31
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK AMPLANG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) YANG DIBUAT DENGAN VARIASI JENIS DAN JUMLAH PATI PROPOSAL PENELITIAN Oleh Dandy Pradita Dwi Rumana NIM 111710101076

Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dandy pradita

Citation preview

Page 1: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK AMPLANG IKAN LELE DUMBO

(Clarias gariepinus) YANG DIBUAT DENGAN VARIASI JENIS DAN

JUMLAH PATI

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh

Dandy Pradita Dwi Rumana

NIM 111710101076

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

Page 2: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengkomsumsi ikan sangat baik untuk kesehatan.Para ahli menyarankan

untuk lebih banyak mengkonsumsi ikan dibandingkan daging merah. Ikan sudah

tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia, karena Indonesia kaya akan potensi ikan

baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya, sayangnya kesadaran

mengkomsumsi ikan pada masyarakat masih rendah. Tingkat konsumsi ikan rata-

rata perkapita di Indonesia beberapa tahun lalu hanya 23

kg/orang/tahun.Sedangkan di Jepang mencapai 110 kg/orang/tahun.Padahal ikan

merupakan sumber protein tinggi, bahkan untuk jenis tertentu kandungan

proteinnya lebih tinggi dari daging (Atkins, 2007).

Salah satu ikan yang potensial dan mudah untuk dibudidayakan adalah

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus.) yang memiliki kandungan protein tinggi

juga rendah akan lemak sehingga dan kolesterol. Ikan lele dumbo sebagai salah

satu bahan pangan alternatif sumber protein, selain itu lele merupakan bahan

pangan yang mudah didapat dan murah, kaya zat gizi dan sangat baik bagi jantung

karena rendah lemak (Astawan,2009)

Untuk memanfaatkan kandungan gizi ikan lele yang pada umumnya hanya

dijual dalam keadaan segar maka perlu dilakukan diversifikasi daging ikan lele

dan selera masyarakat yang terus bertambah maka telah merangsang pertumbuhan

industri olahan lele menjadi banyak produk misal amplang berprotein tinggi.

Amplang adalah produk semacam kerupuk ikan yang ada pada umumnya

namun yang menjadikan berbeda hanyalah namanya saja karena didaerah

Kalimantan kerupuk ikan disebut juga dengan nama amplang. Kerupuk sangat

beraneka ragam dalam bentuk ukuran, bau, warna, rasa, kerenyahan, ketebalan,

nilai gizi, dan harganya. Perbedaan ini disebabkan karena pengaruh daerah

penghasil kerupuk, bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan serta alat dan

cara pengolahannya. (Wahyudi dan Astawan,1988)

Pada pembuatan kerupuk dengan tambahan sumber protein hewani (ikan)

hanya menggunakan campuran air dan pati saja serta tambahan sedikit bumbu-

Page 3: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

bumbu (garam, gula, penyedap rasa) dengan demikian pengadukannya mudah.

Bahan berprotein tersebut sudah dapat berfungsi sebagai perekat, sehingga adonan

campuran pati dan ikan dapat dibentuk atau dicetak (Haryadi,1996). Berdasarkan

hal tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan ikan lele dumbo sebagai

substitusi dari ikan tengiri yang memiliki selisih sedikit kandungan gizi dengan

ikan tengiri.

Peran pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi berfungsi untuk

menentukan daya kembang dari kerupuk. Semakin tinggi kadar amilopektin dalam

bahan yang digunakan untuk pembuatan kerupuk maka daya kembang krupuk

yang dihasilkan akan semakin besar.

1.2 Permasalahan

Pembuatan amplang diperlukan tambahan pati dengan jumlah dan jenis

tertentu yang nantinya bisa mempengaruhi sifat amplang yang diteliti. Namun

hingga kini belum diketahui pengaruhnya terhadap sifat-sifat amplang, serta jenis

dan jumlah pati yang tepat belum diketahui sehingga perlu diteliti.

