Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Dari Ketergantungan Petani Menuju Net Farm Income Berkeadilan
(Etnografi Kritis Ketergantungan Petani Tembakau Temanggung Terhadap
PT. Bentoel International Investama)
Muhammad Khairul Anwar
Dosen Pembimbing:
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi konsep net farm income yang
berkontribusi bagi ketergantungan petani. Studi kasus dikhususkan pada
ketergantungan petani tembakau terhadap perusahaan rokok PT. Bentoel
International Investama. Penelitian dilakukan di desa Campurejo, Kecamatan
Tretep, Kabupaten Temanggung, menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode etnografi kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep income yang
ada saat ini belum mampu mengakomodasi kepentingan petani sebagai pelaku inti
usaha pertanian. Konsep income cenderung memihak kepentingan perusahaan
swasta dan agen ekonomi sehingga membentuk ketergantungan petani. Refleksi
etnografi kritis menunjukkan bahwa untuk mendukung perwujudan kemandirian
pertanian nasional dibutuhkan: 1) rumus baru net farm income berkeadilan; 2)
kebijakan pembentukan harga jual berkeadilan oleh pemerintah; 3) kesadaran
seluruh stakeholder pertanian untuk menjaga serta melestarikan nilai-nilai
kebudayaan dan kearifan lokal untuk menyokong keberadaan petani.
Kata Kunci: net farm income, akuntansi, ketergantungan, petani tembakau,
etnografi kritis, kemandirian pertanian.
Abstract
This research aims to criticize the concept of net farm income that
contribute to the farmers dependence. The case study is devoted to tobacco
farmers' dependence on tobacco company PT. Bentoel International Investama.
This research was conducted in Campurejo village, subdistrict Tretep, district
Temanggung, using a qualitative approach with critical ethnography method. The
results show that the concept of income which currently exist is not able to
accommodate the farmers interests as the core actors of agriculture. The concept
of income tends to favor the interests of private enterprise and economic agents
thus forming the farmers dependence. Critical ethnographic reflection shows that
to support the realization of the national agricultural independence required: 1) a
new formula of the fair net farm income; 2) the policies of establishment of the
fair selling price of agriculture commodities by the government; 3) awareness of
all agriculture stakeholders to maintain and preserve cultural values and local
wisdom to support the existence of farmers.
Keywords: net farm income, accounting, dependency, tobacco farmers, critical
ethnography, agricultural independence.
2
PENDAHULUAN
Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajahan radikal oleh bangsa asing
sejak 69 tahun lalu. Namun, apa yang telah dirasakan dan dialami bangsa
Indonesia beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa pembangunan
Indonesia sebatas mengulangi sejarah penjajahan di masa lalu (Rais, 2008:1).
Perbedaannya hanya terletak pada cara, bentuk, dan format penjajahan yang
dijalankan. Jika dahulu nyata penjajahan dalam bentuk fisik dan pendudukan
militer dialami oleh Indonesia, kini penjajahan bentuk baru terbingkai secara lebih
sistematis, terstuktur, masif, dan efektif dalam keadaan tetap tergantung dan
menggantungkan diri pembangunan Indonesia pada kekuataan bangsa asing.
Kemandirian bangsa Indonesia dalam berbagai struktur sosial, politik, hukum,
budaya, bahkan ekonomi telah terenggut kembali oleh bangsa asing dalam
penjajahan bentuk baru tersebut (baca: ketergantungan).
Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tidak
luput dari upaya dominasi bangsa asing di Indonesia. Mekanisme yang dijalankan
adalah melalui liberalisasi pertanian lewat deregulasi undang-undang berbasis
pada Agreement on Agriculture of World Trade Organization (AoA WTO) dan
kesepakatan pemerintah dengan International Monetary Found (IMF) di dalam
Memorandum of Economic and Financial Policy (MEFP). Cara lain menjalankan
liberalisasi pertanian ditegaskan secara konseptual oleh Mulawarman (2012) serta
dibuktikan dengan penelitian di lapangan oleh Amir et al. (2014) dan Kurniawan
(2012) melalui Net Farm Income (NFI/Laba Bersih Pertanian) dan konsep
pengukuran serta pengakuan aset biologis berbasis pasar dalam IAS 41
(Agriculture) yang secara langsung substansi ideologisnya mampu mendoktrin
petani memasuki ranah pertanian berparadigma bisnis. Berdasarkan NFI dan
konsep pengukuran serta pengakuan aset biologis inilah pintu masuk liberalisasi
pertanian terbuka dan nestapa petani bertambah pilu tatkala perannya sebagai
pahlawan pangan termakzulkan. Petani tidak lagi berdaya karena perannya telah
beralih menjadi komoditas politik pemerintah melalui peraturan-peraturan yang
justru menyudutkan posisi petani (Amir et al. 2014:5). Penindasan gaya baru
tersebut akan melemahkan petani secara struktural dan meningkatkan kemampuan
laba pemilik modal melalui keadaan ketergantungan petani sepenuhnya pada
kepentingan korporasi multinasional.
Rasionalisasi konsep NFI dalam pola pikir keekonomian petani didukung
dengan pelembagaan kepentingan asing dalam struktur pembangunan pertanian
nasional akan mencetak petani-petani yang berpikir bahwa laba menjadi satu-
satunya tujuan utama dalam usahataninya. Ketika laba dijadikan sebagai tujuan
utama dalam sebuah usaha bisnis pertanian maka dengan sadar atau tidak
pengupayaannya akan mengesampingkan perihal krusial lain seperti kelestarian
lingkungan, kesehatan konsumen, maupun eksistensi petani itu sendiri. Pasalnya,
petani akan mulai berpikir bagaimana usahataninya dijalankan demi menjamin
keuntungan yang memadai dengan pengusahaan pola produksi yang mampu
memenuhi kapasitas tersebut. Ujung-ujungnya produktivitas pertanian akan
dikejar dengan memasukkan input pertanian berskala besar yang relatif terhadap
luas lahan seperti penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk kimia, maupun
penggunaan pestisida berbahaya, yang di sisi lain penguasaan produksi maupun
pasar atas ketiga input pertanian tersebut berada di tangan perusahaan-perusahaan
swasta asing.
3
Komponen yang menjadi bagian integral lain dalam konsep NFI maupun
basis ekonomi usahatani kontemporer adalah harga jual komoditas. Tidak bisa
dipungkiri bahwa saat ini pembentukan harga jual (baca: harga pasar) komoditas
pertanian berada di tangan perusahaan-perusahaan yang bergerak pada bidang
industri agribisnis terutama perusahaan yang memproduksi produk pertanian
bernilai tambah (maufaktur pangan). Perusahaan selalu merepresentasikan bahwa
harga jual komoditas tersebut adalah harga pasar komoditas yang berlaku.
Padahal, sejatinya harga pasar dari komoditas pertanian adalah bentuk distrosi
mekanisme pasar oleh kooptasi kepentingan perusahaan. Bila terdapat pula rantai
pemasaran komoditas pertanian yang melibatkan pedagang atau tengkulak di
dalamnya, bukan tidak mungkin harga jual komoditas pertanian akan mendapat
tekanan lagi dari pedagang atau tengkulak tersebut. Sehingga kemampuan petani
untuk membentuk keuntungan yang layak dan berpedoman pada karakter sosial-
environmental-nya selalu terbatasi oleh beringasnya korporasi mengejar laba
maksimal.
Demi melegitimasi dominasi harga jual komoditas pertanian oleh korporasi,
akuntansi kemudian mengakomodasi hal tersebut dengan dikeluarkannya standar
akuntansi internasional yaitu International Accounting Standards 41 (IAS 41)
tentang Agriculture untuk entitas bisnis swasta. Aset biologis yang secara fisik
melekat pada tanah seperti pohon, diukur sebesar nilai wajarnya (fair value)
dikurangi biaya untuk dijual secara terpisah dari tanah. Perubahan nilai wajar
dikurangi dengan estimasi biaya penjualan dilaporkan pada laporan laba rugi
(akrualisasi). Kata kuncinya terdapat pada konsep fair value untuk pengukuran
dan penilaian aset biologis. Ketika konsep fair value yang meletakkan mekanisme
pasar sebagai dasar penilaian diterapkan dalam pertanian, maka akan sangat
menguntungkan bagi korporasi dan sangat merugikan bagi petani. Petani akan
lebih terlegitimasi ketergantungannya pada harga jual yang ditetapkan oleh
perusahaan. Perusahaan dengan kemampuan modal dan teknologi yang lebih
besar akan menjadi market centre yang mampu mengatur harga (price setter)
komoditas pertanian, sedangkan petani akan pasrah sebagai price takker.
IAS 41 mendapatkan kritik dari berbagai pakar, kebanyakan dari mereka
mengkritik tentang penggunaan pendekatan nilai wajar atau fair value serta
pengakuan perubahan nilai yang dilaporkan dalam laporan laba rugi. Elad dan
Herbohn (2011) dalam Aryanto (2011) menilai bahwa IAS 41 memiliki
kekurangan karena karakteristik kualitatif terkait komparabilitas tidak dapat
tercapai, tidak memenuhi asumsi cost benefit karena permasalahan perhitungan
pajak, volatilitas laba, dan data yang dihasilkan tidak andal karena fair value yang
ditentukan otoritas pasar tidak mencerminkan nilai wajar sebenarnya dari
komoditas. Sementara itu, Elad (2004) dalam Bosch et al. (2011) mengatakan
bahwa konsep fair value ini mengabaikan hubungan sosial dan lingkungan
produksi yang terletak di bawah pertukaran pasar serta berisiko untuk
melegitimasikan hubungan sosial-ekonomi yang tidak adil. Penggunaan fair value
akan membawa kelemahan yang begitu serius bagi sektor pertanian.
Pelembagaan kepentingan asing di pertanian nasional kita semakin menjadi
masif lagi tatkala paradigma pembangunan pertanian yang diterapkan Indonesia
mengacu pada pertanian modern-industrial atau agribisnis. Menurut Mulawarman
(2012), memang pertanian kita telah memasuki fase lanjutan dari kooptasi
kepentingan “gurita perusahaan multinasional dan negara maju” melalui pertanian
4
modern agribisnis. Pertanian secara nasional pun terbingkai secara utuh dan
mengerucut pada model agribisnis, pertanian sebagai bentuk bisnis yang tidak lagi
mementingkan petani dan pedesaan sebagai fungsi ketahanan pangan, melainkan
mekanisme pasar yang berdasar pada kepentingan bisnislah yang menentukan
kepentingan pangan nasional. Petani yang semula mempunyai pandangan hidup
sebagai petani rakyat atau peasant dalam istilah Barat, yang berwawasan moral,
social, environmental, dan spiritual, kemudian dikreasi menjadi farmer atau
petani berwawasan teknologi modern dan ekonomi mutakhir sebagai program
modernisasi petani.
Digiringnya pertanian menuju sistem agribisnis berbasis pertanian modern-
industrial dengan banyaknya perusahaan agribisnis multinasional yang ada di
Indonesia mengakibatkan petani tergantung dalam semua ranah baik hulu maupun
hilir pertanian. Neoliberalisme berbentuk korporatokrasi dalam dalih globalisasi
memang tak terelakkan lagi bagi Indonesia. Didukung dengan rasionalisasi
konsep net farm income dalam pola pikir keekonomian petani serta penerapan
konsep akuntansi pertanian berbasis liberal, sungguh ketergantungan petani kian
mendekati keakutan. Semua berujung pada maksimalisasi keuntungan
multinational corporation serta negara maju, dan petani maupun negara
berkembang (baca: Indonesia) semakin tersudut tak berdaya dalam mengakses
serta mengontrol berbagai sumberdaya produktif maupun berdaulat atas kebijakan
produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sesuai kondisi ekologis, sosial,
ekonomi serta budaya masing-masing wilayah (Susilowati dan Kustiar, 2009
dalam Mulawarman, 2012). Mutlak sebuah konsep pembaharuan sistem
pembangunan pertanian nasional yang mengedepankan asas keadilan bagi petani
sebagai ujung tombak ketahanan pangan terlebih kedaulatan pangan nasional
harus segera diadakan. Agar Indonesia kembali menjadi tuan rumah di negeri
sendiri, yang mampu merdeka dari ketergantungan kekuatan asing, serta
mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kritik etnografis terhadap konsep
net farm income dan konsep akuntansi pertanian berbasis pasar (IAS 41). Studi
kasus yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah usahatani petani tembakau
mulai dari persiapan panen sampai pada pemasaran hasil panen ke perusahaan
rokok. Perusahaan rokok yang lebih spesifik akan dijadikan sebagai objek studi
kasus adalah PT. Bentoel International Investama. Hal ini didasarkan pada
kebutuhan penelitian terkait fenomena mekanisme pasar yang ada di pusat
perdagangan tembakau Kabupaten Temanggung. Selain itu, terdapat pula indikasi
bahwa petani tembakau di Kabupaten Temanggung mengalami ketergantungan
dari segi pemasaran terhadap PT. Bentoel Internasional Investama sebagai salah
satu perusahaan penyerap tembakau petani.
TEORI EKONOMI-AKUNTANSI PERTANIAN
Ilmu ekonomi pertanian merupakan bagian dari ilmu ekonomi umum
(Mubyarto, 1997:1). Ruang lingkup ilmu ekonomi pertanian dapat difokuskan ke
dalam beberapa aspek meliputi produksi, konsumsi, pemasaran, serta aspek lain
yang mempengaruhi kegiatan tersebut seperti kebijakan pemerintah dan faktor
eksternalisasi (Soekartawi, 2002:1). Dalam kegiatan produksi pertanian,
produktivitas usahatani bergantung pada pengelolaan faktor produksi dan tingkat
efisiensi usahatani yang dilakukan petani yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga,
5
dan efisiensi ekonomi. Faktor produksi usahatani tersebut meliputi tanah, modal,
tenaga kerja, dan manajemen usahatani. Semakin efisien suatu usahatani dalam
penggunaan faktor produksinya, akan semakin tinggi pula peluang menerima
keuntungan usahatani yang baik. Keuntungan usahatani (net farm income)
diperoleh dari selisih antara total penerimaan usahatani (gross farm income)
dengan total biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Penerimaan usahatani
adalah perkalian antara output pertanian yang dihasilkan petani dengan tingkat
harga jual satuan yang diberlakukan untuk output tersebut. Sedangkan total biaya
produksi meliputi semua biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam melakukan
usahatani baik berupa biaya tetap maupun biaya variabel. Net farm income dapat
dituliskan dalam rumus matematika sebagai berikut (Shinta, 2011:88):
π = TR – TC.......................................................... (1)
Keterangan:
π : Keuntungan Usahatani (net farm income)
TR : Total Penerimaan
TC : Total Biaya
Pengertian yang sama tentang net farm income juga diperkenalkan oleh
Agromisa Foundation dalam Agrosource 4. Dalam buku panduan tersebut, konsep
pembentukan net farm income sama dengan ilmu ekonomi pertanian umum yaitu
total penerimaan dikurangi dengan total biaya. Hanya saja ketika menggunakan
pendekatan akuntansi, net farm income dimaknai sebagai biaya sehingga
pencatatannya dilakukan di laporan akun laba dan rugi. Net farm income yang
didapat dari laporan akun laba rugi tidak sama dengan uang tunai atau kas yang
diterima petani dari hasil operasional usahatani. Net farm income dalam
pendekatan akuntansi ala Agromisa Foundation terdiri dari tiga bagian yaitu
pendapatan kas meliputi pembayaran di muka (Private Drawings), pendapatan
non-kas meliputi konsumsi pertanian untuk rumah tangga (Home Consumption),
dan tabungan atau investasi yang dapat mempengaruhi kenaikan nilai modal
bersih usahatani. Net farm income diperoleh dari penjumlahan atas tiga bagian
tersebut.
Sektor industri pertanian juga diatur tentang standar pelaporan keuangannya
secara khusus dalam International Accounting Standards (IAS) 41. IAS 41 adalah
standar akuntansi untuk mengatur sektor industri pertanian yang terdapat dalam
standar global pelaporan keuangan International Financial Reporting Standards
(IFRS). Secara garis besar, ruang lingkup IAS 41 tersebut adalah untuk mengatur
penilaian aset biologis pada saat masa pertumbuhan hingga mencapai titik panen
Aset biologis dimaknai sebagai tumbuhan atau hewan hidup yang tersedia untuk
kepentingan produksi pertanian. Sedangkan tanah diakui sebagai aset tetap dan
aset investasi, bukan sebagai aset biologis. Sehingga perlakuan akuntansi untuk
tanah mengacu pada IAS 40 dan IAS 16. Aset biologis diukur menggunakan nilai
wajar (fair value) dikurangi dengan estimasi biaya penjualan mulai dari
pengakuan awal aset biologis sampai dengan titik panen, kecuali jika nilai wajar
tidak dapat diukur secara andal saat pengakuan awal. Nilai wajar pada saat
pengukuran awal aset biologis tidak dapat dinilai secara andal karena harga
ditentukan oleh pasar. Dalam kasus ini, entitas dianjurkan untuk mengukur aset
biologis pada biaya dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi kerugian
6
penurunan nilai. Setelah nilai wajar dapat diukur secara andal, maka aset biologis
kembali harus dinilai pada nilai wajar dikurangi estimasi biaya penjualan.
Perubahan nilai wajar dikurangi dengan estimasi biaya penjualan dilaporkan pada
laporan laba rugi periode berlangsung (akrualisasi).
TEORI KETERGANTUNGAN
Teori ketergantungan atau teori dependensi adalah teori yang
menitikberatkan pada persoalan keterbelakangan di negara Dunia ketiga sebagai
akibat dari kekauan aneka faktor kelembagaan, ekonomi, dan politik baik yang
berskala domestik maupun internasional, di mana mereka telah terperangkap
dalam jebakan ketergantungan dan dominasi negara-negara maju (Todaro dan
Smith, 2006:141). Lahir dan menyebarnya teori ketergantungan tidak lepas dari
peran Andre Gunder Frank melalui tulisannya di majalah Monthly Review
berjudul Capitalism and Underdevelopment in Latin America (1967) dan Latin
America: Underdevelopment and Revolution (1969). Seketika tulisan tersebut
menggugah pakar teori ketergantungan lain (Dos Santos, 1971; Cardoso, 1973)
untuk mengembangkan lebih lanjut ide pemikiran Frank. Latar belakang lahirnya
teori ketergantungan adalah dari proses panjang suasana sejarah pada tahun 1960-
an sebagai paradigma baru untuk memberikan jawaban atas kegagalan program
Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin (United
Nation Economic Commission for Latin America/ECLA/KEPBBAL), krisis teori
Marxisme ortodoks (Neo-Marxisme), dan menurunnya kepercayaan terhadap teori
modernisasi di Amerika Serikat (Suwarsono dan So, 1994:91).
Teori ketergantungan lahir dari krisis teori Marxisme Ortodoks yang terjadi
pada tahun 1950-an. Teori Marxisme Ortodoks mengharuskan Amerika Latin
untuk melalui tahapan revolusi borjuis terlebih dahulu sebelum mencapai revolusi
sosialis proletar. Namun revolusi yang terjadi di Cina dan Kuba pada tahun 1950-
an mampu meruntuhkan anggapan tersebut. Kritik terhadap teori Marxisme
Ortodoks mengalir deras dari berbagai pakar dan melahirkan aliran pemikiran
baru bernama Neo-Marxisme. Selain itu, teori ketergantungan lahir dari keresahan
masyarakat Amerika Latin terhadap strategi pembangunan negara yang
dirumuskan oleh ECLA. ECLA merumuskan beberapa strategi pembangunan
negara yang secara garis besar menitikberatkan pada proses industrialisasi
substitusi impor, perencanaan dan campur tangan oleh pemerintah negara, serta
dibentuknya struktur integrasi regional. Strategi pembangunan tersebut dianggap
hanya akan menguntungkan negara-negara barat dan Amerika Utara saja, serta
telah gagal memenuhi ekspektasi masyarakat Amerika Latin untuk kesuksesan
pembangunan negaranya. Dampak dari penerapan strategi pembangunan negara
ECLA mengemuka pada akhir 1960-an. Banyak negara di Amerika Latin
mengalami depresi dan stagnasi politik, serta ketergantungan akut terhadap impor
barang modal dari luar negeri. Karena hal tersebut pula, teori modernisasi yang
digunakan sebagai basis paradigma pembangunan negara ECLA mendapatkan
kritik dari berbagai pakar. Teori modernisasi dianggap bertolak belakang dengan
pembangunan ekonomi negara-negara Amerika Latin karena dampak
implementasinya yang mampu menumbuhkan dominasi kekuatan asing terutama
negara maju di negara-negara Amerika Latin.
Pengembangan pemikiran tentang teori ketergantungan menyebabkan teori
ini dibagi dalam dua bentuk yaitu teori ketergantungan klasik dan teori
7
ketergantungan baru. Kedua bentuk teori ketergantungan tersebut memiliki
perbedaan dalam beberapa asumsi dasarnya. Teori ketergantungan klasik
dianggap memiliki sisi ambisiusitas sehingga tidak mampu menggambarkan
secara jelas bagaimana pola dan situasi ketergantungan yang terjadi di negara
Dunia Ketiga. Sedangkan teori ketergantungan baru yang lahir atas hasil
penyempurnaan teori ketergantungan klasik membawa dimensi historis-struktural
sebagai situasi konkrit pola ketergantungan yang terjadi di negara Dunia Ketiga.
Teori ketergantungan klasik mengangkat faktor eksternal kolonialisme dan
ketidakseimbangan nilai tukar sebagai pokok permasalahan ketergantungan.
Sedangkan teori ketergantungan baru lebih menekankan faktor internal negara dan
konflik kelas sebagai pokok permasalahan ketergantungan di negara Dunia
Ketiga. Selanjutnya, teori ketergantungan klasik mencirikan ketergantungan
sebagai fenomena ekonomis, sedangkan teori ketergantungan baru mencirikan
ketergantungan sebagai fenomena sosial politik. Teori ketergantungan klasik
mengasumsikan bahwa ketergantungan yang bertolak belakang dengan
pembangunan hanya akan memberikan keterbelakangan pada negara Dunia
Ketiga. Sedangkan teori ketergantungan baru melihat ketergantungan yang
bertolak belakang dengan pembangunan merupakan sebuah koeksistensi berupa
pembangunan yang bergantung. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan dan
asumsi dasar teori ketergantungan baru sebagai lensa peneliti dalam memotret
ketergantungan petani tembakau.
ETNOGRAFI KRITIS SEBAGAI CARA MENELUSURI
KETERGANTUNGAN PETANI
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi
kritis. Penelitian ini menggunakan metode etnografi maju bertahap Spradley yang
ditulis dalam bahasa dan gaya paradigma kritis (etnografi kritis). Masalah yang
dipotret adalah tentang ketergantungan petani tembakau terhadap PT. Bentoel
International Investama yang bertolak dari asumsi dasar teori ketergantungan
baru. Penelitian ini dilakukan di Desa Campurejo, Kecamatan Tretep, Kabupaten
Temanggung. Lokasi penelitian dipilih karena kepentingan sinkronisasi antara
objek penelitian (petani tembakau) dengan subjek penelitian (ketergantungan
petani tembakau). Informan atau narasumber utama dalam penelitian ini adalah
tiga petani tembakau yaitu Bapak Wanto, Bapak Rochimin, dan Bapak Yanto,
dilengkapi dengan tiga narasumber lain yaitu Bapak Solichin (karyawan
perwakilan pabrik), Bapak Nurtanio Wisnu Brata (Ketua APTI DPD Jawa
Tengah), serta Bapak K.H Hasyim Affandi (Mantan Bupati Temanggung).
Metode pengumpulan data (alur penelitian maju bertahap Spradley) pada
penelitian ini meliputi penetapan informan, mewawancarai informan, membuat
catatan etnografis, dan mengajukan pertanyaan deskriptif. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik obeservasi partisipasi, wawancara tidak terstruktur
(petani tembakau) dan wawancara terstruktur (selain petani tembakau, serta teknik
dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data pada penelitian ini meliputi analisis
wawancara, analisis domain dan pengajuan pertanyaan struktural, analisis
taksonomi dan pengajuan pertanyaan kontras, analisis komponen, dan analisis
tema. Keabsahan data diuji menggunakan metode triangulasi meliputi triangulasi
sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu. Struktur
penelitian dalam penelitian ini meliputi: pemotretan masalah ketergantungan
8
petani tembakau; penyampaian data kebudayaan berupa kondisi sosial-ekonomi-
budaya petani tembakau dalam konteks ketergantungan; pengumpulan dan
analisis data etnografi ketergantungan petani tembakau; pemaknaan akuntansi
ketergantungan petani tembakau; dan penulisan etnografi berupa perumusan net
farm income berkeadilan.
BINGKAI SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA PETANI TEMBAKAU
Budidaya
Menurut Setiawan dan Trisnawati (1992:4), tanaman tembakau atau
Nicotiana Tabacum L termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae,
kelas Dicotyledonae, ordo Solanales, familia Solanaceae, serta genus Nicotiana.
Tanaman tembakau pada umumnya tidak menghendaki iklim yang terlalu panas
dan iklim yang terlalu dingin. Jenis tanaman ini juga sangat sensitif terhadap
cuaca, lokasi tanam, cara menanam, dan cara pengolahan. Maka dari itu, daun
tembakau tidak akan menghasilkan kualitas yang sama apabila ditanam pada
agroekosistem yang berbeda. Tembakau dapat ditanam pada dataran rendah
sampai dengan dataran tinggi sehingga penamaan varietas tembakau mengacu
pada lokasi atau daerah penanaman.
Tembakau yang ada di Indonesia juga diklasifikasikan ke dalam beberapa
jenis. Jenis tembakau tersebut muncul karena kualitas tembakau yang sangat
dipengaruhi oleh iklim di daerah tumbuh, pengolahan, serta waktu penanaman.
Beberapa jenis tembakau dengan kualitas unggul di Indonesia antara lain
tembakau Deli, tembakau srinthil Temanggung, tembakau Madura, tembakau
Besuki, tembakau Lombok, dan sebagainya. Pada umumnya, tembakau-tembakau
tersebut diolah menjadi tembakau rajangan untuk dijadikan bahan baku rokok atau
diolah untuk dijadikan filler, bonder, dan wrapper cerutu. Menurut Setiawan dan
Trisnawati. (1992:27), pembudidayaan tembakau secara lengkap meliputi
kegiatan; pembibitan, pengolahan tanah, penanaman dan pemeliharaan,
pemberantasan hama dan penyakit, panen dan pasca panen, serta pengolahan
hasil.
Tabel 1. Rincian Teknis dan Biaya Budidaya Tembakau
Bulan Teknis Budidaya
Rincian Biaya Tahapan Jenis kegiatan
Oktober
November
Desember
Persiapan - Pembelian pupuk kandang
- Pengadaan dana
- Pembelian pupuk kandang
- Biaya bunga
Januari Februari
Maret
Pengolahan Tanah
- Perbaikan lahan (galengan, saluran air) - Pencangkulan dan pembuatan lubang
tanah
- Pemupukan dasar
- Pembayaran tenaga kerja - Pembelian bibit
April Penanaman - Penanaman - Pembayaran tenaga kerja
Mei
Juni
Juli
Pemeliharaan - Pemupukan lanjutan I & II
- Penyulaman
- Pendangiran - Penyemprotan
- Suckering
- Topping
- Pembelian pupuk (anorganik)
- Pembelian obat-obatan
- Pembayaran tenaga kerja - Pembelian dan perbaikan
sarana pengolahan (jemuran
dan tempat olah)
Agustus
September
Panen dan
Pengolahan
- Pemetikan
- Pemeraman/fermentasi
- Perajangan - Nganjang
- Penjemuran
- Peranjangan
- Pembelian keranjang
- Pembayaran tenaga kerja
- Biaya tranportasi - Biaya lain-lain
Sumber : Haryono (1997:15).
9
Status Pertembakauan Indonesia
Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara penghasil tembakau terbesar di
dunia saat ini dengan kemampuan produksi mencapai 2,2% dari produksi
tembakau dunia (Daeng et al. 2011:29). Hasil tersebut tidak lepas dari
produktivitas tembakau Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Luas
areal tanaman tembakau Indonesia dalam kurun waktu 2006-2011 meningkat
sebesar rata-rata 5,74% per tahun. Produksi tembakau nasional pada kurun waktu
2006 sampai dengan 2009 naik rata-rata 4,2% per tahun dan turun sebesar 4,3%
pada tahun 2010. Namun pada tahun 2011 produksi tembakau nasional kembali
naik sebesar 58%.
Tabel 2. Produktivitas Tembakau Indonesia Tahun 2006-2010 No Satuan 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1. Luas Lahan
(Ha) 172.234 198.054 196.627 204.450 216.271 228.770
2. Produksi
(Ton) 146.265 164.851 168.037 176.510 135.678 214.524
3. Produktivitas
(Kg/Ha) 867,05 847,49 863,30 867,09 763,77 938
Sumber: Database Kementerian Pertanian (2014).
