Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Embed Size (px)

Citation preview

Public Disclosure Authorized

49568

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Juli 2009

Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana

KANTOR BANK DUNIA JAKARTA Gedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13 Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111

BANK DUNIA Bank Dunia 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433 USA Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Email : [email protected] Website : www.worldbank.org

Dicetak bulan Juli 2009

DIAGNOSIS PERTUMBUHAN ACEH: Mengidentikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konik dan pasca bencana adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut.

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana

Daftar IsiPengantar Ucapan Terima Kasih Daftar Istilah Ringkasan Eksekutif 1. Pendahuluan 2. Metodologi 3. Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 4. Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konflik dan Pasca Konflik di Aceh 5. Akses Terhadap Kredit a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal? d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? 6. Hasil Sosial yang Rendah a. Infrastruktur: jalan-jalan b. Infrastruktur: listrik c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia 7. Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) a. Risiko-risiko Makroekonomi b. Lingkungan usaha c. Korupsi d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi 8. Kesimpulan 9. Daftar Referensi 10. Lampiran-Lampiran Lampiran I Perkiraan hasil-hasil pendidikan Lampiran II Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Lampiran III Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) Lampiran IV Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan iv v vi 1 5 9 15 21 25 25 27 28 30 32 37 38 40 42 47 47 48 51 53 59 61 65 71 77 77 78 79 80

GambarGambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia Gambar 5 Kekerasan di Aceh Jan 2005 sampai dengan Des 2008 Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh 6 10 15 19 24 26

ii

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur yang berbeda Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari gangguan pasokan Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan jumlah warnet

27 27 28 29 29 34 39 40 41 50 49 56 62

TabelTabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Table 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Bagaimana konik mepengaruhi perekonomian? Penciptaan lapangan kerja di Aceh Pertumbuhan ekonomi di Aceh Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun (angka pada tahun 2008) Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 2005 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 Tingkat elektrikasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia Capaian pendidikan Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA), korban sipil, dan non korban (khusus pria) Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan Hasil pendidikan perkiraan kenaikan upah Indeks persepsi korupsi Jenis penghidupan (khusus pria) Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh 11 13 16 18 26 30 31 35 38 39 41 42 43 44 45 52 54 55 61 66

KotakKotak 1 Kotak 2 Kotak 3 Kotak 4 Kotak 5 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konik terhadap pertumbuhan Data Investasi Merevitalisasi Pertanian Aceh Apakah konik merupakan halangan untuk mengakses kredit? Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh 8 18 20 32 62

iii

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

PengantarAceh saat ini berada di persimpangan jalan. Searah dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi yang sebelumnya telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi disektor-sektor ekonomi tertentu (misalnya konstruksi, perdagangan dan transportasi), kondisi ekonomi Aceh tercatat terus menurun. Kondisi penurunan ekonomi secara alamiah ini juga berhubungan dengan dampak negatif krisis keuangan global. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Aceh belum sembuh dari dampak negatif konik yang terjadi selama 30 tahun. Berakhirnya masa konik pada tahun 2005 dan berlanjutnya masa-masa damai merupakan pencapaian besar. Beberapa daerah konik biasanya kembali ke suasana konik dalam tahun-tahun awal kesepakatan damai. Namun tidak untuk Aceh. Meskipun sempat memanas dalam Pemilu legislatif dalam bulan April lalu, namun secara umum kondisi keamanan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak termasuk pemerintah pusat untuk terus memelihara perdamaian sehingga mendorong pembangunan yang lebih baik. Laporan ini menunjukkan bahwa beberapa investor masih memandang Aceh sebagai daerah yang berisiko untuk berinvestasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa Aceh relative aman selama kurun waktu hampir 4 tahun. Beberapa insiden keamanan, yang lazim terjadi di daerah pasca konik, menghambat pelaku usaha dan individu untuk berinvestasi di Aceh. Dampak lain dari konik juga masih adanya pajak-pajak illegal, yang pada akhirnya mengurangi minat investasi. Pemerintah Aceh menyadari bahwa sebelum pelaku usaha dan masyarakat merubah persepsi mereka tentang keamanan di Aceh dan merasa percaya diri bahwa mereka dapat memperoleh manfaat penuh dari investasi mereka, hanya sedikit investasi akan datang. Akhirnya, pertumbuhan propinsi ini akan terbatas dan upaya-upaya untuk mengurangi kemiskinan akan kurang efektif. Terdapat masalah lain yang mempengaruhi perekonomian Aceh. Yaitu termasuk lingkungan usaha, akses pada permodalan dan kualitas infrastruktur. Laporan ini mencoba menunjukkan bagaimana faktorfaktor yang berbeda ini berpengaruh pada investasi dan pertumbuhan, dan memberikan rekomendasi pada upaya pemerintah dalam memperioritaskan dan merubah kebijakan untuk meningkatkan iklim investasi Meningkatkan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga perdamaian. Karena lingkungan konik dan pasca konik yang tidak positif dapat memperburuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Konik yang ada di Aceh tidak dapat disederhanakan menjadi hanya isu lapangan pekerjaan dan ketimpangan sosial. Akarnya jauh lebih rumit dan memelihara perdamaian lebih penting dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kami percaya bahwa manakala masyarakat dalam keadaan stabil dan menikmati penghasilan yang layak, maka kekacauan akan menurun. Tentunya menghilangkan hambatan pertumbuhan dan investasi adalah penting. Karena pada akhirnya dapat membuat propinsi ini terus tumbuh dengan tingkat hidup yang lebih baik bagi masyarakat, serta membantu terjaganya perdamaian.

Joachim von Amsberg Direktur Bank Dunia Indonesia

iv

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

Ucapan Terima KasihLaporan ini disusun oleh unit Manajemen Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan Asia Timur Bank Dunia, yang bekerjasama dengan Unit Pembangunan Sosial. Tim penyusun laporan ini diketuai oleh Enrique Blanco Armas dan terdiri atas Patrick Barron, David Elmaleh, dan Harry Masyrafah. Kami sangat berterima kasih atas masukan-masukan berharga yang diberikan oleh banyak orang selama penyusunan laporan ini, termasuk Enrique Aldaz-Carroll, Achmad Budiman, Tim Bulman, Yoko Doi, Said Fauzan Baabud, Wolfgang Fengler, Fitria Fitrani, Scott Guggenheim, Ahya Ihsan, Islahuddin, Kai Kaiser, Neni Lestari, Lina Marliani, Lloyd McKay, Adrian Morel, Nazamuddin, David Newhouse, Blair Palmer, Peter Rosner, Rodrigo Wagner, Susan Wong, Robert Wrobel, Sukmawah Yuningsih, dan Wasi Abbas. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekan peninjau (peer reviewer), Elena Ianchovichina dan Nicola Pontara, yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Rizki Atina yang telah memberikan bantuan untuk tim, Peter Milne dan Arsianti yang telah membantu dengan melakukan penyuntingan dan produksi laporan ini. Dalam melaksanakan penelitian ini, tim mendapatkan bantuan dari sebuah survei kecil dan serangkaian wawancara yang dilakukan dengan para pelaku usaha dan bank-bank di Aceh. Bimbingan dari Bank Indonesia dalam melaksanakan survei ini sangat penting, dan kami secara khusus berterima kasih kepada Yusran dan Eko Hermonsyah dari Bank Indonesia atas bantuannya. Penelitian ini juga mendapatkan banyak bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh KPPOD dan The Asia Foundation di Aceh pada tahun 2008. Keduanya setuju untuk memberikan hasil-hasil surveinya kepada kami, meluangkan waktu yang cukup banyak untuk membahas survei tersebut dan hasil-hasilnya dengan tim. Kami ingin berterima kasih khususnya pada Romawaty Sinaga, Adam Day, dan Erman Rahman dari The Asia Foundation. Kami juga menggunakan hasil dari survei Reintegrasi Aceh dan Penghidupan (ARLS), yang dilakukan oleh Nielson Indonesia dengan bantuan dana dari Department for International Development (Departemen Pembangunan Internasional (DFID)) Inggris. Diskusi yang kami lakukan dengan Laura Paler (Columbia) dan Yuhki Tajima (Riverside) bermanfaat bagi kami dalam penafsiran data. Tim juga telah mempresentasikan versi awal dari laporan ini dalam Konferensi Internasional tentang Kajian Aceh dan Kawasan Samudra Hindia (ICAIOS) kedua yang bertajuk Konik Sipil dan Penanggulangannya, di Banda Aceh, dari tanggal 23 sampai 24 Februari 2009. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada para penyelenggara, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan the Asia Research Institute (ARI) Universitas Nasional Singapura, serta para peserta konferensi tersebut, karena telah memberikan kepada kami kesempatan untuk menyajikan hasil-hasil awal dan memberikan kepada tim tanggapan-tanggapan yang matang tentang makalah yang disajikan. Hasil-hasil awal juga telah dipresentasikan kepada Pemerintah Aceh pada bulan April 2009 untuk menjelaskan hasil temyan awal dan untuk memperoleh umpan balik dari Pemerintah tentang kegiatan kami. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada T. Said Mustafa dari Kantor Gubernur Aceh yang telah memfasilitasi pertemuan tersebut, serta kepada semua peserta yang telah meluangkan waktunya dan memberikan tanggapan-tanggapan yang bermanfaat kepada tim. Akhirnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vikram Nehru, Joachim von Amsberg, dan William Wallace, yang telah memberikan bimbingan menyeluruh kepada kami, atas dukungan, bimbingan, serta masukan-masukan bermanfaat yang telah diberikan sepanjang proses penyusunan laporan ini.

