Upload
phungnguyet
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
“Pola Hidup dan Interaksi Para Urban di Kawasan Surabaya”
Oleh:
Dewi Ratna Yulianingsih
124254256
PRODI S1 PPKn C
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
1
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Allah SWT atas segla rahmat dan hidayatnya yang tiada terkira
kepada kita semua sebagai umatNya. Sholawat dan salam tak lupa selalu terucap pada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena keteladanan dan ahlaknya dn setiap gerak
langkahnya kita dapat menjadi umat terbaik di sisi Allah SWT.
Pembuatan makalah inin tentu tidak luput dari hambatan, namun dengan demikian
atas kuasa Allah SWT lewat orang-orang disekitar kita maka makalah ini dapat terwujud.
Maka lewat kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terimakasih pada teman-teman yang
membantu, serta dosen Antropologi yang telah memberikan pengarahan.
Dalam makalah ini, dibahas mengenai: “Pola Hidup dan Interaksi Para Urban di
Kawasan Surabaya”.
Penulisan makalah ini tentu banyak kekurangan-kekurangannya. Maka dari itu banyak
harapan dari kami kritik dan saran yang membangun, untuk lebih menyempurnakan makalah
ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
Latar Belakang.............................................................................................................4
Rumusan Masalah........................................................................................................5
Tujuan Penulisan..........................................................................................................5
Manfaat Penulisan .......................................................................................................5
KAJIAN PUSTAKA...............................................................................................................5
Pengertian Kota............................................................................................................6
Ciri-ciri Masyarakat Perkotaan.....................................................................................6
Sejarah Pertumbuhan Kota-Kota..................................................................................6
Masyarakat dan Kehidupan Kota.................................................................................7
Kota dan Kelompok Kerabat........................................................................................8
Kota dan Kemiskinan....................................................................................................9
Urbanisasi.....................................................................................................................11
ISI..............................................................................................................................................8
Kekerabatan dan Interaksi Para Urban di Surabaya.....................................................13
Mata Pencaharian Para Urban di Surabaya..................................................................13
Gaya Penampilan dan Gaya Hidup Para Urban di Surabaya.......................................14
Keagamaan atau Religi Para Urban di Surabaya..........................................................14
PENUTUP................................................................................................................................16
Simpulan.......................................................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal perkembangannya, antropologi memusatkan perhatiannya kepada
masyarakat primitif. Perhatian ini timbul karena adanya sesuatu anggapan sebagai sebuah
keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat pedalaman-
pedalaman. Akan tetapi pada awal abad ke-20, dimana antropologi perkotaan mulai
dikembangkan.
Perkotaan cenderung dengan pusat keramaiannya dan pusat para urban berkumpul.
Masyarakat urban atau urban community berpikir bahwa hidup di perkotaan akan menjadi
lebih hidup makmur daripada hidup di desa, padahal jika para urban tidak memiliki keahlian
atau mata pencaharian yang tetap atau membuahkan pengahasilan yang memuaskan para
urban akan menjadi masalah tersendiri bagi kota tersebut. Masalah utama adalah kemiskinan
yang merajalela karena akibat adanya para urban yang menetap di kota dan tidak mempunyai
keahlian dan penghasilan yang bisa mencukupi keluarganya di kota.
Dewasa ini fenomena urbanisasi telah menjadi pembicaraan umum masyarakat luas.
Urbanisasi dianggap sebagai suatu arus yang belum atau bahkan mungkin tidak dapat teratasi
dan terelakkan oleh kota-kota besar di dunia. Urbanisasi sering disebabkan oleh perpindahan
dan mobilitas penduduk dari desa dan kota sehingga menimbulkan masalah sosial ekonomi
baik di tempat tujuan maupun daerah asal urbanisasi.
Kota Surabaya termasuk dalam deretan kota besar di Indonesia yang mengalami
fenomena urbanisasi besar-besaran. Daya tarik ekonomi kota besar seperti Kota Surabaya
menjadikan penduduk dari berbagai daerah menjadikan Kota Surabaya sebagai tempat tujuan
perpindahan penduduk yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian mereka. Namun,
apabila urbanisasi tidak diimbangi dengan sumberdaya manusia yang berkualitas maka
timbullah permasalahan-permasalahan ekonomi yang akhirnya menjalar menjadi
permasalahan- permasalahan sosial pula. Permasalahan yang timbul berupa kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan munculnya pemukiman-pemukian kumuh di Kota Surabaya. Hal ini
tentu menjadi focus perhatian khayalak umum untuk mencapai solusi dalam mengurangi
dampak negatif urbanisasi.