Volume dan nilai ekspor tembakau Indonesia juga memberikan
sumbangan terhadap pendapatan negara dengan nilai yang tidak bisa dianggap
kecil. Menurut Rais (2007), rata-rata volume ekspor tembakau Indonesia jenis na-
oogst selama 2002–2006 sebesar 11.977,7 ton dengan nilai US$47,7 juta.
Sedangkan untuk tembakau jenis voor-oogst, rata-rata volume ekspor sebesar
21.729,9 ton dengan nilai sebesar US$31,4 juta. Sementara itu, rata-rata
pertumbuhan ekspor tembakau hasil olahan selama 5 tahun (2002–2006) terjadi
kenaikan, untuk volume sebesar 13,1% dan nilai sebesar 11,0%. Ekspor tembakau
hasil olahan volumenya naik sebesar 7,1% dari 41.892 ton pada tahun 2005
menjadi 44.858 ton pada tahun 2006, dengan kenaikan nilai sebesar 9,6 % dari
US$216,4 juta menjadi US$237,2. Selama tahun 2002-2006 ekspor tembakau
hasil olahan rata-rata per tahun sebesar 8.998 ton dengan nilai US$47.586 juta.
Menurut data Kementerian Pertanian (2014), volume ekspor tembakau Indonesia
pada tahun 2012 mencapai lebih dari 37.110 ton dengan nilai sebesar US$159,5
juta. Sedangkan pada tahun 2013, volume ekspor tembakau Indonesia mengalami
kenaikan menjadi 41.764 ton dengan nilai sebesar US$199,5 juta.
Pengusahaan tembakau sebagai salah satu komoditas dagang di Indonesia
saat ini telah banyak menyerap tenaga kerja dari hulu sampai hilir. Tenaga kerja
yang dapat terserap mulai dari petani tembakau sampai dengan tenaga jasa
transportasi rokok sebesar 6,4 juta tenaga kerja (Rachman, 2007). Selama kurun
waktu 1996-2010, jumlah petani tembakau berfluktuasi antara 400 ribu hingga
900 ribu orang. Jika dibandingkan dengan jumlah petani di sektor pertanian, maka
fluktuasi persentasenya berkisar antara 1,0% hingga 2,6%. Selama sepuluh tahun
terakhir (2000 – 2010) terjadi kenaikan jumlah petani tembakau dari 665 ribu
menjadi 689 ribu atau terjadi kenaikan sebesar 3,61%. Proporsi petani tembakau
terhadap pekerja sektor pertanian tidak berubah yaitu tetap pada angka 1,6%
(Ahsan et al. 2012:45-46).
10
Aspek Sosial yang Membentuk Ekonomi Petani Tembakau
Karakteristik petani yang dilihat berdasarkan komposisi petani pada tahun
2003 memperlihatkan angka sebesar 56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani di
Indonesia merupakan petani gurem. Begitu juga hampir 60% dari petani masuk
kategori miskin dengan pendapatan di bawah US$ 2 per hari (Saefulloh et al.
2011:5). Sementara itu, kondisi petani Indonesia saat ini jauh dari kriteria layak
dalam hal pendidikan. Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 75% petani
hanya berpendidikan SD atau tidak lulus SD, 24% lulus SLTP dan SLTA, dan
hanya 1% yang lulus Perguruan Tinggi (Saefulloh et al. 2011:6). Gambaran
kondisi petani tersebut juga terjadi pada petani tembakau di Indonesia. Ahsan et
al. (2008:52), melakukan penelitian terhadap sosial ekonomi petani tembakau di 3
daerah sentra produksi tembakau yaitu Kabupaten Kendal, Kabupaten
Bojonegoro, dan Kabupaten Lombok Timur. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
luas lahan tembakau yang diusahakan petani rata-rata kurang dari 1 hektar (10.000
meter persegi) yaitu hanya 5.200 meter persegi dengan minimal lahan sebesar 100
meter persegi dan maksimal 25.000 meter persegi. Pengelola perkebunan
tembakau di tiga wilayah penelitian menunjukkan bahwa 63,7 % dari mereka
hanya berpendidikan SD dan tidak sekolah sama sekali. Sebanyak 42% lantai
rumah responden pengelola perkebunan tembakau masih berupa tanah. Sementara
yang rumahnya berlantai keramik hanya 7,6%. Hasil penjualan rata-rata sebesar
Rp 12.448.000 dengan total biaya yang dikeluarkan mulai dari pra tanam, masa
tanam, masa panen, dan pasca panen sebesar Rp 8.386.200,-. Sehingga
keuntungan yang diperoleh rata-rata hanya sebesar Rp 4.061.800,-. Dengan
memperhitungan jangka waktu selama proses penanaman hingga panen selama 3-
4 bulan maka petani mempunyai penghasilan dari usaha tembakau antara Rp
1.000.000,- hingga Rp 1.500.000,-. setiap bulan.
Permasalahan lain yang menjadi hambatan besar bagi petani ialah akses
permodalan pertanian. Petani mengalami kendala untuk melakukan kredit di
perbankan. Sejauh ini, kredit perbankan pertanian berkisar hanya sebesar rata-rata
5,56 % saja (Saefulloh et al. 2011:5). Hal tersebut muncul dikarenakan perbankan
menilai bahwa sektor pertanian masih mempunyai resiko tinggi dan tidak
mempunyai kelayakan usaha yang baik. Selain itu, petani-petani tersebut tidak
mempunyai sertifikat tanah untuk dijadikan agunan peminjaman ke bank. Satu-
satunya jalan yang kemudian ditempuh adalah meminjam modal kepada pelepas
uang dengan bunga yang tinggi. Di dalam tata niaga tembakau khususnya di pulau
Jawa, pemasaran dan pembentukan modal petani melalui pelepas uang
mempunyai suatu keterkaitan. Menurut Padmo dan Djatmiko (1991:77), dalam
perdagangan tembakau di Temanggung petani dihadapkan pada tiga pilihan
pemasaran yaitu melalui pedagang pengumpul besar, pedagang perantara, atau
langsung memasarkan tembakau ke perwakilan pabrik. Peran dari pedagang
pengumpul besar maupun pedagang perantara cukup penting, selain sebagai
pedagang mereka juga berperan sebagai sumber kredit atau pelepas uang.
Pedagang-pedagang tersebut akan memberikan kredit atau modal kepada petani
sebelum masa tanam tembakau tiba. Kemudian ketika masa panen dan
pengolahan hasil tiba, petani yang diberikan kredit oleh pedagang akan
memasarkan tembakaunya kepada pedagang tersebut. Pengembalian kredit atau
modal beserta bunganya seringkali tidak berbentuk uang, melainkan ada
11
pemotongan sejumlah kredit yang dipinjam atas hasil pendapatan petani dari
pemasaran tembakau ke pedagang tersebut.
Penentuan harga tembakau menjadi permasalahan lain di dalam pemasaran
tembakau rakyat (Padmo dan Djatmiko, 1991:89). Penentuan harga tembakau
bergantung pada kualitas dan mutu tembakau. Kualitas tembakau yang sebenarnya
akan sulit ditentukan mengingat jenis dan mutu tembakau sangat bervariasi,
bahkan sering tercampur antara tembakau dengan kualitas jelek dan tembakau
dengan kualitas baik. Kondisi tersebut mengakibatkan petani tidak memperoleh
harga yang maksimal, sedangkan bagi pabrik rokok akan sulit memperoleh bahan
baku yang diinginkan. Pabrik rokok besar yang bertindak sebagai pembeli dapat
mempengaruhi kondisi pasar secara signifikan karena lemahnya posisi tawar para
petani tembakau. Hal tersebut dapat terjadi mengingat pasar tembakau rakyat
berbentuk pasar oligopoli. Usaha pertanian tembakau masih menjadi industri
pertanian yang bersifat spesifik karena hanya berpaku pada industri rokok saja.
Tercatat hanya beberapa perusahaan rokok besar yang dapat menampung
tembakau dengan kapasitas tinggi seperti PT. Djarum, PT. Gudang Garam, PT
HM Sampoerna, PT. Bentoel, PT. Noyorono, PT. Jambu Bol, dan PT. Sukun.
Selain itu masih ada beberapa pabrik rokok lain yang kapasitas penyerapan
tembakau rakyatnya lebih kecil.
Petani Tembakau Temanggung Sebagai Manusia Jawa
Nenek moyang dari petani tembakau desa Campurejo merupakan orang-
orang suku Jawa. Suku yang dari dulu hingga sekarang mendominasi jumlahnya
di bumi nusantara. Konsepsi budaya dan pandangan hidup manusia Jawa dapat
ditemukan di dalam beberapa risalah atau serat yang umumnya ditulis oleh
priyayi dan bangsawan Jawa. Dua serat yang mempunyai pengaruh besar
terhadap cara berpikir dan berperilaku orang Jawa dahulu adalah Serat Wulang
Reh karya Sri Susuhunan Pakubuwono IV serta Serat Wedhatama karya Sri
Mangkunegara IV. Falsafah ajaran hidup manusia Jawa memiliki tiga aras dasar
utama yaitu aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta, dan aras keberadaban
manusia. Ajaran-ajaran agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen dan nilai-nilai
kejawen yang dianut orang-orang Jawa, mengkonsepsikan pandangan manusia
Jawa bahwa manusia pertama-tama adalah makhluk rohani (Wanto et al.
1996:88). Tugas utama manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini adalah
manembah mring Gusti, menyembah kepada Tuhan. Oleh karena itu, dalam
rangka mengabdi kepada Tuhan, tugas pokok manusia ialah menyempurnakan
dirinya.
Kewajiban moral manusia adalah memperkuat hubungan vertikal dengan
Tuhan, sehingga tercapailah hubungan harmonis antara sang Khalik dan makhluk,
serta dengan kekuatan dan kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri
selaku kawula terhadap Gustinya, manunggaling kawula Gusti. Kesadaran dirinya
akan materi telah mati, maka ia pun mati sajroning urip, mati di dalam kehidupan.
Lubuk hati terdalamnya mengatakan bahwa ia telah bersatu dengan Tuhan, maka
dalam kehidupan sehari-harinya dia harus meniru sifat-sifat Tuhan, ngribi sifate
Allah. Perilaku keseharian manusia Jawa yang banyak di pengaruhi oleh sifat-sifat
spiritual mengantarkan mereka pada suatu hubungan istimewa dengan alam. Alam
dianggap sebagai sumber rasa aman, sebab alam dihayati sebagai kekuasaan yang
mampu menentukan keselamatan dan kehancuran. Konsepsi tentang alam sangat
berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat Jawa, bahkan dalam hal mata
12
pencaharian mereka. Kedekatan manusia Jawa dan alam pula menyebabkan
berkembangnya pemikiran mengenai fenomena kosmogoni dalam pemikiran
manusia Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa tradisi atau ritual terkait
dengan penghormatan terhadap alam sebagai tempat hidup mereka seperti larung
sajen dan selametan.
Selain pandangan hidupnya tentang Tuhan dan alam semesta, masyarakat
Jawa juga mempunyai konsepsi kebudayaan tersendiri tentang hubungan antar
manusia. Konsepsi kebudayaan Jawa tentang aras keberadaban manusia
diimplementasikan dalam wujud budi pekerti luhur. Dalam falsafah ajaran hidup
Jawa terdapat istilah piwulang kautaman atau ajaran-ajaran kebajikan sebagai
sumber ajaran keutamaan hidup manusia Jawa. Konsepsi ini juga banyak
dipengaruhi oleh pandangan hidup religiusitas masyarakat Jawa. Selain itu,
bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakat Jawa kurang lebih merupakan refleksi
dari konsepsi manusia dan lingkungannya. Dominannya pola-pola hubungan yang
menekankan keselarasan atau harmonisasi, serta keinginan untuk menjauhkan
konflik secara terbuka, merupakan refleksi langsung dari konsepsi keteraturan
lingkungan yang terkoordinasikan (Wanto et al. 1996:90).
Masyarakat Jawa memiliki banyak simbol kebudayaan yang masih terjaga
eksistensinya. Simbolisme budaya Jawa lain yang erat kaitannya dengan petani
tembakau ialah ritual slametan among tebal. Upacara among tebal dilakukan
sebelum penanaman bibit hari pertama. Ritual among tebal merupakan suatu
ritual doa untuk menghormati jasa Ki Ageng Makukuhan, seorang ulama yang
dianggap para petani tembakau sebagai tokoh pembawa bibit tembakau pertama
kali di lereng gunung Sumbing-Sindoro-Prau (Brata, 2012:3). Petani tembakau
mengundang anggota keluarga, teman, tetangga, sekaligus para buruh tani yang
membantunya, pergi ke ladang untuk memanjatkan doa-doa disana.
Tumpeng dan lauk pauk yang lengkap menjadi perangkat terpenting dalam
ritual ini. Setidaknya ada empat jenis tumpeng yang disajikan yaitu tumpeng ungu
sebagai penghormatan terhadap KI Ageng Makukuhan yang senang berpakaian
serba ungu, tumpeng putih mewakili permohonan keselamatan penanaman
tembakau beserta segenap keluarga petani, tumpeng kuning sebagai permohonan
diberikannya hati dan pikiran jernih serta melambangkan harapan dan optimisme
petani tembakau, lalu tumpeng tulak (tolak balak) sebagai perlambang doa agar
petani dijauhkan dari bencana, marabahaya, dan berbagai jenis hambatan pada
saat berlangsungnya musim tembakau. Pelengkap lain yang juga ada disana yaitu
buah-buahan seperti salak, ketimun, bengkuang, jambu, dan pisang. Semuanya
disantap bersama-sama sesaat setelah doa selesai dipanjatkan oleh tokoh
masyarakat yang ditunjuk petani. Sama halnya dengan ritual Dewi Sri, intinya
slametan ini ditujukan sebagai bentuk rasa syukur serta panjatan doa agar musim
tembakau kala itu memberikan berkah nyata bagi petani. Doa sebagai simbol
harapan petani akan tingginya harga tembakau, serta kepastian bahwa pabrik
rokok akan membeli semua hasil panen tembakau petani.
Multinational Coorporation: Mengancam Kedaulatan Pertanian Tembakau
Indonesia
Tembakau menjadi sebuah dilema bagi negara-negara pengahasil utamanya
termasuk Indonesia karena selain menjadi komoditas yang mampu memberikan
dampak ekonomi besar bagi negara, tembakau dan rokok saat ini dianggap
sebagai musuh utama dunia kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir, marak
13
beredar kampanye anti rokok dan anti tembakau yang disuarakan ke seluruh
penjuru negeri. Rokok dan tembakau dianggap sebagai salah satu pembunuh
utama manusia karena kandungan racun yang ada di dalamnya. Sahih atau
tidaknya dalih kesehatan tersebut masyarakat luas terlanjur telah
mempercayainya. Namun muncul beberapa indikasi bahwa kampanye tersebut
merupakan alat perang bisnis-atau lebih tepatnya selingkuh-antara perusahaan
rokok global dengan industri farmasi yang mengerucut pada akumulasi modal
imperium kapitalis global Rockefeller-Morgan dan Amerika Serikat dengan
melibatkan berbagai lembaga internasional maupun nasional. Melalui ketentuan
Internasional tentang pengendalian tembakau yaitu The Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC), kedua pihak tersebut menginjeksikan
kepentingannya untuk meraup laba sebanyak-banyaknya dari tembakau.
Melalui FCTC, perusahaan-perusahaan farmasi meletakkan kepentingannya
atas penjualan produk pengganti rokok berupa Nicotine Replacement Theraphy
(NRT) seperti permen karet nikotin, koyok transdermal, semprot hidung, koyok
hibritol dan lain sebagainya. Di dalam FCTC terdapat pasal khusus yang
memberikan legitimasi serta landasan hukum bagi kepentingan bisnis NRT,
sebagaimana tercantum dalam pasal 14 di bawah judul “Demand reduction
measures concerning tobacco dependence and cessation” dan pasal 22 yang
merupakan rujukan dari pasal 14.2 (d) konvensi tersebut. Pada acara 17th
Expert
Comitte on The Selection and Use of Essential Medicines di Geneva, 23-27 Maret
2009, pasal 14 FCT dicantumkan dalam Proposal for Inclusion of Nicotine
Replacement Therapy in The WHO Model List of Essential Medicine. Dua jenis
NRT yaitu Transdermal Patches (koyok transdermal) dan Chewing Gums
(permen karet) akhirnya dimasukkan dalam WHO Model List of Essential
Medicine. Dengan adanya penegsahan tersebut, NRT secara resmi diakui WHO
sebagai obat-obatan esensial untuk digunakan oleh negara-negara yang
meratifikasi FCTC dalam mengeimplementasikan pasal 14 FCTC (DM, Ary, dan
Harlan, 2011:133).
Gambar 1. Gambaran Konsolidasi Industri Tembakau dan Industri Farmasi
Rockefeller-Morgan
Rockefeller-Morgan &
Amerika Serikat
Industri Famasi
Pecahan IG Faben dan “The
Drug Trust”
Industri Tembakau Pecahan American Tobacco
Company (Termasuk Philip
Morris dan BAT)
Organisasi Pemerintahan
Internasional dan Organisasi
Non Pemerintahan
International (Terutama
WHO)
Akumulasi Laba dan
Penguasaan Industri
Tembakau Global
14
FCTC yang menjadi tombak utama guna menentang keberadaan tembakau
dan rokok bagi berbagai lembaga nasional maupun internasional, tampak menjadi
kontradiktif untuk imperium industri tembakau Rockefeller-Morgan. Namun
secara lebih rinci, FCTC juga memberikan manfaat bagi perusahaan-perusahaan
rokok multinasional dalam usaha pembentukan modal baru melalui ekspansi
global. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan FCTC yang membatasi
gerak industri tembakau dan rokok melalui pajak, hambatan tarif dan non tarif,
standarisasi produk, sponsorship dan iklan, juga perlindungan dari paparan asap
rokok. Secara sederhana hubungan saling menguntungkan antara industri farmasi
dan industri tembakau dibawah kendali Rockefeller-Morgan adalah sebagai
berikut: melalui FCTC perusahaan farmasi multinasional menetapkan suatu
ketentuan standarisasi international produk olahan tembakau dan sekaligus
berjualan produk NRT. Perusahaan tembakau skala kecil-menengah di negara
yang meratifikasi FCTC akan secara otomatis tereliminasi dari peta persaingan
industri tembakau dikarenakan mereka tidak dapat memenuhi ketentuan
standarisasi tersebut. Di sisi lain, standarisasi ini juga akan membuka pangsa
pasar baru bagi perusahaan tembakau multinasional baik melalui merger maupun
akuisisi. Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga mengupayakan pengendalian
keberadaan tembakau dan rokok melalui beberapa instrumen hukum, yang terbaru
adalah Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012). Dalam PP
109/2012, dalih kesehatan masih menjadi senjata untuk memojokkan tembakau
dan rokok yang secara tidak langsung juga menyudutkan keberadaan petani
tembakau. Maka dari itu, keresahan petani tembakaupun semakin bertambah
dengan adanya PP 109/2012. Kemudian muncul berbagai pemihakan dari banyak
kalangan terhadap nasib petani tembakau, yang menilai terbitnya PP 109/2012
senyatanya akan mampu memberikan dampak besar pada eksistensi kretek
sebagai warisan budaya bangsa, kedaulatan pertanian tembakau nasional, dan
eksistensi petani tembakau itu sendiri.
Refleksi
Uraian pada bagian ini menjelaskan data kebudayaan penelitian etnografi
berupa data sosial, ekonomi, serta budaya dalam konteks ketergantungan yang
dialami petani tembakau. Potensi ketergantungan petani tembakau muncul pada
dua ranah yaitu ranah budidaya serta ranah pasca panen. Dari uraian tersebut pula
peneliti membagi dua bentuk potensi ketergantungan yaitu ketergantungan
bersifat global dan ketergantungan bersifat lokal. Thesis teori ketergantungan
menitikberatkan pada fokus pengalihan surplus ekonomi dari suatu negara ke
beberapa pihak (baca: negara maju dan perusahaan multinasional) atau dengan
kata lain ketergantungan tersebut bersifat global. Namun dalam penelitian ini akan
dipahami pula bahwa ketergantungan global juga mampu memunculkan potensi
ketergantungan yang bersifat lokal. Ketergantungan petani yang mengarah pada
mekanisme pembentukan ketergantungan dari negara maju dan perusahaan
multinasional, secara transformasional akan mampu mempengaruhi keadaan yang
bersifat indigeneous atau kelokalan karena keterlibatan masyarakat lokal dalam
beberapa bentuk interaksi sosial di lingkup usaha pertanian dan perdagangan
tembakau.
Terdapat sebuah desain baik dari ranah ilmu pengetahuan maupun teknis
ekonomi-pertanian yang berpotensi membentuk sebuah pola ketergantungan
petani. Desain ketergantungan tersebut terlihat dari konsep net farm income
15
maupun pengetahuan teknis budidaya pertanian yang bersifat intensif. Dalam
konsep net farm income, baik petani maupun pelaku usaha pertanian lain sengaja
dikreasi untuk menjadi entitas bisnis seutuhnya, yang cenderung mengejar
keuntungan usahatani semaksimal mungkin sebagai tujuan utama. Petani maupun
entitas bisnis pertanian lainnya dengan basis perhitungan keuntungan
menggunakan konsep net farm income, akan cenderung bersikap hati-hati untuk
menghindari potensi kerugian. Pada akhirnya, upaya membentuk keuntungan
harus mendasarkan diri pada pengelolaan dua faktor yang harus berjalan seefektif
dan seefisien mungkin yaitu faktor penerimaan dan faktor biaya. Artinya, selain
harus memperhatikan sisi produktivitas diimbangi dengan kualitas hasil pertanian
yang baik, di sisi lain pelaku usaha pertanian (baca: petani) juga harus mampu
mengelola biaya pertanian secara tepat agar usahataninya menguntungkan.
Ketergantungan global bisa muncul dari sini, yaitu ketika pola produksi
intensif diterapkan dengan menggunakan input pertanian berbasis agrokimia
seperti pupuk kimia dan pestisida kimia, di mana produksi serta pasar input
pertanian tersebut didominasi oleh perusahaan multinasional. Selagi di sisi lain,
perusahaan rokok multinasional yang bertindak sebagai penyerap hasil produk
pertanian juga mampu mendikte harga jual komoditas pertanian di tingkat petani.
Pola pemasaran produk pertanian pun tidak bisa secara langsung mencapai pasar
utama (baca: perusahaan), melainkan harus melalui berbagai rantai pemasaran.
Ketergantungan lokal akan terbentuk ketika masyarakat lokal turut terlibat di
rantai pemasaran produk pertanian ini seperti menjadi tengkulak atau pedagang.
Khususnya di pertanian tembakau ini, di atas telah disinggung peran pedagang
maupun tengkulak selain sebagai rantai pemasaran petani, mereka juga bertindak
sebagai sumber kredit. Kondisi petani yang mempunyai hambatan dalam
mengakses modal pertanian dari pihak lain, memunculkan indikasi bahwa petani
juga mempunyai ketergantungan modal dengan pedagang atau tengkulak tersebut.
Kekuatan pasar yang terbentuk oleh perusahaan-perusahaan besar dengan
kapasitas modal dan teknologi yang kuat, tidak bisa ditandingi oleh kekuatan
petani. Pun demikian ketika menilik ketergantungan lokal, potensi kerugian petani
juga muncul karena kepentingan pihak yang terlibat untuk memperoleh
keuntungan maksimal. Petani mendapat tekanan dari dua pihak, yaitu dari pihak
perusahaan (global) dan dari pihak agen ekonomi di bawahnya (tengkulak atau
pedagang lokal). Posisi petani akhirnya terlemahkan karena keadaan
ketergantungannya. Bahkan ketika petani benar-benar menjadi sosok yang
profitcentris, ketergantungan ini juga mampu berkontribusi untuk kerusakan alam.
Petani, alam, dan pangan sangat erat kaitannya, jika petani salah memperlakukan
alam (penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi dalam jumlah besar), karenanya
keberlangsungan hidup manusia juga bisa terancam.
Namun keadaan ketergantungan tersebut bukan sepenuhnya tidak mampu
untuk diatasi, petani masih memiliki logika kultural yang mungkin mampu
membentuk logika ekonomisnya. Seperti petani tembakau Temanggung ini
contohnya, sebagai manusia Jawa, petani masih memegang teguh aspek-aspek
kesadaran ber-Tuhan dan alam semesta, kesadaran sosial, maupun melalui
simbolistik budaya Jawa yang terdapat dalam konsepsi hidup manusia Jawa.
Logika kultural ini yang kemungkinan besar mampu menjadikan petani Jawa
termasuk petani tembakau Temanggung tetap eksis sebagai petani. Konsepsi
hidup manusia Jawa diajarkan oleh nenek moyang, dan bagi manusia Jawa
16
memegang teguh ajaran kultural adalah sebuah kewajiban. Konsepsi ini
mengandung berbagai nilai-nilai positif yang secara keseluruhan juga mampu
melebur ke dalam aktivitas ekonomis manusia Jawa. Petani tetap eksis karena
mereka mampu membatasi diri di antara kebutuhan bisnis dengan implementasi
ajaran kultural yang melingkupinya. Mungkin bisa saja peleburan dua logika yaitu
logika kultural dengan logika ekonomis petani akan memungkinkan petani untuk
mentas dari ketergantungan (bebas ketergantungan). Pertanyannya, apakah
sebenarnya petani memiliki logika berbeda tersebut? Pada bagian-bagian
selanjutnya, akan diuraikan secara lebih mendalam tentang hal ini.
CELOTEH AKUNTANSI PETANI TEMBAKAU DALAM BELENGGU
KETERGANTUNGAN
Studi Etnografi Petani Tembakau Desa Campurejo
Beberapa hari sebelum dilakukan proses studi etnografi, peneliti terlebih
dahulu melakukan berbagai observasi awal guna mengkaji isu-isu yang akan
diteliti. Salah satunya adalah dengan mengunjungi kerabat peneliti bernama Pak
Karman yang juga berprofesi sebagai petani tembakau di Desa Tuksari,
Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. Peneliti berusaha mendalami
berbagai realita-realita sosial, ekonomi, maupun budaya petani tembakau dengan
cara bercengkrama tentang musim tembakau yang beberapa minggu lagi akan
datang. Peneliti mendapatkan beberapa gambaran awal mengenai situasi
pertembakauan di Kabupaten Temanggung terkait aspek pemasaran, peran
pemerintah daerah, budidaya tembakau, maupun celoteh-celoteh petani tembakau.
Secara umum temuan peneliti menunjukkan bahwa celoteh-celoteh petani
seringkali menyinggung ketergantungannya terhadap pabrik rokok. Celoteh juga
senantiasa berisi harapan-harapan petani tembakau agar pabrik-pabrik rokok yang
menjadi penyerap utama hasil panen tembakau petani memberikan kebijakan yang
memuaskan atas harga dan volume penyerapan tembakau.
Tahap etnografi lanjutan dilakukan peneliti dengan memilih sebuah desa di
lereng Gunung Prau, bernama Desa Campurejo. Desa ini dipilih sebagai lokasi
penelitian dengan mempertimbangkan berbagai masukan yang didapat oleh
peneliti dalam observasi awal penelitian. Peneliti melakukan pemilahan terhadap
karakteristik petani yang mempunyai lahan tegal atau sawah, pemilik lahan atau
sewa lahan, dan luas lahan garapan petani. Peneliti menentukan tiga petani
tembakau sebagai narasumber utama yaitu Pak Wanto (39 tahun), Pak Rochimin
(37 tahun), dan Pak Yanto (45 tahun). Peneliti kemudian mengunjungi kebun
ketiga petani tersebut untuk melakukan studi etnografi selang beberapa hari
kemudian.
Pada umumnya, bertani tembakau dimaknai oleh para petani tembakau
sebagai sebuah manifestasi kebudayaan karena di dalamnya termuat unsur-unsur
sosiologis yang melekat dalam diri petani. Petani menganggap tembakau telah
mendarah daging dalam diri mereka dan telah bertransformasi sebagai jiwa para
petani. Selain itu petani juga menganggap bertani tembakau merupakan warisan
turun temurun yang tetap harus dijaga keberadaannya. Lebih logis lagi, petani
tembakau mengusahakan tembakau di ladang pertaniannya karena nilai ekonomi
dan keuntungan tembakau belum mampu ditandingi oleh komoditas pertanian
lainnya. Hal-hal tersebut yang menyebabkan petani tembakau masih
17
mengusahakan tanaman tembakau sampai saat ini terlepas dari berbagai praktik
merugikan yang kerap mereka alami dalam pemasaran tembakau.