v

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Daftar IstilahAPKO ARLS ARI ATAP BI BPS CSIRO DAU DFID GAM GDP GER GRDP GwH IAIN ICAIOS ICG IFC IOM IOO KDP KPM KPPOD KTP KUR kVA LDR LOGA MIGA MoU MSME MSR NAD NER NGO NPL PDRB PEG PER PLN PMA PMDN Pusdatin Asosiasi Penguasaha Kopi Aceh Reintegration and Livelihood Survey Asia Research Institute Aceh Triple-A Project Bank Indonesia Biro Pusat Statistik Australias Commonwealth Scientic and Industrial Research Organization Dana Alokasi Umum Department for International Development Gerakan Aceh Merdeka Gross Domestic Product Gross Enrollment Rate Gross Regional Domestic Product Gigawatt Hour Institut Agama Islam Negeri International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies International Consultative Group International Finance Corporation International Organization for Migration Investment Outreach Oce Kecamatan Development Program Business Empowerment Credit Program Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Kartu Tanda Penduduk Kredit Usaha Rakyat Kilo Volt Ampere Loan to Deposit Ratio The Law on Governing Aceh Multilateral Investment Guarantee Agency Memorandum of Understanding Micro, Small and Medium Enterprises Multi Stakeholder Review Nanggroe Aceh Darussalam Nett Enrollment Rate Non Government Organization Non Performing Loan Produk Domestik Regional Brutto Poverty Elasticities of Growth Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Perusahaan Listrik Negara Penanaman Modal Asing Penanaman Modal Dalam Negeri Pusat Data dan Informasi

vi

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

RPJMD RUPTL Sakernas SMA SME Susenas TAF TNA TNI UN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Survey Tenaga Kerja Nasional Sekolah Menengah Atas Small Medium Enterprise Survey Sosial Ekonomi Nasional The Asia Foundation Tentara Negara Aceh Tentara Nasional Indonesia United Nations

vii

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Ringkasan EksekutifHambatan-hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh perlu segera ditangani. Seiring dengan berakhirnya masa rekonstruksi, pertumbuhan ekonomi kembali menurun, seperti pada saat sebelum terjadinya tsunami. Perekonomian Aceh mengalami penurunan sebesar lebih dari 8 persen di tahun 2008. Sedangkan perekonomian dari sektor non-migas menunjukkan pertumbuhan yang cukup rendah, yaitu sebesar 1,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan di tingkat nasional sebesar 6 persen. Pertumbuhan di Aceh pasca tsunami didominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Seiring dengan akan berakhirnya upaya rekonstruksi, pertumbuhan sektor-sektor tersebut telah melambat, sementara pelambatan tersebut belum diisi oleh sektor-sektor lain dalam perekonomian (misalnya, pertanian dan industri). Pada saat di mana cadangan minyak dan gas yang diketahui semakin menipis dengan cepat dan program rekonstruksi pasca tsunami tidak lagi menjadi motor penggerak pertumbuhan, sektor swasta perlu menjadi mesin penggerak pertumbuhan, meningkatkan produktitas, dan membentuk kembali sektor produktif agar tidak lagi bergantung pada sektor minyak dan gas, dan membantu transisi Aceh menjadi perekonomian yang modern. Dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan, laporan ini mengidentifikasi kurangnya pasokan listrik yang dapat diandalkan sebagai hambatan utama terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh. Berbagai perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik mengalami gangguan rata-rata 4,3 kali per minggu, lebih dari dua kali lipat dari jumlah gangguan yang dialami oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Usaha manufakturing dan pengolahan hasil pertanian merupakan sektor yang secara khusus sangat dirugikan apabila terjadi pemadaman listrik. Hal ini menyebabkan sejumlah usaha kecil yang tidak memiliki generator sendiri tidak dapat menjalankan kegiatannya. Selain untuk meningkatkan tingkat keandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan untuk upaya-upaya pembaruan untuk menarik investasi dari sektor swasta dalam bidang energi dengan (i) merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan melalui PLN, (ii) mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pembangkitan listrik dari sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui (panas bumi, biomassa setempat, energi matahari), dan (iii) menjajaki kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik para produsen listrik yang hemat biaya. Hambatan utama lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah masalah pungutan liar dan masalah keamanan yang masih menjadi perhatian para calon investor. Hal tersebut harus menjadi fokus instansi-instansi terkait dalam upaya untuk menarik investasi di Aceh. Sisa-sisa konik di Aceh masih terus menghambat pertumbuhan. Konik dapat menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik yang menjadi landasan pertumbuhan. Dampak-dampak tersebut mempengaruhi bagaimana perekonomian berfungsi dalam

1

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Ringkasan Eksekutif

masa pasca konik. Selain pengaruh-pengaruh destruktif langsung, dampak-dampak tersebut juga dapat membahayakan keamanan para individu dan masyarakat dengan cara-cara yang secara tidak langsung mengubah perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan. Kekhawatiran akan keamanan dan persepsi negatif di luar Aceh nampaknya merupakan faktor yang kuat yang menghalangi investasi di provinsi tersebut. Pungutan liar dan masalah-masalah keamanan dianggap sebagai hambatan-hambatan yang sangat besar oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha tersebut menyatakan keamanan dan kemudahan penyelesaian konik sebagai hambatan di Aceh, dibandingkan dengan angka di provinsi-provinsi yang lain yang hanya mencapai 4 persen. Kabupaten-kabupaten tempat terjadinya insiden-insiden yang paling hebat sejak penandatanganan Kesepakatan Damai cenderung merupakan kabupaten-kabupaten di mana perusahaan-perusahaan mencatat kinerja yang lebih rendah. Secara rata-rata. satu dari empat usaha swasta menyatakan mengeluarkan biaya untuk tambahan keamanan. Persepsi peningkatan risiko juga dapat juga menimbulkan kurangnya kredit untuk sektor swasta. Semua hal tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan usaha di Aceh. Berbagai perusahaan mencoba mengatasi ketidakpastian tersebut dengan menjalin kerjasama dengan prusahaan-perusahaan atau jaringan-jaringan setempat yang dapat menawarkan perlindungan dan rasa aman, walaupun hal tersebut tidak selalu mungkin dilakukan. Upaya untuk mengatasi kekhawatiran para calon investor tentang keamanan dan pemberantasan pungutan liar serta suap membutuhkan strategi dua arah: memperkuat supremasi hukum dan menangani hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya ancaman kekerasan dan keamanan. Untuk memperkuat supremasi hukum, instansi-instansi terkait harus meningkatkan kapasitas kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan menyelesaikan kasus-kasus kejahatan, serta kapasitas sistem peradilan untuk menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan. Hal tersebut mungkin membutuhkan modal politik yang cukup besar, yang sama pentingnya dengan modal yang diperlukan untuk membangun konstituen yang diperlukan yang akan mendukung reformasi tersebut, dengan melibatkan masyarakat madani dan sektor swasta dalam diskusi-diskusi dan pemantauan situasi keamanan. Untuk menangani faktor-faktor penyebab yang mendasar dari ancaman kekerasan dan keamanan, instansi-instansi terkait harus mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang dilanda konik, dengan fokus pada kelompok-kelompok yang berisiko dan rentan. Apabila bantuan hanya diberikan kepada para mantan pejuang GAM, maka hal tersebut mungkin kurang efektif dan akan menimbulkan masalah baru serta kecemburuan lainnya. Situasi keamanan yang lebih baik dan penghapusan pungutan dan pajak liar kemungkinam besar akan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan. Seiring dengan pengurangan biaya-biaya yang terkait dengan keamanan dan pungutan liar, perusahaan dan para individu akan dapat lebih mudah menilai biaya-biaya dan hasil investasinya secara lebih pasti dan tentunya akan melakukan investasi apabila investasi tersebut secara jelas dapat berkembang. Mengingat terbatasnya kapasitas dan modal politik yang harus dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan reformasi, reformasi harus terlebih dahulu difokuskan pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan yang berkesinambungan dan menyeluruh dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pemerataan manfaat pertumbuhan ekonomi secara luas. Sifat inklusif dari pertumbuhan ekonomi menjadi sangat relevan dalam situasi pasca konflik. Pertumbuhan harus bersifat inklusif, lintas sektoral dan bermanfaat bagi sebagian besar dari angkatan kerja, terutama masyarakat miskin sebagai produsen. Pertumbuhan inklusif di Aceh akan timbul dari pertumbuhan sektor-sektor yang menjadi sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin, yaitu pertanian dan perikanan. Pertumbuhan inklusif juga akan didorong oleh penciptaan lapangan pekerjaan di sektor-sektor padat karya, agribisnis, sektor manufaktur lain, dan sejumlah sektor jasa, terutama perdagangan dan transportasi. Khususnya di lingkungan pasca konik seperti Aceh, kekhawatiran akan masalah keadilan dan kepastian bahwa para pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian merupakan sebuah masalah yang penting.

2

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

Pertumbuhan yang inklusif dan merata yang bermanfaat bagi mayoritas penduduk, juga memberikan perhatian khusus terhadap peluang terhadap pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian, harus menjadi bagian dari setiap strategi untuk memelihara perdamaian di provinsi Aceh. Strategi umum untuk mengatasi persoalan keamanan dan konik harus mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata. Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang telah teridentikasi akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan rentan di Aceh untuk merasakan manfaat dari pertumbuhan. Terdapat pula intervensi khusus untuk memastikan agar pertumbuhan bersifat inklusif. Intervensi tersebut antara lain berupa upaya umtuk terus fokus pada sektor pertanian (namun juga dengan meningkatkan layanan publik lainnya, seperti pemberian kredit, irigasi, dll.). Intervensi tersebut juga termasuk memulihkan ketidakadilan yang ada baik dalam modal manusia maupun modal sik dengan menambah keterampilan masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan. Pemerataan manfaat pertumbuhan akan memberikan masyarakat Aceh tanggung jawab yang besar atas perdamaian dan stabilitas, sehingga pada akhirnya memperkecil kemungkinan terulangnya konik.

3

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

01

PendahuluanLaporan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan di Aceh. Pada saat di mana cadangan minyak dan gas tercatat semakin menipis dan program rekonstruksi pasca tsunami yang akan segera berakhir, sektor swasta harus menjadi mesin penggerak pertumbuhan. Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktitas dan dapat membantu menciptakan investasi baru dalam sektor industri tradisional dan non tradisional. Hal ini pada akhirnya menciptakan sektor industri produktif lainnya di samping sektor migas dan membantu transisi Aceh untuk menjadi perekonomian yang modern. Berbagai tantangan terhadap perekonomian Aceh telah banyak didokumentasikan secara luas. Laporan ini bertujuan mengidentikasi dan memahami secara lebih rinci persoalan-persoalan pertumbuhan ekonomi yang paling mendesak untuk di perbaiki dan bagaimana upaya reformasi yang tepat terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan sektor swasta. Laporan ini menggunakan Kerangka Diagnosa Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005) yang bertujuan untuk mengidentikasi masalah-masalah utama yang menghambat pertumbuhan perekonomian Aceh dan harus segera menjadi fokus utama dari kebijakan ekonomi. Masalah-masalah tersebut disebut sebagai hambatan-hambatan utama1. Kerangka ini telah di modikasi sedemikian rupa agar dapat diterapkan dengan latar belakang daerah yang merupakan daerah pasca konik. Penggunaan kerangka ini dalam latar tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Pada daerah pasca konik, persoalan-persoalan seperti, struktur dasar sosial, dan memastikan bahwa pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian yang juga merasakan manfaat dari pertumbuhan, menjadi semakin penting dan tidak dapat ditangani secara mudah dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan. Terdapat hambatan yang penting terkait dengan ketersediaan data di tingkat daerah, khususnya minimnya data investasi sektor swasta yang dapat diandalkan. Meski demikian, laporan ini dapat digunakan sebagai masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan politik, memberikan wawasan tentang apa yang menghambat investasi dan pertumbuhan sektor swasta di Aceh, dan dampak yang terjadi di daerah pasca konik. Laporan ini mengidentikasi hambatanhambatan terhadap investasi dan pertumbuhan. Di dalam berbagai bagian dalam laporan ini, analisis yang dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah hambatan-hambatan terhadap investasi timbul dari tingginya biaya atau rendahnya akses terhadap kredit, ketidakmampuan untuk menghasilkan laba atas investasi karena rendahnya hasil investasi sosial atau rendahnya tingkat laba atas investasi yang mungkin diperoleh. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong utama bagi upaya pengentasan kemiskinan di banyak negara. Namun dampak pertumbuhan pada upaya pengentasan kemiskinan dan kesinambungan pertumbuhan sangat bergantung pada laju dan pola pertumbuhan. Di1 Pendekatan ini didasari oleh dalil bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan lebih merupakan pelengkap daripada pengganti. Oleh karena itu, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan, karena sejumlah faktor penentu relatif lebih rendah daripada faktor-faktor penentu yang lain. Hambatan-hambatan utama adalah faktor-faktor penentu pertumbuhan tersebut yang apabila dikurangi, akan menghasilkan dampak positif langsung tertinggi pada kinerja pertumbuhan.

