Upload
lyduong
View
256
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BIRR AL-WÂLIDAIN PERSPEKTIF HADIS:
(Membaca Hadis Dalam Bingkai al-Qur’an)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Muhammad Ahya
NIM: 1112034000048
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Kata “Baik” merupakan kata yang subjektif. Setiap orang, ingin dikatakan
baik, sekalipun sebenarnya ia tidak baik. Seseorang sering memberikan penilaian
kepada orang lain baik dan tidak baik hanya sekedar dhahir yang dipahami oleh
seseorang. Sangat sulit untuk menjatuhkan penilaian moral terhadap orang lain,
yang dapat dinilai dari seseorang adalah sikap lahiriah saja.
Permasalahan yang ada dalam skripsi ini adalah penggunaan kata al birr di
dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang mempunyai makna sama yaitu
kebaikan. Adapun pembatasan pada skripsi ini yaitu: Adanya penggunaan kata al
birr di dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang mempunyai makna sama
yaitu kebaikan. Jadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana makna
al birr dengan pemahaman hadis dalam bingkai al-Qur’an.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan
kajian kepustakaan (library research). Sedangkan dalam pengelolaan data, metode
yang digunakan penulis adalah metode takhrij.
Dari penelitian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Al-Birr yang
mengandung makna begitu luas sebagaimana ditekankan oleh Rasulullah Saw,
bahwasanya yang dimaksud dengan al-Birr ialah husnul khuluq atau akhlak yang
baik. Akhlak yang baik memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi
seseorang. Dan segala perbuatan atau sifat yang positif, tidak mengandung unsur
negatif serta tidak melanggar larangan-larangan Allah Swt dan Rasul-Nya. Jadi
kata al birr dalam hadis dan ihsan dalam qur’an itu sama tujuannya yitu
melakukan kebaikan.
Pernyataan tersebut diperoleh dari hasil bacaan hadis birr al Walidain
dengan menggunakan metode Yusuf al-Qardawi. Skripsi ini sekaligus
menunjukan bahwa makna kata al birr dan ihsan itu sama dimana al birr itu
melakukan perbuatan baik sedangan ihsan meningkatkan perbuatan yang sudah
baik ke lebih baik lagi.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.
Berkat izin dari Allah Swt penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga
kita termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan
syafa’at pada hari Kiamat kelak.
Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “BIRR AL-WÂLIDAIN
PERSPEKTIF HADIS: MEMBACA HADIS DALAM BINGKAI AL-
QUR’AN” ini tidak akan selesai jika hanya mengandalkan daya yang penulis
miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang yang secara langsung maupun
tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini
penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin
UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. H. Harun Rasyid, M.Ag., selaku dosen pembimbing
akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak
iii
nasihat dan kemudahan bagi penulis dalam mengurus administrasi dan
penyelesaian skripsi.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman
berharga kepada penulis.
6. Kepada almarhum kedua orang tua tercinta Bapak Amin (Alm) dan
Ibu Saneri (Almh), yang diwaktu masa hidupnya selalu mendoakan
kebaikan dalam setiap aktifitas penulis. Dan Juga untuk kakak-kakak
tercinta Ahmad Subyani dan Mohamad Alfi, yang tidak henti-hentinya
memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Yang dengan sabar menunggu dalam menyelesaikan masa studi
penulis.
7. Keluarga Besar Tafsir Hadis angkatan 2012, terkhusus bagi kawan-
kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga dan takkan
retak walaupun jarak memisahkan kita.
Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat
ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al- Âlamîn.
Ciputat, 20 Oktober 2017
Muhammad Ahya
iv
DAFTAF ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ . iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Identifikasi, batasan dan Perumusan Masalah ................ 9
C. Tujuan dan Manfaat ...................................................... 10
D. Kajian Pustaka .............................................................. 11
E. Metode Penelitian ......................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ................................................... 16
BAB II WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN
A. Pengertian
1. Pengertian Al Birr.....................................................17
2. Perbandingan Al Birr, Khair, ma’ruf dan ihsan ...... 18
B. Ayat-ayat tentang baik pada orang tua .......................... 24
C. Tafsir ayat-ayat baik pada orang tua ............................. 27
D. Kedudukan baik pada orang tua .................................... 39
BAB III PEMAHAMAN HADIS TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN
DALAM BINGKAI AL-QUR’AN
A. Kajian Matan Hadis Birr al-Wâlidain ........................... 42
B. Pemahaman Hadis ........................................................ 47
C. Analisis ayat tentang baik pada orang tua ..................... 55
1. Bentuk-bentuk baik pada kedua orang tua ............. 58
2. Tatakrama terhadap kedua orang tua ....................... 60
3. Keutamaan baik pada kedua orang tua .................... 60
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................. 63
B. Saran ........................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 65
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 tahun 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
vi
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ء
Y Ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vocal
tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
vii
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengantopi di atas ى ا
î i dengantopi di atas ى ي
û u dengantopi di atas ىو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-
diwân.
Syaddah(Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الض رورة tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/
(lihat contoh 3).
viii
Contoh:
No TandaVokal Latin Keterangan
Tarîqah طريقة 1
al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau
cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring,
maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis1 merupakan salah satu ajaran Islam yang menduduki posisi yang
sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural
menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional,
ia merupakan bayan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat al-‘am, al-mujmal,
atau al-mutlaq.2
Secara fungsional hadis merupakan bayân (penjelas) terhadap al-Qur’an.
Sehingga hadis mempunyai posisi yang sangat signifikan dan strategis dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih global. Oleh karena itu, sangat
penting untuk menggali butir-butir ajaran Islam yang terdapat dalam hadis-hadis
tersebut.3
Dalam kaitannya fungsi dan kedudukan hadis Nabi terhadap al-Qur’an, Allah Swt
telah menerangkannya dalam QS. al-Nahl ayat 44:
م و ل ع لهم ي ت ف كرون (44) و أ نز لن ا إ ل يك ٱلذ كر ل ت ب ي ن ل لناس م ا ن ز ل إ ل يه
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan” (QS. Al-Nahl: 44)
1 Hadis berasal dari bahasa arab; al-Hadis jamaknya al-Ahadis, al-Hadisan dan al-Hutan.
Secara bahasa kata ini memiliki banyak arti, antara lain: al-Jadid (yang baru) dan al-Khabar
(kabar atau berita). Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 1. 2 Said Agil Husen al-Munawwar, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2002), h.
2. 3 Said Agil Husen al-Munawwar, Studi Hadis Nabi, (Yogyakarts: pustaka pelajar, 2001),
cet. I, h. 8.
2
Dilihat dari segi hubungannya dan ditinjau dari latar belakang terjadinya,
hadis terbagi menjadi tiga bagian; (1) Hadis yang tidak mempunyai sebab secara
khusus, (2) Hadis yang mempunyai sebab secara khusus, (3) Hadis yang berkaitan
dengan keadaan yang sedang terjadi.4 Hadis Nabi Saw sebagai penjelas al-Qur’an,
secara teologis juga dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan
problematika yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena,
bagaimanapun tampaknya disepakati bahwa pembaharuan pemikir Islam atau
rektualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan
ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadis.5
Salah satu perintah dalam al-Qur’an dan Hadis seorang anak dianjurkan
untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Seorang anak meskipun sudah
berkeluarga, tetapi wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini
tidaklah gugur jika seseorang telah berkeluarga. Akan tetapi sangat disayangkan
realitas sekarang ini, betapa banyaknya seorang anak yang sudah berkeluarga
kemudian mereka meninggalkan kewajibannya itu . Jalan yang haq dalam
menggapai riḏa Allah Swt melalui berbakti kepada kedua orang tua, merupakan
salah satu masalah penting dalam Islam. di dalam al-Qur’an setelah
memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah Swt juga memerintahkan untuk
4 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail, (jakarta: Renaisan, 2005), h. 188-197. 5 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
(jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 14.
3
berbakti kepada kedua orang tua. Seperti firman-Nya dalam surat al ‘isra ayat 23-
24 6:
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض
ين إ حس انا ا إ ياه و ب الو ال د دهم لغ ن ع ند ك الك ب ر أ ح أ و إ ما ي ب
ا ك ل ا ف ال ت قل لهم ا ق وال ك ر يما هم رهم ا و قل لهم ن اح )32( أف و ال ت ن ه و اخف ض ل هم ا ج ا ر ب ي ان ي ص غ يرا مهم ا ك م )34( الذل م ن الرحم ة و قل رب ارح
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil" (QS. Al Isra’: 23-24)
Di dalam hadis juga telah diterangkan, seperti riwayat berikut ini:
يد بن ع بد الرحم ن ع ن يم بن س عد ع ن أ ب يه ع ن حم ث ن ا إ ب ر اه د بن يونس ح د ث ن ا أ حم ح ده بن ع مر و ر ض ي
ه ع ل يه و س لم إ ن م ن أ كب ر ع بد الل هم ا ق ال ق ال ر سول الل ه ص لى الل ه ع ن الل يه ق ال ي س يه ق يل ي ا ر سول الل ه و ك يف ي لع ن الرجل و ال د ب ائ ر أ ن ي لع ن الرجل و ال د ب الرجل الك
7ي سب أ ب اه و ي سب أمه أ ب ا الرجل ف
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn Yunus telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibn Sa'd dari Ayahnya dari Humaid ibn
Abdurrahman dari Abdullah ibn 'Amru radliallahu 'anhuma dia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya
termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya
sendiri," beliau ditanya; "Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?"
6 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Bandung: Gema Risalah Press,
1989). 7 Imam an-Nawawi, Terjemahan Riyadhus sâlihîn, (Solo: insan kamil, 2011), h. 216.
4
beliau menjawab: "Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain,
kemudian orang tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang
pertama."
Hadis tersebut sebagai peringatan agar jangan memaki orang tuanya
dengan cara ia memaki ayah orang lain, lalu orang itu membalas dengan memaki
orang tuanya itu. Oleh karena itu, ketika dia menjadi penyebab dimakinya kedua
orang tuanya, maka dosa baginya.8 Akan tetapi sekarang ini banyak seorang anak
yang berbicara keras kepada orang tuanya, tidak punya adab atau etika, hal ini
sangat bertentangan dengan makna yang dihadirkan oleh Nabi Muhammad Saw
sedangkan jasa orang tua dan kasih sayangnya tidak bisa di balas oleh perbuatan
apapun. Seorang ibu atau ayah ketika sedang menimang atau menggendong
anaknya yang ada dibenak pikiran dan hatinya adalah kapan engkau membuka
mata agar bisa melihat, setelah mata bisa melihat orang tua berharap kapan
engkau bisa duduk atau merangkak dan seterusnya sampai keinginan orang tua itu
supaya anaknya cepat besar dan bisa berjalan, akan tetapi alangkah banyaknya
seorang anak yang merawat ibu atau ayahnya terlintas di hatinya kapan orang
tuaku meninggal, karena seorang anak merasa lelah disaat merawat orang tuanya.
Anak dari segi bahasa berarti keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan
antara pria dan wanita9. Dalam bahasa arab disebut “walad” atau “ibnun”. Kata
walad dipakai untuk anak yang dilahirkan baik oleh manusia maupun binatang,
sedangkan kata ibnun dipakai untuk arti yang luas yaitu dipakai untuk anak
8 An Nawawi, terjemahan Riyadhus sâlihîn, h. 217. 9 Tim. Kamus besar Indonesia, edisi ke-2, (depdikbud;1994), h. 30.
5
kandung, angkat, anak persusuan, anak pungut, anak tiri dan lainnya.10 Dalam
ajaran Islam ada keharusan seorang anak untuk berbuat bakti kepada kedua orang
tuanya atau bisa disebut birr al-Wâlidain. Islam menjadikan berbakti kepada
kedua orang tua sebagai kewajiban yang sangat besar, Rasulullah Saw bersabda
ketika ditanya tentang amal-amal saleh yang paling tinggi dan mulia.
ث ن ا شعب ة ق ال أ خب ر ن ي الو ل يد بن الع ي ث ن ا ي حي ى ق ال ح د ز ار أ خب ر ن ا ع مرو بن ع ل ي ق ال ح دب ان ي ي ه ق ال س م عت أ ب ا ع مر و الشي ار و أ ش ار إ ل ى د ار ع بد الل ب ه ذ ه الد ث ن ا ص اح قول ح د
ه ت ع ال ى ق ال الصال ه ع ل يه و س لم أ ي الع م ل أ ح ب إ ل ى الل ه ص لى الل ة ق ال س أ لت ر سول الل ه ين و الج .اد ف ي س ب يل الل ه ع ز و ج ل ع ل ى و قت ه ا و ب ر الو ال د
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr ibn 'Ali dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Al-Walid ibn Al-
'Aizar dia berkata; aku mendengar Abu 'Amr Asy-Syaibani berkata; telah
menceritakan kepada kami penghuni rumah ini -dan mengisyaratkan ke
arah rumah 'Abdullah - dia berkata; 'Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, "Apakah amalan yang paling
dicintai Allah Azza wa Jalla? Beliau menjawab."Shalat pada waktunya,
berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR.
Bukhari Muslim)
Islam telah mengajarkan kepada orang-orang yang berakal bahwa segala
kebaikan terletak pada keriḏaan Allah Swt, kemudian keburukan terletak pada
kemurkaan-Nya. Pada hakekatnya keriḏaan dan kemurkaan Allah Swt terletak
pada interaksi manusia dengan sesama makhluk, dengan kata lain berbuat baik
kepada Allah Swt tidak akan terwujud, kecuali dengan berbuat baik kepada
10 Fuad M. fachruddin, masalah anak dalam hukum islam, (Jakarta;cv. Pedoman ilmu
jaya, 1991), h. 25.
6
makhluk-Nya atau disebut dengan hak antar sesama makhluk. Salah satunya
adalah hak kedua orang tua untuk mendapatkan bakti dari anaknya.11
Dewasa ini banyak orang yang melakukan ritual-ritual ibadah yang
menyimpang karena kebodohan mereka dengan tujuan agar terhindar dari api
neraka dan mendekatkan diri ke surga. Padahal kalau mereka tahu, sebenarnya
alangkah dekatnya mereka dengan surga. Surga yang selalu menjadi penggerak
jiwa manusia untuk bisa meraihnya, yang dipenuhi dengan kenikmatan, yang
membuat segenap jiwa merindukannya, yang menjadi harapan utama bagi setiap
mukmin. Semua itu bisa mereka dapatkan dengan berbakti kepada kedua orang
tua selama mereka menjauhi dosa besar.