“Menanam tembakau itu memang sudah menjadi jiwanya orang di desa
ini. Susah kalau mau diubah-ubah seperti apapun itu. Soalnya sudah
turun-temurun dari nenek moyang. Sudah lama sekali itu. Yang utama itu
tegal ditanami tembakau. Jika musim tembakau sudah selesai nanti
ditanami palawija atau sayur. Terkadang juga jagung. Seterusnya sampai
nanti musim tembakau dimulai lagi. Tidak banyak hasil dari bertanam
jagung atau palawija. Masih kalah banyak hasil yang didapat dari
bertanam tembakau jika musim benar-benar bagus dan tidak banyak
tekanan yang diterima saja.” Ujar Pak Wanto
“Orang-orang di sini itu tidak bisa lepas dari tembakau. Orang-orang di
sini itu menjadikan tembakau sebagai jiwanya. Mau laku mau tidak yang
penting menanam tembakau. Bagaimanapun hasilnya pasrah saja.
Soalnya kalau dihitung-hitung, keuntungan dari tembakau itu lumayan
banyak. Susah kalau mau diotak-atik bagaimanapun juga seperti
pemerintah itu. Memang sudah mendarah daging tembakau itu untuk
warga sini.” Ujar Pak Rochimin
“Walah, kalau bertani tembakau itu sudah lama sekali, jadi kalau mau
diubah seperti apapun itu susah. Sudah tidak bisa diubah. Soalnya ya
kalau dihitung-hitung bertani tembakau itu hasilnya tidak sedikit. Kalau
pas musimnya bagus lho ya. Musimnya jelek pun tetap menanam
tembakau. Istilahnya itu sudah jadi jatidiri orang sekitar sini tembakau
itu.” Ujar Pak Yanto
Teknik budidaya tembakau para petani tidak jauh berbeda mulai dari
persiapan sampai pada pengolahan hasil panen. Pada masa persiapan awal, ketiga
petani sama-sama mengadakan modal awal usahatani ke juragan (pedagang
pemberi kredit), hanya Pak Yanto saja yang mengadakan modal awal juga melalui
kredit perbankan. Bunga yang ditetapkan oleh juragan sebesar 50% atau disebut
nglimolasi. Meski dirasa beban tersebut membebani, tetapi para petani tetap
mengusahakan kredit ke juragan dengan alasan bahwa kredit juragan bersifat
sangat lunak. Peminjaman kredit ke juragan juga cukup membantu pemasaran
tembakau petani. Berbeda dengan Pak Wanto dan Pak Rochimin, sebenarnya Pak
Yanto tidak menyukai kredit ke juragan karena bunga yang terlalu memberatkan.
Kredit ke juragan dilakukan dalam jumlah yang kecil sebagai tanda pengikat
kerjasama saja.
“Kalau petani atau bakul itu tidak ada Juragan kan nanti susah. Pemasaran
nanti jadi kacau. Jual kesana kemari kan. Kalau ada Juragan kan ada yang
bisa kasih penghasilan terus tiap hari sekalian memberi solusi. Kalau
masalah hasil dipasrahkan sama Gusti Allah saja”. Ujar Pak Wanto
“Sebenarnya tidak begitu suka berutang ke juragan itu. Memang petani di
sini itu mau tidak berhutang kok ya yang memberi utang khawatir tidak
mendapat tembakau. Uang dari juragan kalau tidak diterima itu sungkan,
juga buat jalan pemasaran. Ini yang menjadikan petani kesusahan, karena
18
bunganya kan besar. Nglimolasi itu bagaimana tidak besar, dari pada utang
ke bank bunganya cuma 2% coba.” Ujar Pak Yanto
Modal awal yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengadakan bibit
secara mandiri dan membeli pupuk kandang. Aktivitas produksi selanjutnya
adalah melakukan pengolahan tanah awal dengan melakukan pembersihan lahan
dari sisa panen jagung, pembuatan drainase, pemupukan dasar, dan pembuatan
guludan. Setelah lahan selesai diolah, penanaman bibit tembakau kemudian
dilakukan. Saat masa tanam, tanaman tembakau dilakukan perlakuan perawatan
berupa penyulaman, pemupukan lanjutan, pemangkasan bunga, pemangkasan
tunas, dan pembasmian hama penyakit. Ketika tembakau sudah dirasa cukup
umur, tembakau dipanen dan dilakukan pengolahan hasil. Daun tembakau
difermentasikan terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan perajangan. Ketiga
petani melakukan pengolahan hasil tembakau dan memasarkannya dalam bentuk
tembakau rajangan, bukan tembakau daun basah. Hal ini dikarenakan tembakau
rajangan mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi daripada daun basah. Setelah
perajangan selesai, daun tembakau diberi campuran gula dan ditata dalam rigen
(alat jemur tembakau) untuk kemudian dijemur dibawah terik matahari.
Tabel 3. Tahap Aktivitas Budidaya Tembakau Petani Narasumber Masa Tahap Aktivitas
Persiapan
Pengadaan Bibit Penyemaian bibit mandiri
Pengolahan Lahan Awal
Pembersihan lahan dari sisa panen
jagung/palawija
Perbaikan drainase
Pembaharuan tanah
Pembuatan guludan
Pemupukan dasar
Pra Panen
Penanaman Penanaman Bibit Tembakau
Penyulaman Membersihkan area tanam
Memilah tanaman tembakau laik hidup
Pemeliharaan
Pemupukan Lanjutan I dan II
Penyiangan atau pembersihan lahan
dari gulma
Pemangkasan bunga (topping)
Pemangkasan tunas (suckering)
Penyemprotan pestisida
Panen dan Pasca Panen
Panen Pemetikan
Pengolahan Hasil
Fermentasi
Pencampuran gula
Penganjangan
Penjemuran
Pengemasan
Terkait pemasaran hasil panen, petani mempunyai beberapa pilihan untuk
memasarkan hasil panen tembakaunya yaitu melalui tengkulak, pedagang
perantara, pedagang kecil, pedagang besar, atau langsung ke perwakilan pabrik
perusahaan rokok. Petani tidak bisa langsung memasarkan tembakaunya ke
perusahaan rokok karena meknisme rantai pasar yang ada tidak memungkinkan.
Patokan harga jual tembakau berasal dari harga dasar yang diinformasikan oleh
perusahaan rokok, umunya disebut dengan istilah harga per totol. Totol tembakau
masing-masing perusahaan rokok mempunyai perbedaan istilah namun pada
umumnya bisa dibagi menjadi 9 tingkat, muali dari totol A sampai totol I. Dari
sini petani seringkali dirugikan dengan beberapa ulah nakal pedagang yang
menurunkan harga jual sepihak. Kualitas tembakau menjadi salah satu alasan para
pedagang menekan harga jual tembakau.Selain itu, petani juga dirugikan oleh
beberapa praktik curang yang seringkali dilakukan oleh oknum pedagang seperti
19
medifikasi alat timbang, tidak dihitung comotan atau contoh tembakau sebagai
hak pendapatan petani, penetapan rafaksi mengikuti berat bruto tembakau,
penetapan biaya tumplekan, serta pengangkutan ke gudang pedagang oleh petani. \
“Jadi seperti ini, kalau menurut saya utang ke Juragan itu sebenarnya
petani itu dibodohi. Sekarang kalau misalnya saya petani dan anda
membeli tembakau ke saya, kok kenapa biaya untuk tumplekan, biaya
untuk mengangkut keranjang, dan biaya angkut ke Parakan itu menjadi
beban petani. Itu kan lucu, seharusnya kan itu menjadi tanggungan
Juragan. Terus juga persenan keranjang. Kalau 30 kg diambil 7 kg kalau
40 kg diambil 8 dan kalau 50 kg nanti naik lagi. Kalau saya itu
memotong hasil per keranjang sampai Rp. 70.000. Baik untuk tumplekan,
mobil, dan biaya pengangkutan. Belum lagi nanti comotan contoh itu
tidak dihitung. Habis-habisan petani itu.” Ujar Pak Wanto
“Kalau harga kan patokannya petani cuma di totol itu. Nanti Juragan itu
masih melihat kualitasnya lagi. Seperti tembakau ini aromanya seperti
apa, Swanbin atau Swating. Terus juga kalau dipegang bagaimana, tebal
atau tidak. Banyak sekali pertimbangannya. Juga yang menentukan tetap
pedagang, petani mau ngeyel itu tidak bisa. Cuma nanti pasti ada proses
tawar menawar ya .” Ujar Pak Yanto
Menurut para petani, PT. Bentoel memang selama ini menjadi andalan
pemsaran tembakau bagi mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir
diketahui PT. Bentoel tidak melakukan pembelian tembakau. Bagi petani, mereka
tidak terlalu mempermasalhkan PT. Bentoel melakukan pembelian atau tidak,
mereka akan tetap bertani tembakau meski PT. Bentoel tidak melakukan
pembelian. Petani masih bisa memasarkna hasil panen ke perusahaan rokok lain,
dengan catatan keuntungan yang didapat tidak sebesar ketika PT. Bentoel
melakukan pembelian. Para petani tembakau tidak menganggap usahati tembakau
mereka tergantung pada pembelian PT. Bentoel, hanya saja ketika PT. Bentoel
tidak melakukan pembelian semangat bertani mereka luntur. Segemntasi pasar
kualitas tembakau yang diminta oleh PT. Bentoel adalah tembakau menengah dan
pada umumnya petani Desa Campurejo banyak menghasilkan kualitas tembakau
menengah. PT. Bentoel mampu menyerap tembakau kualitas menengah lebih
banyak daripada perusahaan rokok lain, maka dari itu petani merasa rugi ketika
PT. Bentoel tidak melakukan pembelian. Harga pasar tembakau mengah menjadi
turun di mata perusahaan lain seiring tembakau mereka juga tidak dapat terjual
semuanya.
“Kalau dikatakan tergantung itu tidak. Pengaruhnya itu cuma di
semangat mau menanam tembakau. Soalnya seperti ini, hasil tembakau
itu kan yang paling banyak kualitas tanggung-tanggung, kalau yang
kualitas bagus itu sedikit. Ibaratnya seperti ini, kalau Gudang Garam mau
membeli dengan harga Rp. 100.000/kg terus Bentoel dengan harga Rp.
90.000/kg, lebih baik dimasukkan ke Bentoel. Soalnya tembakau itu
terserap semua, walaupun harganya di bawah harga Gudang Garam. Tapi
kalau pabrik lain kan beda, misalnya kita punya 10 keranjang, terus yang
kena harga Rp. 100.000/kg hanya 5 keranjang, ya yang dibeli cuma 5
20
keranjang saja. Andaikata mau membeli 5 keranjang sisanya, harganya
nanti ditekan sekali. Petani itu kesusahan memang kalau Bentoel tidak
beli” Ujar Pak Wanto
“Sebenarnya tidak berpengaruh informasi Bentoel beli atau tidak, yang
penting tanam tembakau gitu. Jadi kalau Bentoel tidak beli itu susahnya
saya harus belajar lagi. Soalnya kan pasarnya beda. Saya orang Bentoel
nanti masukkan ke Gudang Garam, harus belajar sistemnya Gudang
Garam lagi. Tapi secara keseluruhan itu nyaman jika Bentoel beli.
Soalnya kan daerah sini kebanyakan tembakau sedang. Tidak banyak
tekanan terhadap harga. Belum nanti masuknya susah di pabrik selain
Bentoel itu.” Ujar Pak Rochimin
“Sebenarnya tani itu susah kalau Bentoel tidak beli. Terus mau dijual
kemana tembakau kualitas sedang itu. Kalau masuk pabrik lain itu
terkadang harganya rendah, merugikan. Kalau tidak mau dijual masa
beberapa keranjang tembakau itu mau dirokok sendiri, ya sakit mulutnya.
Sekarang, memang sudah lama menjadi bakul dan saya sudah banyak
tahu, setiap menjual tembakau, petani itu sering dicurangi. Ya mengakali
timbangan, ya menurunkan harga alasannya kebanyakan gula,
kebanyakan campuran tembakau lain. Juga terkadang dibohongi kalau
gudang segera tutup. Tapi kan itu tidak semua Juragan atau tengkulak,
cuma terkadang ada beberapa ya.” Ujar Pak Yanto
Sebagai petani tembakau yang hidup dalam satu lingkup lingkungan sosial
masyarakat Jawa, para petani tembakau mempunyai karakteristik kebudayaan
yang sama pula. Mereka merupakan petani yang mempunyai karakter sosialis,
peduli lingkungan sosial dan budaya, serta sosok yang religius. Hal ini tercermin
dari pemaknaan mereka tentang biaya produksi pertanian. Petani tidak
menghitung biaya makan tenaga kerja sebagai komponen pembebanan biaya
usahatani. Bagi mereka makan bersama buruh tani merupakan wujud dari berbagi
rasa kebersamaan atau brayan. Terlebih lagi bagi Pak Yanto, ia juga seringkali
memberi intensif berupa pakaian dan biaya transportasi bagi buruh tani agar
senantiasa merasa betah bekerja ditempatnya. Di sisi lain, para petani juga masih
memegang erat budaya Jawa turun-temurun yaitu ritual selametan menjelang
masa tanam dan masa panen tiba. Selamaten rutin dan wajib dilakukan sebagai
ajang pemanjatan doa meminta perlindungan kepada Tuhan bagi usahatani
tembakaunya, serta sebagai ajang melestarikan budaya Jawa.
“Kalau selametan itu rutin, wajib. Soalnya apa, kalau tidak mengadakan
selametan hati saya tidak tenang. Takut kalau nanti ladang tidak
memberikan rejeki yang memberkahi. Selametan itu juga untuk
menghormati nenek moyang yang telah mewariskan ladang tembakau
ini. Juga untuk berdoa, apa salahnya melestarikan budaya Jawa yang
memberikan kebaikan lah istilahnya” Ujar Pak Wanto
“Selametan kalau orang di sini harus. Ya itu untuk berdoa agar nanti
selalu diberi perlindungan oleh Gusti Allah, dan diberikan musim
tembakau yang bagus” Ujar Pak Rochimin
“Kalau orang sini hajatan atau selametan itu harus dilakukan. Kan itu
sudah menjadi tradisi nenek moyang. Kalau tidak melakukan selametan
21
nanti pada takut hasilnya tidak bagus. Selain itu kan juga untuk
melestarikan kebudayaan jawa ya, soalnya kan kita orang Jawa. Kalau
masalah agama dan ibadah kan intinya selametan itu sama-sama untuk
berdoa. Selain itu juga untuk mensyukuri nikmat dari Gusti Allah.”
Ujar Pak Yanto
Analisis Data Etnografi
Dalam analisis ini, terdapat 13 istilah pencakup yang membentuk
taksonomi-taksonomi terpenting. Taksonomi tersebut ditentukan berdasarkan tiga
domain yang melingkupi ketergantungan petani yaitu ketergantungan global,
ketergantungan lokal, dan bebas ketergantungan. Sedangkan komponen yang
melingkupi taksonomi ketergantungan petani adalah akuntansi ketergantungan
pasar pertanian, akuntansi ketergantungan produksi pertanian, dan celoteh
kebudayaan petani tembakau (dimensi sosio-kultural-religiusitas; dijelaskan lebih
lanjut di bagian refleksi). Semua lingkup komponen analisis membentuk dua tema
besar penelitian yaitu tema ekonomi dan tema kebudayaan. Analisis data etnografi
ini menjadi acuan penulisan etnografi pada bagian-bagian selanjutnya.
Tabel 4. Analisis Data Etnografi
Analisis
Domain
Analisis Taksonomi Analisis
Komponen
Analisis
Tema Istilah Tercakup Istilah Pencakup
Ketergantungan Global
Tidak terlalu susah
Semua jenis tembakau dibeli Hasil panen banyak kualitas
menengah
Pabrik lain jarang beli tembakau
menengah
Menjual ke PT.
Bentoel
Akuntansi
Ketergantungan
Pasar Pertanian
Ekonomi
Mengangkat penghasilan petani
Petani senang Petani semangat
Petani merasa aman
PT. Bentoel
melakukan pembelian
Pabrik lain minim pesaing
Harga turun/tertekan dipabrik lain Kesusahan mencari pasar baru
Petani merasa kecewa
Semangat petani luntur Mempelajari sistem pembelian pabrik lain
PT. Bentoel tidak melakukan
pembelian
Pra Panen
Penyemaian Bibit Pengolahan Tanah
Pencangkulan
Pemupukan dasar Pembuatan Guludan
Penanaman
Penyulaman Pemeliharaan
Pemupukan Lanjutan
Penyiangan Pemangkasan bunga
Pemangkasan tunas
Pemberantasan hama dan penyakit Panen dan Pasca Panen
Pemetikan
Fermentasi Perajangan
Pencampuran Gula
Penganjangan Penjemuran
Pengemasan
Aktivitas produksi
pertanian
tembakau Akuntansi Ketergantungan
Produksi
Pertanian
Sewa lahan Tenaga Kerja
Pupuk Kandang
Pupuk Kimia Pestisida
Komponen biaya produksi
22
Keranjang
Rigen (Alat jemur) Mesin perajang
Alat perajang
Alat semprot Pengadaan bibit
Tempat fermentasi
Gula Biaya Selametan
Beban Bunga
Letak Tanah : Lamuk
Lamsi
Swanbin Swating
Tyong Gang
Twalo
Paksi
Tegal Banyon/Sawah
Tekstur warna atau totol tembakau rajangan:
Hijau (A)
Hijau kekuningan (A+) Kuning kehijauan (B)
Kuning sedikit hijau (B+)
Kuning (C) Kuning bersih agak merah (C+)
Kuning kemerahan (D)
Merah bersih agak coklat sedikit hitam (E)
Merah kecoklatan hingga hitam,
Srinthil (F, G, H, I)
Indikator
penilaian kualitas
dan penetapan harga jual
tembakau
Ketergantungan Lokal
Timbang bayar
Bagi hasil
Jual beli Persenan
Sistem
pembayaran
Akuntansi
Ketergantungan
Pasar Pertanian
Tani Ton (Petani Tembakau)
Juragan
Bakul (Pedagang atau Tengkulak Perantara)
Gaok (Pedagang Kecil) Pedagang menengah
Pedagang besar
Opkoper (Perwakilan Pabrik) Grader
Pabrik rokok
Pelaku rantai pasar tembakau
Modifikasi alat timbang
Harga diturunkan karena : Banyak campuran gula
Banyak campuran tembakau lain
Isu gudang segera tutup Comotan (contoh) tidak dihitung
Pengurangan berat keranjang
mengikuti berat bruto Pembebanan biaya tumplekan dan
biaya angkut penjualan
Nglimolasi (sistem bunga 50%)
Praktik yang
merugikan petani
Mendapat kepastian pemasaran
Menjual kesetiaan dan kepercayaan
kepada juragan Kegiatan sampingan
Persenan sebagai Tambahan
penghasilan Mensejahterakan keluarga
Petani sekaligus
Bakul
Bebas
Ketergantungan
Berhemat
Arisan Macul / Arisan Mencangkul
Teliti menentukan pengeluaran Tenaga kerja perempuan
Brayan Royal (Murah hati)
Kuat iman
Tidak jauh dari Tuhan
Memperoleh
pendapatan yang optimal
Sosio-Kultural Budaya
23
Tembakau sebagai Jiwa/Jati diri petani
Warisan turun temurun
Tembakau sudah mendarah daging Penghasilan dari tembakau belum ada
yang menandingi
Hasil jagung dan palawija sedikit
Penyebab Bertani
Tembakau
Ladang terjaga dari hal-hal buruk
Takut hasil tidak bagus
Nguri-uri (melestarikan) kebudayaan Jawa
Status sebagai orang Jawa Selametan
Panjatan doa Meminta keselamatan
Religiusitas
Percaya pada tokoh (APTI, Pak Ganjar)
Percaya kepada orang yang dituakan
Optimistis karena mimpi Bentuk kepasrahan
Sosio-Kultural
Tawakal
Pasrah
Banyak berdoa
Religiusitas
Tabel 5. Dimensi Kontras Sumber Modal Usahatani
Petani Juragan Bank Jumlah
Pak Wanto √ - Rp. 10.000.000
Pak Rochimin √ - Rp. 5.000.000
Pak Yanto √ √ Rp. 15.000.000
Tabel 6. Dimensi Kontras Komponen Biaya yang Dihitung
Petani
Komponen Biaya
Sewa
Lahan
Tenaga
Kerja Pupuk Obat
Pra
Panen Bibit
Pak Wanto - √ √ √ √ √
Pak
Rochimin √ √ √ √ √ √
Pak Yanto - √ √ √ √ √
Tabel 7. Dimensi Kontras Penggunaan Jenis Pupuk
Petani Pupuk Urea Pupuk Za Pupuk Phonska
Pak Wanto - √ -
Pak Rochimin - √ √
Pak Yanto √ √ -
Tabel 8. Dimensi Kontras Jumlah Hari Kerja dan Penggunaan Tenaga Kerja
Petani Pak Wanto Pak Rochimin Pak Yanto
Pra Panen
Tenaga Kerja Keluarga 15 orang 26 orang 21 orang
Buruh Tani 37 orang - 20 orang
Total Hari Kerja 66 hari 50 hari 53 hari
Pasca Panen
Tenaga Kerja Keluarga 2 orang 3 orang -
Buruh Tani 4 orang 2 orang 5 orang
Total Hari Kerja 45 hari 30 hari 30 hari
24
Tabel 9. Dimensi Kontras Aset Produksi yang Dimiliki
Petani Tanah Alat Rajang
Tradisional
Mesin
Rajang Alat Semprot
Pak Wanto √ - √ √
Pak Rochimin - √ - -
Pak Yanto √ - √ √
Refleksi
Secara garis besar, keadaan ketergantungan sangat dipengaruhi oleh
aktivitas pertanian tembakau yang ditujukan untuk mencapai net farm income
terbaik. Dari sini dapat diketahui bahwa ketergantungan petani baik yang bersifat
global maupun lokal berada dalam dua ranah akuntansi yaitu ranah produksi dan
ranah pasar. Ranah produksi meliputi aktivitas teknis budidaya atau pola produksi
tembakau, perhitungan harga pokok produksi, serta hubungan antara petani
dengan juragan dalam pengadaan modal awal. Aspek-aspek tersebut mempunyai
keterkaitan antara satu dengan lainnya dan pada akhirnya nanti akan membentuk
faktor-faktor ketergantungan yang lebih spesifik seperti ketergantungan petani
pada pestisida, ketergantungan pada pupuk kimia, maupun ketergantungan petani
pada modal juragan.
Aspek ketergantungan produksi memiliki hubungan saling mempengaruhi
dengan bentuk ketergantungan lain pada ranah pasar yaitu ketergantungan harga
jual tembakau. Pembentukan harga jual menjadi fokus utama ketergantungan pada
ranah pasar karena peran harga jual yang sangat berpengaruh pada penerimaan
petani. Harga jual bergantung pada faktor kualitas tembakau, sedangkan petani-
petani tersebut tidak bisa mendapatkan harga tertinggi karena tembakau yang
dihasilkan tidak mampu mencapai kualitas tertinggi pula. Letak tanah Swanbin
hanya memungkinkan petani untuk menghasilkan kualitas tembakau menengah,
karenanya mereka akan mengatur pola produksi sedemikian rupa, minimal demi
menunjang produktivitas yang menguntungkan. Karena hal tersebut pula, petani
akan sangat mengharapkan PT. Bentoel melakukan pembelian. Meski harga yang
ditawarkan oleh PT. Bentoel untuk tembakau kualitas menengah lebih rendah dari
perusahaan rokok lain, namun PT. Bentoel seringkali mau untuk membeli semua
tembakau petani. PT. Bentoel melakukan pembelian atau tidak, petani akan tetap
bertani tembakau karena masih ada pasar lain yang mau membeli tembakau
petani. Hanya saja, kemungkinan besar petani akan mendapatkan keuntungan
yang lebih sedikit.
Faktor lain yang akan mempengaruhi harga jual adalah pola pemasaran
tembakau dari petani ke perusahaan rokok. Meskipun disebut oleh Padmo dan
Djatmiko (1991:71) bahwa pola pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung
ini sederhana, namun pola tersebut sangat efektif untuk mendistribusikan sebagian
besar laba ke perusahaan rokok dan pedagang, serta di sisi lain mengesampingkan
atau bahkan memarginalkan pendapatan petani. Pola pemasaran tembakau
melibatkan beberapa agen ekonomi seperti tengkulak, pedagang kecil, pedagang
besar, ataupun perwakilan pabrik yang secara struktural berada di atas petani.
Dampaknya adalah harga jual tembakau ditingkat petani akan sangat rentan
terhadap kooptasi kepentingan yang berlebihan oleh para agen ekonomi tersebut.
Mungkin saja keuntungan akan sebagian besar dinikmati oleh pedagang, dan hak-
hak petani yang termarginalkan “membengkak” pada rantai pemasaran di tingkat
25
pedagang atau tengkulak. Karenanya dibutuhkan suatu konsep pembentukan
harga jual yang benar-benar bisa melindungi kepentingan petani tembakau sebagai
core-business pertanian.
Secara keseluruhan, aktivitas manajerial pertanian Pak Wanto, Pak
Rochimin, dan Pak Yanto tidak jauh berbeda. Mereka menilai berbagai komponen
untuk menghitung besarnya biaya produksi berdasarkan pada uang tunai yang
mereka keluarkan. Beberapa komponen biaya yang diperhitungkan adalah biaya
pengadaan bibit, biaya tenaga kerja, biaya pengadaan pupuk dan pestisida, dan
biaya persiapan panen. Sebagai petani tembakau Jawa, mereka memiliki karakter
perilaku sosial budaya yang sama. Ketiganya merupakan sosok-sosok petani yang
religius, sosialis, dan berwawasan budaya sangat kuat. Tentu karakter tersebut
selaras dengan ajaran tentang kebudayaan Jawa yang melekat pada diri mereka.
Bahwa selayaknya manusia Jawa harus lebih dulu mengedepankan kepentingan
orang lain, ber-tepa slira, nerima ing pandum, dan lain sebagainya.
Pola pikir serta karakter kultural petani tersebut melebur menjadi satu
dengan pola pikir ekonomisnya dalam beberapa aspek seperti tidak dihitungnya
biaya makan tenaga kerja karena dianggap sebagai bentuk rasa kebersamaan
(brayan), pemberian insentif pakaian dan transportasi bagi tenaga kerja,
melakukan selametan yang secara simbolis mempunyai nilai value added bagi
aset petani, serta inisiatif cerdas dari para petani Desa Campurejo untuk
mengadakan arisan mencangkul, meski sekarang arisan tersebut sudah jarang
ditemui. Tampaknya dimensi kultural inilah yang mampu membedakan antara
petani dengan individu profitcentris lainnya. Pasalnya, gerak petani untuk juga
mengejar laba sebagai tujuan utama akan terbatasi dengan pola pikir yang
terbentuk jauh sebelum mereka berkutat dengan pertanian tembakau. Dalam
pengertian lain, dimensi kultural yang bebas dari ketergantungan ini berpotensi
untuk mengentaskan petani dari keadaan ketergantungan. Berbagai bentuk
ketergantungan petani sejatinya tidak memberikan kebaikan bagi petani itu
sendiri, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam pertanian. Tapi hal tersebut
akan terbantahkan jika pola pikir petani tembakau Jawa masih berada dalam
fitrahnya.
Akuntansi merangkum serta melingkupi segala aspek dalam ekonomi
pertanian. Akuntansi juga mempunyai peran dalam pembentukan ketergantungan
petani. Peran apa saja yang sebenarnya dimainkan oleh akuntansi konvensional
dan konsep net farm income konvensional dalam keadaan ketergantungan ini?
Timbul pertanyaan pula dari sini, bagaimana sebenarnya hubungan antara
akuntansi dengan ekonomi petani? Serta konsep net farm income seperti apa yang
mampu memihak keberadaan petani? Untuk lebih mengkongkritkan pembahasan
dalam bab-bab selanjutnya, ketergantungan petani akan difokuskan dalam
beberapa hal. Pertama, ketergantungan bersifat global petani pada pola produksi
pertanian intensif. Ketergantungan tersebut dikatakan global mengingat pertanian
intensif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang di dalamnya termuat
unsur-unsur pro eksploitasi laba perusahaan multinasional. Pertanian intensif yang
diterapkan para petani tersebut juga mengakibatkan munculnya ketergantungan
global petani pada input pertanian berupa bibit serta pestisida kimia dan
ketergantungan lokal petani pada pupuk kimia.
