Ilmu Murni sebanyak 579 judul buku. Selanjutnya, di PKY dua urutan terakhir ditempati oleh klasifikasi Karya Umum dan Ilmu Bahasa dengan jumlah 529 dan 462 judul buku. Lain halnya di PUKB, dua urutan terakhir ditempati oleh Bahasa dan Geografi & Sejarah dengan jumlah 532 dan 394 judul buku. Berdasarkan Grafik Jumlah Eksemplar per Buku, jumlah eksemplar per judul secara keseluruhan di PKY sebesar 2,01. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa satu judul buku terdiri dari dua eksemplar. Sementara itu, jumlah eksemplar per judul di PUKB sebesar 2,52. Namun jika diperhatikan pada masing-masing klasifikasi, Sejarah dan Geografi adalah yang terbesar yaitu 4,8. Artinya, satu judul buku klasifikasi ini terdiri dari kurang lebih 5 eksemplar. Satu tingkat di bawahnya, klasifikasi Ilmu Murni sebesar 2,53. Maksudnya, jika dibulatkan, setiap judul buku klasifikasi ini terdapat 2 sampai 3 eksemplar. Sementara itu, pada klasifikasi-klasifikasi lainnya terdapat kurang lebih dua eksemplar untuk setiap judul. Dengan begitu, ada ketimpangan jumlah eksemplar per judul jika dibandingkan antara klasifikasi Sejarah dan Geografi dengan klasifikasi lainnya. Sebetulnya PKY dan PUKB memiliki dua pelayanan, yaitu perpustakaan menetap dan keliling. Perpustakaan menetap yakni yang berada di sebuah lokasi yang bersifat tetap. Sementara, Perpustakaan keliling adalah layanan perpustakaan yang mendatangi pembaca dengan membawakan bahan pustaka menggunakan mobil atau bus.

Perpustakaan keliling menjangkau dua sasaran, yaitu sekolah dan masyarakat. Pihak sekolah dan masyarakat bisa menghubungi pihak perpustakaan agar dapat dikunjungi oleh perpustakaan keliling. Dengan adanya dua pelayanan, perpustakaan membutuhkan lebih dari satu eksemplar per judul buku untuk memenuhi koleksi pada kedua pelayanan itu. Jumlah rata-rata dua eksemplar per buku yang dimiliki kedua perpustakaan tersebut, tentu masih belum mencukupi karena keduanya hanya menyediakan satu eksemplar buku tiap pelayanan. Alhasil, jumlah eksemplar per judul buku di sana masih kurang mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap buku. Selain itu, dari data di atas terlihat ada sebagian klasifikasi buku yang dikesampingkan. Penyakit laten ketimpangan yang menjangkiti Yogyakarta ternyata merebak hingga buku di perpustakaan. Akibatnya, kebutuhan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan kurang diperhatikan. Padahal, Yogyakarta (masih) dianggap sebagai Kota Pendidikan. Dengan adanya perpustakaan keliling, kebutuhan pelajar dan masyarakat akan buku yang belum terjangkau oleh perpustakaan menetap diharapkan dapat tercukupi. Terlebih, bila ada tambahan pelayanan berupa perpustakaan digital yang semakin memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan masyarakat dan pelajar. Meski kualitas pelayanan perpustakaan sudah cukup baik, ketimpangan jumlah judul dan eksemplar buku masih terjadi. Dengan keadaan perpustakaannya yang seperti itu, masihkah Yogyakarta pantas menyandang jabatan Kota Pendidikan?

Grafik Jumlah Eksemplar Per Buku Perpustakaan Kota Yogyakarta dan Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul

4,8

1,79

2,73

2,32 2,07 1,93 2 2,07 2,15 1,9

2,26

2,53 2,07 2,11

2,23 1,94

2,19

2,04

2,23 1,91

Sumber: Diolah dari Data Klasifikasi Buku Perpustakaan Kota Yogyakarta dan Perpustakaan Umum Kabupaten Bantul

17

SISI LAIN

Sudut Terlupakan dari PerpustakaanKetidakberpihakan fasilitas perpustakaan pada mahasiswa difabel, mengakibatkan kampus kian ekslusifelasa (5/7), pelataran perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta terlihat ramai oleh beberapa siswa SMA yang mengamati fasilitas kampus. Sebaliknya, suasana di dalam perpustakaan terlihat lengang. Di salah satu sudut ruangan, seorang pria tunanetra berjaket krem berdiri di depan sebuah rak buku. Di sampingnya, seorang relawan tampak sibuk mencarikan buku untuknya. Karena memiliki keterbatasan fisik, Saiful Latif membutuhkan relawan untuk memilih dan memindai buku. Relawan atau penjaga perpustakaan sangat membantu saya untuk memanfaatkan perpustakaan, meskipun fasilitas bagi difabel belum sepenuhnya terpenuhi, ujar mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyediakan blind corner, untuk memudahkan akses bagi mahasiswa difabel. Seperangkat alat tersebut menggunakan sistem teknologi informasi sehingga buku yang berbentuk digital (e-book) dapat terbaca dalam bentuk audio. Proses digitalisasi buku sudah dilakukan, yaitu dengan mengetik isi buku, mengedit, lalu mengubahnya ke dalam format audio dengan screen reader, papar Rofah Muzakir, MA, Ph.D., selaku Direktur Pusat Studi Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rofah mengungkapkan, fasilitas blind corner di perpustakaan merupakan salah satu syarat kampus inklusif. Konsep kampus inklusif sangat penting diterapkan oleh perguruan tinggi di Indonesia, jika ingin menciptakan sebuah lingkungan yang demokratis, setiap orang punya hak untuk berpartisipasi, jelasnya. Menurut Rofah, selama ini sistem pendidikan secara tidak langsung telah memarginalkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat karena belum mengakomodir semua kebutuhan warga kampus. Jika dibandingkan dengan kampus lain, saat ini hanya UIN yang memberikan support pada difabel, papar Rofah. Tidak seperti UIN, banyak kampus lain tidak memiliki perpustakaan yang mudah diakses