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengaruh jenis pati terhadap sifat amplang

2. Mengetahui pengaruh jumlah pati terhadap sifat

3. Memperoleh jenis dan jumlah pati yang tepat sehingga diperoleh

amplang dengan sifat yang baik dan disukai

1.4 Manfaat

1. Meningkatkan nilai ekonomi hasil olahan ikan lele

2. Menambah penganekaragaman olahan ikan lele

3. Memberikan informasi tentang manfaat ikan lele kepada masyarakat

tentang pembuatan amplang ikan lele

Page 4: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele Dumbo

Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias

gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali

masuk Indonesia pada tahun 1985. Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah

dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar

mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi (SNI Ikan Lele

Dumbo : 01-6484.1-2000).

Protein yang terdapat dalam ikan merupakan protein yang amat penting

dan istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein

konsumsi tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam pola makan. Ikan lele

selain mengandung gizi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Gizi pada Ikan Lele

Zat Gizi Jumlah (%)

Protein 17.7

Lemak 4.8

Mineral 1.2

Karbohidrat 0.3

Air 76

Sumber : Vaas 1985 dalam Astawan (2008)

Selain itu jika dibandingkan dengan bahan pangan dari daging merah (red

meat) seperti daging sapi dan ayam, kandungan gizi dalam ikan lele lebih sehat

karena selain berprotein tinggi juga rendah akan lemak dan kolesterol.Sebagai

contoh dalam 100 gram ikan lele mempunyai kandungan protein 20% sedangkan

kandungan lemaknya hanya 2 gram, jauh lebih rendah dibandingkan daging sapi

sebesar 14 gram apalagi daging ayam 25 gram. (Warta Pasar Ikan,2009)

Page 5: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

Perkembangan komoditas ikan air tawar di Indonesia tiap tahunnya

mengalami peningkatan. Menurut hasil survei Kementrian Kelautan dan

Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013), hasil budidaya ikan

menunjukkan rata-rata selama 2010-2014 sebesar 35.05

Tabel 4. Perkembangan Komoditas Ikan Lele

Tahun Jumlah

2010 270,600

2011 366,000

2012 495,000

2013 670,000

2014 900,000

Rata-rata 35.05

Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya,2013

2.2 Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Sifat

pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai

molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yaang dapat dipisahkan dengan air panas,

fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin (Hee-

Joung An, 2005). Tapioka berasal dari umbi ubi kayu (Manihot esculanta) yang

diambil patinya melalui proses penggilingan umbi ubi kayu, dekantasi, pemisahan

ampas dengan konsentrat, pengendapan dan pengeringan (Dziedzic dan Kearsley,

1995).Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil

yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik

setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi.

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa,

amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak Umumnya pati

mengandung 15–30% amilosa, 70–85% amilopektin dan 5–10% material antara.

Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat

Page 6: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

botani sumber pati tersebut (Greenwood dkk., 1979). Komposisi pati ubi kayu

sebagaimana tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Pati Ubi kayu

Komposisi Jumlah (%)

Pati 73,3-84,9

Lemak 0,08-1,54

Protein 0,03-0,60

Kadar Abu 0,02-0,33

Sumber : (Rickard dkk,1992)

2.3 Amilosa dan Amilopektin

Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-(1,4) dari unit

glukosa dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk

rantai lurus yang umumnya dikatakan sebagai linier dari pati (Hee-Joung An,

2005). Karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan

membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak

melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk

warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-Joung

An, 2005). Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang linear

seperti terlihat pada Gambar 2

Gambar 2. Struktur Amilosa

Sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-

(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya. Setiap

cabang terdiri atas 25 - 30 unit D-glukosa . Selain perbedaan struktur, panjang

Page 7: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

rantai polimer, dan jenis ikatannya, amilosa dan amilopektin mempunyai

perbedaan dalam hal penerimaan terhadap iodin. Amilosa akan membentuk

kompleks berwarna biru sedangkan amilopektin membentuk kompleks berwarna

ungu-coklat bila ditambah dengan iodine (Hee-Joung An, 2005).

