26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu belum pernah diadakan sebelumnya, namun penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu sudah pernah dilakukan oleh Sukarji Putra, dkk (2008) dan Wiwiek Agustina (2012). Kedua penelitian ini memfokuskan perhatian pada hal yang berbeda. Sukarji Putra, dkk (2008) memfokuskan pada evaluasi pengembangan ekowisata di Desa Budaya Kertalangu dan Wiwiek Agustina (2012) memfokuskan pada motivasi dan persepsi wisatawan terhadap Desa Budaya Kertalangu. Penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu pertama kali dilakukan oleh Sukarji Putra dkk (2008). Dalam penelitiannya, Sukarji Putra, dkk (2008) menyatakan bahwa Desa Budaya Kertalangu cocok untuk dikembangkan ekowisata. Hal ini karena desa budaya ini telah memenuhi lima prinsip pengembangan ekowisata dari sembilan prinsip utama sesuai dengan lokakarya ekowisata se-Bali yang meliputi memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya, peka dan menghormati nilai- nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengembangannya didasarkan atas

DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

  • Upload
    doanbao

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa

Budaya Kertalangu belum pernah diadakan sebelumnya, namun penelitian

terhadap Desa Budaya Kertalangu sudah pernah dilakukan oleh Sukarji Putra, dkk

(2008) dan Wiwiek Agustina (2012). Kedua penelitian ini memfokuskan perhatian

pada hal yang berbeda. Sukarji Putra, dkk (2008) memfokuskan pada evaluasi

pengembangan ekowisata di Desa Budaya Kertalangu dan Wiwiek Agustina

(2012) memfokuskan pada motivasi dan persepsi wisatawan terhadap Desa

Budaya Kertalangu.

Penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu pertama kali dilakukan oleh

Sukarji Putra dkk (2008). Dalam penelitiannya, Sukarji Putra, dkk (2008)

menyatakan bahwa Desa Budaya Kertalangu cocok untuk dikembangkan

ekowisata. Hal ini karena desa budaya ini telah memenuhi lima prinsip

pengembangan ekowisata dari sembilan prinsip utama sesuai dengan lokakarya

ekowisata se-Bali yang meliputi memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung

jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya, peka dan menghormati nilai-

nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat, mentaati

peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengembangannya didasarkan atas

Page 2: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

14

persetujuan masyarakat setempat melalui musyawarah, sistem pengelolaan yang

serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.

Penelitian ini menggunakan metode observasi berperan serta, wawancara

mendalam (in-depth interview), dan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang

digunakan yaitu deskripsi kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan secara tepat

dan sistematis data yang diperoleh. Dari hasil penelitian, ada empat kriteria

tambahan yang dapat dilakukan sebagai bentuk alternatif pola pengembangan

ekowisata yang ideal yaitu menyediakan pemahaman yang dapat memberikan

peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan

kecintaannya terhadap alam, memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi

serta sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat

setempat, secara konsisten memberikan kepuasan terhadap konsumen, dan

dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan

harapan (pemasaran yang bertanggung jawab).

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sukarji Putra dkk (2008)

terletak pada objek yang diteliti yaitu mengevaluasi Desa Budaya Kertalangu.

Perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya. Penelitian Sukarji Putra dkk

(2008) fokus penelitiannya terletak pada evaluasi pengembangan ekowisata pada

Desa Budaya Kertalangu, sedangkan penelitian ini fokus penelitiannya terletak

pada evaluasi pelaksanaan programnya.

Penelitian terhadap Desa Budaya Kertalangu juga dilakukan oleh Wiwiek

Agustina (2012). Penelitian Wiwiek mengungkapkan tentang potensi-potensi,

motivasi dan persepsi masyarakat terhadap Desa Budaya Kertalangu sebagai daya

Page 3: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

15

tarik wisata. Potensi tersebut dibagi menjadi 2 kategori yaitu potensi budaya dan

alamiah. Motivasi dari wisatawan yang berkunjung ke desa ini dominan untuk

berolahraga dan persepsi wisatawan terhadap desa ini dilihat dari indikator

pemandangan alam, pertanian dan aktivitas masyarakat adalah baik.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiwiek

Agustina (2012) terletak pada lokusnya yaitu Desa Budaya Kertalangu.

Perbedaannya terletak pada fokus yang diteliti. Penelitian Wiwiek Agustina

(2012) fokus pada motivasi dan persepsi wisatawan terhadap Desa Budaya

Kertalangu sebagai usaha daya tarik wisata, sedangkan fokus penelitian ini adalah

mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu

sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar.