Meskipun bibit diusahakan petani secara mandiri, namun masih terdapat
indikasi petani mengalami ketergantungan global pada bibit unggul karena
26
pengaruh pasar yang menginginkan kualitas tembakau terbaik. Ketergantungan
petani pada pestisida kimia dikatakan bersifat global karena produsen pestisida
yang digunakan petani adalah anak perusahaan multinasional yaitu Dow
Agroscience dan Bayer AG. Di sub bab 5.2 telah dijelaskan bahwa
ketergantungan yang bersifat lokal muncul karena keterlibatan unsur kelokalan
dalam pertanian tembakau. Petani dikatakan mempunyai ketergantungan lokal
pada pengadaan pupuk kimia karena produsen jenis pupuk kimia yang digunakan
petani adalah perusahaan BUMN Petrokimia Gresik.
Kedua, ketergantungan global petani pada harga jual tembakau.
Ketergantungan ini dikatakan global karena harga jual yang berlaku berada
ditangan perusahaan rokok penyerap tembakau petani. Lebih spesifik dikatakan
global mengingat salah satu perusahaan rokok yang menjadi objek studi kasus
adalah PT. Bentoel International Investama selaku anak perusahaan multinasional
British American Tobacco. Pasar tembakau juga memunculkan dua perusahaan
rokok nasional sebagai alternatif pemasaran tembakau petani narasumber yaitu
PT. Gudang Garam dan PT. Djarum, karenanya ketergantungan pasar petani pada
dua perusahaan rokok tersebut dikatakan sebagai ketergantungan lokal.
Ketiga, ketergantungan lokal petani tembakau pada pola pemasaran
tembakau. Pola pemasaran tembakau di Kabupaten Temanggung banyak
melibatkan masyarakat lokal sebagai rantai pasar pelaku pertembakauan. Praktik-
praktik perdagangan pada rantai pasar tersebut memunculkan satu bentuk
ketergantungan yang lebih spesifik yaitu ketergantungan petani pada pengadaan
modal melalui juragan. Keempat, aspek bebas ketergantungan berdasarkan tema-
tema budaya yang melingkupi diri petani tembakau. Aspek kebudayaan ini
mempunyai esensi bebas ketergantungan karena nilai-nilai kebudayaan yang
diperlihatkan petani tembakau murni berasal dari dalam nurani petani tembakau
sebagai manusia Jawa. Pada akhirnya, nilai-nilai kebudayan tersebut juga mampu
membentuk karakter maupun pola pikir ekonomis khas petani tembakau Jawa.
Aspek peleburan nilai kebudayaan ke dalam ekonomi petani tembakau bisa
memunculkan peluang untuk petani keluar dari zona ketergantungan.
MEMAKNAI AKUNTANSI KETERGANTUNGAN PRODUKSI PETANI
TEMBAKAU
Ketergantungan : Selayang Pandang Pembangunan Pertanian Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi ajang ekploitasi bisnis
dalam bidang pertanian. Melimpahnya sumber daya pertanian yang tersedia,
didukung dengan rapuhnya sistem maupun paradigma pembangunan ekonomi
Indonesia menjadi ketertarikan sendiri bagi negara maju maupun perusahaan
multinasional untuk berinvestasi (baca: eksploitasi). Globalisasi yang sepaket
dengan industrialisasi menjadi perangkap jitu untuk memenjarakan pertanian
Indonesia dalam cakar-cakar ekploitasi. Globalisasi selalu menawarkan perbaikan
dalam segala hal terkait pembangunan ekonomi masa depan dengan paket-paket
kebijakan berparadigma modernisme. Seolah memahaminya dengan sangat baik
akan pengaruh globalisasi, pembangunan pertanian Indonesia pun didasarkan
pada paradigma modernisme. Indonesia telah lama menerapkan paradigma
pembangunan pertanian modern-industrialis. Meski mungkin bukan yang
pertama, namun Revolusi Hijau layak dipandang sebagai awal pembangunan
pertanian modern yang memberi dampak besar kepada pertanian Indonesia ke
27
depannya. Semangat Revolusi Hijau pada masa orde baru tersebut ialah
meningkatkan pertumbuhan disektor pangan atau swasembada pangan. Gerakan
tersebut ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca
dan alam, digantikan dengan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya
meningkatkan produksi pangan. Paket program Revolusi Hijau dijalankan melalui
BIMAS (Bimbingan Massal), yang kemudian beralih menjadi INMAS
(Intensifikasi Massal).
Paket program BIMAS dan INMAS yang telah dijalankan selama puluhan
tahun tersebut kemudian mampu membentuk sebuah kebiasaan, bahkan budaya
baru bagi pertanian Indonesia. Pengejaran hasil produksi dalam skala masif telah
menyeragamkan pola produksi petani. Petani menjadi terbiasa dengan paket
program yang telah dibuat oleh pemerintah. Revolusi Hijau mampu mengubah
mindset petani tentang pola produksi pertanian. Bahwa jika ingin mencapai
produktifitas tinggi maka produksi pertanian haruslah menggunakan bibit unggul
bersertifikat, pupuk kimia agar tanaman subur, serta pestisida sebagai pembasmi
hama dan penyakit. Layaknya sebagai klimaks dari sebuah kebiasaan, pada
akhirnya petani tergantung dengan industri di tiga input produksi pertanian
tersebut. Revolusi Hijau memang mendatangkan tepuk tangan dari FAO ketika
pada tahun 1985 hingga 1989 Indonesia mampu mencapai swasembada beras.
Namun tak disangka, tepuk tangan tersebut berlanjut sampai saat ini bahkan juga
diiringi gelak tawa dalam topeng berbeda. Topeng lancarnya agenda
“pembodohan” petani dan pertanian Indonesia.
Di sisi lain, Revolusi Hijau juga mampu meruntuhkan struktur organisasi
dan pengetahuan tradisional para petani. Keragaman hayati dan varietas pangan
yang dihasilkan petani tereduksi jumlahnya dari sebelumnya 100 varietas bibit
padi lokal, kemudian hanya tersisa 25 varietas saja (Puspitosari, 2009). Revolusi
Hijau yang dilaksanakan dalam struktur pertanian yang tidak merata dan di bawah
ketentuan korporasi-korporasi internasional di bidang kimia serta biologi ini, telah
memperburuk distribusi pendapatan, pengangguran dari tenaga-tenaga kerja
pedesaan, diskriminasi terhadap perempuan, serta perusakan terhadap lingkungan
(Wahono dan Thomas, 2000). Maka dari itu, tidaklah terlalu berlebihan jika
Revolusi Hijau dikatakan sebagai biang dari ketergantungan petani dengan pupuk
kimia, pestisida, dan bibit buatan korporasi sampai saat ini.
Era program Revolusi Hijau berakhir pada periode 1990-an, ketika muncul
sistem agribisnis sebagai paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia.
Pendekatan agribisnis mengasumsikan bahwa aktivitas pertanian adalah sebuah
sistem yang di dalamnya bekerja dan berinteraksi sejumlah subsistem. Sistem
tersebut berisi kegiatan produksi pertanian itu sendiri (farm activity), ditambah
dengan sejumlah off-farm activity seperti pengolahan hasil, pemasaran hasil,
penyediaan sarana produksi, dan perbaikan infrastruktur.
Tujuan dari sistem agribisnis yaitu peningkatan produktifitas pertanian
diiringi dengan peningkatan nilai tambah pertanian, distribusi pendapatan yang
merata, serta mewujudkan ketahanan pangan. Maka dari itu, pembangunan
pertanian melalui sistem agribisnis masih menempatkan paradigma pertanian
industrial-modern untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pertanian dalam lima
subsistem tersebut. Sayangnya, tujuan dari agribisnis yang begitu mulia tersebut
pada akhirnya pula akan menempatkan perusahaan-perusahaan swasta sebagai
pelaku utama agribisnis. Dengan kekuatan modal dan penelitian yang dimiliki,
28
perusahaan swasta terutama milik asing akan mampu menyediakan berbagai
kebutuhan teknologi pertanian, seiring perubahan kebutuhan produksi pertanian
dari tradisional ke modern. Perusahaan swasta akan lebih mampu untuk
menghasilkan sarana produksi pertanian seperti benih-benih unggul, pupuk
kimiawi, obat-obat tanaman, maupun produk pertanian itu sendiri baik yang
berlaku sebagai komoditas atau produk pertanian yang mempunyai nilai tambah.
Tidak sampai di ranah hulu saja, perusahaan swasta juga mampu menguasai ranah
hilir pertanian seperti distribusi maupun pemasaran produk pertanian hingga
tingkat eceran.
Sistem agribisnis pada akhirnya pula menempatkan sebuah perusahaan
agribisnis terutama yang bergerak di bidang industri pengolahan pangan untuk
berperan ganda yaitu sebagai pasar sekaligus manajer utama bagi produksi
usahatani petani. Melalui standarisasi produk pertanian yang mereka tentukan,
sebuah perusahaan bisa mendikte pola produksi petani maupun harga jual yang
ditetapkan, terutama untuk komoditas pertanian musiman. Petani akan berusaha
memenuhi ekspektasi pasar yang pada gilirannya akan memberikan serangkaian
ketergantungan lain kepada petani. Sedangkan pasar tersebut hanya terbentuk dari
beberapa perusahaan saja, didukung dengan tidak adanya intervensi pemerintah
untuk mengatur pasar. Hasilnya sudah jelas bahwa petani akan selalu berada “di
bawah ketiak” perusahaan. Perusahaan bahkan bisa saja mengatur produksi petani
secara langsung melalui ikatan kemitraan misalnya. Petani tidak saja mendapat
ruang gerak terbatas dalam produksi pertanian, karena menganut ketentuan
perusahaan yang ingin mengejar produktifitas tinggi, petani bisa juga akan
dituduh sebagai perusak lingkungan.
Baik Revolusi Hijau maupun agribisnis, jika pembangunan pertanian masih
berada pada konsep modern-industrial, berbagai aspek yang cukup penting seperti
pemerataan distribusi pendapatan, kemandirian petani, unsur kekayaan intelektual,
maupun perwujudan kedaulatan pangan akan menemui jalan terjal. Konsep yang
ditawarkan dalam Revolusi Hijau maupun agribisnis sangat bertolak belakang
dengan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menekankan kemandirian negara
mewujudkan keterjaminan pangan melalui kebijakan, pengaturan, penguasaan,
dan pengelolaan sumber daya, produksi, serta konsumsi pangan nasional yang
terlindungi dari kepentingan pasar global. Sementara itu, kedua sistem
pembangunan pertanian tersebut lebih cenderung untuk berupaya mencapai
ketahanan pangan, dengan menekankan pencapaian keterjaminan pangan berdasar
ketergantungan pada pasar liberal global ala WTO, tanpa peduli bagaimana dan di
mana pangan diproduksi.
Sistem pembangunan pertanian bebasis modern-industrial juga mampu
merubah pola pikir petani mengenai tujuan utama kegiatan pertaniannya. Kegiatan
bercocok tanam untuk menghasilkan produk pangan bernama pertanian ini secara
esensial ditujukan untuk kepentingan subsisten. Namun pertanian juga
mempunyai sebuah peluang akumulasi kekayaan bagi negara. Pertanian harus
dikelola oleh negara karena sejatinya tanah pertanian berada dalam wilayah
sebuah negara. Pengelolaan pertanian seharusnya mempunyai pendekatan yang
tepat agar tercapai tujuan yang dibarengi dengan kemakmuran. Pemerintah harus
pandai mengelola serta memilah pertanian berbasis komoditas dengan pertanian
subsisten. Tetapi, pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan malah
mencampuradukkan dua komponen tersebut menjadi satu. Akibatnya, petani yang
29
menjadi pelaku utama pertanian-dan dalam jumlahnya yang besar-, telah
memahami-yang seolah menganut pemerintah-bahwa tujuan satu-satunya
pertanian adalah untuk bisnis, tidak untuk yang lain. Sebuah kenyataan lain yang
tidak bisa dipungkiri akan melahirkan ketergantungan petani, bukan kemandirian
petani maupun kemandiran pertanian itu sendiri.
Net Farm Income dan Ketergantungan Petani Tembakau pada
Pupuk/Pestisida Kimia.
Jika melihat dari kacamata pertanian sebagai suatu usaha memenuhi net
farm income maksimal, maka bisa dikatakan bahwa pola produksi yang
diterapkan oleh para petani tembakau menganut paradigma pertanian intensif.
Pertanian intensif merupakan cara bertani yang memanfaatkan inovasi teknologi
dengan penggunaan input yang banyak untuk tujuan memperoleh output yang
lebih tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Pertanian intensif dapat
disebut sebagai pertanian modern. Karakteristik dari pertanian intensif adalah
substitusi tenaga kerja manual dengan mekanik, substitusi pupuk dan pestisida
alami dengan pupuk atau pestisida agrokimia, penggunaan bibit unggul, serta
pemanfaatan air irigasi (Giller et al. 1996). Dalam pertanian intensif, manajerial
pertanian bepatokan pada prinsip pengelolaan pertanian yang se-efektif dan se-
efisien mungkin, namun tetap pada tujuan pengejaran produktifitas. Suatu
usahatani bisa saja menerapkan seluruh teknologi pertanian intensif, namun dalam
kasus petani tembakau ini, semua syarat yang ditawarkan oleh pertanian intensif
tidak diaplikasikan. Namun tampak jelas bahwa dalam pertanian intensif yang
diterapkan karena tujuan laba, tanah sebagai aset akan benar-benar dieksploitasi.
Pola produksi tembakau yang dijalankan oleh para petani tersebut sama-
sama ditujukan untuk mencapai produktifitas tinggi diikuti kualitas tembakau
yang bagus. Dalam konsep net farm income, dua faktor tersebut sangat
menentukan besar penerimaan usahatani selain pengelolaan biaya usahatani.
Pertanian tembakau ditujukan untuk kepentingan ekonomis, maka yang ada di
dalam pikiran para petani adalah bagaimana membentuk keuntungan yang
maksimal. Pastilah petani tidak menghendaki kerugian, dan demi mencapainya
petani akan mengantisipasi berbagai potensi yang merugikan. Selama ini,
memang pupuk dan pestisida kimia dianggap oleh banyak kalangan mampu
meningkatkan output pertanian dalam kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi.
Anggapan tersebut juga dibenarkan oleh petani tembakau. Demi menjaga peluang
meraih keuntungan yang maksimal, mereka menggunakan pupuk serta pestisida
kimia untuk memberantas hama dan penyakit tanaman. Tindakan tersebut bisa
dianggap wajar jika penggunaan pupuk dan pestisida kimia masih dalam kadar
yang sesuai aturan. Namun ketika penggunaan kedua input pertanian tersebut
tidak mengindahkan ketentuan, bisa saja lingkungan pertanian semakin rusak.
Pupuk dan pestisida kimia adalah dua input pertanian yang telah banyak
diketahui bahwa penggunaannya dalam jumlah yang besar akan memberi
pengaruh terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem pertanian, maupun
terhadap kesehatan manusia. Dalam jangka pendek, pupuk kimia memang mampu
mempercepat masa tanam karena kandungan haranya bisa diserap langsung oleh
tanah, namun di sisi lain dalam jangka panjang penggunaan pupuk kimia berlebih
justru akan menimbulkan dampak negatif. Pupuk kimia tidak 100% mampu
diserap oleh tanah dan tanaman. Residu dari pupuk kimia bila terkena air akan
mengikat unsur-unsur tanah menjadi lengket atau keras. Pada akhirnya,
30
pemakaian pupuk kimia dalam jangka panjang dapat merusak sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah sehingga kemampuan tanah untuk mendukung ketersediaan air,
hara, dan kehidupan mikroorganisme menurun (Dwicaksono et al. 2013).
Tabel 10. Konsumsi Pupuk Kimia di Pertanian Indonesia
Jenis
Pupuk
Total Konsumsi Domestik Per Tahun (Ribu Ton)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Urea 5.621 5.649,5 5.783,5 5.717,5 5.724,3 5.546,8 5.216,7
Fosfat/SP-
36 801,5 594,9 714,7 634,8 723,2 858,7 830,6
ZA/AS 746,9 774,2 936,2 739,2 927 1.051,3 1.106,4
NPK 732,6 1.175 1.66,5 1.804,4 2.124,5 2.478,4 2.670,6 Sumber: Statistik Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (2014), diolah.
Kebutuhan pestisida memperlihatkan pertumbuhan yang terus meningkat
setiap tahunnya. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kebutuhan
pangan, diperkirakan pada tahun 2000 total konsumsi pestisida mencapai 55.76
ton dengan kecenderungan peningkatan pertumbuhan konsumsi sebesar 6,33%
(Suwahyono, 2010:27). Jelas konsumsi pupuk dan pestisida kimia dalam jumlah
besar tersebut mengancam kelestarian lingkungan. Menurut Sa’id (1994),
diketahui bahwa penggunaan pestisida dalam pertanian yang mengenai sasaran
hanya sekitar 20%, selebihnya atau sekitar 80% pestisida bersifat residu yang
mengendap ke dalam tanah dan dapat mencemari lahan pertanian. Apabila masuk
ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan
berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically
Acquired Deficiency Syndrom) dan sebagainya. Pestisida yang paling banyak
menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah
pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang
disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain,
karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai.
Pestisida memberi dampak besar terhadap pencemaran baik udara, air,
maupun ekosistem pertanian melalui beberapa siklus alam. Pestisida yang
sebagian besar jatuh pada lapisan tanah akan terurai di udara oleh sinar ultraviolet
matahari ataupun terserap masuk ke dalam lapisan tanah melalui resapan air
hujan. Pestisida yang terserap ke dalam tanah akan mengalir ke aliran sungai dan
kehidupan akuatik akan terancam karena kandungan racun pestisida mampu
mencemari kadar kelayakan air. Selain itu, dalam beberapa kasus juga ditemukan
bahwa penggunaan pestisida justru menyebabkan hama pertanian semakin kebal
terhadap pestisida (Taba et al. 2007; Suseno, 1993; dalam Amir et al. 2014:123-
124). Akibatnya, hama pertanian semakin merajalela karena justru hama tidak
mati dengan disemprot oleh pestisida, di sisi lain kehidupan binatang predator
pembasmi hama alami seperti burung dan kodok kemampuan berburunya
menurun juga dikarenakan pengaruh pencemaran pestisida.
Konsep net farm income yang juga menjadi sebuah ciri bagi konsep
pembentukan keuntungan di dalam akuntansi konvensional melalui laporan laba
rugi ini memberikan berbagai potensi ketergantungan bagi petani terutama dari
sisi pola produksi pertanian. Konsep net farm income juga berpotensi
menghasilkan kerusakan lingkungan karena pengaruh kreasinya terhadap pola
pikir petani. Beruntung petani tembakau masih memiliki kesadaran untuk patuh
31
terhadap tata cara penggunaan pupuk serta pestisida kimia. Akan menjadi sebuah
bencana tatkala petani dengan sendirinya menentukan takaran penggunaan pupuk
dan pestisida kimia yang berlebih demi menjaga tanaman tetap produktif. Tanah
dan lingkungan alam yang melingkupi pertanian tembakau bisa-bisa terdegradasi,
dan dampaknya adalah eksploitasi besar-besaran lain karena ketidakmampuan
petani keluar dari jurang hegemoni bisnis. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa
rasionalisasi pembentukan net farm income menjadi salah satu penyebab utama
mengapa petani memiliki ketergantungan dalam ranah pola produksi pertanian
tembakaunya, terutama ketergantungan petani pada pupuk serta pestisida kimia.
Akrualisasi: Harga Pokok Produksi Ketergantungan
Total biaya atau total cost menjadi komponen kedua pembentuk net farm
income. Total biaya usahatani adalah penjumlahan antara total biaya tetap dengan
total biaya variabel usahatani. Akuntansi biaya mengenal suatu konsep
perhitungan total biaya produksi dengan istilah harga pokok produksi. Akuntansi
biaya dalam perhitungan harga pokok produksi berperan menetapkan,
menganalisa, dan melaporkan pos-pos biaya yang mendukung laporan keuangan
sehingga dapat menunjukkan data yang wajar. Akuntansi biaya menyediakan
data-data biaya untuk berbagai tujuan, maka biaya-biaya yang terjadi dalam
entitas harus digolongkan dan dicatat dengan sebenarnya, sehingga
memungkinkan perhitungan harga pokok produksi yang teliti. Perhitungan harga
pokok produksi dalam akuntansi biaya menggunakan konsep akrualisasi di mana
semua biaya yang dianggap mempunyai unsur pengorbanan harus dibebankan.
Menarik untuk melihat bagaiaman perbandingan nialai antara harga pokok
produksi berbasis perhitungan petani dengan akuntanis biaya. Dari sisni dapat
dipahami pula bagaiaman dampak atas implementasi perhitungan harga pokok
produksi berbasis akrual dalam akuntansi biaya terhadap ketergantungan petani.
Petani memperhitungkan total biaya produksi sesuai dengan perhitungan
secara awam dan mendasar. Petani memandang bahwa komponen-komponen
biaya yang ditetapkan untuk menghitung harga pokok produksi pertaniannya
adalah berupa uang yang dikeluarkan secara riil. Maka dari itu, komponen biaya
yang diperhitungkan dalam perspektif petani meliputi pengadaan bibit, upah
tenaga kerja buruh tani, pengadaan pupuk kandang dan pupuk kimia, pengadaan
obat tanaman, serta biaya-biaya pengadaan pada saat persiapan panen. Sedangkan
biaya yang tidak dihitung meliputi upah tenaga kerja keluarga, biaya makan
tenaga kerja, beban depresiasi, dan beban bunga. Total harga pokok produksi
pertanian tembakau masing-masing petani berdasarkan konsep akrual ialah Rp.
46.300.000, Rp. 26.165.500, dan Rp. 32.750.000. Jumlah ini berselisih jauh
dengan total harga pokok produksi dalam perspektif petani yaitu masing-masing
sebesar Rp. 26.975.000, Rp. 9.780.000, dan Rp. 26.960.000. Rincian perhitungan
harga pokok produksi pertanian tembakau dapat dilihat lebih lanjut di Lampiran 1
penelitian ini.
32
Tabel 11. Perbandingan Harga Pokok Produksi Pertanian Tembakau Akuntansi Akrual (Dalam Ribu Rupiah)
Petani
Komponen Biaya
Total Biaya Sewa
Lahan
Tenaga
Kerja Pupuk Obat
Pra
Panen Depresiasi Bibit
Bunga
Utang
Pak Wanto - 30.095 3.870 510 5.125 1.450 250 5.000 46.300
Pak
Rochimin 4.600 12.715 1.400 170 2.235 370,5 175 2.500 26.165,5
Pak Yanto - 17.560 5.850 440 7.250 1.700 250 2.700 32.750
Petani (Dalam Ribu Rupiah)
Petani
Komponen Biaya
Total Biaya Sewa
Lahan
Tenaga
Kerja Pupuk Obat Pra Panen Bibit
Pak Wanto - 17.220 3.870 510 5.125 250 26.975
Pak Rochimin
4.600 1.200 1.400 170 2.235 175 9.780
Pak Yanto - 13.170 5.850 440 7.250 250 26.960
Perhitungan harga pokok produksi berdasarkan konsep akrual memiliki
konsekuensi logis yaitu nilai total biaya yang menjadi lebih besar. Ketika melihat
perhitungan total harga pokok produksi usahatani di atas, terlihat bahwa harga
pokok produksi yang dihitung berdasarkan akuntansi akrual selisihnya sangat jauh
bila dibandingkan dengan perhitungan petani. Bahayanya adalah nilai total biaya
yang semakin besar akan memicu semakin besarnya pula keinginan ekploitasi
untuk mencapai laba. Laba usahatani diakui atas dasar penerimaan dikurangi
dengan total biaya, ketika total biaya sangat menekan pendapatan maka jalan satu-
satunya adalah produktifitas yang akan digenjot. Sistem pertanian pun akan
dijalankan semakin intensif, mengurangi beberapa pos biaya yang terlalu
menekan, namun menambahkan beberapa biaya di sisi yang dianggap
memberikan jaminan produktifitas. Luas lahan atau tanah masih tetap pada angka
semula, maka kemudian semakin tergantung petani dengan pupuk kimia maupun
pestisida. Tanah akan semakin diperas karena konsekuensi dari penilaian yang
“salah kaprah”, diikuti dengan ekspektasi petani akan produktifitas yang tinggi.
Aktivitas bisnis merupakan sebuah aktivitas praktik. Karenanya, laporan
keuangan adalah produk akuntansi yang dimaksudkan untuk memberikan
informasi keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan praktik berkaitan
dengan bisnis tersebut. Implikasi akan hal itu adalah jalannya pola bisnis seperti
apa yang diharapkan oleh entitas dengan mengacu pada tujuan utamanya,
pencapaian laba. Laporan keuangan menjadi salah satu ujung tombak yang
digunakan karena informasinya dapat merepresentasikan kinerja bisnis entitas.
Jika saja kemudian semua konsep yang ditawarkan oleh akuntansi konvensional
terutama konsep akrualisasi tersebut benar-benar diterapkan secara langsung oleh
petani, kemungkinan besar pengejaran laba maksimal akan menjadi semakin
masif. Melibatkan pola produksi pertanian yang semakin intensif, dengan
kecenderungan petani untuk semakin tergantung pada korporasi, baik di sektor
hulu maupun hilir pertanian.
33
Harga Pokok Produksi Petani Jawa: Kembali ke Fitrah Petani
Setiap tingkah laku, gerak-gerik, dan pola pemikiran para petani seolah
dengan sangat baik memperlihatkan bahwa konsepsi kehidupannya tidak bisa
lepas dari apa yang menjadi pandangan hidup manusia Jawa. Bahkan dalam
beberapa hal, karakteristik tersebut mampu membentuk ciri khas tersendiri bagi
karakter dan pola pikir ekonomis mereka. Melalui karakter cultural-social-
environmental yang melekat dalam pribadi petani, mereka mampu membatasi diri
untuk tidak mementingkan laba maksimal sebagai tujuan utama usahatani
tembakau. Mereka dengan kecerdasannya mampu untuk memilah keterkaitan
antara mana biaya yang bersifat bisnis, dengan mana biaya yang bersifat
pengorbanan atas dasar nilai-nilai sosio-kultural.
Seperti terlihat dalam perhitungan harga pokok produksi usahatani
tembakau, para petani sengaja tidak memasukkan biaya makan tenaga kerja
sebagai bagian dari pembebanan biaya produksi usahatani. Selayaknya dalam
pandangan ilmu ekonomi maupun ilmu akuntansi konvensional, biaya makan
tenaga kerja ini haruslah dibebankan ke dalam perhitungan harga pokok produksi
usahatani. Biaya makan merupakan salah satu bentuk beban, dan dengan sifatnya
tersebut biaya makan tenaga kerja seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan
sebagai pengurang pendapatan usahatani. Namun, berbeda dalam pandangan
petani tembakau, petani yang mendasarkan perhitungan harga pokok produksinya
secara lebih sederhana menganggap bahwa makan bersama buruh tani lebih
sebagai bentuk rasa berbagi kebersamaan antar sesama manusia, atau dalam istilah
Jawa yaitu brayan. Tak hanya memberikan jatah makan, petani seperti Pak Yanto
juga memberikan insentif kepada buruh tani berupa pakaian dan uang transportasi.
Pemberian insentif ini dilakukan agar para buruh tani merasa betah melakukan
berbagai aktivitas pekerjaan untuk si petani pemilik lahan. Pemberian insentif
seperti ini dianggap wajar ketika kita berbicara tentang pelaku industri-industri
berskala besar, namun berbeda ketika kita berbicara tentang petani tembakau.
Walaupun potensi keuntungan dari pertanian tembakau ini tidak sebesar industri-
industri besar, namun mereka juga memikirkan tanggung jawab sebagai seorang
pemberi kerja bagi para pekerjanya.
Adanya pola pikir petani tembakau tersebut tidak lepas dari karakteristik
mereka sebagai manusia Jawa yang sentimentil dalam urusan kemanusiaan.
Menciptakan hubungan yang harmonis merupakan suatu keharusan, maka bagi
orang Jawa yang lebih penting adalah bagaimana menyenangkan orang lain
terlebih dahulu. Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia ideal adalah mereka
yang telah memiliki sikap batin yang tepat. Ia mampu untuk selalu mengendalikan
hawa nafsu, tidak egois, nerimo, ikhlas, berlaku jujur, bersahaja, dan ber-tepa
slira. Bagi mereka yang terpenting adalah ketentraman, dan petani sudah merasa
tentram jika pekerjaan tersebut dapat bermanfaat pula bagi orang lain, tanpa harus
memikirkan dihitungnya “biaya makan” ke dalam harga pokok produksi
usahataninya.
Maka dari itu, karakteristik petani yang bertolak dari ajaran kebudayaan
tersebut membentuk suatu pola pikir ekonomis yang khas. Pola pikir ekonomis
yang mengedepankan ketentraman, perdamaian, dan tidak eksploitatif. Ketika
misalnya petani tembakau benar-benar tidak memperdulikan unsur-unsur ajaran
kebudayaan dan sepenuhnya menjadi sosok businessman sejati, upaya pengejaran
laba petani dengan mengeksploitasi lahan pertanian menjadi tidak beraturan lagi.
