22
OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma japonicum DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

  • Upload
    hatram

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK

MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma

japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 2: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan
Page 3: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Optimasi ELISA

Tidak Langsung Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma

japonicum adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana

pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

DG. Noor Syamimi binti Daud

NIM B04088013

Page 4: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

ABSTRAK

DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimasi ELISA Tidak Langsung

Untuk Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum. Dibimbing

oleh FADJAR SATRIJA dan SAMARANG

Schistosomiasis japonicum merupakan zoonosis yang endemik menyerang

manusia dan hewan di sekitar lembah Besoa, lembah Napu dan danau Lindu di

Sulawesi Tengah, Indonesia. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

adalah teknik serodiagnosis yang sederhana, sensitif dan mudah digunakan untuk

mendeteksi keberadaan antibodi pada penyakit parasitik. Penelitian ini bertujuan

menentukan pengenceran serum yang optimal untuk memeriksa keberadaan

antibodi anti Schistosoma japonicum pada manusia dengan pengujian ELISA

tidak langsung. Sebanyak 30 serum sampel digunakan dalam penelitian ini, yaitu

15 sampel positif dan 15 sampel negatif. Pengujian dilakukan dengan

membandingkan antara pengenceran 1:50 dan 1:100. Hasil penelitian

menunjukkan sensitivitas uji, spesifisitas uji dan tingkat akurasi pada pengenceran

1:50 lebih besar dibanding pada pengenceran 1:100 yaitu sebesar 80%, 86.7% dan

83.33%. Hasil menunjukkan bahwa optimasi ELISA tidak langsung yang baik

adalah pada pengenceran 1:50. Data hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.

Kata kunci: ELISA, Optimasi, Schistosoma japonicum

ABSTRACT

DG NOOR SYAMIMI BINTI DAUD. Optimization of Indirect ELISA For

Detection Antibody Against Schistosoma japonicum. Supervised by FADJAR

SATRIJA and SAMARANG

Schistosomiasis japonicum was endemic zoonoses that infected human

and animals surrounding Besoa valley, Napu valley and Lindu lake in Central

Sulawesi, Indonesia. Enzyme Linked Immunosobent Assay (ELISA) was a simple,

sensitive, and rapid serodiagnostic technique, which had been widely used for

detection antibodies in parasitic diseases. The aim of this study was to determine

the optimal serum dilution for detection antibody against Schistosoma japonicum

using indirect ELISA. Thirty samples of human serum were used in this research,

which 15 samples of positive and 15 samples of negative. The test was compared

between 1:50 and 1:100 dilutions. The result showed that the sensitivity 80%,

specificity 86.7% and accuracy 83.33% were higher than the 1:100 dilution values.

This showed that the best indirect ELISA optimization was the 1:50 dilution. The

results were expected to be the complement of the previous study in the field.

Key words: ELISA, Optimization, Schistosoma japonicum

Page 5: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK

MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma

japonicum

DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 6: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan
Page 7: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

Judul Skripsi : : Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk Memeriksa

Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum

Nama : : DG. Noor Syamimi Binti Daud

NIM : : B04088013

Disetujui oleh

drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D

Pembimbing I

Samarang, SKM, M.Si

Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

Page 8: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas izin dan segala

karuniaNya, sehingga skripsi berjudul Optimasi ELISA Tidak Langsung Untuk

Memeriksa Keberadaan Antibodi Anti Schistosoma japonicum ini berhasil

diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Bogor (IPB).

Penghargaan dan ucapan terima kasih Penulis berikan kepada drh. Fadjar

Satrija, MSc, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang juga merupakan

Dosen Pembimbing Akademik dan Dr. drh. Sri Murtini, MSi atas segala perhatian,

kesabaran, waktu, saran dan kritik yang diberikan selama penelitian dan proses

penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada

Samarang, SKM, M.Si selaku Pembimbing Anggota atas saran yang telah

diberikan.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua

tercinta yaitu Daud bin Hj Yusof dan DG. Rosnah binti AG. Sulaiman, adik-adik

tersayang yaitu Mohd Amirul Izzuddin, DG. Noor Asyiqin, Mohd Nasrul

Naqiuddin dan Mohd Syahmi Khairuddin serta keluarga besar di Bongawan

Sabah Malaysia atas doa, cinta, kasih sayang, perhatian dan semangat yang telah

diberikan kepada Penulis selama penyusunan skripsi dan perkuliahan di IPB.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat tersayang DK

Farah Ana, Siti Nurhani dan Andi Nur Izzati yang banyak membantu dan

memberikan semangat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pembaca.