Beberapa hasil penelitian lain yang juga dianggap relevan dengan

penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Narendra Putra (2005), Sarah

Choirinnisa (2010), dan Gautama (2011). Penelitian yang dilakukan oleh

Narendra Putra (2005) bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan kawasan

pariwisata Lovina di Kabupaten Buleleng untuk menuju pariwisata bekelanjutan.

Penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara dan data hasil penelitian

dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami kemunduran sehingga

berdampak pada menurunnya perekonomian masyarakat.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Narendra Putra (2005) yaitu

sama-sama melakukan evaluasi terhadap perkembangan suatu destinasi.

Perbedaan penelitian ini terletak pada objek yang diteliti. Penelitian Narendra

Page 4: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

16

dilakukan di Kawasan Pantai Lovina di Buleleng, dan penelitian ini dilakukan di

Desa Budaya Kertalangu – Denpasar.

Evaluasi terhadap pengembangan destinasi juga dilakukan oleh Sarah

Choirinnisa (2010). Dalam penelitiannya, Sarah Choirinnisa, menerapkan evaluasi

ex-ante (pre-programme) terhadap aspek fisik dan kelembagaan program

pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi. Evaluasi tersebut dilakukan

sebelum implementasi sebuah program.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi pendahuluan terhadap

aspek fisik dan kelembagaan program pengembangan destinasi Percandian Muaro

Jambi. Ada dua kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan program

pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi yaitu pertama, kualitas

Percandian Muaro Jambi sebagai destinasi wisata dan kedua, aspek kelembagaan

dari organisasi-organisasi yang menangani program pengembangan destinasi

Percandian Muaro Jambi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

metode penelitian dengan pendekatan kuantitatif untuk memberikan deskripsi dan

analisis terhadap kelayakan aspek fisik dan kelembagaan Program Pengembangan

Destinasi Pariwisata dengan menggunakan evaluasi pendahuluan. Data yang

terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis successive

approximation yang membandingkan antara data temuan dan teori untuk

menjelaskan kesenjangan yang terjadi pada suatu realitas sosial.

Penelitian yang dilakukan Choirinnisa (2010), menunjukkan bahwa

pengembangan percandian Muaro Jambi perlu disertai dengan peningkatan

kualitas amenitas dan kemudahan akses karena keduanya masih dianggap menjadi

Page 5: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

17

masalah bagi wisatawan yang ingin mengunjungi Percandian Muaro Jambi.

Secara kelembagaan, kecakapan organisasi-organisasi yang mengelola program

pengembangan destinasi Percandian Muaro Jambi sudah cukup layak, namun

terdapat permasalahan dari sisi kuantitas dan kualitas SDM dan belum

berkembangnya usaha penunjang pariwisata berskala kecil, menengah dan besar.

Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Choirinnisa (2010)

adalah melakukan evaluasi terhadap program pengembangan suatu destinasi.

Perbedaannya terletak pada fokus penelitian dan teknik analisis datanya.

Penelitian Choirinnisa lebih fokus pada aspek fisik dan kelembagaannya sebelum

program dilaksanakan yang dianalisis dengan teknik successive approximation

dan penelitian ini lebih fokus pada aspek pelaksanaan programnya yang dianalisis

dengan teknik deskriptif kualitatif dengan konversi data melalui skala guttman.

Gautama (2011), juga melakukan evaluasi perkembangan destinasi.

evaluasi dilakukan terhadap perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Hasil

evaluasi menunjukkan bahwa terjadi perubahan motivasi wisatawan untuk

melakukan kegiatan wisata bahari, terjadi pencemaran lingkungan, serta

terjadinya permasalahan sosial. Evaluasi dilakukan dengan cara meneliti faktor-

faktor yang menarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari di Pantai

Sanur, meneliti karakteristik Pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata

bahari dan menganalisis langkah-langkah yang dilakukan untuk menciptakan

wisata bahari berkelanjutan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan analisis

deskriptif kualitatif dengan peneliti sebagai alat penelitiannya. Artinya peneliti

Page 6: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

18

adalah instrumen kunci dalam pengumpulan data yang dilakukan dengan metode

observasi, menyebarkan lembar pertanyaan terstruktur serta wawancara mendalam

(in-depth interview).

2.2 Konsep

Ada tiga konsep yang akan dijelaskan pada subbab ini yaitu evaluasi, Desa

Budaya Kertalangu dan daya tarik wisata alternatif. Uraian dari masing-masing

konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Evaluasi

Evaluasi terkadang sering diartikan secara sempit dan bahkan tidak tepat.