5

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Pendahuluan

Indonesia, pertumbuhan dari pertengahan tahun 1960-an hingga terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997-98 merupakan pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin dikarenakan meningkatnya produktitas dalam bidang pertanian dan perluasan sektor-sektor padat karya (World Bank, 2006a). Struktur perekonomian Aceh, yang sangat bergantung pada sektor minyak dan gas dengan sedikit peluang terhadap ketenagakerjaan dan kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian yang lain, menunjukkan bahwa rendahnya pertumbuhan tidak dapat diejawantahkan ke dalam tingkat kemiskinan yang lebih rendah (World Bank, 2008a). Tingkat pertumbuhan Aceh tercatat cukup lambat dan beruktuatif yang juga menjelaskan penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Aceh. Dengan tidak menyertakan sektor migas dari sumber-sumber pendapatan daerah, PDB Aceh per kapita yang berjumlah Rp 11 juta (sekitar AS$1.000) hampir sama dengan jumlah rata-rata di tingkat nasional pada tahun 2006 (Gambar 1). Hal tersebut bertolak belakang dengan angka kemiskinan. Aceh merupakan salah daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, sebesar 23,5 persen di tahun 2008. Pertumbuhan di sektor non-migas menguat sebesar lebih dari 7 persen pada tahun 2006 dan 2007, namun angka ini hanya sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan rata-rata di tingkat pusat, meskipun terdapat aliran dana rekonstruksi yang sangat besar yang masuk ke provinsi Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek pertumbuhan seiring dengan berkurangya aliran dana rekonstruksi: Tingkat pertumbuhan awal untuk tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor non-migas telah melambat sampai dengan 1,9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan di tingkat pusat yang mencapai lebih dari 6 persen. Pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan, terutama di sektor non-migas, perlu dicapai untuk menurunkan angka kemiskinan di provinsi tersebut secara signikan. Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasionalPDRB non-migas per kapita, tahun 2006 (nilai saat ini)60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 Pr op .M a us P luk a ro u Te p Ut n . a Pr gga M al ra Pr op r u op . a T ku . S Go im Pr ul ro u op . N P aw nt a r us ro esi lo a p. Te La Bara n Pr P gg m p t o r a u Pr p. S op ra B ng op u . B a . S law en rat g ul aw esi k ul P e Se u Pr rop si Te lata op . J n n . S aw gg ul a ara aw Te Pr op e n . K P si T gah al ro en im p g Pr an . J a ah op ta m P . n b Pr rop Yog Bar i op . P y a at . a k Pr Sum pu art a a Pr op. atr Ba Su a op r Pr la Se at .K op al Pr w e lat .N im o si an an an p. B Ut gg ta an ara n t r Se en Pr oe A op c P la . K eh rop tan al D a . B im r an uss ali P ta ala Pr rop n Te m op . J n Pr . Su awa gah op m B . S at ara Pr um ra B t op at ar . J ra at Pr aw Ut op . B P a T ara an ro im Pr gk p. ur op a R . K P Be iau Pr alim rop lit u op a . P n . K nt ap g ep an u Pr ula Tim a op u . D an ur KI Ria Ja u ka rta

ACEH

Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia

Salah satu faktor penentu utama pertumbuhan adalah insentif-insentif yang diberikan oleh pemerintah guna mendorong sektor swasta dan para individu untuk melakukan investasi.2 Investasi menyebabkan terjadinya akumulasi modal (sik, manusia) dan dapat menimbulkan kemajuan teknologi, dengan demikian meningkatkan produktitas. Investasi memungkinan penerapan teknologiteknologi baru, menjangkau pasar-pasar baru dan memperkenalkan peningkatan proses usaha dapat2 Teori pertumbuhan telah banyak berevolusi dalam beberapa dekade terakhir dengan berusaha mengidentikasi faktor-faktor penentu pertumbuhan. Model pertumbuhan klasik, yang berfokus pada akumulasi modal manusia dan modal, atau model pertumbuhan neoklasik (Solow, 1956), yang mengamati tingkat tabungan dan memperkenalkan konsep kemajuan teknologi, tidak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka pertumbuhan di seluruh negara. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990) memperkenalkan konsep insentif untuk inovasi, dampak ikutan, dan Litbang dan bagaimana hal-hal tersebut penting untuk menghasilkan pertumbuhan produktitas. Model-model pertumbuhan modern berfokus pada latar dan kebijakan-kebijakan kelembagaan yang memberikan insentif yang benar untuk investasi (Aghion and Howitt, 1992). Pencarian faktor-faktor penentu pertumbuhan yang dapat memandu pembuatan kebijakan masih jauh dari kata usai, namun terdapat kesepakatan bahwa investasi merupakan faktor penentu utama pertumbuhan.

6

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Pr

op .

N

Juli 2009

memiliki dampak ikutan positif yang bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah provinsi Aceh menyadari hal ini dan telah berupaya untuk menarik investasi swasta yang secara nyata tersaji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan prakarsa-prakarsa lain yang diusung oleh pemerintah provinsi, seperti Aceh Hijau.3 Namun demikian, tingkat investasi di Aceh tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak ada data tentang investasi yang dapat diandalkan, terutama tentang investasi swasta, namun bukti yang ada menunjukkan tingkat investasi tersebut sangat rendah. Investasi sebagai bagian dari PDB berjumlah sekitar 13 persen pada tahun 2008 di Aceh, jauh lebih rendah dari porsi di tingkat pusat yang berjumlah 24 persen. Kredit investasi, yang kurang dari 8 persen dari PDB, juga tercatat rendah di Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Bank Indonesia. Investasi pemerintah penting bagi pertumbuhan dalam hal bahwa pemerintah menyediakan barang dan layanan publik yang tidak akan dapat disediakan oleh pasar atau dapat disediakan oleh pasar dalam jumlah yang kurang memadai. Barang-barang dan layanan-layanan tersebut, seperti prasarana umum, dapat memberikan manfaat bagi semua pelaku perekonomian dengan biaya marjinal yang terbatas bagi pengguna tambahan, menciptakan eksternalitas positif di mana laba atas investasi sosial lebih tinggi daripada laba atas investasi swasta. Sebagai akibat dari eksternalitas tersebut, apabila diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan barang-barang dan layanan publik tersebut tidak memadai dan hasilnya kurang optimal dari segi sosial. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah sejumlah bidang yang lebih menonjol di mana pemerintah memiliki peranan yang penting. Kajian terbaru (Moreno-Dodson, 2008) yang dilakukan oleh Bank Dunia di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, menunjukkan hubungan yang positif antara belanja publik dan pertumbuhan, terutama apabila alokasi belanja berfokus pada penyediaan barang-barang publik dibandingkan dengan pemberian subsidi atau penyediaan barang-barang dan masukan-masukan dari swasta. Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa investasi publik melengkapi (dan tidak menggantikan) investasi swasta sebagai penggerak pertumbuhan. Laporan ini berfokus pada analisis atas hambatan-hambatan terhadap investasi sektor swasta, dengan tetap mengakui peran penting yang dimiliki oleh investasi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan, yang paling menonjol melalui penyediaan barang-barang publik.4 Laporan ini berasumsi bahwa terkait dengan investasi dalam usaha, sektor swasta lebih efektif dalam menghasilkan jenis inovasi dan pertumbuhan produktitas yang diperlukan untuk memelihara tingkat pertumbuhan dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintah merupakan investor swasta yang kurang optimal. Para investor swasta kemungkinan memiliki informasi yang lebih baik karena mereka memiliki pemahaman tentang usaha tertentu. Dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta yang umumnya digerakkan oleh laba, pemerintah memiliki serangkaian tujuan yang lebih luas yang dapat mengakibatkan inesiensi dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Karena badan usaha tersebut seringkali tidak dihadapkan dengan hambatan anggaran yang besar, sebagai akibatnya, mereka mungkin dapat melakukan investasi dengan cara-cara yang sama sekali tidak dapat menghasilkan laba. Investasi pemerintah dapat mengalahkan investasi swasta karena mereka mungkin khawatir akan adanya persaingan yang tidak sehat dari badan usaha milik pemerintah. Yang lebih penting lagi, mengingat langkanya sumber daya dan adanya kebutuhan akan perbaikan penyediaan layanan publik, pemerintah harus berfokus untuk memberikan layanan-layanan publik tersebut: infrastruktur yang modern, pendidikan yang lebih baik, perbaikan layanan kesehatan dan lain-lain.3 Aceh Hijau adalah sebuah prakarsa yang diluncurkan oleh Gubernur Aceh untuk melaksanakan visinya untuk Strategi Investasi dan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk Aceh, www.aceh-eye.org/data_les/english_format/economic/economic_analysis/ eco_analysis_2008_07_00.pdf Mutu investasi pemerintah telah dianalisis dalam berbagai makalah analisa (World Bank, 2006b dan 2008b) dan sepanjang makalah tersebut relevan, temuan-temuan tersebut telah dimasukkan ke dalam analisis ini. Terdapat keprihatian tentang esiensi belanja dan mutu investasi pemerintah di provinsi Aceh. Pemerintah setempat tidak kekurangan sumber daya, namun tidak memiliki pengalaman untuk mengalokasikan sumber daya tersebut secara esien. Belanja untuk layanan umum (kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan mutu layanan secara umum setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

