Desentralisasi Dan Pendidikan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

none

Citation preview

DESENTRALISASI SEBAGAI WAHANA TRANSFORMASI PENDIDIKAN

PAGE 127ISSN 0215 - 8250

DESENTRALISASI SEBAGAI WAHANA

TRANSFORMASI PENDIDIKAN

oleh

Wayan Rai

Jurusan Ilmu Keolahragaan

Fakultas Pendidikan Ilmu Keolahragaan, IKIP Negeri Singaraja

ABSTRAK

Desentralisasi yang dilakukan dalam dunia pendidikan kita seyogyanya dapat memfasilitasi proses transformasi pendidikan kita, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang harus menghadapi tantangan masyarakat global. Tulisan ini merupakan suatu pemikiran tentang pentingnya proses pendidikan yang lebih bermakna dan lebih demokratis yang merupakan hal-hal yang esensial dalam proses transformasi pendidikan. Analisis tentang hambatan-hambatan potensial bagi keberhasilan proses transformasi tersebut juga dibahas.

Kata kunci : desentralisasi, transformasi pendidikan

ABSTRACT

Our educational decentralization is supposed to facilitate our process of educational transformation, in order to improve the quality of our human resources whose struggle is apparent in this global world. This article discusses the importance of a more meaningful and democratic process of education which is essential in the process of educational transformation. An analysis of potential obstacles to the transformation is also a part of the discussion.

Key words : decentralization, educational transformation.

1. Pendahuluan

Sejak era reformasi di Indonesia dimulai sekitar lima tahun yang lalu, berbagai harapan muncul untuk terjadinya perubahan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang pendidikan. Reformasi di bidang pendidikan adalah agenda wajib yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Mochtar Buchori dalam bukunya Pendidikan Antisipatoris (2001) menyebut perubahan pendidikan sebagai upaya reformasi sekaligus transformasi. Menurutnya, reformasi pendidikan adalah perubahan perubahan yang perlu dilakukan pada sekolah-sekolah kita tanpa mengubah fondasi dan struktur dari sistem yang ada sekarang, sedangkan transformasi pendidikan adalah perubahan-perubahan yang mendasar dan mendalam dalam sistem pendidikan kita, perubahan yang menyentuh sendi-sendi (foundations), struktur, dan modus operasi di sekolah-sekolah kita. Perubahan-perubahan seperti ini akan mengubah wajah dan watak sekolah kita. Transformasi pendidikan memerlukan waktu yang lama dan merupakan akibat kumulatif dari langkah-langkah reformasi pendidikan yang dilakukan. Dengan mengambil pemikiran Buchori ini, berarti transformasi memiliki tataran esensi yang lebih tinggi daripada sekadar reformasi; reformasi adalah kendaraan menuju terwujudnya sistem masyarakat baru Indonesia, dimana pendidikan inklusif.

Tantangan pendidikan kita pada abad ke-21 ini adalah penyiapan tenaga kerja yang handal dan memiliki moralitas yang baik. Dalam era globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi informasi, mau tak mau kita memang harus melakukan perubahan-perubahan yang mendasar agar generasi muda kita mendapat pendidikan yang relevan dengan kemajuan itu, sehingga mereka dapat hidup dengan baik dalam kancah pergaulan yang mendunia ini.

Menurut hasil telaah terhadap pendidikan kita oleh Depdiknas, Bappenas, dan Bank Dunia yang dilaporkan oleh Jalal dan Supriadi (2001), ada tiga acuan dasar pengembangan pendidikan kita dalam era reformasi untuk menjawab tantangan globalisasi, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis. Acuan filosofis ini berdasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis, pendidikan perlu memiliki karakteristik a) mampu mengembangkan kreatifitas, kebudayaan, dan peradaban, b) mendukung diseminasi nilai keunggulan, c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan, d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.

Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal, termasuk dalam penataan pendidikan. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang, mulai dari jenjang nilai ideal, instrumental, sampai pada operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai penting yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras, sportivitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerja sama dan disiplin diri.

