38
DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER INJURY (OASI) dr. I Gede Ngurah Harry Wijaya Surya, SpOG BAGIAN /SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013

DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

DIAGNOSIS DAN PENANGANAN

OBSTETRIC ANAL SPHINCTER INJURY (OASI)

dr. I Gede Ngurah Harry Wijaya Surya, SpOG

BAGIAN /SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2013

Page 2: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

BAB I

PENDAHULUAN

Obstetric Anal Sphincter Injury (OASI) merupakan salah satu komplikasi

persalinan dan juga merupakan penyebab paling sering timbulnya inkontinensia alvi. Hal

ini akan menimbulkan efek jangka panjang yang sangat merugikan terhadap kualitas

hidup seorang wanita.1,2

Oleh karena itu, mengetahui adanya cedera sfingter ani akibat

persalinan dan memberikan penanganan yang baik merupakan hal yang penting.

Pada suatu penelitian terhadap dua puluh ribu persalinan pervaginam didapatkan

bahwa dengan diagnosa klinis angka kejadian OASI sebesar 2,9% pada wanita primipara

dan 0,8% pada wanita multipara. Namun seiring dengan semakin seringnya penggunaan

ultrasonografi endoanal ternyata didapatkan angka kejadian OASI sebesar 11% sampai

dengan 36%.3 Penelitian lain melaporkan angka kejadian OASI sekitar 2,5% pada partus

pervaginam dengan episiotomi mediolateral dan sekitar 11% pada partus pervaginam

dengan episiotomi medial. Namun hampir 33% wanita yang mengalami partus

pervaginam mengalami cedera pada sfingter ani.1 Sehingga sering OASI tidak terdeteksi

dan tidak mendapatkan penanganan yang optimal.

OASI sering salah didiagnosis sebagai ruptur perineum derajat dua.

Kemungkinan penyebab kesalahan diagnosa OASI adalah : Pertama, kurangnya

pengetahuan dokter dan bidan terhadap anatomi perineum dan sistim klasifikasi cedera

perineum. Pada suatu penelitian tentang pengetahuan anatomi perineum yang dimilki

dokter dan bidan, didapatkan bahwa 41% dokter dan 16% bidan melakukan kesalahan

dalam mengklasifikasikan cedera sfingter ani eksternal partial dan komplit sebagai cedera

perineum derajat dua. Kedua, OASI sering disembunyikan dan dicatat dalam catatan

medis sebagai cedera perineum derajat dua oleh karena adanya stigma pada kasus OASI

dimana ada kecenderungan untuk menyalahkan individu ketimbang menganalisa faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya OASI.3

Selain itu meskipun OASI telah didiagnosa dan telah dilakukan reparasi,

namun lebih dari 59% tetap akan mengalami gangguan defekasi. Hal tersebut merupakan

cerminan dan kontribusi dari pengetahuan yang kurang dan teknik reparasi yang salah

dalam penanganan OASI.1

Page 3: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Melihat besarnya penyimpangan yang terjadi maka perlu bagi kita sebagai

praktisi dalam pelayanan untuk mendiagnosis OASI secara tepat dan melakukan reparasi

dengan benar. Untuk itu maka sari pustaka mengenai “Diagnosis dan Penanganan

Obstetric Anal Sphincter Injury“ diharapkan dapat menambah pengetahuan kita sebagai

praktisi dalam mendiagnosa dan menangani kasus OASI.

Page 4: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

BAB II

OBSTETRIC SPHINCTER ANAL INJURY (OASI)

2.1. DEFINISI

Cedera pada sfingter ani eksterna maupun interna yang disebabkan oleh

proses persalinan. Berdasarkan klasifikasi cedera perineum menurut Royal College

Obstetric and Gynecology (RCOG) (Tabel 3.1), maka OASI identik dengan cedera

perineum derajat tiga dan empat.3

2.2. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat bervariasi.

Dilaporkan bahwa angka kejadiannya di negara-negara Eropa berkisar antara 0,5%

sampai dengan 3,0%. Di Amerika angka kejadiannya berkisar antara 5,85% sampai

dengan 8,9%. Pada tahun 1993 di Inggris didapatkan angka kejadiannya hanya 3%,

dan hanya sepertiga mengalami gangguan buang air besar. Namun dengan semakin

maju pengetahuan dan teknologi kedokteran, penelitian terbaru di Inggris

mendapatkan angka kejadian cedera sfingter sebesar 24,5%. 2 Di Indonesia belum

ada penelitian yang mencari angka kejadian OASI.

2.3. ANATOMI SFINGTER ANI

Kompleks sfingter ani terdiri dari komponen internal dan komponen

eksternal. Dikatakan sebagai kompleks sfingter ani kerena komponen internal dan

eksternal sfingter ani bekerja sama dalam menjaga kontinen alvi saat istirahat dan

mengatur defekasi. Sfingter ani interna merupakan perpanjangan dan penebalan dari

otot polos sirkuler dalam rektum, yang terletak tepat dibawah mukosa rektum. Oleh

karena itu sfingter ani interna selalu cedera pada cedera perineum derajat empat,

dan dapat pula cedera meskipun tanpa adanya cedera mukosa rektum. Sfingter ani

interna dikendalikan secara otonomic (tidak volunter). Sfingter ani interna memberi

kontribusi 70% tonus pada saat sfingter ani dalam keadaan istirahat. Kerusakan

pada sfingter ani interna akan menimbulkan gejala inkontinesia fecal lebih berat

daripada kerusakan pada sfingter ekterna.2

Page 5: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 bagian dari distal sampai proksimal, yaitu

bagian subkutaneus, superfisial dan profunda. Bagian subkutaneus dan superfisial

dari sfingter ani eksterna yang memiliki pengaruh klinis paling banyak terhadap

terjadinya OASI. Bagian anterior dari sfingter ani eksterna (pada posisi jam 12)

merupakan bagian yang selalu cedera pada cedera-cedera obstetri. Sfingter ani

eksterna berhubungan erat dengan bagian dari levator ani yaitu muskulus

puborektalis yang membentuk penyangga pada rectum. Sfingter ani eksterna terdiri

dari otot lurik yang merupakan otot volunter, tetapi juga memberi kontribusi 25%

tonus pada saat sfingter ani dalam keadaan istirahat. Oleh karena itu dengan

komponen levator ani lainnya, sfingter ani ekterna bekerja untuk mempertahankan

pengaturan defekasi secara volunter. Sfingter ani eksterna diinervasi oleh nervus

pudendal.2

Gambar 2.1. Anatomi sfingter ani.2

2.4. FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko tidak dapat dihindari. Salah satunya adalah

primiparitas, yang selalu menjadi variabel bebas. Faktor risiko lain yang juga

berhubungan terhadap terjadinya OASI adalah persalinan pervaginam dengan

bantuan alat. Pada tabel 2.1 dapat dilihat faktor-faktor risiko apa saja yang

memperbesar kemungkinan terjadinya OASI.2

Page 6: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Table 2.1. Faktor Risiko terjadinya Obstetric Anal Sphincter Injury.2

Beberapa faktor risiko yang disebutkan di atas menyebabkan peningkatan

kejadian OASI secara tidak langsung. Pemanjangan persalinan kala dua akan

meningkatkan pertolongan persalinan dengan instrumen. Demikian pula dengan

penggunaan epidural analgesia, dimana akan meningkatkan kejadian pemanjangan

persalinan kala dua, pertolongan persalinan dengan instrumen yang lebih sering dan

meningkatnya kejadian malposisi.7

2.5. MEKANISME CEDERA

Komplek sfingter dapat mengalami cedera selama persalinan melalui 3

mekanisme, yaitu 2

:

1. Cedera mekanis langsung, dimana cedera mengenai otot (miopati). Cedera otot

sfingter ani interna dan eksterna dapat terjadi, dimana secara klinis tampak

laserasi perineum derajat tiga dan empat atau tampak dengan menggunakan

endoanal ultrasonografi.

