8
Bernard Lewis dan Ketakutan Yahudi Garakan 'anti-Semit' di seluruh dunia belakangan ini adalah gejala yang paling ditakuti Yahudi. Baca pesan Bernard Lewis yang menempatkan diri sebagai penasehat Barat dan AS. Baca CAP ke-52 Adian Husaini, MA Website Koran Haaretz yang berbasis di Israel, edisi 28 April 2004, menurunkan sebuah berita berjudul: ?55-nation meeting on anti-Semitism opens in Germany?. Konferensi Internasional tentang ?anti-semitisme? itu diselenggarakan di Berlin dan dibuka oleh Presiden Jerman Johannes Rau. Penyelenggaranya, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) dan Jerman. Sejumlah tokoh dunia juga dijadwalkan memberikan presentasinya, seperti Menlu AS Colin Powel, sejumlah menteri negara- negara Eropa, dan pemenang Hadiah Nobel Elie Wiesel. Konferensi tersebut merupakan bagian kampanye serius Israel untuk melawan dan mengurangi gelombang anti-semitisme yang melanda Eropa. Akhir-akhir ini, pemerintah Israel memang sangat serius untuk menghadapi apa yang mereka sebuat sebagai ?anti-semitisme?. Bulan lalu, Menlu Israel Silvan Shalom melawan ke Eropa dengan misi khusus meredam gelombang anti-semitisme di Eropa, yang belum pernah terjadi sehebat ini, pasca Perang Dunia II. Kata Shalom, ?Anti-Semitism is not only a problem for Israel and the Jews, it is Europe's problem as well." Polling di kalangan masyarakat Eropa, November 2003, menunjukkan, Israel dipandang sebagai ancaman pertama bagi perdamaian dunia. Awal Januari 2004, Haaretz menyebutkan, 54 persen warga Israel mendesak pemerintah Israel agar melakukan usaha lebih aktif untuk melawan gelombang anti-Yahudi di Eropa. Syndroma ketakutan Yahudi terhadap sejarah masa lalu mereka tampaknya sedang kembali mencengkeram banyak kaum Yahudi. Istilah anti-semitisme itu sendiri sudah banyak dikritik. Tetapi, kuatnya propaganda Yahudi menyebabkan, istilah itu akhirnya diterima secara luas di kalangan media massa dan dunia akademis. Istilah antisemitisme merujuk kepada nama ?Sem?, anak Noah ?yang menurut Kitab Kejadian 11:10-32 ? akan menurunkan Abram (Abraham). Dari Abram garis Ismail, akan lahir bangsa Arab. Artinya, bangsa Arab pun sebenarnya anak keturunan Sem. Karena itu, ada istilah ?Semitic language?, sebutan untuk sejumlah bahasa rumpun Semit, seperti Bahasa Arab, Hebrew, Syriac, dan lain-lain. Istilah yang tepat sebenarnya ?anti-Yahudi?. Namun, entah mengapa istilah yang jelas-jelas salah ini masih terus dipertahankan di dunia internsional, dan dikhususkan untuk orang-orang Yahudi saja. Fenomena ketakutan dan keterancaman kaum Yahudi ini sudah sejak lama dikhawatirkan oleh sejumlah cendekiawan Yahudi anti-Zionis Israel. Bahwa, negara Israel bukan hanya menjadi ancaman bagi Timur Tengah, tetapi juga ancaman bagi dunia internasional. ?In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond,? kata Dr. Israel Shahak dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion. (London: Pluto Press, 1994). Tapi, hingga kini, peringatan Shahak, Noam Chomsky, Einstein, dan sebagainya, dianggap angin lalu saja oleh manusia sejenis Sharon dan Bush. Penjajahan, kekejaman, dan pembunuhan-pembunuhan terus dilakukan terhadap para pejuang Palestina. Masalah Palestina, dari aspek hukum internasional, sebenarnya sangatlah jelas. Sesuai Resolusi 242 dan 338 PBB, Israel hanya dituntut mengembalikan sekitar 20 persen wilayah yang didudukinya dalam Perang 1967, yang hanya meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Itu artinya, PBB sudah mengesahkan pendudukan Isreal terhadap sekitar 80 persen wilayah Palestina. Padahal, sesuai Resolusi MU-PBB, No 181 tahun 1947, Yahudi hanya berhak terhadap 50 persen wilayah Palestina, tidak termasuk Jerusalem ? yang kini dijadikan ibukota Israel.

Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

Bernard Lewis dan Ketakutan Yahudi

Garakan 'anti-Semit' di seluruh dunia belakangan ini adalah gejala yang paling ditakuti Yahudi. Baca pesan Bernard Lewis yang menempatkan diri sebagai penasehat Barat dan AS. Baca CAP ke-52 Adian Husaini, MA

Website Koran Haaretz yang berbasis di Israel, edisi 28 April 2004, menurunkan sebuah berita berjudul: ?55-nation meeting on anti-Semitism opens in Germany?. Konferensi Internasional tentang ?anti-semitisme? itu diselenggarakan di Berlin dan dibuka oleh Presiden Jerman Johannes Rau. Penyelenggaranya, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) dan Jerman. Sejumlah tokoh dunia juga dijadwalkan memberikan presentasinya, seperti Menlu AS Colin Powel, sejumlah menteri negara-negara Eropa, dan pemenang Hadiah Nobel Elie Wiesel.

