Cross Match Edit 2 Print

Embed Size (px)

Citation preview

I. PENDAHULUAN Darah merupakan komponen yang sangat penting bagi tubuh manusia yang terdiri dari plasma darah dan butir-butir darah, dan apabila salah satu unsur tersebut tidak ada, maka darah tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik. Manusia dewasa normal mempunyai darah sebanyak 810% dari berat badannya. Berkurangnya volume darah dalam tubuh bisa terjadi akibat adanya trauma, operasi, anemia dan lain-lain, namun dapat diatasi dengan melakukan transfusi sebagai terapi supportif. Transfusi adalah suatu proses pemberian darah yang berasal dari seseorang yang diberikan langsung melalui vena penerima yang membutuhkannya. Transfusi dapat dilaksanakan bila memenuhi persyaratan; yaitu, untuk donatur ditentukan dari umur, berat badan, golongan darah sistem ABO, tekanan darah, Hb darah dan riwayat penyakit. Sedangkan untuk resipien ditentukan golongan darah dan cross-match antara darah donatur dan resipien. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi, maka transfusi dapat dilaksanakan.

1

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Menurut definisi, crossmatching atau yang biasa dikenal sebagai tes kompatibilitas merupakan sebuah pemeriksaan darah yang dilkukan untuk menetapkan kompatibilitas dari donor dan penerima darah. Pemeriksaan ini merupakan uji deteksi antibodi terbaik yang tersedia untuk menghindari reaksi transfusi mematikan sehingga dilakukan sebelum melakukan transfusi darah dan apabila terjadi reaksi transfusi darah1,2. Sedangkan menurut Dra. Lisawati dari Universitas Andalas, Sumatra Barat, mengatakan bahwa pemeriksaan crossmatching (uji cocok serasi) adalah pemeriksaan kecocokan darah antara darah pasien dengan darah penyumbang darah yang sesuai golongan ABO dan Rhesusnya, darah yang diberikan pada penderita adalah darah yang cocok serasi (compatible) 12. B. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan tujuan pemeriksaan, reaksi yang ditimbulkan dari pemeriksan ini bertujuan untuk mencari tahu apakah darah donor yang akan ditransfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam tubuhnya sehingga akan memperberat keadaan anemia serta untuk mengetahui kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang dapat membahayakan pasien5,6

.

C. Cara Pemeriksaan Terdapat dua cara pemeriksaan, yang pertama adalah dengan mencampur eritrosit pendonor (aglutinogen donor) dengan serum resipien (aglutinin resipien), atau biasa disebut dengan crossmatch mayor. Sedangkan yang kedua dengan mencampur eritrosit resipien (aglutinogen resipien) dengan serum donor (aglutinin donor), atau biasa disebut dengan crossmatch minor 4,5,6. Macam dari reaksi silang : 1. Reaksi silang mayor : eritrosit donor + serum resipien Memeriksa ada tidaknya aglutinin resipien yang mungkin dapat merusak eritrosit donor yang masuk pada saat pelaksanaan transfusi2

2. Reaksi silang minor : serum donor + eritrosit resipien Memeriksa ada tidaknya aglutinin donor yang mungkin dapat merusak eritrosit resipien. Reaksi ini dianggap kurang penting dibanding reaksi silang mayor, karena agglutinin donor akan sangat diencerkan oleh plasma di dalam sirkulasi darah resipien. Tahapan Reaksi Silang : 1. Reaksi silang salin Tes ini untuk menilai kecocokan antibody alami dengan antigen eritrosit antara donor dan resipien, sehingga reaksi transfusi hemolitik yang fatal bisa dihindari. Tes ini juga dapat menilai golongan darah.

