Click here to load reader
Upload
hakhuong
View
270
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Volume 13, Nomor 2, Juli – Desember 2016
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabRosalia Suci H., Sukarelawati Permana, Imam Subarkah
Pemimpin RedaksiSukarelawati Permana
Sekretaris RedaksiAmy Rachmi Budiati
Dewan RedaksiAmy Rachmi Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Bambang Sukardi Putra, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi,
Agus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Panji Achmad, Doharman Sidabalok
Redaksi PelaksanaAmy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Ellia Syahrini, Chandra Herwibowo, Andi Savanto, Yuli Anitasari
Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar,S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H.,LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M
Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Penanggung Jawab DistribusiDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitiandalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungiDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H.Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected].
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukumkebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum, GedungD Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi bukudimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesiadi http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi,
pilih sub menu Buletin Hukum Kebanksentralan.
ISSN : 1693 - 3265
i
Pembaca Buletin Hukum Kebanksentralan yang berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa di semester kedua tahun 2016 ini redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum
Kebanksentralan Volume 13 Nomor 2 Tahun 2016.
Pesatnya perkembangan ekonomi di era globalisasi memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk melebarkan
usaha hingga melampaui batas teritorial negara. Tak dapat dipungkiri upaya untuk melebarkan peluang usaha hingga
luar negeri memberikan konsekuensi dan risiko yang lebih beragam bagi pelaku usaha. Perbedaan kebijakan usaha yang
diterapkan pemerintah negara lain, persaingan bisnis dengan pelaku usaha yang lebih majemuk, pemilihan hukum dalam
suatu kontrak internasional, serta penerapan peraturan perundang-undangan di negara lain menjadi beberapa faktor
yang harus dipertimbangkan dan dipelajari oleh pelaku usaha. Terkait hal tersebut, beberapa artikel dalam Buletin kali
ini akan mengulas beberapa topik atas beberapa masalah yang kemungkinan muncul dalam lingkup pengembangan
usaha hingga ke luar negeri.
Terkait kontrak internasional, artikel dengan judul Standarisasi Perjanjian Transaksi Derivatif OTC Domestik
Berdasarkan Prinsip dalam ISDA Master Agreement Dihubungkan Dengan Ketentuan Kepailitan di Indonesia, akan
mengulas mengenai penerapan klausula early termination dan close out netting dalam ISDA Master Agreement dihubungkan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam lingkup hukum korporasi, artikel dengan judul Ketentuan Hukum Perdata Belanda terkait Perusahaan
Tertutup (Besloten Vennootschap/BV) yang Tidak Aktif (Dormant) akan mengulas mengenai ketentuan hukum di Belanda
terhadap suatu perusahaan tertutup yang sudah tidak aktif serta hal-hal apa yang mesti diambil oleh pelaku usaha untuk
mempertahankan atau menutup perusahaan dimaksud.
Dunia bisnis syariah yang berhasil membuktikan diri sebagai alternatif model ekonomi yang bertahan dalam
perekonomian dunia saat ini juga patut menjadi hal yang perlu dipahami dalam era globalisasi saat ini. Salah satu topik
syariah yang akan diulas dalam Buletin kali mengenai Syirkah dan Problematikanya sebagai Instrumen Pembiayaan.
Selanjutnya, artikel mengenai Penormaan Asas Kekhususan Sistematis yang Berbasis Efisiensi Terhadap Tindak
Pidana Korupsi di Bidang Perbankan, diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman bagi pembaca terkait ranah
hukum pidana.
Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai
produk Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Juli sampai dengan Desember 2016, terdiri
atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya.
Selamat membaca.
Jakarta, Desember 2016
Redaksi
iii
Halaman
Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................................................... iii
Ketentuan Hukum Perdata Belanda terkait Perusahaan Tertutup (Besloten Vennootschap/BV)
yang Tidak Aktif (Dormant)........................................................................................................................ 1 - 9
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Yuli Anitasari
Standarisasi Perjanjian Transaksi Derivatif OTC Domestik Berdasarkan Prinsip Dalam ISDA
Master Agreement Dihubungkan dengan Ketentuan Kepailitan di Indonesia.............................................. 11 - 36
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Chandra Herwibowo
Penormaan Asas Kekhususan Sistematis yang Berbasis Efisiensi Terhadap Tindak Pidana Korupsi
di Bidang Perbankan.................................................................................................................................. 37 - 66
Paul Soetopo Tjokronegoro
Syirkah dan Problematikanya Sebagai Instrumen Pembiayaan Modern....................................................... 67 - 78
Iskandar
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2016
(berikut ringkasan)..................................................................................................................................... 79 - 197
Departemen Hukum, Bank Indonesia
ISSN : 1693 - 3265
Abstract:
Globalization era allows more natural persons or legal entities for doing business in other countries. In the
Netherlands, one of the business entities that most widely used in doing business is Besloten Vennootschap/BV. However,
tight competition or strict regulation issued by the government of that country has become one of the factors that causes
a BV becomes inactive (dormant). Some of the foreign investors who own business activities in such a dormant BV
experience difficulties to know more about the consequences the said ownership in a dormant BV. This research will
discuss about definition of BV including some matters related to BV's legal entity, starting from the establishment,
management, and dissolution of a BV. In addition, this research will also analysis the status, position, and consequence
arising out of a dormant BV, and what kind of efforts can be done in order to maintain the existence of a dormant BV
before it is dissolved by its owner. In analyzing things relevant to this research, the research methods used is library
method by using secondary data such as some of the prevailing legislation in the Netherlands, some related legal articles
and papers presented or discussed in a scientific forum. Although a BV is no longer active in trading or has no significant
accounting transactions within 1 (one) year, as long as it still meets its requirement and/or its obligation commensurate
with prevailing law to a BV, it may still exist or can not be dissolved.
Key words: Besloten Vennootschap, Inactive, Dormant
Abstrak:
Era globalisasi semakin memungkinkan seseorang atau satu badan hukum melakukan kegiatan usaha di negara
lain. Di Belanda, salah satu bentuk badan usaha yang banyak dipakai dalam menjalankan kegiatan usaha adalah Besloten
Vennootschap/BV. Namun, persaingan dan ketentuan yang ketat yang dikeluarkan pemerintah negara tersebut menjadi
salah satu faktor suatu BV dapat menjadi tidak aktif (dormant). Beberapa pemilik kegiatan usaha yang masuk dalam
kategori BV yang tidak aktif, pada umumnya mengalami kendala untuk mengetahui kewajiban dan konsekuensi apa
saja yang dihadapi atas kepemilikan BV yang demikian. Dalam penelitian ini akan dibahas pengertian BV termasuk
beberapa hal yang terkait dengan penyelenggaraan BV dari mulai pendirian, pengelolaan, dan pembubaran BV. Selain
itu, dalam tulisan ini juga akan dibahas status, kedudukan, dan konsekuensi yang timbul dari suatu BV tidak aktif, serta
upaya apa yang dapat dilakukan untuk mempertahankan suatu BV yang tidak aktif tetap dapat eksis sebelum pemiliknya
1
Disusun oleh:
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, Yuli Anitasari1
[email protected], [email protected], [email protected]
1 Peneliti di Departemen Hukum Bank Indonesia
melakukan tindakan pembubaran. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis hal-hal yang relevan dengan
topik adalah metode kepustakaan, dengan menggunakan data sekunder antara lain beberapa perundang-undangan
yang berlaku di Belanda, beberapa artikel hukum, dan makalah yang dipresentasikan atau dibahas dalam forum ilmiah.
Sepanjang BV memenuhi persyaratan dan kewajiban yang berlaku untuk BV, maka meskipun BV tidak lagi aktif melakukan
kegiatan perdagangan atau tidak mempunyai transaksi akunting yang berarti dalam 1 (satu) tahun, BV tersebut dapat
tetap eksis atau tidak dapat dibubarkan.
A. PENDAHULUAN
Era globalisasi telah memungkinkan seseorang atau
satu badan hukum melakukan kegiatan usaha di
negara lain. Hal tersebut dapat dialami oleh investor
dari Indonesia ke negara lain seperti Belanda, yang
menurut survei GCI Global Competitiveness Index
merupakan negara dengan iklim investasi paling baik
kelima di dunia.2
Era globalisasi selain memungkinkan kemudahan
berbisnis di negara lain, juga dapat mengakibatkan
kegiatan usaha yang telah berlangsung berhenti
akibat berbagai faktor seperti persaingan yang semakin
ketat atau akibat berbagai ketentuan yang
mengharuskan perusahaan harus menghentikan
kegiatan usaha. Penghentian kegiatan usaha dimaksud
kadang-kadang tidak dapat ditentukan jangka
waktunya, mengingat berbagai kepentingan atau
keperluan, terutama dalam kaitan penyelesaian hak
dan kewajiban perusahaan yang bersangkutan
maupun akibat pertimbangan kemungkinan
beroperasi kembali dengan atau tanpa injeksi modal
dari pemegang saham yang ada (existing shareholders).
Dalam kaitan kelangsungan satu perusahaan tertutup
di Belanda yang dikenal dengan Besloten
Vennootschap/BV yang tidak aktif (dormant), di
bawah ini diuraikan beberapa hal terkait upaya
mempertahankan kelangsungannya. Uraian tersebut
didasarkan pada pengkajian terhadap: (i) terjemahan
beberapa bagian/bab dalam Buku 2 Kitab Hukum
Perdata Belanda (Burgelijk Wetboek/BW); (ii) beberapa
Panduan/Pedoman melakukan bisnis di Belanda yang
dikeluarkan Kantor Akuntan Publik internasional; dan
(iii) beberapa artikel terkait kegiatan menjalankan
bisnis di Belanda yang dipublikasi melalui internet.3
Dalam melakukan pengkajian, beberapa ketentuan
dalam Buku 2 dari BW menjadi fokus penelitian karena
sejak tahun 1971 suatu rejim tersendiri untuk BV
diperkenalkan ke dalam hukum Belanda dan sejak
tahun 1976 ketentuan mengenai perusahaan tertutup
(limited company) dipisahkan dari Kitab Hukum
Dagang dan dibuat menjadi bagian dari Buku 2 BW4.
Fokus penelitian dilakukan terhadap: (i) Pengertian
BV; (ii) Beberapa ketentuan terkait BV; (iii) Pengertian
Inactive/Dormant BV; (iv) Ketentuan terkait
Inactive/Dormant BV; dan (v) Persyaratan agar
Inactive/Dormant BV tidak dibubarkan.
B. PENGERTIAN PERUSAHAAN TERTUTUP
(BESLOTEN VENNOOTSCHAP/BV)
Pengertian Perusahaan Tertutup (Besloten Vennotschat
beperkte aansprakelijheid/BV) menurut BW adalah
perusahaan dengan kewajiban terbatas yaitu suatu
badan hukum dengan modal berupa satu atau
beberapa saham yang dapat dialihkan (vide Pasal
2:175 Kitab BW). Saham tersebut adalah saham
3 Dalam artikel ini penulis tidak membandingkan/membahas mengenaikesamaan atau perbedaan antara BV dengan Naamloze Vennootschap(NV) yang secara kepemilikan saham dapat dimiliki oleh beberapapemegang saham (vide Pasal 2:175 dan Pasal 2:64 Kitab BW).
4 Lars van Vliet, The Netherlands-New Developments in Dutch CompanyLaw: The “Flexible” Close Corporation, Journal of Civel Law Studies,Vlume 7, Issu 1 - Article 8, 29 Oktober 2014.
2
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2 Sumber: http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2015-2016/competitiveness-rankings/.
terdaftar. Seorang pemegang saham BV tidak dapat
diminta pertanggungjawaban pribadi atas hal yang
dilakukan atas nama perusahaan dan yang
bersangkutan tidak wajib berkontribusi terhadap
kerugian perusahaan lebih dari modal yang disetorkan
kepada perseroan atau masih harus dia bayar atas
sahamnya5. Di beberapa negara, perusahaan model
BV juga dikenal. Misalnya, di Jerman disebut dengan
Gesellschaft mit beschränkter Haftung (GmbH)6, di
Amerika Serikat dikenal dengan nama Limited Liability
Company (LLC)7, sedangkan di Inggris dikenal dengan
nama Limited Company (Ltd)8. BV adalah bentuk
usaha yang paling banyak dipakai dalam kegiatan
berusaha di Belanda9.
C. BEBERAPA KETENTUAN TERKAIT BV
1. Pendirian
a. Ketentuan Pasal 2:175.1.2 BW mengatur
sebagai berikut: perusahaan berbadan hukum
BV dibentuk oleh 1 (satu) orang atau lebih
dengan akta notaris. Akta notaris pendirian
BV ditandatangani oleh para pendiri dan oleh
setiap orang yang menurut akta pendirian
mengambil 1 (satu) atau lebih saham.
b. Ketentuan Pasal 2:177.1 BW : akta notaris
pendirian perusahaan wajib memuat anggaran
dasar BV. Anggaran dasar BV memuat nama,
kedudukan, dan tujuan dari BV.
c. Dalam praktik, seorang atau satu pihak dapat
bertindak untuk atas nama suatu perusahaan
berbentuk BV yang masih dalam proses
“pembentukan” (in oprichting).10
2. Anggaran dasar BV merupakan peraturan internal
BV antara lain tentang prosedur dalam Rapat
Umum dan penunjukan personil dari organ
perusahaan, seperti dewan pengelola dan (jika
berlaku) dewan pengawas. Cakupan anggaran
dasar BV didasarkan pada UU dan tidak dapat
bertentangan dengan ketentuan dalam UU. Bagian
terpenting dari anggaran dasar adalah
pencantuman tentang: (i) Nama BV dan tempat
kedudukan; (ii) Tujuan perusahaan; (iii) Modal
disetor.11 Hal tersebut diatur dalam Pasal 2:177
BW.12
3
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
10 Dalam suatu publikasi KPMJ yang berjudul Setting Up A Businesstertanggal 1 Maret 2016 ditulis bahwa terkait dengan company 'information', “It is possible for someone to act on behalf of a companythat has not yet been formed. If one wishes to act in such a way, it isnecessary to expressly state so and to add the abbreviation 'i.o.' (inoprichting) after the name of the company”.
Transactions entered into on behalf of the company in formation, maybe ratified by the management board of the company after incorporation(and after the registration with the Chamber of Commerce has beencompleted) and will then bind the company. Beware that, should themanagement board of the company, after the formation, not ratify thetransaction or contract, the person having acted is personally liable forthat transaction or contract. Hal seperti ini tampak dalam Heads ofAgreement antara BI, Indover, IBA, Stichting Indo Plus, dan IPBV tanggal17 Juli 2003 relating to the split-off by nv De Indonesische OverzeeseBank of its non-performing loan portfolio by means of a legal split-offand other ations described herein.
11 PWC, Setting up a business, publikasi 1 Maret 2016 (Sumber https://inform.pwc.com/inform2/s/Setting_up_a_business/informContent/1625234303).
12 Dutch Civil Code Article 2:177 Content of the deed of incorporation.1. The Notarrial deed of incorporation must contain the articles ofincorporation of the Closed Corporation ('besloten vennotschap'). Thearticles of incorporation contain the name, the seat and the purpose(objective) of the Closed Corporation ('beslooten vennootschap').
5 Dutch Civil Code, Article 2:175 (Sumber: http://www.dutchcivillaw.com/civilcodebook022.htm).
6 A private limited company (Gesellschaft mit beschränkter Haftung,GmbH) is a private company that is limited by shares. The company hasits own legal personality. This means it can sue and be sued, purchaseand sell property and generally conduct business in its own name. Thecompany is represented by its directors. (Sumber: https://www.wbs-law.de/eng/doing-business-germany/types-company/types-german-company/).
7 A limited liability company (LLC) is a business entity that combines thelimited liability protection of a business corporation with the flexible taxand organizational structure of a partnership. (Sumber: http://www.usa-corporate.com/starting-a-new-business-in-the-us/types-of-business-entities-comparison/learn-about-limited-liability-companies-llc/)
8 A limited company (LC) is a form of incorporation that limits the amountof liability undertaken by the company's shareholders. The namingconvention for this type of corporate structure is commonly used in theUnited Kingdom. In a limited company, the debts of the company areseparate from those of the shareholders. As a result, should the companyexperience financial distress because of normal business activity, thepersonal assets of shareholders will not be at risk of being seized bycreditors. Ownership in the limited company can be easily transferred,and many of these companies have been passed down throughgenerations.(sumber: http://www.investopedia.com/terms/l/limited_company.asp).
9 Tax Consultant International - How to Incorporate a BV in the Netherland(Sumber: http//tax-consultants-international.com/read/How_to_incorporate_a_BV.).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Pembubaran BV
a. Persyaratan pembubaran BV
Di dalam Pasal 2:19 BW diatur persyaratan
(exchaustive list) suatu badan hukum BV untuk
dapat dibubarkan.13 Suatu badan hukum BV
dapat bubar apabila:
1) Terdapat keputusan/kesepakatan Rapat
Umum BV yang menyetujui pembubaran,
kecuali anggaran dasar menentukan
sebaliknya;
2) Terjadi suatu peristiwa, yang menurut
anggaran dasar BV, mengarah kepada
pembubaran, dan yang bukan merupakan
persetujuan pembubaran, dan tidak
merupakan tindakan yang dimaksudkan
sebagai pembubaran;
3) Perusahaan dinyatakan pailit sesuai Pasal
16(1) UU Kepailitan Belanda atau
perusahaan dinyatakan dalam keadaan
insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 173(1) UU Kepailitan Belanda;
4) Terdapat keputusan Kamar Dagang yang
membubarkan BV (vide Pasal 2:19a BW);
5) Pengadilan telah membubarkan
perusahaan dalam keadaan yang diatur
dalam UU; (vide Pasal 2:19.1 BW).
Apabila badan hukum BV tidak lagi memiliki
aset pada saat pembubaran, BV bubar pada
saat itu juga (vide Pasal 2.19.4 BW). Setelah
pembubaran, badan hukum BV masih ada
(berlanjut) sepanjang diperlukan untuk likuidasi
(pembubaran) dari harta-hartanya. Dalam
dokumen dan pengumuman yang dikeluarkan
oleh badan hukum, kata “dalam likuidasi”
wajib ditambahkan kepada nama dari badan
hukum (vide Pasal 2.19.5 BW). Dalam hal
dilakukan pembubaran (likuidasi), badan
hukum menjadi tidak ada (berakhir) pada saat
pembubaran (likuidasi) berakhir. Likuidator
atau kurator kepailitan melapor kepada
pemegang daftar umum dimana badan hukum
didaftar bahwa badan hukum dimaksud telah
bubar (vide Pasal 2.19.6b BW). Data dan
informasi yang dimasukkan ke dalam daftar
umum terkait badan hukum pada saat
pengakhiran, disimpan paling lama 10 tahun
sejak pengakhiran (vide Pasal 2.19.7 BW).
b. Berdasarkan permintaan dari Kantor Penuntut
Umum, Pengadilan Negeri dapat membubarkan
BV apabila BV tersebut tidak dapat lagi
menjalankan tujuannya akibat kekurangan
aset, dan Pengadilan Negeri bisa saja
membubarkan BV apabila BV tersebut telah
menghentikan kegiatan untuk mencapai
tujuannya. Kantor Penuntut Umum
memberitahu Kamar Dagang yang mewilayahi
BV mengenai maksud dari permintaan
pembubaran BV (vide Pasal 2:185.1 BW).
Sebelum memutuskan pembubaran, Pengadilan
Negeri dapat memberi kesempatan kepada
BV untuk mengalihkan/mengatasi masalah
hukum yang dihadapi dalam periode yang
ditetapkan Pengadilan (vide Pasal 2:185.2 BW).
c. Suatu BV yang terdaftar di Daftar Perdagangan
dapat dibubarkan oleh Kamar Dagang, jika
institusi tersebut memiliki bukti bahwa paling
tidak 2 (dua) dari keadaan berikut terpenuhi:
1) Tidak ada direktur dari BV yang didaftarkan
dalam Daftar Perdagangan14 selama
periode paling tidak 1 (satu) tahun.
Sementara mengenai hal tersebut tidak
dilaporkan kepada Kamar Dagang, atau,
jika direktur didaftarkan, salah satu dari
keadaan berikut terjadi:
a) Para direktur meninggal;
4
13 KPMG, Investment in the Netherland/Exit matters, hal. 216.
14 Di Belanda, pendaftaran dalam Business Registration yang dikelola KamarDagang merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh seluruhperusahaan dan oleh hampir seluruh badan hukum di Belanda. Hal inidiperlukan agar Business Registration dapat menjadi sumber informasiantara lain mengenai aktif atau tidaknya suatu perusahaan, legal atautidaknya suatu perusahaan, dan jenis usaha dari badan hukum (Sumber:https://www.kvk.nl/english/business-register/).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b) Para direktur tidak dapat dihubungi
selama 1 (satu) tahun di alamat yang
disebutkan dalam Daftar Perdagangan
dan di alamat yang disebutkan dalam
Personal Records Data Base15 atau nama
orang yang terlibat tidak terdaftar dalam
Personal Records Data Base.
2) BV tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
mengungkap catatan akuntansi tahunan
atau neraca dan catatan sesuai ketentuan
Pasal 2:394, Pasal 2:396, atau Pasal 2:397
BW;
3) Selama 1 (satu) tahun BV tidak menanggapi
surat dari pihak yang berwenang untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak
(tax return) badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) UU Perpajakan
Negara.
(vide Pasal 2:19a.1 BW)
Apabila Kamar Dagang mengetahui fakta yang
membuktikan bahwa BV memenuhi syarat
untuk dibubarkan, Kamar Dagang akan
memberitahu BV dan direkturnya tentang
maksud membubarkan badan hukum.
Pemberitahuan ini dibuat dengan surat tercatat,
dikirim ke alamat terakhir dari badan hukum
dan direkturnya, menyatakan tidak hanya
tujuan pembubaran badan hukum, tetapi juga
dasar tujuan dimaksud. Kamar Dagang
mendaftarkan pemberitahuan ini dalam Daftar
Perdagangan (vide Pasal 2:19a.3 BW).
Keputusan dari Kamar Dagang diumumkan
kepada BV dan direktur yang terdaftar (vide
Pasal 2:19a.5 BW). Jika tidak mungkin untuk
menunjuk satu atau lebih likuidator atas dasar
Pasal 2:23, ayat (1) BW, Kamar Dagang akan
bertindak sebagai likuidator dari harta dari
badan hukum yang dibubarkan, berdasarkan
ketentuan Pasal 2:19 ayat (4) BW. Berdasarkan
permintaan dari Kamar Dagang, Pengadilan
Negeri akan menunjuk satu atau lebih likuidator
lain (vide Pasal 2:19a.7 BW).
D. PENGERTIAN INACTIVE/DORMANT BV
Untuk memahami istilah inactive/dormant BV, berikut
dikemukakan pengertian “dormant company” dalam
artikel yang dipublikasi Formacompany Worldwide
Incorporations dan Bytestart.co.uk. Suatu perusahaan
yang tidak aktif (dormant company) adalah perusahaan
yang tidak melakukan kegiatan usaha dan tidak
mempunyai transaksi pembukuan keuangan.16 Terkait
dengan istilah “dormant” dikemukakan bahwa istilah
“dormant” berlaku terhadap perusahaan yang dalam
istilah hukum ”tidak mempunyai transaksi pembukuan
yang cukup berarti (signifikan) selama 1 (satu)
tahun”.17 Alasan yang paling mengemuka untuk
memiliki suatu perusahaan tertutup yang tidak aktif
atau “dormant” adalah untuk melindungi bisnis jika
pemilik bisnis tersebut tunggal (sering juga disebut
sebagai being self-employed).18 Tidak ada pembatasan
waktu bagi suatu perusahaan untuk tetap bertahan
dalam status dormant. Namun demikian, direksi dari
perusahaan tersebut wajib menjalankan kewajiban-
kewajiban administrasi setiap tahun.19
5
16 Dalam artikel yang berjudul “What is a dormant limited company, andwhen might one be useful for a small business?” disebutkan bahwa:A dormant company is one that doesn't trade and has no accountingtransactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html hal. 1).
17 Dalam artikel yang berjudul Dormant Accounts - Dormant Companiesditulis bahwa “The term 'dormant' applies to a company that, in legalterms, has 'no significant accounting transactions' during a financial year.”(Sumber: http://www.formacompany.com/en/corporate-administration/dormant-company.php).
18 A dormant company is one that doesn't trade and has no accountingtransactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html hal. 1).
19 A dormant company is one that doesn't trade and has no accountingtransactions (Sumber: http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html hal. 2).
15 Personal Records Data Base dikenal dengan: The Municipal PersonalRecords Database, yaitu database yang berisi data pribadi dari setiaporang yang tinggal di Belanda. Pemerintah Belanda menggunakaninformasi ini untuk membantu pelaksanaan tugas otoritas publik sepertiKantor Pajak dan Bea Cukai yang menggunakan database tersebutuntuk membantu mereka mengumpulkan pajak dan mengalokasikankeuntungan (Sumber: https://www.government.nl/topics/identification-documents/contents/the-municipal-personal-records-database).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
E. PENGECUALIAN KEWAJIBAN BERDASARKAN
UKURAN BESAR KEGIATAN USAHA DARI BADAN
HUKUM
1. Ketentuan persyaratan laporan tahunan (annual
account) diatur dalam Buku 2 Titel 9 BW. Di dalam
Bagian (Section) 2.9.11 diatur mengenai kategori
perusahaan Micro, Small, dan Medium Size yang
dapat menggunakan ketentuan pengecualian
dari kewajiban mengumumkan laporan tahunan
(annual account). Tentang standar akuntasi
termasuk kategori perusahaan yang dapat
memanfaatkan pengecualian dimaksud dijelaskan
dalam Authoritative and Interpretative Accounting
Standards yang dikeluarkan Dutch Accounting
Standard Board (DASB).
2. Satu kantor konsultan di Belanda yang bernama
Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal
Consultant dalam publikasinya menyatakan bahwa
suatu perusahaan yang melakukan kegiatan
perdagangan maupun yang tidak melakukan
kegiatan perdagangan wajib menyampaikan
laporan keuangan kepada Kantor Perdagangan.
Suatu perusahaan tertutup dapat meminta
pengecualian dari audit karena merupakan
“dormant company” jika perusahaan tersebut
tidak menjalankan kegiatan selama 1 (satu) tahun
dan sepanjang memenuhi kriteria tertentu.20
Kelalaian menyampaikan laporan keuangan secara
tepat waktu merupakan pelanggaran pidana.
Di samping itu, terdapat ketentuan sanksi denda
akibat kelalaian menyampaikan laporan keuangan.
3. Apabila perusahaan tidak menyampaikan laporan
tahunan, Kantor Pendaftaran Perdagangan dapat
beranggapan bahwa perusahaan tersebut tidak
lagi menjalankan kegiatan atau berjalan dan
selanjutnya melakukan langkah untuk
mengeluarkannya dari daftar Perusahaan.21
F. KONSEKUENSI DARI INACTIVE/DORMANT BV
Memperhatikan ketentuan mengenai persyaratan
pembubaran BV sebagaimana diuraikan pada butir
C.3. di atas dapat dikemukakan bahwa:
1. sepanjang: (i) pemegang saham atau pihak yang
paling berkepentingan dengan suatu perusahaan
tertutup (BV) yang dormant tidak menyepakati
pembubaran, (ii) peristiwa yang menurut anggaran
dasar BV tidak pernah terjadi, atau (iii) tidak pernah
putusan pailit terhadap BV, BV akan tetap eksis.
2. walaupun suatu BV dalam kenyataannya sudah
tidak melakukan kegiatan perdagangan dan tidak
mempunyai transaksi keuangan (accounting
transaction) yang signifikan namun jika terkait BV
yang bersangkutan tidak ada tindakan/peristiwa
yang dapat mengakibatkan pembubaran BV
sebagaimana dimaksud pada angka 1 maka BV
dimaksud tetap dapat eksis sebagai BV sepanjang
BV tersebut memenuhi kewajiban pelaporan
keuangan tahunan dan administrasi seperti
perpajakan dan kepengurusan kepada otoritas
yang berwenang.
G. KONDISI YANG HARUS DIPENUHI AGAR SUATU
DORMANT BV TIDAK DIBUBARKAN
1. Mengacu pada ketentuan syarat pembubaran BV
dalam Pasal 2:19a BW yang diuraikan di atas,
secara a contrario dapat diartikan bahwa suatu
BV tidak dapat dibubarkan sekalipun dalam
kenyataannya BV tidak lagi melakukan kegiatan
usaha (dormant) apabila:
a. dalam jangka waktu minimal 1 (satu) tahun
nama direktur BV tercantum dalam Daftar
Perdagangan di Kamar Dagang, termasuk
adanya laporan pendaftaran direktur BV di
Kamar Dagang; atau jika direktur terdaftar,
direktur masih hidup atau direktur diketahui
keberadaannya selama 1 (satu) tahun di alamat
yang tercantum saat pendaftaran Kamar
Dagang atau di alamat di Personal Records
Data Base;
6
20 Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal Consultant (Sumber:http://www.ecolaw.com.cy/corporative-service/netherland/ hal. 2).
21 Y. Economides & Co LLC Advocates & Legal Consultant hal. 1.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. selama 1 (satu) tahun BV melaksanakan
kewajiban mengumumkan laporan keuangan
tahunan atau neraca keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2:394, Pasal 2:396 atau
Pasal 2:397 BW. Pasal 2:394 antara lain
mengatur kewajiban mengumumkan laporan
keuangan tahunan dalam bahasa Belanda jika
Laporan keuangan dimaksud belum disusun
dalam bahasa Perancis, Jerman, atau Inggris.
Pengumuman dimaksud dilakukan dengan
memasukkan laporan keuangan tahunan
dimaksud dalam Daftar Perdagangan yang
dikelola Kamar Dagang. Sedangkan Pasal 2:396
dan Pasal 2:397 BW mengatur penyusunan
laporan keuangan bagi bidang usaha dalam
ketegori industri kecil dan menengah; dan
c. dalam 1 (satu) tahun BV menanggapi surat
pemberitahuan resmi dari otoritas pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
UU Umum Perpajakan Negara, dalam hal ini
untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) atas pajak badan.22
2. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 2:185 BW
sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diartikan
secara a contrario bahwa Kantor Kejaksaan tidak
dapat mengajukan pembubaran BV kepada
Pengadilan Negeri, apabila BV memenuhi hal-hal
sebagai berikut:
a. BV mempunyai aset yang cukup untuk dapat
mencapai targetnya;
b. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, BV
masih menjalankan kegiatan sesuai ketentuan.
H. HAL YANG PERLU DILAKUKAN/DIPERHATIKAN
DALAM RANGKA PENERAPAN KETENTUAN BW
TERKAIT KELANGSUNGAN PERUSAHAAN
INACTIVE/DORMANT DI BELANDA
Memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana
disebutkan di atas, apabila suatu perusahaan tertutup
(BV) yang masih aktif hendak dipertahankan walaupun
tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau transaksi
keuangan yang signifikan maka perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Perlu dipastikan bahwa tujuan (tugas) BV yang
bersangkutan masih ada yang perlu dilaksanakan
(vide Pasal 2:177 BW jo. anggaran dasar BV).
2. Perlu dipastikan bahwa aset BV yang bersangkutan
masih ada dan cukup dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan tercapai (vide Pasal
2:185 BW).
3. Pengumuman laporan tahunan atau kegiatan
administrasi lain masih dilakukan pengurus BV.
4. Apabila BV masih memiliki tujuan (tugas) yang
masih harus dilakukan dan memiliki aset yang
cukup dalam rangka melaksanakan tujuan (tugas)
dimaksud maka walaupun BV tidak melakukan
kegiatan perdagangan dan tidak mempunyai
transaksi akunting (dormant), Kantor Jaksa
Penuntut Umum tidak mempunyai dasar hukum
untuk meminta pembubaran BV berdasarkan
ketentuan pembubaran dalam Pasal 2:184 BW.
5. Dalam hal BV masih dijalankan oleh pengurus
yang jelas dan pengurus yang bersangkutan tetap
menjalankan kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2:19 BW, Kamar Dagang
tidak mempunyai dasar/alasan (bukti) untuk
membubarkan.
I. PENUTUP
1. BV merupakan salah satu badan hukum yang dapat
digunakan oleh pihak yang ingin menjalankan
bisnis di Belanda. Kegiatan operasional suatu BV,
selain mengacu pada ketentuan dalam BW dan
ketentuan lainnya, juga mengacu kepada
ketentuan yang telah diatur dalam anggaran dasar.
7
22 Pasal 9 General Act pertaining to national taxes [Version in force sinceApril 1st, 2002]1. For those taxes which under the Tax Legislation are levied by means
of a tax assessment the tax return shall be submitted to the Inspectorwithin a term, to be set down by him, of at least one month fromthe invitation to submit tax returns.
2. The Inspector is authorised to extend the term for submission setdown by him. He is authorised to set conditions to the extensionwhich may include that data for the imposition of a provisional taxassessment should be submitted after the expiry of a certain dateto be set down by him in a fashion prescribed by ministerial decree.
3. The Inspector is not authorised to exhort the taxpayer to submit atax return any sooner than before the term referred to in Paragraph1, Paragraph 2 respectively of this Section.Sumber: http://download.belastingdienst.nl/itd/beleid/awr0503.pdf.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2. Sepanjang BV memenuhi ketentuan yang berlaku
untuk BV, antara lain: masih melaksanakan tujuan
(tugas); masih memiliki aset yang cukup; masih
mengumumkan laporan tahunan maka BV dapat
tetap eksis..
8
1. Peraturan
Dutch Civil Code.
General Act pertaining to national taxes [Version in force since April 1st, 2002]
2. Artikel
Lars van Vliet, The Netherlands-New Developments in Dutch Company Law: The “Flexible” Close Corporation, Journalof Civel Law Studies, Volume 7, Issu 1 - Article 8, 29 Oktober 2014.
Tax Consultant International - How to Incorporate a BV in the Netherland.
KPMJ, Setting Up A Busines, 2016.
PWC, Setting up a business, 2016.
KPMG, Investment in the Netherland/Exit matters.
3. Internet
http://reports.weforum.org/global-competitiveness-report-2015-2016/competitiveness-rankings/.
https://www.wbs-law.de/eng/doing-business-germany/types-company/types-german-company/.
http://www.usa-corporate.com/starting-a-new-business-in-the-us/types-of-business-entities-comparison/learn-about-limited-liability-companies-llc/.
http://www.investopedia.com/terms/l/limited_company.asp.
https://www.kvk.nl/english/business-register/.
https://www.government.nl/topics/identification-documents/contents/the-municipal-personal-records-database.
http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html.
http://www.formacompany.com/en/corporate-administration/dormant-company.php.
http://www.bytestart.co.uk/dormant-limited-company.html.
http://www.ecolaw.com.cy/corporative-service/netherland/.
http://download.belastingdienst.nl/itd/beleid/awr0503.pdf.
9
10
1 Peneliti di Departemen Hukum Bank Indonesia
11
Disusun oleh:
Amy Rachmi Budiati, Doharman Sidabalok, dan Chandra Herwibowo1
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstract:
The use of ISDA Master Agreement in doing Over The Counter (OTC) derivative transaction is increasing with the
growth of the world economy. On the other hand, the use of ISDA Master Agreement's principle particularly early
termination principle that can be accompanied by close-out netting in OTC derivatives transactions in Indonesia raises
questions whether it could be in accordance with the prevailing law on bankruptcy in Indonesia viz the Indonesian Civil
Code and Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy & Suspension of Debt Payment Obligation. Related to OTC derivative
transactions in Indonesia, there were several civil cases involving bank and its customers. Result of study on early
termination and close-out netting caused by bankruptcy shows that they don't contravene with provisions of the debt
compensation according to the Indonesian Civil Code. However, when it is linked with the Law No. 37 of 2004 on
Bankruptcy & Suspension of Debt Payment Obligation, the impelementation of the principle of early termination and
close-out netting based on ISDA Master Agreement's may be applied prior to bankruptcy decision. However, should it
is realized after bankruptcy verdict from the court, it will contradict with Law No.37 of 2004 on Bankruptcy & Suspension
of Debt Payment Obligation.
Keywords: ISDA Master Agreement, Close-out netting, Kepailitan, Transaksi Derivatif.
Abstrak:
Seiring perkembangan transaksi derivatif yang semakin meningkat sebagai dampak perekonomian dunia yang
berkembang, penggunaaan ISDA Master Agreement dalam perjanjian derivatif tidak dapat dihindari. Pada sisi lain,
penggunaan ISDA Master Agreement yang memuat prinsip early termination yang dapat disertai dengan close-out netting
dalam transaksi bisnis derivatif OTC di Indonesia menimbulkan pertanyaan bila dihubungkan dengan ketentuan kepailitan
di Indonesia (KUHPerdata dan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Dalam praktek transaksi derivatif OTC di Indonesia, telah terjadi beberapa kasus yang melibatkan pihak bank dengan
nasabahnya. Berdasarkan hasil kajian early termination dan close-out netting akibat kepailitan tidak bertentangan dengan
ketentuan perjumpaan utang/kompensasi menurut KUHPerdata. Namun demikian, bila dihubungkan dengan UU Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, prinsip close-out netting dapat diterapkan sebelum adanya putusan pailit
namun prinsip ini tidak dapat diterapkan apabila dilakukan setelah adanya putusan pailit.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
A. PENDAHULUAN
Pada beberapa dekade belakangan ini, kemajuan
yang sangat cepat dalam pasar keuangan global
berdampak sangat besar pada aktivitas lembaga
perbankan dan keuangan. Kemajuan tersebut antara
lain ditandai dengan adanya beberapa inovasi aktivitas
atau produk perbankan dewasa ini. Di antara adalah
produk derivatif.2
Walaupun transaksi keuangan khususnya transaksi
derivatif OTC berkembang dan mengikuti inovasi
khususnya di bidang teknologi, tetapi perkembangan
tersebut tidak otomatis diikuti pengaturan yang sesuai
perkembangan yang terjadi. Akibatnya, transaksi
derivatif OTC yang dilakukan sangat rentan dengan
risiko.
Seiring dengan berkembangnya transaksi derivatif,
para pelaku transaksi derivatif (pialang/dealer) yang
terlibat dalam bisnis tersebut mulai melakukan upaya
standarisasi istilah yang semakin banyak digunakan
termasuk untuk menyederhanakan dokumen transaksi
derivatif. Pada tahun 1985 para pelaku transaksi
derivatif swap mendirikan suatu perkumpulan yang
disebut International Swap Dealers Association, Inc
(ISDA) di New York. Tujuannya terutama untuk
mendorong bisnis transaksi derivatif OTC yang sedang
berkembang masa itu dilaksanakan secara hati-hati
dan efisien. Oleh karena bagi banyak pihak transaksi
derivatif cukup rumit, pelakunya banyak menggunakan
format acuan yang dibuat ISDA untuk membuat
kontrak transaksi derivatif.
Terkait kewenangan pengaturan transaksi derivatif
di Indonesia, Bank Indonesia pada tahun 1995
mengeluarkan ketentuan transaksi derivatif yakni
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995
tentang Transaksi Derivatif.3 Ketentuan ini kemudian
dicabut dengan PBI No.7/31/PBI/2005 tanggal 13
September 2005 tentang Transaksi Derivatif. Sampai
kajian ini disampaikan, pengaturan terakhir terkait
transaksi derivatif dari Bank Indonesia adalah:
(i) PBI No.18/18/PBI/2016 tanggal 5 September 2016
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Antara Bank Dengan Pihak Domestik; dan
(ii) PBI No.18/19/PBI/2016 tanggal 5 September 2016
tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah
antara Bank dengan Pihak Asing.
Ketentuan ini mengatur bagaimana bank melakukan
transaksi devisa, termasuk jenis transaksi maupun
hubungan dengan nasabah bank.
Sebagaimana praktek transaksi derivatif yang bersifat
internasional, transaksi derivatif di Indonesia sebagian
besar telah menggunakan klausul perjanjian sesuai
ISDA Master Agreement. Walaupun dalam praktek di
Indonesia, transaksi derivatif OTC telah menggunakan
standar ISDA, dalam dua dekade terakhir beberapa
sengketa perdata mengenai transaksi derivatif timbul
dan diajukan ke pengadilan. Sengketa transaksi
derivatif yang melibatkan bank di Indonesia antara
lain: (i) perkara Panin Bank vs. PT Matahari Pusakatama;
(ii) perkara PT Permata Hijau Sawit vs. Citibank NA;
(iii) perkara PT Nubika Jaya vs. Standard Chartered
Bank; (iv) Perkara PT Toba Surimi Industries vs. HSBC;
(v) perkara PT Surya Mas Duta Makmur vs. Bank
Niaga; dan (vi) perkara PT Kalbe Parma vs. JP Morgan.4
Pada dasarnya perkara tersebut terjadi karena pihak
perusahaan sebagai nasabah bank tidak dapat
memenuhi perjanjian penyediaan valuta asing yang
telah diperjanjikan dengan bank. Berbagai perkara
transaksi derivatif di atas merupakan indikasi bahwa
12
3 Sebelum Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/119/KEP/DIRtanggal 29 Desember 1995 dikeluarkan, Bank Indonesia pernahmengeluarkan ketentuan terkait transaksi jual beli valuta asing yaitudengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.23/74/KEP/DIRtanggal 28 Februari 1991 tentang Margin Trading.
4 O. C. Kaligis, Aspek Hukum Transaksi Derivatif di Indonesia, Alumni,Bandung, hal. 15 - 30.
2 Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi diIndonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia -Jakarta, hal. 2.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
kebebasan para pihak melakukan perjanjian transaksi
derivatif OTC tidak dapat dibiarkan begitu saja, namun
memerlukan pengaturan yang lebih baik ke depan.
Yang tidak kalah penting bahwa pengaturan tentang
perjanjian transaksi derivatif OTC di Indonesia wajib
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
khususnya di bidang hukum kepailitan. Hal ini perlu
mendapat perhatian karena beberapa hal yang lazim
disepakati dalam perjanjian transaksi derivatif OTC,
seperti perjumpaan hutang (close-out netting)
berkaitan dengan mekanisme penyelesaian utang
jika terjadi kepailitan sesuai UU No.24 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepailitan & PKPU) yang
antara lain dilakukan dengan perjumpaan utang.
Untuk memudahkan para pelaku transaksi derivatif
melakukan perjanjian dan untuk keseragaman
peristilahan yang digunakan, perlu disediakan suatu
standar perjanjian yang mengacu pada ISDA Master
Agreement. Namun, jika prinsip ISDA Master
Agreement dituangkan dalam standar kontrak
transaksi derivatif OTC di Indonesia, timbul pertanyaan:
a. Apakah hal tersebut sesuai ketentuan KUHPerdata
mengenai perjumpaan utang/kompensasi?
b. Apakah hal tersebut dapat diterapkan jika ditinjau
dari ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU?
B. PENGERTIAN TRANSAKSI DERIVATIF
Derivatif berasal dari kata “derivative”. Derivatif biasa
digunakan sebagai upaya lindung nilai. Mengenai
pengertian derivatif, tidak ada satu definisi yang
diterima seluruh pelaku transaksi derivatif maupun
para pakar di bidang tersebut. Seorang penulis
bernama Saul S. Cohen5 dalam artikel berjudul “The
Challenge of Derivatives” menulis bahwa “It is
commonly remarked that there is no generally
accepted meaning to the term derivative. To repeat:
there is no agreement as to which financial, commercial
or hybrid financial/commercial contracts constitute
derivatives”. Seorang senior counsel di ISDA bernama
Jacqualine M. L. Low mengartikan derivatif sebagai
perjanjian untuk mengalihkan risiko. Nilainya
diturunkan dari aset yang mendasarinya. Aset yang
mendasari dapat berupa nilai tukar, tingkat suku
bunga, surat berharga dari perusahaan, saham atau
indeks, komoditi, atau aset lainya yang mempunyai
nilai pasar atau tingkat yang ditetapkan secara
independen dan kombinasi dari satu atau lebih dari
aset tersebut.6
Menurut Dictionary of Banking Terms “derivative”
adalah “financial contract whose value is determined
from publicly traded securities, interest rates, currency
exchange rates, or market indexes”.7 Sedangkan
menurut Black's Law Dictionary, “derivative” berarti
“a volatile financial instrument whose value depends
on or derived from the performance of a secondary
source such as an underlying bond, currency, or
commodity”.8 Menurut PBI No.7/31/PBI/2005 tentang
Transaksi Derivatif sebagaimana diubah terakhir
dengan PBI No.10/38/PBI/2008, transaksi derivatif
adalah transaksi yang didasari kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari
nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga,
nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang
diikuti pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau
instrumen, namun tidak termasuk derivatif kredit.
Dari berbagai pengertian dalam literatur, menurut
pakar, dan dalam ketentuan tersebut di atas dapat
dikemukakan bahwa transaksi derivatif mengandung
unsur: (i) instrumen keuangan; (ii) instrumen untuk
memperdagangkan risiko; (iii) turunan dari nilai
13
5 Anggota New York Bar, Adjunct Professor, Broker-Dealer Regulation andInvestment Banking, Fordham University School of Law. A.B. 1957,Columbia University; LL.B. 1960, Yale University School of Law.
6 Jacqueline M.L., Seniour Counsel Asia, International Swaps and DerivativesAssociation, Inc, (ISDA), Manfaat, Resiko dan Jenis-Jenis Transaksi Derivatif,Moderator: M. Arie Armand, Partner DNC Law Firm - Notulensi SeminarHukum Online - Peradi, Hitam-Putih Transaksi Derivatif: Anatomi Kontrakdan Peta Sengketa, Hotel Nikko, 12 Agustus 2009.
7 Thomas Fitch, Dictionary of Banking Terms, Third Edition, hal. 143.
8 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary, Pocket Edition, hal. 185.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
instrumen yang mendasari; (iv) instrumen keuangan
yang dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan
dana; dan (v) suatu kontrak. Dari definisi transaksi
dan unsur tersebut, transaksi derivatif merupakan
suatu perjanjian antara dua pihak yang disebut
sebagai counterparties (pihak yang saling
berhubungan) mengenai transaksi keuangan untuk
memperdagangkan risiko yang mungkin timbul akibat
dari transaksi yang mendasari yang penyelesaiannya
dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana.
C. BEBERAPA HAL PENTING DALAM ISDA MASTER
AGREEMENT
1. Pengertian dan Cakupan ISDA Master
Agreement
Dalam praktek, suatu perjanjian induk atau model
perjanjian disediakan oleh pihak yang mampu
memahami keseluruhan hal yang terkait dengan
substansi yang akan diperjanjikan. Hal tersebut
sejalan dengan penjelasan tentang ISDA Master
Agreement dari Deutsche Borse Group dalam
White Paper berjudul The Global Derivatives
Market - An Introduction yang menyatakan
bahwa: ”Model agreement for OTC derivatives
transactions developed by market participants led
by International Swaps and Derivatives Associations
(ISDA)” yang jika diartikan secara bebas: “ISDA
Master Agreement adalah perjanjian model untuk
transaksi derivatif OTC yang dibangun oleh para
pelaku pasar di bawah panduan ISDA”.9
ISDA Master Agreement terdiri dari: (i) Master
Agreement; (ii) Schedule; (iii) Credit Support
Annexes dan Annexes lainnya (jika ada) serta
Confirmation atau Suplemental Confirmation.
ISDA Master Agreement (termasuk Schedule,
Credit Support Annexes, dan Annexes, jika ada)
bersama dengan setiap Confirmation atau
Supplemental Confirmation; yang disepakati dua
belah pihak merupakan satu perjanjian (form a
single agreement). Yang dimaksud dengan
Schedule adalah bagian dari perjanjian (ISDA
Master Agreement) yang merupakan lampiran
yang tidak terpisahkan dari Master Agreement
yang dapat diisi dan dilengkapi pelaku transaksi.
Schedule atau lampiran berisi ketentuan atau
syarat tambahan dan atau ketentuan yang
mengenyampingkan atau mengkhususkan diri
dari Master Agreement. Sedangkan Confirmation
adalah bagian dari perjanjian (ISDA Master
Agreement) yang mengatur ketentuan yang
dimaksudkan untuk mengakomodasi keperluan
tertentu yang bersifat komersial dalam suatu
transaksi derivatif yang dilakukan oleh para pelaku
transaksi dimaksud.
Tiga pilar yang termuat dalam ISDA Master
Agreement adalah:
- Master Agreement dan Confirmation dianggap
sebagai satu kesatuan perjanjian dan ini
berlaku untuk setiap transaksi derivatif OTC
(Single Agreement);
- Master Agreement dan Confirmation memuat
prasyarat pelaksanaan pembayaran atau
kewajiban dari salah satu pihak seperti events
of default atau potensial events of default
(Flawed Asset/Conditionality);
- Penyelesaian kewajiban atas transaksi derivatif
(pembayaran) apabila salah satu pihak
wanprestasi dan/atau terjadi peristiwa
pengakhiran perjanjian lainnya (Close-out
netting).
Dengan 3 (tiga) pilar ISDA Master Agreement
tersebut, ISDA berupaya untuk: (i) memberikan
kepastian bahwa pihak yang tidak wanprestasi
dalam suatu transaksi derivatif dapat mengakhiri
transaksi derivatif yang disepakatinya walaupun
perjanjiannya belum berakhir; (ii) menentukan
nilai dari transaksi yang akan diakhiri; dan (iii)
melakukan perjumpaan utang guna menghasilkan
net value baik berupa piutang maupun utang.
14
9 Deuthsche Borse Group, hal. 37.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Close-out netting penting karena hal tersebut
memungkinkan pengakhiran transaksi dagang
dilakukan secara sepihak dalam hal suatu
kebangkrutan atau pailit terjadi. Close-out netting
merupakan penggantian kedudukan dari seseorang
dengan suatu jumlah baru, yang biasanya disebut
sebagai jumlah akhir (termination value) yang
ditetapkan dengan mempertimbangkan harga
pasar. Harga pasar yang dimaksudkan di sini
kemudian dikonversi ke dalam satu mata uang
dan terjadilah nilai terakhir. Suatu pembayaran
bersih (net payment) kemudian dibuat dalam
tahap ini. Berdasarkan master agreement, pihak
yang tidak lagi mempunyai uang (pailit) dapat
diwajibkan membayar nilai bersih kepada pihak
dalam uang tersebut.10 Close-out netting biasanya
diterapkan dalam hal terjadi default atau
pengakhiran dari transaksi lain di luar keadaan
bisnis normal. Jika satu pihak pailit atau wanprestasi
terhadap kewajibannya, ketentuan close-out
netting memperbolehkan pihak yang berpiutang
untuk mempercepat dan mengakhiri seluruh
transaksi yang masih belum dilaksanakan dan
menetapkan satu nilai marked-to-market agar
jumlah yang akan diterima dari, atau yang akan
dibayarkan oleh, pihak yang tidak pailit menjadi
satu.
2. Netting dan Close-out netting dalam ISDA
Master Agreement
Netting (perjumpaan) pembayaran dapat diartikan
sebagai penghentian atau pengakhiran kewajiban
yang bersifat timbal balik, yang dilanjutkan dengan
penilaian kewajiban yang diakhiri dan penggantian
dengan kewajiban pembayaran.11 Perjumpaan
(netting) dalam ISDA Master Agreement terdiri
dari 2 (dua) bentuk. Pertama, payment netting
yaitu perjumpaan pembayaran dari beberapa
perusahaan yang solvent yang terjadi selama bisnis
berjalan normal, dan mencakup penggabungan
dari kewajiban melakukan set-off arus kas antara
dua pihak pada suatu saat dan mata uang tertentu
ke dalam satu nilai yang akan dibayarkan atau
diterima. Payment netting pada dasarnya sama
dengan set-off. Kedua adalah close-out netting
yang dapat diterapkan pada transaksi yang
dilakukan perusahaan yang wanprestasi dan yang
tidak wanprestasi. Close-out netting adalah suatu
mekanisme perjanjian yang memungkinkan
transaksi dagang dapat diakhiri secara sepihak
dalam hal suatu kebangkrutan atau pailit terjadi.
Gambar di atas mengilustrasikan bagaimana
netting dilaksanakan. Pihak yang pailit dan yang
tidak pailit terlibat dalam 2 (dua) transaksi yang
dapat dipertukarkan (swap transactions). Bagi
pihak yang tidak pailit, transaksi ke-1 mempunyai
15
10 ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAPand Under IFRS, hal. 11.
11 ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAPand Under IFRS, hal. 10. Di dalam artikel ini ditulis bahwa: “Netting is,therefore, the termination or cancellation of reciprocal obligations, thevaluation of terminated obligations and its replacement by a singlepayment obligation.”. 12 ISDA Research Notes, Number 1, 2010, hal. 3.
Gambar 1Skema Close-out netting Berdasarkan Pasal 6
ISDA Master Agreement 200212
Jika close-out netting dapat diterapkan
Transaction 1=$ 1,000
Non Defaulting party Defaulting party
Transaction 2 = $800
Net payment = $200
Jika close-out netting tidak dapat diterapkan
Pay $ 1,000
Recovery ² $800
Non Defaulting party Defaulting party
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
biaya penggantian negatif $1,000, sementara
dalam transaksi ke-2 yang bersangkutan memiliki
biaya penggantian positif yaitu $800. Jika close-
out netting diterapkan, pihak yang tidak pailit
wajib membayar selisih bersih sebesar $200 kepada
pihak yang pailit. Jika nilai akhir lebih besar
(menguntungkan) bagi pihak yang tidak pailit,
pihak yang tidak pailit tersebut kemudian akan
menjadi kreditor umum kepada pihak yang pailit
sebesar kewajiban bersih tersebut. Jika close-out
netting tidak dapat diterapkan, pihak yang tidak
pailit wajib segera membayar $1,000 kepada pihak
yang pailit tetapi selanjutnya pihak yang tidak
pailit tersebut wajib menunggu dan kemungkinan
memerlukan waktu lama untuk memperoleh
sejumlah tertentu dari nilai $800 dari nilai kotor
yang diperolehnya dalam proses kepailitan.
3. Governing Law dan Jurisdiction dalam ISDA
Master Agreement
ISDA Master Agreement didesain untuk
dilaksanakan berdasarkan hukum Negara Bagian
New York Amerika Serikat atau hukum Inggris.13
Jurisdiksi hukum ini menjadi pilihan karena
keduanya dianggap sistem hukum dagang paling
matang dan mempunyai banyak ahli dalam
penanganan sengketa dagang internasional.14
Secara historis, hukum Inggris dan hukum New
York juga dianggap memiliki kelebihan karena
banyak kontrak finansial memilih kedua hukum
tersebut sebagai governing law. Hal ini dapat
dipahami karena pada abad 19 perdagangan
dunia umumnya didominasi kekuatan ekonomi
Inggris dan Amerika Serikat. Akibatnya, pihak
yang melakukan transaksi keuangan pada masa
itu cenderung memilih hukum Inggris dan Amerika
Serikat sebagai governing law dalam perjanjian
dalam kegiatan ekonomi. Hal demikian
berkembang dan berlaku sampai saat ini.
Mengenai kemungkinan penggunaan governing
law di luar hukum Inggris dan hukum New York
dalam perjanjian transaksi derivatif sesuai dengan
prinsip dalam Hukum Perdata Internasional yaitu
bahwa pilihan hukum adalah kebebasan para
pihak untuk memilih hukum yang akan mengatur
hubungan hukum yang disepakati. Pilihan hukum
ini perlu dalam hal pihak yang berjanji merupakan
warga dari negara yang berbeda. Dalam hal
demikian, para pihak mempunyai hak untuk
menentukan sendiri hukum yang akan mengatur
hubungan hukum yang dilakukan dengan
memperhatikan pembatasan yang berlaku.
Secara teori, pilihan hukum dianggap telah
dilaksanakan dengan cara: (i) para pihak
melakukan pilihan hukum dengan tegas; (ii) para
pihak melakukan pilihan hukum diam-diam; (iii)
anggapan telah terjadi pilihan hukum; (iv) secara
hipotesis. Pilihan hukum dengan tegas dilakukan
dengan membuat klausul perjanjian yang
menyatakan bahwa hubungan hukum yang
disepakati diatur berdasarkan hukum negara
tertentu, misalnya dengan klausul: “this contract
will be governed by the laws of the Republic of
Indonesia”. Pilihan hukum diam-diam disimpulkan
dari tujuan atau maksud yang disepakati para
pihak dan sikap para pihak dalam perjanjian.
Pilihan hukum berdasarkan anggapan didasarkan
pada tindakan para pihak dalam suatu perjanjian
yang menimbulkan anggapan telah terjadi
penundukan sukarela terhadap suatu sistem
hukum. Sedangkan, pilihan hukum hipostesis
adalah pilihan hukum yang diambil hakim dengan
mempertimbangkan situasi seandainya para pihak
memikirkan tentang pilihan hukum.
