Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM PRAKTIK RISK DISCLOSURE
PADA PERBANKAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH:
FIRAZONIA MEIVITASARI
NIM. F0307051
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
MOTTO
Sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan, (QS. Al Insyiroh: 6)
Jika kamu mendapat kesusahan, ingatlah menyimpan kesabaran (Horatius)
Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang paling takut pada perubahan (Mognon Me Lauhlin)
Agama tanpa ilmu adalah buta.
Ilmu tanpa agama adalah lumpuh (Albert Einstein)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PERSEMBAHAN
I dedicated my ordinary paper
to
all extraordinary people in
the world
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peran Board of Directors dalam Praktik Risk Disclosure
pada Perbankan Indonesia”, sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat-syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Sebelas
Maret.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons), Ph.D, Ak. selaku
pembimbing skripsi atas semua kritik, saran, nasihat, dan perhatianya yang
sangat membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik.
4. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, serta karyawan FE UNS, terimakasih atas
semua ilmu dan pengalaman hidup yang begitu berharga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
5. Papa dan mama tercinta atas semua doa dan dukungannya, terima kasih
sudah memberikan yang terbaik selama ini yang tak mungkin terbalas
dengan apapun. Papa mama yang tak pernah lelah mendengar keluhan
anaknya, I love you ma, I love you pa.
6. Ega Krisma/mubi/popo si alien dari planet Pluto, very special and
extraordinary man i’ve ever met. Beberapa langkah lagi menuju cita-cita
kita ke Emirates Stadium. Makasih juga buat vario biru dan helm tawon
yang sudah mengantarkan kita kemana-mana selama ini.
7. The big family of Sri Mulyono (bapak, alm. Ibu, alm. om erik, tante nana,
mama lin, tante nik, om kembar, om wawan, dan adek2ku semua, kalian
harus sukses), kel. Hasan Basri (alm. nenek, kakek, om om, tante tante,
kakak kakak, dan adik adikku), and Soegeng Band (bunda, bapak, mas
edo, eyang, dan semunya, you rocks!)
8. My MDM (mademoisseless) ira, ichie, hilda, dea, dinna, kiki, reny, tania,
lia, dania and also four brothers andrie, eci, pape, iwak. FE ga menarik
tanpa kalian. Bakal sangat merindukan saat saat muda dulu.
9. The Djs Community especially erna, umi, ane, and mas sawit. Temen
seperjuangan selama beberapa bulan terakhir untuk menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih buat sharing dan koreksiannya.
10. Keluarga besar AGEN 007 FE UNS (andin, diana, ayus, endah, adu, dee,
silvy, nani, dewok, ana, meldhan, sari, eva, rini, ria, bimo, bolang, sepep,
neesya, made ayu, rina, sanda, asmara, sofi, tia, irma, cuiy, ichie, nia, erna,
ane, umi, ve, ifa, ira, fajrika, irla, putri, ratih, rija, yandi, basri, anang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
ndok, moyo, fitrah, angga, iwak, mek, timo, andri, tafik, fat, mimin,
murdiani, aniz, suci, dela, novi, dewilis, mba sri, puspa, dewi indrias, dina,
miol, mba opi, ery, ajeng, mike, aninda, adikur, ragil, dedi, spirtuz, peka,
tri, fariz, awang, herman, smuanya.. thx for all..
11. Temen2 di BAPEMA (mas hevy, mb warih, boy, mba lita, adhi, ega,
deniz, agung, arif, ciput, angga, dj, fa, nila, eva, ofa, nunu, intan, mas anip)
12. Keluarga besar kos salita (ira, tantiw, ndok, niken, korek, donat, mba je,
mba ayu, indul, mba una, dimi, fany, tetua2 dan adek2 kos yang lain).
13. Mas mas dan mba mba yang baik banget, telah memberikan banyak
bantuan dan sering aku repotin (mas bes, mas rofi, mba putri, mas denny
dhuwur, mas panji, mas alfin, mas denis, mba reisya, mas iok, mas bo, dll)
14. Pak man & pak pur, makasih buat doa2 yang diberikan tiap kali ketemu
dan juga perhatian bapak, dan juga pak timin, makasih pak.
15. Temen temen yang belum disebutkan di sini karena keterbatasan tempat,
maaf dan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan yang berkelanjutan.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Surakarta, Maret 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ………………………………………………………….
ABSTRACT ……………………………………………………….......
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………..................
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………...........
HALAMAN MOTTO ……………………………………………........
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………….......
KATA PENGANTAR …………………………………………….......
DAFTAR ISI ………………………………………………………......
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….........
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….......
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………..........
A. Latar Belakang ...............……………………………….........
B. Rumusan Masalah ……………………………………….......
C. Tujuan Penelitian …………………………………………....
D. Manfaat Penelitian ………………………………………......
E. Sistematika Laporan …………………………………............
ii
iii
iv v
vi
vii
viii
xi
xiv
xv
xvi 1
1 8 8 9
10
11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................
A. Telaah Literatur..…………………………..............................
1. Risk Disclosure……………………………………………......
2. Corporate Governance .....................................................
3. Board of Directors .…..……………………………….....
B. Kaitan Board of Directors dengan Risk Disclosure …………
C. Skema Konsep Penelitian ........................................................
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis................
BAB III. METODE PENELITIAN ………………………….................
A. Desain Penelitian......................................................................
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampel......................................
C. Data dan Metode Pengumpulan Data ......................................
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ......................
E. Metode Analisis Data ..............................................................
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ……………....................
A. Deskriptif Data........................................................................
1. Seleksi Sampel...................................................................
2. Statistik Deskriptif ............................................................
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan .....................................
Analisis Regresi Berganda ......................................................
BAB V. PENUTUP ..................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................
B. Saran ......................................................................................
11
11
17
21
24
26
28
33
33
33
34
35
40
45
45
45
46
57
58
68
68
70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
C. Keterbatasan ..........................................................................
D. Rekomendasi ..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
LAMPIRAN
71
71
72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1
2.2
3.1
4.1
4.2
4.3
4.4
Ketentuan yang mengatur Pengungkapan Risiko...............
Perbandingan Klasifikasi Risiko ........................................
Nilai Durbin-Watson ………………………………………….
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian .......…..................
Statistik Deskriptif Pengungkapan Risiko ……..................
Tingkat Pengungkapan Risiko …………...........................
Statistik Deskriptif Variabel Independen ...........................
12
15
44
45
46
49
51
4.5 Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris ………….. 54
4.6 Latar Belakang Etnis Komisaris Utama …………………. 56
4.7 Hasil Regresi Berganda ………………………………….. 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Skema Klasifikasi Risiko yang Digunakan ........................ 16
2.2 Struktur Board of Directors dalam One Tier System …… 19
2.3 Struktur Board of Commissioner dan Board of Directors
dalam Two Tier System yang Diadopsi Belanda ………...
20
2.4 Struktur Board of Directors dalam Two Tiers System
yang Diadopsi Indonesia …………………………………
21
2.5 Skema Konsep Penelitian ………………………………... 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Summary Item Pengungkapan Risiko
Lampiran 2 Daftar Perusahaan dengan Tingkat Risk Disclosure
Lampiran 3 Descriptive Statistic
Lampiran 4 Uji Asumsi Klasik
Lampiran 5 Analisis Regresi Berganda
Lampiran 6 Uji T-Test
Lampiran 7 Analysis of Variance
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM PRAKTIK RISK DISCLOSURE
PADA PERBANKAN INDONESIA
ABSTRAKSI
FIRAZONIA MEIVITASARI
F0307051
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors dalam praktik risk disclosure pada perbankan Indonesia. Board of directors direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama. Penelitian ini menggunakan leverage dan profitabilitas sebagai variabel kontrol.
Pengukuran tingkat risk disclosure dalam penelitian ini menggunakan teknik scoring sesuai penelitian Oorschot (2009) dengan menggunakan item yang terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 73 perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009. Sampel tersebut dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Rerata tingkat risk disclosure sebesar 42,12%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pengungkapan risiko pada perbankan di Indonesia ternyata masih rendah mengingat risk disclosure adalah salah satu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 50 (2006), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, dan P3LKEPPBANK (2008). Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil pengujian regresi berganda menunjukkan bahwa board of directors mempengaruhi tingkat risk disclosure. Variabel independen (board of directors) yang mempengaruhi tingkat risk disclosure yaitu ukuran dewan komisaris (board size). Peran dewan komisaris dalam menjalankan dua fungsi utamanya (fungsi servis dan fungsi kontrol) telah dilaksanakan dengan baik pada perbankan. Dewan komisaris melakasanakan fungsi servis dengan memberikan jasa konsultasi dan konseling yang berkualitas bagi manajemen. Fungsi kontrol dilakukan dengan memberikan pengawasan yang optimal terhadap proses pelaksanaan corporate governance.Variabel lainnya yaitu komposisi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama tidak berpengaruh terhadap risk disclosure.
Kata kunci: risk disclosure, board of directors, corporate governance, perbankan
Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM PRAKTIK RISK DISCLOSURE
PADA PERBANKAN INDONESIA
ABSTRACT
FIRAZONIA MEIVITASARI
F0307051
The purpose of this study is to investigate impact of board of directors to risk disclosure of Indonesian banks. Board of directors are identified as board size, proportion of independent directors, educational background of directors, and cultural background of president director. This study also uses leverage and profitability as control variable.
The level of risk disclosure is measured based on items identified on Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Under purposive sampling, secondary data of 73 annual reports year 2007-2009 of banks listed in Indonesian Stock Exchange are selected.
The average level of risk disclosure is 42,12%. This number indicates that Indonesian banks are not fully compliance to PSAK No. 50 (revised 2006) PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, and P3LKEPPBANK (2008) since risk disclosure is as mandatory matters. In accordance to the purpose of the study, the result of multiple regression shows that board of directors affect the level of risk disclosure through the variable board size. Board of directors do their both service and controll function well. The greater board of directors not only serve quality consulting service to management, but also give the optimal control to ensure that companies implement corporate governance. Other variables, proportion of independent directors, educational background of directors, and cultural background of president director are not good predictors for level of risk disclosure.
Key words: risk disclosure, board of directors, corporate governance, Indonesian
banks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab yang pertama ini akan menjelaskan mengenai latar belakang
dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika dari
penulisan penelitian ini.
A. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors dalam risk
disclosure pada perbankan Indonesia. Peran board of directors direpresentasikan
oleh ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang
pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama.
Menurut Meek, Roberts, dan Gray (1995) informasi yang diungkapkan
dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu pengungkapan
wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh
peraturan yang berlaku. Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas
manajemen perusahaan untuk pembuatan keputusan oleh para pengguna laporan
tahunannya.
Di Indonesia, ketentuan mengenai persyaratan pengungkapan risiko dalam
laporan tahunan secara eksplisit dapat ditemukan pada (1) PSAK No. 50 (Revisi
2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, dan (2)
Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban
Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik. Risiko yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
2
wajib dinilai adalah risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional,
risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategi, dan risiko kepatuhan. Ketentuan
tersebut diperkuat oleh Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-
02/BL/2008 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan
Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (P3LKEPPBANK, 2008).
Dengan kata lain, pengungkapan atas risiko yang dilakukan oleh perbankan di
Indonesia, bukan merupakan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) lagi,
tetapi merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), bank adalah
lembaga intermediasi yang dalam menjalankan kegiatan usahanya bergantung
pada dana masyarakat dan kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.
Kegiatan operasional bank yang berhubungan dengan aktivitas pendanaan dan
investasi mengakibatkan bank dihadapkan pada risiko yang besar. Oleh karena itu,
perlu adanya pengungkapan yang dapat memberikan informasi mengenai risiko
yang terkait dengan kegiatan operasional bank tersebut.
Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa (events)
tertentu (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009). Manajemen risiko
adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul
dari seluruh kegiatan usaha bank (Peraturan Bank Indonesia Nomor:
11/25/PBI/2009). Untuk mengawal pelaksanaan strategi dalam mengendalikan
risiko, perlu adanya pengawasan dan pengendalian dalam proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
3
pengimplementasian strategi tersebut. Manajemen risiko dianggap sebagai bagian
integral dari pengendalian internal dan tata kelola perusahaan.
Pengungkapan informasi tentang risiko dan ketidakpastian telah menjadi
bagian yang penting dari pelaporan keuangan (Linsmeier dan Peason, 1997).
Pengungkapan risiko yang baik dapat mengurangi ketidakpastian investasi
sehingga investor dapat menggunakan informasi ini agar dapat mengambil
keputusan dengan tepat.
Forum for Corporate Governance in Indonesia atau FCGI (2002)
menyatakan corporate governance bertujuan menciptakaan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan. Pihak tersebut adalah pihak internal yang
meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi
investor, kreditur, pemerintah, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan
(stakeholders). Kelengkapan pengungkapan risiko yang dilakukan oleh
perusahaan merupakan salah satu nilai tambah bagi stakeholder, sehingga
corporate governance yang baik diharapkan dapat menambah kualitas
pengungkapan risiko.
Menurut Organization for Economic Corporation and Development
(OECD) yang diuraikan di dalam FCGI (2002), prinsip dasar corporate
governance adalah kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability),
transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Praktik yang
diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan
dewan komisaris (board of directors) untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
4
pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan
kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
Board of directors atau dewan komisaris memiliki dua fungsi utama di
dalam sebuah perusahaan (Wahyudi, 2010). Fungsi servis menyatakan bahwa
dewan komisaris dapat memberikan konsultasi dan nasihat kepada manajemen.