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai

lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai

amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat pada

Gambar 2.. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari seluruh

lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya

amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa untuk setiap

rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai bervariasi

tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung

sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin glukosa

(Koswara, 2006).

Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya

proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang

kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah.

Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan

produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee-

Joung An, 2005 dalam Pudjihastuti, 2010).

.

Gambar 3. Struktur Amilopektin

Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin ini tersusun dalam

suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,

Page 8: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

ada yang merupakan cincin lapisan amorf dan cincin yang merupakan lapisan

semikristal (Hustiany, 2006). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya

dalam granula pati letaknya tidak pada satu tempat, tergantung dari jenis pati.

Secara umum amilosa terletak diantara molekul-molekul amilopektin dan secara

acak berada selang-seling diantara daerah amorf dan kristal (Oates, 1997).

2.4 Amplang

Amplang adalah sejenis krupuk yang terbuat dari campuran tepung

tapioka, bumbu rempah, dan ikan pipih atau ikan tenggiri khas perairan Sungai

Mahakam atau Sungai Karang Mumus. Ikan pipih atau ikan tenggiri inilah yang

menjadikan amplang begitu gurih dan kriuk-kriuk ketika digigit. Sebenarnya,

tidak ada keharusan menggunakan kedua jenis ikan tersebut sebagai bahan

dasarnya. Ikan jenis lain pun bisa digunakan, seperti ikan haruan (ikan gabus),

tetapi rasanya akan sangat berbeda.

Pada dasarnya amplang ini sama dengan kerupuk yang didefinisikan

sebagai produk makanan kering yang terbuat dari tepung tapioca dengan atau

tanpa penambahan makanan makanan lain yang terlebih dahulu harus disiapkan

dengan cara menggoreng atau memanggang sebelum disajikan (Wahyuni dan

Astawan, 1988).

Syarat mutu krupuk ikan berdasarkan Badan Standar Nasional Indonesia

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar kualitas krupuk Ikan

Satuan Persyaratan

1 Rasa dan Aroma Khas krupuk ikan

2 Serangga dalam bentuk stadia dan

potongan-potongan serta benda-

benda asing

Tidak ternyata

3 Kapang Tidak ternyata

4 Air % Maks.11

5 Abu tanpa garam % Maks.1

6 Protein % Min.6

Page 9: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

7 Lemak % Maks. 0,5

8 Serat kasar % Maks.1

9 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan peraturan

yang ada

1 Cemaran logam (Pb, Cu, Hg) Sesuai dengan peraturan

yang ada

1 Cemaran arsen (As) Sesuai dengan peraturan

yang ada

Sumber : SNI No. 01-2713-1999

2.5 Bahan Tambahan

Pengertian bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang tidak

digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas

makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja

ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,

pengolahan penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan

(Cahyadi, 2006).

Menurut FAO di dalam Furia (1980), bahan tambahan pangan adalah

senyawa yang sengaja ditambahkan kedalam makanan dengan jumlah dan ukuran

tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau

penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa,

dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan

(ingredient) utama. Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang

tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada

proses pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang

tidak (Saparinto, 2006).

Pemakaian Bahan Tambahan Pangan di Indonesia diatur oleh Departemen

Kesehatan. Sementara, pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal

Pengawasa Obat dan Makanan (Dirjen POM).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 329/PER/XII/76, yang

dimaksud dengan Food Additive adalah bahan yang ditambahkan dan dicampur

Page 10: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk kedalamnya

adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet,

pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Winarno,1997).

Bahan tambahan yang digunakan untuk meningkatkan mutu dan cita rasa

amplang antara lain, garam , gula, telur, soda kue, penyedap rasa yang mempunyai

fungsi dan kegunaan masing-masing. Tujuan diberinya bumbu tersebut adalah

untuk memperbaiki citarasa, aroma, tekstur dari amplang. Air berfungsi sebagai

bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam bahan

pangan serta dapat melarutkan bahan seperti penambah citarasa dan bumbu-

bumbu.