S

mahasiswa difabel. Sri Rumani S.H., S.IP., M.Si., Kepala Perpustakaan Fisipol UGM mengatakan, perpustakaan Fisipol UGM tidak memiliki fasilitas yang mudah diakses mahasiswa difabel. Dilihat dari tempatnya yang di lantai tiga, pasti mahasiswa difabel akan kesulitan ke sini, tuturnya. Ironisnya, pembangunan gedung baru perpustakaan UGM ternyata kurang berpihak pada mahasiswa difabel. Hal ini terlihat dari pembangunan perpustakaan yang hanya menyediakan lift khusus agar mahasiswa difabel tidak kesusahan naik tangga. Mengenai fasilitas blind corner, masih dalam tahap perencanaan. Untuk bacaan bagi difabel, mungkin akan dikembangkan di gedung khusus cetakan setelah pembangunan perpustakaan ini selesai, ungkap Kepala Perpustakaan UGM, Drs. Ida Fajar Priyanto MA. Ketiadaan fasilitas blind corner di beberapa perpustakaan sangat disayangkan Saiful Latif. Sebagai mahasiswa yang kuliah di kampus inklusif, ia terkadang masih menemui kesulitan lantaran minimnya buku digital dan sikap ketus beberapa petugas perpustakaan. Kendala yang dihadapi Saiful menjadi tidak seberapa jika dibandingkan dengan mahasiswa difabel yang tidak dapat mengakses blind corner di perpustakaannya. Jika kampus menerima mahasiswa difabel, maka kampus harus siap dengan fasilitasnya, ujar Saiful. Penulis: Fotografer : Desi Martika Vitasari Rizki Ahmad Fauzi Hary Prasojo Syafaatillah

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

sangat penting diterapkan oleh perguruan tinggi di Indonesia, jika ingin menciptakan sebuah lingkungan yang demokratis, setiap orang punya hak untuk berpartisipasi,

Konsep kampus inklusif

28 18

Daripada

lebih baik membaca

Galau ,

buku19

Iklan ini dipersembahkan oleh

BPPM Balairung

APRESIASI

Ekspresi Responsif Konstruksi Ruangan Pustaka

Sifatnya yang senantiasa menyesuaikan kondisi, membuat ruangan pustaka seolah-olah tidak memiliki batasan.

Penulis :

Shandy Wilo Fitriani Mamonto

Fotografer : Medikantyo Junandika

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

ada umumnya, perpustakaan spesifik dengan buku, ruangan baca, dan atribut lainnya. Tulisan Dilarang Bersuara yang dipasang serta aroma buku-buku usang menambah impresi kaku sebuah perpustakaan. Namun, persepsi terhadap perpustakaan tersebut akan berbeda ketika mengunjungi Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Tiba di depannya, terlihat ujung bangunan paling atas berbentuk segitiga. Polanya beragam, batu bata disusun vertikal-horizontal serta kaca dipasang vertikal. Material bangunan yang didominasi oleh kayu menciptakan kesan homy pada perpustakaan IVAA. Suasana hangat dan akrab terasa saat memasuki perpustakaan Selasa (28/6) siang itu. IVAA merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang dokumentasi, riset, perpustakaan, dan eksplorasi seni visual. Lembaga ini pertama kali berdiri tahun 1995 dengan nama Yayasan Seni Cemeti. Pada 2007, mereka berganti nama menjadi IVAA. Letak perpustakaannya baru saja berpindah dari daerah Patehan Tengah ke daerah Keparakan, Mergangsan. Kepindahan itu pun mendorong IVAA mengubah model bangunannya.

P

Adalah Yoshi Fajar Kresno Murti, Outreach Program IVAA, yang mendesain ruang perpustakaan IVAA. Konsep yang diusung ialah sebuah ruangan yang dapat direspon untuk beragam aktivitas sesuai dengan kebutuhan. Semakin banyak orang bisa menggunakan sebuah ruang, ruangan itu semakin baik, ujar lulusan teknik Arsitektur Atma Jaya 2006. Ia menyebut konsep ini dengan istilah Ugahari. Konsep tersebut menyelaraskan benda-benda yang sebelumnya sudah ada dengan rancangan. Merespons menjadi salah satu implementasi konsep Ugahari. Konsep ini tidak memaksakan agar rancangan awal sepenuhnya terealisasi, tetapi menyesuaikan dengan keadaan di sekitar. Contohnya, sumur di dalam perpustakaan IVAA. Rancangan menyesuaikan dengan sumur yang sebelumnya telah ada. Alih-alih menutupnya, sumur dibuat menyerupai meja agar dapat digunakan sebagai tempat membaca. Konsep Ugahari juga tidak mengenal pemborong. Pengerjaan bangunan dilakukan oleh tukang itu sendiri sekaligus pemilik bangunan. Dengan mengerjakan bangunan sendiri, kita jadi mengenal setiap sudut bangunan, tuturnya. Karena tidak adanya pemborong, material yang