Konferensi tersebut merupakan bagian kampanye serius Israel untuk melawan dan mengurangi gelombang anti-semitisme yang melanda Eropa. Akhir-akhir ini, pemerintah Israel memang sangat serius untuk menghadapi apa yang mereka sebuat sebagai ?anti-semitisme?. Bulan lalu, Menlu Israel Silvan Shalom melawan ke Eropa dengan misi khusus meredam gelombang anti-semitisme di Eropa, yang belum pernah terjadi sehebat ini, pasca Perang Dunia II. Kata Shalom, ?Anti-Semitism is not only a problem for Israel and the Jews, it is Europe's problem as well."

Polling di kalangan masyarakat Eropa, November 2003, menunjukkan, Israel dipandang sebagai ancaman pertama bagi perdamaian dunia. Awal Januari 2004, Haaretz menyebutkan, 54 persen warga Israel mendesak pemerintah Israel agar melakukan usaha lebih aktif untuk melawan gelombang anti-Yahudi di Eropa. Syndroma ketakutan Yahudi terhadap sejarah masa lalu mereka tampaknya sedang kembali mencengkeram banyak kaum Yahudi.

Istilah anti-semitisme itu sendiri sudah banyak dikritik. Tetapi, kuatnya propaganda Yahudi menyebabkan, istilah itu akhirnya diterima secara luas di kalangan media massa dan dunia akademis. Istilah antisemitisme merujuk kepada nama ?Sem?, anak Noah ?yang menurut Kitab Kejadian 11:10-32 ? akan menurunkan Abram (Abraham). Dari Abram garis Ismail, akan lahir bangsa Arab. Artinya, bangsa Arab pun sebenarnya anak keturunan Sem. Karena itu, ada istilah ?Semitic language?, sebutan untuk sejumlah bahasa rumpun Semit, seperti Bahasa Arab, Hebrew, Syriac, dan lain-lain.

Istilah yang tepat sebenarnya ?anti-Yahudi?. Namun, entah mengapa istilah yang jelas-jelas salah ini masih terus dipertahankan di dunia internsional, dan dikhususkan untuk orang-orang Yahudi saja.

Fenomena ketakutan dan keterancaman kaum Yahudi ini sudah sejak lama dikhawatirkan oleh sejumlah cendekiawan Yahudi anti-Zionis Israel. Bahwa, negara Israel bukan hanya menjadi ancaman bagi Timur Tengah, tetapi juga ancaman bagi dunia internasional. ?In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond,? kata Dr. Israel Shahak dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion. (London: Pluto Press, 1994). Tapi, hingga kini, peringatan Shahak, Noam Chomsky, Einstein, dan sebagainya, dianggap angin lalu saja oleh manusia sejenis Sharon dan Bush. Penjajahan, kekejaman, dan pembunuhan-pembunuhan terus dilakukan terhadap para pejuang Palestina.

Masalah Palestina, dari aspek hukum internasional, sebenarnya sangatlah jelas. Sesuai Resolusi 242 dan 338 PBB, Israel hanya dituntut mengembalikan sekitar 20 persen wilayah yang didudukinya dalam Perang 1967, yang hanya meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat. Itu artinya, PBB sudah mengesahkan pendudukan Isreal terhadap sekitar 80 persen wilayah Palestina. Padahal, sesuai Resolusi MU-PBB, No 181 tahun 1947, Yahudi hanya berhak terhadap 50 persen wilayah Palestina, tidak termasuk Jerusalem ? yang kini dijadikan ibukota Israel.

Masalahnya menjadi berkepenjangan dan sulit diselesaikan karena ? selain berbagai faktor lainnya ? faktor AS. Politik AS yang terus memihak Israel telah menimbulkan kecaman hebat di dunia internasional.

Bahkan, pasca pembunuhan Syeikh Yassin, AS benar-benar sendirian. Eropa pun mengecam sikap Israel. Harian Haaretz, edisi 2 April 2004, memuat berita, bahwa Masyarakat Eropa menilai, aksi-aksi tentara Israel (Israeli Defence Force/IDF) terhadap penduduk sipil Palestina, juga merupakan aksi teror. Ditulis dalam berita itu: ?The European Parliament on Thursday compared injuries to Palestinians by Israeli military action to "acts of terror," and called for a suspension of the Israel-EU Association Agreement, should Israel persist with its policy of assassinations.?

Israel adalah pelanggar terbesar berbagai resolusi PBB. Ia jelas-jelas melakukan praktik

Page 2: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

kolonialisme yang bertentangan dengan Piagam PBB. Dunia internasional, hampir tiap hari menyaksikan dan mendengar cerita tentang penjajahan, pembunuhan, dan berbagai kekejaman tentara Israel. Kasus ini benar-benar jelas. Mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang zalim, dan mana yang dizalimi. Kasus ini menjadi titik penting penyelesaian berbagai masalah internasional, termasuk masalah terorisme.

