21
TUGAS KEPANITERAAN BAGIAN RADIOLOGI KLINIK LAPORAN ANALISIS BITE MARK Oleh: Shahrir bin Suhaimi ( 05/ KG/ 07952) Khaeriyatun Nisa (05/ KG/ 07970) Citta Hilmia Nida (05/ KG/ 07976) Dosen Pembimbing: drg. Rini Widyaningrum BAGIAN RADIOLOGI KLINIK

bitemark kelompok

  • Upload
    abulz

  • View
    460

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bitemark kelompok

TUGAS KEPANITERAAN BAGIAN RADIOLOGI KLINIK

LAPORAN ANALISIS BITE MARK

Oleh:

Shahrir bin Suhaimi ( 05/ KG/ 07952)

Khaeriyatun Nisa (05/ KG/ 07970)

Citta Hilmia Nida (05/ KG/ 07976)

Dosen Pembimbing: drg. Rini Widyaningrum

BAGIAN RADIOLOGI KLINIKFAKULTAS KEDOKTERAN GIGIUNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA2010

Page 2: bitemark kelompok

PENDAHULUAN

Aplikasi ilmu forensik dalam membantu proses penyidikan di bidang hukum

tidak hanya menggunakan ilmu kedokteran namun juga menggunakan ilmu

kedokteran gigi. Forensik dengan ilmu kedokteran gigi disebut ilmu kedokteran gigi

forensik. Pada forensik kedokteran gigi, digunakan rekam medis dental individu yang

diperiksa, baik sebagai korban maupun tersangka, yang sangat membantu

menentukan keputusan akhir dari kasus yang ada (Bowers, 2004).

Dokter gigi forensik seringkali terlibat dalam identifikasi korban yang telah

meninggal. Perbandingan ciri-ciri khusus yang terdapat pada gigi asli maupun gigi

palsu serta restorasi-restorasi gigi memungkinkan korban yang telah membusuk,

terbakar, atau termutilasi dapat diindentifikasi sebagai individu spesifik. Identifikasi

korban yang telah meninggal merupakan tugas yang paling sering dilakukan dokter

gigi forensik namun bidang ilmu kedokteran gigi forensik yang paling menantang

adalah analisis bite mark manusia atau hewan yang ditemukan pada kulit atau objek-

objek pada tempat kejadian perkara. Perbandingan ciri-ciri unik yang ditemukan

dengan ciri-ciri pada gigi tersangka dapat mengungkapkan hubungan penting antara

tersangka dan korban (Brogdon, 1998).

Proses membandingkan bite mark dengan gigi-geligi tersangka mencakup

analisis dan pengukuran ukuran, bentuk, dan posisi gigi individual (van der Velden,

dkk., 2006). Ketidaksempurnaan atau irregularitas unik yang teridentifikasi baik pada

perlukaan maupun gigi tersangka merupakan indikator yang penting untuk

menentukan kesesuaian bite mark dengan gigi tersangka (Brogdon, 1998).

Metode perbandingan bite mark dengan gigi-geligi tersangka yang paling

banyak digunakan mencakup fabrikasi overlay. Terdapat beberapa cara untuk

menghasilkan overlay dari gigi-geligi tersangka, yaitu hand-tracing dari model studi

gigi, hand-tracing dari wax impressions, hand-tracing dari gambar xerografis, serta

metode berbasis komputer. Studi menunjukkan bahwa overlay yang diperoleh dengan

Page 3: bitemark kelompok

metode berbasis komputer memiliki keakuratan dan reproduksibilitas yang lebih

tinggi (van der Velden, dkk., 2006).

Bite mark manusia umumnya tampak sebagai daerah kontusi atau abrasi

berbentuk bulat atau elips. Pada beberapa kasus, permukaan kulit dapat juga

mengalami laserasi atau potongan jaringan dapat terlepas seutuhnya (Brogdon, 1998).

Analisis bite mark manusia merupakan bagian ilmu kedokteran gigi forensik yang

sulit karena elastisitas kulit, lokasi anatomis, dan tekanan gigitan dapat menyebabkan

berubahnya penampakan bite mark (van der Velden, dkk., 2006).