20

digunakan berasal dari berbagai sumber. Selain dari toko bangunan di pinggir jalan dan sumbangan dari pihak lain, material yang sudah dimiliki juga dipakai. Rak buku di perpustakaan yang baru diambil dari perpustakaan lama. Selain itu, penempatan rak juga serupa dengan perpustakaan sebelumnya, menghimpit tembok dan berjejeran. Jadi, pengunjung tidak kebingungan dengan penempatan yang baru. Bangunan maupun ruangan terkesan belum jadi karena beberapa sisi yang tidak dipoles. Beberapa dinding hanya dilapisi batu bata tanpa pengecatan. Tidak adanya cat justru disengaja agar bangunan tampak alami dan jujur. Menurut sang arsitek pengecatan bukanlah hasil akhir dari sebuah bangunan. Membangun itu dari fondasi, struktur, lalu atap. Itu kan satu kesatuan. Bukan berarti hasil akhirnya cat, papar Yoshi. Pertimbangan serupa juga terlihat pada tangga menuju lantai dua yang sengaja diperlihatkan fondasi penopangnya. Fondasi di bawah tangga dimaksudkan untuk menopang tangga agar tidak mudah goyah. Bentuk rancangan tangga yang awalnya melingkar realisasinya berubah menjadi diagonal. Rancangan awal yang banyak berubah ketika proses pembangunan tidak dianggap sebagai masalah. Aku mendesain tidak dipaksakan karena akan ada improve di proses, jelas arsitek yang karyanya termuat dalam 50 Indonesian Houses. Beberapa rencana awal pengerjaan perpustakaan berubah karena keadaan yang kondisional. Bangunan yang baik pasti akan selalu tumbuh menjadi landasan keluwesan tersebut. Konstruksi ini tidak selesai didirikan setelah atap dibuat, seperti sebagian atap sisi barat perpustakaan yang didesain terbuka. Untuk sementara, atap tersebut ditutup dengan fiber semen yang tidak permanen karena kondisi cuaca. Fleksibilitas tidak hanya terdapat dalam pembangunannya, tetapi juga ruangan perpustakaan IVAA. Ruangannya bersifat multifungsi, tidak sekadar sebagai ruang baca. Cair, demikian Yoshi menyebut ruangan di bagian tengah itu. Ruangan tersebut dapat digunakan sebagai amfiteater mini di mana pentas dan diskusi dapat digelar. Pada hari biasa, ruang kembali menjadi ruang baca. Itu ruangan cair. Kita bisa membuat batas sesuai kebutuhan, papar lelaki berpostur kurus itu. Meskipun ruangan cair tidak memiliki batasan, unsur keharmonisan masih dapat dirasakan. Elemen harmonis didapatkan dari kecermatan komposisi dan pola bangunan. Lampu berbentuk bulat yang menggantung di tengah ruangan menjaga komposisi agar tidak didominasi pola garis dan persegi. Dinding di lantai dua memadankan material batu bata pada sisi selatan dan polesan

beton yang halus di sisi utara. Pertimbangan ini dilakukan demi adanya keselarasan komponen. Semangat konsep yang menolak latah dengan tren juga menjadi alasan tersendiri di balik proses pembuatan perpustakaan. Sejak tahun 1980-an terjadi tren penggunaan tembok. Namun, konsep perpustakaan IVAA tidak mengenal kecenderungan ini. Corak dinding bervariasi, yakni menggunakan bata dan kayu. Hal ini menyebabkan udara mudah masuk melalui celah-celah dinding. Karena sirkulasi udara yang terlalu banyak, kelembaban udara menjadi kurang terkendali. Sehingga perpustakaan ini kurang mengutamakan keawetan buku. Padahal, standar umum sebuah perpustakaan, menurut Labdo Pranowo, ST, dosen arsitektur UGM, ialah adanya ruangan baca, ruangan buku, serta lingkungan yang mendukung keawetan buku. Perpustakaan yang mengutamakan keawetan koleksi, ruangan buku ditempatkan terpisah dengan ruangan baca. Contoh dari perpustakaan yang menerapkan hal ini adalah Perpustakaan St. Ignatius. Ruangan buku diletakkan di bawah tanah dan hanya pustakawan yang dapat mengaksesnya. Akan tetapi, tidak semua perpustakaan memiliki orientasi yang sama. Perpustakaan yang mendorong keinginan membaca para pengunjungnya justru meletakkan buku dekat ruangan baca, salah satunya IVAA. Kelembapan udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan mempengaruhi bukubuku. Paparan sinar matahari serta kelembapan yang berlebihan dapat merusak buku. IVAA harus menanggung resiko ini. Selain tidak adanya air conditioner bagi ruang buku, di dalam ruangan terdapat sumur yang menambah kelembapan udara. Ruang dengan air conditioner diprioritaskan untuk pemeliharaan poster serta rekaman-rekaman audio dan video. Selain masalah keawetan buku, salah seorang pengunjung, Stephanus Budi, mahasiswa Seni Rupa 2007 Universitas Negeri Sebelas Maret mengeluhkan Perpustakaan IVAA yang kini tidak lagi teduh. Ia pernah merasakan Perpustakaan IVAA yang berada di Patehan dengan banyak pohon di halamannya. Ia biasa membaca buku di teras perpustakaan tersebut. Namun, di perpustakaan IVAA di Keparakan kebiasaan itu tidak bisa lagi dilakukan. Kalau di dalam perpustakaan kurang teduh, ungkapnya.

21

SOSOK

Mengintip Keterampilan Menulis Sang Seniman

Dibalik eksistensi panggung teater yang ditekuni, dunia menulis turut andil mengantarkannya pada puncak karir.

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

Penulis : : Linna Permatasari Fotografer : Aulia Reza Meziardi

umah berpagar coklat di Kompleks Padepokan Seni Bagong Kussudiardja terbuka lebar. Halamannya tampak lengang, hanya ada dua motor berplat AB ketika kami datang Selasa (4/7) pagi. Pepohonan dan hijaunya rumput di depan rumah memberikan kesan teduh. Di sanalah Butet Kartaredjasa tinggal. Seorang karyawan membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk. Kami diantar menuju ruangan tanpa dinding yang berhadapan langsung dengan taman belakang. Dalam ruangan tersebut, Annisa Sastrowilogo, sang menantu sedang menonton televisi. Di ujung ruangan, terlihat Butet berada di meja kerjanya. Di hadapannya menyala sebuah laptop. Dengan raut muka serius ia menyapa dan menjabat tangan kami. Tunggu sebentar ya, saya selesaikan urusan ini dulu, katanya sambil menunjuk laptop. Sejenak kemudian, Butet menghampiri dengan sebungkus rokok di tangan kanannya. Mimik serius pun sirna ketika ia mulai mengisahkan pengalamannya. Butet, pemeran Sentilun dalam program acara Sentilan Sentilun ini memiliki keterampilan di berbagai bidang. Melukis, teater, menulis bahkan bisnis periklanan pernah diselami. Namun, seiring berjalannya waktu Butet memilih dunia seniman sebagai prioritas. Seleksi alam mengarahkan saya sebagai aktor, jelasnya. Sebagai seorang yang besar dalam lingkungan seniman, Butet mengaku beruntung. Bukan berarti memanfaatkan nama orang tua untuk besar, tapi saya mendapat atmosfer di sini, ujarnya sambil mengisap kretek. Ia mengaku almarhum ayahnya, Bagong Kussudiardja tidak mengarahkannya sebagai seniman. Berbagai kegiatan yang dijajalnya berasal dari ketertarikan diri sendiri. Namun menurut Butet, sosok Bagong Kussudiardja tetap berandil besar dalam karirnya. Baginya, sosok ayah merupakan sparring partner dalam hal bertengkar bahkan menjadi motivator. Keberadaan Padepokan Bagong Kussudiardja yang berada di belakang rumah merupakan aset baginya. Saya belajar banyak dari padepokan itu, ujar mantan mahasiswa Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu. Proses belajar yang ditempuh membuatnya dikenal sebagai seniman independen tanpa bayang-bayang orang tua.