2. Cedera neurologis, dimana cedera mengenai saraf (neuropati). Neuropati nervus

pudendal dapat terjadi sebagai akibat dari penggunaan forsep atau kompresi

kepala bayi terhadap saraf yang cukup lama. Neuropati traksi dapat juga terjadi

Page 7: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

pada bayi makrosomia dan pada tindakan meneran yang lama pada persalinan

kala 2, atau pada peregangan saraf yang lama oleh karena kecilnya tonus dasar

panggul postpartum dalam waktu yang lama. Cedera saraf sering terjadi

demielinasi tetapi biasanya akan pulih dalam waktu tertentu.

3. Kombinasi cedera mekanis dan neurologis. Cedera saraf saja, seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, sangat jarang terjadi. Neuropati lebih sering bersamaan

dengan kerusakan mekanis.

Page 8: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

BAB III

DIAGNOSIS OASI

Diagnosis OASI dapat ditegakkan secara klinis dan dengan pemeriksaan

penunjang seperti endoanal ultrasonografi. Untuk mendiagnosis OASI secara tepat

maka kita perlu mengetahui anatomi dari sfingter ani dan klasifikasi cedera sfingter

ani itu sendiri.

3.1. KLASIFIKASI

Menurut Sultan yang kemudian diadopsi oleh RCOG dan the International

Consultation on Incontinence, klasifikasi ruptur perineum dibagi berdasarkan

derajat rupturnya.1,2,4,5

(Tabel 3.1)

Tabel 3.1. Klasifikasi Ruptur Perineum.1,2,4,5

Derajat Ruptur Keterangan

Derajat 1 Laserasi pada lapisan epitel vagina atau kulit perineum saja

Derajat 2 Mengenai otot perineum, namun tidak mengenai sfingter ani

Derajat 3 Mengenai sfingter ani, dan dibagi lagi menjadi tiga derajat yang berbeda (lihat dibawah)

Derajat 3a Ruptur kurang dari 50% tebal sfingter ani eksterna

Derajat 3b Ruptur lebih dari 50% tebal sfingter ani eksterna

Derajat 3c Ruptur mengenai sfingter ani interna

Derajat 4 Ruptur derajat 3 hingga mengenai lapisan epitel anus

Page 9: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 3.1. Klasifikasi Ruptur Perineum.6

A. derajat 1. B. derajat 2. C. derajat 3. D. derajat 4

3.2. DIAGNOSIS KLINIS OASI

Diagnosa OASI dilakukan segera setelah persalinan dapat dilakukan dengan

pemeriksaan klinis pada perineum dan vagina, termasuk pemeriksaan colok dubur

yang harus dilakukan pada setiap persalinan pervaginam untuk mendeteksi adanya

cedera pada sfingter ani. Inspeksi harus dikombinasikan dengan palpasi, dengan

Page 10: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

melakukan pill rolling movement (Gambar 3.2) menggunakan jari telunjuk pada

rektum dan ibu jari diatas sfingter ani untuk memeriksa keutuhan otot sfingter.3

Gambar 3.2. Mendiagnosa dengan OASI dengan pill rolling movement.3

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andrews dkk terhadap 241 wanita

yang mengalami persalinan pervaginam pertama kali. Mereka menjalani

pemeriksaan klinis perineum ulang oleh seorang ahli dan endoanal USG segera

setelah melahirkan dan 7 minggu setelah melahirkan. Didapatkan diagnosis OASI

meningkat setelah diperiksa klinis ulang oleh ahli, dari 11% menjadi 25% (n=59).8

Sehingga dengan pemeriksaan klinis yang baik dan cermat maka kemungkinan

kesalahan diagnosis OASI dapat diperkecil dan selanjutnya pasien dapat ditangani

sesuai diagnosis sehingga kejadian inkontinensia alvi dapat dihindari.

3.3. PROSEDUR PENEGAKAN DIAGNOSIS KLINIS

Sebelum melakukan pemeriksaan klinis terhadap cedera sfingter ani, berikut

beberapa prosedur yang harus diperhatikan:9

1. Harus dilakukan inform consent untuk pemeriksaan vagina dan rektal. Hal ini

berkaitan dengan pemeriksaan yang akan kita lakukan akan menimbulkan

ketidaknyaman, bahkan nyeri bagi pasien.

2. Cedera perineum harus dapat dilihat dengan jelas dan pasien dalam posisi

litotomi.

3. Pencahayaan harus baik.

Page 11: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

4. Jika pemeriksaan menjadi terbatas karena nyeri, maka analgesik yang adequat

perlu diberikan.

5. Saat melakukan inspeksi, labia harus terbuka dan pemeriksaan vagina dilakukan

untuk memastikan seluruh robekan vagina. Bila didapatkan robekan yang dalam

dan banyak, maka pemeriksaan dan penanganan paling baik dalam posisi

litotomi. Ujung dari laserasi vagina harus selalu diidentifikasi.

6. Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera sampai ke

mukosa rectum dan sfingter ani. Vagina harus tampak dengan membuka labia

menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lainnya. Tiap pasien

harus dilakukan pemeriksaan rektal sebelum dilakukan penjahitan untuk

menghindari robekan terisolasi yang terlewatkan seperti robekan buttonhole

pada mukosa rektum (Gambar 3.3). Cedera derajat tiga dan empat dapat pula

terjadi di bawah kulit perineum yang utuh (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Robekan buttonhole, robekan pada mukosa rektum (panah kuning) tetapi sfingter ani eksterna utuh.9

Page 12: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

(a) (b) (c)

Gambar 3.4. (a) Cedera sfingter ani derajat tiga dengan kulit perineum yang utuh, (b) Robekan bucket handle tampak di belakang kulit perineum yang utuh, (c) Tampak sfingter ani eksterna yang robek.9

7. Untuk menegakkan diagnosa OASI, inspeksi yang baik sangat diperlukan dan

cedera harus dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan memasukkan jari telunjuk ke

anus dan ibu jari ke vagina, sfingter ani dapat diraba dengan pill-rolling

movement. Jika ada keraguan ibu diperintahkan untuk mengkontraksikan

sfingter ani dan jika sfingter ani mengalami cedera, akan terasa adanya gap pada

bagian anterior. Bila kulit perineum utuh, maka tidak akan terasa kedutan pada

kulit perianal anterior. Hal ini tidak bisa terjadi bila pasien dalam keadaan

pembiusan regional atau umum. Jika sfingter ani eksternal dalam keadaan

kontraksi tonik, maka cedera yang terjadi akan membuat ujung sfingter tertarik

ke dalam. Untuk itu ujung sfingter ani perlu dicari dan dipegang. Sfingter ani

interna juga perlu diidentifikasi dan bila cedera perlu direparasi tersendiri.

