Upload
hendra-riswan
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Green Energy Village: Sebuah Cerita yang Terlupakan dari Biomassa
sebagai Kunci Indonesia Mandiri Energi
Oleh: Mohammad Fariz
115020101111030 - Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis- Universitas Brawijaya
Keynesian dan Permasalahan Energi di Indonesia
Sebuah teori konsumsi dari ekonom klasik John Maynard Keynes atau lebih dikenal
dengan Aliran Keynesian secara matematis dilambangkan dengan fungsi C = a + bY, yang
menjelaskan pada saat pendapatan seseorang semakin tinggi maka semakin tinggi pula tingkat
konsumsi dan tabungannya. Empiris dari asumsi Keynesian di atas menjadi pijakan bagi saya
untuk mengaitkannya dengan kondisi energi di Indonesia.
Outlook Energi Indonesia 2011 menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan PDB meningkat beriringan dengan pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia
sebagaimana teori Keynesian. Semakin banyak penduduk (dalam hal ini 237.6 juta jiwa dengan
laju pertumbuhan penduduk 1,5 persen pertahun) dengan pendapatannya yang meningkat
(dalam hal ini agregat PDB sebesar 6,11 persen dengan kenaikan kelas menengah sebesar 7
juta orang pertahun) maka tingkat konsumsi energi dalam melakukan kegiatan ekonomi juga
semakin meningkat. Dalam kurun waktu tahun 2000-2009 konsumsi energi nasional
mengalami kenaikan dari 709,1 juta SBM (Setara Barrel Minyak) menjadi 865,4 juta SBM
pada tahun 2009 atau meningkat sekitar 7% pertahun. Angka konsumsi di atas juga
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia,
di mana tingkat konsumsi dunia hanya mencapai rata-rata 2,6% pertahun. Yang menjadi
permasalahan adalah konsumsi energi ini masih didominasi oleh Bahan Bakar Minyak (BBM),
gas bumi dan batu bara yang merupakan energi fosil yang tidak terbaharukan.
Permasalahan pertama penggunaan BBM, gas bumi dan batu bara adalah mengenai
keberlanjutan pasokan energi tersebut di Indonesia. Menurut Wakil Direktur ReforMiner
Institute, Komaidi Notonegoro, Indonesia bukanlah negara yang kaya akan hasil energi fosil
karena penyediaan minyak Indonesia tinggal 12 tahun lagi, gas 32 tahun lagi dan batubara
tinggal 77 tahun lagi dengan asumsi tidak akan ditemukan sumber baru di Indonesia. Outlook
Energi Nasional 2011 juga membuktikan bahwa produksi minyak mentah mengalami
penurunan dengan laju 6,6% pertahun dan gas 0,19% pertahun, sementara hal ini tidak
diimbangi dengan tingginya peningkatan konsumsi energi nasional. Ekspor minyak mentah
akan terus turun dengan laju penurunan 2,4% pertahun hingga berakhir pada tahun 2027, dan
menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor energi (net importer).
Permasalahan kedua dari penggunaan bahan bakar fosil adalah mengenai isu
lingkungan. Penggunaan bahan bakar minyak, gas, dan batubara dalam industri maupun
kehidupan sehari-hari menyumbangkan 74% dari total emisi gas CO2 sebagai gas utama rumah
kaca. Permasalahan ketiga adalah masalah anggaran pemerintah akan BBM. Anggaran subsidi
BBM semakin melebih garis anggaran, sehingga anggaran BBM pun mengalami defisit. Dalam
APBN 2012 pemerintah mengalokasikan subsidi BBM 40,4 juta kiloliter tetapi pada
kenyataannya pada akhir 2012 menjadi 45,2 juta kiloliter. Anggaran yang tadinya Rp 137
triliun meningkat menjadi Rp 230 triliun. Anggaran subsidi dalam RAPBN 2013 meningkat
18% dari pagu belanja subsidi dalam APBNP 2012 sebesar Rp 268,1 T (termasuk cadangan
risiko energi Rp23 T pada belanja lain-lain), atau naik lebih dari 2 kali lipat dibanding realisasi
tahun 2007 (Rp150,2 T). Setiap harinya pemerintah melakukan impor minyak sebesar 360 ribu
SBM atau US$ 36 juta.
Sebuah Cerita yang Terlupakan dari Biomassa
Tepat pertengahan bulan lalu, tepatnya tanggal 23 Agustus 2013, saya mengunjungi
kawan satu jurusan saya, Azzuhri Tri Ahara di rumahnya di desa Watugolong, Kecamatan
Krian, Kabupaten Sidoarjo dengan perjalanan sekitar 2 jam via bus Malang-Surabaya. Dengan
sisa-sisa suasana lebaran saya memanfaatkan peluang ini sebagai momentum silaturahmi dan
melepas kerinduan diskusi dengan teman seperjuangan saya. Zuhri, sapaan teman akrab saya
ini, saya kenal sebagai pribadi yang aktif dalam perkuliahan dan pengkajian ekonomi sumber
daya, salah satunya adalah isu energi dan pertanian di Indonesia. Berbagai macam karyanya
dalam bentuk paper ilmiah berhasil mendapatkan penghargaan dalam berbagai kompetisi
tingkat nasional.