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Lingkungan nasional ditandai dengan dua hal yang sangat substansial, yaitu masih berlangsungnya krisis multidimensi dan tuntutan untuk reformasi di segala bidang. Acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus dapat menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari berbagai krisis, sedangkan, lingkungan global kita ditandai, antara lain, dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Pesatnya perkembangan global mengharuskan pendidikan menerapkan berbagai prinsip yang sangat mendasar, seperti penetapan standar mutu sehingga kita bisa bersaing dengan dunia global, dan penggunaan berbagai cara belajar dengan mendaya gunakan beragam sumber belajar (Jalal dan Supriadi, 2001, hal 6-7).

Pada masa lampau, kebijakan sentralistik telah menjadi salah satu penghambat potensial kemajuan pendidikan Indonesia, khususnya pada tingkat pendidikan dasar. Mulai dari kurikulum, manajemen, sampai kepada evaluasi hasil belajar ditentukan oleh pusat. Terbukti kebijakan yang bersifat top down ini tidak menyentuh kebutuhan masyarakat secara spesifik karena tidak menjawab tantangan kehidupan yang nyata, sehingga sekolah telah terposisi secara marginal, kurang berdaya, tidak mandiri, tidak ada lagi celah bagi guru maupun siswa untuk mengembangkan kreativitas. Para pelaku pendidikan terbiasa untuk membebek karena segalanya telah diatur oleh juklak dan juknis. Lihat saja susunan kurikulum yang terlalu padat dan kaku, ditambah lagi sistem evaluasi dalam bentuk ebtanas yang lebih banyak lemahnya dibandingkan manfaat yang diperoleh. Dilihat dari isu sentralisasi pendidikan yang tidak relevan lagi sekarang ini, desentralisasi adalah jawabannya. Pertanyaannya sekarang, bila transformasi pendidikan sangat mendesak untuk dilakukan, apakah desentralisasi dapat dijadikan wahana untuk mewujudkannya.

Pembahasan berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas melalui suatu pemikiran yang mengupas isu desentralisasi sebagai suatu fenomena yang hangat dalam dunia pendidikan kita, dan transformasi pendidikan sangat penting di lakukan. Di sini, penulis mengajukan dua pemikiran, yaitu 1) bahwa pendidikan yang bermakna dan pendidikan yang demokratis berpeluang untuk terjadi melalui desentralisasi pendidikan; dan 2) faktor administratif dan psikologis merupakan ancaman bagi pelaksanaan desentralisasi. Kedua isu ini menimbulkan pertanyaan sekaligus juga memberi jalan untuk menjawab pertanyaan apakah desentralisasi dapat membawa kita keluar dari krisis pendidikan nasional yang sedang terjadi sekarang ini.

2. Pembahasan

2.1. Desentralisasi Pendidikan

Kelemahan sistem sentralistik dalam pendidikan kita merupakan data empiris yang dapat menjadi dasar amat kuat untuk dilakukannya desentralisasi. Bahkan, secara filosofis-sosiologis, desentralisasi pendidikan merupakan pilihan strategis bagi pengembangan pendidikan pada masa depan.

Berdasarkan UU No. 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menganut tiga azas sekaligus, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Selanjutnya melalui UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 25/2000, diatur mengenai otonomi daerah. Secara umum, tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam usaha kegiatan sosial ekonomi, (3) menyusun program-program perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal lebih realistis.

Arah kebijakan nasional untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah juga dilaksanakan pada sektor pendidikan. Pemerintah pusat (Depdiknas), secara bertahap menyerahkan sebagian urusannya pada instansi vertikal di bawahnya, terutama dalam pengelolaan pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Model desentralisasi pendidikan menggunakan kabupaten/kota sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Implikasi dari model ini adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten/kota untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, mengadakan perubahan kelembagaan, penataan dan pemberdayaan sumber daya manusia dengan lebih menekankan pada profesionalisme, dan pendanaan langsung ke kabupaten dalam bentuk block grants.