8. Sfingter ani interna merupakan otot polos sirkular (Gambar 3.5) yang tampak

lebih pucat (seperti daging ikan mentah) dari otot lurik sfingter ani eksterna

(seperti daging merah mentah). Pada keadaan normal, ujung distal sfingter ani

interna terletak beberapa milimeter proksimal dari ujung distal sfingter ani

ekaterna. Namun jika sfingter ani eksterna dalam keadaan relaksasi oleh karena

pembiusan regional atau umum, maka ujung distal sfingter ani interna akan

tampak lebih rendah. Jika sfingter ani interna atau mukosa rectum mengalami

robekan, maka sfingter ani eksterna dapat dipastikan juga mengalami robekan.

Page 13: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 3.5. Ruptur perineum derajat 3b. Sfingter ani interna (SAI) masih utuh. Sfingter ani eksterna (SAE) dipegang oleh klem Allis. Tampak SAI lebih pucat dari SAE.9

3.4. “OCCULT” OASI / OASI “TERSEMBUNYI”

“Occult” OASI atau OASI “tersembunyi” merupakan OASI yang tidak

tampak pada saat persalinan. Dengan adanya perkembangan endoanal USG, Sultan

dkk, menemukan bahwa 33% wanita mengalami OASI “tersembunyi”.10

Beberapa

penelitian prospektif menemukan kejadian OASI “tersembunyi” berkisar antara

20% 11

dan 41% 12

. Namun hal ini masih belum jelas apakah OASI “tersembunyi”

tersebut memang benar-benar tersembunyi atau tidak teridentifikasi pada saat

persalinan.

Penelitian yang dilakukan oleh Andrews dkk mendapatkan bahwa 44%

kejadian OASI tidak terdiagnosa oleh penolong persalinan. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa sebagian besar cedera sfingter yang sebelumnya dianggap

sebagai cedera “tersembunyi” sebenarnya dapat ditemukan segera setelah

persalinan tetapi tidak teridentifikasi.8

Groom dan Paterson juga menemukan bahwa angka kejadian cedera sfingter

derajat tiga meningkat 15% ketika semua pasien cedera sfingter derajat dua

dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang yang berpengalaman. Penelitian ini

menyarankan perlunya pelatihan yang terfokus dan intensif dalam mengidentifikasi

OASI.13

SAI

SAE

Mukosa Rektum

Page 14: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Sultan dkk melakukan wawancara terhadap 75 dokter dan 75 bidan dan

menyimpulkan bahwa 91% dan 60% didapatkan tidak mendapatkan pelatihan

anatomi perineum yang adekuat, dan 84% dan 61% didaptkan tidak mendapatkan

pelatihan mengidentifikasi cedera perineum derajat tiga dengan adequat. 14

Namun demikian juga ada kemungkinan alasan terjadinya OASI

“tersembunyi” oleh karena underdiagnosis. Alasan adanya underdiagnosis adalah

adanya stigma yang berhubungan dengan OASI, dimana di beberapa unit pelayanan

persalinan terjadinya OASI akan memicu hukuman dan hal ini yang menyebabkan

OASI sering tidak dilaporkan secara akurat.

Jika OASI tidak terdiagnosa maka akan semakin banyak wanita dengan

riwayat episiotomi atau cedera perineum spontan derajat dua yang mengalami

inkontinensia ani. Lal dkk menunjukkan bahwa secara signifikan bahwa

inkontinensia ani banyak terjadi pada cedera perineum derajat dua dibandingkan

dengan perineum yang utuh (23% lawan 3%).15

Benifla dkk menemukan bahwa

kejadian inkontinensia ani meningkat 16 kali pada perineum derajat dua.16

Kedua

penelitian ini mendukung temuan Andrew dkk dimana banyak kasus OASI tidak

terdiagnosis dan salah terklasifikasi sebagai ruptur perineum derajat dua.

3.5. ENDOANAL ULTRASONOGRAFI (EAUS)

Endoanal Ultrasonografi (EAUS) pertama kali dikembangkan di awal tahun

1990-an, sebagai sebuah metode sederhana untuk pencitraan komplek sfingter.

EAUS digunakan sebagai pelengkap anorektal manometri, sehingga dapat menilai

fungsi dan juga struktur sfingter ani dengan baik. Meskipun teknik EAUS tampak

sederhana, namun anatomi sonografi daerah perineum merupakan hal yang

komplek.

Saat pemeriksaan pasien dalam posisi tengkurap (kecuali sedang hamil).

Probe EAUS (Gambar 3.6) dimasukkan ke dalam anus secara perlahan, kemudian

diputar sehingga septum rektovaginal berada di anterior (Gambar 3.7).

Page 15: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 3.6 Probe EAUS dan penempatan probe EAUS.17

Pencitraan USG struktur sfingter normal tampak terdiri dari empat lapis

(Gambar 3.7) yang dibedakan oleh perbedaan reflektifitas akustik masing-masing

lapisan. Lapisan-lapisan tersebut (dari medial ke lateral) adalah : 17

1. Subepitelium (reflektifitas sedang)

Lapisan mukosa tidak teridentifikasi. Lapisan submukosa muskularis mungkin

tampak sebagai lapisan tipis dengan reflektifitas rendah menyatu dengan lapisan

subepitelium bagian atas.

2. Sfingter ani interna (reflektifitas rendah)

Tampak gambaran cincin yang jelas, merupakan patokan yang penting untuk

anatomi sonografi. Ketebalan cincin sekitar 2 mm, dan semakin tebal dengan

bertambahnya umur. Dapat pula ditemukan agak menipis di bagian anterior dan

tidak selalu ketebalan cincinnya simetris. Perubahan kecil mereleksikan

kontraksi yang terjadi pada otot polos, tetapi perubahan apapun pada ketebalan

adalah abnormal. Rata-rata panjang cincin pada penelitian 3D adalah 34 mm,

berakhir pada 8 mm proksimal dari anus. Sfingter ani interna berbeda dengan

otot polos sirkular dari rectum, dimana sfingter ani interna dapat dikenali

dengan peningkatan ketebalan.