4

7

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Pendahuluan

Konflik turut memiliki andil dalam buruknya kinerja perekonomian Aceh dan, yang lebih penting lagi, sisa-sisa konflik dapat terus menghambat pertumbuhan dalam waktu dekat ini.5 Laporan ini mencoba mengungkap apa saja dampak yang ditimbulkan oleh konik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada pertumbuhan dan investasi. Masa-masa kekerasan bersenjata telah menjadi bagian dari sejarah Aceh setidak-tidaknya sejak jaman penjajahan (Reid, 2006), yang terbaru adalah konik separatis antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Kekerasan telah mengalami pasang surut sejak tahun 1976, yang mengakibatkan sekitar 12.000 sampai dengan 20.000 meninggal (Aspinall, 2009b), lebih dari 100.000 orang harus mengungsi (IOM, 2008), trauma yang tersebar luas (IOM/Harvard Medical School, 2007), dan kerusakan infrastruktur yang signikan (World Bank/KDP, 2007; MSR, 2009). Segera setelah terjadinya tsunami, situasi politik di Aceh berubah secara dramatis dengan berakhirnya konik antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Konik tersebut berakhir dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki oleh GAM dan Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005. Walaupun demikian, periode pasca konik menimbulkan tantangan-tantangan baru. Sekurang-kurangnya 10.000 mantan pejuang dan penduduk sipil GAM menghadapi tantangantantangan reintegrasi (Barron and Burke, 2008). Nazamuddin (2008) berpendapat bahwa tantangan utama dalam pelaksanaan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM adalah lapangan kerja, di mana 75 persen anggota GAM yang kembali ke kampung halaman masih menganggur pada tahun 2006 (World Bank, 2006c), sehingga mereka bergantung pada sanak keluarganya. Meskipun sebagian besar dari mereka telah kembali bekerja, banyak yang melakukan pekerjaan terkait dengan rekonstruksi pasca tsunami, sehingga menimbulkan potensi masalah setelah berakhirnya program tersebut (MSR, 2009). Naiknya tingkat kekerasan yang baru-baru ini terjadi menunjukkan bahwa stabilitas dan perdamaian Aceh tidak dapat dianggap mudah (World Bank, 2009; ICG, 2009). Laporan ini berupaya menguraikan berbagai macam dampak yang ditimbulkan oleh komik pada struktur perekonomian masyarakat Aceh dan bagaimana sisa-sisa peperangan terus membentuk insentif untuk investasi dalam masa pasca-konik. Kotak1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konflik terhadap pertumbuhanSetiap analisis tentang perekonomian Aceh setelah tsunami dan berakhirnya konik akan menghadapi suatu tantangan: muara dari serangkaian kejadian-kejadian dramatis yang berdampak besar pada perekonomian, sehingga pengidentikasian penyebab-penyebab dan dampak-dampak sangat sulit untuk dilakukan. Laporan ini, yang berupaya menganalisis pertumbuhan dan hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, menghadapi masalah yang serupa. Pada tahun 2004, perekonomian mengalami penurunan, karena konik yang berkepanjangan dan menipisanya cadangan gas. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami menghancurkan Aceh. Kerusakan dan kerugian, diperkirakan sebesar AS$4,5 milyar, diperhitungkan mencapai 80 persen dari PDB Aceh. Bantuan dan upaya rekonstruksi yang luar biasa dimulai tidak lama setelah itu, dengan lebih dari AS$7 milyar dialokasikan untuk Aceh dalam jumlah tahun yang terbatas. Hal tersebut menyebabkan kaitan ke belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama di sejumlah sektor seperti perdagangan, transportasi, dan konstruksi. Berakhirnya konik pada bulan Agustus 2005 memungkinkan banyak masyarakat Aceh untuk kembali melakukan kegiatan sehari-harinya dan kembali bekerja. Analisis atas dampak dari setiap kejadian tersebut pada pertumbuhan merupakan analisis yang rumit, mengingat singkatnya jangka waktu di mana semua hal tersebut terjadi. Laporan ini akan berupaya untuk melakukan hal tersebut dengan menggunakan serangkaian indikator untuk menidentikasi daerah-daerah di Aceh yang terutama terdampak oleh tsunami, upaya rekonstruksi, atau oleh dinamika konik. Walaupun tidak sempurna, pendekatan tersebut telah berhasil digunakan di masa lalu (misalnya, World Bank, 2008b). Walaupun demikian, hasil-hasilnya harus ditafsirkan secara seksama mengingat mutu data dan kesulitan-kesulitan untuk menguraikan dampak-dampak dari kejadiankejadian yang berbeda tersebut.

5

Laporan ini menganalisis secara mendalam dampak konik terhadap investasi dan pertumbuhan. Walaupun konik merupakan inti dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Aceh pada saat ini, penting pula untuk mengakui bahwa Aceh bukanlah lingkungan pasca konik yang biasa. Aceh merupakan bagian dari suatu negara yang cukup besar, yang menawarkan tingkat stabilitas politik dan ekonomi yang tinggi, serta pasar dalam negeri yang besar. Terkait dengan hal tersebut, kebanyakan persoalan tersebut yang dapat mempengaruhi perekonomian pasca konik yang lain (lemah atau gagalnya negara, ketergantungan pada donor dan bantuan) sebagian besar tidak berlaku terhadap Aceh (lihat Barron, 2009).

8

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

02

MetodologiLaporan ini menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005). Bagian ini menjelaskan metodologi yang akan digunakan untuk mengidentikasi hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan, serta bagaimana metodologi ini disesuaikan dengan kondisi khusus di Aceh. Kerangka diagnosa pertumbuhan memberikan suatu kerangka kerja untuk mengidentikasi, di antara begitu banyak masalah yang mungkin melanda suatu perekonomian yang menjadi penghambat utama pertumbuhan, dan harus menjadi fokus utama dari suatu kebijakan ekonomi. Pendekatan ini mengakui bahwa konteks-konteks negara atau daerah tertentu memerlukan tindakan kebijakan yang berbeda untuk diterapkan. Selain itu, pendekatan ini mengakui kenyataan bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik yang terbatas dan tidak dapat melakukan reformasi besar-besaran yang sering bersifat kontraproduktif. Tujuan diagnosa ini adalah untuk mengidentikasi hambatan(-hambatan) yang utama terhadap pertumbuhan yang bersifat khusus dalam kasus yang diteliti dan yang harus menjadi target reformasi. Tidak ada cara kuantitatif lain untuk mengukur semua hambatan potensial berdasarkan seberapa besarnya hambatan-hambatan tersebut, namun suatu kombinasi analisis ekonomi dan pemahaman tentang keadaan ekonomi di provinsi ini dapat digunakan untuk mengidentikasi hambatan yang paling utama.6 Pemahaman tentang konteks sosial-politik setempat juga dapat membantu dalam penentuan prioritas rekomendasi-rekomendasi tentang hal-hal yang perlu direformasi. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan dapat digunakan untuk memahami bagaimana situasi konflik atau pasca konflik dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Pilihan metodologi ini juga didorong oleh keinginan tim untuk menguji persepsi yang tersebar luas dan berdasarkan intuisi bahwa bagaimanapun juga konik pasti terkait dengan hambatan-hambatan yang paling mengikat di Aceh. Pendekatan diagnosa pertumbuhan ini mempertimbangkan setiap kategori hambatan untuk menentukan apakah dan bagaimana suatu kategori telah dipengaruhi oleh konik, dan bagaimana sisasisa konik terus mempengaruhinya. Apakah konik merupakan suatu masalah bagi investasi karena dalam suatu lingkungan pasca-konik, masyarakat khawatir akan keamanan mereka dan keamanan aset mereka, atau karena beberapa prasarana penting telah hancur selama terjadinya konik, atau hanya karena masyarakat percaya bahwa konik akan berkobar kembali dan mereka akan kehilangan semua investasi mereka. Pendekatan diagnosa pertumbuhan dapat membantu dalam memberikan suatu penilaian atas kebutuhan yang lebih terkait dengan konteks setempat, di mana, pada akhirnya, dapat membantu meningkatkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan. Kerangka kerja tersebut perlu disesuaikan untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di daerah pasca-konflik pada tingkat daerah. Pertama, kerangka kerja tersebut dikembangkan untuk menganalisis hambatan-hamatan terhadap pertumbuhan pada tingkat nasional.6 Suatu gambaran kerangka yang lebih terperinci serta jenis analisis ekonomi yang digunakan untuk mengidentikasi hambatanhambatan yang mengikat dapat ditemukan di dalam Hausmann, 2008.

9

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Metodologi

Penerapan kerangka kerja tersebut pada tingkat daerah menimbulkan beberapa tantangan teoretis dan metodologis. Mungkin kenyataannya adalah bahwa hambatan yang mengikat terletak di suatu daerah yang bukan di bawah kendali provinsi, seperti kebijakan moneter atau aturan nilai tukar. Dalam keadaan seperti demikian, walaupun kebijakan-kebijakan yang menyebabkan timbulnya hambatan yang mengikat tersebut berada di luar kendali provinsi, namun provinsi masih dapat bertindak untuk mengurangi akibat-akibat dengan kebijakan-kebijakan terbaik kedua. Data yang tersedia pada tingkat daerah lebih sedikit dibandingkan yang tersedia di tingkat nasional, sehingga analisis menjadi lebih sulit. Akan tetapi, kerangka kerja ini akan relatif lebih tepat untuk kasus-kasus di mana data dengan kualitas yang baik sukar didapatkan. Untuk menganalisis dampak konik terhadap investasi, maka konik tersebut akan diintegrasikan dengan dua cara yang berbeda. Laporan ini menganalisis dampak langsung yang ditimbulkan oleh konik terhadap insentif-insentif untuk berinvestasi, karena para investor memperhitungkan kemungkinan terjadinya kembali konik, sehingga mengurangi hasil-hasil sosial dari investasi. Para calon investor mungkin mengkaitkan Aceh dengan risiko yang lebih tinggi, khususnya risiko terjadinya kembali konik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya faktor diskon yang lebih tinggi yang dibuat oleh para investor dalam investasi di Aceh atau penjatahan kredit oleh bank-bank. Konik dapat juga mempengaruhi insentif-insentif masyarakat untuk berinvestasi dengan berbagai cara yang tidak langsung sebagai akibat dari jumlah modal manusia (human capital) yang lebih sedikit dan prasarana yang tidak terawat, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang paralel yang menciptakan ketegangan-ketegangan dan masalah-masalah keamanan, serta suatu lingkungan usaha yang tidak kondusif. Terdapat permasalahan tentang suatu perekonomian pasca-konik yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap dengan menggunakan kerangka kerja ini, termasuk besarnya jumlah aktor-aktor politik yang bersaing atau keberadaan lembaga-lembaga negara dan daerah (tradisional) yang bersaing (Ulloa, 2008). Namun demikian, kerangka kerja tersebut memberikan suatu metode yang terstruktur untuk mempertimbangkan serangkaian mekanisme yang mungkin digunakan untuk bagaimana konik dan dampak-dampaknya menentukan bentuk peluang-peluang untuk investasi dan pertumbuhan. Kerangka yang telah disesuaikan tersebut dijelaskan dalam Gambar 2. Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005)Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha

Rendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi

Biaya keuangan yang besar

Rendahnya pendapatan sosial

Rendahnya appropriability

Kurangnya Kegagalan keamanan - resiko pemerintah

Rendahnya Keuangan lokal yang kurang baik Tabungan domestik + Keuangan internasional yang kurang baik Kegagalan pasarRendahnya kompetisi

yang tidak baik

Infrastruktur tidak baik Resiko mikro: hak bangunan, korupsi, perpajakan

Rendahnya SDM

Bagian luar Bagian luar informasi: koordinasi Resiko makro: self-discovery keuangan, moneter,

Resiko besar

Biaya besar

Analisis ini menerapkan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi apa saja yang dapat menghambat pertumbuhan dan investasi. Analisis tersebut dilakukan mulai dari tingkat yang paling atas dari diagram pohon di atas dan kemudian terus turun ke tingkat yang lebih rendah, sambil

10

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

berupaya pada setiap tahap untuk mengidentikasi apa saja yang menghambat investasi sektor swasta. Setiap cabang menggambarkan potensi gejala atau penyakit perekonomian yang dapat memberikan penjelasan tentang tingkat-tingkat investasi swasta dan kewirausahaan yang rendah. Pertanyaan yang harus dijawab pada tahap ini adalah apakah hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat bagi kegiatan ekonomi atau biaya kredit yang tinggi. Apabila hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat, apakah masalahnya terletak pada manfaat sosial (karena kurangnya faktor-faktor pelengkap seperti geogra, sumber daya manusia, atau prasarana yang baik) atau kesulitan yang dihadapi pihak-pihak swasta untuk memberikan manfaat tersebut (karena kegagalankegagalan pemerintah atau pasar)? Apabila permasalahannya adalah tingginya biaya kredit, maka apakah permasalahannya adalah simpanan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk di mana fungsi intermediasi tidak berjalan secara esien? Untuk mengidentikasi hambatan-hambatan yang paling mengikat, seseorang harus menjalani suatu proses yang berulang: yakni diagnostik pertumbuhan itu sendiri. Bagian-bagian dalam laporan ini sesuai dengan berbagai cabang pohon yang menganalisis apa yang dapat menjadi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan di Aceh. Laporan ini mendalilkan bahwa konik yang melanda Aceh selama lebih dari suatu generasi menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh dalam berbagai bentuk, yang digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Bagaimana konflik mepengaruhi perekonomian?Kategori 1. Sumber daya manusia yang rendah Mekanisme Banyaknya korban jiwa akibat bencana atau konik Kerusakan pada sistem pendidikan Ketidakhadiran para guru selama terjadinya konik Keahlian-keahlian yang tertinggal dari pembaharuan Perpindahan-perpindahan penduduk secara terpaksa sebagai akibat dari konik Perpindahan keluar para tenaga ahli 2. Prasarana yang buruk Pemberian layanan publik setempat yang buruk Kerusakan langsung terhadap prasarana Kurangnya pemeliharaan terhadap sarana publik 3. Risiko-risiko mikro Pajak-pajak ilegal yang dikenakan kepada usaha-usaha karena pemerasan yang dilakukan para mantan pejuang GAM Lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berdaya Korupsi 4. Risiko-risiko kredit yang Risiko pengambilalihan atau kerusakan apabila konik berlanjut tinggi Kemungkinan kecenderungan kemerosotan ekonomi yang lebih besar karena situasi keamanan 5. Biaya kredit yang besar Pajak-pajak ilegal Biaya pemantauan yang tinggi

Penelitian ini menggunakan sumber-sumber data kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi hambatan(-hambatan) pertumbuhan utama. Karena tsunami dan konik horizontal, terdapat banyak penelitian yang dilakukan atas Aceh dan ada banyak literatur tentang provinsi ini. Penelitian ini berdasar pada sebagian dari penelitian yang sudah ada sebelumnya ini, yang digunakan untuk mengembangkan hipotesis-hipotesis dan untuk memperluas pemahaman-pemahaman tentang temuan-temuan kuantitatif. Terkait dengan data kuantitatif, penelitian ini mengandalkan sumber-sumber data standar seperti BPS (Biro Pusat Statistik) dan BI (Bank Indonesia) untuk sebagian besar indikator-indikator makroekonomi dan keuangan yang digunakan. Meskipun sebagian besar dari data-data tersebut tersedia untuk Aceh, beberapa indikator tidak tersedia atau tidak dapat cukup dipercaya (lihat Kotak 2 untuk perincian-perincian lebih lanjut). Penelitian ini juga menggunakan dua set data tertentu tentang Aceh, yaitu: Survei pemerintahan ekonomi daerah Aceh yang dilakukan oleh The Asia Foundation / KPPOD dan Aceh Reintegration and Livelihood Surveys (ARLS). Survei-survei tersebut mencakup informasi sosial

11

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Metodologi

dan ekonomi pada tingkat perusahaan atau perorangan yang membantu menguraikan mekanismemekanisme mikroekonomi yang mendasari perekonomian masyarakat Aceh, serta fokus pada kelompokkelompok tertentu, contohnya untuk menyelidiki masalah-masalah yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif. Analisis ini difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan yang inklusif. Laporan ini terkait dengan pertumbuhan secara inklusif dan berkesinambungan. Dengan demikian, fokusnya terletak pada pertumbuhan ekonomi yang memiliki basis yang luas di semua sektor dan mencakup mayoritas angkatan kerja, khususnya masyarakat miskin sebagai produsen. Sifat inklusif tersebut merujuk kepada kesetaraan peluang terkait dengan akses terhadap pasar, sumber daya, dan suatu lingkungan pengaturan yang tidak memihak bagi usaha dan individu. Analisis atas pertumbuhan yang inklusif difokuskan pada laju dan pola pertumbuhan, karena penurunan kemiskinan yang berkesinambungan memerlukan suatu jenis pertumbuhan yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan kontribusi kepada dan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga mencakup upaya untuk menyelidiki peluang kerja (employability) masyarakat miskin, serta peluang-peluang bagi mereka untuk dipekerjakan (World Bank, 2008f ). Untuk menilai peluang kerja masyarakat miskin, diperlukan suatu analisis atas persediaan modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat (pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk mendapatkan keterampilan dan kemampuan mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja di mana mereka dapat memperoleh pendapatan dengan menggunakan keterampilan mereka. Pilar kedua dari pertumbuhan yang inklusif, yaitu peluang kerja, yang bergantung kepada sektor swasta yang dapat menawarkan peluang kerja. Dengan demikian, meneliti pertumbuhan yang inklusif secara tidak langsung menyiratkan upaya untuk meneliti sisi persediaan tenaga kerja (masyarakat miskin dan keterampilan mereka), serta sisi permintaan tenaga kerja (perusahaan dan investor). Sebuah kerangka kerja pertumbuhan yang inklusif untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan mungkin merupakan hal yang penting khususnya untuk Aceh, karena ketimpangan yang sistematis pada peluang dapat menggelincirkan proses pertumbuhan dengan adanya konik (Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan Commission on Growth and Development, 2008). Perhatian yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif diejawantahkan dalam tiga bidang utama. Bidang-bidang tersebut adalah: fokus pada sektor-sektor yang padat karya, seperti pertanian atau perdagangan kecil; penilaian tentang lingkungan usaha dan peluang-peluang-peluang untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan usaha tersebut; serta pemahaman tentang dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena konik pada tingkat individu. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, jumlah orang yang bekerja telah mengalami penurnan sampai dengan lebih dari 100.000 orang. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian dan perdagangan telah berkurang, sementara sektor-sektor lain tidak mampu menciptakan pekerjaan dengan laju yang sama. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar dari lapangan kerja yang tercipta (transportasi, konstruksi) yang terkait dengan upaya rekonstruksi juga mempekerjakan sebagian besar dari para mantan pejuang GAM. Oleh karena itu, berakhirnya rekonstruksi dapat disertai dengan penurunan lapangan kerja di Aceh. Upah bulanan rata-rata memberikan cerminan yang jelas tentang nilai tambah per pekerja dalam sektor tersebut, di mana sektor pertanian dan perdagangan memiliki nilai tambah per pekerja yang sangat rendah (terkecuali sektor jasa, yang kebanyakan termasuk layanan umum). Peningkatan pada penghidupan masyarakat yang bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan eceran sebagian besar akan hanya dapat tercapai dengan mengalihkan kedua sektor tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Bagian berikut ini akan meninjau fakta-fakta terhadap hambatan-hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan yang inklusif.

12

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh Jumlah pekerjaan2002 Pertanian Pertambangan Industri Utilitas Bangunan Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa Total 1.081.568 9.617 77.687 757 34.182 293.587 47.371 9.720 178.772 1.733.261 2004 906.046 8.914 51.613 8.486 62.879 231.855 59.849 5.687 187.175 1.522.504 2006 866.334 7.670 72.497 5.322 74.402 215.668 69.078 3.343 224.180 1.538.494 2008 876.092 14.085 72.180 3.387 103.749 232.606 60.528 8.907 246.088 1.617.622 Pertumbuhan ratarata 2002-08 (%) -3,5 6,6 -1,2 28,4 20,3 -3,8 4,2 -1,4 5,5 -1,1 Upah bulanan ratarata 2008 (jutaan Rp) 0,64 1,50 0,92 1,03 1,02 0,90 1,10 1,92 1,30

Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia

13

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

03 Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di AcehAceh memiliki tingkat pertumbuhan yang negatif hampir di sepanjang dasawarsa ini, sebagian sebagai akibat dari menipisnya cadangan gas alam. Bagian ini bertujuan untuk memberikan suatu pemahaman yang lebih baik tentang pola-pola pertumbuhan dan investasi di Aceh, yang diperlukan untuk diagnosis atas hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Pertumbuhan ekonomi tanpa sektor migas tumbuh dengan laju yang relatif rendah (dan lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional) hingga upaya-upaya rekonstruksi tsunami dimulai (Gambar 3). Rendahnya tingkat pertumbuhan perekonomian non-migas sebagian disebabkan oleh konik yang melanda Aceh sampai terjadinya tsunami. Aceh merupakan provinsi yang relatif makmur di Indonesia pada tahun 1970-an dan sampai awal tahun 1980-an, namun sejak saat itu perekonomian Aceh terlihat sulit untuk tumbuh. Sementara daerah lain di Indonesia telah pulih dari krisis keuangan tahun 1997, Aceh terus menunjulkan tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif selama jangka waktu tersebut, yang membuatnya menjadi salah satu dari daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu 23,5 persen pada tahun 2008. Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa iniPerbandingan pertumbuhan ekonomi non migas per kapita10.0%

5.0%

0.0%

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

-5.0%

-10.0%

-15.0%

-20.0% Aceh Indonesia

Sumber: BPS dan perhitungan oleh staf Bank Dunia

Kinerja ekonomi Aceh pra-tsunami ditandai oleh konflik serta menipisnya cadangan-cadangan minyak dan gas di pantai timur Aceh.7 Pada tahun 2003, minyak dan gas serta usaha manufaktur terkait menyumbangkan lebih dari 50 persen dari PDB Aceh. Jumlah ini telah merosot sampai kurang dari 207 Cadangan minyak dan gas menipis dengan cepat, namun hanya ada sedikit investasi dalam eksplorasi yang baru. Hanya ada sedikit investasi baru dalam sektor minyak, gas dan pertambangan selama lebih dari satu dasawarsa di seluruh Indonesia, meskipun terdapat ledakan yang berkesinambungan untuk komoditas tersebut di seluruh dunia. Sebuah catatan terbaru yang dibuat oleh World Bank dan IFC (2008) mengidentikasikan beberapa hambatan utama bagi lingkungan usaha dalam sektor ini. Penemuan-penemuan baru di Aceh dapat memberikan tambahan pendapatan yang, apabila dibelanjakan dengan bijaksana, akan meredam proyeksi penurunan dana dari pembagian pendapatan dan upaya rekonstruksi.