Menurut Bowers (2004), dalam analisis bite mark seringkali dijumpai variasi

berupa penambahan, pengurangan, atau distorsi. Beberapa variasi yang dijumpai

yaitu:

1. Central ecchymosis (pusat memar), dapat disebabkan oleh:

a. Tekanan positif dari gangguan penutupan gigi

b. Tekanan negatif akibat hisapan lidah

2. Partial bite mark

3. Bite mark yang tidak jelas

4. Multiple bites

5. Avulsive bites

Page 4: bitemark kelompok

TINJAUAN PUSTAKA

Aplikasi ilmu forensik dalam membantu proses penyidikan di bidang hukum

tidak hanya menggunakan ilmu kedokteran namun juga menggunakan ilmu

kedokteran gigi. Pada forensik kedokteran gigi, digunakan rekam medis dental

individu yang diperiksa, baik sebagai korban maupun tersangka, yang sangat

membantu menentukan keputusan akhir dari kasus yang ada (Bowers, 2004).

Pencatatan data dalam rekam medis dibagi menjadi dua, yakni data Antemortem

(pencatatan data semasa hidup) dan data Postmortem (pencatatan data setelah

kematian).

Pencatatan data Antemortem gigi dan rongga mulut biasanya berisikan

identitas pasien, keadaan umum pasien, odontogram (data gigi yang menjadi

keluhan), data perawatan kedokteran gigi, nama dokter gigi yang merawat, serta

informed concern. Sedangkan pada pencatatan data Postmortem, mula-mula

dilakukan fotografi kemudian proses pembukaan rahang untuk memperoleh data gigi

dan rongg mulut, dilakukan pencetakan rahang atas dan rahang bawah. Pencatatan

gigi dilakukan pada odontogram sedangkan kelainan-kelainan di rongga mulut dicatat

pada kolom-kolom tertentu. Catatan ini dilampirkan dalam visum et repertum korban

(Lukman, 2006).

Dokter gigi forensik seringkali terlibat dalam identifikasi korban yang telah

meninggal. Perbandingan ciri-ciri khusus yang terdapat pada gigi asli maupun gigi

palsu serta restorasi-restorasi gigi memungkinkan korban yang telah membusuk,

terbakar, atau termutilasi dapat diindentifikasi sebagai individu spesifik.

Perbandingan ciri-ciri unik yang ditemukan dengan ciri-ciri pada gigi tersangka dapat

mengungkapkan hubungan penting antara tersangka dan korban (Brogdon, 1998).

Gigi merupakan salah satu objek pemeriksaan dalam suatu penyelidikan dan

penyidikan. Keuntungan gigi sebagai objek pemeriksaan antara lain :

Page 5: bitemark kelompok

1. Gigi geligi merupakan rangkaian lengkung secara anatomis, antropologis

dan morfologis mempunyai letak yang terlindungi dari otot-otot bibir dan

pipi sehingga apabila trauma mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.

2. Gigi geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami

nekrotik atau gangrene. Meskipun telah dikubur, umumnya organ tubuh

lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).

3. Gigi geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena menurut SIMS dan

Furnes bahwa gigi manusia kemungkinan sama 1:2.000.000.000.

4. Gigi-gigi memiliki ciri-ciri yang khusus apabila cirri-ciri tersebut rusak

atau berubah maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan

gigi bahkan setiap ras mempunyai cirri yang berbeda.

5. Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh

dan direndam di dalam drum berisi asam pekat, jaringan ikatnya hancur

sedangkan giginya masih utuh.

6. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400º C gigi

tidak akan hancur, kecuali dikremasi karena suhunya di atas 1000 º C.

Gigi menjadi abu sekitar suhu > 169 º C. Apabila gigi tersebut ditambal

menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar >

871 º C, sedangkan apabila gigi tesebut menggunakan mahkota logam atau

inlay alloy emas maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-

1093 ºC.

7. Gigi-geligi dan tulang rahang secara ronsenografis, walaupun terdapat

pecahan-pecahan rahang pada ronsenogramnya dapat dilihat (interpretasi)

kadang-kadang terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang

yang khas.

8. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya memakai gigi

palsu dengan berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut

dapat ditelusuri atau diidentifikasi. Menurut Scott apabila gigi palsu arilyc

Page 6: bitemark kelompok

akan terbakar menjadi abu pada suhu 538 - 649ºC. Apabila memakai

jembatan dari porselein maka akan menjadi abu pada suhu 1093 ºC.

9. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila

sarana-sarana lain atau organ tubuh lain tidak ditemukan.

