Upload
man-diaz
View
10
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
SEMINAR
SCREENING THALASEMIAPROFESI DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK
DI RUANG 7 B IRBA IV RS dr SAIFUL ANWAR MALANG
OLEH :Lilik Nurhidayati 105070209111028Neneng SR 105070209111029 Nasrullah 105070209111027Lilik Setyorini 105070209111026Abdurrakhman 105070209111032M Amin 105070209111031Ardyad Mirnanita 105070209111030Farida MM 105070209111023Sri Winarsih 105070209111025Winda Dwi saputra 105070209111024Taufik Ardiakso 1050702091110Eka chrisndi 0710723020Puspita Rosiana D 0910722067
JURUSAN KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG2013
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah seminar Profesi
Keperawatan Anak. Makalah ini kami susun sebagai salah satu tugas yang
diberikan kepada kami sebagai pertanggungjawaban selama Praktek Klinik
Keperawatan Anak di R HCU, R 7B, dan R 15 RS dr Saiful Anwar Malang .
Dalam pelaksanaan kegiatan, baik selama praktek maupun dalam
penyusunan makalah kami banyak mendapat bimbingan, pengarahan, serta
masukan dari berbagai pihak, oleh sebab itu kami sampaikan terima kasih
kepada yang terhormat :
1. Ns. Septi…, sebagai pembimbing institusi yang dengan sabar dalam
membimbing kami agar cepat terselesainya makalah ini.
2. Ns. Nisa….., S.Kep, sebagai CI Ruangan yang dengan sabar dalam
membimbing kami.
3. Ns Irwan S.Kep. Sebagai kepala ruang HCU yang telah memberi arahan
dan memberikan kesempatan menuntut ilmu kepada kami.
4. Ns. Siti S.Kep Sebagai kepala ruang 15 yang telah memberi arahan dan
memberikan kesempatan menuntut ilmu kepada kami.
5. Semua perawat dan pegawai R 7B, HCU dan R 15.
6. Semua pihak yang telah membantu kami yang tidak bisa kami sebutkan
satu per satu.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kami membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Malang, Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Judul..................................................................................................... i
Kata Pengantar..................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................... 1
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
2.1 Thalasemia................................................................... 2
2.1.1 Pengertian.......................................................................3
2.1.2 Etiologi.......................................................................... 3
2.1.3 Pathofisiologi...................................................................5
2.1.4 Manifestasi Klinis.............................................................5
2.1.5 Komplikasi.......................................................................6
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................9
2.2 Pencegahan Thalsemia.................................................10
2.2.1 Skrining Karier...............................................................10
2.2.2 Konseling Genetika.......................................................10
2.2.3 Diagnosis Prenatal .......................................................11
2.3 Skrining Thalasemia......................................................20
2.3.1 Skrining Karier...............................................................20
2.3.2 Strategi Skrining Thalasemia.........................................21
2.3.3 Teknik dan Metode Skrining Thalassemia β Homozigot dan β-
HbE................................................................................22
2.3.4 Kebijakan, Strategi, dan Pelaksanaan Program Pencegahan
Thalassemia β Homozigot dan Thalassemia β -HbE di
Indonesia.......................................................................25
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Alasan Belum Dilaksanakan Screening.........................30
3.2 Faktor yang Tidak Mendukung......................................30
3.3 Peran Perawat...............................................................30
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan....................................................................33
4.2 Saran.............................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN
Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen tunggal
(single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia. Penyebaran
penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua (sub-continent) India
dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina bagian selatan, Thailand,
semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan Indonesia.1,2 Daerah-daerah tersebut
lazim disebut daerah sabuk thalassemia, dengan kisaran prevalens thalassemia
sebesar 2,515%.3 World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan
bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total
penduduk dunia adalah pembawa sifat (bentuk heterozigot).4 Dari jumlah tersebut
sebanyak 80-90 juta adalah pembawa sifat thalassemia dan sisanya adalah pembawa
sifat thalassemia , jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO,
dan lain-lain. Saat ini sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat
kelainan ini.5
Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia- adalah 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%,6 sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-
36%.7 Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka
kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien thalassemia
baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak.
Sementara itu, biaya pengobatan suportif seperti transfusi darah dan kelasi besi
seumur hidup pada seorang pasien thalassemia sangat besar, yakni berkisar 200-300
juta rupiah/anak/tahun, diluar biaya pengobatan jika terjadi komplikasi. Selain itu,
beban psikologis juga menjadi hal yang harus ditanggung oleh pasien dan
keluarganya.
Thalassemia telah menimbulkan berbagai masalah kesehatan dunia terutama
pada negara-negara berkembang sehingga WHO (1983) telah mencantumkan
program penanganannya. Keberadaan penyakit tersebut di Indonesia, harus dianggap
sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius, karena skrining pengemban sifat
kelainan darah tersebut pada berbagai populasi menujukkan angka yang cukup
memprihatinkan. Pada beberapa populasi, frekuensi pengemban sifat thalassemia
sangat tinggi mencapai 10% dan 36% untuk Hb-E (Lanni, 2002). Sumatera Utara
khususnya Medan, pengemban sifat thalassemia alfa mencapai 7,69% dengan
taksiran 6,35% sampai 9,03% yang terdiri dari thalassemia yaitu 3,35% dengan
taksiran 2,45% sampai 4,2%, pengemban sifat thalassemia beta yaitu 4,07% dengan
taksiran antara 3,08% sampai 5,06% dan 0,26% HbE dengan taksiran 0,004% sampai
0,576% yang terdistribusi pada berbagai suku di Medan, yaitu suku Batak, Jawa, Cina,
Melayu, Minangkabau, dan Aceh (Ganie, 2003).
Sampai saat ini, thalassemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-
satunya bagi pasien adalah dengan melakukan transfusi darah rata-rata sebulan sekali
seumur hidupnya, di samping terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi
dalam tubuh akibat transfusi darah rutin. Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan
pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya muncul pada dekade kedua,
tetapi dengan tatalaksana yang baik usia pasien dapat diperpanjang. Data Pusat
Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, mencatat usia tertua
pasien mencapai 40 tahun dan bisa berkeluarga serta memiliki keturunan. Jumlah
pasien yang terdaftar di Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
FKUI-RSCM, sampai dengan bulan Agustus 2009 mencapai 1.494 pasien dengan
rentang usia terbanyak antara 11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat setiap
tahunnya mencapai 100 orang/tahun.