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekerabatan dan interaksi para urban yang tinggal di kota Surabaya?
2. Apa saja mata pencaharian atau pekerjaan para urban yang tinggal di kota
Surabaya?
3. Bagaimana gaya penampilan dan gaya hidup para urban yang hidup di daerah
Surabaya?
4. Bagaimana keagamaan atau religi para urban yang hidup di kawasan Surabaya?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat agar kita mengetahui pola hidup dan interaksi para urban yang
sebelumnya hidup di desa pindah ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan yang
layak. Namun pemikiran para urban yang demikian salah, karena jika tidak memiliki
keahlian yang khusus untuk tinggal di daerah perkotaan mereka akan menimbulkan
masalah tersendiri, yaitu kemiskinan. Serta salah satu tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi hasil kerja tugas akhir semester.
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui pola kekerabatan dan interaksi para urban yang tinggal di
kawasan Surabaya.
2. Untuk mengetahui mata pencaharian apa saja yang menjadi pekerjaan para urban
yang hidup di kawasan Surabaya.
3. Untuk mengetahui gaya penampilan dan gaya hidup para urban yang hidup di
kawasan Surabaya.
4. Untuk mengetahui seberapa besar keagamaan atau religi yang dimiliki para urban
yang hidup di kawasan Surabaya.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Kota
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti
pendapat beberapa ahli berikut ini. i. Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang
yang heterogen kedudukan sosialnya. ii. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan
ekonominya dipasar lokal. iii. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih. Dari beberapa pendapat
secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota
dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam
struktur pemerintahan.
Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut Kota, karena memang gaya
hidupnya yang cenderung bersifat individualistik.
B. Ciri-ciri masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :
i. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang
kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
ii. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada
orang lain (Individualisme).
iii. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas
yang nyata.
iv. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh
warga kota.
6
v. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi
warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar
kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
vi. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam
menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
C. Sejarah Pertumbuhan Kota-Kota
Pusat-pusat organisasi dan pengawasan atas daerah pertanian yang subur dan luas itu
kemudian telah telah menarik berbagai spesialisasi dan perdagangan dan juga dan juga dari
masyarakat daerah lain yang kurang subur atau gersang. Akibat lanjutnya ialah terciptanya
pekerjaan yang berkaitan dengan keamanan dan pertahanan, pembuatan alat-alat pertanian,
perencanaan irigasi dsb.
Pusat-pusat urban yang muncul melalui proses tersebut di atas disebut pusat urban
“primer”, karena mengikuti suatu proses ekologis yang berlangsung secara alamiah (natural).
Sebaliknya, inilah pusat-pusat urban “sekunder”, yakni pusat-pusat urban yang yang segera
muncul di wilayah lain. Disamping itu terdapat juga pusat-pusat urban yang muncul
kemudian yang tampaknya berkaitan dengan pertumbuhan yang cepat dalam perdagangan
dan perniagaan. Namun demikian, satu hal yang diperjelas oleh studi urban adalah bahwa
suatu kondisi pra-urbanisme berupa penghalusan dan pemutuan teknik-teknik produksi bahan
makanan selalu diperlukan, agar selalu memungkinkan terdukungnya penduduk yang padat
dan klas (atau klas-klas) penduduk non petani di dalam suatu masyarakat.
Pernyataan lain dalam kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota-kota, ialah yang
dikemukakan oleh Mac Iver dan Page (society, 1949) yang menyatakan bahwa kota-kota
akan bertumbuh jika suatu masyarakat atau suatu kelompok orang dalam masyarakat
memperoleh kontrol yang lebih besar atas sumber-sumber daya daripada yang diperlukan
untuk hidup saja.