Bogor, November 2013

DG Noor Syamimi Binti Daud

Page 9: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 2

Schistosoma japonicum 2

Infeksi Schistosoma japonicum pada Manusia 4

METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Penelitian 5

Serum sampel 5

Inaktivasi serum 5

Prosedur penelitian 5

Prosedur analisis data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

SIMPULAN 10

DAFTAR PUSTAKA 10

RIWAYAT HIDUP 12

Page 10: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

DAFTAR TABEL

1 Nilai cut off uji ELISA 7

2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan

hasil pemeriksaan feses 8

3 Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan

hasil pemeriksaan feses 9

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Schistosoma sp. 3

2 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada

pengenceran 1:50 7

3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada

pengenceran 1:100 8

Page 11: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Schistosomiasis atau bilharziasis merupakan penyakit parasitik disebabkan

oleh cacing Trematoda yang dikenal sebagai cacing darah, menyerang beberapa

Negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia

Timur, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Putrali et al. 1988). Tiga spesies

utama cacing yang mengakibatkan penyakit pada manusia adalah Schistosoma

haematobium, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma japonicum (Gryseels et al.

2006).

Kasus schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang

sangat terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran

tinggi Lindu. Sapi, babi, anjing, kucing, kerbau, domba, rusa, kuda, tikus, dan

celurut merupakan hewan yang bisa menjadi inang reservoar (Hadidjaja 1982).

Sedangkan kasus pada manusia pertama kali dilaporkan oleh Tesch pada tahun

1937 di Desa Tomado (Muller dan Tesch 1937). Penelitian selanjutnya telah

menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum. Inang

perantaranya baru ditemukan di daerah pesawahan pada tahun 1971 oleh

Hadidjaja dan Davis, yaitu siput yang diidentifikasi sebagai subspesies dari

Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania hupensis lindoensis (Davis

dan Carney 1973).

Schistosomiasis japonicum adalah zoonosis yang merupakan masalah

terhadap kesehatan masyarakat. Pada umumnya manusia yang terinfeksi

schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan

dari air (Tjitra 1994). Gejala klinis yang pernah ditemukan pada manusia adalah

tidak nafsu makan, demam, mual, disentri, pembengkakan limpa, pembengkakan

hati, ascites, urtikaria, dan melena (Hadidjaja 1982).

Pengujian dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dalam

diagnosis virus endemik dan penyakit parasit di negara berkembang sudah banyak

digunakan oleh Badan Kesehatan Dunia (Knapp et al. 1978). Teknik ELISA yang

dipakai pada penelitian ini adalah Indirect ELISA (ELISA tidak langsung) deteksi

antibodi. ELISA tidak langsung deteksi antibodi merupakan salah satu uji ELISA

yang paling banyak dipakai dalam serodiagnosis penyakit parasit untuk mengukur

adanya antibodi pada induk semang (Voller et al. 1978).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan pengenceran serum yang optimal untuk

memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan pengujian

ELISA tidak langsung.

Page 12: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi

acuan dalam dunia kedokteran manusia maupun kedokteran hewan untuk

memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dengan pengujian

ELISA.

TINJAUAN PUSTAKA

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

ELISA adalah suatu uji serologis yang didasarkan pada pemakaian antigen

dan antibodi yang dilabel dengan enzim sebagai konjugat secara immunologis dan

aktivitas enzimatis (Sanchez-vizcanio dan Alvares 1987). Pengujian ELISA

sangat baik digunakan untuk menetapkan diagnosa secara akurat karena memiliki

spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. ELISA juga merupakan uji serologis yang

sederhana dan terpercaya dengan mekanisme yang mudah sehingga paling banyak

digunakan (Awad et al. 2009).