Harus disadari bahwa kedua orang tua adalah jembatan perantara bagi
kelahiran seorang anak ke dunia, tanpa perantaraan mereka tidak mungkin
terdapat keturunan, dan tidak mungkin juga anak ada. Dalam kehidupan sehari-
hari mereka berusaha dengan segenap kemampuan: mengasuh, mendidik serta
menjaga anak-anaknya supaya menjadi keturunan yang baik. Kenyataan seorang
ayah mencari nafkah untuk biaya hidup, merawat, mengasuh dan mendidik kita,
tidak lain harapan mereka agar anak-anaknya menjadi manusia berguna bagi
manusia lainnya. Jerih payah mereka adalah untuk kepentingan anak-anaknya. Hal
inilah yang menuntut penghargaan anak-anak, penghargaan dalam arti
penghormatan dan rasa terimakasih. Orang tua tidak akan meminta ganti rugi,
atau perhitungan atas biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan anaknya, mereka
11 Muhammad Al Fahham, Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Sukses dan Kebahagiaan,
Ahmad Hotib, jilid I, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006), h. 77.
7
hanya ingin melihat hasil yang baik dari kesuksesan yang diraih oleh anak-
anaknya.12
Namun, banyak juga seorang anak yang tidak memperhatikan masalah
berbakti kepada kedua orang tua dan beranggapan bahwa hal itu bukan sesuatu
keharusan dan tidak penting bagi seorang anak. Bahkan mereka memutuskan
hubungan sanak keluarga atau kerabat yang telah digariskan oleh Allah Swt untuk
mengembangkannya. Tidak jarang mereka memperlakukan kedua orang tuanya
dengan kelakuan kasar dan perkataan yang menyinggung hati kedua orang tua.
Kata “Baik” merupakan kata yang subjektif. Setiap orang, ingin dikatakan
baik, sekalipun sebenarnya ia tidak baik. Seseorang sering memberikan penilaian
kepada orang lain baik dan tidak baik hanya sekedar zahir yang dipahami oleh
seseorang. Sangat sulit untuk menjatuhkan penilaian moral terhadap orang lain,
yang dapat dinilai dari seseorang adalah sikap lahiriah saja.
Seseorang boleh saja mengatakan bahwa tindakan atau kelakuan tertentu
di anggap salah atau buruk dan menegur orang yang melakukannya. Akan tetapi
seseorang tidak berhak untuk menarik kesimpulan bahwa orang itu sendiri buruk.
Barangkali ia salah perhitungan atau memang sebenarnya memiliki maksud yang
baik.
Berkaitan dengan persoalan birr al-Walidain dalam hadis berbakti kepada
kedua orang tua menggunakan kata al-Birr yaitu “kebaikan” sebagaimana sabda
Nabi Muhammad Saw.
12 Drs. Moh. Rifai, Khutbah Jumat, (semarang: Penerbit CV. Toha Putra, 1979), h. 53.
8
ث ن ا شعب ة ق ال أ خب ر ن ي الو ل يد بن الع ي ث ن ا ي حي ى ق ال ح د ق ال ز ار أ خب ر ن ا ع مرو بن ع ل ي ق ال ح ده ق ال ار و أ ش ار إ ل ى د ار ع بد الل ب ه ذ ه الد ث ن ا ص اح ب ان ي ي قول ح د س م عت أ ب ا ع مر و الشي
ة ع ه ت ع ال ى ق ال الصال ه ع ل يه و س لم أ ي الع م ل أ ح ب إ ل ى الل ل ى س أ لت ر سول الل ه ص لى الل ه اد ف ي س ب يل الل ه ع ز و ج ل ين و الج و قت ه ا و ب ر الو ال د
“Telah mengabarkan kepada kami 'Amr ibn 'Ali dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Al-Walid ibn Al-
'Aizar dia berkata; aku mendengar Abu 'Amr Asy-Syaibani berkata; telah
menceritakan kepada kami penghuni rumah ini -dan mengisyaratkan ke
arah rumah 'Abdullah - dia berkata; 'Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, "Apakah amalan yang paling
dicintai Allah Azza wa Jalla? Beliau menjawab."Shalat pada waktunya,
berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR.
Bukhari Muslim)
Sedangkan dalam al-Qur’an berbakti kepada kedua orang tua
menggunakan kata Ihsan yang maknanya yaitu “kebaikan”. Sebagaimana Firman
Allah Sawt.
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض ين إ حس انا ا إ ياه و ب الو ال د دهم لغ ن ع ند ك الك ب ر أ ح أ و إ ما ي ب
ا ف ال ت قل ك ل ا هم ا و قل لهم ا ق وال ك ر يما لهم رهم )32( أف و ال ت ن ه “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”
(Q.S. al-Isra’ : 23)
Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi yang akan di bahasa
adalah “BIRR AL-WÂLIDAIN PERSPEKTIF HADIS: MEMBACA HADIS
DALAM BINGKAI AL-QUR’AN”.
9
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa akar
permasalahan yang diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu:
1) Adanya seorang anak yang tidak memperhatikan perintah berbakti kepada
kedua orang tua yang masih hidup maupun yang sudah meninggal di
dalam al-Qur’an dan hadis.
2) Penggunaan kata al-birr di dalam hadis dan ihsan di dalam al-Qur’an yang
mempunyai makna yang sama yaitu kebaikan.
3) Seorang anak yang tidak paham dengan cara berbakti kepada kedua orang
tua sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang terindentifikasi di atas, maka pembahasan dalam
penelitian ini yaitu: Penggunaan kata al-birr di dalam hadis dan ihsan di
dalam al-Qur’an yang mempunyai makna yang sama yaitu kebaikan.
3. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan di
bahas yaitu: Bagaimana makna al-birr dengan pemahaman hadis dalam
bingkai al-Qur’an?.
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan penulis dalam skripsi ini adalah:
a. Ingin menelusuri hadis tentang birr al-wâlidain beserta penjelasan
hadisnya, sehingga seorang anak mengetahui tentang pentingnya berbakti
kepada kedua orang tua.
b. Memberikan deskripsi secara jelas tentang makna al-birr dengan
pemahaman hadis dalam bingkai al-Qur’an.
2. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai
hadis birr al-wâlidain, sehingga dapat dijadikan bahan bacaan dalam
rangka pengembangan khazanah intelektual Islam. Selain itu penelitian
ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan dalam ilmu kajian
hadis, terutama yang berkaitan dengan hadis birr al-wâlidain.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini mempunyai kegunaan praktis yakni untuk
memberikan sebuah bahan pertimbangan untuk selalu melakukan kajian
secara mendalam terhadap hadis yang diterima. Dan juga diharapkan
penelitian ini bisa menambahkan database perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
11
D. Kajian Pustaka
Sejauh pengamatan penulis, karya ilmiah mengenai birr al-wâlidain telah
dikaji oleh beberapa penulis sebelumnya. Karya yang pernah dikaji oleh penulis
sebelumnya adalah:
Pertama, Skripsi yang disusun oleh Ahmad Arrofiqi, dengan judul:
“Implementasi hadis birrul walidain setelah meninggal dunia pada masyarakat
wonokromo (Studi living hadis)”13. Secara garis besar, skripsi tersebut
menjelaskan tentang persoalan tradisi nyadran di daerah Wonokromo. Diketahui
bahwasanya tradisi nyadran di Desa Wonokromo bertujuan untuk berdakwah,
memohonkan ampunan kepada Allah Swt bagi orang-orang yang telah wafat
terutama keluarganya dan yang terpenting sebagai ajang silaturahim antar warga.
Sedangkan skripsi yang penulis bahas adalah berbakti kepada kedua orang tua
yang masih hidup, jadi berbeda dengan tulisan Ahmad Arrofiqi.
Kedua, artikel jurnal berjudul, “kewajiban anak terhadap orang tua” yang
ditulis oleh Urip Santoso. Artikel ini menjelaskan kerugian seorang anak yang
tidak mentaati kedua orang tuanya, kemudia bagaimana seorang anak menyikapi
kedua orang tuanya yang sudah di perintahkan dalam al-Qur’an dan hadis.14
13 Ahmad Arrofiqi, dengan judul: “Implementasi hadis birrul walidain setelah meninggal
dunia pada masyarakat wonokromo (studi living hadis), (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h. 14 Urip santoso, Kewajiban anak terhadap orang tua, Jurnal sivitas Akademika.
12
Ketiga, artikel jurnal berjudul Al-Birr yang ditulis oleh M. nurfatoni.
Artikel ini menjelaskan arti kata al birr kemudian al-Qur’an menjelaskan kata al
birr dan konsekuensi orang yang mengajak melakukan al birr.15
Keempat, buku yang berjudul “Meraih Surga dengan Bakti Orang tua”
karya Musthafa ibn al-‘Adawi. Musthafa menjelaskan tentang keutamaan berbakti
kepada kedua orang tua dan bagaimana hal tersebut dapat menghantarkan
seseorang kepada derajat yang paling tunggi dan menjelaskan hadis-hadis bahaya
dosa besar durhaka terhadap kedua orang tua.16
Kelima, buku yang berjudul “Rahasia di balik berbakti kepada kedua
orang tua” karya Dr. Khalid ibn Abdurrahman asy-Syayi’. Dr. Khalid
menjelaskan kumpulan hadis, perkataan dan fatwa para ulama besar dalam
menjelaskan wajibnya berbakti kepada kedua orang tua dan memperingatkan dari
mendurhakai keduanya dan mengingkari jasa baik mereka.17 Penelitian yang
penyususn tulispun membahas hadis tentang berbakti kepada kedua orang tua.
E. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
berupa library Research (penelitian pustaka). yakni data yang penulis perlukan
dalam penelitian ini sumber dari hasil kepustakaan primer yang merupakan
15 M. Nurfatoni, al-birr, pusat kajian tafsir kunci al-Qur’an. 16 Mushthafa al-‘Adawi, Meraih Surga dengan Bakti Orang tua, (Yogyakarta: Pustaka
Fahima, 2007). 17 Ibn Abdurrahman asy-Syayi’, Dr. Khalid, Rahasia dibalik berbakti kepada kedua
orang tua, (Jakarta: darul haq, 2016), h. 1.
13
rujukan utama penulis gunakan. Kemudian data yang dikumpulkan berupa kata-
kata, melalui penerapan metode kualitatif.18
1. Sumber data
Sumber utama atau disebut naskah primer dalam penelitian ini adalah
hadis-hadis birr al-wâlidain yang terdapat dalam kitab al-kutub al-Tis’ah,
tetapi, penulis hanya memfokuskan pada hadis-hadis yang ada di dalam
kitab sahih Bukhâri dan sahih Muslîm. Karena menurut al-Qastâlanî
bahwa hadis-hadis di dalam kitab sahihain ini sudah jelas ke-sahih-
annya.19 Kemudian sumber informasi sekunder dalam penelitian ini berupa
buku tentang birr al-wâlidain. Kemudian sumber data jurnal yaitu
kewajiban anak terhadap orang tua.
2. Metode Pengumpulan Data
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode takhrij, yaitu
metode untuk mengetahui ada berapa banyak hadis-hadis birr al wâlidain
yang ada dalam kitab kutub al-Tis’ah, sehingga mudah
mengklasifikasikannya, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan
(library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dengan pokok masalah berbakti kepada kedua orang tua.
18 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan R&D, cet. II, (Bandung:
Alfabeta, 2010), h. 399. 19 Ahmad ibn Muhammad ibn Abu Bakr ibn Abdullmalik al-Qastalânî, Irsyâdu al-sari li
Syârhi Sahih al-bukhâri (Mesir: al-Mathba’ah al-kubra, 1323 H), jil. 1, h. 19.
14
Teknis pembahasan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis,
yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu
sebagai gambaran awal dan setelah itu dianalisis, untuk kemudian ditarik
sebuah kesimpulan.
3. Metode Analisis Data
Dalam pemahaman hadis ini, penulis menggunakan metode
pemahaman hadis Yûsuf al-Qardâwî, yaitu memahami sunnah sesuai
petunjuk al-Qur’an
السنة في ضوءالقران الكريم()فهم dan memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika
diucapkan serta tujuannya (فهم االحاديث في ضوء أسبابه اومال بسا تهاومقاصدها ),20
yaitu dengan merujuk pada buku kayfa Nata’âmal ma’a al-Sunnah. Karena
untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan,
pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, harus memahaminya sesuai
dengan petunjuk al-Qur’an. Jelaslah bahwa al-Qur’an adalah ruh dari
eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan
konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara
segala perundang-undangan Islam. Sedangkan as-Sunnah adalah
penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang
bersifat teoretis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas
20 Yûsuf al-Qardâwî, Kaif Nata’âmal ma’a al-Sunnah Nabawiyah (Al-Qahiroh: Dar al-
Syuruq. 2004), h. 111.
15
Rasulullah Saw: “menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada
mereka”. Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi Saw, selalu dan
senantiasa berkisar diseputar al-Qur’an dan tidak mungkin akan
melanggarnya,21 dan untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman
yang benar dan tepat, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang
bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta
antara yang particular dan universal. Semua itu mempunyai hukumnya
masing-masing, dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan
serta asbâb al-Nuzûl dan asbâb al-Wurûd, pasti akan mudah mencapai
pemahaman yang tepat dan lurus.22 Sehingga dengan demikian maksudnya
benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai perkiraan yang
menyimpang dan ditetapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan
sebenarnya. Dengan demikina, makna yang dimaksud akan semakin jelas
dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.23
4. Teknik Penulisan
Adapun Teknik penulisan ini mengacu pada Pedoman Akademik,
sub-bab Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh bagian Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).24
21 Yûsuf al-Qaradâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif
Nata’âmal ma’a al-Sunnah Nabawiyah (Bandung: penerbit Karisma, 1993), h. 92-93. 22 Yûsuf al-Qaradâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif
Nata’âmal ma’a Sunnah Nabawiyah (Bandung: penerbit Karisma, 1993), h. 132-133. 23 Hamdan Husein, Hadis Dalam Pandangan Yusuf al-Qardowi, h. 16-51.
24 Matsna HS, Prof. Dr. H. Mohammad, dkk., Pedoman Akademik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012/2013.
16
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya
sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi empat bab,
dan masing - masing bab memiliki sub pokok bahasan.
Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab kedua wawasan al-Qur’an tentang Birr al-wâlidain ( pengertian al
Birr, perbandingan kata al-birr, khayr, ma’ruf dan ihsan, ayat-ayat tentang birr al-
wâlidain dan tafsirannya, kedudukan birr al-wâlidain,).
Bab ketiga pemahaman hadis tentang birr al-wâlidain (kajian matan hadis
birr al-wâlidain, pemahaman hadis tentang birr al-wâlidain dan analisa).
Bab keempat penutup yang terdiri dari kesimpulan seluruh jawaban dari
yang telah dikemukakan atas permasalahan yang diteliti, kemudian disertai
dengan saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian
lebih lanjut dari penelitian ini.
17
BAB II
WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN
A. Pengertian
1. Pengertian al-birr.
Secara bahasa kata al-Birru dalam bahasa Arab merupakan kata benda
bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan, kesalehan,
kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan,
kedermawanan. Adapun asal kata al-birru adalah barra-yuburru-burran/
birran yang artinya taat berbakti bersikap baik, sopan, benar (tidak berdusta),
menerima, banyak berbuat kebajikan.1
Istilah Birr al-wâlidain terdiri dari kata Birru dan al-wâlidain. Birru atau
al-birru artinya kebijakan dan al-wâlidain artinya kedua orang tua atau ibu
bapak. Jadi, Birr al-wâlidain adalah berbuat kebajikan terhadap kedua orang
tua.2 Semakna Birr al-wâlidain, al-Qur’an menggunakan istilah ihsan (wabil
Wâlidainî Ihsâna), seperti yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23:
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض ين إ حس انا )32 (إ ياه و ب الو ال د
1 Ahmad warson munawwir, Al Munawwir kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka
progresif, 1997), h. 73-74. 2 Drs. H. yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlak, (LPPI UMY Yogyakarta, Pustaka:
Pelajar Offset, 2002), h. 147 – 148.
18
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’; 17 : 23)
Abu Bakar al-Anbari berkata : kalimat al-qaḏâ (القضاء) dalam ayat tersebut
tidak berarti mengharuskan tapi ia dimaksudkan sebagai perintah dan
kewajiban. Dari segi bahasa lafaz al-qaḏâ (القضاء) berarti memutuskan sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Firman Allah “wa bilwâ al-daîn ihsânan” ( وبالوالدين
:adalah berbuat kebaikan dan menghormati , Ibn Abbas berkata (احسانا
“janganlah kamu mengibaskan pakaianmu agar mereka tidak terkena
debunya.”3
2. Perbandingan kata al-birr, ma’ruf, khair, dan ihsan.
a. Kata al-birr
Secara bahasa kata al-Birru dalam bahasa Arab merupakan kata
benda bentuk masdar yang memiliki banyak arti, di antaranya: ketaatan,
kesalehan, kebaikan, belas kasih, kebenaran, hal banyak berbuat kebajikan,
kedermawanan. Adapun asal kata al-birru adalah barra-yuburru-burran/
birran yang artinya taat berbakti bersikap baik-sopan, benar (tidak
berdusta), menerima, banyak berbuat kebajikan.4
3 Imam Ibn Jauzi, Birrul Walidain, (Dar al-‘ilm al-Munawar al-Syamsiah, Madinatul
Munawarah, 1993), cet. I, h. 31-32. 4 Ahmad warson munawwir, al-Munawwir kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka
progresif, 1997), h. 73-74.
19
b. Kata ma’ruf
Kata ma’ruf berasal dari bahasa Arab, seakar dengan kata urf (adat
istiadat). Dalam kamus Munawwir ma’ruf berarti “kebajikan”.5 Sedangkan
dalam kamus al-Wasit ma’ruf di artikan dengan:
اسم لكل فعل يعرف حسنه با لعقل او الشرع 6
Yang berarti setiap perbuatan yang baik menurut akal atau syara’.
Jadi ma’ruf adalah kebaikan yang bersifat relative (kondisional). Tidak
akan sama ma’ruf di suatu tempat dengan ma’ruf di tempat lain.
c. Kata khair
Kata khair berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata خير
artinya “baik” lawan dari 7.شر Dalam kamus Idris al-Marbawi disebutkan
bahwa khair itu artinya “kebajikan, kebaikan, harta.8 al-Raghib juga
memberi definisi tentang khair yaitu suatu yang diinginkan hati demikian
juga akal, misalnya adil, keutamaan dan suatu yang bermanfaat.9 Jadi
khair adalah kebaikan-kebaikan yang standarnya mutlak.
5 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir kamus Arab – Indonesia, h. 988. 6 Jumhur Masrul Arobiyah, Mu’jam al-Wasit, (Maktabah al-Syarugh al-Daulah, 2005), h.
595. 7 Maktabah Syarqiyah, al-Munjid Fi Lugho Wa al-A’lam, (Lebanon: Dar al-Masyriq,
2002), h. 201. 8 Muhammad Idris, kamus Arab – Melayu, (semarang: Maktabah Wa Muthba’ah Usaha
keluarga, tt), h. 192. 9 Al-Raghib al-Asfahani, al-mufradat fi al-Gharib al-Qur’an, (mesir: musthafa al-Rab al-
Ahlab, 1961), h. 176.
20
d. Kata Ihsan
Kata Ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu dari asal kata ahsana-
yuhsinu-ihsan artinya berbuat baik. Dan di dalam kamus Arab – Melayu
ihsan juga berarti berbuat baik.10
Untuk memperjelas makna ihsan, maka sebaiknya dipaparkan
sebuah dalil yaitu tentang hadis Jibril yang menyebutkan tingkatan dalam
Agama.
ا ن حن جلوس ع ند ر سول الله ص لى الله ن م ي الله ع نه أ يض ا ق ال : ب ي ع ن عم ر ر ض ن ا ر جل ش د يد ب ي اض الث ي اب ش د يد س و اد الشعر , ع ل يه و س لم ذ ات ي وم إ ذ ط ل ع ع ل ي
نا أ ح د, ح تى ج ل س إ ل ى النب ي ص لى الله ع ل يه ال ي ر ى ع ل يه أ ث ر السف ر و ال ي عر فه م يه , و ق ال : ي ا مح مد و س لم, فأ سن د ركب ت يه إ ل ى ركب ت يه ذ , و و ض ع ك فيه ع ل ى ف خ
سال م أ ن ت شه د , ف ق ال ر سول الله ص لى الله ع ل يه و س لم : ا إل سال م أ خب رن ي ع ن اإل ا ر سول الله , و تق يم ا اة , و ت صوم أ ن ال إ ل ه إ ال الله و أ ن مح مد لصال ة , و ت ؤت ي الزك
ن ا ل ه ي سئ له ب قت. ف ع ج ر م ض ان , و ت حج الب يت إ ن است ط عت إ ل يه س ب يال . ق ال : ص د ت ه , و , ق ال : أ ن ب الله , و م ال ئ ك يم ان كتب ه , و رسل ه , و يص د قه. ق ال : ف أ خب رن ي ع ن اإل
. ق ال : ف أ خب رن ي ع ن ير ه و ش ر ه . ق ال : ص د قت ر , و ت ؤم ن ب الق در خ و الي وم اآلخ . ق ال : , ق ال : أ ن ت عبد الله ك أ نك ت ر اه ف إ ن ل م ت كن ت ر اه ف إ نه ي ر اك اإل حس ان
. ق ال : ف أ خب رن ي ف أ خب ر ن ي ع ن الساع ة ق ال : م ا الم سؤول ع ن ه ا ب أ عل م م ن السائ ل ع ن أ م ار ات ه ا, ق ال : أ ن ت ل د األ م ة ر ب ت ه ا, و أ ن ت ر ى الحف اة العر اة الع ال ة ر ع اء الشاء
ر, أ ت در ي م ن ي ت ط او لون ف ي الب , ف ل ب ثت م ل يا, ثم ق ال : ي ا عم , ثم ا نط ل ق ي ان ن بر يل أ ت اكم ي ع ل مكم د ي ن كم. السائ ل؟ ق لت : الله و ر سوله أ عل م. ق ال : ف إ نه ج
Umar ibn Khatab Ra, berkata: suatu ketika, kami (para sahabat)
duduk di dekat Rasulullah Saw, tiba-tiba muncul kepada kamu
seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan
rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan jauh, dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
10 Muhammad Idris, kamus Arab – Melayu, h. 133
21
mengenalnya. Kemudian dia pun duduk di depan Nabi Saw. dia
sandarkan kedua lututnya kepada kedua lutu beliau, dan dia
meletakkan kedua telapak tangannya di atas dua pahanya, seraya
berkata: “wahi Muhammad, kabarkanlah kepada ku tentang
Islam”. Maka Rasulullah Saw menjawab “Islam adalah kamu
bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah
dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
Salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji
bagi yang mampu melaksanakannya. “Dia (lelaki itu) berkata
“engkau benar”. Dia (lelaki itu) berkata “ kabarkanlah kepadaku
tentang iman”, Beliau menjawab: “ kamu beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari
akhir, dan kamu beriman pada takdir yang baik dan yang buruk.”
Dia (lelaki itu) berkata “kabarkanlah kepadaku tentang ihsan”
Beliau menjawab “kamu menyembah Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya. Jika pun kamu tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” Dia (lelaki itu) berkata,
“kabarkanlah kepadaku tentang hari kiamat” beliau menjawab “
tidaklah orang yang bertanya lebih mengetahui daripada orang
yang bertanya.” Dia (lelaki itu) berkata “kabarkanlah kepadaku
tanda-tandanya” beliau bersabda: “jika seorang budak
melahirkan majikannya, dan kamu melihat orang-orang
bertelanjang kaki, tidak berbusana, fakir miskin, para pengembala
kambing akan saling berlomba membuat gedung yang tinggi.” Dia
(Umar ibnKhatab) berkata: “lalu dia pun pergi aku terdiam cukup
lama”. Kemudian beliau bertanya kepada ku, “wahai Umar,
apakah engkau tahu siapakah orang yang bertanya itu?” aku pun
menjawab “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu.” Beliau berkata,
“sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia datang untuk mengajarkan
tentang Agama Islam.” (HR. Muslim)
Dari hadis tersebut terlihat bahwa susunan dasar agama Islam
mencakup iman, Islam, dan ihsan. Ketiganya trilogi (tiga satuan) ajaran
Islam, yang antara satu dengan yang lain saling terkait. Iman tidak
sempurna tanpa Islam, dan Islam tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya
ihsan mustahil ada tanpa iman dan Islam.11
11 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. ichtiar Baru van Hoeve,
1997), h. 650.
22
Jadi ihsan adalah kebaikan yang bukan dilihat dari apa yang di
lakukan melainkan dilihat dari landasan atau berangkat dari mana hingga
melakukan perbuatan itu. Dan ihsan adalah perbuatan baik yang muncul
dari rasa diri selaku dalam pengawasan. Begitupun dengan ihsannya
seorang anak terhadap orang tua, anak akan selalu berusaha untuk
melakukan kebaikan karena dia tahu orang tuanya selalu mengawasi apa
yang dia lakukan sehingga dia tidak akan berani untuk keluar dari jalur itu.
Serta ihsan adalah kebaikan yang tidak hanya memberi kesenangan fisik
dan mental bahkan mencakup tindakan dan pengetahuan dan tentunya
Table 1.1 Pengertian kata al-birr, ma’ruf, khair, dan ihsân
No Kata Makna kata Konotasi kata Keterangan
1
Al-birr
Yang mengandung makna
begitu luas, atau husnul
khuluq (akhlak yang baik).
Akhlak yang baik
memiliki urgensitas yang
sangat penting dalam
pribadi seorang mu’min.
Mencakup segala
macam bentuk
kebaikan dalam
bermuamalah
diantaranta adalah
jujur, amanah,
menyambung
persaudaraan, kasih
saying, sabar, dan
lembut.
Akhalak yang baik
adalah segala
perbuatan dan sifat
yang positif, tidak
mengandung unsur
negatif serta tidak
melanggar larangan-
laranngan Allah Swt
dan Rasul-Nya.
2
Ma’ruf
Sesuai dengan ketentuan
syara’ yang tidak di
Semua perbuatan
baik. Baik yang
Nilai kepatutan yang
berlaku di
23
ingkari oleh orang-orang
yang mempunyai harga
diri.
berkaitan dengan
individu, maupun
individu dengan
masyarakat.
masyarakat.
3
Khair
Harta yang banyak,
menambah amalan ibadah
sunnah lebih dari kadar
yang ditentukan.
Perbuatan harta
(materi), motivasi,
nasehat atau bantuan
yang bersifat baik.
Khair adalah nilai-
nilai universal yang
ditetapkan oleh
Allah dalam al-
Qur’an dan Sunnah
Nabi-Nya.
4
Ihsan
Sengaja berbuat baik
kepada orang tua dan
berbakti kepada keduanya,
berusaha memenuhi
tuntutan mereka, memberi
nafkah kepada mereka
sesuai dengan kemampuan
Mencakup semua
aspek (ucapan,
perbuatan, niat)
hingga sampai pada
masalah ilmu
pengetahuan yang
sifatnya baik.
Puncak kebaikan.
Dengan kata lain
ihsan adalah
meningkatkan
perbuatan yang
sudah baik ke lebih
baik lagi.
Berdasarkan tabel di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa al-abirr
segala perbuatan dan sifat yang positif, tidak mengandung unsur negatif serta
tidak melanggar larangan-laranngan Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedangkan
istilah ihsan itu maknanya lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau
nafkah, lebih tinggi dari kandungan makna adil. Memperlakukan orang lebih
24
baik dari perlakuan orang terhadapnya, memberi lebih banyak dari pada yang
harus di beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya. Kemudian
istilah ma’ruf itu pada hakekatnya azas kepatutan yang mengacu kepada nilai-
nilai yang berlaku pada masyarakat. Dan Istilah khair yang bervariasi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam khair tidak
hanya berkaitan dengan permasalahan agama saja, ibadah mahdhah misalnya,
namun juga mencakup hal-hal yang secara sekilas urusan duniawi termasuk di
dalamnya urusan sosial masyarakat.