16
13 Field Fisher Waterhouse, Commentary on the ISDA Master Agreement- February 2008, hal. 14.
14 Bernadette Muscat, OTC Derivatives: Salient Practices And DevelopmentsRelating to Standard Market Documentation, halaman 37. Di dalamartikel ini Bernadette menulis: “The governing law of the ISDA masteragreement is either English law or New York law, which is probably thecase because, in the words of Professor Hudson, “(these jurisdiction)are considered to have the most mature systems of coomercial law (and).... there is unparalleled judicial expertise in dealing with internationalcommercial disputes.”
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Untuk mengantisipasi timbulnya permasalahan
hukum antara pihak yang melakukan perjanjian
transaksi derivatif OTC, ISDA juga telah
merumuskan klausul terkait jurisdiksi penyelesaian
perkara yang mungkin akan dipilih. Dalam ISDA
Master Agreement 2002, penundukan kepada
jurisdiksi di pengadilan di Inggris tidak eksklusif
jika proses beracara tidak menyebutkan suatu
Convention Court dan menjadi eksklusif di
pengadilan di Inggris apabila proses beracara
menyebutkan satu Convention Court. Tentang
kemungkinan para pihak pengguna ISDA Master
Agreement melakukan pilihan hukum sistem
hukum lain untuk mengatur transaksi derivatif
yang dilakukan, hal tersebut dimungkinkan.
Namun demikian, hal tersebut disarankan
sebaiknya tidak diterima tanpa pertimbangan
yang hati-hati dan saran yang detail.15
D. UU KEPAILITAN & PKPU SERTA KAITANNYA
DENGAN PILAR ISDA MASTER AGREEMENT
1. Kepailitan
Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit.
Kata kunci dalam kepailitan adalah utang. Utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih wajib
dibayar. Kepailitan dan utang seperti dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisah.16 Istilah pailit berasal
dari bahasa Belanda “faiyit” yang mempunyai arti
ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.
Istilah faiyit sendiri berasal dari bahasa Perancis
“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan
pembayaran, sedangkan orang mogok dan
berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut
Le Faili.17
Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio18, pailit
adalah keadaaan dimana seorang debitor telah
berhenti membayar utangnya. Setelah orang yang
demikian, atas permintaan kreditor atau atas
permintaan sendiri, dinyatakan pailit oleh
pengadilan maka harta kekayaannya dikuasai
oleh Balai Harta Peninggalan selaku curatrice
(pengampu) dalam urusan kepailitan untuk
dimanfaatkan bagi semua kreditor.
Terminologi kepailitan sering dipahami tidak tepat
oleh kalangan umum. Sebagian menganggap
kepailitan sebagai vonis berbau tindakan kriminal
serta merupakan cacat hukum, karena itu
kepailitan harus dihindari sebisa mungkin.
Kepailitan kadang-kadang secara apriori dianggap
sebagai kegagalan akibat kesalahan debitor dalam
menjalankan usaha sehingga utang tidak mampu
dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering
diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau
penggelapan hak kreditor. Kepailitan
mempengaruhi “credietwaardigheid”19-nya dalam
arti merugikannya, karena akan tidak mudah
mendapatkan kredit.20
Dalam KUHPerdata terdapat 2 (dua) ketentuan
yang menjadi konsep dasar dari hukum kepailitan
di Indonesia yaitu:
(i) Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”;
17
15 Di dalam Comentary on the ISDA Master Agreement yang dipublikasiField Fischer Waterhouse, hal. 14 ditegaskan bahwa: “In some instancescounterparties may wish to apply other systems of law. This should notbe accepted without very careful thought and detailed advise”.
16 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta,hal. 3.
17 Ibid, hal. 4.
18 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta Pradya Pramita,hal. 89.
19 Credietwaardigheid dalam pengertian “kelayakan kredit”.
20 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita,Jakarta, 1982.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
(ii) Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan kepadanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada
alasan-alasan sah untuk didahulukan”.
Makna dari 2 (dua) ketentuan tersebut adalah
bahwa seluruh harta orang yang mempunyai
utang (debitor), baik yang ada maupun yang akan
ada menjadi jaminan pelunasan utangnya. Harta
debitor itu menjadi jaminan bersama bagi semua
kreditor. Apabila debitor tidak dapat membayar
utangnya maka debitor dapat dinyatakan pailit.
Setelah debitor dinyatakan pailit, ditunjuk kurator
yang bertugas menjual harta tersebut. Hasil
penjualan dibagikan oleh kurator kepada seluruh
kreditor secara proporsional menurut jumlah
piutang masing-masing, kecuali bila di antara
para kreditor ada yang mempunyai hak
didahulukan yang bersumber dari hak istimewa.
Kreditor ini mempunyai hak untuk didahulukan
pembayarannya dari hasil penjualan aset.
Kemudian sisanya (bila ada) dibagikan secara
proporsional kepada kreditor konkuren.
Dalam ISDA Master Agreement, kepailitan
(bankruptcy) merupakan salah satu dari beberapa
peristiwa pengakhiran perjanjian transaksi derivatif
OTC21. Dalam ISDA Master Agreement 2002 Pasal
5a(vii), kepailitan (bankruptcy) dijabarkan sebagai
peristiwa yang mengakibatkan berakhirnya (events
of default and termination) perjanjian derivatif
OTC yaitu apabila suatu pihak, setiap pemberi
dukungan kredit atau subyek tertentu dari pihak
tersebut:
1) Dibubarkan (selain karena alasan konsolidasi,
amalgamasi atau merger);
2) Dalam keadaan insolven atau tidak mampu
membayar utang-utangnya atau gagal atau
mengakui secara tertulis ketidak-sanggupan
membayar utang-utangnya pada saat jatuh
tempo;
3) Melakukan pengalihan, pengaturan atau
perdamaian umum dengan atau untuk
keuntungan bagi kreditor-kreditor;
4) (a) Mengajukan atau telah dimohonkan
terhadapnya oleh regulator, pengawas atau
petugas sejenis lainnya yang memiliki
kewenangan untuk menangani keadaan
insolvensi, merehabilitasi atau secara hukum
terhadap pihak tersebut di yurisdiksi tempat
pendiriannya atau organisasinya atau yurisdiksi
dari kantor pusat atau kantor induknya, suatu
persidangan untuk mendapatkan putusan
insolven atau pailit atau keringanan lain
berdasarkan hukum kepailitan atau insolvensi
atau hukum lain sejenis yang mempengaruhi
hak-hak dari kreditor, atau terdapat suatu
permohonan untuk pembubaran atau likuidasi
dari pihak tersebut atau dari regulator,
pengawas atau petugas sejenis lainnya; atau
(b) Telah diajukan terhadapnya suatu
persidangan untuk mendapatkan putusan
insolven atau pailit atau keringanan lainnya
berdasarkan hukum kepailitan atau insolvensi
atau hukum lain sejenis yang mempengaruhi
hak-hak dari kreditor, atau diajukannya suatu
permohonan untuk pembubaran atau likuidasi
dari pihak tersebut, dan persidangan atau
permohonan tersebut dimulai atau diajukan
oleh pihak atau badan yang tidak disebutkan
dalam ayat (A) di atas dan putusan (i)
menghasilkan putusan insolvensi atau pailit
atau dikabulkannya permohonan keringanan
atau timbulnya perintah untuk pembubaran
atau likuidasi atau (ii) tidak ditolak, dihentikan,
ditunda atau ditahan dalam setiap kasus dalam
kurun waktu 15 hari dari dimulainya atau
pengajuan tersebut;
18
21 ISDA Master Angreement 2002.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
5) Memiliki putusan sah yang menyetujui
pembubaran, perubahan manajemen atau
likuidasi (selain oleh karena konsolidasi,
amalgamasi atau merger);
6) Berusaha menunjuk atau menjadi subyek dari
penunjukan administrator, likuidator,
konservator/pengampu, kurator, trustee,
kustodian atau pejabat sejenis lainnya untuknya
atau untuk seluruh atau sebagian besar dari
kekayaannya;
7) Memiliki pihak dengan hak jaminan untuk
menguasai seluruh atau sebagian besar
kekayaan atau memiliki hak eksekusi, sita,
pengasingan, atau proses hukum lainnya
dibebankan, dilaksanakan atau dituntutkan
kepada atau terhadap seluruh atau sebagian
besar dari kekayaannya dan pihak dengan
hak jaminan tersebut mempertahankan
penguasaannya, atau proses tersebut tidak
ditolak, dihentikan, ditunda atau ditahan,
untuk setiap kasus dalam kurun waktu 15
(enam belas) hari setelah terjadinya;
8) Menyebabkan atau tunduk pada keadaan
sehubungan dengannya yang, berdasarkan
hukum yang berlaku dalam setiap yurisdiksi,
memiliki akibat yang dapat dipersamakan
terhadap keadaan yang telah disebutkan dalam
angka 1) sampai dengan angka 7) di atas; atau
9) Melakukan tindakan untuk melanjutkan, atau
menunjukkan persetujuan terhadap atau
kepada, atau penerimaan dalam, setiap
tindakan disebutkan di atas.
2. Akibat Hukum dari Kepailitan
Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit
terhadap harta kekayaan debitor maupun terhadap
debitor antara lain adalah sebagai berikut:
a) Boleh dilakukan Kompensasi22
Kompensasi piutang (set off) sebagaimana
disebut dalam Pasal 51 UU Kepailitan & PKPU
dapat saja dilakukan oleh kreditor asalkan:
a. dilakukan dengan itikad baik; dan
b. dilakukan terhadap transaksi yang sudah
ada sebelum pernyataan pailit terhadap
debitor.
Pengertian itikad baik dalam hal ini antara lain
bahwa pada saat dilakukan transaksi yang
menimbulkan utang, kreditor tidak mengetahui
bahwa dalam waktu dekat debitor akan
dinyatakan pailit. Namun, jika dalam kontrak
disebutkan dengan tegas bahwa kompensasi
tidak boleh dilakukan, tentunya kompensasi
tidak dapat dilakukan. Pengertian tersebut
antara lain dilandasi pemikiran bahwa salah
satu prinsip dalam hukum pailit adalah bahwa
kepailitan tidak mengubah kontrak. Namun
demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU
Kepailitan & PKPU yang berbunyi: “Setiap
orang yang mempunyai utang atau piutang
terhadap Debitor Pailit dapat memohon
diadakan perjumpaan utang, apabila utang
atau piutang tersebut diterbitkan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan, atau
akibat perbuatan yang dilakukannya dengan
Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan”, realisasi perjumpaan utang
dimaksud tergantung pada
keputusan/persetujuan kurator.
b) Kontrak Timbal Balik Tidak Boleh
dilanjutkan23 Tanpa Persetujuan Kurator
Terhadap kontrak timbal balik antara debitor
pailit dengan kreditor yang dibuat sebelum
debitor pailit, dimana prestasi sebagian atau
seluruhnya belum dipenuhi kedua belah pihak,
kreditor dapat meminta kepastian dari kurator
tentang kelanjutan pelaksanaan kontrak dan
pelaksanaannya. Apabila kontrak dilanjutkan,
kreditor dapat meminta kurator agar memberi
jaminan kesanggupan pelaksanaan kontrak
tersebut (vide Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU).
Jaminan bisa berbentuk bank garansi, personal
garansi atau jaminan kebendaan.
2919
22 Munir Fuadi S, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, hal. 61. 23 Ibid, hal. 63.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c) Berlaku Actio Pauliana
Yang dimaksud dengan actio pauliana adalah
suatu upaya hukum untuk membatalkan
transaksi yang dilakukan debitor untuk
kepentingan debitor tersebut yang dapat
merugikan kepentingan para kreditornya,
misalnya menjual barang-barangnya, sehingga
barang tersebut tidak dapat lagi disita -
dijaminkan oleh pihak kreditor.24 Dalam UU
Kepailitan & PKPU, actio pauliana diatur dalam
Pasal 41-47 UU Kepailitan & PKPU. Berbeda
dengan actio pauliana dalam KUHPerdata25
yang diajukan oleh kreditor, actio pauliana
dalam kepailitan diajukan oleh kurator (vide
Pasal 47 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU) dan
kurator hanya dapat mengajukan actio pauliana
atas persetujuan hakim pengawas. Untuk
dapat mengajukan actio pauliana dalam
kepailitan disyaratkan bahwa debitor dan pihak
dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan
dianggap mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan dimaksud
mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
d) Transaksi Forward Wajib Berhenti
Jika sebelum pernyataan pailit telah dilakukan
transaksi penyerahan barang ditangguhkan
(forward transaction), dimana penyerahan
barang oleh debitor sebelumnya akan
dilakukan setelah pernyataan pailit maka
transaksi tersebut batal demi hukum dan pihak
kreditor dalam transaksi tersebut dapat
meminta ganti kerugian apabila ada alasan
untuk itu sebagai kreditor konkuren, demikian
juga jika timbul kerugian bagi harta pailit.
Pihak dengan siapa debitor melakukan kontrak
juga berkewajiban untuk mengganti kerugian
harta pailit (vide Pasal 37 UU Kepailitan &
PKPU).26 Pendapat tersebut didukung oleh
Edward Manik.27 Substansi Pasal 37 tersebut
mengatur aktivitas terkait transkasi derivatif.
Pada beberapa literatur umumnya dikatakan
bahwa transaksi derivatif merupakan transaksi
yang struktur dan nilainya didasarkan atau
bergantung pada aset lain atau nilai aset lain
tersebut.
e) Berlaku Ketentuan Pidana
Beberapa tindakan debitor atau direksi dan
komisaris dari perusahaan pailit atau
perusahaan yang akan pailit dapat dikenakan
pidana yang tergolong perbuatan pidana
merugikan kreditor atau merugikan orang
yang mempunyai hak (vide Bab XXVI dari
Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana/KUHP) sebagai tindakan tertentu yang
dapat merugikan kreditor, seperti peminjaman
uang, pengalihan aset, membuat pengeluaran
yang sebenarnya tidak ada, tidak membuat
catatan yang diwajibkan, atau pada masa
verifikasi piutang mengaku adanya piutang
yang sebenarnya tidak ada atau memperbesar
jumlah piutang. Ancaman penjara terhadap
tindak pidana tersebut tergantung pasal mana
yang dilanggar, yaitu mulai dari ancaman
pidana 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan penjara
sampai dengan ancaman 7 (tujuh) tahun (vide
Pasal 396 sampai dengan Pasal 405 KUHP).28
20
24 Ibid, hal. 85.
25 Prinsip Actio Pauliana menurut KUHPerdata diatur dalam Pasal 1341yang berbunyi:”Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnyasegala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutangdengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asaldibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupunorang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahuibahwa perbatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orangberpiutang. Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ke tiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatanyang batal itu dilindungi.
Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan-perbuatan yang dilakukandengan Cuma-Cuma oleh si berutang, cukuplah si berpiutangmembuktikan bahwa si berutang pada waktu melakukan perbuatanitu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang-orangyang mengutangkan padanya tak peduli apakah orang yang menerimakeuntungan juga mengetahui atau tidak.”
26 Op. cit, hal. 70.
27 Edward Manik, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan PenundaanKewajiban Pembayaran Utang, CV Mandar Maju, Bandung.
28 Ibid, hal. 79.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Penjumpaan Hutang (Kompensasi) dalam UU
Kepailitan & PKPU
Perjumpaan utang (kompensasi) atau set-off diatur
dalam Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435
KUHPerdata. Pasal 1425 KUHPerdata menjelaskan:
“Jika dua orang saling berutang satu pada yang
lain, maka terjadilah antara mereka suatu
perjumpaan, dengan mana utang-utang antara
kedua orang tersebut dihapuskan, dengan cara
dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah
ini”.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, rumusan
Pasal tersebut dapat diartikan sebagai “kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berhutang pada
yang lain dengan mana hutang-hutang antara
kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-
undang ditentukan bahwa di antara mereka telah
terjadi suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya”29. Menurut J. Satrio30, inti dari Pasal
1425 KUHPerdata adalah “dua orang saling
berhutang dan mereka menyelesaikan pembayaran
hutang mereka - yang satu terhadap yang lain -
dengan cara memperhitungkan hutang mereka
secara timbal balik. Dengan adanya kompensasi
maka perikatan yang dikompensir menjadi hapus
(vide Pasal 1381 KUHPerdata mengenai hapusnya
perikatan). Terkait dengan hal tersebut, Pasal 1426
KUHPerdata mengatur bahwa “Perjumpaan terjadi
demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya
orang-orang yang berutang dan kedua utang itu
yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya,
pada saat utang-utang itu bersama-sama ada,
bertimbal balik untuk suatu jumlah yang sama.”
Menurut J. Satrio, yang dimaksud terjadi “demi
hukum” adalah “secara otomatis”, tanpa perlu
para pihak harus “menuntut” atau
“memperjanjikannya” dan bahkan dipertegas
lagi dengan kata-kata “bahkan tanpa
sepengetahuan” orang-orang yang berhutang.31
Yang menimbulkan pertanyaan adalah perkataan
“demi hukum” karena menimbulkan dugaan
seolah-olah perjumpaan atau kompensasi itu
terjadi secara otomatis, tanpa usaha dari pihak
yang berkepentingan. Dalam hal ini pertanyaannya
adalah bagaimana hakim akan mengetahui
adanya utang piutang itu kalau tidak, paling
sedikit, diberitahu tentang itu oleh pihak yang
bersangkutan? Lain dari itu, terkait perjumpaan
utang terdapat suatu frasa yang dapat dimaknai
“mengandung suatu tindakan/aktivitas dari pihak
yang berkepentingan” yaitu dari frasa yang
berbunyi “tak lagi diperbolehkan menggunakan
suatu perjanjian yang sedianya dapat diajukannya
kepada si berpiutang” (vide Pasal 1431
KUHPerdata). Semua itu mendorong ke arah suatu
pengertian bahwa perjumpaan atau kompensasi
itu tidak terjadi secara otomatis tetapi harus
diajukan atau diminta oleh pihak yang
berkepentingan.32
Pendapat terbaru terkait pengaturan perjumpaan
utang (kompensasi) dalam Pasal 1426 KUHPerdata
dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman
yaitu bahwa:
“Mengenai terjadinya kompensasi utang demi
hukum terdapat doktrin sebagai berikut:
1) Kompensasi terjadi otomatis karena hukum
(van rechtwege);
2) Kompensasi tidak terjadi otomatis, tetapi
diperlukan pernyataan kehendak dari para
pihak yang bersangkutan.
Doktrin yang kuat dan pada umumnya dianut
adalah bahwa kompensasi terjadi demi hukum
secara otomatis. Perjumpaan terjadi demi hukum,
bahkan dengan tidak setahunya orang yang
21
29 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatandengan Penjelasannya, Alumni, Bandung.
30 J. Satrio, Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan Bagian 2, PTCitra Aditya Bakti Bandung, hal. 86.
31 Ibid. hal. 89.
32 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 72-73.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
berutang, dan kedua utang itu yang satu
menghapuskan yang lain. Elemennya adalah: (i)
utang-utang itu bersama-sama ada; (2) bertimbal
balik; (iii) untuk suatu jumlah yang sama.33
Pendapat dari Mariam Darus Badrulzaman tersebut
didukung oleh Ricardo Simanjuntak yang pada
pokoknya menyatakan:
“Apabila terjadi dua pihak saling berhutang maka
hak yang lahir untuk men-set off kewajiban adalah
hak demi hukum bukan demi kontrak. Dasar
hukumnya adalah Pasal 1426 KUHPerdata.
Sehingga, meskipun kedua pihak yang saling
berhutang tersebut tidak menyepakati untuk
melakukan set off namun hak untuk
memperjumpakan hutang dimaksud adalah hak
demi hukum. Oleh karena itu kurator tidak dapat
menolak pengajuan perjumpaan hutang diajukan
oleh para pihak apabila kesepakatan tersebut
terbukti secara sah dilakukan dan tidak disengaja
dilakukan untuk merugikan kreditor lainnya”.34
Terkait pengaturan kompensasi/perjumpaan utang
dalam KUHPerdata dalam diskusi antara
Departemen Hukum Bank Indonesia dengan
pakar/praktisi hukum perdata yaitu Fred B. G.
Tumbuan, Darmian Hartono, serta Paripurna P.
Sugarda, yang dilaksanakan pada tahun 2016
dikemukakan pokok-pokok sebagai berikut:
a. Pada dasarnya netting of payments dan close-
out netting dapat dilaksanakan di Indonesia,
dan tidak bertentangan dengan pengaturan
Pasal 1427 KUHPerdata terkait perjumpaan
utang;
b. Ketentuan Pasal 1425 sampai dengan Pasal
1435 KUHPerdata tidak dapat dikesampingkan
karena substansinya yang bersifat memaksa
dan merupakan rules of the game;
c. Netting of payments dan close-out netting
mungkin dilakukan berdasarkan hukum
Indonesia. Namun demikian, mengingat belum
ada ketentuan yang mengatur mengenai
keberlakuan atas kegiatan dimaksud,
khususnya dalam transaksi derivatif, hal
tersebut perlu dipertegas secara eksplisit dalam
Peraturan Bank Indonesia.
UU Kepailitan & PKPU tidak mengatur mengenai
definisi dari perjumpaan utang. Namun dalam
beberapa ketentuan dalam UU tersebut
menyinggung beberapa kali tentang kemungkinan
perjumpaan utang dilakukan (vide Pasal 51, Pasal
52, dan Pasal 53). Apabila ketiga Pasal tersebut
dicermati maka dapat dipahami bahwa dalam
proses kepailitan kompensasi piutang (set off)
dapat saja dilakukan oleh kreditor asalkan:
a. dilakukan dengan itikad baik;
b. dilakukan terhadap transaksi (utang-piutang)
yang sudah ada sebelum pernyataan pailit
terhadap debitor.
4. Kendala Penerapan Close-out netting
Berdasarkan UU Kepailitan & PKPU
Memperhatikan uraian mengenai netting dan
close-out netting (perjumpaan utang) yang telah
dikemukakan di atas, di bawah ini diuraikan
kendala dan kritik terhadap penerapan close-out
netting yang dapat mempengaruhi minat
melakukan perjumpaan utang (close-out netting)
dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia
yaitu sebagai berikut.
a) Pasal 1426 KUHPerdata
Pasal 1426 KUHPerdata berbunyi: “Perjumpaan
terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu
debitor, dan kedua utang itu saling
menghapuskan pada saat utang itu bersama-
sama ada, bertimbal balik untuk jumlah yang
sama”. Tentang penerapan Pasal 1426
KUHPerdata, pakar hukum berbeda pendapat.
Ada yang berpendapat bahwa perjumpaan
dapat dilakukan langsung atau perjumpaan
22
33 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata BukuKetiga - Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT Citra Adytia Bakti,2015, Bandung hal. 182.
34 Ricardo Simanjuntak, Diskusi internal di Departemen Hukum pada tanggal8 Juni 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
terjadi demi hukum. Di antara pakar yang
masuk kelompok berpendapat seperti ini
adalah Mariam Darus Badrulzaman dan Ricardo
Simanjuntak. Tetapi ada juga pakar yang
berpendapat bahwa perjumpaan utang tidak
dapat dilakukan langsung, melainkan harus
diajukan atau diminta lebih dahulu oleh pihak
yang berkepentingan. Dalam kelompok ini
antara lain Subekti dan J. Satrio.
Sejalan dengan pendapat Mariam Darus
Badrulzaman dan Ricardo Simanjuntak dalam
kaitan antara kompensasi (perjumpaan utang)
dengan UU Kepailitan, Syamsudin M. Sinaga
berpendapat bahwa perjumpaan utang atau
kompensasi (set off) adalah suatu peristiwa
hukum yang terjadi demi hukum di antara
orang yang mempunyai utang maupun
piutang dengan debitor pailit sebelum putusan
pailit diucapkan. Perjumpaan utang terjadi
demi hukum sesuai dengan asas Ipso Iure
Compesatur.
b) Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU
Pasal 36 ayat (1) berbunyi:
“Dalam hal pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal
balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi,
pihak yang mengadakan perjanjian dengan
Debitor dapat meminta kepada Kurator untuk
memberikan kepastian tentang kelanjutan
pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka
waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak
tersebut”.
Pasal 36 UU Kepailitan & PKPU dapat
memberikan suatu ketidakpastian bagi kreditor
yang telah melakukan perjanjian dengan
debitor (misal perjanjian perjumpaan utang),
apakah perjanjian dimaksud masih tetap
berjalan atau tidak. Apabila ketentuan Pasal
36 dicermati, tampak bahwa realisasi dari
perjanjian perjumpaan utang akan tergantung
pada pertimbangan/keputusan dari kurator
apakah akan melaksanakan atau tidak
melaksanakan perjanjian tersebut. Apabila
suatu perjanjian perjumpaan utang sebelum
pailit dinyatakan tidak dilaksanakan, posisi
kreditor akan menjadi kreditor konkuren
(kreditor biasa). Dalam proses kepailitan,
kedudukan kurator sangat kuat karena dia
dapat memilih jenis perjanjian yang akan lebih
menguntungkan bagi pihaknya (cherry picking)
(vide Pasal 16 UU Kepailitan & PKPU).
c) Pasal 37 UU Kepailitan & PKPU
Pasal 37 ayat 1 UU Kepailitan & PKPU berbunyi
bahwa:
“Apabila dalam perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan
penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu
dan pihak yang harus menyerahkan benda
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi
hapus dengan diucapkannya putusan
pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan
dirugikan karena penghapusan maka yang
bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai
kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti
rugi.”
Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa
Pasal 37 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU terkait
dengan transaksi derivatif (lihat kajian
sebelumnya). Sesuai rumusan ketentuan Pasal
37 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, apabila
salah satu pihak dalam transaksi derivatif
mengalami kepailitan (dinyatakan pailit) maka
perjanjian untuk menyerahkan obyek perjanjian
pada suatu saat tertentu di masa yang akan
datang menjadi hapus. Jika akibat perjanjian
tersebut terdapat pihak yang dirugikan, maka
dalam hal pihak yang berutang dinyatakan
pailit, pihak yang berpiutang akan menjadi
kreditor konkuren.
23
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Menurut Elijana Tansah35, pada waktu
pembahasan RUU Kepailitan & PKPU tidak
ada pihak (baik dari Pemerintah maupun DPR)
yang mengemukakan isu transaksi derivatif.
Oleh karena itu, substansi pengaturan dalam
Pasal 37 UU Kepailitan & PKPU pada dasarnya
tidak dapat dianggap sebagai pengaturan
mengenai transaksi derivatif.
Dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) UU
Kepailitan & PKPU, kewenangan pengurus
perusahaan pailit melakukan tindakan untuk
dan atas nama perusahaan pailit berhenti.
Kreditor tidak dapat lagi melakukan tindakan
hukum bersama pengurus perusahaan pailit.
Untuk mempertahankan kepentingan dari
pihak yang berpiutang (kreditor), kreditor yang
bersangkutan harus menunggu pembagian
harta debitor oleh kurator. Sementara, dalam
close-out netting yang merupakan salah satu
dari pilar ISDA Master Agreement, pihak
perusahaan yang wanprestasi bahkan yang
pailit dapat melakukan pengakhiran perjanjian
lebih awal dan sekaligus memperhitungkan
hak dan kewajiban dari para pihaknya (close-
out netting).
Agar penyerahan benda yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu
tertentu (vide Pasal 37 ayat (1) UU Kepailitan
& PKPU) dapat diperjumpakan dan sekaligus
diakhiri (close-out netting) dan tidak terbentur
dengan ketentuan mengenai
ketidakberwenangan debitor setelah
dinyatakan pailit, realisasinya harus dilakukan
sebelum terjadinya putusan pailit. Dalam kaitan
ini, perjumpaan utang dan sekaligus
pengakhiran perjanjian, dapat dilakukan antara
bank dengan nasabah yang memberikan
kewenangan bagi bank untuk melakukan
perjumpaan utang sebelum terdapat gugatan
pailit atau sebelum putusan pailit terhadap
debitor yang bersangkutan.
d) Pasal 45 UU Kepailitan & PKPU
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 UU Kepailitan
& PKPU, jika debitor melakukan pembayaran
utang kepada kreditor tertentu sebelum
putusan pailit dijatuhkan kepadanya,
pembayaran utang tersebut dapat dibatalkan
jika:
a) dapat dibuktikan bahwa si penerima
pembayaran mengetahui bahwa pada saat
dibayarnya utang oleh debitor, terhadap
debitor telah dimintakan pernyataan pailit
atau pelaporan untuk itu sudah dimintakan;
b) pembayaran utang akibat kolusi antara
kreditor dan debitor yang dapat
memberikan keuntungan kepada debitor
tersebut melebihi dari kreditor lainnya.
Salah satu events of default dalam ISDA Master
Agreement 2002 adalah adanya permohonan
kepailitan oleh pihak lain (vide Pasal 5a(vii)IVB).
Apabila klausul yang mengatur mengenai
events of default seperti ini diimplementasikan
dalam perjanjian antara para pihak di Indonesia
(misal dalam transaksi derivatif OTC antara
bank dengan nasabahnya) maka dalam hal
terdapat pengajuan gugatan pailit terhadap
nasabah/debitor berdasarkan ISDA Master
Agreement an sich, pihak bank dapat
mengeksekusi perjumpaan utang yang
diperjanjikan.
Namun, memperhatikan ketentuan Pasal 45
UU Kepailitan & PKPU, realisasi perjanjian untuk
melakukan perjumpaan utang dengan
pembayaran utang jika diketahui ada gugatan
kepailitan dari pihak lain kepada pihak yang
berutang dapat dianggap melanggar ketentuan
jika unsur dalam Pasal tersebut terpenuhi yaitu
apabila si penerima pembayaran mengetahui
bahwa pada saat dibayarnya utang tersebut
24
35 Ketua Tim Perumus RUU Kepailitan & Penundaan Kewajiban PembayaranUtang.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
oleh debitor, kepada debitor telah dimintakan
pernyataan pailit atau pelaporan untuk itu
sudah dimintakan.
e) Kewenangan Kurator Terhadap Harta Pailit
Kurator merupakan pihak yang berwenang
melakukan pemberesan harta pailit berdasarkan
undang-undang. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang
berbuyi: “Kurator berwenang melaksanakan
tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas
harta pailit sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali”.
Kewenangan kurator untuk melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit
ditegaskan dalam ketentuan UU Kepailitan &
PKPU sebagai berikut:
a. Pasal 24 ayat (1) yang mengatur bahwa
dalam hal debitor adalah perseroan
terbatas, organ perseroan tetap berfungsi
namun bila terkait dengan pengeluaran
uang yang merupakan bagaian dari harta
pailit maka hal itu merupakan wewenang
kurator;
b. Pasal 26 yang mengatur bahwa tuntutan
terkait hak atau kewajiban menyangkut
harta pailit diajukan oleh atau terhadap
kurator;
c. Pasal 33 yang mengatur bahwa kurator
meneruskan penjualan barang milik debitor;
d. Pasal 51 ayat (1) yang mengatur bahwa
setiap orang yang mempunyai utang atau
piutang terhadap debitor pailit dapat
memohon diadakan perjumpaan utang.
Dari ketentuan tersebut di atas jelas bahwa
pengurusan harta pailit debitor setelah putusan
pailit sepenuhnya merupakan kewenangan
mutlak kurator. Dalam kaitan perjumpaan
hutang/kompensasi milik debitor pailit, kreditor
harus memohon perjumpaan hutang kepada
kurator. Namun, kurator tidak berkewajiban
untuk menyetujuinya.
Di antara events of default dalam ISDA Master
Agreement 2002 adalah peristiwa kepailitan
(bankruptcy) (vide Pasal 5a(vii)(5)).36 Jika events
of default seperti ini tercantum dalam perjanjian
antara para pihak di Indonesia (seperti transaksi
derivatif OTC antara bank dengan nasabahnya),
maka dalam hal terdapat gugatan pailit atau
putusan pailit terhadap nasabah/debitor,
berdasarkan ISDA Master Agreement pihak
bank dapat melakukan pengakhiran perjanjian
lebih awal (early termination) dengan
perjumpaan utang (close-out netting).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat
(1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26, Pasal 33, Pasal
51 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU, dalam hal
suatu perusahaan telah dinyatakan pailit maka
early termination dan close-out netting harus
mendapatkan persetujuan kurator dari debitor
pailit. Kuratorlah yang akan menentukan
permohonan perjumpaan utang/kompenasi
dikabulkan atau ditolak. Selain itu, kurator
juga akan menilai apakah kompensasi (close-
out netting) memenuhi syarat dalam Pasal 51-
Pasal 53 UU Kepailitan & PKPU. Mengenai
kata “dapat” dalam Pasal 51 ayat (1), Elijana
Tansah menjelaskan bahwa makna dari kata
“dapat” dalam ketentuan tersebut adalah
bahwa pemilik piutang atau piutang pada
debitor pailit mempunyai kebebasan untuk
minta perjumpaan pada kurator atau tidak.
Bila kreditor atau debitor tersebut memilih
untuk tidak minta perjumpaan pada kurator
maka tidak akan terjadi perjumpaan.
25
36 Karena dalam Pasal 5a(vii)(5) events of default termasuk memiliki putusansah yang menyetujui pembubaran, perubahan manajemen atau likuidasi(selain oleh karena konsolidasi, amalgamsi atau merger), sulit membedakanmakna dari Pasal 5a(vii) butir (4)B dengan Pasal 5a(vii) butir (5).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
E. KESESUAIAN NETTING DAN CLOSE-OUT NETTING
DENGAN KONSEP PERJUMPAAN UTANG DALAM
HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
Memperhatikan kajian dalam butir D.4 yaitu mengenai
kendala penerapan close-out netting khususnya
berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia maka
uraian mengenai kesesuaian netting dan close-out
netting dengan hukum kepailitan di Indonesia dibagi
dalam dua kondisi yaitu sebelum adanya putusan
pailit terhadap debitor dan setelah adanya putusan
pailit terhadap debitor.
1. Sebelum adanya Putusan Pailit
Pengakhiran suatu perjanjian transaksi derivatif
OTC lebih awal dari yang diperjanjikan (early
termination) yang dilanjutkan dengan perhitungan
nilai hak dan kewajiban para pihaknya (close-out
netting) akibat kepailitan (bankruptcy) sebagaimana
tercantum dalam ISDA Master Agreement, pada
dasarnya dapat dilakukan. Namun, berdasarkan
UU Kepailitan & PKPU hal tersebut dapat dilakukan
setelah adanya putusan pailit dan realisasinya
tergantung pada kurator pemegang kuasa dari
debitor pailit (vide Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan
& PKPU).
Apabila (early termination) atas suatu perjanjian
transaksi derivatif OTC yang dilanjutkan dengan
perhitungan hak dan kewajiban para pihaknya
(close-out netting) akibat peristiwa sebagaimana
diatur dalam ISDA Master Agreement (vide Pasal
5a(vii)(5)) dilakukan sebelum putusan pailit
terhadap salah satu pihak dalam perjanjian
dikeluarkan, pelaksanaannya tergantung kepada
kesepakatan dari para pihak dalam perjanjian.
Sesuai asas konsesualisme dan prinsip pacta sunt
servanda dalam hukum perjanjian, para pihak
dalam suatu perjanjian pada dasarnya dapat
menyepakati percepatan jatuh tempo suatu hak
dan/atau kewajiban dari yang disepakati
sebelumnya (early termination). Pengakhiran
perjanjian dimaksud dapat didasarkan pada
peristiwa (events of default) yang tercantum
dalam ISDA Master Agreement.37
Salah satu peristiwa yang menyebabkan “events
of default” adalah adanya kegagalan pembayaran
terhadap debitor. Apabila peristiwa tersebut terjadi,
para pihak dapat melakukan perjumpaan hutang.
Alas hukum melakukan perjumpaan hutang dalam
konteks tersebut adalah Pasal 1426 KUHPerdata
dimana perjumpaan hutang terjadi demi hukum
(lihat kajian sebelumnya). Namun demikian, dengan
adanya ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU
yaitu:
1. Pasal 41 ayat (1) yang berbunyi:
“Untuk kepentingan harta pailit, kepada
Pengadilan dapat dimintakan pembatalan
segala perbuatan hukum Debitor yang telah
dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan
Kreditor yang dilakukan sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan”.
2. Pasal 42 yang berbunyi:
“Apabila perbuatan hukum yang merugikan
Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak
wajib dilakukan Debitor, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan
siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban
Debitor jauh melebihi kewajiban pihak
dengansiapa perjanjian tersebut dibuat;
b. merupakan pembayaran atas, atau
pemberian jaminan untuk utang yang
belum jatuh tempo dan/atau belum atau
tidak dapat ditagih;
c. ... dst.”,
26
37 Dalam Pasal 5 ISDA Master Agreement 2002 antara lain dimuat klausulEvents of Default dan Termination Events yang mencakup antara lainperistiwa cedera janji, peristiwa-peristiwa pengakhiran, urutan peristiwa,penundaan pembayaran, kantor pusat atau induk tidak mampu melakukankewajiban cabang.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
perjumpaan utang sebelum putusan kepailitan,
dapat terganggu dalam pelaksanaannya.
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 UU
Kepailitan & PKPU pada dasarnya memuat prinsip
actio pauliana yaitu hak yang diberikan oleh
undang-undang kepada setiap kreditor untuk
menuntut pembatalan segala tindakan debitor
yang tidak diwajibkan, asal dapat dibuktikan
bahwa pada saat tindakan itu dilakukan, debitor
dan orang dengan siapa debitor mengikat diri
mengetahui bahwa mereka dengan tindakan itu
merugikan kreditor lain. Namun, adanya ketentuan
yang memuat prinsip actio pauliana tidak berarti
bahwa para pihak dalam perjanjian transaksi
derivatif OTC sama sekali tidak bisa melakukan
early termination dan/atau close-out netting.
Kedua hal tersebut tetap dapat dilakukan sebelum
pernyataan pailit dikeluarkan oleh Pengadilan.
Dalam keadaan demikian, para pihak yang
melakukan early termination dan/atau close-out
netting perlu membuktikan bahwa tindakan
tersebut dilakukan dengan itikad baik dan tidak
bermaksud untuk merugikan kreditor lain yang
dianggap berkepentingan terhadap harta debitor
dan tindakan yang dilakukan tersebut sudah
diperjanjikan sebelumnya.
Melakukan early termination dan/atau close-out
netting pada saat adanya gugatan kepada debitor
berpotensi menjadi bahan gugatan pihak (kreditor)
lainnya atau pihak berwenang lainnya yakni
apabila debitor tersebut kemudian dinyatakan
pailit oleh pengadilan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 UU Kepailitan &
PKPU, kreditor lain atau kurator dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan agar pengadilan
membatalkan early termination dan/atau close-
out netting yang telah disepakati.38
2. Setelah adanya Putusan Pailit
Memperhatikan kendala penerapan prinsip early
termination dan close-out netting dalam hubungan
transaksi derivatif OTC berdasarkan prinsip dalam
ISDA Master Agreement jika dikaitkan dengan
ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU, dapat
dikemukakan bahwa dalam hal early termination
dan close-out netting diakibatkan events of default
berupa kepailitan (vide Pasal 5a(vii)(5) ISDA Master
Agreement) maka pelaksanaannya akan
bertentangan dengan dalam UU Kepailitan & PKPU.
Beberapa hal yang dapat mendasari pendapat
tersebut adalah:
a. Kewenangan yang diberikan UU Kepailitan &
PKPU kepada kurator terkait harta kekayaan
debitor pailit sangatlah besar yaitu mencakup
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan.
Hal tersebut dengan tegas diatur dalam Pasal
16 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
“Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali”.
b. Dalam hal terjadi kepailitan, perjumpaan
utang/kompensasi yang akan dilakukan harus
mendapatkan persetujuan dari kurator debitor
pailit (vide Pasal 51 ayat (1) UU Kepailitan &
PKPU). Yang menentukan apakah perjumpaan
utang/kompensasi yang akan dilakukan dapat
dikabulkan atau ditolak adalah kurator. Selain
itu, kurator juga berwenang menilai apakah
kompensasi tersebut telah memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 51
ayat (1) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
“Setiap orang yang mempunyai utang atau
piutang terhadap Debitor Pailit dapat memohon
diadakan perjumpaan utang, apabila utang
atau piutang tersebut diterbitkan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan, atau
akibat perbuatan yang dilakukannya dengan
27
38 Elijana Tansah berpendapat bahwa apabila setelah putusan pailit terhadapdebitor pailit dilakukan perjumpaan hutang, akan mudah bagi pengugat(pihak yang merasa dirugikan) untuk membatalkan perjanjian tersebutkarena apabila suatu perjanjian mengandung klausul “melakukan perjumpaanhutang apabila terjadi peristiwa pailit” dapat dianggap bad faith.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan.”
c. Dalam hal terjadi kepailitan dan terdapat
perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian dipenuhi maka untuk kelanjutannya
debitor dapat memohon kepada kurator (vide
Pasal 36 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU).
Kedudukan kurator sangat kuat karena dia
dapat memilih jenis perjanjian yang akan lebih
menguntungkan bagi pihaknya (cherry picking).
d. Beberapa pihak berpendapat bahwa
pengaturan dalam Pasal 37 ayat (1) UU
Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
“Apabila dalam perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 telah diperjanjikan
penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu
dan pihak yang harus menyerahkan benda
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus
dengan diucapkannya putusan pernyataan
pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan
karena penghapusan maka yang bersangkutan
dapat mengajukan diri sebagai kreditor
konkuren untuk mendapatkan ganti rugi terkait
dengan transaksi derivatif.
Sesuai rumusan Pasal tersebut, apabila salah
satu pihak dalam transaksi derivatif mengalami
kepailitan (dinyatakan pailit) maka perjanjian
untuk menyerahkan obyek perjanjian pada
suatu saat tertentu di masa yang akan datang
menjadi hapus. Jika akibat perjanjian tersebut
terdapat pihak yang dirugikan, maka dalam
hal pihak yang berutang dinyatakan pailit,
pihak yang berpiutang akan menjadi kreditor
konkuren.
e. Pengecualian terhadap keadaan sita umum
(automatic stay) diatur dalam Pasal 55 ayat
(2) UU Kepailitan & PKPU yang berbunyi:
“Penangguhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor
yang dijamin dengan uang tunai dan hak
Kreditor untuk memperjumpakan utang”.
Namun, dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1)
UU Kepailitan & PKPU yang mengatur bahwa
kewenangan melakukan pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal
putusan pailit berada pada kurator dan
ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Kepailitan &
PKPU yang mengatur bahwa setiap orang
yang mempunyai utang atau piutang terhadap
debitor pailit dapat (oleh beberapa pakar
disebut bahwa hal tersebut berarti wajib)
memohon diadakan perjumpaan piutang,
berarti bahwa pengecualian terhadap
penangguhan dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi
tidak berlaku otomatis, tetapi wajib melalui
atau memperoleh persetujuan dari kurator.
Memperhatikan ketentuan dalam beberapa Pasal
UU Kepailitan & PKPU tersebut di atas maka
penerapan klausul penjumpaan hutang/kompensasi
(close-out netting) berdasarkan prinsip penyelesaian
hak dan kewajiban yang diatur dalam ISDA Master
Agreement setelah adanya putusan pailit
tergantung pada keputusan kurator. Apabila hal
seperti dihadapi oleh para pelaku transaksi derivatif
OTC di kemudian hari, maka taruhannya adalah
ketidakpastian hukum.
F. ASPEK KONSENSUALISME DALAM TRANSAKSI
DERIVATIF OTC
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata,
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang lain atau lebih. Di dalam transaksi derivatif,
pihak yang satu dengan pihak yang lain berjanji atau
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu hal atau
prestasi masing-masing.
Di dalam: (i) PBI No.16/16/PBI/2014 tentang Transaksi
Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank Dengan
Pihak Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan
28
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
PBI No.17/15/PBI/2015; dan (ii) PBI No.16/17/PBI/2014
tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara
Bank Dengan Pihak Asing sebagaimana telah diubah
dengan PBI No.17/16/PBI/2015, transaksi derivatif
didefinisikan sebagai transaksi yang didasari oleh
suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang
nilainya merupakan turunan dari nilai tukar dalam
bentuk transaksi forward, swap, option valuta asing
terhadap Rupiah, dan transaksi lainnya yang dapat
dipersamakan dengan itu.39
Dalam kaitan transaksi yang tidak diikuti pergerakan
dana (tidak memenuhi unsur penyerahan dalam suatu
jual beli - vide Pasal 1459 KUHPerdata), transaksi
derivatif dapat digolongkan sebagai perjanjian yang
belum ditindaklanjuti dengan penyerahan objeknya.40
Hal tersebut tidak berarti bahwa transaksi derivatif
merupakan transaksi untung-untungan atau judi
menurut Pasal 1774 KUHPerdata.41 Alasannya adalah:
(i) objek transaksi derivatif tidak didasarkan pada hal-
hal yang bersifat spekulasi tetapi sesuatu yang dapat
diperkirakan secara logis bahkan secara matematis,
kendati dalam hal tertentu prediksi dimaksud tidak
selalu sama dengan kenyataan; (ii) transaksi derivatif
sudah lazim dilakukan dalam bisnis perbankan dan
lembaga keuangan lainnya; (iii) transaksi derivatif
biasa digunakan untuk kepentingan menghindari
risiko kerugian akibat fluktuasi nilai tukar mata uang
atau fluktuasi suku bunga (hedging); dan (iv) untuk
perbankan di Indonesia, otoritas moneter (Bank
Indonesia) telah mengatur pelaksanaan transaksi
derivatif, sehingga diharapkan dalam menjalankan
kegiatan tersebut para pelakunya khusunya perbankan
melakukan kegiatan dengan adil, tertib, dan
memperhatikan ketentuan hukum lainnya.42
Dalam kaitan transaksi derivatif OTC di Indonesia,
konsekuensi yuridis dari transaksi derivatif yang didasari
kontrak atau perjanjian adalah bahwa transaksi
tersebut tunduk kepada hukum perjanjian. Dengan
demikian, syarat sah perjanjian (vide Pasal 1320
KUHPerdata) dan asas hukum perjanjian sesuai
ketentuan dalam Buku III KUHPerdata berlaku bagi
transaksi derivatif OTC yang disepakati.
G. KONSEKUENSI HUBUNGAN PERDATA DARI
TRANSAKSI DERIVATIF OTC
Transaksi derivatif OTC terjadi melalui negosiasi secara
perdata dan bebas antara para pihak. Transaksinya
dilaksanakan di luar bursa yang diorganisir oleh
otoritas yang berwenang. Secara yuridis, kebebasan
melakukan transaksi derivatif OTC di Indonesia
dimungkinkan karena sesuai ketentuan dalam Pasal
1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, hukum perjanjian
di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak.
Sepanjang obyek yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan undang-undang, kepatutan atau kesusilaan
(vide Pasal 1337 KUHPerdata), hubungan hukum
yang dilakukan sah dan mempunyai kekuatan hukum.
Kebebasan melakukan transaksi derivatif OTC
membawa konsekuensi bahwa para pihak yang berniat
melakukan transaksi tersebut dapat melakukan
perjanjian secara bebas termasuk menentukan klausul
yang mengaturnya. Kebebasan menentukan klausul
perjanjian mengakibatkan terbuka kemungkinan
ketidakseragamanan klausul dalam transaksi derivatif
29
39 Dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia lainnya yangmengatur mengenai transaksi derivatif yaitu PBI No.7/31/PBI/2005tentang Transaksi Derivatif sebagaimana telah diubah terakhir denganPBI No.10/38/PBI/2008, transaksi derivatif didefinisikan sebagai transaksiyang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yangnilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari sepertisuku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikutidengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namuntidak termasuk derivatif kredit.
40 Dalam diskusi terbatas dengan DHk pada tanggal 15 Juni 2016, RicardoSimanjuntak menganalogikan perjanjian derivatif OTC dengan PerjanjianPengikatan Jual Beli yang secara hukum jual beli belum terjadi karenabelum terjadinya penyerahan objek perjanjian.
41 Pasal 1774 KUHPerdata berbunyi: “Suatu perjanjian untung-untunganadalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baikbagi semua pihak, maupun sementara pihak, bergantung pada suatukejadian yang belum tentu.”.
42 Mahkamah Agung dalam Putusan Perkara No.2/PK/N/1999 tanggal 6April 1999 dan Putusan Perkara No.2461K/Pdt/1999 menyatakan bahwatransaksi derivatif merupakan transaksi yang sah dan tepat.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
OTC. Dalam keadaan demikian, pihak yang dominan
akan sangat berpengaruh dalam penentuan klausul
perjanjian yang akan ditandatangai. Sebaliknya, pihak
yang lemah biasanya bersikap menerima keinginan
dari pihak yang dominan tersebut.
Transaksi derivatif OTC biasanya mengandung unsur
asing. Adanya unsur asing dalam transaksi derivatif
OTC membuat transaksi tersebut termasuk lingkup
hubungan hukum perdata internasional. Hukum
perdata internasional tidak berarti bahwa hukumnya
milik antar bangsa atau internasional sebagaimana
ketentuan yang dikeluarkan organisasi internasional,
tetapi tetap hukum nasional namun kejadian,
substansi, dan fakta yang diatur bersifat internasional.
Dengan demikian, hubungan perdata antar warga
atau hubungan perdata yang mengandung unsur
asing (internasional) diatur oleh hukum nasional,
bukan diatur oleh hukum antar negara.
Salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan
melakukan pilihan hukum adalah faktor tradisi,
kebiasaan, dan kenyamanan dalam bertransaksi
derivatif OTC.43 Dalam melakukan pilihan hukum,
faktor tersebut dikaitkan dengan manfaat yang akan
dicapai. Tradisi, kebiasaan, dan kenyamanan dalam
melakukan hubungan hukum transaksi derivatif dapat
menjadi sia-sia atau tidak sesuai dengan manfaat
pilihan hukum yang diharapkan44 apabila para pihak
dalam transaksi derivatif OTC tidak mengantisipasi
akibat dari pilihan hukum yang dilakukan. Hal seperti
ini terjadi dalam perkara JP Morgan Chase vs. PT
Kalbe Farma, Tbk.
H. KEWENANGAN PENGATURAN TRANSAKSI
DERIVATIF OLEH BANK INDONESIA
Pengaturan transaksi derivatif merupakan pelaksanaan
dari UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
UU tersebut yang berbunyi: “Dalam rangka penerapan
prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan
ketentuan atas berbagai jenis transaksi devisa yang
dilakukan oleh Bank” dan Pasal 4 ayat (2) yang
berbunyi “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia”, pengaturan tentang transaksi
derivatif telah dimandatkan kepada Bank Indonesia.
Sesuai mandat tersebut, Bank Indonesia berwenang
melakukan pengaturan mengenai penyediaan model
perjanjian transaksi derivatif OTC domestik.45
Kewenangan pengaturan transaksi derivatif juga
didasarkan pada UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No.6 Tahun 2009. Berdasarkan Pasal 7 UU tersebut
telah ditentukan tujuan dari Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah
baik terhadap barang dan jasa maupun terhadap
mata uang negara lain.
Apabila kewenangan yang dimandatkan dalam UU
tersebut ditindaklanjuti, pengaturan perjanjian
transaski derivatif OTC di Indonesia yang dapat
dikeluarkan adalah sebagai berikut:
30
43 Wuri Prastiti Rahajeng, Aspek Hukum Internasional Dalam kasus AntaraJP Morgan Chase Bank National Association Melawan PT Kalbe Farma,Tbk, hal. 78.
44 Wuri Prastiti Rahajeng, dalam skripsi berjudul: Aspek Hukum InternasionalDalam kasus Antara JP Morgan Chase Bank National Association MelawanPT Kalbe Farma, Tbk, hal. 78 menulis “Manfaat pilihan hukum antaralain: (i) memuaskan para pihak karena menggunakan hak dasarnya; (ii)bersifat kepastian karena memungkinkan para pihak dengan mudahmenentukan hukumnya; serta (iii) memberikan efisiensi dan manfaat.”.
45 Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan mengatur dasar hukum suatu peraturan perundang-undangandiakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu:a. peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai pelaksanaan lebih
lanjut dari perintah yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
b. peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk berdasarkankewenangan yang dimiliki.
Di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU tersebut lebih lanjut ditegaskanbahwa:“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikatsepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yanglebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
1. Alternatif Pertama: Bank Indonesia mewajibkan
pelaku transaksi derivatif OTC domestik
menggunakan Master Agreement berikut Schedule
yang mengacu kepada ISDA Master Agreement
yang disesuaikan dengan hukum Indonesia.
Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan dari
bentuk alternatif pertama sebagai berikut:
2. Alternatif kedua: Bank Indonesia memberikan
kesempatan kepada pelaku transaksi derivatif
menggunakan master agreement (kontrak standar)
transaksi derivatif OTC non-ISDA yang disesuaikan
dengan hukum Indonesia. Adapun beberapa
kelebihan dan kekurangan dari bentuk alternatif
pertama sebagai berikut:
31
Kelebihan
Kekurangan
a. Standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia hanyaakan menjadi pegangan bagi pelaku transaksiderivatif OTC domestik dalam melakukan transaksidan menandatangani perjanjian;
b. Dapat mengurangi waktu untuk melakukannegosiasi;
c. Tersedia ruang bagi para pelaku transaksi derivatifOTC untuk memodifikai perjanjian sesuaikebutuhan;
d. Model perjanjian yang tersedia dipercaya parastakeholder;
e. Penggunaan kontrak berdasarkan hukum Indonesiasecara tidak langsung berpotensi mendorong parapenegak hukum untuk belajar memahami transaksiderivatif OTC.
dalam hal rumusan klausul dalam standar perjanjianyang disediakan tidak mengakomodasi kepentinganpihak tertentu, maka standar yang disediakankemungkinan akan diabaikan oleh pelaku transaksiderivatif OTC domestik
Kelebihan
Kekurangan
a. Terdapat fleksibilitas bagi Bank Indonesia dalammelakukan pengaturan perjanjian transaksi derivatifOTC domestik;
b. Model perjanjian yang tersedia sesuai kesepakatanpara pelaku transaksi
a. Perjanjian transaksi derivatif OTC domestik diIndonesia menjadi seolah-olah berbeda denganperjanjian transaksi derivatif OTC umumnya;
b. Pihak yang berkepentingan terutama pihak asingyang ingin bertransaksi dengan pihak domestikkurang mempercayai dengan model perjanjiantransaksi derivatif OTC yang berbeda dengan ISDAMaster Agreement;
c. Dalam hal transaksi derivatif OTC domestikdilakukan sebagai turunan dari transaksi derivatifyang melibatkan pihak asing dan perjanjiannyamenggunakan ISDA Master Agreement, transaksiderivatif OTC domestik dimaksud menjadi seolah-olah terputus dari perjanjian transaksi OTC yangmelibatkan pihak asing tersebut (tidak mirroring).
Hal negatif lainnya apabila Bank Indonesia hanyamengatur persyaratan minimum yang dicakup dalamperjanjian dan memberikan ruang kepada pelakutransaksi derivatif mengatur hal-hal lain di luar yangdiwajibkan Bank Indonesia adalah:a. Dapat menimbulkan multitafsir terhadap perjanjian
transaksi derivatif yang akan disepakati;b. Penegak hukum tidak mempunyai pedoman
(ketentuan) yang lengkap dalam menghadapiperkara transaksi derivatif OTC domestik;
c. Ketidakyakinan dari para pelaku transaksi derivatifOTC terhadap ketentuan dan perangkat hukum,sehingga dapat mengurungkan niat melakukankegiatan tersebut di Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
I. PENUTUP
1. Simpulan
a) Prinsip close-out netting dalam ISDA Master
Agreement bila dihubungkan dengan
ketentuan KUHPerdata mendekati konsep
perjumpaan hutang/kompensasi yang diatur
dalam Pasal 1425-1435 KUHPerdata, sehingga
prinsip close-out netting tidak bertentangan
dengan ketentuan perjumpaan utang menurut
KUHPerdata.
b) Kepailitan merupakan bagian dari events of
defaults dalam perjanjian transaksi derivatif
OTC yang dapat menjadi pemicu dilakukannya
early termination dan close-out netting
perjanjian dimaksud. Namun, dalam hal satu
pihak yang berjanji telah dinyatakan pailit
berdasarkan ketentuan UU Kepailitan dan
PKPU, pelaksanaannya tidak dapat dilakukan
langsung oleh para pihak yang melakukan
perjanjian transaksi derivatif OTC.
c) Tindak lanjut dari prinsip close-out netting
dalam perjanjian transaksi derivatif OTC
domestik yang mengacu pada pilar ISDA
Master Agreement:
1) Sebelum adanya putusan pailit
i. Apabila sebelum putusan pailit terhadap
salah satu pihak dalam perjanjian
dinyatakan, suatu perjanjian transaksi
derivatif OTC domestik diakhiri lebih
awal (early termination) dan dilanjutkan
dengan perhitungan hak dan kewajiban
para pihaknya (close-out netting) atas
dasar events of default berupa kepailitan
(bankruptcy) sebagaimana tercantum
dalam ISDA Master Agreement Pasal
5a(vii)(5) ISDA Master Agreement, UU
Kepailitan & PKPU tidak memuat
ketentuan yang melarang penerapan
close-out netting atas perjanjian
transaksi derivatif OTC domestik.
ii. Ketiadaan pengaturan mekanisme
close-out netting yang didasarkan pada
events of default kepailitan (bankruptcy)
selain yang tercantum dalam ISDA
Master Agreement Pasal 5(a)(vii)(5),
tidak berarti bahwa close-out netting
tidak dapat dilakukan sebelum putusan
pailit terhadap salah satu pihak dalam
perjanjian dikeluarkan.
iii. Sesuai asas konsesualisme dan prinsip
pacta sunt servanda dalam hukum
perjanjian, para pihak dalam suatu
perjanjian pada dasarnya dapat
memperjanjikan percepatan jatuh
tempo suatu hak dan/atau kewajiban
dan pengakhiran perjanjian dari yang
disepakati sebelumnya (early
termination) yang dilanjutkan dengan
close-out netting.
iv. Walaupun berdasarkan hukum
perjanjian, close-out netting dapat
dilakukan sebelum adanya kepailitan,
apabila akhirnya salah satu pihak
menjadi pailit pelaksanaannya dapat
terganggu di kemudian hari karena
berdasarkan Pasal 41 sampai dengan
Pasal 45 UU Kepailitan & PKPU
(menyangkut actio pauliana), kurator
dapat mempermasalahkan close-out
netting yang dilakukan.