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris (dalam teori agensi)
mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik
manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan kepentingan pemegang
saham dan manajer (Wahyudi, 2010). Board of directors atau dewan komisaris
merupakan inti dari corporate governance (FCGI, 2002). Terdapat empat faktor
penting board of directors yaitu ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis
komisaris utama.
Pertama adalah ukuran dewan komisaris. Ukuran dewan komisaris adalah
banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan (Wahyudi,
2010). Semakin besar ukuran dewan komisaris semakin efektif dalam
pengendalian perusahaan (Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrand, 1999). Collier
dan Gregory (1999), menyatakan semakin besar jumlah dewan anggota dewan
komisaris, semakin mudah untuk mengendalikan chief executif officer (CEO) dan
semakin efektif dalam memonitor aktivitas manajemen.
Komisaris independen memiliki peran yang kuat untuk mempengaruhi
perusahaan dalam pengambilan keputusan dan mereka harus memelihara
reputasinya sebagai dewan pengawas (Cheng dan Courtenay, 2006). Abraham dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
5
Cox (2007) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara proporsi
komisaris independen dengan pelaporan/pengungkapan risiko perusahaan.
Proporsi komisaris independen merupakan perbandingan jumlah komisaris
independen dengan jumlah komisaris secara keseluruhan. Komisaris independen
mengacu pada dewan sebagai pengawas internal atas pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh perusahaan dan berkewajiban melindungi kepentingan dari
pemegang saham (Fama, 1980).
Latar belakang pendidikan dewan komisaris dinilai mempengaruhi kualitas
keputusan dan masukan yang diberikan kepada direksi. Suhardjanto dan Afni
(2009) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama
merupakan faktor yang menentukan diungkapkan atau tidaknya social disclosure
pada annual report perusahaan. Apabila dewan komisaris memiliki latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang pekerjaannya, diharapkan dewan komisaris lebih
memahami dan mengerti mengenai bisnis yang dikelolanya. Oleh karena itu, latar
belakang pendidikan dewan komisaris diharapkan dapat mendukung keluasan
pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.
Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2007) menunjukkan adanya pengaruh
antara nilai perusahaan dengan faktor etnis komisaris utama. Penelitian
Suhardjanto dan Anggitarani (2010) menunjukkan bahwa latar belakang etnis
komisaris utama berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Nurudin
(2004) mengungkapkan Tionghoa sebagai etnis minoritas memiliki kebudayaan
ulet, hemat, serta gigih sehingga hal ini memungkinkan mereka dapat bertahan
dan berhasil dalam menjalankan bisnis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
6
Fokus pemilihan perbankan sebagai objek penelitian karena bank
merupakan lembaga yang dikenal sebagai risk taking entities (Oorschot, 2009).
Dalam menjalankan aktivitas operasinya, bank lebih banyak berhubungan dengan
risiko jika dibandingkan dengan perusahaan manufaktur dan perusahaan lainnya.
Perbankan memiliki aturan khusus yang berbeda dengan non-perbankan.
Perbankan dianggap memiliki tingkat regulasi yang tinggi (Nasution dan
Setiawan, 2007) seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (highly
regulated). Perbankan juga merupakan industri kepercayaan, apabila tidak ada
kepercayaan masyarakat terhadap laporan keuangan dimungkinkan akan
terjadinya penarikan dana oleh nasabah yang dikhawatirkan menimbulkan
terjadinya rush (Nasution dan Setiawan, 2007). Sejak terjadinya krisis keuangan
tahun 2007, perhatian terhadap pengungkapan risiko sebagai bentuk pengawasan
dan transparansi informasi dalam industri perbankan mengalami peningkatan
sehingga penelitian ini menjadi relevan untuk dilakukan karena dapat memberikan
kontribusi untuk penelitian selanjutnya terkait dengan risk disclosure di Indonesia.
Kasus skandal laporan keuangan ganda Bank Lippo menjadi salah satu
contoh keengganan perbankan untuk mengungkapkan berapa besar laba yang
diperoleh oleh perusahaan yang sesungguhnya. Kasus Bank Lippo muncul setelah
bank itu diketahui mengeluarkan tiga laporan keuangan per 30 September 2002
yang berbeda, yaitu yang diiklankan di surat kabar pada 28 Nopember 2002, yang
disampaikan ke BEI pada 27 Desember 2002, dan yang disampaikan ke
manajemen Bank Lippo 6 Januari 2003 (http://suaramerdeka.com, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
7
Kurangnya transparansi yang dilakukan pihak manajemen bank kepada
stakeholder, merupakan salah satu penyebab utama maraknya kasus bank
bermasalah yang terjadi di Indonesia. Penyebab lainnya, yaitu tugas dan tanggung
jawab dewan komisaris selaku pengawas pelaksanaan corporate governance pada
perbankan belum dilaksanakan dengan baik (http://www.tempointeraktif.com,
2009). Beberapa kasus lain dengan penyebab yang serupa yaitu likuidasi 16 bank1
pada tahun 1997, kasus kredit macet yang menyebabkan likuidasi Bank Summa
pada tahun 1992, kasus L/C (letter of credit) fiktif Bank BNI tahun 2006, kasus
pembekuan usaha Bank Global pada tahun 2004, kasus Bank Century tahun 2008,
dan pembobolan dana melalui anjungan tunai mandiri (ATM), seperti yang terjadi
di Bank BCA tahun 2010 (http://grundelanbankcentury.wordpress.com, 2010).
Helbok dan Wagner (2006) meneliti laporan keuangan dari 59 bank
komersial di Amerika Utara, Asia, dan Eropa pada rentang waktu tahun 1999-
2001. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lembaga keuangan dengan
profitabilitas yang lebih rendah mengungkapkan penilaian dan pengelolaan risiko
operasional dengan lebih luas. Hossain (2008) melakukan penelitian tentang luas
pengungkapan laporan tahunan bank di India. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa board compositions yang diukur dengan proporsi komisaris
independen berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan. Penelitian lainnya
dilakukan oleh Oorschot (2009) pada perbankan di Jerman. Di Indonesia,
penelitian terkait pengungkapan risiko pada perbankan belum pernah dilakukan.
1 Ke 16 bank tersebut adalah Bank Pinaesaan, Bank Anrico, Bank Andromeda, Bank Guna Internasional, Bank Umum Majapahit, Bank Kosagraha Semesta, Bank SEAB, Bank Dwipa Semesta, Bank Industri, Bank Astria Raya, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, Bank Jakarta, Bank Mataram Dhanarta, Bank Pacific, dan Bank Citra Dhanamanungga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
8
Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena belum pernah ada penelitian
yang menghubungkan antara peran board of directors dalam praktik risk
disclosure dengan menggunakan variabel seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti akan melakukan
penelitian2 dengan judul “Peran Board of Directors dalam Praktik Risk
Disclosure pada Perbankan Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, maka yang menjadi
permasalahan pada penelitian ini adalah apakah board of directors yang
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis
komisaris utama berpengaruh terhadap praktik risk disclosure pada perbankan
Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran
dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan
dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama berpengaruh terhadap
praktik risk disclosure pada perbankan Indonesia.
2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), peran merupakan sesuatu yang diharapkan dimiliki seseorang, sedangkan pengaruh adalah daya yang ikut membentuk terjadinya suatu hal. Oleh karena itu, dalam penelitian ini definisi peran direpresentasikan dengan pengaruh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
9
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap
berbagai pihak di bawah ini:
1. Dapat memberikan kontribusi terhadap literatur penelitian akuntansi
khususnya mengenai peran board of directors dalam praktik risk
disclosure di perbankan.
2. Bagi investor, dapat memberikan tambahan informasi mengenai peran
board of directors dalam praktik risk disclosure di perbankan, sehingga
investor dapat lebih memahami tentang risiko yang ada. Investor
diharapkan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
3. Bagi perusahaan, dapat memberikan gambaran kepada perusahaan
mengenai penerapan PSAK No. 50 (Revisi 2006) Instrumen Keuangan:
Penyajian dan Pengungkapan sehingga perusahaan dapat menerapkan
standar tersebut dengan lebih baik. Penelitian ini diharapkan memberikan
gambaran sebagai bahan pertimbangan dalam membantu pengambilan
keputusan di masa mendatang dan memberikan wacana mengenai
pentingnya pengungkapan risiko dalam laporan keuangan.
4. Bagi akademis, penelitian ini dapat menambah wawasan bagi kalangan
akademisi mengenai peran board of directors dalam praktik risk disclosure
di perbankan Indonesia. Dengan bertambahnya referensi mengenai ini,
diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan lain apabila
akan diadakan penelitian yang lebih lanjut oleh kalangan akademisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
10
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat literatur
terkait dengan topik penelitian; kaitan variabel independen
dengan variabel dependen; kerangka konseptual; dan
pengembangan hipotesis.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang desain penelitian; populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel; data dan metode pengumpulan
data; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode
analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif dan pengujian
hipotesis.
BAB IV : Analisis Data
Bab ini menguraikan analisis deskriptif data; pengujian
hipotesis dan pembahasan hasil analisis.
BAB V : Penutup
Bab ini membahas kesimpulan mengenai objek yang diteliti
berdasarkan hasil analisis data, menjelaskan mengenai
keterbatasan penelitian, dan memberikan saran bagi pihak yang
terkait, serta rekomendasi bagi peneliti berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setelah membahas pendahuluan di Bab I, pada Bab II ini menjelaskan
mengenai telaah literatur, kaitan board of directors dengan risk disclosure, skema
konsep penelitian, serta pengembangan hipotesis dalam penelitian ini.
A. Telaah Literatur
Pada telaah literatur dalam penelitian ini dijabarkan mengenai risk
disclosure, corporate governance, dan board of directors termasuk standar dan
aturan terkait dengan masalah tersebut.
1. Risk Disclosure
Pengungkapan risiko merupakan hal baru dalam pengungkapan dan
pelaporan keuangan sehingga konsepnya masih belum berkembang dengan baik.
Pentingnya pengungkapan risiko telah diusulkan selama bertahun-tahun, namun
relatif baru sekarang ini hal tersebut mulai muncul dalam literatur akedemis
maupun kebijakan regulator (Devilin, 2009). Perdebatan mengenai pentingnya
pengungkapan risiko dimulai sejak tahun 1998 ketika Institute of Chartered
Accountants in England and Wales (ICAEW) menerbitkan Financial Reporting of
Risk-Proposals for A Statement of Business Risk yang menyarankan perusahaan
untuk menyajikan pengungkapan mengenai risiko bisnisnya dalam laporan
keuangan (Amran, Bin, dan Hassan 2009).
Pengungkapan risiko penting karena membantu stakeholder dalam
mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami profil risiko dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
12
bagaimana manajemen mengelola risiko. Pengungkapan risiko juga bermanfaat
untuk memonitor risiko dan mendeteksi potensi masalah sehingga dapat
melakukan tindakan lebih awal agar masalah tersebut tidak terjadi (Linsley dan
Shrives, 2006). Informasi risiko juga berguna bagi investor karena dapat
membantu menentukan profil risiko perusahaan, mengurangi asimetri informasi,
memperkirakan nilai pasar, dan menentukan keputusan investasi portofolio
(Abraham dan Cox, 2007 dan Hassan, 2009).
Seiring dengan perkembangan praktik pengungkapan risiko, terdapat
sejumlah persyaratan bagi perusahaan untuk menyediakan informasi tentang
risiko dalam laporan tahunannya. Beberapa contoh mengenai persyaratan
pengungkapan risiko dalam laporan tahunan yang disediakan oleh badan regulator
di beberapa negara masih terlalu umum dan belum mengembangkan kerangka
kerja terintegrasi secara memadai (Devilin, 2009).
Tabel 2.1 Ketentuan yang Mengatur Pengungkapan Risiko
Negara Peraturan Sifat Keterangan USA Financial
Reporting Release No.48, 1997
Wajib FRR 48 mensyaratkan perusahaan yang terdaftar di bursa untuk mengungkapkan informasi kualitatif maupun kuantitaif tentang risiko pasar.
UK Operating and Financial Review, 1992 Combined Code and Corporate Governance, 1998
Sukarela
Sukarela
OFR merekomendasikan perusahaan terdaftar untuk mengikutsertakan tinjauan risiko kunci. Mensyaratkan perusahaan terdaftar untuk mengelola sistem pengendalian internal dan bagaimana sistem tersebut berjalan. Menekankan pada kebutuhan manajemen risiko internal dan mendorong perusahaan melaporkan risiko kuncinya.
Germany German Accounting Standard (GAS) No. 5
Wajib GAS 5 mensyaratkan agar informasi risiko disajikan dalam bagian terpisah dari laporan manajemen yang menyertai laporan keuangan konsolidasi.
Malaysia - Wajib Bursa Malaysia mensyaratkan perusahaan terdaftar untuk menyertakan laporan tentang kondisi pengendalian internal, pengendalian risiko, dan manajemen risiko dalam laporan tahunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
13
Australia ASX Corporate Governance Principle and Recommendations (Principle 7)
- Berisikan tentang pengakuan dan manajemen risiko.