Gideon Sjoberg (The Pre Industrial City,1960) mengemukakan adanya adanya tiga tingkatan
organisasi manusia menuju kepada terbentuknya pusat-pusat urban, yaitu:
1. Pre-urban feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya kota-kota.
7
2. Pre-industrial feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya industri.
3. Modern industrial feudal, yakni masyarakat feodal dengan industri maju.
Drs. J.H. De Goode (dalam J.W. Schoorl:Modernisasi,1981). Mengemukakan bahwa
perkembangan kota-kota dapat dipandang sebagai fungsi dari faktor-faktor:
1. Jumlah penduduk keseluruhan.
2. Penguasaan atas alam lingkungan .
3. Kemajuan teknologi, dan
4. Kemajuan dalam organisasi sosial
Suatu hipotesis tentang perkembangan kota juga dikemukakan oleh Kenneth Ee. Boulding.
Menurut perkembangannya, ia membagi kota-kota itu ke dalam “kota politik” dan “kota
ekonomi”.
D. Masyarakat dan Kehidupan Kota
Louis Wirth, dengan bertolak dari hasil penelitiannya dan definisinya tentang kota
yang kualitatif, melihat kehidupan kota, dan mengemukakan bahwa :
a. Banyak relasi kota menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak
yang lengkap diantara pribadi-pribadi.
b. Orang kota harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak hubungan
yang bersifat pribadi, ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi yang
merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun
kebudayaannya.
c. Kebanyakan hubungan orang-orang kota digunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu saja.
d. Orang kota memiliki semacam emansipasi atau kebebasan untuk menghindar
dari pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya.
8
Sehubungan dengan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Wirth di atas, maka Claude Fischer
mengatakan bahwa kota-kota itu merupakan tempat-tempat yang subur dimana terdapat sub
kultur yang berbeda-beda dan sehat dapat berkembang baik. Karena itu akan timbul dua
proses yang yang akibatnya berlawanan yakni intensifikasi sub kultur dan difusi kebudayaan.
N. Daldjoeni (Seluk Beluk Masyarakat, 1978) mengatakan bahwa kota dapat didekati dari
dua aspek, yakni aspek fisik (pengkotaan fisik) dan aspek mental (pengkotaan mental). Yang
disebut pertama bersangkut paut dengan luas wilayah, kepadatan penduduk, tata guna tanah
yang non agraris. Aspek kedua bertalian dengan orientasi nilai serta kebiasaan hidup orang
kota.
John Gullick merumuskan bahwa keenam kota kecil itu mempunyai beberapa ciri khas atau
esensi urban yang sama :
a. Adanya perantara (brokers).
b. Kehadiran orang asing atau orang luar.
c. Adanya hubungan diantara klas-klas atas di kota–kota dengan pribadi-pribadi atau
asosiasi-asosiasi di kota-kota lain yang lebih besar.
d. Adanya hubungan-hubungan pribadi yang impersonal, rasionalistik berorientasi tujuan,
atau interpersonal tunggal.
e. Mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan.
f. Adanya heterogenitas kultural.
Jadi, setiap kota yang berukuran bagaimanapun masyarakatnya adalah produk behavioural
(perilaku) dari suatu sistem sosial budaya yang lebih besar.
Suatu masalah dalam kehidupan dengan kehidupan perkotaan ialah sekularisasi dan
sekularisme. Sekularisasi dirimuskannya sebagai seperangkat aspek yang saling berkaitan :
(1) tipe aspek sosial, (2) diferensiasi dan spesialisasi pranata-pranata, dan (3)
institusionalisasi perubahan.
9
E. Kota dan Kelompok Kerabat
Pada masyarakat pra modern, kelompok kekerabatan dan kekeluargaan memang
mempunyai peranan yang penting sebagai organisasi yang mempunyai berbagai fungsi,
termasuk fungsi kontrol atas perilaku individu. Karena itu posisi individu, sebagian besar
ditentukan oleh kelompok kerabat dan keluarga dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Goode menemukan adanya beberapa kekuatan dalam masyarakat industri yang
menggerogoti organisasi keluarga nasional yakni :
a. Adanya keharusan mobilitas horizontal atau geografik sehingga kontak antar
keluarga menjadi kurang teratur dan menjadi agak jarang.
b. Besarnya kesempatan mobilitas sosial (vertikal). Keadaan ini membuat sulitnya
kontak-kontak sosial.
c. Tumbuhnya organisasi kota dan organisasi industri yang mengambil alih
berbagai fungsi kelompok kerabat.
d. Diutamakannya prestasi (achievement) bila dibandingkan keturunan (ascription)
e. Dilakukannya spesialisasi sehingga ikatan kekerabatan tidak lagi memegang
peranan yang menentukan dalam kedudukan sosial.