Namun, AS terus-menerus melakukan pembelaan terhadap Israel. Mengapa? Ada sejumlah teori yang menjelaskan soal hubungan khusus (special ally) antara AS dan Israel. Kali ini, kita simak dua faktor penting yang menyebabkan AS terus mengekalkan politik ?anak-emas?nya terhadap Israel, yaitu (1) dukungan kelompok Kristen fundamentalis dan (2) kelompok ?neo-orientalis?. Kedua kelompok itu dikenal dalam politik AS sebagai kelompok neo-konservatif yang berpengaruh besar terhadap politik internasional AS.

Buku Religion and Globalization, (London: SAGE Publications, 1994), yang diedit oleh Peter Beyer, menyebutkan, kelompok Kristen fundamentalis AS, yang lebih dikenal sebagai Kristen Sayap Kanan (The New Christian Right/NCR), mulai dikenal pada akhir 1970-an. Ketika itu masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelompok ini, yang dalam politik AS dikenal sebagai ?gerakan politik keagamaan konservartif? atau a conservative religio-political Movement.

Kelompok Kristen fundamentalis juga dikenal dengan sebutan ?Kristen-Zionis? (The Zionist Christian) karena dukungan kuat mereka terhadap posisi dan kepentingan Zionis Israel. Mereka menggunakan ayat-ayat Bible untuk menguatkan posisi Israel, bahwa seolah-olah Tuhan telah memuliakan bangsa Israel, sehingga apa pun perilaku bangsa Yahudi tersebut, harus didukung. Kitab Kejadian 12:3 menyebutkan pernyataan Tuhan kepada bangsa Israel: ?Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."

Satu kelompok lain yang terus menyokong posisi AS terhadap Israel adalah para ilmuwan yang dikenal sebagai kelompok ?neo-orientalis?. Salah satu yang menonjol, misalnya, Bernard Lewis. Tahun 2003, ia menerbitkan buku tipis berjudul The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (London: Phoenix, edisi 2004). Buku ini perlu dicermati, karena kabarnya termasuk yang cukup laris di Barat dan memberikan panduan, bagaimana Barat, khususnya AS, memandang dan menerapkan kebijakan terhadap dunia Islam, termasuk masalah Palestina. Jika ditelaah, buku Lewis ini merupakan satu bentuk ?apologia?, yang dalam bahasa Greek (Yunani) memiliki arti ?pembelaan diri? (?speech in defence?).

Buku Lewis memiliki gaya dan ruh sejenis dengan buku The Clash of Civilization and Remaking of World Order -nya Samuel P. Huntington. Bahkan, Lewis lah yang sebenarnya telah mengangkat tema ?Clash of Civilization? sebelum dipopulerkan oleh Huntington, di era pasca keruntuhan Soviet. Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamist Movements and The Western Rresponse: Clash of Civilizations or Clash of Interests??, menyebut, ilmuwan seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran ?neo-Orientalist?. Aliran ini melihat munculnya kecenderungan anti-Barat pada kalangan ?Islamists? sebagai konsekuensi dari ?clash of civilizations?. Lewis menganggap, bahwa paham anti-Barat (anti-Westernism), khususnya anti-Amerika (anti-Americanism), merupakan derivasi dari gabungan antara unsur-unsur ?penghinaan?, ?kecemburuan?, dan ?ketakutan?. Aliran Lewis ini berbeda dengan aliran neo-Third-World, yang memandang munculnya semangat anti-Barat sebagai dampak dari kebijakan politik Barat. Misalnya, dukungan Barat terhadap rezim-rezim represif otoriter di dunia Islam dan juga dukungan sepihak terhadap Israel.

Pola pikir ?neo-orientalist? itulah yang mewarnai isi buku The Crisis of Islam ini. Maka, jangan heran, jika pembaca nyaris tidak akan mendapatkan kritik apa pun terhadap berbagai kebijakan Barat dalam buku ini.

Sebaliknya, berbagai justifikasi dan legitimasi politik Barat dan AS khususnya bisa dinikmati dalam buku ini. Sebuah pertanyaan yang populer di Barat pasca Perang Dingin, misalnya, dilontarkan Lewis, ?Is Islam, whether fundamentalist or other, a threat to the West?? Kata Lewis, yang juga keturunan Yahudi, Islam itu sendiri, bukan musuh Barat. Banyak kalangan Muslim, baik di dunia Islam, maupun di Barat, yang ingin menjalin hubungan lebih dekat dan bersahabat dengan Barat serta mengembangkan demokrasi di negara mereka. Tetapi, Muslim ? dalam jumlah yang signifikan, baik yang fundamentalis maupun tidak ? adalah jahat dan berbahaya; bukan karena Barat membutuhkan musuh, tetapi karena mereka memang seperti itu. (Islam as such is not enemy of the West? But a significant sumber of Muslims ? notably but not exclusively those whom we call fundamentalists ? are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do).