Banyak studi menunjukkan bahwa program pencegahan thalassemia akan
lebih menguntungkan daripada mengobati penderita yang terus bertambah.8,9
Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka program pengelolaan penyakit
thalassemia seharusnya lebih ditujukan kepada pencegahan lahirnya pasien
thalassemia mayor. Salah satu caranya ialah melalui skrining thalassemia terutama
pada pasangan usia subur yang dilanjutkan dengan diagnosis pranatal. Biaya
pemeriksaan skrining thalassemia sekitar 350-400 ribu rupiah/orang. Jumlah ini tentu
jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan satu orang pasien selama
setahun. Jika penanganan seorang pasien sekitar 300 juta rupiah maka biaya tersebut
setara dengan biaya pemeriksaan skrining thalassemia untuk sekitar 750 orang. Lebih
lanjut WHO menyatakan besarnya biaya tahunan program nasional pencegahan
thalassemia sama dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk penanganan medis
1 orang pasien selama 1 tahun.10 Biaya program pencegahan thalassemia ini relatif
konstan, sementara biaya penanganan medis cenderung terus meningkat dari tahun
ke tahun. Sayangnya, meskipun dampak ekonomi dan psikososial yang diakibatkannya
cukup berat, sampai saat ini belum ada kebijakan nasional dalam hal pencegahan
thalassemia di Indonesia. Bagaimana bentuk program pencegahan, metode skrining
yang tepat guna dan mampu laksana, serta implikasi sosio-etiko-legalnya di Indonesia
memerlukan kajian ilmiah yang berbasis bukti dari pengalaman berbagai negara di
dunia.
Jika tidak ada tindakan preventif atau pengendalian dalam bentuk apapun,
maka angka tersebut akan terus bertambah. Tindakan preventif yang dianjurkan oleh
WHO (1994) dalam pengendalian thalassemia dan hemoglobinopati pada negara-
negara berkembang adalah tindakan preventif berupa skrining penyakit thalassemia
pada pupulasi tertentu, konseling genetik pranikah dan prenatal diagnosis. Konseling
genetik pranikah ditujukan untuk pasangan pranikah terutama pada populasi yang
berprevalensi tinggi (berprevalensi > 5%) untuk memeriksakan diri apakah mereka
mengemban sifat genetik tersebut atau tidak. Konseling genetik juga ditujukan kepada
mereka yang mempunyai kerabat dekat penderita thalassemia. Berdasarkan penelitian
skrining pada donor darah dari populasi di kota Medan, prevalensi thalassemia
(thalassemia alfa dan thalassemia beta) > 5 % yaitu 7,69% dengan taksiran 6,35 -
9,03%. Karena itu, konseling genetik harus segera disosialisasikan untuk mengurangi
insidensi thalassemia pada masa yang akan datang.
Uraian ringkas dalam latar belakang diatas di jadikan sebagai dasar bagi
kelompok I untuk mempersentasikan tentang pencegahan thalasemia dengan strategi
screening test di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara mencegah terjadinya thalasemia dengan menggunakan tehnik
screening pada masyarakat dan keluarga pasien dirumah sakit ?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengertian, penyebab dan mencegah terjadinya thalasemia dengan
tehnik screening test kepada masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian thalasemia
b. Untuk mengetahui penyebab terjadinya thalasemia.
c. Untuk mengetahui cara pencegahan pada thalasemia
d. Mencegah perluasan penyakit thalasemia dengan menggunakan strategi
screening thalasemia di masyarakat.
1.4 Manfaat penulisan
Dapat mengetahui bagaimana terjadinya thalasemia dan bagamiana cara
pencegahan serta dapat mencegah perluasan kejadian penyakit thalasemia
dengan strategi screening test.
BAB II
2.1 Thalasemia
2.1.1 Pengertian Thlasemia
Penyakit thalasemia merupakan kelompok herediter anemia hemolitik, ditandai oleh gangguan sintesis rantai polipeptida komponen protein pada hemoglobin. Sebagai konsekuensinya, sintesis sel darah merah juga akan terganggu. (Kowalak, 2012)
Thalassemia diartikan sebagai sekumpulan gangguan genetik yang mengakibatkan berkurang atau tidak ada sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin. Klasifikasi thalassemia didasarkan atas jenis subunit globin yang mengalami defek, yaitu thalassemia α, thalassemia β, thalassemia δβ, dan thalassemia δγβ. Sejauh ini, jenis thalassemia α dan β dianggap yang cukup penting. Pada populasi, yang banyak ditemukan adalah thalassemia β, juga sering dijumpai varian gen hemoglobin seperti Hb S, C, dan E. Penyakit yang penting pada golongan ini adalah sickle cell thalassemia dan Hb E thalassemia
Macam – macam Thalasemia :
1. Thalasemia beta
Merupakan anemia yang sering dijumpai yang diakibatkan oleh defek yang diturunkan dalam sintesis rantai beta hemoglobin.
Thalasemia beta meliputi:
a. Thalasemia beta mayor
Bentuk homozigot merupakan anemia hipokrom mikrositik yang berat dengan hemolisis di dalam sumsum tulang dimulai pada tahun pertama kehidupan.
Kedua orang tua merupakan pembawa “ciri”. Gejala – gejala bersifat sekunder akibat anemia dan meliputi pucat, wajah yang karakteristik akibat pelebaran tulang tabular pada tabular pada kranium, ikterus dengan derajat yang bervariasi, dan hepatosplenomegali.
b. Thalasemia Intermedia dan minor
Pada bentuk heterozigot, dapat dijumpai tanda – tanda anemia ringan dan splenomegali. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan kadar Hb bervariasi, normal agak rendah atau meningkat (polisitemia). Bilirubin dalam serum meningkat, kadar bilirubin sedikit meningkat.
2. Thalasemia alpa
Merupakan thalasemia dengan defisiensi pada rantai a.