Penanganan sektor energi keberlanjutan menjadi diskusi menarik dan hangat salah
satunya adalah argumennya tentang sistem bottom-up yang terintegrasi dalam memecahkan
isu energi nasional. Kawan saya ini berpendapat, bahwa Indonesia merupakan surganya energi
terbaharukan salah satunya adalah potensi biomassa yang melimpah. Perlu dibentuk suatu
wadah yang mengatur kelembagaan masyarakat dalam mengelola potensi ini secara mandiri
Salah satu konsep menarik yang dia ajukan adalah One Village, One Reactor yang
mengusung gagasan pembuatan rektor berskala Home Industry berdasarkan pengamatan
penggunaan kotoran sapi sebagai biogas di desa Wonoagung, Kecamatan Kesambon,
Kabupaten Malang yang baru-baru ini dinobatkan sebagai Desa Mandiri Energi dan tengah
dikembangkan sebagai pusat percontohan bioenergi dari kotoran sapi nasional. Dalam
pengembangan desa mandiri energi yang kawan saya gagaskan ini, perlu adanya kerja sama
antara pemerintah sebagai regulator yang bersifat support and protect serta inisiatif membuka
gerbang dalam menjembatani kerja sama antar sektor, akademisi sebagai basis riset dan
pengembangan teknologi, serta sektor swasta sebagai investor dan center of excellence atau
lebih dikenal dengan pola Triple Helix. Masalah pendanaan bisa didapat melalui integrasi
anggaran APBN atau APBD serta pemanfaatan optimal dana sosial yang belum
termaksimalkan, seperti CSR perusahaan atau instrumen keuangan publik Islam semisal
ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadakah, dan Wakaf) di mana potensi keduanya sangat besar.
Semuanya harus butuh regulasi dengan benar untuk memberdayakan masyarakat. Peran
masyarakat di sini sangat vital, karena merekalah subjek dalam pengembangan desa mandiri
energi ke depan. Terangnya.
Masih dalam suasana diskusi menarik tentang energi berkelanjutan, keesokan harinya
kami menyempatkan diri berkunjung ke Desa Sumo Kali, Kecamatan Candi via sepeda motor
dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari desa Watugolong, Krian. Tujuan kami adalah
menemui Bapak Bambang Permadi yang pernah mendapatkan sorotan publik karena
kreativitasnya dalam mengolah biomassa eceng gondok menjadi bioethanol pengganti bensin.
Dengan suasana silaturahmi yang sederhana waktu itu, beliau menceritakan bahwa idenya ini
dilatarbelakangi oleh sifat minyak yang sangat elastis bagi kehidupan. kalau minyak naik,
semua ongkos jadi naik dan harga barang-barang juga ikutan naik, kasihan yang nggak
mampu beli. Ungkapnya. Selain itu ide ini juga didasari dengan keprihatinannya akan kondisi
eceng gondok yang menumpuk bersama sampah di sungai dan sering dikeluhkan oleh
masyarakat setempat sehingga mendorongnya melakukan sebuah inovasi.
Teknologi pembuatan bioenergi dari eceng gondok Bapak Bambang bisa dibilang
sangat sederhana dan ekonomis. Beliau membuatnya dengan alat-alat keseharian seperti drum,
panci, dan pipa yang dia susun sedemikian rupa menjadi alat penyulingan. Cara pembuatan
juga bisa dibilang sangat praktis. Pertama tanaman eceng gondok dijemur sampai kering,
kemudian dicampur dengan ragi tape serta dicampur roti bekas yang sudah berjamur. Semua
bahan tersebut diaduk-aduk rata lalu dimasak sampai mendidih. Setelah mendidih uapnya
disuling hingga menghasilkan bioethanol. Kalau dikembangkan dalam skala besar, pasti
bioethanol ini sangat ekonomis. Toh jarak tempuhnya nggak jauh beda dengan bensin. Dan
memang perlu penelitian lebih mendalam. Ujar beliau sembari memberikan kami sampel
bioethanol dari eceng gondok.
Perjalanan yang kami akhiri di siang hari tersebut memberi berbagai pengalaman dan
ilmu yang sangat menarik bagi kami berdua. Pertama kami sadar bahwa semakin lama, harga
minyak dunia akan semakin mahal akibat kelangkaan dan kondisi iklim ekonomi-politik dunia
yang tidak menentu. Kedua, kami menyadari bahwa energi terutama minyak merupakan
sesuatu yang sangat penting dan berpengaruh besar dalam menggerakkan roda ekonomi suatu
bangsa. Ketiga, kami menyadari dengan betul bahwa sekali lagi, potensi Indonesia akan
biomassa untuk kebutuhan bioenergi sangatlah besar. Dan yang terakhir, kami menyadari
bahwa banyak sekali anak bangsa yang mampu memanfaatkan biomassa sebagai solusi mereka
dengan kesederhanaan teknologi yang mereka kembangkan.