2. Reaksi silang albumin

3

Tes ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan meningkatkan sensitivitas tes antiglobulin dengan menggunakan media albumin bovine. 3. Reaksi silang antiglobulin Untuk mendeteksi IgG yang dapatmenimbulkan masalah dalam transfusi yang tidak dapat terdeteksi pada kedua tes sebelumnya. Terutama dikerjakan pada resipien yang pernah menerima transfusi darah atau wanita yang pernah hamil. Untuk menentukan zat antibodi yang bebas dalam serum resipien yang menyebabkan tidak tercampurnya darah dari donatur, dilakukan 3 fase pada suhu kamar; inkubasi pada temperatur 37C anti globulin fase (Coombs test). Fase I : Keempat tabung di atas dikocok-kocok, biarkan pada suhu kamar selama 15 menit atau langsung putar 1000 rpm selama 1 menit, amati reaksi terhadap haemolisis dan aglutinasi. Bila reaksinya negatif, maka diteruskan ke fase 2. Fase 2 : Keempat tabung diinkubasi pada temperatur 37C. a) Untuk tabung I dan III (albumin medium) boleh 15 menit. b) Untuk tabung II dan IV (saline medium) hams 1 jam. Dalam hal ini kita dapat memilih a atau b. Setelah masa inkubasi masing-masing tabung cukup, baca reaksinya secara makroskopis tanpa diputar, kemudian baca aglutinasinya secara mikroskopis. Bila hasilnya negatif, teruskan ke fase 3. Fase 3 : Dari keempat tabung, cuci selnya 3-4 kali dengan saline. Pada pencucian terakhir supernatan dibuang, biarkan sel tersuspensi lagi oleh sisa-sisa saline. Kemudian tabung I dan III atau II dan IV tambah masing-masing dengan 1 tetes Coombs serum. Lalu aduk. Kemudian putar dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit dan amati adanya reaksi aglutinasi secara makroskopis dan mikroskopis.

4

Pemeriksaan crossmatch dapat dilakukan saat transfusi darah diantisipasi, yaitu dalam keadaan:

Pendarahan parah yang terjadi, misalnya karena trauma utama, atau perdarahan internal dari usus atau perut

Pendarahan berat dapat terjadi, misalnya ketika operasi besar direncanakan Anemia berat (hemoglobin rendah atau jumlah darah) hadir Grup darah saja, tanpa crossmatch, dapat dilakukan:

Secara rutin pada kehamilan Untuk mengkonfirmasi status Rhesus pada wanita hamil, ketika ada risiko sensitisasi rhesus - misalnya berikut cedera pada perut, atau perdarahan vagina karena terancam keguguran. Melakukan crossmatch sebelum transfusi darah memiliki keuntungan sebagai berikut:

Mendeteksi utama ABO kesalahan (mis. crossmatching donor A atau B dengan penerima O)

Mendeteksi penerima antibodi terhadap antigen pada kebanyakan merah sel donor (jika antibodi berada dalam titer yang cukup tinggi untuk bereaksi)

Persiapan Pasien

Jelaskan kepada pasien bahwa tes ini memastikan bahwa darah dia menerima pertandingan sendiri untuk mencegah reaksi transfusi.

Memberitahukan bahwa ia tidak perlu berpuasa sebelum ujian. Katakan padanya bahwa ujian memerlukan sampel darah dan siapa yang akan melakukan venipuncture dan kapan.

Yakinkan kepadanya bahwa meskipun ia mungkin mengalami ketidaknyamanan transient dari tusukan jarum dan tourniquet, mengumpulkan sampel hanya memakan waktu beberapa menit.

5

Periksa sejarah pasien untuk administrasi terbaru dari darah, dekstran, atau media kontras IV.