B. Ayat-ayat tentang Baik pada orang tua
Di dalam al-Qur’an, Allah Swt telah mewajibkan seorang anak berbakti
kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana firman Allah Swt:
بار ا ش ق يا ت ي و ل م ي جع لن ي ج (23) و ب را ب و ال د “Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka”. (QS. Maryam: 32)12
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض ين إ حس انا ا إ ياه و ب الو ال د دهم لغ ن ع ند ك الك ب ر أ ح أ و إ ما ي ب
ا ك ل ا ف ال ت قل لهم ا و قل لهم ا ق وال ك ر يما هم رهم )32( أف و ال ت ن ه “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapak dengan
sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara kedunya sampai berumur
lanjat dalam pemeliharaanmu. Maka jangan sekali-kali kamu
mengatakan; “ah”, dan jangan kamu membentak keduanya dan
ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia”.(QS. al Isra: 23)
12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota Surabaya,
2004).
25
ن اح الذل م ن الر و اخف ض ل هم ا ج ا ر ب ي ان ي ص غ يرا )34( حم ة و قل رب ارح مهم ا ك م
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhan kami, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka mengasuhiku selagi aku kecil”. (QS. al Isra’: 24)
ل ته أمه و هن ا ع ل ي و هن و ف ص اله ف ي ع ام ين أ ن اشكرل ي يه ح م نس ان ب و ال د ن ااإل و و صي ي ر يك إ ل ي الم ص (44) و ل و ال د
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam masa dua
tahun”. (QS. Luqman: 14)
ن ي ا و إ ن هم ا ف ي الد ب اك ع ل ى أ ن تشر ك ب ي م ا ل يس ل ك ب ه ع لم ف ال تط عهم ا و ص اح ج اه د عكم ف أن ب ئكم ب م ا كنتم ت عم لون (41) م عروف ا و اتب ع س ب يل م ن أ ن اب إ ل ي ثم إ ل ي م رج
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan
sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepada-
Ku-lah kalian kembali. Maka kuberitakan kepada kalian apa-apa yang
telah kalian kerjakan”. (QS. Luqman: 15)
Adapun berbakti dan taat kepada orang tua terbatas hanya dalam perkara
yang ma’ruf (perbuatan baik) saja. Sedangkan jika orang tua menyuruh kepada
kekafiran, atau kesyirikan, maka tidak boleh taat kepada keduanya. Allah Swt.
berfirman sebagai berikut:
اك ل تشر ك ب ي م ا يه حسن ا و إ ن ج اه د نس ان ب و ال د ن ا اإل ا و و صي ل يس ل ك ب ه ع لم ف ال تط عهم تم ت عم لون عكم ف أن ب ئكم ب م ا كن (8) إ ل ي م رج
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
26
janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qs. al-
‘Ankabut: 8)
Sedangkan tentang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, Allah
Swt. berfirman sebagai berikut:
ا ي ست ن ق بل ي و هم ان ن ي أ ن أخر ج و ق د خ ل ت القرون م ا أ ت ع د يه أف ل كم غ يث ان و الذ ي ق ال ل و ال د ا إ ال أ س (41) اط ير األول ين الله و ي ل ك آم ن إ ن و عد الله ح ق ف ي قول م ا ه ذ
ان ن و اإلنس إ ن هم ك م م ن الج ن ق بل ه ل ت م م الق ول ف ي أم م ق د خ وا أول ئ ك الذ ين ح ق ع ل يه ر ين خ اس
(48)
“ Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi
kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah!
Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain
hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka". Mereka Itulah orang-
orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat
yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang merugi”. (Qs. al-Ahqaf: 17-18)
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an, penyebutan mengenai bertauhid kepada
kedua orang tua, para ulama telah menjelaskan hikmah dari hal ini, yaitu:
1. Allah Swt. yang telah menciptakan manusia dan Allah Swt. yang telah
memberi rezeki kepadanya, maka itu Allah Swt sajalah yang berhak untuk
diibadahi. Sedangkan kedua orang tua merupakan sebab adanya anak,
maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Karena itulah,
kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allah Swt harus diiringi
dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
27
2. Allah Swt. yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh hamba-
hamba-Nya, maka hanya Allah Swt. yang wajib disyukuri. Kemudian,
kedua orang tualah yang telah memberikan segala yang kita butuhkan
seperti makan, minum, pakaian, dan lainnya sehingga wajib bagi kita
untuk berterimakasih kepada keduanya. Oleh karena itu, kewajiban
seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur kepada Allah
Swt. dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
3. Allah Swt. adalah Rabb yang membina dan mendidik manusia di atas
manhaj-Nya, maka Allah Swt. yang berhak untuk diagungkan dan dicintai.
Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak di dalam
kandungan hingga dewasa, maka dari itu kita harus bersikap merendahkan
hati, menghormati dan berlaku lemah lembut baik di dalam perkataan
maupun dalam perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah mengapa dalam al-Qur’an Allah Swt. menyebutkan tentang
berbakti kepada-Nya kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua.13
C. Tafsir ayat-ayat Baik pada orang tua
ت ي و ل م بار ا ش ق ياو ب را ب و ال د (23) ي جع لن ي ج “Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka”. (QS. Maryam: 32)
13Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Birrul Walidain, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2015), h. 27-28.
28
Dalam kitab Tafsir al-Tabarî dijelaskan bahwa Allah Swt. berfirman
menceritakan perkataan Isa as kepada kaumnya: “Dia menjadikanku sebagai anak
yang berbakti kepada ibuku”.
Lafaz ا ا artinya adalah بر dan demikianlah هو بر بوالده وبار به :Dikatakan .بار
para ahli qira’at Amsar membacakannya, dengan fathah pada huruf ba.
Diriwayatkan dari Abu Nuhaik seperti berikut ini:
Ibn Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya ibn Wadhih
menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Mukmin menceritakan kepada kami
dari Abu Nuhaik, bahwa: “ia pernah membaca ayat (perkataan Isa as) wa barrân
biwâlidatî ت ي Dan berbakti kepada ibuku,” Abu Nuhaik berkata: “Aku“ و ب را ب و ال د
diberi wasiat untuk tetap menjaga salat, menunaikan zakat, dan berbakti kepada
kedua orangtua”.
Abu Nuhaik seakan-akan menakwilkan bahwa ayat ini adalah informasi
nabi Isa as. dari wasiat Allah Swt kepadanya, sebagaimana wasiat shalat dan zakat
adalah informasi Nabi Isa as dari Allah Swt kepadanya agar melakukan hal itu.
Sesuai dengan pendapat ini, maka lafaz البر mansub dalam arti mengerjakan wasiat
di dalamnya, karena lafaz (al-Asalâti) الصالة dan (al-zakâti) كاة meskipun الز
keduanya majrur namun maknanya mansub karena menjadi maf’ul.14
14 Muhammad ibn Jarir Al-Tabari, Abu Ja’far, Tafsir al-Tabari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), h. 561-562.
29
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض ين إ حس انا ا إ ياه و ب الو ال د دهم لغ ن ع ند ك الك ب ر أ ح أ و إ ما ي ب
ا ف ال ت قل لهم ا ك ل ا ق وال ك ر يما هم ا و قل لهم رهم ن اح (32( أف و ال ت ن ه و اخف ض ل هم ا ج الذل م ن الرحم ة و قل رب
ا ر ب ي ان ي ص غ يرا مهم ا ك م )34( ارح
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia15. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil".
Dalam tafsir al-Qurtuby ayat ini dibahas menjadi beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:
Pertama: قضى “memerintahkan”. Maksudnya, memerintahkan, mengharuskan dan
mewajibkan. Ibn Abbas, al-Hasan dan Qatâdah berkata, “ini bukan keputusan
hukum akan tetapi ketentuan perintah”. Di dalam musyhaf Ibn Mas’ud: ووصى
“dan berwasiat”. Ini adalah qirâ’ah para sahabatnya dan qirâ’ah Ibn Abbas, Ali
dan lain-lainnya. Demikian juga menurut Ubai ibn Ka’ab16.
Kedua: Allah Swt memerintahkan bertauhid dan beribadah kepada-Nya. Dan
menjadikan bakti kepada kedua orang tua selalu dibarengkan dengan beribadah
kepada-Nya. Sebagaimana Allah telah membarengkan terimakasih kepadanya
dengan bersyukur kepada-Nya. Dalam Sahih al-Bukhâri, dari Abdullah ia berkata,
15 Mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh Agama Islam apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakulan mereka dengan lebih kasar dari pada itu. 16 Al-Quthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi;penerjemah, Sudi Rosadi, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 586.
30
“aku bertanya kepada Nabi SAW: perbuatan apakah yang paling dicintai oleh
Allah Swt itu?”. Beliau menjawab, “Salat pada waktunya”. Dia berkata,
“kemudian apa lagi?”. Beliau Menjawab, “berbakti kepada kedua orang tua”. Dia
berkata, “kemudian apa lagi?”. Beliau menjawab, “berjihad di jalan Allah.”17
Jadi Nabi Saw. menyampaikan bahwa berbakti kepada kedua orang tua
adalah perbuatan yang paling utama setelah shalat, yang merupakan pilar Islam
paling Agung. Semua itu disusun dengan kata ثم (kemudian/lalu) yang
memberikan pengertian urutan.
Ketiga: termasuk berbakti kepada kedua orang tua adalah Ihsan (berlaku baik)
kepada keduanya dengan tidak menunjukan pertentangan atau durhaka kepada
keduanya. Karena tindakan seperti itu disepakati termasuk dosa besar.
Keempat: durhaka kepada kedua orang tua adalah menentang maksud keduanya
yang bersifat mubah. Sebagaimana berbakti kepada keduanya adalah menuruti apa
yang menjadi maksud keduanya. Dengan demikian jika keduannya atau salah satu
dari keduanya memerintahkan suatu perintah kepada anaknya, maka ia wajib
mentaatinya jika perintah itu bukan suatu kemaksiatan, dan selama yang
diperintahkan itu merupakan hal-hal yang mubah (boleh) dan termasuk yang
mandub (dianjurkan).18
Dalam tafsir al-Misbah ayat ini dimulai dengan menegaskan ketetapan
yang merupakan perintah Allah Swt. untuk mengesakan Allah Swt dalam
17 HR. Al-Bukhâri pada pembahasan tentang waktu-waktu shalat, bab: keutamaan Shalat
pada waktunya, h. 102. 18 Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 590.
31
beribadah, mengikhlaskan diri dan tidak mempersekutukan-Nya, sedangkan surat
al-An’am: 151 dimulai dengan ajakan kepada kaum musyrikin untuk
mendengarkan apa yang diharamkan Allah Swt yang antara lain adalah
keharaman mempersekutukan-Nya. Ini karena ayat al-Isra di atas ditujukan
kepada kaum muslimin, sehingga kata (قضى) qaḏâ menetapkan lebih tepat untuk
dipilih, berbeda halnya dengan ayat al-An’am itu yang ditujukan kepada kaum
musyrikin. Dengan demikian tentu saja lebih tepat bagi mereka menyampaikan
apa yang dilarang Allah Swt, yakni mempersekutukan-Nya.
Keyakinan akan keesaan Allah Swt serta kewajiban mengikhlaskan diri
kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Setelah itu,
kewajiban bahkan aktivitas apapun harus dikaitkan dengannya serta didorong
olehnya. Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban mengesakan Allah Swt
dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orang tua.19
Firman Allah Swt: بكم أعلم بمافى نفو سكم tuhanmu lebih mengetahui apa“ ر
yang ada dalam hatimu.” Maksudnya, berkenaan dengan keyakinan akan kasih
sayang dan lembut kepada kedua orang tua, atau yang lainnya, yang merupakan
tindakan durhaka. Atau orang yang melakukan kebaikan terhadap kedua orang
tuanya dengan riya.
Ibn Jabir berkata, “maksudnya gerakan atau isyarat yang terjadi spontan
tanpa sengaja yang dilakukan seseorang terhadap kedua orang tuanya, sementara
ia tidak bermaksud meremahkannya.” Allah Swt berfirman: ان ثكونوا صلحين “jika
19 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera hati, 2002), cet. I, h. 443 -
444.
32
kami orang-orang yang baik”, dengan kata lain: orang-orang yang benar dalam
niat berbakti kepada kedua orang tua maka sesungguhnya Allah Swt mengampuni
gerakan atau isyarat yang muncul spontan. Sedangkan firman Allah Swt, فانه, كان
بين غ فوراللو “maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang
bertaubat.” Sebuah janji berupa ampunan dengan syarat berbuat baik dan
bertaubat setelah kembali kepada ketaatan kepada Allah Swt.20
الله
(414)
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”
Penyebab dari segala penyebab wujud dan sumber segala nikmat, disebutnya
penyebab perantara yang berperanan dalam kelahiran manusia, sekaligus yang
wajib disyukuri yakni Ibu dan Bapak. Oleh karena itu, dalam makna melarang
mendurhakai mereka berdua. Larangan demikian tegasnya sehingga dikemukakan
dalam bentuk perintah berbakti, yakni dan berbuatbaiklah secara dekat kepada
20 Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 612 -
613.
33
kedua orang tua secara khusus dan istimewah dengan berbuat kebaktian yang
banyak lagi mantap atas dorongan rasa kasih sayang kepada kedua orang tua.21
ل ته أمه و هن ا ع ل ي و هن و ف ص اله ف ي ع ام ين أ ن اشكرل ي و ل و يه ح م نس ان ب و ال د ن ااإل ال د يك و و صي ر ي ا و إ ن (44) إ ل ي الم ص اك ع ل ى أ ن تشر ك ب ي م ا ل يس ل ك ب ه ع لم ف ال تط عهم ج اه د
عكم ف أن ب ئكم ب ن ي ا م عروف ا و اتب ع س ب يل م ن أ ن اب إ ل ي ثم إ ل ي م رج هم ا ف ي الد ب م ا كنتم و ص اح (41) ت عم لون
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.”
Firman Allah Swt, ينا اال نسن بولديه Dan kami perintahkan kepada“ ووص
manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu bapaknya”. Dua ayat di atas
merupakan selingan di antara wasiat luqman. Namun ada yang mengatakan bahwa
sesungguhnya ini termasuk wasiat yang disampaikan oleh luqman kepada
anaknya yang Allah Swt beritakan. Maksudnya adalah luqman berkata kepada
anaknya, “janganlah kamu menyekutukan Allah Swt dan janganlah kamu taat
kepada kedua orangtuamu dalam hal berbuat syirik. Sebab Allah Swt telah
mewasiatkan taat kepada kedua orangtua selama hal-hal tersebut tidak ada
kaitannya dengan kesyirikan dan kemaksiatan kepada Allah Swt.”