2.1.2 Etiologi
Penyebab thalasemia adalah:
- Pewarisan homozigus gen autosom yang parsial dominan (thalasemia mayor atau thalasemia intermedia
- PEWARISAN HETEROZIGUS gen yang sama (thalasemia minor)
2.1.3 Patofisiologi
Hemoglobin paska kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alpa dan beta polipeptide. Dalam beta thalasemia ada penurunan sebagian atau keseluruhan dalam proses sintesis molekul hemoglobin rantai beta. Konsekuensinya adanya peningkatan compensatori dalam proses pensintesisan rantai alpa dan produksi rantai gamma tetap aktif, dan menyebabkan ketidaksempurnaan formasi hemoglobin. Polipeptid yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil, mudah terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia yang parah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk dalam jumlah yang banyak, atau setidaknya bone marrow ditekan dengan terapi transfusi. Kelebihan fe dari penambahan RBCs dalam transfusi serta kerusakan yang cepat dari sel defectif, disimpan dalam berbagai organ (hemosiderosis).
Bayi baru lahir dengan thalasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi beberapa minggu pada setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pensitopenia akibat hipersplenisme.
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati
(sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan pericardium (perikerditis).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejalayang mungkin pada thalasemia mayor (yang juga dikenal sebagai anemia Cooley, penyakit Mediteranea, dan anemia eritroblastik) adalah:
- Bayi yang sehat pada saat lahir, kemudian pada usia enam bulan yang berikutnya mengalami anemia berat, abnormalitas tulang, kegagalan tumbuh-kembang, dan komplikasi yang mengancam jiwa
- Kulit dan sklera yang puat serta berwarna kuning pada bayi yang berusia tiga hingga enam bulan
- Splenomegali atau hepatomegali disertai pembesaran abdomen; infeksi yang frekuen; kecenderungan berdarah (khususnya epitaksis); anoreksia
- Tubuh yang kecil, kepala besar (yang merupakan ciri khas), dan mungkin retradasi mental
- Gambaran klinis yang serupa dengan sindrom Down pada bayi karena terdapat penebalan tulang pada pangkal hidung akibat hiperaktibitas sumsum tulang
Tanda dan gejala thalasemia intermedia adalah
- Anemia, ikterus dan splenomegali pada derajat tertentu
- Kemungkinan tanda-tanda hemosiderosis akibat perningkatan absorbsi besi di dalam usus
Tanda klinis thalasemia minor adalah:
- Anemia ringan (yang biasanya tidak menimbulkan gejala dan kerap kali terabaikan; keadaan ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi)
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi thalasemia yang mungkin meliputi:
- Fraktur patologis akibat ekspansi tongga sumsum tulang disertai penipisan pada tulang panjang
- Aritmia jantung
- Gagal jantung
2.16 Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis penyakit thalasemia meliputi:
- Hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin yang rendah, mikrositosis dan hitung retikulosit yang tinggi.
- Kenaikan kadar bilirubin plasma dan kadar urinobilinogen dalam urine serta feses.
- Kadar folat yang rendah mencerminkan peningkatan penggunaan folat oleh sumsum tulang yang mengalami hipertrofi
- Sediaan apus darah tepi yang memperlihatkan sel-sel target, mikrosit, sel darah merah berinti yang pucat dan anisositosis yang nyata.
- Penipisan dan pelebaran rongga sumsum tulang pada foto rontgen tulang tengkorak dan tulang panjang akibat sumsum tulang yang aktif berlebihan
- Tampilan granuler pada tulang tengkorak dan vertebra, daerah-daerah osteoporosis pada tulang panjang, tulang falang yang mengalami deformitas (menjadi persegi atau bikonveks)
- Peningkatan kadar hemoglobin getal yang signifikan dan sedikit peningkatan kadar hemoglobin A2 pada pemeriksaan kuantitatif hemoglobin.
- Penyingkiran kemungkinan anemia defisiensi besi (yang juga menghasilkan sel darah merah yang hipokromik mikrositik.
Penegakan diagnosis thalasemia intermedia berdasarkan pada:
- Sel darah merah yang hipokromik mikrositik (lebih ringan dibandingkan thalasemia mayor
Penegakan thalasemia minor meliputi:
- Sel darah merah yang hipokromik mikrositik
- Peningkatan kadar hemoglobin A2 yang signifikan dan peningkatan kadar hemoglobin fetal yang moederat pada pemeriksaan kuantitatif hemoglobin
2.1.7 Penatalaksaan
a. Penanganan segera dengan pemberian antibiotik yang tepat untuk mengatasi infeksi.
b. Suplemen asam folat untuk membantu mempertahankan kadar asam folat meskipun terjadi peningkatan kebutuhan
c. Transfusi sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Pemberian sel darah merah sebaiknya 10 – 20 ml/kg berat badan.
d. Pemberian chelating agents (Desferal) secara intravena atau subkutan. Desferiprone merupakan sediaan dalam bentuk peroral. Namun manfaatnya lebih rendah dari desferal dan memberikan bahaya fibrosis hati.
e. Tindakan splenektomi perlu dipertimbangkan terutama bila ada tanda – tanda hipersplenisme atau kebutuhan transfusi meningkat atau karena sangat besarnya limpa.
f. Transplantasi sumsum tulang biasa dilakukan pada thalasemia beta mayor.
g. Tidak boleh diberikan suplemen zat besi (yang merupakan kontraindikasi untuk semua bentuk thalasemia)
2.1.8 Pencegahan Thalassemia
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat,
skrining (carrier testing), konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.
a. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia. Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.
Program pencegahan thalassemia harus melibatkan banyak pihak terkait. Sekitar 10% dari total anggaran program har us dialokasikan untuk penyediaan materi edukasi dan pelatihan tenaga kesehatan.
b. Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia, Yunani dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi. Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara dramatis. Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Target utama skrining adalah penemuan β- dan αo thalassemia, serta Hb S, C, D, E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier, maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi perkawinan antar kerabat dekat
Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi pemeriksaan kualitatif HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis DNA untuk mengetahui mutasi spesifik. Namun, semua pemeriksaan ini mahal. Pasien thalassemia selalu mengalami anemia hipokrom (MCH < 26 pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl), karenanya kedua kelainan ini tepat digunakan untuk pemeriksaan awal karier thalassemia. Kemungkinan anemia mikrositik akibat defisiensi besi harus disingkirkan melalui pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar besi serum, dengan total iron-binding capacity.
c. Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining danharus mampu menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar dalam konseling adalah bahwa masing -masing individu atau pasangan memiliki hak otonomi untuk menentuk an pilihan, hak untuk mendapat informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus tersedia, dan catatan medis untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi pada pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada pilihan setela h dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda -beda. Tanggung jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karie r menentukan pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing.
d. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program ini hanya ditujukan pada thalassemia β+ dan βO yang tergantung transfusi dan sindroma Hb Bart’s hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan. Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga ahli, pengambilan sampel dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih dini, yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun WHO menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh prosedur pengambilan sampel janin harus dilakukan oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli. Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam jumlah cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun mempunyai kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah perifer ibu. DNA janin dianalisis denganmetode polymerase chain reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction fragmen length polymorphism (RFLP) analysis. Seiring dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil dengan janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang dikembangkan diagnosis pranatal untuk thalassemia β sebelum terjadinya implantasi janin dengan polar body analysis.