3. Lapisan longitudinal (reflektifitas rendah sampai sedang)

Struktur komplek ini terdiri dari jaringan fibroelastik dari fascia pubocervicalis,

otot polos dari lapisan longitudinal rektum dan otot lurik dari puboanal. Serabut

Page 16: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

otot bersatu pada bagian atas saluran dan menghilang sebelum sfingter ani

interna berakhir, sehingga reflektifitas rendah dari kumpulan serat otot akan

tampak pada lapisan longitudinal bagian atas dan reflektifitas sedang dari

jaringan fibroelastik hanya akan tampak pada lapisan longitudinal bagian

bawah.

4. Sfingter ani eksterna

Merupakan otot lurih yang tampak dengan reflektifitas rendah sampai sedang.

Gambar 3.7 USG endoanal pada struktur sfingter yang normal (ANT: anterior, IAS: Internal Anal Sphincter, LM: Lapisan Longitudinal, EAS: External Anal Sphincter).17

EAUS merupakan salah satu metode untuk mengeksplorasi otot sfingter ani,

mengukur ketebalan dan keutuhan serta mendeteksi adanya jaringan parut atau

diskontinuitas jaringan otot (Gambar 3.8 dan 3.9). Saat ini EAUS merupakan

metode yang terbaik untuk evaluasi sfingter ani post partum. Namun metode ini

memerlukan peralatan khusus dan tidak dilakukan secara rutin setelah melahirkan.

Page 17: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 3.8. Lesi sfingter ani eksterna pada Endo-anal Ultrasonografi (EAUS)

(A) endoanal sebelum reparasi menunjukkan adanya defek sfingter ani pada arah jam 12 ; (B) setelah reparasi dengan teknik overlap pada sfingter ani eksterna.3

Gambar 3.9. Tampilan potongan coronal dari gambaran EAUS tiga dimensi dan tampak adanya defek dari sfingter ani eksternal (panah hitam).17

Salah satu metode alternatif ultrasonografi sfingter adalah dengan

menggunakan Trans-perineal ultrasonografi (TPUS). TPUS menggunakan probe

ultrasonografi biasa yang digunakan semua ahli obstetri sehingga peralatan lebih

sederhana. TPUS merupakan metode yang berguna dimana dapat memberikan

visualisasi yang baik terhadap struktur anatomi sfingter ani, tetapi sensitivitas dalam

mendeteksi cedera sfingter masih lebih baik EAUS.18

(Gambar 3.10)

Page 18: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 3.10. Trans-perineal Ultrasonografi (TPUS) 18

(A) Normal Sfingter Ani (1) Sfingter Ani Eksterna dan (2) Sfingter Ani Interna. (B) Lesi pada sfingter ani eksterna (tanda panah)

Page 19: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

BAB IV

PENANGANAN OASI

Dalam penanganan OASI ada beberapa prinsip dasar yang harus

diperhatikan yaitu tahap reparasi primer sfingter ani, tahap perawatan pasca reparasi

dan tahap follow up pasca reparasi sfingter ani. Ketiga tahap harus dapat

dilaksanakan dengan benar untuk memberikan keluaran yang baik terhadap pasien.

Kegagalan atau kesalahan penanganan OASI dapat memberikan dampak jangka

panjang bagi kehidupan sosial dan aktifitas sehari-hari penderita.

4.1. PERSIAPAN REPARASI PRIMER SFINGTER ANI

Setiap tindakan harus selalu dimulai dengan persiapan baik dari pasien,

operator dan peralatan yang diperlukan selama prosedur. Selain persiap seperti pada

tindakan bedah pada umumnya, pada reparasi primer sfingter ani terdapat persiapan

khusus yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Harus dilakukan oleh dokter yang telah berpengalaman dalam reparasi sfingter

ani atau dokter dalam pelatihan dengan supervisi.1,5

2. Reparasi harus dilakukan di kamar operasi dimana terdapat penerangan yang

baik, peralatan yang memadai dan kondisi aseptik. Peralatan (Gambar 4.1)

terdiri dari : 1 buah retraktor Weitlander, 4 buah forsep Allis, gunting McIndoe,

forsep bergigi, 4 buah forsep arteri, gunting benang dan needle holder.1

3. Anestesia umum atau regional merupakan syarat yang penting, terutama pada

reparasi dengan teknik overlap. Dengan anestesia maka otot akan dalam kondisi

relaks. Otot yang tidak relaks dapat menyebabkan robekan pada otot tersebut

saat reparasi.

4. Evaluasi secara cermat dan hati-hati dengan pemeriksaan vagina dan rectal pada

posisi litotomi dan tentukan klasifikasi ruptur.

Page 20: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 4.1 Peralatan penunjang reparasi cedera sfingter ani.19

4.2. PROSEDUR REPARASI PRIMER SFINGTER ANI

Sampai tahun 2001 belum ada panduan dalam penanganan OASI. RCOG

merekomendasikan bahwa cedera perineum derajat tiga dan empat segera dilakukan

reparasi primer setelah persalinan. Sedangkan reparasi sekunder adalah reparasi

yang dikerjakan untuk penanganan inkontinensia alvi, dilakukan beberapa bulan

atau tahun setelah persalinan dan biasanya dikerjakan oleh ahli bedah kolorektal.3

Yang akan kita bahas pada sari pustaka ini adalah reparasi primer. Berikut

ini adalah panduan yang dapat diterapkan dengan aman dan berdasarkan bukti-bukti

ilmiah atau penerapan yang terbaik. Prosedur reparasi primer sfingter ani adalah

sebagai berikut 1 :

1. Pada ruptur derajat empat, robekan lapisan mukosa rektum dijahit terputus satu-

satu dengan menggunakan benang Polyglactin 3-0 (seperti Vicryl) dengan

simpul pada rektum. Lapisan epitel tersebut dapat juga dijahit subkutikuler

melalui pendekatan transvaginal.

2. Otot sfingter dijahit dengan benang Polydioxalone 3-0 (seperti PDS). Benang

monofilamen lebih sedikit terjadi infeksi dibandingkan dengan benang

multifilamen, meskipun belum ada penelitinan yang mengatakan hal tersebut.

Page 21: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Benang nonabsorbable monofilamen seperti nilon atau polypropylene (Prolene)

juga efektifitas yang sama, namun dapat menimbulkan abses pada jahitan dan

ujung benang menyebabkan ketidaknyamanan. Oleh karena itu PDS

direkomendasikan sebagai pilihan pertama.