2) Setelah adanya Putusan Pailit
Memperhatikan kendala penerapan prinsip
early termination dan close-out netting
dalam hubungan hukum transaksi derivatif
khususnya bila dikaitkan dengan ketentuan
dalam UU Kepailitan & PKPU maka dalam
hal early termination dan close-out netting
tersebut diakibatkan oleh events of default
berupa kepailitan (vide Pasal 5a(vii)(5) ISDA
Master Agreement), pelaksanaan early
termination dan close-out netting akan
bertentangan atau tidak sejalan dengan
ketentuan dalam UU Kepailitan & PKPU.
32
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
d) Asas konsensualisme dan pacta sunt servanda
dalam hukum perjanjian memberikan
kesempatan bagi para pihak yang ingin
melakukan transaksi derivatif OTC sesuai
kesepakatan. Namun demikian, hal tersebut
juga dapat mengakibatkan timbulnya perkara
perdata yang membutuhkan waktu dan biaya
yang besar.
e) Berdasarkan UU No.24 Tahun 1999 tentang
Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No.6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki
kewenangan untuk melakukan pengaturan
model atau standar perjanjian transaksi derivatif
OTC domestik.
2. Saran
a. Bank Indonesia perlu mengeluarkan ketentuan
yang mengatur standar atau model perjanjian
transaksi derivatif OTC di Indonesia.
b. Dalam rangka memberikan kepastian hukum
serta memperlancar kegiatan perekonomian
di Indonesia terutama terkait kegiatan transaksi
derivatif, ke depan perlu diatur bahwa prinsip
close-out netting merupakan suatu kegiatan
yang didahulukan atau dikecualikan dari proses
kepailitan sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan beberapa negara berkembang dan
negara maju lain.
c. Pengaturan mengenai pengecualian ketentuan
atau prinsip early termination yang ditindak-
lanjuti dengan close-out netting dari ketentuan
UU Kepailitan & PKPU dapat dimuat dalam
Amandemen UU Kepailitan & PKPU atau
Amandemen UU Perbankan ataupun dibuatkan
suatu undang-undang khusus yang terkait.
33
1. Buku dan Artikel
Sutedi, Adrian, Produk-Produk Derivatif dan Aspek Hukumnya, Alfabeta.
Litvinova, Anna - Pace University, A Regulatory Approach to Derivative Markets: The Benefits of Private Sector Oversight.
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015.
Badan Pembinaan Hukum Nasional - Kementerian Hukum dan HAM, Naskah Akademis Tentang Hukum PerdataIntenasional.
Muscat, Bernadette, OTC Derivatifs: Salient Practices and Developments Relating to Standard Market Documentation
Garner, Bryan A., Black's Law Dictionary, Pocket Edition.
Bank for International Settlements, Statistical Release - OTC Derivatives Statistics at end-December 2015, May 2016.
Christian M. McNamara & Andrew Metrick, The Lehman Brother Bankruptcy F: Introduction to The ISDA MasterAgreement, Yale School of Management, November 15, 2014.
Celent Securities & Investments Team, The Asian OTC Derivatives Market, A Study Prepared For ISDA.
Mengle, David, ISDA Head of Research, The Importance of Close-Out Netting, ISDA Research Notes Number 1, 2010.
Rae, Dian Ediana, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia, Penerbit PT Elex Media Komputindo,Kompas Gramedia - Jakarta.
Deuthsche Borse Group, The Global Derivatives Market - An Introduction, White Paper.
Manik, Edward, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV MandarMaju, Bandung.
Field Fisher Waterhouse, Commentary on the ISDA Master Agreement, February 2008.
Tumbuan, Fred B. G., Tanggung Jawab Direksi Sehubungan Dengan Kepailitan Perseroan Terbatas.
GuyLanie Charles, OTC Derivative Contracts in Bankruptcy: The Lehman Experience, NYSBA NY Business Law Journal,Spring 2009, Vol. 13 No. 1
GuyLanie Charles, The ISDA Master Agreement-Part I: Architecture, Risks and Compliance, Practical Compliance &Risk Management For The Securities Industry, January-February 2012.
Campbell, Henry Black, M. A., Black's Law Dictionary (Fifth Edition), St. Paul Minn, West Publishing Co., 1979.
ISDA, Netting and Offsetting: Reporting Derivatives under U.S. GAAP and Under IFRS, May 2012.
34
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
ISDA, The Legal Enforceability of The Close-out Netting Provision of the ISDA Master Agreement and Their Consequencesfor Netting on Financial Statements.
Jacqueline M. L., Seniour Counsel Asia, International Swaps and Derivatives Association, Inc, (ISDA), Manfaat, Resikodan Jenis-Jenis Transaksi Derivatif, Moderator: M. Arie Armand, Partner DNC Law Firm - Notulensi SeminarHukum Online - Peradi, Hitam-Putih Transaksi Derivatif: Anatomi Kontrak dan Peta Sengketa, Hotel Nikko, 12Agustus 2009.
Park, Joon and Suhn-Kyoung Hong, Special Treatment of Derivatives in Korean Insolvensy Proceedings: Comparisonwith the United States and Japan, Journal of Korean Law Vol. 7.
Mulyadi, Kartini, Kreditor Preferen dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan, Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-UndangKepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum Jakarta. 2005.
Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-pokok tentang Pengadilan Niaga.
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.
Mutiara Putri Artha, Pembatalan Perjanjian Transaksi Derivatif Serta Perananan Notaris Dalam Meminimalisasi RisikoPembatalan Perjanjian Transaksi Derivatif, Fakultas Hukum Program Studi Magister Kekhususan Notariat, Depok,Juli 2010.
Fuadi, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT Citra Adytia Bakti, Bandung.
Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Kencana Prenada Media Group.
Badrulzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan,PT Citra Adytia Bakti, 2015, Bandung
O. C. Kaligis, Aspek Hukum Transaksi Derivatif di Indonesia, Alumni, Bandung.
Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-UndangKepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum Jakarta, 2005.
Sinaga, Syamsudin M, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta.
Saul S. Cohen, The Challenge of Derivatives.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Cetakan 3,1986
Subekti dan R Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta Pradya Pramita.
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta,
Sutrisno, Lindung Nilai Sarana Hukum Menjaga Stabilitas Perekonomian (Studi Tentang Pengaturan Kewajiban LindungNilai), Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015.
Thomas Fitch, Dictionary of Banking Terms, Third Edition.
Vincent R. Johnson, International Financial Law: The Case Against Close-Out Netting.
35
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Wuri Prastiti Rahajeng, Aspek Hukum Internasional Dalam Kasus Antara JP Morgan Chase Bank National AssociationMelawan PT Kalbe Farma, Tbk, Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Internasional-Fakultas HukumUniversitas Indonesia, Depok, Juli 2012.
2. Putusan Pengadilan
Mahkamah Agung, Putusan No.38PK/Pdt/2012 tanggal 15 Agustus 2012.
Mahkamah Agung, Putusan No.2/PK/N/1999 tanggal 6 April 1999
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No.24/Pdt.G/2009/PN.JKT.SEL tanggal 9 September 2009.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan, No.81/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 30 Juli 2010.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No.638/Pdt.G/2011/PN.JKT.SEL yang menyitir Putusan Pengadilan NegeriJakarta Selatan No.269/Pdt.G/2009/PN.JKT.SEL tanggal 15 Juli 2009.
3. Ketentuan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Laws Of Malaysia Act 766, Netting Of Financial Agreements Act 2005.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
36
Abstrac
The principle of systematische specialiteit or systematic specialty stipulates that the act of a particular crime is
treated under an existing special rule. This principle determines which law should be considered during investigation,
adjudication, and judgment of an offence. This is currently stipulated under Article 14 of Law Number 31 Year 1999
which was amended by Law Number 20 Year 2001 concerning the Eradication of Corruption Crime. Implementation
of this principle has resulted controversies due to overlap and multi-interpretation of anti corruption law and administrative
penal law in the banking sector. An illustrated controversy is the policy taken by the Government of Indonesia and Bank
Indonesia during the global crisis in 2008. Although Government Regulation in lieu of Law Number 2 Year 2008 concerning
Bank Indonesia and Government Regulation in lieu of Law Number 4 Year 2008 concerning Financial Safety Nets are
special rules based on the Anti-Corruption Law, controversies lingered. This research formulates that the explicit insertion
of systematic specialty principle into administrative penal law, alleviates the controversy by the utilization of Regulatory
Impact Assessment (RIA) found in the Economic Analysis of Law (EAL) methodology. The findings of RIA present social
welfare maximization as stipulated under Article 33 of The Constitution 1945. Explicit insertion of the systematic specialty
principle into administrative penal law in the banking sector would bring about criminal law to be repositioned as ultimum
remedium.
Keywords: Systematic specialty principle, Regulatory Impact Assessment, Social welfare maximization.
Abstrak
Asas Kekhususan Sistematis atau systematische specialiteit mengatur bahwa ketentuan pidana yang bersifat
khusus akan diberlakukan sebagai 'ketentuan khusus dari yang khusus' yang telah ada. Asas ini digunakan untuk
menentukan undang-undang mana yang akan diterapkan sebagai landasan hukum untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu tindak pidana oleh Pengadilan. Asas kekhususan sistematis diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor
31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pelaksanaan asas tersebut telah mengakibatkan perdebatan hukum karena adanya multi-
interpretasi dan tumpang tindih kewenangan antara hukum pidana korupsi dan hukum pidana administrasi khususnya
Disusun oleh:
Paul Soetopo Tjokronegoro1
37
1 Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Penasihat Senior UniversitasPelita Harapan-Institute for Economic Analysis of Law and Policy (UPH-IEALP)
di bidang perbankan. Perdebatan tersebut antara lain tercermin pada kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam
menangani dampak krisis global 2008. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 tahun 2008
dan Nomor 4 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah ketentuan khusus berdasarkan asas kekhususan Sistematis,
akan tetapi perdebatan terus berlanjut. Penelitian ini merumuskan bahwa penormaan secara eksplisit asas kekhususan
sistematis ke dalam hukum pidana administrasi terutama di bidang perbankan dapat mengakhiri perdebatan dengan
menggunakan Regulatory Impact Assessment (RIA) sebagai salah satu alat metode Economic Analysis of Law (EAL).
Berdasarkan temuan dari penelitian, bahwa penormaan asas kekhususan sistematis menghasilkan optimalisasi kesejahteraan
sosial seperti yang disebutkan dalam Bab XIV pasal 33 dari UUD 1945. Dengan demikian, penormaan secara eksplisit
asas kekhususan sistematis ke dalam hukum pidana administrasi terutama di bidang perbankan dapat mengakhiri masalah
multi-interpretasi dalam penegakan hukum sehingga hukum pidana di-reposisi menjadi ultimum remedium.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
A. PENDAHULUAN
Prinsip Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
hukum”. Sebagai konsekuensi dari negara hukum,
maka hukum mengikat setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia,2 termasuk
didalamnya Pemerintahan dalam arti luas yang terdiri
atas kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif
yang wajib tunduk pada hukum. Prinsip negara
hukum yang diterapkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang digali dari
bumi Indonesia dan yang secara konsepsional dikenal
dengan Volksgeist.3 Sebagai suatu negara hukum,
maka Negara Indonesia merupakan negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).4
Selanjutnya Bab XIV Pasal 33 UUD 1945
mengamanatkan bahwa tujuan bernegara Indonesia
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah berupaya
meningkatkan pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menurunkan
kesenjangan sosial, dan menaikkan daya saing global
melalui seperangkat regulasi dan kebijakan-kebijakan.
Dalam melaksanakan upaya tersebut, Pemerintah
terkendala oleh maraknya tindak pidana korupsi yang
mengancam perekonomian nasional. Korupsi disebut
sebagai salah satu masalah krusial yang berdampak
destruktif terhadap performa perekonomian negara-
negara di dunia. International Monetary Fund (IMF)
memprediksi untuk tindak pidana penyuapan saja
telah menimbulkan biaya sebesar $1.5 Triliun sampai
$2 Triliun (kurang lebih 2% dari total nilai GDP dunia).
Mengingat tindak pidana penyuapan hanyalah
merupakan salah satu bentuk kejahatan korupsi,
biaya-biaya ekonomi dan sosial dari seluruh bentuk
kejahatan korupsi diestimasikan jauh lebih besar.5
Korupsi juga menimbulkan dampak yang korosif
dalam masyarakat dan telah memperlemah
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah dan
mengikis standar etik dari warga negara suatu
negara.6
38
2 Penjelasan atas Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
3 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, (Bandung:Penerbit Nusa Media, 2015) hal. 184.
4 Jimly Asshidiqi, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Makalah, diaksespada tanggal 20 Okt. 2015,http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hal. 2.
5 International Monetary Fund, “IMF Staff Discussion Note. Corruption:Costs and Mitigating Strategies”. (Staff Team from the Fiscal AffairsDepartment and the Legal Department, SDN/16/05, May 2016), hal. 5.
6 International Monetary Fund, “Fighting Corruption Critical for Growthand Macroeconomic Stability”. (IMF Survey Magazine: IMF Research),hal. 1.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi prioritas
utama Pemerintah untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi secara berkelanjutan. Upaya penegakan
hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi tentu
saja dapat menghilangkan perilaku-perilaku koruptif
pejabat negara, sehingga upaya memaksimalkan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai sesuai
dengan amanah konstitusi.
Kuatnya nuansa hukum pidana dalam pemberantasan
korupsi di tanah air telah menyeret ratusan
penyelenggara negara setingkat menteri, mantan
menteri, serta kepala daerah ke penjara. Dalam
pemberantasan korupsi ini berbagai kasus kebijakan
lembaga negara tidak luput dari proses hukum pidana.
Kondisi ini secara tidak langsung menghambat inovasi
dan kreativitas serta keberanian dan kenyamanan
para pejabat Pemerintah dalam mengambil keputusan.
Dalam praktik ditemukan suatu keputusan dan
tindakan dalam ranah administrasi dimasukkan dalam
ranah tindak pidana korupsi. Idealnya kesalahan
administrasi dapat dipisahkan dengan kesalahan
pidana mengingat kesalahan administrasi merupakan
peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
dalam mendeteksi penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan para pemimpin Kementerian/Lembaga.7
Salah satu akibat dari kriminalisasi kebijakan adalah
rendahnya penyerapan anggaran karena banyak
pejabat negara yang mencari 'aman', takut membuat
kebijakan dan tidak bergairah memutuskan proyek-
proyek besar yang berisiko hukum. Berkaca dari
pengalaman ini, Presiden Jokowi kemudian
menerbitkan lima instruksi terkait dengan adanya
kriminaliasi kebijakan, yang terdiri atas: (i) Larangan
memperkarakan kebijakan diskresi secara pidana; (ii)
Tindakan administrasi Pemerintah tidak dapat
dipidanakan; (iii) Lembaga Pemerintah harus diberikan
hak jawab atas temuan BPK dalam jangka waktu 60
hari; (iv) data kerugian negara harus bersifat konkret
dan tidak mengada-ada; (v) larangan untuk tidak
menyebarluaskan tuduhan yang belum terbukti dan
belum masuk proses hukum.8
Kebijakan dikatakan tepat atau tidak tepat hanya
dapat diketahui setelah kebijakan tersebut ditetapkan
dan dilaksanakan (post pactum). Kebijakan yang
kurang tepat tidak sepatutnya dijatuhi sanksi pidana.9
Pengundangan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan bertujuan untuk
meluruskan kecenderungan penegakan hukum yang
mengkriminalisasi kebijakan pejabat negara. Semangat
yang terkandung di dalam undang-undang ini pada
dasarnya merupakan bagian integral dari upaya
pencegahan tindak pidana korupsi untuk menciptakan
Pemerintahan yang zero corruption. Namun demikian,
implementasi undang-undang ini masih belum bisa
menyelesaikan perdebatan narasi terkait sampai
dimana batasan hukum pidana untuk tidak menjadikan
kebijakan pejabat negara sebagai objek dari hukum
materilnya maupun hukum formilnya.
Dominannya posisi sanksi hukum pidana dalam
penegakan hukum seolah-olah telah menjadikan
sanksi hukum pidana sebagai senjata utama dan
pertama (primum remidium). Konsep norma ancaman
sanksi pidana sebagai politik hukum pidana terbuka
(open legal policy) dapat merampas hak-hak
konstitusional warga negara Indonesia.10 Kondisi ini
perlu diselesaikan melalui upaya reposisi sanksi hukum
pidana kembali menjadi 'senjata pamungkas' dalam
upaya penegakan hukum (ultimum remidium).
39
7 Eko Prasodjo, “Dua RUU untuk Cegah Pemidanaan Kesalahan Administrasi”,Artikel, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI,www.menpan.go.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2015.
8 Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat (disampaikanoleh Presiden RI kepada jajaran pimpinan penegak hukum, kepolisiandan kejaksaan tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara),http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkait-larangan-kriminalisasi.
9 Hikmahanto Juwana, “Patutkah Pengambil Kebijakan Dipidana?”, Artikel,Surat Kabar Harian Media Indonesia, Rabu 26 Maret 2014.
10 Titis Anindyajati, Irfan Nur Rachman, Anak Agung Dian Onita,“Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum Remediumdalam Pembentukan Perundang-Undangan”. (Jurnal MahkamahKonstitusi, Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan TeknologiInformasi Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.24 November 2015), hal. 889.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Kenyataan ini menunjukkan belum diterapkannya
asas kekhususan sistematis atau systematische
specialiteit, dimana asas tersebut mengatur
pemberlakuan ketentuan perundang-undangan yang
bersifat khusus atau “bersifat khusus dari aturan
khusus lainnya” yang ada sebagaimana telah diatur
secara eksplisit di dalam Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah ke
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-
undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam penelitian ini diangkat kasus tentang kebijakan
Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menjaga
stabilitas sistem keuangan sebagai akibat dampak
dari krisis global tahun 2008 yang menimbulkan
dampak destruktif.11 IMF menilai krisis global tersebut
merupakan krisis terbesar sejak The Great Depression
tahun 1930. Kerugian besar dialami oleh lembaga-
lembaga keuangan besar, antar lain Union Bank of
Switzerland, Citibank, dan Merrill Lynch. Bank sentral
Amerika Serikat dan Eropa harus memompa likuiditas
dari masing-masing negara sebesar $ 24 Miliar, dan
¤ 95 Miliar.12 Bank-bank dan lembaga keuangan non-
bank berskala besar berguguran dan mengancam
pasar keuangan seluruh dunia. Sebagai respon,
pemerintah dan bank-bank sentral terpaksa melakukan
bailout besar-besaran, melakukan nasionalisasi, atau
menutup sejumlah lembaga keuangan, baik bank
maupun non-bank.
Pemerintah Amerika Serikat menyelamatkan Fannie
Mae dan Freddie Mac yang menjadi program bailout
terbesar dalam sejarah. Bear Stearns di bailout sebesar
$29 Miliar dan Northern Rock sebesar £95 Miliar,
sedangkan Lehman Brothers ditutup. Pemerintah AS
mengumumkan paket penyelamatan sistem keuangan
sebesar $700 Miliar, Inggris sebesar £50 Miliar, dan
Jerman sebesar ¤50 Miliar.
Dampak krisis dunia terasa di Indonesia mulai Oktober
2008 seperti terjadinya penurunan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 50% dan
dihentikannya (suspend) Bursa Efek Jakarta (BEJ)
pada tanggal 8 Oktober 2008 selama 2 hari karena
koreksi pasar 10.4%, nilai tukar Rupiah yang sebelum
Lehman Brothers sebesar Rp. 9000,- per USD menjadi
Rp. 12.600,- (depresiasi 40%) credit default melemah
1200 bp, cadangan devisa turun yang disebabkan
oleh intervensi pasar valas dan berlanjutnya capital
out flow. Sebagai respon, Pemerintah mengeluarkan
tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU) yaitu tentang Bank Indonesia, Lembaga
Penjamin Simpanan, dan Jaring Pengaman Sistem
Keuangan.
Bank yang langsung memanfaatkan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia
adalah Bank Century yang memperoleh FPJP sebesar
Rp 689 Miliar; penetapan sebagai bank gagal yang
ditengarai berdampak sistemik; dan kemudian diambil
alih oleh LPS dengan biaya sebesar Rp 6,7 trilyun.
Proses penyelamatan Bank Century dan pemidanaan
Budi Mulya, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia,
menimbulkan kontroversi hukum yang kompleks di
ranah Legislatif, Eksekutif, Yudikatif dan di kalangan
akademisi.
Untuk mengakhiri perdebatan narasi antara hukum
pidana korupsi dengan hukum pidana administrasi
seperti di atas, peneliti mengkaji tentang penormaan
asas kekhususan sistematis terhadap undang-undang
pidana administrasi khususnya di bidang perbankan
dengan menggunakan metode Economic Analysis of
Law (EAL) terutama perangkat (tool) Regulatory Impact
Assessment (RIA) yang kuantitatif dan kualitatif. Dalam
pengkajian ini peneliti memilih alternatif opsi regulasi
40
11 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed),“Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia”(Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,Bank Indonesia, 2009), hal. 41.
12 Ibid, hal. 45-46.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
terbaik yang memberikan dampak kesejahteraan
sosial yang optimal (social welfare maximization) yang
berarti efisien dan dengan demikian dinilai adil.13
Metode pendekatan yang dipergunakan adalah
metode hukum normatif didukung dengan analisis
data yang terdiri dari analisis kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian hukum normatif dimaksudkan sebagai
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.14 Penggunaan
metode yuridis normatif bersifat kualitatif dalam
penelitian ini didasarkan pada alasan sebagai berikut:
(1) analisis kualitatif didasarkan pada paradigma
hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep,
dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi
yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan
pada apa yang dikumpulkan; (2) data yang akan
dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya; dan (3)
sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian
adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu
kesatuan yang integral (holistic).15
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode yuridis kualitatif, yaitu dengan
menganalisis data-data sekunder secara kuantitatif
dari sudut pandang ilmu hukum sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan. Data yang diperoleh kemudian
disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang dibahas tanpa dipergunakannya rumus
ataupun angka. Data sekunder dan data primer
sebagaimana dalam penelitian yang sifatnya deskriptif
analitis dengan pendekatan yuridis normatif, dan
menggunakan metode Economic Analysis of Law
(EAL).
Analisis data dalam penelitian ini adalah tentang asas
kekhususan sistematis mempergunakan metode EAL
dengan perangkat-perangkatnya, seperti Regulatory
Impact Assessment (RIA) dan Cost Benefit Analysis
(CBA). Metodologi EAL dapat didasarkan dari Jeremy
Bentham, John Rawls, dan Richard Posner.
Jeremy Bentham mengungkapkan bahwa:16
“Felicific calculus, which is simply a rather obscure
label for the process by which he believes it is possible
to quantify (or calculate) the amount of pleasure or
pain which will ensue from any specific action. The
basis of the felicific calculus is that there are various
qualities (namely, intensity, duration, certainty,
propinquity, fecundity, purity and extent) each of
which has to be assessed in order to assess the utility
of an act.”
Penelitian komprehensif atas fondasi-fondasi
pendekatan EAL dapat dilihat pada pertanyaan-
pertanyaan di bawah ini:17
1. What is economic efficiency; that is, what does
it mean to say that resources are allocated in an
economically efficient manner or that a body of
law is efficient?. (Apa yang dimaksud dengan
pernyataan alokasi sumber daya yang efisien secara
ekonomis atau isi dari hukum adalah efisien?);
2. Does the principle of efficiency have explanatory
merit, that is, can the rules and principles of any
or all of the law be rationalized or subsumed
under an economic theory of legislation or
adjudication? (Apakah prinsip efisiensi memiliki
penjelasan mengenai kepantasan, yakni dapatkah
aturan-aturan hukum dan prinsip-prinsip hukum
dirasionalisasikan atau diklasifikasikan ke dalam
teori legislasi ekonomi atau adjudikasi?)
41
13 Richard A. Posner, The Economics of Justice, (Cambridge: Harvard UniversityPress, 1981), hal. vii.
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: SuatuTinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13-14.
15 Jhoni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2,(Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hal. 302.
16 Ian McLeod, Legal Theory, (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hal.163.
17 Avery Wiener Katz, Foundations of The Economic Approach to Law,(LexisNexis Matthew Bender, 2006), hal. 10.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. How should law be formulated to promote
efficiency; that is, in what ways must legal rights
and duties be assigned and enforced so that the
rules that assign and enforce them are efficient?
(Bagaimana seharusnya hukum diformulasikan
untuk menciptakan efisiensi; dengan cara apa
hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum
seharusnya ditetapkan dan ditegakan?)
4. Ought the law pursue economic efficiency; that
is, to what extent is efficiency a desirable legal
value in particular, and a normatively attractive
principle in general? (Anggap hukum ditujukan
untuk mencapai efisiensi ekonomi; dalam batasan
apa efisiensi dijadikan nilai hukum secara khusus
dan tercakup dalam prinsip secara umum?).
Pelaksanaan RIA mempertimbangkan perbedaan
elemen-elemen yang membentuk suatu peraturan
perundang-undangan, prinsip-prinsip umum dan
“think-real-approach”. Dalam analisis ini, perhitungan
biaya dan manfaat menghadirkan aspek-aspek yang
paling relevan dalam penilaian atas data dan asumsi-
asumsi yang digunakan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kebijakan Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan mekanisme paling keras
yang dimiliki oleh negara dalam mengupayakan
kontrol sosial. Sanksi pidana - sebagai sarana
untuk menghukum pelaku kejahatan demi
melindungi kepentingan masyarakat - memberikan
timbal balik berupa perampasan kemerdekaan
(pidana penjara) dan perampasan harta benda
bagi siapa yang dituntut pidana karena melanggar
aturan-aturan yang ditetapkan sebagai perbuatan
pidana (constitute counter-breaches of interalia
the liberty and property of those convicted).18
Proses peradilan pidana yang dimulai dari tahapan
pra-ajudikasi sampai dengan tahap pasca-ajudikasi
memiliki dampak yang besar terhadap hak-hak
pelaku tindak pidana sebagai warga negara dan
termasuk efek melekatnya stigma terhadap pelaku
tindak pidana tersebut. Hukum pidana harus selalu
menjadi alat terakhir dari proses penegakan hukum
(measure of last resort).19
Kebijakan hukum pidana merupakan hal yang
penting karena dapat membentuk pola pemikiran
para pembentuk undang-undang untuk
menyesuaikan aturan-aturan hukum agar sesuai
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat
yang semakin kompleks.20 Van Bemmelen
berpendapat yang membedakan hukum pidana
dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum
pidana yang merupakan pemberian ancaman
penderitaan dengan sengaja dan sering juga
disebut pengenaan nestapa. Perbedaan demikian
menjadi alasan untuk menganggap bahwa hukum
pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha
terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia,
terutama penjahat, serta memberikan tekanan
psikologis agar orang lain tidak melakukan
kejahatan tersebut. Oleh karena sanksinya yang
bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan
hukum pidana sedapat mungkin dibatasi, dengan
kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-
sanksi hukum lain tidak memadai lagi.21
Prinsip legalitas di dalam hukum pidana merupakan
nilai inti dari hak asasi manusia serta pembelaan
yang fundamental dalam proses penuntutan
42
18 Maria Kaifa-Gbandi, “The Importance Of Core Principles Of SubstantiveCriminal Law For European Criminal Policy Respecting FundamentalRights And The Rule Of Law”, (European Criminal Law Review, No. 1,Vol. 1, 2011), hal. 7.
19 European Commission, “Towards An EU Criminal Policy: Ensuring TheEffective Implementation Of EU Policies Through Criminal Law”,(Communication From The Commission To The European Parliament,The Council, The European Economic And Social Committee And TheCommittee Of The Regions, Brussels, September 2011), hal. 7.
20 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan HukumPidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008),hal. 19.
21 Andi Zainal Abidin, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: UniversitasIndonesia, 1987), hal.16.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dimana mensyaratkan tidak ada perbuatan yang
dapat dipidana bila tidak diatur sebagai tindak
pidana dalam undang-undang. Nullum Crimen,
nulla poena sine lege merupakan fakta yang
menjamin kebebasan individu; melindungi setiap
individu dari intervensi negara yang tidak adil dan
melanggar hukum. Prinsip ini menjamin keadilan
dan transparansi dari pelaksanaan kekuasan
yudisial.22
Albert Venn Dicey dalam bukunya yang berjudul
Introduction of the Law of the Constitution (1988)
menyatakan bahwa kepastian hukum yang berasal
dari implementasi asas legalitas membentuk prinsip
utama dari rule of law yang dikemukannya sebagai
berikut:23
“No man is punishable or can be lawfully made
to suffer in body or goods except for a distinct
breach of law established in the ordinary legal
manner before the ordinary Courts of the land”.
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan
seorang anggota parlemen bernama Meckay
dalam rangka pembahasan rancangan KUHP, yang
antara lain menyatakan bahwa “Asas pokok pidana
ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka
yang menciptakan onrecht (perbuatan melawan
hukum) merupakan syarat mutlak dan perbuatan
itu melanggar hukum ancaman pidana.24
Praktik prinsip legalitas di negara-negara Civil
Law sangatlah ketat. Sebagai contoh, hakim
dalam memeriksa perkara pidana di pengadilan
dilarang untuk menganalogikan undang-undang
dan dianggap tahu akan hukumnya (in dubio pro
reo). Bahkan pada faktanya, hakim yang secara
sengaja salah menginterpretasikan undang-undang
akan menjadi subyek terhadap pembebanan
pertanggungjawaban pidana. Dalam hukum
pidana, prinsip ini merupakan pembatas bagi
judicial discretion.25
Prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana
ini berperan sebagai landasan fundamental dalam
mempertimbangkan penggunaan sanksi lain
sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam
dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang
maka baru dipergunakan hukum pidana.26 Hukum
pidana adalah last resort dalam penegakan hukum
bilamana hukum perdata dan hukum administrasi
tidak berhasil, kecuali tindakan yang benar-benar
melanggar hukum pidana.
Douglas Housak dalam bukunya mengutip
pendapat dari Richard Posner terkait doktrin
substantif dari hukum pidana. Disebutkan bahwa:27
“the substantive doctrines of the criminal law ...
can be given an economic meaning and can indeed
be shown to promote efficiency”. The major
function of criminal law in a capitalist society is
to prevent people from bypassing the system of
voluntary, compensated exchange-the 'market,'
explicit or implicit-in situations where ... the market
is a more efficient method of allocating resources
than forced exchange. Efficiency-the ultimate
objective of law is a technical term of art, equivalent
in economic analysis to wealth maximization. The
43
22 Iulia Crisan, “The Principles of Legality “Nullum Crimen, Nulla PoenaSine Lege” and Their Role”, (Effectius Newsletter, Issue 5, 2010), hal.3.
23 Michael Faure, Morag Goodwin, and Franziska Weber, “The Regulator'sDilemma: Caught between the Need for Flexibility and the Demands ofForeseeability. Reassessing the Lex Certa Principle. (Weber RotterdamInstitute of Law and Economics (RILE) Working Paper Series No. 2013/03),hal. 26.
24 Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpentingdari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannyadalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 600.
25 Markus Dubber, “Comparative Criminal Law,” The Oxford Handbookof Comparative Law, Ed. Mathias Reimann and Beinhard Zimmermann(New York: Oxford University Press, 2006), hal. 1314.
26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rajagrafindo,2006), hal. 56.
27 Douglas Housak, Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law,(New York: Oxford University Press, 2008), hal. 181.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
particular distribution of resources that maximizes
wealth places all goods in the hands of persons
who value them most. One individual values a
resource more than another if he is willing to pay
more for it in money (or its equivalent). Market
is, virtually by definition, the most efficient method
of allocating resources.What is and ought to be
forbidden, “is a class of inefficient acts”-acts that
fail to maximize wealth”.
Pandangan Posner mengenai doktrin substantif
dari hukum pidana telah membawa perubahan
paradigma dalam menilai bagaimana hukum
pidana (baik materil maupun formil) berfungsi di
tengah masyarakat modern saat ini.28
Pidana bertujuan untuk memenuhi fungsi
supremasi sosial dengan cara menggambarkan
garis pemisah antara bagian mana yang berharga
secara sosial kemasyarakatan dan bagian mana
yang tidak. Garis inilah yang menetapkan batasan
bagi masyarakat untuk tetap berada dalam tatanan
ketertiban umum.29 Hukum pidana merupakan
cabang ilmu hukum yang didalamnya melekat
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa
pidana kepada setiap pelanggar ketentuan pidana
yang ditujukan untuk mengembalikan ketertiban
dan kesejahteraan masyarakat.
2. Kebijakan Hukum Administrasi Negara
Pada prinsipnya, suatu negara merupakan suatu
machtsorganisatie (organisasi kekuasan). Bila
dalam suatu organisasi terdapat unsur
Penguasa/Pemerintah, maka dalam organisasi
tersebut dapat dilaksanakan suatu kekuasaan
(gezag). Keputusan-keputusan dapat dikeluarkan
sepihak yang mengikat terhadap orang lain.30
Sebagai suatu organisasi yang memegang
kekuasaan, maka diperlukan batasan dan
pengawasan atas pihak-pihak yang memegang
kekuasaan, karena pelaksanaan suatu kekuasaan
memiliki pengaruh dan akibat terhadap
masyarakat. Menurut F.R. Bohtlingk, dalam suatu
negara hukum, penyelenggaraan kekuasaan
negara dan pemerintahnnya harus dibatasi oleh
hukum. Hukum Administrasi Negara merupakan
instrumen untuk mengawasi penyelenggaraan
atau pelaksanaan kekuasaan tersebut.31
Kewenangan yang terdiri dari beberapa wewenang
merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang
tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan yang berlandaskan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan adalah
kekuasaan yang mempunyai landasan hukum, agar
tidak timbul kesewenang-wenangan. Wewenang
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum publik. Hak adalah kekuasaan
untuk melakukan suatu tindakan hukum privat.32
Setiap pejabat aparatur negara juga memiliki
kewenangan diskresi yang melekat pada
jabatannya. Dalam lapangan hukum administrasi
negara, freies emerssen, pouvoir descretionnaire
atau discretionary power memungkinkan
pemerintah melaksanakan fungsinya dalam
keadaan darurat atau luar biasa, mengeluarkan
kebijakan yang menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku, demi
kepentingan umum dan dalam keadaan darurat.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi
didefinisikan sebagai:33
44
28 Ibid.
29 William Wilson, Central Issues in Criminal Theory, (Oxford-PortalandOregon: Hart Publishing, 2002), hal. 48.
30 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan TataUsaha Negara, Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hal. 68.
31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),hal. 25, mengutip Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan HukumTata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, PT. Alumni,Bandung, 1975, hal. 21.
32 Ibid.
33 Vide Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. (Lembaran NegaraTahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi
dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak
jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Brian Thompson mendefinisikan diskresi sebagai:34
“definition of discretion states that a public officer
has discretion whenever the effective limits of his
power leave him free to achieve among possible
course of action and in action”.
Dalam praktiknya diskresi muncul dalam dua
bentuk, yaitu apakah sebagai konsekuensi atas
adanya kewenangan yang melekat pada jabatan
(conferment of power) atau sebagai hasil akibat
ketiadaaan atau adanya ketidakpastian hukum
materil (absence or indeterminacy of legal
materials).35
Pelaksanaan diskresi oleh pejabat aparatur negara
merupakan salah satu upaya untuk mencapai
tujuan bernegara. Pelaksanaan diskresi yang sesuai
dengan substansi, prosedur dan tujuannya pada
dasarnya adalah pengejawantahan dari upaya
mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan merupakan instrumen
hukum administratif yang dijadikan tolak ukur
oleh pejabat negara dalam mengambil kebijakan.
Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
merupakan mekanisme administratif terkait
penyalahgunaan kewenangan, baik yang
menimbulkan kerugian negara ataupun tidak
menimbulkan kerugian negara. Menurut Eko
Prasodjo, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
lebih menitikberatkan pada pencegahan tindak
pidana korupsi.36 Misi dari undang-undang ini
adalah zero corruption dengan memperkuat
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)
dan tata cara proses pengambilan keputusan
dalam pemerintahan.37
Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan
melengkapi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang ini
akan menjadi hukum materiil yang menjadi
panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian
dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian
gugatan masyarakat kepada pemerintah atas
keputusan dan tindakan asas pemerintahan.
Hal tersebut diberlakukan karena Hakim TUN dan
Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan
gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua
hukum, yaitu yurisprudensi dan asas-asas umum
penyelenggaraan pemerintah yang baik sebagai
meta-norma dalam proses pembuatan keputusan.38
Eksistensi Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan pada hakikatnya merupakan bagian
dari reposisi hukum pidana sebagai ultimum
remidium. Dalam hubungannya dengan Undang-
Undang pidana administrasi di bidang perbankan,
terutama dalam tataran pengambilan kebijakan
pencegahan dan penanganan krisis sistem
keuangan, Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan merupakan instrumen hukum
administrasi yang berfungsi sebagai penilai
kebijakan yang diambil oleh pejabat-pejabat negara
45
34 Brian Thompson, Constitutional and Administrative Law, 3th Ed., (London:Black Stone Press Limited, 1997), hal. 355.
35 John Bell, “Discretionary Decision-Making: A Jurisprudential View” dalamKevin Hawkins (ed), The Uses of Discretion, (Oxford: Clarendon Press,1992), hal. 97.
36 http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4906-harus-ada-kesamaan-persepsi-apip-dan-penegak-hukum-terjemahkan-uu-adpem diakses pada12 Agustus 2016
37 http://www.itjen.kemenkeu.go.id/baca/244 diakses pada 12 Agustus 2016.
38 http://ekoprasojo.com/2015/01/12/sosialisasikan-undang-undangadministrasi pemerintahan/Diakses pada tanggal 12 Agustus 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
di sektor sistem keuangan (financial safety net
players). Kesalahan administrasi dalam pengambilan
kebijakan pencegahan dan penanganan krisis
sistem keuangan tidaklah serta merta menjadi
kesalahan dalam koridor pidana korupsi.
Implementasi instrumen penilaian atas kebijakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
didukung dengan penormaan asas kekhususan
sistematis ke dalam kelompok Undang-Undang
Pidana Administrasi Pemerintahan pada hakikatnya
ditujukan untuk memberikan batasan yang tegas
atas wewenang hukum pidana korupsi dan hukum
pidana administrasi.
2.1.Kedudukan Asas Kekhususan Sistematis
(Systematische Specialiteit)
Kebijakan hukum pidana melalui implementasi
asas kekhususan sistematis (systematische
specialiteit) merupakan upaya penting dalam
harmonisasi dan sinkronisasi antar undang-
undang yang terkandung sanksi pidana
didalamnya, baik itu yang bersifat pure criminal
act ataupun hukum pidana administrasi
(administrative penal law). Asas kekhususan
sistematis terdapat pada pasal 14 UU Tipikor.
Interpretasi terhadap pasal ini tidak seragam
sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya
kriminalisasi kebijakan pejabat. Munculnya
banyak undang-undang administrasi yang
bersanksi pidana (administrative penal law)
merupakan fenomena yang menarik untuk
ditinjau secara akademis. Beberapa sanksi
pidana dalam undang-undang administrasi
diantaranya dapat diklasifiksaikan sebagai
sanksi pidana berat, mulai dari sepuluh sampai
dengan lima belas tahun, pidana penjara
seumur hidup, bahkan ada pula dengan
ancaman pidana mati.39 Sebagian ahli
berpendapat dengan semakin banyaknya
undang-undang administrasi yang bersanksi
pidana telah menjadikan hukum pidana
bergeser sifatnya dari ultimum remedium
menjadi primum remedium.
Berkembangnya undang-undang administrasi
yang bersanksi pidana tidak lepas dari bagian
kebijakan hukum pidana. Menurut La-Patra
sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda
Nawawi Arief, “Crime Policy” dikatakan efektif
apabila mampu mengurangi kejahatan
(reducing crime), baik dalam arti mampu
melakukan pencegahan kejahatan (prevention
of crime) maupun dalam arti mampu
melakukan perbaikan terhadap pelaku
kejahatan itu sendiri (rehabilitation of
criminals).40 Apabila ternyata kejahatan tidak
berkurang tetapi justru semakin meningkat,
maka hal ini dapat dilihat sebagai suatu
petunjuk atau indikator tidak tepatnya lagi
kebijakan perundang-undangan yang ada.41
2.2.Kewenangan Bank Sentral Dalam
Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Bank sentral memiliki peran yang sangat
sentral dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Menjaga tingkat kestabilan sistem
keuangan merupakan hal yang mutlak dalam
menghindari krisis dimana peran ini dijalankan
oleh bank sentral. Stabilisasi sistem keuangan
merupakan cara utama untuk mencegah
terjadinya krisis. Krisis keuangan juga sering
disebut sebagai banking panics, bank runs
dan banking collapse. Penggunaan terminologi
krisis “keuangan” karena sistem keuangan
yang ada hari ini jauh lebih canggih, sumber
dari krisis dapat berasal dari pasar modal atau
lembaga keuangan non bank daripada bank
46
40 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:Alumni, 1998), hal. 199.
41 Ibid.39 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 3.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
sendiri, meskipun bank juga memiliki pengaruh
besar.42
Sistem keuangan memerankan fungsi esensial
untuk menyalurkan dana pihak ketiga kepada
individu atau badan usaha yang memiliki
kesempatan investasi yang produktif. Untuk
menjalankan perannya dengan baik, para pihak
di dalam sistem keuangan harus mampu untuk
membuat penilaian akurat tentang tujuan dari
investasi mereka. Stabilitas sistem keuangan
adalah sebuah kondisi dimana hubungan
intermediaries lembaga keuangan terjalin
secara efisien dan optimal diantara para pelaku
pasar (ultimate borrowers and ultimate lenders).
Untuk mendefinisikan stabilitasasi sistem
keuangan, Martin Cihak menggambarkannya
dalam tabel sebagai berikut:43
Stabilitas sistem keuangan tidak hanya
mengindikasikan bahwa sistem keuangan
menjalankan perannya dalam mengalokasikan
sumber dana dan risiko, tetapi juga mobilisasi
dan memfasilitasi akumulasi, perkembangan
dan pertumbuhan kekayaan. Selain itu, sistem
keuangan yang stabil mengindikasikan
terjaganya sistem pembayaran secara lancar
dan mampu mendukung kelancaran kegiatan
ekonomi.44
Tujuan utama dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan adalah untuk mencegah terjadinya
krisis dalam sistemnya. Krisis pada sistem
keuangan akan berpengaruh negatif bagi
keseluruhan perekonomian suatu negara.
Oleh karena itu, perlu diterapkannya suatu
mekanisme untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan. Model kerangka berpikir dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan dapat
ditunjukan pada gambar di bawah ini.
Peran bank sentral sangatlah penting di dalam
sistem keuangan. Kebijakan moneter tidak
dioperasikan dalam keadaan statis, namun
dilaksanakan melalui bank dan pasar. Banyak
permasalahan yang berat muncul dalam
47
42 Ian Macfarlane, “The Stability of The Financial System”, (Reserve Bankof Australia Bulletin, August 1999), hal. 34.
43 Martin Cihak, “How Do Central Banks Write on Financial Stability?, (IMFWorking Paper WP/06/13, International Monetary Fund, June 2006),hal. 8.
MONITORING AND ANALYSIS
MacroeconomicConditions
FinancialMarkets
FinancialInstitutions
FinancialInfrastructure
ASSESSMENT
REMEDIAL ACTIONPREVENTION RESOLUTION
Outside financialstability corridor
Inside financialstability corridor
Near boundarystability corridor
FIANANCIAL STABILITY
Gambar 1Definition of Financial Stability.
Martin Cihak (2006)
Financial Stability
Financial Stability
Financial Stability
Financial Stability
Financial CrisisVolatility
(turbulance, bubbles)
NO
NOT NOWBUT PLAUSIBLE
YESSIG
NIF
ICA
NT
SHO
CK
S
NOT APPARENT APPARENT
SIGNIFICANT EXPOSURE
Gambar 2Framework For Maintaining Financial System
Stability. Aerdt Houben, Jan Kakes, danGarry Schinasi (2004)
44 Iskandar Simorangkir (ed), Op.Cit., hal. 415.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
menjaga sistem keuangan ditengah era praktik
perbankan modern berasal dari moral hazard
(keadaan dimana bank-bank bertindak secara
ceroboh dan kurang bertanggungjawab karena
berekspektasi bahwa ketika terjadi default
pada bank tersebut, bank sentral atau
pemerintah pasti akan memberikan bantuan
pendanaan). Dengan kata lain, para pejabat
di bank sentral wajib menjaga kestabilan sistem
keuangan secara berkelanjutan.45
Tidak dapat dipungkiri bahwa stabilitas moneter
dan stabilitas keuangan dapat diibaratkan
sebagai satu koin mata uang yang memiliki
dua sisi yang dapat dibedakan tapi tidak dapat
dipisahkan. Dalam hal ini stabilitas moneter
dapat tercapai hanya apabila stabilitas keuangan
dapat dijaga, dan demikian pula sebaliknya.
Keterkaitan antara kedua stabilitas tersebut
menunjukkan bahwa kedua pilar stabilitas
tersebut harus dijaga secara bersamaan
(simultaneously).46 Ketidakstabilan sistem
keuangan menganggu fungsi sistem keuangan
dalam intermediasi dan transmisi moneter
sehingga pertumbuhan ekonomi menimbulkan
ketidakstabilan moneter,47 dan hal inilah yang
memicu terjadinya krisis sistem keuangan.
Krisis keuangan mengakibatkan gangguan
hebat terhadap berfungsinya sistem keuangan
dan moneter yang berjalan mulus dalam
mempertahankan efisiensi disaat normal.
Sangat disayangkan krisis keuangan telah
terjadi terlalu sering sepanjang sejarah
meskipun sudah banyak upaya dilakukan untuk
mencegahnya. Sangat sulit memperkirakan
bahwa tidak akan terjadi krisis lagi di waktu
depan hanya tidak dapat diketahui kapan akan
terjadi. Dalam beberapa tahun setelah krisis
global terakhir telah terjadi banyak krisis dunia,
yang bahkan sampai saat ini belum jelas
solusinya. Sedikitnya terdapat 3 jenis krisis
yaitu krisis perbankan (banking crisis),
pembekuan kredit dan pasar uang (credit and
market freeze), dan krisis nilai tukar (currency
crisis).48 Krisis perbankan yang biasanya diikuti
oleh kepanikan bank (bank panic) dan
penarikan dana besar-besaran (bank run) secara
kasat mata terlihat menakutkan.
Bank dikenal dengan pembiayaannya yang
berjangka panjang dengan dana jangka
pendek. Mismatch antara penerimaan dan
penarikan dana terjadi hampir setiap hari.
Masalahnya adalah bila terjadi kekurangan
likuiditas di pasar sedangkan tidak ada sumber
lain untuk menutup mismatch sehingga
mengganggu kelancaran sistem pembayaran
yang mengakibatkan terganggunya investasi.
Dalam situasi seperti ini, bank sentral
menghadapi 2 pilihan yaitu menolak memberi
bantuan atau menyetujui bantuan likuiditas.
Dalam situasi normal, mungkin penutupan
bank tidak banyak menimbulkan masalah.
Berbeda dengan keadaan krisis, dimana terjadi
penurunan kepercayaan, pilihan bank sentral
sangat terbatas bahkan mungkin hanya tersedia
satu pilihan yaitu memberi bantuan likuiditas.49
Pada saat krisis negara dihadapkan pada 3
pilihan yaitu: mempertahankan kebebasan
capital flow, mempertahankan otonomi
kebijakan moneter, atau menstabilkan nilai
tukar. Pilihan-pilihan tersebut tidak dapat dipilih
semua bersamaan karena ada 'conflicting'
impacts. Dalam situasi global yang sudah
sangat dalam saat ini pilihan capital control
48
48 Ibid, hal. 2-3.
49 Ibid, hal. 7.
45 Marjorie Deane & Robert Pringle, The Central Banks, (USA: PenguinGroup, USA, 1995), hal 342.
46 Iskandar Simorangkir (ed), Op.Cit., hal. 420-421.
47 Ibid.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dan kembali ke fixed rate system hampir
mustahil. Oleh karena itu kebanyakan bank
sentral memilih mempertahankan otonomi
dalam menentukan kebijakan moneter dengan
melakukan 'intervensi' terbatas di pasar valuta
untuk menstabilkan nilai tukar.
Walter Bagehot50 menyediakan teorinya yaitu
untuk memberi bantuan guna menutup
mismatch kepada bank yang 'sehat', berapapun
jumlahnya dengan 2 syarat utama yaitu: (i)
suku bunga penalty; dan (ii) dengan jaminan
yang cukup. Dalam situasi krisis yang hebat,
bantuan ini bahkan tidak lagi melihat tingkat
kesehatan bank - sehat atau tidak - karena
dikhawatirkan adanya dampak sistemik.
Dari argumen inilah muncul fungsi bank sentral
sebagai lender of last resort (LOLR) yaitu untuk
menjaga kelancaran sistem keuangan dan
moneter dengan mempertahankan sistem
pembayaran. Bila tidak dilakukan akan
menimbulkan gangguan terhadap sistem
keuangan yang selanjutnya akan berdampak
besar kepada kelangsungan ekonomi nasional.51
2.3.Regulatory Impact Assessment (RIA)
Analisa Dampak Regulasi (Regulatory Impact
Assessment atau RIA) merupakan salah satu
perangkat atau teknik yang terkandung di
dalam EAL. RIA sering digambarkan sebagai
perangkat penilai dalam mengevaluasi dampak
dari regulasi-regulasi yang telah ada atau yang
akan dibuat.52 Penerapan RIA telah menjadi
fenomena global dalam rangka memberikan
respon terhadap tekanan akan adanya regulasi
yang efektif dan efisien yang berlaku di dalam
masyarakat.53 RIA berupaya untuk memeriksa
dan mengukur manfaat, biaya, dan dampak
dari perubahan dan/atau rancangan dari
peraturan perundang-undangan, dan
mempunyai ciri: (i) sebuah perangkat utama
bagi pemerintah untuk mengambil keputusan;
(ii) mendukung pelaksanaan reformasi regulasi;
(iii) telah digunakan oleh seluruh negara-
negara anggota Organization for Economic
Co-operation Development (OECD); dan (iv)
penerapannya bersifat kasuistis.54
Regulasi merupakan instrumen hukum yang
esensial bagi pemerintah untuk mencapai
tujuannya, namun regulasi tentu saja akan
memiliki dampak yang sangat luas pada
berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-
beda dengan dampak yang berbeda-beda
pula. RIA dapat membantu dalam memberikan
pemahaman mendalam dan komprehensif
terkait siapa yang akan terkena dampak dari
regulasi dan bagaimana caranya.55
RIA adalah perangkat yang digunakan oleh
regulator untuk membimbing mereka dalam
proses pengambilan keputusan ketika
merancang regulasi, dan RIA digunakan untuk
menggambarkan berbagai jenis alternatif yang
ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan,
serta membandingkan manfaat dan biaya dari
masing-masing alternatif.56
49
50 Walter Bagehot, Lombard Street:A Description of the Money Market,(London: Henry S. King & Co, 1873), hal. 77.
51 Jean-Charles Rochet, Why Are There So Many Banking Crises? ThePolitics and Policy of Bank Regulation, (New Jersey: Princeton UniversityPress, 2008), hal 24-25.
52 Stefan Staschen, Ahmed Dermish, & Lara Gidvani, “Regulatory ImpactAssessment Methodology: Towards Evidence Based Policy Making inFinancial Inclusion”, (Bankable Frontier Associates, September 2012),hal. 1.
53 The Precidency: Republic of South Africa, “Guidelines For TheImplementation of The Regulatory Impact Analysis/Assessment (RIA)Process In South Africa”, (The Precidency of Republic of South Africa:2012), hal. 2.
54 David Shortall, “Regulatory Impact Assessment: Methodology and BestPractices”, Lecture, INMETRO International Workshop on ConformityAssessment, (Rio de Janeiro, Brazil: Dec 11-12, 2006).
55 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD),“Indroductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis,(OECD, Version 1.0 October 2008), hal 3.
56 Richard Williams and Jerry Ellig, “Regulatory Oversight: The Basics ofRegulatory Impact Analysis” (Mercatus Center at George Mason University,Arlington, VA, September 12, 2011), http://mercatus.org/publication/regulatory-oversight, diakses pada tanggal 26 April 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Di AS, pembentukan regulasi di ranah kekuasaan
Eksekutif mensyaratkan untuk menerapkan RIA
dalam setiap lembaga pemerintahan sejak tahun
1981. Hasil implementasi RIA ditinjau oleh Office
of Information and Regulatory Affairs (OIRA),
sebuah lembaga khusus yang bertugas langsung
di bawah Office of Management and Budget (OMB)
di kantor Kepresidenan AS. RIA mengidentifikasi
permasalahan dan mempertimbangkan berbagai
pilihan alternatif opsi penyelesaiannya yang diatur
secara eksplisit di dalam Executive Order (EO)
12866 yang diterbitkan oleh Presiden Bill Clinton
pada tahun 1993.57
Pada intinya, Executive Order tersebut mensyaratkan
semua lembaga pemerintah wajib menilai biaya
(costs) dan manfaat (benefits) dari pilihan-pilihan
regulasi, termasuk alternatif regulasi yang belum
diundangkan.
Tujuan-tujuan dari RIA adalah:58
a. Pertama, memperbaiki keyakinan tentang
dampak regulasi pemerintah, baik manfaatnya
maupun biayanya. Regulasi seharusnya dibuat
berdasarkan data empiris untuk memperoleh
efisiensi yang maksimal dalam pengambilan
keputusan maupun dampaknya kepada
ekonomi, administrasi publik, lingkungan, dan
sosial.
b. Kedua, mengintegrasikan multiple policy
objectives. Dengan dunia yang semakin
komplek dan rumit, pembuat undang-undang
dipaksa untuk tidak hanya melihat tujuan yang
sempit dan berjangka pendek tetapi juga
tujuan lainnya seperti efisiensi, pertumbuhan
ekonomi, kesenjangan, lingkungan, dan sosial.
c. Ketiga, memperbaiki transparansi dan
konsultansi. Pengalaman bertahun-tahun
menunjukkan adanya kebutuhan penyusunan
undang-undang dan penegakan hukum yang
semakin terbuka, transparan, dan akuntabel.
Untuk itu perlu dilibatkan lebih dekat public
stakeholders bukan hanya eksklusif terbatas
pada pembuat undang-undang saja.
d. Keempat, memperbaiki akuntabilitas
pemerintahan. RIA dapat memperbaiki
keterlibatan dan akuntabilitas pengambil
keputusan pada tingkat Pemerintah, Menteri,
Lembaga-lembaga negara, dan politisi pembuat
undang-undang melalui sistem informasi yang
menggambarkan manfaat dan biaya bagi
masyarakat.