21 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: lentera hati, 2002) vol. 3, h. 728.
34
Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah ketika Luqman
berkata kepada anaknya, kami berfirman kepada luqman lewat hikmah yang kami
berikan kepadanya, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
kedua orang tua ibu bapaknya.” Maksudnya adalah kami firmankan kepada
Luqman, “bersyukurlah kepada Allah”, dan kami firmankan kepadanya juga,”dan
kami perintahkan kepada manusia”.
Semua pendapat ini disebutkan oleh al-Qusyairi. Akan tetapi pendapat
yang benar adalah kedua ayat ini turun pada Sa’ad ibn Abî Waqâs. Inilah pendapat
yang dipegang oleh sejumlah ahli tafsir. Taat kepada kedua ibu bapak tidak
berlaku dalam hal melakukan dosa besar dan tidak berlaku dalam hal
meninggalkan kewajiban yang bersifat individual. Tetap wajib taat dalam hal-hal
mubah (dibolehkan) dan lebih baik tetap taat dalam hal meninggalkan ketaatan
yang bersifat sunnah. Misalkan, jihad kifayah dan memperkenankan panggilan ibu
dalam salat yang masih bisa diulang, karena khawatir ada sesuatu yang mungkin
dapat mencelakai ibu dan hal-hal lain yang membolehkan shalat dihentikan.
Namun Hasan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Dia berkata, “jika
ibunya melarangnya untuk hadir salat isya berjamaah karena kasihan, maka
perintah itu tidak boleh ditaati”.22
Ketika Allah Swt memberikan keistimewaan kepada ibu dengan suatu
derajat, Allah Swt menyebutkan kehamilan dan dengan derajat lain, Allah Swt
menyebutkan prihal menyusui. Dengan demikian, ibu mendapatkan tiga derajat
22 Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 153 –
154.
35
sementara ayah hanya satu derajat. Firman Allah Swt, على وهن وهنا “Dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah,” maksudnya adalah, ibu mengandungnya
di dalam perut, sementara dia sendiri hari demi hari kian melemah. Ada yang
berpendapat bahwa maksudnya adalah kondisi (fisik) perempuan itu lemah,
kemudian di buat lemah lagi oleh kehamilan. Jumhur Ulama membaca , وفصىله ,
sedangkan Hasan dan Ya’qub membacanya dengan lafaz 23.وفصله Kedua qirâ’ah
tersebut ada dalam bahasa Arab. Maknanya, dan penyapihannya pada waktu habis
masa dua tahun. Para Ulama sepakat tentang dua tahun masa menyusui bahwa ini
terkait dengan hukum dan nafkah. Sedangkan terkait pengharaman karena ASI,
maka suatu kelompok membatasi satu tahun, tidak lebih dan tidak kurang. Firman
Allah Swt, أن ٱشكرلى “Bersyukurlah kepada-Ku”. أن di sini berada pada posisi
nasbah, menurut pendapat al-Zajuj. Maknanya adalah kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, bersyukurlah kepada kedua
orang tuamu.24
Ayat ini dan ayat sebelumnya turun pada Sa’ad ibn Abî Waqâs, Tepatnya
ketika dia telah memeluk agama Islam dan ibunya yang bernama Hamnah binti
Sufyân ibn Umayyah. Firman Allah Swt: يا معروفا وصاحبهما فى ٱلدن “Dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik.” Lafaz معروفا adalah na’at kepada masdar yang
tidak disebutkan, yaitu pergaulan yang baik. Ayat ini merupakan dalil
menyambung hubungan dengan kedua orang tua yang kafir dengan memberikan
harta, jika keduanya fakir, mengucapkan kata-kata yang santun dan mengajak
23 Qira’ah ini disebutkan oleh Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz (13/14). 24 Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 155
– 156.
36
keduanya kepada Islam dengan lembut. Firman Allah Swt: وٱتبع سبيل من أناب ٳلى
“Dan ikutilah jalan orang-orang yang bertobat kepada-Ku”, adalah wasiat kepada
seluruh alam. Seakan-akan yang diperintahkan adalah manusia. “Anâba” أناب
artinya condong dan kembali kepada sesuatu, inilah jalan para Nabi dan orang-
orang shalih.25
اك ل تشر ك ب ي م ا ل يس ل ك ب ه ع لم ف ال تط عه يه حسن ا و إ ن ج اه د نس ان ب و ال د ن ا اإل ا و و صي م عكم ف أن ب ئ تم ت عم لون إ ل ي م رج (8) كم ب م ا كن
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku
dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Kata حسنا mencakup “segala sesuatu yang menggembirakan dan
disenangi”. Kata “hasanah” digunakan untuk menggambarkan apa yang
menggembirakan manusia akibat perolehan nikmat, menyangkut jiwa, jasmani
dan keadaannya. Demikian dirumuskan oleh pakar kosa kata al-Qur’an, al-Râghib
al-Asfahânî. Bakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua adalah bersikap
sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat
kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap anak. Termasuk
dalam makna bakti adalah mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan
wajar sesuai kemampuan anak, yang dimaksud dengan ماليس به علم itu adalah tidak
ada pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya. Tiadanya pengetahuan berarti
tidak adanya obyek yang diketahui. Ini berarti tidak terwujudnya sesuatu yang
dapat dipersekutukan dengan Allah Swt. Di sisi lain, kalau sesuatu yang tidak
25 Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al Qurthubi, h. 157.
37
diketahui persoalannya boleh atau tidak dilarang, maka tentu lebih terlarang lagi
apabila telah terbukti adanya larangan atasnya. Bukti-bukti keesaan Allah Swt dan
tiada sekutu bagi-Nya terlalu banyak, sehingga penggalan ayat ini merupakan
penegasan tentang larangan mengikuti siapapun walau kedua orang tua yang
memaksa untuk mempersekutukan Allah Swt.26
Ibn Abbas berkata ayat ini diturunkan untuk Iyas ibn Abi Rabî’ah saudara
dari Abu jahal. Dari Ibn Abbas juga dikatakan bahwa ayat ini turun untuk seluruh
umat yang tidak sabar dengan cobaan yang diberikan oleh Allah Swt, حسنا dengan
dibaca ḏammah huruf ha’ dan dibaca sukun huruf sin. Abu Raja’ dan Abu al
Aliyah serta adh – Dhahhak membaca dengan fathah huruf ha’ dan sin al Jahdari
membacanya, ٳحسنا dibaca sebagai mashdar maknanya menjadi, kami wajibkan
kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. ٳلى مرجعكم “Hanya
kepada-Ku-lah kembalimu”. Ini merupakan ancaman untuk orang yang menaati
kedua orang tua tetapi mengajak kepada kekufuran.27
ا ان ن ي أ ن أخر ج و ق د خ ل ت القرون م ن ق بل ي و هم ا أ ت ع د يه أف ل كم و الذ ي ق ال ل و ال د ا إ ال أ س اط ير األول ين ي ست غ يث ان الله و ي ل ك آم ن إ ن و عد الله ح ق ف ي (41) قول م ا ه ذ
ن و اإلنس إ ن هم ك ان م م ن الج ن ق بل ه ل ت م م الق ول ف ي أم م ق د خ وا أول ئ ك الذ ين ح ق ع ل يه ر ين خ اس
(48)
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi
kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
26 Shihab, M. Quraish, Tafsir al Mishbah: pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: lentera hati, 2002), cet I, h. 446-447. 27 Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, h. 836.
38
kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah!
Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak
lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka". Mereka Itulah
orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama
umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Ahqaf;
17-18)
Firman Allah Swt: لديه أف لكما أتعداننى أن أخرج وٱلذى قال لو Dan orang yang
berkata kepada kedua orang tuanya: ‘Cis’ bagi kamu keduanya, apakah kamu
keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan’,” yakni aku
akan dibangkitkan, وقد خلت ٱلقرون من قبلى “padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku?”. Qira’ah Nafi’, Hafsh dan yang lainnya adalah: أف yakni
dengan kasrah lagi bertanwin huruf fa’-nya. Sementara Ibn Katsir, Ibn
Muhaishin, Ibn Amir dan al Mufadḏal dari Ashim membaca firman Allah Swt itu
dengan fathah dan tanwin. Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah Swt
itu dengan kasrah tanpa tanwin (uffi). Ibn Abbas, as-Suddi, Abu al-Aliyah dan
mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan tentang Abdullah ibn Abî bakr
yang diseru oleh kedua orang tuanya untuk memeluk agama Islam, kemudian dia
memberikan jawaban kepada keduanya sesuai dengan apa yang diberitahukan
Allah Swt, Qatadah dan al-Suddi juga mengatakan bahwa sosok tersebut adalah
‘Abdur al-rahman ibn Abî Bakr sebelum memeluk agama Islam. Al-Hasan dan
Qatadah juga mengatakan bahwa ayat di atas merupakan sifat bagi seorang hamba
yang kafir dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Al-Zujaj berkata, “bagaimana
mungkin ayat tersebut diturunkan tentang Abdurrahman sebelum memeluk agama
Islam, sementara Allah Swt berfirman: “mereka itulah orang-orang yang telah
pasti ketetapan (adzab) atas mereka bersama umat-umat”, yakni siksaan, dimana
39
di antaranya adalah ketiadaan iman. Sedangkan Abdurrahman termasuk kaum
mukminin yang mulia.
Dengan demikian, pendapat yang sahih adalah pendapat yang menyatakan
bahwa ayat tersebut diturunkan tentang seorang hamba yang kafir lagi durhaka
kepada kedua orangtuanya”. قد خلت “yang telah berlalu”, yakni yang telah berlalu
dan telah lewat, نس ن ٱلجن وٱل sebelum mereka dari jin dan manusia,” yang“ من قبلهم م
kafir, ٳنهم “sesungguhnya” yakni ummat-ummat yang kafir, سين adalah“ كانواخ
orang-orang yang merugi,” amal perbuatannya. Maksudnya, musnahlah apa yang
diupayakannya, dan mereka tidak mendapatkan surga.28
Dari penjelasan tafsir di atas penulis bisa menyimpulkan bahwa seorang
anak jangan mengecewakan atau menyakiti hati kedua orang tua dengan kata-kata
yang tidak mengenakan di dengar seperti yang di gambarkan ayat di atas yaitu
berkata ‘cis’. Karena orang tua adalah orang yang bersedia mencurahkan
sepanjang masa. Hal itu meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.
D. Kedudukan berbuat baik pada orang tua
Birr al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua menempati
kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa alasan yang
membuktikan hal tersebut, antara lain:
Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah Swt di dalam al-
Qur’an langsung setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya, semata-mata atau
28 Al-Qurtubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurtubi, h. 510 - 515.
40
sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah Swt berfirman dalam surah al-
Baqarah ayat 83:
“Dan ingatlah ketika kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu: Janganlah kamu
menyembah selain Allah Swt., dan berbuat baiklah kepada ibu bapak... (QS. al-
Baqarah, 2 : 83)29.
“Sembahlah olehmu Allah Swt, janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu...” (QS. an-Nisa’, 4 :
36)30.
Allah Swt mewajibkan umat manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak.
Allah Swt berfirman: “Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya
berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, ibunya telah mengandungnya sampai
menyapinya adalah tiga puluh bulan.” (QS. al-Ahqaf, 46 : 15)31.
Rasulullah Saw meletakkan birr al-Wâlidain sebagai amalan kedua terbaik
sesudah salat tepat pada waktunya dan lebih diutamakan dari pada jihad dan
hijrah.
Sudah seharusnya kedua orang tua mendapatkan perlakuan yang baik dari
anaknya sebagaimana mereka memperlakukan anaknya dari kecil hingga dewasa
dengan baik. Islam memandang bagian ini lebih utama (didahulukan dari pada
jihad dan hijrah). Dalam hadis diterangkan “seorang laki-laki datang kepada Nabi
Saw dan meminta ijin untuk berjihad. Rasulullah Saw bertanya kepadanya:
“apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab: “iya” Rasulullah Saw
bersabda: “berjihadlah kepada keduanya (berbakti kepada mereka).
Berdasarkan hadis tersebut sudah jelas sekali bahwasanya begitu
pentingnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua, berusaha memenuhi
29 Drs. H. yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlak, (LPPI UMY Yogyakarta, Pustaka:
Pelajar Offset, 2002), h. 48. 30 Hamid, KH. A. Abdul, Pedoman Da’wah, (menara kudus, 1977), h. 130. 31 Hamid, Abdul, Pedoman Da’wah, h. 131.
41
tuntutan mereka, dan memberi nafkah kepada mereka sesuai dengan
kemampuannya. Namun banyak yang belum memahami apa yang diperintahkan
oleh al-Quran dan hadis, untuk memaputih atau berbuat baik kepada kedua orang
tua.
42
BAB III
PEMAHAMAN HADIS TENTANG BIRR AL-WÂLIDAIN
DALAM BINGKAI AL-QUR’AN
A. Kajian Matan hadis birr al-Wâlidain
Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahas Arab متن artinya
punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras.1 Matan menurut
ilmu hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad Saw,
yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadis adalah isi hadis.
Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh
muhaddisin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap kritik
sanad hadis.2
Dalam menggunakan hadis sebagai hujjah haruslah diteliti terlebih
dulu dari segi sanad maupun matannya. Tidak ada jaminan, jika sanad
hadis sahih, maka demikian juga redaksi matannya. Kesahihan matan tidak
pasti berbanding lurus dengan kesahihan sanad. Pada kesempatan ini,
penulis hanya akan melakukan kritik matan dengan tema hadis Birr al-
Wâlidain dalam kata afdalul a’mal riwayat Muslim.
1 Ibn Munzir, Lisan al-Arab, (dar al-Ma’arif), juz III, h. 434-435. 2 Bustamin, M.Isa, metodologi kritik hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.
59.