Masih banyak yang memandang evaluasi itu hanya didasarkan pada kegiatan-

kegiatan atau program yang dianggap menonjol. Salah satu kesalahan yang

terjadi, misalnya evaluasi hanya dipandang sebagai sekedar penilaian semata.

Untuk itu, perlu dilakukan pemahaman mengenai apa itu evaluasi. Berikut ini

diberikan definisi evaluasi untuk dapat dijadikan acuan atau perbandingan.

Evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi mengenai suatu objek,

menilai suatu objek, dan membandingkannya dengan kriteria, standar dan

indikator (Lamsuri dkk, 2011). Untuk lebih jelasnya, konsep evaluasi menurut

Lamsuri dapat dilihat pada Gambar 2.1

Page 7: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

19

Dibandingkan dengan

Gambar 2.1 Konsep Riset Evaluasi

(Sumber: Diadaptasi dari Wirawan dalam Lamsuri dkk, 2011)

Arifin (2012), menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses yang

sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada

sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu untuk membuat suatu

keputusan. Stufflebeam, 1971 (dalam Mardikanto dan Soebiato, 2013)

mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui seberapa jauh

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai atau menyimpang dari pedoman

yang telah ditetapkan, atau untuk mengetahui tingkat kesenjangan antara keadaan

yang telah dicapai dengan keadaan yang dikehendaki atau seharusnya dapat

dicapai.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006

tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana

Pembangunan, evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi

masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan

standar. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti

apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan

Objek riset evaluasi:

Kebijakan Program Proyek Kinerja SDM Sistem Organisasi Manajemen Lain-lain

Kriteria: Manfaat Efektifitas Efisiensi Kesesuaian Dll

Standar Kualitas Kuantitas

Indikator Dampak Hasil, dll

Hasil Riset Evaluasi: Informasi tentang objek riset evaluasi dalam kaitannya dengan kriteria, standar dan indikatornya

Daya Guna Riset Evaluasi: Pengambilan keputusan mengenai objek riset evaluasi

Page 8: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

20

rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan

rencana pembangunan di masa yang akan datang.

Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai

tahapan yang berbeda yaitu Evaluasi pada tahap perencanaan (ex-ante), Evaluasi

pada tahap pelaksanaan (on-going) dan evaluasi pada tahan pasca-pelaksanaan

(ex-post). Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante), yaitu evaluasi dilakukan

sebelum ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk memilih dan

menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara

mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.

Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going), yaitu evaluasi dilakukan

pada saat pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan

pelaksanaan rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) yaitu evaluasi

yang dilaksanakan setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk

melihat apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi

masalah pembangunan yang ingin dipecahkan.

Ada beberapa hal yang merupakan pokok-pokok pengertian evaluasi di

antaranya mencakup: pertama, evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk

mengamati dan menganalisis suatu keadaan, peristiwa, gejala alam, atau sesuatu

objek; kedua, membandingkan segala sesuatu yang diamati dengan pengalaman

atau pengetahuan yang telah diketahui dan atau miliki; dan ketiga, melakukan

penilaian atas segala sesuatu yang diamati, berdasarkan hasil perbandingan atau

pengukuran yang dilakukan.

Page 9: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

21

Dari pengertian-pengertian tentang evaluasi yang telah dikemukakan,

dalam penelitian ini, evaluasi yang dimaksud yaitu sebuah proses atau kegiatan

yang dilakukan untuk mengamati dan menganalisis suatu keadaan untuk diketahui

sejauhmana pelaksanaan kegiatan tersebut berjalan, kendala-kendala yang

dihadapi serta dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan

tersebut.

2.2.2 Desa Budaya Kertalangu

Pengertian desa dalam “Desa Budaya Kertalangu”, tidak selalu terikat

sebagai wilayah administrasi pemerintahan ataupun yang ketat dengan batasan

wilayah-wilayah tertentu, melainkan cakupannya lebih luwes, bisa lebih sempit

dari pengertian desa secara administratif (mungkin hanya satu dusun atau

sejumlah dusun). Jika melihat pengertian desa menurut Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa, pada Pasal 1 disebutkan bahwa Desa adalah “kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.” Hal yang sama juga disampaikan oleh Widjaja (2003), yang

menyatakan bahwa desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa.

Pengertian desa dalam penelitian ini tidak dapat diartikan secara terpisah.