Unsur-unsur penting dalam penyusunan RIA
adalah:59
a. Adanya ahli yang terpercaya, baik dari kalangan
regulator atau di luar pembuat undang-undang;
b. Konsensus dari semua pihak yang terkait
dengan keputusan terutama yang akan
menikmati benefit dan terbebani cost;
c. Politik, yang akhirnya keputusan diambil oleh
politisi di DPR dan Pemerintah;
d. Benchmarking, sebagai ukuran pembanding
berdasarkan kajian ilmiah;
e. Empiris, yaitu berdasarkan data lapangan yang
dianalisa sesuai kriteria.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kebijakan Krisis
Sepuluh tahun setelah krisis Asia berakhir, krisis
subprime mortgage meledak 2008 dan
mengakibatkan seluruh dunia masuk ke dalam
resesi ekonomi yang parah. Sejarawan
membandingkannya dengan krisis saat The Great
Depression 1930. Dalam rentang waktu satu bulan
dari bangkrutnya Lehman Brothers, pada tanggal
15 September 2008, pasar keuangan global runtuh
karena efek domino. Dunia sekali lagi menyaksikan
bahwa dalam pasar keuangan yang bebas dan
50
57 Executive Order Number 12866, “Regulatory Planning and Review”, 58FR 51735, (October 4, 1993).
58 Ibid. 59 Ibid.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
global ini, kepercayaan pasar (market confidence)
memegang posisi menentukan. Bilamana
kepercayaan pasar hilang, kepanikan bank (bank
panic) akan terjadi sehingga mengakibatkan
penarikan dana secara besar-besaran (bank run)
dan pada akhirnya menghancurkan pasar itu
sendiri. Pemerintah dan bank sentral dituntut
untuk menyelamatkan pasar keuangan dan
menghindarkan bencana ekonomi nasional dengan
menggunakan perannya sebagai the Lender of
Last Resort (LOLR).60
Krisis subprime mortgage mencapai puncaknya
tahun 2008 dan telah menimbulkan bencana
keuangan dunia. Sejak tahun 2002 pembiayaan
rumah besar-besaran dari bank dan lembaga
keuangan, capital inflow, dan inovasi sekuritisasi
kredit rumah dapat diakses dengan sangat mudah
dan murah. Pembiayaan dilakukan melalui
pemecahan-pemecahan instrumen pasar uang
dan menjadi berbagai produk-produk derivatif
yang dijual ke investor yang selanjutnya dijual
menjadi Collateralized Debt Obligation (CDO) dan
Structured Investment Vehicle (SIV).61
Pada tahap pertama, sekuritisasi dilaksanakan
terhadap sejumlah subprime mortgage sehingga
menjadi instrumen yang disebut mortgage-backed
securities (MBS). Dalam sistem keuangan modern,
praktik sekuritisasi MBS ini merupakan suatu hal
yang telah lazim, dan bahkan pada tahun 2006
jumlah kredit perumahan di AS (mortgage) yang
disekuritisasi menjadi MBS telah mencapai hampir
60% dari seluruh jaminan kredit perumahan.62
Kerugian besar yang terjadi sebenarnya bersumber
dari praktik pengemasan subprime mortgage
tersebut ke dalam berbagai bentuk instrumen
lain (derivative products), yang kemudian
diperdagangkan di pasar finansial global. Tahap
inilah yang mengakibatkan penggelembungan
(bubbles) dalam sistem keuangan AS. Proses
sekuritisasi ini melibatkan pihak ketiga baik institusi
pemerintah (antara lain lembaga Fannie Mae dan
Freddie Mac) maupun swasta. Dalam proses
sekuritisasi ini, pihak ketiga seringkali melakukan
pengemasan dengan melakukan penggabungan
(pooling) sejumlah mortgages, yang selanjutnya
dijual kepada investor yang berminat. Untuk
menanggulangi risiko gagal bayar (default), maka
pihak ketiga ini sekaligus bertindak sebagai
penjamin.
51
60 Andrew Sheng, From Asian To Global Financial Crisis. An Asian Regulator'sView of Unfettered Finance in the 1990s dan 2000s. (New York:CambridgeUniversity Press, 2009), hal. 375.
61 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed),Op.Cit., hal. 42. 62 US Financial Crisis Comission, Op.Cit., hal. 70.
CollateralizedDebt
Obligation
next etc...
TrancheResidential mortgage-backed securities are soldtoinvestors, giving them the right to the principaland interest from the mortgages. These securitiesare sold in tranches, or slices. The flow of cashdetermines the rating of the securities, with AAAtranches getting the first cut of principal andinterest payment, then AA, then A, and so on.
PoolSecurities firms purchase these loans and poolthem
OriginateLenders extended mortgages, including subprimeand At-5 loans Pool of
Morgages
First claim to cash flow fromprincipal and interest payments...
next claim...
AAA
AA
ABBBBB
EQUITY TRANCHES
High Risk, High Yield
MEZZANINE TRANCHESThese tranches were oftenPurchased by CDCs
SENIORTRANCHES
RMBS TRANCHESLow Risk, Low Yield
1
2
3
Gambar 3Mortgage's Securitization Proceedings.
US Financial Crisis Comission (2011)
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Banyak lembaga keuangan yang turut
memperdagangkan sekuritisasi ini dengan
memberikan pinjaman, gadai, tanpa kontrol dan
tanpa manajemen yang mumpuni diluar keahliannya
hanya untuk memperoleh keuntungan. Mereka
dikenal dengan shadow banks sebagai perantara
keuangan yang terlibat dalam menciptakan kredit
dalam sistem keuangan global. Lembaga-lembaga
tersebut yang melipat gandakan leverage atas
kredit pemilikan rumah sehingga bisa mencapai
empat puluh kali dari harga rumah. Ciri property
bubble semacam ini yang mengakibatkan subprime
crisis.
Intensitas krisis global 2008 terlihat ketika:
(i) BNP Paribas menyatakan ketidaksanggupannya
mencairkan instrumen finansial yang terkait
dengan subprime mortgage di Amerika Serikat
pada Agustus 2007; (ii) bank sentral AS (The
Federal Reserve) dan bank sentral Inggris (Bank
of England) kemudian harus memompa likuiditas
ke pasar masing-masing senilai $25 Miliar dan
¤95 Miliar; (iii) Union Bank of Switzerland, Citibank,
dan Merryl Lynch mengalami kerugian besar;
(iv) Bear Stearns dipaksa harus diakuisisi oleh JP
Morgan Chase pada awal 2008; (v) Pemerintah
AS memutuskan untuk menyelamatkan Fannie
Mae dan Freddie Mac pada September 2008
yang menjadi program bail out terbesar dalam
sejarah AS; (vi) Dalam rentang waktu Oktober
sampai dengan Desember 2008 intensitas krisis
semakin meningkat, sehingga mengakibatkan
Ukraina, Pakistan, dan Islandia harus meminta
bantuan kepada IMF disusul oleh Hungaria. Pada
periode ini, Economic Research National Bureau
of Economic Research (NBER) menyatakan
perekonomian AS masuk ke dalam masa resesi.63
Mengingat keterbukaan ekonomi dan pasar di
Indonesia, krisis global memberi dampak langsung
(contagion) ke dalam negeri. Sebelum Lehman
Brothers mengumumkan kebangkrutan, nilai tukar
Rupiah masih berada di level Rp. 9000 per US
Dollar, tetapi pada tanggal 24 November 2008
Rupiah menembus angka Rp. 12.650 per US Dollar.
Pada bulan Juli 2008 cadangan Devisa Indonesia
berkurang dari US$ 60,6 Miliar menjadi sebesar
US$ 51,6 Miliar bulan Desember. Risiko kredit
(credit default) Indonesia juga ikut melemah
hingga 1200 basis poin (bps). Indeks harga saham
gabungan (IHSG) pada tanggal 8 Oktober
2008 anjlok sebesar 10,38% dan menyentuh
1.451,7 yang mengakibatkan otoritas bursa
memberhentikan sementara perdagangan efek
dan derivatif selama 2 hari kerja hingga tanggal
10 Oktober 2008. Jumlah dana asing yang terdapat
di Surat Utang Negara (SUN) turun dari Rp. 108,37
triliun pada tanggal 5 September 2008 menjadi
Rp. 105,6 triliun pada tanggal 19 September 2008.
52
63 Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed),“Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia”(Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter,Bank Indonesia, 2009), hal. 45-46.
Saham SUN SBI IDR/USD
5,0004,0003,0002,0001,000
0-1,000-2,000-3,000-4,000
USD Juta IDR/USD9,000
9,500
10,000
10,500
11,000
11,500
12,000Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep
2008 2009
Flows Dana Asing Di SBI,SUN dan Saham
Gambar 4Indikator Krisis Global Terhadap Perekonomian
Indonesia. Bank Indonesia (2009)
Volatilitas IHSG
Indeks
Jan Mar May Jul Sep Nov
2008 2009
3.00
2.50
0.50
0.00
2.00
1.50
1.00
Jan Mar May Jul Sep Nov
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pemerintah merespon cepat situasi krisis dengan
mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) tentang Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan, dan Jaring
Pengaman Sistem Keuangan sebagai bentuk
pencegahan dan penanganan terhadap dampak
krisis global ke Indonesia.
Selanjutnya Bank Indonesia menyempurnakan
kembali sejumlah aturan. Misalnya, Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.10/26/2008 tentang Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum
yang lalu direvisi menjadi PBI No.10/30/2008 dan
PBI No.10/31/2008 tentang Fasilitas Pinjaman
Darurat (FPD).
Ringkasan dari peran pemerintah dalam menangani
gejolak krisis global di Indonesia adalah sebagai
berikut:
53
2008 2009
Pergerakan IHSG
Sumber: Bloomberg
Indeks
Jan Mar May Jul Sep Nov
3000
2750
1250
1000
2500
2250
2000
1750
1500
Jan Mar May Jul Sep
1111.39
Demand Supply Valas (Spot)
US$
Nets (+)/D (-) Domestic Player
Nets (+)/D (-) Foreign Player
Nets (+)/D (-) Total
Exchange Rate
2008 2009
5000
5000
1000
-1000
-3000
-5000
9800
9600
9400
9200
9000
8800
8600Capital outflow
ExcessSupply
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep
ExcessDemand
Gambar 5Krisis Keuangan Global 2008 dan Dampaknya Kepada Indonesia
HOUSING BUBBLE
US GovermentEncouraged Banks to
Lend withCheap Money
BORROWER/HOME OWNER
Large Borrowers,Low Income,Easy Credit
Low RepaymentCapacity
Flush W/LiquidityMbs/Cdo/Cdshousing Prices
IncreasedStock Market Booming
BAILOUT
• Bear Stearn ($ 30 B)• Washington Mutual (1.9 B)• AIG (85 B)• Fannie May And Freddie Mac
Under Cosevatorship• Tarp (700 B)• Lehman Brothers Closed• Merill Lynch Acquired By BoA (50B)• Goldman Sachs, Morgan Stanley
Converted To Commercial Banks
BAILOUT
• Northern Rock (Feb 2008) £ 25 B• Hbos Bought By Lloyds (12 B
Pound Or 22.3 B)• Bardford & Bingley Nationalized
(50 B Pound)• Fortis Nationalized (16.8 B Euro)• Hypo Real Estate Rescued• Australia Raied Au$8 B• Japan Bought Lehman Assets
KSSKBAILOUT
• CENTURY - LPS(RP 6.7 T)
US CRISIS2007 - 2008
GLOBAL CRISIS2007 - 2008
INDONESIA2008
BUBBLE BURSTING
Housing Prices Dropped;CDO, Banks, Hedge Funds, Investors
Suffered Losses Stop;Buying MBS
CONTAGION EFFECTS
Panic; Bank Runs; Stock PriceCrusched Banks; Mortgage Lenders;Hedge Funds, Investors Significant
Losses;Large Unemployment
CRISIS ANTICIPATION
PERPU 2/2008PERPU 3/2008PERPU 4/2008PBI 26/2008PBI 30/2008
US HOUSING BUBBLE2002 - 2006
BAILOUT
BANK INDONESIAFPJP
• CENTURY(RP 689 M)
DG BUDI MULIA(10-12)
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Upaya pencegahan dan penanganan krisis global
pada tahun 2008 yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia menimbulkan kontroversi hukum dengan
dipidananya salah satu Deputi Gubernur Bank
Indonesia atas nama Budi Mulya.
Majelis Hakim menilai penetapan Bank Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik yang
selanjutnya diserahkan kepada LPS pada 21
November 2008, dan disetujui terdakwa dalam
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mengakibatkan
kerugian negar Rp. 8.012.221.000.000,- telah
menciderai kepercayaan masyarakat terhadap
kesungguhan negara dalam membangun
demokrasi ekonomi.64
Pada tanggal 16 Juli 2014, Pengadilan Tipikor
Jakarta memutuskan bahwa Budi Mulya terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Terdakwa
dihukum 10 tahun penjara dan denda 500 Juta
Rupiah subsider 5 bulan kurungan. Dalam amar
putusan, hakim tipikor menilai Budi Mulya terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu
pemberian persetujuan FPJP dengan iktikad tidak
baik karena untuk mencari keuntungan bagi diri
sendiri dan menyelamatkan dana Yayasan
Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI)
yang ada di Bank Century, serta tindakan-tindakan
lain yang bermotif korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Di samping itu, hakim menilai pemberian FPJP
tidak dilakukan dengan analisis mendalam dan
berdampak positif sehingga menyebabkan kerugian
negara mencapai Rp. 8,5 Triliun, yaitu FPJP sebesar
Rp. 689,39 Miliar, kerugian saat pemberian
penyertaan modal sementara dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) Rp. 6,7 Triliun hingga Juli
2009, dan Rp. 1,2 Triliun pada Desember 2013.65
Selanjutnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
memperberat hukuman Budi Mulya menjadi 12
tahun penjara. Alasan memperberat antara lain
di samping menimbulkan kerugian keuangan
negara yang besar, juga telah menimbulkan
gangguan laju pertumbuhan perekonomian
negara.66 Sanksi pidana penjara tersebut kemudian
diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 15
tahun penjara setelah dalam Putusan Kasasi.67
Pada hakikatnya, penanganan krisis sistem
keuangan di berbagai negara dilaksanakan
berdasarkan landasan hukum yang jelas dan tidak
multi-tafsir. Secara teoritis, bank sentral memiliki
peranan dalam melaksanakan fungsinya sebagai
LOLR, baik dalam situasi normal maupun masa
krisis. Begitupun dengan koordinasi bank sentral
dengan lembaga negara terkait ketika
melaksanakan krisis protokol (protocol crisis).
Dengam mengambil contoh komparatif pada
pengambilan tindakan dalam rangka pencegahan
dan penanganan krisis sistem keuangan di
Indonesia, Amerika Serikat dan Inggris, pada
prinsipnya para financial safety net players pada
masing-masing negara telah mengambil tindakan
yang didasarkan pada landasan hukum yang jelas
maupun penggunaan diskresi dengan reasoning
yang tepat. Meskipun demikian, proses dan output
dari pelaksanaan masing-masing kewenangan
seringkali menimbulkan pro dan kontra. Tabel di
bawah ini menggambarkan jenis permasalahan
serta tindakan penyelamatan yang dilakukan bank
sentral ketika berupaya menyelamatkan sistem
keuangan negaranya masing-masing.
54
64 Vide Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 67/PID/TPK/2014/PT.DKI Tahun 2014 a.n Terdakwa Budi Mulya.
65 Vonis Budi Mulya Bertambah Jadi 12 Tahun, http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2385-vonis-budi-mulya-bertambah-jadi-12-tahun,diakses pada tanggal 8 Desember 2015.
66 Ibid.
67 http://www.beritasatu.com/hukum/340949-salinan-putusan-budi-mulya-diterima-kpk-kembangkan-kasus-century.html
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Meskipun tidak diatur secara eksplisit, Amerika
Serikat dan Inggris telah menerapkan asas
kekhususan sistematis yang memisahkan secara
tegas aturan-aturan khusus antara hukum pidana
administrasi dan undang-undang anti-korupsi.
Amerika Serikat memiliki Foreign Corruption
Practices Act (FPCA) dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Menghadapi
krisis 2008 The Fed menjalankan perannya sebagai
LOLR dan Pemerintah melaksanakan penyelamatan
berdasarkan Emergency Economic Stabilization
Act yang kemudian menjadi undang-undang.
Demikian pula di Inggris, BOE mempunyai diskresi
penuh dalam merestabilisasi sistem keuangan
dinegaranya dari krisis keuangan global tahun
2008. Anti Bribery Act tidak diberlakukan bagi
kebijakan BOE karena menjalankan kewenangannya
dalam pemberian bantuan likuiditas bagi lembaga-
lembaga keuangan, termasuk bailout Northern
Rock.
Peran penting bank sentral sebagai LOLR dengan
menyediakan bantuan likuiditas kepada bank dan
lembaga keuangan non bank dimaksudkan untuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran dan
menghindari hambatan atas penyaluran kredit
kepada sektor riil agar perekonomian nasional
tetap terjaga.
2. Implementasi Asas Kekhususan Sistematis di
Indonesia
Eksistensi asas kekhususan sistematis di Indonesia
baru dapat ditemukan dalam Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun
55
UNITED STATE OF AMERICAINDONESIA UNITED KINGDOM
Central Bank Institution
Subject of Comparison Study(Financial Institution)
Legal Basis:a) Central Bank Regulationb) Banking Regulation
Financial Safety Net Regulation
Main Issue
Crisis Resolution Mechanism
Bank Indonesia
Bank Century
UU tentang BI(UU No. 23/199)UU tentang Perbankan(UU No. 10/1998)
Perpu No. 4/2008 tentangJaringan Pengaman SistemKeuangan
Contagion effect from globalcrisis that leads to systemiccrisis
FPJP: Rp 689,39 MDeposit guarantee: Rp 6,7 T(Jul 2009)
Federal Reserve
Bear Stearns
Federal Reserve Act 1913
The Gramm-Leach-Bliley Act(Financial ServicesModernization Act of 1999)
Emergency EconomicStabilization Act of 2008
“Sub-prime mortgage”
Fed Bailed-out J.P. Morgan totake over Bear Sterns & CreatedMaiden Lane LLC as specialvehicle purpose to remove thetoxic assets. The bail out is worthfor US$29 billion
Bank of England
Northern Rock
Bank of England Act 1998
Banking (Special Provisions)Act 2008
BoE Act (Fully DiscretionExercise of BoE
“Failure to perform short-term funding”
BoE bailed-out to supportNorthern Rock’s liquidity level.The bail out is worth for £25-30 billion
1
2
3
4
5
6
Tabel 1. Crisis Resolution and Its Legal Basis During The Financial Crisis of 2008
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Keberadaan asas kekhususan sistematis di dalam
Pasal ini menimbulkan perdebatan narasi atas
limitasi wewenang dari hukum pidana korupsi
dan hukum pidana administrasi. Hal ini juga terjadi
karena luasnya cakupan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga
pelaksanaan diskresi oleh pejabat penyelenggara
negara ditafsirkan sebagai perbuatan koruptif
apabila perbuatan tersebut dianggap menimbulkan
kerugian negara. Kesalahan administrasi tidak
serta merta merupakan kesalahan pidana.68
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Pasal 3 dan
Pasal 21 serta Undang-Undang No. 5 Tahun 2014
memberikan wewenang kepada Hakim PTUN
untuk mengadilinya.
Penormaan secara eksplisit asas kekhususan
sistematis ke dalam hukum pidana administrasi
merupakan satu solusi untuk mengakhiri
perdebatan terkait batasan wewenang antara
hukum pidana korupsi dan hukum pidana
administrasi. Untuk keperluan ini dilakukan
penelitian asas kekhususan sistematis berbasis
efisiensi dengan menggunakan Metode EAL
khususnya Regulatory Impact Assessment (RIA)
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.
Secara yuridis, pemisahan tegas aturan-aturan
khusus di AS dan di Inggris dikenal sebagai special
rule. Dalam Black's Law Dictionary, special rule
diartikan sebagai “a rule applicable to a particular
case or circumstance only”.69 Dalam posisi
penanganan krisis sistem keuangan global di AS,
Emergency Economic Stabilization Act of 2008
diterapkan sebagai special rule dan
mengesampingkan FCPA.
Di AS, penerapan asas kekhususan sistematis telah
diterapkan ke dalam kasus yang konkret. Dalam
perkara Rogers v. United States, Judge David Josiah
Brewer, Associate Justice of the Supreme Court
of the United States menyatakan bahwa:70
“The rule is generalia specialibus non derogant.
The general principle to be applied ... to the
construction of acts of Parliament is that a general
act is not to be construed to repeal a previous
particular act, unless there is some express
reference to the previous legislation on the subject,
or unless there is a necessary inconsistency in the
two acts standing together. And the reason is ...
that the legislature having had its attention directed
to a special subject, and having observed all the
circumstances of the case and provided for them,
does not intend by a general enactment afterwards
to derogate from its own act when it makes no
special mention of its intention so to do.... As a
corollary from the doctrine that implied repeals
are not favored, it has come to be an established
rule in the construction of statutes that a
subsequent act, treating a subject in general terms
and not expressly contradicting the provisions of
a prior special statute, is not to be considered as
intended to affect the more particular and specific
provisions of the earlier act, unless it is absolutely
necessary so to construe it in order to give its
words any meaning at all”.
Perkara Rogers v. United States merupakan salah
satu perkara yang menimbulkan perbedaan-
perbedaan penafsiran terhadap pilihan norma
hukum di dalam beberapa aturan yang sama-
sama bersifat khusus.
Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan
interpretasi, apabila ditemukan adanya konflik
antar dua undang-undang, maka salah satu aturan
56
68 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan HukumPidana, (Jakarta: CV Diadit Media, 2007), hal. 374.
69 Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary. Seventh Edition. (St. Paul,Minnesota: West Group, 1999), hal. 1330.
70 Duhaime's Law Dictionary, http://www.duhaime.org/LegalDictionary/G/GeneraliaSpecialibusNonDerogant.aspx.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
yang lebih umum harus dikesampingkan (Justice
Griffiths of the Ontrario Court of Appeal in R v.
Greenwood). Prinsip ini juga dikenal sebagai prinsip
implied exception. Ruth Sullivan, guru besar bidang
hukum di University of Ottawa menyatakan
bahwa:71
“when two provisions are in conflict and one of
them deals specifically with the matter in question
while the other is of more general application,
the conflict may be avoided by applying the specific
provision to the exclusion of the more general
one. The specific prevails over the general”.
Eksistensi penerapan prinsip ini pada dasarnya
identik dengan asas kekhususan sistematis,
mengingat peraturan perundang-undangan di
negara-negara common law seperti AS dan Inggris
sifatnya berdiri masing-masing dan bersifat khusus
(tidak memiliki kodifikasi hukum seperti Indonesia).
Berbeda dengan Indonesia, kebijakan yang diambil
dalam upaya pencegahan krisis keuangan yang
secara global melanda seluruh dunia justru
ditengarahi sebagai kejahatan korupsi. Hal ini
terjadi karena luasnya cakupan Pasal 2 dan Pasal
3 UU Tindak Pidana Korupsi, sehingga pelaksanaan
diskresi oleh pejabat penyelenggara negara
ditafsirkan sebagai perbuatan koruptif apabila
perbuatan tersebut dianggap menimbulkan
kerugian negara.
Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan
Tingkat Pertama menyatakan bahwa penyelamatan
Bank Century adalah kebijakan yang salah. Dalam
membuktikan niat (mens rea) Terdakwa (a.n Budi
Mulya), Majelis Hakim melihatnya dari upaya
Terdakwa untuk memberikan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek kepada Bank Century.
Di sisi lain, Tim penasehat hukum Budi Mulya
menilai bahwa pemberian FPJP merupakan
kewenangan secara kelembagaan dan diputuskan
secara kolektif kolegial. Apabila terdapat kesalahan
dalam pemberian FPJP, kesalahan tersebut bukan
menjadi ranah hukum pidana (korupsi), melainkan
ranah adminsitrasi negara.
Adapun beberapa tokoh hukum nasional yang
tergabung dalam amicus curiae (friends of court)
memberikan pandangannya kepada Majelis Hakim
pada Pengadilan Tingkat Pertama pada kasus Budi
Mulya. Mereka berpendapat bahwa kebijakan
aparatur negara bukanlah tindak pidana. Lebih
lanjut, para amicus curiae berpendapat penilaian
kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century
tidak dapat dipidana karena kebijakan tersebut
diambil secara secara kolektif kolegial, bukan secara
orang perseorangan.72
Perkara tindak pidana korupsi atas nama terpidana,
Budi Mulya, terjadi karena adanya multitafsir dan
tumpang tindihnya hukum materil dan penegakan
hukumnya. Perkara tersebut menimbulkan
perdebatan narasi diantara hukum pidana korupsi
dan hukum pidana administrasi, dimana menurut
Prof. Indriyanto Seno Adji, jarak antara keduanya
merupakan grey area dan perlu untuk dicari
solusinya.
Dalam hubungan ini, menarik untuk disimak
Instruksi Presiden Jokowi kepada penegak hukum
yaitu:73
a. Larangan bagi penegak hukum untuk
memperkarakan diskresi aparatur pejabat
negara.
57
71 Ruth Sullivan, Sullivan and Driedger on the Construction of Statute,(Canada: LexisNexis, Canada Inc, 2008), hal. 277.
72 34 Tokoh Tolak Kriminalisasi Kebijakan, http://katadata.co.id/berita/2014/07/10/sejumlah-tokoh-sampaikan-pendapat-kasus-century-ke-pengadilan,diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
73 Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat,http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkait-larangan-kriminalisasi, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. Tindakan administrasi pemerintah tidak boleh
dipidanakan.
c. Kementerian/Lembaga Pemerintahan diberikan
waktu 60 hari untuk menjawab hasil temuan
audit investigatif yang dikeluarkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan terhadap
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
d. Setiap data mengenai kerugian negara harus
konkrit dan tidak boleh mengada-ada.
e. Larangan terhadap tindakan yang menyebar-
luaskan tuduhan yang belum terbukti dan
belum masuk proses hukum.
Instruksi Presiden di atas merupakan instruksi
positif bagi upaya penegakan hukum di Indonesia
dan secara khusus merupakan bagian untuk
mengakhiri perdebatan narasi antara hukum
pidana korupsi dan hukum pidana administrasi.
Salah satu solusi untuk mengakhiri perdebatan
narasi sebagaimana tersebut di atas adalah melalui
penormaan asas kekhususan sistematis yang
berbasis efisiensi ke dalam peraturan perundang-
undangan pidana administrasi, yang dalam
penelitian ini difokuskan pada administrative penal
law di bidang perbankan. Asas inilah yang pada
hakikatnya dapat dijadikan garis pemisah yang
tegas antara hukum pidana korupsi dan hukum
pidana administrasi sehingga perdebatan narasi
dapat diakhiri.
Namun demikian, penerapan asas kekhususan
sistematis perlu dianalisis menggunakan tolak
ukur dan parameter yang metodis dan sistematis.
Oleh karena itu, upaya penormaan asas
kekhususan sistematis ke dalam undang-undang
pidana administrasi di bidang perbankan dikaji
dengan metodologi Economic Analysis of Law
(EAL) melalui perangkatnya Regulatory Impact
Assessment (RIA) sebagaimana terurai pada bagian
di bawah ini.
3. Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact
Analysis)
Hasil kajian atas penormaan asas kekhususan
sistematis dengan menggunakan RIA dari
metodologi EAL di atas dituangkan ke dalam
Regulatory Impact Assessment Statement
(RIAS) sesuai dengan pedoman (guidelines) dari
praktik terbaik (best practices) yang telah diterapkan
di beberapa negara maju maupun negara
berkembang dalam sistematika sebagai berikut:
a. Identifikasi Masalah
Adanya “grey area” sehingga terjadi tumpang
tindih kewenangan antara hukum pidana
korupsi dan hukum pidana administrasi yang
disebabkan akibat adanya multitafsir tentang
penerapan asas kekhususan sistematis yang
diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan ini
mengakibatkan timbulnya perdebatan narasi
terkait batasan antara hukum pidana dan
hukum pidana administrasi di bidang perbankan
dan berdampak menggeser fungsionalisasi
hukum pidana dari “ultimum remidium”
menjadi “primum remidium”
b. Tujuan Kebijakan
Tujuan kebijakan diarahkan untuk
menyelesaikan dua permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini melalui:
(i) Penormaan asas kekhususan sistematis
dalam hukum pidana administrasi khususnya
dalam bidang perbankan; (ii) Reposisi prosedur
penilaian kebijakan dan diskresi aparatur negara
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 dan reposisi
hukum pidana menjadi ultimum remidium.
c. Alternatif dan Opsi Dari Kebijakan
Dengan melihat tujuan dan permasalahan
yang diangkat dalam makalah ini, dipilih dua
masalah dengan masing-masing alternatif
opsinya sebagai berikut:
58
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
d. Dampak
Perangkat RIA mengidentifikasikan 4 dampak
yaitu terhadap bidang ekonomi, administrasi
publik, lingkungan dan sosial. Rincian detail
dari bidang tersebut diambil dari praktek terbaik
(best practices) dari Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD). Untuk
maksud tersebut digunakan data, teori
(rasional), dan asumsi yang dipakai dalam
penghitungan dampak.
1) Data
Data yang dipergunakan dalam
penghitungan ini adalah data kuantitatif
dan kualitatif tentang indikator ekonomi
dan sosial Indonesia tahun 2008-2013 yang
bersumberkan pada data resmi dari Bank
Indonesia, Biro Pusat Statistik (BPS),
Kementerian Keuangan, dan International
Monetery Fund (IMF).
2) Teori (Rationale)
Teori yang digunakan adalah pendapat
J.M. Keynes bahwa “anggaran negara
(APBN) menentukan tingkat pertumbuhan
ekonomi”. Meskipun pendapat tersebut
masih kontroversial yaitu tergantung kondisi
negara masing-masing namun dalam
konteks Indonesia masih dianggap valid
dimana peran Pemerintah sangat besar
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
tersebut yang selanjutnya akan menentukan
tingkat kesejahteraan sosial.
59
ISSUE 1
TIDAK ADANYA PENORMAAN ASAS KEKHUSUSANSISTEMATIS DI DALAM ADMINISTRATIVE PENAL LAW DI
BIDANG PERBANKAN
ISSUE 2
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIVE PENAL LAWDI BIDANG PERBANKAN YANG TIDAK MEMBERLAKUKANNORMA ASAS KEKHUSUSAN SISTEMATIS SEHINGGA
MENGAKIBATKAN PERGESERAN POSISI HUKUM PIDANAMENJADI PRIMUM REMEDIUM
OPSI:
A. Status QuoB. Penormaan Asas Kekhususan Sistematis pada UU BI,
UU OJK, UU LPS dan UU JPSKC. Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas Kekhususan
Sistematis pada seluruh Administrative Penal Lawdi Bidang Perbankan
OPSI:
A. Status Quo (Primium Remedium)B. Reposisi prosedur penilaian kebijakan dan diskresi
aparatur negara berdasarkan UU No.30 tahun 2014tentang Administrasi Pemerintahan
C. Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas KekhususanSistematis pada seluruh Administrative Penal Lawdi BIdang Perbankan
Tabel 2.Issue 1 & Issue 2 serta Opsi A, B, C
60
The basic rationale for RIA is to ensure that all regulatory proposals serve the policy objectives of government, ie.welfare maximization as effectively and efficiently as possible. The application of RIS improves accountablity and transparency in
policy making. It makes transparent the expected costs and benefits of options for different stakeholders.The RIA process helps to determine whether a) the benefits justify the costs; b) the proposed measure will address the onjection of government;and c) ensure that consultation with people before the regulation issued is meaningful and reaches the widest possible range of stakeholders.
GovernmentBudget(100%)
Lowabsorption
INPUT
• Inefficiency• Allocative and
technical
OUTPUT OUTCOME
• Ineffectiveness
Leakageamong other corruption
Lowbenefit
Economic WelfareMaximization
Benefit 45%
STATUS QUO
1
2 3
4
Efficiency levelTotal damageCost 55%
RATIONALE“Keynisian”
Gambar 6.Regulatory Impact Assessment: The Rationale And The Assumption
e. Analisa Biaya dan Manfaat
Berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif
tentang indikator ekonomi dan sosial Indonesia
tahun 2008-2013, dengan menggunakan
formula Net Present Value (NPV) atas setiap
manfaat dan biaya dari setiap opsi dihitung
Net Benefit dan Benefit Cost Ratio (BCR) dengan
hasil sebagai berikut:
Dari penelitian di atas terlihat alternatif opsi 1C
Harmonisasi dan Sinkronisasi Asas Kekhususan
Sistematis pada seluruh Administrative Penal
Law di Bidang Perbankan dari Issue 1
menghasilkan Net Benefit Rp. 479 Trilyun dan
BCR 1.8; alternatif opsi 2C Reposisi Ultimum
Remedium dari Issue 2 menghasilkan nilai
tertinggi Net Benefit Rp. 748 Trilyun dan BCR
2.9.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Opsi 1A & 2AStatus Quo
(Tidak ada perubahan)
Opsi 1BAsas Kekhususan
Sistematis pada UU BI,UU OJK, UU LPS,
UU LPSK
Opsi 1CHarmonisasi danSinkronisasi Asas
KekhususanSistematis pada
seluruh AdministrativePenal Law di Bidang
Perbankan
Opsi 2BTidak adanya
penormaan AsasKekhususan di dalamAdministrative Penal
Law di bidangPerbakan
Opsi 2CReposisi Asas Ultimum
Remedium Maximization Benefit
Highest BCR = Efficient = Justice
(Richard A. Poster)
Benefit
Cost
Net Benefit
BCR
BCR
Gambar 7.Opsi A, B, C
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
f. Konsultasi Publik
Sebelum usulan dan keputusan regulasi diambil
hasil penilaian berdasarkan Regulatory Impact
Assessment (RIA) dikomunikasikan kepada
publik terutama stakeholders dari regulasi yang
akan diusulkan yaitu pengambil kebijakan
(decision maker), pihak-pihak yang terkait yang
akan memperoleh dampak manfaat atau
terbebani biaya dan para ahli (experts) yang
terkait dengan kebijakan. Dengan komunikasi
publik tersebut diharapkan regulasi yang akan
dikeluarkan mepresentasikan kehendak
masyarakat dan memperbaiki tata kelola
pemerintahan yang baik yang bercirikan
transparan, akuntable, dan good governance.
g. Implementasi Atas Opsi Yang Dipilih
Berdasarkan Analisa Biaya dan Manfaat,
diimplementasikan opsi terbaik sebagai berikut:
1) Diperlukannya pelaksanaan harmonisasi
dan sinkroniasasi administrative penal law
di bidang perbankan yang telah
menormakan asas kekhususan sistematis.
2) Perlu adanya perubahan paradigma aparat
penegak hukum terkait reposisi prosedur
penilaian kebijakan dan diskresi aparatur
negara yang merupakan kompetensi
absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara.
Mekanisme ini tunduk pada aturan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
3) Diperlukannya pemberian pelatihan kepada
aparat penegak hukum agar dapat memiliki
pengetahuan yang lebih mumpuni terkait
mekanisme dan prosedur pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan. Opsi
ini ditujukan sebagai tujuan utama dalam
rangka mereposisi hukum pidana sebagai
ultimum remidium.
D. PENUTUP
Kedudukan asas kekhususan sistematis (systematische
specialiteit) saat ini hanya terdapat di dalam Pasal 14
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang bunyinya sebagai berikut:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-
undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.
Asas tersebut merupakan pengembangan dari asas
lex specialis derogat legi generali yang terdapat pada
Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana diberlakukan
penerapan Undang-Undang yang 'lebih khusus dari
yang khusus” dalam proses penegakan hukum. Tidak
adanya batasan yang jelas atas asas kekhususan
sistematis telah menimbulkan grey area yang
mengakibatkan perdebatan narasi antara hukum
pidana korupsi dan hukum pidana administrasi karena
adanya multi-interpretasi. Ketiadaan asas kekhususan
sistematis di dalam produk administrative penal law
di bidang perbankan mengakibatkan praktik tindak
pidana di dalam perbankan diidentikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Penormaan asas kekhususan sistematis melalui teori
efisiensi dalam metodologi economic analysis of law
(EAL) melalui sarana Regulatory Impact Assessment
(RIA) merupakan upaya pembaharuan hukum
khususnya di bidang perbankan agar tercipta limitasi
yang jelas antara tindak pidana korupsi dan tindak
pidana perbankan. Penerapan EAL pada penormaan
asas kekhususan sistematis dalam produk hukum
administrative penal law di bidang perbankan
merupakan upaya untuk menjustifikasi, baik secara
kualititatif dan kuantitatif atas efektivitas dan efisiensi
yang diharapkan dapat tercapai. Dampak yang dinilai
melalui penerapan metodologi EAL tidak hanya
terbatas dalam lingkup sempit peraturan perundang-
undangan (hukum materil) dan proses penegakan
hukumnya (hukum acara), melainkan lingkup yang
komprehensif yang terdiri atas dampaknya terhadap
kesejahteraan sosial yang dirinci dalam bidang
ekonomi, publik administrasi, lingkungan dan sosial.
61
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
62
Penilaian dampak dalam lingkup yang komprehensif
dilakukan melalui (i) Regulatory Impact Assessment
(RIA) dan (ii) Cost Benefit Analysis (CBA) dapat
memberikan alternative aplikatif untuk permasalahan
over- kriminalisasi di bidang perbankan yang
mengakibatkan tidak tercapainya optimalisasi
kesejahteraan masyarakat sesuai yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Dengan menggunakan pendekatan metodologi EAL
bertujuan untuk menciptakan limitasi yang jelas antara
administrative penal law di bidang perbankan dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang sama-sama bersifat khusus. Penciptaan limitasi
melalui metodologi EAL perlu didukung melalui upaya
mereposisi hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Konklusi dari penerapan RIA pada penelitian ini adalah
opsi 2C yaitu harmonisasi dan sinkronisasi penormaan
asas kekhususan sistematis dalam hukum pidana
administrasi di bidang perbankan, reposisi prosedur
dan penilaian kebijakan dan diskresi aparatur negara
berdasarkan Undang-Undang No.30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, serta reposisi
hukum pidana sebagai ultimum remedium merupakan
opsi terbaik.
1. Buku
Prasetyo, Teguh. 2005. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Posner, Richard A. Posner. 1981. The Economics of Justice,. Cambridge: Harvard University Press.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam PenanggulanganKejahatan. Jakarta: Kencana, 2008.
Abidin, Andi Zainal. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Universitas Indonesia.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum PidanaBelanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.
Dubber, Markus Dubber. 2006. Comparative Criminal Law. The Oxford Handbook of Comparative Law, Ed. MathiasReimann and Beinhard Zimmermann. New York: Oxford University Press, 2006.
Chazawi, Adami. 2006. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006.
Housak, Douglas. Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law. New York: Oxford University Press, 2008.
Wilson, William. 2002. Central Issues in Criminal Theory. Oxford-Portaland Oregon: Hart Publishing, 2002.
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I. Jakarta: SinarHarapan, 1993.
HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Thompson, Brian. 1997. Constitutional and Administrative Law, 3th Ed. London: Black Stone Press Limited.
Bell, John. 1992. Discretionary Decision-Making: A Jurisprudential View The Uses of Discretion. Oxford: ClarendonPress.
Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: RajaGrafindoPersada.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
Deane, Marjorie Deane dan Robert Pringle. 1995. The Central Banks. USA: Penguin Group, USA, 1995.
Bagehot, Walter. 1873. Lombard Street:A Description of the Money Market. London: Henry S. King & Co.
Rochet, Jean-Charles Rochet. 2008. Why Are There So Many Banking Crises? The Politics and Policy of Bank Regulation.New Jersey: Princeton University Press.
63
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Sheng, Andrew. 2009. From Asian To Global Financial Crisis. An Asian Regulator's View of Unfettered Finance in the 1990s dan 2000s. New York: Cambridge University Press.
Seno Adji, Indriyanto. 2007. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta: CV Diadit Media.
Black, Henry Campbell. 1999. Black's Law Dictionary. Seventh Edition. St. Paul, Minnesota: West Group, 1999.
Sullivan, Ruth. 2008. Sullivan and Driedger on the Construction of Statute. Canada: LexisNexis, Canada Inc.
Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Ibarhim, Jhoni. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2. Malang: Bayumedia Publishing.
McLeod, Ian. 2003. Legal Theory. New York: Palgrave Macmillan.
Wiener Katz, Avery. 2006. Foundations of The Economic Approach to Law. LexisNexis: Matthew Bender.
2. Artikel/Jurnal Ilmiah
Anindyajati, Titis., Irfan Nur Rachman, Anak Agung Dian Onita. 2015. Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagaiUltimum Remedium dalam Pembentukan Perundang-Undangan. Jurnal Mahkamah Konstitusi, Penelitian danPengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Jakarta.
International Monetary Fund. Fighting Corruption Critical for Growth and Macroeconomic Stability. IMF Survey Magazine:IMF Research.
Made Sukada, Iskandar Simorangkir, Sugeng, Difi A. Johansyah (ed), 2009. Krisis Finansial Global dan Dampaknyaterhadap Perekonomian Indonesia”. Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BankIndonesia.
Crisan, Iulia. 2010. The Principles of Legality “Nullum Crimen, Nulla Poena Sine Lege” and Their Role. Effectius Newsletter,Issue 5.
Faure, Michael., Morag Goodwin, and Franziska Weber. 2013. The Regulator's Dilemma: Caught between the Needfor Flexibility and the Demands of Foreseeability. Reassessing the Lex Certa Principle. (Weber Rotterdam Instituteof Law and Economics (RILE) Working Paper Series No. 2013/03).
Macfarlane, Ian. 1999. The Stability of The Financial System. Reserve Bank of Australia Bulletin.
Cihak, Martin. 2006. How Do Central Banks Write on Financial Stability?. IMF Working Paper WP/06/13, InternationalMonetary Fund.
The Precidency: Republic of South Africa. Guidelines For The Implementation of The Regulatory Impact Analysis/Assessment(RIA) Process In South Africa. 2012. The Precidency of Republic of South Africa.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2008. Introductory Handbook for UndaertakingRegulatory Impact Analysis, (OECD, Version 1.0.
64
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Staschen, Stefan., Ahmed Dermish, & Lara Gidvani. 2012. Regulatory Impact Assessment Methodology: TowardsEvidence Based Policy Making in Financial Inclusion. Bankable Frontier Associates.
3. Makalah Seminar/Prosiding
International Monetary Fund, “IMF Staff Discussion Note. Corruption: Costs and Mitigating Strategies”. (Staff Teamfrom the Fiscal Affairs Department and the Legal Department, SDN/16/05, May 2016), hal. 5.
Kaifa-Gbandi, Maria. 2011. The Importance Of Core Principles Of Substantive Criminal Law For European CriminalPolicy Respecting Fundamental Rights And The Rule Of Law. European Criminal Law Review, No. 1, Vol. 1.
European Commission. 2011. Towards An EU Criminal Policy: Ensuring The Effective Implementation Of EU PoliciesThrough Criminal Law. Communication From The Commission To The European Parliament, The Council, TheEuropean Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions, Brussels.
Shortall, David. 2006. Regulatory Impact Assessment: Methodology and Best Practices, Lecture, INMETRO InternationalWorkshop on Conformity Assessment. Rio de Janeiro, Brazil.
4. Peraturan Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. (Lembaran NegaraTahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LembaranNegara Tahu 1999 Nomor 140) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Majalah/Surat Kabar
Hikmahanto Juwana, “Patutkah Pengambil Kebijakan Dipidana?”, Artikel, Surat Kabar Harian Media Indonesia, Rabu26 Maret 2014.
6. Internet
Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat (disampaikan oleh Presiden RI kepada jajaran pimpinanpenegak hukum, kepolisian dan kejaksaan tanggal 19 Juli 2016 di Istana Negara),http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkait-larangan-kriminalisasi.
Jimly Asshidiqi, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, Makalah, diakses pada tanggal 20 Okt. 2015,http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hal. 2.
Eko Prasodjo, “Dua RUU untuk Cegah Pemidanaan Kesalahan Administrasi”, Artikel, Kementerian PendayagunaanAparatur Negara RI, www.menpan.go.id, diakses pada tanggal 19 Maret 2015.
65
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4906-harus-ada-kesamaan-persepsi-apip-dan-penegak-hukum-terjemahkan-uu-adpem diakses pada 12 Agustus 2016
http://www.itjen.kemenkeu.go.id/baca/244 diakses pada 12 Agustus 2016.
http://ekoprasojo.com/2015/01/12/sosialisasikan-undang-undangadministrasi pemerintahan/Diakses pada tanggal 12Agustus 2016.
Vonis Budi Mulya Bertambah Jadi 12 Tahun, http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2385-vonis-budi-mulya-bertambah-jadi-12-tahun, diakses pada tanggal 8 Desember 2015.
http://www.beritasatu.com/hukum/340949-salinan-putusan-budi-mulya-diterima-kpk-kembangkan-kasus-century.html
Duhaime's Law Dictionary, http://www.duhaime.org/LegalDictionary/G/GeneraliaSpecialibusNonDerogant.aspx.
34 Tokoh Tolak Kriminalisasi Kebijakan, http://katadata.co.id/berita/2014/07/10/sejumlah-tokoh-sampaikan-pendapat-kasus-century-ke-pengadilan, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
Lima Instruksi Jokowi Terkait Larangan Kriminalisasi Pejabat, http://katadata.co.id/berita/2016/07/19/lima-instruksi-jokowi-terkait-larangan-kriminalisasi, diakses pada tanggal 4 Agustus 2016.
Richard Williams and Jerry Ellig, “Regulatory Oversight: The Basics of Regulatory Impact Analysis” (Mercatus Centerat George Mason University, Arlington, VA, September 12, 2011), http://mercatus.org/publication/regulatory-oversight, diakses pada tanggal 26 April 2016.
Executive Order Number 12866, “Regulatory Planning and Review”, 58 FR 51735, (October 4, 1993).
66
67
Disusun oleh:
Iskandar1
Abstract
There are three options in order to develop property. The first deposit of such property in the bank. Second,
establish a contract with another party, to manage the property in a particular business field by profit sharing arrangements.
Third, direct investment in the real sector in which we act as business actors. This paper would like to explain about the
problems that will be encountered on profit-sharing contract as a modern financing instrument. Some of the problems
to be faced in this partnership relationship: agency problems that occur between mudharib with sahibul mall. In addition,
the problem of efficiency, it happened because it can not compel employers (mudharib) to perform an action in order
to maximize revenue, and this condition will trigger moral hazard. The issue of agency, incentives and efficiency can also
occur in the absence of adequate regulation to accommodate the profit and loss sharing financing system in Islamic
banks. Therefore, the problem of agency, incentives and financing agreement for the results, can not be handed over
to the Islamic banks. Islamic Banks need regulation that is sensitive to the profit-sharing financing, as the contract is
unique in the Islamic banking system.
Keywords: Shirkah, profit sharing, Financing Instruments
Abstrak
Terdapat tiga pilihan dalam rangka mengembangkan harta yaitu Pertama, mendepositokan harta tersebut di bank.
Kedua, menjalin suatu kontrak kerjasama dengan pihak lain, yang dapat mengelola harta pada suatu bidang usaha
tertentu dengan kesepakatan bagi hasil. Ketiga, investasi langsung di sektor riil dimana kita bertindak sebagai pelaku
usahanya. Tulisan ini ingin menjelaskan tentang problematika yang akan dihadapi dalam aqad berbasis bagi hasil sebagai
instrumen pembiayaan modern pada pengembangan harta model Kedua. Beberapa problematika akan dihadapi dalam
hubungan kemitraan ini yaitu; persoalan keagenan yang terjadi akibat pengusaha (mudharib) memiliki hak pengelolaan
usaha secara penuh sehingga menimbulkan konflik antara mudharib dengan pemilik dana (sahibul mal). Selain itu, adanya
persoalan insentif yang terjadi karena tidak dapat memaksa pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu tindakan
guna memaksimalkan pendapatan, dan kondisi ini akan memicu adanya moral hazard. Adanya persoalan agensi, insentif
dan efesiensi juga dapat terjadi karena ketiadaan regulasi yang memadai untuk mengakomodir sistem pembiayaan bagi
hasil pada bank syariah. Problematika agensi, insentif dan akad pembiayaan bagi hasil tidak dapat sepenuhnya diserahkan
pada bank syariah. Bank memerlukan regulasi yang “peka” terhadap akad bagi hasil sebagai salah satu akad yang unik
dalam sistem perbankan.
1 Staf pengajar pada Jurusan Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi IlmuEkonomi Malikussaleh, Aceh
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
A. PENDAHULUAN
Islam sangat memahami bahwa kehidupan manusia
akan selalu dinamis dan berubah dari waktu ke waktu,
maka dari itu, Islam tidak pernah membuat aturan
atau batasan secara ketat yang mengatur masalah
mu'amalah. Terhadap hal-hal yang bersifat teknis dan
praktis, Islam menyerahkan seluruhnya kepada
kreatifitas manusia untuk merumuskan cara, metode
yang menurut mereka dapat mempermudah dan
membawa kemaslahatan bagi semua. Islam hanya
meletakkan batasan aturan yang bersifat fundamental
dan global, yang bisa dijadikan acuan bagi umat
manusia dalam melakukan praktek mu'amalah antara
satu dengan yang lainnya.
Adapun batasan syariah dalam hubungan
bermu'amalah adalah manusia harus berperilaku adil;
tidak dibenarkan menumpuk harta; tidak
memperdagangkan barang atau jasa yang mengancam
maqashid al-syari'ah; tidak terancam agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan2; tidak menzalimi dan
dizalimi “latuzdlamu wala tudzlimu”; keuntungan
diperoleh berdasarkan usaha dan penanggungan
risiko “al-ghunmu bi al-ghurm”.3 Sejauh batasan itu
dipatuhi maka manusia dapat mengekspresikan akad
dalam berbagai bentuk dan mengikuti perkembangan
zaman. Demikian juga dalam dunia perbankan sebagai
institusi keuangan modern.
Setidak-tidaknya dalam siklus perbankan syariah
terdapat tiga pihak. Pertama, nasabah dana sebagai
shahibul mal (pemilik dana). Kedua, bank sebagai
mudharib bagi nasabah dana dan sekaligus sebagai
shahibul mal bagi debitur. Ketiga, debitur sebagai
mudharib bagi bank. Hubungan ini terjadi karena ada
sekelompok orang yang kelebihan dana yang ingin
mengembangkan/menginvestasikan dananya agar
dapat berkembang. Oleh karena itu, agar dana
tersebut tidak menganggur nasabah dana dapat
melakukan investasi melalui perbankan syariah dengan
dua cara. Pertama “mendepositokan” dana tersebut
di bank, sehingga selain dana tersebut akan aman,
juga dapat menghasilkan nilai tambah meskipun tidak
terlalu signifikan. Kedua, bisa saja orang tersebut
menjalin suatu kontrak kerjasama dengan pihak lain,
yang dapat mengelola dananya tersebut pada suatu
bidang usaha tertentu, sehingga dari hasil usaha
tersebut mereka dapat memperoleh manfaat dari
hasil pengelolaan dana tersebut.
Cara yang kedua tersebut dalam Islam dikenal dengan
sebutan syirkah. Dalam fiqh al-Islam, syirkah dibagi
menjadi dua macam yaitu syirkah amlak dan syirkah
'uqud4. Syirkah amlak terjadi karena perwalian
seumpama harta warisan yang diwarisi ahli waris dari
si mayit. Sementara syirkah 'uqud terjadi karena dua
pihak atau lebih bersepakat untuk melakukan suatu
usaha bersama-sama. Dalam syirkah 'uqud termasuk
musyarakah dan mudharabah.
B. KONSEP SYIRKAH SEBAGAI INSTRUMEN
PEMBIAYAAN BAGI HASIL
Syirkah berasal dari kata "syarika" (fi'il madhi),
"yasyuku" (fi'il mudharik), "syarikan, syarikatan"
(masdar). Dalam hukum Islam, syirkah dikenal sebagai
kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
menjalankan aktifitas bisnis. Dalam perbankan syariah
diistilahkan dengan pola bagi hasil atau PLS (Profit
and Loss Sharing). Kerja sama syirkah ini tersedia dua
pola. Pola pertama yaitu salah satu pihak menyediakan
68
2 Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqah fi ushul al-Syar'iyah, jilid 2, Libanon:Dar al-Kita Alamiah, 2005, hal. 7.
3 Sebab profit dalam prinsip ekonomi Islam harus mengandung tiga hal.Pertama, penagunngan risiko (al-ghurm). Kedua, adanya usaha (kasab)yang menghasilkan nilai tambah (value added). Ketiga, kewajibanmenangung kerusakan yang berkonsekwensi pada kewajiban khiyar(khiyar 'aib) dalam kasusu jual-beli.Lihat, Ali Ahmad al-Nadwi, Jamrahal-Qawa'id al-Fiqhiyah fi al-Mua'amalah al-Maliyah. Cet ke-3, Bairut:Dar al-Qalam, 1994, hal. 411.
4 Rafik Yunus al-Misri, dalam Fiqh Mu'amalah al-Maliyah, menjelasakanbahwa syirkah itu ada 3 kondisi, Pertama syirka Ibahah, yaitu syirkahyang dibolehkan seperti beryarikat pada air, api dan rumput. Kedua,syirkah amlak atau syuyu' yaitu syirkah yang terjadi secara otomatisdengan sebab kepemilikan seperti harta yang diwarisi, wasiat dan hibbah.Ketiga, syirkah 'uqud yaitu perkongsian yang terjadi karena kesepakatanpara pihak. Penjabaran lanjutan dan komplek dari syirkah syuyu' adalahsyirkah al-jabir. Demikian juga dengan syirkah ikhtiar sebagai perluasandari syirkah 'uqud. Lihat Rafik Yunus al-Misri, Fiqh Mu'amalah al-Maliyah,Damsyik: Dar Kalam, 2005, hal. 225.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
modal (rab-al-mal) sementara pihak yang lain
mengelola modal. Sementara pola kedua, para pihak
sama-sama menyediakan modal dan sekaligus ikut
serta dalam pengelolaan usaha. Pola pertama
dinamakan mudharabah, sementara pola kedua
diistilahkan musyarakah.
Akhir-akhir ini, kedua akad ini diaplikasikan dalam
perbankan baik sebagai akad pendanaan bank maupun
sebagai akad dalam pembiayaan. Untuk pembiayaan,
bank syariah sangat selektif dalam menggunakan
akad ini. Menurut laporan riset dari berbagai literatur5
pembiayaan berbasis bagi hasil termasuk pembiayaan
minoritas pada bank syariah. Meskipun pembiayaan
berbasis bagi hasil sebetulnya memiliki prospek yang
bagus dalam jangka panjang bagi bank syariah apabila
dikelola dengan baik dibandingkan dengan pembiayaan
murabaha yang berbasis jual beli.6 Namun pembiayaan
berbasis bagi hasil memiliki problematika dalam
perbankan. Berikut ini akan dijelaskan konsep syirkah
dan problematika pembiayaan bagi hasil (mudharabah
dan musyarakah) pada bank syariah sebagai instrumen
pembiayaan.
Dalam fiqih Islam, musyarakah adalah bentuk
umumnya untuk mengambarkan hubungan kerjasama
bisnis. Musyarakah didefinisikan sebagai percampuran
(al-ikhtilath) antara dua harta (al-malaini) karena
apabila belum terjadi percampuran kedua harta itu
belum dapat dikatakan musyarakah7. Malikiyah
mendefinisikan musyarakah sebagai kerjasama dalam
harta dan pengaturannya. Sementara Hanabilah
mendefinisikan musyarakah sebagai penggabungan
hak atas harta dan pengelolaanya.8 Atau kerjasama
dua orang atau lebih dalam mengalokasikan modal
dan kerja untuk suatu usaha bisnis secara bersama-
sama.
a. Syirkah dalam Terminologi Fiqh
Istilah musyarakah dapat ditemukan dalam al-
qur'an QS. 4: 12 dengan kata-kata sy-ra-ka.
Sementara dalam QS. 38: 24 terdapat padanan
syirkah yang distilahkan al-Qur'an dengan
“khulatha'”. Namun sama halnya dengan
mudharabah, musyarakah juga tidak ditemukan
penyebutanya secara spesifik yang dapat dikaitkan
dengan kemitraan bisnis seperti yang sedang kita
bahas. Pemakaian istilah musyarakah dalam al-
qur'an lebih bersifat umum. Namun berdasarkan
riwayat yang dinisbatkan kepada rasul dan sahabat
praktik musyarakah ini dibenarkan keabsahannya
dalam kongsi bisnis.9 Dalam Hadith Kudsi dijelaskan
bahwa “Saya orang ketiga dari dua orang yang
bersyarikat10”. Dalam literatur fiqh penjelasan
musyarakah ini masih sangat luas. Tidak ada
penjelasan kongkrit yang siap pakai sesuai dengan
bisnis yang ada dalam perbankan Islam.