Karena itu, dalam banyak masyarakat, kelompok keluarga besar menjadi kurang
artinya, organisasi klen menjadi cair dan keluarga besar menjadi kabur. Namun demikian,
perlu diingatkan bahwa keadaan tersebut di atas tidak secara otomatis berlaku dalam
organisasi sistem kekerabatan yang modern, atau secara otomatis memperlemah ikatan-ikatan
kekerabatan itu. Hal di atas baru akan terjadi bila mobilitas sosial dan geografik mendapat
arti yang baru, misalnya pergeseran ke dalam suatu (sub) kebudayaan yang lain dan yang
memberi identitas baru. Dalam hal demikian, hubungan antar anggota-anggota keluarga dapat
menjadi renggang.
Sedang dalam berbagai situasi sosial, kekerabatan masih dimanfaatkan, misalnya
untuk mengelola perusahaan, kekuasaan, ataupun permodalan. Juga dalam situasi tertentu,
misalnya dalam hal ancaman terhadap kedudukan dalam usaha untuk memperoleh pekerjaan
10
atau perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya, ataupun jaminan hukum, maka kekerabatan
dapat berfungsi sebagai penolong.
Sejalan dengan berkembangnya kota, terutama dalam hal jumlah penduduknya,
maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka
organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi organisasi
regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau
tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif.
Dengan kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena
asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif dalam kota-kota
yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan
menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan
persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan.
Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban” yang dibedakan
dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran kesukuan.
F. Kota dan Kemiskinan
Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para antropolog adalah masalah
kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam kota-kota besar.
Oscar Lewis mengemukakan bahwa kebudayaan kemiskinan itu (culture of poverty)
mempunyai ciri-ciri :
a. Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah.
b. Tingkat pendidikan yang rendah.
c. Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial.
d. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program
kesejahteraan lainnya.
e. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko-toko, museum, atau
bank.
11
f. Upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah.
g. Tingkat ketrampilan kerja yang rendah.
h. Tidak memiliki tabungan atau kredit.
i. Tidak memiliki persediaan makanan dalam rumah untuk hari besok.
j. Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi (privasi).
k. Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan anak.
l. Perkawinan sering terjadi karena konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan
pembuangan anak.
m. Keluarga bertumpu pada ibu.
n. Kehidupan keluarga adalah otoriter.
o. Penyerahan diri pada nasib atau fatalisme.
p. Besarnya hypermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan
kaum wanita.
Dikemukakannya, misalnya bahwa kegagalan kebijaksanaan pemerintah terhadap
kemiskinan adalah disebabkan karena kebijaksanaan itu didasarkan atas asumsi adanya suatu
kebudayaan yang self-perpetuating itu. Struktur kekuasaan lokal maupun nasional tidak
berubah, demikian pula dalam distribusi sumber-sumber material dan psikik.
Depriviasi utama kaum miskin dari posisi kultural mereka di dalam sistem sosial,
menurut Valentino, bersumber dari tindakan-tindakan dan sikap golongan bukan miskin.
Karena itu untuk mengatasi hal itu perlu ada suatu sikap berpihak kepada kaum miskin di
dalam pekerjaan dan pendidikan, yang disebutnya radical egalitarism. Jadi kondisi
kemiskinan yang demikian itu, berdasarkan uraian Gladwin dan Valentine tersebut di atas
disebut sebagai kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang tercipta dan kekal yang
disebabkan oleh mereka yang berada dalam struktur sosial yang lebih tinggi dalam
12
masyarakat, yang dengan berbagai usaha tidak memberi kesempatan kepada segmen di
bawah beranjak ke atas guna memperbaiki taraf hidup mereka.
Sejalan dengan masalah kemiskinan itu adalah segmen pemukiman kota yang disebut
squatter’s town, ghetto, dan daerah etnis lainnya, sebagai fenomena struktural yang sering
dijumpai di kota-kota besar.
Squatter’s town adalah pemukiman (settlement) yang berupa pemukiman di bawah
standar, sering tanpa status yang jelas mengenai tanahnya, dan berlokasi di dalam atau di
batas-batas pinggiran kota. Ghetto adalah pemukiman yang dihuni oleh suatu etnis tertentu
yang dipandang sebagai etnis yang kurang disenangi oleh mayoritas kelompok masyarakat
lainnya karena dipandang jorok dan mempunyai cara hidup yang aneh.