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari usia gestasi. Pada umumnya dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai, kedua metode ini, baik operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan seringkali mendasarkan pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar pengakhiran kehamilan adalah “suction method”. Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan induksi prostaglandin. Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah kombinasi antara medisinalis dan cara operatif.
2.2 SKRINING THALASEMIA
2.2.1 Teknik Dan Metode Skrining
a. Skrining Karier
1) Pemeriksaan nilai eritrosit rerata (NER)
Hasil skrining terhadap 795 orang menunjukkan bahwa pengidap thalassemia α, thalassemia β dan Hb lepore semuanya menunjukkan nilai MCV < 76 fL, dan MCH < 25 pg, yang mengindikasikan bahwa kedua nilai tersebut dapat digunakan untuk uji saring awal thalassemia. Pada skrining massal terhadap 289.763 pelajar yang dilakukan Silvestroni dan Bianco (1983) menunjukkan bahwa uji saring 2 tahap dengan melihat morfologi darah tepi dan uji fragilitas osmotik sel darah merah 1 tabung yang diikuti dengan pemeriksaan indeks eritrosit dan analisis hemoglobin dapat mendeteksi thalassemia non-α sampai 99,65%. Penelitian Maheswari (1999) terhadap 1.286 wanita yang melakukan pemeriksaan antenatal menyatakan bahwa angka sensitivitas dan spesivisitas dari nilai MCV dan MCH dalam identifikasi karier thalassemia berturut-turut adalah 98 % dan 92%. MCV dan MCH harus dipakai bersamaan karena bila hanya salah satu yang digunakan hasil sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. Demikian juga penelitian Rathod dkk (2007) menunjukkan penggunaan MCV dan MCH dengan cell counter dapat digunakan dalam deteksi karier β thalassemia.
Galanello dkk (1979) menganjurkan nilai MCV < 79 fL dan MCH < 27 pg sebagai nilai ambang (cut-off) untuk uji saring awal thalassemia β (lihat tabel 1).
Tabel. Nilai MCV dan MCH pada uji saring awal thalassemia β
Sementara penelitian Rogers dkk (1995) menyebutkan nilai cut off untuk skrining antenatal thalassemia β pada wanita hamil adalah MCH < 27 pg dan MCV < 85 fl, dimana nilai MCH lebih superior daripada MCV.
2) Elektroforesis Hemoglobin
Peningkatan kadar HbA2 merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis karier thalassemia.Subyek skrining yang positif dalam skrining awal dengan nilai eritrosit rerata dikonfirmasi dengan penilaian kadar HbA2. Beberapa metode dapat digunakan, seperti kromatografi mikrokolum (microcolum chromatography), High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan capillary iso-electrofocusing. Diagnosis ditegakkan bila kadar HbA2 > 3,5%.
3) Analisis DNA
Saxena dkk (1998) melaporkan hasil analisis mutasi DNA dengan menggunakan metode Amplification Refractory Mutation System (ARMS) pada diagnosis pranatal terhadap 415 kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa ARMS dapat mengkonfirmasi diagnosis pada 98,3% kasus. Pemeriksaan ini relatif murah dan dapat digunakan untuk diagnosis pranatal.
b. Diagnosis Pranatal
Sumber sampel DNA diambil dengan beberapa cara yaitu dengan metode amniosentesis pada usia gestasi setelah 15 minggu atau dengan pengambilan biopsi vili khorialis (chorionic villus samples/ CVS) pada usia gestasi setelah 10-12 minggu. Saat ini, biopsi vili khorialis masih merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk pengambilan sampel analisis DNA pada trimester pertama kehamilan. Penelitian Rosatelli dkk pada populasi di Italia menunjukkan, diseksi yang hati-hati dan pemisahan jaringan desidua ibu dengan bantuan mikroskop fase kontras memperlihatkan tidak ada misdiagnosis untuk thalassemia β dengan metode pengambilan sampel biopsi vili khorialis ini. Penelitian Jackson dkk (1992) yang membandingkan metode transervikal dan transabdominal dalam biopsi vili khorialis pada 3.999 wanita hamil usia gestasi 7 sampai 12 minggu menunjukkan bahwa kedua cara memiliki tingkat keamanan yang sama untuk diagnosis prenatal pada trimester pertama kehamilan. Sementara penelitian Lau dkk di Cina yang melakukan biopsi vili khorialis terhadap 1.355 kehamilan melaporkan bahwa bila dilakukan oleh tenaga ahli, biopsi vili khorialis transabdominal adalah prosedur invasif yang aman dan akurat.
The Cochrane Library melakukan kajian sistematik terhadap 16 studi RCT menyimpulkan bahwa amniosentesis dini pada usia gestasi 9 – 14 minggu (early amniocentesis) bukan merupakan pilihan yang aman dibandingkan amniosentesis pada trimester kedua (usia gestasi 17 minggu) sebab meningkatkan keguguran (7.6% vs 5.9%; RR 1.29; 95% IK 1.03 - 1.61) dan terdapat insidens talipes yang lebih tinggi dibandingkan CVS (RR 4.61; 95% IK 1.82 - 11.66). Tabor (1986) melakukan studi terhadap 4.606 wanita pada populasi risiko rendah mendapatkan bahwa amniosentesis pada trimester kedua meningkatkan keguguran spontan sebesar 2.1%, sementara tanpa intervensi persentase keguguran sebesar 1.3%.
Kelemahan utama dari amniosentesis trimester kedua adalah bahwa hasil akhir biasanya hanya dapat diketahui setelah usia gestasi 17 minggu. Lamanya masa tunggu untuk mendapatkan diagnosis merupakan hal yang sangat berat bagi pasangan, terutama karena kebanyakan dokter kandungan enggan untuk menawarkan terminasi bedah pada usia kehamilan lanjut. Pilihan untuk diagnosis pada usia gestasi sebelum 17 minggu yaitu CVS dan amniosentesis dini.