ELISA memiliki beberapa macam konfigurasi yaitu ELISA langsung,

ELISA tidak langsung, ELISA sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan ELISA

kompetitif. Penggunaanya pula harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian

yang dilakukan (Burgess 1995). Uji ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu reagen

yang dipergunakan lebih tahan lama serta uji yang dipergunakan sangat beragam,

mulai dari uji yang paling sederhana hingga uji yang paling rumit (Voller dan

Bidwell 1986).

ELISA memiliki beberapa kegunaan. Salah satunya adalah untuk

mendeteksi antibodi di dalam serum sampel (Outteridge 1985). Penilaian terhadap

hasil pengujian ELISA dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.

Penilaian kualitatif dapat dibaca dengan melihat perubahan warna yang terjadi

secara visual dan hasil dibedakan dari kontrol yang tidak berwarna (positif atau

negatif). Sementara penilaian secara kuantitatif dilakukan dengan membaca

perubahan warna yang terjadi menggunakan ELISA reader (Burgess 1995).

Schistosoma japonicum

Karakteristik Schistosoma japonicum

Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing Schistosoma dimasukkan

dalam kelas Trematoda karena bentuknya seperti daun dan sub kelas Digenea

karena berkembang dalam tubuh inang antara sebelum menjadi dewasa. Cacing

ini tergolong dalam super ordo Anepitheliocystidia, dari ordo Striglatoidea, sub

ordo Schistosotoidea, famili Schistosomatidae dan genus Schistosoma (Soulsby

1982). Cacing ini hidup dalam saluran pembuluh darah balik inang definitif

terutama di vena-vena mesenterika, memakan sel darah merah (eritrosit), memiliki

batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker). Batil isap mulut

berfungsi untuk melekat dan mengisap, sedangkan batil isap perut untuk melekat

dan memegang (Sudomo 1994).

Page 13: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

3

Siklus hidup Schistosoma japonicum

Telur cacing Schistosoma japonicum dalam tinja manusia atau hewan akan

menetas di lingkungan yang berair, lalu mengeluarkan larva yang disebut

mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat. Mirasidium harus segera

menemukan inang antaranya yaitu siput Oncomelania sp. Mirasidium yang tidak

menemukan inang antaranya akan mati dalam waktu 12 jam. Mirasidium

berenang dengan bantuan silia sehingga berhasil mendapatkan spesies siput yang

cocok sebagai inang antaranya. Mirasidum yang berhasil menemukan inang antara

akan melakukan penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk

yang menyerupai kantung disebut sporokista. Sporokista akan memperbanyak diri

secara aseksual di dalam tubuh siput dan menghasilkan ratusan serkaria. Serkaria

lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang

rentan. Serkaria berenang menggunakan ekornya di lingkungan berair sampai

menemukan inang definitif. Manusia atau hewan akan terinfeksi bila terjadi

kontak dengan air yang mengandung serkaria.

Serkaria selanjutnya masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada

saat memasuki kulit manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi

sistosomula (cacing muda). Cacing ini menembus jaringan memasuki pembuluh

darah lalu masuk kedalam jantung dan paru-paru serta masuk kedalam vena porta

di sekitar hati. Cacing dewasa dalam vena porta akan berpasangan, cacing betina

akan masuk kedalam celah/saluran (canalis ginecophoric) yang terdapat di

sepanjang tubuh cacing jantan. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing S.

japonicum akan berpindah ke tempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus

kecil (vena mesenterika) yang juga merupakan habitatnya dan sekaligus tempat

bertelur (Campbell 1996).