Untuk memudahkan Barat dalam membuat kebijakan politik, Lewis membagi Muslim dalam tiga kelompok: (1) Yang melihat Barat secara umum dan AS, khususnya, sebagai musuh Islam yang abadi; penghalang utama menerapkan keimanan dan hukum Tuhan. Maka, cara satu-satunya

Page 3: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

dalam menghadapi Barat adalah perang. (2) kalangan Muslim yang tetap berpegang kepada kepercayaan dan budayanya, tetapi mau bergabung dengan Barat untuk menciptakan dunia yang lebih bebas dan lebih baik. (3) Muslim yang melihat Barat sebagai musuh utama. Tapi, karena sadar terhadap kekuatan Barat, mereka melakukan akomodasi sesaat, untuk mempersiapkan ?perjuangan akhir? (final struggle). Lewis mengingatkan, agar Barat tidak salah dalam mengidentifikasi kelompok ke-2 dan ke-3. (We would be wise not to confuse the second and the third).

Dengan tegas, Lewis menyebut Muslim fundamentalis sebagai musuh Barat. Ia menyebut sejumlah ciri Muslim fundamentalis: (1) menganggap masalah yang dihadapi Muslim sebagai dampak dari modernisasi yang berlebihan dan mengkhianati nilai-nilai Islam yang murni (2) menganggap obat dari ?penyakit? itu adalah kembali kepada Islam sejati dan sekaligus menghapuskan semua hukum dan aspek sosial yang dipinjam dari Barat, serta menggantikannya dengan syariat, (3) menganggap bahwa perjuangan tertinggi adalah melawan pengkhianat di dunia Islam yang melakukan Westernisasi.

Menempatkan dirinya sebagai penasehat Barat, maka tidaklah aneh jika Lewis melakukan berbagai legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan politik Barat dan AS. Dalam soal Israel-Palestina, misalnya, Lewis lebih banyak mengkritik sikap Muslim ketimbang kebijakan AS. Ia mengritik, mengapa pihak Arab dan Palestina pada 1930-an justru bersekutu dengan Jerman yang banyak mengirim orang Yahudi ke Palestina, dibanding Inggris, yang justru ingin mengeluarkan orang-orang Yahudi. Ia pun mempertanyakan, mengapa Arab lebih banyak memusuhi AS ketimbang Soviet, padahal Soviet memainkan peranan penting dalam pendirian negara Israel. Kritik Lewis jelas tidak fair. Sejumlah fakta penting tentang peranan Inggris dan AS dalam pendirian negara Israel, tidak diungkapnya. Ia tidak menyebut Deklarasi Balfour yang merupakan satu diantara tiga pijakan berdirinya negara Israel. Benar, Soviet banyak membantu senjata kepada Israel dalam perang tahun 1948-1949. Tapi, AS adalah arsitek keluarnya Resolusi 181 MU-PBB, 1947, yang membagi Palestina menjadi tiga bagian, dan memberi Yahudi hak 50 persen wilayah Palestina. Lewis tidak menyebut soal ini. Pun, ia membuang fakta AS adalah pelindung dan pembantu setia Israel. Apalagi, dengan menguatnya peran lobi-lobi Yahudi sayap kanan di sana.

Hendrick Smith, pemenang Hadiah Pulitzer, menulis dalam bukunya The Power Games: How Washington Works, sederet fakta tentang soal ini. Berkat peran AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), bantuan AS kepada Israel melonjak dari 2,1 milyar USD (1980) ke 3,8 milyar USD pada 1986. Buku-buku yang mengulas tentang ?hubungan spesial? antara Israel-AS ini begitu banyak bertebaran. Namun, Lewis sama sekali tidak menghiraukannya. Malah, ia menulis, bahwa hubungan strategis antara AS dan Israel adalah akibat dari penetrasi Soviet, bukan sebab.

Lewis secara jujur menyatakan, perhatian utama semua pemerintah AS adalah untuk menjamin kepentingan-kepentingan AS. Pasca Perang Dingin, kebijakan utama AS di Timur Tengah, ditujukan untuk mencegah munculnya hegemoni tunggal di wilayah itu, yang akan memonopoli minyak. Untuk itu, ia tidak menyoal, mengapa Barat dan AS mendukung rezim-rezim otoriter di Timur Tengah yang melakukan berbagai tindak kejahatan kemanusiaan. Sebab, itu dilakukan untuk mengejar kepentingan. Maka, tulis Lewis, sikap Eropa dan AS terhadap rezim-rezim semacam ini adalah: ?We don?t care what you do your own people at home, so long as you are cooperative in meeting our needs and protecting our interests?.

Buku Lewis ini sebenarnya tidak terlalu ?serius? dibandingkan buku-buku yang dia tulis sebelumnya, seperti buku Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993). Namun, buku The Crisis of Islam, lebih praktis dan mudah dibaca sebagai panduan politik penguasa Barat. Itulah yang terjadi di Iraq. Sebelum serangan AS, Lewis sudah menulis, bahwa di Iraq dan Iran, penguasanya sangat anti-AS. Maka, kata dia, ?Kita? dapat membantu kekuatan-kekuatan oposisi demokratis untuk mengambil oper dan membentuk pemerintahan baru.

Ia juga menasehati, agar AS dan Barat pada umumnya, membantu atau tidak menjauhi kalangan Muslim yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Maka, jangan heran, jika AS sekarang rajin membantu sebagian kalangan sekular-liberal yang dipandang sejalan dengan mereka. Dan mendorong kelompok-kelompok ini untuk ?nggebuki? (menghantam) saudara-saudara Muslimnya sendiri.