Rueangchainkhom W, et al (2008) menemukan bahwa CVS dapat menjadi alternatif untuk diagnosis pranatal dari berbagai kelainan sitogenetik dan skrining thalassemia di Thailand. Meskipun tingkat kegagalan kultur jaringan dan kontaminasi oleh sel ibu lebih besar daripada amniosentesis, namun CVS dapat dikerjakan lebih awal daripada amniosentesis dan hal ini menguntungkan untuk deteksi kelainan genetik tertentu. Transabdominal CVS yang dikerjakan oleh tenaga medis berpengalaman merupakan prosedur alternatif untuk diagnosis pranatal thalassemia pada usia gestasi awal.
2.2.2 Strategi Skrining Thalassemia
Program pengendalian hemoglobinopati yang didasarkan pada rekomendasi WHO telah dilakukan di negara-negara di 6 wilayah kerja WHO dan menunjukkan keberhasilan. Beberapa negara telah sukses menekan angka kelahiran bayi thalassemia mayor, seperti di Cyprus dan Italia. Sementara di kelompok negara berkembang, program pencegahan di Iran demikian pula di Thailand dapat dijadikan model.
Pengalaman Cyprus (data demografi 1984 : populasi 653.400 jiwa, angka kelahiran bayi 20,70/00, GNP US $3.339, dan angka bebas buta huruf 93,1%), dimana 1 dari 7 penduduknya adalah karier thalassemia β dan 1 dari 158 bayi baru lahir diperkirakan adalah thalassemia homozigot, program pengendalian thalassemia dapat menekan angka kelahiran bayi dengan thalassemia mayor hingga tinggal 2 kasus pada tahun 1984. Program ini dimasukkan dalam program pembangunan 5-tahunan pemerintah setempat sejak tahun 1969. Program pengendalian thalassemia meliputi kampanye edukasi masyarakat, skrining populasi, konseling genetik dan diagnosis pranatal (lihat tabel 2). Pasangan yang sebelumnya telah memiliki anak dengan thalassemia mayor dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi, sementara pasangan karier yang berisiko memiliki anak dengan thalassemia mayor cenderung untuk tidak memiliki anak atau melakukan aborsi.
Di Cyprus, edukasi masyarakat dilakukan melalui media massa, sekolah dan lembaga swadaya masyarakat. Pelajaran tentang thalassemia diajarkan di sekolah dan Departemen Pendidikan memasukkannya dalam kurikulum sekolah menengah. Pihak Gereja berpartisipasi dengan mensyaratkan adanya sertifikat pranikah yang menandai bahwa pasangan yang akan menikah telah melakukan skrining dan telah mendapat cukup informasi tentang thalassemia. Partisipasi masyarakat telah menjadi bagian yang integral dalam program ini. Organisasi perkumpulan pasien dan orangtua pasien dibentuk dan berperan serta dalam implementasi program, pengumpulan dana, membantu promosi dan edukasi diantaranya dengan menyelenggarakan ―pekan thalassemia‖, serta saling memberi dukungan moral diantara keluarga pasien.
Di negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas, salah satu kunci keberhasilan program pencegahan thalassemia adalah pelaksanaan program yang melibatkan sarana pelayanan primer untuk skrining dan konseling dengan pendekatan holistik melalui edukasi masyarakat, surveilans, dan perkembangan bentuk layanan untuk mengakomodasi kebutuhan populasi yang berisiko thalassemia dengan memperhatikan nilai sosio-etiko-legal setempat seperti yang dilakukan di Iran. Sejak tahun 1991, pencegahan penyakit tidak menular telah dimasukkan dalam program kesehatan primer, dan departemen pengendalian
penyakit tidak menular—termasuk penyakit genetik—telah dibentuk di bawah Kementrian Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran. Lima tahun sejak program pencegahan dicanangkan tahun 1996, skrining yang disertai dengan konseling genetik telah dilakukan atas 2,7 juta pasangan dan mampu menjaring lebih dari 10.000 pasangan yang berisiko memiliki anak dengan thalassemia mayor. Pelaksanaan program ini mampu menurunkan kelahiran bayi dengan thalassemia mayor.
Dengan jumlah pasien thalassemia β mayor sekitar 20.000 orang, 3,75 juta karier, dan frekuensi karier yang bervariasi di berbagai wilayah (dapat mencapai 10% di beberapa provinsi), pemerintah Iran mewajibkan skrining thalassemia dalam pemeriksaan kesehatan pranikah (premarital blood test). Skrining dan konseling dilakukan di layanan kesehatan primer yang menyediakan layanan diagnostik genetik, konseling genetik dan surveilans. Tim konseling genetik di layanan primer terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan tersedia di tiap kota. Sarana laboratorium milik swasta dan pemerintah diperlengkap untuk dapat mendeteksi dini thalassemia dengan protokol standar dan akreditasi nasional. Edukasi pada masyarakat dilakukan melalui pemberian informasi tentang thalassemia di sekolah menengah dan instansi militer.
Di Iran, tiap pasangan yang akan menikah harus menjalani skrining pranikah di laboratorium setempat. Nilai eritrosit rerata (NER) calon mempelai pria diperiksa terlebih dahulu, bila hasilnya mencurigakan, barulah calon mempelai wanita diperiksa. Bila keduanya mencurigakan, dilakukan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin, dan bila positif karier maka dilakukan konseling genetik. Setelah mendapatkan konseling genetik, pasangan diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan. Bila pasangan yang berisiko memilih untuk melanjutkan pernikahan, diagnosis pranatal menjadi opsi yang dapat dipilih selanjutnya sebelum memiliki anak. Apabila hasil konsepsi terdiagnosis thalassemia mayor, maka aborsi terapeutik boleh dilakukan sebelum usia janin 16 minggu.
Hasil dari program skrining meningkatkan deteksi prevalens pasangan karier dari 3,0/1.000 menjadi 4,5/1.000 dan sampai tahun 2000, angka kelahiran bayi dengan thalassemia mayor telah turun sampai 30%. Dengan menerapkan program skrining, prevalensi kelahiran bayi dengan thalassemia β homozigot menurun dari 0,253 untuk setiap 100 kelahiran di tahun 1.995 menjadi 0,082 untuk setiap 100 kelahiran pada tahun 2004.