Gambar 1 Siklus hidup Schistosoma sp. (DPD CDC 2012)

Page 14: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

4

Infeksi Schistosoma japonicum pada manusia

Perlekatan dan penetrasi cacing dapat terjadi karena adanya struktur

jaringan kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi

proses perlekatan. Tubuh inang memiliki alat pertahanan untuk melawan

kehadiran cacing tersebut, yaitu sistem pertahanan kulit, sistem pertahanan seluler

(fagosit), sistem pertahanan humoral (immunoglobulin, antibodi), dan sistem

pertahanan jaringan khusus (fixed tissue phagocytes). Sistem pertahanan kulit

terkait dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit merupakan pintu masuk

cacing yang utama, tetapi tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk

tergantung pada jenis dan struktur dari kulit (Soulsby 1982). Bagian kulit yang

terbuka merupakan tempat masuknya larva cacing. Pada manusia pintu masuknya

adalah pada bagian kerutan kulit. Bagian kulit yang menebal dan tegang

menyebabkan larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi (Hadidjaja 1982).

Cacing ini kemudian mengeluarkan enzim untuk memecah protein kulit sehingga

serkaria dapat masuk ke dalam pembuluh darah.

Tingkat infeksi schistosomiasis pada manusia berbeda antara satu daerah

dengan daerah lainnya. Perbedaan pola keterpaparan tersebut menunjukkan

adanya perbedaan kehidupan sosial, ekonomi, dan perbedaan variasi ekologi dari

satu daerah dengan daerah lainnya. Penderita schistosomiasis di lembah Napu

terdiri dari semua golongan umur dengan jumlah penderita terbanyak pada

golongan umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun, yaitu mereka yang termasuk

golongan umur produktif. Selain itu, terdapat juga keterkaitan hubungan antara

infeksi dengan pekerjaan. Orang yang bekerja di sawah mempunyai resiko

terinfeksi lebih besar dibandingkan anak-anak. Keterkaitan antara infeksi S.

japonicum dan pekerjaan juga ditemukan di China (Carney et al. 1974). Ross et al.

(2004) melaporkan bahwa di daerah danau Dongting China, infeksi Schistosoma

terjadi terutama pada laki-laki usia 18-49 tahun pada waktu menjelang sore hari

saat memancing. Hasil penelitian yang berbeda pula ditemukan di Lembah Besoa

Sulawesi Tengah, bahwa angka prevalensi yang tinggi terdapat pada usia 5-9

tahun 10-19 tahun (Renimanora et al. 1988).

Reaksi humoral pada dasarnya terbentuk pada organisme yang masuk ke

peredaran darah. Produksi Immunoglobulin E (IgE) sangat meningkat pada infeksi

cacing. Kenaikan IgE yang luar biasa memperlihatkan bahwa IgE merupakan

parameter penting dalam sistem pertahanan tubuh. Rangsangan antigen spesifik

untuk membentuk sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya eksudasi

serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi untuk semua

kelas immunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik eosinofil. Reaksi

yang diperantai IgE berperan penting dalam penyembuhan dari infeksi, sedangkan

resistensi pada individu yang telah divaksinasi lebih tergantung pada adanya

antibodi IgG dan IgA. Kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat

diarahkan kepada produksi limfokin sel T helper 1 seperti interferon dan sel T

helper 2 yang menghasilkan IgE (Roitt 2002).

Page 15: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

5

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 bertempat di

Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Serum Sampel

Serum positif diperoleh dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Samarang et al. (2013). Serum negatif diperoleh dari sukarelawan yang berasal

dari Bogor dan tidak pernah mengunjungi wilayah Sulawesi Tengah. Sebanyak 30

serum manusia digunakan pada penelitian ini. Serum tersebut merupakan 15

serum manusia yang positif terinfeksi schistosomiasis dengan pemeriksaan tinja

positif terdapat telur cacing. Sedangkan 15 serum lagi adalah manusia yang

negatif schistosomiasis.

Inaktivasi serum

Serum sampel diinaktivasi dengan cara dipanaskan dalam penangas air

pada suhu 56 °C selama 30 menit.