Dalam literatur fiqh, syirkah secara umum dibagi
kepada 2 (dua) macam11. Syirkah karena
kepemilikan dan syirkah karena kontrak (akad).
Syirkah karena kepemilikan dinamakan dengan
syirkah al-Milk yaitu syirkah yang terjadi karena
kongsi kepemilikan oleh dua pihak atau lebih atas
suatu kekayaan. Syirkah ini juga diistilahkan dengan
syirkah amlak.Sementara itu syirkah karena kontrak
dinamakan dengan syirkah 'aqd atau disebut juga
69
5 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip danprospek, Jakarta, Serambi, 2007, hal. 74.
6 Trisiladi Suprianto, Konsep rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam; Aplikasidi bank Syariah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, 2015, hal. 245.
7 Imam Abi Zakaria Mahyuddin Ibn Syarf Al-Nawawi, Majmu' SyarahMuhazzab, juz. Xiv, Bairut: Dar al-Fikr, 1996, hal. 317.
8 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dasyik-Suriah: ad-Dar al-Fkr, 1997, hal. 3875.
9 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interpretasi BungaBank Kaum Neo-Revivalis. Terj. Arif Maftuhi (Jakarta: Paramadina), 2004,hal. 88.
10 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailul Autar, Kairo:Maktabah al-Dakwah Islamiyah, tt, hal. 624. Hadith ini diriwayatkanoleh Abu Hurairah dan dirawi oleh Abu Baud, Hakim. Sanad-sanadnyabererajad shahih. Ibnu Qudamah menyebutkan dalam al-Mugni bahwarasulullah bersabda “Tangan Allah atas persyarikatan selama persyarikatanitu belum usai” Lihat juga Wahbah Zuhaili, al-Fiqhwa-Adillatuh, jilid V,hal. 3876.
11 Muhammad Taqi Usmani, An-Introduction to Islamic Finance, New Delhi:Idara Isha'at-e-Diniyat (P) Ltd, 1999, hal. 31.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
dengan syirkah mudharabah yang terjadi karena
sebab kemitraan (berkontrak). Syirkah 'aqd terbagi
menjadi 4 (empat) macam menurut model kontrak
yang disepakati oleh para pihak12:
1) Syirkah inan yaitu kotrak kerjasama penyertaan
modal dan kerja sementara porsi tidak harus
sama.
2) Syirkah mufauwadhah yaitu syirkah atas
kesamaan modal, kerja, dan keuntungan.
3) Syirkah 'amal atau Abdan, yaitu perkongsian
jasa (kerja) oleh dua pihak atau lebih.
4) Syirkah Wujuh yaitu syirkah antara dua orang
atau lebih dengan modal kepercayaan.
Namun kemudian dalam perbankan syariah
musyarakah dipakai sebagai salah satu akad yang
digunakan tidak hanya untuk pendanaan akan
tetapi juga sebagai landasan akad pembiayaan.
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
atau piutang yang dapat dipersamakan dengan
itu seperti transaksi investasi dalam akad
mudharabah dan/atau musyarakah. Transaksi
sewa dalam akad ijarah atau sewa dengan opsi
perpindahan hak milik dalam akad ijarah muntahia
bit tamlik dan juga qard untuk transaksi pinjam
meminjam dan transaksi multi jasa dengan
menggunakan akad ijarah atau kafalah,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan nasabah pembiayaan yang
mewajibkan nasabah pembiayaan untuk melunasi
hutang kewajibannya dan/atau menyelesaikan
investasi mudharabah dan/atau musyarakah dan
hasil pengelolaannya sesuai dengan akad13.
Sesuai ketentuan Bank Indonesia akad musyarakah
didefinisikan sebagai kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan nisbah yang disepakati dalam akad
sebelumnya. Sedangkan kerugian ditanggung
oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang
disertakan dalan usaha.14
Sementara mudharabah, mua'malah, atau qiradh
termasuk bentuk akad syirkah (perkongsian).
Sementara istilah mudharabah digunakan oleh
orang Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan
oleh orang Hijaz. Dengan demikian, mudharabah
dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang
sama15. Mudharabah berasal dari kata dharb,
artinya memukul atau lebih tepatnya “proses
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan
usaha”. Secara teknis, mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak, di mana pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola.
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama
ekonomi antara dua pihak mempunyai beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka
mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam
kerangka hukum. Menurut madzhab Hanafi, dalam
kaitannya dengan kontrak tersebut unsur atau
rukun yang paling mendasar adalah ijab dan qabul.
Artinya, bersesuaiannya keinginan dan maksud
dari dua pihak tersebut untuk menjalin ikatan
kerjasama.16 Sementara jumhur ulama berpendapat
bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua
orang yang melakukan akad, ma'qud alaih (modal,
usaha, laba), dan shigat. Sementara ulama pengikut
Imam Syafei lebih merinci lagi menjadi lima rukun,
yaitu: modal, pekerjaan, laba, shigat, dan dua
orang yang berakad.17
70
12 Hanya Imam Hambali yang membagi Syirkah 'aqd kepada enam macamyaitu syirkah inan, mufauwadhah, abdan, wujuh dan mudharabah. LihatWahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz V, Damaskus: Dar al-Fikri,1997, hal. 3878.
13 BI, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Agustus 2007, hal. 22.
14 BI, Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, hal. 22.
15 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz V, Damaskus: Dar al-Fikri, 1997, hal. 3923.
16 Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE:Yogyakarta, hal. 54
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Selain itu, terdapat dua jenis mudharabah, yaitu
mudharabah muthlaqah (tidak terikat) dan
mudharabah muqayyadah (terikat). Mudharabah
muthlaqah adalah penyerahan modal seseorang
kepada pengusaha tanpa memberi batasan
apapun bagi pengusaha dalam mengelola
modalnya tersebut. Sementara itu mudharabah
muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik
modal menentukan atau memberikan batasan
pada pengusaha dalam mengelola modalnya,
seperti jenis usaha, tempat usaha, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan
memberikan batasan dengan waktu dan orang,
tetapi ulama Syafeiyah dan Malikiyah melarangnya.
Selain itu, Hanafiyah dan Hanabilah pun
membolehkan akad apabila dikaitkan dengan
masa yang akan datang, seperti “usahakan modal
ini mulai bulan depan”, sedangkan Syafeiyah dan
Malikiyah melarangnya.18
Dalam hal pembagian keuntungan, keuntungan
usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal, selama bukan akibat kelalaian si pengelola.
Tetapi seandainya kerugian diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si
pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian.19
Kontrak mudharabah berakhir apabila terjadi
beberapa hal diantaranya:
1) Salah satu pihak menyatakan keluar dari
perikatan.
2) Salah satu pihak meninggal ketika kontrak
tersebut berjalan.
3) Salah seorang kehilangan kemampuan dalam
bertransaksi secara ekonomi.
Para ulama sepakat dengan ketentuan di atas,
sehingga tidak terjadi perbedaan yang signifikan
dalam masalah ini. Hanya saja ada beberapa ulama
yang menambahkan bahwa jika salah satu pihak
keluar dari Islam, maka kontrak juga dianggap
batal dan berakhir. Namun beberapa ulama lain
tidak sependapat dengan pendapat terakhir ini.
b. Syirkah sebagai Instrumen Pembiayaan Syariah
Dalam hal ini landasan legalitas pembiayaan
musyarakah dalam perbankan syariah berdasarkan
pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 tentang
Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah. Dalam operasionalnya, pembiayaan
musyarakah dilandaskan dan berdasarkan pada
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.8/DSN-MUI/IV/
2000. Implementasi pembiayaan Musyarakah harus
memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
1) Bahwa pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad)20. Terpenuhinya kehendak para pihak
dilihat dari adanya:
a) Penawaran dan penerimaan dan harus
secara ekplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b) Penerimaan dan penawaran dilakukan pada
saat kontrak.
c) Akad yang dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensi atau dengan
menggunakan cara modern.
2) Pihak yang berkontrak harus cakap hukum,
dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Para pihak kompeten dalam memberikan
atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b) Setiap mitra harus menyediakan dana dan
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan
kerja sebagai wakil.
71
17 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Islam...hal. 3928.
18 Ibid. hal. 928.
19 Syafei Antonio. 1999. Bank Syariah, Wacana Ulama & Cendekiawan.Tazkia Institute : Jakarta. hal. 171.
20 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akaddalam Fiqh Muamalat, (Jakarta: Rajagrafindo Pesada, 2007), hal. 69.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur
aset musyarakah dalam proses bisnis
normal.
d) Setiap mitra memberi wewenang kepada
mitra yang lain untuk mengelola aset dan
masing-masing dianggap telah diberi
wewenang untuk melakukan aktifitas
musyarakah dengan memperhatikan
kepentingan mitranya, tanpa melakukan
kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e) Seorang mitra tidak diizinkan untuk
mencairkan atau untuk menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.
3) Objek akad (modal, kerja, keuntungan, dan
kerugian)
a) Modal
(1) Modal yang diberikan harus uang tunai,
emas, perak atau yang sebanding
dengan itu.
(2) Para pihak tidak boleh meminjam,
meminjamkan, menyumbang, atau
menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain kecuali berdasarkan
kesepakatan.
(3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan
musyarakah tidak ada jaminan.
b) Kerja
Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah
akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat.
c) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil
dari mitranya.
d) Keuntungan
(1) Rasio keuntungan dan nisbah harus
jelas.
(2) Setiap keuntungan harus dibagikan
secara proporsional kepada mitra atas
dasar total keuntungan.
(3) Mitra boleh mengusulkan bonus jika
keuntungan melebihi target, kelebihan
itu baik secara ratio atau jumlah
diberikan kepadanya.
(4) Sistem pembagian keuntungan harus
jelas tertuang dalam akad.
e) Kerugian
Kerugian harus dibagi diantara para mitra
secara proporsional menurut modal (saham)
masing-masing.
4) Biaya Operasional dan Persengketaan
a) Biaya operasional dibebankan pada modal
bersama.
b) Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Uraian di atas merupakan penjabaran dari kitab fiqh
sebagai sumber pendapat hukum. Karena itu tidak ada
perbedaan antara penjabaran Dewan Syariah Nasional
tentang syarat dan rukun yang harus terkandung
dalam akad musyarakah seperti yang telah duraikan
di atas. Hanya saja ketentuan yang telah dijelaskan
oleh Dewan Syariah Nasional, penjabarannya lebih
bersifat operasional, spesifik, dan sistematis. Dalam
literatur fiqh dijelaskan bahwa rukun yang harus
dikandung dalam akad musyarakah menurut jumhur
ulama ada tiga: Pertama, adanya pelaku akad yaitu
mitra usaha; Kedua, adanya objek akad yang terdiri
dari modal (mal), kerja (dharaba), dan keuntungan
(ribh); Ketiga, adanya Sighat akad antara mitra21.
Dalam pembiayaan musyarakah tidak diperbolehkan
ada jaminan selain modal dan proyek yang sedang
dijalankan. Tidak dibenarkan meminta jaminan pada
mitra karena itu adalah ikatan kepercayaan. Empat
mazhab fiqih tidak berbeda pendapat tentang
ketidakbolehan meminta jaminan pada mitra sebab
mitra adalah orang yang dipercaya. Berdasarkan pada
konsep percaya ini, mitra yang satu tidak dapat
meminta jaminan pada mitra lain22. Dalam perspektif
72
21 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhwa-Adillatuh. hal. 3879.
22 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, hal. 91
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
perbankan, pembiayaan ini memiliki tingkat risiko
yang tinggi, sehingga membutuhkan jaminan yang
kongkrit. Risiko bawaan yang melekat tersebut menjadi
peluang yang besar untuk terjadinya kecurangan yang
menyebabkan kerugian bagi salah satu mitra. Dalam
praktiknya, kerugian tersebut sering terjadi karena
moral hazard, karena itu kemudian Dewan Syariah
Nasional membenarkan jaminan dalam pembiayaan
ini untuk menghindari terjadinya ketimpangan dalam
menjalankan usaha bisnis seperti telah diuraikan di
atas.
Untuk mengakhiri kontrak kerjasama, dalam akad
musyarakah dapat dilakukan dengan kesepakatan
antara para pihak. Namun selain itu ada beberapa
sebab sehingga musyarakah akan berakhir:
1) Keinginan salah satu pihak untuk mengakhiri
setelah disampaikan kepada pihak lain.
2) Salah seorang meninggal dunia pada saat
musyarakah masih berlangsung, dengan demikian
kontrak dengan almarhum berakhir.
3) Salah satu mitra gugur syarat akad seperti hilang
ingatan yang mengakibatkan tidak mampu
melakukan transaksi komersial atau gila, maka
kontrak musyarakah berakhir.
Sementara mudharabah sebagai sebuah produk,
dalam perbankan diterapkan dalam jenis pelayanan
yang disediakan oleh bank untuk para nasabahnya.
Dalam kerangka ini mudharabah dibedakan menjadi
dua, yaitu mudharabah yang bersifat tabungan atau
akumulasi dana, dan mudharabah yang bersifat
pembiayaan.23
Bagi mudharabah yang bersifat pembiayaan,
pengerahan dana diterapkan secara khusus bagi para
nasabah yang membutuhkan modal untuk sebuah
usaha. Aplikasinya dalam perbankan syari'ah
digolongkan menjadi dua, yaitu:
1) Pembiayaan Modal Kerja. Hal ini dimaksudkan
agar bank dapat memberikan modal kepada
nasabahnya yang menghendaki usaha. Dalam hal
ini, bank memberi kebebasan kepada pengusaha
untuk melakukan berbagai jenis usaha yang
diinginkan. Seperti perdagangan atau bisnis jasa.
2) Investasi Khusus. Adalah pemberian modal dari
bank yang berasal dari sumber dana khusus dengan
penyaluran pada jenis usaha tertentu dan dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pihak
bank. Dalam hal ini bank tidak menerima sebuah
usaha yang mempunyai nilai spekulatif tinggi24.
Pada pembiayaan modal kerja, aplikasi mudharabah
seperti ini dalam fiqh Islam dinamakan dengan
mudharabah al-muthlaqah. Sedangkan untuk investasi
khusus, disebut dengan mudharabah al-muqayyadah.
Pada jenis pertama, pemilik dana memberikan otoritas
dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk
menginvestasikan atau memutar uangnya.
C. PROBLEMATIKA SYIRKAH DALAM PEMBIAYAAN
MODERN
Sebagian besar transaksi keuangan, dilakukan di
lembaga keuangan yang bernama bank. Bank adalah
lembaga perantara keuangan atau biasa disebut
financial intermediary. Seperti yang diutarakan di
atas bahwa model pembiayaan musyarakah dan
mudharabah memiliki risiko secara genetis dalam
akadnya yaitu terjadinya asimetrik informasi terhadap
para pihak.
Munculnya asimetrik informasi ini dapat mempengaruhi
besar kecilnya pendapatan investasi yang dijalankan.
Bentuk asimetrik informasi biasanya berbentuk moral
hazard dan adverse selection. Adverse selection terjadi
pada kontrak hutang ketika kualitas peminjam hanya
mampu menyediakan atau mengembalikan tingkat
pengembalian di luar batas ketentuan yang ditetapkan
73
23 Muhammad, Konstruksi Mudhrabah dalam Bisnis Syari'ah.BPFE: Yogyakarta. 2005, hal. 91-92.
24 Syafei Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek. Gema Insani Press:Jakarta, 2002, hal. 97.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
(biasanya lebih kecil dari yang diminta oleh pemilik
modal). Sementara moral hazard terjadi jika peminjam
melakukan reaksi menyimpang atas kontrak yang
telah disepakati.25
Itulah setidaknya beberapa kendala dan kelemahan
yang terdapat dalam konsep bagi hasil dengan skema
mudharabah dan musyarakah26. Meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa konsep bagi hasil ini adalah
konsep yang benar-benar dapat secara konsisten bisa
menjamin untuk menghindarkan para pihak yang
bertransaksi dari kemungkinan adanya unsur riba
dalam pendapatan hasil usahanya tersebut.
Dibawah ini, akan dipaparkan beberapa problematika
yang terdapat dalam konsep transaksi mudharabah
dan musyarakah, ditinjau dari sudut pandang investor
(baik bank maupun individu), sebagai pihak yang
paling berkepentingan terhadap suatu konsep transaksi
yang akan diimplementasikan dalam sebuah usaha
yang akan dibiayainya.
1. Problematika Keagenan
Hampir senada dengan statement Lewis dan
Algaoud, Muhammad, juga mencatat beberapa
kelemahan dan kendala yang terdapat dalam
konsep mudharabah ini. Menurutnya, kontrak
mudharabah yang dijalankan oleh bank syari'ah,
merupakan suatu kontrak peluang investasi yang
mengandung risiko tinggi. Sebab model kontrak
tersebut sarat dengan asimetrik informasi. Asimetrik
informasi adalah kondisi yang menunjukkan
sebagian investor mempunyai informasi dan yang
lainnya tidak memiliki.
Apabila kita terapkan dalam konsep syirkah, maka
konflik yang akan timbul dalam problematika
keagenan yaitu:
1) Konflik antara shohibul mal dengan shohibul
mal lainnya.
Dalam konsep syirkah, baik itu mudharabah
ataupun musyarakah, terdapat satu atau
beberapa orang yang terlibat dalam kerjasama
investasi modal. Khusus dalam musyarakah,
di mana pusat dari kerjasama dalam konsep
ini adalah terdapat pada adanya penyertaan
modal antara dua pihak atau lebih pada suatu
usaha, akan sangat rentan timbul konflik
diantara sesamanya, apalagi jika penyertaan
modal antara satu orang dengan yang lainnya
berbeda.27
2) Konflik pada Pembagian Kerja (Job Description).
Konflik ini sangat riskan terjadi dan berefek
pada ketidakadilan kerja yang berimplikasi
pada pembagian hasil. Dalam hal pembagian
job description, masing-masing pihak yang
akan bersyarikat benar-benar harus selektif
dalam memilih partner dalam syarikatnya
tersebut. Maksudnya adalah, sebelum
mengadakan perjanjian kerjasama, para pihak
sudah harus benar-benar paham, dan
mengetahui kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Dengan demikian dalam
pembagian job description-nya nanti, tidak
akan menimbulkan kecemburuan dari salah
satu pihak. Sebagai contoh, dua pengusaha
bersepakat untuk melakukan suatu investasi
usaha bersama. Katakanlah si A dan si B.
Investor A menginvestasikan dana Rp.1 miliar
dan investor B menginvestsikan dana Rp. 500
juta. Karena investor B memiliki dana investasi
yang lebih sedikit pada proyek tersebut, maka
disepakati bahwa B akan memiliki peran atau
kerja lebih dari pada A, dan mungkin saja A
hanya tinggal duduk menunggu pembagian
keuntungan. Hal ini dilakukan agar prosentase
modal keduanya seimbang 50:50.
74
25 Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE:Yogyakarta. Hal. 107-108.
26 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interprestasi BunganBank Kaum Neo-Revivalis. Terj, Arif Maftuhi, Jakarta: Paramadina, 2003,hal. 93.
27 Mamduh Mahmadah Hanafi. Manajemen Keuangan. BPFE: Yogyakarta,2003, hal. 10.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pembagian job description di atas akan
menimbulkan persoalan manakala si B pada
kenyataannya mendapatkan lebih banyak
manfaat dan keuntungan dari posisinya sebagai
orang yang mengelola usaha. Karena selain
mendapatkan keuntungan dari hasil usaha, B
juga ternyata memperoleh keuntungan lain
yang bisa lebih besar kuantitas dan kualitasnya
daripada A. Selain itu B juga terkesan lebih
menguasai dan memiliki usaha tersebut. Dapat
saja B memperoleh fasilitas yang mewah
sebagai pengelola perusahaan.
Hal ini akan semakin menjadi rumit apabila
seandainya yang melakukan syarikat tidak
hanya dua orang, melainkan tiga atau lebih
banyak lagi. Secara perhitungan ekonomis,
maka B lebih banyak mendapatkan keuntungan
dari proyek tersebut dari pada A, tentu saja
hal ini akan menimbulkan persoalan yang
cukup pelik yang tidak mudah untuk mencari
jalan keluarnya, yang terkadang malah
berujung pada bubarnya kerjasama tersebut
ditengah jalan.
3) Konflik Rasio Pembagian Keuntungan dan
Kerugian
Dalam hal pembagian rasio keuntungan dan
kerugian, tidak ada kesepakatan para ulama
yang menyatakan dengan jelas berapa rasio
yang wajib dibagikan diantara para pihak yang
bersyarikat.
Imam Malik dan Imam Syafei berpendapat
bahwa, setiap orang yang terlibat dalam
musyarakah otomatis mendapatkan rasio
pembagian sesuai dengan besarnya investasi
yang dikeluarkan, jika tidak demikian, maka
musyarakah dinyatakan batal secara hukum.
Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat
sebaliknya, dia menyatakan bahwa rasio
pembagian keuntungan dalam musyarakah,
mungkin saja dapat berbeda dengan rasio
investasi, jika hal itu disepakati oleh para pihak
yang bersyarikat. Oleh sebab itu dimungkinkan,
jika ada seorang syarik yang menginvestasikan
sebanyak 40% mendapatkan 60-70%
keuntungan dan begitu pula sebaliknya.
Pendapat ketiga datang dari Imam Abu
Hanifah, yang mengambil jalan tengah diantara
dua pendapat di atas. Beliau berpendapat
bahwa pembagian keuntungan mungkin saja
bisa berbeda dengan besarnya rasio investasi
dalam keadaan normal. Hal ini bisa terjadi
bila salah satu pihak hanya menunggu dan
tidak ikut melaksanakan proyek, sehingga
keuntungan yang dia peroleh bisa kurang dari
rasio investasi yang dia berikan, seandainyapun
ingin diberikan secara maksimal, maka tidak
boleh lebih dari prosentase rasio investasi yang
dia tanamkan.28
Rumitnya pembagian rasio keuntungan,
sebenarnya tidak lepas dari rumitnya pembagian
job description sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas. Dalam Islam, definisi
keuntungan lebih cenderung bersifat hasil
bersih dari usaha atau proyek yang telah
dilakukan. Padahal keuntungan tidak hanya
bersifat seperti itu, namun masih banyak
keuntungan lain, yang dalam hal ini kedua
syarik berposisi sebagai pemilik proyek yang
tidak berbentuk hasil usaha, namun juga
keuntungan non-profit lainnya yang dalam
hukum transaksi Islam tidak pernah disinggung
keberadaannya. Hal ini bisa menjadi celah bagi
salah satu pihak yang dapat merugikan pihak
lainnya.
2. Problematika Insentif
Pendanaan secara bagi hasil setidaknya
menimbulkan tiga persoalan insentif. Pertama,
ketiadaan jaminan dalam pembiayaan bagi hasil.
2975
28 Muhammad Taqi Utsmani, An Introduction to Islamic Finance. Karachi-Pakistan: Idaratul Ma'arif, 2000, hal. 36-37.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Ketiadaan jaminan dalam pembiayaan ini dapat
memperburuk hubungan salah satu pihak dan
lolosnya problem adverse selection pada
pembiayaan. Menurut teori, pembiayaan
berdasarkan sistem bagi hasil harus diberikan
tanpa agunan apapun. Tentu saja, pengusaha
dengan kekayaan yang terbatas akan sangat
tergiur dengan pembiayaan seperti itu. Pola bagi
hasil atau sistem Profit and Loss Sharing akan
menarik para pengusaha baru, yang tidak punya
aset apapun selain usaha dan keahlian. Kontrak
investasi tanpa agunan seperti ini tentu saja
termasuk usaha berisiko tinggi.
Kedua, bank tidak dapat memaksa pengusaha
(mudharib) melakukan suatu tindakan dan upaya
untuk memaksimalkan pendapatan. Kondisi ini
akan memicu problem moral hazard. Bilapun
mudharib akan mendapatkan kompensasi berupa
bagian (saham) yang telah ditetapkan sebelumnya,
namun model ini tentu saja bukan insentif yang
tepat bagi pengusaha agar dia melakukan upaya
untuk memaksimalkan hasil.
Ketiga, dalam kontrak bagi hasil, peminjam
(mudharib) selalu terdorong untuk melaporkan
jumlah laba yang kurang dari sebenarnya. Mereka
menurunkan laba dengan cara mengambil
penghasilan tambahan, memperbesar biaya
operasional, memanfaatkan waktu luang untuk
kegiatan usaha lain dan juga memakai dalih
akuntansi untuk mengelabui pendapatan.29
Konsep transaksi syirkah, menuntut agar para
shahibul maal lebih selektif dalam memilih mitra
usaha dan dalam menentukan pilihan usaha.
Dalam kasus musyarakah misalnya, pemilik modal
mesti mencari partner investor lain yang tepat,
agar investasi yang ia tanamkan dalam suatu usaha
benar-benar dapat menghasilkan keuntungan
yang diharapkan. Begitu pula dalam mudharabah,
shahibul maal harus melakukan seleksi yang ketat
sebelum mengambil keputusan untuk melakukan
perjanjian kerjasama dengan seorang mudharib.
3. Problematika Efisiensi
Problematika efisiensi terkait dengan pihak bank
sebagai penyedia dana, nasabah, dan perhitungan
keuntungan bagi hasil. Bank sebetulnya tidak
mengetahui secara riil keuntungan sebenarnya.
Untuk itu dibutuhkan profesionalisme pegawai
dalam menjalankan mekanisme bagi hasil. Bank
membutuhkan pengetahuan yang luas mengenai
bisnis dan perilaku calon debitur. Pengusaha
(mudharib) dapat mengabaikan kepastian bagian
hasil usaha yang diberikan kepada pemberi
pinjaman. Pemberi pinjaman tidak mengetahui
secara pasti pendapatan hasil usaha di lapangan
dan biaya-biaya operasionalnya. Karena itu
pengetahuan tentang bisnis dan perilaku penting
bagi bank untuk memprediksi keuntungan yang
akan diperoleh dari kegiatan usaha atau proyek
yang dibiayai.30
Meskipun demikian, tingkat return investasi bagi
hasil sebetulnya lebih tinggi dibandingkan dengan
sistem lainnya, karena dalam sistem bagi hasil
para pihak lebih leluasa dalam bernegosiasi besaran
nisbah. Pada kegiatan usaha tertentu dapat saja
bank meminta porsi bagi hasil yang lebih besar
mana kala usaha yang dibiayai tergolong mudah.
Kerumitan-kerumitan ini terjadi, disebabkan karena
model akad itu sendiri yang memiliki potensi risiko
agen, sistem perbankan dan regulasi yang belum
mengakomodir ciri-ciri akad bagi hasil serta karakter
akadnya yang unik. Kemitraan sebagai ciri spesifik
dari aqad bagi hasil belum teradopsi dalam sistem
perbankan. Ketiadaan regulasi yang dikonstruksikan
dari nilai filosofis pembiayaan Islam menyebabkan
76
29 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip danprospek, Jakarta: Serambi, 2007, hal. 219.
30 Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah.Yogyakarta:BPFE, 2005, hal. 116.
bank syariah kadang-kadang keluar jalur. Bank
yang sejatinya sebagai bank bagi hasil berubah
menjadi bank jual beli. Keadaan ini tentunya
menyulitkan bank syariah untuk berkembang
sesuai syariah. Karenanya perbankan dengan
sistem syariah merupakan suatu pemberdayaan
ekonomi berkeadilan. Perlu penguatan dan
penyempurnaan pada sistem finansial yang
meliputi; perbankan, pasar keuangan, pasar modal,
dan sistem legal31. Semua sub sistem ini haruslah
efesien, berfungsi dan berperan dengan serta
mengakomodir aqad pembiayaan bagi hasil yang
unik. Bila penyempurnaan dan perbaikan sistem
dan regulasi tidak dilakukan akan berdampak
pada tidak efesiennya sistem keuangan Islam.
D. PENUTUP
Islam sangat memahami bahwa kehidupan manusia
akan selalu dinamis dan berubah dari waktu ke waktu,
maka dari itu, Islam tidak pernah membuat aturan
atau batasan secara ketat yang mengatur masalah
mu'amalah. Syirkah merupakan salah satu akad
bermua'malah yang dapat dikembangkan dalam
perbankan. Namun akad bagi hasil ini menyimpan
berbagai problematikanya yang meliputi problematika
keagenan, insentif, dan efesiensi. Problematika itu
menjadi sumber utama sulitnya mengimplementasikan
akad mudharabah dan musyarakah sebagai instrumen
pembiayaan modern. Problematika selanjutnya terletak
pada ketiadaan regulasi yang dirancang khusus
berdasarkan nilai-nilai filosofis akad musyarakah.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko
assymetric information (moral hazard), maka bank
syari'ah menerapkan sejumlah batasan-batasan
tertentu dalam bentuk klausul-klausul ketika
menyalurkan pembiayaan bagi hasil pada mudharib.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
77
31 Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam; Teori danPraktek, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 160.
AbiIshaq al-Syatibi, al-Muwafaqah fi ushul al-Syar'iyah, jiid 2, Libanon: Dar al-Kita Alamiah, 2005.
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah; Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Terj. Arif Maftuhi (Jakarta:Paramadina), 2004.
Abi Zakaria Mahyuddin Ibn Syarf Al-Nawawi, Majmu' Syarah Muhazzab, juz. Xiv, Bairut: Dar al-Fikr, 1996, hal. 317.
Ali Ahmad al-Nadwi, Jamrah al-Qawa'id al-Fiqhiyah fi al-Mua'amalah al-Maliyah. Cet ke-3, Bairut: Dar al-Qalam, 1994.
BI, Kondifikasi Produk Perbankan Syariah, Agustus 2007.
Mamduh Mahmadah Hanafi, Manajemen Keuangan. BPFE: Yogyakarta, 2003.
Muhammad, Konstruksi Mudhrabah dalam Bisnis Syari'ah. BPFE: Yogyakarta, 2005.
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah; Prinsip dan prospek, Jakarta, Serambi, 2007.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailul Autar, Kairo: Maktabah al-Dakwah Islamiyah, tt.
Muhammad Taqi Usmani, An-Introdaction to Islamic Finance, New Delhi: Idara Isha'at-e-Diniyat (P) Ltd, 1999.
Rafik Yunus al-Misri, Fiqh Mu'amalah al-Maliyah, Damsyik: Dar Kalam, 2005.
Syafei Antonio, Bank Syariah, Wacana Ulama & Cendekiawan. Tazkia Institute: Jakarta, 1999.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah; Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalat, Jakarta: Rajagrafindo Pesada,2007.
Syafei Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek. GemaInsani Press: Jakarta, 2002.
Trisiladi Suprianto, Konsep rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam; Aplikasi di Bank Syariah, Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah,2015.
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dasyik-Suriah: ad-Dar al-Fkr, 1997.
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam; Teori dan Praktek, Jakarta: Kencana, 2008.
78
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pasar Uang1. 18/11/PBI/2016
79
I. Latar Belakang1. Pengaturan pasar uang merupakan penjabaran lebih
lanjut dari kewenangan Bank Indonesia sebagaimanadiamanatkan dalam undang-undang Bank Indonesiapasal 7 dan pasal 10 terkait upaya mencapai danmemelihara kestabilan nilai rupiah, serta pengendalianmoneter dengan cara termasuk namun tidak terbataspada OPT di pasar uang baik rupiah maupun valas.
2. Pengaturan pasar uang ini juga mengacu pada pasal71 UU No.1 tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara yang mengatur penggunaan SUN sebagaiinstrumen moneter. Implementasi dari pasal tersebutadalah dilakukannya transaksi operasi moneter BIdengan underlying SBN. Oleh karena itu, diperlukanpengaturan dan pengembangan pasar uang untukmendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter.
3. Pasar uang yang berfungsi dengan baik (well-functioning)memiliki peranan penting untuk pengelolaan likuiditasbagi pelaku pasar keuangan, mendukung efektivitaskebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistemkeuangan, dan kelancaran sistem pembayaran.
4. Dalam rangka meningkatkan governance dan mitigasirisiko sistemik di pasar uang diperlukan pengaturan dipasar uang, yang mencakup antara lain karakteristikinstrumen pasar uang, penerapan manajemen risiko,prinsip kehati-hatian dan peningkatan integritas pelakupasar dalam bertransaksi di pasar uang.
5. Diperlukan pengaturan di pasar uang domestik yangmemberikan pedoman (guideline) bagi pelaku pasaruntuk menerbitkan instrumen dan bertransaksi di pasaruang sebagai salah satu sumber pembiayaan kegiatanekonomi. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan danpengawasan pasar uang oleh Bank Indonesia.
II. Pokok-Pokok Pengaturan1. Ruang Lingkup Kewenangan Bank Indonesia di Pasar
Uang
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
80
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan,pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang dalamrangka:a. meningkatkan efektivitas kebijakan moneter;b. mencegah dan mengurangi risiko sistemik;c. meningkatkan efisiensi Pasar Uang;d. meningkatkan fungsi intermediasi yang berdaya
tahan; dane. mengembangkan pasar keuangan.
2. Definisi Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuanganyang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan,pinjam-meminjam, atau pendanaan berjangka pendeksampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang Rupiahdan valuta asing, yang berperan dalam transmisikebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistemkeuangan, dan kelancaran sistem pembayaran
3. Definisi Instrumen Pasar Uang adalah instrumen yangditransaksikan di Pasar Uang, yang meliputi instrumenyang diterbitkan dengan jangka waktu sampai dengan1 (satu) tahun, sertifikat deposito, dan instrumen lainyang ditetapkan oleh Bank Indonesia, termasuk yangberdasarkan prinsip syariah.
4. Pelaku Pasar yang diatur dalam ketentuan ini adalah:a. Bank;b. Perusahaan Efek; danc. Nasabah, berupa:
1) Bank;2) Perusahaan Efek;3) korporasi;4) orang perseorangan; dan5) bukan penduduk.
5. Kegiatan di Pasar Uang meliputi:a. penerbitan Instrumen Pasar Uang; dan/ataub. transaksi di Pasar Uang, meliputi:
1) transaksi jual-beli Instrumen Pasar Uang;2) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan
selain kredit dengan jangka waktu sampai dengan1 (satu) tahun, yang meliputi:a) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaan
dengan menggunakan agunan (secured);atau
b) transaksi pinjam-meminjam atau pendanaantanpa menggunakan agunan (unsecured);dan
3) transaksi derivatif suku bunga Rupiah untuksemua jangka waktu.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
81
6. Instrumen Pasar UangInstrumen Pasar Uang wajib memenuhi persyaratanpaling kurang:a. scripless; danb. terdapat keterbukaan informasi rating.Persyaratan di atas dikecualikan untuk instrumenmoneter Bank Indonesia dan Instrumen Pasar Uangyang diatur dalam Undang-Undang.
7. Perijinan bagi pelaku pasar yang akan menerbitkaninstrumen pasar uanga. Pelaku Pasar yang akan menerbitkan Instrumen
Pasar Uang wajib memperoleh izin dari BankIndonesia.
b. Pelaku Pasar berupa Nasabah hanya dapat melakukanpenerbitan Instrumen Pasar Uang melalui LembagaPendukung Pasar Uang berupa Bank dan PerusahaanEfek.
c. Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa Bank danPerusahaan Efek wajib memperoleh izin dari BankIndonesia.
d. Lembaga Pendukung Pasar Uang berupa PerusahaanPialang yang menjadi perantara transaksi Nasabahdi Pasar Uang wajib memperoleh izin dari BankIndonesia.
e. Pelaku Pasar wajib menyampaikan salinan izinpenerbitan instrumen pasar uang kepada BankIndonesia dalam hal terdapat otoritas lain yangmewajibkan Pelaku Pasar untuk memperoleh izinpenerbitan Instrumen Pasar Uang.
8. Prinsip Kehati-hatiana. Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen Pasar
Uang dan/atau melakukan transaksi di Pasar Uangwajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
b. Pelaku Pasar yang menerbitkan Instrumen PasarUang, selain menerapkan prinsip kehati-hatian jugamempertimbangkan risiko sistemik Pelaku Pasaryang menerbitkan Instrumen Pasar Uang terhadapindustri Pelaku Pasar.
9. Bank Indonesia menetapkan infrastruktur Pasar Uang.Infrastruktur Pasar Uang sebagaimana dimaksud padaayat (1) terdiri atas:a. sarana pelaksanaan transaksi;b. sarana penyelesaian dana;c. sarana penyelesaian Instrumen Pasar Uang;d. sarana penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dane. sarana pengelolaan data dan informasi Pasar Uang.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Operasi Moneter2. 18/12/PBI/2016
82
10.Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untukmelaksanakan fungsi:a. penyelesaian transaksi;b. penatausahaan Instrumen Pasar Uang; dan/atauc. pelaksanaan kliring transaksi di Pasar Uang.Pihak lain sebagaimana dimaksud diatas antara lainterdiri atas:a. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; danb. lembaga kliring dan penjaminan.
11.Pengawasan di Pasar Uanga. Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kegiatan di Pasar Uang.b. Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapatberkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang.
c. Pengawasan terhadap kegiatan di Pasar Uangsebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:1) pengawasan tidak langsung; dan/atau2) pemeriksaan.
12. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlakumaka:a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
21/55/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentangPasar Uang dan Penempatan Dana Antar Bank; dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/32/UPGtanggal 27 Oktober 1988 perihal Pasar Uang danPenempatan Dana Antar Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 31Agustus 2016
I. Latar Belakang dan TujuanDalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitumenjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah danmenghadapi tantangan kondisi makroekonomi, BankIndonesia melaksanakan pengendalian moneter denganberdasarkan pada kebijakan moneter. Untuk meningkatkanefektivitas transmisi kebijakan moneter, Bank Indonesiamelakukan penguatan operasi moneter melalui reformulasisuku bunga kebijakan dari BI-Rate menjadi BI 7-day (Reverse)Repo Rate.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
83
Operasi moneter dengan mekanisme absorpsi dan/atauinjeksi likuiditas di pasar uang dilakukan melalui transaksioperasi pasar terbuka baik di pasar uang maupun pasarvaluta asing secara terintegrasi. Untuk mendukungpelaksanaan operasi moneter, Bank Indonesia melakukanpemantauan pasar keuangan antara lain melalui monitoringtransaksi di pasar uang, pasar valuta asing, dan pasar SBN.
II. Materi Pengaturan1. Operasi moneter bertujuan untuk mendukung
pencapaian stabilitas moneter dengan mengendalikansuku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUABO/N) dan menjaga stabilitas nilai tukar.
2. Operasi moneter dilakukan dalam bentuk Operasi PasarTerbuka (OPT) dan Standing Facilities.
3. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yangditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara StandingFacilities hanya dapat diikuti oleh Bank.
4. Bank Indonesia dapat menunjuk peserta OPT yangmemenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesiauntuk mendukung pelaksanaan transaksi OperasiMoneter.
5. Kegiatan OPT meliputi:a. Penerbitan SBI dan SDBI
1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut:a) berjangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan yangdinyatakan dalam jumlah hari dan dihitungsejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmensampai dengan tanggal jatuh waktu;
b) diterbitkan dan diperdagangkan dengansistem diskonto;
c) diterbitkan tanpa warkat (scripless); dand) dapat dipindahtangankan (negotiable).
2) SDBI memiliki karakteristik sebagai berikut:a) berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari
dan paling lama 12 (dua belas) bulan yangdinyatakan dalam jumlah hari dan dihitungsejak 1 (satu) hari sesudah tanggal setelmensampai dengan tanggal jatuh waktu;
b) diterbitkan dan diperdagangkan dengansistem diskonto;
c) diterbitkan tanpa warkat (scripless);d) hanya dapat dimiliki oleh Bank; dane) dapat dipindahtangankan (negotiable) hanya
antar-Bank.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
84
3) Dalam jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI,pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atasSBI yang dimilikinya dengan pihak lain.
4) Bank dilarang melakukan transaksi SDBI denganpihak selain Bank .
b. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverserepo surat berharga.Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverserepo surat berharga dapat menggunakan suratberharga berupa SBI, SDBI, SBN dan surat berhargalain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkanyang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Transaksi pembelian dan penjualan surat berhargasecara outright.Transaksi pembelian dan penjualan surat berhargasecara outright dilakukan terhadap SBN dan suratberharga lain yang berkualitas tinggi dan mudahdicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Penempatan berjangka (term deposit) di BankIndonesia dalam Rupiah.Penempatan berjangka (term deposit) dapatdicairkan oleh peserta Operasi Moneter sebelumjatuh waktu (early redemption) dengan memenuhipersyaratan tertentu.
e. Penempatan berjangka (term deposit) di BankIndonesia dalam valuta asing.1) Penempatan berjangka (term deposit) dalam
valuta asing dapat dicairkan oleh peserta OperasiMoneter sebelum jatuh waktu (early redemption)dengan memenuhi persyaratan tertentu.
2) Penempatan berjangka (term deposit) dalamvaluta asing dapat dialihkan oleh peserta OperasiMoneter menjadi transaksi swap jual valutaasing terhadap Rupiah Bank Indonesia.
3) Penempatan berjangka (term deposit) dalamvaluta asing dapat menjadi pengurang posisidevisa neto secara keseluruhan yang wajibdipelihara peserta Operasi Moneter pada akhirhari kerja.
f. jual beli valuta asing terhadap Rupiah dilakukanantara lain dalam bentuk spot, forward, dan swap.
6. Kegiatan Standing Facilities meliputi:a. penyediaan dana Rupiah (lending facility) yang
dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SDBI, SBN,dan/atau surat berharga lain yang berkualitas tinggidan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh BankIndonesia; dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
85
b. penempatan dana Rupiah (deposit facility) yangdilakukan tanpa penerbitan surat berharga.
7. Untuk keperluan penyelesaian transaksi operasi moneter,peserta operasi moneter harus memiliki:a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia;b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia terkait
penyelesaian transaksi OPT di pasar valuta asing;dan
c. rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/ataudi lembaga kustodian yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
8. Dalam rangka mendukung pelaksanaan OperasiMoneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan pasarkeuangan melalui monitoring transaksi secara langsungatau secara tidak langsung yang mencakup antara lainpemantauan pasar uang, pasar valuta asing, dan pasarSBN.
9. Sanksia. Sanksi atas batalnya transaksi operasi moneter adalah
sebagai berikut:1) teguran tertulis; dan2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai
transaksi operasi moneter yang batal, dengannilai sanksi paling sedikit sebesarRp10.000.000,00 dan paling banyak sebesarRp100.000.000,00.
b. Sanksi atas batalnya transaksi penempatan berjangka(term deposit) dalam valuta asing adalah sebagaiberikut:1) teguran tertulis; dan2) kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
a) (suku bunga efektif Fed Fund + 200bps) x1/360, untuk valuta Dolar Amerika Serikat;atau
b) (official rate + 200bps) x 1/360, untuk valutaasing selain Dolar Amerika Serikat;
c. Dalam hal terjadi batal transaksi yang ketiga kalidalam jangka waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakansanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar,peserta Operasi Moneter juga dikenakan sanksipenghentian sementara untuk mengikuti kegiatanOperasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut, kecuali untuk transaksi repo lending facilitypeserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksifasilitas likuiditas intrahari yang tidak lunas.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
86
d. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban membayaruntuk transaksi OPT di pasar valuta asing selaintransaksi penempatan berjangka (term deposit)dalam valuta asing adalah sebagai berikut:1) teguran tertulis; dan2) kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
a) (rata-rata suku bunga efektif Fed Fund +200bps) x 1/360, untuk valuta Dolar AmerikaSerikat;
b) (rata-rata official rate + 200bps) x 1/360,untuk valuta asing selain Dolar AmerikaSerikat; atau
c) (rata-rata suku bunga kebijakan BankIndonesia + 350bps) x 1/360, untuk valutaRupiah.
e. Bank Indonesia dapat mengubah besaran marginyang digunakan dalam perhitungan sanksi kewajibanmembayar.
f. Sanksi untuk pelanggaran persyaratan transaksi SBIdalam jangka waktu tertentu adalah sebagai berikut:1) teguran tertulis; dan2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai
transaksi SBI yang tidak memenuhi persyaratan,paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 danpaling banyak sebesar Rp100.000.000,00 perhari.
g. Sanksi untuk pelanggaran persyaratan transaksiSDBI adalah sebagai berikut:1) teguran tertulis; dan2) kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai
transaksi SDBI yang tidak memenuhi persyaratan,paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 danpaling banyak sebesar Rp100.000.000,00 perhari.
h. Bank Indonesia dapat mengenakan pembatasandan/atau larangan keikutsertaan dalam OperasiMoneter bagi peserta Operasi Moneter yang tidakmemenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalamketentuan yang mengatur mengenai pengaturandan pengawasan moneter dan/atau ketentuan yangmengatur mengenai pengaturan dan pengawasanmakroprudensial.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan Ketiga AtasPeraturan Bank IndonesiaNomor 15/17/PBI/2013Tentang Transaksi SWAPLindung Nilai Kepada BankIndonesia
3. 18/13/PBI/2016
87
I. Latar Belakang dan TujuanBank Indonesia secara berkesinambungan melakukanpengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada BankIndonesia sebagai salah satu upaya untuk mendukungpendalaman pasar valuta asing domestik. Pengembanganterkini atas Transaksi Swap Lindung Nilai kepada BankIndonesia dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank Indonesiadalam mereformulasi suku bunga kebijakan yang bertujuanuntuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter.Suku bunga kebijakan Bank Indonesia digunakan sebagaiacuan dalam pengenaan sanksi atas Transaksi Swap LindungNilai kepada Bank Indonesia dalam upaya untuk menjagaintegritas dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada BankIndonesia.
II. Materi PengaturanDi dalam perubahan ketiga atas PBI No. 15/17/PBI/2013tentang Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesiadilakukan penyempurnaan ketentuan terkait sanksi antaralain sebagai berikut:1. Sanksi atas tidak terpenuhinya persyaratan pengajuan
transaksi, persyaratan perpanjangan Kontrak LindungNilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai, dan laranganpenggunaan underlying transaksi yang sama untuklebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi SwapLindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah sebagaiberikut:a. teguran tertulis; danb. kewajiban membayar sebesar 0,1% dari nilai
transaksi, dengan nilai sanksi paling banyak sebesarRp1.000.000.000,00.
2. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban mencantumkannomor referensi Kontrak Lindung Nilai di dalam dealticket pada saat mengajukan perpanjangan transaksidan tidak terpenuhinya kewajiban menatausahakandokumen underlying transaksi adalah berupa tegurantertulis.
3. Sanksi atas tidak terpenuhinya kewajiban setelmentransaksi adalah sebagai berikut:a. teguran tertulis; danb. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
1) (rata-rata suku bunga efektif Fed Fund + 200bps)x nominal transaksi x hari keterlambatan/360,untuk kewajiban setelmen dalam valuta DolarAmerika Serikat;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan Keempat AtasPeraturan Bank IndonesiaNomor 15/15/PBI/2013Tentang Giro WajibMinimum Bank UmumDalam Rupiah dan ValutaAsing bagi Bank UmumKonvensional
Penyelenggara JasaPengolahan Uang Rupiah
4.
5.
18/14/PBI/2016
18/15/PBI/2016
88
2) (rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia+ 350bps) x nominal transaksi x hariketerlambatan/360, untuk kewajiban setelmendalam Rupiah;
3) (rata-rata official rate + 200bps) x nominaltransaksi x hari keterlambatan/360, untukkewajiban setelmen dalam valuta asing selainDolar Amerika Serikat.
4. Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin yangdigunakan dalam perhitungan sanksi kewajibanmembayar.
I. Latar Belakang Pengaturan:Dalam rangka mengoptimalkan pelonggaran kebijakanmoneter berupa penurunan suku bunga kebijakan danpenurunan Giro Wajib Minimum Primer, Bank Indonesiamenetapkan kebijakan di bidang makroprudensial melaluipenyesuaian kebijakan Giro Wajib Minimum yang terkaitbatas bawah Loan to Funding Ratio (LFR) untukmeningkatkan pertumbuhan kredit.
II. Substansi Penyempurnaan:1. Penetapan batas bawah LFR Target dari yang sebelumnya
78% menjadi 80%.2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan
GWM yang terkait dengan penyebutan batas bawahLFR Target dan pengkinian tanggal data laporan.
3. PBI ini berlaku sejak tanggal 24 Agustus 2016.4. Dalam menghitung LFR pada tanggal 24 Agustus 2016,
bank menggunakan sumber data dan nilai dalamLaporan Berkala Bank Umum periode data tanggal 8-15 Agustus 2016, dan data dalam Laporan SuratBerharga Yang Diterbitkan periode Juni 2016.
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan PBI Nomor18/15/PBI/2016 tentang Penyelenggara Jasa PengolahanUang Rupiah (PJPUR).
2. PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untukmendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan danstabilitas moneter dan memastikan proses pelaksanaandan kerja sama dalam pengolahan uang Rupiah tetapdilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan BankIndonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
89
3. Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi:a. Jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah terdiri atas:
1) distribusi Uang Rupiah;2) pemrosesan Uang Rupiah;3) penyimpanan Uang Rupiah di khazanah; dan/atau4) pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan Uang Rupiah pada antara lain AutomatedTeller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM),dan/atau Cash Recycling Machine (CRM).
b. Setiap Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yangakan menjadi PJPUR untuk melakukan kegiatan jasaPengolahan Uang Rupiah harus memperoleh izin dariBank Indonesia. Pengajuan izin dapat dilakukan secarasekaligus atau sebagian.
c. PJPUR yang akan membuka Kantor Cabang wajibmemperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Dalammemberikan izin Bank Indonesia melakukan analisisadministratif, penilaian hasil pengawasan terhadapPJPUR dan pemeriksaan lokasi.
d. Bank Indonesia berwenang menetapkan pemberianizin sebagai PJPUR dan persetujuan pembukaan KantorCabang.
e. PJPUR wajib melaksanakan kegiatan jasa PengolahanUang Rupiah paling lambat 90 hari sejak tanggalpemberikan izin. PJPUR wajib menyampaikanpemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia apabilaPJPUR telah atau belum dapat melaksanakan kegiatannya.
f. PJPUR dilarang mengalihkan pelaksanaan atas jeniskegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah kepada pihaklain.
g. Dalam rangka pengawasan, Bank Indonesia berwenangmeminta PJPUR untuk melakukan dan/atau tidakmelakukan suatu kegiatan tertentu dan menghentikansementara sebagian atau seluruh kegiatan PJPUR.
h. PJPUR wajib menggunakan sarana, prasarana, daninfrastruktur yang telah memenuhi standar yangditetapkan oleh Bank Indonesia.
i. Dalam rangka memenuhi kebutuhan Uang Rupiah dimasyarakat dalam kondisi yang layak edar, PJPUR wajibmemenuhi standar kualitas Uang Rupiah yang ditetapkanoleh Bank Indonesia.
j. Pelanggar atas kegiatan pengolahan Uang Rupiah olehPJPUR dikenakan sanksi administratif, meliputi 1) tegurantertulis; 2) penghentian sementara sebagian atau seluruhkegiatan usaha; 3) pencabutan izin; dan/atau 4)kewajiban membayar.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Rasio Loan To Value untukKredit Properti, RasioFinancing To Value untukPembiayaan Properti, danUang Muka untuk Kreditatau PembiayaanKendaraan Bermotor
6. 18/16/PBI/2016
90
k. Selain mengenakan sanksi administratif, Bank Indonesiadapat merekomendasikan kepada otoritas yangberwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengankewenangannya.
l. Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesiaini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 31Oktober 2016.
I. Latar Belakang Pengaturan:1. Dalam rangka meningkatkan permintaan domestik
guna terus mendorong pertumbuhan ekonomi nasionaldengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi,diperlukan penyesuaian terhadap kebijakanmakroprudensial untuk mendorong berjalannya fungsiintermediasi perbankan dengan tetap memperhatikanprinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
2. Penyempurnaan ketentuan mengenai Loan to Value(LTV) atau Financing to Value (FTV) yang telah dilakukanBank Indonesia pada tahun 2015 melalui PeraturanBank Indonesia No.17/10/PBI/2015 tentang “Rasio Loanto Value atau Rasio Financing to Value untuk Kreditatau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kreditatau Pembiayaan Kendaraan Bermotor” telah mampumenahan penurunan kredit/pembiayaan pemilikanrumah yang diberikan bank namun belum cukup kuatuntuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan,sehingga diperlukan pelonggaran lebih lanjut yangdiharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit ataupembiayaan di sektor properti, mengingat sektor tersebutmemiliki efek multiplier yang besar dalam mendorongpertumbuhan ekonomi.
3. Penyesuaian kebijakan makroprudensial melaluipenyempurnaan ketentuan mengenai LTV/FTV kemudiandituangkan dalam PBI No.18/16/PBI/2016 tentang “RasioLoan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financingto Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Mukauntuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor”(PBI LTV/FTV dan Uang Muka).
II. Substansi Penyempurnaan: 1. Penyesuaian rasio dan tiering LTV untuk Kredit Properti
(KP) serta rasio dan tiering FTV untuk PembiayaanProperti (PP) untuk untuk fasilitas ke-1, fasilitas ke-2,
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
91
I
Tipe Properti(m2) II III dst
Rumah Tapak
Tipe > 70 85% 80% 75%
Tipe 22 - 70 - 85% 80%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 85% 80% 75%
Tipe 22 - 70 90% 85% 80%
Tipe ² 21 - 85% 80%
Ruko/Rukan - 85% 80%
Fasilitas KP & PP
Kredit Properti (KP) & Pembiayaan Properti (PP)Berdasarkan Akad Murabahah & Akad Istishna’
I
Tipe Properti(m2) II III dst
Rumah Tapak
Tipe > 70 90% 85% 80%
Tipe 22 - 70 - 90% 85%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 90% 85% 80%
Tipe 22 - 70 90% 85% 80%
Tipe ² 21 - 85% 80%
Ruko/Rukan - 85% 80%
Fasilitas PP
Pembiayaan Properti (PP)Berdasarkan Akad MMQ & Akad IMBT
fasilitas ke-3 dan seterusnya sehingga rasio LTV untukKP dan rasio FTV untuk PP paling besar menjadisebagaimana tabel berikut:
2. Penyesuaian persyaratan untuk penggunaan rasio LTVuntuk KP dan rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksudpada angka 1 sehingga menjadi sebagai berikut:a. rasio Kredit bermasalah dari total Kredit atau rasio
Pembiayaan bermasalah dari total Pembiayaan secarabersih (net) kurang dari 5% (lima persen); dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
92
I
Tipe Properti(m2) II III dst
Rumah Tapak
Tipe > 70 80% 70% 60%
Tipe 22 - 70 - 80% 70%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 80% 70% 60%
Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
Tipe ² 21 - 80% 70%
Ruko/Rukan - 80% 70%
Fasilitas KP & PP
Kredit Properti (KP) & Pembiayaan Properti (PP)Berdasarkan Akad Murabahah & Akad Istishna’
I
Tipe Properti(m2) II III dst
Rumah Tapak
Tipe > 70 85% 75% 65%
Tipe 22 - 70 - 80% 70%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 85% 75% 65%
Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
Tipe ² 21 - 80% 70%
Ruko/Rukan - 80% 70%
Fasilitas PP
Pembiayaan Properti (PP)Berdasarkan Akad MMQ & Akad IMBT
b. rasio KP bermasalah dari total KP atau rasio PPbermasalah dari total PP secara bruto (gross) kurangdari 5% (lima persen).
3. Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratansebagaimana dimaksud pada angka 2, maka rasio LTVuntuk KP dan rasio FTV untuk PP paling besar menjadisebagai berikut:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
93
Perubahan kedua atasPeraturan Bank IndonesiaNomor 11/12/PBI/2009Tentang Uang Elektronik(Electronic Money)
7. 18/17/PBI/2016
4. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum danPembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah atau UnitUsaha Syariah yang merupakan tambahan daripembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio LTVKP atau rasio FTV PP yang sama sepanjang KP atauPP tersebut memiliki kualitas lancar. Hal yang samajuga berlaku untuk KP atau PP yang diambil alih (takeover) dengan kredit tambahan (top up) atau disertaidengan Pembiayaan baru.
5. KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersediasecara utuh diperbolehkan sampai dengan urutanfasilitas kedua dengan pencairan bertahap. Pengaturanlebih lanjut mengenai pencairan bertahap akan dimuatdalam Surat Edaran Bank Indonesia.
6. Penyesuaian terhadap kalimat pengaturan dalam PBIuntuk menghindari perbedaan persepsi, antara lainterhadap definisi Bank, definisi akad-akad syariah, tatacara penilaian agunan, pengertian debitur atau nasabahdalam larangan kredit uang muka, pengertian dana yangdititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account diBank pemberi Kredit atau Pembiayaan, dan pengecualianProgram Perumahan Pemerintah Pusat/Daerah dari PBILTV/FTV dan Uang Muka dengan memperhatikan prinsipkehati-hatian dan peraturan perundang-undangan terkaityang berlaku.
7. PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahankedua atas PBI No.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik(Electronic Money).
2. Perubahan dilakukan terhadap materi ketentuan terkaitpenyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (LKD) denganmaksud untuk memperluas pihak yang dapatmenyelenggarakan LKD dalam rangka mendorongpeningkatan transaksi non tunai melalui penggunaanUang Elektronik. Secara garis besar, pokok-pokok materiperubahan yang dimuat dalam PBI ini mencakup:a. Perubahan terhadap Pasal 24D mengenai kriteria dan
persyaratan pihak yang dapat menyelenggarakan LKDmelalui Agen LKD individu; dan
b. Penambahan 1 (satu) pasal baru, yaitu Pasal 24Hmengenai penerapan Customer Due Diligence (CDD)yang lebih sederhana oleh penyelenggara LKD.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
3. Pihak yang dapat menjadi Penyelenggara LKD melalui AgenLKD Individu adalah Bank dengan kriteria BUKU 3 dan 4atau Bank Pembangunan Daerah dengan kategori BUKU1 dan 2 yang memiliki sistem teknologi informasi memadaidan memiliki profil mandat penyaluran prgram bantuansosial. Perubahan ini memperluas kriteria pihak yang dapatmenyelenggarakan LKD, yang sebelumnya hanya terbataspada Penerbit berupa Bank Umum berdasarkan KegiatanUsaha (BUKU) 4.
4. Untuk mendukung perluasan Layanan Keuangan Digital,dalam ketentuan ini diatur bahwa penyederhanaan prosedurCustomer Due Diligence (CDD) dilakukan melalui pencatatandata identitas yang paling kurang mencakup informasinama, tempat dan tanggal lahir, alamat, nomor dokumenidentitas,dan nama ibu kandung. Informasi kewarganegaraandan jenis kelamin yang diminta dalam prosedur CDD normaltidak wajib dicatat oleh Penyelenggara LKD.
5. Penyampaian rencana penyelenggaraan LKD yang diajukansebelum berlakunya PBI ini tetap tunduk pada PBINo.11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (ElectronicMoney) sebagaimana telah diubah dengan PBINo.16/8/PBI/2014 sampai dengan persetujuanpenyelenggaraan LKD diberikan oleh Bank Indonesia.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, penyampaianrencana penyelenggaraan LKD melalui Agen LKD individu,dan persetujuan Bank Indonesia diatur lebih lanjut denganSurat Edaran Bank Indonesia.
I. Latar Belakang dan Tujuan1. Dalam rangka upaya mempercepat pengembangan
dan pendalaman pasar keuangan, perlu dilakukanpengayaan variasi instrumen pasar valuta asing domestikuntuk dapat menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalammelakukan lindung nilai, sekaligus mendorongpengembangan infrastruktur, dan peningkatankredibilitas pasar.
2. Sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi peningkatankebutuhan transaksi lindung nilai pelaku ekonomi,khususnya korporasi non-bank yang memiliki utangluar negeri. Hal ini sejalan dengan berlakunya PBINo.16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri KorporasiNon-Bank, yang mengatur bahwa sejak awal tahun2017 korporasi non-bank yang memiliki ULN wajibmelakukan transaksi lindung nilai melalui bank domestik.
94
Transaksi Valuta Asingterhadap Rupiah antaraBank dengan PihakDomestik
8. 18/18/PBI/2016
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
3. Dalam rangka upaya peningkatan porsi transaksi derivatifdi pasar valuta asing domestik yang saat ini kontribusinyaterhadap total transaksi masih relatif kecil, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
II. Pokok-Pokok Pengaturan1. Transaksi Spot dan transaksi derivatif yang standar (plain
vanilla), yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atasjumlah tertentu (threshold) wajib memiliki UnderlyingTransaksi.
2. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option dapat digunakansebagai instrumen hedging namun wajib memilikiUnderlying Transaksi.
3. Dalam hal Bank melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optionselain, Bank wajib memenuhi prinsip kehati-hatian,termasuk mitigasi risiko.
4. Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan:a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri;b. investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnyadi dalam dan di luar negeri; dan/atau
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalamvaluta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatanperdagangan dan investasi.
5. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lainadalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukandalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkaitperpajakan.
6. Underlying Transaksi meliputi juga perkiraan pendapatandan biaya (income dan expense estimation).
7. Underlying Transaksi tidak termasuk:a. kegiatan penempatan dana pada Bank antara lain
berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikatdeposito (negotiable certificate of deposit);
b. kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transferdana;
c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik,antara lain berupa standby loan dan undisbursedloan; dan
d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalamvaluta asing.
95
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
8. Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiahmelalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank,Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan danavaluta asing di dalam negeri dan di luar negeri antaralain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikatdeposito (negotiable certificate of deposit).
9. Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valutaasing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bankmelalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluhlima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya perbulan per Nasabah.
10. Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valutaasing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bankmelalui transaksi derivatif yang standar (plain vanilla)adalah USD100,000.00 (seratus ribu dolar AmerikaSerikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
11. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asingterhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melaluitransaksi forward adalah USD5,000,000.00 (lima jutadolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksiper Nasabah.
12. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valutaasing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bankmelalui transaksi option adalah USD1,000,000.00 (satujuta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya pertransaksi per Nasabah.
13. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk TransaksiValuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepadaBank tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi DerivatifValuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukanmelalui:a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka
waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lamasama dengan jangka waktu Underlying Transaksiawal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination);atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).14. Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah, kecuali untuk transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option yang memenuhi persyaratan:a. didukungoleh Underlying Transaksib. nominal transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidakmelebihi nominal Underlying Transaksi; dan
96
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
c. jangka waktu transaksi structured product valutaasing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiontidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi
15. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukansecara dynamic hedging.
16. Transaksi dynamic hedging wajib dilakukan denganpersyaratan sebagai berikut:a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;d. nominal tidak bersifat kumulatif;e. jangka waktu:f. paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call
Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu6 (enam) bulan atau lebih; atau
g. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call SpreadOption awal untuk transaksi Call Spread Optionawal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6(enam) bulan; dan
h. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelahkurs pasar melampaui kisaran kurs Call SpreadOption awal.
17. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option dapat menggunakan UnderlyingTransaksi yang sama dengan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optionawal.
18. Penyelesaian Transaksi diatur antara lain sebagai berikut:a. Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan
Nasabah dan antar-Bank wajib dilakukan denganpemindahan dana pokok secara penuh
b. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta AsingTerhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah danantar-Bank dapat dilakukan secara netting ataudengan pemindahan dana pokok secara penuh
c. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta AsingTerhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah danantar-Bank yang dapat dilakukan secara nettinghanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (earlytermination), dan pengakhiran transaksi (unwind).
97
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Transaksi Valuta Asingterhadap Rupiah antaraBank dengan Pihak Asing
9. 18/19/PBI/2016
98
19. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaandalam valuta asing dan/atau dalam Rupiah kepadaNasabah untuk kepentingan Transaksi Derivatif ValutaAsing Terhadap Rupiah
20. Bank dilarang memberikan cerukan kepada Nasabahdalam rangka Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
21. Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asingterhadap Rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu(threshold), dan melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option,Bank wajib memastikan Nasabah untuk menyampaikandokumen sebagai berikut:a. dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah yang dapat dipertanggungjawabkan baikyang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan
b. dokumen pendukung berupa:1) fotokopi dokumen identitas Nasabah dan
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan2) pernyataan tertulis bermaterai cukup yang
ditandatangani oleh pihak yang berwenang dariNasabah atau pernyataan tertulis yangauthenticated
22. Bank yang melanggar ketentuan dalam PBI ini dikenakansanksi berupa:a. sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan/ataub. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan
sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen)dari nominal transaksi yang dilanggar untuk setiappelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikitsebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) danpaling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah).
I. Latar Belakang dan Tujuan1. Dalam rangka upaya mempercepat pengembangan
dan pendalaman pasar keuangan, perlu dilakukanpengayaan variasi instrumen pasar valuta asing domestikuntuk dapat menjadi alternatif bagi pelaku pasar dalammelakukan lindung nilai, sekaligus mendorongpengembangan infrastruktur, dan peningkatankredibilitas pasar.
2. Sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi peningkatankebutuhan transaksi lindung nilai pelaku ekonomi,khususnya korporasi non-bank yang memiliki utangluar negeri. Hal ini sejalan dengan berlakunya PBI
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
99
No.16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri KorporasiNon-Bank, yang mengatur bahwa sejak awal tahun2017 korporasi non-bank yang memiliki ULN wajibmelakukan transaksi lindung nilai melalui bank domestik.
3. Dalam rangka upaya peningkatan porsi transaksi derivatifdi pasar valuta asing domestik yang saat ini kontribusinyaterhadap total transaksi masih relatif kecil, namundengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
II. Pokok-Pokok Pengaturan1. Transaksi Spot dan transaksi derivatif yang standar
(plain vanilla), yang dilakukan Bank dengan Nasabahdi atas jumlah tertentu (threshold) wajib memilikiUnderlying Transaksi.
2. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option dapat digunakansebagai instrumen hedging namun wajib memilikiUnderlying Transaksi.
3. Dalam hal Bank melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optionselain, Bank wajib memenuhi prinsip kehati-hatiantermasuk mitigasi risiko.
4. Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan:a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri;b. investasi berupa foreign direct investment, portfolio
investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnyadi dalam dan di luar negeri; dan/atau
c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalamvaluta asing dan/atau dalam Rupiah untuk kegiatanperdagangan dan investasi.
5. Yang dimaksud dengan “investasi lainnya” antara lainadalah investasi dan/atau transaksi yang dilakukandalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah terkaitperpajakan.
6. Underlying Transaksi meliputi juga perkiraan pendapatandan biaya (income dan expense estimation).
7. Underlying Transaksi tidak termasuk:a. penggunaan Sertifikat Bank Indonesia, untuk
Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah;b. penempatan dana pada Bank (vostro) antara lain
berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikatdeposito (negotiable certificate of deposit);
c. fasilitas pemberian kredit yang masih belum ditarik,antara lain berupa standby loan dan undisbursedloan; dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
100
d. penggunaan Surat Berharga Bank Indonesia dalamvaluta asing.
8. Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap Rupiahmelalui transaksi forward oleh Nasabah kepada Bank,Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan danavaluta asing di dalam negeri dan di luar negeri antaralain berupa tabungan, giro, deposito, dan sertifikatdeposito (negotiable certificate of deposit).
9. Jumlah tertentu (threshold) untuk pembelian valutaasing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bankmelalui Transaksi Spot adalah USD25,000.00 (dua puluhlima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya perbulan per Pihak Asing.
10. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valuta asingterhadap Rupiah melalui transaksi derivatif yang standar(plain vanilla) antara Bank dengan Pihak Asing danpembelian valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksiderivatif yang standar (plain vanilla) antara Bank denganPihak Asing adalah masing-masing USD1,000,000.00(satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya pertransaksi per Pihak Asing maupun per posisi (outstanding)per Bank.
11. Jumlah tertentu (threshold) untuk penjualan valutaasing terhadap Rupiah melalui transaksi forward adalahUSD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat)atau ekuivalennya per transaksi per Pihak Asing
12. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapatpula dilakukan oleh Bank dengan Pihak Asing dalamrangka cover hedging Bank.
13. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi untuk TransaksiValuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepadaBank tidak berlaku untuk penyelesaian Transaksi DerivatifValuta Asing Terhadap Rupiah awal yang dilakukanmelalui:a. perpanjangan transaksi (roll over) sepanjang jangka
waktu perpanjangan transaksi (roll over) paling lamasama dengan jangka waktu Underlying Transaksiawal;
b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination);atau
c. pengakhiran transaksi (unwind).14. Bank dilarang melakukan transaksi structured product
valuta asing terhadap Rupiah, kecuali untuk transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option yang memenuhi persyaratan:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
101
a. didukung oleh Underlying Transaksib. nominal transaksi structured product valuta asing
terhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidakmelebihi nominal Underlying Transaksi; dan
c. jangka waktu transaksi structured product valutaasing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiontidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi
15. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukansecara dynamic hedging.
16. Transaksi dynamic hedging wajib dilakukan denganpersyaratan sebagai berikut:a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal;c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan
belum jatuh waktu;d. nominal tidak bersifat kumulatif;e. jangka waktu:f. paling kurang 6 (enam) bulan untuk transaksi Call
Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu6 (enam) bulan atau lebih; atau
g. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call SpreadOption awal untuk transaksi Call Spread Optionawal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6(enam) bulan; dan
h. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelahkurs pasar melampaui kisaran kurs Call SpreadOption awal.
17. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option dapat menggunakan UnderlyingTransaksi yang sama dengan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optionawal.
18. Penyelesaian transaksi diatur antara lain sebagai berikut:a. Penyelesaian Transaksi Spot antara Bank dengan
Pihak Asing wajib dilakukan dengan pemindahandana pokok secara penuh
b. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing TerhadapRupiah antara Bank dengan Pihak Asing dapatdilakukan secara netting atau dengan pemindahandana pokok secara penuh.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
102
Perihal RingkasanNo. Peraturan
c. Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta AsingTerhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asingyang dapat dilakukan secara netting hanya berlakuuntuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatanpenyelesaian transaksi (early termination), danpengakhiran transaksi (unwind).
19. Bank dilarang melakukan transaksi tertentu denganPihak Asing yang meliputi:a. pemberian Kredit atau Pembiayaan dalam Rupiah
dan/atau valuta asing, kecuali:1) Kredit atau pembiayaan non tunai atau garansi
yang terkait dengan kegiatan investasi diIndonesia yang memperoleh counter guarantydari Prime Bank atau adanya jaminan setoransebesar 100% dari nilai garansi yang diberikan.
2) Kredit atau pembiayaan dalam bentuk sindikasidengan persyaratan mengikutsertakan PrimeBank sebagai lead bank (peringkat investasi danmemiliki total aset yang termasuk dalam 200bankers almanac), diberikan untuk pembiayaanproyek di sektor riil di Indonesia, kontribusi bankasing sebagai anggota sindikasi lebih besardibandingkan dengan kontribusi Bank di dalamnegeri
3) Kartu kredit.4) Kredit atau pembiayaan konsumsi yang
digunakan di dalam negeri.5) Cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang
didukung dokumen authenticated yangmenunjukkan konfirmasi akan adanya danamasuk ke rekening bersangkutan pada hari yangsama.
6) Cerukan dalam Rupiah dan valuta asing karenabiaya administrasi.
7) Pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjukpemerintah untuk mengelola aset Bank dalamrangka restrukturisasi perbankan Indonesia olehPihak Asing yang pembayarannya dijamin olehPrime Bank.
b. penempatan dalam Rupiah;c. pembelian Surat Berharga dalam Rupiah yang
diterbitkan oleh Pihak Asing, kecuali:1) pembelian Surat Berharga yang berkaitan dengan
kegiatan ekspor barang dari Indonesia dan imporbarang ke Indonesia serta perdagangan dalamnegeri; dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
103
2) pembelian bank draft dalam Rupiah yangditerbitkan oleh bank di luar negeri untukkepentingan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yangbekerja di luar negeri dan dana Rupiah tersebutditerima di dalam negeri oleh bukan Pihak Asing.
d. tagihan antarkantor dalam Rupiah;e. tagihan antarkantor dalam valuta asing dalam
rangka pemberian Kredit atau Pembiayaan di luarnegeri; dan
f. penyertaan modal dalam Rupiah.20. Transfer Rupiah diatur sebagai berikut:
a. Bank dilarang melakukan Transfer Rupiah ke luarnegeri.
b. Bank dapat melakukan Transfer Rupiah ke rekeningyang dimiliki Pihak Asing dan/atau yang dimilikisecara gabungan (joint account) antara Pihak Asingdengan bukan Pihak Asing pada Bank di dalamnegeri apabila nilai nominal Transfer Rupiah sampaidengan ekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolarAmerika Serikat) per hari per Pihak Asing; ataudilakukan antar rekening Rupiah yang dimiliki olehPihak Asing yang sama.
c. Transfer Rupiah ke rekening yang dimiliki Pihak Asingyang berasal dari selain Transaksi Derivatif ValutaAsing Terhadap Rupiah dengan nilai nominal di atasekuivalen USD1,000,000.00 (satu juta dolar AmerikaSerikat) per hari per Pihak Asing wajib berdasarkanUnderlying Transaksi, kecuali Transfer Rupiah yangdilakukan dalam rangka penyelesaian transaksimelalui perpanjangan transaksi (roll over), percepatanpenyelesaian transaksi (early termination), danpengakhiran transaksi (unwind).
d. Bank penerima Transfer Rupiah wajib memastikanbahwa Pihak Asing memiliki Underlying Transaksi
e. Bank penerima dari suatu Transfer Rupiah yangditujukan kepada Pihak Asing wajib melakukanverifikasi terhadap status pihak penerima dana
21. Dalam hal Bank melakukan transaksi derivatif yangstandar (plain vanilla) di atas jumlah tertentu (threshold)dan transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah dengan Pihak Asing, Bank wajib memastikanPihak Asing untuk menyampaikan dokumen sebagaiberikut:a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat finalmaupun yang berupa perkiraan; dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
104
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Kegiatan Usaha PenukaranValuta Asing Bukan Bank
10. 18/20/PBI/2016
b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulisyang authenticated
22. Bank yang melanggar ketentuan dalam PBI ini dikenakansanksi berupa:a. sanksi administratif berupa teguran tertulis, dan/ataub. sanksi administratif berupa teguran tertulis dan sanksi
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) darinominal transaksi yang dilanggar untuk setiappelanggaran, dengan jumlah sanksi paling sedikitsebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) danpaling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah).
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/20/PBI/DKSP tanggal7 Oktober 2016 perihal Kegiatan Usaha Penukaran ValutaAsing Bukan Bank, selanjutnya disebut PBI KUPVA BB,diterbitkan dalam rangka penyempurnaan pengaturanPBI No.16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha PenukaranValuta Asing Bukan Bank dan harmonisasi dengan beberapaperaturan lain yang telah diterbitkan Bank Indonesia.
Tujuan penerbitan PBI ini adalah untuk memberikanpanduan yang lebih jelas dalam penyelenggaraan kegiatanusaha penukaran valuta asing oleh lembaga bukan bank.Penyempurnaan ketentuan ini diharapkan dapatmeningkatkan tata kelola yang baik serta mendorongperkembangan industri KUPVA BB menjadi lebih sehat danefisien. Penyempurnaan yang dilakukan antara lain terhadap:1) cakupan kegiatan usaha, 2) underlying transaksi, 3)prosedur dan persyaratan perizinan, 4) tata kelola danperlindungan konsumen, dan 5) kegiatan jual beli UKAdi wilayah perbatasan dan kerjasama dengan hotel.
2. Materi pengaturan pada PBI KUPVA BB meliputi:a. cakupan kegiatan usaha yang dapat dilakukan
Penyelenggara KUPVA BB;b. persyaratan perizinan Penyelenggara KUPVA BB;c. kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan
pembatasan pemberian izin dan evaluasi perizinan;d. penetapan kurs jual dan beli UKA oleh Penyelenggara
KUPVA BB;e. persyaratan calon pengurus dan pemegang saham
Penyelenggara KUPVA BB;f. penerapan perlindungan konsumen;g. kerja sama dengan pihak lain dalam penyediaan layanan
pembelian UKA;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
105
h. pihak lain yang dapat melakukan jual dan beli UKA dikawasan perbatasan; dan
i. kewajiban Penyelenggara KUPVA BB untuk memilikirekening bank atas nama Penyelenggara KUPVA BB.
3. Kegiatan usaha penukaran valuta asing terdiri dari kegiatanpenukaran yang dilakukan dengan mekanisme jual beliUKA dan pembelian Cek Pelawat. Selain itu, PenyelenggaraKUPVA BB dapat pula melakukan kegiatan usaha lain yangmemiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan KUPVAsepanjang telah diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.
4. Pengaturan mengenai Underlying Transaksi dalampenyelenggaraan KUPVA BB adalah sebagai berikut:a. Pembelian UKA oleh Nasabah dari Penyelenggara
KUPVA BB di atas jumlah tertentu (threshold) per bulanper Nasabah wajib memiliki Underlying Transaksi.
b. Jumlah tertentu (threshold) per bulan per Nasabahmengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai transaksi valuta asing terhadap Rupiah antarabank dengan pihak domestik dan ketentuan BankIndonesia yang mengatur mengenai transaksi valutaasing terhadap Rupiah antara bank dengan pihak asing.
c. Dokumen yang harus disampaikan dalam transaksiyang dikenakan kewajiban Underlying Transaksi adalahdokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dokumen pendukung pembelian UKA.
d. Penyelenggara KUPVA BB terkait wajib memastikanNasabah telah menyampaikan dokumen UnderlyingTransaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, dokumenpendukung pembelian UKA, dan surat kuasa dalam halNasabah diwakili oleh pihak lain, serta menatausahakandokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukungpembelian UKA.
5. Kewajiban Penyelenggara KUPVA BB dalam menetapkankurs adalah sebagai berikut:a. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis penetapan kurs;b. menggunakan dasar penetapan kurs yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan secarakonsisten; dan
c. membuat catatan dan/atau kertas kerja dalam penetapankurs.
6. Penyelenggara KUPVA BB wajib memastikan penerapanprinsip perlindungan konsumen yang paling sedikit berupa:a. penyampaian informasi kurs kepada Nasabah secara
transparan;b. perlindungan data dan/atau informasi Nasabah; danc. penanganan dan penyelesaian pengaduan Nasabah
yang efektif.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
106
7. Perizinan sebagai Penyelenggara KUPVA BB diatur sebagaiberikut:a. Badan usaha BB harus memenuhi persyaratan:
1) berbadan hukum Perseroan Terbatas yang seluruhsahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesiadan/atau badan usaha yang seluruh sahamnyadimiliki oleh warga negara Indonesia;
2) mencantumkan dalam anggaran dasar perseroanbahwa maksud dan tujuan perseroan adalahmelakukan kegiatan jual beli UKA dan pembelianCek Pelawat; dan
3) memenuhi jumlah modal disetor yang ditetapkanoleh Bank Indonesia modal disetor tidak berasaldari dan/atau untuk tujuan pencucian uang.
b. Bank Indonesia memberikan izin sebagai PenyelenggaraKUPVA BB dengan melalui tahapan:1) penelitian pemenuhan persyaratan kelembagaan;2) penelitian pemenuhan persyaratan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegangsaham;
3) pemeriksaan lokasi tempat usaha calon PenyelenggaraKUPVA BB; dan
4) penyuluhan ketentuan.8. Izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun terhitungsejak tanggal pemberian izin dan dapat diperpanjangberdasarkan permohonan kepada Bank Indonesia. BankIndonesia melakukan evaluasi terhadap izin yang telahditerbitkan kepada Penyelenggara KUPVA BB.
9. Pengaturan mengenai rekening bank Penyelenggara KUPVABBadalah sebagai berikut:a. Penyelenggara KUPVA BB wajib memiliki rekening pada
bank atas nama Penyelenggara KUPVA BB.b. Rekening bank dimaksud hanya dapat digunakan untuk
kegiatan usaha maupun kegiatan operasional sebagaiPenyelenggara KUPVA BB.
10.Pembukaan kantor cabang Penyelenggara KUPVA BB wajibterlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank Indonesiadengan memenuhi persyaratan permodalan, kelayakanlokasi, dan kesiapan pembukaan kantor cabang.
11.Pengaturan mengenai pengawasan dan laporanpenyelenggaraan KUPVA BB adalah sebagai berikut:a. Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan
tidak langsung terhadap kegiatan yang dilakukanPenyelenggara KUPVA BB.
b. Penyelenggara KUPVA BB wajib menyampaikan laporanberkala maupun insidental kepada Bank Indonesia.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perubahan Atas PeraturanBank Indonesia Nomor9/14/PBI/2007 TentangSistem Informasi Debitur
11. 18/21/PBI/2016
107
12.Pada wilayah tertentu, Penyelenggara KUPVA BB dapatbekerja sama dengan hotel atau badan usaha yangmenyelenggarakan kegiatan sejenis dengan hotel untukmelakukan kegiatan layanan pembelian UKA denganpersetujuan Bank Indonesia.
13.Pihak selain Penyelenggara KUPVA BB berupa badan usahayang melakukan jual beli UKA di kawasan perbatasanIndonesia wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia.
14.Pihak-pihak yang selama ini telah melakukan kegiatanpenukaran valuta asing namun belum memperoleh izindari Bank Indonesia, wajib mengajukan izin sebagaiPenyelenggara KUPVA BB dengan diberikan kemudahanberupa persyaratan perizinan yang mengacu pada ketentuanlama, yaitu PBI No. 16/15/PBI/2016 tentang Kegiatan UsahaPenukaran Valuta Asing BB. Selain itu, terhadap pihak-pihak tersebut belum akan dikenakan sanksi selama periodekemudahan pemrosesan izin. Pemberian kemudahandimaksud untuk jangka waktu 6 (enam) bulan yang berlakusejak tanggal diundangkannya PBI KUPVA BB.
15.Dalam hal setelah jangka waktu 6 (enam) bulan tersebutBank Indonesia mengetahui bahwa terdapat pihak yangmelakukan kegiatan penukaran valuta asing tanpa izindari Bank Indonesia, maka Bank Indonesia dapatmerekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untukmencabut izin usaha, dan/atau menghentikan kegiatanusaha atau mengambil langkah yang lebih tegas sesuaiketentuan perundangan yang berlaku.
16.PBI KUPVA BB ini mencabut PBI Nomor 16/15/DKSPtanggal11 September 2014 perihal Kegiatan Usaha PenukaranValuta Asing BB.
17.PBI KUPVA BB ini mulai berlaku sejak tanggal 7 Oktober2016.
I. Latar Belakang:Perubahan ketentuan SID diperlukan dalam rangkameningkatkan kelancaran proses penyediaan dana,penerapan manajemen risiko kredit yang efektif, danketersediaan informasi kualitas Debitur yang diandalkan,serta untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensipenyelenggaraan Sistem Informasi Debitur yang menghasilkaninformasi Debitur yang lengkap, akurat, terkini dan utuh.Selain itu, terdapat perubahan metode pengelolaan CreditReporting System di Indonesia dari sebelumnya single creditreporting system menjadi dual credit reporting system yangmelibatkan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
108
II. Substansi Penyempurnaan:1. Pelapor dapat menyampaikan Laporan Debitur dan/atau
koreksi Laporan Debitur secara online melalui kantorPelapor yang bersangkutan atau kantor pusat atau kantorcabang lainnya dari Pelapor dimaksud dengan tetapmenggunakan sandi kantor Pelapor yang bersangkutan.
2. Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur terdiriatas Pelapor, Debitur, Lembaga Pengelola InformasiPerkreditan atau pihak lain.
3. Pelapor wajib menyampaikan informasi kepada Debiturterkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalam SistemInformasi Debitur.
4. Dalam hal Pelapor menerima pengaduan Debitur terkaitInformasi Debitur dalam Sistem Informasi Debitur,Pelapor wajib menindaklanjuti dan menyelesaikanpengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerjasetelah tanggal penerimaan pengaduan. Pelapor wajibmelaporkan pengaduan Debitur dan tindak lanjutpenyelesaian pengaduan Debitur kepada Bank Indonesiasecara triwulanan.
5. Sanksi kewajiban membayar terhadap Pelapor yangdinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LaporanDebitur, adalah:a. Bagi Bank Umum sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, palingbanyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enamratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan
b. Bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi SimpanPinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima riburupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyaksebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah)untuk setiap kantor Pelapor.
6. Sanksi kewajiban membayar terhadap Pelapor yangdinyatakan terlambat menyampaikan koreksi LaporanDebitur secara offline melampaui batas waktu, adalah:a. Bagi Bank Umum, sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan, palingbanyak sebesar Rp3.600.000,00 (tiga juta enamratus ribu rupiah) untuk setiap kantor Pelapor; dan
b. Bagi BPR, Penyelenggara Kartu Kredit Selain Bank,Lembaga Keuangan Non-Bank, dan Koperasi SimpanPinjam sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima riburupiah) per hari kerja keterlambatan, paling banyaksebesar Rp900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah)untuk setiap kantor Pelapor.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
109
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 50.000(Lima Puluh Ribu) TahunEmisi 2016
12. 18/22/PBI/2016
7. Pengenaan sanksi teguran tertulis bagi:a. Pelapor yang menolak permintaan Debitur yang
ingin memperoleh Informasi Debitur atas namaDebitur yang bersangkutan.
b. Pelapor yang tidak menyampaikan informasi kepadaDebitur terkait pelaporan Penyediaan Dana ke dalamSistem Informasi Debitur.
c. Pelapor yang tidak menindaklanjuti danmenyelesaikan pengaduan Debitur.
8. Pengenaan sanksi bagi Pelapor yang menggunakanInformasi Debitur tidak sesuai dengan ketentuan mulaiberlaku sejak diberikannya akses Web Sistem InformasiDebitur.
9. Penambahan definisi mengenai Informasi Debitur danLembaga Pengelola Informasi Perkreditan.
10.PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional guna mewujudkankesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 50.000(lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu)tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yangmemiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 yaitusebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 10.000(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi2016
13. 18/23/PBI/2016
110
7. Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu)tahun emisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagaialat pembayaran yang sah di wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia sepanjang belum dicabut dan ditarikdari peredaran.
8. Uang Rupiah kertas pecahan 50.000 (lima puluh ribu)tahun emisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal19 Desember 2016.
9. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 10.000(sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahunemisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memilikiciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 yaitusebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahunemisi 2005 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 50.000(Lima Puluh Ribu) TahunEmisi 2016
14. 18/24/PBI/2016
111
6. Uang Rupiah kertas pecahan 10.000 (sepuluh ribu) TahunEmisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertaskhusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentukkertas bersambung meliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima)
lembar (bilyet),yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.
5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat 2
(dua) lembar (bilyet);b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 10.000(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi2016
15. 18/25/PBI/2016
112
6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 50.000 (limapuluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiahkertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 50.000 (lima puluhribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal19 Desember 2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiahkertas khusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentukkertas bersambung meliputi:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
113
Pengeluaran Uang RupiahLogam Pecahan 1.000(Seribu) Tahun Emisi 2016
16. 18/26/PBI/2016
a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima)
lembar (bilyet),5. yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.6. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).7. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 10.000 (sepuluh
ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
8. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
9. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
10.Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
11.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 10.000 (sepuluh ribu)tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal19 Desember 2016.
12.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahLogam Pecahan 500 (LimaRatus) Tahun Emisi 2016
17. 18/27/PBI/2016
114
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000(seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yangsah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp1.000,00 (seribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2000 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uang
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
115
Pengeluaran Uang RupiahLogam Pecahan 200 (DuaRatus) Tahun Emisi 2016
18. 18/28/PBI/2016
Rupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 500(lima ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal padapecahan 500 (lima ratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp500,00 (lima ratusrupiah).
5. Uang Rupiah logam pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi1991, tahun emisi 1997, dan tahun emisi 2003 dinyatakanmasih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjangbelum dicabut dan ditarik dari peredaran.
6. Uang Rupiah logam pecahan 500 (lima ratus) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
116
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 100.000(Seratus Ribu) Tahun Emisi2016
19. 18/29/PBI/2016
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 200(dua ratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 200 (dua ratus)tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal padapecahan 200 (dua ratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp200,00 (dua ratusrupiah).
5. Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi2003 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah logam pecahan 200 (dua ratus) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
117
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 20.000(Dua Puluh Ribu) TahunEmisi 2016
20. 18/30/PBI/2016
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahunemisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memilikiciri tertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 yaitusebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu) tahunemisi 2004 dan tahun emisi 2014 dinyatakan masih tetapberlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang belumdicabut dan ditarik dari peredaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 100.000 (seratus ribu)TahunEmisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 20.000(dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
118
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 5.000(Lima Ribu) Tahun Emisi2016
21. 18/31/PBI/2016
3. Macam uang Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu)tahun emisi 2016 merupakan uang Rupiah kertas yangmemiliki ciri tertentu yang meliputi ciri umum dan cirikhusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 yaitusebesar Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahunemisi 2004 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahunemisi 2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 5.000(lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yangsah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 2.000 (DuaRibu) Tahun Emisi 2016
22. 18/32/PBI/2016
119
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp5.000,00 (lima ribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi2001 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 2.000(dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yangsah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp2.000,00 (dua ribu rupiah).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Pecahan 1.000(Seribu) Tahun Emisi 2016
23. 18/33/PBI/2016
120
5. Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi2009 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 2.000 (dua ribu) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 1.000(seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yangsah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah kertas yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah kertas merupakan nilai nominal padapecahan 1.000 (seribu) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp1.000,00 (seribu rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2000 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
121
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung100.000 (Seratus Ribu)Tahun Emisi 2016
24. 18/34/PBI/2016
6. Uang Rupiah kertas pecahan 1.000 (seribu) tahun emisi2016 mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertaskhusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2016 dalam bentukkertas bersambung meliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima)
lembar (bilyet),yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.
5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
2 (dua) lembar (bilyet);b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus
ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 20.000(Dua Puluh Ribu) TahunEmisi 2016
25. 18/35/PBI/2016
122
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 100.000 (seratus ribu)tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal19 Desember 2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiah kertaskhusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentukkertas bersambung meliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); dan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 5.000(Lima Ribu) Tahun Emisi2016
26. 18/36/PBI/2016
123
c. 1 (satu) lembaran yang memuat 45 (empat puluh lima)lembar (bilyet),
yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
2 (dua) lembar (bilyet);b. 5.000 (lima ribu) lembaran yang masing-masing memuat
4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
45 (empat puluh lima) lembar (bilyet).6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 20.000 (dua
puluh ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiahkertas bersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 20.000 (dua puluhribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal19 Desember 2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
124
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan5.000 (lima ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiahkertas khusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000(lima ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertasbersambung meliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet),yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.
5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
50 (lima puluh) lembar (bilyet).6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000 (lima
ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 5.000 (lima ribu) tahunemisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambungmulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 2.000(Dua Ribu) Tahun Emisi2016
27. 18/37/PBI/2016
125
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan2.000 (dua ribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiahkertas khusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000(dua ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertasbersambung meliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet),yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.
5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masing
memuat 4 (empat) lembar (bilyet); danc. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat
50 (lima puluh) lembar (bilyet).6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000 (dua
ribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
126
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahKertas Bersambung 1.000(Seribu) Tahun Emisi 2016
28. 18/38/PBI/2016
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 2.000 (dua ribu) tahunemisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambungmulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Untuk menandai suatu era baru dalam pengeluaran
seluruh pecahan uang Rupiah kertas sebagai matauang Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai denganamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang maka perlu dikeluarkan uang Rupiah kertaskhusus dalam bentuk bersambung.
b. Pengeluaran uang Rupiah kertas khusus dalam bentukbersambung, juga dilakukan sebagai bagian dari upayaBank Indonesia untuk mengembangkan kegiatannumismatika.
c. Uang Rupiah kertas khusus dalam bentuk bersambungmerupakan alat pembayaran yang sah di wilayah NegaraKesatuan Republik Indonesia.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah khusus pecahan1.000 (seribu) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaranyang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah khusus merupakan uang Rupiahkertas khusus yang memiliki ciri tertentu.
4. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000(seribu) tahun emisi 2016 dalam bentuk kertas bersambungmeliputi:a. 1 (satu) lembaran yang memuat 2 (dua) lembar (bilyet);b. 1 (satu) lembaran yang memuat 4 (empat) lembar
(bilyet); danc. 1 (satu) lembaran yang memuat 50 (lima puluh) lembar
(bilyet),yang masing-masing lembaran merupakan satu kesatuan.
5. Uang Rupiah kertas khusus sebagaimana dimaksud dalamPasal 3 ayat (1) dikeluarkan paling banyak:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pengeluaran Uang RupiahLogam Pecahan 100(Seratus Tahun Emisi 2016
29. 18/39/PBI/2016
127
a. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masingmemuat 2 (dua) lembar (bilyet);
b. 10.000 (sepuluh ribu) lembaran yang masing-masingmemuat 4 (empat) lembar (bilyet); dan
c. 100 (seratus) lembaran yang masing-masing memuat50 (lima puluh) lembar (bilyet).
6. Harga uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000 (seribu)tahun emisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertasbersambung ditetapkan oleh Bank Indonesia.
7. Setiap lembaran uang Rupiah kertas khusus dilengkapidengan sertifikat keaslian dari Bank Indonesia.
8. Pengedaran uang Rupiah kertas khusus dilakukan dengancara menjual secara langsung atau secara lelang kepadamasyarakat.
9. Uang Rupiah kertas khusus dapat ditukarkan kepada BankIndonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.Penukaran dimaksud diberikan penggantian untuk masing-masing lembar (bilyet) dalam bentuk uang Rupiah lainnyayang bukan uang Rupiah khusus, dengan mengacu padaketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenaipenukaran uang Rupiah.
10.Uang Rupiah kertas khusus pecahan 1.000 (seribu) tahunemisi 2016 dalam bentuk uang Rupiah kertas bersambungmulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19 Desember2016.
11.Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
1. PBI ini diterbitkan dengan pertimbangan:a. Uang Rupiah sebagai mata uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis,baik sebagai simbol kedaulatan negara yang harusdihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negaraIndonesia, maupun sebagai alat pembayaran yang sahdalam kegiatan perekonomian nasional gunamewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia.
b. Guna mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia dan dalam rangka melaksanakanamanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentangMata Uang, Bank Indonesia perlu mengeluarkan uangRupiah dan mengedarkannya sesuai dengan kebutuhanmasyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenispecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisiyang layak edar.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
128
Perihal RingkasanNo. Peraturan
PenyelenggaraanPemrosesan TransaksiPembayaran
30. 18/40/PBI/2016
c. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap uangRupiah maka uang Rupiah yang dikeluarkan BankIndonesia perlu senantiasa ditingkatkan kualitas dankeandalannya.
2. Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah pecahan 100(seratus) tahun emisi 2016 sebagai alat pembayaran yangsah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Macam uang Rupiah pecahan 100 (seratus) tahun emisi2016 merupakan uang Rupiah logam yang memiliki ciritertentu yang meliputi ciri umum dan ciri khusus.
4. Harga uang Rupiah logam merupakan nilai nominal padapecahan 100 (seratus) tahun emisi 2016 yaitu sebesarRp100,00 (seratus rupiah).
5. Uang Rupiah kertas pecahan 100 (seratus) tahun emisi1999 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alatpembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sepanjang belum dicabut dan ditarik dariperedaran.
6. Uang Rupiah kertas pecahan 100 (seratus) tahun emisi2016mulai berlaku dan diedarkan pada tanggal 19Desember 2016.
7. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan
1. Peraturan Bank Indonesia tentang PenyelenggaraanPemrosesan Transaksi Pembayaran (PBI PTP) diterbitkandengan mempertimbangkan:a. Perkembangan teknologi dan sistem informasi
yangmelahirkan berbagai inovasi, khususnya yangberkaitan dengan financial technology (fintech) dalamrangka memenuhi kebutuhan masyarakat, termasukdi bidang jasa sistem pembayaran, baik dari sisiinstrumen, penyelenggara, mekanisme, maupuninfrastruktur penyelenggaraan pemrosesan transaksipembayaran.
b. Inovasi dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksipembayaran yang perlu tetap mendukung terciptanyasistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, danandal.
c. Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan manajemen risikoyang memadai, perluasan akses, kepentingan nasionaldan perlindungan konsumen, serta standar dan praktikinternasional.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
129
d. Pengaturan sistem pembayaran saat ini yang perludilengkapi dan dirumuskan secara lebih komprehensifuntuk memberikan arah dan pedoman yang semakinjelas kepada penyelenggara jasa sistem pembayarandan penyelenggara penunjang transaksi pembayaran,serta kepada masyarakat.
2. Cakupan PBI ini meliputi:a. penyelenggara dalam pemrosesan transaksi pembayaran;b. perizinan dan persetujuan dalam penyelenggaraan
pemrosesan transaksi pembayaran;c. kewajiban dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi
pembayaran;d. laporan;e. peralihan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran;
danf. pengawasan, larangan, serta sanksi.
3. Pemrosesan transaksi pembayaran meliputi kegiatan pratransaksi, otorisasi, kliring, penyelesaian akhir (setelmen),dan pascatransaksi. Kegiatan pemrosesan transaksipembayaran dilakukan oleh Penyelenggara Jasa SistemPembayaran (PJSP) dan Penyelenggara Penunjang.
4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran terdiri atas:a. Prinsipal;b. Penyelenggara Switching;c. Penerbit;d. Acquirer;e. Penyelenggara Payment Gateway;f. Penyelenggara Kliring;g. Penyelenggara Penyelesaian Akhir;h. Penyelenggara Transfer Dana;i. Penyelenggara Dompet Elektronik; danj. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.5. Penyelenggara Penunjang merupakan pihak yang
menunjang terlaksananya pemrosesan transaksi pembayarandi seluruh tahapan pemrosesan transaksi, yang antara lainterdiri dari perusahaan yang menyelenggarakan:a. pencetakan kartu;b. personalisasi pembayaran;c. penyediaan pusat data (data center) dan/atau pusat
pemulihan bencana (disaster recovery center);d. penyediaan terminal antara lain Automated Teller
Machine (ATM), Electronic Data Capture (EDC), dan/ataureader;
e. penyediaan fitur keamanan instrumen pembayarandan/atau transaksi pembayaran;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
130
f. penyediaan teknologi pendukung transaksi nirkontak(contactless); dan/atau
g. penyediaan penerusan (routing) data pendukungpemrosesan transaksi pembayaran.
6. Prinsip dasar izin atau persetujuan dalam penyelenggaraanpemrosesan transaksi pembayaran adalah sebagai berikut:a. Pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran wajib terlebih dahulu memperoleh izindari Bank Indonesia.
b. Pihak yang telah memperoleh izin sebagai PenyelenggaraJasa Sistem Pembayaran dan akan melakukanpengembangan kegiatan jasa sistem pembayaran,pengembangan produk dan aktivitas jasa sistempembayaran, dan/atau kerja sama dengan pihak lain,wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dariBank Indonesia.
7. Bank Indonesia dapat menetapkan kebijakan perizinandan/atau persetujuan penyelenggaraan jasa sistempembayaran, serta memberikan kemudahan kepadaPenyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telahmemperoleh izin atas proses persetujuan kerja sama dalamrangka penggunaan dan perluasan penggunaan instrumenpembayaran nontunai untuk program yang terkait dengankebijakan nasional.
8. Pihak yang mengajukan izin untuk menjadi Prinsipal,Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, dan/atauPenyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentukperseroan terbatas yang paling sedikit 80% (delapan puluhpersen) sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesiadan/atau badan hukum Indonesia.
9. Dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran,setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib:a. menerapkan manajemen risiko secara efektif dan
konsisten;b. menerapkan standar keamanan sistem informasi;c. menyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaran
secara domestik;d. menerapan perlindungan konsumen; dane. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajibmenyampaikan laporan penyelenggaraan pemrosesantransaksi pembayaran kepada Bank Indonesia yang terdiriatas laporan berkala dan laporan insidental.
11.Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung danpengawasan tidak langsung terhadap Penyelenggara JasaSistem Pembayaran. Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
131
melakukan pengawasan kepada Penyelenggara Penunjangyang bekerjasama dengan Penyelenggara Jasa SistemPembayaran.
12.Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dilarang:a. melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan
menggunakan virtual currency;b. menyalahgunakan data dan informasi nasabah maupun
data dan informasi transaksi pembayaran; dan/atauc. memiliki dan/atau mengelola nilai yang dapat
dipersamakan dengan nilai uang yang dapat digunakandi luar lingkup Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaranyang bersangkutan.
13.Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melanggarketentuan PBI ini dikenakan sanksi administratif berupateguran, denda, penghentian sementara atau seluruhkegiatan jasa sistem pembayaran, dan/atau pencabutanizin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran.
14.Ketentuan peralihan diatur sebagai berikut:a. Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan Switching,
Payment Gateway, dan/atau Dompet Elektronik sebelumPBI ini berlaku dan belum memperoleh izin dari BankIndonesia wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesiapaling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI ini berlaku.
b. Ketentuan persentase kepemilikan saham wajib dipenuhioleh pihak yang sebelum PBI ini berlaku:1) telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai
Prinsipal, Penyelenggara Kliring, dan/atauPenyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
2) sedang dalam proses perizinan dan kemudianmemperoleh izin dari Bank Indonesia,
c. apabila setelah berlakunya PBI ini, akan melakukanperubahan kepemilikan.
d. Persyaratan dan tata cara permohonan bagi pihak yangmengajukan izin sebagai Prinsipal, Penyelenggara Kliring,dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir sebelumPBI ini berlaku, tunduk pada ketentuan Bank Indonesiayang mengatur mengenai alat pembayaran denganmenggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesiayang mengatur mengenai uang elektronik.
e. Bank yang telah menyelenggarakan Proprietary Channelpada saat PBI ini mulai berlaku wajib melaporkanpenyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada BankIndonesia untuk ditatausahakan dengan disertaidokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulansejak PBI ini berlaku.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Bilyet Giro31. 18/41/PBI/2016
132
f. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telahmenyelenggarakan pengembangan kegiatan PaymentGateway dan/atau Dompet Elektronik pada saatPeraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku wajibmelaporkan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepadaBank Indonesia untuk ditatausahakan dengan disertaidokumen pendukung paling lambat 6 (enam) bulansejak PBI ini berlaku.
15.Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Jasa SistemPembayaran dan Penyelenggara Penunjang, pemenuhanpersyaratan perizinan, kewajiban Penyelenggara DompetElektronik, format dan tata cara penyampaian laporanpenyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dantata cara pengenaan sanksi diatur lebih lanjut denganSurat Edaran Bank Indonesia.
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini mencabut SuratKeputusan Direksi No. 28/32/SK/KEP/Dir tanggal tanggal4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro.
2. Penerbitan PBI ini dimaksudkan untuk meningkatkanperlindungan bagi pengguna Bilyet Giro dan meningkatkanintegritas penggunaan Bilyet Giro untuk memitigasi risikopenyalahgunaan, serta menjamin keamanan serta kepastianpenggunaan Bilyet Giro.
3. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini meliputi:a. Penegasan Bilyet Giro bukan sebagai surat berharga
namun sebagai alat pembayaran non tunai berbasiswarkat melalui pemindahbukuan.
b. Penyempurnaan pengaturan syarat formal antara laindengan menambahkan tanggal efektif sebagai syaratformal dan kewajiban pengisian syarat formal secaralengkap oleh penarik pada saat penerbitan.
c. Penyesuaian masa berlaku Bilyet Giro yang semula 70(tujuh puluh) hari sejak tanggal penarikan ditambah 6(enam) bulan menjadi hanya 70 (tujuh puluh) hari sejaktanggal penarikan.
d. Memberikan kewenangan kepada Bank Tertarik (Bankpenerbit Bilyet Giro) untuk melakukan penahananwarkat dan penundaan pembayaran paling lama 1(satu) hari kerja berikutnya terhadap Bilyet Giro yangdiduga palsu atau dimanipulasi.
e. Pemenuhan standar keamanan dan spesifikasi BilyetGiro yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
f. Penegasan kewajiban Bank Tertarik, Penarik, Pemegang,dan Bank Penerima dalam penggunaan Bilyet Giro.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
PBI PDG, PADG, dan PADG Internperencanaan perencanaanpenyusunan penyusunanpembahasan pembahasanpenetapan penetapanpengundangan pengumuman dan/atau penyebarluasanpenyebarluasan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
133
Pembentukan Peraturandi Bank Indonesia
32. 18/42/PBI/2016
g. Pengaturan mengenai kewajiban bank untuk menolakBilyet Giro yang diduga diisi oleh pihak selain Penarik.
4. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 April2017.
I. Latar Belakang Pengaturan:Dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenaipembentukan peraturan di Bank Indonesia sebagai upayapemenuhan dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempertimbangkan kebutuhanintern Bank Indonesia, perlu mengatur kembali ketentuanyang mengatur mengenai pembentukan peraturan di BankIndonesia. Pengaturan mengenai pembentukan peraturandi Bank Indonesia mengatur mengenai jenis peraturan,materi muatan, mekanisme, proses pembentukan peraturansejak tahap perencanaan sampai dengan penerbitannya.Selain itu, diatur pula asas, prinsip dasar dan dilengkapidengan tata cara penyiapan dan pembahasan, teknikpenyusunan, dan pemberlakuannya.
II. Materi Pengaturan:1. Tujuan pengaturan pembentukan peraturan :
a. menciptakan Peraturan yang baik melalui prosedurdan metode yang baku; dan
b. memperjelas fungsi, tugas, dan wewenang dalampembentukan Peraturan.
2. Pembentukan peraturan dilakukan berdasarkan prinsip:a. memperhatikan penerapan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan dan asas umumpemerintahan yang baik;
b. dilaksanakan sesuai fungsi, tugas, dan wewenangyang dimiliki; dan
c. memenuhi akuntabilitas publik.3. Peraturan di Bank Indonesia
a. Jenis peraturan di BI yaitu PBI, PDG, PADG, danPADG INTERN.
b. Materi muatan PBI, materi muatan PDG, materimuatan PADG, dan materi muatan PADG INTERN.
c. Pembentukan peraturan:
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
134
4. Partisipasi Masyarakata. Partisipasi Masyarakat dilakukan dengan mengundang
instansi, lembaga, atau pihak lain yang terkait untukmemperoleh masukan dalam penyusunan konsep RPBIdan konsep RPADG.
b. Masukan dilakukan sebelum konsep RPBI dimintakanpersetujuan RDG dan konsep RPADG dimintakanpersetujuan ADG yang membawahkan Satkerpemrakarsa.
c. Partisipasi masyarakat tidak berlaku terhadap kebijakanBI yang bersifat rahasia dan/atau yang berdampaknegatif apabila diketahui oleh publik sebelum kebijakantersebut dikeluarkan oleh BI.
5. Teknik Penyusunan dan Bentuka. Teknik penyusunan Peraturan sebagaimana tercantum
dalam lampiran.b. Bentuk Peraturan sebagaimana tercantum dalam
lampiran.6. Aturan Kebijakan (Beleidsregel)
Dalam hal diperlukan, untuk melaksanakan PBI, PDG,PADG, atau PADG Intern, Satuan Kerja dapat membentukaturan kebijakan (beleidsregel) yang bersifat sangat teknisdalam bentuk petunjuk teknis.
7. Ketentuan Penutupa. Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifat
mengatur ekstern yang sudah ada sebelum PeraturanBank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagaiPADG.
b. Semua Surat Edaran Bank Indonesia yang bersifatmengatur intern yang sudah ada sebelum PeraturanBank Indonesia ini berlaku, harus dimaknai sebagaiPADG Intern.
c. Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yangbersifat mengatur ekstern, yang sudah ada sebelumPeraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknaisebagai PBI.
d. Semua Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yangbersifat mengatur intern, yang sudah ada sebelumPeraturan Bank Indonesia ini berlaku, harus dimaknaisebagai PDG.
e. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlakumaka Peraturan Dewan Gubernur Nomor 1/1/PDG/1999tanggal 18 Mei 1999 tentang Tata Tertib PenyusunanPeraturan Perundang-undangan Bank Indonesia, dicabutdan dinyatakan tidak berlaku.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas PeraturanBank Indonesia Nomor8/29/PBI/2006 tentangDaftar Hitam NasionalPenarik Cek dan/atau BilyetGiro Kosong
33. 18/43/PBI/2016
135
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakanpenyempurnaan dari PBI Nomor 8/29/PBI/2006 tentangDaftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet GiroKosong (DHN) dan diterbitkan sebagai dampak daripenyempurnaan ketentuan Bank Indonesia tentang BilyetGiro.
2. Substansi pengaturan PBI DHN sejalan dengan PBI No.18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro. Adapun penyesuaianpengaturan dalam PBI DHN meliputi:a. penambahan kewajiban Bank untuk menatausahakan
Cek dan/atau Bilyet Giro yang didistribusikan kepadaNasabah;
b. penyesuaian kewajiban penyediaan Dana bagi PenarikBilyet Giro, yaitu:1) penyediakan Dana yang cukup wajib telah
disediakan pada Bank Tertarik sejak Tanggal Efektifsampai dengan berakhirnya Tenggang WaktuPengunjukan;
2) kewajiban penyediaan Dana tidak berlaku untuk:a) Bilyet Giro yang diunjukkan sebelum Tanggal
Efektif; dan/ataub) Bilyet Giro yang diunjukkan setelah berakhirnya
Tenggang Waktu Pengunjukan.c. pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana untuk
Bilyet Giro tidak dapat dibatalkan selama TenggangWaktu Pengunjukan;
d. penyesuaian pengaturan mengenai pengecualiankategori Cek dan/atau Bilyet Giro kosong, yaitu dalamhal Cek dan/atau Bilyet Giro ditolak dengan alasan:1) unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro tidak
terpenuhi;2) Cek telah daluwarsa;3) Cek dibatalkan setelah Tenggang Waktu
Pengunjukan berakhir;4) pencantuman Tanggal Efektif Bilyet Giro tidak dalam
Tenggang Waktu Pengunjukan;5) Bilyet Giro diunjukkan tidak dalam waktu Tenggang
Waktu Efektif; atau6) Cek dan/atau Bilyet Giro diduga palsu atau
dimanipulasi.e. kewajiban Bank Tertarik melakukan penahanan dan
penundaan pembayaran terhadap Cek dan/atau BilyetGiro dan melakukan verifikasi paling lama sampaidengan 1 hari kerja berikutnya;
f. kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan denganbatas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
136
3. Terdapat perubahan sanksi dalam PBI DHN, yaitu sanksikewajiban membayar bagi Bank apabila terlambat atautidak menyampaikan laporan berkala. Selain itu Bank jugadikenakan sanksi teguran tertulis apabila tidakmenyampaikan laporan insidental sebesar Rp500.000,00(lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan sejakbatas waktu penyampaian laporan dan paling banyaksebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
4. Dalam rangka pembinaan terhadap nasabahnya, Bankberwenang membekukan hak penggunaan Cek dan/atauBilyet Giro termasuk melakukan penutupan Rekening Giro,meskipun identitas Pemilik Rekening tidak tercantum dalamDHN, dalam hal:a. Bank meragukan kredibilitas Pemilik Rekening;b. terdapat permintaan dari Pemilik Rekening; atauc. terdapat permintaan dari pihak yang berwenang sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.5. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 April
2017.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
1. Ketentuan ini terkait dengan implementasi perubahanlaporan sebagai tindak lanjut dari diterbitkannya PeraturanBank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro WajibMinimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta AsingBagi Bank Umum Konvensional sebagaimana telah diubahbeberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank IndonesiaNomor 18/3/PBI/2016, dan dalam rangka memperolehtambahan informasi sehubungan dengan pelaksanaanPeraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentangRasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untukKredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untukKredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dan PeraturanBank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tentang SuratBerharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing serta dalamrangka menyelaraskan Laporan Bulanan Bank Umum denganstandar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
2. Surat Edaran ini merupakan perubahan keempat atas SuratEdaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari2009 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhirdengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/21/DStatanggal 12 Desember 2014.
3. Surat Edaran mulai berlaku sejak pelaporan data Juli 2016yang disampaikan pada bulan Agustus 2016.
4. Rekapitulasiperubahan LBU sebagaimana tabel berikut:
Perubahan Keempat atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor11/2/DSM tanggal 22Januari 2009 perihalLaporan Bulanan BankUmum
1. 18/16/DSta
137
FormNo. Perubahan
Form 02 - LaporanLaba/Rugi PerKantor
a. Menambahkan sandi 2220dengan rincian “Fee ataslayanan cash management”
b. Merinci Sandi 3640 - Gaji danUpah Tenaga Kerja, menjadi:1. Sandi 3644 - Gaji Direksi2. 2) Sandi 3645 - Gaji dan
upah Non Direksi
Laporan Per Kantor
Perihal RingkasanNo. Peraturan
138
FormNo. Perubahan
Form 07 - RincianSurat Berharga
Form 11 - RincianKredit YangDiberikan
Form 23 - Giro
Form 24 - Tabungan
Form 25 - SimpananBerjangka
Form 31 - SuratBerharga YangDiterbitkan
Menambahkan sandi 048 - SuratBerharga Bank Indonesia (SBBI)dalam Valuta Asing
a. Merinci sandi referensi "JenisKredit", yaitu dari "Kreditkepada pihak ketiga melaluilembaga lain secaraexecuting", menjadi:a. Kredit kepada UMKM
melalui lembaga lain secaraexecuting
b. Kredit kepada non UMKMmelalui lembaga lain secaraexecuting
b. Merubah ketentuanpelaporan agunan khususuntuk kredit konsumsi dalamrangka kepemilikan/beragunrumah tinggal, rumah susun,ruko, atau kredit konsumsidalam rangka kepemilikankendaraan bermotor.