43
ث ن ا ج ر ير، ع ن الح س ن بن عب يد الله ، ع ن أ ب ي ب ة ، ح د ي ان بن أ ب ي ش ث ن ا عثم ح د، ع ن ع بد الله ، ع ن النب ي ص لى الله ع ل يه و س لم ق ب ان ي : ع مر و الشي أ فض ل »ال
ين ة ل و قت ه ا، و ب ر الو ال د 2«األ عم ال أ و الع م ل الصال
“menceritakan kepada kami Ustman Ibn Abi Syaibah,
menceritakan kepada kami Jarir dari al-Hasan Ibn ‘Ubaidillah
dari Abi ‘Amr As-Syaibani dari ‘Abdullah dari Rasulullah Saw,
sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda keutamaan amal
yaitu mengerjakan shalat tepat waktu dan Birr Al-Walidain”
Dalam riwayat Malik ibn Maghlul: “amalan apa yang paling utama
(afdalul a’mal)” begitu juga pada sebagian besar riwayat perawi lainnya,
seperti yang disampaikan al-Hafiz dalam al-Fath. Seperti itu juga
riwayatnya pada muslim dari Abu Amr al-Syaibani. Beliau mempunyai
riwayat lain dengan lafal yang berbeda pada Muslîm, yaitu: “amal-amalan
apa yang paling mendekatkan kesurga?” dan menggunakan “amalan apa
yang paling disukai oleh Allah Swt?”. dalam hasil takhrij yang ada pun
(meskipun hanya melalui riwayat Abdullâh ibn Mas’ûd saja) sudah
ditemukan redaksi yang berbeda dalam matannya.
Ada ulama yang mengatakan bahwa ungkapan: “paling utama”
dalam hadis maksudnya adalah yang paling utama secara mutlak. Ada juga
ulama yang menyatakan bahwa maksudnya adalah: “di antara amalan yang
paling utama”, yakni dengan membuat kalimat “di antara”.4
3 Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslim), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, kitab al-Iman, bab Bayân Kaun al-
Iman Billahi Ta’ala Afdol al-A’mal. Juz 1, No hadis 85, h. 90.
4 Al-Nawawi, sahih Muslîm bi syarah al-Nawawi, kitab al-Iman, bab Bayânu kaun al-
Iman billah ta’ala afdal al ‘Amal, (Daar El Hadits, 2001), juz 1, h. 353.
44
Para ulama berbeda pendapat tentang ungkapan: “salat di dalam
waktunya”, apakah mengisyaratkan bahwa segera melakukan salat di awal
waktu lebih utama dari pada mngundur waktunya, atau hanya menunjukan
perintah melakukan salat di dalam waktu. Ibn batthal sependapat dengan
yang pertama, yakni mengisyaratkan bahwa salat di awal waktu itu lebih
utama.5
Dalam hadis Abu Hurairah dikatakan kalau amalan yang paling
utama adalah iman kepada Allah Swt, dan haji. Dalam hadisnya Abu Dzar
yang dimaksud adalah iman dan jihad. Hadis ini dan hadis-hadis serupa
yang jawabannya Rasulullah Saw, berbeda-beda dalam menjawab
pertanyaan yang sama yakni pertanyaan “amal apa yag paling utama”,
menimbulkan polemik hingga menjadi perhatian banyak ahli penelitian
para ulama tentang perbedaan jawaban dari pertanyaan amal apa yang
paling utama, bahwa bisa jadi perbedaan itu sesuai dengan perbedaan para
penanya dan keadaannya sebab Rasulullah Saw tahu apa yang di perlukan
mereka, atau apa yang lebih senang mereka lakukan atau bahkan dengan
apa yang lebih cocok dengan mereka. Bisa juga perbedaan itu sesuai
dengan waktu, yakni amal ini lebih utama dilakukan pada saat itu daripada
yang lainnya.
5 Al-Nawawi, sahih Muslîm bi al-syarah al Nawawi, h. 354.
45
Kemudian penulis akan mengkritik matan dengan menggunakan
kaidah-kaidah berikut:
1. Pendekatan hadis dengan al Qur’an
Dari matan hadis di atas dapat dipahami bahwasanya ada tiga
amalan yang paling utama yakni salat tepat pada waktunya, berbakti
kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah Swt.
Al-Tabarî berkata, “kenapa Rasulullah Saw hanya menyebutkan
tiga perkara ini? Karena, tiga perkara ini merupakan poros dari ketaatan-
ketaatan lainnya. Sebab, orang yang menyia-nyiakan salat yang
diwajibkan hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan yang bisa
diterima, padahal begitu ringan kerjanya namun besar keutamaannya,
maka untuk ketaatan-ketaatan lain, orang ini lebih menyia-nyiakan lagi.
Orang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua padahal begitu banyak
hak mereka atasnya, maka kepada orang lain lebih tidak berbakti lagi.
Begitu juga orang yang meninggalkan jihad melawan orang-orang kafir
padahal mereka begitu memusuhi agama maka berjihad melawan yang
bukan kafir seperti orang-orang fasik, ia lebih meninggalkan lagi.”
Dengan demikian, sudah jelas bahwa siapa yang memelihara tiga
perkara ini maka untuk perkara lainnya, ia lebih memelihara lagi dan siapa
yang menyia-nyiakannya maka untuk yang lainnya, ia lebih menyia-
nyiakan lagi. Tidak diragukan lagi bahwa memelihara salat di awal waktu
itu lebih besar faidahnya, sebab mengandung beberapa hal yang sangat
46
baik, seperti segera melakukan amal, segera melakukan ibadah kepada
Allah Swt. seperti firman-Nya yang artinya sebagai berikut:
“ dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, mereka itulah orang-
orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surge firdaus.
Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Mukminun: 9-11)
2. Pendekatan dengan hadis lainnya
Ada beberapa hadis yang mempunyai matan yang semakna dengan
hadis yang di teliti, yaitu menggunakan lafadz أفضل األعمال atau العمل أي
أ ي dan أي األعمال أقرب الي الجنة serta menggunakan term yang berbeda أفضل
Adapun hadis-hadis yang lafadhnya semakna adalah .األعمال أحب الي الله
hadis riwayat al-Bukhari no. 496, hadis riwayat Muslim no. 120, 121, 122.
Termasuk berbakti kepada kedua orang tua juga, berbuat baik kepada
teman-teman mereka, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis
sahih dari Abdullah ibn umar, secara marfu’: “sesungguhnya termasuk
perbuatan bakti kepada kedua orang tua yang paling utama adalah
seseorang menyambung silaturahim dengan teman-teman bapaknya”. (HR.
Muslim)
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, dan fakta sejarah
Sejak jaman Nabi Saw dan para sahabat, salat dan birr al Walidain
sudah diterapkan. Begitu pentingnya kedua persoalan tersebut. Sejarah
tersebut masih berlangsung pada masa tabiin, atba al-tabiin hingga
sekarang.
47
Salat didahulukan daripada berbakti kepada kedua orang tua, dan
berbakti kepada kedua orang tua didahulukan daripada jihad di jalan Allah
karena salat adalah hak Allah Swt yang merupakan kewajiban setiap umat
Islam selama hidupnya, sedangkan berbakti kepada kedua orang tua itu
kewajiban setiap orang selama kedua orang tuanya masih hidup dan ada
beberapa hal yang juga harus dilakukan setelah mereka meninggal.
Sementara jihad di jalan Allah apabila diartikan dengan perang, bukan
kewajiban seperti kewajiban salat dan berbakti kepada kedua orang tua.
4. Susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian
Yang dimaksudkan adalah matan suatu hadis tidak janggal dan
mengindikasikan bahwa matan tersebut benar-benar sabda Nabi Saw.
berkenaan dengan sabda Nabi tentang amalan yang paling utama adalah
diawalinya dengan lafaz أفضل األعما ل yang berarti amalan yang paling
utama. Salat adalah hal yang paling di utamakan, dilanjutkan dengan birr
al-Wâlidain yang disusul dengan jihad dijalan Allah Swt.
B. Pemahaman Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan benar, jauh dari
penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran, maka haruslah memahaminya
sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yaitu dengan kerangka bimbingan Illahi
yang pasti benarnya. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-
An’am ayat 115 “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhan mu, dalam
kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah
kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
48
Jelaslah bahwa al-Qur’an adalah “ruh” dari eksistensi Islam, dan
merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang paling
pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan
Islam. Sedangkan Sunnah ialah penjelas terinci tentang isa konstitusi
tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya
secara praktis. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan
“pemberi penjelasan” bertentangan dengan “apa yang hendak dijelaskan”
itu sendiri. Atau “cabang” berlawanan dengan “pokok”. Maka, penjelasan
yang bersumber dari Nabi Saw, selalu dan senantiasa berkisar di seputar
al-Qur’an, dan tidak mungkin akan melanggarnya.6
Dalam hal tersebut penulis telah meneliti matan hadis tentang
berbakti kepada kedua orang tua yang di riwayatkan oleh beberapa ahli
hadis salah satunya adalah sahih Muslim tidak bertentang dengan petunjuk
al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan
tentang pentingnya birr al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua,
berbuat baik kepada mereka, bersikap baik terhadap mereka dan
melakukan apa yang membuat mereka senang. Dengan memuliakan,
menghormati, memelihara hak-hak mereka dan dengan rendah diri juga
berterimakasih kepada mereka. Sesuai firman Allah Swt sebagai berikut:
6 Yûsuf al-Qardâwî, bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terjemahan dari kaif
Nata’âmal ma’a Sunnah Nabawiyah, h. 92-93.
49
ى ر بك أ ال ت عبدوا إ ال و ق ض ين إ حس انا ا إ ياه و ب الو ال د دهم لغ ن ع ند ك الك ب ر أ ح أ و إ ما ي ب
ا ك ل ا ف ال ت قل لهم ا ق وال ك ر يما هم رهم ا و قل لهم ن اح )32( أف و ال ت ن ه و اخف ض ل هم ا ج الذل م ن الرحم ة و قل رب
ا ر ب ي ان ي ص غ يرا مهم ا ك م )34( ارح
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil" (QS. Al Isra’: 23-24)
Dan Rasulullah Saw bersabda:
: الو ل يد بن ث ن ا شعب ة، ق ال ث ن ا أ بو الو ل يد ، ح د : س م عت أ ب ا ح د ع ي ز ار ، أ خب ر ن ي ق ال ، ي قول: أ خب ر ن ا ب ان ي ار ، و أ وم أ ب ي د ه إ ل ى د ار -ع مر و الشي ب ه ذ ه الد ع بد -ص اح
: س أ لت النب ي ص لى الله ع ل يه و س لم : : أ ي الع م ل أ ح ب إ ل ىالل ه ، ق ال الل ه ؟ ق ال : «الصال ة ع ل ى و قت ه ا» : ثم أ ي؟ ق ال ين »ق ال : « ب ر الو ال د : ثم أ ي؟ ق ال ق ال ه اد ف ي س ب يل الله » ث ن ي ب ه ن، و ل و است ز دته ل ز اد ن ي« الج : ح د 1ق ال
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan
kepada kami Syu'bah berkata; Al Walid ibn 'Aizar telah
mengabarkan kepadaku dia berkata; saya mendengar Abu 'Amru
Asy Syaibani berkata; telah mengabarkan kepada kami pemilik
rumah ini, sambil menunjuk kerumah Abdullah dia berkata; saya
bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Amalan
apakah yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda: "Shalat tepat
pada waktunya." Dia bertanya lagi; "Kemudian apa?" beliau
menjawab: "Berbakti kepada kedua orang tua." Dia bertanya;
"Kemudian apa lagi?" beliau menjawab: "Berjuang di jalan
Allah." Abu 'Amru berkata; "Dia (Abdullah) telah menceritakan
7 Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim al-Bukhârî (selanjutnya disebut
sebagai al-Bukhâri), al-Jami’ al-Bukhâri (Sahih al-Bukhâri), Bairut: Dar al-Fikr, no. hadis 5970,
h. 2.
50
kepadaku semuanya, sekiranya aku menambahkan niscaya dia pun
akan menambahkan (amalan) tersebut kepadaku."
Pada dasarnya, setiap orang yang normal memiliki kecenderungan
untuk bersikap baik terhada orang tuanya (birr al-Wâlidain). Naruli dan
akal sehat manusia selalu mengarah demikian, sama dengan adanya orang
mencintai anaknya, berani bersusah payah dan berkorban untuk
kepentingan anaknya. Dua macam kecenderungan timbal balik ini
merupakan tanda bukti kemahabijaksanaan dan kemaha besaran Allah
Swt.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah perintah Islam. Perintah
yang wajib dilaksanakan oleh setiap anak. Karena pentingnya, Rasulullah
Saw menjadikannya sebagai salah satu amalan yang penting dan di cintai
oleh Allah Swt secara umum seorang anak diperintahkan dan diwajibkan
taat kepada kedua orang tua, baik keduanya memerintahkan dengan
sesuatu yang wajib, sunnah, ataupun mubah. Demikian pula jika orang tua
melarang dari perbuatan yang haram, makruh, ataupun yang mubah, maka
wajib menaatinya.
Lebih dari itu, kita juga wajib mendahulukan berbakti kepada
kedua orang tua daripada perbuatan wajib kifayah8 dan sunnah. Terkait hal
tersebut, para ulama telah ber-istinbath dari kisah Juraij yang hidup jauh
8 Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukalaf dan
tidak dari setiap pribadi mukalaf. Hal ini berarti bila sebagian atau beberapa orang mukalaf telah
tampil melaksanakan kewajiban itu dan telah terlaksana apa yang dituntut, maka lepaslah orang
lain dari tuntutan itu. Tetapi bila tidakseorangpun melakukannya hingga apa yang dituntut itu
terlantar, maka berdosa semuannya.
51
sebelum masa Nabi Muhammad Saw. dimana pada waktu itu Juraij yang
lebih mementingkan salat sunnah daripada memenuhi panggilan ibunya.
Sehingga ibunya marah dan berdoa untuk mencelakainnya dan Allah Swt,
pun mengabulkan doa buruknya itu. Ulama berkata, kisah dalam hadis ini
menunjukan bahwa semestinya dan yang benar hanyalah salat sunnah;
meneruskan shalat sunnah hukumnya tetaplah sunnah, tidak dapat beralih
status menjadi wajib, sementara memenuhi panggilan ibu hukumnya wajib
dan mendurhakainya adalah perbuatan haram. Semestinya ia bisa
mempercepat shalatnya, lalu memenuhi panggilan ibunya, kemudian
kembali lagi melaksanakan shalatnya.9
Kisah Juraij sendiri diceritakan oleh Nabi Saw ketika sedang
menjelaskan tentang tiga orang yang bisa berbicara sewaktu kecil, yaitu:
Isa ibn Maryam (yakni Nabi Isa as) yang berbicara ketika masih bayi,
seorang bayi yang akan dilemparkan ke dalam api bersama ibunya pada
kisah Asy-hâbul Ukhdûd yang tercantum dalam surat al-Buruj dan bayi
yang ada pada kisah Juraij. Dan para ulama ber-istinbath dengan hadis
kisah Juraij tersebut bahwa shalat sunnah harus dibatalkan untuk
memenuhi panggilan ibu, Karena panggilan ibu adalah wajib untuk
dipenuhi.10
9 An-Nawawi, Imam, Syarah Sahih Muslîm terjemahan dari kitab Syarah Sahih Muslîm,
(Jakarta: Darus Sunnah, 2014), cet. 2 h. 584. 10 Yazid ibn Abdul Qadir jawas, Birrul Wâlidain: berbakti kepada kedua orang tua,
(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i 2015), h. 76.