34
Petani akan memandang bahwa keadaan bisnis pertaniannya yang dipengaruhi
oleh perhitungan harga pokok produksi secara lebih luas (akrual), berdampak
pada pendapatan usahatani yang lebih kecil. Pada akhirnya, lahan pertanian lebih
dieksploitasi demi memenuhi target laba seusai harapan petani. dampak lebih
lanjut adalah lahan pertanian menjadi semakin rusak dan tidak berkelanjutan.
Karakter fitrah petani sebagai manusia Jawa membatasi multiplier effect konsep
net farm income seperti itu.
Diperlukan kesadaran oleh berbagai stakeholder pertanian nasional terutama
pemerintah untuk bisa menjaga nilai-nilai kultural yang ada, dengan tidak menjual
pertanian Indonesia ke entitas bisnis berdomain keserakahan, terlebih kepada
bangsa asing. Keserakahan baik yang dipraktikkan oleh korporasi maupun
individu profitcentris, senyatanya mampu membentuk belenggu ketergantungan
petani secara menyeluruh. Ketergantungan pertanian hanya akan berpihak pada
laba entitas bisnis kapitalis, tanpa memperhatikan masalah-masalah lain yang
sangat krusial seperti pemerataan distribusi pendapatan bagi petani dan dampak
negatif terhadap lingkungan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah budaya
memberikan banyak potensi untuk menopang eksistensi petani dengan
membebaskan mereka dari ketergantungan. Jika saja kemudian budaya ini juga
hilang karena kalah eksis dengan domain bisnis, diikuti ulah nakal “kawan” kita
di parlemen, bisa-bisa kedaulatan negara di pertanian kita ini akan hilang. Dan
sejarah benar-benar akan terulang.
MEMAKNAI AKUNTANSI KETERGANTUNGAN PASAR PETANI
TEMBAKAU
Khasanah Pertembakauan Kabupaten Temanggung
Kabupaten Temanggung merupakan salah satu daerah sentra produsen
tembakau di Indonesia. Komoditas tembakau Temanggung merupakan salah satu
jenis komoditas tembakau terbaik dari beberapa daerah sentral produsen tembakau
yang ada di Indonesia. Tembakau Temanggung digunakan dalam racikan rokok
kretek sebagai pemberi rasa dan aroma. Presentase penggunaan tembakau
Temanggung dalam racikan rokok kretek sekitar 12-24% (Rinto, 2006).
Tembakau diusahakan oleh sebanyak 55.771 rumah tangga petani tembakau di
Temanggung (BPS Temanggung, 2012). Dalam kurun waktu tahun 2007 sampai
dengan tahun 2012, rata-rata produksi tembakau Kabupaten Temanggung
mencapai 7.353 ton per tahun dengan luas lahan rata-rata 12.763 Ha per tahun.
Produksi tembakau Kabupaten Temanggung per tahun rata-rata sebanyak 3,9%
dari produksi tembakau nasional dan 23% pertahun dari produksi tembakau
Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Mantan Bupati Temanggung periode 2007-2012 K.H Hasyim
Affandi, Temanggung tidak saja menjadi salah satu daerah sentra produksi
tembakau, melainkan telah menjadi sebuah pasar tembakau. Hal ini dikarenakan
setiap tahun volume tembakau yang diperdagangkan mencapai angka kelipatan
Harga Pokok Produksi Petani Tembakau =
Pembebanan Biaya Non Akrual + Wawasan Kebudayaan
(Kesadaran Sosial + Kesadaran Lingkungan + Kesadaran
Religiusitas)
35
tiga, artinya jika produksi tembakau petani Temanggung setiap tahun adalah 7.000
ton, lalu mengapa tembakau yang diserap pabrik rokok mencapai 21.000 ton?
“Sisanya ini yang dinamakan tembakau Temanggung-an” ujarnya. Dengan kata
lain, tembakau dari daerah-daerah lain seperti Kendal, Wonosobo, Weleri, Garut,
hingga Magetan turut diperdagangkan di Kabupaten Temanggung.
Masyarakat Temanggung telah menganggap bahwa tembakau sebagai
tanaman wali (Brata, 2012:4) karena sebelum bibit tembakau diberikan kepada Ki
Ageng Makukuhan, Sunan Kudus telah memberi doa khusus terlebih dahulu.
Masyarakat Temanggung juga percaya bahwa Ki Ageng Makukuhan pertama kali
menanam tembakau di dusun Lamuk, desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo,
Kabupaten Temanggung. Alhasil, karena esensi kewalian tembakau tersebut,
daerah Legoksari sekarang terkenal sebagai penghasil satu jenis tembakau
unggulan Kabupaten Temanggung yang telah dikenal kualitasnya sebagai
tembakau terbaik di Indonesia bahkan dunia (DM, Ary, dan Harlan, 2011:46),
tembakau srinthil namanya. Srinthil melegenda di industri rokok kretek karena
aromanya yang begitu khas dan kandungan nikotinnya yang begitu tinggi.
Tembakau srinthil menjadi semakin langka karena kemunculannya sangat
dikaitkan dengan keberuntungan sang petani pemilik lahan. Bahkan baru-baru ini
tembakau srinthil telah dipatenkan sebagai kekayaan alam dari Temanggung
karena nilainya yang begitu tinggi tersebut (http//:berita.suaramerdeka.com).
Pertanian tembakau yang telah lama diusahakan di Kabupaten Temanggung
masih tejaga eksistensinya, bahkan menjadi sebuah kebiasaan yang prestisius bagi
masyarakat Temanggung. Pertanian tembakau telah bertransformasi sebagai bisnis
yang cukup menjanjikan. Perdagangan tembakau juga mampu memberi
sumbangan sebesar 30% per tahun terhadap PDRB Kabupaten Temanggung. Nilai
yang terakumulasi dari perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung
mencapai rata-rata sebesar 300 milliar per tahun. Angka besar tersebut tidak bisa
lepas dari tingginya permintaan tembakau oleh perusahaan. Tembakau
Temanggung banyak dibeli oleh perusahaan rokok karena berperan sebanyak 12-
24% dalam satu batang racikan rokok kretek (Rinto, 2006). Pantas jika kemudian
banyak perusahaan rokok mendirikan perwakilan-perwakilan pabrik di Kabupaten
Temanggung untuk membeli tembakau petani secara langsung.
Di balik cerita kemeriahan dan “keglamoran” bisnis tembakau di
Temanggung, terdapat sebuah dilema bagi petani ketika tiba musim panen
tembakau setiap tahunnya. Petani sering dibingungkan dan dicemaskan dengan
kondisi pasar terkait informasi permintaan pembelian perusahaan rokok serta
harga pasar yang ditetapkan. Petani cemas jika menjelang musim panen tembakau
tiba belum ada informasi yang beredar di masyarakat berapa besar perusahaan
rokok akan membeli tembakau petani dan berapa harga yang ditetapkan. Hal
tersebut wajar, mengingat sepenuhnya ketika musim tembakau tiba lahan
pertanian digunakan petani untuk menanam tembakau. Jika perusahaan
melakukan pembelian dalam jumlah kecil, sedangkan tembakau yang tersedia
begitu melimpah, persaingan di tingkat petani semakin tinggi. Petani terancam
rugi karena tembakaunya tidak akan laku semua.
Petani juga cemas ketika kondisi cuaca pada saat masa tanam tembakau
seringkali turun hujan dalam intensitas tinggi. Petani takut jika hujan terus
mengguyuri ladang maka tanaman tembakau akan mudah terserang penyakit,
sehingga mempengaruhi produktivitas dan kualitas tembakau rajangan. Kondisi
36
cuaca tersebut juga yang seringkali dijadikan indikator perusahaan rokok untuk
melakukan pembelian dalam jumlah besar atau kecil, serta untuk menetapkan
berapa harga pasar untuk tembakau tersebut. Petani sepenuhnya tergantung
dengan perusahaan rokok karena pertanian tembakau ini secara spesifik hanya
mampu diserap oleh perusahaan-perusahaan rokok. Ancaman kerugian seringkali
menghampiri petani terutama karena faktor harga jual yang tidak menguntungkan.
Selain itu, posisi petani yang lemah juga mengakibatkan petani seringkali
mendapat perlakuan tidak adil dalam bisnis tembakau ini.
Harga Pasar yang Tergantung: Kritik Terhadap Fair Value
Sebelum beranjak langung menuju realitas pembentukan harga jual
tembakau, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pembentukan harga pasar
yang menjadi pedoman pengukuran atas nilai wajar atau fair value aset biologis
pada IAS 41. Peneliti akan mencoba menjelaskan di mana letak bahaya distorsi
dari harga pasar ini jika nanti IAS 41 sepenuhnya di adopsi ke dalam PSAK.
Harga pasar pada intinya adalah harga barang atau jasa dalam pasar kompetitif
yang tinggi rendahnya ditentukan oleh permintaan pasar dan penawaran pasar.
Harga pasar terbentuk ketika tercapai tingkat keseimbangan antara permintaan dan
penawaran, atau dengan kata lain harga pasar terjadi apabila jumlah barang yang
diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan. Bila ditunjukkan dalam
bentuk kurva, maka harga keseimbangan merupakan perpotongan antara kurva
permintaan dengan kurva penawaran. Dalam harga keseimbangan berlaku hukum
permintaan dan penawaran yang umum berbunyi jika jumlah permintaan lebih
besar dari jumlah penawaran, maka harga akan naik, sedangkan jika jumlah
penawaran lebih besar dari jumlah permintaan, maka harga akan turun.
Sedangkan menurut Besanko dan Braeutigam (2005, dalam
http://wikipedia.or.ke), terdapat empat hukum dasar penawaran dan permintaan
yaitu pertama, jika permintaan suatu barang meningkat dan penawaran tidak
mengalami perubahan, kelangkaan terjadi dan titik harga keseimbangan akan
lebih tinggi. Kedua, jika permintaan suatu barang turun dan penawaran tidak
mengalami perubahaan, surplus terjadi dan titik harga keseimbangan akan lebih
rendah. Ketiga, jika permintaan suatu barang tidak mengalami perubahan
sedangkan penawaran mengalami peningkatan, surplus terjadi dan titik harga
keseimbangan akan lebih rendah. Keempat, jika permintaan suatu barang tidak
mengalami perubahan sedangkan penawaran turun, kelangkaan terjadi dan titik
harga keseimbangan akan lebih tinggi.
Kurva 1. Pembentukan Harga Pasar (Dasar Penilaian Fair Value)
37
Keterangan :
P adalah harga yang ditawarkan
Q adalah kuantitas yang ditawarkan
D adalah jumlah permintaan di pasar
S adalah jumlah penawaran di pasar
E adalah harga keseimbangan yang terbentuk
Sifat alami pembentukan harga pasar mensyaratkan bahwa keseimbangan
permintaan dan penawaran terjadi dalam pasar yang kompetitif, di mana para
pelaku pasar tidak memiliki kemampuan secara langsung untuk mempengaruhi
harga dan jumlah barang di dalam pasar. Sementara itu, karakteristik pasar yang
paling kompetitif terdapat pada struktur pasar persaingan sempurna. Pasar
persaingan sempurna ialah suatu pasar di mana terdapat banyak penjual sehingga
tindakan masing-masing penjual tidak dapat mempengaruhi harga pasar yang
berlaku, baik dengan merubah jumlah penawarannya ataupun harga produknya.
Oleh karena itu posisi penjual dalam pasar persaingan sempurna adalah sebagai
price taker, karena hanya dapat menjual produknya pada harga yang berlaku di
pasar. Jika melihat pada situasi pasar seperti ini maka pasar persaingan sempurna
akan terlihat di level petani pada saat panen raya (Prastowo, Yanuarti, dan Depari,
2008:6). Homogenitas dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual
membuat petani tidak mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga
dan pasrah sebagai price taker. Sebaliknya untuk level tengkulak, pedagang,
maupun perusahaan yang jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar
oligopoli, sehingga mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi dan menentukan
harga pasar sebagai harga jual komoditas petani. Bahkan seringkali para
tengkulak, pedagang, maupun perusahaan tersebut membentuk sebuah kartel yang
dapat membuat kesepakatan dan membentuk harga pasar tersebut.
Kurva 2. Kondisi Ideal Pembentukan Fair Value Sempurna
Sumber: Amir et al. (2014:189).
Keterangan:
FV merupakan titik di mana fair value akan terbentuk dengan sempurna.
Wilayah A merupakan wilayah dimana fair value akan semakin memudar
dan harga pasar akan cenderung didominasi oleh perusahaan.
38
Wilayah B merupakan wilayah dimana fair value akan semakin memudar
dan harga pasar akan cenderung didominasi oleh petani.
D merupakan garis permintaan
X merupakan jumlah kuantitas perusahaan, teknologi yang dimiliki petani,
modal yang dimiliki petani, dan pengetahuan yang dimiliki petani (dalam
hal pengembangan produk sampai dengan akses produk dan pasar).
Y merupakan jumlah kuantitas petani, teknologi yang dimiliki perusahaan,
modal yang dimiliki perusahaan, dan pengetahuan yang dimiliki
perusahaan (dalam hal pengembangan produk sampai dengan akses
produk dan pasar).
Sebagai homo economicus agen-agen ekonomi baik dalam kapasitas pribadi
(baca: tengkulak dan pedagang) maupun perusahaan akan selalu bersifat rasional
dan bertujuan memaksimalkan keuntungan (profit maximization). Pasar oligopoli
menawarkan sebuah peluang bagi para pelaku pasar (tengkulak, pedagang, dan
perusahaan) untuk memperoleh tujuan tersebut karena posisi mereka yang
mendominasi pasar. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan unsur marjin
keuntungan ke dalam harga jual komoditas pertanian yang telah ditetapkan. Ini
berarti bahwa harga pasar yang berlaku sebagai harga jual komoditas bisa
terdeviasi nilainya lantaran campur tangan atau kooptasi kepentingan para pelaku
pasar, yang pada akhirnya dapat menekan pihak terlemah, dan dalam hal ini ialah
petani.
Pengukuran aset menggunakan fair value dalam IAS 41 akan lebih
melegalkan serta melegitimasikan keberadaan pengaturan harga oleh pemilik
modal (baca: perusahaan). Terutama dalam struktur pasar oligopoli, perusahaan
mempunyai kekuatan untuk mengikat harga karena perannya yang lebih
mendominasi. Seperti pada perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung
misalnya, harga pasar selalu berada di tangan perusahaan. Harga tersebut berlaku
sebagai harga jual tembakau secara keseluruhan. Informasi mengenai harga pasar
disampaikan melalui agen-agen ekonomi yang secara struktural berada di bawah
perusahaan seperti perwakilan pabrik, pedagang, ataupun tengkulak. Petani tidak
mengetahui secara pasti bagaimana informasi harga pasar tersebut terbentuk.
Jika melihat penjelasan yang telah disampaikan pada sub bab ini, maka
perusahaan rokok akan menetapkan harga pasar tembakau sesuai keinginan yang
bersifat costing efficiency. Tembakau diperlukan sebagai bahan baku rokok, maka
dari sisi perusahaan rokok pembelian akan dicatat sebagai persediaan. Arus biaya
akan dihitung kemudian dicatat menggunakan harga pasar yang senyatanya harga
tersebut memang telah ditetapkan, didukung dengan sifat alami mekanisme pasar
oligopoli. Imbasnya adalah harga jual tembakau petani akan mendapat tekanan
ganda yaitu dari perusahaan rokok maupun dari agen ekonomi di bawah
perusahaan seperti tengkulak dan pedagang karena margin keuntungan yang
mereka inginkan. Petani pun akan terancam rugi terus-menerus selama harga jual
pertanian bergantung pada pengaruh pasar dan kekuatan modal. Lalu bagaimana
secara riil harga pasar dan harga jual pertanian dapat merugikan petani karena
kepentingan pemilik modal? Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
39
“Kambing Hitam” Penurunan Harga Jual
Petani menjadikan harga pasar atau lazim di sebut harga per totol yang
dikeluarkan oleh perusahaan sebagai patokan harga jual tembakaunya. Secara
struktural, dibawah perusahaan ada beberapa agen ekonomi yang terlibat seperti
perwakilan pabrik, pedagang, maupun tengkulak. Agen-agen ekonomi tersebut
tentu mempunyai keinginan untuk menetapkan margin keuntungan. Karena
kepentingan inilah seringkali harga jual tembakau tidak merefleksikan harga pasar
yang ditetapkan perusahaan. Atau dengan kata lain, harga jual tembakau yang
ditetapkan perusahaan rokok sengaja diturunkan oleh beberapa agen ekonomi
tersebut. Kualitas tembakau adalah salah satu indikator yang menjadi “kambing
hitam” penurunan harga jual secara sepihak oleh tengkulak maupun pedagang
tersebut. Tidak adanya standar baku terkait penilaian kualitas tembakau
menjadikan para tengkulak, pedagang, perwakilan pabrik, maupun perusahaan
rokok itu sendiri leluasa untuk memberikan tekanan terhadap harga jual tembakau
ini.
Menurut Pak Karman, umumnya kualitas tembakau yang menjadi penentu
harga jual dinilai oleh calon pembeli melalui tiga cara yaitu dicekel atau
digenggam, diambu atau dicium baunya, dan didelok atau dilihat tekstur warna
serta jenis totol tembakau rajangannya. Tembakau dengan kualitas bagus akan
memiliki tekstur rajangan yang berbobot, lengket, berbau menyengat, serta tekstur
warna pada kisaran totol E sampai I. Sedangkan untuk menurunkan nilai harga
jual, para oknum pedagang dan tengkulak sering melontarkan beberapa alasan
seperti, pertama, tembakau petani terdapat campuran gula yang terlalu banyak.
Calon pembeli tembakau umumnya berasumsi bahwa tembakau yang bagus
adalah tembakau yang mempunyai tekstur agak lengket karena itu berarti
tembakau memiliki kandungan nikotin yang tinggi. Untuk itu, tembakau rajangan
kemudian dicampur dengan gula agar teksturnya sedikit lebih lengket. Kedua,
tembakau petani terdapat banyak campuran tembakau dari daerah lain. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Kabupaten Temanggung tidak saja menjadi sentra
produksi tembakau, melainkan telah bertransformasi sebagai pasar tembakau.
Maka dari itu, tembakau dari daerah lain seperti Kendal, Garut, maupun Magetan
seringkali masuk ke wilayah pasar tembakau Temanggung. Selain langsung
dikemas sebagai tembakau rajangan ke dalam keranjang, tembakau dari daerah
lain tersebut juga digunakan sebagai campuran tembakau asli Temanggung.
Ketiga, tekstur tembakau rajangan petani tidak mempunyai bobot yang bagus. Hal
ini sangat berkaitan dengan faktor pemilihan bibit tembakau oleh petani. Dalam
pasar perdagangan tembakau ini, tembakau rajangan yang berasal dari bibit
kemloko akan jauh lebih diminati daripada tembakau dengan jenis bibit lain. Bibit
kemloko diyakini oleh pelaku pasar mengandung banyak kandungan nikotin.
Keempat, harga tembakau per totol petani bisa berada di bawah harga per totol
yang sebelumnya telah ditetapkan karena faktor letak tanah tanaman (Swanbin,
Swating, dan sebagainya). Kualitas tembakau dinilai juga berasal dari daerah
mana tembakau tersebut ditanam. Penilaian atas dasar letak tanah ini bisa
mewakili penilaian kualitas tembakau secara keseluruhan. Umumnya pelaku
usaha pertembakauan mengenal tembakau rajangan dari daerah lereng selatan
gunung Sumbing (tembakau Lamuk dan tembakau Lamsi) sebagai tembakau yang
paling bagus secara keseluruhan. Sedangkan tembakau dari lereng Gunung Prau
(Desa Campurejo) sebagai tembakau dengan kualitas menengah.
40
Menurut Pak Untung, selain dengan melontarkan alasan tentang kualitas
tembakau, oknum pedagang juga sering menekan harga tembakau dengan cara
“membohongi” petani bahwa pabrik rokok akan segera menyelesaikan aktivitas
pembeliannya. Pabrik rokok terbiasa untuk tidak melakukan pembelian tembakau
selama satu musim panen penuh. Ketika aktivitas pembelian dari pabrik rokok
akan segera tutup, itu berarti bahwa musim pemasaran tembakau juga akan segera
berakhir, dan harga tembakau di masa-masa akhir tersebut cenderung mengalami
penurunan. Hal ini dikarenakan penilaian masyarakat bahwa ketika pabrik rokok
sudah mau menutup pembelian, maka tembakau yang ada di pasar hanya dianggap
sebagai tembakau sisa, sedangkan tembakau dengan kualitas terbaik sudah tidak
beredar lagi. Tembakau yang masih beredar di pasar pada masa akhir pembelian
ini kemudian nilainya turun karena dianggap memiliki kualitas yang rendah.
Lantas demi mengeruk keuntungan yang lebih besar, oknum pedagang sering
memainkan isu-isu tersebut untuk menurunkan harga pembelian tembakau petani.
Pola Pemasaran Tembakau: Ketergantungan Petani Dengan Juragan
Hubungan utang piutang antara petani dan juragan memang memiliki sisi
positif bagi petani, hanya saja hal tersebut juga tidak lepas dari dampak
merugikan. Posisi juragan yang berada di atas posisi petani ini memicu
kesewenang-wenangan juragan dalam mengatur perdagangan tembakau. Usaha
mengeruk keuntungan maksimal yang dilakukan oleh para juragan melibatkan
hal-hal radikal yang sangat berdampak pada penerimaan petani. Seperti apa yang
telah diutarakan oleh Pak Wanto, ketika masa panen tiba dan para petani ini
memasarkan tembakau ke para pedagang atau juragan, petani dirugikan dengan
pembebanan biaya angkut ke gudang milik juragan. Juragan yang bertindak
sebagai pembeli tembakau selayaknya melakukan pengangkutan sendiri tembakau
rajangan milik petani untuk dipindahkan ke gudang. Namun pada praktiknya,
justru petanilah yang diharuskan mengangkut serta mendistribusikan tembakau ke
gudang-gudang para juragan. Hal ini tentu memberatkan dari sisi biaya angkut
karena jarak dari rumah petani ke gudang milik juragan cukup jauh. Pun ketika
tembakau tersebut sampai di gudang juragan, petani masih dirugikan dengan
pengenaan biaya tumplekan.
Tumplekan adalah aktivitas mengangkut dan membalikkan keranjang
tembakau untuk keperluan penilaian kualitas serta pengambilan contoh tembakau
atau sering disebut dengan comotan. Tumplekan ini dilakukan oleh para pekerja
gudang pedagang, dan umumnya petani seringkali diminta sejumlah uang untuk
membayar aktivitas tumplekan ini. Lebih lanjut lagi menurut Pak Wanto, aktivitas
tumplekan memang membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Meskipun
sepenuhnya gaji tenaga kerja dibayarkan oleh juragan pemilik gudang, namun
terkadang ada beberapa petani yang juga sering memberikan sejumlah uang
kepada para pekerja tersebut. Menurut Pak Wanto, praktik yang umum dilakukan
ini sudah menjadi hal yang bisa dimaklumi, paling tidak sebagai bentuk apresiasi
atas bantuan para pekerja serta berbagi rasa kebahagiaan petani karena
tembakaunya laku.
Selain itu, sebagaimana diutarakan oleh Pak Wanto bahwa contoh atau
comotan tembakau yang tidak dihitung sebagai hak petani, juga dibenarkan oleh
Pak Karman. Pak Karman menuturkan bahwa contoh tembakau yang diambil ini
biasanya mempunyai berat 1-2 kg, dan selalu tidak masuk perhitungan pendapatan
petani. Pedagang tembakau hanya menghitung tembakau dari berat bruto
41
dikurangi dengan berat keranjang saja, comotan tembakau seakan diacuhkan oleh
mereka. Menurut Pak Karman, contoh tembakau digunakan oleh pedagang untuk
menilai kualitas tembakau secara keseluruhan. Contoh tembakau ini nantinya akan
dikirim oleh pedagang ke perwakilan pabrik di teruskan ke perusahaan rokok
sebagai sampel tembakau yang dibeli oleh perwakilan pabrik.
Kembali menurut Pak Karman, praktik perdagangan tembakau yang
merugikan petani tidak cukup sampai di situ. Senada dengan perkataan Pak
Yanto, Pak Karman juga sering merasa dirugikan dengan ulah nakal pedagang
yang mengurangi berat timbangan dengan modifikasi alat timbang. Oknum
pedagang yang mengakali alat timbang ini terhitung sebagai pedagang “nakal
yang ekstrim”. Pasalnya, berat yang dikurangi oleh pedagang tersebut bisa
mencapai 3-5 kg. Petani menyadari praktik itu, karena sebelum mendistribusikan
tembakau, petani selalu menimbang berat tembakaunya sendiri terlebih dahulu.
Namun ketika tembakau tersebut sampai di gudang pedagang, terkadang nilai
berat tersebut turun di bawah nilai berat sebelumnya.
Lagi, petani juga sering dirugikan dengan adanya penetapan rafaksi atau
pengurangan berat kotor yang berasal dari berat keranjang tembakau. Tembakau
rajangan yang dikemas dalam wadah keranjang, pada saat penjualan beratnya
harus dikurangi dengan berat keranjang sebagai perhitungan berat bersih
tembakau. Namun, seringkali dijumpai bahwa besar rafaksi ditentukan dengan
mengikuti berat bruto tembakau. Mengutip perkataan Pak Wanto sebagai contoh,
yang sering terjadi adalah misalkan berat bruto tembakau sebesar 30 kg, lalu
potongan berat keranjang untuk tembakau tersebut ditetapkan sebesar 7 kg. Lantas
mengapa tembakau dengan berat bruto 40 kg dikenai potongan berat keranjang
sebesar 8 kg? dan ketika beratnya 50 kg nanti nilai potongan ini naik lagi?. Berat
keranjang tembakau seharusnya akan sama atau tidak berbeda jauh walau
berapapun berat bruto tembakau tersebut ditimbang. Artinya, jika berat keranjang
30 kg dan potongan berat keranjangnya sebesar 7 kg, maka ketika berat bruto
tembakau itu 50 kg seharusnya potongan berat keranjangnya tetap pada angka 7
kg.
Ketergantungan petani pada modal juragan bisa memberikan dampak besar
bagi sisi penerimaan usahatani petani tembakau. Namun, tidak semata
ketergantungan tersebut tercipta karena faktor pemasaran saja, melainkan akses
modal yang diberikan oleh pihak lain juga tidak begitu menjanjikan. Terutama
pihak bank, kredit perbankan untuk usaha pertanian jumlahnya masih berada pada
nilai yang sedikit. Menurut Saefulloh et al (2011:5), kredit perbankan pertanian
berkisar hanya sebesar rata-rata 5,56 % saja. Sementara itu, menurut data Bank
Indonesia (dalam http://neraca.co.id), hingga Februari 2013 tercatat penyaluran
pembiayaan kredit di sektor pertanian hanya mencapai Rp. 149,7 triliun atau 5,5%
dari total kredit perbankan sebesar Rp. 2.721,9 triliun. Itu pun sekitar Rp. 95
triliun atau 63,5% di antaranya disalurkan kepada perkebunan kelapa sawit , Rp.
6,18 triliun atau 4,1% untuk komoditas padi, Rp. 3,07 triliun (2,1%) untuk
pembibitan dan budidaya sapi potongm serta Rp. 843 miliar (0,56%) untuk
komoditas holtikultura. Kecilnya pemberian kredit oleh pihak perbankan kepada
pertanian dikarenakan perbankan menilai bahwa sektor pertanian masih memiliki
risiko yang tinggi. Selain itu, sebagian besar petani juga tidak memiliki sertifikat
tanah ataupun bangunan yang dapat dijadikan jaminan kredit. Jelas kedua hal ini
42
akan menimbulkan angka yang kecil baik untuk anggaran pembiayaan kredit
maupun realisasi pembiayaan kredit pada sektor pertanian.
PT. Bentoel dalam Pasar Tembakau Temanggung
Dalam perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung, menurut data
Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, di tahun 2012 PT. Bentoel
berencana melakukan pembelian tembakau Temanggung di kisaran 3.000 ton.
Sedangkan secara keseluruhan, angka permintaan pembelian di tahun tersebut
mencapai 18.000 ton, dengan produksi tembakau petani hanya sebesar 10.911 ton.
Jika produktivitas petani tembakau Temanggung berada pada angka 706 kg/ha,
maka setidaknya ada lebih dari 3.900 petani yang terlibat dalam aktivitas
pembelian tembakau PT. Bentoel. Angka yang cukup besar, namun bila
dibandingkan dengan rencana pembelian PT. Gudang Garam dan PT. Djarum, PT.