15

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

persen sampai dengan tahun 2008. Penurunan produksi gas menimbulkan dampak negatif terhadap industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga yang murah dan terletak berdekatan dengan ladang-ladang gas, seperti pupuk, kertas atau bahan-bahan kimia. Akan tetapi, karena industri gas dan industri-industri terkait di sekitar Lhokseumawe memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain dari perekonomian ,8 dampaknya mungkin dapat dirasakan terutama pada tingkat makro. Porsi pertanian, yang menyumbangkan 17 persen dari PDRB pada tahun 2003, meningkat menjadi 25 persen pada tahun 2008, secara signikan lebih tinggi daripada porsinya pada tingkat nasional sebesar 14 persen. Sekitar setengah dari semua produksi pertanian adalah tanaman pangan, di mana 20 persen lainnya adalah tanaman non-pangan (perkebunan), khususnya kopi, cokelat, minyak sawit, dan sedikit tanaman perkebunan lainnya. Sebelum tsunami, tanaman non-pangan dan perikanan memberikan sumbangan terbesar untuk pertumbuhan dalam sektor ini, sementara pasca-tsunami sebagian besar pertumbuhan dalam sektor pertanian berasal dari sektor tanaman non-pangan. Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh Persen9Pertanian, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian9 Minyak dan gas Penggalian Industri manufaktur Industri minyak dan gas Industri non-minyak and gas Listrik, gas, dan air (utilitas) Bangunan Perdagangan, hotel, dan rumah makan Transportasi dan komunikasi Keuangan Jasa PDB Aceh PDB Aceh non migas PDB Indonesia PDB Indonesia non-minyak dan gasSumber: BPS. *Angka-angka pendahuluan.

2004 6,0 -24,0 -24,4 7,3 -17,8 -11,6 -37,3 19,5 0,9 -2,6 3,6 19,4 20,1 -9,6 1,8 5,0 6,0

2005 -3,9 -22,6 -23,0 0,8 -22,3 -26,2 -5,1 -2,0 -16,1 6,6 14,4 -9,5 9,7 -10,1 1,2 5,7 6,6

2006 1,5 -2,6 -4,3 78,8 -13,2 -17.3 1,1 12,0 48,4 7,4 10,9 11,7 4,4 1,6 7,7 5,5 6,1

2007 3,6 -21,6 -22,5 2,0 -10,1 -16,7 8,6 23,7 13,9 1,7 10,9 6,0 14,3 -2,5 7,0 6,3 6,9

2008* 0,8 -44,7 -47,0 -0,2 -4,2 -7,8 3,6 12,7 -0,9 4,6 1,4 5,2 1,2 -8,3 1,9 5,9 6,4

Perekonomian pasca-tsunami Aceh didominasi oleh aliran masuk dana rekonstruksi dalam jumlah besar. Sebagian besar dari pertumbuhan pada tahun 2006 dan 2007 terjadi dalam sektorsektor yang terkait erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan dan transportasi, walaupun pertanian juga telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir, pertumbuhan mulai melambat dan angka-angka awal untuk tahun 2008 menunjukkan suatu8 McGibbon (2006) berpendapat bahwa upaya-upaya pemerintah untuk membangun Aceh gagal sehingga pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut terpusatkan pada pengembangan sebuah daerah di sekitar Lhokseumawe yang memiliki sedikit keterkaitan dengan daerah lainnya di provinsi tersebut. Perekonomian Aceh telah mengalami perubahan yang signikan selama beberapa tahun terakhir. Tsunami, upaya rekonstruksi yang besar serta menipisnya cadangan minyak dan gas secara signikan menyulitkan perluasan statistik daerah, khususnya pada sisi produksi. Sebagian dari laju pertumbuhan yang dilaporkan, seperti penurunan minyak dan gas yang hampir 50 persen pada tahun 2008, tampaknya tidak sesuai dengan data dari sumber-sumber lain (seperti data produksi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral). Ketidakkonsistenan ini mungkin merupakan akibat dari data pengurang yang digunakan untuk memperkirakan laju pertumbuhan. Sebuah perbandingan tentang pengurang-pengurang yang dimaksud secara tak langsung di tingkat Aceh dan nasional menunjukkan perbedaan-perbedaan yang besar yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan tingkat inasi. Menggunakan pengurang yang sama di Aceh seperti yang digunakan di daerah lainnya di Indonesia akan menunjukkan suatu penurunan dalam pertanian yang nyata dan suatu penurunan yang agak lebih lambat di sektor pertambangan pada tahun 2008. Meskipun terjadi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dalam deretan PDB, kecenderungan-kecenderungan besar yang dibahas dalam bab ini tetap valid.

9

16

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

perlambatan yang signikan dalam sektor-sektor yang sebelumnya digerakkan oleh upaya rekonstruksi, dengan penurunan pada perekonomian sebesar lebih dari 8 persen (non migas). Usaha manufaktur non-migas masih relatif tidak terlalu besar, hanya kurang dari 5 persen dari PDRB (apabila dibandingkan dengan 22 persen pada tingkat nasional). Sebagian besar usaha manufaktur adalah usaha skala kecil dan hanya melayani pasar setempat. Hanya ada empat perusahaan yang relatif besar dalam sektor industri di Aceh, kebanyakan terkait dengan ketersediaan gas murah (pupuk, kertas), serta sebuah pabrik semen dekat Banda Aceh. Semuanya adalah industri-industri padat modal yang memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain dari perekonomian. Meskipun konflik mempengaruhi provinsi ini secara keseluruhan, intensitasnya terlokalisir dan oleh karena itu tidak mempengaruhi semua wilayah secara merata. Ibu kota provinsi dan pantai barat paling sedikit mengalami dampak konik, meski demikian beberapa usaha-usaha swasta di kotakota juga mengalami pemerasan. Daerah-daerah terpencil yang fokus pada pertanian, khususnya di pedalaman, lebih terdampak oleh konik, sehingga menyebabkan beberapa petani tidak dapat merawat lahannya. Eksploitasi gas mengalami dampak yang sangat besar pada tahun 2001 ketika situasi keamanan memburuk. Konik juga mungkin mempunyai dampak yang berbeda pada faktor-faktor produksi yang digunakan secara intensif dalam berbagai sektor. Para pekerja yang cakap merasa lebih baik meninggalkan Aceh dan mencari kesempatan-kesempatan di luar Aceh, yang mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada kegiatan-kegiatan yang bernilai lebih tinggi yang membutuhkan pekerja-pekerja terampil dalam jumlah lebih besar. Sektor-sektor yang lebih spesik dalam hal lokasi, seperti perkebunan, mungkin lebih mudah menjadi sasaran kelompok-kelompok bersenjata, sementara pemerasan atau perusakan lebih sulit dilakukan pada usaha-usaha yang dapat dengan mudah berpindah tempat, seperti para pedagang atau pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan. Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat secara drastis menurunkan kemiskinan, khususnya apabila pertumbuhan ini mencakup mayoritas penduduk Aceh. Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin sejak tahun 1970 (World Bank, 2006a) namun perkekonomian Aceh tetap tertinggal karena perekonomian yang tumbuh secara lambat selama tahuntahun terjadinya konik dan karena sebagian besar dari pertumbuhan tersebut adalah dalam sektor minyak dan gas bumi. Tidak semua jenis pertumbuhan memiliki manfaat yang sama bagi masyarakat miskin: contohnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada industri-industri ekstraksi mineral jarang mengalir ke bawah ke masyarakat miskin yang dapat meningkatkan penghidupan mereka. Pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin mencakup berinvestasi dalam aset-aset manusia dan sik termasuk pengurangan biaya-biaya transaksi. Tiga perubahan besar pada penghidupan masyarakat Indonesia timbul karena perubahan-perubahan tersebut dan turut membantu masyarakat Indonesia untuk keluar dari kemiskinan: mata pencaharian telah mengalami perubahan dari pertanian bernilai rendah menjadi pertanian yang bernilai lebih tinggi, dari pertanian menjadi non-pertanian dan dari kegiatan-kegiatan yang berbasis pedesaan menjadi berbasis perkotaan (World Bank, 2006a). Di Aceh, perubahan-perubahan tersebut serta laju pertumbuhan yang lebih tinggi dapat menimbulkan dampakdampak positif yang sangat besar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menggambarkan sembilan skenario dengan tingkat pertumbuhan per kapita dan elastisitas pertumbuhan kemiskinan10 (PEG) yang berbeda. PEG mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi mewujudkan penurunan kemiskinan. Nilai-nilai dalam tabel tersebut berkisar dari nilai yang saat ini dimiliki masayarakat Aceh, -1,4, sampai -2.6, yang merupakan nilai tertinggi yang dicapai oleh Indonesia selama periode 1984 - 1999, dan merupakan suatu skenario kasus terbaik (World Bank, 2008a dan 2006a). Berawal dari suatu tingkat kemiskinan sebesar 23,5 persen, pertumbuhan selama lima tahun dengan laju rata-rata sebesar 2 persen per tahun dan sehingga PEG sebesar -1,4 akan menurunkan kemiskinan sampai 20,4 persen. Akan tetapi, apabila pertumbuhan akan mencapai 4 persen dan PEG sebesar -2, kemiskinan akan berkurang sampai 15,5 persen dalam 5 tahun.10 Rasio perubahan persentase tingkat kemiskinan terkait dengan perubahan persentase pendapatan per kapita. Sebuah PEG sebesar -1,4 berarti bahwa satu titik persentase pertumbuhan mewujudkan suatu penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,4 persen.