Desa memiliki pengertian yang berbeda dengan pengertian “desa” dalam desa

budaya. Desa budaya dalam penelitian ini merupakan sebuah wilayah yang berada

Page 10: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

22

dalam satu dusun di sebuah desa, dimana di dalamnya terdapat sekelompok

manusia yang melakukan aktivitas budaya. Desa budaya yaitu wahana

sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan

sistem kepercayaan (religi), sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem

teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem lingkungan, tata ruang,

dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensinya dan

mengkonversinya dengan seksama atas kekayaan budaya yang dimilikinya,

terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata

ruang dan arsitektural.1 Desa budaya juga dapat diartikan sebagai desa khas yang

ditata untuk kepentingan melestarikan budaya dalam bentuk adat atau rumah

adat.2

Berdasarkan pemahaman tersebut, Desa Budaya Kertalangu merupakan

sebuah wilayah yang berada dalam satu dusun di Desa Kesiman Kertalangu, yang

di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang melakukan aktivitas budaya.

Dalam penelitian ini, pengembangan Desa Kertalangu sebagai desa budaya sesuai

dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2008 tentang Penetapan

Desa Kesiman Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur Sebagai Desa Budaya,

terdiri dari penyiapan sarana jalan setapak sebagai jogging track, program

pertanian sebagai atraksi wisata, penyediaan tempat wisata budaya dari pentas

seni tradisional, sentra industri kerajinan rakyat, sarana kolam pancing dan

1 http://www.jogjabudaya.com yang diakses pada tanggal 12 Januari 2015. 2 http://kemahasiswaan.itb.ac.id/web/wp-content/uploads/2011/06/Sosial-Budaya-Masyarakat-

Jawa-kknitb-.pdf yang diakses pada tanggal 11 Januari 2015.

Page 11: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

23

pembibitan ikan (Mina Padi), program wisaata kuliner dan masakan desa, dan

fasilitas lain sebagai pendukung Desa Budaya.

2.2.3 Daya Tarik Wisata Alternatif

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada

Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Daya Tarik Wisata (DTW) adalah “segala

sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa

keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi

sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.”

Daya tarik merupakan fokus utama dari industri pariwisata (Ismayanti,

2010). Daya tarik wisata harus dikelola sedemikian rupa agar keberlangsungan

dan kesinambungannya terjamin. Daya tarik wisata dapat dikelompokkan ke

dalam dua bagian yaitu: pertama, daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna; dan kedua, daya tarik

wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, seni

budaya dan tempat hiburan.

Hal senada juga disampaikan oleh Sunaryo (2013), dimana daya tarik

wisata dibagi menjadi tiga jenis yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata

budaya dan daya tarik wisata minat khusus. Daya tarik wisata alam adalah

sumber daya alam yang berpotensi serta memiliki daya tarik bagi pengunjung

baik dalam keadaan alami maupun setelah ada usaha budi daya. Pada umumnya

daya tarik ini lebih banyak berbasis pada keindahan dan keunikan yang tersedia

di alam. Potensi daya tarik wisata alam dapat dibagi menjadi empat kawasan

Page 12: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

24

yaitu flora dan fauna, keunikan dan kekhasan ekosistem, gejala alam dan

budidaya sumber daya alam.

Daya tarik wisata budaya adalah daya tarik wisata yang berbasis pada hasil

karya dan hasil cipta manusia seperti museum, peninggalan sejarah, upacara adat,

seni pertunjukan dan kerajinan. Daya tarik wisata khusus adalah daya tarik wisata

yang dikembangkan dengan lebih banyak berbasis pada akativitas pemenuhan

keinginan wisatawan secara spesifik. Wisata ini lebih diutamakan pada

wisatawan yang mempunyai minat atau motivasi khusus seperti berburu, mendaki

gunung, arung jeram, agrowisata, pengamatan satwa tertentu dan aktivitas-

aktivitas wisata minat khusus lainnya yang biasanya terkait dengan hobi atau

kegemaran wisatawan.

Daya tarik wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran

wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Oleh karena itu daya tarik wisata harus

dirancang dan dibangun/dikelola secara profesional sehingga dapat menarik

wisatawan untuk datang. Wisatawan hanya akan tertarik pada suatu

daerah/kawasan jika terdapat keunikan atau kekhasan yang tidak dimiliki oleh

daerah lain.

Suwantoro (2004), menyatakan bahwa daya tarik suatu objek wisata

didasarkan atas beberapa hal di antaranya adanya sumber daya yang dapat

menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih, adanya aksesibilitas yang

tinggi untuk dapat mengunjunginya, adanya ciri khusus atau spesifikasi yang

bersifat langka, adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para

Page 13: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

25

wisatawan yang hadir serta objek wisata yang mempunyai daya tarik yang tinggi

baik alam maupun budaya.