Ilmuwan-ilmuwan sejenis Lewis inilah yang membuat persoalan Palestina dan dunia pada umumnya sulit terpecahkan. Ia tidak mau melakukan koreksi yang substansial terhadap politik Barat, khususnya AS, dalam masalah Palestina. Padahal, dunia begitu jelas melihat duduk persoalannya. Bahwa yang terjadi di Palestina adalah pendudukan Israel, pengusiran warga Palestina, kekejaman-demi kekejaman yang dilakukan Israel, dan dukungan yang terus-menerus dari AS.

Semenntara dunia pun makin terbuka, dan kejahatan Israel semakin tersingkap. Ujung-ujungnya

Page 4: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

justru berakibat pada ketakutan kaum Yahudi sendiri di berbagai belahan dunia. Itu memang ulah mereka sendiri. Kita dapat membaca fenomena Yahudi kontemporer sekarang ini dan menelaah, bagaimana Al-Quran telah banyak bercerita tentang sifat kaum Yahudi. Diantaranya, sifat serakah pada dunia dan ingkar nikmat Allah. Wallahu a?lam. (KL, 30 April 2004)

Catatan akhir pekan ke-22 Adian Husaini di Radio Dakta 92,15 FM yang disiarkan setiap Jum'at malam dan dimuat di www.Hidayatullah.com menyorot Palestina dan sejarah Zionisme Oleh: Adian Husaini*)

Kondisi di Palestina hari-hari belakangan ini semakin memburuk. Menyusul perburuan, pembunuhan sejumlah pemimpin Hamas, dan penghancuran rumah-rumah pejuang Palestina, Selasa (9/9/2003), terjadi lagi sebuah ledakan bom dahsyat di Tel Aviv yang menewaskan sekitar 15 warga Israel dan mencederai puluhan lainnya. Banyak diantaranya adalah tentara Israel, karena salah satu bom itu diledakkan didekat basis militer Israel, Tzrifin. Satu lagi di dekat kafe Hillel di Jerusalem. Aksi-aksi bom -- yang disebut oleh para pejuang Palestina sebagai “aksi syahadah” – itu merupakan janji para pejuang Hamas, Jihad Islam, dan sebagainya, untuk membalas aksi brutal Israel dalam membunuh dan memusnahkan ratusan bangunan milik warga Palestina.

PM Palestina, Mahmud Abbas, akhirnya mengundurkan diri, setelah tidak sanggup lagi mengamankan Road-map (Peta Jalan Damai). Roadmap yang didukung AS, Rusia, dan Uni Eropa, sebenarnya sejak awal ditentang kalangan Yahudi garis keras dan kelompok Kristen sayap kanan di Amerika sendiri. Intinya, rencana pendirian negara Palestina pada 2005, dengan berbagai konsesi, dianggap sebagai bencana bagi Israel. Pada awal Mei 2003, Israel telah mengirimkan tim lobi khusus ke AS untuk menggagalkan Roadmap. Diantaranya adalah Menteri Pariwisata Israel Benny Elon yang menyatakan, bahwa Roadmap adalah “ a disaster for Israel," dan ancaman bagi eksistensi negara Yahudi itu.” Di AS, para pelobi Israel ini dilaporkan telah melakukan serangkaian pertemuan dengan apa yang disebut sebagai “well-known evangelist preachers who are known for their support for Israel and their hawkish lines”, yaitu kelompok misionaris Kristen yang dikenal luas sebagai pendukung Israel dan kelompok garis keras di Amerika. Haaretz (2 Mei 2003) menulis berita ini: “ Given that the right-wing Christian support for U.S. President George W. Bush is considered a crucial element for his re-election, Eilon's campaign could prove to be significant in the long run.” Intinya, para pelobi ini mengancam Bush, jika masih meneruskan Roadmap, maka nasib-nya akan terancam pada pemilihan Presiden mendatang, karena dukungan kelompok Kristen sayap kanan sangatlah signifikan terhadap Bush.

Di AS, para pelobi Yahudi ini tidak menemui pejabat pemerintah AS. Mereka hanya melobi anggota Kongres untuk menekan pemerintah AS. Misi itu sukses. Sejumlah 313 anggota Kongres menandatangani petisi kepada Presiden Bush: agar jangan merugikan Israel dalam penerapan Roadmap (not to harm Israel during implementation of the road map). Petisi yang dimotori congressmen Tom Lantos, Roy Blunt, Stenny Hoyner and Henry Hyde, itu juga menegaskan dukungan terhadap Roadmap, tetapi dengan syarat yang sangat jelas: Mereka mendukung intervensi AS dalam konsep “solusi dua-negara” (two-state solution), tetapi memperingatkan pemerintah AS, agar jangan menuntut terlalu banyak kepada Israel, sebelum Palestina melaksanakan kewajibannya. (not to make too many demands on Israel before the Palestinians do their part).