Ada beberapa antropolog yang telah meneliti fenomena pemukiman /penghunian liar di
berbagai kota besar. Fokus penelitian mereka terutama diarahkan kepada asal-usul masing-
masing daerah penghunian liar, organisasi dan asosiasi di dalamnya, aturan-aturan setempat,
serta fungsi semua itu bagi penghuninya, maupun bagi para migran baru.
G. Urbanisasi
Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota.
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi kota.
d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial,
budaya dan psikologi.
Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya
perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota-kota, dan dipandang sebagai penyebab utama
terjadinya berbagai masalah sosial.
Hasil dari penelitian dan pengidentifikasian itu telah dikategorikan ke dalam dua
kelompok penyebab, yakni “faktor pendorong” dan “faktor penarik”.
13
Perkembangan dan kemajuan alat komunikasi dan transportasi juga turut berpengaruh atas
perpindahan kota, sehingga memperbesar kesempatan dan kemungkinan orang pedesaan
tinggal di kota karena dengan mudah dan cepat dapat pulang pergi dari dan ke desa asal.
G. Germani (migration and acculturation,1965) berpendapat bahwa segala perpindahan itu
harus dianalisis atas dasar yang lebih luas. Untuk itu digunakannya 3 tingkat analisis :
a. Tingkat Obyektif, dimana faktor pendorong dan penarik, bersama-sama dengan
cara penyelenggaraan hubungan kota dan pedesaan ikut dipertimbangkan.
b. Tingkat Normatif dan Sosio-psikologik, dimana diperhatikan kondisi obyektif
yang berfungsi dalam masyarakat : norma, nilai, kepercayaan, juga sikap dan tata
kelakuan yang berpengaruh atas perpindahan itu.
c. Analisis tingkat psiko-sosial, yang mencakup sikap dan harapan individu-individu
konkrit, yang memutuskan untuk pindah ke kota atau tidak.
Dari studi itu disimpulkannya suatu konsep yang disebut step by step, yakni
perpindahan yang besar cenderung untuk menciptakan gerakan perpindahan tandingan,
bahwa di kalangan para migran yang berpindah dalam suatu jarak yang jauh dari komunitas
mereka sendiri terdapat kecenderungan untuk berpindah ke pusat-pusat industri dan niaga
yang besar, bahwa penduduk kota yang lebih kecil kurang berminat berimigrasi bila
dibandingkan dengan mereka di pedesaan, dan bahwa kaum wanita lebih berkeinginan untuk
berimigrasi bila dibandingkan kaum pria.
Ada banyak bukti bahwa kota lebih banyak menarik kaum wanita muda bila
dibandingkan dengan kaum pria muda, karena pedesaan kurang memberikan kesempatan
ekonomi.
Ada banyak orang pergi ke pusat-pusat urban semata-mata karena desakan ekonomi,
karena tingkat kelahiran di pedesaan lebih tinggi dan lapangan pekerjaan berkurang. Di pihak
lain, sebagian orang menemukan bahwa kemampuan mereka tertekan, dan ambisi mereka
terhalang di lingkungan pedesaan dan karena itu, mereka berpaling kepada kemungkinan-
kemungkinan yang ada di kota-kota. Di antara mereka ini sebagian besar adalah penduduk
desa yang lebih berbakat.
14
Tentu saja, terdapat pula banyak dari mereka yang berimigrasi ke kota karena tertarik
oleh alasan lain, misalnya melarikan diri dari tekanan politik dan sosial, mencari hiburan,
petualangan, dan mereka yang suka pada kehidupan kerumunan, serta alasan kriminal dan
sebagainya.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik mengenai urbanisasi adalah eratnya hubungan
urbanisasi itu dengan mobilitas sosial. Semakin tinggi mobilitas sosial yang terdapat dalam
suatu masyarakat semakin tinggi pula dorongan atau motivasi untuk bermigrasi dan
berurbanisasi. Mobilitas sosial dapat dibagi ke dalam 2 bentuk yakni : “mobilitas fisik” dan
“mobilitas mental”. Mobilitas fisik adalah gerak perpindahan penduduk (individual maupun
kelompok). Dari ruang sosial yang satu ke ruang sosial yang lain. Sementara mobilitas mental
adalah gerak perubahan atau peralihan (transformasi) aspek-aspek sosio-psikologis pada
manusia, dari pola satu ke pola yang lain.