Interpretasi Hasil Normal

9

Tidak adanya aglutinasi menunjukkan kompatibilitas antara donor dan penerima darah, yang berarti bahwa transfusi darah donor dapat dilanjutkan. Catatan bahwa ini tidak menjamin transfusi yang aman. Abnormal Sebuah crossmatch positif menunjukkan ketidakcocokan antara darah donor dan penerima darah, yang berarti bahwa darah donor tidak bisa ditransfusikan ke penerima. Tanda dari crossmatch positif aglutinasi, atau menggumpal, ketika sel darah merah donor dan serum penerima benar dicampur dan diinkubasi. Aglutinasi menunjukkan reaksi antigen-antibodi yang tidak diinginkan. darah donor harus dipotong dan crossmatch terus untuk menentukan penyebab ketidaksesuaian dan mengidentifikasi antibodi. Bila kedua pemeriksaan crossmatch mayor dan minor tidak mengakibatkan aglutinasi eritrosit, maka dapat diartikan bahwa darah pendonor sesuai dengan darah resipien sehingga transfusi darah dapat dan boleh dilakukan. Bila hasil pemeriksaan crossmatch mayor menghasilkan aglutinasi, tanpa memperhatikan hasil crossmatch minor, diartikan bahwa darah donor tidak sesuai dengan darah resipien sehingga prose transfusi darah tidak dapat dilakukan. Bila hasil pemeriksaan crossmatch mayor tidak mengakibatkan aglutinasi, sedangkan dengan crossmatch minor terjadi proses aglutinasi, maka proses crossmatch minor harus diulangi dengan menggunakan serum donor yang diencerkan. Bila pemeriksaan terakhir tidak menghasilkan proses aglutinasi, maka transfusi darah masih dapat dilakukan dengan menggunakan darah pendonor tersebut, hal ini disesuaikan dengan keadaan pada waktu tramsfusi dilakukan, yaitu serum darah pendonor akan mengalami pengaan dalam aliran darah resipien. Bila pemeriksaan dengan serum donor yang diencerkan menghasilkan aglutinasi, maka darah donor itu tidak dapat digunakan untuk transfusi.6

Cara kerja Cross Match dengan Diamed Gel TesI. Buat suspensi sel pasien dan donor. 0,8-1%7

:

1. Masukkan 0,5 ml Dilluent 2 dengan Dispenser kedalam tabung 2. Ambil 5 ul (mikroliter) PRC atau 10 ul WB,masukkan tabung 3. Campur dan homogenkan suspensi 0,8 1% II. Ambil Liss / Coombs Card, tandai dengan identitas Os / Donor, buka penutup alumunium. Dengan bantuan mikropipet, masukkan : MAYOR : 50 ul Suspensi Sel Donor + 25 ul Serum Os MINOR : 50 ul Suspensi Sel Os + 25 ul Serum Donor A.C : 50 ul Suspensi Sel Os + 25 ul Serum Os

III. Masukkan kartu ke Inkubator : Inkubasi 37 C, 15 menit ( tekan tombol timer 1 / 2 / 3 ) IV. Pindahkan kartu ke Centrifuge : Tekan tombol Start ( Centrifuge selama 10 menit ) V. Baca Reaksi secara makroskopis CARA KERJA DIRECT COOMBS TES 1. Buat Suspensi Os 0,8 1% ( cara sama seperti diatas ) 2. Ambil Liss / Coombs Card, tandai dengan identitas Os. 3. Masukkan 50 ul Suspensi Sel Os. 4. Putar di Centrifuge ( tekan tombol Start ) 5. Baca Reaksi CARA POOLING UNTUK INTER CROSS DONOR ( AUTO POOL ) Maksimum pooling untuk 3 kantong darah Cara Pooling : A. Potong selang pada kantong donor yang akan di Pooling. B. Teteskan pada 2 tabung kosong masing-masing sel darah merah donor yang akan di-pool dan serum/plasma donor yang akan di-pool dengan jumlah yang sama . C. Homogenkan sel darah merah pada tabung yang berisi pooling sel darah merah donor, buat suspensi 1% dengan Diluent 2 dengan cara seperti di atas D. Lakukan Cross Match seperti biasa : INTER CROSS : 50 ul pool Suspensi Sel Donor + 25 ul pool7

serum Donor INTEPRETASI HASIL CROSS MATCH No. MAYOR MINOR AC/DCT Kesimpulan 1 - - - Darah keluar 2 + - - Ganti darah donor 3 - + - Ganti darah Donor 4 - + + Darah keluar bila minor lebih kecil atau sama dg AC/DCT 5 + + + Lihat ket. No.5 Keterangan : 1. Crossmatch Mayor, Minor dan AC = negatif

Darah pasien kompatibel dengan darah donor Darah boleh dikeluarkan/ digunakan. Mayor = positif, Minor = negatif, AC = negatif

2.