Namun entah kenapa, cerita membanggakan ini seakan terlupakan oleh pesimisme
yang terangkat di mata publik. Sebagian besar publik seolah telah terdoktrin untuk tetap
berpangku pada bahan bakar fosil. Hal ini mungkin juga dialami oleh pemangku kebijakan di
negeri ini sehingga tak heran, ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM maka
terjadi public shock di masyarakat. Sekali lagi, atas nama kepentingan masyarakat maka
masyarakat jugalah yang menjadi korbannya.
Green Energy Village: sebagai Kunci Indonesia Mandiri Energi
Dunia internasional di bawah pimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mencanangkan inisiatif Energi Berkelanjutan untuk Semua (Sustainable Energy for All/SEFA)
yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dunia dan juga komitmen masyarakat umum dan
pihak swasta, dalam mewujudkan tiga tujuan yang harus dicapai di tahun 2030, yaitu: (1)
memastikan akses universal untuk pelayanan energi modern; (2) peningkatan efisiensi energi
sebanyak dua kali lipat; dan (3) peningkatan jumlah energi terbarukan sebanyak dua kali lipat
pada keberadaan energi global. Tahun 2012 dinobatkan sebagai Tahun Internasional tentang
Energi Berkelanjutan untuk Semua.
Menelaah lebih dalam, Indonesia seharusnya mampu mengambil peran sebagai pusat
pengembangan energi berkelanjutan, salah satunya melalui pemanfaatan energi berbasis
biomassa. Sebagai negara dengan julukan sebagai negara Zamrud Khatulistiwa merupakan
bukti nyata bahwa Indonesia memiliki potensi sebagai Mega Diversity dan merupakan
Mega Center keanekaragaman hayati dunia. Penelitian yang dilakukan oleh pihak
Kementrian Riset dan Teknologi (Menristek) Indonesia menyebutkan bahwa kira-kira terdapat
60 jenis tanaman di Indonesia sebagai bahan bakar alternatif atau bioenergi baik sebagai
biodiesel, bioethanol, bio-oil maupun biogas yang berasal dari tanaman pangan, perkebunan
dan tanaman non-pangan. Bahkan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
potensi bioenergi Indonesia baik biodiesel, bioethanol, maupun biogas mencapai 49.810 KW
dan apabila dimanfaatkan dengan optimal tidak hanya membuat Indonesia memiliki ketahanan
energi tapi mampu memasok energi bagi kebutuhan dunia, yaitu berasal dari limbah pertanian,
perkebunan, dan kehutanan serta industri berbasis kayu dengan total 120 juta ton. Mengutip
dari Agenda Riset IPB 2009-2012, sampai saat ini perkembangan penelitian dan
pembangunan biomassa untuk kebutuhan energi listrik mencapai 51 unit potensial di seluruh
Indonesia
Berdasarkan fakta di atas maka pengembangan Green Energy Village sangat perlu
dilakukan. Yaitu pengembangan desa mandiri energi yang memanfaatkan segala potensi energi
terbaharukan dari biomassa, baik limbah pertanian, perkebunan, maupun kehutanan serta
industri berbasis kayu. Bahkan pada generasi bioenergi ketiga sangat perlu dilakukan
pemanfaatan mikroalga sebagai sumber bioenergi.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Tatang H. Soerawidjaja, Anggota Dewan Riset
Nasional (DRN) Komisi Teknis Energi, dan Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI)
pada Lokakarya Gasifikasi Biomassa, Labtex X, Kampus ITB, Bandung, 16-17 Desember
2010 menyebutkan tentang pentingnya pengelolaan bioenergi berbasis biomassa di Indonesia
yang perlu segera dilakukan karena tersedia di hampir setiap pulau di Indonesia. Analisis
perhitungannya memperhitungkan bahwa harga bahan bakar pembangkit listrik dari bioenergi
Rp2000/kWh meliputi pengangkutan solar ke lokasi, depresiasi, perawatan mesin dan biaya
pegawai. Beliau juga mengingatkan bahwa negara maju sudah bersiap-siap melakukan impor
biomassa untuk dimanfaatkan dan dikelola di negaranya dan yang lebih buruk akan di jual
kembali ke negara bahan baku (sama dengan kasus energi fosil di Indonesia saat ini).
Sekali lagi, integrasi peran semua pihak sangat perlu dilakukan dalam mewujudkan
partnership yang saling membangun seperti yang diungkapkan di muka. Inilah saatnya.
Mengangkat kisah yang terlupakan dari potensi biomassa di Indonesia menjadi suatu prioritas
yang sangat penting. Menjadi kunci dalam membangun Indonesia yang mandiri energi, serta
memutuskan takdir sebagai importir BBM. Inilah saatnya melibatkan anak bangsa dalam
pengembangan karya mereka terhadap energi hijau dari biomassa menuju lebih maju dan besar.