R

20 22

Butet pun menjelaskan tidak semua saudaranya menjadi seniman. Sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara, hanya ia dan Djaduk Ferianto yang masih menjadi pegiat seni. Lainnya supporting di manajemennya, ada juga yang jadi PNS, paparnya kepada kami. Bersama Djaduk, Butet mendirikan Komunitas Seni Kua Etnika. Komunitas ini merupakan wadah pengembangan gagasan kreatif di bidang seni pertunjukan musik dan teater. Baginya, bekerja sama dengan saudara sendiri lebih mudah karena tidak harus beradaptasi. Selain Komunitas Seni Kua Etnika, Butet juga aktif di Teater Gandrik. Teater Gandrik menggunakan teknik Guyon Parikeno dalam pementasannya. Mencubit tanpa orang tersebut merasa tercubit, itu Guyon Parikeno, jelas pengguna kacamata berminus 4,5 tersebut. Guyon Parikeno mendarah daging pada setiap pertunjukkan Teater Gandrik. Bersama Gandrik pula lah, Butet berpentas di beberapa kota di Indonesia. Butet sempat mewakili Indonesia dalam Second ASEAN Theatre Festival (1990) di Singapura dengan membawakan lakon Dhemit. Ia juga mementaskan lakon yang sama di Kuala Lumpur, Malaysia. Dunia monolog juga dipilih sebagai media berekspresi. Pengoleksi bungkus rokok dan mobil lawas ini telah mengadakan berbagai pertunjukkan monolog. Monolog yang dimainkan antara lain, Monolog Matinya Toekang Kritik (2006), Monolog Sarimin (2007) dan Monolog Kucing (2010). Ia pun sering melukis untuk mengisi waktu luang hingga menghasilkan sedikitnya empat lukisan. Dalam lukisannya. Butet biasa menggunakan simbolisasi dan aksara Jawa. Butet juga sempat mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif gender. Dunia bisnis periklanan juga dijajaki dengan mendirikan Galang Communication. Dunia Menulis Butet menekuni dunia menulis sebelum namanya tenar sebagai seniman. Sejak kelas satu Sekolah Menengah Seni Rupa Yogya (SMSR), ia mulai mengirim tulisan ke beberapa surat kabar. Review pameran seni rupa yang diselenggarakan sekolahnya adalah tulisan pertama yang dimuat Bernas Jogja (1978). Honornya Rp 750, termasuk mewah itu, katanya. Sejak saat itu, ia mulai rajin mengirim artikel ke beberapa surat kabar, seperti Kedaulatan Rakyat (KR) dan Kompas. Beberapa prestasi jurnalistik didapat Butet selama menulis. Diantaranya adalah Juara Pertama Lomba Esai TIM (1982) dan Juara Pertama Lomba Esai Tentang Wartawan, LP3Y (1983). Setelah menikah, ia menjadikan dunia menulis sebagai mata pencaharian. Di samping menulis, Butet juga menekuni dunia lukis dan teater. Baginya, dunia menulis merupakan pengembangan sebagai

Tanpa membaca, apa yang akan ditulis? Nah ini menjadi tugas akademisi sekarangaktor teater. Butet juga memiliki cara agar tulisannya yang sarat kritik dapat diterima. Ia menggunakan feature, gaya penulisan yang bertutur tanpa menunjuk target tulisannya. Sejak 1978-1992 Butet tercatat menjadi sketser (penggambar vinyet) dan penulis freelance untuk liputan masalah- masalah sosial budaya media cetak lokal maupun nasional. Beberapa medianya adalah KR, Bernas, Kompas, Mutiara, Sinar Harapan, Hai, Merdeka, Topik dan Zaman. Pada tahun 1986-1990 ia juga bekerja sebagai wartawan di Tabloit Monitor. Di Suara Merdeka, Butet pernah pula menjadi kolumnis. Dalam kolom-kolomnya, ia berekspresi melalui tokoh fiktifnya, Mas Celathu. Mas Celathu dan tokoh sampingan lainnya merupakan alter ego dari keluarganya. Pada 2008, kolomnya kemudian dibukukan dalam Presiden Guyonan. Ya buat gagah-gagahan saja biar selama hidup punya buku, candanya. Buku itu bahkan pernah dihadiahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berkunjung ke Yogyakarta. Hadapi Digitalisasi Media Era digitalisasi semakin akrab dengan kehidupan masyarakat, akses informasi berubah dari teks menjadi visual. Keberadaan digitalisasi yang berbasis keinstanan informasi ini memberikan efek bagi dunia menulis. Keadaan ini memberikan angin kebebasan bagi penulis yang hendak memublikasikan karyanya. Sekarang orang bisa menulis dengan bebas, kalau dulu menulis itu sakral apalagi di-share, ujarnya. Namun, ketergantungan orang pada media visual juga memberi efek negatif pula. Informasi bukan lagi dari teks, tapi visual. Tugas manusia adalah mengartikulasikan persoalan dengan visualisasi, sedangkan teks hanya sebagai pelengkap. Itu perubahan besar, ujarnya miris. Pemenuhan kebutuhan informasi khalayak juga dituntut instan. Sehingga ia menilai orang malas membaca nonvisual berlama-lama. Tanpa membaca, apa yang akan ditulis? Nah ini menjadi tugas akademisi sekarang, imbuhnya. Untuk menghadapi era digital itulah Butet berpesan kepada generasi muda untuk tidak memunahkan budaya menulis. Ia berharap generasi muda lebih berani untuk menulis. Dalam menulis seseorang harus berani menjajal, berani keliru, berani dianggap bodoh dan berani dipuji. Yang terpenting jangan berorientasi pada pencitraan, nanti ndak jadi pemberani, pungkasnya ringan.