Crossmtacth

Periksa sekali lagi Golongan darah Os apakah sudah sama dengan donor, apabila gol. Darah sudah sama : Periksa sekali lagi golongan darah Os, apakah sudah sama dengan donor, a[abila golongan darah sudah sama : Artinya ada Irregular Antibody pada Serum Os Ganti darah donor, lakukan crossmatch lagi sampai didapat hasil cross negatif pada mayor dan minor. Apabila tidak ditemukan hasil crossmatch yang kompatibel meskipun darah donor telah diganti maka harus dilakukan screening dan Identifikasi Antibody pada Serum Os, dalam hal ini sampel darah dikirim ke UTD Pembina terdekat

3. Crossmatch Mayor = negatif, Minor = positif, AC = Negatif8

Artinya ada Irregular Anti Body pada Serum / Plasma Donor. Solusi : Ganti dengan darah donor yang lain, lakukan crossmatch lagi 4. Crossmatch Mayor = negatif, Minor = positif, AC = Positif Lakukan Direct Coombs Test pada OS Apabila DCT = positif, hasil positif pada crossmatch Minor dan AC berasal dari autoantibody

Apabila derajat positif pada Minor sama atau lebih kecil dibandingkan derajat positif pada AC / DCT, darah boleh dikeluarkan / digunakan.

Apabila derajat positif pada Minor lebih besar dibandingkan derajad positif pada AC / DCT, darah tidak boleh dikeluarkan. Ganti darah donor, lakukan crossmatch lagi sampai ditemukan positif pada Minor sama atau lebih kecil dibanding AC / DCT

5. Mayor, Minor, AC = positif : Periksa ulang golongan darah Os maupun donor, baik dengan cell grouping maupun back typing, pastikan tidak ada kesalahan gol. Darah Lakukan DCT pada Os, apabila positif, bandingkan derajat positif DCT dg Minor, apabila derajat positif Minor sama atau lebih rendah dari DCT, maka positif pada Minor dapat diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari autoantibody. Sedangkan positif pada Mayor, disebabkan adanya Irregular Anti Body pada Serum Os, ganti dengan darah donor baru sampai ditemukan hasil Mayor negatif

No

Mayor

Minor

AC

Interpretasi

9

1.

-

-

-

Darah pasien kompatibel dengan darah donor. Darah boleh dipergunakan.

2.

+

-

-

Periksa sekali lagi golongan darah Os, apakah sudah sama dengan donor, apabila golongan darah sudah sama : Terdapat Irregular Antibody pada Serum Os Ganti darah donor, lakukan crossmatch lagi sampai didapat hasil cross negatif pada mayor dan minor. Apabila tidak ditemukan hasil crossmatch yang kompatibel meskipun darah donor telah diganti maka harus dilakukan screening dan Identifikasi Antibody pada Serum Os.

3.

-

+

-

Terdapat Irregular Anti Body pada Serum / Plasma Donor. Ganti darah donor, dengan darah yang lain, lakukan crossmatch lagi

4.

-

+

+

Lakukan Direct Coombs Test pada OS Apabila DCT = positif, hasil positif pada crossmatch Minor dan AC berasal dari autoantibody

Apabila derajat positif pada Minor sama atau lebih kecil dibandingkan derajat positif pada AC / DCT, darah boleh dikeluarkan / digunakan.

Apabila derajat positif pada Minor lebih besar dibandingkan derajad positif pada AC / DCT, darah tidak boleh dikeluarkan. Ganti darah donor, lakukan crossmatch lagi sampai ditemukan positif pada Minor sama atau lebih kecil dibanding AC / DCT 5. + + + Periksa ulang golongan darah Os maupun donor, baik dengan cell grouping maupun back typing, pastikan tidak ada kesalahan gol. Darah Lakukan DCT pada Os, apabila positif, bandingkan derajat positif DCT dg Minor, apabila derajat positif Minor sama atau lebih rendah dari DCT, maka positif pada Minor dapat diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari autoantibody. Sedangkan positif pada Mayor, disebabkan adanya Irregular Anti Body pada Serum Os, ganti dengan darah donor baru sampai ditemukan hasil Mayor negatif

Komplikasi Transfusi Darah dan Pengobatannya10

Transfusi darah masif jarang dilakukan, lebih-lebih sebab permintaan darah hampir selalu tersendat-sendat. Kalau terjadi perdarahan banyak dan persediaan darah kurang, yang diberikan ialah cairan pengganti darah. Kadang-kadang transfusi darah masif dapat dilakukan sebab persediaan darah cukup dan kadang-kadang donor juga cukup banyak. Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga diperlakukan alat tambahan untuk memudahkan kita memantau selama pemberian transfusi masif tersebut. Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG, analisis gas darah, dan CVP. Selain risiko, penyediaan alat-alat dan pemeriksaan analisis gas darah yang berulang merupakan beban biaya tambahan bagi penderita. Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi : I. Reaksi imunologi II. Reaksi non imunologi III. Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah masif.