UAE - Sukarela Emirates Securuties and Comodities Market (ES&CM) melalui persyaratan pendaftarannya mendorong perusahaan terdaftar untuk secara penuh mengungkapkan informasi yang berhubungan dengan risiko pada tingkat yang memadai.
Sumber: Berreta dan Bozzolan (2004); Abraham dan Cox (2007); Amran et al (2009); Hassan (2009)
Di Indonesia, ketentuan mengenai persyaratan pengungkapan risiko dalam
laporan tahunan secara eksplisit dapat ditemukan pada (1) PSAK No. 50 (Revisi
2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, dan (2)
Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban
Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik. Menurut
PSAK No. 50 (Revisi 2006), perusahaan yang melakukan transaksi menggunakan
instrumen keuangan disyaratkan untuk menyediakan pengungkapan informasi
risiko dan juga tujuan serta kebijakan manajemen risiko keuangannya. Dalam
Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006, menyatakan bahwa
manajemen wajib mengungkapkan uraian singkat mengenai tata kelola
perusahaan yang meliputi:
“Penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut, misalnya: risiko yang disebabkan oleh fluktuasi kurs atau suku bunga, persaingan usaha, pasokan bahan baku, ketentuan negara lain atau peraturan internasional, dan kebijakan pemerintah”. Peraturan tersebut diperkuat oleh Surat Edaran Ketua Bapepam dengan
Nomor: SE-02/BL/2008 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan
Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (P3LKEPPBANK,
2008) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
14
Pedoman tersebut mewajibkan bank untuk mengungkapkan kebijakan bagi
masing-masing jenis risiko, faktor yang mempengaruhi risiko tersebut, dan
strategi manajemen dalam menanggulangi faktor tersebut, termasuk manajemen
risiko, dan pelaporan profil risiko mereka. Menurut P3LKEPPBANK (2008)
pengungkapan risiko dibagi menjadi dua, yaitu pengungkapan risiko umum dan
pengungkapan risiko khusus.
Risiko yang harus tercakup dalam pengungkapan laporan keuangan menurut
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009 adalah:
a. Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank.
b. Risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
c. Risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
d. Risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
e. Risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
f. Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
g. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
h. Risiko strategi adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategi serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Regulasi mengenai pengungkapan risiko bagi perbankan secara umum di
Indonesia diatur dalam PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, P3LKEPPBANK (2008), dan
PSAK 50 (2006) Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
15
selanjutnya direvisi menjadi PSAK 60 (2010) Instrumen Keuangan:
Pengungkapan. Perbandingan klasifikasi risiko tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perbandingan Klasifikasi Risiko
PBI Nomor: 5/8/PBI/2003
PSAK 50 (2006) Instrumen Keuangan:
Penyajian dan Pengungkapan
P3LKEPPBANK (2008)
Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar Risiko operasional Risiko hukum Risiko reputasi Risiko strategik Risiko kepatuhan
Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar:
- Risiko suku bunga - Risiko mata uang
asing/ risiko nilai kurs
- Risiko harga lainnya
Risiko umum: Risiko kepanikan masyarakat Risiko pemogokan karyawan Risiko kerusuhan dan penjarahan Risiko operasional Risiko investasi Risiko penanganan masalah litigasi Risiko persaingan Risiko khusus: Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar:
- Risiko suku bunga - Risiko nilai tukar rupiah
Risiko solvabilitas Risiko obligasi rekapitalisasi pemerintah Risiko bank penggabungan Risiko teknologi sistem informasi Risiko ketergantungan kepada pemerintah Risiko tidak dilanjutkannya program penjaminan pemerintah Risiko ketergantungan pada deposito berjangka Risiko agunan kredit Risiko pemulihan krisis sektor perbankan Risiko fidusia
Sumber: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006), dan P3LKEPPBANK (2008)
Berdasarkan klasifikasi di atas, pada penelitian ini, klasifikasi risiko yang
digunakan mengacu pada PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 yang dimodifikasi dengan
beberapa peraturan lainnya. Skema pengklasifikasian risiko yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
16
Gambar 2.1
Skema Klasifikasi Risiko yang Digunakan
Klasifikasi ini dipilih karena sampel yang digunakan dalam penelitian
adalah perbankan, sehingga peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
dianggap sebagai regulasi utama. Klasifikasi risiko menurut PBI Nomor:
5/8/PBI/2003 dipilih juga sebagai acuan utama karena sampel yang digunakan
dalam penelitian ini berada pada periode 2007-2009, sehingga PBI Nomor:
5/8/PBI/2003 dianggap relevan terkait dengan sampel sebagai aturan yang
dipakai.
Dalam beberapa peraturan yang ada tidak dijelaskan mengenai item
pengungkapannya. Hal tersebut didukung oleh Devilin (2009) yang menyatakan
bahwa Bapepam maupun IAI belum menyediakan kerangka kerja konseptual
pengungkapan risiko. Oleh karena itu, item pengungkapan dalam penelitian ini
menggunakan item pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum yang ada pada Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
17
No.5/21/DPNP/2003. Pengungkapan risiko pada penelitiaan ini mencakup (1)
pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi, (2) kecukupan kebijakan,
prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko, (3) kecukupan proses
identifikasi, (4) pengukuran, (5) pemantauan dan pengendalian risiko, (6) sistem
informasi manajemen risiko, dan (7) sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Untuk item pengungkapan risiko yang lebih detail dapat dilihat di Lampiran 1.
Agar pengungkapan risiko dalam laporan tahunan mencukupi kebutuhan
informasi para stakeholders dan sesuai dengan peraturan yang ada, maka
diperlukan adanya corporate governance. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Solomon, Solomon, Norton, dan Joseph (2000) yang menyatakan bahwa
pengungkapan risiko merepresentasikan perbaikan praktik corporate governance.
Salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan (corporate governance)
adalah adanya board of directors.
2. Corporate Governance
Corporate governance dipandang sebagai cara yang efektif untuk
menggambarkan hak dan tanggung jawab masing-masing kelompok stakeholder
dalam sebuah perusahaan di mana transparansi merupakan indikator utama
standar corporate governance dalam sebuah ekonomi (Ho dan Wong, 2001).
Forum for Corporate Governace in Indonesia (2002: 1) mendefinisikan
corporate governance sebagai:
"Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan."
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
18
Tujuan corporate governance pada intinya adalah menciptakan nilai tambah
bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam praktiknya corporate governance
berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi,
hukum, struktur kepemilikan, sosial, dan budaya. Perbedaan praktik ini
menimbulkan beberapa versi yang menyangkut prinsip corporate governance,
namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan (Arifin, 2005).
Menurut Organization for Economic Corporation and Development
(OECD) yang diuraikan di dalam FCGI (2002), terdapat empat prinsip dasar
dalam penerapan corporate governance. Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk
mengukur seberapa jauh corporate governance telah diterapkan dalam
perusahaan. Penjelasan keempat prinsip dasar di atas adalah sebagai berikut:
a. Kewajaran (fairness). Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta investor lainnya.
b. Akuntabilitas (accountability). Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit pengawasan yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan komisaris, direksi independen, dan komite audit. Praktik-praktik yang diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
c. Transparansi (transparency). Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor akan tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu, dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sama. Dengan kata lain prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki perusahaan.
d. Responsibilitas (responsibility). Responsibilitas diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
19
peraturan dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Struktur governance diatur oleh Undang-Undang sebagai dasar legalitas
berdirinya sebuah entitas (Arifin, 2005). Terdapat dua macam struktur board
dalam corporate governance yang digunakan oleh perusahaan, pertama model
Anglo-Saxon dan yang kedua model Continental Europe (Arifin, 2005).
Dalam model Anglo-Saxon, perusahaan hanya mempunyai satu dewan
direksi yang pada umumnya merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus
senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang bekerja dangan prinsip
paruh waktu (non-direktur eksekutif). Model Anglo-Saxon ini disebut dengan
single-board system yaitu struktur corporate governanance yang tidak
memisahkan keanggotaan dewan komisaris dan dewan direksi. Biasanya single-
board system ini digunakan pada perusahaan yang berada di Amerika dan Inggris
(Arifin, 2005). Gambar 2.1 di bawah ini adalah skema yang menunjukkan struktur
single-board system.
Gambar 2.2
Struktur Board of Directors dalam One Tier System (sumber: FCGI, 2002)
General Meeting of the Shareholders (GMoS)
Boards of Directors
Executive Director
Non-Executive
Director
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
20
General Meeting of The Shareholders (GMoS)
Board of Commissioner (BoC)
Board of Directors (BoD)
Dalam model Continental Europe, struktur governance terdiri dari RUPS
dan badan yang terpisah, yaitu dewan komisaris dan dewan direksi (FCGI, 2002).
Struktur semacam ini disebut two-tier board system, di mana struktur corporate
governance memisahkan fungsi dewan komisaris sebagai fungsi pengawas dan
dewan direksi sebagai eksekutif perusahaan (Arifin, 2005). Dalam hal ini dewan
komisaris tidak boleh melibatkan diri dalam tugas manajemen dan tidak boleh
mewakili perusahaan dalam transaksi dengan pihak ketiga. Anggota dewan
komisaris diangkat dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dalam sistem ini, anggota dewan direksi diangkat dan setiap waktu dapat diganti
oleh badan pengawas (dewan komisaris). Dewan direksi harus memberikan
informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal yang diajukan oleh dewan
komisaris. Negara dengan two tiers system adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan
Jepang.
Gambar 2.3 Struktur Board of Directors dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh
Belanda (sumber: FCGI, 2002)
Menurut Arifin (2005), perusahaan di Indonesia, menerapkan two-board
system atau two-tier board system seperti kebanyakan diterapkan pada perusahaan
di Eropa. Sesuai dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang Republik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
21
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa anggota dewan direksi
diangkat dan diberhentikan oleh RUPS (pasal 94 ayat 1 dan pasal 105 ayat 1),
demikian juga anggota dewan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS
(pasal 111 ayat 1 dan pasal 119). Dengan adanya struktur yang demikian, maka
baik dewan komisaris maupun dewan direksi bertanggung jawab terhadap RUPS.
Dalam model ini hanya ada perbedaan dalam kedudukan dewan komisaris yang
tidak langsung membawahi dewan direksi.
Gambar 2.4
Struktur Board of Directors dalam Two Tiers System yang Diadopsi Indonesia (sumber: Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 2007)
Keterangan gambar: : pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan : tanggung jawab terhadap RUPS : supervisi/pengawasan
Forum for Corporate Governance in Indonesia (2002) menyatakan bahwa
dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang mengawal
pelaksanaan strategi, mengawasi manajemen, serta mewajibkan terlaksananya
akuntabilitas. Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan
mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.
Dewan Komisaris Dewan Direksi
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
22
3. Board of Directors
Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Pengertian yang sama mengenai dewan
komisaris juga diungkapan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:
11/25/PBI/2009.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, Pasal 108 menyebutkan bahwa:
a. Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi.
b. Pengawasan dan pemberian nasihat dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
c. Dewan komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. d. Dewan komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota
merupakan majelis dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan dewan komisaris.
e. Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota dewan komisaris.
Komisaris sebuah perusahaan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS). Mereka diangkat untuk suatu periode tertentu, dan apabila
dimungkinkan, mereka bisa diangkat kembali. Dalam Anggaran Dasar diatur tata
cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota dewan komisaris,
tanpa mengurangi hak pemegang saham dalam pencalonan tersebut. Akhirnya,
UUPT menetapkan bahwa anggota dewan komisaris dapat diberhentikan atau
diberhentikan sementara oleh RUPS. Oleh karena itu, peran dewan komisaris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
23
penting dalam melakukan pengawasan, salah satunya adalah pengawasan terhadap
transparansi pengungkapan terhadap stakeholders. Tugas utama dewan komisaris
menurut FCGI (2002: 5) sebagai berikut:
a. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
b. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi secara transparan dan adil.
c. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan di tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
d. Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan jika diperlukan.
e. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.
Menurut Herwidayatmo (2000), berdasarkan kerangka hukum yang ada,
fungsi komisaris independen pada single board system dapat direpresentasikan
dengan fungsi dewan komisaris pada two-board system. Oleh karena itu sistem
pengawasan yang ada pada perusahaan di Indonesia terletak di dewan komisaris.
Peran board of directors di sini menjadi penting terkait dengan terwujudnya tata
kelola perusahaan (corporate governance) yang efektif.
Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris ini didukung dengan
keberadaan komisaris independen dalam komposisi dewan komisarisnya (John
dan Senbet, 1998). Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan
Peraturan Pencatatan Efek Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang
Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak
tanggal 1 Juli 2000. Perusahaan yang terdaftar di BEI wajib memiliki komisaris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
24
independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang
dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah
komisaris independen 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Kriteria dewan
komisaris independen seperti disebutkan dalam FCGI (2002: 9) adalah:
a. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pengendali perusahaan tersebut.
b. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan dengan direktur, dan/atau komisaris perusahaan tersebut.
c. Komisaris independen tidak mempunyai kedudukan ganda di perusahaan lain yang memiliki afiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan.
d. Komisaris independen harus mengerti peraturan undang-undang dalam hal pasar modal.
e. Komisaris independen diusulkan dan dipilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh pemegang saham minoritas yang bukan pemegang saham pengendali.