Menambah kolom “NomorRekening” dan diisi khusus untukgiro milik Pemerintah Pusat
Menambah kolom “NomorRekening” dan diisi khusus untuktabungan milik Pemerintah Pusat
Menambah kolom “NomorRekening” dan diisi khusus untuksimpanan berjangka milikPemerintah Pusat
a. Menambah kolom:1. Jenis Penawaran: Public
Offering atau PrivatePlacement
Laporan Per Kantor
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
139
FormNo. Perubahan
1.
Form 40 -PendapatanKomprehensifLainnya
Form 47 -Persetujuan danrealisasi kredit baru
Rincian jenis agunanuntuk seluruhformulir yang terkait
Form 02 - LaporanLaba/Rugi
2. Peringkat Surat Berhargaa) Lembaga Pemeringkatb) Peringkat Surat Berhargac) Tanggal Pemeringkatan
3. Status Registrasi :teregistrasi di KSEI atautidak teregistrasi di KSEI
b. Mengubah kriteria GolonganPembeli Surat Berhargamenjadi Pembeli SuratBerharga Saat ini
Menambah sandi:1. 30 - keuntungan atas
pengukuran kembali atasprogram pensiun manfaatpasti
2. b. 80 - kerugian ataspengukuran kembali atasprogram pensiun manfaatpasti
Merinci sandi untuk seluruhkomponen persetujuan danrealisasi kredit baru
Menambahkan sandi:1. 047 - Sertifikat Deposito Bank
Indonesia2. 048 - Surat Berharga Bank
Indonesia dalam Valuta Asing(SBBI Valas)
a. Menambahkan sandi 2220dengan rincian “Fee ataslayanan cash management”
b. Merinci Sandi 3640 - Gaji danUpah Tenaga Kerja, menjadi:1. Sandi 3644 - Gaji Direksi2. Sandi 3645 - Gaji dan upah
Non Direksi
Laporan Gabungan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
140
FormNo. Perubahan
1.
1.
2.
1.
Form 02 - LaporanLaba/Rugi
Form 02 - LaporanLaba/Rugi
Form 09 - RincianKredit YangDiberikan
Form 02 - LaporanLaba/Rugi
a. Menambahkan sandi 2220dengan rincian “Fee ataslayanan cash management”
b. Merinci Sandi 3640 - Gaji danUpah Tenaga Kerja, menjadi:1. Sandi 3644 - Gaji Direksi2. Sandi 3645 - Gaji dan upah
Non Direksi
a. Menambahkan sandi 2220dengan rincian “Fee ataslayanan cash management”
b. Merinci Sandi 3640 - Gaji danUpah Tenaga Kerja, menjadi:1. Sandi 3644 - Gaji Direksi2. Sandi 3645 - Gaji dan upah
Non Direksi
Merinci sandi referensi "JenisKredit", yaitu dari "Kredit kepadapihak ketiga melalui lembaga lainsecara executing", menjadi:a. Kredit kepada UMKM melalui
lembaga lain secara executingb. Kredit kepada non UMKM
melalui lembaga lain secaraexecuting
a. Menambahkan sandi 2220dengan rincian “Fee ataslayanan cash management”
b. Merinci Sandi 3640 - Gaji danUpah Tenaga Kerja, menjadi:1. Sandi 3644 - Gaji Direksi2. Sandi 3645 - Gaji dan upah
Non Direksi
Laporan Gabungan (termasuk UUS)
Laporan Perusahaan Anak
Laporan Konsolidasi
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
1. Ketentuan ini terkait dengan implementasi perubahanlaporan sebagai tindak lanjut dari diterbitkannya:a. PBI No. 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing
terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestiksebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir denganPBI No. 17/15/PBI/2015.
b. PBI No. 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asingterhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asingsebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir denganPBI No. 17/16/PBI/2015.
c. PBI No. 17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang AntarbankBerdasarkan Prinsip Syariah.
d. PBI No. 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung NilaiBerdasarkan Prinsip Syariah.
2. Cakupan perubahan LHBU meliputi, antara lain:
Perubahan Keenam atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor13/3/DPM tanggal 4Februari 2011 perihalLaporan Harian BankUmum
2. 18/17/DSta
141
FormNo. Deskripsi Perubahan
1.
2.
3.
Form 101 - PUAB
Form 201 - TOD,TOM, SPOT
Form 202 -Forward, Swap,Option
Menambahkan sandi Deposit onCall di kolom "PUAB LN/DN".Deposit on Call hanya dilaporkanoleh Bank yang melakukanpenempatan dana pada Banklain dan waktu penyampaiandata Deposit on Call adalah pkl.07.00 s.d 18.00
1. Perubahan sandi JenisDokumen
2. Perubahan sandi Jenis Tujuan3. Penambahan kolom terkait
penyelesaian transaksi secaranetting
4. Penegasan validasi di kolomTujuan, Jenis, dan NPWPsesuai dengan threshold yangberlaku
1. Perubahan sandi JenisDokumen
2. Perubahan sandi Jenis Tujuan3. Penambahan kolom terkait
penyelesaian transaksi secaranetting
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
142
FormNo. Deskripsi Perubahan
4. penambahan kolom jenisusaha pembeli dan penjual(konvensional/syariah)
5. Penegasan validasi di kolomTujuan, Jenis, dan NPWP sesuaidengan threshold tertentu
6. Menambahkan kewajibanpelaporan bagi Bank UmumSyariah dan Unit Usaha Syariahyang berstatus devisa (bankdengan kegiatan usaha dalamvaluta asing)
1. Perubahan sandi JenisDokumen
2. Perubahan sandi Jenis Tujuan3. Penegasan validasi di kolom
Tujuan, Jenis, dan NPWPsesuai dengan threshold yangberlaku
Form baru yaitu Transaksi CrossCurrency Swap (CCS) dan InterestRate Swap (IRS).
Transaksi CCS dan IRS tidak lagidilaporkan melalui Form 203
1. Mengubah kolom "Diskonto"menjadi "Suku Bunga"
2. Menambah kolom"HargaRepo 1st Leg" dan "HargaRepo 2nd Leg" (khususrepo/repo syariah)
3. Menambah sandi referensi"Jenis Surat Berharga", yaituSPN, Promes, MTN, FRN, CLN,Obligasi Korporasi, ObligasiNegara, SBIS, SBSN, SukukKorporasi, NCDS, dan SBSLainnya
Form 203 -Derivatif Lainnya
Form 207 - CCS/IRS
Form 301 -Perdagangan SBdi Pasar Sekunder
4.
5.
6.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
143
Perubahan Ketiga atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor17/17/DKMP Tanggal 26Juni 2015 perihalPerhitungan Giro WajibMinimum Bank Umumdalam Rupiah dan ValutaAsing bagi Bank UmumKonvensional
3. 18/18/DKMP
FormNo. Deskripsi Perubahan
7.
8.
4. Menambah panjang karakter"Jenis Surat Berharga"menjadi 2 karakter
5. Menambah sandi referensi"Jenis Transaksi" yaitu RepoSyariah
6. Menambahkan kewajibanpelaporan bagi Bank UmumSyariah dan Unit Usaha Syariah
1. Merinci/menambahkan sandipos tertentu neraca
2. Merinci kolom valuta asingmenjadi Valuta USD dan NonUSD
Form baru (informasi dari BankIndonesia)
Form 403/404 -Pos TertentuNeraca
Form 709 -Proyeksi LikuiditasHarian
3. Ketentuan ini mulai berlaku pada 8 Agustus 2016.
I. Latar Belakang Pengaturan:Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan BankIndonesia Nomor 18/14/PBI/2016 tentang Perubahan Ketigaatas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMPTanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro WajibMinimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingbagi Bank Umum Konvensional, perlu melakukan perubahanketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMPtanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro WajibMinimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingbagi Bank Umum Konvensional.
II. Substansi Penyempurnaan:1. Penetapan batas bawah LFR Target dari yang sebelumnya
78% menjadi 80%.2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan
GWM yang terkait dengan penyebutan batas bawahLFR Target dan pengkinian tanggal data laporan dalamLampiran III perihal Contoh Perhitungan GWM dalamRupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
144
Rasio Loan to Value untukKredit Properti, RasioFinangcing to Value untukPembiayaan Properti, danUang Muka untuk Kreditatau PembiayaanKendaraan Bermotor
4. 18/19/DKMP
dan Lampiran IV perihal Contoh Perhitungan GWMbagi Bank yang Melakukan Merger.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal24 Agustus 2016.
I. Latar Belakang Pengaturan:Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atasPeraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal29 Agustus 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk KreditProperti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti,dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan KendaraanBermotor, Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran BankIndonesia No.18/19/DKMP tanggal 6 September 2016tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, RasioFinancing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan UangMuka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
II. Substansi Penyempurnaan:1. Surat Edaran Bank Indonesia mengatur lebih lanjut
substansi penyempurnaan pengaturan dalam PeraturanBank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016 tanggal 29Agustus 2016 tentang Rasio Loan to Value untuk KreditProperti, Rasio Financing to Value untuk PembiayaanProperti, dan Uang Muka untuk Kredit atau PembiayaanKendaraan Bermotor, yang antara lain meliputi:a. Perubahan rasio dan tiering dari rasio Loan to Value
(LTV) untuk Kredit Properti (KP) atau rasio Financingto Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti (PP),untuk fasilitas ke-1, fasilitas ke-2, fasilitas ke-3, danseterusnya, dengan tetap memperhatikan prinsipkehati-hatian;
b. Penyesuaian persyaratan Non Performing Loan (NPL)dari total Kredit atau Non Performing Financing (NPF)dari total Pembiayaan untuk penggunaan rasio LTVuntuk KP dan rasio FTV untuk PP dari gross menjadinet;
c. Kredit tambahan (top up) oleh Bank Umum danPembiayaan baru oleh Bank Umum Syariah atauUnit Usaha Syariah yang merupakan tambahan daripembiayaan sebelumnya menggunakan Rasio LTVKP atau rasio FTV PP yang sama sepanjang KP atauPP tersebut memiliki kualitas lancar. Hal yang samajuga berlaku untuk KP atau PP yang diambil alih(take over) dengan kredit tambahan (top up) ataudisertai dengan Pembiayaan baru.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
145
PersenatasePencairanNo. Tahapan
Rumah Susun
Rumah Tapak, Rumah Toko atau Rumah Kantor
40% dari plafon
80% dari plafon
90% dari plafon
100% dari plafon
40% dari plafon
70% dari plafon
90% dari plafon
100% dari plafon
setelah penyelesaian fondasi
setelah penyelesaian tutup atap
setelah penandatanganan BeritaAcara Serah Terima (BAST)
setelah penandatanganan BASTyang telah dilengkapi denganAkta Jual Beli (AJB) dan AktaPembebanan Hak Tanggungan(APHT) atau Surat KuasaMembebankan Hak Tanggungan(SKMHT)
setelah penyelesaian fondasi
setelah penyelesaian tutup atap
setelah penandatanganan BAST
setelah penandatanganan BASTyang telah dilengkapi dengan AJBdan APHT atau SKMHT
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Keterangan:Untuk tahapan pencairan KP Rusun atau PP Rusun, Bank dapatmelakukan pencairan tambahan di antara penyelesaian fondasidan sebelum penyelesaian tutup berdasarkan penilaianperkembangan pembangunan.
d. KP atau PPuntukpemilikan properti yang belumtersedia secara utuh diperbolehkan hingga urutanfasilitas ke-2, dengan pencairan kredit ataupembiayaan secara bertahap dengan rincian sebagaiberikut:
e. Penyesuaian sumber data dan nilai yang digunakandalam perhitungan NPL dan NPF.
f. Penyempurnaan terkait penyampaian Laporan KreditProperti dan Kredit Kendaraan Bermotor (LaporanKP dan KKB) serta Laporan Pembiayaan Properti(Laporan PP) dengan menggunakan template yangakan disediakan di website Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank IndonesiaNomor 17/31/DPSP tanggal13 November 2015 perihalPenyelenggaraanPenatausahan SuratBerharga Melalui BankIndonesia-ScriplessSecurities SettlementSystem
5. 18/20/DPSP
146
2. Penyesuaian terhadap contoh-contoh perhitungan danpenetapan antara lain:a. Rasio LTV untuk KP dan FTV untuk PP dalam Lampiran
IV;b. Rasio LTV untuk Kredit Tambahan (Top Up) atau Rasio
FTV untuk Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yangMasih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnyadan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) dalamLampiran V;
c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Pemilikan Properti yangBelum Tersedia secara Utuh dalam Lampiran VI; dan
d. Sanksi Kewajiban Membayar dalam Lampiran VIII.3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal 6
September 2016.
1. Latar belakang penerbitan perubahan Surat Edaran BankIndonesia yang memuat ketentuan-ketentuan dalampenyelenggaraan BI-SSSS ini adalah untuk mengaturpenggunaan Nomor Tunggal Identitas Investor untuk setiapinvestor Surat Berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS,yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) dan SuratBerharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yangselanjutnya dapat memfasilitasi kebijakan penyediaaninformasi kepemilikan surat berharga yang terkonsolidasidi Indonesia.
2. Pokok-pokok perubahan dan penambahan ketentuan dalamSurat Edaran Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:a. Perubahan alamat korespondensi terkait kegiatan
penyelenggaraan BI-SSSS dan pemantauan kepatuhanPeserta BI-SSSS.
b. Perubahan prosedur pembuatan spesimen tanda tanganbagi pimpinan atau pejabat yang berwenang/pejabatyang diberi kuasa, dengan menyampaikan suratpermohonan dari pimpinan peserta.
c. Penghapusan persyaratan melengkapi surat kuasapendebitan Rekening Setelmen Dana dari Bank Pembayarkepada Penyelenggara dalam prosedur menjadi Pesertabagi Peserta BI-SSSS yang bukan Peserta Sistem BankIndonesia-Real Time Gross Settlement (hanya persyaratansurat penunjukan Bank Pembayar dari Sub-Registry danjuga surat konfirmasi dari Bank Pembayar).
d. Perubahan prosedur terkait pengajuan perubahan datakepesertaan yang semula dalam menyampaikan suratpemberitahuan menjadi surat permohonan, yakni untuk
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank IndonesiaNomor 16/11/DKSPtanggal 22 Juli 2014perihal PenyelenggaraanUang Elektronik (ElectronicMoney)
6. 18/21/DKSP
147
perubahan nama Peserta, perubahan kegiatan usahaPeserta, alamat kantor Peserta, lokasi BI-SSSS ParticipantPlatform (SPP) dan Jaringan Komunikasi Data (JKD)Peserta, perubahan data Pimpinan, serta perubahankuasa.
e. Penyesuaian pengaturan setelmen terkait instruksiSetelmen dengan tanggal setelmen pada hariPenyelenggara tidak melakukan kegiatan operasional.
f. Penambahan kewajiban Sub-Registry untuk melengkapidata nasabah dengan informasi nomor tunggal identitasinvestor dan menginformasikan kepada nasabah, sertamelakukan penyelarasan data apabila terdapatperbedaan/perubahan data
g. Penambahan jenis laporan yang wajib disampaikanoleh Sub-Registry yaitu Laporan Data Nasabah, untukpendaftaran atau perubahan data nasabah yangdilengkapi dengan informasi Nomor Tunggal IdentitasInvestor.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahanatas SEBI Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 perihalPenyelenggaraan Uang Elektronik (Electronic Money).
2. Penerbitan SEBI ini bertujuan untuk memberikan aturanlebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia Nomor8/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)yang terutama bertujuan untuk meningkatkan penggunaanUang Elektronik oleh masyarakat sebagai upaya mendorongpeningkatan transaksi non tunai antara lain melaluipenyesuaian batas paling banyak Nilai Uang Elektronik,dan menyempurnakan pengaturan mengenai kewajibanpenyampaian permohonan persetujuan dalam rangkapengembangan produk baru dan kerjasama sertapengaturan mengenai Layanan Keuangan Digital (LKD).
3. Secara garis besar, pokok-pokok materi perubahan yangdimuat dalam SEBI ini mencakup:a. peningkatan batas paling banyak nilai Uang Elektronik
registered dari yang semula sebesar Rp5.000.000,00(lima juta rupiah) menjadi sebesar Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah);
b. penyesuaian pengaturan pelaksanaan uji cobapenyelenggaraan Uang Elektronik dalam tahappemrosesan izin dan uji coba penyelenggaraan LKD;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
148
c. penyesuaian pengaturan terkait penyelenggaraan LKDbaik melalui Agen LKD individu maupun Agen LKDBadan Hukum. Penyesuaian dilakukan denganmencabut/menghapus ketentuan yang terkait denganpenyelenggaraan LKD melalui Agen LKD dan diaturkembali dalam SEBI No.18/22/DKSP tanggal 27September 2016 perihal Penyelenggaraan LayananKeuangan Digital;
d. perubahan pengaturan terkait pengembangan produkbaru dan kerja sama penyelenggaraan Uang Elektronikyang sebelumnya dilakukan dengan penyampaianlaporan menjadi wajib terlebih dahulu memperolehpersetujuan Bank Indonesia;
e. penambahan pengaturan pemberian kemudahan olehBank Indonesia kepada Penyelenggara Uang Elektronikyang telah memperoleh izin atas proses persetujuankerja sama dalam rangka penggunaan atau perluasanpenggunaan Uang Elektronik untuk mendukungkebijakan nasional; dan
f. penambahan ketentuan terkait fasilitas Uang Elektronikdalam pengembangan sistem yang saling dikoneksikandengan Penyelenggara Uang Elektronik lain dalammemproses transaksi.
g. penyesuaian alamat korespondensi Bank Indonesiaterkait penyampaian rencana penerbitan Uang Elektronikdengan jenis, nama yang berbeda, pengembangandan/atau penambahan fasilitas baru, rencana kerjasama dan laporan penyelenggaraan Uang Elektronik.
4. Penerbit Uang Elektronik yang akan bekerjasama denganAgen Layanan Keuangan Digital (LKD) harus memenuhipersyaratan dan mengikuti mekanisme sebagaimana diaturdalam SEBI No.18/22/DKSP tanggal 27 September 2016perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital.
5. Kerja sama antar sesama Penyelenggara Uang Elektronikmaupun antara Penyelenggara Uang Elektronik denganpihak lain hanya dapat dilakukan setelah memperolehpersetujuan dari Bank Indonesia. Rencana kerja samadimaksud harus disampaikan kepada Bank Indonesia palinglambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sebelum perjanjiankerja sama ditandatangani.
6. Penyelenggara Uang Elektronik harus membuka koneksisistem Uang Elektronik sehingga dapat diterima olehPenyelenggara Uang Elektronik lain, paling kurang untukpenyediaan fasilitas Uang Elektronik berupa transfer dana,pengisian ulang (top up), dan tarik tunai.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
149
Penyelenggaraan LayananKeuangan Digital
7. 18/22/DKSP 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor18/22/DKSP tanggal27 September 2016 perihal Penyelenggaraan LayananKeuangan Digital (SEBI LKD) merupakan penyempurnaanketentuan penyelenggaraan LKD yang sebelumnya diaturdalam SEBI Nomor 16/12/DPAU tanggal 22 Juli 2014 perihalPenyelenggaraan Layanan Keuangan Digital dalam rangkaKeuangan Inklusif Melalui Agen Layangan Keuangan DigitalIndividu.
2. Penerbitan SEBI ini bertujuan untuk memberikan aturanlebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia Nomor8/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)khususnya mengenai penyelenggaraan Layanan KeuanganDigital (LKD) dalam rangka perluasan ekosistem LKD danpenyaluran bantuan sosial (program pemerintah) secaranon tunai untuk mendukung keuangan inklusif sebagaiupaya mendorong peningkatan transaksi non tunai.
3. Ruang lingkup pengaturan SEBI LKD ini mencakuppenyelenggaraan LKD melalui:a. Agen LKD Individu; danb. Agen LKD Badan Hukum.
4. Secara garis besar, pokok-pokok pengaturan yang diaturdalam SEBI LKD inimencakup:a. kriteria dan persyaratan pengajuan permohonan sebagai
penyelenggara LKD;b. pemrosesan permohonan persetujuan sebagai
penyelenggara LKD oleh Bank Indonesia;c. realisasi penyelenggaraan kegiatan LKD;d. penyelenggaraan LKD, yang mencakup produk dan
layanan, penggunaan nomor telepon genggam sebagainomor uang elektronik, registrasi LKD, tata cara registrasiLKD oleh calon pemegang, tata cara registrasi secaramassal (bulk registration), kerahasiaan data, batas nilaiuang elektronik dalam rangka LKD, biaya layanan,penerapan manajemen risiko, penggunaan sistemteknologi informasi, transparansi, edukasi, penangananpengaduan, dan pelaksanaan uji coba;
e. kerja sama penyelenggara LKD dengan Agen LKD, yangmencakup persyaratan pihak yang dapat menjadi AgenLKD, layanan Agen LKD, penunjukan Agen LKD,operasionalisasi Agen LKD, penghentian kerja sama,dan pemindahan lokasi;
f. pengawasan oleh penyelenggara LKD terhadap AgenLKD;
g. pengawasan oleh Bank Indonesia terhadappenyelenggaraan LKD;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
150
h. laporan penyelenggaraan LKD; dani. tata cara pengenaan sanksi administratif.
5. Beberapa materi perubahan/penyempurnaan terhadapketentuan penyelenggaraan LKD yang tercakup dalampokok-pokok pengaturan sebagaimana dimaksud dalamangka 3, antara lain:a. Penyesuaian kriteria Bank yang dapat menjadi
penyelenggara LKD melalui Agen LKD Individu yaitu:1) Bank Umum dengan kategori Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan 4; dan2) Bank Pembangunan Daerah kategori Bank Umum
berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 1 dan 2 yangmemiliki sistem teknologi informasi yang memadai,serta profil mandat penyaluran program bantuansosial.
b. Penambahan pengaturan mengenai:1) tata cara registrasi Uang Elektronik dalam rangka
LKD, khususnya:2) registrasi sendiri oleh pemegang (self registration);
dan3) registrasi massal (bulk registration)4) penerapan prosedur Customer Due Diligence (CDD)
yang lebih sederhana yang mencakup informasimengenai nama, tempat dan tanggal lahir, alamat,nomor dokumen identitas, dan nama ibu kandung.
c. Pengaturan mengenai batas nilai Uang Elektronik dalamrangka LKD yang diperoleh melalui self registration,sebagai berikut:1) batas nilai Uang Elektronik paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sepanjang belumdilakukan prosedur pertemuan langsung (face toface); dan
2) batas nilai transaksi penarikan tunai yang dapatdilakukan pertama kali pada Agen LKD palingbanyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh riburupiah).
d. Penyesuaian pengaturan mengenai pelaksanaan ujicoba penyelenggaraan LKD.
e. Penambahan ketentuan mengenai pemberiankemudahan oleh Bank Indonesia kepada Penerbit yangtelah memperoleh izin atas proses persetujuanpenyelenggaraan LKD dalam rangka penggunaan danperluasan penggunaan Uang Elektronik untuk programyang terkait kebijakan nasional.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Pemantauan Kegiatan LaluLintas Devisa Bank danNasabah
8. 18/23/DSta
151
f. Pencantuman ketentuan mengenai pengawasan AgenLKD dan format laporan penyelenggaraan LKD dalamSEBI LKD ini yang semula telah diatur di SEBI yangmengatur mengenai Uang Elektronik. Format laporantidak mengalami perubahan dari format laporansebelumnya.
g. Penyesuaian alamat korespondensi Bank Indonesiaterkait rencana penyelenggaraan LKD, laporan, informasilainnya, dan/atau surat menyurat.
6. SEBI LKD ini mencabut SEBI Nomor 16/12/DPAUtanggal22 Juli 2014 perihal Penyelenggaraan Layanan KeuanganDigital dalam rangka Keuangan Inklusif Melalui AgenLayangan Keuangan Digital Individu.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 18/23/DStaperihal Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank danNasabah merupakan ketentuan pelaksanaan dari PeraturanBank Indonesia (PBI) No.18/10/PBI/2016 tentang PemantauanKegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah.Penyempurnaan ketentuan ini dilakukan dalam rangkamendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaaninformasi kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD), dimana perludiatur kembali mengenai penyampaian keterangan dandata terkait LLD, termasuk ketentuan dimana transaksioutgoing transfer tertentu perlu dilengkapi dengan dokumenpendukung oleh nasabah.
2. Pokok-pokok Pengaturana. Pelapor
Pelapor adalah seluruh bank umumb. Laporan LLD
Laporan LLD yang wajib disampaikan bank terdiri atas:1) Laporan Transaksi, yaitu laporan mengenai transaksi
bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi AFLNbank dan/atau KFLN bank.
2) Laporan Posisi, yaitu laporan mengenai posisi danpenambahan atau pengurangan dari setiap jenisAFLN bank dan/atau KFLN bank.
3) Laporan pendukung, yaitu laporan Rincian TransaksiEkspor (RTE) dan Daftar Penyampaian DokumenPendukung DHE (DPDP).
c. Koreksi Laporan LLDApabila bank tidak menyampaikan Laporan LLD secarabenar dan/atau lengkap maka bank menyampaikankoreksi atas Laporan LLD yang telah disampaikan kepadaBank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
152
d. Penyampaian Laporan LLD dan Koreksi LaporanLLD1) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan
LLD dilakukan secara online, masing-masing sesuaiMasa Penyampaian Laporan (MPL) dan MasaPenyampaian Koreksi Laporan (MPKL).
2) MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD daritanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelahberakhirnya periode laporan.
3) MPKL adalah periode penyampaian koreksi LaporanLLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20 setelahberakhirnya periode laporan.
4) Penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi LaporanLLD yang melampaui MPKL dilakukan secara offline.
5) Laporan LLD atau koreksi Laporan LLD yangdisampaikan oleh bank kepada Bank Indonesia harusmelalui pentahapan uji pelaporan, yaitu memenuhipersyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas.
6) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan LaporanLLD apabila Laporan LLD disampaikan setelahberakhirnya MPL sampai dengan akhir bulan MPLdalam jam kerja
7) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLDapabila Laporan LLD tidak disampaikan sampaidengan akhir jam kerja pada akhir bulan MPL.
e. Pengaksepan Perintah Transfer Dana Nasabah danPenyampaian Dokumen Pendukung OutgoingTransfer1) Outgoing transfer adalah transaksi LLD nasabah
berupa transfer dana keluar dalam valuta asingdengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratusribu dolar Amerika Serikat)
2) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan perintahtransfer dana untuk outgoing transfer nasabahsepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukungoutgoing transfer.
3) Untuk outgoing transfer yang dokumen pendukungoutgoing transfer-nya tidak terdapat dalam daftaryang disediakan, nasabah harus menggunakan suratpernyataan yang dilengkapi dengan dokumenpendukung yang sesuai.
4) Penyampaian dokumen pendukung outgoingtransfer tidak berlaku bagi transaksi yang dilakukanoleh bank untuk kepentingan bank itu sendiri dantransaksi pemindahan simpanan oleh nasabah yangsama di dalam negeri.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
153
5) Nilai outgoing transfer yang dilakukan nasabahpaling banyak sebesar nilai nominal dari dokumenpendukung outgoing transfer dengan toleransi lebihsebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yangtercantum di dokumen pendukung outgoing transfer.
6) Bank dapat menggunakan bukti atau dokumenyang telah disampaikan nasabah dalam rangkapemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenaitransaksi valuta asing terhadap Rupiah antara bankdengan pihak domestik/pihak asing, sebagaidokumen pendukung outgoing transfer sepanjangbukti atau dokumen tersebut sama dengan dokumenpendukung outgoing transfer.
7) Dokumen pendukung outgoing transfer dan suratpernyataan harus diterima bank sebelum pelaksanaanpenyelesaian transaksi.
8) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaianantara perintah outgoing transfer dengan dokumenpendukung outgoing transfer-nya, yaitu terkait namapenerima dan nilai pembayaran.
9) Nasabah bertanggung jawab atas kebenarandokumen pendukung outgoing transfer serta suratpernyataan.
f. Penelitian Kebenaran Laporan1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
melakukan penelitian terhadap kebenaranketerangan dan data Laporan LLD dalam bentukkegiatan evaluasi dan pemeriksaan langsung (on-site) kepada bank.
2) Apabila dalam kegiatan evaluasi atau pemeriksaanlangsung kepada Bank terhadap laporan LLDditemukan ketidakwajaran dalam dokumenpendukung outgoing transfer, Bank Indonesiaberwenang melakukan penelitian kebenaran kepadanasabah.
3) Bank dan/atau nasabah harus memberikanpenjelasan, bukti, catatan, dokumen pendukung,dan/atau dokumen lainnya yang terkait dalamrangka penelitian kebenaran dalam jangka waktuyang ditentukan oleh Bank Indonesia.
g. Sanksi Administratif1) Sanksi Administratif kepada Bank2) Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesarRp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hariketerlambatan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
154
3) Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLDdikenakan sanksi administratif berupa denda sebesarRp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
4) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan LaporanLLD dengan benar dikenakan sanksi administratifberupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluhribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yangtidak benar dengan denda paling banyak sebesarRp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
5) Bank yang melakukan pengaksepan perintah transferdana untuk transaksi outgoing transfer tanpadilengkapi dokumen pendukung outgoing transferatau surat pernyataan dari nasabah dari nasabahdikenakan sanksi administratif berupa denda sebesarRp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiapperintah transfer dana.
6) Sanksi Administratif kepada Nasabah7) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan
keterangan, data, dan/atau dokumen pendukungdalam rangka transaksi outgoing transfer denganbenar kepada bank dikenakan sanksi administratifberupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilaitransaksi dengan nominal paling banyak sebesarRp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuksetiap perintah transfer dana.
8) Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda,Bank Indonesia dapat menyampaikan informasimengenai sanksi administratif berupa denda yangdikenakan ke nasabah kepada instansi yang terkait.
h. Pembebasan Sanksi Administratif Berupa Denda1) Bank atau nasabah yang telah dikenakan sanksi
administratif berupa denda dapat diberikanpembebasan sanksi denda dalam hal:
2) Bank atau nasabah menyampaikan surat permohonanpembebasan pengenaan sanksi denda, yang disertaidengan bukti pendukung; dan
3) Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, bank ataunasabah tidak melakukan pelanggaran terhadappemenuhan kewajiban pelaporan kegiatan LLD olehbank dan penyampaian dokumen pendukungoutgoing transfer oleh nasabah kepada bank.
4) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratifberupa denda disampaikan paling lambat akhirbulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya suratpenetapan sanksi denda.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
155
Operasi Pasar Terbuka9. 18/24/DPM
i. Ketentuan Penutup1) Pada saat SEBI ini mulai berlaku:
a) SEBI No.13/33/DSM tanggal 30 Desember 2011perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas DevisaOleh Bank;
b) SEBI No.14/12/DSM tanggal 21 Maret 2012perihal Perubahan Atas Surat Edaran BankIndonesia Nomor 13/33/DSM tanggal 30Desember 2011 perihal Pelaporan Kegiatan LaluLintas Devisa Oleh Bank; dan
c) SEBI No.16/20/DSta tanggal 28 November 2014perihal Perubahan Kedua Atas Surat EdaranBank Indonesia Nomor 13/33/DSM tanggal 30Desember 2011 perihal Pelaporan Kegiatan LaluLintas Devisa Oleh Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.2) Ketentuan mengenai sanksi atas pengaksepan
perintah transfer dana keluar untuk transaksi LLDtanpa dilengkapi dokumen pendukung outgoingtransfer dari nasabah mulai berlaku untuk dataperiode laporan bulan Maret 2017 yang disampaikanpada bulan April 2017.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku untuk dataperiode laporan bulan November 2016 yang disampaikanpada bulan November 2016.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangioleh reformulasi suku bunga kebijakan moneter BankIndonesia dan penguatan infrastruktur transaksi OperasiMoneter. Bank Indonesia 7-Day Repo Rate (BI 7-Day RepoRate merupakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia yangmencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkanoleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.Sementara itu, penguatan infrastruktur transaksi dilakukanpada infrastruktur transaksi Operasi Moneter valuta asing.
2. Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilakukan dalam rangkapelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia melalui:a. penerbitan SBI;b. penerbitan SDBI;c. transaksi Repo surat berharga;d. transaksi Reverse Repo SBN;e. transaksi pembelian dan penjualan SBN secara outright
di pasar sekunder;f. transaksi valas terhadap SBN;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
156
g. transaksi Term Deposit Rupiah;h. transaksi Term Deposit valas;i. transaksi Spot;j. transaksi Swap; dank. transaksi Forward.
3. Peserta OPT adalah Bank dan/atau pihak lain yang memenuhipersyaratan sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimanadiatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, pesertadan lembaga perantara dalam Operasi Moneter.
4. SBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditasRupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat1 bulan dan paling lama 12 bulan. Lelang SBI dilakukanpada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.
5. SDBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsilikuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu palingsingkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan.
6. Bank Indonesia melakukan monitoring, pengawasan tidaklangsung, dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuanterkait Minimum Holding Period (MHP) SBI oleh Peserta OPTdan Sub-Registry serta terkait larangan memindahtangankanatau mentransaksikan SDBI yang dimiliki dengan pihakselain Bank. MHP SBI ditetapkan 1 (satu) minggu, yaitu 7(tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian.
7. Transaksi Repo surat berharga dilakukan dalam rangkainjeksi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktupaling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. TransaksiRepo dapat dilakukan dengan menggunakan underlyingsurat berharga dalam Rupiah atau surat berharga dalamvaluta asing.
8. Transaksi Reverse Repo SBN dilakukan dalam rangka absorpsilikuiditas rupiah di pasar uang dengan jangka waktu palingsingkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.
9. Transaksi pembelian dan penjualan SBN dilakukan dalamrangka injeksi/absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang sertadalam rangka menjaga ketersediaan SBN yang diperlukansebagai instrumen Operasi Moneter dalam pencapaiansasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia.Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian danpenjualan SBN secara outright dengan mekanisme lelangatau non lelang.
10.Transaksi valas terhadap SBN dilakukan dalam rangkamenjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan cara transaksipembelian SBN secara outright oleh Bank Indonesia dantransaksi penjualan valuta asing terhadap Rupiah oleh BankIndonesia, yang dilakukan pada saat bersamaan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
157
11.Transaksi Term Deposit Rupiah dilakukan dalam rangkaabsorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangkawaktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.
12.Transaksi Term Deposit valas dilakukan dalam rangkamengelola likuiditas valuta asing dan mendukung stabilitasnilai tukar Rupiah dengan jangka waktu paling singkat 1hari dan paling lama 12 bulan. Lelang Term Deposit valasdilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.
13.Transaksi Swap dilakukan dalam rangka mendukungpengelolaan likuiditas dan menjaga stabilitas nilai tukarRupiah dengan jangka waktu paling singkat 1 hari danpaling lama 12 bulan.
14.Transaksi Forward dilakukan dalam rangka menjaga stabilitasnilai tukar Rupiah dengan waktu penyerahan dana (tenor)dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12(dua belas) bulan.
15.Transaksi OPT dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) atau saranadealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.
16.Pelaksanaan transaksi OPT dalam keadaan tidak normalpada transaksi OPT Rupiah mengikuti prosedur sebagaimanadimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, penyelenggaraanpenatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS, dan/ataupenyelenggaraan setelmen dana seketika melalui SistemBI-RTGS.
17.Pelaksanaan transaksi OPT dalam keadaan tidak normalpada transaksi OPT valuta asing (transaksi Term Depositvaluta asing secara lelang dan transaksi Swap secara lelang)dapat dilakukan dengan:a. menyesuaikan window time transaksi;b. membatalkan proses lelang transaksi yang dilakukan
melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valutaasing; dan/atau
c. melakukan transaksi secara manual.18.Sanksi dikenakan terhadap:
a. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajibansetelmen transaksi OPT dalam Rupiah.
b. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajibansetelmen transaksi OPT dalam valuta asing.
c. Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhiketentuan kewajiban MHP SBI.
d. Bank dan/atau Sub-Registry yang melanggar ketentuanterkait larangan memindahtangankan ataumentransaksikan SDBI dengan pihak selain Bank.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Penyelenggara JasaPengelolahan Uang Rupiah
10. 18/25/DPU
158
19.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank IndonesiaNo. 17/37/DPM tanggal 16 November 2015 perihal OperasiPasar Terbuka, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan SuratEdaran Bank Indonesia Nomor 18/25/DPU perihalPenyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah (PJPUR).
2. SE BI ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedomanpelaksanaan ketentuan terhadap Penyelenggara JasaPengolahan Uang Rupiah.
3. Jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah terdiri atas:a. distribusi Uang Rupiah;b. pemrosesan Uang Rupiah;c. penyimpanan Uang Rupiah di khazanah; dan/ataud. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan
kecukupan Uang Rupiah pada antara lain AutomatedTeller Machine (ATM), Cash Deposit Machine (CDM),dan/atau Cash Recycling Machine (CRM).
4. Untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia, Badan UsahaJasa Pengamanan (BUJP) yang akan menjadi PJPUR harusmenyampaikan permohonan izin kepada Bank Indonesia.Permohonan izin tersebut dapat secara sekaligus atausebagian dari jenis kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
5. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izinsebagai PJPUR diatur sebagai berikut:a. berbadan hukum Indonesia berbentuk perseroan
terbatas;b. menggunakan sarana, prasarana, dan/atau infrastruktur
yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh BankIndonesia sesuai dengan masing-masing jenis kegiatanPengolahan Uang Rupiah;
c. memiliki kondisi dan/atau kinerja keuangan yang sehat;d. memiliki pengurus perusahaan dengan integritas dan
reputasi yang baik; dane. memiliki izin operasional sebagai BUJP dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang masih berlaku.6. Permohonan izin harus dilengkapi dengan dokumen
dan/atau persyaratan antara lain:a. dokumen terkait kelembagaan dan kondisi keuangan,
seperti izin operasional sebagai BUJP, akta pendirianperusahaan yang memuat anggaran dasar, dan laporankeuangan; dan
b. dokumen terkait kesiapan operasional, seperti fotokopistandar operasional dan prosedur Pengolahan UangRupiah, bukti kesiapan operasional dalam bentuk profil
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
159
perusahaan, dan fotokopi bukti kelulusan pelatihanpemrosesan Uang Rupiah dari Bank Indonesia.
7. PJPUR yang telah memperoleh izin wajib menyelenggarakankegiatannya paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitungsejak tanggal surat pemberian izin dari Bank Indonesia.
8. Paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak tanggal efektifpenyelenggaran kegiatan sebagai PJPUR, PJPUR wajibmenyampaikan laporan tertulis mengenai tanggal efektifdimulainya kegiatan sebagai PJPUR tersebut yang disertaidengan dokumen pendukung yang diperlukan, sepertiperjanjian kerja sama dan polis asuransi.
9. PJPUR harus menyampaikan permohonan pembukaanKantor Cabang apabila PJPUR akan melakukan pembukaanKantor Cabang.
10.PJPUR wajib menggunakan sarana, prasarana, dan/atauinfrastruktur yang memenuhi standar yang ditetapkan olehBank Indonesia.
11.Dalam menyelenggarakan kegiatan pemrosesan UangRupiah, PJPUR wajib memenuhi standar pengemasan uangyang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
12.Dalam rangka memenuhi kebutuhan Uang Rupiah dimasyarakat dalam kondisi yang layak edar, PJPUR wajibmemenuhi standar kualitas Uang Rupiah sebagaimanaditetapkan oleh Bank Indonesia yang disampaikan olehBank Indonesia kepada Bank dan PJPUR melaluipemberitahuan tertulis dan/atau media informasi lainnya.
13.PJPUR yang telah memiliki izin untuk melakukan kegiatanjasa distribusi Uang Rupiah, dapat melakukan kegiatanpembawaan uang kertas asing ke dalam atau ke luardaerah pabean Indonesia dengan mendaftarkan kegiatantersebut kepada Bank Indonesia.
14.PJPUR harus memiliki dan menerapkan manajemen risikosecara efektif, paling sedikit melalui:a. Pengawasan aktif oleh komisaris dan direksi;b. Kecukupan kebijakan dan prosedur;c. Kecukupan proses identifikasi dan mitigasi risiko; dand. pengendalian intern.
15.Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap PJPURsecara langsung dan tidak langsung dengan tujuan untukmenciptakan tata kelola penyelenggaraan jasa PengolahanUang Rupiah yang baik.
16.Pengawasan secara langsung dilakukan melalui pemeriksaanumum dan/atau pemeriksaan khusus.
17.Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui analissi danevaluasi yang didasarkan atas:
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
160
Perihal RingkasanNo. Peraturan
a. laporan berkala;b. laporan insidental;c. keterangan;d. penjelasan;e. rekaman; dan/atauf. dokumen,yang diperoleh Bank Indonesia dari PJPUR dan/atau pihakyang bekerja sama dengan PJPUR.
18.Bank Indonesia dapat melakukan pembinaan terhadapPJPUR antara lain melalui pertemuan konsultasi untukmendorong perubahan atau perbaikan dalampenyelenggaraan jasa Pengolahan Uang Rupiah.
19.PJPUR harus memberitahukan kepada Bank Indonesiadalam hal terjadi:a. perubahan pemegang saham mayoritas.b. perubahan nama perseroan terbatas;c. perubahan dewan komisaris dan/atau direksi; dand. perubahan alamat Kantor Pusat dan Kantor Cabang
PJPUR.20.PJPUR yang melanggar ketentuan mengenai
penyelenggaraan kegiatan jasa Pengolahan Uang Rupiaha. teguran tertulis;b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha; dan/atauc. pencabutan izin
21.Penyampaian permohonan, laporan, dan/atau suratmenyurat ditujukan kepada:Departemen Pengelolaan UangKompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung C lantai 7Jalan M.H. Thamrin No. 2Jakarta 10350.
22.Bagi PJPUR yang ingin menyampaikan laporan ditujukankepada:Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem PembayaranKompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung D lantai 8Jalan M.H. Thamrin No. 2Jakarta 10350
23.BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan penggunajasa PJPUR untuk melakukan kegiatan jasa PengolahanUang Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesiatentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiahharus segera mengajukan permohonan izin sebagai PJPURkepada Bank Indonesia paling lama 9 (sembilan) bulansetelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia tentangPenyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah ini.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan Kedua atasSurat Edaran BankIndonesia nomor14/31/DPNP tanggal 31Oktober 2012 PerihalLaporan Kantor Pusat BankUmum
11. 18/26/DSta
161
24.Dalam hal BUJP yang akan mengajukan permohonan izintelah memiliki kantor cabang, permohonan persetujuanpembukaan kantor cabang dapat diajukan bersamaandengan permohonan perizinan pembukaan kantor pusat.
25.BUJP yang telah memiliki kerja sama dengan penggunajasa PJPUR untuk melakukan kegiatan jasa PengolahanUang Rupiah sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesiatentang Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah baikyang belum maupun yang telah mengajukan permohonanizin harus menyampaikan laporan dan memenuhi persyaratanterkait standar kualitas Uang Rupiah dalam PengolahanUang Rupiah, persyaratan keamanan, efisiensi, dan mitigasirisiko serta memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
26.Selama proses permohonan izin, BUJP diperbolehkanmewakili Bank untuk melakukan kegiatan penyetorandan/atau penarikan Uang Rupiah di Bank Indonesia.
27.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal2 November 2016.
1. Ketentuan ini terkait dengan perubahan laporan sebagaitindak lanjut dari pelaksanaan Peraturan Bank IndonesiaNomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan KegiatanAlat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK)sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank IndonesiaNomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PeraturanBank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentangPenyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran denganMenggunakan Kartu (APMK).
2. Secara umum, penyesuaian form di LKPBU adalah sbb:Penambahan 7 (tujuh) Form terkait Kartu Kredit, yaitu:a. Form 318 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Regionalb. Form 319 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Sektor
Usahac. Form 320 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok
Usiad. Form 321 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok
Penghasilan Pemegang Kartu Kredite. Form 322 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Limit
Kartu Kreditf. Form 323 - Laporan Bulanan Kartu Kredit berdasarkan
jenis transaksig. Form 324 - Laporan Nominal Revolving RateForm ini wajib disampaikan oleh Bank penerbit dan acquirerKartu Kredit. Batas waktu penyampaian laporan adalahpaling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank Indonesianomor 15/13/DASPtanggal 12 April 2013Perihal LaporanPenyelenggaraan KegiatanAlat Pembayaran denganMenggunakan Kartu danUang Elektronik (ElectronicMoney) oleh BankPerkreditan Rakyat danLembaga Selain Bank
12. 18/27/DSta
162
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Ketentuan ini mulai berlaku untuk pelaporan data bulanNovember 2016 yang disampaikan pada bulan Desember2016
1. Ketentuan ini terkait dengan tindak lanjut dari diterbitkannyaPeraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentangUang Elektronik (Electronic Money) sebagaimana telahdiubah terakhir kali dengan Peraturan Bank IndonesiaNomor 18/17/PBI/2016 serta dalam rangka pelaksanaanPeraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 tentangLaporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayarandengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyatdan Lembaga Selain Bank .
2. Secara umum, penyesuaian form di LSBU adalah sebagaiberikut:a. Penambahan 4 (empat) Form terkait Layanan Keuangan
Digital (LKD), yaitu:1) Form 314 - Laporan Bulanan Perkembangan Layanan
Keuangan Digital2) Form 315 - Laporan Bulanan Transaksi Layanan
Keuangan Digital3) Form 316 - Laporan Bulanan Agen Layanan
Keuangan Digital4) Form 317 - Laporan Bulanan Permasalahan Layanan
Keuangan DigitalForm ini wajib disampaikan oleh Bank yang telahmemperoleh penegasan dari Bank Indonesia terhadaprencana penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital(LKD). Batas waktu penyampaian laporan adalah palinglambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya.
b. Penambahan 7 (tujuh) Form terkait Kartu Kredit, yaitu:1) Form 318 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Regional2) Form 319 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Sektor
Usaha3) Form 320 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Kelompok Usia4) Form 321 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per
Kelompok Penghasilan Pemegang Kartu Kredit5) Form 322 - Laporan Bulanan Kartu Kredit per Limit
Kartu Kredit6) Form 323 - Laporan Bulanan Kartu Kredit berdasarkan
jenis transaksi7) Form 324 - Laporan Nominal Revolving Rate
Perihal RingkasanNo. Peraturan
163
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Tata Cara Klarifikasi atasUang Rupiah yangDiragukan Keasliannya
13. 18/28/DPU
Form ini wajib disampaikan oleh Bank penerbit danacquirer Kartu Kredit. Batas waktu penyampaian laporanadalah paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporanberikutnya.
c. Penambahan Informasi Profil Penyelenggara AlatPembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) danProfil Penyelenggara Uang Elektronik yang di-updateoleh Pelapor setiap terjadi perubahan data
d. Penambahan kewajiban pelaporan Form 304 - LaporanBulanan Infrastruktur oleh Penerbit Uang Elektronik
3. Selain itu, dilakukan juga perubahan terhadap alamatpenyampaian pemberitahuan tertulis terkait penyampaianlaporan secara offline karena gangguan teknis, dariDepartemen Pengelolaan Sistem Informasi menjadiDepartemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan.
4. Ketentuan ini mulai berlaku untuk pelaporan data bulanNovember 2016 yang disampaikan pada bulan Desember2016.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan SuratEdaran Bank Indonesia Nomor 18/28/DPU perihal Klarifikasiatas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya.
2. SE BI ini diterbitkan dengan tujuan untuk menjadi pedomanpelaksanaan ketentuan terhadap klarifikasi atas UangRupiah yang diragukan keasliannya.
3. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dan pihakselain Bank (perorangan, badan hukum, dan lembaga yangmelakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan) dapatmeminta klarifikasi kepada Bank Indonesia tentang UangRupiah yang diragukan keasliannya.
4. Bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dan pihakselain Bank dalam memperlakukan Uang Rupiah yangdiragukan keasliannya apabila menerima atau menemukanUang Rupiah yang diragukan keasliannya harus melakukanhal sebagai berikut:a. Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
diperoleh dari kegiatan layanan kas (front office), Bankharus:1) menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
yang diterima dari nasabah;2) mencatat identitas lengkap nasabah yang
menyerahkan, menyetorkan, atau menukarkanUang Rupiah yang diragukan keasliannya, danmemberikan tanda terima atas Uang Rupiah yangdiragukan keasliannya kepada nasabah;
Perihal RingkasanNo. Peraturan
164
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3) menginformasikan kepada nasabah bahwa UangRupiah yang diragukan keasliannya tidakdikembalikan untuk keperluan klarifikasi kepadaBank Indonesia; dan
4) menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukankeasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiahyang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek,memotong, dan mencoret-coret.
b. Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannyadiperoleh dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah atauberasal dari pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untukmelakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah (backoffice) maka Bank harus menjaga kondisi fisik UangRupiah yang diragukan keasliannya dengan tidakmerusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannyatersebut seperti merobek, memotong, dan mencoret-coret.
c. Bank juga harus menjaga agar Uang Rupiah yangdiragukan keasliannya tidak diedarkan kembali.
5. Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank dalam memperlakukanUang Rupiah yang diragukan keasliannya apabila menerimaatau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannyaharus melakukan hal sebagai berikut:a. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya
tidak disetorkan kepada Bank Indonesia;b. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiahyang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek,memotong, dan mencoret-coret;
c. melaporkan kepada Bank mengenai penemuan UangRupiah yang diragukan keasliannya; dan
d. menyerahkan fisik Uang Rupiah yang diragukankeasliannya kepada Bank atau meminta klarifikasikepada Bank Indonesia atas persetujuan Bank.
6. Pihak selain Bank dalam memperlakukan Uang Rupiahyang diragukan keasliannya apabila menerima ataumenemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannyaharus melakukan hal sebagai berikut:a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan
keasliannya dengan tidak merusak fisik Uang Rupiahyang diragukan keasliannya tersebut seperti merobek,memotong, dan mencoret-coret; dan
b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannyatidak diedarkan kembali.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
165
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
7. Permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukankeasliannya kepada Bank Indonesia dilakukan dengan carasebagai berikut:a. menyampaikan surat permintaan klarifikasi yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang disertaidokumen ditigal (softcopy) yang berisi rincian UangRupiah yang dimintakan klarifikasi;
b. menyampaikan fisik Uang Rupiah yang diragukankeasliannya; dan
c. menandatangani berita acara penyampaian suratpermintaan klarifikasi dan serah terima fisik UangRupiah yang diragukan keasliannya oleh petugas Bankatau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank untukmelakukan pengolahan Uang Rupiah.
8. Dalam hal permintaan klarifikasi tidak disampaikan secaralangsung, sehingga berita acara serah terima Uang Rupiahtidak dapat dibuat, Bank Indonesia mencatat suratpermintaan klarifikasi beserta dengan fisik Uang Rupiahsesuai dengan yang diterima oleh Bank Indonesia. Buktipencatatan disampaikan kepada pihak yang memintaklarifikasi bersamaan dengan hasil klarifikasi.
9. Permintaan klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukankeasliannya oleh masyarakat disampaikan kepada:a. Departemen Pengelolaan Uang
Kompleks Perkantoran Bank Indonesia Gedung Clantai 7Jalan M. H. Thamrin No. 2Jakarta 10350,bagi masyarakat yang berada di wilayah DKI Jakarta,Kota Tangerang Selatan, Kabupaten/Kota Bekasi,Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Karawang, danKota Depok; atau
b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negerisetempat dengan alamat kantor dengan mengacu padawebsite Bank Indonesia.
10.Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap Uang Rupiahyang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasioleh masyarakat dengan menyatakan:a. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan
sebagai Uang Rupiah asli; ataub. Uang Rupiah yang dimintakan klarifikasi dinyatakan
sebagai Uang Rupiah tidak asli.11.Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil penelitian
atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepadamasyarakat paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejakBank Indonesia menerima permintaan klarifikasi.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
166
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Kriteria dan PersyaratanSurat Berharga, Peserta,dan Lembaga Perantaradalam Operasi Moneter
14. 18/29/DPM
12.Berdasarkan hasil penelitian atas Uang Rupiah yang diragukankeasliannya, Bank Indonesia memberikan penggantian atasUang Rupiah yang dinyatakan asli sebesar nilai nominal.
13.Bank Indonesia tidak memberikan penggantian dan tidakmengembalikan fisik Uang Rupiah yang dinyatakan tidakasli
14.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal24 November 2016.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangioleh diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter.
2. Kriteria Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang dapatdipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkanoleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia,tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan.
3. Kriteria Surat Berharga dalam valuta asing yang dapatdipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkanoleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memilikikerjasama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentukcross border collateral arrangement, sesuai denominasiasal negara penerbit, tercatat pada aktiva peserta OperasiMoneter yang tercatat pada rekening surat berharga milikpeserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yangdisepakati, memiliki peringkat investasi (investment grade)dan tidak sedang diagunkan.
4. JenisSurat Berharga yang memenuhi kriteria untuk dapatdipergunakan dalam Operasi Moneter adalah SBI, SDBI,SBN dan surat berharga jangka pendek atau jangka panjangyang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereignbond). Surat Berharga dalam valuta asing hanya digunakandalam Transaksi Repo dalam rangka Operasi Pasar Terbuka.
5. Harga SBI dan SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia denganmempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkatdiskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seriSBI dan SDBI.
6. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkanoleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antaralain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN dansurat berharga dalam valuta asing (sovereign bond).
7. Haircut SBI dan SDBI ditetapkan sebesar 0% (nol persen),haircut SUN ditetapkan sebesar 5% (lima persen), haircutSBSN ditetapkan sebesar 6,5% (enam koma lima persen),haircut surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond)sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggalpelaksanaan transaksi.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
167
Koridor Suku Bunga(Standing Facilities)
15. 18/30/DPM
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
8. Peserta Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yangberstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-SSSS,dan Sistem BI-RTGS, memiliki rekening giro Rupiah di BankIndonesia, memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS,dan tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementarauntuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter.
9. Peserta Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bankdevisa yang memiliki rekening giro valuta asing di BankIndonesia, memiliki rekening giro Rupiah di Bank Indonesia,tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementarauntuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, dan/ataumemiliki rekening surat berharga di lembaga kustodianyang ditunjuk Bank Indonesia untuk transaksi OperasiMoneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yangtidak ditatausahakan di Bank Indonesia.
10.Peserta Operasi Moneter terdiri atas Peserta OPT danPeserta Standing Facilities.
11.Bank Indonesia dapat menunjuk Peserta OPT yangmemenuhi kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia untukmendukung pelaksanaan transaksi Operasi Moneter denganmempertimbangkan kapasitas, kapabilitas dan reputasiPeserta OPT.
12.Lembaga perantara yang dapat melakukan transaksi OPTuntuk kepentingan peserta Operasi Moneter adalah pialangpasar uang Rupiah dan valuta asing dan perusahaan efekyang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesiasebagai dealer utama.
13.Persyaratan lembaga perantara yang dapat mengikutitransaksi Operasi Moneter adalah berstatus aktif sebagaipeserta Sistem BI-ETP dan tidak sedang dikenakan sanksiterkait izin usaha oleh Bank Indonesia dan/atau otoritaspengawas yang berwenang.
14.Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Surat EdaranBank Indonesia nomor 17/38/DPM tanggal 16 November2015 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga,Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangioleh diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor18/12/PBI/2016 tentang Operasi Moneter.
2. Bank Indonesia 7-Day Repo Rate (BI 7-Day Repo Rate)merupakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia yangmencerminkan stance kebijakan moneter yang ditetapkanoleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
168
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
3. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah(Lending Facility) dari Bank Indonesia kepada Bank danpenempatan dana Rupiah (Deposit Facility) oleh Bank diBank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
4. Jangka waktu Standing Facilities adalah 1 hari kerja(overnight).
5. Bank Indonesia mengenakan bunga repo atas transaksiLending Facility sebesar BI 7-Day Repo Rate ditambahmarjin tertentu. Bunga repo dihitung berdasarkan metodebunga dibayar di belakang (simple interest).
6. Transaksi Deposit Facility dilakukan dengan sistem diskontodengan tingkat diskonto sebesar BI 7-Day Repo Ratedikurangi marjin tertentu.
7. Standing Facilities disediakan Bank Indonesia pada setiaphari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatasBank Indonesia.