I. REAKSI IMUNOLOGI A. REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi. 1. Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien. Hal ini bisa terjadi dengan cara : a. Reaksi transfusi hemolitik segera b. Reaksi transfusi hemolitik lambat. 2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah transfusi secara masif.

11

Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca label pada botol darah. Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi, hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain. Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi coklat kehitaman sampai hitam dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah. Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah : a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat. b. Furosemid Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialisis. Cara menghindari reaksi transfusi adalah dengan melakukan pemeriksaan : a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien. b. Memilih tips dan saringan yang tepat. c. Pada transfusi darurat : Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak sebelum dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara lengkap. Dalam situasi demikian tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan tes bisa dikerjakan sebagai berikut : 1. Type-Specific, Partially Crossmatched Blood

12

Bila kita menggunakan darah un-crossmatched, maka paling sedikit harus diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian crossmatched. 2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood. Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh harus sudah ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke rumah sakit. 3. O Rh-Negatif (Universal donor) Uncrossmatched Blood Golongan darah O kekurangan antigen A dan B, akibatnya tidak dapat dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang ada pada resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut sebagai donor universal dan dapat digunakan pada situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk melakukan penggolongan darah atau crossmatched. Tetapi bagaimanapun juga pemberian darah golongan inipun bukan tanpa resiko.

B. REAKSI TRANSFUSI NON HEMILITIK 1. Reaksi transfusi febrile Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak produktif. 2. Reaksi alergi a. Anaphylactoid Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah transfusi.

b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka penderita sembab. Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop. Alergi yang berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tanda-tanda sebagai berikut : sesak nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok. Reaksi anafilaksis ini disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang kekurangan IgA dan telah terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe kerusakan sel darah merah, kejadiannya sangat13

cepat dan biasanya terjadi sesudah mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita yang menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus diberi sel darah merah yang telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau dengan darah yang sedikit mengandung protein IgA.

II. REAKASI NON IMUNOLOGI A. Reaksi transfusi Pseudohemolytic Termasuk disini ialah lisis terhadap sel darah merah tanpa reaksi antigen-antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat obat, macam-macam keadaan penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan dextrosa hipotonis, panas yang berlebihan dan kontaminasi bakteri. B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan. C. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi D. Virus hepatitis. Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi merupakan keadaan klinik yang penting. Tes untuk HBV (Hepatitis B Virus), penyaringan untuk Non-A dan Non-B juga bisa mengurangi risiko terkena transmisi penyakit tersebut (5,8,9). E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta bakteri. F. AIDS.

III. KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFUSI DARAH MASIF 1. DILUTIONAL COAGULOPATHY Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V dan VIII (1,2,8). Mutu atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21 hari sekitar 30% atau lebih, sedangkan derajat yang dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%. Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari berkisar antara 15-50%.14

Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan penggunaan FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan kurang dari 10 hari masih bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup pada penderita. Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah penderita mendapat transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan campuran ACD. Ini terjadi bila kita memberikan darah 20-30 unit, dan untuk penderita debil dan anak kecil lebih berkurang lagi. Manifestasi kliniknya yaitu terdapatnya oozing pada daerah operasi, perdarahan pada gusi, petechiae dan echymosis. Untuk mengatasi ini biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama pemberian darah masif tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktorfaktor pembeku, maka selama itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya hingga merupakan lingkaran setan. Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan adalah terjadinya dilutional thrombocytopenia, kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC. Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan VIII mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan untuk hemostasis penderita yang dioperasi. Untuk mempertahankan faktor V dan VIII pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 2-3 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk tiap 10 unit packed cells dan transfusi plasma protein fracyion. Setiap pemberian 5 unit darah perlu diperiksa jumlah platelet. Trombositopenia. 2. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC) DIC sukar diidentifikasi pada penderita yang mendapat transfusi masif. DIC merupakan kombinasi antara perdarahan dan trombosis, suatu hal dua kejadian yang bertentangan. Untuk membantu keadaan yang bertentangan ini, kecenderungan perdarahan diterapi dengan antikoagulan, yaitu heparin. Pada jaringan hipoksia yang asidotik dengan bendungan aliran darah, baik langsung ataupun lewat pelepasan beberapa toksin akan terjadi pelepasan tromboplastin jaringan. Picu ini akan mempengaruhi proses koagulasi, menghasilkan faktor I, II, VII, VIII dan platelet. Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada mikrosirkulasi organ-organ vital, maka akan terganggu aliran darahnya. Sesudah terjadi aktivasi sistem koagulasi yang tidak normal maka trombus dan fibrin akan mengendap pada mikrosirkulasi. Untuk mengatasi keadaan hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan fibrin yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis sekunder. Fibrinolisis primer dapat juga terjadi pada waktu15