3. Sfingter ani interna harus dapat diidentifikasi dan dijahit terpisah dengan

sfingter ani eksterna. Sfingter ani interna terletak diantara sfingter ani eksterna

dan lapisan mukosa rektum. Tampat lebih pucat dibandingkan dengan sfingter

ani eksterna dan serat-serat ototnya tersusun sirkuler. Penampakan sfingter ani

interna seperti daging ikan mentah, sedangkan sfingter ani eksterna tampak

seperti daging merah. Ujung dari otot sfingter ani interna yang terkoyak

dipegang dengan klem Allis dan dijahit end-to-end secara terputus atau matras

dengan benang PDS 3-0. Robekan sfingter interna sebaiknya didekatkan dengan

jahitan terputus (satu-satu).1,5

4. Bermacam-macam teknik penjahitan sfingter ani eksterna telah dipaparkan.

Teknik yang paling sering digunakan di Inggris adalah end-to-end dengan

jahitan figure-of-eight (Gambar 4.2). Ahli bedah kolorektal lebih memilih teknik

overlap pada pasien dengan keluhan inkontinensia alvi, meskipun follow up

jangka panjang menyarankan bahwa keluhan akan berkurang dengan jalannya

waktu.

Gambar 4.2. Teknik end-to-end.2,3

Page 22: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 4.3. Teknik overlap. 2,3

Berdasarkan hal tersebut, Sultan dan rekan memaparkan teknik overlap untuk

cedera sfingter ani eksterna dan aproksimasi sfingter ani yang terpisah.

Identifikasi ujung otot sfingter ani eksterna yang terkoyak, ujung tersebut

dipegang dengan klem Allis. Untuk melakukan teknik overlap, otot sfingter ani

eksterna harus dibuat mobile, sehingga otot tersebut perlu dilakukan deseksi

dengan jaringan sekitarnya di sisi lateral dengan menggunakan gunting

McIndoe. Sfingter ani eksterna dipegang dengan klem Allis dan ditarik hingga

overlap atau menumpuk ujung satu dengan ujung yang lain. Kemudian dijahit

dengan teknik overlap (Gambar 4.3) dengan menggunakan benang PDS 3-0.

Identifikasi lebar seluruh otot sfingter ani eksterna sangatlah penting untuk

memastikan aproksimasi atau overlap secara keseluruhan.

Gambar 4.4. Ilustrasi untuk menggambarkan teknik overlap pada reparasi cedera

sfingter eksterna. Jahitan pertama dimasukan pada 1,5 cm dari ujung

sfingter ani yang terkoyak (panah hijau) dan dilanjutkan jahitan pada

0,5 cm dari ujung sfingter ani yang lainnya.1

Page 23: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Salah satu keuntungan dari teknik overlap adalah bahwa untuk melakukan

teknik tersebut maka seluruh lebar sfingter ani harus terlihat dan memungkinkan

kontak permukaan otot menjadi lebih luas. Apabila terjadi retraksi pada otot

setelah reparasi, maka dengan teknik overlap keutuhan reparasi masih bisa

dipertahankan dibandingkan dengan teknik end-to-end.

Dengan teknik overlap, kejadian aposisi inkomplit (Gambar 4.5) lebih jarang

terjadi dibandingkan dengan teknik end-to-end. Aposisi inkomplit dapat

menyebabkan pemendekan panjang anus yang merupakan prediktor terbaik

inkontinensia alvi. Penemdekan panjang anus sering terjadi pada reparasi

dengan menggunakan teknik end-to-end.

Gambar 4.5 Ilustrasi aposisi inkomplit, merupakan keluaran yang jelek, yang dapat

terjadi pada penggunaan teknik end-to-end.1

5. Penanganan yang baik harus terus dilatih dalam melakukan rekonstruksi otot

perineum untuk mendukung reparasi sfingter. Sedikit kekurangan dalam

perawatan perineum akan membuat sfingter ani lebih rawan terhadap trauma

pada persalinan pervaginam berikutnya. Otot pada perineum dijahit satu-satu

dengan benang Vicril 2-0, kemudian penutupan lapisan epitel vagina secara

jelujur dengan benang Vicril 3-0. Dan terakhir, kulit perineum dijahit jelujur

subkutikuler dengan benang Vicril 3-0 dimana keuntungan dari teknik ini

adalah nyeri perineum yang lebih ringan, jarak luka yang dekat dan tidak perlu

melepas benang.

6. Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk konfirmasi perbaikan

perineum dan memastikan semua tampon dan kasa telah keluar.

Page 24: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

7. Antibiotika intravenous harus diberikan saat operasi dan dilanjutkan peroral

selama satu minggu. Bukti dari sebuah penelitian acak terhadap wanita dengan

cedera sfingter menunjukkan bahwa kelompok yang menerima antibiotika

profilaksis saat reparasi memiliki angka insiden infeksi pada luka operasi 2

minggu post partum yang lebih rendah dan angka insiden keluarnya cairan

purulen dari luka operasi yang lebih rendah. Scottish Intercollegiate Guideline

Network juga merekomendasikan perioperatif antibiotik untuk mencegah

terlepasnya reparasi.3

8. Rasa tidak nyaman yang berat pada daerah perineum, biasanya yang menyertai

persalinan dengan alat, diyakini sebagai penyebab retensio uri dan diikuti oleh

regional anestesia yang bisa mencapai 12 jam sebelum sensasi berkemih

kembali. Foley kateter harus dipasang selama 24 jam kecuali dapat dipastikan

BAK spontan setiap 3 jam.

9. Temuan dan proses reparasi harus dicatat dengan terperinci. Menjabarkan

gambaran dari robekan sangat berguna pada saat catatan tersebut digunakan

untuk meninjau komplikasi, audit dan litigasi.

PERBANDINGAN ANTARA TEKNIK OVERLAPPING DAN END-TO-END

Meskipun Sultan dan kawan-kawan melaporkan hasil yang memuaskan

dengan teknik overlap, namun hal ini juga bisa mencerminkan keahlian operator.

Penelitian kontrol acak yang dilakukan oleh Fitzpatrick dan kawan-kawan,

melibatkan 112 wanita primipara. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna

antara kedua teknik tersebut, meskipun ada sedikit perbedaan akan keluhan yang

menetap dan fecal urgency pada kelompok end-to-end.1,20

Namun pada dasarnya

para peneliti setuju bahwa keluaran dari kedua teknik tersebut akan lebih baik

apabila terdapat pendidikan dan pelatihan reparasi sfingter ani.