( Lukman, 2006)

Bidang ilmu kedokteran gigi forensik yang paling menantang adalah analisis

bite mark manusia atau hewan yang ditemukan pada kulit atau objek-objek pada

tempat kejadian perkara. Untuk identifikasi TKP, bekas gigitan tujuan utamanya yaitu

untuk merekam bekas gigitan yang ada dan mengambil sampel air liur pelaku di TKP.

Tindakan ini dilakukan setelah TPTKP umum sudah dilakukan dan jangan

menyentuh bekas gigitan. Setelah itu buat foto khusus close up pada bekas gigitan

yang ditemukan tanpa merubah posisi objek/jenazah, gunakan tolok ukur sedekat

mungkin dengan bekas gigitan (perhatikan teknik pemotretan). Jika bentuk bekas

gigitan diduga distorsi karena posisi objek/jenazah, perbaiki posisi demikian rupa

sehingga bentuk bekas gigitan berada pada posisi normal, lalu ulangi pemotretan

(Lukman, 2006).

Foto bekas gigitan yang dibuat di TKP, dicetak dalam ukuran yang

sesungguhnya (life size), dan selanjutnya menunggu data gigi dari tersangka. Lalu

sampel saliva pelaku dari TKP diperiksa golongan darahnya. Selanjutnya dilakukan

perbandingan golongan darah dengan data dari TKP. Bila sesuai dibuat cetakan gigi

tersangka. Untuk setiap tindakan dibuat informed consent. Lakukan tracing gigi

model tersangka di atas lembar transparan. Pelajari kemungkinan kesesuaian setara

bekas gigitan tersangka dengan foto life size bekas gigitan. Bila terdapat kesesuaian,

tersangka adalah mungkin pelaku (Lukman, 2006).

Bite marks dalam penyelidikan merupakan contoh bukti fisik, sebaik bukti

biologis. Analisis bite marks sering melibatkan pemeriksaan detail dan pengukuran

pola perlukaan dan perbandingan fisik gambaran gigi tersangka. Cacat atau

ketidakteraturan yang unik diidentifikasi baik pada perlukaan maupun gigi tersangka

Page 7: bitemark kelompok

sehingga menjadi indicator yang bernilai dan kesimpulan dapat ditegakkan dalam

hubungan antara karakteristik tersebut (Brogdon, 1998).

Metode perbandingan bite mark dengan gigi-geligi tersangka yang paling

banyak digunakan mencakup fabrikasi overlay. Terdapat beberapa cara untuk

menghasilkan overlay dari gigi-geligi tersangka (van der Velden, dkk., 2006). Metode

tersebut antara lain freehand tracings bite marks, fotokopi acetate overlays gigi

tersangka, tes gigitan di wax dan material lain, atau kombinasi cara-cara di atas.

Teknik lain yang rumit namun berkualitas yakni dengan menggunakan CAT scan

images dan komputer. Setiap metode di atas melibatkan langkah-langkah bertahap

sehingga harus dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan. Produksi overlay

untuk membandingkan gigi dengan suatu perlukaan harus dilengkapi penggunaan

metode yang memproduksi kontur, tepi, ukuran, dan susunan gigi individual.

Landasan dari hal tersebut adalah karena gigi-geligi setiap individu unik dan berbeda

dengan invidu lain (Brogdon, 1998).

Page 8: bitemark kelompok

PEMBAHASAN

Studi analasis bite mark ini dilakukan oleh kelompok yang terdiri dari tiga

orang anggota, dengan tahap-tahap kerja sebagai berikut:

1. Model gigi rahang atas (RA) dan rahang bawah (RB) masing-masing anggota

dikumpulkan terlebih dulu pada pembimbing.

2. Salah satu anggota kelompok melakukan gigitan (gigitan dangkal dan gigitan

dalam) pada apel hijau yang telah disediakan.

3. Hasil gigitan dicetak dengan alginat dengan perluasan tepi area gigitan 1 cm.

Cetakan kemudian diisi dengan gips stone.

4. Identifikasi pola gigitan dan ciri spesifik gigi-gigi yang terlihat pada cetakan bite

mark.

5. Dilakukan penapakan (tracing) pada cetakan bite mark menggunakan plastik

transparan dan kemudian dihitung lebar mesiodistal gigi yang teridentifikasi pada

bite mark.

6. Membandingkan ciri spesifik yang telah diidentifikasi pada cetakan bite mark

dengan model gigi RA dan RB milik masing-masing anggota kelompok.