transfusi masif dengan tujuan untuk mengaktifkan sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada fibrinolisis primer sejumlah besar plasmin atau aktivator fibrinolitik dilepaskan, yang menyebabkan larutnya penjendalan dan fibrin. Diagnosis didasarkan atas analisis laboratorium terhadap faktor koagulasi, platelet, dan hasil fibrinolisis. a. Tujuan utama terapi ialah untuk :

Menghilangkan penyebabnya Mempertahankan volume normal Mengganti faktor-faktor pembekuan yang cukup, dengan demikian penderita dapat melanjutkan proses koagulasi.

Jangan memberikan terapi berlebih karena akan menyebabkan pembekuan yang meluas.

Terapi adalah berupa : - Fresh Frozen Plasma dan platelet concentrate - Heparin : Penggunaannya pada DIC masih kontroversial tetapi dapat mencegah terjadinya mikrotrombi. - EACA : Penggunaannya sangat jarang, terutama pada fibrinolisis primer.

3. INTOKSIKASI SITRAT (KOMPLIKASI YANG JARANG TERJADI) Sitrat mengikat kalsium dengan akibat terjadinya hipokalsemi, dan hipokalsemi ini jarang terjadi. Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi sampai didapatkan bukti adanya depresi miokard dan pada EKG terdapat tanda-tanda hipokalsemi, yaitu terjadinya pemanjangan interval QT (1,7). Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan tetap normal bilamana kecepatan infus tidak lebih dari 30 ml/kg BB/jam (2,3). Hipokalsemi dapat terjadi pada penderita dengan penyakit hati berat atau syok, karena kemampuan memetabolisme natrium sitrat berkurang (8).

4. KEADAAN ASAM BASA16

Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka pH-nya akan menurun sampai 7.0, hal ini disebabkan terutama karena keasaman larutan ACD. pH darah akan terus turun sampai kirakira 6.5 sesudah sampai 21 hari disimpan, karena adanya glikolisis yang terus menerus dan pembentukan asam laktat dan peruvat oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau kantong plastik darah tidak memungkinkan terjadinya mekanisme pelepasan CO2, maka PaCO akan naik dari 150 sampai 210 torr. Howland dan Schweizer menganjurkan untuk tiap 5 unit darah ACD yang ditransfusikan perlu diberikan 44.6 mEq natrium bikarbonat (5,6). Keasaman darah ACD hanya mempengaruhi penderita yang dalam keadaan syok atau penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya kompensasi dari ginjal. Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium bikarbonat secara empirik tidak perlu dan bukan merupakan indikasi, sehingga tidak logis bila pemberian natrium bikarbonat digunakan sebagai profilaksi untuk penderita yang tidak dapat kita perkirakan keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat harus didasarkan atas hasil analisis gas darah dan ini bisa dikerjakan setiap pemberian darah 5 unit. Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel darah merah selama penyimpanan. Sesudah transfusi ion hidrogen dikembalikan ke sel darah merah atau sebagai buffer oleh plasma resipien (8).

5. HIPERKALEMI Darah dari bank darah berisi ion K antara 17-24 mEq/L pada penyimpanan 21-33 hari (1). Hiperkalemia merupakan problem yang jarang terjadi. Pada darah simpan akan terjadi pengurangan isi kalium pada eritrosit dan kenaikkan dalam plasma.