Prosedur ELISA

Pengujian ELISA terhadap serum sampel dilakukan dengan dua jenis

pengenceran yang bertujuan untuk optimasi hasil kedua jenis pengenceran

tersebut sehingga diketahui jenis pengenceran yang terbaik untuk mendeteksi

antibodi anti Schistosoma japonicum. Pada microplate ELISA pertama

menggunakan pengenceran 1:50 dan microplate ELISA kedua menggunakan

pengenceran 1:100.

Antigen ekskretori sekretori Schistosoma japonicum dari penelitian

sebelumnya dengan konsentrasi 110 μg/ml diencerkan dalam larutan buffer

bicarbonate dengan perbandingan 1:21, sehingga konsentrasi antigen yang

dicoatingkan adalah 5 μg/ml. Setiap sumur pada kedua-dua microplate diisi

dengan 100 μl antigen dan diinkubasi selama semalam pada suhu 4 °C.

Microplate yang telah diinkubasi dibilas sebanyak empat kali dengan 300 μl PBS

tween 0,05% dan dikeringkan.

Tahap selanjutnya adalah blocking menggunakan Fetal Bovine Serum

(FBS) 2%. Setiap sumur diisi dengan 200 μl FBS 2% dan diinkubasi pada suhu

37 °C selama satu jam. Kemudian microplate yang telah diinkubasi dicuci

kembali dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.

Serum sampel diencerkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan

1:50 dan 1:100. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur sesuai lembar

kerja sebanyak 100 μl dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama satu jam. Setiap

microplate ELISA mempunyai serum kontrol positif, serum kontrol negatif dan

Page 16: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

6

kontrol konjugat yang berisi PBS Tween 0,05%. Kemudian microplate dicuci

dengan 300 μl PBS Tween 0,05% sebanyak empat kali dan dikeringkan.

Konjugat antihuman yang telah diencerkan dengan pengenceran 1:5000

kemudian diisi pada setiap sumur lalu diinkubasi selama satu jam pada suhu 37 °C.

Kemudian setiap sumur microplate dicuci kembali sebanyak empat kali dengan

PBS Tween 0,05% lalu dikeringkan. Selanjutnya setiap sumur diisi dengan

substrat TMB dalam keadaan gelap dan diinkubasi kembali pada suhu ruang

selama 30 menit. Akhir sekali, pembacaan hasil ELISA dilakukan menggunakan

ELISA reader dengan filter 655 nm.

Prosedur Analisis Data

Batas penentuan deteksi antibodi anti Schistosoma japonicum pada kedua

pengenceran tersebut dilihat dari perbedaan nilai cut off masing-masing

pengenceran. Cut off adalah batas nilai absorbansi positif dan negatif dari suatu

pengujian. Perhitungan nilai cut off didapatkan dari rataan nilai absorbansi kontrol

negatif yang ditambahkan dengan satu kali nilai standar deviasi (Ath 1995). Nilai

positif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih besar dari nilai cut

off. Sebaliknya nilai negatif merupakan nilai absorbansi hasil pengujian yang lebih

kecil dari nilai cut off.

Penghitungan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi menggunakan tabel 2x2

dan rumus seperti berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

Hasil Uji Positif Negatif

Positif a b

Negatif c d

Sensitivitas = a / (a + c) x 100%

Spesifisitas = d / (b + d) x 100%

Akurasi = (a + d) / (a+b+c+d) x 100%

Page 17: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian ELISA tidak langsung terhadap serum sampel dilakukan dengan

dua jenis pengenceran yaitu pengenceran 1:50 dan pengenceran 1:100. Sebanyak

30 serum sampel manusia digunakan dalam penelitian ini, yaitu 15 sampel positif

dan 15 sampel positif. Optimasi ELISA tidak langsung dilakukan untuk

memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum pada serum.

Tabel 1 Nilai cut off uji ELISA

Pengenceran Nilai

absorbansi

blank

Rataan nilai

absorbasi

sampel positif

Rataan Nilai

absorbansi

kontrol negatif

Cut off

1:50 0.095 0.178 ± 0.026 0.112 ± 0.026 0.139

1:100 0.104 0.186 ± 0.035 0.162 ± 0.035 0.197

Berdasarkan Tabel 1, nilai cut off yang didapatkan pada pengujian ELISA

tidak langsung dengan pengenceran 1:50 adalah hasil penjumlahan rataan nilai

absorbansi kontrol negatif 0.112 dengan standar deviasi 0.026 yaitu sebesar 0.139.