Di Thailand, dengan hampir 40% populasi potensial mengalami mutasi dan kelainan hemoglobin, program pencegahan thalassemia ditujukan untuk mengendalikan 3 kasus utama thalassemia berat yaitu Hb Bart’s hydrops fetalis, thalassemia β mayor dan thalassemia β-HbE, dengan melakukan skrining karier, menawarkan diagnosis pranatal pada janin yang berisiko dan memberikan pilihan aborsi terapeutik bagi janin yang terdiagnosis thalassemia mayor.
Program pencegahan dan pengendalian thalassemia telah dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan Masyarakat bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan dan Thalassemia Foundation. Kementrian Kesehatan Masyarakat telah membuat beberapa standar laboratorium, sesuai dengan tingkat layanan kesehatan sebagai berikut :
Tingkat RS Komunitas : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, dan dichlorophenol indophenols (DCIP) precipitation test (untuk skrining Hb E dan unstable Hb)
Tingkat RS Provinsi : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, DCIP precipitation test, dan Hb typing dengan elektroforesis
Tingkat RS Regional : pemeriksaan darah lengkap, osmotic fragility test, DCIP precipitation test, dan Hb typing dengan elektroforesis otomatis atau HPLC
2.2.3 Target populasi
Target populasi yang akan di skrining :
1. Anggota keluarga dari pasien thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan karier thalassemia (skrining retrospektif).
Penelitian Ahmed dkk (Pakistan, 2002) melibatkan 15 keluarga besar (extended family) dengan total 988 orang, dimana 10 keluarga (591 orang) memiliki riwayat anggota keluarga dengan thalassemia β dan kelainan hemoglobin, sementara 5 keluarga (397 orang, sebagai kontrol) tidak memiliki riwayat thalassemia. Dilaporkan bahwa 31% dari anggota keluarga yang diskrining pada kelompok studi ternyata terbukti karier thalassemia β dan kelainan hemoglobin lainnya dan 8% dari 214 pasangan suami istri kelompok ini merupakan karier ganda (kedua suami-istri karier). Skrining retrospektif ini terutama akan bermakna pada populasi yang biasa melakukan pernikahan dengan orang yang memiliki pertalian darah (consanguineous marriage).
2. Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining antenatal).Penelitian Ridolfi dkk (Turki, 2002) terhadap skrining thalassemia β pada 504 ibu hamil dengan usia gestasi kurang dari 14 minggu berhasil menjaring 10 orang ibu hamil sebagai karier thalassemia β. Setelah dilakukan skrining yang sama terhadap suami dari ibu hamil tersebut kemudian ditemukan bahwa 1 orang karier, dan janin dari pasangan tersebut terdiagnosis thalassemia mayor.
3. Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi).
4. Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital).
5. Skrining massal untuk identifikasi karier.
2.2.3 Teknik dan Metode Skrining Thalassemia β Homozigot dan β-HbE
a. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia
Alur diagnostik dapat dimulai dengan pemeriksaan nilai MCV dan MCH yang diikuti dengan elektroforesis hemoglobin secara otomatis yang menghasilkan kadar HbA2, HbF dan Hb varian. Pada pasien defisiensi besi dengan mikrositik hipokrom disertai kadar feritin < 12,0 μg/dL atau saturasi transferin < 5% perlu diberikan terapi suplementasi besi. Bila pada pemeriksaan kadar hemoglobin setelah 2 minggu menunjukkan peningkatan, terapi besi diteruskan dan elektroforesis hemoglobin perlu diulang kembali setelah 3 bulan. Alur diagnostik skrining thalassemia dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar. Alur Diagnostik Skrining Thalassemia
Bila menggunakan alat elektroforesis otomatis, diagnosis dapat ditegakkan langsung tanpa memeriksa nilai MCV dan MCH atau melalui pemeriksaan kedua parameter tersebut seperti terlihat pada alur di bawah ini.
b. Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia β homozigot dan β-HbE
Mengingat ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya di Indonesia, maka teknik dan metode skrining yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Tabel Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia β homozigot dan β-HbE di Indonesia
Bila menggunakan alat elektroforesis otomatis, diagnosis dapat ditegakkan langsung tanpa memeriksa nilai MCV dan MCH atau melalui pemeriksaan kedua parameter tersebut seperti terlihat pada alur di bawah ini
b. Teknik dan metode skrining laboratorium thalassemia β homozigot dan β-HbE
Mengingat ketersediaan sarana, prasarana dan sumber daya di Indonesia, maka teknik dan metode skrining yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Gambar 5 Algoritma skrining thalassemia di Indonesia dengan sistem rujukan berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana
- Komponen uji saring pertama diagnosis laboratorium thalassemia adalah nilai MCV kurang dari 80 fL dan MCH kurang dari 27 pg.
- Individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg dengan Hb normal dicurigai sebagai thalassemia, pemeriksaan Hb typing dilakukan untuk menegakkan diagnosis jenis thalassemia.
- Pada individu yang memiliki nilai MCV < 80 fL, MCH < 27 pg, dengan Hb rendah tanpa adanya tanda infeksi/radang dan tampilan klinis baik, harus dipastikan bukan suatu anemia defisiensi besi.
- Penyingkiran diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan dengan pemberian suplementasi zat besi selama 2 minggu. Bila kadar Hb meningkat kurang lebih 1 g/dL maka dianggap anemia defisiensi besi dan diterapi sesuai protokol terapi anemia defisiensi besi.
- Bila anemia defisiensi besi dapat disingkirkan, namun Hb tetap rendah, maka dilakukan pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis untuk diagnosis thalassemia. Bila pemeriksaan Hb typing dengan elektroforesis otomatis tidak konklusif, maka dilakukan analisis DNA.
2.2.4 Kebijakan, Strategi, dan Pelaksanaan Program Pencegahan Thalassemia β Homozigot dan Thalassemia β -HbE di Indonesia
a. Edukasi Masyarakat
Edukasi masyarakat merupakan langkah awal dalam program pencegahan thalassemia. Tanpa diawali edukasi masyarakat yang optimal, skrining thalassemia akan menimbulkan keresahan di masyarakat yang mengakibatkan stigmatisasi terhadap karier atau pasien dan berlanjut pada adanya diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan serta asuransi kesehatan, seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat di mana skrining terhadap penyakit sickle cell diwajibkan oleh pemerintah.