Bentoel hanya menempati posisi ketiga terbesar sebagai perusahaan rokok
penyerap tembakau petani Temanggung. Pada umumnya, petani tembakau
Temanggung tidak selalu menjadikan PT. Bentoel sebagai tujuan utama penjualan
hasil panen tembakau mereka. Hal ini dikarenakan aktivitas pembelian PT.
Bentoel tidak dilakukan setiap tahun. Berbeda dengan PT. Djarum ataupun PT.
Gudang Garam yang selalu melakukan pembelian setiap tahun. Hanya saja jika
PT. Bentoel melakukan pembelian, petani akan lebih senang karena peluang
kepastian menerima keuntungan usahatani lebih besar.
Menurut Pak Solichin, salah satu karyawan sebuah perwakilan pabrik mitra
PT. Bentoel, ia mengungkapkan bahwa juragan pemilik perwakilan pabrik
tersebut baru menjalin kerjasama dengan PT. Bentoel pada tahun 2006 silam.
Selama ini PT. Bentoel meminta perwakilan pabrik tersebut untuk membeli
tembakau petani di tahun 2007, 2008, 2010, 2011, dan 2012. Untuk tahun 2009,
2013, dan 2014 perwakilan pabrik tidak diminta melakukan pembelian. PT.
Bentoel tidak melakukan aktivitas pembelian secara kontinyu dari tahun ke tahun
karena dua hal, pertama, acapkali perusahaan melihat kondisi cuaca Temanggung
sebagai bagian dari pengambilan keputusan pembelian. Cuaca di sekitar
Kabupaten Temanggung menjadi tolak ukur kualitas tembakau yang dihasilkan
petani. Jika cuaca pada saat berlangsungnya masa tanam hingga memasuki masa
panen terdapat curah hujan yang cukup tinggi, bukan tidak mungkin kualitas
tembakau petani itu rendah. Perusahaan terkadang tidak mau berjudi dengan hal
ini dan memilih untuk menunda pembelian hingga tahun depan. Kedua, kuota
pembelian tembakau tahun sebelumnya jauh melebihi rencana pembelian. Hal ini
berdampak pada masih adanya stok pembelian tembakau untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku pembuatan rokok. Pak Solichin mencontohkannya di
musim tembakau tahun 2007-2008. Pada tahun tersebut rencana pembelian
tembakau oleh perwakilan pabrik berada pada angka 30.000 keranjang. Namun,
realisasi pembelian tembakau perwakilan pabrik bisa mencapai angka 70.000
keranjang. Terbukti di tahun 2009, PT. Bentoel berhenti sejenak untuk tidak
melakukan pembelian karena mungkin masih mempunyai sisa bahan baku
pembelian di tahun sebelumnya.
Khususnya untuk petani tembakau daerah Swanbin atau lereng Gunung
Prau, termasuk petani Desa Campurejo, aktivitas pembelian tembakau oleh PT.
Bentoel sangat dinanti-nantikan. Setidaknya ada dua faktor yang memicu hal ini,
pertama, PT. Bentoel banyak melakukan pembelian tembakau dengan kualitas
tembakau menengah. Tidak diketahui secara pasti mengapa PT. Bentoel banyak
43
membeli tembakau kualitas menengah, mungkin terkait dengan racikan atau blend
rokok yang ditentukan oleh perusahaan. Namun yang jelas, jika PT. Bentoel
melakukan pembelian maka tembakau petani di daerah Swanbin tersebut akan
banyak yang terserap, karena mayoritas tembakau petani adalah tembakau kualitas
menengah. Sistem perusahaan terkait penilaian kualitas tembakaunya pun
tergolong tidak terlalu sulit. Terkadang pula, tembakau dengan kualitas rendah
mau dibeli oleh PT. Bentoel.
Kedua, jika PT. Bentoel melakukan aktivitas pembelian maka bisa
dipastikan harga tembakau akan merangsak naik, terutama untuk tembakau
kualitas menengah. Seiring permintaan tembakau yang lebih tinggi, sedangkan
kuantitas barang berada pada kondisi tetap, penawaran pun akan mengalami
kenaikan. Hal ini menyebabkan harga dari tembakau kualitas menengah
berangsur-angsur merangkak naik. Meskipun perusahaan rokok lain
memprioritaskan pembelian tembakau dengan kualitas terbaik, namun perusahaan
tersebut juga sering membeli tembakau kualitas menengah. Bedanya, kapasitas
pembelian perusahaan rokok lain tidak sebesar dengan apa yang dilakukan oleh
PT. Bentoel. Ketika PT. Bentoel melakukan pembelian maka persaingan di
segmen tembakau menengah lebih ketat. Tawar menawar harga pun akan terjadi
baik di tingkat petani maupun pedagang.
Aktivitas pembelian PT. Bentoel yang pasang surut memicu hal-hal yang
dapat merugikan petani, terutama bagi petani yang telah terbiasa memasarkan
hasil penen tembakaunya ke perwakilan pabrik PT. Bentoel. Petani sering gelisah
menanti keputusan apakah perusahaan akan melakukan pembelian atau tidak. Jika
tidak melakukan pembelian, maka kemungkinan besar panen tahun tersebut
mereka akan mendapatkan hasil yang lebih sedikit. Itupun harus didapat dengan
usaha yang lebih keras karena rawan dengan tekanan yang dilakukan oleh oknum
tengkulak atau pedagang. Secara spesifik, petani yang menghasilkan tembakau
menengah yang akan banyak bergantung pada aktivitas pembelian PT. Bentoel.
Petani yang telah terkenal dengan kualitas tembakaunya yang bagus (petani
Lamuk-Legok, dan Lamsi), bisa dikatakan tidak sama sekali bergantung pada
pembelian PT. Bentoel. Tembakau mereka sudah menjadi buruan juragan bahkan
sejak musim tanam belum dimulai. Banyak petani tembakau dengan kualitas
tembakaunya yang bagus beralih menjadi seorang pengrajin tembakau rajangan.
Petani-petani tersebut berusaha mendapatkan keuntungan lebih dengan cara
mencampur tembakau rajangan miliknya bersama tembakau rajangan milik daerah
lain. Hal ini akan bisa menambah kuantitas tembakau petani yang akan dijual,
tanpa merusak kualitas tembakau di mata calon pembeli. Maka dari itu, tembakau
menengah milik petani Desa Campurejo tidak saja dibeli oleh perusahaan,
seringkali juga dibeli oleh petani pengrajin dari daerah lain.
Refleksi
Apa yang diuraikan pada bagian ini menegaskan kembali bahwa mekanisme
pasar memang selalu mendatangkan untung dan rugi, tergantung dengan
bagaimana posisi individu atau entitas pelaku pasar. Untung jika secara struktural
ia berada di atas, dan yang ada hanya potensi rugi jika ia berada di struktur paling
bawah. Kondisi riil pertanian kita masih belum bisa membuktikan adanya
keadilan dan pemerataan dalam hal distribusi pendapatan. Ideologi kapitalis yang
telah menancap erat di setiap sendi struktur masyarakat, bahwa senyatanya
kekuasaan akan diperoleh melalui modal besar, mampu menggusur peran petani
44
sebagai ujung tombak ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Petani seakan
diperas dengan digantungkannya mereka pada sistem-sistem perusahaan.
Petani secara struktural berada di tingkatan terbawah rantai sistem distribusi
pendapatan agribisnis. Namun petani memberi peran nomer satu dalam
pencapaian kesuksesan aktor agribisnis yang berada di atasnya. Posisi petani
lemah karena kelompoknya dalam pasar kalah dengan penguasa modal (baca:
perusahaan, pedagang, tengkulak) dengan jumlahnya yang terhitung lebih sedikit.
Perusahaan rokok sebagai pasar utama tembakau kemudian mampu untuk
membolak-balikkan harga pasar melalui kekuasaannya dalam mekanisme pasar.
Tengkulak dan pedagang yang mengkooptasi harga jual karena kepentingan
margin keuntungan, juga tak bisa memihak-bahkan untuk sekedar memandang
kerja keras-petani. Pasar ini juga yang mampu mendikte produksi petani yang
seakan mempertegas bahwa petani sudah mempunyai “rel” sendiri sebagai pijakan
utama bagaimana ia harus menjalankan usahataninya. Ya, usahatani yang
tergantung produksi serta pasar oleh korporasi-korporasi. Di mana untung bisa
jadi hanya sekedar janji, dan yang ada hanya “pemerasan” di sana-sini.
Harga jual menjadi faktor utama dalam penerimaan usahatani tembakau ini,
mungkin juga untuk usahatani lainnya. Namun harga jual sepenuhnya tidak bisa
ditentukan oleh petani sendiri melainkan oleh pihak lain yang jelas juga
mempunyai kepentingan ekonomis. Ketika produksi usahatani dinilai oleh petani
sendiri tidak menguntungkan, dalam pertanian tembakau petani masih memiliki
alternatif untuk menjadi seorang perantara juragan atau bakul. Bisa dikatakan
petani yang menjadi bakul ini beruntung karena komisi dari profesi sebagai bakul
sedikit banyaknya akan membantu “melepas dahaga” petani ketika usahatani
tembakau merugikan. Tapi itupun tidak semua petani bisa, kepercayaan dan
hubungan kerjasama dengan juragan dari bertahun-tahun lalu adalah kuncinya.
Menjadi bakul membutuhkan pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui
cara menilai kualitas tembakau, kondisi pasar, maupun banyaknya petani yang ia
kenal. Jika petani tidak memiliki modal tersebut, ia susah untuk bisa menjadi
bakul. Hanya segelintir petani yang mampu menjalin kerjasama dan dipercayai
oleh juragan untuk menjadi bakul. Lantas bagaimana nasib petani yang hanya
menjadi petani biasa, tanpa ada alternatif lain yang bisa ia lakukan agar
usahataninya menguntungkan?. Kembali lagi jika petani fokus dalam pengelolaan
produksi pertanian secara lebih intensif dan mengejar produktivitas, toh kualitas
menjadi buruan utama pasar, dan harga jual sepenuhnya berada ditangan pasar.
Logikanya seperti ini, pada akhirnya petani akan untung jika harga jual
tembakau berpatokan pada harga pokok produksi petani. Dengan kata lain, petani
akan mendapat jaminan untung jika mereka bertindak sebagai price setter.
Kemudian petani akan mencapai titik keseimbangan antara biaya dan pendapatan
(break event point) jika harga pokok produksi dihitung berdasarkan konsep
akrual. Namun kenyataanya, perdagangan komoditas tembakau ini bersifat liberal,
pasar menjadi kekuatan utama. Jika kemudian harga jual tembakau berpatokan
pada harga pasar, petani jelas-jelas akan berpotensi merugi serta tergantung. Apa
yang menjadi celah distrosi bahaya penetapan nilai wajar valuasi aset berdasarkan
harga pasar yang ada dalam IAS 41 nyata terbentuk. Petani menjadi pihak yang
paling dirugikan dan terlemahkan. Apalagi, IAS 41 ini sangat berorientasi pada
pertanian liberal karena yang ada hanya ideologi berbasis pasar, harga jual
ditentukan oleh pasar tanpa memandang bagaimana harga pokok produksi
45
terbentuk. Pada akhirnya, harga pokok produksi dalam IAS 41 pun akan berbasis
pasar pula, yang rentan terhadap kooptasi kapitalis tanpa ada jaminan keuntungan
bagi pihak yang secara struktural lemah (baca: petani). Ya, ketergantungan petani
pada korporasi ini sudah begitu erat membelenggu baik dari sisi pasar maupun
pola produksi pertanian.
MEWUJUDKAN PERTANIAN MANDIRI MELALUI AKUNTANSI
PERTANIAN YANG MEMIHAK PETANI
Net Farm Income Pro Petani
Konsep net farm income pro ketergantungan menekankan pada pola yaitu
ketika harga jual tembakau masih berada pada basis pasar (basis IAS 41) yang
rentan kooptasi kepentingan perusahaan, pedagang, dan tengkulak, lalu ketika
pula petani mendasarkan perhitungan harga pokok produksi berdasarkan konsep
akrual (basis akuntansi biaya), serta ketika tata kelola pertanian yang diterapkan
menganut paradigma pertanian intensif. Petani tergantung dengan harga jual
karena sepenuhnya kekuasaan penetapan harga jual ada ditangan perusahaan.
Jaminan keuntungan petani menjadi semakin pudar tatkala ada kepentingan lain
yang masuk yaitu margin keuntungan pedagang ataupun tengkulak. Sebenarnya,
perusahaan rokok, pedagang, dan petani itu bersimbiosis dalam satu rantai
pemasaran, hanya saja simbiosisnya menghasilkan ketimpangan pendapatan.
Tak bisa dibantah bahwa saat ini industri agribinis Indonesia berada dalam
ranah sistem ekonomi kapitalistik. Penguasaan industri berada ditangan mereka
yang mempunyai kapasitas modal dan teknologi terbesar. Sedangkan petani
dengan kapabilitasnya yang terbatas seolah dijadikan “budak” oleh penguasa
modal. Rasionalisasi konsep net farm income dalam ranah teori dan praktik
pertanian menjadi jalur utama pemerasan yang berdampak pada ketergantungan
petani ini.
Dalam perdagangan tembakau khususnya di daerah Temanggung, petani
yang akan lebih merasakan dampak langsung ketergantungan harga jual adalah
mereka yang menghasilkan kualitas tembakau menengah ke bawah seperti petani
di Desa Campurejo. Perusahaan rokok sebagai pasar tembakau meskipun mereka
menetapkan standar kualitas tersendiri, tetapi sebagian besar dari mereka tetap
menginginkan tembakau dengan kualitas terbaik. Sedangkan dalam khasanah
perdagangan tembakau Kabupaten Temanggung, terdapat pembeda yang
mewakili penilaian kualitas tembakau secara keseluruhan yaitu letak atau lokasi
tanah penanaman tembakau. Petani yang telah terkenal dan benar-benar
menghasilkan kualitas tembakau terbaik seperti petani Dusun Lamuk, Desa
Legoksari, atau petani daerah Lamsi, kebanyakan dari mereka tidak merasakan
dampak berarti dari ketergantungan harga jual, justru bisa dikatakan tidak sama
sekali tergantung. Pasalnya, tembakau mereka telah menjadi buruan, atau dengan
kata lain petani tembakau daerah-daerah tersebut tidak perlu repot-repot untuk
“jemput bola”.
Petani tembakau daerah Lamuk-Legoksari cenderung menjadi price-setter
karena cap kualitas tembakaunya yang telah terkenal bagus. Petani mempunyai
daya tawar di sini, ketika para pedagang atau tengkulak berburu tembakau
mereka, tawar menawar lebih didominasi oleh petani. Mekanisme transaksi yang
terjadi adalah sistem timbang-bayar, bukan lagi sistem ijon. Petani bisa melempar
harga, jika kemudian harga tersebut tidak disepakati oleh pedagang, petani akan
46
dengan tenang tetap menunggu pedagang lain yang mengantri untuk siap
membayar tembakau petani sesuai harga keinginannya. Pedagang kemudian yang
akan pasrah dan berpikir keras bagaimana harga beli tembakau dari petani
menguntungkan bagi mereka.
Sedangkan kondisi berbeda 180 derajad akan dialami oleh petani dengan
hasil tembakau kualitas menengah ke bawah. Harga jual sepenuhnya berada di
tangan pedagang atau tengkulak yang berpatokan pada harga pasar tembakau dari
perusahaan rokok. Alih-alih mengupayakan harga jual di tangan mereka, untuk
mendapatkan pasar saja terkadang harus dengan susah payah. Petani akan
mendapatkan jaminan pemasaran melalui relasi yang ia bangun dengan para
pedagang atau juragan, itu pun melibatkan ketergantungan modal juragan. Maka
tak heran jika kemudian petani tetap akan mengusahakan peminjaman modal ke
juragan meskipun bunga yang dipatok terlampau tinggi karena perihal jaminan
pemasaran yang akan mereka dapatkan.
Selain ketergantungan pada harga jual berbasis pasar, petani juga rentan
mengalami kecenderungan ketergantungan jika pola perhitungan harga pokok
produksi mereka menggunakan pendekatan akrual berbasis akuntansi biaya.
Pendekatan akrual akan merefleksikan nilai biaya yang tinggi karena
mengharuskan pembebanan pos-pos yang dianggap sebagai unsur pengorbanan
atau biaya. Atau dengan kata lain, petani juga harus membebankan biaya yang
secara riil tidak tampak sebagai biaya dalam perhitungan petani seperti beban
depresiasi, beban bunga, beban makan tenaga kerja, dan beban upah tenaga kerja
keluarga. Nilai tinggi yang terefleksi dalam perhitungan harga pokok produksi
berbasis akrual sangat rentan menimbulkan ketergantungan lebih mendalam
karena berpengaruh terhadap strategi bisnis yang akan diterapkan oleh petani.
Petani tidak bisa mengandalkan harga jual sebagai tolak ukur kepastian
mendapatkan untung, maka dari itu jalan lain yang bisa ditempuh adalah mengatur
produksi usahatani tembakaunya.
Harga jual berpatokan pada kualitas, maka petani akan mengatur pola
produksi pertanian yang dapat menjamin hasil pertanian mempunyai kualitas
terbaik dibarengi dengan produktivitas tinggi. Sedangkan kualitas dan
produktivitas pertanian khususnya pertanian tembakau sangat dipengaruhi oleh
kondisi cuaca. Cuaca dengan intensitas hujan tinggi secara terus-menerus akan
mengancam keberlangsungan hidup tanaman tembakau. Selain karena tembakau
tidak menghendaki kadar air tinggi di dalam tanah yang rentan menimbulkan
penyakit, hama tanaman juga akan mudah menyerang. Antisipasi penyakit dan
hama tanaman dilakukan dengan cara penyemprotan menggunakan pestisida
kimia. Sedangkan demi menjaga tanah mengandung nutrisi terbaik bagi tanaman,
pupuk kimia digunakan untuk menyokong pertumbuhan tanaman tembakau. Di
sinilah letak munculnya ketergantungan petani pada pupuk serta pestisida kimia,
yang juga berasal dari budaya latah pemerintah dalam membangun pertanian
Indonesia.
Jika kemudian harga pokok produksi akrual diadopsi petani dan
memunculkan nilai yang lebih tinggi dari pada perkiraan petani, di mana dalam
situasi lain petani mengalami ketergantungan pada harga jual, nilai kerugian di
mata petani akan semakin tinggi pula. Petani dengan pola pikir going concern-nya
akan berpikir ulang mengenai manajemen usahatani di masa mendatang. Selain
mengurangi pos biaya yang dianggap terlalu boros, bukan tidak mungkin biaya
47
NFI = Penerimaan (Produktivitas x Harga Jual) – Total Biaya
(Harga Pokok Produksi)
NFI Tembakau Pro Ketergantungan =
Penerimaan (Produktifitas Intensif x Harga Jual Pasar) – Total
Biaya (Harga Pokok Produksi Akrual)
tersebut akan dialihkan pada faktor produksi pertanian yang lebih result-able
seperti pupuk kimia dan pestisida. Pertanian akan lebih banyak menggunakan
pupuk serta pestisida untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi.
Padahal, penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan mengakibatkan degradasi
manfaat tanah, pencemaran biota akuatik, serta terganggunya ekosistem predator
hama pertanian alami.
Di sisi lain, pupuk kimia dan pestisida juga didominasi produksi serta
pemasarannya oleh perusahaan swasta terutama perusahaan multinasional.
Artinya, penetapan standar harga jual input pertanian juga didominasi oleh
perusahaan. Tidak saja potensi rugi yang menghantui petani ketika harga jual
input pertanian merangkak naik tanpa ada upaya pengendalian, ketergantungan
petani pada pupuk dan pestisida kimia mampu mengalihkan surplus ekonomi yang
besar ke luar negeri. Jika kemudian kerugian masih nampak dalam usahataninya,
bisa juga petani kemudian akan meninggalkan pertanian sebagai penyokong
keberlangsungan hidupnya. Pertanian nasional akan banyak kehilangan aset
berharga karena petani akan lebih memilih sektor lain yang sekiranya dianggap
lebih menguntungkan seperti sektor industri atau jasa. Lantas jika secara terus-
menerus jumlah petani mengalami penurunan, akankah kemandirian pertanian
Indonesia dapat terwujud secepatnya?. Ketergantungan petani ini berpotensi
menghasilkan multiplier-effect sampai pada titik tersebut.
Keterangan:
Produktifitas intensif adalah upaya pengejaran produktifitas dan kualitas
komoditas pertanian oleh petani melalui penerapan paradigma pertanian
intensif.
Harga jual pasar adalah harga jual komoditas pertanian yang diperoleh
petani berdasarkan harga pasar berlaku.
Harga pokok produksi akrual adalah perhitungan dan penetapan total biaya
usahatani yang dilakukan petani berdasarkan konsep akrual dalam
akuntansi biaya.
Melihat pertanian tembakau sebagai contoh, untuk membentuk net farm
income berkeadilan sebagai upaya perwujudan pertanian mandiri hal utama yang
harus mendapatkan perhatian adalah harga jual komoditas pertanian. Harga jual
menjadi faktor paling berpengaruh bagi penerimaan petani, karenanya harga jual
tembakau haruslah harga jual yang mencerminkan keadilan petani, bukan
berlandaskan pasar yang sarat muatan unsur ketergantungan petani. Hal yang
48
diperlukan di sini adalah adanya intervensi pemerintah untuk mengatur harga jual
dasar tembakau. Kekuatan yang diletakkan pada mekanisme pasar tidak akan
memberikan manfaat keuntungan pasti bagi petani. Karenanya, dibutuhkan
kekuatan pemerintah untuk bisa mengatur harga jual tembakau baik melalui
sebuah peraturan pemerintah pusat maupun peraturan pemerintah daerah.
Pemerintah akan mampu melindungi petani jika harga jual dasar tembakau yang
ditentukan berpatokan pada biaya yang dikeluarkan oleh petani pada satu musim
tanam.
Terutama melalui peraturan daerah, pemerintah juga harus mampu
membenahi pola pemasaran tembakau agar tidak ada lagi mafia distribusi yang
bermain di dalamnya. Aturan-aturan tersebut juga selayaknya memuat standar
baku penilaian kualitas tembakau agar tidak memberi kerancuan bagaimana
seharusnya tembakau tersebut dinilai demi penetapan harga jual. Karena
seringkali kualitas dari tembakau menjadi kambing hitam penurunan harga jual
secara sepihak oleh oknum pedagang. Di sisi lain, peraturan yang membatasi
adanya mekanisme ijon juga diperlukan karena mekanisme transaksi tersebut sarat
dengan kepentingan juragan, bukan petani. Pemerintah juga selayaknya
mengharuskan sistem transaksi dengan mekanisme timbang-bayar. Sistem
timbang bayar dirasa lebih memenuhi asas keadilan karena akan lebih mengurangi
dampak negatif ketergantungan petani terhadap modal juragan seperti harga jual
yang ditekan, penetapan rafaksi atau pengurangan berat keranjang yang terlampau
besar, tidak dihitungnya contoh tembakau sebagai hak petani, maupun pengenaan
biaya transportasi dan biaya tumplekan.
Model kemitraan antara petani dengan perusahaan rokok juga bisa
menjamin perlindungan petani dari kerugian yang lebih banyak. Harga jual bisa
dipukul rata apapun kualitasnya dan kapanpun waktu penjualannya. Tembakau
petani juga mendapat jaminan akan dibeli semuanya. Namun, prinsip yang
digunakan dalam penetapan harga jual harus berasaskan saling menguntungkan.
Perusahaan rokok sebagai pihak yang menilai usahatani harus secara
berkesinambungan menjalin komunikasi dengan petani binaan terkait
pembebanan biaya usahatani agar memperoleh kesepakatan besar margin
keuntungan yang disetujui bersama. Pola kemitraan juga harus dibangun dengan
dasar pertanian berkelanjutan. Jadi tidak saja produktivitas dan kualitas yang
dikejar, namun sisi keberlanjutan lingkungan alam pertanian turut diperhatikan.
Sejatinya kepentingan untuk mengubah paradigma pertanian dari intensif ke
keberlanjutan merupakan kebutuhan mendesak. Tidak saja pada ranah pertanian
kemitraan, melainkan mencakup seluruh bentuk aktivitas pertanian yang ada. Hal
ini dianggap wajar mengingat kebijakan pembangunan pertanian sejak masa orde
baru hingga sekarang lebih banyak terfokus pada usaha yang mendatangkan
keuntungan ekonomi jangka pendek, namun mengabaikan multifungsi yang
berorientasi pada keuntungan jangka panjang maupun keberlanjutan sistem usaha
tani. Pertanian tidak saja harus menghasilkan kebutuhan pangan bagi generasi
sekarang, terlebih untuk generasi masa depan. Jika dibiarkan berlarut-larut kondisi
pertanian seperti sekarang yang menggunakan input pertanian agrokimia dalam
jumlah besar, pertanian untuk masa depan akan sangat terancam.
Dari sisi karakter personal petani sendiri, petani seyogianya tetap berada
dalam pola pikir kultural terkait perhitungan harga pokok produksi usahatani, agar
eksistensi mereka tetap terjaga dan terhindar dari ketergantungan lebih lanjut.
49
Petani sebagai pelaku aktivitas bisnis juga mengenal serta mengaplikasikan
konsep net income. Namun, “masih” terdapat perbedaan antara net income yang
diaplikasikan oleh entitas bisnis sempurna (baca: perusahaan) dengan net farm
income yang diaplikasikan oleh petani. Petani menghasilkan net farm income
dengan perpaduan antara pola pikir bisnis dengan pola pikir kultural. Harga pokok
produksi pertanian berdasarkan perhitungan petani tidak saja mengandung unsur
ilmu ekonomi kontemporer, tetapi dengan kesadarannya petani juga memasukkan
unsur-unsur humanis-environmentalist karena karakter mereka yang tetap
memegang teguh konsepsi hidup budaya Jawa.
Dimensi kultural yang melekat dalam diri petani mampu memberikan
batasan kepada petani untuk tidak mengeksploitasi laba maksimal melalui lahan
pertaniannya. Petani dibatasi untuk tidak menjadi manusia serakah yang
dampaknya pula bisa merusak alam. Pun ketika harus menekan biaya, petani akan
lebih mengedepankan aspek kearifan lokal seperti diadakannya arisan mencangkul
misalnya. Inisiatif cerdas berbasis pengetahuan tradisional ini patut untuk
dilestarikan demi mencegah potensi ketergantungan petani. Maka dalam pola pikir
petani, petani akan sudah merasa lega jika menurutnya ia sudah menghasilkan
keuntungan atau net farm income, tanpa harus menggubris apa kata akuntansi
biaya yang menyebut keuntungan tersebut masih terdapat unsur “semu”.
Keuntungan petani dalam konteks akuntansi biaya masih belum merefleksikan
keuntungan yang sebenarnya karena terdapat beberapa pos biaya yang tidak akui.
Sebaliknya, pola pikir petani menekankan pada perihal “kecukupan”, petani akan
merasa cukup dengan keadaan untung yang sedikit daripada harus mengeruk
untung besar tetapi kondisi alam pertanian maupun sosialnya yang harus
dipertaruhkan.
Keterangan:
Produktifitas berkelanjutan adalah upaya pengejaran produktifitas dan
kualitas komoditas pertanian oleh petani melalui penerapan paradigma
pertanian berkelanjutan.
Harga jual berkeadilan adalah harga jual komoditas pertanian yang
diperoleh petani berdasarkan harga jual dasar komoditas pertanian yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Harga pokok produksi petani adalah perhitungan dan penetapan total biaya
usahatani yang dilakukan petani berdasarkan konsep non-akrual serta
mengandung unsur karakteristik fitrah petani yang berwawasan
kebudayaan (kesadaran sosial, kesadaran lingkungan, dan kesadaran
religiusitas).
Konsep seperti itulah yang menurut penulis akan mampu menyokong
keberadaan petani sebagai pilar utama pertanian nasional. Tanpa petani, pertanian
tidak akan ada dan sudah sepatutnya bagi seluruh stakeholder pertanian untuk
NFI Tembakau Pro Eksistensi Petani =
Penerimaan (Produktifitas Berkelanjutan x Harga Jual
Berkeadilan) – Total Biaya (Harga Pokok Produksi Petani)
50
mengupayakan keberadaan petani dengan mengedepankan aspek kesejahteraan
mereka. Paling tidak, upayakan terlebih dahulu harga jual komoditas pertanian
yang memihak petani melalui intervensi oleh pemerintah. Dengan menetapkan
standar harga jual dasar yang berpatokan pada keseluruhan pengeluaran total
biaya usahatani petani, setidaknya petani akan merasakan ketentraman lebih
karena mereka mendapat jaminan bisa memperoleh keuntungan. Barulah ketika
petani sudah merasakan bahwa mereka terlindungi bukan tidak mungkin
pergeseran paradigma pertanian dari intensif ke keberlanjutan bisa diupayakan
lebih masif.
Perwujudan net farm income yang memihak petani seperti tersampaikan di
atas memang tidak serta merta mampu dipenuhi dengan mudah dan dalam waktu
secepatnya. Terlebih untuk pertanian tembakau yang saat ini begitu dilematik.
Tembakau di satu sisi mampu memberikan sumbangan kepada negara begitu
besar, namun di sisi lain mata masyarakat luas telah diburamkan oleh perang
bisnis berkedok kemanusiaan, sehingga mereka mengenal tembakau dengan
begitu sinis bahwa yang ada tembakau itu merusak kesehatan manusia. Namun
mereka, para petani tembakau itu juga orang Indonesia. Petani tembakau adalah
salah satu bagian yang berhak memperoleh jatah keadilan sesuai sila kelima
pancasila. Tak patut rasanya untuk kemudian mengesampingkan petani tembakau
hanya karena mereka memproduksi komoditas yang setidaknya telah dicap
“haram” oleh suatu organisasi umat beragama terbesar di Indonesia. Petani
tembakau layak hidup, namun hidup mereka selalu tak pernah diperhatikan. Hal
yang kemudian akan mampu memberikan pengaruh besar terhadap terciptanya net
farm income berkeadilan bagi petani tembakau maupun petani Indonesia secara
keseluruhan adalah tatkala tergugahnya kesadaran kaum tua dan kaum muda
Indonesia bahwa negerinya sedang kembali terjajah.
Teori Akuntansi Ketergantungan: Not Just Global, But Local Too
Aspek keilmuan pertanian baik dari sisi teknis budidaya maupun ekonomi,
mengantarkan surplus ekonomi pertanian sebagian besar mengalir pada kelompok
kepentingan tertentu melalui keadaan ketergantungan petani. Sedangkan petani
sebagai tulang punggung pertanian hanya diberikan keuntungan yang sekedar
bersifat “bebungah” atau hadiah saja. Pertanian tembakau bisa dianggap sebagai
pertanian yang istimewa karena nilai jual komoditasnya cenderung lebih tinggi
dari pada komoditas pertanian lain. Fluktuasi harga juga tidak begitu terlihat
mencolok bila dibandingkan dengan harga komoditas pertanian tinggi lainnya
(lihat tabel 11).
Tabel 11. Perbandingan Harga Pembelian Tembakau Temanggung Tahun 2010-
2013
No
2010 2011 2012 2013
Terendah
(Rp/Kg)
Tertinggi
(Rp/Kg)
Terendah
(Rp/Kg)
Tertinggi
(Rp/Kg)
Terendah
(Rp/Kg)
Tertinggi
(Rp/Kg)
Terendah
(Rp/Kg)
Tertinggi
(Rp/Kg)
A 15.000 20.000 30.000 60.000 - - 15.000 25.000
B 30.000 35.000 40.000 102.500 - - 30.000 40.000
C 45.000 50.000 60.000 135.000 40.000 60.000 45.999 55.000
D 60.000 70.000 135.000 170.000 60.000 70.000 60.000 65.000
E 75.000 85.000 170.000 170.000 - - 70.000 85.000
F - - 175.000 225.000 - - - -
G - - 200.000 225.000 - - - -
Sumber : Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, 2014
51
Namun, nilai harga tembakau yang berlaku tersebut masih berada di
tingkatan petani. Nilai tersebut belum mampu mencerminkan berapa harga jual
sebenar-benarnya di tingkat pedagang atau perwakilan pabrik yang mengandung
unsur harga beli asli dari perusahaan. Di sinilah kemudian muncul kecenderungan
bahwa petani hanya mendapatkan bagian keuntungan yang sedikit dari harga jual
tembakau tersebut. Untuk memperjelas sebenarnya berapa keuntungan atau net
farm income yang bisa dihasilkan petani dari perdagangan tembakau ini, peneliti
akan mencoba membuat perhitungan kasar.
Pertama akan dihitung terlebih dahulu berapa harga jual dasar tembakau
yang berlaku pada titik break event point. Harga tersebut akan merefleksikan
berapa seharusnya harga jual tembakau tersebut ditetapkan agar petani
memperoleh keuntungan. Petani tembakau yang menjadi narasumber penelitian
ini tidak bisa memperkirakan secara tepat berapa kilogram jumlah produksi
tembakaunya selama satu musim. Untuk itu, demi memudahkan perhitungan
peneliti menggunakan indikator jumlah produktivitas berdasarkan rata-rata
produktivitas petani tembakau Temanggung per hektarnya dalam kurun waktu
tahun 2007-2012 (lihat tabel 5.5). Diperolehlah angka rata-rata produktivitas
petani tembakau sebesar 552,2 kg/ha.
Kemudian, angka rata-rata produktivitas tersebut dikalikan dengan luas
lahan yang dimiliki masing-masing petani. Harga dasar tembakau pada titik break
event point akan diketahui dari penjumlahan antara harga pokok produksi menurut
petani dengan pokok utang yang dipinjam petani, lalu dibagi dengan output
tembakau rata-rata masing-masing petani. Hasilnya, harga break event point untuk
masing-masing petani adalah sebesar Rp. 66.959/kg untuk Pak Wanto, Rp.
53.531/kg untuk Pak Rochimin, dan Rp. 50.658/kg untuk Pak Yanto
(selengkapnya lihat tabel 9.2.). Artinya, jika harga jual tembakau yang ditetapkan
tidak berada di atas harga break event point tersebut, petani dipastikan akan
mengalami kerugian.
Tabel 12. Harga Break Event Point Tembakau Petani
Padahal, ketika kita melihat kembali harga jual tembakau yang berlaku di
tingkat petani (tabel 11) untuk kualitas tembakau menengah (totol C, D dan E),
petani akan untung jika kualitas tembakau yang dihasilkannya semua berada pada
kualitas totol D dan E. Sedangkan hasil panen tidak selamanya akan memberikan
Petani Lahan
Output
Rata-
Rata
HPP Petani Pokok Utang Harga BEP
Pak
Wanto 1 Ha 552.2 Kg Rp. 26.975.000 Rp. 10.000.000 Rp. 66.959
Pak
Rochimin 0,5 Ha 276.1 Kg Rp. 9.780.000 Rp. 5.000.000 Rp. 53.531
Pak
Yanto 1,5 Ha 828.3 Kg Rp. 26.960.000 Rp. 15.000.000 Rp. 50.658
(HPP Petani + Pokok Utang)
Output Rata-Rata Harga BEP =
52
kualitas yang homogen, hasil panen petani selalu bisa dipastikan akan
menghasilkan kualitas tembakau yang heterogen dengan kemungkinan variasi
jenis totol CDE, CD, CE, atau DE. Bahkan bisa saja kemudian akan menghasilkan
jenis totol lain seperti totol A maupun B ketika cuaca pada saat musim tanam
tidak mendukung. Pun proporsi kuantitas untuk masing-masing jenis kualitas
tidak dapat ditentukan secara pasti, semua tergantung pada kondisi alam dan
penilaian oleh pedagang maupun grader.
Berdasarkan perbandingan harga break event point (tabel 12) dan harga
tembakau yang berlaku di pasar (tabel 11) dapat dilihat bahwa musim panen
terbaik untuk petani terjadi pada tahun 2011. Harga pasar tembakau pada tahun
tersebut untuk kualitas terendah sudah mencapai angka Rp. 30.000/kg, sedangkan
untuk kualitas menengah seperti totol C saja harga terendah sudah mencapai
angka Rp. 60.000/kg. Menjadi sangat beralasan apa yang telah diutarakan baik
oleh Bapak Hasyim Affandi maupun para petani tembakau tersebut jika tahun
2011 memang tahun panen terbaik untuk petani. Tetapi kondisi cukup
memprihatinkan kembali harus dialami oleh petani pada musim panen tahun
2013. Harga jual tidak sebaik pada kurun waktu dua tahun sebelumnya, diikuti
dengan permintaan perusahaan rokok yang tidak begitu besar hanya sekitar
10.122 ton saja (Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Temanggung, 2014).
Potensi rugi muncul karena harga jual terendah untuk totol C berada pada angka
Rp. 50.000/kg, sedangkan harga tertinggi untuk kualitas totol E adalah Rp.
85.000/kg.
Menarik untuk melihat berapa besar net farm income yang bisa diperoleh
masing-masing petani narasumber penelitian ini jika kondisi musim tembakau
tidak begitu memihak seperti terjadi pada tahun 2013 lalu. Pertama-tama akan
dihitung terlebih dahulu terkait harga jual rata-rata untuk tembakau kualitas C
sampai E. Penerimaan petani dihitung berdasarkan harga rata-rata tersebut karena
terkait dengan heterogenitas kualitas tembakau yang dihasilkan oleh petani. Harga
rata-rata tembakau totol C-E tahun 2013 sebagai komponen perhitungan net farm
income petani dihitung berdasarkan perhitungan rata-rata antara rata-rata harga
terendah untuk kualitas totol C sampai E dengan rata-rata harga tertinggi untuk
kualitas tembakau yang sama. Dari perhitungan tersebut diperoleh harga rata-rata
tahun 2013 untuk tembakau kualitas C sampai dengan kualitas E sebesar Rp.
63.500/kg.
Harga Rata-Rata 2013 Totol C-E =
Rata-Rata Harga Terendah + Rata-Rata Harga Tertinggi
2
Harga Rata-Rata 2013 Totol C-E =
Rp. 58.666 + Rp. 68.333
2 = Rp. 63.500
53
Selanjutnya, harga rata-rata tersebut dijadikan sebagai komponen
perhitungan penerimaan usahatani yang kemudian akan memunculkan nilai net
farm income masing-masing petani. Berdasarkan perhitungan net farm income
berbasis harga pokok produksi petani yang telah dilakukan, diperoleh hasil net
farm income atau laba usahatani masing-masing petani pada tahun 2013 yaitu
sebesar – Rp. 1.910.300 untuk Pak Wanto, Rp. 2.752.350 untuk Pak Rochimin,
dan Rp. 10.637.050 untuk Pak Yanto. Pak Wanto merugi, sedangkan Pak
Rochimin dan Pak Yanto hanya menangguk untung yang sedikit bila
dibandingkan dengan pengorbanan materi, tenaga, maupun pikiran selama 7 bulan
melakukan budidaya serta pemasaran tembakaunya. Perhitungan ini masih
berbasis harga pokok produksi menurut petani, bagaimana jika dilakukan dengan
basis perhitungan harga pokok produksi menurut akuntansi biaya? Tentu hasil
kerugian lebih besar akan dialami ketiga petani tembakau tersebut.
Tabel 9.3. Net Farm Income Petani Tembakau Tahun 2013
Tabel 13. Net Farm Income Petani Tembakau
Petani Output Harga Penerimaan Pokok Utang NFI Basis
HPP Petani
Pak Wanto 552.2 Kg Rp. 63.500 Rp. 35.064.700 Rp. 10.000.000 (Rp. 1.910.300)
Pak
Rochimin 276.1 Kg Rp. 63.500 Rp. 17.532.350 Rp. 5.000.000 Rp. 2.752.350
Pak Yanto 828.3 Kg Rp. 63.500 Rp. 52.597.050 Rp. 15.000.000 Rp. 10.637.050
Hasil tersebut memang tidak memberikan asas keadilan bagi petani. Lagi-
lagi faktor harga jual memperlihatkan kenyataannya yang harus menjadi titik berat
masalah pengentasan pemiskinan petani. Harga jual berkeadilan mutlak harus
diperjuangkan demi menyokong keberadaan petani. Karena selama ini memang
keuntungan dari penetepan harga jual berbasis pasar lebih dinikmati oleh
pedagang atau tengkulak maupun perusahaan rokok itu sendiri. Dari sisi
pedagang, jika margin keuntungan yang mereka tetapkan untuk setiap
kilogramnya adalah Rp. 5.000 saja maka dengan produktivitas rata-rata petani
tembakau sebesar 552,2 kg/ha, mereka akan mengeruk keuntungan sebesar Rp.
2.761.000 per hektar lahan petani. Padahal menurut para petani, terkadang harga
jual yang ditekan oleh oknum pedagang melebihi angka tersebut yaitu antara Rp.
5.000 sampai dengan Rp. 10.000.
Pedagang akan memperoleh untung lagi dengan adanya hak tembakau yang
terambil dari penetapan rafaksi dan comotan. Berat bruto tembakau dalam satu
kemasan keranjang berkisar antara 35-50 kg dengan penetapan rafaksi umumnya
dimulai pada kisaran 7 kg. Secara perhitungan kasar jika saja berat tembakau yang
terambil dari penetapan rafaksi dan comotan tersebut masing-masing 1 kg,
kemudian dalam satu hektar lahan pertanian menghasilkan 20 keranjang (552,2
kg/(35kg-7 kg)), maka dengan harga jual rata-rata Rp. 63.500/kg pedagang akan
kembali memperoleh “subsidi” dari petani sebesar Rp. 2.540.000 (2kg x 20
keranjang x Rp. 63.500) per satu petani yang memiliki lahan 1 hektar. Artinya,
setiap 1 hektar lahan, petani kehilangan hak pendapatannya sebesar Rp.
Penerimaan = (Produktivitas x Harga Rata-Rata)
NFI = Penerimaan – (HPP Petani + Pokok Utang)
54
5.301.000. Angka tersebut belum termasuk perhitungan biaya transportasi
maupun biaya pungutan tumplekan yang dibebankan kepada petani.
Angka yang cukup besar tersebut nyata membebani petani, petani dirugikan
dan rasionalisasi konsep net farm income maupun usaha pencapaian laba
maksimal kapitalis melalui akuntansi tidak mampu memperlihatkan keadilan. Jika
harus membandingkan pendapatan petani dan perusahaan rokok sebagai core-
business pertembakauan, benar-benar tercermin ketimpangan distribusi
pendapatannya. Bandingkan saja dengan perolehan laba tiga perusahaan rokok
yang listing di Bursa Efek Indonesia, ketimpangan jelas terlihat yang di dalamnya
termuat unsur “pemarginalan petani” melalui penetapan harga jual “seenak jidat”
mereka. Terlebih lagi, dari laba dan pemarginalan petani tersebut lahir pula para
miliarder kelas kakap penghuni kasta tertinggi orang-orang kaya di Indonesia.
Tabel 14. Perbandingan Laba Kotor Perusahaan Rokok
Laba
Bersih Keterangan
Tahun (Dalam Jutaan Rupiah)
2010 2011 2012 2013
PT.
Bentoel
Pendapatan
Bersih 8.904.568 10.070.175 9.850.010 12.273.615
Beban
Penjualan (6.960.270) (7.756.010) (8.180.101) (10.492.258)
Laba Kotor 1.944.298 2.314.165 1.669.909 1.781.357
PT.
Gudang
Garam
Pendapatan
Bersih 37.691.997 41.884.352 49.028.696 55.436.954
Beban
Penjualan (28.826.410) (31.754.984) (39.843.974) (44.563.096)
Laba Kotor 8.865.587 10.129.368 9.184.722 10.873.858
PT. HM
Sampoerna
Pendapatan
Bersih 43.381.658 52.856.708 66.626.123 75.025.207
Beban
Penjualan (30.725.665) (37.661.205) (48.118.835) (54.953.870)
Laba Kotor 12.655.993 15.195.503 18.507.288 20.071.337 Sumber: Laporan Tahunan PT. Bentoel, PT. Gudang Garam, dan PT. HM Sampoerna.
Menurut data yang dilansir Forbes Asia (http://www.forbes.com/indonesia-
billionaires), pemilik dua perusahaan rokok nasional terbesar yaitu Robert Budi
Hartono dan Michael Hartono (PT. Djarum) dan Susilo Wonowidjojo (PT.
Gudang Garam) berada pada peringkat pertama serta kedua orang terkaya se-
Indonesia. Peter Sondakh yang notabene dulu adalah pemilik dari PT. Bentoel
International Investama sebelum diakuisisi oleh British American Tobacco berada
di peringkat 8. Sedangkan, Putera Sampoerna yang dahulu memiliki 100% saham
PT. HM Sampoerna sebelum diakuisisi oleh Phillip Morris Int. berada di posisi ke
13 dengan total kekayaan mencapai $1,9 miliar. Data tersebut mengantarkan
sebuah fakta bahwa surplus ekonomi pertanian tembakau sebagian besar mengalir
deras ke tangan-tangan shareholder perusahaan rokok. Petani yang berjuang keras
memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan-perusahaan rokok tersebut justru
berada di arah sebaliknya. Petani seakan diperas di sini, dengan minimnya potensi
serta jaminan memperoleh keuntungan usahatani.
Memang terlihat seperti mengadu ikan teri dengan ikan hiu, namun yang
ingin ditekankan di sini adalah bagaimana pencapaian laba korporasi tersebut
mengandung unsur pemarginalan yang amat merugikan petani. Seyogianya,
55
simbiosis agribisnis tembakau harus memberikan kesejahteraan merata “dari
tahun ke tahun” bagi petani selaku pelaku usaha utama. Petani sendiri pun merasa
bahwa pertanian tembakau belum memberi jaminan keuntungan dari tahun ke
tahun. Terlihat dari ucapan para petani bahwa tahun 2011 merupakan tahun
terbaik bagi mereka. Sampai-sampai menurut kesaksian Brata (2012:73) selepas
musim tembakau tahun 2011, 140 warga desa Campurejo mampu mendaftarkan
diri untuk keperluan ibadah haji ke Tanah Suci. Petani yang notabene
menghasilkan tembakau menengah bisa menghasilkan nilai keuntungan yang
cukup besar pada waktu itu. Namun, apa yang dirasakan petani di tahun-tahun
setelahnya memang berbanding terbalik dengan kondisi di tahun 2011. Terutama
untuk musim panen tahun 2013 dan 2014, petani merasakan tidak cukup
mendapat keuntungan, justru mungkin dalam perhitungan yang lebih riil mereka
mengalami kerugian.
Todaro dan Smith (2006:141) mengatakan bahwa teori ketergantungan
memandang negara-negara Dunia Ketiga sebagai korban dari kekakuan aneka
faktor kelembagaan, politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun
internasional, di mana mereka telah terjebak pada ketergantungan dan dominasi
negara-negara maju. Melalui definisi tersebut, teori ketergantungan dalam
beberapa asumsi dasarnya telah terbukti bersangkutan dengan keadaan
ketergantungan yang menimpa petani dan pertanian Indonesia. Dilihat secara
historis struktural, keadaan ketergantungan pertanian banyak dipengaruhi oleh
pemilihan paradigma pembangunan pertanian Indonesia yang modern-industrial
dan cenderung meniru gaya barat. Teori ketergantungan lahir dari kritik terhadap
teori modernisasi yang jelas mengatakan bahwa modernisasi hanya akan
membawa keuntungan bagi negara sentral dan ketergantungan bagi negara
metropolis. Demikian pula dengan yang terjadi di pertanian Indonesia,
pembangunan pertanian Indonesia selayaknya mempunyai ciri khas sendiri karena
teori-teori pembangunan negara barat tidak sepenuhnya akan mampu beradaptasi
secara sempurna dengan kondisi pertanian di Indonesia. Pemilihan konsep
pembangunan pertanian berbasis Revolusi Hijau pada masa orde baru menjadi
titik awal kondisi pertanian Indonesia mengalami ketergantungan. Perubahan
sistem pertanian secara masif dari tradisional ke modern didukung dengan
pengetatan pola produksi melalui berbagai undang-undang dan peraturan hukum
menjadikan para petani mentradisikan nilai-nilai modern di pertaniannya hingga
sekarang.
Perubahan paradigma pembangunan pertanian Indonesia ke sistem
agribisnis justru menambah rumit keadaan ketergantungan. Pertanian benar-benar
digiring ke ranah bisnis sebagai sapi perah pemenuhan kebutuhan industri.
Agribisnis lebih membelenggu petani dengan keadaan ketergantungan petani pada
perusahaan swasta dalam ranah upstream sampa marketing subsistem agribisnis.
Sistem agribisnis menempatkan perusahaan pertanian swasta sebagai pelaku
dominan agribisnis. Alhasil, petani Indonesia mengalami ketergantungan hebat
pada bibit unggul, pupuk kimia, serta pestisida kimia yang diproduksi perusahaan
multinasional. Efek lainnya adalah strategi pemenuhan laba maksimal perusahaan
agribisnis mampu membuat gejolak dan dinamika pasar sedemikian rupa yang
berdampak pada kondisi kesejahteraan petani. Pasalnya, petani tergantung pada
harga jual dan kuantitas penyerapan hasil komoditas pertanian yang ditentukan
perusahaan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitulah kira-kira gambaran
56
kondisi petani saat ini. Petani tergantung dengan input pertanian produksi
perusahaan swasta yang harganya ditentukan oleh perusahaan, petani juga
tergantung oleh penetapan harga jual dan kuantitas penyerapan komoditas oleh
perusahaan.
Lebih lanjut lagi dampak sistem agribisnis tak hanya mengubah pola pikir
petani dari kultural menjadi bisnis, namun juga kultur yang melingkupi pertanian
itu sendiri telah terdegradasi. Pola pikir bisnis akan menempatkan laba sebagai
tujuan utama usahatani. Kreasi dari pola pikir bisnis petani akan berdampak pada
cara-cara sistematis petani mengusahakan pertanian yang menguntungkan. Selain
tidak akan melepaskan petani dari budaya penerapan pertanian intensif, petani pun
tidak akan mengindahkan norma-norma keberlangsungan pertanian. Selain itu
didukung dengan pelembagaan kepentingan asing melalui penggiringan pertanian
ke arah liberalisasi juga mampu memporak-porandakan struktur kemandirian
pertanian nasional. Liberalisasi dijalankan tanpa filtrasi dan tanpa batasan, alhasil
gerak kreatifitas dan kemandirian pertanian nasional justru yang terbatasi dengan
maraknya produk pertanian impor yang membanjiri pasar pertanian Indonesia.
Ketergantungan pun bertolak belakang dengan pembangunan karena
kesejahteraan petani sepenuhnya akan tergantung pada mekanisme pasar yang
dijalankan oleh perusahaan.
Bertolak dari pembahasan sebelumnya, kita melihat bahwa akuntansi
memiliki kontribusi cukup penting bagi pembentukan keadaan ketergantungan
petani. Tidak hanya ketergantungan yang bersifat global sesuai asumsi dasar teori
ketergantungan, namun juga ketergantungan yang bersifat lokal. Akuntansi adalah
alat rasionalisasi pembentukan ketergantungan petani tersebut. Ketergantungan
petani tercipta lantaran apa yang disampaikan oleh Irianto (2006) bahwa
konsekuensi logis pengejaran laba maksimal hanya akan membesarkan satu atau
lebih kelompok kepentingan tertentu, sementara memarginalkan dan atau bahkan
dapat menghancurkan yang lainnya. Konstruk laporan laba rugi konvensional
memberikan "fasilitas" terjadinya praktik bisnis demikian, oleh karena laba dalam
konstruk laporan tersebut memang dikreasi dan dicitrakan sebagai the bottom line.
Aktivitas bisnis kemudian senantiasa akan ditujukan untuk memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan tidak jarang menggunakan berbagai
cara yang melanggar etika bahkan ketentuan hukum, atau mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang parah.
Ya, selain mendistribusikan laba pertanian ke beberapa kelompok
kepentingan tertentu (baca: korporasi dan agen ekonomi), akuntansi konvensional
juga bertanggung jawab atas ketergantungan petani (global dan lokal) yang bisa
berakibat pada rusaknya lingkungan alam dan lingkungan budaya karena esensi
corporate greed di dalamnya. Konsumsi pestisida dan pupuk kimia petani dalam
konteks ketergantungan ini telah begitu meresahkan. Tetapi, ranah ilmu ekonomi
pertanian senyatanya masih memberikan rekomendasi penggunaan pestisida dan
pupuk kimia untuk menjaga produktivitas tinggi, ditunjang dengan turunan
dampak ideologis konsep net farm income bahwa pertanian tidak lain dan tidak
bukan hanya ditujukan sebagai usaha bisnis. Pemikiran demikian ini sangat
membelenggukan petani dalam ketergantungan, selagi pembangunan pertanian
berbasis pertanian berkelanjutan dan perwujudan harga jual komoditas
berkeadilan hanya “jalan ditempat”.
57
Sepatutnya seluruh stakeholder pertanian terutama pemerintah harus mampu
memperjuangakan model pembangunan pertanian yang memihak petani. Petani
tembakau khususnya kini seakan berada dalam kondisi “hidup segan mati tak
mau” untuk melakukan usahatani tembakau. Jika memutuskan untuk masih
bertani tembakau, petani akan dihadapkan pada potensi kerugian yang cukup
besar karena berada dalam kondisi ketergantungan. Di sisi lain, ketika petani tidak
mau untuk mengusahakan pertanian tembakau, keberlangsungan hidup dirinya
beserta keluarga tidak juga terjamin. Tembakau dimaknai sebagai suatu jiwa serta
jatidiri petani, maka petani tidak mau mengusahakan komoditas pertanian lain.
Toh komoditas pertanian lain belum ada yang mampu menandingi nilai ekonomis
tembakau. Kalaupun ada, petani pasti juga akan dihadapkan pada kondisi
pemarginalan yang sama. Sama-sama bermasalah dalam rantai pemasaran,
penetapan harga jual berbasis pasar, maupun ketergantungan pada pertanian
intensif. Kemungkinan besar ketika petani selalu dirundung masalah akibat
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengabaikan keberadaannya, jumlah petani
akan terus menurun. Bukan tidak mungkin lagi kedaulatan pertanian nasional
hanya akan sekedar mimpi, lalu Indonesia harus terus tergantung dengan impor
bahan pangan dari luar negeri. Sama saja itu artinya dengan penjajahan baru,
mengulang sejarah.
EPILOG: AKHIR TAPI BUKAN YANG TERAKHIR
Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kita melihat tiga hal
kontribusi konsep net farm income dan akuntansi konvensional bagi keadaan
ketergantungan petani. Pertama, dari aspek dampak ideologis konstruk laporan
laba rugi yang menempatkan laba (net income) sebagai tujuan utama (bottom line)
suatu usaha ekonomis atau bisnis. Konstruk laporan tersebut secara ideologis
mampu memberikan konsekuensi implementasi strategi bisnis entitas bisnis
terutama korporasi besar dalam bentuk yang bisa memarginalkan pihak-pihak
tertentu. Laba akan diperoleh dengan mengurangi pendapatan bersih dengan
beban-beban yang melingkupinya. Laba maksimal kemudian akan diperoleh
dengan jalan menaikkan setinggi-tingginya angka penjualan dibarengi dengan
menurunkan biaya serendah-rendahnya. Perusahaan rokok yang berlaku sebagai
entitas bisnis tersebut, pasti juga akan mempraktikkan hal itu. Pada akhirnya
pihak yang dirugikan adalah petani karena tembakau yang dianggap sebagai biaya
pengorbanan, angkanya harus ditekan serendah mungkin. Imbasnya harga jual
tembakau di tingkat petani akan sangat tergantung keputusan perusahaan rokok.
Kedua, dari aspek legitimasi penerapan pengukuran dan penilaian aset
berdasarkan konsep fair value dalam IAS 41 yang mentradisikan dominasi rantai
pasar pada perusahaan, pedagang, dan tengkulak. Dominasi harga jual yang
ditetapkan oleh perusahaan akan semakin mendapatkan pengakuan tatkala IAS 41
kemudian diadopsi oleh Indonesia ke dalam standar akuntansi keuangannya.
Pasalnya, konsep fair value menempatkan harga pasar sebagai basis penilaian dan
pengukuran aset, sedangkan karakteristik pertanian Indonesia saat ini belum
mampu mengakomodasi posisi petani secara struktural untuk mendapatkan harga
pasar komoditas pertanian yang berkeadilan. Dengan kata lain, konsep harga pasar
komoditas pertanian rentan dengan kooptasi kepentingan perusahaan, pedagang,
58
dan tengkulak, sehingga ketika keberadaan IAS 41 belum diimbangi dengan
adanya regulasi hukum dari pemerintah yang mampu membatasi pengaturan harga
oleh perusahaan, petani akan selalu terancam rugi.