Daya tarik wisata merupakan salah satu unsur yang berpengaruh dalam

pengembangan destinasi pariwisata. Jackson (dalam Pitana dan Gayatri, 2005),

menyatakan perkembangan suatu daerah menjadi destinasi wisata dipengaruhi

oleh beberapa hal penting, di antaranya: Attractive to client (menarik untuk

klien), Facilities and attractions (fasilitas dan atraksi), Geographic location

(lokasi geografis), Transport link (jalur transportasi), Political stability (stabilitas

politik), Healthy environment (lingkungan yang sehat), No government restriction

(tidak ada larangan/batasan pemerintah).

Dari ketujuh unsur tersebut, atraksi atau daya tarik merupakan faktor yang

utama yang didukung oleh faktor-faktor lain. Atraksi dalam hal ini daya tarik

merupakan komponen yang sangat vital. Seperti yang diungkapkan oleh Gunn

(dalam Pitana dan Gayatri, 2005:102);

the attractions represent the most important reasons for travel to destinations

Atraksi atau daya tarik memegang peranan yang sangat penting, oleh

karena itu suatu tempat wisata (destinasi) harus memiliki keunikan yang bisa

menarik wisatawan. Fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga harus dipenuhi

sehingga wisatawan menjadi betah dan rela menghabiskan waktu di tempat

tersebut.

Page 14: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

26

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang

dianggap relevan dan mampu memecahkan permasalahan sebagaimana

dirumuskan pada Bab I yaitu Teori Evaluasi, Teori Pembangunan Pariwisata

Berkelanjutan dan Teori Pengembangan Wilayah Pariwisata.

2.3.1 Teori Evaluasi

Evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari sistem manajemen.

Dengan adanya evaluasi, maka akan diketahui bagaimana kondisi suatu objek

yang dievaluasi baik dari program, pelaksanaan maupun hasilnya. Kegiatan

evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan

perencanaan program. Tujuan evaluasi harus selaras dengan tujuan yang ingin

dicapai yang telah dinyatakan dalam perencanaan programnya. Seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya, tujuan evaluasi adalah untuk melihat seberapa jauh

tujuan porgram yang telah dapat dicapai, dan seberapa jauh telah terjadi

penyimpangan dalam pelaksanaan program dibanding dengan perencanaannya.

Untuk memberikan gambaran terhadap evaluasi suatu kegiatan, dapat

dilakukan dengan menerapkan beberapa model evaluasi. Tayibnapis, 2008 (dalam

Mardikanto dan Soebiato, 2013), mengemukakan bahwa model evaluasi ada

beberapa macam di antaranya model evaluasi CIPP (context, input, process,

product), evaluasi model UCLA, model Brinkerhoff, model stake atau model

countenance.

Model CIPP membagi evaluasi menjadi empat macam yaitu context

evaluation to server planning decision, input evaluation structuring decision,

Page 15: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

27

process evaluation to serve implementing decision, dan product evaluation to

serve recycling decision. Evaluasi model UCLA, diperkenalkan oleh Alkin yang

membagi evaluasi menjadi lima macam yaitu System Assessment, Programme

Planning, Programme Implementation, Programme Improvement, dan

Programme Certification.

Model Brinkerhoff, diperkenalkan oleh Brinkerhoff dimana

mengemukakan tiga golongan evaluasi yaitu fixed and emergent evaluation,

formative vs sumative evaluation, dan esperimental dan Quasi experimental

design vs natural/unobstrusive inquiry. Model Stake atau model Contenance, yang

menekankan dua dasar evaluasi yaitu desciption dan judgement serta adanya tiga

tahap program yaitu antecedents (context), transaction (process) dan outcomes

(output).

Dalam penelitian ini, model evaluasi yang digunakan yaitu model evaluasi

CIPP. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam. Model ini

banyak digunakan oleh para evaluator karena model evaluasi ini lebih

komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Dalam

perkembangannya, model evaluasi ini telah disempurnakan dan digunakan oleh

berbagai disiplin ilmu. Stufflebeam (dalam Zhang, dkk, 2011:61) menyebutkan

bahwa:

CIPP evaluation models is a comprehensive framework for conducting formative and summative evaluations of projects, personnel, products, organizations, and evaluation systems

Model evaluasi CIPP merupakan kerangka kompreherensif untuk

melakukan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap proyek, personil,

Page 16: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

28

produk, organisasi maupun evaluasi sistem. Taylor (dalam Mardikanto, 2013)

menyebutkan bahwa evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan terhadap

program atau kegiatan yang telah dirumuskan, sebelum program atau kegiatan itu

sendiri dilaksanakan. Evaluasi sumatif merupakan kegiatan evaluasi yang

dilakukan setelah program selesai dilaksanakan.