6. HIPOTERMI Transfusi masif yang menggunakan darah dingin dapat meningkatkan pelepasan energi untuk menaikkan temperatur tubuh, menaikkan pemakaian O2, afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran ion K dari sel darah merah dan kerusakan metabolisme sitrat. Umumnya telah diketahui bahwa pemberian beberapa unit darah dingin akan menurunkan temperatur resipien. Dengan cara memanaskan darah dari bank darah sesuai17

dengan panas tubuh sebelum diberikan pada penderita, maka secara bermakna akan mengurangi angka kejadian aritmi dan cardiac arrest selama transfusi masif. Walaupun Bayan menekan bahwa pemanasan darah hanya untuk transfusi masif, banyak yang percaya bahwa whole blood yang diberikan beberapa unit juga perlu dipanaskan bila diberikan selama operasi. Suatu penurunan temperatur pada esofagus sebanyak 0.5 1 C dapat mengakibatkan penderita menggigil sesudah operasi, sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan cardiac out put. Pemberian darah hangat sesuai dengan panas tubuh juga dapat menghindari menurunnya kecepatan metabolisme sitrat sehingga dapat mengurangi intoksikasi sitrat. Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5 unit dalam waktu 30 menit akan dapat menurunkan temperatur 4 C. pada 33 C, hipotermi dapat menyebabkan asidosis metabolik dan depressi cardiac out put. Perubahan posisi tubuh atau respirasi dapat menyebabkan cardiac arrest. Darah harus dihangatkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada penderita dengan kecepatan tinggi dan dalam jumlah besar.

7. Post transfusion hepatitis (PTH) Penemuan yang penting yaitu adanya Australian Antigen (HAA) dan hubungannya yang positif dengan hepatitis serum merupakan harapan baru untuk mengurangi PTH. Kebanyakan darah yang diberikan adalah darah yang dibeli dari setiap orang sehingga penularan hepatitis bisa saja terjadi. Semua Palang Merah perlu mengetes dan meniadakan donor positifnya HAA. Virus cytomegalo dapat menular lewat transfusi darah dan merupakan salah satu bagian yang bertanggung jawab untuk terjadinya PTH. Bila bukti-bukti tampak meyakinkan, dimana dapat dideteksi bahwa darah mengandung virus tersebut, maka transfusi dengan darah tersebut harus dihindari. Cara lain untuk mengatasi PTH ialah dengan memberikan modifikasi gamma globulin intravena sebelum pemberian darah. Pada transfusi sel darah merah diperlukan kecocokan antara donor dan resipien. Kita menggunakan tipe dan saringan infus tertentu, sebab makin meningkatnya jumlah operasi

18

elektif yang biasanya tidak menggunakan darah. Pada operasi-operasi elektif darah hanya digunakan pada keadaan tertentu saja. Ini memberikan beberapa keuntungan, ialah : 1. Mengurangi jumalh sel darah setiap harinya. 2. Mengurangi petugas Bank Darah. 3. Ongkos yang dibebankan pada penderita menjadi lebih rendah.

Monitoring penderita dengan transfusi masif diperlukan : 1. EKG untuk mengetahui perusahaan kalsium dalam darah. 2. CVP dan kateter urine untuk mengetahui keluarnya urine setiap jam. 3. Analisis gas darah untuk mengetahui PaO2, PaCO2, pH. Ketiga hal tersebut perlu dipantau setiap pemberian 5 unit darah, untuk menentukan secara tepat berapa natrium biakrbonat yang harus diberikan.

Keterbatasan 9,10 : Tidak akan mendeteksi kesalahan dalam identifikasi pasien (kecuali jika rekor sebelumnya ada) Tidak akan mendeteksi ABO campur-baur jika golongan darah yang kompatibel (bisa crossmatch grup A donor darah untuk penerima AB)19

Tidak akan mendeteksi kesalahan Rh (bisa crossmatch Rh + donor darah dengan Rh negatif penerima dengan tidak ada reaksi jika pasien tidak memiliki anti-D)

Tidak akan mendeteksi semua penerima antibodi terhadap antigen donor (antibodi mungkin terlalu lemah untuk mendeteksi, tapi masih menyebabkan reaksi transfusi seperti antibodi Kidd)

Tidak akan mencegah alloimmunization penerima (hanya ABO dan Rh antigen cocok pasien berpotensi dapat membuat antibodi terhadap semua antigen lainnya) Inilah sebabnya mengapa banyak antibodi ditemukan ditemukan di-ditransfusi pasien multi.