Ketiga, dari aspek rasionalisasi konsep net farm income yang berpotensi
melahirkan adopsi petani terhadap teori serta praktik penerapan harga pokok
produksi berbasis akrual (akuntansi biaya). Jika kemudian petani benar-benar
menjadi sosok entitas bisnis yang berpikir rasional bahwa tujuan utama
usahataninya adalah untuk mengejar laba maksimal, perhitungan harga pokok
produksi pertaniannya juga akan dilakukan secara menyeluruh dan mengacu pada
kaidah ekonomi kekinian (akrualisasi). Petani mempunyai karakteristik berbeda
dari kebanyakan individu yang berpikir rasional tersebut, karenanya karakteristik
itu pula yang menjadi pembeda refleksi antara perhitungan harga pokok produksi
pertanian menurut petani dengan perhitungan harga pokok produksi pertanian
menurut akuntansi biaya. Harga pokok produksi pertanian yang dihitung
berdasarkan konsep akrual dalam akuntansi biaya selalu akan merefleksikan nilai
yang lebih tinggi. Petani dengan karakter profit centris akan selalu berusaha
mencari celah bagaimana total biaya produksi yang terfleksi dalam perhitungan
secara menyeluruhnya mampu diimbangi oleh sisi penerimaannya. Sebenarnya
sah-sah saja jika petani akan menghitung harga pokok produksi pertaniannya
secara menyeluruh, tetapi kembali lagi jika harga jual komoditas pertanian yang
menjadi faktor penentu penerimaan uasahatani masih berada dalam konsep harga
pasar, atau belum adanya perlindungan harga jual komoditas yang berkeadilan
dari pemerintah, perhitungan harga pokok produksi tersebut rentan menimbulkan
eksploitasi petani terhadap lahan pertaniannya secara besar-besaran. Petani akan
selalu dihadapkan pada nilai total biaya usahatani yang tinggi, sedangkan di sisi
lain petani tergantung dengan harga jual komoditas pertaniannya pada perusahaan,
pedagang, atau tengkulak.
Berbagai konsep yang melekat dalam diri akuntansi konvensional
selayaknya perlu dievaluasi lebih lanjut lagi agar keberadannya tidak dijadikan
sebagai rasionalisasi pengejaran laba maksimal korporasi yang dampaknya
mampu memarginalkan pihak-pihak tertentu serta memberikan dampak buruk
bagi lingkungan. Konsekuensi logis dari konstruk laporan laba rugi pada
akuntansi konvensional yang diterapkan oleh entitas bisnis berupa perusahaan
swasta mampu memberikan dampak ketergantungan petani baik yang bersifat
global maupun sampai pada ketergantungan yang bersifat lokal. Sedangkan
bentuk ketergantungan tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat
pembangunan pertanian berkeadilan, berwawasan lingkungan, serta perwujudan
kedaulatan pertanian nasional. Petani dan pertanian nasional seolah hanya
dijadikan “sapi perah” korporasi dengan mekanisme ketergantungan petani dalam
semua ranah aktivitas pertanian yang melingkupinya. Ketergantungan pada pupuk
dan pestisida kimia, ketergantungan harga jual, ketergantungan pemasaran,
sampai pada ketergantungan modal oleh pelepas uang.
Untuk lebih memperhatikan keberadaan petani serta menjamin
keberlanjutan pertanian Indonesia yang berdiri di kaki sendiri perlu adanya suatu
konsep pembaharuan pembangunan pertanian yang berpijak pada net farm income
bernafaskan keadilan serta wawasan lingkungan. Terutama dalam kasus pertanian
tembakau ini, konsep net farm income tersebut harus meletakkan sendi-sendi
keadilan dengan mengupayakan pertama, harga jual komoditas pertanian
59
tembakau yang berkeadilan melalui intervensi pemerintah. Kedua, pembangunan
pertanian harus meletakkan paradigma pertanian berkelanjutan sebagai pijakan
utama agar tidak ada lagi ketergantungan petani pada input pertanian agrokimia
yang berbahaya bagi lingkungan alam. Ketiga, dibutuhkan kesadaran seluruh
stakeholder pertanian untuk tidak mengabaikan unsur-unsur kebudayaan lokal
masyarakat tani agar lahan pertanian tidak dijadikan sebagai ladang eksploitasi
besar-besaran perusahaan swasta melalui eksploitasi petani terhadap lahan
pertaniannya. Karakteristik kelokalan petani layaknya sebuah lentera kecil,
berbahan bakar “nurani petani”, yang mampu memberikan cukup penerangan
dikala daya “pemihakan pemerintah” kepadanya mati tak sengaja atau entah
disengaja menghasilkan kegelapan “hegemoni bisnis” yang membelenggukan
mereka dalam pemarginalan.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini mempunyai kendala besar dalam pendekatan etnografi yang
dilakukan. Objek studi etnografi belum terjamah secara keseluruhan
karena peneliti tidak mempunyai kesempatan untuk terjun langsung mulai
dari masa awal sampai masa akhir produksi usahatani tembakau. Studi
etnografi yang dilakukan dalam penelitian hanya dilakukan dalam waktu
yang singkat. Terhitung penelitian etnografi primer dilakukan selama satu
setengah bulan saja. Selayaknya studi etnografi dilakukan dalam waktu
yang lebih lama untuk memahami secara lebih mendalam subjek dan objek
kajian etnografi.
2. Keterbatasan waktu penulisan dan pengetahuan penulis, sehingga
pembahasan dan penyelesaian masalah yang penulis sarankan masih
bersifat kurang spesifik dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Abdillah et al. 2008. Kondisi Petani Tembakau di Indonesia: Studi Kasus
di Tiga Wilayah Penghasil Tembakau. Lembaga Demografi – FEUI dan
Tobacco Control Support Center (TCSC) – Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jakarta.
Ahsan, Abdillah et al. 2012. Fakta Tembakau Permasalahan Di Indonesia Tahun
2012. Lembaga Demografi – FEUI dan Tobacco Control Support Center
(TCSC) – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Jakarta.
Amir, Vaisal et al. 2014. Gugurnya Petani Rakyat: Episode Perang Laba
Pertanian Nasional. Universitas Brawijaya Press. Malang.
Aryanto, Yohanes Handoko. 2011. Theoretical Failure of IAS 41: Agriculture.
Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1808413. Diunduh: 24 Oktober
2014.
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa, Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.
Wasta Pustaka Yogyakarta. Yogyakarta.
Baswir, Revrisond. 2008. Bahaya Neoliberalisme. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Bhakir, M. I. Thurrun. 2010. Applying IAS 41 in Malaysia. Accountants Today.
http://www.mia.org.my/at/at/2010/03/06.pdf. Diunduh: 21 September 2014.
60
Bosch , Josep M. Argiles. 2011. A Comparative Study of Difficulties in
Accounting Preparation and Judgement in Agriculture Using Fair Value and
Historical Cost For Biological Assets Valuation. Journal of RC-SAR Vol. 15
- No.1:109-142.
Brata, Wisnu. 2012. Tembakau Atau Mati. Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan
Seorang Petani Tembakau. Indonesia Berdikari. Jakarta.
Braun, Joachim Von. 2008. Agriculture for Sustainable Economic Development:
A Global R & D Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis. Charles
Valentine Riley Memorial Lecture Capitol Hill Forum. Washington D.C.
http://www.ifpri.org/sites/default/files/publications/20080228jvbriley.pdf.
Diunduh: 29 Agustus 2014.
Carter, William K. 2009. Akuntansi Biaya, Edisi 14. (Krista, Penerjemah).
Penerbit Salemba Empat. Jakarta.
Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among
Five Approaches 2 Edition. Thousand Oaks CA. Sage.
Daeng, Salamudin et al. 2011. Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri
Tembakau Indonesia Di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok
Internasional. Indonesia Berdikari. Jakarta.
DM, Abhisam, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan. 2011. Membunuh Indonesia:
Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Penerbit Kata-kata. Jakarta.
Downey, W. D. dan Steven, P.E. 1992. Manajemen Agribisnis. Erlangga. Jakarta.
Dwicaksono, Marsetyo Ramadhany Bagus et al. 2013. Pengaruh Penambahan
Effective Microorganisms pada Limbah Cair Industri Perikanan Terhadap
Kualitas Pupuk Cair Organik. Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan Vol
7. Universitas Brawijaya. Malang.
Dyah, Mohammad. 2011. Bahan Ajar Metodologi Penelitian: Rancangan
Penelitian Etnografi. https://ferdinandusnipa.wordpress.com. Diunduh: 10
Juli 2014.
Firdaus, Muhammad. 2008. Manajemen Agribisnis. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Gietema, Bart. 2006. Agro-Source 4: Farm Accounting. Digigrafi. Wageningen.
http://www.ruralfinance.org/fileadmin/templates/rflc/documents/116352827
4908_Farm_accounting.pdf. Diunduh: 29 Agustus 2014.
Giller, K.E et al. 1996. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity and
Agroecosystem Function. Jurnal Applied Soil Ecology 6 of Elsevier Science
B.V.
Hadi, Syamsul et al. 2012. Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan
Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia. Indonesia Berdikari. Jakarta.
Hairiah, Kurniatun et al. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi,
Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. SMT Grafika Desa Putera.
Jakarta.
Haq, Zainul Muhammad. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa, Menggali Butir-
Butir Ajaran Lokal Jawa Untuk Menuju Kearifan Hidup Dunia dan Akhirat.
Aditya Media Publishing. Malang.
Hardjowirogo, Marbangun. 1982. Manusia Jawa. Haji Masagung. Jakarta
Haryono. 1997. Penentuan Biaya Produksi Budidaya Tembakau Rakyat dengan
Akuntansi Berbasis Kas dan Akuntansi Berbasis Akrual. (Studi Kasus Di
Desa Tuksai, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung). Thesis
Program Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61
Haryono, Imam. 2007. Road Map 2007-2020 Industri Hasil Tembakau dan
Kabijakan Cukai. Prosiding Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Surabaya.
Hettne, Bjorn. 1982. Development Theory and The Third World. Schmidts
Boktryseckeri AB. Helsinborg.
Horngren et al. 1987. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. (Desi
Andhariani, Penerjemah). Jakarta. Erlangga.
International Accounting Standards Board (IASB). 2011. International
Accounting Standards (IAS) 41: Agriculture.
International Accounting Standards Board (IASB). 2013. International Financial
Reporting Standards (IFRS) 13: Fair Value Measurement.
Irianto, Gugus. 2006. Dilema Laba dan Rerangka Teori Political Economy of
Accounting (PEA). Jurnal TEMA Vol. 7 No. 2. Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya. Malang.
Kurniawan, Rendra. 2012. Valuasi Aset Biologis: Kajian Kritis Atas IAS 41
Mengenai Akuntansi Pertanian. Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang.
Laporan Tahunan PT. Bentoel International Investama Tbk. Tahun 2011
Laporan Tahunan PT. Bentoel International Investama Tbk. Tahun 2013
Laporan Tahunan PT. Gudang Garam Tbk. Tahun 2011
Laporan Tahunan PT. Gudang Garam Tbk. Tahun 2013
Laporan Tahunan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. Tahun 2011
Laporan Tahunan PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. Tahun 2013
Latifah, Hikmah Nur. 2010. Sikap Petani Tembakau Terhadap Program
Kemitraan PT. Gudang Garam di Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten
Bojonegoro. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. http://eprints.uns.ac.id/269/1/161532508201003171.pdf. Diunduh
: 27 Agustus 2014.
Madison, D. Soyini. 2005. Critical Ethnography : Methods, Ethics, and
Performance. Thousand Oaks CA. Sage.
Maulidah, Silvana. 2012. Faktor-Faktor Produksi Usahatani. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya
Offset: Bandung.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi 3. LP3ES. Jakarta
Mulawarman, Aji Dedi. 2012. Akuntansi Syariah Di Pusaran Kegilaan “IFRS-
IPSAS” Neoliberal: Kritik atas IAS 41 dan IPSAS 27 Mengenai Pertanian.
Badan Publikasi dan Penerbitan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya. Malang.
Mursy, Auctina Luckyta. 2013. Laba Dakwah Sebagai Tujuan Akhir Amal usaha
Muhammadiyah: Studi Etnografi Pada Rumah Sakit Aisyiyah Malang.
Thesis Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya. Malang.
Nainggolan, Kaman. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. “Agriculture is
Too Important to be Left to The Government”. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
62
Padmo, Soegijanto dan Edhie Djatmiko. 1991. Tembakau : Kajian Sosial-
Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Paranoan, Selmita. 2011. Passanan Tengko’: Studi Etnografi Praktik
Akuntabilitas Pada Upacara Aluk Rambu Solo’ Dalam Organisasi
Tongkonan. Thesis Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya.
Pinanjaya, Okta dan Waskito Giri Sasongko. 2012. Muslihat Kapitalis Global:
Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS. Indonesia
Berdikari. Jakarta.
Prastowo, Nugroho Joko, Tri Yanuarti, dan Yoni Depari. 2008. Pengaruh
Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya
Terhadap Inflasi. Bank Indonesia. Working Paper: WP/07/2008.
Puspitosari, Hesti. 2009. Ancaman Kedaulatan Pangan: Politik Pangan Menuju
Kedaulatan Pangan yang Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Transisi. Vol. 3
No.1. Malang.
Rachman, Agus Hasanuddin. 2007. Status Pertembakauan Nasional. Prosiding
Lokakarya Nasional Agribisnis Tembakau Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pertanian. Surabaya.
Rachmat, Muchjidin dan Sri Nuryanti. 2010. Dinamika Agribisnis Tembakau
Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachmawati, Alfiana. 2014. Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem
Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/67850. Diunduh: 27 Agustus
2014.
Rahardjo, M. Dawan. 1986. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan
Kesempatan Kerja. UI-Press. Jakarta.
Rahayu, Wiwit dan Erlyna Wida Riptanti. 2010. Anlisis Efisiensi Ekonomi
Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatani Kedelai Di
Kabupaten Sukoharjo. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Rais, Akhyar. 2007. Prospek Ekspor dan Impor tembakau. Prosiding Lokakarya
Nasional Agribisnis Tembakau Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pertanian. Surabaya.
Rais, M. Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia!. PPSK
Press. Yogyakarta.
Randa, Fransiskus. 2011. Akuntabilitas Organisasi Gereja: Pemaknaan dan
Rekonstruksi Inkulturatif Nilai-Nilai Budaya Lokal (Studi Etnografi Pada
Gereja Katolik Di Tana Toraja). Disertasi Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang.
Rianse, Usman. 2009. Membangun Agribisnis Terpadu dan Berkelanjutan.
Unhalu Press Kendari. Kendari.
Rinto, Harno. 2006. Tembakau Dilihat Dari Sudut Pandang Rokok Kretek.
Prosiding Diskusi Panel Revitalisasi Sistem Agribisnis Tembakau Bahan
Baku Rokok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
63
Rokhmat. 2006. Ki Ageng Makukuhan dan Awal Islamisasi di Daerah Kedu
(Temanggung) 1471-1497. Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sa’id, E.G. 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua.
Jurnal Agrotek. Vol. 2(1). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saefulloh, Asep Ahmad et al. 2011. Strategi dan Kebijakan Pengembangan
Sektor Pertanian dan Perlindungan-Pemberdayaan Petani. P3DI. Jakarta.
Setiawan, A.I dan Y. Trisnawati. 1992. Pembudidayaan Pengolahan dan
Pemasaran Tembakau. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Universitas Brawijaya Press. Malang.
Sobary, Mohamad. 2014. Esai-esai Kebudayaan: Semar Gugat di Temanggung.
Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Raja
Grafindo Press. Jakarta.
Sonbay, Yolinda Yanti. 2010. Perbandingan Biaya Historis dan Nilai Wajar.
Jurnal Kajian Akuntansi Vol. 2. No. 1. Universitas Katholik Widya
Mandira. Kupang.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Stoner, James A.F. 1982. Management: Study Guide and Workboon. Prentice
Hall. New Jersey.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Bandung.
Suwahyono, Untung. 2010. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan
Biopestisida. Penebar Swadaya. Jakarta
Suwarsono dan Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Pustaka
LP3ES Indonesia. Jakarta.
Thompson, Carol AS et al. 2012. The Tobacco Products Corporation: Philip
Morris's Predecessor. http://www.smokershistory.com/TobProds.html.
Diakses: 3 Juli 2014.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Economic Development 9
Edition. Pearson Education Limited. United Kingdom.
Wahono, Francis dan Kennteh D. Thomas. 2000. Globalisasi dan Inisiatif-Inisiatif
Lokal. Bibliografi. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati.
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta
Wanto et al. 1996. Keluarga Sejahtera Menurut Sistem Budaya Masyarakat
Pedesaan Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Semarang.
Zach, Tzachi. 2003. Inside The Accrual Anomaly. Disertasi William E. Simon
School of Business Administration, University of Rochester. New York.
___, BI Tolak Bank Pertanian Rawan Kepentingan Politik.
http://www.neraca.co.id/bisnis-indonesia/26688/BI-Tolak-Bank-
Pertanian/2. Diakses: 24 September 2014.
___, Database Kementerian Pertanian. 2014. http://www.aplikasi.deptan.go.id.
Diakses: 11 Maret 2014.
___, Draf Naskah Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. 2014. Badan
Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta.
64
___, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Mikro dan
Menengah Kabupaten Temanggung. 2014. Harga Tembakau Hasil Panen
Raya Tahun 2007-2013. Temanggung.
___, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan
Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
___, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Kerangka Dasar Penyusunan
Penyajian Laporan Keuangan. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan
Akuntan Indonesia. Jakarta.
___, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (Revisi 2009) Tentang
Penyajian Laporan Keuangan. 2009. Dewan Standar Akuntansi Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia. Jakarta.
___, Philip Morris Companies Inc. - Company Profile, Information, Business
Description, History, Background Information on Philip Morris Companies
Inc.
http://www.referenceforbusiness.com/history2/72/PhilipMorrisCompaniesIn
c.html#ixzz3Ck2l39W1. Diakses: 3 Juli 2014.
___, Rencana Induk Pertembakauan. 2010. Pemerintah Daerah Kabupaten
Temanggung. http://103.247.14.86/bappeda/bank/10.pdf. Diunduh: 2 Mei
2014.
___, Supply and Demand.
http://www.wikipedia.or.ke/index.php?title=Supply_and_demand. Diakses:
20 September 2014.
___, Temanggung Dalam Angka. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Temanggung. http://www.temanggungkab.bps.go.id. Diakses: 13 Juli 2014.
___, Tembakau Srintil Resmi Dipatenkan.
http://berita.suaramerdeka.com/tembakau-srintil-resmi-dipatenkan/ Diakses:
22 November 2014.
___, Who We Are: British American Tobacco dan PT. Bentoel International
Investama. 2013.
http://www.bentoelgroup.com/group/sites/BAT_8WXDPH.nsf/vwPagesWe
bLive/DO8W3CW4?opendocument&SKN=1. Diunduh: 2 Juli 2014.
65
Lampiran 1. Penghitungan Harga Pokok Produksi Pertanian Tembakau
Biaya Tenaga Kerja (Konsep Akrual Akuntansi Biaya)
Petani Aktivitas
Tenaga Kerja Luar Tenaga Kerja Keluarga
Jumlah Hari
Kerja
Upah
+
Biaya
Makan
(Rp)
Jumlah
Biaya (Rp) Jumlah
Hari
Kerja
Upah
+
Biaya
Makan
(Rp)
Jumlah
Biaya (Rp)
Pak
Wanto
Pengolahan Tanah 5 30 35.000 5.250.000 2 30 35.000 2.100.000
Penanaman 7 1 35.000 245.000 3 1 35.000 105.000
Penyulaman 3 15 35.000 1.575.000 2 15 35.000 1.050.000
Pemupukan
Lanjutan 5 1 35.000 175.000 2 1 35.000 70.000
Pendangiran 5 5 35.000 875.000 - - - -
Pemangkasan Bunga
3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000
Pemangkasan
Tunas 3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000
Pemberantasan Hama dan
Penyakit
3 3 35.000 315.000 2 3 35.000 210.000
Persiapan Panen 3 5 35.000 875.000 - - - -
Panen dan
Pengolahan Hasil 4 45 60.000 10.800.000 2 45 60.000 5.400.000
Total Biaya
20.740.000 9.355.000
30.095.000
Pak
Rochimin
Pengolahan Tanah - - - - 3 15 35.000 1.575.000
Penanaman - - - - 3 7 35.000 735.000
Penyulaman - - - - 3 11 35.000 1.155.000
Pemupukan
Lanjutan - - - - 3 1 35.000 105.000
Pendangiran - - - - 3 10 35.000 1.050.000
Pemangkasan
Bunga - - - - 3 2 35.000 210.000
Pemangkasan
Tunas - - - - 3 2 35.000 210.000
Pemberantasan
Hama dan
Penyakit
- - - - 3 1 35.000 105.000
Persiapan Panen - - - - 2 1 35.000 70.000
Panen dan Pengolahan Hasil
2 30 50.000 3.000.000 3 30 50.000 4.500.000
Total Biaya
3.000.000 9.715.000
12.715.000
Pak
Yanto
Pengolahan Tanah 4 30 40.000 4.800.000 - - - -
Penanaman 6 1 40.000 240.000 4 1 40.000 160.000
Penyulaman - - - - 3 10 40.000 1.200.000
Pemupukan
Lanjutan - - - - 4 1 40.000 160.000
66
Biaya Tenaga Kerja (Petani)
Pendangiran, 5 5 40.000 1.000.000 - - - -
Pemangkasan Bunga
- - - - 4 1 40.000 160.000
Pemangkasan
Tunas - - - - 4 1 40.000 160.000
Pemberantasan Hama dan
Penyakit
3 3 40.000 360.000 2 3 40.000 240.000
Persiapan Panen 2 1 40.000 80.000 - - - -
Panen dan Pengolahan Hasil
5 30 60.000 9.000.000 - - - -
Total Biaya
15.480.000 2.080.000
17.560.000
Petani Aktivitas
Tenaga Kerja Luar Tenaga Kerja Keluarga
Jumlah Hari
Kerja
Upah
+
Biaya
Makan
(Rp)
Jumlah
Biaya (Rp) Jumlah
Hari
Kerja
Upah
+
Biaya
Makan
(Rp)
Jumlah
Biaya (Rp)
Pak Wanto
Pengolahan Tanah 5 30 30.000 4.500.000 2 30 - -
Penanaman 7 1 30.000 210.000 3 1 - -
Penyulaman 3 15 30.000 1.350.000 2 15 - -
Pemupukan Lanjutan
5 1 30.000 150.000 2 1 - -
Pendangiran 5 5 30.000 750.000 - - - -
Pemangkasan
Bunga 3 3 30.000 270.000 2 3 - -
Pemangkasan Tunas
3 3 30.000 270.000 2 3 - -
Pemberantasan
Hama dan Penyakit
3 3 30.000 270.000 2 3 - -
Persiapan Panen 3 5 30.000 450.000 - - - -
Panen dan
Pengolahan Hasil 4 45 50.000 9.000.000 2 45 - -
Total Biaya 17.220.000 -
Pak Rochimin
Pengolahan Tanah - - - - 3 15 - -
Penanaman - - - - 3 7 - -
Penyulaman - - - - 3 11 - -
Pemupukan Lanjutan
- - - - 3 1 - -
Pendangiran - - - - 3 10 - -
Pemangkasan Bunga
- - - - 3 2 - -
Pemangkasan
Tunas - - - - 3 2 - -
Pemberantasan Hama dan
Penyakit
- - - - 3 1 - -
Persiapan Panen - - - - 2 1 - -
Panen dan
Pengolahan Hasil 2 30 40.000 1.200.000 3 30 - -
67
Beban Depresiasi
Petani Peralatan
Perhitungan Biaya Nilai
Depresiasi Unit Harga Beli Estimasi Umur
Ekonomis
Pak Wanto
Mesin Rajang 1 5.000.000 10 Tahun 500.000
Alat Semprot 2 1.000.000 5 Tahun 200.000
Rigen 300 7.500.000 10 Tahun 750.000
Total Beban Depresiasi 1.450.000
Pak Rochimin
Alat Rajang 3 900.000 10 Tahun 90.000
Rigen 110 2.805.000 10 Tahun 280.500
Total Beban Depresiasi 370.500
PakYanto
Mesin Rajang 1 5.000.000 10 Tahun 500.000
Alat Semprot 2 1.000.000 5 Tahun 200.000
Rigen 500 10.000.000 10 Tahun 1.000.000
Total Beban Depresiasi 1.700.000
Biaya Pengadaan Pupuk
Petani
Pupuk Kandang
(Karung)
Pupuk Kimia (Kg) Total
Biaya
Pengadaan
Pupuk
Urea Za Phonska
Jumlah Harga
Satuan Total Jumlah
Harga
Satuan Total Jumlah
Harga
Satuan Total Jumlah
Harga
Satuan Total
Pak
Wanto 200 15.000 3.000.000 - - - 600 1.450 870.000 - - - 3.870.000
Pak Rochimin
60 15.000 900.000 - - - 100 2.000 200.000 100 3.000 300.000 1.400.000
Pak
Yanto 400 12.000 4.800.000 300 2.100 630.000 200 2.100 420.000 - - - 5.850.000
Biaya Pengadaan Pestisida
Petani
Obat Total Biaya
Pengadaan
Obat
Dusban (Kaleng) Antrakol (Kg)
Jumlah Harga Satuan Total Jumlah Harga
Satuan Total
Pak Wanto 3 70.000 210.000 3 100.000 300.000 510.000
Pak Rochimin 1 70.000 70.000 1 100.000 100.000 170.000
Total Biaya 1.200.000 -
Pak Yanto
Pengolahan Tanah 4 30 35.000 4.200.000 - - - -
Penanaman 6 1 35.000 210.000 4 1 - -
Penyulaman - - 3 10 - -
Pemupukan Lanjutan
- - 4 1 - -
Pendangiran, 5 5 35.000 875.000 - - - -
Pemangkasan
Bunga - - 4 1 - -
Pemangkasan Tunas
- - 4 1 - -
Pemberantasan
Hama dan
Penyakit
3 3 35.000 315.000 2 3 - -
Persiapan Panen 2 1 35.000 70.000 - - - -
Panen dan
Pengolahan Hasil 5 30 50.000 7.500.000 - - - -
Total Biaya 13.170.000
68
Pak Yanto 2 70.000 140.000 3 100.000 300.000 440.000
Biaya Persiapan Panen
Petani Biaya
Hajatan
Biaya
Pembuatan
Tempat
Fermentasi
Pembelian Keranjang Pembelian Gula Total Biaya
Persiapan
Panen Jumlah Harga/Unit
Total
Biaya Jumlah Harga/Kg
Total
Biaya
Pak
Wanto 500.000 250.000 35 75.000 2.625.000 175 10.000 1.750.000 5.125.000
Pak
Rochimin 500.000 100.000 9 75.000 675.000 96 10.000 960.000 2.235.000
Pak
Yanto 500.000 250.000 60 75.000 4.500.000 200 10.000 2.000.000 7.250.000
Biaya Pembibitan dan Beban Bunga
Petani
Biaya
Pembibitan
Mandiri
Perhitungan Beban Bunga Nilai Beban
Bunga Jumlah
Pinjaman
Jangka
Waktu Bunga
Pak Wanto 250.000 10.000.000 - 50% 5.000.000
Pak Rochimin 175.000 5.000.000 - 50% 2.500.000
Pak Yanto 250.000 15.000.000 9 Bulan 2% 2.700.000
Harga Pokok Produksi
Konsep Akrual Akuntansi Biaya
Petani
Komponen Biaya Total
Biaya Sewa
Lahan
Tenaga
Kerja Pupuk Obat
Pra
Panen Depresiasi Bibit Bunga
Pak Wanto
- 30.095.000 3.870.000 510.000 5.125.000 1.450.000 250.000 5.000.000 46.300.000
Pak Rochimin
4.600.000 12.715.000 1.400.000 170.000 2.235.000 370.500 175.000 2.500.000 26.165.500
Pak Yanto - 17.560.000 5.850.000 440.000 7.250.000 1.700.000 250.000 2.700.000 32.750.000
Petani
Petani
Komponen Biaya
Total Biaya Sewa
Lahan
Tenaga
Kerja Pupuk Obat Pra Panen Bibit
Pak Wanto - 17.220.000 3.870.000 510.000 5.125.000 250.000 26.975.000
Pak Rochimin 4.600.000 1.200.000 1.400.000 170.000 2.235.000 175.000 9.780.000
Pak Yanto - 13.170.000 5.850.000 440.000 7.250.000 250.000 26.960.000
69
Lampiran 2. Foto Dokumentasi
Foto 1. Buruh Tani Pak Wanto Sedang Menunjukkan Tanaman yang Dipunggel
Foto 2. Tempat Fermentasi Tembakau Pak Wanto
Foto 3. Contoh Tembakau yang Siap Dikirim ke Perwakilan Pabrik
70
Foto 4. Plakat Kebijakan Lingkungan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja PT.
Bentoel yang Terpasang di Gudang Perwakilan Pabrik
Foto 5. Tembakau yang Siap Dikirim ke Gudang Perwakilan Pabrik Rokok
Foto. 6. Foto Peneliti Bersama Bapak Nurtanio Wisnu Brata Ketua APTI DPD
Jawa Tengah