CIPP merupakan singkatan dari context, input, process dan product.

Keempat model evaluasi tersebut merupakan satu rangkaian yang utuh tetapi

dalam pelaksanaannya seorang evaluator tidak harus menggunakan

keseluruhannya. Hal yang menjadi unik dari model tersebut adalah pada setiap

tahap evaluasi terdapat perangkat pengambilan keputusan dan operasi sebuah

program.

Wirawan (2012), menguraikan keempat aspek model CIPP sebagai

berikut :

1) Evaluasi konteks

Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu. Dengan kata

lain evaluasi konteks (context evaluation) memberikan informasi bagi

pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan

dilaksanakan.

2) Evaluasi masukan

Merupakan evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi bagaimana

menggunakan sumber daya yang tersedia, sarana dan fasilitas yang dimiliki

serta alternatif-alternatif strategi yang harus dipertimbangkan untuk mencapai

suatu program.

Page 17: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

29

3) Evaluasi proses

Evaluasi ini digunakan untuk melihat apakah pelaksanaan program sudah

sesuai dengan strategi yang telah dilaksanakan

4) Evaluasi produk

Evaluasi ini merupakan evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian tujuan.

Tahap evaluasi ini bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan

menilai pencapaian program.

Dalam penelitian ini, teori evaluasi model CIPP digunakan untuk

memberikan gambaran tentang pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya

Kertalangu. Pelaksanaan tersebut sudah sejalan atau menyimpang dari program

yang telah ditetapkan dan program-program yang telah ditetapkan sudah

terealisasi atau belum, dapat diketahui dengan analisis melalui teori ini.

2.3.2 Teori Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Pariwisata berkelanjutan adalah sebuah proses dan sistem pembangunan

pariwisata yang dapat menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya

alam, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi hingga generasi yang akan datang.

Pada prinsipnya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang aktivitasnya

tetap memperhatikan keseimbangan alam, lingkungan, budaya dan ekonomi agar

pariwisata tersebut terus berlanjut. Dengan kata lain, pengelolaannya harus

memberikan keuntungan secara ekonomi bagi seluruh pihak terkait baik itu

pemerintah, sektor swasta, serta masyarakat setempat.

Page 18: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

30

Pariwisata berkelanjutan merupakan terjemahan lebih lanjut dari

pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, menurut The World

Commissions for Environmental and Development (WCED) didefinisikan sebagai:

meeting the needs of the present, without compromising the ability of future generations to meet their own needs Pembangunan berkelanjutan menurut pemahaman WCED merupakan

pembangunan yang dapat “menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang

tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi

kebutuhan mereka sendiri” (Arida, 2009).

Ada beberapa kriteria atau syarat yang harus dipenuhi agar kegiatan wisata

dianggap berkelanjutan (Sunaryo, 2013) yaitu pertama, mampu berlanjut secara

lingkungan yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi

ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus

diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif

kegiatan wisata (environmentally sustainable).

Kedua, secara sosial dan kultural dapat diterima yaitu mengacu kepada

kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap aktivitas pariwisata tanpa

menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan

budaya wisatawan yang cukup berbeda (socially and culturally acceptable).

Ketiga, secara ekonomis menguntungkan dan layak, artinya keuntungan yang

diperoleh dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

(economically viable). Keempat, memanfaatkan teknologi yang layak/pantas

untuk diterapkan di wilayah lingkungan tersebut (technologically appropriate).

Page 19: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

31

Secara ringkas, pemahaman mengenai kegiatan pariwisata berkelanjutan

dapat digambarkan ke dalam model ilustrasi sebagai berikut:

SUSTAINABLE

DEVELOPMENT

Gambar 2.2 Model ilustrasi parameter sustainable development

(Sumber: Sunaryo, 2013:45)

Dari ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata

berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya

alam, sosial dan budaya dengan menggunakan teknologi yang pantas

dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada generasi ini agar dapat

dinikmati untuk generasi yang akan datang.

Seperti yang disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan,

Pembangunan pariwisata berkelanjutan, adalah pembangunan yang dapat

didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika

dan sosial terhadap masyarakat (Sunaryo, 2013). Pembangunan berkelanjutan

Economically viable

Technologically appropriate

Environmentally sustainable

Socially & culturally acceptable

Page 20: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

32

adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup

dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan dan

pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.