17

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun, (angka pada tahun 2008) PersenPertumbuhan yang lebih tinggi Pertumbuhan yang lebih inklusif Laju pertumbuhan PEG -1.4 -2.0 -2.6

2%

4%

7%

20.39 17.62 19.16 15.49 17.99 13.57

14.03 11.06 8.61

Catatan: Menggunakan tingkat dasar sebesar 23,5% (tingkat kemiskinan pada tahun 2008) Sumber: Perkiraan-perkiraan Bank Dunia berdasarkan World Bank, 2006a dan World Bank, 2008a.

Upaya untuk menarik minat investasi swasta merupakan kunci untuk memodernisasikan perekonomian Aceh, meningkatkan produktivitasnya dan penghematan biaya poduksi dari skala usaha. Kelangkaan data tentang volume investasi swasta yang relatif rendah menunjukkan suatu konsentrasi dalam sektor-sektor pengembangan perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan, dan pariwisata (ATAP, 2007; IFC, 2008). Hampir 50 pesen dari semua perusahaan bergerak dalam sektor pertanian, suatu indikasi tentang keunggulan komparatif provinsi Aceh. Sebagian besar investasi baru pada tahun 2006 juga ddilakukan dalam sektor pertanian dan sebagian kecil dalam sektor perdagangan. Sebagian besar dari semua usaha yang informasinya tersedia telah menghentikan kegiatan operasional untuk sementara waktu sampai dengan tahun 2006, yang disebabkan oleh konik dan tsunami. Kecilnya jumlah investasi swasta merupakan sebagai hambatan terhadap pertumbuhan. Aceh tertinggal dari provinsi-provinsi lainnya dalam hal menarik investasi dan hal ini mendorong ke arah kinerja pertumbuhan provinsi yang relatif buruk. Rasio kredit terhadap PDB di Aceh merupakan yang terendah kedua di Indonesia (lihat bagian tentang akses terhadap kredit), yang menggambarkan tingkat investasi sektor swasta yang relatif rendah. Kotak 2 Data InvestasiTidak ada data yang cukup akurat tentang investasi swasta di Aceh, yang merupakan suatu tantangan yang cukup besar untuk setiap jenis analisis atas investasi. Data tentang investasi swasta yang dikumpulkan oleh Bank Indonesia, BPS dan Bainprom menunjukkan ketidakkonsistenan dan terdapat permasalahan-permasalahan metodologi yang berarti. Meski demikian, semua bukti yang tersedia menunjukkan tingkat investasi yang relatif rendah. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan atas perekonomian Aceh dan iklim investasinya (IFC, 2008) berdasar pada analisis rantai nilai yang dilakukan dalam beberapa komoditas dan menyoroti kurangnya investasi swasta yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi serta meningkatkan produktivitas. Data Pembetukan Modal Dalam Negeri Bruto yang dikeluarkan oleh BPS hanya akan mencakup proyek-proyek investasi besar yang dilakukan dengan dana-dana masyarakat sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, yang menunjukkan investasi swasta yang sangat kecil yang menambah persediaan modal di provinsi ini. Data Bank Indonesia tentang kredit menunjukkan bahwa Aceh mempunyai rasio PDB kredit/non-minyak dan gas terendah kedua di seluruh Indonesia, yang mengidikasikan rendahnya tingkat investasi di provinsi ini. Dari kredit tersebut, sebagian besar digunakan untuk konsumsi, yang mengindikasikan terbatasnya peran investasi swasta dalam membentuk perekonomian Aceh. Menggunakan volume kredit bank sebagai representasi investasi memiliki beberapa kekurangan, dan salah satu kekurangan yang penting adalah bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah bank bukanlah satu-satunya sumber pinjaman untuk usaha, namun para pemberi pinjaman uang, keuntungan sendiri atau bahkan keluarga dan teman-teman seringkali merupakan sumber modal yang penting untuk investasi. Akan tetapi, bukti yang ada menunjukkan bahwa keadaannya tidak seperti itu di Aceh. IFC (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 hampir 50 persen dari semua usaha mikro dan kecil yang mengambil pinjaman, mendapatkan pinjaman dari bank bukan dari para pemberi pinjaman informal atau anggota keluarga. Survei lainnya yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebanyak 44 persen rumah tangga juga telah mendapatkan pinjamanpinjaman dari bank-bank bukan dari sumber-sumber informal yang lain (Survei Akses Keuangan).

18

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Juli 2009

Perhatian khusus terhadap pertumbuhan yang inklusif adalah penting. Hal ini terkait dengan bahwa kebanyakan pertumbuhan dan lapangan kerja yang diciptakan di Aceh beberapa tahun belakangan terkait dengan ketersediaan dana rekonstruksi. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir, banyak lapangan kerja yang akan hilang. Pertanian masih merupakan lapangan kerja yang utama di provinsi Aceh, menyerap lebih dari 50 persen dari angkatan kerja. Seiring dengan modernisasi di Aceh, pertanian mungkin akan terus mengurangi jumlah lapangan kerja dan terus mendekati tingkat nasional (41 persen). Sektor-sektor jasa dan manufaktur harus menjadi pengerak penciptaan lapangan kerja yang utama, namun di beberapa daerah lain di Indonesia, hal ini tidak terjadi (World Bank, mendatang). Terdapat beberapa alasan tentang rendahnya lapangan kerja yang tercipta dalam sektor non-pertanian, akan tetapi kenaikan upah nyata yang tinggi dalam sektor-sektor jasa mungkin memberikan sebagian dari penjelasan tentang hal tersebut. Upah yang tinggi mungkin memberikan pengaruh yang lebih besar pada Aceh, seiring dengan kenaikan harga dan upah menjadi lebih tinggi daripada daerah-daerah lain di Indonesia sebagai akibat dari tsunami (Gambar 4). Walaupun reformasi-reformasi di pasar tenaga kerja dapat mengatasi beberapa hambatan penciptaan lapangan kerja yang kebanyakan di luar yurisdiksi pemerintah provinsi, upah minimum regional ditentukan pada tingkat provinsi. Hal ini memberikan pengaruh yang diperlukan pemerintah provinsi untuk menghindari kenaikan upah yang merupakan suatu hambatan terhadap penciptaan lapangan kerja. Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah lain di IndonesiaPerbandingan UMP Daerah 2004-081,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 Rp 0 2004 Aceh 2005 Lhokseumawe 2006 2007 Sumatera Utara 2008 Nasional

Sumber: BPS.

Suatu strategi pertumbuhan yang inklusif adalah fokus pada upaya untuk merevitalisasi sektor pertanian dan industri-industri padat karya. Diversikasi tanaman dan kepemilikan usaha kecil selain pertanian merupakan strategi-strategi kunci masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari kemiskinan sebagai akibat dari tsunami (World Bank, 2008a). Hal ini sesuai dengan langkah utama untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang terdapat di Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an (World Bank, 2006a). Salah satu ciri dari pengurangan kemiskinan dalam periode ini adalah transisi masyarakat dari lingkungan pedesaan ke perkotaan dan penciptaan lapangan kerja selain di sektor pertanian. Sampai sejauh ini, hal ini terjadi melalui urbanisasi dari beberapa daerah pedesaan dan integrasi daerah-daerah pedesaan yang ditingkatkan dengan pilar-pilar pertumbuhan perkotaan. Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi hubungan masayarakat miskin di pedesaan dengan pilar-pilar pertumbuhan dengan memperbaiki prasarana pedesaan dan akses pasar serta menyediakan insentif untuk peningkatan mobilitas tenaga kerja antara daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Peningkatan dalam produktivitas pertanian dipercayai memberikan kontribusi kepada keberhasilan penurunan kemiskinan yang mengesankan di Indonesia dari tahun 1970-an sampai krisis keuangan tahun 1997. Revitalisasi sektor pertanian masih penting untuk memastikan bahwa masyarakat miskin di Aceh dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan, karena hampir 30 persen populasi pedesaan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006 (World Bank, 2008a).

19

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian AcehPertanian masih memiliki andil besar dalam PDB non minyak dan gas propinsi Aceh, dan menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Minat para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing di propinsi ini berfokus pada sektor pertanian, baik tanaman perkebunan maupun pengolahan hasil pertanian (agro-processing) (IFC, 2008). Pemerintah Aceh telah mengembangkan sebuah strategi untuk peningkatan ekonomi propinsi ini yang berfokus pada dukungan terhadap serangkaian kelompok komoditas. Oleh karena itu, ada sedikit perdebatan tentang peran utama pertanian dalam pembangunan ekonomi propinsi Aceh dalam waktu dekat. Apa yang diperlukan untuk merevitalisasi pertanian dan menjadikannya mesin pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan di Aceh? Di daerah lain di Indonesia, terdapat suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengorientasikan kembali belanja pemerintah, guna menghilangkan subsidi pasokan bahan kebutuhan swasta (pupuk, bibit, mesin dan pasokan bahan kebutuhan pertanian lainnya) dan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik seperti layanan-layanan penyuluhan, irigasi atau mempermudah akses ke pasar-pasar (World Bank, akan segera diterbitkan). Hambatanhambatan yang ditemukan dalam meningkatkan produktivitas pertanian berkaitan dengan kurangnya layanan publik - layanan-layanan penyuluhan, akses terhadap lahan, akses terhadap pasar dan kemunduran sistem irigasi, bukan dengan ketidakmampuan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pertanian. Memang terdapat alasan dalam membantu rumah tangga miskin untuk memulihkan modal sik dan manusia yang hilang karena tsunami atau konik, namun hal ini perlu dibatasi dan fokus yang lebih besar harus ditujukan pada upaya untuk menyediakan barang dan layanan publik yang diperlukan. Para petani juga telah mengidentikasi ketrampilan, akses terhadap teknologi dan kurangnya kredit sebagai hambatan-hambatan dalam meningkatkan produktivitas mereka (World Bank, 2008a). Para calon investor telah mengidentikasi ketersediaan lahan subur sebagai aset utama di Aceh. Pada saat yang bersamaan, mereka juga menyebutkan kesulitan-kesulitan dalam memperoleh akses terhadap lahan dan bagaimana hal ini dapat menghalangi investasi. Walaupun hak atas tanah merupakan masalah di seluruh Indonesia, masalah tersebut mungkin semakin memburuk di Aceh. Banyak hak atas tanah yang hilang karena tsunami dan ada banyak insiden di mana mantan anggota GAM menuntut kembali tanah-tanah serta banyak lahan yang berada di bawah hak kepemilikan adat yang tidak terdokumentasi, yang mungkin baru diketahui oleh para investor setelah menyewa tanahtanah tersebut. Tidak ada pusat pendaftaran tanah yang dapat digunakan oleh para investor untuk mengidentikasi lahan-lahan yang tersedia untuk perkebunan komersial, dan sering kali negosiasi dilakukan langsung dengan bupati di daerah yang direncanakan untuk investasi. Sebagai permulaan, para otoritas propinsi dapat mengkoordinasikan informasi penggunaan tanah dan kepemilikan tanah dalam sebuah unit pusat yang akan mempermudah akses bagi para investor terhadap informasi. Kurangnya informasi pasar (khususnya informasi tentang harga) sering kali diidentikasi sebagai hambatan utama dalam meningkatkan bagian sewa yang menguntungkan para produsen di Aceh dari kegiatan produksi mereka, yang sering kali mendapatkan informasi pasar hanya dari satu penjual (cengkeh, udang). Peningkatan akses bagi para petani terhadap informasi tersebut akan memungkinkan para produsen untuk lebih cepat menanggapi sinyal-sinyal pasar serta mendorong penyediaan pasokan sebagai akibat dari peningkatan laba dari investasi yang dilakukan. Mutu layanan-layanan penyuluhan yang diberikan juga diidentikasi sebagai bidang yang harus diperhatikan. Terdapat anggapan luas bahwa desentralisasi memberikan dampak negatif terhadap penyediaan layanan-layanan penyuluhan, karena sebagian besar fungsi ini dialihkan ke pemerintah-pemerintah daerah yang tidak selalu menyediakan tenaga dan tingkat layanan-layanan penyuluhan yang memadai. Hal ini tampaknya juga terjadi di Aceh (IFC, 2008). Mengingat fakta bahwa Aceh merupakan wilayah yang cukup terdesentralisasi, peningkatan penyediaan layanan-layanan penyuluhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota. Terdapat peningkatan permintaan untuk produk-produk pertanian bernilai lebih tinggi seperti hortikultura atau perternakan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dari pasar-pasar dalam negeri karena Indonesia menjadi lebih kaya dan masyarakat menginginkan jenis makanan yang berbeda-beda, maupun munculnya rantai pasokan global (toko-toko serba ada) yang mencari barang-barang pertanian bernilai lebih tinggi dari negara-negara berkembang. Manfaat yang diperoleh dari tren-tren baru ini tidak timbul begitu saja, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa sering kali para petani yang lebih besar dan berpendidikan lebih baik adalah pihak-pihak yang mampu berhubungan dan menerima manfaat dari peningkatan permintaan ini (World Bank, 2008e). Pemerintah propinsi memiliki peran yang harus dimainkan, yakni mengorientasikan kembali dukungan pemerintah untuk membantu para petani kecil dan kelompok-kelompok petani untuk mendapatkan akses terhadap rantai nilai global dengan (i) meningkatkan infrastruktur, (ii) mendukung pelatihan petani untuk memenuhi persyaratan mutu dan perlindungan, (iii) memperlengkapi para petani dengan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengadakan negosiasi dengan rantai-rantai pasokan besar dan (iv) mendorong penggunaan instrumen-instrumen berbasis pasar untuk mengendalikan risiko-risiko yang meningkat.