Sharon sendiri ketika itu ‘terpaksa’ setuju dengan Roadmap, meskipun ia harus melawan konvensi Partai Likud yang menyatakan, bahwa Palestina adalah negeri yang dijanjikan buat Yahudi, dan orang Arab tidak berhak tinggal di sana. Sampai tahun 1993, Sharon masih mengusulkan dalam Konvensi Partai Lukud, agar Israel secara resmi menetapkan batas wilayahnya berdasarkan Bible (Biblical borders). Padahal, kaum maximalist di kalangan Zionis menetapkan ‘batas-batas Biblical’ itu meliputi wilayah Palestina, Sinai, Jordan, Lebanon, dan sebagian Turki. Klaim ini mereka dasarkan pada sejumlah ayat dalam Bible, dimana Tuhan berfirman kepada Abraham: “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.” (Kitab Kejadian, 12:7). Oleh kaum Yahudi, negeri yang disebut dalam Bible itu lalu dijadikan dasar untuk mengklaimnya sebagai "Tanah yang Dijanjikan" (The Promised Land). Kitab Kejadian 15:18 menyebutkan: Pada hari itulah Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari Sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat."

Kitab Yosua 21:43 menyebutkan: "Jadi seluruh negeri itu diberikan Tuhan kepada orang Israel, yakni negeri yang dijanjikan-Nya dengan bersumpah untuk diberikan kepada nenek moyang mereka. Mereka menduduki negeri itu dan menetap di sana." Oleh kaum Zionis, teks-teks Bible semacam ini dijadikan rujukan untuk menguasai Palestina.

Pendudukan Zionis Israel atas Palestina dan pelestarian pengusiran bangsa Palestina dari tanah airnya, telah menjadi sumber penting terciptanya konflik-konflik internasional, khususnya antara

Page 5: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

Muslim dengan Yahudi. Ironisnya, kelompok Kristen fundamentalis kemudian memberikan dukungan terhadap pendudukan Israel tersebut, dengan menggunakan legitimasi ayat-ayat Bible juga. Kalangan Kristen fundamentalis yang mendukung pendudukan Israel dan membenarkan hak historis Israel atas Palestina bisanya menggunakan dalil Bible Kitab Kejadian 12:3: “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."

Padahal, negara Israel, adalah negara sekuler. Gerakan Zionis yang dipelopori oleh Theodore Herzl adalah gerakan sekuler yang mengeksploitasi ayat-ayat Bible untuk tujuan politik mereka. Zionisme modern tak lebih dari satu fotokapi dari gerakan nasionalisme Eropa yang marak pada abad ke-19. Namun, menurut Roger Garaudy, pendirian negara Israel juga merupakan hasil rekayasa kolonialisme Barat, sehingga kini – karena masih dibutuhkan oleh Barat -- terus dipertahankan eksistensinya oleh negara-negara Barat.

Kata Roger Garaudy: "Sebenarnya Israel bukan saja merupakan perwakilan bagi kepentingan kolektif kolonialisme Barat di Timur Tengah -- khususnya Amerika Serikat -- melainkan juga sebagai keping utama dalam hubungan antar kekuatan pada percaturan politik dunia.” (Lihat bukuRoger Garaudy berjudul Israel dan Praktik-praktik Zionisme, Pustaka, Bandung, 1988).

Karena sifatnya yang sekuler itulah, maka sejak awal mula digulirkan, banyak kalangan Yahudi yang menentang pendirian negara Israel. Sebagai sebuah ideologi, Zionisme memang tidak pernah sama sekali menyingkirkan masa lalu. Zionisme dapat saja mengambil keyakinan kuno, yang disucikan melalui upacara ritual dan doa, dalam upaya mengembalikan orang-orang Yahudi ke Zion (Jerusalem), seraya mempolitisasi tradisi ini serta memberinya pengertian dan isi baru. Maka, sejak digulirkan, Zionisme telah mendapat tantangan datang dari kelompok Yahudi Ortodoks. Bagi kelompok Ortodoks, seperti kelompok Hasidim dan yang lainnya, Zionisme dianggap terlalu sekular sehingga merusak tradisi dan nilai-nilai Yahudi. Tujuan Zionis untuk mengembalikan kehidupan nasional bangsa Yahudi di negara Israel dianggap melanggar ajaran-ajaran agama. Menurut mereka, gagasan itu merupakan pelecehan terhadap misi kenabian (the mission of Israel) dan doktrin messianisme (the messianic doctrine). Hingga kini, sekte-sekte Ortodoks Yahudi seperti Naturei Karta justru mengharapkan kehancuran negara Israel yang mereka anggap sebagai produk dari "Zionisme tak bertuhan" (godless Zionism). Nama “Naturei Karta” diambil dari bahasa Aramaic (Inggris: Guardians of the city), adalah kelompok anti-Zionis, ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem. Ajaran Natureiv Karta yang menolak negara Israel, didasarkan pada Talmud (Ketubot 111a), yang menyebutkan adanya perintah Tuhan untuk tidak: (1) menggunakan kekerasan dalam mengembalikan massa ke ‘land of Israel’ (2) melakukan pemberontakan terhadap bangsa dimana Yahudi tersebar dan (3) mengambil inisiatif dalam mempercepat datangnya Messiah secara prematur.