Menurut Winarno (1993), telur dapat digunakan dalam pembuatan

kerupuk untuk memperbaiki daya kembang dan memperhalus struktur kerupuk

(amplang) yang dihasilkan. Selain itu juga meningkatkan nilai protein dari

amplang.

Fungsi telur dalam pembentukan kerupuk adalah untuk meningkatkan nilai

gizi, rasa serta bersifat sebagai emulsifierdan mengikat komponen-komponen

adonan. Kerupuk yang terbuat dari tepung tapioka dengan campuran kuning telur

tidak lebih dari 15 persen (persen total daritelur yang ditambahkan) telah dapat

menigkatkan rasa, kerenyahan dan pengembangan volume. Lecithineyang

terkandung dalam telur akan membantu memperlemas gluten tepung terigu.

Sehingga produk kerupuk dari bahan baku tepung terigu ini akan bersifat lebih

halus, renyah serta berwarna seragam kekuning-kuningan.

2.6 Proses Pembuatan Amplang

Tahap proses pembuatan amplang secara garis besar meliputi ; pembuatan

adonan, pencetakan, perendaman dalam minyak, penggorengan,dan penirisan.

2.6.1 Pembuatan Adonan

Pembuatan adonan dilakukan dengan cara mencampur bahan baku ikan

lele dumbo yang sudah fillet, tapioka dan bumbu-bumbu dengan formulasi yang

sudah ditentukan. Pembuatan adonan bertujuan untuk mencampurkan semua

Page 11: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk sehingga diperoleh

campuran yang homogen. Adonan yang kurang homogen menyebabkan proses

gelatinisasi tidak merata dan kerupuk yang dihasilkan nantinya kurang

mengembang jika dilakukan penggorengan (Sofiah,1988).

2.6.2 Pencetakan

Pencetakan adonan amplang dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan

ukuran yang seragam. Keseragaman ukuran penting untuk memperoleh

penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan proses

penggorengan dan menghasilkan amplang goreng dengan warna yang seragam.

2.6.3 Perendaman Dalam Minyak

Perendaman adonan yang sudah dicetak kedalam minyak adalah supaya

adonan tersebut tidak lengket pada wajan dan meminimalisir terjadinya cipratan

minyak yang keluar wajan. Selain itu untuk memudahkan pada proses selanjutnya

yaitu tahap penggorengan.

2.6.4 Penggorengan

Penggorengan bertujuan untuk menghasilkan produk goreng yang

mengembang dan renyah. Pada proses penggorengan, amplang mentah mengalami

15 pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan dapat menguap dan

menghasilkan tekanan uap untuk mengembangkan struktur elastis jaringan

kerupuk tersebut..

Menurut Ketaren (1986) Penggorengan adalah suatu proses memasak

bahan pangan dengan menggunakan minyakatau lemak. Minyak goring berfungsi

sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan

kalori dalam bahan pangan.

2.6.5 Penirisan

Tujuan dari proses penirisan ini ialah untuk menurunkan suhu kerupuk

sehingga tidak rusak teksturnya ketika dilakukan proses pengemasan. Selain itu

juga bertujuan untuk meniriskan kerupuk agar tidak basah dari minyak gor eng

Page 12: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

pada proses penggorengan. Kerupuk akan mudah mengalami ketengikan ketika

masih banyak terkandung minyak dalam kemasan. Proses penirisan ini sangatlah

penting, karena dapat mempengaruhi aroma kerupuk yang dihasilkan ketika dalam

kemasan. Kandungan lemak yang terdapat dalam minyak goreng menimbulkan

ketengikan apabila mengalami proses penaikan suhu dengan mengikutsertakan

oksigen yang dinamakan sebagai oksidasi (Widowati, 1987).

2.7 Perubahan Yang Terjadi Selama Proses Pembuatan Amplang

2.7.1 Gelatinisasi

Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula

pati tersebut tidak dapt kembali pada kondisi semula (Winarno,1947).

Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapt balik, tetapi jika

pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula pati menjadi bersifat

tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur granula.