Desentralisasi memang merupakan pintu masuk untuk mengembangkan otonomi pendidikan guna memperbaiki kondisi pendidikan kita yang kian terpuruk. Keleluasaan yang diperoleh daerah memungkinkan harapan menuju transformasi budaya melalui pendidikan dapat terwujud.

2.2. Desentralisasi Sebagai Wahana Transformasi Pendidikan

Menurut pendapat penulis, ada dua hal esensial yang patut diperjuangkan melalui desentralisasi pendidikan agar transformasi pendidikan bisa diwujudkan, yaitu: (1) terjadinya pendidikan yang bermakna dan (2) pelaksanaan pendidikan yang demokratis.

2.2.1. Pendidikan yang Bermakna

Menurut Buchori (2001), pendidikan bermakna dapat diartikan sebagai pendidikan untuk memahami makna. Pemahaman makna ini penting karena pengetahuan yang tidak bermakna (meaningless knowledge) tidak ada gunanya dan hanya menjadi beban hidup. Sebaliknya, pengetahuan yang bermakna (meaningful knowledge) merupakan sesuatu yang bersifat fungsional dan berguna bagi kehidupan.

Mengutip buku terkenal dan menjadi buku klasik berjudul Realms of Meaning, Buchori menyebutkan enam jenis wilayah makna, yaitu makna simbolik, empirik, estetik, sinoetik, etik, dan sinoptik. Untuk memahami makna di wilayah simbolik, siswa harus mempelajari bahasa dan matematika. Untuk masuk ke wilayah makna empiris, siswa harus belajar lingkungan fisik (fisika, kimia, biologi, dsb), lingkungan sosial, dan budaya. Pelajaran seni (seni suara, seni sastra, seni gerak, dan seni visual) dapat membentuk makna estetik. Makna sinoetik dipahami melalui bermain peran, pembahasan film, maupun cerita-cerita lain. Untuk wilayah makna etik, siswa perlu memahami dan mematuhi secara sukarela norma-norma yang ada, sedangkan pelajaran sejarah, filsafat, dan agama membangun makna sinoptik.

Semua makna itu hanya akan dapat diperoleh apabila proses pendidikan dilakukan secara mendasar, holistik, dan membumi. Pendidikan yang begini akan terjadi apabila guru dan siswa mempunyai keleluasaan untuk menentukan arah pembelajaran yang paling relevan dengan kebutuhan siswa. Kebutuhan itu sendiri mencakup tingkat perkembangan siswa dan faktor lingkungan tempat siswa itu berada. Selama ini, karena berbagai kebijakan pusat yang membelenggu, kreativitas guru menjadi terpasung, sehingga pembelajaran bermakna tak dapat terjadi. Contohnya test-oriented sebagai salah satu akibat langsung dari sistem Ebtanas maupun UAN telah mendorong pembelajaran berlangsung secara parroting, siswa menghafal materi dan berlatih menjawab pertanyaan. Sangat sedikit kesempatan diberikan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari.

Menurut Delors dkk. (1996), pendidikan yang bermakna harus dilaksanakan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of education), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Keempat pilar ini mesti diterapkan secara seimbang dalam praktek pendidikan sebab keempatnya merupakan pengalaman hidup sepanjang hayat di mana siswa belajar memahami dan mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan, baik pada individu maupun lingkungan. Pendidikan harus mengupayakan setiap individu menemukan, menggali, dan memperkaya potensi kreatifnya masing-masing dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya (learning to be).

Melalui learning to know, siswa menguasai the instruments of knowledge. Pengetahuan itu sendiri adalah alat (means) dan tujuan (ends) hidup. Dikatakan sebagai alat karena pengetahuan digunakan untuk memahami lingkungan, mengembangkan keterampilan untuk bekerja, dan alat berkomunikasi. Sebagai tujuan, pengetahuan itu memberikan kenikmatan dalam memahami, mengetahui, dan menemukan suatu fenomena kehidupan. Mengingat pengetahuan terus berkembang, penting bagi setiap individu untuk mengetahui segala hal (general knowledge) sebelum dia menuju suatu spesialisasi.