Dalam perkembangannya kemudian, Israel juga merupakan negara rasialis. Negara ini diperuntukkan bagi kaum Yahudi di manapun juga. Siapa pun yang lahir dari Ibu Yahudi, maka ia dianggap Yahudi, dan punya hak sebagai warga Israel. Karena itulah, arus imigran yahudi ke Israel terus mengalir. Hanya saja, setelah aksi-aksi bom syahadah di Palestina, banyak kaum Yahudi takut datang ke Israel. Karena sifat agresifnya dan deskriminatifnya itu, maka dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion (1999) cendekiawan Yahudi, Dr. Israel Shahak, mencatat bahwa negara Israel bukan hanya merupakan bahaya bagi Yahudi, tapi juga seluruh negara di Timur Tengah. (In my biew, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond). Dalam mendirikan negara Yahudi Israel, kaum Zionis juga menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi, termasuk mengorbankan kaum Yahudi sendiri.

Sebuah buku yang ditulis oleh sastrawan dan sejarawan Inggris, Faris Glubb berjudul “Zionist Relations with Nazi Germany” mengungkapkan fakta-fakta tentang hubungan antara Zionist dan Nazi Jerman. Dalam pengantar bukunya, Glubb mengaku heran, mengapa fakta-fakta hubungan Zionis-Nazi Jerman yang begitu banyak, tidak dipahami oleh publik internasional? Hingga kini, dunia internasional, maish terus menganggap bahwa pembantaian Yahudi di Jerman adalah murni ulah Nazi. Tentu, ini tidak lepas dari kuatnya cengkeraman Yahudi dalam permainan “opini” dunia.

Fakta bahwa Yahudi sendiri sebenarnya berpecah belah dan “tidak satu” perlu dipahami dengan jelas, sehingga peta persoalan Yahudi, Zionis, dan negara Israel, dapat didudukkan dengan baik. Zionisme yang digulirkan pada akhir abad ke-19, menyusul berbagai pembantaian Yahudi oleh Kristen Eropa, memang telah banyak mengubah peta hubungan Yahudi dengan Muslim. Dalam sejarahnya, Yahudi banyak sekali mendapatkan perlindungan dari kaum Muslim, ketika mereka menjadi perburuan kaum Kristen Barat. Pada 1095, misalnya, tokoh Kristen Perancis, Godfrey of Buillon, menyatakan, bahwa “darah Kristus harus dibayar dengan darah Yahudi.” Bahkan, sampai tahun 1492, ketika Yahudi menjadi perburuan penguasa Katolik Spanyol, dimana Ferdinand dan Isabella mengeluarkan Edict of Expell, penguasa Muslim Ottoman menyediakan

Page 6: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

tempat yang aman bagi kaum Yahudi. Dalam sejarah hubungan Yahudi-Muslim yang panjang, selama 1000 tahun lebih, Yahudi banyak mendapat perlindungan dari penguasa Muslim. Tapi, akhirnya mereka berbalik. Melihat Ottoman dalam proses kehancuran, dan Barat lebih kuat, mereka justru ikut menghancurkan Ottoman dari dalam. Jika kita menelaah buku-buku tentang hubungan gerakan Zionis dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement), tampak jelas, bagaimana kaum Zionis memiliki peranan cukup besar dalam penghancuran Ottoman. Zionis memang telah mengubah peta sejarah hubungan Yahud-Muslim. Mereka kemudian bersekutu dengan kolonialis Barat untuk merebut dan menjajah Palestina. Pada Desember 1917, ketika pasukan sekutu pimpinan Lord Allenby masuk ke Jerusalem, ribuan milisi Yahudi tergabung di dalamnya. Dan kini, kelompok Kristen fundamentalis di AS khususnya, menjadi penyokong kuat kelompok Zionis ini.

Kini, setelah negara Yahudi Israel berdiri selama 55 tahun, pergolakan di sana masih terus berlangsung. Israel kini cukup kelabakan menghadapi aksi-aksi syahadah para pejuang Palestina ini. Koran Haaretz, 5 Maret 2003 lalu, mempublikasikan satu berita berjudul: “Israel seeks international support for a treaty against suicide bombers.” Disebutkan, Deplu Israel sedang menyiapkan draft keputusan internasional, untuk mematahkan aksi-aksi ‘suicide’ tersebut. Diantara isinya adalah memutuskan ‘suicide attacks’ sebagai kejahatan internasional (international crime), termasuk semua tindakan membantu aksi tersebut, seperti menyiapkan sabuk peledak (explosive belts).

Kita bisa bayangkan, bagaimana sebuah kekuatan militer yang sangat besar – seperti Israel – didukung negara-negara adikuasa seperti AS, begitu kelabakan menghadapi aksi anak-anak muda, bahkan kanak-kanak Palestina, yang sedang bergairah melakukan aksi syahadah. Tampaknya, para pejuang Palestina itu berpikir, untuk apa membuang kesempatan untuk syahid? Semakin Israel memburu Hamas dan lain-lain, dan membunuhi para aktivisnya, maka aksi perlawanan juga semakin meningkat.