B. Kaitan Board of Directors dengan Risk Disclosure
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa dewan komisaris merupakan
mekanisme penting dalam memonitor kinerja manajemen dan melindungi
kepentingan pemegang saham. Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008)
menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk memantau
keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya. Abraham dan Cox (2007)
menunjukkan jumlah komisaris independen mempengaruhi tingkat risk
disclosure. Penelitian tersebut menyelidiki hubungan antara kuantitas informasi
risiko dengan kepemilikan, governance, dan status listing di UK. Penelitian yang
dilakukan oleh Abraham dan Cox (2007) ini mengungkapkan perusahaan yang
listing di UK cenderung memberikan disclosure yang lebih lengkap. Dengan
demikian, board of directors yang efektif berdampak terhadap luasnya
pengungkapan atas risiko pada perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
25
Penerapan corporate governance memiliki pengaruh terhadap luas
pengungkapan informasi perusahaan (Ho dan Wong, 2001). Kaitan dewan
komisaris dan pengungkapan risiko juga didukung oleh Khomsiyah (2003) yang
menyatakan semakin baik implementasi corporate governance, semakin banyak
informasi yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan tahunan. Selain itu, ia
juga menyatakan bahwa perusahaan yang melaksanakan corporate governance
memberikan lebih banyak informasi untuk mengurangi asimetri informasi.
Cheng dan Courtenay (2006) menunjukkan pengaruh antara board
monitoring dengan tingkat voluntary disclosure, penelitian ini membuktikan
bahwa semakin tinggi proporsi komisaris independen, semakin tinggi juga tingkat
voluntary disclosure. Cheung, Conelly, dan Limpaphayom (2002) menemukan
bahwa karakteristik corporate governance seperti ukuran dewan komisaris dan
board composition menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan tingkat
corporate disclosure pada perusahaan yang listing di Thailand.
Lajili dan Zeghal (2005) melakukan penelitian tentang praktik
pengungkapan risiko di Kanada. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
keadaan, karakteristik, dan jumlah pengungkapan risiko dengan menggunakan
jumlah kata dan kalimat untuk mengidentifikasi pengungkapan risiko. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan umumnya informasi risiko yang diungkapkan
bersifat kualitatif, kurang spesifik, dan mendalam. Namun, dari hasil yang
diperoleh mengindikasikan bahwa telah terdapat intensitas pengungkapan
informasi risiko baik wajib dan sukarela yang cukup tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
26
Studi mengenai pengungkapan risiko di negara berkembang dilakukan oleh
Hassan (2009) yang menyelidiki tingkat pengungkapan risiko pada perusahaan di
UAE. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh antara karakteristik
perusahaan dengan tingkat pengungkapan risiko perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat leverage dan jenis industri secara signifikan
menjelaskan variabilitas tingkat pengungkapan risiko perusahaan.
Amran et al (2009) juga melakukan penelitian mengenai pengungkapan
risiko pada negara berkembang. Penelitian yang mengambil sampel perusahaan di
Malaysia ini bertujuan untuk menguji hubungan antara tingkat risiko perusahaan
dengan luas pengungkapan risiko. Hasilnya menunjukkan bahwa secara signifikan
ukuran perusahaan dan jenis industri memiliki pengaruh positif dengan luas
pengungkapan.
Ukuran dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan
pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005) termasuk pengawasan terhadap
pengungkapan. Proporsi komisaris independen secara signifikan berpengaruh
positif terhadap tingkat pengungkapan (Hossain, 2008). Suhardjanto dan Afni
(2009) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama
merupakan faktor yang menentukan pengungkapan social disclosure pada annual
report perusahaan. Suhardjanto dan Anggitarani (2010) menunjukkan pengaruh
latar belakang etnis komisaris utama terhadap kinerja keuangan perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
27
C. Skema Konsep Penelitian
Kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini:
Variabel Independen Variabel Dependen
v
Variabel Kontrol
Gambar 2.5 Skema Konsep Penelitian
Berdasarkan konsep di atas, dapat diketahui bahwa model penelitian ini
hanya terdiri dari satu tahap yaitu untuk menjelaskan pengaruh board of directors
yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis
komisaris utama. Selain menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen, penelitian ini juga menyertakan leverage dan profitabilitas sebagai
variabel kontrol.
Board of Directors:
1. Ukuran dewan komisaris
2. Proporsi komisaris independen
3. Latar belakang pendidikan dewan komisaris
4. Latar belakang etnis komisaris utama
Risk Disclosure
1. Leverage 2. Profitabilit
H1 +
H2 +
H3 +
H4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
28
D. Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji implementasi board of
directors (ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang
pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama) terhadap
risk disclosure, dengan leverage dan profitabilitas sebagai variabel kontrol.
Berikut ini merupakan pengembangan hipotesis yang dilakukan:
1. Pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap tingkat risk disclosure
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang
ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya
akuntabilitas (FCGI, 2002). Dikaitkan dengan pengungkapan informasi oleh
perusahaan, kebanyakan penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif antara
berbagai karakteristik dewan komisaris dengan tingkat pengungkapan informasi
oleh perusahaan (Sembiring, 2005).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeysekera (2008) jumlah dewan
komisaris yang dinilai efektif berada pada rentang lebih dari lima orang dan
kurang dari 14 orang. Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrand (1999) menyatakan
bahwa jumlah anggota dewan komisaris yang optimum lebih efektif dibanding
jumlah yang kecil. Collier dan Gregory (1999) menyatakan bahwa semakin besar
jumlah anggota dewan komisaris, maka semakin mudah untuk mengendalikan
CEO dan monitoring yang dilakukan semakin efektif karena jumlah anggota
dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres
et al 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
29
Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan wajib
(Akra, Eddie, dan Ali, 2010). Semakin besar jumlah dewan komisaris diharapkan
dapat meningkatkan pengungkapan risiko. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis
dapat dinyatakan adalah
H1: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat risk disclosure.
2. Pengaruh proporsi komisaris independen terhadap tingkat risk disclosure
Keberadaan anggota komisaris independen dapat mendorong agar
perusahaan mengungkapkan informasi kepada investor dengan lebih luas (Eng
dan Mak, 2003). Komisaris independen lebih efektif dalam melakukan
pengawasan terhadap perusahaan karena kepentingan mereka tidak terganggu oleh
ketergantungan pada organisasi (Ayuso dan Argondana, 2007). Hossain (2008)
melakukan penelitian pada perbankan di India menunjukkan bahwa board
compositions yang diukur dengan proporsi komisaris independen secara signifikan
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan.
Khan (2010) yang menggunakan sampel perbankan komersial di
Bangladesh menemukan bahwa proporsi komisaris independen memberikan
pengaruh signifikan dalam memaparkan pelaporan corporate social responsibility
(CSR). Ezat dan El-Masry (2008) mengemukakan adanya pengaruh yang
signifikan antara proporsi komisaris independen dengan ketepatan waktu
corporate internet reporting (CIR). Penelitian yang dilakukan oleh Huafang dan
Jianguo (2007) menunjukkan pengaruh antara proporsi komisaris independen
terhadap voluntary disclosure.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
30
Ajinkya, Bhojraj, dan Sengupta (2005) menemukan bukti bahwa perusahaan
yang memiliki lebih banyak komisaris independen lebih banyak menyediakan
ramalan pada laporan tahunan mereka. Chen dan Jaggi (2000) menyatakan
pengaruh proporsi komisaris independen terhadap pengungkapan (termasuk
mandatory disclosure). Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Abraham dan Cox (2007). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis
dapat dinyatakan adalah
H2: Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat risk disclosure.
3. Pengaruh latar belakang pendidikan dewan komisaris terhadap tingkat risk
disclosure
Anggota dewan yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis
menjadi hal yang cukup penting dalam perusahaan. Ada kemungkinan latar
belakang pendidikan anggota dewan yang sesuai dengan jenis usaha perusahaan
yang dapat menunjang kelangsungan bisnis perusahaan lebih diperlukan.
Sehingga dalam hal ini anggota dewan yang memiliki latar belakang pendidikan
yang diistilahkan dengan “disiplin ilmu” diperlukan dalam menjalankan bisnis
perusahaan (Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra, 2007).
Suhardjanto dan Afni (2009) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan
komisaris utama merupakan faktor yang menentukan diungkapkan atau tidaknya
social disclosure pada annual report perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut,
hipotesis dapat dinyatakan adalah
H3: Latar belakang pendidikan dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat risk disclosure.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
31
4. Pengaruh latar belakang etnis komisaris utama terhadap tingkat risk disclosure
Karakteristik personal komisaris utama yang berasal dari etnis yang
memiliki sifat ulet dan gigih, seperti Tionghoa menjadi faktor penentu dalam
kinerja perusahaan (Suhardjanto dan Anggitarani, 2010). Branco dan Rodrigues
(2008) menjelaskan keterlibatan anggota komisaris asing meningkatkan kausalitas
pelaporan. Fields dan Keys (2003) menemukan heterogenitas pengalaman, ide,
dan inovasi individu dengan latar belakang budaya yang berbeda berdampak
terhadap kinerja perusahaan. Erhardt, James, dan Charles (2003) berpendapat
bahwa representasi etnis di jajaran dewan komisaris dapat meningkatkan kinerja
keuangan bisnis. Pernyataan ini diperkuat oleh Ayuso dan Argandona (2007) yang
menggambarkan bahwa komisaris asing diasumsikan memainkan peran penting
dalam mendukung strategi pelaporan CSR.
Haniffa dan Cooke (2005) yang menggunakan sampel perusahaan di
Malaysia menunjukkan bukti empiris mengenai pengaruh positif antara proporsi
komisaris yang berasal dari Malaysia di jajaran dewan komisaris dengan tingkat
pengungkapan sukarela oleh perusahaan. Khan (2010) yang menggunakan sampel
perbankan komersial di Bangladesh menemukan bahwa eksistensi etnis asing
memberikan pengaruh signifikan dalam memaparkan pelaporan CSR.
Suhardjanto dan Anggitarani (2010) menunjukkan pengaruh latar belakang
etnis komisaris utama terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hasil ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumastuti et al (2007). Berdasarkan
uraian tersebut, hipotesis dapat dinyatakan adalah
H4: Latar belakang etnis komisaris utama berpengaruh terhadap tingkat risk disclosure.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
32
Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah leverage dan
profitabilitas. Jika perusahaan memiliki leverage yang tinggi, kreditur dapat
memaksa perusahaan untuk mengungkapkan informasi terkait risiko dengan lebih
luas (Amran et al, 2009). Haniffa dan Cooke (2005) menunjukkan bahwa
perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi mengungkapkan informasi
perusahaan lebih banyak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
33
BAB III
METODE PENELITIAN
Setelah membahas landasan teori dan pengembangan hipotesis di Bab II,
maka pada Bab III menjelaskan mengenai desain penelitian, populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel, data dan metode pengumpulan data, definisi
operasional dan pengukuran variabel, dan metode analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang
bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan oleh peneliti mengenai pengaruh
board of directors yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris,
proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan
latar belakang etnis komisaris utama terhadap risk disclosure. Menurut Sekaran
(2006), pengujian hipotesis harus dapat menjelaskan sifat dari hubungan tertentu
dan memahami perbedaan antar kelompok atau independensi dua variabel atau
lebih.
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perbankan
yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009. Tahun 2007 dipilih
karena meningkatnya perhatian mengenai pengungkapan risiko di perbankan
terkait terjadinya krisis keuangan pada tahun tersebut. Pada tahun 2007 terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
34
28 perbankan yang listing, pada tahun 2008 terdapat 28 perbankan, dan pada
tahun 2009 terdapat 28 perbankan, sehingga total populasi secara keseluruhan
adalah 84 perusahaan.
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive
sampling adalah pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil sampel
berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Hartono, 2005).
Kriteria perbankan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah:
1. Perbankan yang menerbitkan laporan keuangan tahun 2007 sampai
2009.
2. Perbankan yang menyediakan data jumlah anggota dewan komisaris,
proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan
komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama.
Berdasarkan kriteria tersebut, pada tahun 2007 terdapat empat perbankan
yang tidak memenuhi kriteria, tahun 2008 sebanyak tiga perbankan, dan tahun
2009 sebanyak empat perbankan, sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak 73
annual report perbankan.
C. Data dan Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder
yang diambil dari laporan tahunan perbankan yang listing di Bursa Efek Indonesia
pada tahun 2007-2009. Laporan tahunan dipilih karena memiliki kredibilitas yang
tinggi (Zeghal dan Ahmed, 1999), selain itu laporan tahunan digunakan oleh
sejumlah stakeholder sebagai sumber utama informasi yang pasti (Deegan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
35
Rankin, 1997). Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari situs
www.idx.co.id, www.google.com, dan dari situs masing – masing perusahaan
sampel.
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Berikut ini dijelaskan mengenai definisi variabel penelitian dan
pengukurannya:
1. Variabel Independen
Variabel independen direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris,
proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan
latar belakang etnis komisaris utama.
a. Ukuran dewan komisaris
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris
(yang dinilai paling efektif) dalam melakukan fungsinya pada sebuah
perusahaan. Namun, sampai saat ini terdapat perdebatan mengenai jumlah
tersebut.