Dalam penelitian ini, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan

digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi, sosial budaya dan lingkungan

sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu.

Konsep yang dikembangkan Desa Budaya Kertalangu merupakan konsep

ekowisata yang merupakan bentuk pariwisata alternatif yang menerapkan prinsip-

prinsip pariwisata berkelanjutan.

2.3.3 Teori Pengembangan Destinasi Pariwisata

Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk

mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisaata

mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara

langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata.

Dalam pengembangan suatu daerah untuk menjadi suatu daerah tujuan

wisata, agar menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan potensial, maka harus

memiliki tiga syarat (Mariotti, 1985 dan Yoeti, 1987 dalam Sunaryo, 2013), yaitu:

pertama, daerah tersebut harus mempunyai apa yang disebut dengan “Something

to see”. Maksudnya, destinasi tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang

bisa dilihat oleh wisatawan, di samping itu juga harus mempunyai atraksi wisata

yang dapat dijadikan sebagai “entertainments” bila orang datang untuk

mengunjunginya.

Page 21: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

33

Kedua, daerah tersebut juga harus mempunyai “something to do”. Artinya,

harus disediakan juga beberapa fasilitas rekreasi atau amusements dan tempat atau

wahana yang bisa digunakan oleh wisatawan untuk beraktivitas seperti olahraga,

kesenian maupun kegiatan yang lain yang dapat membuat wisatawan menjadi

betah tinggal lebih lama. Ketiga, daerah tersebut juga harus mempunyai

“something to buy”. Di tempat tersebut harus tersedia barang-barang cinderamata

(souvenir) seperti halnya kerajinan rakyat setempat yang bisa dibeli wisatawan

sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal wisatawan.

Menurut Rev Ron O’Grady (dalam Suwantoro, 2004), pengembangan

pariwisata harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu :

1) Decision making about the form of tourism in any place must be made in consultation with the local people and be acceptable to them.

2) A reasonable share of the profits derived from tourism must return to the people.

3) Tourism must be based on sound enviromental and ecological principles, be sensitive to local cultural and religious traditions and should not place any members of the host community in a position of inferiority

4) The number of tourism visiting any area should not be such that they overshelm the local population and deny the posibility of genuine human encounter.

Menurut Rev Ron O’Grady, keberhasilan pengembangan destinasi

didasarkan pada beberapa aspek yaitu pengembangan suatu destinasi harus dapat

diterima oleh masyarakat lokal dan bahkan keterlibatannya sangat diharapkan.

Keterlibatan dimaksud lebih pada pemanfaatan tenaga lokal dalam setiap kegiatan

sehingga masyarakat lokal merasakan dampak ekonomi dari pengembangan

destinasi tersebut. Selain itu, pengembangan tersebut harus memperhatikan aspek-

aspek lingkungan yang ada. Jangan sampai pengembangan destinasi malah

Page 22: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

34

memberikan efek negatif terhadap lingkungan alam yang ada termasuk

lingkungan sosial masyarakat sekitar.

Kondisi ini tentu dapat dijadikan indikator akan keberhasilan

pengembangan suatu destinasi. Sebagaimana disampaikan oleh Suwantoro (2004),

bahwa pengembangan destinasi dapat dikatakan berhasil jika memenuhi beberapa

kriteria kelayakan, yaitu kelayakan finansial, kelayakan sosial ekonomi regional,

layak teknis, dan layak lingkungan.

Kelayakan finansial berarti kelayakan ini menyangkut perhitungan secara

komersial dari pembangunan objek wisata tersebut. Perkiraan untung rugi sudah

harus diperkirakan dari awal dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk

mengembalikan modal yang telah digunakan. Untuk Kelayakan sosial ekonomi

regional dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengembangan destinasi ini

mampu memberikan dampak sosial ekonomi secara regional. Artinya dapat

menciptakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan devisa, dapat

meningkatkan penerimaan sektor yang lain seperti pajak, perindustrian dan

perdagangan, pertanian dan lain-lainnya. Dalam hal ini, tidak hanya semata-mata

komersial tetapi juga memperhatikan dampak secara lebih luas.

Layak teknis artinya pengembangan destinasi ini harus dapat

dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada.

Begitu halnya dengan layak lingkungan, artinya analisis mengenai dampak

lingkungan dapat digunakan sebagai acuan kegiatan pengembangan suatu

destinasi.

Page 23: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

35

Pengembangan destinasi yang menyebabkan rusaknya lingkungan harus

dihentikan pembangunannya. Pengembangan destinasi bukanlah merusak

lingkungan namun sekedar memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikan

manusia dan meningkatkan kualitas hidup manusia sehingga menjadi

keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan antara manusia dengan

manusia, manusia dengan lingkungan alam dan manusia dengan Tuhannya.