Nilai cut off yang diperoleh pada uji ELISA tidak langsung dengan pengenceran

1:100 adalah sebesar 0.197, yaitu hasil penjumlahan rataan nilai absorbansi

kontrol negatif 0.162 dengan standar deviasi 0.035.

Gambar 2 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada pengenceran 1:50

Hasil pengujian ELISA tidak langsung pada pengenceran 1:50 (Gambar 2)

menunjukkan sebanyak 12 sampel positif adalah hasil positif dengan nilai

absorbansi lebih besar dari nilai cut off dan tiga sampel menunjukkan hasil positif

palsu. Sebanyak 13 dari 15 sampel negatif berupa hasil negatif dengan nilai

absorbansi lebih kecil dari nilai cut off dan terdapat dua sampel negatif palsu.

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0 5 10 15 20

Nil

ai

ab

sorb

an

si

Sampel negatif

Sampel positif

Page 18: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

8

Sampel dinyatakan positif palsu bila nilai absorbansi lebih kecil dari nilai cut off

dan sebaliknya dinyatakan negatif palsu bila nilai absorbansi lebih besar dari nilai

cut off.

Gambar 3 Rataan nilai absorbansi pengujian ELISA pada pengenceran 1:100

Pada pengenceran 1:100 (Gambar 3), terdapat delapan dari 15 sampel

positif menunjukkan hasil positif uji ELISA dan tujuh sampel hasil positif palsu.

Sebanyak 12 dari 15 sampel negatif pemeriksaan feses menunjukkan hasil negatif

uji ELISA dan tiga sampel hasil negatif palsu.

Penentuan spesifisitas dan sensitivitas uji ELISA tidak langsung yang

telah dioptimasi untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma

japonicum dilakukan dengan menggunakan 30 serum sampel manusia yang

diperoleh dari penelitan sebelumnya. Hasil pengujian ELISA tidak langsung untuk

mendeteksi keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum dibandingkan

dengan hasil pemeriksaan feses untuk menghitung spesifisitas dan sensitivitas uji

dengan menggunakan tabel 2 x 2.

Tabel 2 Standarisasi (pengenceran 1:50) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Pemeriksaan

feses

Positif Negatif Total

Hasil ELISA Positif 12 2 14

(1:50) Negatif 3 13 16

Total 15 15 30

Sensitivitas = 12 /(12 + 3) × 100% = 80%

Spesifisitas = 13 / (2 + 13) ×100% = 86.7%

Akurasi = (12 + 13) / (12 + 2 + 3 + 13) ×100% = 83.33%

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0 5 10 15 20

Nil

ai

ab

sorb

an

si

Sampel negatif

Sampel positif

Page 19: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

9

Pada Tabel 2 terlihat bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan

pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi sebesar 83.33% dengan sensitivitas uji

terhadap antibodi dalam serum sebesar 80% dan spesifisitas uji sebesar 86.7%.

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengujian ELISA tidak langsung dengan

pengenceran 1:100 memiliki tingkat akurasi sebesar 66.7% dengan sensitivitas uji

sebesar 53.33% dan spesifisitas uji sebesar 80%.

Tabel 3 Standarisasi (pengenceran 1:100) berdasarkan hasil pemeriksaan feses

Pemeriksaan

feses

Positif Negatif Total

Hasil ELISA Positif 8 3 11

(1:100) Negatif 7 12 19

Total 15 15 30

Sensitivitas = 8 /(8 + 7) × 100% = 53.33%

Spesifisitas = 12 / (3 + 12) × 100% = 80%

Akurasi = (8 + 12) / (8 + 7 + 3 + 12) × 100% = 66.7%

ELISA merupakan uji serologis yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi, membutuhkan sangat sedikit antigen dan penggunaannya mudah

untuk menguji banyak sampel di laboratorium (Cruickshank dan Mackenzie 1981).