20

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

04 Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konik dan Pasca Konik di AcehUntuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di Aceh, perlu dilakukan penelusuran atas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh konflik terhadap jalannya fungsi ekonomi, dan bagaimana konflik pada gilirannya membentuk pola-pola pertumbuhan dan institusi di era pasca konflik perlu ditelusuri. Secara khusus, pemahaman tentang hubungan antara konik dan pertumbuhan merupakan hal yang penting, mengingat bahwa beberapa pihak berargumen bahwa cara-cara pengelolaan ekonomi Aceh di masa lalu memiliki kaitan dengan pemberontakan di propinsi tersebut. Dampak konik pada pertumbuhan dan perkembangan propinsi tersebut telah dan akan terus meluas dan telah dianalisa secara terperinci di bagian-bagian penelitian lainnya (Dawood and Sjafrizal, 1989; Nazamuddin, 2008). Studi ini berfokus pada dampak konik pada hambatan-hambatan terhadap investasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang yang cukup sempit namun yang justru merupakan kuncinya. Studi ini tidak berupaya menganalisa secara mendalam pengaruh yang ditimbulkan konik pada pertumbuhan melalui jalur-jalur lainnya yaitu antara lain memburuknya mutu lembaga-lembaga pemerintah atau putusnya jaringan-jaringan sosial.11 Walaupun ini berarti bahwa hasil analisis dan temuan tersebut tidak mempertimbangkan unsur-unsur penting dalam hubungan antara konik dan pertumbuhan, studi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh konik pada keputusan-keputusan investasi, dan dengan demikian, dampaknya pada pertumbuhan . Konflik dan kekerasan menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga politik, sosial dan ekonomi yang melandasi pertumbuhan. Dampak-dampak ini mempengaruhi bagaimana ekonomi berfungsi di periode pasca konik. Selain akibat-akibat konik yang merugikan secara langsung (infrastruktur rusak, banyak orang terbunuh, banyak orang yang pindah ke luar daerah), konik mengurangi keamanan individu dan masyarakat dengan cara-cara yang mengubah perilaku, pilihan dan fungsi lembaga (Bodea and Elbadawi, 2008). Perilaku investasi juga berubah. Hal ini cenderung mengakibatkan berkurangnya tabungan, akumulasi modal manusia yang lebih rendah dan perilaku yang berisiko (Lorentzen, McMillan and Wacziarg, 2006). Akses terhadap kredit juga menjadi semakin sulit apabila bank-bank atau penyedia kredit lainnya kemungkinan besar tidak meminjamkan dan/atau hanya meminjamkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi (Nagarajan and McNulty, 2004). Chauvet, Collier and Hegre (2008) memperkirakan bahwa rata-rata, perang saudara merugikan sebuah negara sebesar AS$123 milyar per tahun. Negara-negara yang mengalami perang saudara mengalami penurunan PDB tahunan rata-rata sebanyak 2,0-2,2 persen (Collier, 1999; Hoeer and Reynal-Querol, 2003; Restrepo et. al., 2008), mengurangi pendapatan sekitar 15 persen (Moser, 2006). Di wilayah-wilayah yang tidak mengalami perang saudata yang berkepanjangan, dampak konik berdarah pada pertumbuhan dan kemiskinan juga sangat luas. Diperkirakan bahwa produktivitas yang hilang karena konik berdarah dan kejahatan11 Sebagian dampak ini dianalisa di MSR (2009).

21

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konik dan Pasca Konik di Aceh

di luar zona-zona perang secara global mencapai AS$95 milyar per tahun (Sekretariat Deklarasi Jenewa/ Geneva Declaration Secretariat, 2008). Penyimpangan-penyimpangan terhadap ekonomi tersebut cenderung berlanjut dalam periode pasca konflik. Dinamika-dinamika yang biasanya berkaitan dengan akhir suatu konik dan kekerasan yang tinggi berlanjutnya persepsi dan perasaan tidak aman serta kekerasan yang kadang-kadang terjadi, pertumbuhan pesat dalam sektor-sektor yang sebelumnya terhalang oleh konik, kesulitankesulitan yang dihadapi dalam mempersatukan para anggota kelompok pemberontak ke dalam sistem politik dan ekonomi pada gilirannya mengubah kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan menjadi pertumbuhan. Sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengemukakan bahwa apabila Jamaika dan Haiti mengurangi tingkat pembunuhan mereka ke tingkat seperti yang dimiliki Kosta Rika, maka mereka dapat melihat peningkatan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen per tahun (Kantor PBB untuk masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan/World Bank, 2007). Sebagian dari konflik Aceh didorong oleh persaingan atas sumber daya alam di propinsi ini dan wewenang untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Cadangan gas bumi yang banyak ditemukan di lepas pantai Aceh pada tahun 1971, diperkirakan berpotensi menghasilkan AS$2-3 milyar per tahun selama 20-30 tahun.12 Produksi dimulai pada tahun 1977 dan royalti besar dibayarkan kepada pemerintah pusat Indonesia. Hanya beberapa orang setempat dipekerjakan dalam eksploitasi gas tersebut sehingga menimbulkan kemarahan. Persepsi-persepsi tentang eksploitasi sumber daya Aceh digunakan sebagai seruan perang untuk membangun adanya suatu gerakan kebebasan, yang mencakup klaim bahwa Aceh telah dimiskinkan oleh kekuasaan orang-orang Jawa dan membebankan kesalahan atas penderitaan mereka pada penyalahgunaan yang dilakukan pemerintah pusat atas gas alam yang baru saja ditemukan (Ross, 2005. hal. 40). Keluhan-keluhan terhadap eksploitasi ladang gas yang dirasakan yang mendorong perjuangan dan ketegangan GAM diperburuk oleh perbedaan-perbedaan budaya antara kaum pendatang dan orang Aceh.13 Seperti yang dikemukakan Ross (2007, hal. 36), sumber daya alam tidak menjadi alasan bagi GAM untuk memberontak melawan pemerintah pusat namun mendorong timbulnya keluhan-keluhan setempat.14 Meskipun pendapatan gas Aceh menurun dengan tajam, pencantuman dalam penetapan MoU bahwa Aceh akan menguasai 70 persen dari pendapatan minyak dan gas sangat penting secara simbolis bagi para pemimpin GAM. Keluhan-keluhan tentang eksploitasi ladang gas turut membangun cerita yang lebih luas bahwa Aceh tertinggal secara ekonomi dari propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, klaimklaim tersebut memiliki dasar lemah, karena propinsi tersebut memiliki standar hidup yang lebih tinggi daripada propinsi lainnya di Indonesia selama tahun 1970an (Hill and Wiedermann, 1989). Namun karena konik tersebut menjadi berkepanjangan, klaim-klaim tersebut benar-benar terjadi dan persepsi-persepsi tentang eksploitasi ekonomi berkembang. Pemerintah pusat menjadi semakin bergantung pada gas alam Aceh pada tahun 1998, 9 persen dari total pendapatannya berasal dari sumber ini (Ross, 2005, hal. 47) dan menerapkan langkah-langkah tegas untuk penumpasan pemberontakan dalam mengamankan pengoperasian ladang-ladang gas tersebut (Sukma, 2004). Konflik memiliki dampak negatif baik pada akumulasi modal fisik maupun manusia. Konik berdarah cenderung mengurangi aktitas sosial terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi karena dampak merugikan dari konik pada modal sik dan manusia. Infrastruktur swasta dan publik sering kali sengaja dijadikan target dari pertikaian-pertikaian tersebut guna menghilangkan jalur-jalur pasokan dan mengintimidasi masyarakat. Adanya konik berdarah juga mempersulit pembangunan infrastruktur baru dan perbaikan infrastruktur yang rusak. Konik berdarah berdampak negatif pada modal manusia dengan12 Bagian ini banyak disadur dari Ross (2005). 13 Di antara tahun 1974 dan 1986, sekitar 50.000 pendatang dari bagian-bagian lain di Indonesia datang ke Aceh (Hiorth, 1986). 14 Penjelasan sebab-akibat ini berbeda dengan penjelasan Collier an