Pada review penelitian Cochrane yang melibatkan 279 pasien dengan kasus

OASI membandingkan kedua teknik reparasi dalam hal nyeri perineum,

dispareunia, fecal urgency, inkontinensia flatus, inkontinensia alvi, deteriorasi

gejala inkontinensia alvi dan kualitas hidup. Dengan data yang terbatas memberikan

kesimpulan bahwa teknik reparasi overlap memliki risiko fecal urgency gejala

Page 25: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

inkontinensi alvi yang lebih rendah. Namun oleh karena keahlian ahli bedah yang

melakukan reparasi tidak diketahui maka tidak cukup bukti untuk

merekomendasikan teknik mana yang lebih baik.4

Dalam panduan RCOG memberikan rekomendasi A dalam penggunaan

teknik overlap atau end-to-end untuk reparasi sfingter ani eksterna, oleh karena

outcome yang dihasilkan sama.5

Randomized Control Trial yang dilakukan oleh Fernando dan kawan-kawan,

yang membanding kedua teknik reparasi tersebut yang dilakukan terhadap 64 kasus

OASI dari bulan Desember 1998 sampai November 2000, dilakukan di

Staffordshire Hospital di Inggris. Tiga puluh dua kasus direparasi dengan teknik

overlap, sedangkan 32 kasus lainnya direparasi dengan teknik end-to-end. Reparasi

dilakukan oleh dua dokter yang telah dilatih untuk melakukan kedua teknik

tersebut. Kemudian dilakukan follow up pasca reparasi pada minggu ke-6, bulan ke-

3, bulan ke-6 dan bulan ke-12. Didapatkan hasil bahwa kejadian inkontinensia alvi,

fecal urgency dan nyeri perineum lebih rendah secara signifikan dibandingkan

dengan teknik end-to-end. Dan selama follow up keluhan-keluhan tersebut

membaik pada kelompok teknik overlap, sedangkan pada teknik end-to-end

keluhan-keluhan tersebut menetap.21

4.3. PERAWATAN PASCA REPARASI

Pada perawatan pasien di ruangan rawat inap setelah tindakan, penanganan yang

perlu perhatikan adalah pemberian antibiotika, pelunak feses dan perineal higiene.

1. Pemberian antibiotika broad-spectrum peroral selama 1 minggu untuk

mengurangi kejadian infeksi post operatif dan wound dehiscence. Infeksi pada

luka operasi akan meningkatkan kejadian inkontinensia alvi dan terbentuk fistel.

Pemberian Metronidazol juga dipertimbangkan bila ada kemungkinan

kontaminasi feses pada luka operasi.1,5

2. Penggunaan laksatif berhubungan dengan nyeri yang lebih ringan serta

pemulangan pasien dari rumah sakit lebih cepat dibandingkan dengan

penggunaan regimen constipating. Pada survey nasional terbaru di Inggris, 94%

para ahli obstetri merekomendasikan laksatif.3 Feses yang keras dapat

Page 26: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

mengganggu reparasi, pelunak feses seperti lactulosa (15 ml dua kali per hari)

dan debulging agent, seperti Fybogel (dua kali satu bungkus per hari) harus

diberikan selama minimal 2 minggu setelah operasi. Kolostomi masih

dikerjakan oleh beberapa praktisi yang berpendapat bahwa feses dapat

mengganggu reparasi mukosa rektum dan otot sfingter yang baru. Namun pada

sebuah penelitian prospektif, acak, surgeon-blind didapatkan bahwa keluaran

dari bedah rekonstruksi anorektal tidak dipengaruhi oleh dilakukannya

kolostomi dan sangat sedikit dipengaruhi oleh benturan feses. Oleh karena itu

penting untuk dipastikan bahwa pasien dapat defekasi sebelum dipulangkan dari

rumah sakit.

3. Saat dipulangkan dari rumah sakit, pasien harus mendapatkan nasihat mengenai

higiene umum, latihan-latihan dasar panggul dan bagaimana menghindari

kontipasi dari seorang fisioterapis.3 Pasien harus paham akan dampak dari

robekan dan tahu bagaimana mencari bantuan jika terjadi gejala infeksi atau

inkontinensia.

4.4. PEMANTAUAN PASCA REPARASI

Pollack dan kawan-kawan mendapatkan bahwa primipara dengan OASI

yang telah direparasi, 44% akan mengalami kejadian inkontinensia alvi dengan

berbagai derajat dalam waktu 9 bulan post partum dan angka kejadian akan

meningkat menjadi 55% pada pemantauan 5 tahun post partum.22

Namun belum

jelas kapan dan berapa lama waktu yang optimal untuk pemantau dan sampai saat

ini masih belum ada penelitian yang membandingkan penerapan pemantau yang

berbeda-beda.

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists merekomendasikan

untuk menawarkan fisioterapi dan latihan dasar panggul kepada pasien setelah 6

sampai 12 minggu pasca reparasi sfingter ani dan juga dilakukan evaluasi oleh

seorang konsultan setelah 6 sampai 12 minggu setelah melahirkan.3

Pertimbangannya adalah bahwa segera setelah persalinan maka kekuatan sfingter

ani akan jauh berkurang, baik dengan atau tanpa OASI, dan berangsur-angsur mulai

kembali setelah 3 bulan persalinan.

Page 27: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Beberapa rumah sakit mendirikan klinik perineal multidisiplin untuk

memastikan bahwa pasien mendapat pemantauan yang baik. Penting untuk

mengetahui bagaimana buang air berat, buang air kecil dan fungsi sexual. Dengan

anamnesis sering agak susah mengetahui OASI oleh karena keluhan inkontinensia

alvi merupakan keluhan yang memalukan dan sering disembunyikan oleh penderita,

maka perlu dilakukan dengan menggunakan kuestioner.1 Fecal Continence Scoring

Scale (Tabel 3) merupakan cara objektif untuk menilai ada inkontinensia alvi.2 Bisa

juga dengan menggunakan Cleveland Clinic Incontinence Score (Tabel 4).23

Apabila masih didapatkan inkontinensia alvi pada 9 bulan pasca persalinan

merupakan prediktor penting terjadinya gejala yang menetap.22

Tabel 4.1. Fecal Continence Scoring Scale 2

Page 28: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Tabel 4.2. Cleveland Clinic Incontinence Score 22

Satu sampai dua minggu setelah reparasi, dilakukan pemeriksaan vagina dan

rektal perlu dilakukan untuk memeriksa penyembuhan, nyeri pada jaringan parut

dan tonus dari sfingter ani. Idealnya, semua wanita menjalani anorektal manometri

dan endoanal ultrasonografi pada saat pemantauan. Pemeriksaan endoanal

ultrasonografi dan evaluasi anorektal manometri diperlukan untuk mendiagnosis

secara tepat. Namun apabila fasilitas tersebut tidak tersedia, maka wanita dengan

gejala dan secara klinis terdapat penurunan tonus atau kontraksi sfingter ani harus

dirujuk ke tempat dengan fasilitas yang lebih memadai dimana pemeriksaan yang

lebih baik dapat dilakukan.1

4.5. ANOREKTAL MANOMETRI 24

Jari tangan merupakan alat pengukur tekanan yang buruk, pemeriksaan

digital saja tidaklah akurat untuk mendiagnosa fungsi sfingter ani. Namun bukan

tidak mungkin untuk menilai fungsi motorik dan aktifitas sfingter ani. Anorektal

monometri merupakan alat terbaik dan telah banyak dipergunakan untuk menilai

inkontinensa alvi. Anorektal manometri dibuat untuk dapat mengukur defisit fungsi

sfingter ani, ada tidaknya refleks rektoanal dan fungsi sensoris rektal.

Adapun komponen alat anorektal manometri terdiri dari empat komponen

utama, yaitu:

Page 29: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

1. Kateter intraluminal yang sensitif terhadap tekanan.

2. Transduser tekanan.

3. Sebuah balon untuk pengempisan pada rectum, yang berhubungan dengan

kateter.