Untuk jangka pendek, edukasi berupa konseling dan pemberian informasi pada populasi yang menjadi sasaran skrining. Sementara rencana jangka panjangnya, edukasi ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan (awareness) masyarakat terhadap penyakit thalassemia dengan memasukkan materi tentang thalassemia kedalam kurikulum pendidikan tingkat sekolah menengah, penyebaran informasi melalui media massa, jaringan internet, brosur dan pamflet, serta menyelenggarakan kegiatan untuk memperingati hari thalassemia sedunia yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.
b. Target populasi
Target populasi yang akan di skrining :
Anggota keluarga dari pasien thalassemia mayor, thalassemia intermedia, dan karier
thalassemia (skrining retrospektif).
Ibu hamil dan pasangannya saat pemeriksaan antenatal (skrining antenatal).
Pasangan yang berencana memiliki anak (skrining prakonsepsi).
Pasangan yang akan menikah (skrining pramarital).
Pada kehamilan, skrining utama ditujukan pada ibu hamil saat pertama kali kunjungan. Jika ibu merupakan pengidap atau karier thalassemia, maka skrining kemudian dilanjutkan pada ayah janin dengan teknik yang sama. Jika ayah janin normal maka skrining janin (pranatal diagnosis) tidak disarankan. Jika ayah janin merupakan pengidap atau karier thalassemia maka disarankan melakukan konseling genetik dan jika diperlukan skrining pada janin (pranatal diagnosis).
c. Konseling
Konseling terdiri dari informasi medis, informasi masalah genetika, dan langkah atau tindak lanjut hasil skrining. Konseling tersedia mulai skrining level II dan level diatasnya, yaitu setelah diagnosis thalassemia dapat ditegakkan.
1) Informed Consent
Informed consent berisi penjelasan tentang thalassemia, manfaat dan implikasi skrining serta tanda persetujuan dari calon yang akan dilakukan skrining.
2) Konselor
Konselor adalah orang yang sudah mendapatkan pelatihan serta mendapatkan sertifikat melakukan konseling, bisa dokter/tenaga kesehatan lain, sesuai dengan kompetensi dirinya.
d. Registrasi Nasional Thalassemia
Hasil skrining tiap individu, berupa data laboratorium dan keadaan klinisnya yang sudah divalidasi dan diverifikasi, diregistrasi oleh badan registrasi nasional melalui Rumah Sakit Pendidikan setempat. Individu yang mengidap gen thalassemia kemudian dipantau perkembangan kesehatan, status marital dan reproduksinya.
e. Tempat Pelaksanaan Program Pencegahan Thalassemia
Pelaksanaan program pencegahan thalassemia dipilih berdasarkan beberapa hal sebagai berikut :
- Besarnya prevalensi kasus thalassemia mayor
- Ketersediaan sumber daya manusia dan alat
- Pemantapan kualitas (quality control)
- Tempat-tempat yang telah menjadi pilot project penelitian thalassemia.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan Screening Thalasemia di Indonesia
Di indones ia p rogram pencegahan thalassemia-β mayor
telah dikaji oleh Departemen Kesehatan melalui program “health
technology assesment” (HTA), di mana beberapa butir
rekomendasi,sebagai hasil kajian, diusulkan dalam program prevensi
thalassemia, termasuk teknik dan metoda u j i sa r ing
labora to r ium, s t ra teg i pe laksanaan dan aspek
med iko lega l , psikososial, dan agama. Program pencegahan
thalassemia terdiri dari beberapa strategi, yaitu :
a. Screen ing pembawa s i fa t tha lassemia
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif
dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah,
sedangkan secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat
melalui penelusuran keluarga penderita thalassemia (family study).
K e p a d a p e m b a w a s i f a t i n i d i b e r i k a n i n f o r m a s i d a n
n a s e h a t - n a s e h a t t e n t a n g k e a d a a n n y a d a n m a s a
d e p a n n y a . S u a t u p r o g r a m p e n c e g a h a n y a n g b a i k
u n t u k thalassemia seharusnya mencakup kedua pendekatan
tersebut.Program yang op t ima l t i dak se la lu dapa t
d i laksanakan dengan ba ik te ru tama d i negara-negara
sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan
biaya yang t ingg i . A tas dasar i tu harus d ibedakan an ta ra
usaha p rogram pencegahan d i negara berkembang dengan
negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah
dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif.
b. Konsultasi genetik (genetic counseling)
Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan
kawin atau sudah kawinte tap i be lum hami l . Pada
pasangan yang ber i s i ko t ingg i d ib er i kan in fo rmas i
dannasehat tentang keadaannya dan kemungkinan bila mempunyai
anak
c . D i a g n o s i s p r e n a t a l
D iagnos is p rena ta l me l ipu t i pendeka ta n re t rospek t i f
dan p rospek t i f . Pendeka tan r e t r o s p e k t i f , b e r a r t i
m e l a k u k a n d i a g n o s i s p r e n a t a l p a d a p a s a n g a n y a n g
t e l a h mempunyai anak thalssemia, dan sekarang sementara hamil.
Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan yang
berisiko tinggi yaitu merekakeduanya pembawa sifat dan
sementara baru hamil.
Diagnosis prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan 8-10
minggu, mutasi thalasemia β biasanya dapat dideteksidengan
ana l i s i s DNA lan gsung yang d iper o leh dar i fe tus den gan
b iops i v i l l uskorionik atau cairan amniosentesis. DNA dianalisis
dengan metoda polymerase chainreaction (PCR) dan metoda
hibridisasi molekular untuk menentukan adanya
mutasitha lassemia .
B i la kedua pasang o rang tua membawa s i fa t gen
tha lassemia minor , diagnosis pranatal thalasemia α
homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuatdengan
analisis endonuklease restriksi DNA, yang diperoleh dari villus korionik
ataucairan amniosentesis. Tidak adanya gen α memastikan diagnosis.
Terminasi awal akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si
ibu, yakni toksemia dan perdarahan hebat pasca partus. Jika hasil
tes positif sebaiknya dilakukan aborsi. Dalam rangka pencegahan
penyakit thalassemia, ada beberapa masalah pokok yang
harusd isampa ikan kepada masyaraka t , i a lah :
(1) Bahwa pembawa s i fa t tha lassemia i tu tidak merupakan
masalah baginya.