23 21

REHALJudul Buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal : Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu : P. Swantoro : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan Rumah Budaya Tembi : Kedua, Agustus 2002 : vii + 435 Halaman

Membalkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

buk uka Buk n u

Bermula dari buku, bercerita tentang buku, dalam sebuah buku.ada masa tuanya, seorang mantan wartawan yang pernah menggeluti bidang sejarah dan juga pernah berprofesi sebagai guru, melakukan pekerjaan terakhirnya dengan menulis sebuah buku. Biasanya, seorang penulis menyusun buku tentang fenomena, kajian keilmuan, tokoh, atau peristiwa tertentu. Namun kali ini berbeda, buku yang ditulis bercerita tentang perkelanaan memorinya seputar buku. Alhasil, terbitlah buku berjudul Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa mantan wartawan ini ingin membukukan perkelanaan memorinya seputar buku. Pengabdian terakhir bagi

P

beberapa profesi dan bidang keilmuan yang pernah digelutinya mungkin menjadi salah satu alasan. Akan tetapi, masih ada alasan lain bagi orang yang menyebut dirinya si Kakek ini. Cinta pada buku. Kecintaannya pada buku lah yang menuntun si Kakek berjalan menuju perkelanaan memorinya. Kenangan si Kakek di masa lalu terisi penuh oleh rasa ingin tahu. Pada masa itu, hanya bukulah yang mampu menjadi pemuas atas rasa ingin tahu. Perasaan tersebut, yang mengarah pada peristiwaperistiwa negeri serta para tokoh besar, mendorong si Kakek menggeluti ilmu sejarah. Nampaknya hal itu membuat sebagian besar isi buku mengarah pada kajian sejarah. Awal mula perkelanaan memori si Kakek dijelaskan pada artikel pertama berjudul Bermula dari Gambar Berwarna. Dalam artikel ini, si Kakek menunjukkan memori tentang sebuah buku berbahasa Belanda yang diambil dari lemari ayahnya semasa kecil. Ia pertama kali membuka buku itu pada 1940-an, tetapi kemudian hilang. Meskipun pernah membukanya, si Kakek tidak pernah membaca buku tersebut, karena belum menguasai bahasa Belanda sama sekali. Sesuatu yang selalu mengingatkannya pada buku itu adalah satu halaman penuh gambar berwarna. Setelah puluhan tahun, akhirnya si Kakek menemukan kembali buku yang hilang itu. Tepat 19 Maret 1994, ia membelinya dari seorang tetangga pecinta buku tua. Jika dihitung, si Kakek benarbenar mengingatnya selama kurang lebih setengah abad! Sungguh masa yang tidak singkat. Buku yang pernah hilang dan ditemukan kembali oleh si Kakek tersebut adalah Gellustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie atau GEN. GEN disusun oleh G.F.E. Gonggryp, diterbitkan di Leiden pada tahun 1934. GEN merupakan sebuah ensiklopedi yang menjelaskan seluk beluk HindiaBelanda pada masa kolonial. Gambar-gambar yang pernah dilihat oleh si Kakek pada masa kecilnya merupakan sederetan lambang kotapraja-kotapraja, yang disebut wapens. Gambar berwarna dalam GEN itu memberi kesan yang sangat dalam pada si Kakek. Bermula dari sana, si Kakek mulai mencintai buku sehingga menjadi pembuka dalam karangannya. Setelah GEN, dalam buku yang disusunnya si Kakek membahas The History Of Sumatra (William Marsden) , History of Java (Thomas Stanford Raffles), dan Babad Tanah Djawi (Pangeran Adilangu II)

24

serta buku-buku lain. Selain itu, ia juga membahas tokoh-tokoh seperti Tome Pires, John Crawford, Poerbatjaraka, Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka. Di luar buku dan tokoh, si Kakek juga menjelaskan yoga karena kekaguman terhadap prosesnya. Pembahasan tentang yoga terdapat dalam artikel berjudul, Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu. Dalam artikel ini, yoga dijelaskan sebagai seni dan laku atau sistem dan metode. Seni dan laku ini mengandung konsistensi, jerih payah, dan pengorbanan dalam proses manunggal atau menyatu dengan dewa yang dipuja. Pelaku yoga disebut yogi. Sebagai orang-orang yang berolah yoga, para yogi melaksanakan pekerjaan sebagai panggilan hidup. Oleh karena itu, setiap tindakan dihayati sepenuh hati bukan saja untuk mencapai kualitas ilmu yang tinggi, melainkan juga kualitas hidup. Meskipun sifatnya spiritual, proses seperti ini seharusnya tidak hanya dijalani oleh para pujangga atau pembuat keris di masa lalu. Para ilmuwan di masa kini seharusnya juga menerapkannya. Sayangnya, sebagaimana penjelasan dalam buku si Kakek, kebanyakan ilmuwan yang menerapkan laku rohani layaknya yogi berasal dari luar negeri. Beberapa diantara mereka adalah J. Th. Petrus Blumberger, Denys Lombard, A.Teeuw, G. McTurnan Kahin, Zoetmulder. Kerja keras para ilmuwan inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu pendorong terbentuknya organisasi-organisasi sejarawan pemerhati nusantara internasional. Perihal nasib buku-buku bernilai sejarah di Indonesia, si Kakek sempat menuturkan kekecewaannya. Penuturan ini terdapat dalam artikel berjudul Babad Dipanegara dalam De Java Oorlog. Ceritanya bermula dari keinginan untuk mengoleksi enam jilid buku De Java Oorlog: 18251830 yang disusun oleh P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck. Melalui usaha yang keras, si Kakek berhasil mengoleksi jilid I sampai IV. Namun, ia kesulitan untuk menemukan jilid V dan VI. Pada suatu hari si Kakek mendengar informasi dari seorang pemburu buku tua bahwa dua set karya Louw-Klerck, yang masing-masing berjilid komplit, telah dijual kepada Universitas Kyoto, Jepang. Setelah berbagai usaha yang dilakukannya, si Kakek tentu merasa kecewa. Di dalam buku karangannya, kekecewaan ini tergambar dalam pernyataan banyak buku penting,