15
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kekerabatan dan Interaksi Para Urban di Surabaya
Pertama, dari segi hubungan kekerabatan, urbanisasi sering diasosiasikan dengan
melemahnya atau longgar-nya hubungan kekerabatan. Dengan kata lain, makin meningkat
kegiatan mobilitas penduduk akan semakin melonggarkan ke-terikatan mereka dengan
kehidupan pen-duduk setempat. Lemahnya hubungan keke-rabatan sebenarnya tergantung
dari persepsi yang diberikan. Secara fisik, memang kepergian mereka ke luar desa mengaki-
batkan semakin berkurangnya kesempatan mereka untuk mengikuti acara atau peris-tiwa
sosial di desa. Tetapi secara batiniah hubungan dan ikatan dengan daerah asal itu ada
beragam perilaku. Ada yang memang merasa masih memiliki ikatan kuat dengan kerabatnya
di desa. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku kepulangan mereka setiap saat ke desa asal.
Tetapi ada pula yang sudah mulai “ogah-ogahan” pulang ke desa, dan dengan demikian
ikatan kekerabatan juga sudah melonggar.
Kedua, secara sosial, urbanisasi akan berpengaruh pada kesejahteraan keluarga
migran yang bersangkutan. Hal ini berkait dengan kehidupan keluarga mereka yang terpaksa
harus hidup terpisah sampai jangka waktu yang tidak diketahui batasnya. Sekalipun mereka
pada waktu-waktu ter-tentu pulang ke desa, namun kese-jahteraan keluarga akan lebih
terjamin bila mereka selalu berkumpul dalam satu rumah. Namun demikian, hal ini
nampaknya tidak terlalu dirisaukan oleh orang desa, sebagai masyarakat desa yang biasa
hidup sub-sistensi, nampaknya pemenuhan kebutuhan ekonomi lebih mendominasi pemikiran
mereka dalam soal kesejahteraan hidupnya.
Ketiga, orang-orang “sukses” di kota ini dapat menumbuhkan kemampuan dan
keinginan untuk berkompetisi atau bersaing. Dari sisi positif kompetisi dan persaingan ini
akan sehat dan baik apabila mendorong mereka terpacu dan semakin giat bekerja, sehingga
keberhasilan ini akan semakin dapat dirasakan penduduk desa. Di sisi lain kompetisi dan
persaingan ini akan menjadi tidak sehat karena membuahkan perilaku budaya baru yang
disebut dengan budaya “pamer” dengan menggunakan ke-kuatan ekonomi. Karena budaya
“pamer” ini tidak sesuai dengan budaya Jawa yang berusaha untuk konform dengan
lingkungan sekitar. Dalam hal ini, orang mencari penga-kuan dan kehormatan melalui
kekayaannya.
16
B. Mata Pencaharian Para Urban di Surabaya.
Kota Surabaya pada awalnya adalah sebuah kota pantai yang menarik penduduk
untuk menetap di kota tersebut karena aktivitas perdagangannya yang dekat dengan laut atau
peraiaran. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan dari daerah yang bersifat pedesaan
dengan sektor utama pertanian berubah menjadi daerah yang bersifat kekotaan dengan sektor
utama industri, perdagangan dan jasa. Namun perubahan ini tidak sebanding apabila
dikaitkan dengan jumlah penduduk yang datang. Proses industrialisasi yang kalah cepat
dengan penduduk yang berbondong-bondong bermigrasi ke Kota Surabaya menyebabkan
ketidakmampuan lapangan pekerjaan di Kota Surabaya dalam menampung penduduk
tersebut. Hal itu kemudian menimbulkan persaingan yang ketat dalam memperoleh
perkerjaan di Kota Surabaya padahal sebagian besar penduduk yang datang ke Kota Surabaya
adalah penduduk dengan tingkat pendidikan yang rendah. Masalah inilah yang kemudian
memunculkan permasalahan seperti penganguran, timbulnya pemukiman kumuh dan
turunnya kesejahteraan sosial.