Dalam learning to do, individu dilatih untuk mempraktekkan pengetahuannya. Jadi, di sini dikembangkan keterampilan agar siswa siap menyongsong dunia kerja. Melalui learning to do ini, proses pendidikaan menyiapkan individu siap pakai dan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan tuntutan pekerjaan di masa depan.

Dalam learning to live together, setiap individu harus menyadari bahwa dunia sudah sangat kompleks, penuh konflik, dan adanya kompetisi tidak sehat. Namun, penting disadari bahwa ada tujuan yang sama, yaitu terciptanya kerjasama dan persahabatan (cooperation and friendship). Karena itu, perlu setiap individu belajar memahami orang lain, menerima persamaan maupun perbedaan, dan menyadari adanya saling ketergantungan. Dalam praktek, siswa perlu latihan kerja kelompok, maupun berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Dalam learning to be, pendidikan adalah all round development, keseluruhan perkembangan di mana siswa menjadi independen, berpikir dan berpendapat kritis, sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah sendiri, serta berani mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab.

2.2.2. Pendidikan yang Demokratis

Demokrasi dalam pendidikan paling tidak dapat dibahas dari dua sudut. Pertama, pendidikan demokratis yang terkait dengan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Karena belajar adalah sepanjang hayat (throughout life), maka patut diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memperoleh pendidikan yang sebaik-baiknya dan setinggi-tingginya. Kedua, demokrasi dalam proses pelaksanaan pendidikan di sekolah. Dalam konteks desentralisasi, maka sangat mungkin untuk menjadikan pendidikan demokratis, dengan tujuan peningkatan mutu sekaligus juga sebagai wahana pengembangan jiwa dan sikap demokratis dikalangan siswa.

Dalam buku 4 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang diterbitkan oleh Ditjen Dikdasmen (2001) yaitu mengenai Pedoman Tatakrama dan Tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah (untuk SLTP) disebutkan pentingnya pendidikan budi pekerti, baik yang berupa perceived behavior (yang dipelajari melalui pendidikan PPKN, Agama, dan lain-lain), maupun manifested behavior (yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari). Sesungguhnya tujuan puncak dari kedua aspek pendidikan budi pekerti adalah manifested behavior itu.

Selanjutnya, dalam buku itu disebutkan, dalam pengembangan pedoman tata krama dan tata tertibnya, setiap sekolah wajib melakukannya dengan melibatkan semua unsur, yaitu kepala sekolah, guru, siswa, maupun orang ttua murid. Hal ini di lakukan untuk terciptanya pemahaman yang baik terhadap pedoman itu, sehingga setiap orang menaatinya tanpa ada rasa terpaksa, maupun mengerti segala konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu pelanggaran. Terlibatnya siswa dalam pengembangan tata tertib bukanlah menjadi ciri khas otonomi sekolah yang sekarang sedang digulirkan. Aturan itu sudah ada sejak dulu. Namun, sejauh mana siswa betul-betul terlibat dan pendapatnya didengar, itulah yang mestinya dikembangkan sekarang ini.

Pada sekolah-sekolah kita, fenomena pendidikan budi pekerti melalui tata tertib kelas/sekolah dilakukan secara bervariasi. Pada beberapa sekolah swasta yang cukup modern, proses pengambilan keputusan mengenai tata tertib sudah melibatkan siswa secara langsung sejak perencanaannya. Pada beberapa sekolah, ada juga draf disiapkan oleh guru/kepala sekolah, kemudian disodorkan kepada siswa untuk dimintakan tanggapan dan persetujuan mereka. Namun, pada banyak sekolah, peraturan dibuat oleh kepala sekolah, dipajang di dinding masing-masing kelas. Dalam desentralisasi di mana sekolah mempunyai wewenang luas untuk mengatur diri sendiri, atmosfer yang kondusif untuk pengembangan demokrasi dapat diciptakan melalui penanaman rasa saling menghormati, menghargai pendapat orang lain, dan kerjasama yang berlandaskan kesejajaran dapat dilakukan.