Jumlah anggota dewan komisaris mempengaruhi aktivitas pengendalian
dan pengawasan (Andres et al, 2005). Menurut Collier dan Gregory (1999),
semakin besar jumlah dewan anggota dewan komisaris, semakin mudah untuk
mengendalikan chief executive officer (CEO) dan semakin efektif dalam
memonitor aktivitas manajemen. Indikator yang digunakan sesuai dengan
penelitian Dalton et al (1999), Nasution dan Setiawan (2007), dan Abeysekera
(2008) yaitu jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris yang dimiliki
perusahaan baik yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
36
b. Proporsi komisaris independen
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang
saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya
yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional
Kebiijakan Governance, 2006).
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Indonesia
melalui peraturan BEI tanggal 1 Juli 2000. Dalam peraturan ini, persyaratan
jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan
komisaris.
Indikator yang digunakan Eng dan Mak (2005) adalah persentase anggota
dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh anggota dewan
komisaris perusahaan.
c. Latar belakang pendidikan dewan komisaris (LBPDK)
Menurut Suhardjanto dan Afni (2009), latar belakang pendidikan
komisaris utama mempengaruhi keputusan dan masukan yang diberikan
kepada dewan direksi. Dewan komisaris lebih efektif apabila dewan komisaris
memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan jenis operasi perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
37
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase anggota
dewan komisaris yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi/bisnis
dibanding jumlah seluruh anggota dewan komisaris.
d. Latar belakang etnis komisaris utama
Karakteristik komisaris utama dari etnis tertentu seperti etnis Tionghoa,
menjadi faktor penentu dalam kesuksesan sebuah perusahaan. Etnis Tionghoa
dikenal sebagai pribadi yang ulet, gigih, dan hemat yang dapat menjadikan
mereka berhasil dalam dunia bisnis. Sebagai kalangan minoritas, mereka
memiliki etos kerja yang tinggi dan semangat dalam menjalankan bisnisnya
(Suhardjanto dan Anggitarani, 2010). Selain etnis Tionghoa, etnis lain seperti
etnis yang berasal dari barat juga memiliki etos kerja yang tinggi.
Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah apabila komisaris
utama berasal dari kaum pribumi dikode 1, jika komisaris utama berasal dari
etnis Tionghoa maka dikode 2, dan jika berasal dari negara lainnya maka
dikode 3 (Suhardjanto dan Anggitarani, 2010).
2. Variabel Dependen
a. Risk disclosure
Variabel dependen dalam penelitian ini dinilai dari ada atau tidaknya risk
disclosure dalam annual report perbankan yang menjadi sampel. Untuk masing-
masing risiko terdapat 7 (tujuh) item pengungkapan baik kualitatif maupun
kuantitaif (lihat pada bab II), sehingga total item dalam penelitian ini sebanyak 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
38
item pengungkapan risiko. Karakteristik untuk masing-masing item
pengungkapan risiko terlampir.
Mengacu pada penelitian Oorschot (2009), tingkat risk disclosure diukur
dengan menggunakan teknik scoring. Skor 1 diberikan untuk item risiko yang
diungkapkan oleh perusahaan dan skor 0 bagi item yang tidak diungkapkan oleh
perusahaan. Mengacu pada penelitian Oorschot (2009), kuantitas risk disclosure
dapat diukur dengan menjumlahkan skor pengungkapan untuk setiap annual
report. Agar penilaian yang dilakukan dalam penelitian ini lebih objektif,
dilakukan verikasi oleh dua orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret, sehingga penilaian menjadi lebih maksimal dan meyakinkan.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung tingkat kuantitas risk disclosure
dalam penelitian ini:
Keterangan Persamaan
Simbol Keterangan RDSBY MAXBY i SCOREiBY
Risk disclosure score bank B pada tahun Y Nilai maksimum yang mungkin dicapai bank B pada tahun Y Item dalam framework Skor untuk item i, bank B pada tahun Y
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol digunakan untuk melengkapi atau mengontrol hubungan
kausalnya supaya lebih baik untuk mendapatkan model empiris yang lebih
lengkap dan lebih baik (Hartono, 2005). Dalam penelitian ini ada dua variabel
kontrol yang digunakan yaitu leverage dan profitabilitas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
39
Dalam penelitian ini tidak menyertakan firm size sebagai variabel kontrol
karena semua bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dianggap berada
dalam satu kriteria. Seperti disebutkan dalam penjabaran peraturan Bank
Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 (2003: 5), bank dianggap memiliki ukuran dan
kompleksitas usaha yang tinggi antara lain apabila memenuhi salah satu kondisi
berikut:
1) Bank yang memiliki total aktiva sebesar Rp. 10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah);
2) Bank yang aktif secara internasional (internationally active banks), yaitu bank yang memiliki kantor cabang di beberapa negara lain atau bank yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkantor pusat di luar negeri;
3) Bank yang memiliki 30 (tiga puluh) kantor cabang atau lebih; 4) Bank yang memiliki 150.000 (seratus lima puluh ribu) nasabah atau lebih;
dan atau 5) Bank yang memiliki tingkat keragaman yang tinggi dalam
transaksi/produk/jasa.
Sampel penelitian ini menggunakan perbankan konvensional yang terdaftar
di BEI yang dianggap memiliki ukuran dan kompleksitas usaha yang tinggi. Oleh
karena itu, firm size tidak digunakan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.
a. Leverage
Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan
utang. Penggunaan utang yang besar oleh perusahaan membuat perusahaan
menyediakan informasi yang lebih banyak untuk memenuhi tuntutan investor
dan kreditor (Suhardjanto dan Miranti, 2009).
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haniffa dan Cooke (2005)
dan Suhardjanto dan Afni (2009), leverage dihitung menggunakan rumus:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
40
b. Profitability
Profitabiltas merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen
dalam mengelola kekayaan perusahaan. Hubungan antara profitabilitas dengan
pengungkapan merupakan refleksi respon sosial agar perusahaan dapat
beroperasi (Suhardjanto dan Miranti, 2009).
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haniffa dan Cooke (2005)
dan Suhardjanto dan Miranti (2009), return on equity (ROE) digunakan
sebagai proksi untuk mengukur profitabilitas, yang dihitung dengan
membandingkan antara pendapatan setelah pajak dengan total ekuitas.
E. METODE ANALISIS DATA
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan statistik deskriptif dan
pengujian hipotesis. Pengujian dilakukan dengan menggunakan bantuan program
SPSS release 16.
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif terdiri dari penghitungan mean, standar deviasi, nilai
maksimum, dan nilai minimum. Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran mengenai distribusi dan perilaku data (Ghozali, 2006).
2. Pengujian Hipotesis
Analisis regresi berganda digunakan untuk mengukur hubungan antara dua
variabel atau lebih dan menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
41
independen (Ghozali, 2006). Persamaan regresi berganda untuk pengujian
hipotesis dalam penelitian ini adalah:
RDS = α + β1 BSIZE+ β2 PRODKI + β3 LBPKU + β4 LBEKU + β5 LEV + β6 PROF + e
Keterangan Persamaan Regresi Berganda
Simbol Keterangan RDS Risk Disclosure Score BSIZE Ukuran Dewan Komisaris PRODKI Proporsi Komisaris Independen LBPDK Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris LBEKU Latar Belakang Etnis Komisaris Utama LEV Leverage PROF Profitabilitas β Koefisien Regresi α Konstanta e Error
Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur
dari goodness of fit-nya. Secara statistik, goodness of fit suatu model dapat diukur
dari nilai koefisien determinasi (R2), nilai statistik F, dan nilai statistik t.
Perhitungan statistik dikatakan signifikan apabila nilai uji statistiknya berada
dalam daerah kritis (daerah di mana Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak
signifikan bila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima
(Ghozali, 2006). Pengukuran goodness of fit suatu model sebagai berikut:
a. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh variabel
independen mampu menerangkan variabel dependen. Untuk jumlah variabel
independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan koefisien determinasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
42
telah disesuaikan yaitu adjusted R2 (Ghozali, 2006). Besarnya koefisien
determinasi adalah 0 (nol) sampai dengan 1 (satu). Semakin mendekati nol,
semakin kecil pengaruh semua variabel independen (X) terhadap variabel
dependen (Y). Jika koefisien determinasi mendekati satu, maka sebaliknya
(Ghozali, 2006).
b. Nilai F
Merupakan pengujian bersama-sama variabel independen yang dilakukan
untuk melihat pengaruh variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel
dependen. Melalui nilai F kita mengetahui apakah ukuran dewan komisaris,
proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan
latar belakang etnis komisaris utama berpengaruh secara simultan terhadap risk
disclosure.
c. Nilai t
Merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah variabel
independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Nilai t
digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel
independennya. Dalam penelitian ini, nilai t menggunakan tingkat signifikansi
5%. Jika ρ value < 0,05 maka H1 diterima, sedangkan jika ρ value > 0,05 maka H1
ditolak.
Sebelum pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis
regresi berganda, sebelumnya dilakukan clean up data dengan pemenuhan asumsi
klasik untuk memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
43
penaksiran koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik
terdiri dari beberapa macam pengujian, meliputi:
a. Uji Normalitas
Untuk menguji data yang berdistribusi normal digunakan alat uji normalitas,
yaitu One Sample Kolmogorov-Smirnov (Ghozali, 2006). Hasil pengujian data
dilakukan dengan menguji Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian apabila ρ
value > 0,05 maka data berdistribusi secara normal, sedangakan apabila ρ value <
0,05 data tidak berdistribusi normal. Hal ini didukung juga dengan tampilan grafik
histogram dan normal probability plot.
b. Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas merupakan suatu kondisi di mana satu atau lebih variabel
independen terdapat korelasi dengan variabel lainnya. Uji multikolinieritas
bertujuan untuk menguji apakah masalah yang sering muncul dalam analisis
regresi terjadi, yaitu di mana terdapat korelasi yang tinggi antar dua atau lebih
variabel independen (Ghozali, 2006).
Menurut Ghozali (2006), salah satu cara untuk mendeteksi multikolinieritas
pada suatu model regresi dengan melihat nilai tolerance dan VIF (Variance
Inflation Factor), yaitu:
1) Jika nilai tolerance > 0,10 dan VIF < 10, maka dapat diartikan
bahwa tidak terdapat multikolinieritas pada penelitian tersebut.
2) Jika nilai tolerance < 0,10 dan VIF > 10, maka dapat diartikan bahwa
terjadi gangguan multikolinieritas pada penelitian tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
44
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (Ghozali, 2006). Untuk mengetahui dan menguji ada
tidaknya autokorelasi dalam model analisis regresi, bisa digunakan cara pengujian
statistik Durbin Watson (DW). Bila angka Durbin Watson diantara -2 sampai +2
maka telah terjadi autokorelasi.
Tabel 3.1 Nilai Durbin-Watson
Nilai DW Kesimpulan
Kurang dari 1,10 1,10 sampai 1,54 1,55 sampai 2,46 2,47 sampai 2,90 Lebih dari 2,91
Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
d. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain (Ghozali, 2006). Untuk menentukan heteroskedastisitas dengan grafik
scatterplot, titik yang terbentuk harus menyebar secara acak, baik di atas maupun
di bawah angka 0 pada sumbu Y. Bila kondisi ini terpenuhi maka tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
45
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini menjelaskan mengenai deskripsi data, pengujian hipotesis, dan
pembahasan hasil pengujian yang telah dilakukan selama penelitian. Model
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda.
A. Deskriptif Data
Analisis deskriptif data terdiri dari seleksi sampel dan statistik deskriptif.
1. Seleksi Sampel
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa annual report tahun 2007
hingga 2009. Data ini diperoleh dari situs www.idx.co.id dan dari situs masing –
masing perusahaan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2009, dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
Tahun Populasi Sampel 2007 28 24 2008 28 25 2009 28 24 Total 84 73
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive
sampling. Perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan yang memenuhi
beberapa kriteria tertentu yang sudah dijelaskan di Bab III. Berdasarkan teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
46
pengambilan sampel tersebut, dari 84 perusahaan, ternyata hanya 73 perusahaan
yang menyediakan data dan informasi secara lengkap terkait corporate
governance dalam annual report – nya, nama perusahaan sampel dapat dilihat
pada Lampiran 2.
2. Statistik Deskriptif
Pada tabel 4.2 di bawah ini dijelaskan statistik deskriptif dari variabel
dependen penelitian. Informasi mengenai statistik deskriptif tersebut meliputi:
nilai minimum, maksimum, rerata (mean), dan standar deviasi yang dihitung
dengan menggunakan alat bantu statistik SPSS release 16. Hasil dari perhitungan
tersebut ditampilkan pada tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Pengungkapan Risiko (dalam %)
RDS Mean Max Min St. Deviasi RDS 42,12 75,00 14,00 0,125
Dalam tabel 4.2 mengenai statistik deskriptif tingkat pengungkapan risiko
dapat diketahui bahwa rerata tingkat pengungkapan risiko pada perbankan di
Indonesia berada pada score 42,12%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
tingkat pengungkapan risiko masih berada di tingkat rendah, mengingat
pengungkapan risiko adalah salah satu pengungkapan wajib yang diharuskan oleh
PSAK No. 50 (Revisi 2006). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Solomon et al
(2000) yang menyatakan bahwa pengungkapan risiko merepresentasikan
perbaikan praktik corporate governance. Pihak manajemen bank sebagai penyedia
informasi enggan untuk memperluas pengungkapan risiko serta pengaruhnya pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
47
perusahaan di masa depan dalam annual report (Devilin, 2009). Bank Indonesia
selaku regulator belum membuat regulasi yang memadai dan spesifik mengenai
apa saja yang harus diungkapkan dalam annual report juga menjadi salah satu
penyebab rendahnya tingkat risk disclosure pada perbankan di Indonesia.