Israel kini merasa telah berhasil menggiring kekuatan internasional, terutama AS dan Uni Eropa untuk menggulung Hamas dan aksi-aksi syahadah. Koran Haaretz, 10 September 2003, menurunkan satu berita berjudul “Israel: EU move to ban Hamas is ery, very helpful.” Hari itu, Uni Eropa memang sepakat memasukkan Hamas ke dalam daftar teroris. Artinya, sesuai hukum internasional yang berlaku, tokoh-tokoh Hamas, para pendukungnya, dan jaringan pendanaan Hamas, akan ditumpas. Ini tentu sebuah pukulan keras bagi Hamas dan kalangan dunia Islam, sebab negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) hingga kini masih tidak sepakat untuk menganggap Hamas sebagai teroris. Negara-negara OKI masih meminta agar gerakan perjuangan kemerdekaan, harus dibedakan dengan gerakan teroris. Syria misalnya, masih mempunyai kantor perwakilan Hamas. Begitu juga Saudi dan sebagainya, belum memasukkan Hamas ke dalam daftar teroris di negaranya. Kini, dengan tekanan hebat dari AS dan Uni Eropa itu, kita akan melihat, apakah negara-negara itu mampu bertahan untuk melindungi Hamas.

Bagi dunia muslim, keputusan Uni Eropa, yang hanya dilakukan melalui penjelasan sepihak dari Menlu Israel Shilvan Shalom, tentu sangat menyakitkan. Sebab, Uni Eropa dan tentunya AS, sama sekali tidak mau bersikap adil dalam melihat persoalan Palestina. Israel yang jelas-jelas melakukan berbagai aksi terorisme – dalam skala yang jauh lebih besar – dan melanggar berbagai resolusi PBB, tidak mendapatkan sanksi apa pun. Keputusan pemerintah UE itu akan semakin memunculkan ketegangan pada level internasional, karena gerakan-gerakan anti-Israel sekarang di negara-negara Barat juga telah mencapai tahap yang cukup signifikan. Gerakan anti-Israel ini bukan hanya dimotori kaum Muslim, tetapi juga kalangan aktivis anti-globalisasi, dan bahkan kalangan Yahudi sendiri, terutama dari kalangan Yahudi Ortodoks.

Kaum Muslim perlu mulai serius belajar dari sejarah dan fakta tentang Yahudi, mengingat bangsa ini begitu banyak disebut dalam al-Quran. Kaum Zionis Yahudi, yang hanya sebagian dari Bangsa Yahudi (yahudi seluruh dunia kini jumlahnya sekitar 15 juta jiwa), terbukti masih mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi arah dan corak politik internasional. Sudah saatnya kaum Muslim memahami fenomena ini dengan serius agar tidak terjatuh kembali dalam berbagai kesalahan di masa lalu. Perjuangan tidaklah dapat dimenangkan hanya dengan “kemarahan” dan “kebencian”. Tetapi, dengan ilmu yang kuat. Saya cukup terkejut mencermati isi sejumlah nomor Jurnal Israel Oriental Studies, terbitan Tel Aviv University. Dalam sejumlah nomornya, Jurnal ini membahas dengan sangat mendalam, berbagai aspek keagamaan dalam Islam. Termasuk studi tentang al-Quran, hadith, dan berbagai aspek tentang sejarah Islam. Pada edisi tahun 1974, misalnya, Jurnal ini menurunkan satu tulisan Prof. Moshe Gil, berjudul “The Constitution of Media: a reconsideration. Terlepas dari kesimpulan yang dibuatnya, tulisan ini dibuat sangat professional, dengan rujukan Kitab-kitab standard kaum Muslim, seperti Sirah Ibn Hisyam, Sirah al-Halabiyah, Sahih Bukhari, dan beberapa kitab Sunan dalam Hadith, Lisan al-Arab, dan sebagainya. Tahun 1997, artikel Moshe Gil ini dijawab oleh Michel Lecker, di Jurnal yang sama dengan satu judul tulisan: “Did Muhammad Conclude Treaties with the Jewish Tribes Nadhir, Qurayza, and Qaynuqa?” Di nomor ini juga, ada sejumlah tulisan tentang Islam, antara lain tulisan Gerald R. Hawting tentang Syirik and Idolatry in Monotheistic Polemic, juga tulisan

Page 7: Bernard Lewis Dan Ketakutan Yahudi

Steven M. Wessertrom berjudul Sahrashtani on Maghariyya.

Jika kita hendak mengkritisi tulisan-tulisan seperti ini, mau tidak mau dituntut untuk merujuk, minimal pada Kitab-kitab standard yang sama. Saya berpikir, seberapa banyakkah cendekiawan Muslim yang sanggup melawan cara kerja Yahudi seperti ini? Selama ini, banyak kaum Muslim telah memberikan perhatian pada aspek-aspek perjuangan fisik melawan pendudukan Zionis Yahudi. Ternyata, Israel bukan hanya menyiapkan bom dan senjata nuklir, tetapi juga “bom-bom pemikiran” yang sangat dahsyat. Adakah kaum Muslim yang juga tertarik untuk melawan perang pemikiran yang juga sudah disiapkan dengan matang oleh kaum Zionis Yahudi? Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur, 12-9-2003).