(2) Bentuk thalassemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang
besar, penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian
(3) Kelahiran bayi thalassemia dapat dihindarkan. Karena penyakit ini
menurun, makakemungkinan penderitanya akan terus bertambah dari
tahun ke tahunnya. Oleh karena i t u , p e m e r i k s a a n
k e s e h a t a n s e b e l u m m e n i k a h s a n g a t p e n t i n g
d i l a k u k a n u n t u k mencegah bertambahnya penderita
thalassemia ini. Sebaiknya semua orang Indonesia d a l a m m a s a
u s i a s u b u r d i p e r i k s a k e m u n g k i n a n m e m b a w a s i f a t
t h a l a s s e m i a .
Dalam pelaksanaa program ini diperlukan waktu, tenaga serta
biaya yang tidak sedikit namun dengan dukungan dari pemerintah,
pihak terkait dan masyarakat maka program ini diharapkan dapat
berjalan dengan baik. Data yang diperoleh dari program ini diharapkan
nantinya mampu memberikan dampak yang besar terhadap
penjegahan terjadinya kasus thalasemia di masa yang akan datang.
3.2 Alasan Belum Dilaksanakan Screening Pra nikah dan Faktor yang
Tidak Mendukung
Di Indonesia sendiri dengan sumber daya yang terbatas baik dari
segi SDM dan laboratorium , maka salah satu kunci keberhasilan program
pencegahan thalassemia adalah dengan pelaksanaan program yang
melibatkan sarana pelayanan primer untuk skrining dan konseling dengan
pendekatan holistik melalui edukasi masyarakat, surveilans, dan
perkembangan bentuk layanan untuk mengakomodasi kebutuhan populasi
yang berisiko thalassemia dengan memperhatikan nilai sosio-etiko-legal
setempat
Kendala pelaksanaaan pemeriksaan kesehatan pra nikah adalah
pemahaman akan pentingnya pemeriksaan kesehatan pra nikah bagi
kebanyakan calon pasangan suami istri masih dirasakan kurang di
Indonesia. Hal ini terkait antara lain dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih rendah.
Namun juga, sosialisasi tentang pentingnya pelaksanaan pemeriksaan
kesehatan pra nikah kepada masyarakat masih sangat kurang . Banyak
anggapan bahwa pemeriksaan kesehatan pra nikah hanyalah
pemborosan karena memakan biaya yang tidak sedikit. Kuatnya pengaruh
budaya serta dogma agama masih juga menjadi kendala untuk
melakukan pemeriksaan kesehatan pra nikah. Misalnya pandangan yang
mengatakan bahwa jodoh ditentukan oleh Tuhan, jadi apapun resikonya
harus dihadapi dan disyukuri.
3.3Peran Perawat
Perawat sebagai tangan pertama yang bersentuhan dengan masyarakat
pengguna layanan kesehatan baik di Rumah sakit maupun dipelayanan
kesehatan lainnya terutama di Puskesmas mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pecegahan dan skrining Thalasemia. Perawat dalam perannya
sebagai educator serta sebagai konsultan harus mampu memberikan penyuluhan
dan informasi yang benar kepada target populasi skrining mengenai penyakit
thalasemia dan pencegahannya, perawat sebagai konseling mendapatkan
pelatihan serta mendapatkan sertifikat melakukan konseling sehingga mampu
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan kompetensinya.
BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Penderita thalasemia menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun kebelakang. Namun, belum diketahui penyebab kenaikan tersebut. Ada beberapa analisa yang dapat diambil dengan fenomena di atas, pertama jumlah penderita thalasemia memang meningkat dan kedua bisa juga peningkatan kasus thalasemia dikarenakan dari efek peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Kerena semakin banyak jumlah penduduk yang memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan maka jumlah kasus yang tercatat juga lebih anyak.
Jumlah penderita thalasemia dapat dianalogikan sebagai fenomena gungung es, dimana jumlah yang terdeteksi lebih kecil daripada jumlah yang belum terdeteksi oleh pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dibutuhkan sistem yang mampu menjangkau masyarakat pada tingkat lebih dalam untuk melakukan skrining terhadap kejadian thalasemia. Dapat dipastikan tidak semua masyarakat Indonesia memahami mengenai skrining terhadap kejadian thalasemia. Oleh karena itu tahap awal dari program skrining adalah mengenalkan atau edukasi kepada masyarakat mengenai program ini. Dilanjutkan penentuan target populasi, konseling serta skrining, data hasil skrining diregistrasi secara nasional dan terakhir penentuan tempat pelaksanaan program pencegahan.
Dengan adanya pengkajian dan rekomendasi panduan pemeriksaan skrining penderita thalassemia, maka ke depan diharapkan tersusun suatu rekomendasi teknik dan metoda skrining thalassemia yang tepat guna dan mampu dilaksanakan di Indonesia. Selain itu mampu tersusun suatu rekomendasi kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pencegahan thalassemia di Indonesia, dan tersusunnya suatu rekomendasi solusi implikasi sosio-ekonomi-etiko-legal, asuransi dan agama
4.2 Sarana. Perawat diharapkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
dalam screening thalasemia serta berperan membantu suksesnya semua
kegiatan pencegahan dan skrining thalasemia untuk mengurangi jumlah
penderita baru thalasemia di Indonesia.
b. Rumah sakit sebagai rujukan pasien thalasemia diharapkan mempunyai data
lengkap mengenai penderita thalasemia dan keluarganya sehingga
dimungkinkan dilakukan skrining terhadap keluarga pasien yang lainnya.
c. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan lebih mensosialisasikan penyakit
thalasemia, pencegahan dan skrining thalasemia serta menyediakan lebih
banyak sarana dan prasarana yang mendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elisabeth J. 2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGCDirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Health Technology Assessment Indonesia Pencegahan Thalassemia [Hasil kajian HTA tahun 2009] Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010. 2010: 1-35
Langlois S, C Ford J, Chitayat D et al. Carrier Screening for Thalassemia and Hemoglobinopathies in Canada. Joint SOGC-CCMG Clinical Practice Guideline. 2008;218:950-959
Rathod DA, Kaur Amarjeet, Patel Vinod et al. Usefulness of Cell Counter-Based
Parameters and Formulas in Detection of β-Thalassemia Trait in Areas of High
Prevalence. Am J Clin Pathol 2007;128:585-589
Kowalak, Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Williams&Wilkins. 2011. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT. Indeks