8. Window time Standing Facilities diatur sebagai berikut:a. Lending Facility dari pukul 16.00 WIB sampai dengan
pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan olehBank Indonesia; dan
b. Deposit Facility dari pukul 16.00 WIB sampai denganpukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan olehBank Indonesia.
9. Surat Berharga yang dapat di-repo-kan dalam TransaksiLending Facility paling banyak sebesar nilai nominal SuratBerharga yang dimiliki Bank, yang tercatat di RekeningSurat Berharga. Surat Berharga yang dapat di-repo-kanadalah SBI, SDBI, dan SBN.
10.Transaksi Deposit Facility dilakukan tanpa disertai denganpenerbitan surat berharga.
11.Pengajuan transaksi Standing Facilities dilakukan melaluiSistem BI-ETP, dengan mekanisme sebagai berikut:a. Lending Facility dilakukan dengan cara repurchase
agreement (repo) surat berharga sesuai dengan hargadan jangka waktu yang disepakati dengan mekanismenonlelang.
b. Deposit Facility dilakukan dengan cara penempatandana Rupiah oleh Bank secara berjangka di BankIndonesia dengan mekanisme nonlelang.
12.Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro dan/atau SuratBerharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupiuntuk memenuhi kewajiban setelmen Standing Facilities.
13.Setelmen Standing Facilities:a. Setelmen first leg Lending Facility dan setelmen transaksi
Deposit Facility dilakukan pada tanggal transaksi (sameday settlement) pada awal periode pre cut-off SistemBI-RTGS.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
169
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Tata Cara PenempatanBerjangka (Term Deposit)Syariah dalam Valuta Asing
16. 18/31/DPM
b. Setelmen second leg Lending Facility dan setelmenjatuh waktu Deposit Facility dilakukan pada tanggaljatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampaidengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
14.Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban padasaat dilakukan setelmen sehingga menyebabkan batalnyatransaksi Standing Facility, Bank dikenakan sanksi berupa:a. teguran tertulis, dengan tembusan kepada Otoritas
Jasa Keuangan;b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol
satu persen) dari nilai transaksi Bank yang dinyatakanbatal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluhjuta rupiah) dan paling banyak sebesarRp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam haltransaksi memiliki second leg, maka nilai transaksi yangdinyatakan batal yang dijadikan dasar perhitungansanksi kewajiban membayar adalah nilai transaksi padasaat first leg;
c. sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatanOperasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut apabila transaksi Operasi Moneter, yang meliputitransaksi Operasi Pasar Terbuka dan transaksi StandingFacilities, batal untuk ketiga kali dalam kurun waktu 6(enam) bulan.
15.Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut Surat EdaranBank Indonesia nomor 17/39/DPM tanggal 16 November2015 perihal Koridor Suku Bunga (Standing Facilities).
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangioleh upaya meningkatkan governance dan mendukungkelancaran pelaksanaan transaksi penempatan berjangka(term deposit) syariah dalam valuta asing).
2. Transaksi penempatan berjangka (term deposit) syariahdalam valuta asing adalah transaksi penempatan danavaluta asing secara berjangka oleh Bank (Bank UmumSyariah dan Unit Usaha Syariah yang merupakan bankdevisa) di Bank Indonesia.
3. Transaksi Term Deposit Valas Syariah dilakukan denganmenggunakan akad ju'alah oleh Bank kepada BankIndonesia.
4. Transaksi Term Deposit Valas Syariah menggunakan matauang Dollar Amerika Serikat dengan jangka waktu palingsingkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
170
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
5. Bank Indonesia memberikan imbalan atas transaksi TermDeposit Valas Syariah. Tingkat imbalan yang diberikanmengacu pada suku bunga hasil lelang transaksi TermDeposit valas konvensional
6. Bank yang dapat menjadi peserta transaksi Term DepositValas Syariah adalah Bank Umum Syariah dan Unit UsahaSyariah yang merupakan bank devisa yang mememuhipersyaratan sebagai berikut:a. tidak sedang dalam masa pengenaan sanksi penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS; danb. memiliki rekening giro dalam valuta asing di Bank
Indonesia.7. Dalam melakukan penawaran transaksi Term Deposit Valas
Syariah, Bank dapat mengajukan penawaran secara langsungatau melalui Pialang.
8. Pokok pengaturan terkait transaksi Term Deposit ValasSyariah adalah sebagai berikut:a. Sebelum mengikuti pelaksanaan lelang transaksi Term
Deposit Valas Syariah, Bank dan Pialang menyampaikansurat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelangTransaksi Term Deposit Valas Syariah ke Bank Indonesiayang dilengkapi dengan informasi sebagaimana diaturdalam Surat Edaran ini.
b. Transaksi Term Deposit Valas Syariah dilakukan denganmekanisme lelang melalui sarana transaksi yangditetapkan oleh Bank Indonesia dengan pengajuanpenawaran kuantitas.
c. Tingkat imbalan yang diberikan mengacu pada tingkatbunga hasil lelang Term Deposit valas konvensionalberjangka waktu sama yang dilakukan secara bersamaandengan lelang Term Deposit Valas Syariah. Dalam halpada saat yang bersamaan tidak terdapat lelang TermDeposit valas konvensional, tingkat imbalan yangdiberikan mengacu pada data terkini antara tingkatimbalan Term Deposit valas syariah atau suku bungaTerm Deposit valas konvensional, yang berjangka waktusama.
d. Lelang diselenggarakan pada hari kerja yang ditetapkanoleh Bank Indonesia dengan window time antara pukul08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB.
e. Pengumuman rencana lelang transaksi Term DepositValas Syariah dilakukan Bank Indonesia melalui sistemotomasi lelang Operasi Moneter Syariah valas, SistemLHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
171
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
f. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal paling kurangsebesar USD 5 juta dan selebihnya dengan kelipatansebesar USD 1 juta.
g. Dalam hal terjadi koreksi penawaran, Bank dan/atauPialang dapat mengajukan koreksi untuk setiappenawaran yang diajukan dalam window time transaksiTerm Deposit Valas Syariah.
h. Bank dapat mengajukan koreksi terhadap informasipenawaran selain informasi nama lelang (auction name).
i. Pialang yang mengajukan penawaran lelang untuk danatas nama Bank dapat mengajukan koreksi terhadapinformasi penawaran selain informasi Terminal ControllerIdentifier (TCID) Bank dan nama lelang (auction name).
j. Bank Indonesia mengumumkan hasil penetapanpemenang lelang secara keseluruhan melalui sistemotomasi OMS valas, dan/atau sarana lain yang ditetapkanoleh Bank Indonesia dan secara individual kepadamasing-masing pemenang lelang melalui sistem otomasilelang OMS valas dan/atau sarana lain yang ditetapkanoleh Bank Indonesia.
k. Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi TermDeposit Valas Syariah paling lama 2 (dua) hari kerjasetelah tanggal transaksi.
l. Pada tanggal setelmen, Bank wajib mentransfer danaatas kewajiban setelmen transaksi Term Deposit ValasSyariah untuk setiap penawaran atau sesuai denganjumlah nominal yang dimenangkan ke rekening BankIndonesia di bank koresponden.
m. Dalam hal Bank tidak mentransfer dana atas kewajibansetelmen maka transaksi dianggap batal dan Bankdikenakan sanksi.
9. Bank dapat mengajukan early redemption atas Term DepositValas Syariah paling cepat 3 hari setelah setelmen transaksiTerm Deposit Valas Syariah yang akan dilakukan earlyredemption. Pengajuan dimaksud dapat diajukan setiaphari kerja kecuali bila pada hari pengajuan early redemptionterdapat pelaksanaan lelang Term Deposit Valas Syariahdengan jangka waktu melebihi overnight.
10.Pengajuan early redemption diajukan Bank melalui saranadealing system yang ditetapkan Bank Indonesia dari pukul08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB.
11.Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasilelang OMS valas yang mempengaruhi kelancaranpelaksanaan lelang transaksi Term Deposit Valas Syariah,Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Bilyet Giro17. 18/32/DPSP
172
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
a. menyesuaikan window time transaksi Term DepositValas Syariah;
b. membatalkan proses lelang transaksi Term DepositValas Syariah yang dilakukan melalui sistem otomasilelang OMS valas; dan/atau
c. melakukan transaksi Term Deposit Valas Syariah secaramanual.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini mencabut SEBINomor 28/32/UPG tanggal 4 Juli 1995 perihal Bilyet Girodan sebagai ketentuan pelaksana dari Peraturan BankIndonesia (PBI) No. 18/41/PBI/2016 tentang Bilyet Giro.
2. Pokok-pokok materi pengaturan SEBI perihal Bilyet Giroadalah sebagai berikut:a. Pemenuhan syarat formal oleh Bank Tertarik dilakukan
secara lengkap, yaitu:1) dilakukan pada saat pencetakan warkat Bilyet Giro;2) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan dapat
ditambahkan padanan katanya dalam Bahasa Inggris;dan
3) khusus nomor Bilyet Giro, pemenuhannya dapatdilakukan oleh perusahaan percetakan dokumensekuriti atau oleh Bank Tertarik sebelum diserahkankepada nasabah.
b. Pemenuhan syarat formal oleh Penarik dilakukan secaralengkap pada saat penerbitan Bilyet Giro, sebelum BilyetGiro diserahkan oleh Penarik kepada Penerima, yaitu:1) Pemenuhan syarat formal dilakukan dalam bahasa
Indonesia serta dapat ditambahkan padanan katanyadalam bahasa Inggris;
2) jumlah dana yang dipindahbukukan dicantumkandalam mata uang Rupiah;
3) pencantuman Tanggal Efektif harus berada dalamTenggang Waktu Pengunjukan, yaitu berada dalamtenggang waktu 70 (tujuh puluh) hari sejak TanggalPenarikan; dan
4) pencantuman tandatangan berupa tandatanganbasah sesuai dengan spesimen tanda tangan yangditatausahakan oleh Bank Tertarik.
c. Pengaturan lebih detail mengenai kewajiban yang harusdilakukan oleh Bank Tertarik, Penarik, Penerima, danBank Penerima dalam penggunaan Bilyet Giro.
d. Koreksi kesalahan penulisan dalam Bilyet Giro dibatasipaling banyak 3 (tiga) kali koreksi dan Bank wajibmenolak Bilyet Giro apabila terdapat koreksi lebih dari3 (tiga) kali.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
173
Perubahan Keempat atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor11/10/DASP tanggal 13April 2009 perihalPenyelenggaraan KegiatanAlat Pembayaran denganMenggunakan Kartu
18. 18/33/DKSP
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
e. Bank wajib melakukan penolakan Bilyet Giro yangditetapkan oleh Bank Indonesia, dan khusus untukalasan penolakan:1) tidak memenuhi syarat formal Bilyet Giro;2) pencantuman Tanggal Efektif tidak dalam Tenggang
Waktu Pengunjukan;3) diunjukkan tidak dalam Tenggang Waktu Efektif;4) Bilyet Giro diblokir pembayarannya; dan5) Bilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi,dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan danadalam Rekening Giro Penarik.
f. Bank wajib melakukan penatausahaan penggunaanBilyet Giro dengan mengacu pada ketentuan BankIndonesia yang mengatur mengenai daftar hitamnasional penarik cek dan/atau bilyet giro kosong.
g. Bank Tertarik yang melakukan penolakan dengan alasanBilyet Giro diduga palsu atau dimanipulasi wajibmenahan dan menunda pembayaran Bilyet Giro danmenindaklanjutinya dengan melakukan verifikasi palinglama sampai dengan 1 (satu) hari kerja berikutnya,dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yangmengatur mengenai daftar hitam nasional penarik cekdan/atau bilyet giro kosong.
h. Penarik tidak dapat membatalkan Bilyet Giro dan hanyadapat melakukan pemblokiran dengan alasan hilang,dicuri, dan/atau rusak.
i. Bilyet Giro wajib memenuhi spesifikasi warkat BilyetGiro berupa rancang bangun dan standar keamananyang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengacupada ketentuan Bank Indonesia yang mengaturmengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliringberjadwal oleh Bank Indonesia.
3. Ketentuan dalam SEBI Bilyet Giro ini mulai berlaku padatanggal 1 April 2017.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan dengandidasari pertimbangan sebagai berikut:a. dalam rangka penyelarasan dengan kondisi ekonomi
terkini dan untuk mendorong efisiensi serta akseptasimasyarakat terhadap penggunaan Kartu Kredit, BankIndonesia memandang perlu untuk melakukanpenyesuaian terhadap batas maksimum suku bungaKartu Kredit; dan
Perihal RingkasanNo. Peraturan
174
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. dalam rangka meningkatkan penerapan prinsipperlindungan konsumen Pemegang Kartu Kreditkhususnya dalam hal penyampaian informasi mengenaipengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit,dipandang perlu mewajibkan Penyelenggara KartuKredit untuk menyampaikan pernyataan penutupan(closing statement) Kartu Kredit.
2. Hal-hal yang diatur dalam SEBI ini meliputi:a. penyesuaian terhadap batas maksimum suku bunga
Kartu Kredit; danb. kewajiban Penerbit Kartu Kredit untuk penyampaian
pernyataan penutupan (closing statement) Kartu Kredit.3. Paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal 2 Desember
2016, Penerbit Kartu Kredit wajib menerapkan batasmaksimum suku bunga Kartu Kredit yang ditetapkan olehBank Indonesia sebesar 2,25% (dua koma dua puluh limapersen) per bulan atau 26,95% (dua puluh enam komasembilan puluh lima persen) per tahun.
4. Batas maksimum suku bunga Kartu Kredit wajib diterapkanoleh Penerbit Kartu Kredit untuk transaksi pembelanjaanmaupun transaksi tarik tunai.
5. Bank Indonesia dapat melakukan peninjauan kembali(review) atas besarnya batas maksimum suku bunga KartuKredit.
6. Paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal 2 Desember2016, Penerbit Kartu Kredit wajib memberikan pernyataanpenutupan (closing statement) Kartu Kredit kepadaPemegang Kartu Kredit, yang paling sedikit memuatpernyataan bahwa:a. fasilitas Kartu Kredit yang diberikan kepada Pemegang
Kartu Kredit telah diakhiri dan/atau ditutup;b. Pemegang Kartu Kredit telah menyelesaikan seluruh
kewajibannya kepada Penerbit Kartu Kredit sehubungandengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atauditutup; dan
c. Pemegang Kartu Kredit tidak akan dikenakan biayadalam bentuk apapun di kemudian hari sehubungandengan fasilitas Kartu Kredit yang telah diakhiri dan/atauditutup.
7. Penerbit Kartu Kredit dapat menutup Kartu Kredit apabilaterdapat alasan yang cukup dengan tetap wajibmenyampaikan pernyataan penutupan (closing statement)yang dilengkapi informasi paling sedikit mengenai alasanpengakhiran dan/atau penutupan Kartu Kredit, sertainformasi terkait mekanisme pemenuhan kewajiban yangmasih harus diselesaikan oleh Pemegang Kartu Kredit.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Transaksi Valuta AsingTerhadap Rupiah antaraBank dengan PihakDomestik
19. 18/34/DPPK
175
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
8. Pernyataan penutupan (closing statement) disampaikandalam bentuk surat dan/atau surat elektronik yang harussudah sampai pada alamat Pemegang Kartu Kredit palinglambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal dilakukannyapengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit.
I. Latar BelakangKetentuan ini merupakan ketentuan pelaksanaan dariPeraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/18/PBI/2016 tentangTransaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank denganPihak Domestik.
II. Pokok-Pokok Pengaturan1. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah berupa:a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta
asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelakupasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait;dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinyatransaksi yang antara lain berupa dealingconversation atau print out dari Society of WorldwideInterbank Financial Telecommunication (SWIFT).
2. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazimdigunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjianinduk derivatif Indonesia. Penggunaan kontrak dalamTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakantanggung jawab masing-masing pihak yang melakukantransaksi.
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksipembelian dan penjualan dalam denominasi seluruhvaluta asing terhadap Rupiah.
4. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadapRupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah (misalnya Yenterhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitunganjumlah tertentu (threshold) kewajiban UnderlyingTransaksi adalah sebagai berikut :x threshold dalam USDKeterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap RupiahKurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakankurs penutupan Bank Indonesia pada 1 hari kerjasebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem LaporanHarian Bank Umum (LHBU) form 704.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
176
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
5. Pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabahkepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapatdilakukan paling banyak:a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar
Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan perNasabah melalui Transaksi Spot;
b. sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar AmerikaSerikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabahmelalui Transaksi Derivatif Valuta Asing TerhadapRupiah yang standar (plain vanilla).
6. Ketentuan pada angka 5 diatas berlaku pula untukpembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukandalam rangka transaksi swap jual (Spot beli pada nearleg).
7. Dokumen Underlying Transaksi untuk transaksi swapjual dapat menggunakan Underlying Transaksi daritransaksi swap jual dimaksud, termasuk UnderlyingTransaksi berupa penjualan valuta asing terhadap Rupiah.
8. Ketentuan pada angka 5 di atas berlaku pula untukpembelian valuta asing terhadap Rupiah yang dilakukandalam rangka transaksi swap beli (forward beli padafar leg).
9. Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksiyang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakanPemerintah terkait perpajakan antara lain diatur sebagaiberikut:a. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty
yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi ValutaAsing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkanadanya pengalihan harta ke wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia (repatriasi dana) dan didukungoleh dokumen repatriasi dana dalam rangka taxamnesty.
b. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnestydapat digunakan sebagai Underlying Transaksi padasaat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadapinvestasi dana repatriasi di pasar domestik, antaralain investasi saham, obligasi, dan penempatandana pada Bank.
c. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnestydigunakan sebagai Underlying Transaksi palingsingkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalamketentuan Pemerintah yang mengatur mengenaipengampunan pajak (dalam masa periode kewajibanmenginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
Perihal RingkasanNo. Peraturan
177
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
d. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty hanya dapatdigunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversidana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1(satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar(dari Rupiah ke valuta asing).
e. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumenrepatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaiUnderlying Transaksi pada saat dilakukan konversidana keluar sebelum periode kewajibanmenginvestasikan dana repatriasi di dalam negeriberakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapatdiinvestasikan dalam mata uang valuta asing hinggaperiode kewajiban menginvestasikan dana repatriasidi dalam negeri berakhir.
f. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluardilakukan secara bertahap, dengan menggunakanUnderlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty, dengan tidakmelampaui nominal Underlying Transaksi danarepatriasi.
g. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi beruparepatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing TerhadapRupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untukperpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhirantransaksi (unwind) dalam rangka penyelesaianTransaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiahdalam rangka lindung nilai.
h. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty sebagaimanadimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9diatur sebagai berikut:1) gateway awal (Bank), dokumen berupa Surat
Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalamrangka pengalihan harta untuk menampungpengalihan dana wajib pajak dalam rangkaPengampunan Pajak;
2) gateway tujuan (Bank), antara lain berupa suratketerangan mengenai riwayat investasi;
3) Penyampaian dokumen Underlying Transaksipada huruf a dan b disertai dengan dokumenpendukung berupa pernyataan tertulis bermeteraicukup yang ditandatangani oleh wajib pajakatau pernyataan tertulis yang authenticated dariwajib pajak yang memuat informasi mengenai:
Perihal RingkasanNo. Peraturan
178
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
a) keaslian dan kebenaran dokumen UnderlyingTransaksi;
b) penggunaan dokumen Underlying Transaksihanya digunakan untuk pembelian valutaasing terhadap Rupiah paling banyak sebesarnominal Underlying Transaksi dalam rangkatax amnesty dalam sistem perbankan diIndonesia;
c) hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kalidi seluruh sistem perbankan di Indonesiauntuk tujuan konversi dana keluar.
10. Bank dilarang melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 9 ayat (1) PBI, kecuali untuk structuredproduct valuta asing terhadap Rupiah berupa CallSpread Option yang didukung oleh Underlying Transaksisebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) PBI.
11. Yang dimaksud dengan Call Spread Option adalahgabungan beli call option dan jual call option yangdilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksidengan strike price yang berbeda dan nominal yangsama.
12. Bank yang melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiondengan Nasabah diatur sebagai berikut:a) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dalam bentuk structured product valuta asingterhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajibmemiliki Underlying Transaksi.
b) Nominal transaksi structured product valuta asingterhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidakmelebihi nominal Underlying Transaksi.
c) Jangka waktu transaksi structured product valutaasing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiontidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
d) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadapRupiah merupakan satu kesatuan transaksi yangdilakukan secara simultan sehingga perhitungannominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali.
13. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukansecara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalamPasal 10 ayat (1) PBI.
14. Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratansebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan
179
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
a) Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurstransaksi Call Spread Option awal.
b) Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurstransaksi Call Spread Option awal.
c) Menggunakan Underlying Transaksi yang sama danbelum jatuh waktu.
d) Nominal tidak bersifat kumulatif.e) Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam)
bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yangmemiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih.
f) Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelahkurs pasar melampaui kisaran kurs Call SpreadOption awal.
g) Kurs pasar adalah kurs penutupan di pasar valutaasing domestik sebagaimana informasi yang tersediadi Reuters atau Bloomberg padapukul 16.00 WIB;atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
15. Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option dapat menggunakan UnderlyingTransaksi yang sama dengan transaksi Call SpreadOption awal.
16. Bank wajib memastikan Nasabah memiliki UnderlyingTransaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumenUnderlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dandokumen pendukung untuk:a) transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah
tertentu (threshold); ataub) transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option.17. Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option,melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu LaporanHarian Bank Umum (LHBU).
18. Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing TerhadapRupiah mengacu kepada ketentuan yang mengaturmengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU).
19. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM
tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi ValutaAsing terhadap Rupiah antara Bank dengan PihakDomestik;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Transaksi Valuta AsingTerhadap Rupiah antaraBank dengan Pihak Asing
20. 18/35/DPPK
180
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/15/DPMtanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas SuratEdaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asingterhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik;
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/20/DPMtanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Keduaatas Surat Edaran Bank IndonesiaNomor 16/14/DPMtanggal 17 September 2014 perihal Transaksi ValutaAsing terhadap Rupiah antara Bank dengan PihakDomestik;
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/23/DPMtanggal 30 September 2015 perihal PerubahanKetiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihalTransaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bankdengan Pihak Domestik; dan
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/49/DPMtanggal 21 Desember 2015 perihal PerubahanKeempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihalTransaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bankdengan Pihak Domestik,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.20.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 13 Desember 2016.
I. Latar BelakangKetentuan ini merupakan ketentuan pelaksanaan dariPeraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/19/PBI/2016 tentangTransaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank denganPihak Asing.
II. Pokok-Pokok Pengaturan1. Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah berupa:a. konfirmasi tertulis berupa kontrak transaksi valuta
asing (derivatif) yang lazim digunakan oleh pelakupasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait;dan/atau
b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinyatransaksi yang antara lain berupa dealingconversation atau print out dari Society of WorldwideInterbank Financial Telecommunication (SWIFT).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
181
2. Kontrak transaksi valuta asing (derivatif) yang lazimdigunakan oleh pelaku pasar dapat berupa perjanjianinduk derivatif Indonesia. Penggunaan kontrak dalamTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakantanggung jawab masing-masing pihak yang melakukantransaksi.
3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksipembelian dan penjualan dalam denominasi seluruhvaluta asing terhadap Rupiah.
4. Untuk pembelian dan penjualan valuta asing terhadapRupiah, selain US Dollar terhadap Rupiah (misalnya Yenterhadap Rupiah, Euro terhadap Rupiah), perhitunganjumlah tertentu (threshold) kewajiban UnderlyingTransaksi adalah sebagai berikut:x threshold dalam USDKeterangan: Kurs pada rumus adalah terhadap RupiahKurs sebagaimana dimaksud dalam angka 6 merupakankurs penutupan Bank Indonesia pada 1 hari kerjasebelumnya (H-1), yang tersedia pada sistem LaporanHarian Bank Umum (LHBU) form 704.
5. Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksiyang dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakanPemerintah terkait perpajakan antara lain diatur sebagaiberikut:a. Underlying Transaksi berupa kebijakan tax amnesty
yang dapat digunakan dalam rangka Transaksi ValutaAsing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkanadanya pengalihan harta ke wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia (repatriasi dana) dan didukungoleh dokumen repatriasi dana dalam rangka taxamnesty.
b. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnestydapat digunakan sebagai Underlying Transaksi padasaat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadapinvestasi dana repatriasi di pasar domestik, antaralain investasi saham, obligasi, dan penempatan danapada Bank.
c. Dokumen repatriasi dana dalam rangka tax amnestydigunakan sebagai Underlying Transaksi palingsingkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalamketentuan Pemerintah yang mengatur mengenaipengampunan pajak (dalam masa periode kewajibanmenginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
182
d. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty hanya dapatdigunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversidana masuk (dari valuta asing ke Rupiah) dan 1(satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar(dari Rupiah ke valuta asing).
e. Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumenrepatriasi dana dalam rangka tax amnesty sebagaiUnderlying Transaksi pada saat dilakukan konversidana keluar sebelum periode kewajibanmenginvestasikan dana repatriasi di dalam negeriberakhir, maka hasil konversi tersebut hanya dapatdiinvestasikan dalam mata uang valuta asing hinggaperiode kewajiban menginvestasikan dana repatriasidi dalam negeri berakhir.
f. Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluardilakukan secara bertahap, dengan menggunakanUnderlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty, dengan tidakmelampaui nominal Underlying Transaksi danarepatriasi.
g. Kewajiban memiliki Underlying Transaksi beruparepatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing TerhadapRupiah oleh wajib pajak tidak berlaku untukperpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhirantransaksi (unwind) dalam rangka penyelesaianTransaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiahdalam rangka lindung nilai.
h. Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasidana dalam rangka tax amnesty sebagaimanadimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 9diatur sebagai berikut:
i. gateway awal (Bank), dokumen berupa SuratKeterangan Pengampunan Pajak (SKPP) dalam rangkapengalihan harta untuk menampung pengalihandana wajib pajak dalam rangka Pengampunan Pajak;
j. gateway tujuan (Bank), antara lain berupa suratketerangan mengenai riwayat investasi;
k. Penyampaian dokumen Underlying Transaksi padahuruf a dan b disertai dengan dokumen pendukungberupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yangditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataantertulis yang authenticated dari wajib pajak yangmemuat informasi mengenai:
l. keaslian dan kebenaran dokumen UnderlyingTransaksi;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
183
m. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanyadigunakan untuk pembelian valuta asing terhadapRupiah paling banyak sebesar nominal UnderlyingTransaksi dalam rangka tax amnesty dalam sistemperbankan di Indonesia;
n. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruhsistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversidana keluar.
6. Bank dilarang melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah sebagaimana dimaksuddalam Pasal 10 ayat (1) PBI, kecuali untuk structuredproduct valuta asing terhadap Rupiah berupa Call SpreadOption yang didukung oleh Underlying Transaksisebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) PBI.
7. Yang dimaksud dengan Call Spread Option adalahgabungan beli call option dan jual call option yangdilakukan secara simultan dalam satu kontrak transaksidengan strike price yang berbeda dan nominal yangsama.
8. Bank yang melakukan transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiondengan Pihak Asing diatur sebagai berikut:a. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah
dalam bentuk structured product valuta asingterhadap Rupiah berupa Call Spread Option wajibmemiliki Underlying Transaksi.
b. Nominal transaksi structured product valuta asingterhadap Rupiah berupa Call Spread Option tidakmelebihi nominal Underlying Transaksi.
c. Jangka waktu transaksi structured product valutaasing terhadap Rupiah berupa Call Spread Optiontidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi.
d. Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadapRupiah merupakan satu kesatuan transaksi yangdilakukan secara simultan sehingga perhitungannominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali.
9. Transaksi structured product valuta asing terhadapRupiah berupa Call Spread Option wajib dilakukansecara dynamic hedging sebagaimana dimaksud dalamPasal 11 ayat (1) PBI.
10.Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratansebagai berikut:a. Kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal.b. Kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs
transaksi Call Spread Option awal.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
184
Perihal RingkasanNo. Peraturan
c. Menggunakan Underlying Transaksi yang sama danbelum jatuh waktu.
d. Nominal tidak bersifat kumulatif.e. Memiliki jangka waktu paling kurang 6 (enam)
bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yangmemiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih.
f. Dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelahkurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Optionawal.
g. Kurs pasar adalah kurs penutupan di pasar valutaasing domestik sebagaimana informasi yang tersediadi Reuters atau Bloomberg pada pukul 16.00 WIB;atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
11.Transaksi Spot yang dilakukan dalam rangka transaksistructured product valuta asing terhadap Rupiah berupaCall Spread Option dapat menggunakan UnderlyingTransaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Optionawal.
12.Bank wajib memastikan Pihak Asing memiliki UnderlyingTransaksi yang dibuktikan dengan penyampaiandokumen Underlying Transaksi Valuta Asing TerhadapRupiah dan dokumen pendukung untuk:a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas
jumlah tertentu (threshold); ataub. Transaksi structured product valuta asing terhadap
Rupiah berupa Call Spread Option.13.Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured productvaluta asing terhadap Rupiah berupa Call Spread Option,melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu LaporanHarian Bank Umum (LHBU).
14.Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing TerhadapRupiah mengacu kepada ketentuan yang mengaturmengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU).
15.Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku:a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM
tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi ValutaAsing Terhadap Rupiah antara Bank dengan PihakAsing;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/16/DPMtanggal 12 Juni 2015 perihal Perubahan atas SuratEdaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal17 September 2014 perihal Transaksi Valuta AsingTerhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing;
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank IndonesiaNomor 17/32/DPSDPtanggal 13 November2015 perihal Tata CaraLelang Surat BerhargaNegara di Pasar Perdanadan Penatausahaan SuratBerharga Negara
21. 18/36/DPSP
185
c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/21/DPMtanggal 28 Agustus 2015 perihal Perubahan Keduaatas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPMtanggal 17 September 2014 perihal Transaksi ValutaAsing Terhadap Rupiah antara Bank dengan PihakAsing; dan
d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/50/DPMtanggal 21 Desember 2015 perihal Perubahan Ketigaatas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPMtanggal 17 September 2014 perihal Transaksi ValutaAsing Terhadap Rupiah antara Bank denganPihakAsing,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.16.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada
tanggal 13 Desember 2016.
1. Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia(SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung rencanaKementerian Keuangan - Direktorat Jenderal PengelolaanPembiayaan dan Risiko (DJPPR) untuk menerbitkan SuratUtang Negara (SUN) dalam valuta asing dengan denominasiEuro.
2. Pokok-pokok perubahan dan penambahan ketentuan dalamSurat Edaran Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:a. penambahan instrumen Surat Utang Negara valuta
asing dalam denominasi Euro (SUN Euro);b. penambahan peran Bank Indonesia sebagai Bank
Pembayar untuk transaksi SUN Euro;c. penambahan rekening dana yang dapat digunakan
untuk setelmen dana atas transaksi SBN, menjadi:rekening Giro Rupiah, rekening Giro valuta asing,transaksi SUN Euro;
d. penambahan informasi rekening bank korespondenBank Indonesia untuk transaksi SUN Euro, yaitu TheDeutsche Bundesbank di Frankfurt;
e. penambahan mekanisme penyediaan dan setelmendana, serta pembayaran bunga/kupon dan/ataupelunasan pokok/nilai nominal untuk SUN Euro;
f. penambahan ketentuan bagi Peserta untuk mengirimkankonfirmasi penyediaan dana ke Bank Indonesia melaluisarana SWIFT (MT299); dan
g. Penambahan kewajiban Bank Indonesia untukmeneruskan pembayaran bunga/kupon dan/ataupelunasan pokok/nilai nominal sebagai bank pembayaratas transaksi SUN Euro.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank IndonesiaNomor 17/30/DPSDPtanggal 13 November2015 perihalPenyelenggaraan SetelmenDana Seketika melaluiSistem Bank Indonesia-RealTime Gross Settlement
Perubahan Keempat atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor17/17/DKMP Tanggal 26Juni 2015 perihalPerhitungan Giro WajibMinimum Bank Umumdalam Rupiah dan ValutaAsing bagi Bank UmumKonvensional
22.
23.
18/37/DPSP
18/38/DKMP
186
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
1. Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia(SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung rencanaKementerian Keuangan - Direktorat Jenderal PengelolaanPembiayaan dan Risiko (DJPPR) untuk menerbitkan SuratUtang Negara (SUN) dalam valuta asing dengan denominasiEuro, maka perlu dilakukan penambahan rekening yangdapat digunakan Peserta untuk melakukan transaksimulticurrency dan penyesuaian kode transaksi (transactiontype code) untuk transaksi Bank Indonesia ke Peserta dalamvaluta asing.
2. Dengan diberlakukannya SEBI ini maka pelaksanaan transaksimulticurrency dapat menggunakan rekening selain RekeningGiro, sepanjang telah memenuhi persyaratan yangditetapkan oleh Penyelenggara.
I. Latar Belakang Pengaturan:Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank UmumDalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank UmumKonvensional sebagaimana telah diubah terakhir denganPBI Nomor 18/14/PBI/2016 dan dalam rangka penyesuaianorganisasi satuan kerja di Bank Indonesia, perlu melakukanperubahan keempat atas Surat Edaran Bank IndonesiaNomor 17/17/DKMP Tanggal 26 Juni 2015 perihalPerhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalamRupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
II. Substansi Penyempurnaan:1. Penyesuaian materi terkait pelaporan, yaitu pengaturan
mengenai:a. penyampaian pelaporan surat berharga yang
diterbitkan oleh bank yang berkantor pusat selaindi wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia melaluiemail;
b. penyampaian nama petugas dan penanggung jawabyang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikanlaporan, serta alamat email pengirim laporan suratberharga yang diterbitkan oleh bank yang berkantorpusat selain di wilayah kerja kantor pusat BankIndonesia; dan
c. penyampaian pelaporan surat berharga yangditerbitkan oleh bank yang berkantor pusat selaindi wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia dalambentuk hardcopy dan softcopy dalam halpenyampaian melalui email sebagaimana dimaksuddalam huruf a tidak dapat dilakukan;
Perihal RingkasanNo. Peraturan
187
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
Perubahan Kedua atasSurat Edaran BankIndonesia Nomor9/13/DASP tanggal 19 Juni2007 perihal Daftar HitamNasional Penarik Cekdan/atau Bilyet GiroKosong
24. 18/39/DPSP
dari sebelumnya kepada Kantor Perwakilan BankIndonesia setempat menjadi kepada DepartemenPengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. DivisiPengelolaan dan Pengawasan 1.
2. Penyesuaian materi terkait korespondensi GWM, yaitupengaturan mengenai:a. penyampaian pemberitahuan tertulis bahwa bank
tutup pada hari yang ditetapkan libur secarafakultatif; dan
b. penyampaian informasi mengenai perhitunganKPMM bank hasil merger atau konsolidasi;
dari sebelumnya kepada Kantor Perwakilan BankIndonesia setempat menjadi kepada DepartemenPengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. DivisiPengelolaan dan Pengawasan 1.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku sejak tanggal1 Januari 2017.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan sebagaiketentuan pelaksana dari Peraturan Bank Indonesia (PBI)No. 18/43/PBI/2016 tentang Perubahan atas PBI Nomor8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cekdan/atau Bilyet Giro Kosong (DHN).
2. Pokok-pokok materi pengaturan dalam perubahan SEBIDHN adalah sebagai berikut:a. Penambahan kewajiban Bank untuk menatausahakan
Cek dan/atau Bilyet Giro yang didistribusikan kepadaNasabah, yaitu:1) jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang diproses
oleh Bank, yang terdiri atas: Cek dan/atau BilyetGiro yang dicetak, didistribusikan ke Nasabah, dandiproses melalui loket (over the counter) dan kliring;
2) jumlah lembar Cek dan/atau Bilyet Giro yang ditolakmelalui loket (over the counter) dan kliring besertaalasannya; dan
3) penyalahgunaan Cek dan/atau Bilyet Giro.b. Perubahan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan
Dana bagi Penarik Bilyet Giro, yaitu:1) penyediakan Dana yang cukup wajib telah disediakan
pada Bank Tertarik sejak Tanggal Efektif sampaidengan berakhirnya Tenggang Waktu Pengunjukan;
2) dalam hal pada saat pengunjukan tidak tersediadana yang cukup atau Rekening telah ditutup makaPenarikan tersebut dikategorikan sebagai PenarikanCek dan/atau Bilyet Giro Kosong.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
188
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c. Pembatalan Cek dan/atau Bilyet Giro, dimana untukBilyet Giro tidak dapat dibatalkan selama TenggangWaktu Pengunjukan.
d. Perubahan ketentuan mengenai alasan penolakan Cekdan/atau Bilyet Giro, yaitu:1) alasan 3, unsur Cek atau syarat formal Bilyet Giro
tidak dipenuhi, yaitu:a) untuk Cek, tidak terdapat penyebutan tempat
dan tanggal Penarikan; ataub) untuk Bilyet Giro, tidak terdapat penyebutan
tanggal Penarikan dan/atau tanggal efektif;2) alasan 7, syarat formal Bilyet Giro berupa jumlah
Dana yang dipindahbukukan baik dalam angkamaupun dalam huruf secara lengkap tidak dipenuhiatau terdapat perbedaan jumlah Dana yangdipindahbukukan dalam angka dan dalam huruf;
3) alasan 8, Bilyet Giro tidak dilengkapi dengan tandatangan basah; dan
4) alasan 12, koreksi Bilyet Giro tidak ditandatanganioleh Penarik dan/atau dilakukan lebih dari 3 (tigakali), sedangkan untuk koreksi Cek dilakukan apabilatidak sesuai dengan ketentuan Pasal 228 KUHD.
e. Adanya kewajiban Bank Tertarik melakukan penahanandan penundaan pembayaran terhadap Cek dan/atauBilyet Giro yang diduga palsu atau dimanipulasi, denganketentuan:1) setelah dilakukan penahanan dan penundaan
pembayaran, Bank wajib melakukan verifikasi palinglama sampai dengan 1 hari kerja berikutnya;
2) Bank harus menginformasikan mengenai penahanandan penundaan pembayaran kepada Pemegangatau Bank Penagih;
3) jika berdasarkan verifikasi:a) indikasi pemalsuan tidak terbukti, Bank wajib:
i. melakukan pembayaran atau pemindah-bukuan melalui mekanisme transfer danaapabila Cek dan/atau Bilyet Giro memenuhipersyaratan;
ii. menolak Cek dan/atau Bilyet Giro apabilaCek dan/atau Bilyet Giro tidak memenuhipersyaratan,
dan menginformasikannya kepada Pemegangatau Bank Penagih.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Perubahan atas SuratEdaran Bank IndonesiaNomor 18/7/DPSP tanggal2 Mei 2016 perihalPenyelenggaraan TransferDana dan Kliring Berjadwaloleh Bank Indonesia
25. 18/40/DPSP
189
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b) indikasi pemalsuan terbukti, Bank wajib:i. menginformasikan indikasi pemalsuan Cek
dan/atau Bilyet Giro kepada Penarik untukdapat diproses secara hukum;
ii. melaporkan indikasi pemalsuan Cek dan/atauBilyet Giro sesuai ketentuan yang berlaku;
iii. melaporkan kepada Bank Indonesiamengenai penyalahgunaan Cek dan/atauBilyet Giro; dan
iv. menginformasikan pemalsuan ataumanipulasi Cek dan/atau Bilyet Giro kepadaBank Penerima.
f. Pengenaan biaya administrasi permohonan pembatalanpenolakan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong belumtermasuk Pajak Pertambahan Nilai.
g. Kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan berkalapenggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro selam periode 1Januari sampai dengan 31 Desember yang disampaikanpaling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
3. Ketentuan dalam perubahan SEBI DHN ini mulai berlakupada tanggal 1 April 2017.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahanatas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana danKliring Berjadwal oleh Bank Indonesia.
2. Pokok-pokok materi pengaturan SEBI tersebut adalahsebagai berikut:a. Pengaturan bahwa penyerahan Warkat Debit berupa
cek dan/atau bilyet giro kepada Peserta pengirim harusdilakukan oleh nasabah penerima atau pihak yangmenerima kuasa dari nasabah penerima.
b. Pembatasan nilai nominal Warkat Debit, yaitu:1) untuk cek dan/atau bilyet giro, dibatasi paling tinggi
sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);dan
2) untuk nota debit tidak dibatasi.c. Penyesuaian pengaturan mengenai penahanan Warkat
Debit karena adanya dugaan tindak pidana, yaitu:1) Penahanan Warkat Debit dilakukan dengan
membuat surat keterangan penahanan bahwaPeserta penerima telah menerima serta menahanWarkat Debit karena:
2) hilang atau dicuri berdasarkan surat keterangan darikepolisian; dan/atau
Perihal RingkasanNo. Peraturan
190
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
PenyelenggaraanPemrosesan TransaksiPembayaran
26. 18/41/DKSP
3) terdapat indikasi pemalsuan, sehingga wajibdilakukan verifikasi,
4) Surat keterangan penahanan tersebut disampaikankepada Peserta pengirim untuk selanjutnyadiinformasikan kepada nasabah penagih.
5) Apabila penahanan Warkat Debit dilakukan karenaterdapat indikasi pemalsuan, Peserta penerima wajibmenyampaikan hasil verifikasi kepada Pesertapengirim paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya.
d. Penyesuaian mengenai perhitungan dan pembebananWarkat Debit oleh Koordinator PWD yang melakukanpertukaran Warkat Debit secara otomasi yaitu:1) perhitungan jumlah lembar Warkat Debit reject
yang diserahkan oleh Peserta pengirim dilakukanterhadap Warkat Debit reject pada field nominaldan dibebankan kepada Peserta pengirim;
2) perhitungan jumlah lembar Warkat Debit reject yangditerima dilakukan terhadap Warkat Debit rejectpada field nomor seri, sandi kliring, nomor rekening,dan kode transaksi dan dibebankan kepada Pesertapenerima.
3. Ketentuan dalam SEBI Penyelenggaraan Transfer Dana danKliring Berjadwal oleh Bank Indonesia ini mulai berlakupada tanggal 1 April 2017.
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/41/DKSP perihalPenyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (SEBIPTP) diterbitkan sehubungan dengan telah diundangkannyaPeraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentangPenyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran padatanggal 9 November 2016 (PBI PTP). SEBI ini berisi pengaturanteknis atas materi ketentuan yang diatur dalam PBI PTPdalam rangka memperjelas dan memberikan pedomanterhadap penyelenggaraan pemrosesan transaksipembayaran.
2. Pokok-pokok pengaturan SEBI PTP meliputi:a. persyaratan, tata cara, dan pemrosesan permohonan
izin sebagai Penyelenggara Switching, PenyelenggaraPayment Gateway, dan Penyelenggara DompetElektronik;
b. persyaratan, tata cara, dan pemrosesan permohonanpersetujuan pengembangan kegiatan jasa sistempembayaran, pengembangan produk dan aktivitas jasasistem pembayaran, dan kerja sama;
Perihal RingkasanNo. Peraturan
191
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
c. persyaratan kepemilikan saham bagi Prinsipal,Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, danPenyelenggara Penyelesaian Akhir;
d. pemrosesan transaksi pembayaran secara domestik;e. penyelenggaraan Dompet Elektronik yang dapat
menyimpan data instrumen dan menampung dana;f. pengawasan dan laporan penyelenggaraan kegiatan
jasa sistem pembayaran;g. penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengambil-
alihan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran;h. tata cara pengenaan sanksi administratif; dani. pencabutan izin Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran
atas permintaan sendiri.3. Pihak yang akan mengajukan izin sebagai Penyelenggara
Switching, Penyelenggara Payment Gateway, danPenyelenggara Dompet Elektronik wajib memenuhipersyaratan umum dan persyaratan aspek kelayakan sebagaiPenyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang meliputilegalitas dan profil perusahaan, hukum, kesiapan operasional,keamanan dan keandalan sistem, kelayakan bisnis,kecukupan manajemen risiko, dan perlindungan konsumen.
4. Pemenuhan persyaratan umum dan persyaratan aspekkelayakan sebagaimana dimaksud pada angka 3 bagiLembaga Selain Bank yang mengajukan izin sebagaiPenyelenggara Dompet Elektronik juga mempertimbangkankecukupan modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00(tiga milyar rupiah).
5. Bagi pihak yang mengajukan izin sebagai Prinsipal,Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, danPenyelenggara Penyelesaian Akhir harus berbentuk perseroanterbatas yang paling sedikit 80% sahamnya dimiliki oleh:a. WNI; dan/ataub. badan hukum Indonesia.Dalam hal terdapat kepemilikan asing, maka perhitunganjumlah kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikansecara langsung dan kepemilikan secara tidak langsung.
6. Perhitungan kepemilikan saham sebagaimana dimaksudpada angka 5 untuk saham perseroan terbuka hanyadilakukan terhadap kepemilikan saham dengan persentase5% (lima persen) atau lebih.
7. Kepemilikan asing sebagaimana dimaksud pada angka 5dihitung sebagai berikut:a. kepemilikan langsung dihitung berdasarkan 1 (satu)
jenjang kepemilikan saham di atas calon Prinsipal,Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, danPenyelenggara Penyelesaian Akhir; dan
Perihal RingkasanNo. Peraturan
192
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
b. kepemilikan tidak langsung dihitung berdasarkan 2(dua) jenjang kepemilikan saham di atas calon Prinsipal,Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring, danPenyelenggara Penyelesaian Akhir.
8. Pemrosesan permohonan izin atau persetujuan BankIndonesia melakukan:a. penelitian administratif berupa penelitian kelengkapan,
kebenaran dan kesesuaian dokumen;b. analisis terhadap kelayakan bisnis calon atau
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; danc. pemeriksaan (on-site) terhadap calon atau Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran.9. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah
memperoleh izin atau persetujuan Bank Indonesia wajibmenyelenggarakan kegiatannya paling lambat 180 (seratusdelapan puluh) hari sejak tanggal surat pemberian izinatau persetujuan dari Bank Indonesia.
10.Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajibmenyelenggarakan pemrosesan transaksi pembayaransecara domestik. Transaksi pembayaran yang wajib diprosessecara domestik adalah transaksi pembayaran yang:a. menggunakan instrumen pembayaran yang diterbitkan
oleh Penerbit di Indonesia atau menggunakan layananpembayaran yang disediakan oleh Penyelenggara JasaSistem Pembayaran; dan
b. dilakukan di wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
11.Dana yang ditampung dalam Dompet Elektronik hanyadapat digunakan untuk tujuan pembayaran yang mencakup:a. pembayaran transaksi belanja (purchasing); danb. pembayaran tagihan.
12.Batas dana yang dapat ditampung dalam Dompet Elektronikpaling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
13.Penyelenggara Payment Gateway yang melakukan fungsiuntuk menyelesaikan pembayaran kepada pedagang(merchant aggregator) wajib:a. memiliki dan menjalankan mekanisme dan prosedur
mengenai:1) asesmen kelayakan pedagang (merchant acquisition)
yang difasilitasi dengan penyediaan PaymentGateway; dan
2) penyelesaian pembayaran kepada pedagang.b. melakukan evaluasi terhadap kelancaran dan keamanan
transaksi pembayaran yang dilakukan melalui pedagang.14.Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia bertujuan
untuk:
Perihal RingkasanNo. Peraturan
193
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
a. menilai kepatuhan Penyelenggara Jasa SistemPembayaran terhadap peraturan perundang-undangandi bidang sistem pembayaran; dan
b. memastikan penyelenggaraan sistem pembayarandilakukan secara lancar, aman, efisien, dan andal sertadengan memperhatikan perluasan akses, perlindungankonsumen, dan kepentingan nasional serta mengacupada peraturan perundang-undangan.
15.Jenis laporan yang wajib disampaikan oleh PenyelenggaraSwitching, Penyelenggara Payment Gateway, danPenyelenggara Dompet Elektronik, serta Bank yangmenyelenggarakan Proprietary Channel meliputi:a. Laporan berkala, terdiri atas:
1) laporan bulanan, yang paling sedikit memuatinformasi mengenai nilai dan volume transaksi;
2) laporan triwulanan, yang paling sedikit memuatinformasi mengenai pencatatan dan penagananfraud yang terjadi;
3) laporan tahunan, yaitu laporan rencana bisnispenyelenggaraan jasa sistem pembayaran; dan
4) laporan hasil audit sistem informasi secara berkalapaling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
b. Laporan insidental, terdiri atas:1) laporan gangguan dalam pemrosesan transaksi
pembayaran;2) laporan perubahan modal dan/atau perubahan
susunan pemegang saham serta perubahan susunanpengurus;
3) laporan terjadinya force majeure;4) laporan perubahan data dan informasi pada
dokumen perizinan; dan5) laporan lainnya.
16.Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada angka 15berlaku juga bagi Prinsipal, Penerbit, Acquirer, PenyelenggaraKliring, dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
17.Dalam hal terjadi pengambilalihan terhadap PenyelenggaraJasa Sistem Pembayaran berlaku ketentuan sebagai berikut:a. dalam hal pengambilalihan akan dilakukan oleh
Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Bankmaka Bank tersebut wajib menyampaikan laporan secaratertulis mengenai rencana pengambilalihan tersebutkepada Bank Indonesia; dan
b. dalam hal pengambilalihan akan dilakukan olehPenyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa LembagaSelain Bank maka Lembaga Selain Bank tersebut wajibmenyampaikan permohonan persetujuan secara tertuliskepada Bank Indonesia.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Kegiatan Usaha PenukaranValuta Asing Bukan Bank
27. 18/42/DKSP
194
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan denganpertimbangan bahwa perlu diatur ketentuan pelaksanaanPeraturan Bank Indonesia Nomor 18/20/PBI/2016 tentangKegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank(KUPVA BB).
2. Hal-hal yang diatur dalam SEBI ini meliputi;a. penyelesaian transaksi jual dan beli Uang Kertas Asing
(UKA) terhadap Rupiah;b. kriteria pembelian UKA dengan dokumen underlying
transaksi;c. larangan bagi Penyelenggara untuk mengenakan biaya
dalam melakukan jual dan beli UKA kepada Nasabah;d. tata cara penanganan dan penyelesaian pengaduan
Nasabah;e. persyaratan dokumen dan tata cara permohonan izin
sebagai Penyelenggara;f. masa berlaku dan tata cara pengajuan perpanjangan
izin;g. materi pelatihan atau sertifikasi bagi Direksih. pencantuman logo, sertifikat dan nama dagang;i. proses pembukaan kantor cabang dan gerai,
pemindahan alamat dan penutupan kantor cabang;j. penghentian kegiatan usaha;k. tata cara pelaksanaan kerja sama dengan pihak selain
Penyelenggara; danl. persyaratan jual dan beli UKA dikawasan perbatasan.
3. Kewajiban Penyelenggara dalam penerapan prinsipperlindungan konsumen, yaitu prinsip keadilan dankeandalan, prinsip transparansi, prinsip perlindungan datadan/atau informasi konsumen, serta prinsip penanganandan penyelesaian pengaduan konsumen secara efektif.
4. Tahapan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalammelakukan pemrosesan izin adalah:a. penelitian pemenuhan persyaratan kelembagaan dan
kondisi keuangan;b. penelitian pemenuhan persyaratan sebagai anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegangsaham calon Penyelenggara;
c. pemeriksaan lokasi tempat usaha calon Penyelenggara;dan
d. penyuluhan ketentuan.5. Dalam hal Penyelenggara telah memperoleh izin wajib
melaksanakan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 30(tiga puluh) hari sejak tanggal surat pemberitahuan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
195
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
6. Izin sebagai Penyelenggara KUPVA BB berlaku selama 5(lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberian izin dandapat diperpanjang berdasarkan permohonan Penyelenggarakepada Bank Indonesia
7. Pencabutan izin usaha KUPVA BB bisa dilakukan oleh BankIndonesia apabila:a. Penyelenggara tidak lagi beroperasi atau melakukan
kegiatan usaha;b. Penyelenggara tidak lagi memiliki pengurus aktif yang
bertanggungjawab; dan/atauc. Penyelenggara melakukan pemindahan alamat lokasi
usaha tanpa persetujuan Bank Indonesia.8. Apabila terdapat perubahan anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham, maka calonanggota Direksi, calon anggota Dewan Komisaris, dan/ataupemegang saham wajib memperoleh persetujuan terlebihdahulu dari Bank Indonesia.
9. Anggota Direksi penyelenggara KUPVA BB harus mengikutipelatihan/sertifikasi yang mendukung penyelenggaraanKUPVA BB, antara lain materi mengenai Anti PencucianUang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, pengelolaankeuangan (bisnis), manajemen umum, manajemen risiko,atau materi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usahapenukaran valuta asing.
10.Penyelenggara KUPVA BB dalam menjalankan kegiatanusaha wajib mencantumkan:a. logo Penyelenggara KUPVA BB berizin;b. sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
danc. papan nama yang bertuliskan "Penyelenggara Kegiatan
Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” atau ”AuthorizedMoney Changer”, nama Perseroan TerbatasPenyelenggara dan nama dagang, dan nomor dantanggal Surat Keputusan Pemberian Izin Usaha (KPmIU).
11.Penyelenggara KUPVA BB yang akan menyelenggarakanpembukaan kantor cabang harus menjalankan kegiatanusahanya paling sedikit 2 (dua) tahun sejak tanggaldikeluarkannya izin dan memenuhi persyaratan modaldisetor.
12.Pembukaan gerai (counter) dapat dilakukan denganpersyaratan untuk mendukung kegiatan tertentu antaralain pameran atau kegiatan internasional, dilakukan diwilayah kantor pusat dan/atau di wilayah kantor cabangPenyelenggara dan dilakukan paling lama 1 (satu) bulandan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
196
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
13.Penyelenggara KUPVA BB wajib menyampaikan laporankepada Bank Indonesia berupa:a. Laporan Berkala, yang terdiri atas:
1) Laporan Kegiatan Usaha (LKU)Laporan Kegiatan Usaha (LKU) yaitu laporan transaksipenjualan dan pembelian UKA, dan laporan transaksipembelian Cek Pelawat; dan
2) Laporan KeuanganLaporan Keuangan yaitu Neraca (Laporan PosisiKeuangan), Laporan Laba Rugi, dan LaporanPerubahan Ekuitas akhir tahun.
b. Laporan Insidental yang antara lain terdiri atas:1) laporan pengangkatan Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau perubahan pemegang saham;2) laporan keikutsertaan anggota Direksi dalam
pelatihan/sertifikasi;3) laporan pelaksanaan pembukaan kantor cabang;4) laporan rencana pembukaan gerai (counter);5) laporan pelaksanaan pemindahan alamat kantor;6) laporan perubahan nama Perseroan Terbatas;7) laporan perubahan modal dasar dan/atau modal
disetor;8) laporan gangguan dalam kegiatan usaha penukaran
valuta asing termasuk upaya yang telah dilakukanuntuk menanggulanginya;
9) laporan terjadinya force majeure yaitu suatu keadaanyang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara yangmenyebabkan kegiatan usaha tidak dapat dilakukanyang diakibatkan oleh, tetapi tidak terbatas padakebakaran, kerusuhan massa, sabotase, sertabencana alam seperti gempa bumi dan banjir yangdinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yangberwenang setempat, termasuk Bank Indonesia;
10) laporan pelaksanaan kerjasama dengan hotel ataubadan usaha sejenis hotel; dan
11) laporan lainnya yang sewaktu-waktu diminta BankIndonesia seperti laporan kurs valuta asing tanggaltertentu, laporan transaksi keuangan tertentu, danlaporan rencana kerja sama.
14.Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadapPenyelenggara secara langsung dengan cara pemeriksaanatas kegiatan usaha Penyelenggara untuk meneliti danmengevaluasi tingkat kepatuhan Penyelenggara terhadapketentuan dan secara tidak langsung yang merupakantindakan pemantauan yang dilakukan dalam bentuk analisisterhadap laporan yang disampaikan Penyelenggara atauinformasi dari pihak lain.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
197
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 2, Juli - Desember 2016
15.Penyelenggara KUPVA BB bisa melakukan kerja samadengan pihak selain Penyelenggara KUPVA BB (hotel ataubadan usaha di bidang penyediaan jasa akomodasi) untukmelakukan kegiatan pembelian UKA dengan persetujuanBank Indonesia.
16.Pihak selain Penyelenggara KUPVA BB yang melakukanjual dan beli UKA di kawasan perbatasan Indonesia harusberupa badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha dikawasan perbatasan Indonesia dan wajib terlebih dahulumemperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
17.Penyelenggara KUPVA BB yang melanggar ketentuan dalamSurat Edaran Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratifberupa:a. teguran tertulis;b. kewajiban membayar;c. penghentian kegiatan usaha; dan/ataud. pencabutan izin.
18.Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal30 Desember 2016.