Berdasarkan berbagai kajian teori dan hasil penelitian, Dantes(1992) mengajukan pola pendidikan demokratis-partisipatoris, dengan dicirikan oleh prinsip; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Sesuai dengan prinsip di atas, dalam bentuk pola asuhan/pendidikan ini, orang tua atapun guru dalam menanamkan berbagai perilaku kehidupan, seyogyanya terlebih dahulu memberi suri tauladan secara kontinyu mengenai perilaku-perilaku apa yang dikehendaki dimiliki oleh anak. Pendidikan harus konsisten dengan peranannya sebagai model dari anak-anaknya, sehingga dituntut adanya konsistensi antara lain, sikap dan prilaku yang dipegang oleh pendidik dan terwujud secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidik memfungsikan dirinya sebagai Ing Madya Mangun Karso yaitu, secara berencana memberikan kesempatan mandiri sedini mungkin pada anak, yang dapat diwujudkan dengan memberi peluang pada anak untuk mengambil keputusan, berpendapat, memberi motivasi, serta dorongan pada anak. Pendidik hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai teman bagi anak, sehingga orang tua dapat berfungsi komplementer dalam berbagai hal bagi anak. Segala sesuatu yang dilakukan oleh anak yang berhubungan dengan berbagai perilaku kehidupan dapat didiskusikan untuk mencari hakikatnya. Dengan demikian, internalisasi, kemandirian, keberanian mengambil keputusan, kreativitas secara optimal akan terjadi pada anak. Semua ini memiliki pengaruh yang optimal pula dalam berbagai pembentukan dan perkembangan aspek-aspek psikologis dan kepribadian anak.

Di pihak lain, orang tua maupun guru secara bertahap dapat mengurangi peranannya baik sebagai model maupun sebagai motivator. Orang tua secara terencana berfungsi secara Tut Wuri Handayani. Dalam konteks ini, orang tua cukup mengamati dan mengawasi anak dalam berbagai perilakunya. Orang tua cukup menunjukkan peranannya lagi bila memang terjadi sesuatu penyimpangan, atau kerancuan terhadap pola prilaku yang ditunjukkan oleh anak. Orang tua bersama anak mendiskusikan perilaku-perilaku kehidupan yang memang dianggap masih rancu atau bahkan menyimpang. Harus didapatkan suatu alasan yang memang dapat diterima oleh anak, mengapa secara hakikat perilaku itu dikatakan salah atau menyimpang. Jelas, untuk hal itu, interaksi sosial antara orang tua dan anak l akan terjadi secara maksimal.

Suasana demokratis akan sangat tampak terwujud dalam pola asuhan secara nyata, dan partisipasi pendidik sesuai dengan kebutuhan ditinjau dari pengembangan psikologis dan pertambahan umur serta pengalaman anak juga terlihat secara baik dan proporsional. Dantes (1992) selanjutnya menekankan, terwujudnya suatu kondisi pola asuhan yang memang nyaman, kondusif, menghargai hak dan kewajiban anak sebagai subyek didik, baik secara jasmani maupun rohani, pembangkitan sifat mandiri pada anak, keberanian mengambil keputusan, tanggung jawab, pembinaan sifat simpati, kejujuran mewarnai pola asuhan ini. Pola pendidikan demokratis partisipatoris ini diyakini dapat menjadi kendaraan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara makro, sehingga secara makro paedagogik pendidikan minimal memiliki fungsi pengembangan sumber daya manusia dan pelestarian serta pengembangan nilai-nilai.

2.3. Hambatan-Hambatan Desentralisasi Pendidikan

Sebagai suatu paradigma baru dalam kehidupan pendidikan kita, konsep-konsep desentralisasi perlu dipahami secara mendasar. Sistem sentralistik yang sudah mengakar dan membentuk pola pikir dan pola kerja para pelaku pendidikan kita selama ini tidaklah mudah untuk diubah dan disesuaikan dengan paradigma baru ini. Dalam proses ini, penulis berpendapat, paling tidak ada dua penghambat besar pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu faktor administratif dan faktor psikologis.