Hasil yang diperoleh menunjukkan pengenceran 1:50 merupakan pengenceran

yang optimal untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma japonicum

dengan ELISA tidak langsung. Pengenceran ini memiliki sensitivitas uji 80%,

spesifisitas uji 86.7% dan tingkat akurasi 83.33% yang lebih tinggi dibanding

pada pengenceran 1:100. Pengujian dengan pengenceran 1:50 juga

memperlihatkan hasil positif palsu dan negatif palsu yang lebih sedikit.

Nilai yang diperoleh pada pengujian ELISA menggambarkan respon

pembentukan antibodi. Namun nilai antibodi yang diperoleh tidak menunjukkan

nilai titer antibodi. Penelitian ini menggunakan ELISA tidak langsung untuk

mendeteksi antibodi terhadap Schistosoma japonicum. Positif palsu tidak dapat

diketahui sejak awal karena pada ELISA hanya tampak sebagai perubahan warna

substrat yang terbaca sebagai nilai absorbansi oleh ELISA reader. Menurut Tizard

(2000), berdasarkan prinsipnya reaksi antibodi-antigen dapat dideteksi dengan

penambahan konjugat dilabel sebagai enzim aktif yang bereaksi dengan substrat

sehingga menghasilkan warna spesifik.

Beberapa hal yang dianggap kritis untuk menjamin hasil yang baik harus

diperhatikan. Antara lain adalah suhu selama coating harus tetap, substrat harus

dimasukkan pada microplate ELISA pada suhu kamar dan lamanya harus konstan

serta larutan harus dalam keadaan segar. Selain itu dianjurkan selalu

menggunakan microplate yang baru karena reaksi ELISA sangat sensitif. Apabila

pemakaian microplate digunakan berulang kali, sisa-sisa reaksi terdahulu dapat

mengacaukan reaksi (Partoutomo 1983).

ELISA merupakan salah satu uji serologis yang memiliki sensitivitas lebih

tinggi dibanding uji lain. Penggunaannya yang mudah dan dapat digunakan secara

kuantitatif dan kualitatif. ELISA telah banyak digunakan untuk mengukur

keberadaan antibodi dalam serodiagnosis penyakit parasiter.

Page 20: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

10

SIMPULAN

Optimasi terbaik untuk memeriksa keberadaan antibodi anti Schistosoma

japonicum dengan ELISA tidak langsung diperoleh dari pengenceran 1:50.

Pengenceran 1:50 memiliki tingkat akurasi, sensitivitas uji dan spesifisitas uji

paling besar dibandingkan pengenceran 1:100. Data hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian di lapangan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ath G de. 1995. ELISA sebagai Proses Pengukuran: Beberapa Pertimbangan

Statistik. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor.

Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID):

Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in

Diagnosis and Research.

Awad WS, Ibrahim AK, Salib FA. 2009. Using indirect ELISA to assess different

antigens for the serodiagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle,

sheep, and donkeys. Res Vet Sci. 86:466-471.

[DPD CDC]. 2012. Schistosomiasis. [terhubung berkala].

http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis/biology.html [2013 Juni 24]

Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Di dalam:

Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam

Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University

Press. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.

Campbell NA. 1996. Biology 4th

ed. New York (US): The Benjamin/Cummings

Publishing Co. INC.

Carney WP, Sjahrul M, Salludin, Putrall J. 1974. The Napu valley, a new

Schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop .

Med. Pub. Health . 5:246-251.

Cruickshank JK, Mckenzie C. 1981. Immunodiagnosis in parasitic disease.

Br. Med. J. 283:1349-1350.

Davis GM, Carney WP. 1973. Description of Oncomelania hupensis

lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi.

Proc. Acad. Nat. Sci. Philadelphia. 125:1-34.

Gryseels B, Polman K, Clerinz J, Kestens L. 2006. Human schistosomiasis.

Lancet . 368:1106-1118.

Hadidjaja P. 1982. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik

schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia [tesis]. Jakarta (ID):

Universitas Indonesia.