Namun, kebanyakan dari khalayak para urban menjadi buruh pabrik dan sektor
informal. Banyak kita temui di pinggir-pinggir jalan, kebanyakan yang berjualan di trotoar
atau pedagang kaki lima memang dari kalangan para urban yang menetap di kota. Dengan
bekerja sebagai PKL itulah mereka menghidupi dirinya dan keluarganya.
C. Gaya Penampilan dan Gaya Hidup Para Urban di Surabaya.
Pertama, pengaruh urbanisasi nampak pada kebiasaan berpakaian dan makan.
Perubahan dalam hal berpakaian tidak semata-mata karena evolusi alamiah, melainkan juga
karena ada kontak dengan dunia luar atau ada pihak yang memper-kenalkan. Media massa
dan iklan dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam berpakaian dan makan, tetapi
dampaknya tidak akan efektif apabila tidak ada orang yang memberikan contoh nyata dalam
kesehariannya. Setelah melihat cara-cara baru berpakaian dan mengenal macam-macam
makanan modern sekembalinya ke desa diperlihatkan kepada orang-orang desa.
Kedua, perubahan juga nampak pada pergaulan remaja, serta interaksi antara generasi
muda dengan orang tua. Dari sisi positif, urbanisasi mendorong penduduk untuk memperluas
pergaulan dan penga-laman, dengan akibat lebih lanjut pada keinginan mereka untuk
meningkatkan ke-mampuan diri. Sedangkan di pihak lain sebagian remaja yang pergi ke kota
mem-bawa kebiasaan baru yang bersifat negatif yang diperolehnya di kota seperti minum-
minuman yang mengandung alkohol, ber-judi. Dampak negatif yang lain adalah mulai
17
berkurangnya penghormatan terhadap orang tua. Memang hanya sedikit warga Desa Jetis
yang melakukan kegiatan negatif semacam itu, meskipun demikian perilakunya dapat
mengganggu kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal interaksi antara generasi
muda dengn orang tua seringkali ditemui adanya kesenjangan, baik dalam hal nilai, norma
dan berakibat pada perilaku kesehariannya.
D. Keagamaan atau Religi Para Urban di Surabaya.
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan menurunnya minat terhadap kajian
agama, yang antara lain disebabkan terjadinya perubahan psikologi masyarakat dari agraris
kepada urbanis atau perkotaan. Masyarakat perkotaan setiap hari harus terlibat dalam
berbagai permasalahan, bersaing dalam mendapatkan berbagai peluang. Di perkotaan segala
sesuatu harus dilakukan dengan serba cepat, tepat, profesional, cerdas dalam membagi waktu
dan menentukan pilihan. Selain itu masyarakat di perkotaan cenderung semakin pragmatis
ekonomis, dan mudah stress, khususnya ketika mereka gagal dalam bersaing memperebutkan
berbagai peluang.
Selain itu, karena terbatasnya waktu, masyarakat perkotaan cenderung menyerahkan
sebagian tugasnya kepada kalangan profesinal. Menjamurnya restoran atau warung makanan
siap saji, atau yang langsung bisa dipesan ke rumah, jasa cuci pakaian, jasa pengurusan surat-
surat berharga, jasa penitipan Balita, dan jasa outsourcing lainnya merupakan bukti, bahwa
masyarakat perkotaan sudah kurang memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat domestik.
Perubahan ke arah pola hidup perkotaan yang demikian itu sering tidak diimbangi
dengan karakter kajian keagamaan. Kajian keagamaan yang ada saat ini pada umumnya
masih bersifat normatif dan literalis, kurang mengkomunikasikannya dengan berbagai
permasalahan aktual dan mendesak, kurang bersentuhan dengan permasalahan yang mereka
hadapi, sehingga penyajian agama kehilangan daya relevansinya. Model penyajian agama
yang demikian itu sudah tidak sesuai lagi dengan karakter masyarakat perkotaan. Agama
sebagai faktor motivator, dinamisator, katalisator, inspirator, dan sublimator sudah tidak
efektif lagi bagi masyarakat perkotaan. Sementara itu dari kalangan para penyaji agama, di
samping kurang memiliki wawasan yang cukup terhadap berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat perkotaan , juga sudah tidak memiliki waktu dan motivasi yang memadai untuk
mengatasi problema yang dihadapi masyarakat perkotaan. Dalam keadaan kurangnya minat
18
masyarakat terhadap kajian keagamaan, maka tidak sedikit di antara tokoh agama yang terjun
ke dunia politik dengan menjadi anggota legislatif, terjun ke dunia bisnis dan lain sebagainya.