Kewaspadaan9,10 :

Kurang sensitifnya metode pemeriksaan yang digunakan Human error factor Adanya reaksi transfusi yang tertunda ( delayed transfusion reaction) Menangani sampel lembut untuk mencegah hemolisis, yang dapat menyembuyikan hemolisis sel darah merah donor.20

Sampel dengan label nama pasien, rumah sakit atau darah nomor bank, tanggal, dan inisial phlebotomist itu.

Tunjukkan pada laboratorium slip jumlah dan jenis komponen darah yang diperlukan. Kirim sampel ke laboratorium segera. Jika lebih dari 72 jam berlalu sejak transfusi sebelumnya, darah donor sebelumnya crossmatched harus recrossmatched dengan sampel serum penerima baru untuk mendeteksi ketidaksesuaian yang baru diperoleh sebelum transfusi.

Jika pasien dijadwalkan untuk operasi dan telah menerima darah selama 3 bulan terakhir, darahnya perlu crossmatched lagi jika operasi nya dijadwal ulang untuk mendeteksi ketidaksesuaian baru saja diakuisisi.

II.

KESIMPULAN

1. Crossmatch merupakan sebuah pemeriksaan darah yang dilakukan untuk

menetapkan kompatibilitas dari donor dan penerima darah.

21

2. Pemeriksaan ini merupakan uji deteksi antibodi terbaik yang tersedia untuk menghindari reaksi transfusi mematikan sehingga dilakukan sebelum melakukan transfusi darah dan apabila terjadi reaksi transfusi darah 3. Terdapat dua cara pemeriksaan, yaitu crossmatch mayor dan crossmatch minor. 4. Crossmatch mayor adalah dengan mencampur eritrosit pendonor (aglutinogen donor) dengan serum resipien (aglutinin resipien). 5. Crossmatch minor adalah dengan mencampur eritrosit resipien (aglutinogen resipien) dengan serum donor (aglutinin donor).

22

REFRAT PEMERIKSAAN CROSSMATCH DARAH

Disusun Oleh : Varista Rahmalia Soedarto G1A209114

23

Pembimbing : Dr. Ariadne Tiara Hapsari, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU KEDOKTERAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROF.DR.MARGONO SOEKARJO 2011 DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2001. University of Pennsylvania School of Veterinary Medicine.

Blood Typing & Crossmatching.

2. Anonim. 2001. Stanford school of medicine. Department of Pathology. Red

Blood Cell and Crossmatch.

3. Fatma Vriastuti. 2009. Pemeriksaan Crossmatching (uji cocok serasi)di Unit Transfusi Darah cabang PMI Kota Surakarta.

24

4. Anonim. 2010. North western laboratories. Veterinary diagnostic and

clinical pathology. Crossmatching protokol. 2010

5. F.

Jennifer.

2009.

Cross

Matching.

http://www.lonestarbloodbank.com/crossmatch.pdf

6. G. Mark. M, Bob, C, Patrick, et.all. 2009. Crossmatch and Blood.

http://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/coags/xmatch.htm

7. Anonim.

2009.

Protokol

Pemeriksaan

Crossmatch.

http://www.nwlabs.co.uk/tp7-cross-match.html

8. Anonim.

2005.

Cross

Matching.

http://faculty.matcmadison.edu/mljensen/BloodBank/lectures/crossmatch.ht m

9. Anonim. 2007. NCI crossmatch. http://nuansa.org

10. Joomla. 2008. Serba-serbi Transfusi Darah. http://rapi-nusantara.net

11. Support Life and Be a Blood Donor. 2008.Indonesians Red Cross Jakarta Flyers.

12. Lisawati, Yovita. Dra, Apt. Bagian Farmasi, Universitas Andalas,Padang.

2000.

Penetapan Golongan Darah, Hb Darah dari Donor dan cross25

Matching terhadapDonatur dan Resipien yang Dipersiapkan untuk Transfusi.

13. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari

URL: http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN.pdf

26