7. Menentukan satu anggota kelompok sebagai pelaku gigitan sesuai dengan hasil

perbandingan yang telah dilakukan.

8. Dilakukan perhitungan lebar mesiodistal dari model gigi orang yang dianggap

sebagai pelaku gigitan.

9. Membandingkan hasil pengukuran lebar mesiodistal gigi dari hasil penapakan bite

mark dan dari model gigi, kemudian distorsi yang diperoleh dicatat dalam tabel.

Alat dan bahan yang digunakan yaitu:

1. Satu buah apel hijau untuk 1 kelompok

2. Model gigi RA dan RB milik masing-masing anggota kelompok

3. Spatula, rubber bowl, alginate, dan gips stone

4. Wadah untuk mencetak apel

Page 9: bitemark kelompok

5. Plastik transparan dan spidol marker

6. Plat kaca

7. Sliding caliper

Analisis Bite mark

− Pada bite mark gigitan dangkal RA terdapat 5 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi

2 1 1 2 3 sedangkan pada gigitan dalam RA terdapat 4 catatan gigitan sempurna,

yaitu gigi 2 1 1 2 dan 2 catatan gigitan tidak sempurna, yaitu gigi 3 3.

− Pada bite mark gigitan dangkal RB terdapat 6 catatan gigitan sempurna, yaitu gigi

3 2 1 1 2 3 sedangkan pada gigitan dalam RB terdapat 6 catatan gigitan

sempurna, yaitu gigi 3 2 1 dan 3 catatan gigitan tidak sempurna, yaitu gigi 1 2 3.

− Pada gigitan dalam cukup sulit membedakan antara gigi yang satu dengan yang

lainnya karena bitemark yang terbentuk tidak terlihat dengan jelas.

− Gigitan dangkal lebih mudah diidentifikasi karena batasnya masih cukup terlihat,

hal ini mungkin disebabkan oleh kulit apel yang belum terlalu rusak. Akan tetapi

cetakan positif gigitan RA tidak tercetak sempurna karena undercut pada bagian

tersebut sehingga ketika dilakukan pelepasan cetakan positif bagian cetakan gigi

RA rusak.

− Cetakan gigitan RA pada gigitan dalam terlihat lebih jelas dibandingkan RB. Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh tekanan gigitan yang lebih besar pada gigi-gigi

RA dibandingkan dengan gigi-gigi RB. Batas incisal gigi RA juga lebih jelas

dibandingkan RB.

− Pada bite mark RA, pada gigitan dalam, tampak adanya daerah gigitan yang lebih

dalam pada sisi distal gigi 2. Gigi-gigi RA tampak rapi, tidak ada malposisi.

− Pada bite mark RB, pada gigitan dangkal, tampak adanya malposisi pada 2 1 ,

dimana gigi tersebut tampak tidak berada dalam lengkung ideal RB. Gigi 2

tampak mesiolinguotorsiversi.

Perbandingan Bite Mark dengan Beberapa Model Gigi

Page 10: bitemark kelompok

1. Cetakan model gigi Khaeriyatun Nisa.

Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan cetakan model gigi RA,

terlihat perbedaan, yaitu pada model gigi 2 2 tampak adanya malposisi berupa

labioversi, sedangkan pada bite mark tidak terlihat adanya malposisi gigi RA. Hal

ini ditunjukkan pada hasil cetakan bite mark diperoleh bahwa kedalaman gigitan

elemen gigi 2 1 1 2 sama dalam, yang menunjukkan keempat elemen gigi pelaku

tersebut tidak mengalami malposisi. Demikian juga pada cetakan RB, terlihat

adanya perbedaan pada bentuk lengkung gigi. Pada cetakan gigi RB terlihat

lengkung gigi berbentuk trapezium, sedangkan pada bite mark lengkung gigi

berbentuk parabola. Kedua perbedaan tersebut menyebabkan Khaeriyatun Nisa

dieksklusi dari pelaku penggigitan.

2. Cetakan model gigi Citta Hilmia Nida.

Berdasarkan cetakan model gigi, lengkung gigi RA dan RB berbentuk parabola,

demikian juga dengan bentuk lengkung gigi bite mark. Namun beberapa

perbedaan tampak pada cetakan model gigi, yaitu pada cetakan RA tampak gigi 1

mesiolabiotorsiversi sehingga berbeda dengan bite mark yang menunjukkan tidak

adanya malposisi gigi pelaku gigitan. Selain itu, cetakan model menunjukkan

adanya crowding pada gigi-gigi anterior, sedangkan pada bite mark hanya gigi 2

yang mengalami malposisi. Dengan pertimbangan tersebut, Citta Hilmia Nida

dieksklusi dari pelaku penggigitan.