Perbankan Indonesia mulai menata kembali struktur perbankan di Indonesia,
salah satunya dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor:
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Namun,
kecurangan yang terjadi di perbankan Indonesia masih terjadi. Hal ini terbukti
dengan terjadinya kasus Bank Century tahun 2008. Kasus Bank Century tersebut
menunjukkan bahwa dewan komisaris tidak menjalankan tugasnya dengan baik,
terbukti dengan pemecatan dan penjatuhan hukuman kepada komisaris utama
Bank Century (www.tempointeraktif.com, 2009).
Berdasarkan data selama tiga tahun tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa terjadi peningkatan tingkat pengungkapan risiko tiap tahunnya. Bank
Negara Indonesia adalah bank dengan tingkat kepatuhan pengungkapan yang
paling mendekati 100,00%, yang menunjukkan bank ini sudah hampir
mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapakan sesuai dengan Lampiran
Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Rerata tingkat pengungkapan
risiko yang dilakukan oleh Bank Negara Indonesia selama tiga tahun adalah
65,00%. Seperti yang diungkapkan dalam annual report Bank Negara Indonesia
tahun 2009, yaitu:
“Perjanjian/kontrak yang dilakukan oleh BNI dengan nasabah, debitur dan counterparty lainnya menimbulkan potensi risiko hukum yang telah diantisipasi dengan cara (1) melakukan kajian berkala terhadap dokumen hukum, perjanjian dan kontrak dengan pihak ketiga serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
48
mengevaluasi kelemahan perjanjian yang dapat menimbulkan risiko hukum bagi BNI, (2) melakukan penilaian atas risiko hukum yang tercermin dari besarnya gugatan, perkara yang ditujukan ke BNI, dan (3) menetapkan kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko hukum” (AR BNI, 2009: 115). Bank Agroniaga adalah bank dengan tingkat pengungkapan paling rendah
dengan rerata tingkat pengungkapan risiko selama tiga tahun sebesar 18,66%.
Bank Agroniaga justru mengalami penurunan tingkat kepatuhan pengungkapan
risiko tiap tahunnya. Bank Agroniaga adalah salah satu bank yang belum
memisahkan antara pengungkapan risiko pasar-nilai tukar dengan pengungkapan
risiko pasar-suku bunga seperti yang diungkapan dalam annual report Bank
Agroniaga di bawah ini:
“Mengembangkan sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi dengan assets and liabilities management system untuk mengendalikan risiko suku bunga, risiko harga, dan risiko likuiditas. Melakukan perhitungan beban risiko pasar dengan menggunakan model standar sebagai komponen perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum. Menyempurnakan sistem informasi manajemen risiko pasar dan sistem pelaporan risiko pasar” (AR Bank Agroniaga, 2009: 73). Risk disclosure dalam penelitian ini diperoleh dari skor total pengungkapan
yang dilakukan oleh perusahaan dibagi jumlah pengungkapan yang diwajibkan
seperti yang sudah disebutkan dalam bab III. Risiko yang wajib diungkapkan
tersebut meliputi: (1) Risiko kredit, (2) Risiko pasar yang dibagi menjadi risiko
suku bunga dan risiko nilai tukar, (3) Risiko likuiditas, (4) Risiko operasional, (5)
Risiko hukum, (6) Risiko reputasi, (7) Risiko strategi, dan (8) Risiko kepatuhan
(PBI Nomor: 5/8/PBI/2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
49
Tabel 4.3 Tingkat Pengungkapan Risiko
Jenis Risiko Perbankan yang
mengungkapkan (%) Risiko Kepatuhan 93,00 Risiko Kredit 82,00 Risiko Operasional 80,00 Risiko Likuiditas 58,00 Risiko Strategi 41,00 Risiko Hukum 33,00 Risiko Reputasi 28,00 Risiko Pasar-Suku Bunga 25,00 Risiko Pasar-Nilai Tukar 14,00
Tabel 4.3 di atas menunjukkan tingkat pengungkapan risiko untuk masing-
masing jenis risiko pada perbankan di Indonesia. Dari semua tipe risiko yang
diungkapkan, risiko kepatuhan menempati posisi tertinggi dengan tingkat
pengungkapan risiko sebesar 93,00%. Risiko kepatuhan adalah risiko terkait
dengan kepatuhan perusahaan dalam menerapkan Undang-Undang. Tingkat
pengungkapan risiko yang paling rendah adalah pengungkapan risiko pasar-nilai
tukar, dengan tingkat pengungkapan sebesar 14,00%. Integrasi antara
pengungkapan risiko pasar-suku bunga dengan risiko pasar-nilai tukar
mengakibatkan pengungkapan ini pada nilai yang rendah. Perbankan yang belum
memisahkan kedua pengungkapan risiko ini dianggap belum mengungkapkan
risiko terkait masing-masing risiko ini.
Belum adanya tingkat pengungkapan risiko dengan nilai 100,00% (fully
comply) menunjukkan pengungkapan risiko pada perbankan di Indonesia belum
memadai dan belum sesuai dengan yang disyaratkan, mengingat pengungkapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
50
risiko adalah salah satu mandatory disclosure. Kurangnya pengungkapan risiko
pada perbankan dikhawatirkan dapat memicu terjadinya bank fraud dan kejahatan
perbankan lainnya, seperti yang sudah pernah terjadi di Indonesia. Contoh
kejahatan perbankan seperti manipulasi letter of credit pada Bank BNI tahun
2006, penggelapan dana nasabah oleh teller atau oleh pimpinan kantor cabang,
kredit fiktif, dan pembobolan dana melalui anjungan tunai mandiri (ATM), seperti
yang terjadi di Bank BCA pada tahun 2010
(http://grundelanbankcentury.wordpress.com, 2010).
Pengungkapan risiko pasar-nilai tukar dan risiko pasar-suku bunga
menempati posisi terbawah dalam jumlah item yang diungkapkan. Hal ini terjadi
karena banyak perusahaan yang tidak memisahkan antara kedua pengungkapan
risiko ini, sebagian besar dari mereka mengungkapkan secara general pada bagian
pengungkapan risiko pasar. Hal tersebut kurang sesuai dengan PSAK No. 50
(Revisi 2006) yang sudah mengharuskan pemisahan antara risiko pasar-suku
bunga dengan risiko pasar-nilai tukar. Pengungkapan risiko untuk kedua risiko ini
dinilai kurang. Pengungkapan yang masih tergolong rendah lainnya adalah
pengungkapan risiko hukum, reputasi, dan strategi. Hal ini terjadi karena
pengungkapan atas ketiga risiko tersebut adalah pengungkapan yang diwajibkan
paling akhir dibandingkan dengan pengungkapan risiko dari kelima risiko lainnya.
Salah satu aspek kebijakan dalam risiko hukum adalah adanya satuan
kerja/bagian hukum (Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
No.5/21/DPNP/2003). Pada kasus Bank Century yang mencuat pada tahun 2008,
terjadi kredit bermasalah yang lebih dikenal dengan istilah “kredit komando”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
51
Istilah “kredit komando” diberikan karena kredit bisa cair tanpa melalui prosedur
yang seharusnya (http://nasional.kompas.com, 2011). Kredit seharusnya baru bisa
cair setelah ditandatangani oleh Kepala Divisi Corporate Legal, tetapi pada kasus
Bank Century, divisi corporate legal seolah dilangkahi otoritasnya oleh petinggi
Bank Century saat itu, Robert Tantular. Permasalahan tersebut meluas dan
melibatkan banyak pihak, seperti KPK, POLRI, DPR, dan Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia, Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), dan Menteri Keuangan (http://karodalnet.blogspot.com, 2009).
Kasus tersebut adalah salah satu contoh gagalnya divisi corporate legal dalam
mengendalikan dan memitigasi risiko hukum.
Tabel 4.4 Statistik Deskriptif Variabel Independen
Variabel Mean Min Max St. Deviasi
BSIZE 5,00 1,00 8,00 1,802 PRODKI(%) 58,59 20,00 100,00 0,136 LBPDK (%) 72,80 25,00 100,00 0,228 Leverage 8,26 -31,53 16,86 6,002 Profitabilitas (ROE) 6,53 -167,51 46,65 25,082
Berdasarkan data di atas, rerata jumlah dewan komisaris adalah lima orang.
Abeysekera (2008) mengungkapkan bahwa jumlah dewan komisaris dinilai efektif
berada pada rentang lebih dari 5 (lima) orang dan kurang dari 14 orang. Jumlah
dewan komisaris paling sedikit dimiliki oleh Bank Kesawan, Bank Century, dan
Bank UOB Buana. Pada tahun 2007, ketiga bank tersebut hanya memiliki dewan
komisaris sebanyak 1 (satu) orang. Ketiga bank tersebut dianggap tidak memenuhi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
52
Terbatas, Pasal 108 yang menyebutkan bahwa perusahaan go public wajib
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota dewan komisaris. Ada beberapa
perusahaan yang memiliki jumlah dewan komisaris yang paling besar, sebanyak 8
orang. Ada 2 perusahaan yang selama 3 tahun berturur-turut memiliki 8 orang
anggota dewan komisaris, yaitu Bank OCBC NISP dan Bank Permata. Bank
Internasional Indonesia hanya pada tahun 2007 saja dan Bank Danamon pada
tahun 2008 dan 2009.
Pada tahun 1997, terjadi likuidasi yang menimpa 16 bank swasta nasional di
Indonesia yang menyebabkan menurunnya kinerja perbankan. Salah satu faktor
yang mengakibatkan kinerja perbankan menurun serta banyaknya bank yang
dikategorikan sakit adalah adanya deregulasi perbankan (Pakto 88) yang
memberikan kemudahan kepada swasta untuk mendirikan bank. Paket Oktober
1988 menyebabkan pertumbuhan bank di Indonesia, dengan modal Rp 10 milyar
seseorang sudah bisa mendirikan bank sekaligus menjadi pemilik dan direkturnya,
tetapi pendirian bank ini tidak diimbangi dengan kualitas dan kemampuan bank
dalam menjalankan usahanya (Nabila, 2006). Kebijakan ini pada akhirnya
membawa dampak pada struktur industri perbankan Indonesia dengan intensitas
kompetisi yang tinggi dan berpengaruh buruk pada tingkat efisiensi dan kesehatan
perbankan dalam jangka panjang (Nabila, 2006).
Pemerintah melikuidasi 16 bank swasta nasional akibat besarnya kesulitan
likuiditas perbankan sehingga menimbulkan krisis pada perbankan nasional
(Nabila, 2006). Munculnya bank yang tidak sehat (yang akhirnya dilikuidasi)
salah satunya disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan perbankan, terutama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
53
dalam penyaluran kredit. Para pemilik atau pengelola bank menyalurkan kredit ke
grup perusahaannya sendiri melebihi batas ketentuan yang ditetapkan Bank
Indonesia sehingga banyak terjadi kasus kredit macet (Nabila, 2006). Peristiwa ini
sama seperti kasus yang menimpa bank Summa pada tahun 1992.
Faktor lemahnya sistem pengawasan perbankan tersebut diduga menjadi
salah satu faktor yang mendasari PBI Nomor: 8/14/PBI/2006 yang menetapkan
bahwa proporsi komisaris independen sekurang-kurangnya berjumlah 50,00% dari
jumlah anggota dewan komisaris. Komisaris independen diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pengawasan karena komisaris independen adalah pihak
yang tidak terafiliasi dengan manajemen.
Rerata proporsi dewan komisaris independen adalah 58,59%. Berdasarkan
peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam pada tanggal 1 Juli tahun 2000, yang
menyatakan bahwa proporsi dewan komisaris independen adalah 30,00% dari
total anggota dewan komisaris, maka proporsi dewan komisaris independen ini
sudah baik. Komisaris independen mempunyai peranan penting dalam
pengungkapan manajemen risko pada annual report. Berdasarkan data di atas,
dapat diketahui bahwa semua perusahaan sudah memenuhi persyaratan jumlah
minimal komisaris independen yang ditetapkan oleh Bapepam, kecuali Bank UOB
Buana.
Proporsi komisaris independen pada Bank UOB Buana hanya 20,00%, yang
mengindikasikan bahwa perusahaan ini tidak memenuhi peraturan Bapepam. Pada
tahun 2008, Bank UOB Buana menyatakan delisting atas sahamnya di Bursa Efek
Indonesia dan pada tahun 2010 Bank Indonesia menyetujui merger yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
54
dilakukan antara Bank UOB Buana dan Bank UOB Indonesia. Ada dua
perusahaan yang proporsi komisaris independennya paling besar, sebanyak
100,00% yaitu Bank Kesawan di tahun 2007 dan 2009 dan Bank Century pada
tahun 2008. Hal tersebut terjadi karena baik Bank Century maupun Bank
Kesawan memiliki jumlah komisaris independen sama dengan jumlah anggota
dewan komisarisnya. Bank Century dan Bank Kesawan 2007 hanya memiliki satu
anggota dewan komisaris dan Bank Kesawan pada tahun 2008 memiliki dua
anggota dewan komisaris dan keduanya juga merupakan komisaris independen.
Rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris adalah 72,80%.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota dewan komisaris
pernah menempuh pendidikan formal di bidang ekonomi/bisnis. Banyak dari
mereka bahkan menempuh studinya hingga master ataupun doktor. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dewan komisaris memiliki level pendidikan yang tinggi.
Latar belakang pendidikan yang dimiliki dewan komisaris menunjukkan luasnya
pengetahuan yang dimiliki yang juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka
dalam melakukan analisis masalah yang ada. Dari seluruh jumlah anggota dewan
komisaris pada semua sampel perbankan, anggota dewan komisaris yang berasal
dari ekonomi/bisnis terlihat mendominasi. Untuk data mengenai jumlah anggota
dewan komisaris yang berlatar pendidikan ekonomi/bisnis dan non
ekonomi/bisnis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.5 Latar Belakang Pendidikan Dewan Komisaris
Tahun Jumlah Anggota
Dewan Komisaris Ekonomi&Bisnis Non Ekonomi&Bisnis
2007 111 76 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
55
2008 115 82 33 2009 108 82 26
Sementara itu, dari sisi leverage dapat dilihat bahwa perbankan di Indonesia
memiliki rerata leverage sebesar 8,26%. Hal ini mengindikasikan bahwa sekitar
8,26% investasi perusahaan dibiayai oleh utang. Pada penelitian ini tingkat
leverage terendah sebesar -31,53% dimiliki oleh Bank Pundi Indonesia di tahun
2009, sementara tingkat leverage tertinggi sebesar 16,86% dimiliki oleh Bank
Artha Graha Internasional di tahun 2007. Menurut Hertanti (2005), pada
perekonomian yang membaik, perusahaan dengan leverage yang tinggi lebih
banyak mempunyai kesempatan untuk memperoleh laba yang tinggi. Pada kondisi
seperti ini perusahaan menyediakan informasi yang lebih komprehensif termasuk
yang berkaitan dengan risiko dalam annual report-nya untuk menarik investor dan
penabung.
Contoh kasus kurangnya transparansi perbankan di masa lalu adalah kasus
yang menimpa Bank Summa pada tahun 1992 yang dilikuidasi karena terlibat
kredit macet. Pendiri Bank Summa, Edward Suryadjaya salah mengambil
keputusan dalam membiayai kredit grup perusahaannya sendiri. Bank Summa
mengalami musibah karena kreditnya yang sebagian besar disalurkan kepada grup
perusahaan sendiri (Summa Grup) ternyata macet, karena proyek-proyek yang
dibiayainya gagal (http://businessknowledges.blogspot.com, 2009).
Untuk ukuran profitabilitas, penelitian ini menggunakan return on equity
(ROE) sebagai proksinya. Rerata profitabilitas perusahaan sampel pada penelitian
ini sebesar 6,53%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dari modal
perusahaan untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham sebesar 6,53%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
56
Profitabilitas tertinggi sebesar 46,65% diperoleh Bank Century, sedangkan untuk
profitabilitas terendah didapat oleh Bank Pundi Indonesia sebesar -167,51%.
Pada tahun 1997, terdapat 16 bank swasta nasional yang dilikuidasi oleh
pemerintah. Kesulitan likuiditas yang dialami 16 bank tersebut menyebabkan
kinerja perbankan di Indonesia menurun. Dari 16 bank yang dilikuidasi tersebut,
diketahui bahwa ROE bank yang tidak dilikuidasi lebih baik daripada bank
dilikuidasi sebesar 1,95 kali (Nabila, 2006). Semakin besar variabel return on
equity (ROE) maka kemungkinan bank dilikuidasi semakin kecil.
Pada tahun 2010, performa perbankan di Indonesia tergolong terbaik di
Asean, terutama dari sisi profitabilitas dan pertumbuhan laba
(http://bataviase.co.id, 2010). Tingkat profitabilitas perbankan Indonesia lebih
baik dari rerata profitabilitas bank di tingkat regional dan kinerjanya tercatat stabil
pada 2008 dan 2009 (http://beritasore.com, 2009).
Tabel 4.6
Latar Belakang Etnis Komisaris Utama
Tahun Indonesia Tionghoa Lainnya 2007 13 5 6 2008 15 6 4 2009 14 4 6 Total 42 15 16
Karakteristik personal komisaris utama yang berasal dari berbagai macam
etnis menjadikan masing-masing komisaris utama memiliki sifat dan cara yang
berbeda dalam menjalankan perusahaan. Berdasarkan tabel 4.6 di atas, sebagian
besar komisaris utama perbankan di Indonesia berasal dari kaum pribumi atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
57
orang Indonesia sendiri. Komisaris utama yang berasal dari Indonesia tetap
mendominasi setiap tahunnya. Posisi kedua dan ketiga diisi secara proporsional
dari kalangan etnis Tionghoa dan etnis lainnya, seperti etnis yang berasal dari
Amerika, Eropa, India, Malaysia, dan Jepang.
Berdasarkan hasil statistik deskriptif dan penjelasan di atas maka dapat
diketahui bahwa rerata tingkat risk disclosure sebesar 42,12%; rerata jumlah
anggota dewan komisari adalah 5 orang; rerata proporsi komisaris independen
sebesar 59,20%; rerata proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris
sebesar 72,89%; rerata leverage sebesar 8,26%; rerata profitabilitas sebesar
6,53%; latar belakang pendidikan dewan komisaris yang paling mendominasi
adalah yang berasal dari pendidikan ekonomi dan bisnis; dan latar belakang etnis
yang paling mendominasi adalah dari kalangan pribumi/Indonesia.
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
satu pengujian, yaitu dengan menggunakan analisis regresi berganda. Sebagai
prasyarat pengujian regresi berganda dilakukan uji asumsi klasik untuk
memastikan bahwa data penelitian valid, tidak bias, konsisten, dan penaksiran
koefisien regresinya efisien (Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik terdiri dari
beberapa macam pengujian, meliputi: Normalitas, Multikolonearitas,
Autokorelasi, dan Heteroskedastisitas. Penelitian ini telah memenuhi uji asumsi
klasik. Hasil pengujian asumsi klasik tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
58
Analisis Regresi Berganda
Regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan
masalah yaitu menguji apakah board of directors berpengaruh terhadap risk
disclosure perusahaan. Pengujian regresi berganda ini dilakukan dengan metode
backward3. Pengolahan data menggunakan metode backward pada penelitian ini
menghasilkan enam model persamaan regresi yang memberikan signifikasi
konstanta yang berbeda-beda. Model keenam dipilih karena memiliki nilai
signifikasi konstanta sebesar 0,000 dan nilai anova tertinggi sebesar 14,381 (lihat
Lampiran 5). Model tersebut merupakan model yang paling signifikan dalam
memprediksi risk disclosure.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh board of directors
yang direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis
komisaris utama terhadap risk disclosure dengan leverage dan profitabilitas
sebagai variabel kontrol.
Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda terkait pengaruh board of
directors terhadap risk disclosure diperoleh hasil sebagai berikut:
3 Metode backward adalah salah satu metode pengolahan data dengan cara memasukan semua variabel independen secara keseluruhan dan secara otomatis SPSS menghilangkan satu persatu variabel independen yang dianggap tidak signifikan dalam memprediksi model persamaan regresi sampai didapatkan model persamaan regresi yang paling signifikan (Mauliano, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
59
Tabel 4.7 Hasil Regresi Berganda
Variabel Koefisien t Sig. (Constant) 0, 291 7,887 0,000 BSIZE 0, 028 3,792 0,000* PRODKI -0,050 -0,446 0,657 LBPDK 0,116 1,065 0,290 LBEKU -0,080 -0,709 0,481 Leverage 0,129 1,169 0,246 Profitabilitas -0,028 -0,173 0,863 R Square 0,168 Adjusted R Square 0,157F 14,381Sig 0,000*Secara statistik signifikan pada tingkat 5%
Koefisien Determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh
variabel independen mampu menerangkan variabel dependen. Setiap tambahan
satu variabel independen, maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel
tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena
itu, untuk jumlah variabel independen lebih dari dua, lebih baik menggunakan
koefisien determinasi yang telah disesuaikan yaitu Adjusted R2 ( Ghozali, 2006).
Dari tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa nilai R Square (R2) sebesar 0,168
dan Adjusted R Square (Adjusted R2) sebesar 0,157. Berdasarkan nilai Adjusted
(R2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 15,70% variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variabel independen serta variabel kontrol dan sisanya sebanyak
84,30% dijelaskan oleh faktor lain.
Dalam tabel tersebut juga menunjukkan nilai F hitung sebesar 14,381
dengan probabilitas 0,000 (ρ-value < 0,050). Karena nilai F lebih besar dari 4 dan
probabilitas jauh lebih kecil dari 0,050 maka model regresi ini menunjukkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
60
tingkatan yang baik (good overall model fit) sehingga model regresi dapat
digunakan untuk memprediksi risk disclosure atau dapat dikatakan bahwa ukuran
dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan
dewan komisaris, latar belakang etnis komisaris utama, leverage, dan
profitabilitas secara bersama-sama berpengaruh terhadap risk disclosure (Ghozali,
2006).
Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap risk
disclosure, sedangkan proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan
dewan komisaris, latar belakang etnis komisaris utama, leverage, dan
profitabilitas tidak berpengaruh terhadap risk disclosure.
Dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern
tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor dan mengontrol perilaku
oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelarasakan kepentingan
pemegang saham dan manajemen. Dikaitkan dengan pengungkapan informasi
oleh perusahaan, penelitian yang dilakukan Sembiring (2005) menunjukkan
adanya pengaruh positif antara berbagai karakteristik dewan komisaris dengan
tingkat pengungkapan informasi oleh perusahaan.
Ukuran dewan komisaris (β = 0,028, ρ-value = 0,000) menunjukkan
bahwa ukuran dewan komisaris4 berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
4 Didukung oleh hasil uji t-test (t=3,183, ρ-value=0,000), terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah dewan komisaris yang berada di atas dan di bawah rerata. Dewan komisaris dengan jumlah kurang dari lima orang memiliki rerata tingkat pengungkapan risiko 37,20% dan rerata tingkat pengungkapan risiko 47,50% untuk ukuran dewan komisaris dengan jumlah lima orang atau lebih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
61
risk disclosure. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota
komisaris sebuah perusahaan memberikan pengawasan/kontrol yang lebih optimal
terhadap proses pelaksanaan corporate governance sehingga perusahaan dapat
mengungkapkan risiko (risk disclosure) dengan lebih baik, lengkap, dan
informatif. Dengan pengawasan yang baik dan efektif, dewan komisaris dapat
mendorong manajemen agar dapat lebih transparan dalam mengungkapkan risiko.
Hal ini sesuai dengan fungsi kontrol dewan komisaris seperti disebutkan dalam
bab I.
Ukuran dewan komisaris yang semakin besar menjadikan dewan komisaris
memiliki power (kekuatan) sehingga tekanan yang diberikan untuk melakukan
pengungkapan yang lebih luas juga semakin besar. Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008) yang
menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya. Semakin besar ukuran
ukuran dewan komisaris maka kekuatan yang dimiliki untuk melakukan
monitoring jalannya perusahaan juga semakin besar.
Selain memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan manajemen,
dewan komisaris dengan jumlah yang lebih banyak dapat memberikan jasa
konsultasi atau konseling dengan lebih beragam dan objektif. Semakin banyak
anggota dewan komisaris dapat memberikan jasa konsultasi yang lebih banyak
dan lebih berkualitas. Dalton et al (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian
atau konseling yang diberikan oleh dewan komisaris merupakan jasa yang
berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak dapat diberikan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
62
pasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dewan komisaris sudah
menjalankan fungsi servis dengan baik. Mengenai fungsi utama dewan komisaris
dapat dilihat di bab I.
Koefisien positif ukuran dewan komisaris menunjukkan pengaruh positif
antara ukuran dewan komisaris dengan tingkat pengungkapan risiko. Hasil
peneltian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005),
Collier dan Gregory (2009), dan hasil ini juga berhasil mendukung hasil penelitian
Arifin (2002) yang menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh
positif terhadap luas pengungkapan perusahaan di Indonesia.
Untuk mengilustrasikan pengaruh positif ukuran dewan komisaris, dapat
dilihat pada Bank Negara Indonesia yang memiliki tingkat pengungkapan risiko
paling baik selama tiga tahun, ternyata memiliki jumlah anggota dewan komisaris
sebanyak tujuh orang. Sebaliknya, pada Bank UOB Buana yang memiliki tingkat
pengungkapan risiko paling rendah, hanya memiliki jumlah anggota dewan
komisaris sebanyak satu orang, bahkan komisaris utama tersebut juga merangkap
sebagai komisaris independen. Keadaan ini jelas tidak sesuai dengan apa yang
sudah disyaratkan oleh Bapepam mengenai jumlah anggota dewan komisaris.