4. Alat perekam/pencatat hasil.

Salah satu kelemahan terbesar penggunaan anorektal manometri adalah

tidak adanya keseragaman alat dan teknik penggunaan. Maka sebagai

konsekuensinya komparasi hasil yang berbeda didapatkan dari berbagai pusat

penelitian menjadi masalah dimana setiap institusi mengembangkan nilai kontrol

tersendiri.

Dengan menggunakan anorektal manometri (Gambar 9) kita dapat

mengevaluasi fungsi sfingter dengan mengukur resting pressure sfingter ani interna

dan voluntary pressure sfingter ani eksterna. Pada gangguan fungsi sfingter ani

akan tampak dengan adanya penurunan maximum resting anal pressure (MRAP)

dan penurunan maximum sgueeze pressure (MASP) pada pemeriksaan manometri.25

Gambar 4.6. Manometer Anorektal.24

Page 30: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 4.7 Hasil anorektal manometri pada sfingter ani normal saat resting pressure 24

Gambar 4.8 Hasil anorektal manometri pada sfingter ani normal saat voluntary pressure, (tanda * = kenaikan voluntary pressure; tanda † = maximum voluntary pressure) 24

Gambar 4.9 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat resting pressure 24

Page 31: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Gambar 4.10 Hasil anorektal manometri pada cedera sfingter ani saat voluntary pressure 24

4.6. PROGNOSIS UNTUK KEHAMILAN BERIKUTNYA

Untuk memberikan konseling yang baik terhadap wanita dengan riwayat

cedera derajat tiga atau empat, maka data hasil kuesioner gejala, hasil anal

ultrasonografi dan hasil anorektal manometri perlu disertakan. Jika akan

direncanakan persalinan pervaginam maka perlu dilakukan pemeriksaan-

pemeriksaan tersebut di atas selama kehamilan saat ini kecuali bila sebelumnya

telah dilakukan dan hasilnya abnormal. Bukti terbaru menyarankan bila pada

pemeriksaan anal ultrasonografi didapatkan defek yang besar (lebih dari satu

kuadran) atau tekanan jepit sfingter ani kurang dari 20 mmHg maka risiko

terjadinya inkontinensia meningkat setelah melahirkan.

Pada wanita dengan inkontinensia ringan perlu dilakukan konseling dan

ditawarkan seksio sesarea. Inkontinensia ringan (fecal urgency atau flatus

inkontinensia) dapat dikontrol dengan pengaturan diet, obat kontipasi, fisioterapi

atau biofeedback.

Wanita dengan tanpa keluhan fungsi sfingter ani dapat disarankan untuk

menjalani persalinan pervaginam dengan penolong yang berpengalaman. Tidak

disarankan tindakan episiotomi profilaksis rutin pada persalinan berikutnya. Hasil

awal sebuah penelitian multicenter tidak mendukung pelaksanaan episiotomi

Page 32: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

profilaksis rutin pada persalinan pervaginam berikutnya, sehingga episiotomi

dikerjakan jika ada indikasi klinis pada saat persalinan.1,5

Namun ada pula yang

tetap menawarkan untuk dilakukan sectio secarea oleh karena risiko cedera

perineum derajat tiga atau empat dapat timbul lagi bila menjalani persalinan

pervaginam.26

Pada semua pasien dengan riwayat OASI, perlu kita berikan

konseling tentang risiko terjadinya inkontinensia alvi ataupun perburukan dari

gejala inkontinensia yang terjadi apabila menjalani persalinan pervaginam pada

kehamilan berikutnya.5

Belum ada penelitian untuk mengetahui metode persalinan yang paling baik

pada pasien dengan riwayat cedera perinuem derajat tiga atau empat. Wanita

dengan riwayat reparasi sekunder sfingter ani oleh karena inkontinensia alvi harus

melahirkan dengan sectio secarea.15

Wanita yang pernah mengalami cedera

perineum derajat tiga atau empat diikuti dengan keluhan inkontinensia berat harus

ditawarkan reparasi sekunder sfingter ani yang dikerjakan oleh ahli bedah

kolorektal dan semua persalinan berikutnya harus dilakukan sectio secarea.

Gambar 4.11. Algoritma penanganan OASI 27

Page 33: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Beberapa wanita dengan inkontinensia alvi dapat memiliki anak terlebih

dahulu sampai jumlah anak cukup sebelum menjalani pembedahan sfingter ani.

Disarankan untuk melakukan persalinan pervaginam dengan alasan bahwa cedera

telah terjadi, risiko untuk kerusakan lebih lanjut minimal dan tidak mempengaruhi

keluaran dari reparasi. Keuntungannya adalah memperkecil risiko yang

berhubungan dengan sectio secarea pada kehamilan-kehamilan berikutnya.

4.7. PENCEGAHAN OASI

Pencegahan cedera perineum pada saat persalinan dan menurunkan serendah

mungkin kejadian OASI merupakan tantangan tersendiri bagi penolong persalinan.

Dalam beberapa dekade ini, penelitian-penelitian randomised controlled trial

(RCT) dan sistemik review telah dilakukan. Namun penelitian-penelitian terhadap

pencegahan cedera perineum masih terbatas. Secara umum, pencegahan OASI

adalah dengan mencegah terjadinya faktor risiko. Namun metode persalinan dengan

angka kejadian cedera perineum yang rendah perlu dicari dan dievaluasi. Beberapa

intervensi, dari penelitian RCT, yang berpotensi menurunkan kejadian cedera

perineum dapat diterapkan (Tabel 4.3).28

Tabel 4.3. Rangkuman penelitian RCT yang terbukti bermakna dalam mengurangi cedera perineum.28

Page 34: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

Seksio sesarea sering dianggap menjadi satu-satunya alternatif untuk

menghindari persalinan pervaginam dengan bantuan alat pada kasus persalinan

macet atau pada kasus dimana kelahiran harus yang segera terjadi. Namun

perlindungan dasar panggul dalam mencegah cedera sfingter ani, harus seimbang

dengan morbiditas yang bisa terjadi pada seksio sesarea.

Penelitian dilakukan oleh Minaglia dan kawan-kawan untuk menghitung

berapa jumlah seksio sesarea yang diperlukan untuk mencegah satu kasus OASI.

Penelitian dengan menggunakan data sekunder terhadap pasien dengan persalinan

macet dimana dapat ditangani dengan persalinan operatif pervaginam atau seksio

sesarea. Didapatkan 50 kasus OASI (23,9%) pada 209 pasien yang menjalani

persalinan operatif pervaginam, dan tidak didapatkan kasus OASI pada 254 pasien

yang mengalami seksio sesarea. Didapatkan absolute risk reduction (ARR) sebesar

23,9%, sehingga didapatkan number need to treat (NTT) sebesar 4,2 (confidence

interval 95%). Sehingga pada penelitian ini disimpulkan bahwa perlu 5 tindakan

seksio sesarea untuk mencegah terjadinya 1 kasus OASI pada persalinan operatif

pervaginam.29

Page 35: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

BAB VI

RINGKASAN

Anatomi dari sfingter ani kurang diketahui dan dipahami oleh dokter dan bidan.