Menurut matz (1984) suhu gelatinisasi berkisar antara 58,8ºC-70ºC.

kandungan pati amilopektinnya tinggi akan membentuk gel yang tidak kaku,

sedangkan pati yang kandungan amilopektinnya rendah akan membentuk gel yang

kaku.

Mekanisme gelatinisasi pati secara ringkas dan skematis di uraikan oleh

Harper (1981). Tahap pertama granula pati masih dalam keadaan normal belum

berinteraksi dengan apapun. Ketika granula mulai berinteraksi dengan molekul air

disertai dengan peningkatan suhu suspense terjadilah pemutusan sebagian besar

ikatan intermolecular pada kristalamilosa, akibatnya granula akan mengembang.

Tahap molekul-molekul amilosa mulai berdifusi keluar granula akibat

meningkatnya aplikasi panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula

mengembang lebih lanjut (Tahap 2). Proses gelatinisasi terus berlanjut sampai

seluruh mol amilosa berdifusi keluar. Hingga tinggal molekul amilopektin yang

berada didalam granula. Keadaan ini pun tidak bertahan lama karena dinding

granula akan segera pecah sehingga akhirnya terbentuk matriks3 dimensi yang

tersusun oleh moleku-molukel amilosa dan amilopektin (tahap 4)

Page 13: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

2.7.2 Retrogradasi

Pati yang telah mengalami gelatinisasi kemudian mendingin, dapat

mengalami suatu proses retrogradasi, yaitu terjadi pengkristalan kembali. Pada

keadaan ini amilosa membentuk struktur seperti Kristal, sedangkan amilopektin

sedikit atau sama sekali tidak mengalami retrogadasi (Priestly,1979).

Jika pasta pati yang telah dipanaskan mendingin, energy kinetik tidak lagi

cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa bersatu

kembali. Molekul-molekul amilosa tersebut kembali satu sama lain serta berikatan

pada cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demilkian

butir pati yang membengkak itu bergabung menjadi semacam jarring-jaring yang

mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami disebut

retrogradasi. (Winarno,1990)

2.7.3 Pencoklatan (Browning)

Reaksi pencoklatan adalah reaksi yang menimbulkan perubahan warna

kecoklatan pada bahan makanan. Pencoklatan mengakibatkan perubahan

kenampakan, citarasa, dan nilai gizi. Pencoklatan dapat juga merupakan hal yang

dikehendaki seperti pada kopi dan roti bakar. Pada buah-buahan dan sayuran,

pencoklatan tidak dikehendaki karena menyebabkan penampilan yang tidak baik

dan menimbulkan rasa yang tidak dikehendaki. (Apandi,1984).

Menurut Winarno (1997), proses pencoklatan atau browning dibagi

menjadi 2 jenis yaitu proses pencoklatan enzimatis dan non enzimatis. Pada

proses pembuatan amplang dengan variasi jenis pati, reaksi pencoklatan yang

terjadi adalah pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi maillard dan pada saat

proses penggorengan terjadi reaksi pencoklatan yaitu reaksi karamelisasi dan

reaksi maillard.

2.8 Hipotesa

Hipotesa yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

Page 14: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

1. Ikan tengiri yang disubstitusi dengan ikan lele dumbo akan memberikan

pengaruh terhadap sifat kimia, fisik, dan organoleptic amplang ikan lele

dumbo;

2. Variasi jenis pati berpengaruh terhadap sifat-sifat amplang lele dumbo;

3. Kombinasi antara jumlah penambahan ikan lele dumbo dengan jenis pati

yang baik, akan menghasilkan amplang yang disukai oleh konsumen.

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat Penelitian

3.1.1 Bahan Penelitian

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan lele dumbo,

tapioka, maizena. Sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain

garam,gula, penyedap rasa, soda kue, telur ayam, air, minyak goreng

3.1.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam membuat amplang ikan lele dumbo antara lain

pisau, baskom adonan, sendok, wajan, panic, kompor, cetakan. Sedangkan alat-

Page 15: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

alat yang digunakan dalam analisa meliputi penjepit, botol timbang, timbangan

atau neraca analisis, colour reader digital, pnetrometer.