khususnya buku-buku yang bisa dikategorikan klasik dan langka, berpindah tangan ke luar negeri demi uang. Apabila dicermati, penuturan si Kakek ini terkesan subyektif. Hal ini tersirat dari keinginannya untuk mengoleksi enam jilid buku De Java Oorlog: 1825-1830 secara pribadi. Akan tetapi, penuturan si Kakek ini memang penting untuk kita camkan mengingat sudah banyak karya klasik yang ke tangan orang asing dengan harga yang tidak seberapa. Di dalam karyanya, pembahasan yang diberikan si Kakek tidak melulu tentang isi buku yang pernah dibaca. Dalam setiap artikel, ia seperti menulis kesan dan pesan baik tentang peristiwa, tokohtokoh, maupun debat perihal sejarah. Dapat dikatakan, saat membaca buku si Kakek kita sedang pasrah mengikuti kemanapun perkelanaan memorinya mengarah. Salah-salah, kita bisa terbuai didongenginya. Sekalipun tidak memiliki alur yang jelas, buku karangan si Kakek tetap nyaman untuk dibaca. Pengalaman yang diperolehnya dari buku-buku, mulai dari zaman kuno hingga modern dipaparkan dengan gaya yang alami. Penuturannya mengenai tokoh-tokoh besar begitu bersemangat, didasari oleh penghargaan yang besar. Penggambarannya tentang tekad dan kesungguhan hati dalam yoga menimbulkan rasa kagum bagi yang membacanya. Terlepas dari bacaan apa yang beliau bahas, kita bisa melihat bahwa si Kakek memperoleh banyak pengetahuan dari membaca. Dari apa yang dibaca, pada akhirnya ia bisa menulis. Mungkin pesan inilah yang juga ingin disampaikan oleh si Kakek bernama asli Polycarpus Swantoro ini. Dengan membaca, ia bisa berbicara benar, dan akhirnya bisa menulis dengan benar. Melalui membaca, kita dapat melihat kebenaran dan menyampaikannya dengan baik.

Penulis

: L. Zaqiy Jatibenang Dewi Pertiwi Fotografer : Wulan Septiningtyas

25

EUREKA POTRET

Mengucap Syukur Lewat TradisiFoto dan teks : Hary Prasojo Syafaatillah

Sebanyak 15 dusun dari Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul memeriahkan puncak perayaan Grebeg Selarong 2011. Perayaan dimulai dengan mengarak tiga buah gunungan dari balai desa, dan diakhiri dengan perebutan gunungan di halaman parkir wisata Gua Selarong. Grebeg Selarong diadakan setiap tahun bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Bantul yang jatuh pada tanggal 10 Juli. Ritual ini merupakan wujud syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 201126

27

EUREKA

Menelisik Urgensi Perlindungan Karya Cipta BukuSeseorang yang mampu menciptakan suatu temuan baru, umumnya akan berkeinginan untuk memiliki temuannya secara penuh. Lewat pengorbanan waktu dan tenaga yang tak sedikit, permintaan akan kepemilikan tersebut terasa cukup adil untuk dipenuhi.Penulis Ilustrasi : Dhatu Wicaksono : Eka Apriliawanpembajakan ialah buku. Bayang-bayang keuntungan menjadi motivasi bagi para pelaku pembajakan ketika permintaan pasar terhadap sebuah buku sangat besar. Pada akhirnya, nilai moral dan ekonomis dari sebuah buku terbitan akan tergadaikan oleh peredaran buku bajakan. Berangkat dari permasalahan di atas, dua orang mahasiswa S2 yaitu Gusrizal Miftah dan Desi Eka Budi Astuti berhasil menyelesaikan tesis yang mengambil tema perlindungan hak cipta. Gusrizal Miftah menyelesaikan tesis berjudul Perlindungan Hukum Karya Cipta atas Buku Ditinjau dari UdangUndang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta pada Desember 2004. Sementara itu, Desi Eka Budi Astuti menyelesaikan tesis berjudul Penegakan Hukum Hak Cipta terhadap Pelanggaran Hak Cipta atas Pembajakan Karya Cipta Buku pada Mei 2007. Mereka memilih Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai ruang lingkup penelitiannya. Namun, yang membedakan dari dua tesis ini adalah bagian sampel penelitian. Gusrizal menetapkan anggotaanggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) daerah Yogyakarta sebagai sampel penelitian, sedangkan Desi menetapkan sampel penelitian yang meliputi penyidik POLRI, Jaksa, dan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta serta pembeli dan pedagang buku di Shopping Center. Dalam Tesisnya, Gusrizal menggunakan metode penelitian kualitatif dengan rancangan analisis kualitatif. Pemilihan metode kualitatif ini

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 201128

ada bidang hukum, hak milik dimanifestasikan ke dalam bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Keinginan untuk memberikan perlindungan bagi karya-karya seseorang menjadi motivasi tersendiri dalam kemunculan HaKI. Di Indonesia, pembahasan pembentukan Undang-Undang (UU) mengenai HaKI telah berkembang sejak 1982. Berbagai usaha penyempurnaan UU HaKI pun juga telah dilakukan. Seperti penegasan atas perlindungan karya-karya intelektual terutama bidang seni dan budaya. Hal ini dilakukan demi tercapainya penegakan hukum terhadap nilai moral, praktis, dan ekonomis dari sebuah penemuan. Dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik seseorang, tentu kita dianggap telah berusaha untuk menjunjung penegakan HAM Namun, implementasi UU HaKI di kehidupan sehari-hari ternyata masih belum menjamin penegakan hukum pada hak cipta. Berbagai hambatan muncul silih berganti seiring dengan adanya amandemen UU HaKI. Salah satunya ialah pembajakan suatu barang. Hadirnya barangbarang bajakan di pasaran tentu saja memberikan dampak negatif bagi penemu, perusahaan yang memproduksi, dan negara. Pajak yang seharusnya masuk ke kas negara akan terhambat dan berkurang jumlahnya akibat dari maraknya peredaran barang bajakan. Salah satu barang yang sering menjadi obyek