52
Berikut ini lah hadis kisah Juraij tersebut:
، ع ن أ ب ي ل يد بن ه ال ث ن ا حم ان بن المغ ير ة ، ح د ث ن ا سل يم ب ان بن ف روخ ، ح د ي ث ن ا ش ح د: ك ، ع ن أ ب ي هر ي ر ة ، أ نه ق ال يد: ر اف ع اء ت أمه. ق ال حم ان جر يج ي ت ع بد ف ي ص وم ع ة ، ف ج
ين د ع ف ة ر سول الله ص لى الله ع ل يه و س لم أمه ح ف ة أ ب ي هر ي ر ة ل ص ته، ف و ص ف ل ن ا أ بو ر اف ع ص ب ه ا، ثم ا ف وق ح اج ر ف ع ت ر أس ه ا إ ل يه ت دعوه، ف ق ال ت: ي ا جر يج أ ن ا أمك ك يف ج ع ل ت ك فه
ت ه، ف ر ج ع ت، ثم ع اد ت ت ي، ف اخت ار ص ال : اللهم أم ي و ص ال ل من ي ف ص اد ف ته يص ل ي، ف ق ال ك ت ه، ف ي الثان ي ة ، ف ق ال ت: ي ا جر يج أ ن ا أمك ف ت ي، ف اخت ار ص ال : اللهم أم ي و ص ال ل من ي، ق ال ك
ت ل م ن ي، اللهم ف ال تم لمته، ف أ ب ى أ ن يك ا جر يج و هو ابن ي و إ ن ي ك ه ح تى ف ق ال ت: اللهم إ ن ه ذ : و ل و د ع ت ع ل ي . ق ال : و ك ان ر اع ي ض أن ي أو ي إ ل ى تر ي ه الموم س ات ه أ ن ي فت ن ل فت ن . ق ال
م ا، ف ق يل ل ت ف و ل د ت غال : ف خ ر ج ت امر أ ة م ن الق ري ة ف و ق ع ع ل ي ه ا الراع ي، ف ح م د ير ه ، ق ال ير ، ق ال ا الد ب ه ذ ا؟ ق ال ت: م ن ص اح م، ف ن اد وه ل ه ا: م ا ه ذ يه ه م و م س اح ف ج اءوا ب فئوس
: ف أ خ ذوا ي هد مون د ي ر ه، ف ل ما ر أ ى ذ ل ك ن ز ل إ ل يه م، ل مهم، ق ال ف ص اد فوه يص ل ي، ف ل م يك : أ ب ي ر اع ي ف ق الوا ل ه: س ل ه ذ ه ، ق ال ف ت ب سم ، ثم م س ح ر أس الصب ي ؟ ق ال : م ن أ بوك ف ق ال
، : ال ن د ير ك ب الذه ب و الف ضة ، ق ال من ا م نه ق الوا: ن بن ي م ا ه د ، ف ل ما س م عوا ذ ل ك م الضأن ه ، ثم ع ال 44و ل ك ن أ ع يدوه ت ر اب ا ك م ا ك ان
“Syaiban ibn Farrukh telah memberitahukan kepada kami, Sulaiman ibn
Al-Mughirah telah memberitahukan kepada kami, sulaiman ibn Hilal telah
memberitahukan kepada kami, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah, bahwa
ia berkata, Juraij sedang shalat di sebuah tempat peribadatan, lalu
datanglah ibunya memanggil. Humaid berkata, “Abu Rafi’ menjelaskan
kepadaku bagaimana Abu Hurairah menirukan gaya ibu Juraij ketika
memanggil anaknya itu, sebagaimana yang dia lihat dari Rasulullah Saw,
yaitu dengan meletakkan tapak tangan di atas alis matanya dan
mengangkat kepala kea rah Juaraij untuk memanggil. Saat itu Juraij
berkata kepada dirinya sendiri dengan penuh kebimbangan, Ya Allah!
Ibuku atau Shalatku. Kemudian Juraij memilih meneruskan Shalatnya.
Maka pulanglah perempuan tersebut. Tidak berapa lama perempuan itu
kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil, Hai Juraij, aku Ibumu,
bicaralah denganku! Kembali Juraij bertanya pada dirinya sendiri, ya
11 Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslim), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, juz 4 , No. hadis 2550, h. 1976.
53
Allah! Ibuku atukah shalatku. Lagi-lagi dia memilih meneruskan
shalatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata, ya Allah!
Sesungguhnya Juraij ini adalah anakku, aku sudah memanggilnya
berulang kali, namun ternyata dia enggan menjawabku. Ya Allah!
Janganlah Engkau mematikan dia sebelum Engkau perlihatkan kepadanya
perempuan-perempuan pelacur. Perawi berkata, seandainya sang ibu itu
berdoa agar Juraij tertimpa fitnah, niscaya ia akan mendapatkan fitnah
yang besar. Perawi berkata, suatu hari seorang penggembala kambing
berteduh di tempat peribadatan Juraij. Lalu muncullah seorang
perempuan dari sebuah Desa kemudian berzinalah pengembala kambing
itu dengannya, sehingga hamil dan melahirkan seorang anak laki-laki.
Ketika ditanya kepadanya (perempuan pezina), Anak dari siapakah ini?
Perempuan itu menjawab, anak dari penghuni peribadatan ini. Maka
orang-orang berbondong-bondong mendatangi Juraij. Mereka membawa
kapak dan linggis. Mereka berteriak-teriak memanggil Juraij dan mereka
menemukan Juraij sedang melakukan shalat. Tentu saja Juraij tidak
menjawab panggilan mereka. Akhirnya mulailah mereka merobohkan
tempat ibadahnya. Melihat hal itu Juraij keluar menemui mereka. Mereka
bertanya kepada Juraij, Tanyakan kepada perempuan ini! Juraij-pun
tersenyum, lalu mengusap kepala anak tersebut dan bertanya, siapa
bapakmu? Anak itu tiba-tiba menjawab, Bapakku adalah si penggembala
kambing. Mendengar jawaban anak bayi tersebut, mereka semua berkata,
kami akan membangun kembali tempat ibadahmu yang telah kami
robohkan ini dengan emas dan perak. Juraij menanggapi, tidak usah.
Buatlah seperti semula dari tanah. Kemudian Juraij meninggalkannya.”
Kemudian berbakti dan merawat kedua orang tua juga termasuk
jihad di jalan Allah Swt dalam hal ini, Imam Ibn Hazm menjelaskan:
“tidak dibolehkan berjihad, melainkan dengan izin dari kedua orang tua.
Kecuali apabila musuh sudah berada di tengah-tengah kaum muslimin
maka tidak perlu lagi meminta izin”.
Imam Ibn Qudamah pada salah satu kitabnya, al-Mughni
mengatakan bahwa izin itu harus didahulukan dari pada jihad, kecuali bila
sudah jelas wajibnya jihad dan musuh berada di tengah-tengah kita, maka
jihad lebih di dahulukan. Maka berbakti kepada kedua orang tua harus
didahulukan.
Ibn at-Tin berkata, “mengedepankan berbakti kepada kedua orang
tua daripada jihad memiliki dua alasan. Pertama, manfaat perbuatan ini
dapat dirasakan orang lain. Kedua, pelakunya menganggap perbuatannya
sebagai balasan atas kebaikan kedua orang tuanya. Seakan-akan dia
menganggap perbuatan lain lebih baik darinya, maka disini ditandaskan
keutamaan berbakti kepada kedua orang tua”.12
12 Ibn Hajar al-Asqalanî, Fathul Baari: penjelasan kitab Shahih al-Bukhâri (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 5.
54
Menurut Ahlul al-‘ilm, barang siapa yang mempunyai ayah ibu
yang keduanya muslim, dia tidak boleh berjihad secara sukarela tanpa
izinnya. Dan umumnya ulama sepakat, izin kedua orang tua dalam jihad
merupakan syaratnya.13
Seorang anak jika sudah bercukupan dalam hidupnya dan tidak
memberi sedekah dari sebagian hartanya kepada kedua orang tuanya akan
mendapatkan kerugian. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra:
: م ن أ در ك ر غ م أ ن فه، ثم ر غ م أ ن فه، ثم ر غ م أ ن فه ق يل : م ن؟ ي ا ر سول الله ق ال نة ا أ و ك ل يه م ا، ثم ل م ي دخل الج هم الك ب ر ، أ ح د يه ع ند 44و ال د
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda, “Rugi besar dia. Rugi besar dia. Rugi besar dia.”
Ditanyakan, “siapa dia ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “orang
yang pada usia dewasa mempunyai kedua orang tua yang masih
hidup, baik salah satu atau keduanya, tapi kemudian orang
tersebut tidak masuk surga.”
Pakar bahasa mengatakan, lafaz رغم (celaka) berarti menjadi
rendah atau hina. Dan dikatakan juga artinya adalah dibenci dan
direndahkan. Huruf Ghain-nya boleh dibaca dengan harakat fathah atau
kasrah, رغم atau رغم. Sedangkan lafazh غم huruf ra’-nya boleh dibaca الر
dengan harakat dhammah, fathah atupun kasrah, غم غم, الر غم, الر Asal .الر
makna kata غم ini adalah, menempelkan hidung dengan debu yang الر
13 Lihat kitab al-Mughny jilid 9 h. 190, Bidâyatul Mujtahid jilid 1 h. 368, (Ensiklopedia
Ijmak, Sa’ad Abu Habieb h. 287). 14 Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslîm), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, juz 4 , No. hadis 2555, h. 1978.
55
tercampur dengan batu krikil. Ada juga yang mengatakan bahwa arti kata
غم ini adalah, setiap apa saja yang mengenai hidung lalu menyakitinya.15 الر
Hadis di atas menganjurkan untuk berbakti kepada kedua orang tua
dan pahalanya sangat besar. Artinya adalah, berbakti kepada kedua orang
tua saat keduanya sudah tua renta dan tak berdaya dengan cara melayani,
merawat, memberi nafkah atau yang lainnya merupakan faktor utama
penyebab masuk surga. Barang siapa yang tidak melakukan kebaikan ini
maka luput darinya penyebab masuk surga dan dia telah merugi. Ijmak
menyatakan seorang anak yang bercukupan wajib memberi nafkah kedua
orang tuanya yang kesulitan dan tidak mempunyai pekerjaan maupun
harta.16
C. Analisis ayat tentang Baik pada orang tua
Apabila kedua orang tua sudah berusia lanjut, sikap dan perasaan
mereka cepat berubah, seperti menjadi mudah tersinggung, suka marah
dan cepat bersedih hati, karena faktor usia mereka. Maka kepada anak-
anak mereka diperintahkan agar melihat perubahan perilaku kedua orang
tua yang sudah tua renta itu sebagai suatu yang lumrah dan mesti diterima
dengan selalu menampakkan rasa kasih sayang yang tulus sebagai buah
dari keluhuran budi seorang mukmin yang bertaqwa.
15 Al-Nawawi, Imam, Syarah Sahih Muslîm, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), jil. 11,
h. 589-590. 16 Lihat kitab al-Muhalla dalam masalah no.1933 (dalam hal ini pengarang al-Muhalla
manukil dari sementara ulam), Maratibul Ijmak dalam masalah no.79, al-Mughny jilid 8 h. 184,
188 (dalam hal ini pengarang al-Mughny menukil dari Ibn Mundzir), Nailul Authar jilid 6 h. 322
(dalam hal ini pengarang Nailul Autar menukil dari al-Mahdy).
56
Dalam usia lanjut itu, kedua orang tua sangat mengharapkan kasih
sayang dari anak-anak mereka yang sudah mereka besarkan sejak kecil.
Maka anak-anak mereka dituntut patuh dan senantiasa menyayangi kedua
orang tua sebagaimana kasih sayang kedua orang tua mereka ketika
mereka masih kecil, dan hendaknya seorang anak senantiasa mengenang
dan mengingat kembali proses kehidupannya sejak dalam kandungan, lahir
dan sampai seperti sekarang ini, di mana perjalanan hidup anak sangat
bergantung kepada kedua orang tua. Apabila di saat anak masih bayi, pada
saat itu mereka merawat anaknya dengan penuh rasa cinta kasih dan
perhatian. Mereka merasakan bahagia ketika si anak merasa senang dan
menjadi gelisah apa bila anaknya dalam keadaan sakit atau dalam keadaan
bahaya.
Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi
nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang sudah berusia lanjut.
Namun Rasulullah Saw menjelaskan bahwa keadaan kedua orang tua yang
berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan
pahala dari Allah Swt dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga.
Oleh Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan
kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabadikan hak-hak orang
tuanya karena sebab itu dia tidak masuk surga.
Orang tua boleh mengambil sesuatu dari harta anaknya tanpa izin.
Kalau memberi (hibah) kepada anaknya, mereka boleh menariknya
kembali meskipun tanpa alasan apapun. Perintah kedua orang tua dan
57
larangannya wajib di taati oleh seorang anak selain perintah yang berupa
kemaksiatan. Terjadi ijmak ulama bahwa seorang anak yang berkecukupan
wajib memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang kesulitan dan
tidak mempunyai pekerjaan maupun harta.17
Rasulullah Saw meletakkan birr al-Wâlidain ini sebagai amalan
nomor dua terbaik setelah salat tepat waktu dan didahulukan sebelum
jihad, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
ث ن ا ج ر ير، ع ن الح س ن بن عب يد الله ، ع ن أ ب ي ب ة ، ح د ي ان بن أ ب ي ش ث ن ا عثم ح د، ع ن ع بد الله ، ع ن ب ان ي : ع مر و الشي أ فض ل »النب ي ص لى الله ع ل يه و س لم ق ال
ين ة ل و قت ه ا، و ب ر الو ال د 48«األ عم ال أ و الع م ل الصال
“menceritakan kepada kami Ustman Ibn Abi Syaibah,
menceritakan kepada kami Jarir dari al-Hasan Ibn ‘Ubaidillah
dari Abi ‘Amr As-Syaibani dari ‘Abdullah dari Rasulullah Saw,
sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda keutamaan amal
yaitu mengerjakan shalat tepat waktu dan Birr al-Wâlidain”
Nabi Muhammad menerangkan beberapa amalan utama yang
lainnya, yaitu: Salat pada waktunya. Karena salat mempunyai ketentuan
waktu yang harus ditepati, jika waktunya habis maka tidak bisa melakukan
shalat.