Knapp E, Holubar K, Wick G. 1978. Immunofluorescence and related

staining techniques . Elsevier/North Holland (NL): Biomedical Press.

Mattjik AA, Sumertajaya Made. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB

Press.

Page 21: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

11

Muller H, Tesch JW. 1937. Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of

Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2143.

Outteridge PM. 1985. Veterinary Immunology. London (GB): Academic Press.

Partoutomo S. 1983. Diagnose penyakit parasiter dengan ELISA. Wartazoa.

1(2):21-23.

Putrali J, Sjamsudin N, Sudomo M, Hadidjaja P. 1988. Schistosomiasis control

by mass treatment using praziquantel in Indonesia. Maj. Parasitol. Indon.

2(1&2):25-32.

Renimanora, Arwati T, Indijati, Wardiyo. 1988. Prevalensi schistosomiasis

menurut golongan umur dan peranan air bersih dan jamban keluarga

terhadap penularan penyakit di 3 desa di Lembah Besoa, Sulawesi Tengah.

[Abstrak]. Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I IV. Bogor,

20- 22 Agustus 1998.

Roitt I. 2002. Imunologi ( Essential Immunology) Edisi 8. Jakarta (ID): Penerbit

Widya Medika.

Ross AGP, Sleigh AC, Li Y, Davis GM, Williams GM, Jiang Z, Feng Z, Mc

Manus DP. 2004. Schistosomiasis in the people’s Republic of China:

Prospects and Challenges for the 21st Century. [Internet]. [Diunduh 2013

Juni 21]. Tersedia pada: http://cmr.asm.org/cgi/content/full/14/2/270.

Samarang, MA Nurjana, S Chotijah, M Maksud, I Tolisetiawati, F Satrija, S

Murtini. 2013. Optimalisasi uji ELISA untuk mendeteksi antigen ES

Schistosoma japonicum pada penderita schistosomiasis di Napu Sulawesi

Tengah. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan P2B2

Donggala Sulawesi Tengah.

Sanchez-vizcain JM, Alvarez MC. 1987. Enzyme immunoassay techniques

(ELISA) in animal and plant diseases 2nd

Ed. Technical Series No.7.

Office International Des Epizooties.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthopods, and Protozoa of Domesticated Animal

Seventh Edition. London (GB): Bailliere Tindall.

Sudomo M. 1994. Ecology of schistosomiasis in Indonesia with certain aspects

of control. Southeast Asian J. trop. Med. Pub. Health. 4:471.

Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology 6th

Ed. USA (US):

W.B. Saunders Company.

Tjitra E. 1994. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia

Kedokteran. 96:31-36.

Voller A, Bidwell DE, Barlett A. 1978. The use of the enzyme-linked

immunosorbent assay in the serology of viral and parasitic diseases. Scand.

J. Immunol. 8(7):125.

Voller A, Bidwell D. 1986. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Di dalam:

Rose NR, Friedman H, Fahey JL. 1986. Manual of Clinical Laboratory

Immunology 3rd

Ed. USA (US): American Society for Microbiology.

Page 22: DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD - repository.ipb.ac.id · dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana ... sensitif dan mudah digunakan untuk mendeteksi keberadaan

12

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Hospital Papar Sabah, Malaysia pada tanggal 6

Desember 1990 dari ayah Daud bin Yusof dan ibu DG Rosnah binti AG Sulaiman.

Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di Prasekolah Sekolah Kebangsaan Pekan

Bongawan pada tahun 1996. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan dasar di

Sekolah Kebangsaan Pekan Bongawan pada tahun 1997 sehingga tahun 2002.

Penulis selanjutnya meneruskan pendidikan menengah di Sekolah Menengah

Kebangsaan Agama Limauan Kimanis, Sabah pada tahun 2003 dan lulus pada

tahun 2008. Pada tahun yang sama, Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur

Penerimaan Mahasiswa Warga Negara Asing pada program studi Kedokteran

Hewan. Selama berkuliah di IPB, Penulis pernah aktif sebagai Exco Kebajikan

Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia pada tahun 2011

sampai 2012.