P

kemudian dipadu dengan penggunaan teknik wawancara intensif kepada sampel penelitian yang telah ditetapkan. Perlu diketahui, dia menggunakan pendekatan yuridis normatif dalam proses pengolahan dan analisis data. Pemilihan metode ini dimaksudkan agar penulis dapat menelaah secara lengkap dan terperinci fenomena perlindungan hukum yang terjadi. Hal yang hampir sama juga ditunjukkan oleh Desi dalam pemilihan metode penelitian tesisnya. Desi memutuskan untuk menggunakan metode kualitatif dengan rancangan analisis kualitatif-deskriptif. Dua peneliti ini samasama menggunakan teknik wawancara intensif sehingga dapat diperoleh data yang menunjang variabel penelitian yang telah ditentukan. Keberadaan Undang-Undang mengenai hak cipta buku saat ini telah berkembang menjadi suatu hal yang cukup mendesak. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya aksi pembajakan buku untuk tujuan komersil. Buku sebagai sesuatu hal yang sangat bermanfaat dalam bidang pendidikan ternyata masih saja disalahgunakan oleh berbagai oknum demi keuntungan pribadi. Usaha penegakan hukum sebagai sarana penanggulangan perlu diterapkan secara menyeluruh. Perlu diketahui bahwa prosedur penegakan hukum hak cipta buku terbagi menjadi dua, yaitu penegakan hukum secara pidana dan perdata. Sebetulnya, keberadaan Undang-Undang Hak Cipta (UU Hak Cipta) nomor 19 tahun 2002 diharapkan akan memberikan garansi perlindungan bagi para penulis buku. Namun, dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari masih muncul banyak kendala. Berbagai faktor atau variabel penghambat sistem penegakan hukum pun muncul. Sebut saja faktor kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta penegak hukum yang berkaitan langsung dengan implementasi UU Hak cipta. Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat saat ini kemudian menyediakan akses pengolahan data yang mudah. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku pembajakan dalam melakukan aksinya.Selain itu, keterbatasan pemahaman dan penguasaan materi UU Hak Cipta serta mentalitas aparat juga menjadi salah satu penyebab penegakan hukum mengenai hak cipta dirasa kurang. Fenomena seperti ini tentu dapat terjadi di berbagai institusi penegak hukum seperti POLRI, Kejaksaan, Hakim, dan sebagainya. Rendahnya tingkat kualitas para penegak hukum ini pada akhirnya akan mengakibatkan kurang efektifnya implementasi perlindungan bagi hak cipta buku. Kesadaran masyarakat terhadap UU Hak Cipta turut menjadi variabel yang menentukan dalam pencapaian penegakan hak cipta buku. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku, seringkali membuat mereka tanpa

pandang bulu melakukan kegiatan pembajakan karya. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh pihak implementor kebijakan masih kurang efektif. Perlu diketahui, kewajiban pelaksanaan kegiatan sosialisasi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak implementor kebijakan dan penegak hukum, tetapi juga para penerbit dan pengarang buku. Tuntutan terhadap peran media massa sebagai alat sosialisasi juga muncul disini. Sedikit mengutip dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Gusrizal, ternyata terdapat indikasi mengenai kurangnya partisipasi penerbit dan pengarang buku dalam sosialisasi dan penegakan hukum. Keengganan pihak tersebut dalam memberikan informasi yang akurat dalam kasus pembajakan turut menghambat penegakan hukum hak karya cipta buku. Paparan mengenai pembahasan penegakan hukum hak cipta dalam kedua tesis ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari segi kelengkapan data, tesis milik Desi terlihat lebih lengkap dan terperinci. Tesis ini juga terlihat lebih both side karena mengambil perspektif dari dua sisi yaitu pihak penegak hukum (POLRI, Kejaksaan, dan Hakim) dan masyarakat umum (penjual dan pengunjung toko buku). Kelebihan dari tesis milik Desi pada segi kelengkapan data ini kemudian juga menjadi kekurangan dari tesis Gusrizal. Namun demikian, tesis milik Gusrizal ternyata menyediakan alternatif pandangan lain mengenai penegakan hukum hak cipta di Indonesia, yaitu dari institusi penerbitan buku. Dengan kesamaan arah dan muara penelitian yang dipaparkan oleh kedua penulis, pada akhirnya kedua tesis ini akan terlihat saling melengkapi satu sama lain. Penelitian ini kiranya menjadi teguran bagi aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya. Rendahnya tingkat penguasaan materi yang diikuti oleh minimnya sosialisasi ini dapat menyebabkan efek domino yang negatif bagi pihak penerbit, penulis, dan negara. Kajian ini juga diharapkan oleh peneliti agar dapat memberikan motivasi bagi institusi-institusi penegakan hukum yang terkait agar melakukan pendidikan terpadu ke aparat sekaligus sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu, kajian ini juga diharapkan memberikan informasi dan pengetahuan bagi semua pihak mengenai faktor dan dampak pembajakan buku. Dengan demikian, penegakan hukum di Indonesia dapat dijalankan dengan lebih efektif dan memunculkan pembahasan UU baru sebagai alat penunjangnya.