Masyarakat perkotaan yang dalam keadaan mudah stress itu seolah-olah dibiarkan
menghadapi masalahnya sendiri. Dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika
bermunculan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai tokoh spiritual yang memiliki
kekuatan magis yang dapat mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.
19
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Permasalahan permasalahan di atas, tidak hanya terjadi di Kota Surabaya saja.
Permasalahan kepadatan penduduk tersebut kerap kali terjadi di Kota Kota besar lainnya.
Padatnya jumlah penduduk secara besar – besaran ini memiliki anggapan bahwa mencari
pekerjaan di Kota lebih mudah. Hal ini akan memiliki dampak negatif tentu nya. Apabila para
urban tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, maka untuk memenuhi kebutuhan sehari –
harinya, mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuap nasi. Akibatnya,
kriminalitas pun akan meningkat. Apabila mereka tidak mendapatkan tempat tinggal yang
layak, maka kemungkinan besar mereka akan mendirikan perkampungan – perkampungan
kumuh di tepi sungai, di pinggran rel kereta api, di bawah jalan tol, dan lain – lain sehingga
mengakibatkan ketidakrapian dan menyebabkan kota terlihat kumuh. Selain itu, dengan
bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya, akan menyebabkan berkurangnya
ketersediaan lahan, karena luas lahan tidak akan bertambah. Hal ini pun dapat mengakibatkan
tanah pertanian menjadi berkurang karena digunakan untuk permukiman penduduk.
Dampak lain dari tingkat kepadatan penduduk yang tinggi adalah terjadinya
kemacetan dimana – mana. Dengan kepadatan penduduk yang cenderung tinggi diKota
Surabaya, pastinya akan menimbulkan banyak masalah-masalah baru yang terkait prilaku
manusianya. Akan tetapi, tanpa diimbangi dengan adanya perbaikan sarana dan aksesibilitas
jalan, maka tentunya akan terjadi kemacetan di Kota Pahlawan ini. Hal ini dikarenakan
semakin banyaknya orang yang menggunakan sarana tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu upaya perbaikan dan peningkatan aksesibilitas jalan dan transportasi seperti pemberian
lampu-lampu lalu lintas, pembuatan jalur khusus sehingga tidak menambah kemacetan yang
sudah terjadi.
Pengurangan kepadatan penduduk ini tentunya dapat dibantu dengan progam
Trnasmigrasi, sehingga penduduk yang memiliki tingkat kepadatan yang rendah diharapkan
mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadannya jumlah penduduk dengan
jumlah lapangan kerja yang tersedia. Solusi ini dapat berjalan dengan baik apabila
pemerintah benar – benar merealisasikanya, tentunya dibantu juga dengan kesadaran
masyarakat Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan peraturan yang telah dibuat.
20
Dari pembahasan di atas juga dapat disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan para
urban dengan masyarakat lain memang longgar atau melemah. Para urban lebih bersifat
individualistik dan lebih mementingakan perkerjaan tanpa memandang tetangga-tetangga
yang ada di sekitarnya.
Pola gaya hidup pun juga begitu, gaya penampilan berubah dari segi berpakaian dan
makanan. Pengaruh dari media massa biasanya yang mereka contoh. Biasanya para urban
lebih berpola gaya hidup yang terlalu berlebihan dibanding orang-orang lainnya. Sedangkan
mata pencaharian, kebanyakan para urban bekerja di kota menjadi pekerja buruh pabrik dan
sektor informal, karena mungkin sudah bosan tinggal di desa menjadi petani. Hanya
kebanyakan yang berjualan di tempat-tempat pinggir jalan atau biasanya yag disebut sebagai
pedagang kaki lima (PKL) itu adalah para urban. Karena mungkin mereka tidak bisa bekerja
selain menjadi pekerja di sektor informal. Hanya keahlian saja yang bisa menjadi modal
untuk menghidupi keluarga mereka. Dari segi religi yang dimiliki oleh para urban kehidupan
keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan
yang cenderung kearah keduniaan saja.
21