2.3.1. Hambatan Administratif

Dengan adanya pelimpahan sejumlah besar kewenangan pusat kepada daerah, berarti daerah dituntut untuk mampu menyelenggarakan segala limpahan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Sejumlah tugas yang dulunya ditangani pusat, dalam desentralisasi, menjadi wewenang daerah. Seperti kita ketahui, desentralisasi akan lebih besar ke tingkat kabupaten/kota dan sekolah. Di tingkat kabupaten, manajemen keuangan akan lebih berat karena adanya sistem block grant. Di tingkat sekolah, manajemen pendidikan berbasis sekolah (MPBS) memberikan kewenangan kepada kepala sekolah untuk mengatur rumah tangganya. Agar program desentralisasi dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan peningkatan mutu pendidikan, kewenangan-kewenangan baru ini harus dijawab dengan personalia yang handal untuk itu.

Di sinilah persoalannya. Seberapa mampukah personalia yang ada di kabupaten/kota dan di sekolah sekarang ini melaksanakan tugas baru tersebut? Sungguh sangat meragukan. Pasalnya, manajemen yang terlalu sentralistik telah membuat aparat pendidikan di bawah apatis dan menunggu perintah dari pusat saja. Mereka sama sekali tidak tertuntut untuk bisa merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Di samping kurangnya pengalaman itu, patut juga diperhatikan tingkat pendidikan aparat di daerah. Bila diperhatikan, sebagian besar mereka berijazah sekolah menengah; ditambah bagi yang beruntung dan mau, mendapat tambahan pengetahuan melalui pelatihan dan penataran.

Kurangnya aparat administratif di daerah yang berpendidikan tinggi juga tidak terlepas dari kebijakan pusat yang sudah lama mengadakan rekrutmen pegawai lebih banyak pada golongan dua. Sebagian terbesar penjabat pendidikan di daerah adalah pejabat karier yang mulai dari bawah. Dengan pengalaman bekerja dengan sistem sentralistik dan top down selama ini, tampaknya sulit bagi mereka untuk melakukan manajemen yang leluasa tapi terarah. Nah, dengan kondisi yang demikian, dapatkah kita harapkan SDM yang memadai untuk tugas besar desentralisasi ini?. Sejumlah pakar pendidikan telah menyatakan keraguannya. Winarno Surakhmad, misalnya, mengatakan bila perangkat dan aturan pelaksanaannya tidak disiapkan dengan baik, seperti yang terjadi sekarang ini, desentralisasi justru akan memperburuk mutu pendidikan (Kompas, 16 Mei 2001). Apakah dengan demikian perlu adanya bantuan tenaga dari perguruan tinggi setempat(yang notabene memiliki SDM yang lebih baik) ? Hingga saat ini belum ada yang mengemukakan pendapat ke arah itu. Mungkin, hal ini perlu diwacanakan.

2.3.2. Hambatan Psikologis

Fenomena menarik lainnya yang akan menjadi penghambat suksesnya desentralisasi pendidikan adalah akan adanya banyak pejabat maupun aparat di pusat yang kehilangan otoritas. Pelimpahan sebagian wewenang ke daerah berarti mengurangi `kekuasaan` pejabat pusat, dan menurunnya `daya cengkeram` mereka terhadap daerah. Di samping itu, bila kita percaya bahwa pejabat di pusat itu berpraktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), maka pengurangan wewenang ini berarti pula mereka kehilangan sebagian `lahan` rejeki tak halal yang selama ini mereka nikmati.