Ternyata bank dengan jumlah dewan komisaris lebih banyak memiliki tingkat
pengungkapan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank yang memiliki
dewan komisaris lebih sedikit. Dari pernyataan di atas ditarik kesimpulan bahwa
jumlah dewan komisaris mempengaruhi tingkat pengungkapan risiko yang
dilakukan perbankan. Hasil ini sejalan dengan hipotesis pertama dalam penelitian
ini, sehingga hipotesis pertama diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
63
Proporsi komisaris independen (β = -0,008, ρ-value = 0,657) menunjukkan
bahwa proporsi komisaris independen5 tidak berpengaruh terhadap tingkat risk
disclosure. Koefisien negatif sebesar -0,446 menunjukkan pengaruh negatif antara
proporsi komisaris independen dengan pengungkapan risiko. Hal ini
dimungkinkan karena komisaris independen tidak menggunakan independensinya
untuk mengawasi kebijakan direksi dengan maksimal.
Hal menarik dapat dilihat berkaitan dengan independensi, yaitu bahwa
terdapat fenomena di Indonesia yang memberikan jabatan komisaris kepada
seseorang bukan berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, namun sebagai
penghormatan atau penghargaan. Dapat dikatakan pemilihan komisaris di
Indonesia kurang mempertimbangkan integritas serta kompetensi (Surya dan
Yustiavandana 2006).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa peran dan tanggung jawab dewan
komisaris independen pada perbankan di Indonesia belum berfungsi sebagai mana
mestinya. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya rerata proporsi komisaris
independen di Indonesia sebesar 58,59% hanya untuk mematuhi ketentuan
Bapepam mengenai persyaratan jumlah minimal komisaris independen, bukan
untuk mendorong penerapan corporate governance. Hasil ini konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto dan Afni (2009), Suhardjanto dan
Miranti (2009), Ho dan Wong (2001), Dalton et al (1999), dan Wan Mohamad
dan Sulong (2010). Hasil penelitian ini mendukung survei dari Asian 5 Didukung oleh hasil uji t-test (t=-0,444, ρ-value=0,658), tidak terdapat perbedaan antara proporsi komisaris independen yang di atas maupun di bawah rerata. Proporsi komisaris independen di bawah rerata memiliki tingkat pengungkapan risiko 42,80% dan 41,50% untuk proporsi komisaris independen di atas rerata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
64
Development Bank yang menemukan bahwa kuatnya kendali pendiri perusahaan
dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan dewan komisaris tidak independen
dan fungsi pengawasan tidak efektif karena timbulnya masalah dalam koordinasi,
komunikasi, dan pembuatan keputusan. Hasil ini tidak sejalan dengan hipotesis
kedua dalam penelitian ini, sehingga hipotesis kedua ditolak.
Untuk latar belakang pendidikan dewan komisaris (β = 0,063, ρ-value =
0,290) menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris6 tidak
berpengaruh terhadap tingkat risk disclosure. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris tidak menentukan keputusan
perbankan dalam mengungkapkan informasi mengenai risiko. Jumlah rerata
proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris yang cukup tinggi sebesar
72,00% menunjukkan bahwa jajaran dewan komisaris pada perbankan Indonesia
didominasi oleh figur yang berlatar belakang pendidikan ekonomi/bisnis. Pada
perbankan terdapat dominasi anggota dewan komisaris yang memiliki latar
belakang pendidikan ekonomi/bisnis dan dianggap telah sesuai dengan disiplin
ilmu mereka di mana sampel dari penelitian ini adalah industri perbankan. Dalam
penelitian ini proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris bukan variabel
yang berpengaruh terhadap pengungkapan risiko. Hasil penelitian ini konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto dan Afni (2009), Suhardjanto
6 Didukung oleh hasil uji t-test (t=1,171, ρ-value=0,246), tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara proporsi latar belakang pendidikan dewan komisaris yang berada di atas maupun di bawah rerata. Perbankan yang memiliki proporsi latar belakang pendidikan ekonomi/bisnis yang lebih besar melakukan pengungkapan risiko sebesar 43,80% dan tingkat pengungkapan risiko sebesar 40,30% untuk sebaliknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
65
dan Miranti (2009), serta Suhardjanto dan Anggitarani (2010), sehingga hipotesis
ketiga ditolak.
Latar belakang etnis7 komisaris utama (β = -0,012, ρ-value = 0,481)
menunjukkan bahwa latar belakang etnis komisaris utama8 tidak berpengaruh
terhadap risk disclosure. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian
yang dilakukan oleh Khan (2010) dan Erhardt et al (2003). Hasil penelitian ini
juga tidak dapat membuktikan penelitian dari Kusumastuti et al (2007) yang
menyatakan bahwa keberadaan etnis Tionghoa dalam anggota dewan dapat
mempengaruhi nilai perusahaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa keberadaan
komisaris asing pada perbankan di Indonesia belum dapat memainkan peran
penting dalam mendukung strategi pelaporan seperti diungkapan oleh Ayuso dan
Argandona (2007).
Pada penelitian ini, baik perbankan yang memiliki latar belakang etnis dari
pribumi, Tionghoa, maupun lainnya/asing tidak mempengaruhi tingkat
pengungkapan risiko. Untuk perbankan dengan tingkat pengungkapan risiko yang
tinggi seperti Bank Negara Indonesia memiliki komisaris utama yang berasal dari
kaum pribumi, Bank Danamon berasal dari etnis Tionghoa, dan Bank Central
Asia berasal dari etnis asing. Begitu juga dengan perbankan dengan tingkat
pengungkapan risiko yang rendah. Contohnya, komisaris utama yang berasal dari
7 Variabel latar belakang etnis komisaris utama harus dilihat secara berhati-hati dalam menginterpretasikan karena variabel ini merupakan variabel dummy. Arah positif dan negatif tergantung dari cara pemberian kode. 8 Hasil didukung oleh uji Analysis of Variance (F=0,023, ρ-value=0,977), tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara komisaris utama yang berasal dari pribumi, Tionghoa, maupun etnis asing/lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
66
etnis asing seperti Bank Nusantara Parahyangan, etnis pribumi pada Bank
Agroniaga, dan etnis Tionghoa pada Bank Bumi Artha. Dapat ditarik kesimpulan,
keberadaan komisaris utama dari etnis tertentu tidak menjamin bahwa perbankan
akan mengungkapkan risikonya secara luas. Hasil ini tidak sejalan dengan
hipotesis ketiga dalam penelitian ini, sehingga hipotesis keempat ditolak.
Nilai leverage pada tabel 4.7 (β = 0,003, ρ-value = 0,246) menunjukkan
bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap tingkat risk disclosure perusahaan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amran et al
(2009) yang menunjukkan bahwa tingkat leverage tidak berpengaruh terhadap
luas pengungkapan dan juga Sembiring (2005) yang mengemukakan tingkat
leverage perusahaan tidak mempengaruhi luas pengungkapan tanggung jawab
sosial perusahaan.
Koefisien leverage pada tabel 4.7 menunjukkan nilai yang positif. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat leverage maka semakin tinggi tingkat
risk disclosure perusahaan. Hal ini sesuai dengan Sembiring (2005) yang
mengaitkan hal ini dengan hubungan yang baik antara perusahaan dengan
debtholders, walaupun mempunyai suatu derajat ketergantungan yang tinggi pada
utang. Aktivitas yang berhubungan dengan utang memiliki tingkat risiko yang
cukup tinggi sehingga perlu adanya manajemen risiko yang baik dalam rangka
memitigasi risiko yang terjadi. Dengan adanya pengungkapan yang lebih lengkap
dapat membantu stakeholder untuk memahami risiko yang terkait dengan
perusahaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
67
Selain leverage, variabel kontrol lain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah profitabilitas yang diproksikan menggunakan return on equity (ROE).
Profitabilitas (β = -0,028, ρ-value = 0,863) tidak berpengaruh terhadap tingkat
risk disclosure perusahaan. Bank dengan tingkat laba yang tinggi tidak
mempengaruhi tingkat pengungkapan risiko walaupun pengungkapan penting
bagi stakeholders untuk mengambil keputusan terutama terkait risiko.
Hasil profitabilitas pada tabel 4.7 ini menunjukkan bahwa ROE mimiliki
nilai negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas
(ROE) maka semakin rendah tingkat risk disclosure perusahaan. Penelitian ini
konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) yang
menyatakan besar kecilnya profitabilitas tidak mempengaruhi tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahan tidak menjamin
bahwa perusahaan tersebut lebih banyak melakukan pengungkapan risiko.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
68
BAB V
PENUTUP
Setelah dilakukan analisis hasil pembahasan pada bab IV, maka pada bab ini
akan dibahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, saran, keterbatasan, dan
rekomendasi untuk peneliti selanjutnya.
A. Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan dengan menguji peran board of directors
(direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris
independen, latar belakang pendidikan dewan komisaris, dan latar belakang etnis
komisaris utama) dalam praktik risk disclosure pada perbankan Indonesia dengan
leverage dan profitabilitas sebagai variabel kontrol. Dari hasil penelitian yang
diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil regresi berganda menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh board of directors terhadap risk disclosure perusahaan.
Variabel board of directors yang berpengaruh terhadap risk disclosure yaitu
ukuran dewan komisaris. Hasil itu mengindikasikan bahwa dewan komisaris
berhasil dalam menjalankan dua fungsi utamanya, yaitu fungsi servis dan
fungsi kontrol. Dewan komisaris melakasanakan fungsi servis dengan
memberikan jasa konsultasi dan konseling yang berkualitas bagi manajemen.
Semakin besar anggota dewan komisaris akan memberikan alternatif
konsultasi yang lebih beragam. Kekuatan (power) yang dimiliki oleh dewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
69
semakin besar dalam mempengaruhi keputusan yang diambil oleh
manajemen. Semakin besar anggota dewan komisaris juga memberikan
pengawasan yang lebih optimal terhadap proses pelaksanaan corporate
governance sehingga perusahaan dapat mengungkapkan risiko dengan lebih
baik, lengkap, dan informatif. Variabel yang tidak berpengaruh terhadap risk
disclosure adalah proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan
dewan komisaris, dan latar belakang etnis komisaris utama.
2. Rerata tingkat risk disclosure (RDS) adalah sebesar 42,12% (partly comply).
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan risiko pada annual report
perbankan di Indonesia masih rendah mengingat pengungkapan risiko adalah
salah satu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) seperti disebutkan
dalam PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) dan P3LKEPPBANK
(2008). Rendahnya tingkat pengungkapan risiko karena belum adanya
kejelasan mengenai item pengungkapan, sehingga perbankan sendiri masih
seperti kebingungan mengenai apa saja yang harus diungkapkan dalam
annual report. Pengungkapan risiko yang paling banyak dilakukan adalah
pengungkapan risiko kepatuhan. Hal ini terjadi karena risiko kepatuhan
terkait dengan kepatuhan implementasi Undang-Undang yang ada pada
perbankan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
70
B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Dewan komisaris sebagai komponen penting yang mendukung terlaksananya
corporate governance harus meningkatkan perannya sehingga dapat
meningkatkan tingkat pengungkapan wajib seperti pengungkapan risiko.
2. Pengungkapan risiko pada annual report harus lebih ditingkatkan.
Diperlukan pedoman mengenai pengungkapan risiko sehingga ada
pemahaman yang sama untuk semua perusahaan mengenai item apa saja yang
harus diungkapkan terkait risiko perusahaan. Sampai saat ini belum ada
pedoman yang mengatur pengungkapan atas risiko secara terinci. Bank
Indonesia, sebagai regulator perbankan di Indonesia, sebaiknya dapat
mengkaji lebih lanjut mengenai hal ini.
3. Perlu diadakan sosialisasi mengenai penerapan PSAK No. 50
(Revisi 2006) yang sudah diperbarui menjadi menjadi PSAK No. 60 (Revisi
2010) agar di tahun 2012 kelak aturan ini benar-benar sudah dapat diterapkan
di perbankan. PSAK No.60 (Revisi 2010) ini dapat menjadi acuan utama
dalam penerapan pengungkapan risiko. PSAK No. 60 (Revisi 2010) ini
diharapkan dapat berjalan berdampingan dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 11/25/PBI/2009 dalam mengawal pelaksanaan dan pengungkapan
risiko di perbankan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
71
C. Keterbatasan
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah belum adanya regulasi yang jelas
yang mengatur mengenai pengungkapan risiko. Karakteristik item yang digunakan
untuk mengukur tingkat pengungkapan risiko masih umum dan kurang spesifik.
Hal tersebut mengakibatkan adanya kendala untuk mengukur tingkat
pengungkapan risiko.
D. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan peneliti untuk penelitian selanjutnya
adalah sebagai berikut:
1. Peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian mengenai pengungkapan
atas risiko secara lebih terperinci seperti yang disebutkan dalam
karakteristik pengungkapan risiko untuk masing-masing jenis risiko yang
terdapat dalam lampiran I.
2. Item pengungkapan dalam penelitian ini mengacu pada PBI Nomor:
5/8/PBI/2003. Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan
peraturan yang lebih baru, seperti PSAK 50 (2006) yang sudah diubah
menjadi PSAK 60 (Revisi 2010) dan P3LKEPPBANK (2008).
3. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan komparasi mengenai
pengungkapan risiko di Indonesia dengan negara berkembang lainnya
yang sudah mewajibkan atau yang belum mewajibkan penerapan
pengungkapan risiko.