Teori ini digunakan untuk menganalisis layak atau tidaknya

pengembangan Desa Budaya Kertalangu disebut sebagai daya tarik wisata. Hal ini

mengacu pada penetapan Desa Kertalangu sebagai salah satu desa wisata di Kota

Denpasar.

2.4 Model Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

diperlukan sebuah model penelitian atau kerangka konsep berpikir. Penelitian ini

diawali dengan pemahaman bahwa pariwisata di Bali merupakan salah satu sektor

unggulan selain sektor pertanian dan sektor industri kecil dan menengah.

Pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berbasis budaya. Namun,

pengembangan pariwisata di Bali pada umumnya cenderung dilakukan semata-

mata untuk kepentingan ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan dan

kepentingan masyarakat lokal.

Untuk merespon kondisi tersebut, setiap daerah berupaya untuk

mengembangkan pariwisata alternatif. Berbagai wisata alternatif muncul untuk

menjamin keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Salah satunya yaitu upaya yang

dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dengan berdirinya Desa Budaya

Page 24: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

36

Kertalangu. Desa budaya ini muncul sebagai daya tarik wisata baru dan

diharapkan mampu menjadi daya tarik wisata unggulan.

Pada kenyataannya, dalam perkembangannya kondisi fisik dan lingkungan

desa budaya ini dapat dikatakan kurang terawat dan belum mampu berkembang

dengan optimal. Terdapat fasilitas-fasilitas yang terbengkalai dan tidak

termanfaatkan kembali, bahkan ada program-program yang belum terlaksana

sebagaimana konsep awal pendirian desa budaya ini. Padahal pada tahun 2011,

Desa Budaya Kertalangu mampu memperoleh penghargaan Cipta Award dimana

penghargaan ini diberikan kepada daya tarik wisata yang dianggap memiliki

kepedulian terhadap lingkungan. Untuk itulah perlu dilakukan evaluasi.

Berdasarkan kondisi tersebut, terdapat tiga permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini yaitu pertama, bagaimanakah pelaksanaan program

pengembangan Desa Budaya Kertalangu yang dilihat dari aspek konteks, input,

proses dan produk?; kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik

wisata alternatif; dan ketiga, bagaimanakah dampak-dampak yang ditimbulkan

sebagai akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu

sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar?.

Untuk membahas permasalahan tersebut, maka digunakanlah konsep untuk

memberikan batasan terhadap penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu konsep evaluasi, Desa Budaya Kertalangu dan daya tarik

wisata alternatif. Teori yang digunakan untuk menjawab dan menganalisis

permasalahan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang dianggap relevan di

Page 25: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

37

antaranya teori evaluasi, teori pembangunan pariwisata berkelanjutan dan teori

pengembangan destinasi pariwisata.

Mengacu pada teori tersebut, maka diharapkan pelaksanaan program

pengembangan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di

Kota Denpasar yang dianalisis dengan model CIPP dapat dievaluasi dengan jelas.

Selain itu, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program

pengembangan Desa Budaya Kertalangu maupun dampak-dampak yang

ditimbulkan akibat pelaksanaan program pengembangan Desa Budaya Kertalangu

sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar dapat dianalisis dengan baik.

Dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pengembangan desa

budaya ini, maka akan didapatkan suatu rekomendasi yang nantinya dapat

dimanfaatkan untuk mewujudkan Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik

wisata alternatif di Kota Denpasar.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat digambarkan kerangka konsep

atau model penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan program pengembangan

Desa Budaya Kertalangu sebagai daya tarik wisata alternatif di Kota Denpasar,

seperti yang nampak pada Gambar 2.3.

Page 26: DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka II.pdf · terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan dan tata ruang dan arsitektural. 1 Desa budaya juga dapat

38

Gambar 2.3 Model Penelitian

Desa Budaya Kertalangu (DBK)

Evaluasi Pelaksanaan Program DBK

Kendala-kendala dalam pelaksanaan program

pengembangan

Pelaksanaan program pengembangan

Dampak pelaksanaan program pengembangan

Teori - Teori Evaluasi - Teori Pembangunan

Pariwisata Berkelanjutan - Teori Pengembangan

Destinasi Pariwisata

Hasil Penelitian

Rekomendasi

Konsep - Evaluasi - Desa Budaya

Kertalangu - Daya Tarik Wisata

Alternatif

Pariwisata Alternatif