Meskipun wacana ini jauh dari nuansa akademis, namun sangat penting di pahami sebab KKN telah menjadi fenomena yang memasyarakat secara luas. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak psikologis yang besar di kalangan pejabat pusat. Kekhawatiran kita adalah `pemangkasan` ini akan membuat mereka kehilangan semangat, yang akibatnya menjadi `masa bodo`. Semua tugas dilepas begitu saja ke daerah, sementara daerah belum siap sama sekali (dan memang tugas itu bukan sepenuhnya dilimpahkan ke daerah). Inilah salah satu hambatan yang nyata di depan mata.

Sudut lain yang terkait dengan faktor psikologis adalah nuansa pendaerahan itu sendiri. Persepsi yang salah terhadap konsep desentralisasi bukan hanya akan menurunkan kualitas pendidikan, tetapi juga akan menimbulkan semangat kedaerahan yang tinggi. Perbedaan kemampuan antardaerah dalam mengelola pendidikannya secara psikologis akan menyebabkan timbulnya perasaan berbeda; merasa lebih tinggi, baik, hebat dan sebagainya bagi yang lebih mampu, sedangkan rasa inferior akan muncul pada daerah-daerah miskin. Lebih jauh, hal ini akan memunculkan kecendrungan `putra asli daerah`untuk guru. Padahal, Prof. Suyanto Rektor UNY mengatakan, bahwa guru seharusnya lintas lokasi, lintas etnis, dan lintas agama (Kompas, 16 Mei 2001). Ini tentu sangat potensial untuk menimbulkan fragmentasi antardaerah, yang pada akhirnya akan mengancam integritas bangsa.

3. Penutup

Dengan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa masih terlalu dini bagi kita untuk berharap bahwa desentralisasi akan dapat memperbaiki kondisi pendidikan kita. Reformasi melalui desentralisasi ini boleh saja dilakukan, tetapi patut diingat betapa, karena pembodohan-pembodohan rakyat yang selama lebih dari tiga puluh tahun ini, kita telah benar-benar terpuruk dari segi kualitas sehingga suatu upaya reformasi menuju perbaikan harus selalu diperhitungkan dari segi sejauh mana kita siap untuk itu.

Untuk itu, diperlukan adanya langkah-langkah awal melalui koordinasi yang baik antara daerah dan pusat, untuk menyiapkan daerah maupun pusat sendiri, baik fisik maupun mental psikologis dalam menyongsong desentralisasi. Memang, mau tidak mau, suka tidak suka, pusat harus rela desentralisasi ini berjalan sesuai dengan fitrahnya, sementara daerah harus siap dengan segala konsekuensi dari kewenangan baru yang sangat berat ini.

Tampaknya kita sepakat bahwa dalam keterpurukan yang multidimensi sekarang ini, pendidikan adalah satu-satunya tiang penyangga upaya kita keluar dari kemelaratan ini. Karena itu, seyogyanya pendidikan di upayakan sesegera mungkin `sembuh dari sakit yang panjang` ini, dan menjadi the leading point untuk perbaikan semua aspek kehidupan kita. Kesadaran ini harus dipupuk dan di kembangkan pada semua unsur masyarakat sehingga wacana desentralisasi yang di atas kertas sangat menjanjikan perbaikan mutu pendidikan ini, benar-benar dapat terlaksana dengan baik. Jika hal itu terjadi, barulah kita dapat berharap bahwa desentralisasi pendidikan dapat menjadi wahana transformasi pendidikan seperti yang disebutkan pada awal tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buchori, M. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta : Kanisius.

Dantes; 1992. Pola asuhan dalam hubungannya dengan pendidikan nilai di lingkungan keluarga: Suatu Analisis Makropedagogik. Pidato pengukuhan guru besar. Denpasar: Universitas Udayana.

Delors, J et al. 1996. Learning:The Teasure Within. France: Unesco Publishing.

Jalal, F & Supriadi, D. (Ed).2001.Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Depdiknas-Bappenas_Adicita Karya Nusa.

_________________ 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Buku 1 dan 4, Depdiknas.

Kompas, 2001. `Desentralisasi Bisa Turunkan Mutu Pendidikan`, Edisi 16 Mei 2001.

PAGE __________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004