3. Cetakan model gigi Shahrir bin Suhaimi.

Berdasarkan perbandingan antara bite mark dengan model gigi, pelaku gigitan

memiliki lengkung gigi RB yang rapi, terdapat malposisi berupa

mesiolinguotorsiversi pada gigi 2 , lengkung RB berbentuk parabola. Pada RA,

lengkung gigi rapi berbentuk parabola, tidak terdapat malposisi gigi. Selain itu,

pada cetakan terdapat penonjolan pada sisi distofasial gigi 2 yang merupakan

skyce yang dikenakan oleh pasien pada giginya. Hal ini menegaskan bahwa

adanya cekungan yang lebih dalam pada bite mark sisi distal gigi 2 .Oleh karena

itu, model gigi Shahrir bin Suhaimi dianggap paling sesuai dengan bite mark.

Page 11: bitemark kelompok

Hasil Pengukuran Mesiodistal Gigi pada Model Gigi dan Bitemark (dalam mm)

ElemenLebar

Mesiodistal Gigi pada Model

Gigitan Dangkal

DistorsiGigitan Dalam

Distorsi

1 8,74 - - 9,12 0,38

2 7,52 - - 8,40 0,88

3 7,86 - - - -1 8,84 - - 8,50 (-) 0,34

2 7,46 - - 7,66 0,20

3 8,24 - - - -1 5,54 6,60 1, 6 5,34 (-) 0,20

2 6,14 5,70 (-) 0,44 5,58 (-) 0,56

3 7,18 5,50 (-) 1,68 - -1 5,60 5,24 (-) 0,36 - -

2 6,12 6,78 0,66 - -

3 6,68 6,30 (-) 0,38 - -

Rata-rata (-) 0,1 - 0,06

Determinasi Lengkung Bitemark

Hasil penapakan model rahang pelaku penggigitan

Page 12: bitemark kelompok

Hasil penapakan pencetakan gigitan

dangkal

Hasil penapakan pencetakan gigitan

dalam

1. Shahrir bin Suhaimi

Rahang atas Rahang bawah

2. Khaeriyatun Nisa

Page 13: bitemark kelompok

Rahang atas Rahang bawah

3. Citta Hilmia Nida

Rahang atas Rahang bawah

Pengukuran dari hasil penapakan bite mark pada gigitan dangkal maupun

gigitan dalam menunjukkan adanya distorsi ukuran mesiodistal dibandingkan dengan

pengukuran pada cetakan model gigi. Meskipun demikian masih terdapat kemiripan

pola lengkung gigi antara model gigi dengan bite mark pada apel.

Distorsi lebar mesiodistal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti yang

dikemukakan oleh Van der Velven dkk. (2006), bahwa distorsi pada bite mark antara

lain disebabkan karena adanya perbedaan tekanan dengan sudut maksila dan

mandibula, serta posisi tubuh saat melakukan bite mark dapat mengubah bentuk bite

mark. Factor lain yang mempengaruhi distorsi tersebut pada kasus ini kemungkinan

karena proses pencetakan yang kurang baik, seperti adanya porus dan undercut yang

dapat mengurangi akurasi.

Page 14: bitemark kelompok

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis bite mark yang dlakukan, dapat disimpulkan bahwa:

- Pelaku yang menggigit apel pada kasus bitemark ini adalah Shahrir bin Suhaimi.

- Terdapat distorsi lebar mesiodistal gigi pada bekas gigitan dengan lebar

mesiodistal gigi pelaku. Distorsi gigi yang terjadi disebabkan oleh adanya

perbedaan tekanan dengan sudut rahang, posisi badan saat menggigit, serta factor

lain seperti pencetakan yang kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bowers, M., 2004, Forensic Dentistry: A Field Investigator’s Handbook, Academic Press (Elsevier Publishing).

Brogdon, B. G., 1998, Forensic Radiology, CRC Press, New York.

Lukman, Djohansyah, 2006, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik, jilid 1, Sagung Seto, Jakarta.

Van der Velden A., Spiessens M., and Willems G., 2006, Bite Mark Analysis and Comparison Using Image Perception Technology, The Journal of Forensic Odonto-Stomatology, 24 (1):14-17.