Sebuah klasifikasi cedera perineum telah diperkenalkan dan protokol untuk reparasi telah

diusulkan untuk memfasilitasi diagnosa dan penanganan cedera sfingter ani dengan tepat.

Pelatihan khusus merupakan syarat mutlak sebelum melaksanakan reparasi sfingter.

Reparasi sfingter harus dilaksanakan atau disupervisi oleh ahli yang berpengalaman dan

harus dicatat dengan seksama apa yang ditemukan dan teknik reparasi yang dikerjakan.

Follow up dan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga pasien dan dokter pribadi

pasien merupakan hal yang mendasar. Karena seksio sesarea bukan merupakan tindakan

tanpa morbiditas dan mortalitas, maka konseling yang tepat mengenai rekomendasi

tentang cara persalinan perlu dilakukan berkaitan dengan kehamilan berikutnya.

Page 36: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

DAFTAR PUSTAKA

1. Thakar R, Sultan AH. Manajement of obstetric anal sphincter injury. The Obstetrician

and Gynaecologist 2003;5:72-8.

2. Power D, Fitzpatrick M, O’Herlihy C. Obstetric anal sphincter injury : How to avoid,

how to repair : A literature review. The Journal of Family Practice 2006;55(3):193-

200.

3. Abbott D, Robert NA, Williams A, Ntim EO, Chappel LC. Obstetric anal sphinter

injury. BMJ 2010;341:140-5.

4. Fernando R, Sultan AH, Kettle C, Thakar R, Radley S. Methode of repair for

obstetric anal sphincter injury. The Cochrane Library 2007, Issue 4.

5. Fernando RJ, Williams AA, Adams EJ. The Management of Third- and Fourth-

Degree Perineal Tears. RCOG Green-top Guideline No. 29. March 2007.

6. Labor and Normal Delivery. In : Cunningham FG, Leveno KJ ed, William Obstetric

23rd

. Chapter 17

7. Carroll TG, Engelken M, Mosier MC, Nazie N. Epidural analgesia and severe

Perineal laceration in a community-based obstetric practice. J Am Board Fam Prac

2003;16:1-6.

8. Andrews V, Sultan AH, Thakar R, Jones P. Occult anal sphincter injuries – myth or

reality? Br J Obstet Gynaecol 2006;113:195–200.

9. Sultan AH, Kettle C. Diagnosis of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner

DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007; 13-19.

10. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Thomas JM, Bartram CI. Anal sphincter

disruption during vaginal delivery. N Engl J Med 1993;329:1905–11.

11. Zetterstrom J, Mellgren A, Jensen LJ, Wong WD, Kim DG, Lowry AC, Madoff RD,

Congilosi SM. Effect of delivery on anal sphincter morphology and function. Dis

Colon Rectum 1999;42:1253–60.

12. Rieger N, Schloithe A, Saccone G, Wattchow D. A prospective study of anal

sphincter injury due to childbirth. Scand J Gastroenterol 1998;33:950–5.

13. Groom KM, Paterson-Brown S. Can we improve on the diagnosis of third degree

tears? Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2002;101(1):19–21.

Page 37: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

14. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Obstetric perineal tears: an audit of training. J

Obstet Gynaecol 1995;15:19–23.

15. Lal M, Mann Ch, Callender R, Radley S. Does cesarean delivery prevent anal

incontinence? Obstet Gynecol 2003;101:305–12.

16. Benifl a JL, Abramowitz L, Sobhani I et al. Postpartum sphincter rupture and anal

incontinence: prospective study with 259 patients. Gynecol Obstet Fertil

2000;28(1):15–22.

17. Bartram C, Sultan AH. Imaging of The Anal Sphincter. In: Sultan AH, Thakar R,

Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag

2007;123-132

18. Cornelia L, Stephan B, Michel B, Antoine W, Felix K. Trans-perineal versus endo-

anal ultrasound in the detection of anal sfingter tears. Eur J Obstet Gynecol Reprod

Biol 2002;103:79-82.

19. Mega Putra G. Penanganan Terkini Ruptur Perineum Totalis. In: Adnyana P, Budiana

G ed. Buku Materi PKB ke-4 Obgin. Denpasar. SMF Obgin/FK Unud. 2009.

20. Garcia V, Rogers RG, Kim SS, Hall RJ, Kammerer-Doak DN. Primary repair of

obstetric anal sphincter laceration: A randomized trial of two surgical techniques.

American Journal of Obstetric and Gynecology. 2005;192:1697-701.

21. Fernando RJ, Sultan AH, Kettle C, Radley S, Jones P, O’Brien PMS. Repair

Technique for Obstetric Anal Sphincter Injuries: A Randomized Control Trial. Obstet

Gynecol 2006;107:1261-8.

22. Pollack J, Nordenstam J, Brisman S, Lopez A, Altman D, Zetterstrom J. Anal

Incontinence After Vaginal Delivery: A Five-Year Prospective Cohort Study. Obstet

Gynecol 2004;104:1397-1402.

23. Cawich SO, Mitchell DIG, Martin A, Brown H, DaCosta VE, Lewis T, Newnham M,

Christie L. Management of Obstetric Anal Sphincter Injuries at the University

Hospital of the West Indies. West Indian Med J 2008;57(5):482-5.

24. Scott SM, Lunniss PJ. Investigations of Anorectal Function. In: Sultan AH, Thakar R,

Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag

2007;102-122

Page 38: DIAGNOSIS DAN PENANGANAN OBSTETRIC ANAL SPHINCTER …erepo.unud.ac.id/id/eprint/571/1/6511f3a06fc351ae... · EPIDEMIOLOGI Angka kejadian ruptur perineum derajat tiga dan empat sangat

25. Yilmaz E, Nas T, Korucuoglu U, Guler I. Manometric evaluation of anal sphincter

function after vaginal and cesarean delivery. International Journal of Gynecology and

Obstetrics 2008;103:162-5.

26. Heit M, Mudd K, Cullinga P. Prevention of Childbirth Injuries to the Pelvic Floor.

Current Women’s Health Report. 2001;1:72-80.

27. Sultan AH, Thakar R. Third and Fourth Degree Tears. In: Sultan AH, Thakar R,

Fenner DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag

2007;33-51.

28. Thakar R, Eason E. Prevention of Perineal Trauma. In: Sultan AH, Thakar R, Fenner

DE, ed. Perineal and Anal Sphincter Trauma. London. Springer-Verlag 2007;52-64.

29. Minaglia SM, Kimata C, Soules KA, Pappas T, Oyama IA. Defining an at-risk

population for Obstetric Anal Sphincter Laceration. American Journal of Obstetric

and Gynecology. November 2009;526:e1-6.