3.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Hasil Pertanian Jurusan

Teknologi Hasil pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pola RAK (Rancangan Acak Kelompok)

secara factorial dengan 2 dan 3 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan.

Faktor A : Jenis pati yang digunakan

A1 : Tapioka

A2 : Maizena

Faktor B : Jumlah pati yang ditambahkan

B1 : 250 gram

B2 : 300 gram

B3 : 350 gram

Kombinasi dari masing-masing perlakuan yaitu :

A1B1 A2B1

A1B2 A2B2

A1B3 A2B3

Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan analisis sidik ragam dan

jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan menggunakan uji Anova.

3.4 Parameter Penelitian

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Sifat kimia : kadar air dengan thermogravimetri

2. Sifat fisik : tekstur dengan pnetrometer, daya kembang dengan seed

displeyement test, warna dengan colour reader CR-10, daya serap minyak,

higroskopitas.

Page 16: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

3. Sifat organoleptic : Kerenyahan dan warna dengan menggunakan uji

skoring, rasa dengan menggunakan uji kesukaan.

3.5 Prosedur Analisis

3.5.1 Kadar Air (Metode thermogravimetri)

Penentuan kadar air dilakukan dengan metode pemanasan atau thermogravimetri yaitu dengan cara menimbang botol timbang yang telah dikeringkan dan didinginkan dalam eksikator (A gram), kemudian menimbang amplang ikan lele dumbo yang sudah dihaluskan sebanyak 2 gram dan dimasukkan dalam botol timbang (B gram). Selanjutnya dilakukan pengovenan pada suhu 100-110ºC selama 24 jam, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang kembali. Perlakuan ini diulangi hingga berat konstan (C gram).

Perhitungan :

Kadar Air ¿B−CB−A

× 100 %

Diagram alir pembuatan amplang ikan lele dumbo adalah sebagai berikut :

Pembersihkan/ Fillet

Penghalusan

Ikan lele dumbo segar

Tepung tapioka/

tapung maizena (250

gr,300gr,350gr)

Gula, garam, penyedap rasa,

soda kue

Pencampuran tepung

Page 17: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Amplang Ikan Lele Dumbo

3.5.2 Daya kembang (Seed Displacement Test)

Penentuan daya kembang terhadap kerupuk kentang didasarkan pada

selisih luas kerupuk sebelum digoreng (L1) dan luas kerupuk setelah digoreng

(L2) dibagi luas kerupuk sebelum digoreng (L1) kemudian dikalikan 100%

Perhitungan :

Daya Kembang ¿L1−L 2

L 1× 100 %

3.5.3 Warna (Colour reader CR-10, Fardiaz D.dkk,1992)

Pengamatannya dengan tingkat warna dan kecerahan amplang ikan lele

dumbo yaitu menganalisis dengan menempelkan ujung lensa pada permukaan

Pembuatan adonanTelur

Perendaman dalam minyak

Penggorengan

Amplang lele

Pencetakan

Page 18: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

amplang dengan beberapa percobaan secara acak setelah itu menu target muncul

dilayar, kemudian dilakukan pencatatan nilai L.

Keterangan ;

L = nilai berkisar (0-100) yang menunjukkan warna hitam sampai cerah

3.5.4 Higroskopitas (Cara Penimbangan)

Penentuan higroskopitas ini dilakukan dengan cara meletakkan amplang

matang diudara terbuka selama 4 jam. Higroskopitas dinyatakan sebagai selisih

berat amplang setelah didiamkan 4 jam (B) dengan berat amplang sebelum

didiamkan (A) dibagi dengan berat amplang sebelum didiamkan (A) dikalikan

100%.

Higroskopitas ¿B−A

A× 100 %

3.5.5 Daya Serap Minyak

Amplang mentah ditimbang (B1 gram) kemudian digoreng. Setelah

digoreng kerupuk yang telah matang ditimbang lagi (B2 gram).