17 Mabbruri Tholhah Syafi’ah AM. M Abdul Mujieb, kamus istilah fiqih, (Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus 1995), h. 255. 18 Abu Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi (selanjutnya disebut sebagai Muslîm), al-
Jami’ al-Sahih (Sahih Muslîm), Indonesia: Maktabat Dahlan, kitab al-Iman, bab Bayân Kaun al-
Iman Billahi Ta’ala Afdol al- A’mal. Juz 1, No hadis 85, h. 90.
58
Kemudia Nabi Saw bersabda lagi “Berbakti kepada kedua orang
tua”. Perbuatan berbakti kepada kedua orang tua ini merupakan hal utama
yang harus dilakukan seorang anak, jika anak tidak berbakti kepada kedua
orang tuanya. Maka dia dikategorikan sebagai anak yang durhaka.
1. Bentuk-bentuk Baik pada kedua orang tua
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk berbuat baik
kepada kedua orang tua. Bentuk-bentuk berbuat baik kepada kedua orang
tua antara lain sebagai berikut:
a. Berkata kepada kedua orang tua dengan perkataan yang lemah lembut.
Hendaknya dibedakan antara berbicara dengan kedua orang tua dan
berbicara dengan teman atau dengan yang lainnya. Berbicara dengan
perkataan yang mulia kepada kedua orang tua merupakan keharusan,
tidak boleh mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan
kedua orang tua seperti mencemooh dan mencaci maki atau melaknat
keduannya karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar dan
bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua.
b. Tawaḏu’ (rendah hati). Tidak boleh sombong, tidak boleh angkuh
denga kedua orang tua, jangan merasa tinggi hati dengan sebab sudah
meraih kesuksesan atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu
lahir seorang anak berada dalam keadaan hina dan butuh pertolongan.
Seandainya seorang anak diperintahkan untuk melaksanakan
pekerjaan yang ia anggap ringan dan merendahkannya, yang mungkin
tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatannya dan bukan sesuatu
59
yang diharamkan, wajib bagi seorang anak untuk tetap taat kepada
keduanya. Lakukanlah dengan senang hati karena hal tersebut tidak
akan menurunkan derajat seorang anak, karena yang menyuruh adalah
orang tuanya sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi seorang
anak untuk berbuat baik selagi keduanya masih diberi umur oleh Allah
Swt.
c. Memberi sedekah kepada kedua orang tua. Jika seorang anak sudah
berkecukupan dalam harta, hendaklah ia menafkahkannya pertama
kali pada kedua orang tuannya. Ada sebagian anak yang telah
berkeluarga tidak lagi menafkahkan hartanya kepada orang tuanya
karena takut pada istrinya, hal seperti ini tidak dibenarkan.
d. Mendoakan kedua orang tua. Apabila kedua orang tua telah
meninggal, maka seorang anak yang pertama kali yang harus
dilakukannya adalah meminta ampun kepada Allah Swt dengan taubat
yang benar bila seorang anak pernah berbuat durhaka kepada kedua
orang tuanya sewaktu mereka masih hidup. Selanjutnya mendoakan
kedua orang tuannya.
e. Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadis
Nabi Saw, di sebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada
seorang mu’min termasuk sodaqah, lebih utama lagi kalau
memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua.
60
2. Tatakrama terhadap kedua orang tua.
Beberapa tatakrama yang harus diperhatikan oleh seorang anak
terhadap kedua orang tuanya:
a. Jangan memanggil namanya, akan tetapi panggillah mereka dengan
panggilan yang mereka sukai dan yang membesarkan hatinya, turuti
semua perintah mereka selama yang mereka perintahkan tidak
menyimpang dari perintah Allah Swt.
b. Hadapi mereka dengan ramah dan ceria terutama jika mereka sudah
lanjut usia.
c. Beri mereka nasehat tetapi dengan cara yang santun, jika mereka tidak
menerima nasehat seorang anak, jangan membuat mereka sakit hati.
Dan temani mereka dengan baik jangan sampai lupa untuk minta doa
restu dari mereka apa yang dilaku kan oleh seorang anak.
3. Keutamaan Baik pada kedua orang tua
Berbakti kepada kedua orang tua memilik keutamaan dan ganjaran
yang besar di sisi Allah Swt. Di antara keutamaan berbakti kepada kedua
orang tua ialah:
a. Berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama. Hal
ini berdasarkan hadis Nabi Saw. yang disepakati oleh al-Bukhari dan
Muslim, dari Abu Abdirahman Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata:
: الصال ة س أ لت ر سول الله ص لى الله ع ل يه و س لم أ ي الع م ل أ فض ل؟ ق ال ين . ه اد ف ي ل و قت ه ا. ق لت: ثم أ ي؟ ق ل : و ب ر الو ال د : ا لج : ثم أ ي؟ ق ال ق ال
.س ب يل الله
61
“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. ‘Amal apakah
yang paling utama? Beliau pun menjawab: Salat pada
waktunya. Aku bertanya lagi: kemudian apa? Beliau
menjawabnya: Berbakti kepada kedua orang tua. Aku
bertanya lagi: kemudian apa? Beliau menjawab: Jihad
di jalan Allah”.
b. Berbakti kepada kedua orang tua dapat meluaskan rezeki dan
memanjangkan umur. Seperti terdapat dalam sebuah hadis yang
disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas ibn
Malik bahwa Nabi Saw. bersabda:
ه م ن أ ح ب أ ن ي بس ط ل ه ف ي ر زق ه ، و ي نس أ ل ه ف ي أ ث ر ه ، ف م ل ر ح لي ص “barang siapa suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya,
hendaklah ia menyambung silaturahmi”
Sesungguhnya, al-Qur’an dan as-Sunnah menganjurkan seorang anak
supaya menyambung silaturahim dan yang harus didahulukan adalah
bersilaturahim kepada orang tua, sebelum kepada kerabat yang
lainnya. Banyak seseorang yang justru sering berkunjung ke teman-
temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang sekali, bahkan
todak pernah. Padahal saat masih kecil selalu bersama ibu dan
bapaknya. Tetapi setelah dewasa, seakan-akan tidak pernah
berkumpul atau tidak kenal dengan kedua orang tuanya oleh Allah
Swt.
Sesulit apapun kondisinya, harus tetap diusahakan untuk
bersilaturahim kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada
kedua orang tua, akan dimudahkan rezeki dan dipanjangkan umur.
62
c. Dimudahkannya segala sesuatu. Perlu diketahui jika seseorang
memiliki kesulitan dalam hidupnya karena ia durhaka pada kedua
orang tuanya dan apabila seseorang mendapatkan kebaikan dan
kemudahan dalam perkaranya adalah karena perbuatan baik dan
baktinya kepada kedua orangtuanya. Oleh sebab itu seorang muslim
hendaknya senantiasa berbakti kepada kedua orang tua dan berusaha
merawat mereka dengan sebaik mungkin sehingga Allah Swt
berkenan menghilangkan segala kesulitan hidup yang dialaminya.
d. Memperoleh imbalan surga dan dijauhkan dari malapetaka, seorang
anak yang berbuat kejahatan atau durhaka pada orang tuanya maka
surga haram baginya dan sebaliknya mereka yang berbakti pada kedua
orang tuanya, Allah Swt menjanjikan surga bagi mereka. Tidak hanya
itu, dosa-dosa yang dilakukan seorang anak kepada kedua orang
tuanya di dunia, hukumannya tidak ia dapatkan diakhirat saja
melainkan disegerakan hukumannya di dunia. Dengan kata lain azab
akan selalu diberikan bagi mereka yang durhaka pada kedua orangtua,
sedangkan mereka yang berbakti kepada kedua orang tua senantiasa
akan dijauhkan dari malapetaka oleh Allah Swt.
63
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-Birr yang mengandung makna begitu luas sebagaimana
ditekankan oleh Rasulullah Saw, bahwasanya yang dimaksud dengan al-
Birr ialah husnul khuluq atau akhlak yang baik. Akhlak yang baik
memiliki urgensitas yang sangat penting dalam pribadi seseorang. Dan
segala perbuatan atau sifat yang positif, tidak mengandung unsur negatif
serta tidak melanggar larangan-larangan Allah Swt dan Rasul-Nya. Jadi
kata al-birr dalam hadis dan ihsan dalam qur’an itu sama makna tujuannya
yaitu melakukan kebaikan. Sebagaimana dalilnya yaitu Firman Allah Swt
dan hadis Nabi Saw. yang sudah dijelaskan diatas.
Banyak cara untuk berbakti kepada kedua orang tua yang telah
diperintahkan oleh Rasulullah Saw, diantaranya memberi nafkah kepada
kedua orang tua, mengunjungi kedua orang tua jika tidak tinggal bersama,
merawat kedua orang tua yang telah lanjut usia, dan lain sebagainya. Birr
al-Wâlidain atau berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban bagi
seorang anak. Dalam agama Islam perintah berbakti kepada kedua orang
tua di posisikan kedua setelah diperintahkannya salat, sungguh mulia
kedudukan ini.
Seorang anak yang telah berkeluarga atau sudah mempunyai
keluarga sendiri harus tetap untuk berbakti kepada kedua orang tuanya,
karena orang tua mempunyai hak kepada anaknya yaitu hak rasa kasih
sayang. Dan seorang anak jika telah memberi, membagi sebagian rezeki
64
atau hartanya kepada orang tuanya yg sudah tidak mampu lagi untuk
mencari nafkah maka tidak akan merubah kedudukannya di dunia.
B. SARAN
Hadis merupakan pedoman umat Islam, ia adalah sumber kedua
umat Islam setelah al-Qur’an, dengan peranannya hadis menjadi penting
untuk selalu diteliti, dibahas dan dikembangkan. Penelitian dan
pembahasan yang penulis lakukan hanyalah segelintir dari beribu
pembahasan dan tema hadis yang perlu dibahas dan diteliti. Dalam skripsi
ini penulis hanya memfokuskan pada hadis berbakti kepada kedua orang
tua yang masih hidup. Maka dari itu saya berharap dikemudian hari ada
penelitian lebih lanjut berkaitan dengan birr al-Wālidain atau berbakti
kepada kedua orang tua.
Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit
pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang
lain pada umumnya. Amīn.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abu habieb, Sa’di. Ensiklopedi Ijmak, terj. Kh. A. Sahal Mahfudz, cet. Ke-4.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Agil husen al-Munawwar, Said. Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2002.
Ahmad, Ariffuddin. Paradigma baru memahami hadis Nabi Refleksi Pemikiran
Muhammad Syuhudi Ismail, cet. I. Jakarta: Renaisan, 2005.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fathul Bāri: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Al-fahham, Muhammad. Berbakti Kepada Orang Tua kunci sukses dan
kebahagiaan, jilid I. Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006.
Al-Hazimiy, Ibrahim. Keutamaan Birr Al-Walidayn: hikmah di balik kisah orang-
orang yang berbakti kepada orang tua. Jakarta: Qisthi Press, 2010.
Al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Nawawi, Imam. Sahih Muslîm bi syarah al-Nawawi, 2001.
. Riyadhus Shalihin (terjemahan). Solo: Insan Kamil, 2011.
. Syarah Shahih Muslim (terjemahan). Jakarta: Darus Sunnah,
2014.
66
Arrofiqi, Ahmad. Implementasi hadis birul walidain setelah meninggal dunia pada
masyarakat wonokromo (studi living hadis). Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta, 2009.
Azis Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Ibn Abdul Qadir Jawas, Yazid. Birrul Walidain. Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2015.
Bukhâry (al), Muhammad ibn ismāil ibn ibrāhim ibn al Mughirah, abu abdillah.
Sahih Bukhary. Beirut: Dar Al Kutub Al Islami, 2009.
Departemen, Agama R.I. al-Qur’an dan terjemahannya. Bandung: Gema Press,
1989.
Faishal ibn Abdul Aziz, Alu Mubarak. Ringkasan Nailul Authar, jilid 6. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006.
Hamid, Abdul. Pedoman Dakwah. Menara Kudus, 1977.
Ilyas, H. Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi menurut pembela, pengingkar, dan
pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1989.
Jauzi, Imam Ibn. Birrul Walidain. Darul Ilmu Al Munawar Asy-Syamsiah, cet.I.
Madinatul Munawarah, 1993.
Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far. Tafsir Ath Thabari, cet. 1. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
67
Muhammad Fahruddin, Fuad. Masalah Anak Dalam hukum Islam. Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Muslim, Mustafa. Mabâhis fi al-Tafsir al-maud’i. Damaskus: Dar al-Qalam, 1410
H/1989 M.
Nasâ’i (al), Abu Abdi al Raḥman Ahmad ibn Shuib ibn Aly al Khurasāny. Al
Sunan al-Sughra li al-Nasâi. Kairo: Maktab al Matbūāt al Islamiyyah,
1986.
Qudamah, Ibn. Al-Mughni, terj. Sadam Hussaen, Lc. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Yûsuf al-Qardâwî, bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma,
1994.
Rifa’i, Drs. Muhammad. Khatbah Jum’at. Semarang: CV. Toha Putra, 1979.
Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid, terj. Abdul Hadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah, cet. I. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Soetari, Endang. Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, cet. II.
Bandung: Alfabeta, 2010.
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1994.
Santoso, urip. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua, 2015.
68
Tholhah Syafi’ah, Mabruri. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Tim AAK. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012/2013. Jakarta: Biro
Administrasi Akademik dan kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012.
Tim Penyusun. Kamus Besar Indonesia. Depdikbud, 1994.
Turmudhy (al), Muhammad ibn Isa ibn Sūrah ibn Mūsa ibn al Ḍaḥak. Sunan al
Turmudhy. Kairo: Shirkah Maktabah Wa Matba’ah Mustafa al Baby al
Halby, 1975.