29

KOLOM PAKAR

Pustakawan Penggila BukuDi masa muda saya yang selengekan, ketika banyak teman-teman saya memimpikan cita-cita heroiknya di bidang keinsinyuran, hukum, keuangan dan politik nasional, saya merajut citacita saya ingin menjadi pustakawan (Alberto Manguel)

balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2011

da pola berpikir yang terpelihara sejak Hindia Belanda ihwal pendirian perpustakaan dan beragam turunan sebutannya. Mulai dari Taman Poestaka (di era Hindia/Balai Pustaka) hingga Taman Bacaan Masyarakat saat ini. Perpustakaan awalnya dibuat sebagai kewajiban pemerintah untuk tidak dicap sebagai rezim yang abai atas pencerdasan masyarakatnya. Di masa Hindia Belanda, Taman Poestaka dibuat oleh Balai Poestaka (Volkslectuur) untuk menjadi penyuplai bacaan rakyat. Karena bacaan yang tersedia untuk Pribumi dianggap murahan, liar, dan memuakkan. Dalam hal ini, Balai Poestaka bertindak sebagai penyebar peradaban, penyebar modernisasi, dan penenang. Terpengaruh dari politik etis yang dicetuskan Van Deventer kala itu, Balai Poestaka menjalankan Taman Poestakanya. Menurut Van Deventer sendiri, rakyat yang belajar membaca perlu buku dan rakyat yang tidak pernah membaca buku perlu disuntikkan kebiasaan membaca. Orang yang tak pernah membaca atau melihat buku tak punya kebiasaan membaca, tetapi kesulitan utama adalah menciptakan kebiasaan membaca. Oleh karena itu, Pribumi yang tak mau membuang uang untuk membeli buku dapat dibujuk membayar sedikit dengan adanya perpustakaan. Alasan agak berbeda juga terjadi di era pascakemerdekaan. Perpustakaan, mulai dari kota hingga ke desa-desa memiliki tanggung jawab untuk menyokong program Pemberantasan buta huruf pada pemerintahan Sukarno. Program ini sebetulnya khas negeri-negeri yang baru saja merdeka. Turki, India, Rusia, China, Ghana untuk menyebut beberapa contoh. Di Rusia misalnya, penolakan untuk mengikuti kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, kehilangan kartu makanan, atau dikeluarkan dari

A

30

persatuan dagang. Sebagaimana menurut Lenin: Seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik. Di China, barang siapa menolak kewajiban melek huruf menurut sebuah undang-undang akan dikenai pajak tinggi. Di Turki, pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya diperuntukkan bagi orangorang yang dapat membaca dan menulis (Surjadi, 1969). Perpustakaan memang dibuat sebagai sebuah nubuat untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, agar buta huruf terberantas, dan minat baca meningkat. Lihatlah nisbah-nisbah itu: rakyat yang dibina, awam itu yang mesti diluruskan jiwanya, rakyat yang dituduh tak punya minat baca. Perpustakaan mula-mula bukan dibuat sebagai ruang di mana buku-buku bermusyawarah, berinteraksi dengan pecinta-pecintanya, melainkan meluruskan masyarakat bawah. Perpustakaan pun tidak hanya tersedia secara sentral dalam format Perpustakaan Daerah atau Perpustakaan Kota yang dikelola oleh pemerintah, tetapi juga wajib hadir di tengah perkampungan. Lalu siapakah yang sakit sebetulnya? Siapakah yang tak punya minat baca? Siapakah yang buta huruf atau buta wacana? Benarkah elite-elite itu pemegang wacana yang tidak-tidak: tidak buta huruf, tidak rendah minat bacanya, tidak malas membaca, tidak bisa tekun menulis. Perpustakaan pun sejatinya adalah proyek politik, sebagaimana kata Lenin. Salah? Tidak! Tapi, perpustakaan sebagai proyek politik hanya satu dari sekian banyak wajah perpustakaan sebagaimana dibayangkan Alberto Miguel. Penulis buku The Library at Night (2006) itu menulis bahwa perpustakaan bukan hanya proyek politik, melainkan juga nubuat pencerahan manusia. Maka perpustakaan bisa bertiwikrama fungsi menjadi oase imajinasi sebagaimana dibayangkan kepala perpustakaan nasional Argentina cum sastrawan (tunanetra) Jorge Luis Borges. Atau bahkan perpustakaan adalah rumah yang hangat bagi lahirnya perdebatan-perdebatan besar di mana yang salah dan saleh duduk sejajar mempertahankan diri dari gempuran argumentasi. Bagi Alberto Miguel atau bahkan penulis buku klasik A Gentle Madness: Bibliophiles, Bibliomanes, and the Eternal Passion for Books (1995), Nicholas A Basbanes, inti sebuah perpustakaan adalah buku, buku, dan buku. Logikanya kemudian, seharusnya pustakawan, sang penjaga bagi tersimpan dan tersebarnya pengetahuan, memiliki kisah lebih heroik berhubungan dengan buku-buku dalam biodata hidupnya daripada siapa pun. Selain mampu memberikan kamar yang pas bagi tempat tinggal buku, pustakawan juga mengenali luar dalam buku yang dijaga dan disimpannya melebihi siapa pun. Ia bahkan memiliki indera komunikasi yang

kesembilan untuk menjelaskan buku ini dan buku itu tak sama dengan buku sana dan buku sini. Mengenal buku lebih baik dari siapa pun, mestinya pustakawan juga adalah pengulas buku yang tangguh paling tidak prolifik. Saya belum melihat itu terjadi di perpustakaan-perpustakaan di bawah naungan pemerintah. Umumnya, kriteria pustakawan yang dipekerjakan syarat utama adalah pegawai negeri, sementara yang lain-lain bisa menyusul belakangan. Dalam konteks nasional, Indonesia belumlah segila Argentina yang pada 1955setelah rezim diktator Peron tumbangmempercayakan perpustakaannya dipimpin orang buta semacam Borges (dua periode sebelumnya juga dipimpin orang buta) namun dengan komitmen atas buku yang tak perlu diragukan. Di Indonesia yang belum segila itu, umumnya kisah heroisme bagaimana pustakawan bersentuhan dengan buku secara intim (tidak sebagai proyek politik warisan Hindia), bisa kita temukan dalam perpustakaan komunitas kecil. Di sini, pustakawan benar-benar menjadi penjaga buku dengan segala kisahnya yang menyentuh. Dari kisah H.B. Jassin di Jakarta hingga Eko Cahyono di Malang. Pustakawan generasi baru memang penja