Perhitungan :

Daya Serap Minyak ¿B 2−B 1

B 1×100 %

3.5.6 Tekstur

Tekstur amplang diukur dengan alat pnetrometer. Penusukan dilakukan

dengan menggunakan jarum pnetrometer sebanyak tiga kali ulangan pada tempat

yang berbeda dengan waktu tetap.

3.5.7 Pengujian Organoleptik

Pengujian organoleptic meliputi kerenyahan dan warna (uji skoring) dan

rasa (uji kesukaan).

Page 19: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

a. Kerenyahan

Penilaian kerenyahan dari amplang dilakukan dengan gigitan dan

dapat ditandai dengan adanya bunyi pada saat amplang digigit. Jenjang

skala uji skoring adalah :

5 = sangat renyah

4 = renyah

3 = agak renyah

2 = tidak renyah

1 = sangat tidak renyah

b. Warna (Kecerahan)

Penilaian warna dari amplang dilakukan dengan melihat langsung

warna dari amplang mengenai tingkat kecerahan oleh panelis. Jenjang

skala uji skoring adalah :

5 = sangat cerah

4 = cerah

3 = agak cerah

2 = tidak cerah

1 = sangat tidak cerah

c. Rasa

Rasa dilakukan dengan ujian kesukaan. Jenjang skala uji skor rasa

adalah :

5 = sangat suka

4 = suka

3 = agak suka

2 = tidak suka

1 = sangat tidak cerah

Page 20: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia,2010. Budidaya Lele. Redaksi Agromedia Pustaka. Jakarta

Ann-Charlott Eliasson., 2004, Starch in Food. Woodhead Publishing Limited

Cambridge England.

Astawan, Made. 2009. Food and Beverage-Lele Asap.http://www.bali-

aquamarine.com/product.php?category=5 (Diakses Sabtu,15 Maret 2014)

Bachtiar, 2010. Panduan Lengkap budidaya Ikan Lele Dumbo. Jakarta

Cahyadi, S,. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.

Cetakan Pertama . PT. Bumi Aksara. Jakarta .

Page 21: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

Ghufran, M, dan H. Kordi K. 2010. Budidaya Ikan Lele di Kolam

Terpal.Yogyakarta : Lily Publisher

Greenwood, C.T. dan D.N. Munro.,1979, Carbohydrates. Di dalam R.J.

Priestley,ed. Effects of Heat on Foodstufs. Applied Seience Publ. Ltd.,

London.

Harper JM. 1981a. Extrusion of Food Vol I . Florida:IRC-Press.

Haryadi,1996. Sifat-sifat Fungsional Pati Dalam Pangan. Fakultas Teknologi

Pertanian. UGM. Yogyakarta

Hee-Young An., 2005, Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on

Properties of Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate

Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical

College.

http://topan36.files.wordpress.com/2008/12/induk-ikan-lele-dumbo2.pdf. SNI 01-

6484.1 – 2000 tentang induk ikan Lele Dumbo.(Diakses tanggal 16 Maret

2014)

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan

Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University.

Koswara, 2006, Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.

Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. The AVI Publishing Company Inc.,

Westport, Connecticut.

Prietly R.J. 1979. Effect Of Heating On Foodtuff Applied Sci publ LTD.London

Rukmana, Rahmat. 2003. Lele Dumbo Budidaya dan Pascapanen. Semarang :

Aneka Ilmu

Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan tambahan Pangan. Yogyakarta :

Kanisius

Page 22: Dandy Pradita Dwi Rumana-111710101076 (Revisi)

Soetomo, Moch. 2007. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Bandung : Sinar Baru

Algensindo

Wahyudi,M. dan Astawan.1988. Teknologi Pengolahan hewan Tepat Guna. CV

Akade Presindo. Jakarta

Warta Pasar Ikan.Edisi Juli 2009.Volume 71.Jakarta:Departemen Kelautan

danPerikanan

Winarno, F.G, 1997, Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta