Click here to load reader
Upload
lyxuyen
View
313
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS STILISTIKA NASKAH DRAMA BERBAHASA JAWA
DALAM GAPIT KARYA BAMBANG WIDOYO SP
DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA
TESIS
Untuk memenuhi Sebagian Persyaratan mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
KURNIASIH FAJARWATI
NIM S441102004
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Kurniasih Fajarwati
NIM : S 441102004
Progaram Studi : Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul Analisis Stilistika
Naskah Drama Berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang Widoyo, SP dan
Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa dengan Pembimbing I: Prof.
Dr. H. Sumarlam, M.S. dan Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko Wardani,
M.Hum., adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh
dari tesis tersebut.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari
siapapun
Surakarta, Juli 2012
Yang membuat pernyataan,
Kurniasih Fajarwati
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Kurniasih Fajarwati. S441102004. Analisis Stilistika Naskah Drama
Berbahasa Jawa Dalam Gapit Karya Bambang Widoyo SP dan Relevansinya
dengan Pembelajaran Bahasa Jawa. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Kajian stilistika terhadap naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit karya
Bambang Widoyo SP ini merupakan pengkajian gejala-gejala bahasa yang khas
yang digunakan pengarang. Adapun permasalahan yang dibahas adalah: 1)
bagaimanakah pemanfaatan aspek bunyi bahasa dan aspek diksi, 2) apa sajakah
gaya bahasa yang digunakan; 3) bagaimana pencitraan yang digunakan
pengarang, 4) bagaimana relevansinya antara naskah-naskah drama tersebut
dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Landasan teori dalam penelitian ini
meliputi teori-teori: 1) drama, 2) stilistika, 3) pembelajaran drama berbahasa Jawa
di sekolah, dan 4) penelitian yang relevan dengan pelitian ini.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini dari buku Gapit terbitan Yayasan Bentang Budaya
kerjasama dengan Taman Budaya Jawa Tengah (1998) karya Bambang Widoyo,
S.P. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data tulis sebagai data
utama.. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak dan teknik catat.
Metode dan teknik analisis data yang digunakan adalah metode padan. Adapun
teknik yang digunakan dalam metode padan adalah teknik dasar pilah unsur
penentu dengan daya pilah referensial digunakan untuk menganalisis aspek bunyi,
diksi atau pilihan kata, gaya bahasa, dan pencitraan. Untuk memvaliditas data
yang sudah ada peneliti menggunakan trianggulasi data.
Dari hasil analisis data, ditemukan adanya (1) Pemanfaatan aspek bunyi
purwakanthi (swara, sastra, dan basa/lumaksita). Karakteristik diksi atau
pemakaian kosakata tembung saroja, kata seru, sinonim, idiom atau ungkapan,
dan tembung kasar. (2) Pemakaian gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan
langsung tidaknya makna. Berdasarkan struktur kalimat gaya bahasa klimaks,
antiklimaks, paralelisme, dan antitesis. Berdasarkan langsung tidaknya makna
gaya bahasa litotes, hiperbola, koreksio, paradoks, simile, metafora, personifikasi,
eponim, alusi, metonimia, dan hipalase. (3) Unsur pencitraan yang ditemukan
berupa citra visusal, citra pendengaran, citra peraban, dan citra gerak, sedangkan
citra penciumn tidak ditemui dalam naskah ini. Mayoritas citra yang ditemukan
adalah citra visual dan citra gerak. (4) Naskah drama yang dimuat dalam
kumpulan naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP
dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi siswa di SMA berdasarkan
kompetensi dasar dalam kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa provinsi Jawa
Tengah yang terbaru 2011 yaitu: mendengarkan rekaman drama/sandiwara;
mendiskusikan isi drama/sandiwara; dan membaca naskah drama/sandiwara
sesuai dengan karakter tokoh.
Kata Kunci: Analisis stilistika, naskah drama berbahasa Jawa, Pengajaran
drama berbahasa Jawa.
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Kurniasih Fajarwati. S441102004. Stylistics Analysis on Javanese Play,
Gapit, by Bambang Widoyo SP and Its Relevance with Javanese Language
Teaching-Learning. Thesis. Post-Graduate Program of Sebelas Maret University
Surakarta.
This Stylistics study on Javanese play, Gapit, is a study on particularity of
language used by the writer in delivering his message through his play. The main
topics of the study are: 1) How the use of the sound of language (phonetics), and
the aspects of dictions in the javanese antology of plays, Gapit, is. 2) what figure
of speech and imageries used by writer in the plays are. 3) how the relevance of
plays in the antology with the javanese language teching-learning at school is. The
theoretical basis of the study are the theories of: 1) drama, 2) stylistics, 3) the
teaching of javanese play at school, and 4) studies relevant to this study.
This study is a descriptive-qualitative research. The sources of data used in
the study as written data are taken from the book, Gapit, published by Yayasan
Bentang Budaya with Taman Budaya Jawa Tengah (1998), writtwen by bambang
Widoyo SP. The type of data used in the study is written data as the main data.
The data collecting is done by listening and taking notes. The method and
technique of data analysis is the method of equality. The technique used in this
method is the basic technique of separating the determining aspects with
referential separation used to analyse the aspects of sound, diction, figure of
speech, and imagery. For data validity the researcher uses data triangulation.
From the data analysis, it is found that 1) there are the uses of sound aspects
of language such as ―purwakanthi‖( ―swara‖, ―sastra‖, and ―basa/lumaksita‖) and
the characteristics of diction or the use of ―tembung saroja‖, exclamation,
synonym, idiom or saying, and ―tembung kasar‖(provanity). 2) the use of figure of
speech based on the sentence structure such as: climax, anti-climax, paralelism
and antithesis, and based on the meaning such as: litotes, hyperbole, correctio,
paradox, simile, metafore, personification, eponym, allusion, metonym, and
hypalase. The aspects of imagery found in the plays of the antology are visual
imagery, auditory imagery, feel imagery, movement imagery. Most of the imagery
found in the plays are visual and movement imagery. 3) the plays in the antology
of javanese plays, Gapit, by Bambang Widoyo SP can be used as teaching-
learning material for high school student to achieve the basic competence in the
local curriculum of javanese language in Central Java 2011, namely: listening to
record of play, discussing the content of play, and reading play according to the
character.
Key Word: Stylistics, Javanese play, Javanese Language theaching
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SARI PATHI
Kurniasih Fajarwati S441102004. Analisis Stilistika Naskah Drama
Berbahasa Jawa Gapit Karya Bambang Widoyo SP dan Relevansinya dengan
Pembelajaran Bahasa Jawa. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Andharan stilistika wonten ing pakem sandiwara mawi basa Jawa Gapit
menika mujudaken andharan ngengingi bab ingkang dipunginakaken dening
panganggit kang gelantaran ngaturaken pamanggih kanthi lampahan sandiwara.
Wondene bab ingkang dipunonceki inggih menika: 1) Kados pundi anggenipun
ngginakaken aspek swanten lan aspek diksi. 2) Cengkok lan pencitraan menapa
kemawon ingkang dipunginakaken dening panganggit. 3) Kados pundi
gegayutanipun antawis pakem-pakem drama menika kaliyan pasinaon basa Jawi
ing Sekolahan.
Andharan menika mujudaken oncek-oncekan ingkang diskriptif kualitatif.
Sumber data ingkang wujud seratan asalipun saking buku ―Gapit‖ cithakan
Yayasan Bentang Budaya makarya sesarengan kaliyan Taman Budaya Jawa
Tengah (1998), anggitanipun Bambang Widoyo S.P. Warni data ingkang
dipunginakaken ing andharan inggih menika data seratan minangka data baken.
Panglempakaning data kaimpun kanthi nyemak lan nyerat. Paugeran saha teknik
analisis data ingkang dipunginakaken inggih menika metode padan. Wondene
teknik ingkang dipunginakaken ing salebetipun metode padan inggih menika
teknik dasar pilah unsur penentu kanthi daya pilah referensial dipunginakaken
nganalisa aspek swanten, diksi, cengkok lan pencitraan. Kangge validitasi data
ingkang sampun wonten panaliti ngginakaken trianggulasi data.
Saking asil analisa data kapanggih wontenipun: (1) Ngecakaken aspek-
aspek swanten purwakanthi (swara, sastra lan basa/lumaksita). Karakteristik diksi
utawi kempalan basa tembung saroja, tembung sesumbar, dasanama, idiom utawi
tembung camboran lan tembung kasar. (2). Ngecakaken cengkok adhedasar
garbanipun ukara langsung lan botenipun makna. Adedasar wujud ukara kanthi
cakrik klimaks, anti klimaks, paralelisme lan antithesis. Adhedasar langsung lan
botenipun makna litotes, hiperbola, koreksio, paradoks, simile, metafora,
personifikasi, eponim, alusi, metonimia, lan hipalase. Unsur pencitraan menika
arupi: citra visual, citra pamireng, citra panggrayang, citra patrap, wondene citra
pangambu mboten kapanggih. Kathah-kathahipun citra ingkang pinanggih inggih
menika citra visual (panyawang) lan citra patrap. (3). Pakem drama ingkang
kaemot ing kempalan pakem drama kanthi basa Jawi ―Gapit‖ anggitanipun
Bambang Widoyo S.P. menika saged dipunginakaken minangka bahan pasinaon
tumrap siswa ing SMA adhedasar kompetensi dasar wonten ing kurikulum muatan
lokal Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah 2011 inggih menika: midhangetaken
rekaman drama/sandiwara; saresehan bab isinipun drama/ sandiwara; maos pakem
drama/sandiwara jumbuh kaliyan watakipun paraga.
Tembung wos: Stilistika, Drama Basa Jawi, Pasinaon Basa Jawi
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTO
Bismillah dan melangkah
Bismillah lalu bekerja
Bismillah di dalam hati lalu ku tenang
Bismillah ya Rahman ya Rakhim.....
(Opick)
Menjadi sempurna bukan hak kita
Tapi menjadi berguna harus kita lakukan
(Penulis)
Lebih mudah memakai sandal Untuk melindungi kakimu
Daripada membuang semua kerikil Yang merintangi jalanmu
(Penulis)
"Bersyukur itu seperti berterimakasih ketika memberi; Selayak cermin yang
melukis wajah ketika dipandangi.."
[dari Maz Ophets Petrus Cannisius]
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Ibu, bapak, kedua kakaku, keluarga “whagu”, mbak Nita Rohmayani, mbak
Ageng Nugraheni, mbak Wi‟ Ajib dan semua yang pernah hadir dalam hidupku.
Mereka adalah warna hidupku ada yang tegas menggores ada yang berupa
arsiran samar-samar semua termaktub dalam lanskap kehidupan indah menyusun
tiap bait pagi menghadirkan perenungan kala malam menjelang
“thanks for coloring my life”
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ―Analisis
Stilistika Naskah Drama Berbahasa Jawa Gapit Karya Bambang Widoyo SP dan
Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa ‖ ini dapat berjalan dengan
lancar sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Penyusunan tesis ini disusun
untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajad Magister Pendidikan di
Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Sebelas Maret.
Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang
tulus dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah turut
membantu, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus. M.S., selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan
kemudahan dalam penyusunan tesis ini;
2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta
pengesahan penyusunan tesis ini,
3. Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., selaku Pembimbing I yang penuh kearifan
memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi sehingga penyusunan tesis ini
dapat diselesaikan dengan lancar.
4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. selaku Pembimbing II yang penuh
kesabaran dan kasih telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi
sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar.
5. Kelompok Teater Lungid merupakan metamorfosis Gladi Teater Gapit yang
telah memberikan begitu banyak masukan dan pelajaran hidup kepada penulis.
6. Saudara-saudara Keluarga ‖Whagu‖ apapun yang kalian lakukan, aku ucapkan
terimakasih.
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia
kebahasaan, kesastraan, dan budaya, khususnya pengembangan analisis stilistika
pada naskah drama.
.
.
Surakarta, Agustus 2012
Penulis
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL……………………………….…………….……………………… i
PERSETUJUAN……………………………………….………………… ii
PENGESAHAN.…………………………………....................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ……………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………...…… v
MOTTO …………………………………………………………………... viii
PERSEMBAHAN ………………………………………………………... ix
KATA PENGANTAR…………………………………………………...... x
DAFTAR ISI ………………………………………...……………........... xii
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA ………………………………… xv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ……………………………………... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………........ 6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………................. 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………... 7
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Hakikat Naskah Drama ………………………………................. 9
2. Kajian Stilistika ………………………………………................. 31
Halaman
3. Pembelajaran Drama Berbahasa Jawa Di Sekolah …………........ 59
B. Penelitian yang Relevan ………………………………………….. 60
C. Kerangka Berpikir ………………………………………………... 61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ………………………………………………........ 64
B. Jensi Penelitian…………………………………………................. 64
C. Data dan Sumber Data……………………………………….……. 65
D. Teknik Sampel ………………………………………………….… 66
E. Teknik Pengumpulan Data …………………………….…………. 66
F. Uji Validitas Data ……………………….…….………….............. 68
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
G. Teknik Analisis Data ……………………………..………………. 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pemanfaatan Bunyi Bahasa dalam Naskah Drama Leng, Tuk,
dan Dom dalam Buku Gapit Karya Bambang Widoyo SP……
71
a. Purwakanthi Swara …………………………………….…. 73
b. Purwakanthi Guru Sastra ………………………................ 91
2. Pemanfaatan Diksi atau Pilihan Kata ………………….………. 107
a. Tembung Saroja …………………………………….…….. 108
b. Kata Seru …………………………………………….……. 111
c. Penggunaan Dasanama …………………………….……... 121
d. Paribasan………………………………………..………… 126
Halaman
e. Tembung Kasar ………………………………………….... 132
3. Pemanfaatan Gaya Bahasa ……………………………….……. 142
a. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Nada ………........ 143
b. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat... 148
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung
Tidaknya Makna...................................................................
162
4. Pencitraan Dalam Naskah Drama dalam Buku Gapit ………….. 181
a. Citraan Visual ………………………………………….…. 182
b. Citraan Audio ………………………………………….…. 194
c. Citraan Gerak …………………………………….……….. 202
d. Citraan Taktil ………………………………….………….. 216
e. Citraan Penciuman ………………………………….…….. 217
5. Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa ………….…. 219
B. Pembahasan ………………………………………………............. 230
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ………………………………………………………….. 247
B. Implikasi…………………………………………………………... 248
C. Saran …………………………………………………………........ 250
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 253
LAMPIRAN 257
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
Daftar Singkatan
LTD : Leng, Tuk, Dom
KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
SK : Standar Kompetensi
KD : Kompetensi Dasar
SKL : Standar Kompetensi Lulusan
MGMP : Musyawarah Guru Mata Pelajaran
Daftar Tanda
… : tuturan sebelumnya atau selanjutnya
( ) : opsional/pemerlengkap
/…/ : menunjukkan ejaan fonemis
‗…‘ : mengapit makna unsur leksikal (terjemahan) dan arti suatu kata
―…‖ : istilah khusus atau kata yang memuat makna khusus
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Dafar Gambar
Gambar 1 : bagan kerangka berpikir
Gambar 2 : bagan komponen analisis model mengalir (flow model of analysis)
Daftar Tabel
Tabel 1 : contoh kartu data
Tabel 2 : tabel perhitungan dominasi pemanfaatan aspek bunyi
Tabel 3 : Standar Isi mata pelajaran Bahasa Jawa
Tabel 4 : contoh kegiatan pembelajaran aspek mendengarkan
Tabel 5 : contoh kegiatan pembelajaran aspek berbicara
Tabel 6 : contoh kegiatan pembelajaran aspek membaca
xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam
hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan
permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang
berkaitan dengan makna (tata nilai) dari situasi sosial dan historis yang terdapat
dalam kehidupan manusia.
Karya sastra merupakan media dokumentasi yang merangkum gejala-gejala
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau latar belakang sosial budaya
dengan analisis dalam kehidupan masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam
kelompok-kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat,
konvensi lokal, hubungan kekerabatan dalam masyarakat dan sampai pada item
terkecil (Waluyo, 1997:62). Lebih lanjut Waluyo (1992:58) berpendapat bahwa
karya sastra adalah dokumen sosial, yang di dalamnya dikisahkan manusia dengan
berbagai problem. Dokumentasi merupakan rekaman suatu kejadian, dalam suatu
kondisi sosial tertentu. Kondisi sosial yang pernah dialami pengarang baik secara
langsung maupun tidak langsung akan turut terangkum dalam karya. Membaca
karya sastra dapat mengkaji hal-hal seperti: sosiologi, psikologi, adat istiadat,
moral, budi pekerti, agama, tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di
suatu masa. Banyak pengetahuan yang dapat diperoleh melalui karya sastra.
1 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bahasa dalam suatu karya sastra merupakan medium imajinasi dan
kreativitas pengarang, makna sebuah karya sastra dapat digali dan ditelusuri
melalui bahasa yang digunakannya. Mempelajari sastra pada dasarnya sama
dengan mempelajari bahasa, Wellek dan Warren (1993: 221) yang diteliti adalah
perbedaan sistem bahasa karya sastra dengn sistem bahasa pada zamannya.
Sebaliknya bahasa seharusnya juga memanfaatkan sastra dalam rangka
mengembangkan imu bahasa itu sendiri. Bahasa dalam karya sastralah yang
memungkinkan untuk mendapat perlakuan lebih dengan segala kemungkinan
yang menyertai, sehingga berbeda dengan bahasa sehari-hari. Sama halnya dengan
yang diungkapkan Lotman, sastra dianggap sebagai sistem model kedua sesudah
bahasa, di dalamnya bahasa dimanfaatkan, dieksploitasi secara maksimal (Kutha
Ratna, 2009:381). Dengan demikian, pemakaian gaya bertutur, juga pemilihan
kata sangat menentukan penyampaian makna suatu karya sastra.
Karya sastra bukan aspek kebudayaan yang sederhana. Ia merupakan
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, sedangkan bahasa itu
sendiri adalah ciptaan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sastra
menampilkan gambaran kehidupan yang merupakan kenyataan sosial. Naskah
drama sebagai bagian dari karya sastra dan sebagai produk budaya menampilkan
khasanah budaya yang ada dalam masyarakat. Pengarang atau sastrawan tidak
hanya menyampaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat, melainkan
juga kearifan-kearifan yang dihadirkan dari hasil perenungan yang mendalam.
Realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan
yang ditampilkan, namun tidak selalu kenyataan sehari-hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Naskah drama sebagai salah satu wacana sastra memiliki kekhasan dalam
muara penyajiannya dibanding karya sastra lainnya. Penyajian naskah drama
melalui laku panggung membutuhkan pemahaman yang detail dalam
menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam setiap kata. Kekhasan
lainnya yang menjadikan naskah drama berbeda dengan karya sastra lainnya
adalah naskah drama ditulis dalam bentuk transkrip tuturan atau dialog antar
pemain.
Drama sebagai salah satu genre sastra, akhir-akhir ini kurang diminati
telaahnya oleh para kritikus maupun pengkaji sastra. Hal ini terlihat dalam
beberapa media publikasi sebagian besar memuat kajian sastra, terutama sastra
genre novel dan cerpen. Memang tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan
pengkajian drama berbentuk penyajian pementasan, hal tersebut memang wajar
apabila mengingat bahwa muara akhir dari penciptaan drama adalah sebuah
pementasan. Namun perlu diperhatikan bahwa permulaan dari penyajian drama
adalah telaah naskah drama sebagai sesuatu yang bersifat tekstual walaupun
dalam bentuk dialog atau percakapan tertulis.
Telaah naskah drama sebagai teks sangat diperlukan sebelum mengolah
lebih jauh lagi menjadi sebuah pementasan. Seorang pencipta khususnya naskah
drama telah memasukkan semua yang ingin disampaikan kepada pembaca melalui
naskah drama, seperti amanat, tema yang diangkat, masalah yang ingin
disampaikan, dan sebagainya. Tidak dapat dielakkan bahwa suatu karya sastra
yang telah terjun ke masyarakat pembaca adalah sesuatu yang bebas, dalam arti
semua pemaknaan maupun penafsiran diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Di satu pihak, sastra sebagai sesuatu yang otonom, tetapi di pihak yang lain perlu
untuk mencoba menelaah sastra melalui pengarang karya sastra tersebut selaku
pencipta karya itu. Oleh karena itu, penafsiran pembaca karya tersebut tidak akan
terlalu jauh dari apa yang diharapkan oleh pengarang.
Naskah drama atau naskah lakon belum mencapai kesempurnaannya apabila
belum berada di atas panggung sebagai tontonan. Untuk itu penggunaan pemilihan
bahasa dalam naskah drama merupakan sesuatu hal yang unik dan telah
diperhitungkan dengan matang oleh pengarang dan semua unsur yang terlibat
dalam pementasan drama tersebut. Bahasa yang digunakan dalam naskah lakon
selain sebagai pembangun atmosfir suasana penonton dan pemain, juga sebagai
media untuk menyampaikan pesan, ide, maupun gagasan dasar pengarang
sehingga drama hadir tidak dalam kondisi yang kosong.
Naskah drama sebagai salah satu bentuk wacana dapat dikaji dari segi
bahasa. Karena muara akhir dari naskah drama adalah pemanggungan maka, perlu
adanya penguraian dan pengamatan terhadap gejala bahasa yang terdapat dalam
naskah drama untuk mengetahui efek yang ditimbulkan. Kajian stilistika yang
fokus pada pengudaran gaya bertutur penulis memunginkan terjadinya pemahan
yang mendalam akan sebuah naskah drama sebelum akhirnya bermuara. Gaya
(style) adalah cara, bagaimana segala sesuatu diungkapkan, sedangkan stilistika
(stylistic) adalah ilmu gaya (Kutha Ratna, 2009:232). Dengan sederhana gaya
(bahasa) merupakan keseluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang.
Sedangkan stilistika adalah ilmu atau teori yang berkaitan dengan pembicaraan
mengenai gaya. Pemakaian gaya (bahasa) itu meliputi bunyi, rangkaian bunyi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kata, rangkaian kata, frase hingga kalimat yang dipilih dan digunakan dengan
seksama. Hal-hal semacam itu dapat menimbulkan efek dalam diri pembaca,
misalnya untuk menggugah simpati atau empati pembaca (Sukesti, 2003:141).
Selain itu pemakaian gaya juga dimaksudkan agar karya sastra terasa indah
(estetis) atau sebagai variasi untuk menghindari kemonotonan.
Bambang Widoyo SP adalah salah satu penulis naskah drama berbahasa
Jawa yang cukup piawai dalam menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
kenyataan-keyantaan sosial di masyarakat. Pilihan kata, gaya bahasa (majas)
dengan bentuk-bentuk sindiran yang khas menjadi warna dalam naskah-
naskahnya. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan kumpulan naskah drama
berbahasa Jawa Gapit. Dengan diksi, gaya bahasa yang vulgar khas masyarakat
kelas bawah, dan pemanfaat efek bunyi dijadikan pengarang sebagai jembatan
untuk menyampaikan kritik sosial dan menggambarkan berbagai permasalahan
sebagian masyarakat yang sebenarnya dekat namun sering ditutup-tutupi dan
dihindari. Hal inilah yang menjadi pijakan peneliti tertarik untuk menganalisis
naskah drama Gapit karya Bambang Widoyo SP ini dengan pendakatan slitistika.
Penelitian ini juga didasari oleh minimnya penelitian stilistika yang mengambil
objek naskah drama, terlebih naskah drama berbahasa Jawa.
Buku kumpulan naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang
Widoyo SP merupakan salah satu naskah berbahasa Jawa yang dianggap langka
karena minimnya pengarang yang tertarik untuk menulis naskah drama dalam
bahasa Jawa. Selain itu empat naskah yang termuat di dalamnya (TUK, LENG,
ROL, dan DOM) merupakan naskah-naskah yang fenomenal dalam jajaran drama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
modern berbahasa Jawa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Umar Kayam
dalam pengantar buku ini (1997: xiii), semua karya Bambang Widoyo SP
merupakan karya yang fenomenal dan menarik untuk dibicarakan. Bukan karena
semua lakon ditulis dengan bahasa Jawa ngoko, tingkat bahasa Jawa yang paling
rendah, tetapi dalam posisinya di masa perubahan sosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia. Pilihan pengarang secara sadar dan konsekuensi menggunakan bahasa
Jawa ngoko merupakan suatu yang fenomenal. Bahkan seorang peneliti dari
Leiden pernah menulis dan menganalisis naskah-naskah drama karya Bambang
Widoyo SP ini dengan judul A Case Study of Teater Gapit.
Sebagai media yang mampu mengantarkan pesan, naskah drama berbahasa
Jawa Gapit dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran baik dikaji dari unsur
intrinsik maupun unsur di luar naskah tersebut. Melalui pembelajaran drama,
siswa diharapkan mampu mengambil pesan dan merefleksikan dalam kehidupan
nyata. Berbadasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mengangkat
naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang widoyo SP dengan analisis
stilistika.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemanfaatan bunyi bahasa dan aspek diksi dalam kumpulan
naskah berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP?
2. Apa sajakah gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan naskah
berbahasa Jawa karya Bambang Widoyo SP?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Apa sajakah pencintraan yang digunakan dalam kumpulan naskah
berbahasa Jawa karya Bambang Widoyo SP?
4. Bagaimana relevansi antara naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit
karya Bambang Wdoyo SP dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menjelasksan pemanfaatan aspek bunyi bahasa dan
diksi dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo
SP.
2. Mendeskripsikan dan menjelasksan penggunaan gaya bahasa dalam naskah
drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP.
3. Mendeskripsikan dan menjelasksan penggunaan pencitraan dalam naskah
drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP.
4. Mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi antara naskah drama berbahasa
Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP dengan pembelajaran bahasa Jawa
di sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian
naskah drama berbahasa Jawa sebagai bagian dari salah satu genre sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Menambah wawasan dari sisi stilistika suatu karya sastra yang menjadi
pilihan pengarang khususnya dalam kumpulan naskah drama dalam Gapit
karya Bambang Widoyo, S.P.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan
ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra khususnya naskah drama
berbahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk Siswa
Penelitian ini diharapkan bermafaat sebagai acuan siswa dalam menelaah isi
naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit karya bambang Widoyo SP yang
selanjutnya dapat mengambil nilai-nilai yang bermanfaat yang terkandung
di dalamnya.
b. Untuk Guru
Penelitian ini diharapkan dapat sebagai salah satu bahan acuan dalam
melaksanakan pembelajaran kaitannya dengan isi yang terkandung dalam
drama/sandiwara berbahasa Jawa dalam Gapit.
c. Untuk sekolah
Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap naskah drama yang
merupakan salah satu materi ajar pada pelajaran Bahasa Jawa. Menambah
perbendaharaan naskah drama, sebagai materi pembelajaran drama di
sekolah.
d. Untuk masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan
kumpulan naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang
Widoyo S.P. sehingga pemaknaan terhadap karya sastra akan lebih terarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori
1. Hakikat Naskah Drama
a. Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Greek, dari kata dran yang berarti berbuat,
to act atau to do (Tarigan, 1993 : 69). Ada juga yang mengatakan bahwa kata
drama berasal dari bahasa Yunani atau Greek ―draomai‖ yang berarti : berbuat,
berlaku, bertindak, atau bereaksi. Namun, dari dua kata itu mengacu pada
referensi makna yang sama. Kedua pengertian drama di atas, mengutamakan
perbuatan , gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat
drama.
Dalam Dictionary of World Literature kata ―drama‖ dapat ditafsirkan dalam
berbagai pengertian (Tarigan, 1993 : 71). Dalam arti yang amat luas, drama
mencakup setiap jenis pertunjukan tiruan perbuatan, mulai dari produksi
―Hamlet‖, komedi, pantomime ataupun upacara keagamaan orang primitif. Lebih
khusus lagi, mengarah pada suatu lakon yang ditulis agar dapat diinterpretasikan
oleh para aktor; lebih menjurus lagi, drama menunjuk pada lakon realis yang sama
sekali tidak bermaksud sebagai keagungan yang tragis, tetapi tak dapat dimasukan
ke dalam kategori komedi. Atar Semi dalam bukunya juga berpendapat bahwa
drama adalah perasaan manusia yang beraksi di depan mata kita, yang berarti aksi
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dari suatu perasaan yang mendasari keseluruhan drama (1993 :156). Lebih lanjut
lagi ia juga mengatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia
yang dipentaskan.
Dengan demikian, dalam kehidupan sekarang drama mengandung arti yang
lebih luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu
sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre
sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis
kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian
seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan
sebagainya. Jika kita membicarakan drama pentas sebagai kesenian mandiri, maka
ingatan kita dapat kita layangkan pada wayang, ketoprak, ludruk, lenong dan film.
Dalam kesenian tersebut, naskah drama diramu dengan berbagai unsur untuk
membentuk kelengkapan.
Pengertian drama menurut Christopher Russell Reaske (1961:5):
”A drama is a work of literature or a composition which delineates life and
human activity by mean of presenting various actions of – and dialogues
between – a group of characters. Drama is furthermore designed for
theatrical presentation; that is, although we speak of a drama as a literary
work or a composition, we must never forget that drama is designed to be
acted on the stage. Even when we read aplay we have to real grasp of what
the play is like unless we at least attempt to imagine how actors on a stage
would present the material”.
Demikian juga pendapat Martin Esslin (1976:9) tentang definisi drama:
“Many thousands of volumes have been written about drama and yet there
does not seem to exist one generally acceptable definition of the term. A
composition in prose or verse, says my edition of the Oxford dictionary,
adapted to be acted on the stage, in which a strory is related by means of
dialogue and action, and is represented, with accompaying gesture, costume
and scenary, as in real life; a play. Not only is this long - winded and
clumsily put ; it is also downright incorrect”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas
pentas. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat.
Kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin
mereka sendiri. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit
manis, hitam putih kehidupan manusia. Perkataan drama sering dihubungkan
dengan teater. Sebernarnya perkataan ―teater‖ mempunyai makna yang lebih luas
karena dapat berarti drama, gedung pertunjukkan, panggung, grup peain drama,
dan dapat juga berarti segala bentuk tontonan yang di pentaskan di depan orang
banyak.
Marjourie Boulton (1959: 3) menyatakan bahwa drama (disebut play)
adalah A true play is three dimensional; it is literari that wakls and talks before
our eyes. It is not intended that eyes shall perceive marks on paper and the
imagination turn them into sights, sounds, and actions.
Sementara itu Adhy Asmara (1983: 5) mengatakan bahwa drama adalah
suatu bentuk cerita konflik sikap dan sifat manusia dalam bentuk dialog yang
diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan gerak (action) di
hadapan pendengar atau penonton. Dalam definisi yang sedikit berbeda, Panuti
Sudjiman menjelaskan bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan
menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat
lakuan dialog, dan lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung.
Mengenai prinsip penting dalam suatu drama Harymawan berpendapat
bahwa terdapat tiga unsur prinsip dalam drama yang terdiri dari unsur kesatuan,
unsur penghematan, dan unsur keharusan psikis (1988 : 22). Suatu drama memang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hendaknya tidak menggunakan teknik bercerita yang berputar-putar karena
orientasi suatu drama adalah pementasan.
Di dalam drama terdapat bagian-bagian perkenalan, kerumitan atau intrik,
dan penyelesaian atau penguraian. Di dalam drama terdapat laku luar dan laku
dalam (Jassin, 1977: 89). Segala kejadian yang kita lihat di atas panggung kita
sebut laku luar. Segala laku luar harus berakar pada laku dalam, sebagaimana
suasana dan perubahan-perubahan dalam jiwa, yang demikian itu harus kelihatan
dalam laku perbuatan dalam drama.
Henry Guntur Tarigan (1984: 75) memberikan beberapa batasan mengenai
drama, (1) drama adalah salah satu cabang seni sastra; (2) drama dapat berbentuk
prosa atau puisi, (3) drama mementingkan dialog, gerak, perbuatan; (4) drama
adalah suatu lakon yang dipentaskan di atas panggung; (5) drama adalah seni yang
menggarap lakon-lakon mulai sejak penulisannya hingga pementasannya; (6)
drama membutuhkan ruang, waktu, dan audiens; (7) drama adalah hidup yang
disajiakan dalam gerak; (8) drama adalah sejumlah kejadian yang memikat dan
menarik hati. Atar Semi (1993: 158) juga mengemukakan pendapatnya mengenai
karakteristik drama yaitu: (1) drama mempunyai tiga dimensi, yakni dimensi
sastra, gerakan, dan ujaran; (2) drama memberikan pengaruh emosiolnal yang
lebih kuat dibanding karya sastra yang lain; (3) pengalaman yang dapat diingat
dengan menonton drama lebih lama diingat dibanding sastra yang lain; (4) drama
mempunyai banyak keterbatasan disbanding karya sastra lain, seperti keterbatasan
untuk memunculkan suatu objek sesuai dengan imajinasi yang diinginkan, dan
sebagainya yang berhubungan dengan pementasan khususnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Istilah drama juga dapat mengandung dua pengertian. Pertama yaitu drama
sebagi text play atau repertoire (naskah), yang kedua, drama sebagai theatre atau
performance. Atar Semi juga berpendapat bahwa drama pada umumnya
mempunyai dua aspek yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua
adalah aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau seni teater
(1993: 157). Apabila menyebut istilah drama, maka kita berhadapan dengan dua
kemungkinan, yaitu drama naskah dan drama pentas. Keduanya bersumber pada
drama naskah. Oleh sebab itu pembicaraan tentang drama naskah merupakan
dasar dari telaah drama.
Berbagai uraian mengenai definisi dan konsep tentang drama di atas,
dapatlah diambil kesimpulan bahwa drama meliputi aspek naskah dan aspek
pementasan. Teks drama ditulis dengan diproyeksikan untuk dipentaskan.
Pementasan drama melibatkan pemain yang memerankan tokoh-tokoh di
dalamnya. Mengapresiasi drama dapat dilakukan secara aktif maupun pasif.
Apresiasi pasif bisa dilakukan dengan cara menonton pertunjukan atau
pementasan drama. Apresiasi drama secara aktif dapat dilakukan dengan cara
memainkan drama tersebut, atau memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam
naskah tersebut.
b. Pengertian Naskah Drama
Perkembangan seni lakon ini khususnya di Indonesia istilah drama
mengalami pengaruh dalm pengertiannya. Pertama yaitu drama sebagai text play
atau repertoire (naskah), dan kedua, drama sebagai theatre atau performance.
Atar Semi (1993: 157) juga berpendapat bahwa drama pada umumnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempunyai dua aspek yakni aspek cerita sebagai bagian dari sastra, yang kedua
adalah aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau seni teater
Pembuatan sebuah naskah drama memang akan selalu berorientasi pada
pementasan, jadi dalam pembuatannya akan selalu memperhatikan aspek-aspek
pementasan. Penelitian ini akan lebih mengulas drama sebagai text play (naskah
drama) atau drama ditinjau dari aspek ceritanya sebagai bagian dari sastra yang
mengangkat fenomena-fenomena di masyarakat.
Adapun mengenai batasan mengenai naskah drama menurut Henry Guntur
Tarigan yaitu (1) drama sebagai repertoire atau naskah adalah hasih sastra milik
pribadi, yaitu milik penulis drama tersebut; (2) text play masih memerlukan
pembaca soilter; (3) text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan
teliti; dan (4) text play adalah bacaan. Dasar teks drama adalah konflik manusia
yang digali dari kehidupan (Waluyo, 2002: 7). Jadi orientasi dari teks drama juga
berawal dari konflik manusia yang dituangkan dalam tulisan dengan manifestasi
imajinasi pengarangnya sehingga dengan sedemikian rupa dapat diwujudkan
menjadi suatu pementasan.
Pengkajian terhadap drama ataupun naskah drama khususnya terhadap
struktur yang membangun akan bermuara pada hal yang sama, dengan pengertian
pada pengkajian naskah drama atau drama yang sama. Pada naskah yang sama,
antara struktur yang terkandung dalam naskah dengan yang berbentuk pementasan
sebagian besar cenderung sama bahkan sama. Adapun perbedaan itu lebih
disebabkan pada hal-hal yang cenderung teknis atau aplikasi di lapangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sehingga selanjutnya istilah naskah drama dalam pengkajian ini akan disebut
dengan ―drama‖ saja, tanpa kata naskah drama di depannya.
c. Unsur-unsur Drama
Unsur-unsur dalam drama terdapat dua jenis yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Pembahasan unsur drama ini lebih menekankan pada unsur intrinsik,
sedangkan unsur ekstrinsik lebih pada pengkajian strukturalisme genetik yang
telah dipaparkan sebelumnya. Secara garis besar srtuktur naskah drama ada enam
bagian penting yaitu plot atau kerangka cerita, penokohan atau perwatakan, dialog
atau percakapan, setting atau landasan, tema atau nada dasar cerita, dan amanat
atau pesan pengarang (Waluyo, 2002: 6-28). Lebih lanjut lagi akan dipaparkan
satu persatu struktur tersebut.
1) Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau
kerangka awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua
tokoh yang berlawanan (Waluyo, 2002: 8). ). Kenney (1996 : 14) : ―plot
reveals events to us, not only in their temporal, but also in their causal
relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in a
temporal series but also as an intricate pattern of cause and effects.‖
Atar Semi (1993 : 161) juga berpendapat bahwa alur dalam sebuah
pertunjukan (drama) sama dengan alur novel atau cerita pendek, yaitu
rentetan peristiwa dari awal sampai akhir Boulton juga mengatakan bahwa
plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menjadi penyebab mengapa seseorang tertarik untuk membaca dan
mengetahui kejadian yang akan datang (Waluyo, 2002: 145)
Alur drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan alur fiksi;
kekhususan itu ditimbulkan oleh karakteristik drama itu sendiri, yaitu: (1)
alur drama mestilah merupakan alur yang dapat dilakukan oleh manusia
biasa di muka publik penonton, (2) alur drama mesti jelas, bila tidak, akan
sukar sekali diikuti penonton, (3) alur drama mestilah sederhana dan
singkat, dalam arti ia tidak boleh berputar-putar ke mana-mana, tetapi
terpusat pada suatu peristiwa tertentu (Semi, 1993:161-162).
Robert Stanton menyatakan bahwa:
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa
yang terhubung secara kausal saja. Peristawa kausal merupakan
peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada
keseluruhan karya (2007 : 26).
Lebih lanjut Robert Stanton menyatakan bahwa sama halnya dengan
elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis,
dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus
mengakhiri ketegangan-ketegangan. Unsur kelogisan, kejutan dan
ketegangan memang merupakan suatu hal yang sangat perlu ada dalam
sebuah cerita agar menghasilkan sebuah cerita yang berkualitas tinggi.
Robert Stanton juga mengatakan bahwa dua elemen dasar yang
membangun alur adalah ‗konflik‘ dan ‗klimaks‘ (2007 : 27). ketegangan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kejutan, dan kelogisan haruslah dirajut dalam suatu cerita yang memiliki
konflik dan mempunyai titik klimaks yang akan membawa pembaca atau
penenton pada kedinamisan cerita bukan kemonotonan cerita. Dasar lakon
drama adalah konflik manusia. Konflik itu lebih bersifat batin dari pada
fisik. Konflik itu harus berupa konflik antara dua tokoh, tetapi dapat berupa
konflik batin manusia itu sendiri. Konflik batin itu sering dihubungkan
dengan kegelisahan manusia dalam meraba-raba rahasia Tuhan dan alam
gaib.
Konflik manusia itu sering juga dilukiskan secara fisik. Dalam
wayang, wayang orang, ketoprak, dan juga ludruk akan kita saksikan bahwa
klimaks dari konflik batin itu adalah bentrokan fisik yang diwujudkan dalam
perang. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motis.
Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian.
Motif dan kejadian haruslah wajar dan realistis, artinya benar-benar diambil
dari kehidupan manusia. Konflik yang muncul dari kehidupan manusia. Jika
dalam wayang persoalan yang dijadikan konflik adalah perebutan negara
atau wanita, maka motif konflik dalam drama modern janganlah negara atau
wanita. Tokoh-tokoh manusia masa kini tidak akan berebutan negara dan
jarang berebutan wanita.
Alur drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan alur fiksi
yang lain. Kekhususan itu ditimbulkan oleh karakteristik dram itu sendiri,
yaitu: (1) alur drama mestilah merupakan alur yang dapat dilakukan oleh
manusia biasa di muka publik penonton, (2) alur drama mesti jelas, bila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tidak, akan sukar sekali diikuti penonton, (3) alur drama mestilah sederhana
dan singkat, dalam arti ia tidak boleh berputar kemana-mana, tetapi terpusat
pada suatu peristiwa tertentu (Semi, 1993 : 161-162).
Atar Semi juga mengatakan secara garis besar, alur drama yaitu: (1)
klasifikasi atau introduksi, yakni pengenalan terhadap tokoh-tokoh dan
permulaan konflik; (2) konflik, yakni munculnya suatu problem; (3)
komplikasi, yakni munculnya persoalan-persoalan baru yang membuat
permasalahan menjadi semakin rumit; (4) penyelesaian (denoument), yakni
persoalan atau permasalahan sudah mulai ada pemecahan atau
penyelesaiannya. Senada dengan Atar Semi, Gustaf Freytag memberikan
unsur-unsur plot lebih lengkap meliputi hal-hal berikut ini: (1) exposition
atau pelukisan awal, yakni pengenalan tokoh; (2) komplikasi atau pertikaian
awal; (3) klimaks atau titik puncak cerita; (4) resolusi atau penyelesaian atau
falling action; (5) catastrophe atau denoument atau keputusan (Waluyo,
2002: 8). Lebih sederhana dari dua pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan
berpendapat bahwa alur dalam drama terdiri dari eksposisi (permulaan),
komplikasi (pertengahan), dan resolusi atau denoument (akhir atau ending).
Berangkat dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
alur atau plot dalam drama terdiri dari: (1) klasifikasi atau eksposisi; (2)
konflik atau pertikaian awal; (3) komplikasi; (4) klimaks atau titik puncak
cerita; dan (5) penyelesaian atau denoument. Namun, secara urutan tidak
menutup kemungkinan untuk berubah yang akan berimbas pada jenis
pengaluran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Penokohan
Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat
karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau
suatu peran. Tokoh sering disebut dengan karakter. Kennedy mengatakan
bahwa a character, then, is presumably an imagined person who inhabits a
story (1983 : 45). Dalam cerita, karakter diciptakan bukan tanpa maksud dan
tanpa dibarengi sesuatu yang mengelilingi atau melingkupinya. Suatu
karakter lahir dalam suatu cerita pasti membawa suatu ―bentuk‖ atau
―peran‖ tertentu.
Berhubungan dengan karakter, Georg Simmel mengatakan the stage
character, as it is in the text, is not really, so to speak, a complete man : not
a human being in the ordinary sense, but a complex assortment of verbal
clues for a man ( Elizabeth and Tom Burns, 1973 : 304). Tokoh dalam suatu
fiksi memang suatu tokoh yang seringkali tidak seperti ―kebiasaan‖ orang
pada umumnya, dna memang di dalam dunia panggung hal tersebut sangat
dapat diterima karena suatu maksud tertentu dari seorang pengarang.
Henry Guntur Tarigan (1993: 76) mengatakan bahwa sang dramawan
haruslah dapat memotret para pelakunya dengan tepat dan jelas untuk
menghidupkan impresi Watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam
dialog dan catatan samping, jenis dan warna dialog akan menggambarkan
watak tokoh itu (Waluyo, 2002: 14). Mengkaji sebuah cerita tentu tidak
terlepas dari tokoh, karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam
sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
(Nurgiyantoro, 2002:165).
Berdasar kutipan tersebut dapat diketahui antara seorang tokoh dan
kualitas pribadinya memiliki kaitan yang erat dalam penerimaan pembaca.
Berawal dari perbedaan-perbedaan karakter dan kepentingan tokoh inilah,
selanjutnya menjadi penyebab konflik dalam sebuah cerita. Menurut Jones,
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998:165).
Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan
Saini KM (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
memahami karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu (1) melalui apa yang
diperbuatnya; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik
tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari
pengarang.
Penokohan yang baik adalah yang dapat menggambarkan tokoh-tokoh
dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-
tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya
haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas.
Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai
penokohan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ada beberapa jenis tokoh yang terdapat dalam drama. Henry Guntur
Tarigan mengatakan ada empat jenis tokoh dalam drama yaitu the foil atau
tokoh pembantu; the type character atau tokoh serba bisa; the static
character atau tokoh statis; dan the character who developes in the course
of the play atau tokoh berkembang. Lebih lengkap lagi Waluyo membagi
beberapa jenis tokoh dengan kriteria tertentu. Pertama, berdasarkan
perannya terhadap jalan cerita, ada beberapa jenis tokoh yaitu tokoh
protagonis (tokoh pendukung cerita), tokoh antagonis (tokoh penentang
cerita), dan tokoh tritagonis (tokoh pembantu). Pembagian yang kedua
berdasarkan perannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat jenis tokoh
sebagai berikut: (1) tokoh sentral yakni tokoh yang paling menentukan
gerak lakon; (2) tokoh utama yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh
sentral, dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral, dapat juga
disebut tokoh tritagonis; (3) tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang
memegang peran pelengkap tau tambahan dalam mata rantai cerita.
Masih dalam hubungannya dengan klasifikasi tokoh dalam cerita,
Orson Scott Card (2005 : 105-106) membagi tokoh menjadi tiga macam
berdasarkan derajat kepentingan tokoh dalam cerita.
1) Tokoh Figuran
Tokoh-tokoh ini tidak dikembangkan sama sekali, mereka hanya
merupakan orang di latar belakang, dimaksudkan untuk memberi
kesan realisme atau melakukan fungsi sederhana, lalu hilang dan
dilupakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Tokoh Sampingan
Tokoh-tokoh ini mungkin memengaruhi plot, tetapi pembaca tidak
dimaksudkan terlibat secara emosional dengan mereka, baik secara
negatif maupun positif. Pada umumnya tokoh sampingan melakukan
satu atau dua hal dalam cerita lalu hilang.
3) Tokoh Penting
Kelompok ini mencakup orang –orang yang kita pedulikan, kita cintai
atau membenci mereka, takut mereka atau berharap mereka berhasil.
Mereka terus-menerus muncul dalam cerita.
Seluruh perjalanan drama di jiwai oleh konflik pelakuknya. Konflik
itu terjadi oleh pelaku yang mendukung cerita (sering disebut pelaku utama)
yang bertentangan dengan pelaku pelawan arus cerita (pelaku penentang).
Dua tokoh tersebut disebut dengan tokoh protagonis dan antagonis. Konflik
antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis itu hendaknya sedemikian
keras, tetapi wajar, realistis, dan logis. Jika dalam wayang kita jumpai
konflik antara Arjuna dengan Buto Cakil, maka dalam drama modern
konflik semacam itu dianggap tidak realistis dan tidak logis. Dalam benak
pembaca (penonton) sudah timbul apriori yang menyatakan, Buto Cakil
pasti kalah. Konflik yang logis adalah dalam suasana yang kurang lebih
seimbang., dalam permasalahan yang rumit dan memang bisa terjadi
sungguh-sungguh dalam kehidupan kita ini.
Perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam
lakon drama (Wiyanto, 2004: 27). Watak para tokoh digambarkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tiga dimensi (watak dimensional), dan penggambaran itu berdasarkan
keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis)
(Waluyo, 2002: 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik tokoh adalah:
umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang
menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk,
suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak,
kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks
psikologi yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan
sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan
sebagainya.
3) Setting
Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto berpendapat
bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan
(2004: 28). Hampir senada dengan Asul Wiyanto, Waluyo berpendapat
bahwa setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu : tempat, ruang, dan
waktu (2002: 23). W.H. Hudson menyatakan bahwa setting adalah
kesekuruhan lingkungan cerita yang meliputi adapt istiadat, kebiasaan, dan
pandangan hidup (Waluyo, 2002: 198). Adapun mengenai fungsi setting,
Montaque dan Henshaw menyatakan tiga fungsi setting, yakni mempertegas
watak pelaku; memberikan tekanan pada tema cerita; dan memperjelas tema
yang disampaikan. Mengkaji sebuah karya fiksi, latar pada hakikatnya
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Abrams (Nurgiyantoro,
2002: 216 ) mengatakan bahwa latar merupakan tumpuan yang menyaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Pendapat di atas sejalan dengan Burhan Nurgiyantoro (2002: 227),
unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar
tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut pula sebagai latar fisik
(physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar
sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal
itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap,
pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.
Penggambaran setting seringkali juga berkaitan dengan alam pikiran
penulis (Waluyo, 2002: 200). Jadi imajinasi penulis atau pengarang karya
sastra sangat menentukan bagaimana atau apa yang akan menjadi latar atu
setting dari imajinasi yang dihasilkannya. Dalam drama khususnya
pengimajinasian setting yang mungkin dalam arti dapat diwujudkan dalam
pentas haruslah diperhatikan oleh penulis naskah drama. Penggambaran
setting paling tidak menggambarkan tinga dimensi yaitu tempat ruang dan
waktu. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa latar
adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi gambaran peristiwa dalam
cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang atau tempat, dan suasana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa latar
adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi gambaran peristiwa dalam
cerita, termasuk di dalamnya waktu, ruang atau tempat, dan suasana. Unsur-
unsur dalam latar, seperti waktu, ruang dan suasana, saling mendukung
dalam membentuk satu kondisi yang mendukung cerita secara keseluruhan.
4) Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema
berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula
dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang
dikemukakan oleh pengarangnya (Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia
juga mengemukakan bahwa premis dapat juga disebut sebagi landasan
pokok yang menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi
pola konstruksi lakon. Pada buku yang lain Herman J. Waluyo (2002: 142)
juga mengatakan bahwa tema adalah masalah hakiki manusia. Tema
berhubungan dengan faktor yang ada dalam diri pengarang, sehingga aliran
dan filsafat yang dimiliki pengarang akan mendasari pemikiran pengarang
dalam membuat suatu naskah drama. . Kennedy mengatakan bahwa the
theme of story is whatever general idea or insight the entire story reveals
(1983 : 103). Lebih lanjut dikatakan in literary fiction, a theme is seldom so
obvious. tema-tema dalam sebuah cerita memang seringkali tidak
dimunculkan secara eksplisit melainkan secara implisit.
Tema berhubungan dengan faktor yang ada dalam diri pengarang,
sehingga aliran dan filsafat yang dimiliki pengarang akan mendasari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemikiran pengarang dalam membuat suatu naskah drama. Robert Stanton
(2007 : 37) tema bisa mengambil bentuk yang paling umum dari kehidupan,
bentuk yang mungkin dapat atau tidak dapat mengandaikan adanya
penilaian moral. Tema bisa berwujud satu fakta dari pengalaman
kemanusiaan yang digambarkan atau dieksplorasi oleh cerita seperti
keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema juga dapat berupa gambaran
kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling
memungkinkan darinya adalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada
cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa.
Pendapat di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa tema
bukanlah sesuatu yang eksplisit namun lebih cenderung merupakan sesuatu
yang implisit. Selain itu tema juga merupakan sesuatu yang abstrak.
Pembaca atau penenton harus mampu menemukan tema yang seringkali
tersembunyi di balik unsur-unsur cerita yang ada. Namun yang jelas tema
itu akan mendasari semua bagian dari cerita tersebut. Senada dengan
pendapat-pendapat di atas, Panuti Sudjiman menjelaskan tema dengan lebih
ringkas, tema adalah gagasan, ide, ataupun pikiran utama dalam karya sastra
yang terungkap atau tidak (1990 :8)
Asul Wiyanto (2004: 23) berpendapat bahwa tema adalah pikiran
pokok yang mendasari lakon drama. Dibandingkan dengan pendapat
Herman J. Waluyo yang menggunakan premis untuk mewakili sebuah nada
dasar cerita sedangkan Wiyanto lebih memilih menggunakan pikiran pokok.
Namun, pada dasarnya mereka menuju pada suatu definisi yang sama yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
suatu garis besar cerita yang menjiwai setiap unsur yang ada dalam karya
sastra. Lebih lanjut lagi Asul Wiyanto mengemukakan bahwa tema ini
biasanya lebih dikhususkan lagi menjadi topik. Topik sendiri berbeda
dengan tema, topik adalah sesuatu yang lebih khusus daripada tema
(Wiyanto, 2004: 23).
Beragam aliran yang biasanya mendasari pengarang dalam membuat
naskah drama, seperti aliran klasik (dialog panjang dan sajak berirama),
aliran romantik (isi drama cenderung fantastis dan seringkali tidak logis),
aliran realisme (cenderung melukiskan apa adanya), aliran ekspresionisme,
dan aliran eksistensialisme. Seorang pengarang yang baik adalah ynag
mampu menemukan tema hakiki manusia. Kejelian seorang pengarang
dalam menangkap apa-apa yang ada atau sedang bermasalah dalam
masyarakat akan terlihat dalam karyanya.
5) Dialog
Kekhasan dari genre sastra ini adalah media dialog atau percakapan
yang digunakan dalam penyampaiannya. Ciri khas suau drama adalah
naskah itu berbentuk cakapan atau dialog (Waluyo, 2002: 20). Lebih lanjut
lagi Herman J. Waluyo juga berpendapat bahwa ragam bahasa dalam dialog
tokoh-tokoh drama adalah bahasa yang komunikatif dan bukan ragam
bahasa tulis. Senada dengan Herman J. Waluyo, Atar Semi (1993 : 164)
juga berpendapat bahwa dalam drama, ujaran mestilah lebih menarik dan
ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Boulton mengatakan bahwa dialog dalam drama haruslah dikuasai
dengan baik oleh para aktor dengan kompetensicakapan yang memadai agar
dia dapat memainkan perannya tanpa melakukan kesalahan intonasi.
“the dialogue of a play must be such the normally competent actor can
speak his lines without stumbling, stopping for breath in the wrong place or
speaking with so little animation or such a false intonation that it is obvious
he does not understand what he is saying,... (Boulton, 1959 : 97)
Atar Semi juga mengemukakan beberapa fungsi dialog yaitu:
merupakan wadah penyampaian informasi kepada penonton; menjelaskan
ide-ide pokok, menjelaskan watak dan perasaan pemain, dialog memberi
tuntunan alur kepada penonton, dialog menggambarkan tema dan gagasan
pengarang, dialog mengatur suasana dan tempo permainan. Penjelasan di
atas, menjelaskan bahwa kedudukan dialog dalam drama sangat penting
mengingat segala sesuatu yang terjadi dalam drama didominasi oleh dialog.
Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman akan mampu
memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu, selain itu naskah drama
juga harus dibayangkan irama dan dialog juga harus hidup, artinya mewakili
tokoh yang dibawakan (Waluyo, 2002: 22).
Drama naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre
sastra, drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur
batin (sematik, makna). Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau
ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra. Oleh sebab itu, bahasa
dan maknanya tunduk pada konvensi sastra, yang menurut Teeuw (1983: 3-
5) meliputi hal-hal berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Teks sastra memiliki unsur atau struktur batin atau intern structure
relation, yang terkait oleh bahasa pengarangnya.
2. Naskah sastra juga memilki struktur luar atau extern structur relation,
yang terikat oleh bahasa pengarangnya.
3. Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat
kompleks dan bersusun-susun. Selanjutnya Teeuw juga menyebutkan
tiga ciri khas karya sastra, yaitu sebagai berikut:
- teks sastra merupakan keseluruhan yang tertutup, yang batasannya
di tentukan dengan kebulatan makna.
- dalam teks sastra ungkapan itu sendiri penting, diberi makna,
disemantiskan segala aspeknya; barang atau persoalan yang dalam
kehidupan sehari-hari tidak bermakna, diberi makna.
- dalam memberi makna itu di satu pihak karya sastra terikat oleh
konvensi, tetapi di lain pihak menyimpang dari konvensi. Karya
sastra menunjukkan ketegangan antara konvensi dengan
pembaharuan, antara mitos dengan kontra mitos
Pendapat di atas menjelaskan bahwa kedudukan sebuah naskah sangat
penting dalam genre sastra ini. Baik buruk sebuah naskah akan sangat
berpengaruh terhadap hasil sebuah pentas dari naskah tersebut. Kualitas dari
penulisan naskah akan sangat terlihat dengan melihat bagaimana dan apa-
apa yang terkandung di dalamnya, apakah sudah mencakup keseluruhan
unsur yang harus dimiliki sebuah naskah atau belum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Kajian Stilistika
a. Pengertian
Kata stilistika selalu berhubungan dengan masalah style (gaya). Kata
style diturunkan dari bahasa Latin stilus, yaitu semacam alat untu menulis
pada lempengan lilin. Kata stilistika berhubungan dengan masalah style
(gaya), dari kata stilistcs. Menururt Keraf (2004: 112) style mengalami
perubahan makna menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau
menggunakan kata-kata secara indah. Soediro Satoto (1995: 36) menganggap
pengertian style sangat luas, bisa meliputi style sekelompok pengarang, style
suatu bangsa, style perorangan, dan dapt jug merupakan style pada periode
tertentu. Style dapat diartikan sebagai cara yang khas yang digunakan oleh
seseorang untuk mengutarakan diri atau gaya pribadi.
Kridalaksana (2001: 202) menyetakan bahwa stilistika adalah ilmu yang
menyelidiki bahasa yang igunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner
antara linguistik dan kesusaasstraan; pernarapan linguistik pada
penerepannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa style atau gaya bahasa dapat
diartikan sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakain bahaasa).
Stilistika adalah ilmu yang berhubungan dengan gaya bahasa. Gaya daam
hal ini memang dihubungkan dengan pemakaian atau penggunaan bahasa
dalam karya sastra (Junus: 1989: xvii). Slametmuljana mengemukakan bahwa
stilistika itu pengetahuan tentang kata berjiwa. kata berjiwa adalah kata yang
dipergunakan dalam cipta sastra yang mengandung perasaan pengarangnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Stilistik berguna untuk membeberkan kesan pemakaian susun kata dalam
kalimat yang menyebabkan gaya kalimat, di samping ketepatan pemilihan
kata, memegang peranan penting dalam ciptaan sastra (Pradopo, 1993: 2).
Berdasarkan hal tersebut stilistika tidak semata merupakan studi gaya bahasa
dalam kesusastraan saja, akan tetapi lebih pada studi gaya dalam bahasa pada
umumnya walaupun ada kekhususan pada bahasa kesusastraan yang paling
dasar dan paling kompleks.
b. Ranah Kajian Stilistika
Pusat kajian stilistika adalah gaya. Stilistika merupakan sebuah studi
yang mempelajari gaya seseorang dalam menyatakan maksud dengan media
bahasa. Aminudin (1995: 44) menjelasksan lapangan kajian stilistika dapat
meliputi kata-kata, tanda baca, gambar, serta bentuk tanda lain yang
dianalogikan sebagai kata-kata. Lapangan kajian stilistika tersebut terujud
sebagai print-out ataupun tulisan dalam karya sastra. Secara potensial print
out itu dapat membuahkan (1) gambar objek atau peristiwa, (2) gagasan, (3)
satuan isi, dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya sastra. Print out
tersebut merupakan wujud pelambangan sekaligus artefak kbudayaan yang
mengandung sesuatu yang lain di luar wuju konketnya sendiri. Dalam
semiotika atau studi tentang sistem lambang dan proses pemaknaannya,
wujud pelambangan tersebut disebut signal atau tanda. Wujud konkret
pelambangan itu lazimnya hanya dibatasi tataran kata, kalimat, dan wacana.
Wellek (1971:13) membagi dua bidang dalam stilistika the study of style
in all language pronouncements, and the study of imaginative literature.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Studi stilistika dalam satu sisi mempelajari pronounsasi bahasa dan sisi lain
mempelajari karya sastra imajinatif. Pendapat Wellek ini mencoba
menempatkan antara bahasa dan sastra pada kondisi ketidakperpihakan.
Sementara itu, Turner dalam Sayuti (2001:172-173) mengatakan bahwa
stilistika merupakan bagian dari linguistic yang memusatkan perhatiannya
pada variasi penggunaan bahasa, terutama pemakaian bahasa dalam sastra.
Sudjiman (1993: 12) mengartikan bahwa style dapat diterjemakan
sebagai gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, strukur
kalimat, majas, citraan, pola rima, serta matra yang digunakan pengarang atau
yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Stilistika sebagai bidang kajian yang
memperhatikan gaya integritas seluruh tingkat-tingkat dalam hierarki
linguistic suatu teks atau wacana (discourse) dan dalam aplikasinya dapat
diterapkan terhadap prosa, puisi, dan drama (Satoto, 1995: 83-84). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lapangan kajian stilistika mencakup
penggunaan bahasa dalam semua genre karya sastra.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika
merupakan suatu penelitian linguistik dengan objek kajian karya sastra.
Dengan kata lain, stilistika merupakan disiplin ilmu yang mengkaji bahasa
dalam karya sastra.
1) Bunyi
Bunyi merupakan unsur yang penting dalam sebuah karya sastra.
Begitu pentingnya, bunyi ini menempati strata yang utama atau pertama
(Wellek, 1993: 151) yang dimaksud bunyi dalam kaitannya dengan bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adalah bunyi-bunyi yang diproduksi secara fonemis. Jadi, fonem inilah
yang merupakan unsur terkecil dalam bahasa karya sastra. Unsur-unsur
fonik ini biasanya tergambar dalam bentuk asonansi, aliterasi, rima,
onomatope, rentak, dan sebagainya (Spencer dan Gregory dalam Awang
Sariyan, 1982:68). Tak hanya dalam puisi, bunyi banyak digunakan dalam
semua genre karya sastra termasuk didalamnya drama.
Aspek bunyi yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah
Purwakanthi secara etimologis berasal dari kata purwa artinya wiwitan
‖permulaan dari kata‖, kanthi yang berarti gandheng ‘bergandeng‘,
nganggo ‘menggunakan‘, migunakake, ‘menggunakan‘. Purwakanthi
berarti mengulang yang telah disebutkan bagian depan. Maksudnya
perangan wiwitan utawa purwa, utawa perangan ngarep. Wondene sing
digandheng iku swara utawa aksarane ‘terkadang tembung bagian
belakang mengulang atau menggunakan atau menggunakan lagi yang telah
disebutkan pada permulaan atau depan. Adapun yang diulang itu suara
atau hurufnya, kadang kala kata‘ (Padmosoekatja, 1960 dalam Sutarjo,
2002: 60).
(1) Orkestrasi Bunyi
Bunyi merupakan unsur yang penting untuk mendapatkan keindahan
dan tenaga ekspresi (Pradopo, 2000:22). Aspek bunyi yang dalam bahasa
Jawa dikenal dengan istilah Purwakanthi secara etimologis berasal dari
kata purwa artinya wiwitan ‖permulaan dari kata‖, kanthi yang berarti
gandheng ‘bergandeng‘, nganggo ‘menggunakan‘, migunakake,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‘menggunakan‘. Purwakanthi berarti mengulang yang telah disebutkan
bagian depan. Maksudnya perangan wiwitan utawa purwa, utawa
perangan ngarep. Wondene sing digandheng iku swara utawa aksarane‟
terkadang tembung bagian belakang mengulang atau menggunakan atau
menggunakan lagi yang telah disebutkan pada permulaan atau depan.
Adapun yang diulang itu suara atau hurufnya, kadang kala kata‘
(Padmosoekatja, 1960 dalam Sutarjo, 2002: 60).
Purwakanthi ‘persajakan‘ ada tiga jenis yaitu asonansi atau
purwakanthi swara ‗persamaan bunyi vokal‘ aleterasi atau purwakanthi
sastra ‗persamaan bunyi konsonan dalam pembentukan kata, kalimat, atau
frasa‘, dan purwakanthi lumaksita atau basa ‗pengulangan suku kata atau
kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya‘ (Padmosoekatja, 1960
dalam Sutarjo, 2002: 60).
(a) Purwakanthi swara ‘asonansi‘ adalah semacam gaya bahasa retoris
yang berdasarkan langsung tidaknya makna yang berwujud perulangan
bunyi vokal yang sama, atau asonansi merupakan perulangan bunyi
yang terdapat pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi
konsonan. Pernyataan yang sama juga diberikan oleh Subalidinata
(1968: 57) dikatakan purwakanthi guru swara karena di dalamnya
ditemukan keserasian suara (vocal) satu dengan yang lainnya.
(b) Purwakanthi sastra ‘aliterasi‘ adalah ulangan bunyi konsonan,
lazimnya pada awal kata yang berurutan untuk mencapai efek
kesedapan bunyi, dengan istilah purwakanthi atau runtut konsonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(Sudjiman, 1993: 23). Keraf (2004: 130) mengatakan bahwa aleterasi
adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
Biasanya dipergunakan dalam puisi atau prosa.
(c) Purwakanthi basa (lumaksita) sama dengan gaya bahasa repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian
kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai (Sumarlam, 2003: 32).
(2) Rima/Persajakan
Rima dalam bahasa Inggris rhyme diterjemahkan sebagai ―the last
stressed vowel and of all the speech sounds following that vowel‖ (tekanan
pada vocal akhir dan semua bunyi yang mengikuti vokal) (Abrams,
1981:163). Berdasarkan pengeretian tersebut, rima tidak hanya
ditimbulkan oleh bunyi vocal pada akhir kata tetapi juga bunyi-bunyi yang
lain yang mengikutinya. Bunyi-bunyi yang mengikutinya tersebut dapat
berupa konsonan. Samuel R. Levin mengatakan bahwa,
―rhyme is an acoustic fact. From the linguistic point of view it is a
trivial phonetic fact. In a pair like roam/foam, the rhyme is made by
repetition of the phonetic element roam and has no grammatical or
semantic value. Rhyme like make/take in which the rhyming element
happens to coincide phonetically with a morpheme have no bearing
on the question, since “ache” is obviously not involved in the analysis
og either the rhyme or the morphemes “make” and “take‖ (Chatman
ed., 1971:185)
Kutipan tersebut mengandung pengertian bahwa rima merupakan
kenyataan bunyi, yang dapat disusun berasarkan perulangan-perulangan
fonem atau morfem, dan tanpa memperhitungkan aturan-aturan gramatik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
maupun semantik. Rhyme oleh Abrams (1981:163) dibedakan menjadi end
rhyme, yaitu occur at the end of a verse line (paduan bunyi yang terdapat
pada akhir baris) dan internal rhyme, yaitu occur within a verse line
(paduan bunyi yang terdapat pada tengah baris).
2) Diksi
Secara umum diksi adalah pilihan kata. Nurgiantoro (2000: 290)
menggolongkan diksi sebagai unsur leksikal yang mengacu pada
pengertian pengunaan kata-kata tertentu yang sengaj dipilih oleh
pengarang. Abrams (1981: 140) the terms diction signifies the choice of
word, phrases, and figures in work of literature (diksi merupakan pilihan
kata, frase, atau lambing-lambang dalam karya sastra). Oleh karena itu,
diksi seorang pengarang dapat dianalisis dari segi kosa kat dan frase
sebagai kata abstrak atau konkret.
Pilihan kata bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana
yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan tetapi juga
meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan fraseologi
mencakup persolan kata-kata dalam pengelompokan atau susunan yang
menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan yang
individual atau karakteristik atau memiliki nilai artistik yang tinggi (Gorys
Keraf, 2004: 22-23).
Harimurti Kridalaksana (2001: 44) mengatakan bahwa diksi adalah
pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam
berbicara di depan umum atau dalam karang mengarang. Gorys Keraf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2004: 24) dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa
memberikan batasan mengenai diksi sebagai berikut :
a) Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang
dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk
pengelompokan kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan
yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalan suatu
situasi.
b) Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan untuk membedakan secara
tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki masyarakat pendengar.
c) Pilihan kata atau diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh
penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata dalam
bahasa itu.
Sementara itu, Mustakim (1994: 41) berpendapat bahwa istilah diksi
berkaitan dengan semua, yaitu pemilihan kata dan pilihan kata. Pemilihan
kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat mengungkapkan
secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil dari proses atau tindakan
tersebut.
Jadi jelaslah bahwa pengertian diksi adalah pilihan kata yang tepat,
baik dalam kata, frasa maupun dalam kalimat untuk menyampaikan
gagasan dan kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang sesuai dengan
situasi sehingga memperoleh efek tertentu. Karakteristik diksi atau pilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kata dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo
SP meliputi (a) tembung saroja, (b) kata seru, (c) sinonim, (d) idiom atau
ungkapan, (e) tembung kasar ‗kata makian‘.
a) Tembung Saroja
Tembung saroja adalah dua buah kata yang mempunyai makna
sama atau hampir sama (makna mirip) dan dipakai secara bersama-
sama (Subroto, 1999: 72). Penggunakan dua kata atau yang mirip
artinya dimaksudkan untuk memberikan penyangatan arti sehingga
menimbulkan efek emosi yang kuat. Tembung saroja tegese
tembung rangkep, maksude tembung loro kang padha utawa meh
padha tegese dianggo bebarengan. Kata saroja adalah kata
rangkap, maksudnya dua kata yang sama atau hampir sama artinya
digunakan bersama (Padmosoekotjo, 1960 dalam Sutarjo, 2003:
62). Misal: rahayu slamet dan bagya mulya. Kata rahayu berarti
selamat kata slamet juga berarti selamat; dan bagya berarti bahagia
kata mulya juga berarti mulia/bahagia.
b) Kata Seru
Kata seru adalah kata atau frasa yang dipakai untuk mengawali
seruan, bentuk yang tak dapat diberi afiks dan yang tidak
mempunyai dukungan sintaksis dengan bentuk lain, dan dipakai
untuk mengungkapkan perasaan (Kridalaksana, 2001: 84 dan 100).
Misal: heit, elhadhalah contoh untuk kata pengungkap rasa terkejut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan uedan, wah untuk kata pengungkap rasa kagum. Contoh-contoh
kata seru tersebut sangat dominan dalam naskah drama yang dikaji.
c) Sinonim
Sinonim adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai telaah
mengenai bermacam–macam kata yang memiliki makna yang
sama, atau keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna
yang sama. Hal ini sedana dengan Keraf (2004: 34) sinonim adalah
kata-kata yang memiliki makna yang sama. Sementara itu
Kridalaksana (2001: 198) sinonim adalah bentuk bahasa yang
maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu
berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun
umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.
Misalnya: jeneng ‗nama‘ dan aran ‗nama‘, langka ‗jarang sekali‘
dan arang ‗jarang‘.
d) Idiom atau Ungkapan
Idiom atau ungkapan adalah (a) konstruksi dari unsur-unsur yang
saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang
ada karena bersama yang lain; (b) konstruksi yang maknanya tidak
sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya; (c) bahasa dan
dialek yang khas menandai suatu bangsa, suku atau kelompok
(Kridalaksana, 2001: 80). Kata ungkapan memiliki tiga pengertian,
yaitu: (1) apa yang diungkapkan; (2) kelompok kata atau gabungan
kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sering kali menjadi kabur); dan (3) gerak mata (tangan dan
sebagainya), perubahan air muka yang menyatakan perasaan hati
(KBBI, 2002: 1247).
e) Tembung Kasar ‘Kata Makian‘
Kata makian yang diturunkan dari verbal memaki berarti
‘mengeluarkan kata-kata keji, kotor, kasar sebagai pelampiasan
kemarahan atau rasa jengkel‘ (KBBI, 2002: 702). Makian
mempunyai arti yang tidak jauh berbeda dengan umpatan, yaitu
‘perkataan yang keji-keji atau kotor yang diucapkan karena marah,
jengkel atau kecewa‘ (KBBI, 2002: 1244). Kata-kata kasar berarti
tidak sopan, keji berarti sangat rendah, tidak sopan, dan kata-kata
kotor berarti jorok, menjijikan, melanggar kesusilaan (KBBI, 2002:
511, 527, 599). Oleh karena itu, seseorang yang memaki atau
mengumpat berarti mengucapkan kata-kata tidak sopan, menjijikan,
atau melanggar kesusilaan karena kata-kata tersebut tidak biasa
digunakan dalam percakapan secara wajar dan hanya digunakan
sebagai pelampiasan perasaan marah, jengkel atau kecewa. Misal:
asu ‘anjing‘, bajingan ‘penjahat‘
3) Gaya bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata frasa atau klausa tertentu
untuk menghadapi hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
frasa, klausa, dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan memperhatikan
penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2004: 113). Dalam Kamus Linguistik,
Kridalaksana (2001: 63) menyebutkan gaya bahasa yaitu pemakaian ragam
tertentu dan keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok sastra. Sementara itu,
Sudjiman (1993: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya bahasa adalah
cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk
tulisan maupun lisan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
adalah cara mengungkapkan pikiran dan perasaan batin yang hidup melalui
bahasa yang khas dalam bertutur atau menulis untuk memperoleh efek-
efek tertentu sehingga apa yang dinyatakan menjadi jelas.
Keraf (2004: 16) membagi gaya bahasa berdasarkan empat macam,
yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata; (2) gaya bahasa
berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana; (3) gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat; (4) gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna.
a) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu. Kata yang paling tepat dan sesuai
untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, juga tepat tidaknya pemakaian
kata tersebut dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Gaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bahasa ini sendiri dari gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya
bahasa percakapan.
(1) Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya
yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakan
dengan baik dan terpelihara. Gaya bahasa resmi ini digunakan dalam
pidato umum yang bersifat seremonial dan tulisan tingkat tinggi.
(2) Gaya bahasa tak resmi merupakan gaya bahasa yang dipergunakan
dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang
tidak formal atau kurang formal. Gaya bahasa ini digunakan dalam
karya tulis, artikel, editorial, dan sebagainya.
(3) Gaya bahasa berdasarkan percakapan adalah gaya bahasa dengan
pilihan kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Sintaksis dan
kalimat-kalimat singkat.
b) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana
Gaya bahasa ini berdasarkan sugesti yang dipancarkan dari
rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali
sugesti akan lebih nyata kalau dikuti dengan sugesti suara dari pembicara
apabila sajian yang dihadapi lisan. Gaya bahasa ini terjadi: gaya bahasa
sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.
(1) Gaya sederhana biasa digunakan untuk memberi instruksi, perintah,
pelajaran, perkulihan, dan sejenisnya. Gaya bahasa ini tepat untuk
menyampaikan fakta dan pembuktian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2) Gaya mulia dan bertenaga penuh vitalitas dan energi. Nada yang
agung dan mulia dapat mengerakkan emosi setiap pendengar.
(3) Gaya menengah bertujuan untuk menciptakan suasana senang dan
damai dan biasanya diselingi dengan humor. Gaya ini bersifat lemah
lembut dan sopan santun sehingga sering mempergunakan metafora
dalam pemilihan katanya yang membuat gaya ini semakin menarik.
c) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
Struktur kalimat ada yang bersifat periodik, kendur dan berimbang.
Apabila bagian yang terpenting mendapat penekanan di akhir kalimat,
disebut periodik. Apabila kalimat mendapat penekanan di awal kalimat
dan bagian-bagian yang kurang penting dideretkan sesudah bagian
penting, disebut kendur. Selanjutnya kalimat yang mengandung dua bagian
kalimat atau lebih yang kedudukannya terlalu tinggi atau sederajat, disebut
berimbang. Dari ketiga struktur macam kalimat tersebut diperoleh gaya
bahasa klimaks, anti klimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.
(a) Klimaks merupakan gaya bahasa yang mengandung urutan-
urutan pikira yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
dari gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh:
(1) BONGKREK:
Daktohi nyawa, Mbok arepa wong pabrik nggunake punggawa
kelurahan nganti tekan kabupaten pisan ta, aja maneh
sakpekarangan, sakpucuke eri bae ora arep daksorohke. (Leng,
hal 80).
‗Saya akan mempertaruhkan nyawaku, walaupun orang pabrik
menggunakan kepala pasukan kelurahan, sampai dengan
kabupaten sekalian, apalagi hanya pekarangan, sepucuk duri saja
tidak akan saya berikan‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada contoh data di atas berisi penolakan-penolakan yang
semakin meningkat yaitu Bongkrek yang menolak tanahnya dijual
walaupun orang pabrik memaksa dengan menyuruh pasukan
kepala kelurahan sampai dengan kabupaten.
(b) Antiklimaks merupakan gaya bahasa yang gagasan-gagasannya
diurutkan dari yang terpenting, berturut-turut ke gagasan yang
kurang penting. Contoh:
(2) KECIK
Mas, yen saking Jakarta ajeng rawuh, wiwit camat nganti tekan
lurah sakbayane kabeh padha iwud nyiyapke,… (Leng, hlm 102)
‗Mas, kalau dari Jakarta akan datang, mulai dari camat sampai
dengan lurah dan bayannya semua ikut sibuk mempersiapkan‗…
Penggunaan kata-kata camat, lurah, dan bayan pada data di atas
menunjukan adanya pemanfaatan gaya bahasa antiklimaks, yaitu
adanya urutan yang bersifat menurun dari camat ke lurah, dan
bayan.
(c) Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
Contoh:
(3) PAK REBO
Gusti Allah niku maha asih, maha welas, maha wicaksana,
prasasat entuk tanpa njaluk, mboten sah nembung mesthi genah
paring tetulung, liwat tangane sinten mawon. (Leng, hal 66)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‗Tuhan itu maha sayang, maha belas kasih, maha bijakasana, ibarat
dapat tanpa harus meminta, tidak usah meminta pasti ada
pertolongan, melalui tangannya siapa saja.‘
Pada contoh di atas menggunakan kata-kata yang sejajar yang
memiliki kedudukan yang sama. Kata-kata itu adalah maha asih
‘maha sayang‘, maha welas ‘maha belas kasih‘, maha wicaksana
‘maha bijaksana‘.
(d) Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-
gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata
atau kelompok kata yang berlawanan. Contoh:
(4) LIK BISMA
Bisa wae. Urip mulya apa sengsara kuwi ora bakal kentekan
jalaran. Bener kaya Soleman kae, gaweyan kalal apa gaweyan
karam kabeh ditandangi, (Tuk, hal 144)
‗Bisa aja. Hidup senang apa susah tidak akan habis sebabnya.
Benar seperti Soleman itu, pekerjaan halal apa pekerjaan
haram semua dikerjakan.‘
Pada contoh tersebut kata (mulya ‗bahagia‘ dan sengsara ‗susah‘)
dan (kalal „halal‘ dan karam ‗haram‘), yang merupakan sebuah
pertentangan makna yakni antara (bahagia dan susah) dan (kata
halal dan haram).
(e) Repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, atau
bagian kalimat yang dianggap penting memberikan tekanan dalam
sebuah kontek yang disesuaikan. Gorys Keraf (2001: 127)
membagi gaya bahasa repetisi menjadi delapan macam, yaitu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
epizeuksis, tautotes, anaphora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
epanalepsis, dan anadiplosis. Contoh:
(5) BONGKREK
Uwuh sing apik bisa dinggo rabuk. Yen uwuhing uwuh? Nanging
Lik, kula boten purun yen mung diajeni kaya uwuh. Bongkrek
dudu uwuh. (Leng, hal 69)
‗Sampah yang baik bisa buat pupuk. kalau sampahnya sampah?
Tetapi Lik, saya tidak mau kalau dianggap seperti sampah.
Bongkrek bukan sampah‘.
Pada contoh tersebut adanya repetisi epizeuksis pengulangan kata
uwuh ‗sampah‘ diulang beberapa kali berturut-turut. Maksud
pengulangan di atas adalah untuk menegaskan Bongkrek yang
tidak mau dianggap seperti uwuh ‗sampah‘ sehingga diperjelas
dengan mengulang-ulang kata uwuh ‗sampah‘
d) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna diukur dari
apakah acuan yang masih dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa ini dibagi atas
dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
(1) Gaya bahasa retoris
Gaya bahasa retoris merupakan penyimpangan dari konstruksi
biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2004: 129). Bermacam-
macam gaya bahasa retoris terdiri atas:
(a) Aliterasi, yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan
konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kadang-kadang dalam prosa, untuk penghiasan atau untuk
penekanan.
(b) Asonansi, yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama.
(c) Anastrof, yaitu gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
(d) Apofasis, yaitu sebuah gaya di mana penulis atau pengarang
menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.
(e) Apostrof, yaitu semacam gaya bahasa berbentuk pengalihan
amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
(f) Asidenton, yaitu gaya bahasa berupa acuan, bersifat padat dan
mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa, yang
sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, hanya
dipisahkan dengan koma.
(g) Polisindenton, yaitu sebuah gaya yang merupakan kebalikan
dari asindeton. Beberapa kata, frasa, klausa yang berurutan
dihubungkan dengan kata-kata sambung.
(h) Kiasmus, yaitu suatu gaya yang terdiri dari dua bagian, baik
frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang dan
dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau
klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau
klausa lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(i) Elipsis, yaitu suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu
unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan
sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur
kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
(j) Eufemismus, yaitu semacam acuan berupa ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau
ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-
acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung,
perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan.
(k) Litotes, yaitu gaya bahasa yang mengecilkan sesuatu hal. Jadi
juga mengandung pertentangan antara kenyataan dan
perkataan. Dipakai untuk merendahkan diri.
(l) Histeron, yaitu gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari
sesuatu yang logis atau kebalikan dari urutan yang wajar,
misalnya menempatkan sesuatu yang terakhir pada awal
peristiwa.
(m) Pleonasme dan tautologi, yaitu suatu acuan disebut pleonasme
bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetapi utuh.
Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang
berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah
kata yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(n) Perifrasis, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang
diperlukan. Gaya ini mirip dengan dengan pleonasme.
Perbedaanya terletak dalam hal kata-kata yang berlebihan itu
sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.
(o) Prolepsis, yaitu gaya bahasa yang mempergunakan lebih
dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi.
(p) Erotesis, yaitu pertanyaan retoris yang merupakan semacam
pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau pembicaraan
dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan
penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki
adanya suatu jawaban. Dalam erotesis terdapat asumsi bahwa
hanya ada satu jawaban yang mungkin.
(q) Silepsis dan zeugma silepsis adalah gaya bahasa yang
mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan
menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan
kata pertama. Konstruksi secara gramatikal benar, tetapi secara
semantik tidak benar. Zeugma kata yang dipakai untuk
membawahi kedua kata berikutnya.
(r) Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud
mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian
memperbaikinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(s) Hiperbola, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan berlebihan dengan membesarkan-besarkan
sesuatu hal.
(t) Paradoks, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Paradoks juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena
kebenarannya.
(u) Oksimoron, yaitu acuan yang berusaha untuk menghubungkan
kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.
(2) Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau
persamaan (Keraf, 2004: 136). Berikut ini adalah penjelasan dan
contoh-contoh mengenai bermacam-macam gaya bahasa kiasan.
(a) Persamaan atau simile, ialah perbandingan yang bersifat
eksplisit yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal
yang lain. Kata-kata yang sering digunakan antara lain: seperti,
sama, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
(b) Metafora, ialah semacam analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora
tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagaikan, bagai, dan
sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(c) Alegori, adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan.
Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang
abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.
(d) Parabel, adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh
biasanya manusia yang selalu mengandung tema moral.
(e) Fabel, adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia
binatang, di mana binatang-binatang dan makhluk-makhluk yang
tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.
(f) Personifikasi, merupakan gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang
tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
(g) Alusi, ialah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan
antara orang, tempat, atau peristiwa.
(h) Eponim, ialah suatu gaya di mana seseorang yang namanya
begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama
itu dipakai untuk menyatakan sifat.
(i) Epitet, ialah suatu yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau sesuatu hal.
(j) Sinekdoke, ialah semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan atau mempergunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(k) Metonimia, ialah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian
yang sangat dekat.
(l) Antonomasia, ialah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud
penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau
gelar atau jabatan.
(m) Hipalase, ialah semacam gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang
seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
(n) Ironi, adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan
makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam
rangkaian kata-ckatanya.
(o) Sinisme, adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang
mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
(p) Sarkasme, adalah acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.
Gaya ini selalu menyakitkan dan kurang enak didengar.
(q) Satire, yaitu ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Satire mengandung kritik terhadap kelemahan manusia agar
diadakan perbaikan secara etis maupun estetis
(r) Inuendo, yaitu semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan
yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dan sugesti yang tidak
langsung dan tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(s) Antifrasis, yaitu semacam ironi yang berwujud penggunaan
sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja
dianggap sebagai ironi sendiri. Antifrasis dapat diketahui dengan
jelas apabila pembaca atau pendengar dihadapkan pada
kenyataan sebenarnya.
(t) Pun atau Paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan
kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam
maknanya.
Semua penjelasan tentang ragam gaya bahasa di atas, tidak
semuanya terdapat dalam naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit
karya Bambang Widoyo SP. Maka penelitian ini hanya mengacu dan
menitikberatkan pada karakteristik pemakaian gaya bahasa yang
dominan dalam nakah drama berbahasa Jawa Gapit tersebut.
4) Pencitraan
Salah satu sifat sastra adalah ―framing‖ (penciptaan kerangka seni), di
samping ―disinterested contemplation‖ (kontemplasi objektif) dan ―aesthetic
istance‖ (jarak estetis) (Aminudin, 1995: 35). Dalam hal ini masing-masing
pengarang membawa ciri yang berbeda yang dapat digunakan untuk
membedakan pengarang satu dengan yang lainnya.
Ketika berbicara masalah sastra sebagai karya imajinatif, maka seseorng
akan sampai pada kesadaran bahwa bahasa merupakan kunci mediumnya.
Bahasa sastra karena itu bersifat ambigu dan homonimitas (Sutejo, 2010: 18).
Bahasa yang digunakan pengarang dalam karya sastra khususnya naskah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
drama memang dipenuhi dengan pencitraan. Drama sebagai karya sastra
pemanggungan membutuhkan penulusuran yang detail dalam hal pencintraan.
Pencitraan itu sendiri sebgaimana dijelaskan oeh Wellek dan Warren
(1993:20) dapat ditelusuri dari yang paling sederhana sampai pada system
mitologi. Lebih lanjut dikatakan bahwa perbincangan pencintraan ini menjadi
tumpang tindih dengan penggunaan istilah citra, metafora, symbol, dan mitos.
Citra kemudian diformulasikan lebih jauh sebagai reproduksi mental, suatu
ingatan masa lalu yang bersifat inderawi an berdasarkan persepsi dan tidak
selalu bersifat visual (Wellek dan Warren, 1993: 236). Pandangan lain
tentang citra, dikemukakan Burhan Nurgiantoro (1998: 304) yang
mengelompokkan citra berdasrkan kelima indera manusia. Kelima citra
tersebut adalah (1) citra penglihatan (visual), (2) citra pendengaran
(auditoris), (3) citra gerak (kinestik), (4) citra rabaan (taktil termal), dan (5)
citra penciuman (olfaktori).
a) Citra penglihatan (visual imagery)
Mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek
dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang
bersifat inderawi dan berasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual,
maka ekspresi pengalaman masa llau akan terekpresikan sedemikian rup
oleh pengarang dengan instrument bahasa (Sutejo, 2010: 20).
Nurigantoro (1998: 305) memberikan contoh pencitraan harfiah sebagai
berikut.
―Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu
turun, membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menonjol
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
serba pekik kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka
itu celupkan di dalam air, sambil omong-omong dengan rekannya.
Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus halus. ―
Kutipan itu menunjukkan, bagaimana pelukisan keadaan yang
merupakan perwujudan dari pengalaman penglihatan. Karena itulah,
contoh di atas dapat digolongkan sebagai salah satu contoh citra
penglihatan. Citra penglihatan biasanya dapat memberikan rangsangan
kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang semula terlihat akan
tampak atau hair di epan penikmat (Sutejo: 2010: 21).
b) Citra pendengaran (audio imagery)
Sedangkan citra pendengaran merupakan bagaimana pelukisan
bahasa yang merupakan perujudan dari pengalaman pendengaran (audio).
Citra pendengaran juga memberi rangsangan kepada indera pendengaran
sehingga mengusik imajinasi pebaca untuk memahami teks sastraa secara
lebih utuh (Sutejo, 2010: 22). Untuk memperjelas pernyataannya Sutejo
memberikan contoh citra pendengaran yang dikutip dari novel Djenar
Maesa Ayu ―Mereka Bilang, Aku Monyet‖ seperti berikut.
―Saya mengisyaratkan pemain keyboard untuk memainkan La
bamba. Dengan perkasa pemain keyboard mengikuti permintaan
saya. Saya mulai bermain jingkrak-jingkrak engikuti irama music
dan suara saya yang terdengar merdu. Saya berputra ke kiri,
berputra ke kanan, bergerak maju, bergerak ke belakang, bertepuk
tangan, berteriak kencang, duduk di atas pangkuan pemain
keyboard dan semua orng yang ada di kafe itu ikut brsorak-sorai
dan tepuk tangan.‖
Begitulah, gambaran bagaimana pencitraan pendengaran
dipergunakan pengarang untuk merangsang intensitas pembacaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pembaca dalam memperoleh lukisan yag intensif. Citra pendengaran
biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indera pendengaran
sehingga hal-hal yang semula tak terlihat akan tampak atau hadir di
depan penikmat dengan rangsangan pendengaran.
c) Citraan penciuman
Citraan ini jarang digunakan oleh pengarang dan penyair. Karena
pencitraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui
pengalaman indera penciuman. Selanjutnya pencitraan jenis ini dapat
membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran
yang lebih utuh atas pegalaman indera yang lain (Sutejo, 2010: 23).
Untuk memperjelas, Sutejo mencontohkan lewat cuplikan Jazz,
Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Adjidarma berikut ini.
―…Maka. Barangkali maunya, aromanya Eternity berhubungan
dnegan cinta yang agung, cinta yang setia, abadi, dan selamanya.
Itulah yang kupikirkan ketika wanita dengan parfum Eternity ini
muncul bagaikan peri, dari balik kegelapan dengan busana serba
merah yang dirancang Donna Karan. Ia melangkah bagaikan
peragawati, begitu yakin dan begitu terjaga –sebuah pemanpilan
yang nyaris sempurna. Semakin sempurna jika disadari bahwa
semua ini menyangkut cinta yang kekal.‖
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahawa citra penciuman meski
hanya dengan menyebut nama (merk) parfum, memiliki simbolisasi dan
pembayangan akan imajnasi pembaca yang memberi rangsangan kepada
indera penciuman, sehingga pembaca tergiring akan symbol atau nuansa
tertentu yang diasosiasikannya.
d) Citra perabaannya (tactil imagery)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Citraan yang juga jarang dipergunakan oeh pengarang dan penyair
adalah citran perabaan. Citraan perabaan ialah penggambaran atau
pembayangan dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera
perabaan. Citra perabaan seringkali menggambarkan bagaimana sesuatu
secara ―erotic‖ dan ―sensual‖ dapat memancing imajinasi pembaca
(Sutejo, 2010: 24) Untuk memperjelasnya bagaimana citraan perabaan ini
dapat diilustrasikan dengan contoh berikut:
―Lembut wajahnya menyudutkan akau dalam kelap sepi. Sesekali
jerawatny, semakin menyentakkan imajinasiku untuk
menyentuhnya. Aku terkejut, ketika ujung mimpi kurasakan dingin
bibirnya yang merah. (Paing, 2001: 53)
e) Citra gerak (movement imgery)
Citraan ini barangkali ebih banyak digunakan pengarang
dibandingan dengan pencitraan penciuman dan pencitraan perabaan.
Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak,
tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada
umumnya. Citraan demikian seringkali dapat menggambarkan sesuatu
lebih dinamis dalam karya fiksi. (Sutejo, 2010: 25). Lebih lanjut Sutejo
mengemukakan bberapa kutipan untuk memperjelas pengertian citra
gerak ini.
―Tubuhnya tambah menggigil digerogoti demam. Tidurnya terus-
menerus disodok mimpi buruk. Semua berkelabat, menunpuk dan
membikinnya terpuruk. Peang selalu disergap bunyi rentetan
tembakan dan ledakan-ledakan….‖
‗Katiyem memandang kabut putih yang merambahi lembah dan
lereng gunung Srandil, melayah rendah kemudian meninggi,
mengambang ringan tersiram sinar matahari pagi‖
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa citraan gerak memiliki
simbolisasi dan pembayangan akan imajinasi pembaca yang memberi
rangsangan kepada keseluruhan indera untuk memperoleh penggambaran
imajinasi yang lebih intensif.
Dengan demikian pengertian dan ranah kajian stilistika terletak pada
penggunaan bahasa dan gaya kebahasaan seorang pengarang sehingga dapat
dilihat bagaimana cara pengarang mengolah dan memanfaatkan unsur-unsur
dan potensi bahasa dalam proses kreatifnya dalam usaha untuk memaparkan
ide, menceritakan peristiwa, dan kondisi tertentu yang akhirnya akan
memunculkan gaya (style) yang khas dari pengarang. Dalam hal ini style
seringkali ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti dalam
pemilihan diksi, bahasa figurative, metafora, dan sebagainya.
5) Pembelajaran Drama Berbahasa Jawa di Sekolah
Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 423.5/27/2011
yang tertuang dalam Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa)
untuk SMA/SMALB, SMK/MA Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah.
Dalam Kurikulum tersebut dijelaskan bahwa pembelajaran Bahasa Jawa di
sekolah diperlukan sebagai upaya penanaman nilai-nilai budi pekerti dan
penguasaan Bahasa Jawa, hal ini sesuai dengan Kompetensi Dasar pada
jenjang pendidikan SMU/K kelas XII semester 2, yaitu:
1.b mendengarkan rekaman drama/sandiwara,
2.b mendiskusikan isi drama/sandiwara,
3.b membaca naskah drama/sandiwara sesuai karakter tokoh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Naskah drama berbahasa Jawa Gapit ini memuat banyak pesan moral
yang dapat digunakan sebagai bahan perenungan, disamping kajian secara
strukturnya. Oleh karenanya naskah drama ini dapat dijadikan bahan atau
materi pengajaran yang sesuai bagi siswa di sekolah. Dengan mempelajari
muatan moral dan menganalisis dengan dasar teori keilmuan diharapkan
siswa dapat memetik pesan yang terangkum dalam naskah drama berbahasa
Jawa Gapit ini.
B. Penelitian yang relevan
Penelitian lain yang senada dengan judul yang peneliti angkat antara lain
dilakukan oleh Eko Marini dalam tesisnya untuk memperoleh gelar Magister di
UNS yang berjudul ―Analisis Stilistika dalam Novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata‖ penelitian ini memfokuskan pada aspek morfologis dan sintaksis
dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Adapun penelitian lain yang telah diterbitkan dalam jurnal internasional
yang dapat diakses peneliti melalui internet antara lain dari Ebi Yebo yang
berjudul Bahasa Figuratif dan Fungsi Stilistika dalam Puisi-Puisi Clark-
Bekeredemo berkonsentrasi pada hubungan tema dan bahasa figurasi dalam karya
sastra. Penelitan ini mengkhususkan pada pemakaian bahasa kiasan untuk
mendeskripsikan dan menginterpretasikan diolek penyair J.P Clark-
Bekederemo‘s.
Interpretasi Novel Hemingway Dengan Gaya Literal oleh Zhiqin Zhang
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa gaya bahasa dalam sastra merupakan
jembatan yang menghubungkan antara linguistic dan kritik sastra. Penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyebutkan bahwa tema dan nilai estetik yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk
linguistik yang dihasilkan pengarang, nada dan sikap yang meningkatkan
kekuatan afektif atau emotif dari pesan berkontribusi untuk karakterisasi dan
membuat fungsi realitas fiksi menjadi lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk
menginterpreatasikan novel Cat In The Rain karya Hemingway yang terfokus
pada penyimpangan kata benda dan kata kerja, struktur dan repetisi yang digunaka
untuk menunjukkan tema pokok dalam novel.
Penelitian lain yang berkaitan dengan stilistika dilakukan oleh Shenli Song
yang berjudul Sebuah Analisa Gaya Dari Cerpen Miss Brill Karya Katherin
Mansfield. Penelitian ini terfokus pada analisa teks: tingkat leksikal, gramatikal,
penelitian ini mengambil objek kajian berupa cerita pendek yang ditulis oleh
penuis perempuan.
Berkaitan dengan drama terdapat penelitian dengan judul Eksplorasi Nilai-
Nilai Moral Pada Remaja Melalui Drama, Marie Gervais. Penelitian ini meneliti
peran dari proses drama pada siswa SMP. Dalam penelitian ini siswa SMP
mengekplorasi nilai-nilai moral melalui dramatisasi yang dilanjutkan dengan
diskusi dan refleksi. Melelui penelitian ini dapat menunjukkan bahawa
keterlibatan dramatis yang berfokus pda kisah pribadi dapat menjadi alat
pendidikan moral bagi siswa SMP dengan signifikan.
C. Kerangka Berpikir
Karya sastra pada hakikatnya adalah suatu proses kreatif dan imajinatif.
Karya sastra merupakan suatu hasil kreatif dari pengarang, namun perlu diingat
bahwa pengarang mendapatkan dasar kreatif dan imajinatif adalah dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pengalaman-pengalaman hidup yang dia alami. Semua yang dialami oleh
pengarang selama hidupnya, dapat dipastikan turut memanifestasi lahirnya suatu
karya yang dihasilkan oleh pengarang tersebut. Naskah drama merupakan salah
satu ungkapan daya kreatif pengarang. Naskah drama diciptakan dengan muara
pada sebuah pementasan panggung. Sebelum berada di atas panggung, naskah
drama yang bermediakan bahasa perlu dipahami atau ditelaah dengan cermat guna
mengetahui makna secara mendalam.
Gapit merupakan buku kumpulan naskah karya Bambang Widoyo SP yang
memuat 4 naskah lakon yaitu Leng, Dom,Tuk, dan Rol. Naskah-naskah drama
berbahas Jawa yang termuat dalam Gapit merupakan salah satu bentuk karya
sastra yang mempunyai nilai lebih. Dari segi pemilihan kata, pencitraan dan gaya
bahasa yang digunakan Kentut (sapaan akrab Bambang Widoyo SP) memiliki
keunikan dan kekhasan tersendiri yang membuat Gapit terasa hidup. Untuk
mengetahui lebih dalam mengenai keunikan dan kekhasan bahasa dalam naskah-
naskah drama ini maka, dapat dikaji dari sudut pandang kebahasaan yaitu
stilistika.
Kajian stilistika pada naskah drama berbahasa Jawa Gapit akan menitik
beratkan pada telaah penggunaan diksi, gaya bahasa, pencitraan, dan aspek bunyi
mengingat teks ini merupakan naskah drama dengan muara akhir adalah
pemanggungan. Sehingga telaah dalam bentuk kebahasaan seperti itu perlu
dilakukan agar pemahan dan pemaknaan pesan tidak menjadi kabur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Naskah drama sebagai sarana penyampai pesan, naskah drama berbahasa
Jawa Gapit memuat banyak fakta sosial dan pesan moral yang sesuai sebagai
bahan ajar di sekolah yang di dasarkan pada kurikulum yang berlaku.
Berikut disampaikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Gambar 1. Bagan kerangka berpikir
Naskah Drama Berbahasa Jawa Gapit
Karya Bambang Widoyo SP
Pencitraan Gaya Bahasa Diksi
Relevansi dengan Pembelajaran
bahasa Jawa di sekolah
Bunyi Bahasa
Analisis Stilistika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan objek kajiannya adalah karya sastra
berupa naskah drama. Objek penelitian ini adalah kumpulan naskah drama
berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP. Penelitian ini tidak
terikat oleh tempat dan waktu yang khusus. Penelitian ini dapat dilakukan kapan
saja tanpa harus terpancang pada satu tempat dan waktu tertentu. Penelitian ini
dilakukan selama 15 bulan, yakni bulan Juni 2011 sampai Agustus 2012.
B. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk mengungkapkan berbagai
informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk
menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok),
keadaan, gejala, atau fenomena yang lebih berharga daripada hanya pernyataan
dalam bentuk angka-angka dan tidak terbatas pada pengumpulan data melainkan
meliputi analisis dan interpretasi data (Sutopo, 2002: 8-10).
Pemilihan jenis penelitian kualitatif deskriptif ini disesuaikan dengan
permasalahan yang dibahas dan tujuan penelitian. Untuk membahas permasalahan
dan mencapai tujuan penelitian, penelitian kualitatif deskriptif menggunakan
strategi berpikir fenomenologis yang bersifat lentur dan terbuka serta menekankan
analisisnya secara induktif dengan meletakkan data penelitian bukan sebagai alat
64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pembuktian, tetapi sebagai modal dasar untuk memahami fakta-fakta yang ada
(Sutopo, 2002: 47). Fakta yang dideskripsikan adalah 1) keunikan pemilihan dan
pemakaian bunyi bahasa dan diksi dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit
karya Bambang Widoyo SP; 2) penggunaan aspek gaya bahasa dan pencitraan
dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP; dan 3)
mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi naskah berbahasa Jawa Gapit karya
Bambang Widoyo SP dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa penelitian ini diarahkan untuk memperoleh deskripsi yang
objektif dan akurat dari naskah rama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang
Widoyo SP.
C. Data dan Sumber Data
Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam
arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti (Subroto,
1992: 34). Data-data yang dimaksudkan di atas akan tersedia pada sumber-sumber
data yang juga disediakan alam.
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama berbahasa Jawa Gapit
karya Bambang Widoyo SP yang diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya dan
Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, cetakan pertama Februari 1998 setebal
xiv + 302 halaman. Buku kumpulan naskah ini dipilih sebagai seumber data
karena berbagai keunggulan yang melekat padanya. Keunggulan paling menonjol
adalah menggunakan bahasa ngoko sebagai pengejawantahan kondisi sosial pada
masanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Selanjutnya, sumber data itu diambil cuplikan bahasa sebagai data primernya.
Data primer adalah data yang secara langsug berkaitan atau berkenaan dengan
masalah yang diteliti dan secara langsung diperoleh dari sumber, yaitu naskah
drama berbahasa Jawa dalam Gapit.
Data dalam penelitian ini adalah kata-kata, konsep-konsep dan norma yang
berkaitan dengan satuan lingual, fonem, morfem, leksikal, sintaksis, dan wacana.
Objek kajian ini adalah dialog dalam naskah drama, maka data yang diperoleh
adalah data berkaitan dengan data berupa (1) unsur bunyi, yang berkaitan dengan
aspek pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa, seperti rima, aliterasi, asonansi, unsur
kata yang berkaitan dengan diksi atau pilihan kata seperti tembung garba,
wangsalan, repetisi, dan lain-lain, (2) berkaitan dengan aspek semantik, antara
lain penggunaan bahasa figurative dan pencitraan.
D. Teknik Sampel
Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling yang bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu. Menurut
H.B. Sutopo (2002: 56) teknik purposive sampling merupakan pengambilan
cuplikan atau sampel didasarkan atas pertimbangan tertentu dengan
kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi
sumber data yang mantap.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah teknik pustaka, teknik simak dan catat. Teknik pustaka yaitu pencarian data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan menggunakan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakian
bahasa sinkronis (Subroto, 1992: 42). Teknik pustaka merupakan pengambilan
data dari sumber tertulis oleh peneliti dalam rangka memperoleh data beserta
konteks lingual yang mendukung untuk dinalisis. Pengumpulan data melalui
teknik pustaka ini dilakukan dengan mambaca, mencatat, dan mengumpulkan
data-data dari sumber data tertulis. Selanjutnya sumber tertulis itu dilakukan
pembacaan dengan seksama lalu ipilih tuturan yang relevan sebagai data yang
dianalisis. Setelah itu, data dicatat dalam kartu data. Data-data yang telah
dikumpulkan lalu diperiksa sesuai dengan rumusan masalah untuk dianalisis.
Pengambilan data dilakukan dengan teknik simak dan catat yaitu peneliti
sebagai instrument kunci melakukan penyimakkan terhadap data secara cermat.
Hal ini dimaksudkan agar peneliti mengetahui wujud data penelitian yang benar-
benar diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Jadi terdapat
aspek penyeleksian dalam pengambilan data dari sumber data. Penyimakan secara
cermat dan teliti itu kemudian dilakukan pencatatan data. Penyimakan itu
sebenarnya dapat dilakukan baik terhadap aturan-aturan yang dilisankan maupun
yang dituliska atau tertulis (Subroto, 1992: 41-42). Pencatatan data dalam
penelitian ini dengan menerapkan kartu data. Data dicatat pada kartu data yang
telah disipakan dengan diberi nomor urut data dan keterangan sesuai dengan
masalah yang diteliti sehingga akan mudah mengklasifikasikan data dan
menganalisisnya. Contoh kartu data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Hal Data Ket
1 69 BONGKREK
Uwuh sing apik bisa dinggo rabuk. Yen
uwuhing uwuh? Nanging Lik,
kula boten purun yen mung diajeni kaya
uwuh. Bongkrek dudu uwuh.
Repetisi
2 102 KECIK
Mas, yen saking Jakarta ajeng rawuh, wiwit
camat nganti tekan lurah
sakbayane kabeh padha iwud nyiyapke,…
GB =
antiklimaks
3 80 BONGKREK:
Daktohi nyawa, Mbok arepa wong pabrik
nggunake punggawa
kelurahan nganti tekan kabupaten pisan ta,
aja maneh sakpekarangan,
sakpucuke eri bae ora arep daksorohke.
GB =
Klimaks
Table 1. Kartu Data
F. Uji Validitas Data
Keabsahan data dapat dijamin dengan teknik trianggulasi. Menurut Lexy J.
Moleong, triangulasi merupakan suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
berfungsi sebagai pembanding atau pengecek terhadap data dengan memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data (1995: 178)
Penelitian ini digunakan triangulasi data dan triaggulasi teori. Trianggulasi
data berupa data-data tertulis yang termuat dalam naskah drama berbahasa Jawa
Gapit karya Bambang Widoyo SP dan data berupa CD pementasan Teater Gapit
yang mementaskan lakon yang ada dalam buku kumpulan naskah tersebut.
Adapun trianggulasi teori digunakan untuk pengecekan data dengan teori lain
yang relevan, dalam hal ini teori-teori yang berhubungan dengan bahasa, stilistika,
dan pembelajaran bahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
G. Teknik Analisis Data
Kegiatan proses analisis dalam penelitian kualitatif pada dasarnya dilakukan
secara bersamaan dengan proses pelakasanaan pengumpulan data. Teknik analisis
yang digunakan adalah analisis mengalir. Analisis mengalir ini terdiri dari tiga
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Tiga kegiatan ini terjadi secara bersamaan dan saling
menjalin. Baik sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data secara pararel
(Milles, 1992: 13). Bilamana hal itu tidak dilakukan maka akibatnya peneliti akan
banyak menghadapi kesulitan karena banyaknya data yang berupa deskripsi
kalimat. Proses menganalisis data dalam penelitian ini dapat dijelaskan seperti
berikut ini.
1. Pengumpulan Data
Merupakan proses awal penelitian dengan mengumpulkan data seakurat dan
sedetail mungkin. Setelah data dikumpulkan langkah selanjutnya adalah
kegiatan pengklasifikasian data. Langkah mengklasifiasikan data ini dilakukan
dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Klasifikasi itu dilakukan dengan
tujuan untuk kepentingan analisis. Klasifikasi data ini mencakup pemanfaatan
aspek bunyi, pemilihan diksi, penggunaan gaya bahasa dan pencitraan. Semua
data yang berkaitan dengan masing-masing aspek itu dikumpulkan menjadi
satu kemudian diamati secara kritis dan mendalam.
2. Reduksi Data
Langkah selanjutnya adalah reduksi data, yaitu proses seleksi data,
pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data kasar dalam rangka penarikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kesimpulan. Pada saat reduksi data ini, data yang telah diklasifikasikan
diseleksi untuk memilih data yang berlimpah kemudian dipilah dalam rangka
menemukan fokus penelitian. Artinya data berupa bagian deskripsi dan
refleksinya disusun dalam rumusan yang singkat berupa pokok-pokok
penemuan yang penting yang disebut reduksi data.
Sejak pengumpulan data, peneliti sebagai instrument kunci sudah mulai
memahami adanya data, karakteristik data dan hal-hal yang dianggap bernilai
dalam penatikan kesimpulan. Jadi data itu pada satu segi harus ditujukan
sebagai data pembuktian (data display), namun pada segi yang data semakin
dapat ireduksi (data reduction). Reduksi data dilakukan untuk menangkap
makna dan fungsi yang menonjol dan utama daris egi tertentu yang dianalisis
(Subroto, 1997: 60).
3. Penyajian Data
Setelah itu, membuat penyajian data. Menurut Sutopo (2002: 61) penyajian
data merupakan proses merakit atau mengorganisasikan informasi yang
ditemukan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Mengorganisaikan
informasi penelitian yang ditemukan ini merupakan proses intelektual yang
penting dalam penelitian kualitatif. Adapun komponen unsur-unsur drama
dalam kerangka kajian stilistika itu disajikan dalam bentuk uraian, pemanfaatan
aspek bunyi dan kekhasan pemilihan diksi, penggunaan gaya bahasa serta
pencitraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Verifikasi Data
Langkah berikutnya membuat verivikasi atau penarikan kesimpulan sebagai
langkah yang esensial dalam proses penelitian. Penarikan kesimpulan ini
diasarkan atas pengorganisasian informasi yang diperolah dalam analsisi data.
Kemudaian dilakukan penafsiran intelektual terhadap simpulan-simpulan yang
diperoleh. Peneliti menarik kesimpulan dan verifikasi berdasrkan reduksi
maupun sajian data, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan
pengumpulan data yang sudah terfokus untk mencari penukung kesimpulan
yang ada dan juga pendalaman untuk menjamin mentapnya hasil penelitian
(Sutopo, 2002: 38) Komponen analisis di atas sifatnya mengalir yang dapat
ditunjukan dengan gambarsebagai berikut:
Pengumpulan data
Reduksi Data
Pra Pasca
Sajian Data Analisis
Pasca
Penarikan Kesimpulan
Pasca
Gambar 2. Flow Model of Analysis (Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman,
1995: 18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pemanfaatan Bunyi-bunyi Bahasa Naskah Drama Dom, Leng dan Tuk
(DLT) dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP.
Pembahasan mengenai pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa dalam naskah
drama DLT karya Bambang Widoyo SP., memuat bunyi-bunyi bahasa yang
digunakan pengarang untuk memperindah tuturan pelaku dalam naskah. Adapun
bunyi-bunyi bahasa yang digunakan pengarang yang dapat ditemui antara lain:
purwakanthi ‗persajakan‘, yaitu asonansi atau purwakanthi swara ‗persamaan
bunyi vokal‘, aleterasi atau purwakanthi sastra ‗persamaan bunyi konsonan dalam
pembentukan kata, kalimat, atau frasa‘, dan purwakanthi lumaksita atau basa
‗pengulangan suku kata atau kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya‘.
Keindahan aspek bunyi dalam sebuah naskah sastra sepertinya menjadi
sebuah daya tarik tersendiri. Tidak hanya pemanfaatan dari sisi makna atau pesan
yang dimuat agar sebuah karya sastra menjadi menarik, keindahan bunyi dalam
setiap kata-kata yang digunakan dapat mejadi daya tarik tersendiri. Karya sastra
diciptakan pengarang untuk menyampaikan pesan, sama halnya dengan naskah
drama ini. Naskah ini menjadi semakin menarik karena ditulis dengan
menggunakan bahasa Jawa ngoko yang cenderung kasar. Namun apabila
dicermati lebih dalam, dialog-dialog tokohnya terdengar estetis dengan permainan
bunyi ditiap katanya. Hal ini menjadikan naskah ini menarik untuk dibicarakan
72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
disamping makna yang dikandungnya. Untuk mengetahui keindahan aspek bunyi
berikut hasil analisis data purwakanthi ‗persajakan‘ dalam naskah drama DLT.
a. Purwakanti Swara (Asonansi)
Purwakanti Swara merupakan perulangan bunyi yang didasarkan pada
persamaan bunyi vokal. Purwakanti swara dalam bahasa Indonesia disebut
dengan asonansi, yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang
sama (Gorys Keraf, 2004: 130). Bunyi bahasa dalam bahasa Jawa dapat
dikelompokkan mejadi 3 kelompok, yaitu: vokal, konsonan, dan semivokal.
Fonem vokal dalam bahasa Jawa berjumlah enam buah, yaitu: /i, e, ǝ, a, u, o/.
(Wedhawati, 2006: 65).
Pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa direalisasikan dalam beberapa fungsi,
antara lain: (1) efek keindahan yang timbul akibat adanya paduan bunyi yang
memberikan unsur musikalitas, (2) gambaran arti tertentu sejalan dengan
gambaran makna yag dinuansakan oleh kata-kata pembentuk paduan bunyinya,
(3) gambaran suasana tertentu sebagaimana tertampilkan oleh ciri artikulasi,
bentuk, dan cara penulisan, (4) gambaran hubungan kata atau unsur pembentuk
teks, mampu mendekatkan kata-kata/makna dalam teks secara asosiatif
(Aminuddin, 1995: 155). Berikut dijelaskan pemanfaatan perulangan bunyi
bahasa yang membentuk puswakanti swara dalam DLT.
1) Purwakanthi swara (Asonansi) /a/
Pola purwankati swara /a/ dalam naskah drama ini ditemui hampir di tiap
dialog tokoh-tokohnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(1) BONGKREK
Bengung tanpa irama…kaya ana neng neraka…! (Leng, hal 70)
‗Mendengung tanpa irama…seperti tengah di neraka…‘
(2) BIBIT
Apik-apik, apik iki wis ana sing balila. Lha terus? (Tuk, hal 160)
‗Baik-baik, baik ini sudah ada yang membangkang. Lha terus?‘
(3) KRESNA GAMBAR
....Mbok gedhongana, mbok kuncenana, wong mati mangsa
wurunga....(DOM, 235)
Meskipun di dalam gedung, dikunci (dikunci/disembunyikan dalam gedung)
orang meninggal pasti tetap terjadi.
(4) MBAH JAGA
...... katrem olehe padha pinter-pinteran, bagus-bagusan, sugih-sugihan,
rosa-rosanan, menang-menangan ..... (DOM, 251)
Betah dengan saling adu kepandaian, adu kecakapan, adu kekayaan, adu
kekuatan, adu kemenangan.
(5) MBAH JAGA
..... dhasar dhudha keplengkang, sukur bojonmu mblandhang. (DOM, 235)
Dasar duda terpleset, salahmu sendiri istrimu pergi.
(6) LANDA BAJANG ...Bocah sing kudu diruwat ben ora marakake kiamat. (DOM, 268)
Anak yang harus diruwat supaya tidak membuat kiamat.
Data (1), (2) dan (3) asonansi bunyi /a/ digunakan pengarang dalam naskah
drama Leng,Tuk, Dom dan pemanfaatan purwakanthi swara ‗asonansi‘ /a/ pada
data (1) di atas memanfaatkan realiasi bunyi paenultima (suku kata kedua dari
belakang), ultima (suku kata terakhir), dan awal suku kata. Persamaan bunyi /a/
tidak menampakkan disalah satu posisi, namun ketiga posisi yang ditempati bunyi
/a/ dalam tuturn Bongkrek mempunyai persamaan dalam posisi terbuka, sehingga
asonansi /a/ dalam data (1) dapat dikatakan sebagai asonani /a/. Purwakanti swara
yang digunakan dalam dialog Bongkrek digunakan untuk menggambarkan
kemarahan Bongkrek dengan adanya pabrik yang selalu berisik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Asonansi bunyi /a/ pada data (2) terdapat pada suku kata pertama dan ultima
(suku kata terakhir). Bunyi /a/ yang digunakan dalam dialog Bibit muncul dalam
bentuk yang linier memberikan efek keindahan pengucapan dan tekanan yang
tegas dalam menggambarkan kekesalan Bibit. Untuk asonansi bunyi /a/ pada data
(3) menggunakan asonansi bunyi ultima pada kata gedhongana, kuncenana, mati,
mangsa, dan wurunga. Suku kata terakhir yang digunakan dalam kata-kata di atas
berada dalam posisi terbuka. Dalam data (3) juga ditemukan penggunaan asonansi
bunyi /a/ antepaenultima yang terdapat dalam kata mangsa. Asonansi bunyi /a/
pada data (3) dipilih pengarang dalam dialog yang digunakan Kresna Gambar
ketika mencertakaan kondisi Bajang yang tidak berani menghadapi kematian.
Penggunaan asonansi /a/ dalam dialog-dialog tokoh memunculkan tekanan
ritmik yang kuat dan indah. Dalam bahasa Jawa ada satuan-satuan lingual yang
bentuk foniknya dimanfaatkan pengarang untuk memunculkan efek tertentu.
Seperti bunyi /a/ pada data (2), (3), (4), (5), dan (6) digunakan pengarang untuk
mengambarkan kemaran atau kekesalan tokoh atas suatu peristiwa.
2) Purwakanthi swara ‘Asonansi’ /i/
Naskah drama berbahasa Jawa Gapit tidak hanya sarat makna sosial, namun
juga memuat keindahan bahasa. Hal ini nampak dalam penggunaan asonansi /i/
yang imanfaatkan pengarang dalam dialog yang ringan, tidak disarati dengan
emosi (kemarahan), santai, ringan, dan sebagainya.
Pola asonansi /i/ dalam naskah LTD ini muncul secara sama, hal ini dapat
dilihat dalam data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(7) BONGKREK
Sing diadepi niku empun kaya barang mati, empun padha boten duwe ati.
(Leng, hal 69)
‗Yang dihadapi itu sudah seperti barang mati, sudah tidak mempunyai
hati.‘
(8) SOLEMAN
Esuk mau kok ya nganggo lali niliki, lali makani! (Tuk, hal 149)
‗Pagi tadi pakai lupa melihat, lupa memberi makan.‘
(9) LIK BISMA
Mbok ya wingi-wingi diwenehake, kakehan golek bathi…! (Tuk, hal 149)
‗Kok ya kemarin tidak diberikan, kebanyakan mencari untung…!‘
(10) MBAH KAWIT
Welinge wong mati kuwi malati. (Tuk, hal 193)
‗Amanat orang meninggal itu bertuah.‘
(11) MBAH JAGA
..... krasa yen dak gemateni, ngerti yen dak openi, mula ya ajeg olehe
ngancani. (Dom, 252)
Mengerti jika saya sayang, mengerti jika saya pelihara, maka dari itu dia
selalu menemani.
(12) DEN SETRA
Ora idep isin…! Wong cilik sing mbok enggo ancik-ancik!…. (Dom, 258)
Tidak tahu malu..! orang kecil yang kau jadikan alas!
(13) DEN SETRA
….siji mbaka siji diprithili….Nimas-nimas, mung kari sliramu sing bisa dak
enggo gondhelan, duduhna dalanku, penerna lakuku, nimas dak tunggu
wisik wangsitmu. (Dom, 264)
satu demi satu diambil…Dinda-dinda, hanya kau yang bisa aku jadikan
pegangan, tunjukkan jalanku, benahi langkahku, dinda aku tunggu ilham
darimu.
Data (7-13) menggunakan purwakanthi swara (asonansi) bunyi /i/, yaitu
pada kata diadepi (dihadapi), mati (mati), ati (hati). ,lali niliki (lupa menengok),
lali makani (lupa memberi makan), wingi (kemarin), bathi (untung), mati (mati),
kuwi (itu), dan malati (bertuah), gemateni (disayang), ngerti (tahu), openi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(pelihara), ngancani (menemani). Data-data berpola asonansi bunyi /i/ dengan
posisi ultima (suku kata terakhir).
Pengucapkan bunyi /i/ membuat pita suara menyempit, sehingga bunyi yang
dihasilkan akan terdengar nyaring dan ringan. Unsur fonetik tersebut dapat
mencerminkan/mengasosiasikan sesuatu yang terdengar indah, merdu, disamping
juga dari segi artikulatoris yang menyempit menyarankan sesuatu hal yang kecil
seperti dalam kata wong cilik yang berarti rakyat jelata.
3) Purwakanthi swara (Asonansi) /e/
(14) BEDOR
(BENGOK SERU ANA NJABA LAWANG) Hoi, aja gawe ribut ana kene!
Aja bengok-bengok ana kene, gawe rame, yen rame wae neng kene sing
adoh… (Leng, hal 74)
‗(TERIAK KERAS DI LUAR PINTU) Hoi, jangan membuat kekacauan di
sini! Jangan berteriak-teriak di sini, jangan gaduh, kalau bikin gaduh yang
jauh…‘
(15) SOLEMAN
Tebus, tebus nggedebus apa? (Leng, hal 138)
‗Tebus, tebus paling berbohong?‘
(16) MBOKDE JEMPRIT
Magersaren kene dadi jejel riyel. (Tuk, hal 183)
‗Margesaren sini jadi penuh berdesak-desakan.‘
(17) MBOKDE JEMPRIT
… ngregeti papan apik, mula mung diular-ulur dhuwite ben saya
kandel, regane saya ndedel,… (Tuk, hal 187)
….mengotori tempat yang bagus, maka hanya ditunda-tunda, uangnya
supaya tebal, harganya lebih melejit.
(18) DEN SETRA
Ora idep isin…! Wong cilik sing mbok enggo ancik-ancik! Wis kakehan
tumbale, ora kepetung pitukone, wis luwih saka ganep bebantene, mlaku
durung bener wis keladuk keblinger… Rungokna, aja ndhendheng, kae
gilo, akeh sing dha sambat, akeh sing isih kesrakat, padha nangis merga
sekarat, aja malah mbok idak-idak, mbok tetangis, mbok bungkem, mbok
singkirke, mbok rampas pengarep-arepe, mbok rampas donyane. Bumi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lemahmu iki arep mbok dadekke apa? Elinga kadangmu sing miwiti
mbabat alas kene, dheweke kudune isih bisa bebadra…. (Dom, 258)
Tidak tahu malu..! orang kecil yang kau jadikan alas! Sudah terlalu banyak
korbannya, tidak terhitung kerugiannya, sudah lebih dari cukup korbannya,
jalan saja belum benar sudah bertingkah…. Dengarlah, jangan bandel, itu
banyak yang mengeluh, banyak yang masih susah, banyak yang menangis
karena sekarat, jangan justru kau injak-injak, kau buat menangis, kau
bungkam, kau singkirkan, kau rampas cita-citanya, kau rampas
kehidupannya. Bumi tanahmu ini mau kau jadikan apa? Ingat kata-katamu
ketika awal mula, dia harus masih bisa merintis…..
Bunyi asonansi /e/ dapat muncul pada suku kata terakhir (ultima) dalam data
(14) bengok-bengok ‗berteriak‘, gawe ‗buat‘, wae ‗saja‘. Bunyi /e/ tidak pernah
ditemui pada awal suku kata sehingga tidak pernah berada pada posisi tertutup.
Dengan demikian posisi asonansi /e/ pada data (14) menunjukka pola asonansi
ultima dengan posisi tertutup. Data (14) apabila diucapkan indah dan terdengar
berirama, sebab adanya bunyi vokal /e/ yang muncul secara berturut-turut. Hal
serupa juga ditemui dalam data (15).
Pada data (16) asonansi /e/ terdapat pada paenultima terdapat dalam kata
riyel ‗penuh sesak‘. Asonansi paenultima, dalam data (17) ditemui dalam kata ,
kandel ‗tebal‘ dan ben ‗supaya‘, disamping asonansi paenultima juga terdapat
asonansi ultima yaitu pada kata ngregeti ‗mengotori‘, regane ‗harganya‘, dan
ndedel ‗melejit‘ (18). Asonansi /e/ dalam data (13-17) digunakan pengarang
secara berselingan dengan asonansi /ǝ/ sehingga pengucapannya terdengar indah.
Asonansi /e/ dalam dialog antar tokoh di atas menggambarkan situasi yang sangat
dari suatu peristiwa. Hal ini juga mempertegas suatu keadaan atau menunjukkan
sikap emosi kesal.
4) Purwakanti swara (Asonansi) /ǝ/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(19) BEDOR
Boten enten sinten-sinten. (Leng,hal 74)
‗Tidak ada siapa-siapa‘
(20) PAK REBO
Dingge gawe gedung serbaguna, dingge gawe gapura pitulasan, dingge
nyuguh yen nampa tamu, dingge keperluan lomba desa lan liya-liyane.
(Leng, hal 106)
‗Digunakan untuk gedung serbaguna, digunakan untuk gapura tujuh
belasan, digunakan mempersiapkan menerima tamu, digunakan
keperluan lomba desa dan lain-lain.‘
(21) MBOKDE JEMPRIT
Salahe ora gelem melu Jupri, genah kopen, genah kajen. (Tuk, hal 165)
‗Salahnya tidak ikut Jupri, pasti dirawat, pasti dihargai.‘
(22) SUARA WADON
Mburi kene sumpek, cedhak ilen-ilen kalen, ambune badheg. (Tuk, hal
176)
‗Dibelakang sini sempit, dekat aliran selokan, baunya tidak sedap.‘
(23) DEN SETRA
Dak leren, wong nyatane aku yawis ora kajen….!(Dom, 260)
Aku kan istirahat, kenyataannya aku sudah tidak dihormati…
Penggunaan asonansi bunyi /ǝ/ dimanfaatkan pengrang secara variatif dalam
dialog-dialog tokohnya. Asonansi /ǝ/ ini juga digunakan pengarang secara
berselingan dengan asonansi /e/ pada data (19-23). Penggunaan asonansi pada
data (19) terdapat pada pola suku kata pertama dan pola suku kata kedua dari
belakang (paenultima).
Keserasian asonansi /ǝ/ pada data (10) dalam kata dingge ‗dibuat‘, gawe
‗membuat‘, gedhung ‗gedung‘, keperluan ‗keperluan‘, desa ‗desa‘, dan liyane
‗lainnya‘. muncul pada suku kata pertama dari belakang (ultima). Penggunaan
asonansi /ǝ/ dalam suku kata kedua dari belakang (paenultima) dijumpai dalam
kata serbaguna ‗serbaguna‘, keperluan ‗keperluan‘ yen ‗jika‘. Penggunaan
asonansi /ǝ/ pada data (19) menggambarkan suasana dialog yang santai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kombinasi penggunaan asonansi /ǝ/ baik pada suku kata terakhir (ultima)
maupun pada suku kata kedua dari belakang (paenultima) juga ditemui dalam data
(21-23). Penggunaan asonansi /ǝ/ data (19-23) pada suku kata pertama dari
belakang (ultima) menempati posisi terbuka, sedangkan asonansi /ǝ/ pada suku
kedua dari belakang (paenultima) berada pada posisi tertutup.
Peggunaan kombinasi asonansi /e/ dan /ǝ/ dapat mengasosiasikan sesuatu
yang terpendam, sesuatu yang tersimpan dalam hati, seperti ada keluh/sesal yang
tak bisa diungkapkan seperti dalam dialog Mbok Jemprit dan Den Setra.
5) Purwakanthi swara (Asonansi) /u/
(24) PAK REBO
Iki isih sore Pak, bocah-bocah durung dha turu. Saru! (Leng, hal 82)
‗Ini masih sore Pak, anak-anak belum tidur. Saru!‘
(25) MBAH KAWIT
Ning kuwi rak dudu uyuhmu, dudu uyuh dhalang. Ya beda! (Tuk, hal 141)
‗Tetapi itu bukan air kencingmu, bukan air kencing dalang. Berbeda!‘
(26) BONGKREK
Swara kok ora ana penake,…grung-grung-grung…bengung tanpa
irama…kaya ana neng neraka…! (Leng, hal 70)
‗Suara kok tidak ada enaknya,… grung-grung-grung… mendengung tanpa
irama…seperti berada di neraka…‘
(27) JANAKA
(AREP NENGAHI) nggih, boten susah tutuh-tutuhan, uncal-uncalan
kaluputan, tuding-tudingan kesalahan. (Leng, hal 121)
‗(MAU MENENGAHI) Iya, jangan saling menuduh, jangan saling
melempar kesalahan, jangan saling menyalahkan.‘
(28) KRESNA GAMBAR
Kekasut rejekimu, kekasut nasibmu, kekasut kekarepanmu! .... (Dom, 288)
Terkocok rejekimu, terkocok nasibmu, terkocok keinginanmu!....
Pada data (24) menggunakan asonansi bunyi /u/, yaitu pada kata durung
‗belum‘, turu ‗tidur‘, dan saru „saru‘. Penggunaan asonansi /u/ ini menempati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
posisi di suku kata pertama dari belakang (ultima) dan suku kata ketiga dari
belakang (antepaenultima). Pada data (24) ditemukan penggunaan asonansi /u/
dengan posisi suku tertutup pada kata durung ‗belum‘.
Pada data (24-28) pada kata kuwi ‗itu‘, dudu ‗bukan‘, uyuhmu ‗air
kencingmu‘, rejekimu ‗rejekimu‘, naasibmu ‗nasibmu‘ dan kekarepanmu
‗keinginanmu‘ menggunakan atau menempati suku terbuka. Data (24-28) asonansi
bunyi /u/ dengan suku tertutup /ng/ pada suara durung ‗belum‘, grung-grung-
grung dan kata mbengung ‗mendengung‘. Dalam data (27) di atas menggunakan
asonansi bunyi /u/ dan asonansi suku tertutup bunyi /n/ dengan dikombinasi bunyi
/a/, juga menggunakan aleterasi /t/, /h/, dan /l/. Pada data (28) suku tertutup /t/
terdapat dalam kata kekasut ‗terkocok‘.
Penggunaan asonansi /u/ dalam dialog tokoh-tokoh mampu menujukkan
suatu kondisi emosional tokoh yang menggebu-gebu dan cenderung hiperbolis
seperti yang diungkapkan oleh Bongkrek yang menggerutu karena bising oleh
suara pabrik yang menganalogikan bagai berada di neraka.
6) Purwakanti swara (Asonansi) /o/
(29) KRESNA GAMBAR
Sampeyan ampun kesusu nglokro! Ampun kendho! ... (DOM, 259)
Anda, jangan terburu-buru patah semangat! Jangan tidak bersemangat!....
(30) DEN SETRA
…..dicencang kareben ora bisa obah dimen ora bisa polah, .... (DOM, 260)
Ditali biar tidak bisa bergerak.
(31) DEN SETRA
(KAMI TENGGENGEN, KEDUDUT ATINE WERUH KANCANE SING
UGA WIS KALAH) Kelong meneh…Dhuh Gusti, paringana kekiyatan…!!
Sida gothang tenan, iki wis entek-entekan, kelangan botoh, kesatan jago.
Apa ya kelakon bakal kepaten obor…(Dom, 260)
(TERESIMA,TERHARU MELIHAT TEMANNYA JUGA KALAH)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berkurang lagi…Duh Gusti, berilah kekuatan…!! Benar-benar pincang,
ini sudah titik penghabisan, kehilangan botoh, kehabisan jago. Apa harus
sampai kehilangan penerang jiwa…satu demi satu diambil…Dinda-dinda,
hanya kau yang bisa aku jadikan pegangan, tunjukkan jalanku, benahi
langkahku, dinda aku tunggu ilham darimu.
Perulangan asonansi bunyi vokal /o/ mayoritas muncul di awal suku kata.
Seperti data (30) pada kata ora ‗tidak‘, obah ‗bergerak‘, dan data (31) pada kata
obor ‗obor‘ dan gothang ‗pincang‘. Penggunaan asonansi bunyi vokal /o/ pada
suku kata kedua dari belakang (paenultima) hanya ditemukan pada kata botoh
dalam data (31).
Penggunaan asonansi /o/ dalam dialog tokohnya dipilih pengarang untuk
megungkapkan suatu kondisi yang serba putus asa, tak bersemangat dengan nilai
rasa yang nelangsa.
Selain penggunaan asonansi suku terbuka sepereti data yang diuraikan di
atas, dalam naskah drama ini juga dijumpai penggunaan asonansi suku kata
tertutup seperti dalam data berikut.
7) Asonansi suku tertutup /g/
Bunyi konsonan /g/ dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit ini sangat
minim digunakan pengarang. Meskipun demikian, pemanfaatan bunyi konsonan
/g/ masih dapat dijumpai dalam naskah drama ini seperti yang terdapat dalam data
berikut ini.
(32) DEN SETRA
… Ora…, ora, aku durung kalah, aku kudu bisa bali, bisa ngadeg jejeg.
…(Dom, 228)
… Tidak… tidak, aku belum kalah, aku harus bisa kembali, bisa berdiri
tegak. …
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(33) DEN SETRA
…. Aku kaya kelangan garan, ora duwe gondhelan, lemes miyar-miyur
nganti ora bisa ngadeg jejeg… (Dom, 280)
… Aku seperti kehilangan tongkat, tidak punya pegangan, lemas, sampai
tidak bisa berdiri tegak…
Data (32) dan (33) bunyi konsonan /g/ muncul pada suku kata terakhir
seperti pada kata ngadeg jejeg ‗berdiri tegak‘ dan muncul pada suku kata pertama
seperti dalam kata garan ‗tongkat‘ dan gondhelan ‗pegangan‘.
Penggunaan bunyi konsona /g/ yang digunakan pengarang sepertinya ingin
menunjukkan bahwa tokoh sudah tidak mempunyai semangat hidup. Hadirnya
konsonan /g/ memberikan penegasan pada kondisi yang mandeg, tidak
bersemangat dan putus asa seperti yang ditampilkan oleh tokoh Den Setra.
8) Asonansi suku tertutup /h/
Aliteasi bunyi /h/ dalam naskah drama berbahasa Jawa ini juga jarang
digunakan oleh pengarang, meski demikian aliterasi bunyi /h/ dapat ditemui dalam
data berikut.
(34) PAK REBO
Wenangku ki apa? Pokoke angger ora njarah rayah wewengkonku wae
ora dadi apa. (Leng, hal 80)
‗Kuasaku apa? Pokoknya kalau tidak merebut hakku tidak jadi masalah.‘
(35) BIBIT
Mbuh, mbuh, dhadhamu abuh! (NYAWANG DHADHANE MBOKDE
JEMPRIT) (Tuk, hal 158)
‗Tidak, tidak, dadamu bengkak! (MELIHAT DADANYA MBOKDE
JEMPRIT)
(36) LIK BISMA
…bumiku pulih…bumiku mulih…kaya wingi-wingi…(Tuk, hal 207)
‗…bumiku normal… bumiku pulang…seperti kemarin-kemarin.‘
Data (34-36), purwakanthi swara suku tertutup /h/ muncul secara linier di
setiap akhir kata dengan kombinasi bunyi /a/, /u/, /i/. Data (34) potensi bunyi /h/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan kombinasi bunyi /a/ terdapat dalam kata njarah rayah ‗merebut‘ yang
menyatakan sebuah kejadian atau peristiwa. Pada data (35) potensi bunyi /h/
berkolaborasi bunyi /u/ pada kata mbuh ‗tidak‘ dan abuh ‗bengkak‘ hal ini
menyatakan suatu keadaan yang disandang manusia, dan pada data (35) potensi
bunyi /h/ dikombinasi bunyi /u/ pada kata pulih ‗normal‘ dan mulih ‗pulang‘.
Bunyi /h/ dalam data (34-36) dapat mengasosiasikan sesuatu yang mampu
mengarahkan imajinasi pendengar pada kondisi yang dirujuk oleh tokoh dalam
dialognya.
9) Asonansi suku tertutup /k/
Asonansi suku tertutup bunyi konsonan /k/ seperti bunyi-bunyi suku tertutup
yang lainnya juga mampu menghadirkan keindahan jika didengar yang
dilantunkan melalui alat ucap yang terdapat dalam dialog tokoh-tokoh drama.
Perulangan bunyi /k/ yang secara linier hadir pada suku kata akhir menjadikan
musikalitas yang mengesaankan sesuatu yang kecil. Hal berikut dapat diketahui
dalam data berikut.
(37) SOLEMAN
… wis wancine wong cilik ora mung dinggo ancik-ancik! (Tuk, hal 214)
‗... sudah waktunya orang kecil tidak hanya untuk tumpuan!‘
(38) MBAH JAGA
Wis kabeh iki…? Kak-jabar-kak dibukak mak….Mas Lakon, saiki sing
dadi rol, sing dadi lakon aku, aku sing pantes kedhapuk… (Dom, 226)
Sudah semua ini? Kak-jabar-kak dibukak mak…Mas Lakon, sekarang
yang jadi rol, yang jadi pemenang saya, saya yang pantas mendapat
peran…
(39) PAK LAKON
Oaaaalah Jang, kowe ki goblog tenan, ngerti yen nyawane diincer malah
njrunthul metu, kutuk marani sundhuk… (Dom, 289)
Oaaaalah Jang, kamu ini bodoh sekali, tahu jika nyawamu diincar, malah
lari keluar, kutuk marani sundhuk…
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada data (37) di atas purwakanthi swara suku tertutup /k/ muncul dalam
kata cilik ‘kecil‘ dan ancik-ancik ‗tumpuan‘ dengan dikombinasi bunyi /i/ pada
kata cilik ‘kecil‘ dan ancik-ancik ‘tumpuan‘. Bunyi konsonan /k/ pada data (37)
digunakan pengarang untuk merefleksikan kehidupan orang kecil dengan segala
kekurangnnya, mengetahui kondisi yang demikian orang berkuasa justru malah
menginjak-injaknya sehingga kondisi mereka semakin mengenaskan. Hal serupa
juga dijumpai pada data (38), dan (39) yang merefleksikan kondisi yang kurang
baik.
10) Asonansi suku tertutup /l/
Perulangan bunyi konsonan /l/ dalam dialog tokoh-tokohnya mampu
menimbulkan kesan ritmis yang indah. Perulangan bunyi konsonan /l/ yang
muncul diakhir suku kata terdapat dalam data berikut.
(40) MBOKDE JEMPRIT
Margesaren kene dadi jejel riyel. (Tuk, hal 183)
‗Margesaren sini jadi penuh berdesak-desakan.‘
(41) MBOKDE JEMPRIT
…ngregeti papan apik, mula mung diular-ulur dhuwite ben saya kandel,
regane saya ndedel,… (Tuk, hal 187)
‗…mengotori tempat bagus, makanya diperlama biar uangnya akan
semakin tebal, harganya lebih tinggi,…‘
(42) MBAH KAWIT
Cikal bakal Margesaren kene ki sapa coba? (Tuk, hal 193)
‗Pelopor Margesaren sini itu siapa?‘
Pada data (40) potensi bunyi /l/ dikombinasi dengan bunyi vokal /e/ pada
frasa jejel riyel ‗berdesak-desakan‘ dimanfaatkan untuk menggambarkan keadaan
Margesaren dengan jumlah penghuni yang banyak dan berdesak-desakan. Data
(41) pada kata kandel ‗tebal‘ dan ndedel ‗tinggi‘ menggambarkan kondisi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
semakin bertambah banyak serupa kondisi yang terdapat pada data (41). Untuk
data (42) bunyi konsonan /l/ berkolaborasi dengan bunyi vocal /a/ pada kata cikal
bakal ‗pelopor‘ mempunyai penggambaran pengharapan.
Pemanfaatan asonansi suku tertutup bunyi konsonan /l/ berdasarkan data
(40) dan (41) di atas memberi gambaran kepada pembaca bahwa pengarang ingin
megungkapkan suatu kondisi yang selalu bertambah dan menggambarkan
bagaimana suasana yang dibawa perubahan tersebut menjadi semakin ramai,
padat, dan ramai. Sedangka untuk data (42) menggambarkan kekecewaan Mbah
Kawit terhadap penerusnya atau masa depannya.
11) Asonansi suku tertutup /n/
Penggunaan asonansi suku tertutup bunyi konsonan /n/ digunakan pengarang
dengan intensitas yang lebih banyak dibadingkan dengan yang lain. Aliterasi /n/
ini juga mampu memberikan efek keindahan yang musikalis dari dialog tokoh-
tokonya. Pola aliterasi bunyi /n/ dalam nakah drama yang dianalisis dapat dilihat
pada data berikut ini.
(43) BEDOR
Boten enten sinten-sinten. (Leng,hal 74)
‗Tidak ada siapa-siapa‘
(44) BEDOR
Kembang setaman, menyan, maejan, terbelo, mori putih…(Leng,hal 90)
‗Bunga setaman, kemenyan, nisan, peti, kain putih…‘
(45) JANAKA
Bengi-bengi kok ora empan-papan barang neng cedhak kuburan. (Leng,
hal 96)
‗Malam-malam tidak sesuai pada tempatnya bergitar di dekat kuburan.‘
(46) LIK BISMA
Genah aman, ora kakehan tanggungan. (Tuk, hal 141)
‗Pasti aman, tidak banyak tanggungan‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(47) MBOKDE JEMPRIT
Salahe ora gelem melu Jupri, genah kopen, genah kajen. (Tuk, hal 165)
‗Salahnya tidak ikut Jupri, pasti di rawat, pasti dihargai.‘
(48) SUARA WADON
Mburi kene sumpek, cedhak ilen-ilen kalen, ambune badheg. (Tuk, hal
176)
‗Di belakang sini sempit, dekat aliran selokan, baunya tuak.‘
(49) BIBIT
Mung waton takon ta? (Tuk, hal 178)
‗Hanya asal bicara?‘
(50) (MBOKDE JEMPRIT
Huu… apa kuwi… sambate kakehan saingan, paitan cupet, durung oleh
papan, durung oleh dalan. (Tuk, hal 185)
‗Huu… apa itu… mengeluh banyak saingan, modal sedikit, belum
dapattempat, belum dapat jalan.‘
(51) KRESNA GAMBAR
Ha-a. Aku ndhisik ya krungu. (NIROKAKE BAJANG) Aja pisan-pisan
dadi wong lanang yen durung tau nginep neng kunjaran. (Dom, 230)
Iya. Aku dulu juga mendengar. (MENIRUKAN BAJANG) Jangan sekali-
kali mengaku laki-laki jika belum pernah menginap di penjara.
(52) MBAH JAGA
...... katrem olehe padha pinter-pinteran, bagus-bagusan, sugih-sugihan,
rasa-rosanan, menang-menangan ..... (Dom, 251)
Betah dengan saling adu kepandaian, adu kecakapan, adu kekayaan, adu
kekuatan, adu kemenangan.
Penggunnaan asonansi suku tertutup bunyi /n/ secara konsisten digunakan
pengarang disetiap akhir suku kata dalam dialog berbagai tokohnya. Pada data
(43), (47), dan (48) bunyi /n/ hadir bersama dengan bunyi vokal /e/ yaitu pada
kata mboten enten sinten-sinten ‗tidak ada siapa-siapa‘, kopen ‗terawat‘, kajen
‗dihormati‘, dan ilen-ilen kalen ‗aliran selokan‘. Sedangkan untuk data (44-46)
dan (52) bunyi konsonan /n/ bertemu dengan bunyi /a/ yang juga menempati akhir
suku kata (ultima). Dalam data (52) aliterasi /n/ dikombinasikan dengan vokal /a/
pada kata pisan-pisan ‗sekali-kali‘, lanang ‗lelaki‘, dan kunjaran ‗penjara‘ dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
juga vokal /e/ pada kata yen ‗jika‘, nginep ‗menginap‘, dan neng ‗di‘. Hal ini
menempatkan bunyi konsonan /n/ dalam asonansi suku kata terbuka. Data (54)
asonansi suku tertutup bunyi /n/ dengan variasi bunyi /o/ pada kata waton ‗asal‘
dan takon ‗bicara‘.
Pemanfaatan bunyi /n/ dalam data (41-49) menggambarkan segala sesuatu
yang dapat dinikmati melalui pandangan mata atau indera penglihatan dengan
demikian pemanfaatan asonansi suku tertutup bunyi konsonan /n/ dapat
dikategorikan dalam pencitraaan visual.
12) Asonansi Suku tertutup /r/
Pola asonansi suku tertutup /r/ oleh pengarang digunakan untuk
menggambarkan kondisi yang carut marut atau tidak beraturan. Hal ini dapat
dilihat dala data berikut.
(53) JURAGAN
Tembok sing daksendheni kedher, angine banter kaya lesus mobat-mabit.
(Leng,hal 86)
‗Tembok yang saya sandari bergetar, anginnya kencang seperti angin ribut
bertiup kekiri-kanan‘
(54) JURAGAN
Ora ana sing ngukup, sing larang kabeh ilang…sisane ajur mumur. Entek
gusis… (Leng, hal 86)
‗Tidak ada yang mengambil, yang mahal hilang semua… sisanya hancur
luluh. Habis musnah…‘
(55) BIBIT
Genah mbongkar langgar! (Tuk, hal 178)
‗Jelas membongkar mushola!‘
Pola asonansi suku tertutup /r/ muncul dengan posisi yang linier atau sama
yaitu pada suku kata terakhir (ultima). Data (53) di atas asonansi suku tertutup
bunyi /r/ dikombinasi dengan bunyi /e/ dimanfaatkan untuk menggambarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
keadaan yang kacau, berantakan yaitu pada kata kedher ‗bergetar‘ dan banter
‗kencang‘. Data (54) potensi bunyi /r/ dikombinasi dengan bunyi /u/ pada ajur
mumur ‗hancur luluh‘ yang juga menyatakan kondisi yang tidak baik. Pada data
(55) potensi bunyi /r/ dikombinasi dengan bunyi /a/ pada kata mbongkar
‗membongkar‘ dan langgar ‗mushola‘.
Pemanfaatan bunyi konsonan /r/ dalam data-data di atas menggambrakan
kondisi yang tidak stabil, serba tidak teratur, dan tidak menyenangkan dirasa.
13) Asonansi suku terutup /s/
Bunyi konsonan /s/ memiliki tekanan ritmik yang kuat dalam
pengucapannya sehingga mampu memberikan efek keindahan dalam dialog.
Bunyi /s/ termasuk dalam aspira berdesis sehingga dapat memberikan nuansa
yang berbeda dalam penguacapannya. Pemanfaatan asonansi suku tertutup bunyi
/s/ dapat dilihat dalam data berikut.
(56) BATINE BONGKREK SING ISIH NESU KARO BOJONE
Ora susah nangis! Tangis mung lamis. Kowe ki prihatina…(Leng, hal
123)
„Tidak usah menangis! Tangisanmu hanya bohong. Kamu harus
prihatin…‘
(57) SOLEMAN
Tebus, tebus nggedebus apa? (Leng, hal 138)
‗Tebus, tebus paling berbohong?‘
(58) MBAH JAGA
Nyatane ya mung saka kerdhus diorek-orek nganggo angus. (Dom, 232)
Nyatanya cuma dari kardus dicorat-coret pakai jelaga.
Pola asonansi /s/ muncu dalam posisi yang bisa dikatakan linier pada suku
kata trakir yaitu pada kata nangis dan tangis ‗menangis‘, lamis ‗bohong‘, tebus ‗,
tebus nggedebus ‗tebus, tebus berbohong‘, kerdhus ‗kardus‘, serta angus ‗jelaga‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sedangkan asonansi suku tertutup /s/ yang menempati awal suku kata terdapat
pada kata saka ‗dari‘ dan susah ‗tidak‘. Pada data (56-58) di atas purwakanthi
swara suku tertutup /s/ dengan dikombinasi bunyi /i/, /u/ dan /a/.
Pemanfaatan bunyi /s/ dalam dialog di atas dipilih pengarang untuk
menyampaikan suasana hati penutur yang tidak percaya pada lawan tutur.
Pemilihan bunyi konsonan /s/ juga mampu memanipulasi bunyi untuk membentuk
musikalitas bunyi yang mampu mempertegas keadaan.
14) Asonansi suku tertutup /t/
Pemanfaatan bunyi sebagai pembawa unsur keindahan dalam pengucapan
juga dimunculkan pengarang melalui aliterasi bunyi konsonan /t/ seperti yang
terlihat dalam data berikut ini.
(59) BEDOR
Den, Den… Ndoro! Juragane! Emut Den! Nyebut Den, nyebut! Sampeyan
niku enten napa? Eling! Eling Den! (Leng, hal 86)
‗Den, Den… Ndoro! Juragan! Ingat Den! Berdoa Den, berdoa! Anda
kenapa? Ingat! Ingat Den!
(60) PAK REBO
O, mangga, pinarak rada mepet caket mriki Mas. (Leng, hal 103)
‗O, silahkan, silahkan duduk agak dekat sini Mas.‘
(61) BEDOR
Urip ana kempitan kelek yen kurang bejane mambu kecut isih gampang
dijabut. (Leng, hal 110)
„Hidup berada dihimpitan ketiak jika kurang beruntung bau kecut dan
mudah dicabut‘
(62) ROMLI
Wong sengit ki sakuni-unine ya nylekit. (Tuk, hal183)
‗Orang benci setiap berbicara menyakitkan.‘
(63) DEN SETRA
Oh, nimas…saiki rambutku wis putih, rupaku yawis malih, pakulitanku
kisut, praenanku saya njengkerut..! (SAKING NELANGSANE NGANTI
RADA KELALEN) (Dom, 280)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Oh, adinda…sekarang rambutku sudah putih, wajahku juga sudah berubah,
kulitku berkerut, wajahku semakin kusut…! (KARENA TERLALU
SEDIH SAMPAI HAMPIR LUPA)
Pola asonansi suku tertutup yang dihadirkan pegarang pada data (59), (61) ,
dan (63) di atas potensi bunyi /t/ dikombinasi dengan bunyi /u/ yang dimunculkan
pada kata emut ‗ingat‘ nyebut ‗berdoa‘ kecut ‗kecut‘ dan dijabut ‗dijabut‘, kisut
‗kisut‘ serta njengkerut ‗berkerut‘. Dalam data (66) potensi bunyi /t/ dikombinasi
dengan bunyi /e/ pada kata mepet ‗mendesak‘ caket ‗dekat‘ sedangkan pada data
(62) potensi bunyi /t/ dikombinasi dengan bunyi /i/ yaitu pada kata sengit ‗benci‘
dan nylekit ‗menyakitkan‘.
Efek keindahan yang dimunculkan akibat adanya alitrasi bunyi konsonan /t/
dalam dialog tokohnya mampu memberikan unsuk musikalitas yang bernuansa
liris sekaligus menggambarkan kondisi yang berkenaan dengan indera manusia
seperti pada kata kecut yang berkenaan dengan indera pengecap dan kisut yang
berhubungan dengan indera peraba.kulit.
b. Purwakathi Guru Sastra (Aliterasi)
Aleterasi adalah gaya bahasa yang berupa perulangan konsonan yang sama.
Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk
penghiasan atau untuk penekanan (Gorys Keraf, 2004: 130). Dengan kata lain,
aleterasi adalah ulangan bunyi konsonan, lazimnya pada awal kata yang berurutan
untuk mencapai efek kesepadanan bunyi, dengan istilah lain purwakanthi atau
runtut konsonan (Sutarjo, 2003: 23).
Di dalam sebuah puisi realisasi perulangan bunyi aliterasi dimanfaatkan
dalam larik-larik puisinya, dengan tujuan memberikan: (1) efek keindahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
timbul akibat adanya paduan bunyi yang memberikan unsuk musikalitas, (2)
gambaran arti tertentu sejalan dengan gambaran makna yang dinuansakan oleh
kata-kata pembentuk paduan bunyinya, (3) gambaran suasana tertentu
sebagaimana tertampilkan oleh ciri artikulasi, bentuk dan cara penulisan, (4)
gambaran hubungan kata atau unsur pembentuk teks, mampu mendekatkan kata-
kata/makna kata dalam teks secara asosiatif (Aminuddin, 1995: 155).
Konsonan dalam bahasa Jawa berjumlah 23 terdiri dari /b/. /c, /d/, /D/, /g/,
/h/, /j/, /k/, /?/, /l/, /m/, /n/, /ŋ/, /ñ/, /p/, /r/, /s/,/t/, /T/, /w/, /y/, dan untuk konsonan
/f/, dan /z/, dalam bahasa Jawa hanya ditemukan dalam kata-kata pungutan dari
bahasa asing. (Wedhawati, 2006: 73-74)
Naskah drama disusun tidak berupa larik-larik seperti dalam puisi, namun
keindahan yang terealisasi melalui perulangan bunyi aliterasi dapat dijumpai
dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit ini. Pengarang begitu memperhatikan
setiap keindahan kata-kata yang terangkai menjadi dialog tokoh-tokohnya. Hal ini
akan dijelaskan dalam uraian berikut.
Aleterasi adalah gaya bahasa yang berupa perulangan konsonan yang.
Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk
penghiasan atau untuk penekanan (Gorys Keraf, 2004: 130). Dengan kata lain,
aleterasi adalah ulangan bunyi konsonan, lazimnya pada awal kata yang berurutan
untuk mencapai efek kesepadanan bunyi, dengan istilah lain purwakanthi atau
runtut konsonan (Panuti Sudjiman, 1990: 4).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) Aliterasi /b/
Di dalam naskah drama LTD pola aliterasi bunyi konsonan /b/ tidak banyak
dijumpai atau digunakan pengarang dalam dialog-dialog tokohnya. Namun
demikian tekanan ritmik dari bunyi /b/ yang berulang mampu memberikan
penekanan dan unsur musikalitas pada pengucapan dialog tokoh. Realisasi bunyi
/b/ dapat dilihat pada data berikut.
(64) JURAGAN
Bumine gonjing Dor, tembok sing dak sedheni kedher, angine banter
banget kaya lesus mobat-mabit. Bedoooor…ana lindhu, kae temboke
gempal, bumine hoyag!....Dor aku wedi…Doooor! (Leng, 86)
Buminya bergoyang Dor, dinding yang aku sandari bergetar, anginnya
kencang sekali seperti angin kencang. Bedoooor…ada gempa, itu
dindingnya runtuh, buminya goncang!....Dor aku takut….Doooor!
(65) BEDOR
Mboten enten sing ngeret-eret Den. Mboten enten sing mblejeti
juragane, mboten enten menungsa sing wani mlebu mriki. Kula mboten
turu, wiwit wau kula ngegrogok enten pojokan mriki nunggoni sampeyan,
nunggoni juragan. …. (Leng, 87)
Tidak ada yang menyeret Den. Tidak da yang menelanjangi juragan,
tidak ada manusia yang berani masuk sini. Saya tidak tidur, dari tadi say
duduk di pojok sini, menunggui anda, menunggui juragan….
(66) MAS MANTRI
Beh-kabeh, bur-buran manuk. Sisan kalah bacut klebus. ….(Dom, 226)
Semua, burung terbang. Sekalian kalah sudah terlajur kuyup. ….
Pada data (65) dan (66) bunyi /b/ dapat muncul di awal kata seperti pada
kata bumine ‗buminya‘ dan banter ‗kencang‘, beh-kebeh ‗semua‘ bur-buran
‗terbang‘, bacut ‗terlanjur‘ dan klebus ‗basah‘ khusus pada kata beh-kabeh dan
bur-buran musikalitas terasa sangat indah karena adanya pengulangan suku kata
kedua yang ditampilkan diawal kata. Asonansi suku tertutup /b/ juga
memperindah musikalitas pengucapan dialog melalui nama salah satu tokohnya
yaitu ―Bedor‖ yang turut hadir dalam dialog Juragan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk data (65) bunyi /b/ hadir setelah bunyi /m/ dikategorikan dalam
aliterasi bunyi /b/ karena asal katanya adalah boten ‗tidak‘ yang apabila diujarkan
sperti terdapat bunyi /m/ di depan kata /b/ sehingga oleh pengarang ditulis mboten.
Bunyi /b/ sebagai bunyi hambat bilabial bersura dapat mengasosiasikan
nada berat yang penuh tekanan atau penegasan. Bunyi /b/ yang tedapat dalam
dialog Juragan menggambarkan situasi yang mencekam yang dialami Juragan,
situasi yang tidak menyenangkan dan mengkhawatirkan seperti dalam kata lesus
mobat-mabit ‗angin kencang‘, sedangkan bunyi /b/ yang hadir dalam dialog Bedor
menggambarkan atau memberika penegasan tentang sesuatu kejadian yang
ditunjukkan dengan diulangnya kata mboten ‗tidak.
2) Aliterasi /c/
Pola literasi /c/ merupakan salah satu pembentuk variasi keindahan yang
digunakan pengarang untuk membangun nuansa estetis dalam dialog tokohnya.
Bunyi /c/ seperti halnya aliterasi /b/ mampu memberikan efek keindahan yang
ritmik dalam sebuah tuturan. Hal ini seperti yang disajikan dalam data berikut.
(67) KRESNA GAMBAR
… Malah duk ing uni nalika miwiti ngadege negara iki malah ya melu
cawe-cawe nggawe pondhasi. … (Dom, 233)
… Malah menurut cerita ketika memulai berdirinya negara ini malah ya
ikut campur membangu pondasi.
(68) DEN SETRA
Ora idhep isin…! Wong cilik sing mbok enggo ancik-ancik!... (Dom, 258)
Tidak tahu malu…! Orng kecil yang kau gunakan tumpuan! …
Pada data (67) cawe-cawe nggawe ‗ikut campur membuat‘ bunyi /c/ yang
berulang sebanyak dua kali yang juga merupaka sebuah perulangan kata yang
dipadu dengan perulangan bunyi konsonan /w/ dan vokal /e/ dimanfaatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pengarang dalam membangun nuansa heroik untuk menggambarkan perjuangan
Den Setra dalam usahanya turut serta membangun negara.
Pemanfaatan bunyi konsonan /c/ juga ditunjukkan data (68) yang merangkai
konsonan /c/ dengan vokal /i/. Hal ini digunakan pengarang untuk
menggambarkan sesuatu yang kecil. Dalam hal ini penggambarn yang
dimaksudkan pengarang adalah kondisi atau keadaan rakyat kecil yang selalu
tiperlakukan tidak adil oleh penguasa. Pemilihan vokal /i/ untuk penggambar ini
sesuai dengan nilai rasa yang dihadirkan vokal /i/ sebagai sesuatu yang kecil.
3) Aliterasi /dh/
Di dalam naskah drama yang menjadi objek kajian penulis ini, terdapat
aliterasi bunyi /D/ atau /dh/ namun intensitas kemunculannya sangat minim.
Aliterasi /dh/ merupakan variasi bunyi yang dipotensikan pengarang dalam
menyajikan keindahan dialog tokohnya. Realisasi aliterasi bunyi konsonan /dh/
dapat disimak dalam data berikut.
(69) MBAH JAGA
... Hayo, sapa wani maju neng palagan, prang tandhing ngetog
kasudibyan, nya dhadha, endi dhadha, saiki rasakna, krodha mangada-
ada, sirna tanpa gatra wong kang pindha drubiksa … (Dom, 226)
… Hayo, siapa beran maju ke medan perang, perang mengeluarkan
kelebihan, ini dada, nama dada, sekarang rasakan, napsu mengada-ada
sirna tanpa badan yang seperti barbar.
Pada data (69) di atas, aliterasi /dh/ muncul pada suku kata pertama dan
kedua dari belakang menimbulkan musikalitas bunyi yang estetis. Penggunaan
bahasa Jawa Kawi dalam dialog yang dibawakan Mbah Jaga menghadirkan nilai
rasa yang berbeda dengan dialog-dialog sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan demikian unsur keindahan bunyi melalui memanfaatan aliterasi
bunyi /dh/ melalui bahasa Jawa Kawi dalam naskah drama mampu memberi
nuansa lain dalam sebuah dialog tokohnya sehingga menghindarkan menotonan.
4) Aliterasi /g/
Aliterasi dengan pemanfaatan bunyi konsonan /g/ nampak dalam dialoh
tokoh dapat dilihat pada data berikut ini.
(70) SOLEMAN
… gawe gara-gara terus! (Tuk, hal 151)
‗… membuat gara-gara terus!‘
(71) LANDA BAJANG
Mulane aku ora sudi mrana. Ambune badheg, neng ambegan seseg, kulit
dadi gatel, neng mata rembes… (Dom, 255)
Makanya aku tidak mau ke sana. Baunya tidak sedap, membuat sesak
napas, kulit jadi gatal, mata jadi berair…
(72) KRESNA GAMBAR
… Dak tunggu dak antu-antu jantraning jagad lir gumantine gelaran
bumi. … (Dom, 264)
… Aku tunggu, aku nanti peristiwa akan terus berputar seriring perputaran
bumi.
Aliterasi konsonan /g/ pada data (70) sampai dengan (72) muncul pada suku
kata pertama yaitu pada kata gawe gara-gara ‗membuat gara-gara‘, gatel ‗gatal,
gumantine gelaran ‗bergantinya peristiwa‘. Untuk kemunculan yang lain bunyi
konsonan /g/ ditemukan menempati posisi suku kata terakhir (ultima) yaitu pada
kata badheg ‗tidak sedap‘, seseg ‗sesak napas‘, untuk posisi suku kata kedua dari
belakang terdapat dalam kata tunggu ‗tunggu‘, kemudian untuk posisi suku kata
ketiga dari belakang terdapat dalam kata jagad ‗dunia‘ dan ambegan ‗napas‘.
Bunyi /g/ yang muncul secara berulang-ulang oleh pengarang dimanfaatkan
untuk menyampaikan sesuatu kondisi secara tegas melalui dialog yang diutarakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tokoh. Hal ini didasarkan pada pembentukan suara yang dihasilkan oleh bunyi /g/
adalah berat dan kaku sehingga menimbulkan kesan yang demikian pula.
5) Aliterasi /j/
Aliterasi /j/ yang terdapat dalam naskah drama ini muncul dalam posisi yang
bervariasi. Variasi yang dimunculkan ini digunakan pengarang untukmenyatakan
sesuatu kondisi atau keadaan. Hal ini dpat dilihat dalm data berikut.
(73) KRESNA GAMBAR
… Bejane Bajang. (Dom, 236)
… Beruntung Bajang.
(74) MBAH JAGA
Aja ewa, wis dadi jodhone Bajang. (Dom, 236)
Jangan iri, sudah jadi jodohnya Bajang.
(75) KRESNA GAMBAR
Wis jodho apa mung bojo…? (Dom, 236)
Sudah jodo apa hanya istri…?
(76) PAK LAKON
… Jang, wiwit ndhisik jagal njegal jagal ki ya ana, akeh….
………………….
Ampun wedi kudu saget melu sikut-sikutan, sing bingung lena dhupak
mawon yen perlu jing-binajing. (Dom, 253)
… Jang, dari dulu tukang sembelih saling jegal itu ada, banyak. …
…………………………
Jangan takut, harus bisa ikut sikut-sikutan, yang bingung tending saja jika
perlu saling memfitnah.
Viariasi yang ditampilkan konsonan /j/ terdapat pada posisi suku kata
pertama seperti kata jodho ‗jodoh‘, jagal ‗tukang menyembelih hewan‘, dan
sapaan utuk tokong Bajang yaitu ‗Jang‘. Posisi konsonan /j/ juga ditemukan pada
perulangan suku kata kedua yang diulang di awal yaitu pada kata ‗jing-binajing
‗memfitnah‘. Posisi aliterasi konsonan /j/ ditemukan pula pada posisi suku kata
kedua dari belakang yaitu pada kata bejane ‗beruntungnya dan bojo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‗istri/pasangan‘, dalam data (73) dan (74) terdapat posisi konsonan /j/ pada suku
kata keempat dari belakang. Dialog-dialog yang memanfaatkan aliterasi /j/ ini
mengasosiasikan bahwa ada sesuatu yang telah baku dan kaku.
6) Aliterasi /k/
Bunyi konsonan /k/ sama halnya dengan aliterasi yang lainnya mampu
membawa nilai estetis ke dalam dialog yang diucapkan pemain dalam
melakonkan naskah drama ini. Dalam naskah drama ini pemanfaatan aliterasi
bunyi konsonan /k/ banyak digunakan pengarang untuk memperoleh efek tegas.
Hal ini dapat dilihat dalam data berikut ini.
(77) MBOK SENIK
Krek, saiki kowe ki mung kari ijen. Kanca-kancamu wis padha katut, ora
susah diselaki. (Leng, hal 68)
‘Krek, sekarang kamu tinggal sendirian. Teman-temanmu sudah tidak ada,
tidak usah kau ingkari.‘
(78) BEDOR
Mung kucing kuwuk mawon kok. Sesuk kulo goleke kucing pasar, akeh
tunggale. (Leng, hal 110)
‗Hanya kucing hitam saja. Besuk saya carikan kucing pasar, banyak
jenisnya‘
(79) JURAGAN
Swarane! Klesik-klesik kaya ana neng kuping, cedhak banget. (Leng, hal
77)
‗Suaranya! Pelan-pelan seperti berada di kuping, dekat sekali‘
(80) BOJONE ROMLI
Isin kowe? Uwong ki yen wis kebacut ala kelakuawane… (Tuk, hal 139)
‗Kamu malu? Orang itu kalau sudah terlanjur jelek kelakuannya…‘
(81) BIBIT
Kawit mau kandhange wis bukakan! (Tuk, hal 149)
‗Dari tadi kandangnya sudah terbuka!
(82) MBOKDE JEMPRIT
Kober-kobere kerah! (Tuk, hal 160)
‗Sempat-sempatnya berkelahi.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(83) MBAH KAWIT
...wekasane rak ya mung dadi bakul klontongan, ider karet kolor karo
sumbu kompor turut kampung,… (Tuk, hal 166)
‗...akhirnya hanya jadi pedagang klontongan, menjual karet tali seluler
sama sumbu kompor keliling kampung…‘
(84) SOLEMAN
Aku kowe, kabeh sing neng kene, neng kutha iki, mung ndesel... (Tuk, hal
212)
‗Saya kamu, semua yang di sini, di kota ini, hanya mendesak…‘
(85) JANAKA
Wong kabeh manungsa niku tan luput kadunugan lali lan luput. (Leng, hal
121)
‗Semua manusia tidak lepas dari kesalahan lupa dan salah.‘
(86) DEN SETRA
Arep tekan ngendi lelakonmu mengko, apa malah mung cukup sak mene.
Rampung eneng kene, kelangan dhapukan, kelangan jejer, ketendhang
saka kalangan. … (Dom, 228)
Mau sampai dimana kehidupanmu nanti, apa justru hanya sampai di sini.
Selesai di sini, kehilangan peran, kehilangan jati diri, tertendang dari
lingkungan…
(87) KRESNA GAMBAR
… Nganti kepepet, kepojok, keseser, njur disisihake terus mingir-minggir-
minggir nganti pungkasane dikandhangake ana kene. Sajake malah
nganti diarah patine, dianggep mbebayani. (Dom, 233)
… Sampai terpepet, terpojok, terseret, lalu disisihkan terus minggi-
minggir-minggir sampai akhirnya dimasukkan kandang di sini. Sepertinya
malah sampai diusahakan kematinya, dianggap membahayakan.
Bunyi /k/ muncul secara bervariasi dalam data mulai dari (77) sampai dat
(87) dengan posisi pada: 1) suku kata pertama, 2) suku kata terakhir dari belakang,
3) suku kata kedua dari belakang (paenultima), dan 4) suku kata ketiga terakhir
dari belakang. Bunyi /k/ yang muncul di awal suku kata atau kata dapat digunakan
pengarang untuk menggunakan kata yang hanya terdiri dari satu suku kata seperti
kata kok yang merupakan kata seru dan ki yang merupakan pemendekan dari kata
iki ‗ini‘. Pemendekan tersebut dimaksudkan untuk memunculkan kesan bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ujaran lisan, sebagaimana naskah ini adalah naskah drama yang nantinya akan
dipanggungkan.
Bunyi /k/ yang muncul diawal kata secara linier akan menciptakan efek yang
estetis ketika didengar, hal ini nampak pada data (77), (78), (82), dan (86). Bunyi
/k/ yang merupakan bunyi hambat dorso-velar tak bersuara merupakan bunyi
ringan, tinggi, namun penuh tekanan sesuai untuk menggambarkan perasaan yang
ringan namun tegas.
7) Aliterasi /l/
Perulangan bunyi /l/ sangat minim digunakan pengarang dalam naskahnya.
Bunyi /l/ yang muncul secara berulang juga dapat memberikan tekanan ritmik
sebuah kalimat yang terwujud dalam dialog tokoh-tokohnya. Meskipun aliterasi
bunyi konsonan /l/ ini sangat minim digunakan dalam nasakah drama ini masih
dapat dijumpai seperti dalam data berikut.
(88) JANAKA
Wong kabeh manungsa niku tan luput kadunugan lali lan luput. (Leng, hal
121)
‗Semua manusia tidak lepas dari kesalahan lupa dan salah.‘
Bunyi konsonan /l/ pada data (88) muncul dalam posisi awal kata memiliki
kedekatan makna antara kata lali ‗lupa‘ dan luput ‗salah‘.
8) Aliterasi /m/
Bunyi aliterasi /m/ muncul secara berulang dalam naskah drama ini dengan
posisi yang beragam. Purwakanthi guru sastra berupa perulangan bunyi konsonan
/m/ dapat dilihat dalam data berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(89) MBAH JAGA
Wis ben, diumbar wae luwung nyekel kertu tinimbang mung muring-
muring misuhi lelakone, misuhi bapakne, misuhi kahanane, kancane. …
(Dom, 229)
Sudah biarkan saja, diumbar saja, mending pegang kartu daripada hanya
marah-marah, mengumpat hidupnya, mengumpat bapaknya, mengumpat
keadaannya, temannya. …
Bunyi /m/ masuk dalam pengucapan bunyi sengau-bilabial bersuara
digunakan pengarang dalam memberikan efek keindahan dalam pengucapan
dialog. Bunyi /m/ dalam data (89) muncul di awal kata seperti dalam kata misuhi
‗mengumpat‘ yang diulang sempurna sebanyak tiga kali dan kata muring ‗marah‘
yang juga diulang sempurna sebanyak dua kali. Bunyi konsonan sengau-bilabial
bersuara /m/ juga muncul pada posisi di akhir suku kata seperti terlihat dalam
kata tinimbang ‗daripada‘ dan juga muncul pada posisi akhir suku kata seperti
kata diumbar ‗dibiarkan‘.
Bunyi konsonan /m/ pada data (89) menegaskan kondisi psikis tokoh lain
yang tengah dalam masa-masa sulit sehingga tidak bisa mengedalikan emosinya.
9) Aliterasi /ŋ/
Aliterasi bunyi /ŋ/ juga sangat minim digunakan oleh pengarang dalam
menyusun keindahan kalimat dalam dialog tokoh. Perulangan bunyi /ŋ/ dapat
dilihat dalam data berikut.
(90) PAK LAKON
… Lha sing ngene iki srawungane rak karo wong akeh, karo nyawa
pirang-pirang ta. Mula kudu bisa srawung, bisa momong, bisa ngemong.
… (Dom, 252)
… Lha yang seperti ini pergaulannya kan dengan banyak orang, dengan
banyak nyawa kan. Makanya harus bisa bergaul, bisa merawat, bisa
mengayomi. …
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bunyi /ŋ/ muncul secara bervariasi dalam data (90) menempati posisi suku
kata terakhir dan awal suku kata. Bunyi /ŋ/ dimanfaatkan pengarang dalam
menggambarkan sesuatu yang berhubungan sebab akibat.
10) Aliterasi /r/
Pola aliterasi /r/ dalam naskah drama ini kemunculannya tergolong minim.
Pola literasi /r/ dalam posisi awal suku kata nampak dalam data yang tersaji
berikut ini.
(91) JURAGAN
Rubung-rubung ana ngarep regol. Akeh banget. (MILANG-MILING)
(Leng, hal 89)
‘Semua kumpul di depan regol. Banyak sekali. (MELIHAT-LIHAT)‘
(92) JURAGAN Nyekel barang rumit barang rumpil ki ora gampang, kelepyan sithik wong
sakpabrik ilang. (Leng, hal 110)
‗Memegang barang rumit barang terlepas tidak mudah, lupa sedikit orang
seluruh pabrik bias hilang.‘
(93) KRESNA GAMBAR
… Dudu dhuwit sing dak buru. Dudu benggol sing dak luru. (Dom, 231)
… Bukan uang yang aku buru. Bukan receh yang aku pungut.
Apabila dilihat dari cara pengucapannya, konsonan /r/ diucapkan dengan
menggetarkan lidah sehingga dalam dialog tokoh di atas menggambarkan sesuatu
keadaan yang serba membutuhkan perhatian lebih.
Dan dalam data (92) aliterasi konsonan bunyi /r/ bertemu dengan asonansi
/u/ baik di belakang konsonan /r/ yang menjadikan mukalitasnya terdengar indah
dan teratur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11) Aliterasi /s/
Bunyi /s/ yang cara pengucapannya mendesis memiliki kekuatan dalam
menciptakan efek musikalitas yang indah. Pemanfaatan bunyi konsonan /s/ dapat
dilihat dalam data berikut.
(94) PAK REBO
Sing arep slametan sesuk ki sapa? (Leng, hal 108)
‗Yang mau syukuran besuk siapa?‘
Meskipun kemuncuanya sangat minim dalm naskah drama ini, namun
keindahan pengucapan konsonan bunyi /s/ dalam data (94) mampu
menggambarkan suasana yang ringan. Pemanfaata bunyi /s/ secara konsisten di
awal kata membuat pengucapan kalimatnya terasa sangat ritmik dan indah.
12) Aliterasi /t/
Realisasi dari pemakaian aliterasi /t/ sebagi purwakanthi guru swara dalam
naskah drama juga mampu menimbulka efek keindahan. Hal ini tercermin dalam
data yang disajikan berikut ini.
(95) BONGKREK
(MUNTAB) Tobat tenan thik, swara siji kae kok mesthi ngusuhi. (Leng,hal
67)
‗(MARAH) Benar-benar tobat thik, suara satu itu selalu mengganggu.‘
(96) MBAH JAGA
Biyangane ....! Asat nggereng! Layak ditus ora tetes.(Dom, 223)
Biyangane…! Kering krontang! Pantas sampai dijungkirkan tidak tetes.
Pada data (95) konsonan /t/ berkolaborasi dengan bunyi konsonan /T/ yang
membuat keindahan dialog semakin terasa. Penggunaan konsonan /t/ pada kata
tobat tenan ‗benar-benar tobat‘ disambung dengan kata seru ‗thik‘ yang
menggunakan bunyi konsonan /T/ menjadikan perpaduan yang ritmik. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
demikian data (95) mampu menegaskan situasi yang selalu berulang.
Penggambaran serupa juga ditemukn dalam data (96).
13) Aliterasi /w/
Keragaman posisi munculnya bunyi konsonan /w/ dalam naskah drama ini
secara umum dapat memberikan tekanan pada aspek musikalitas ujaran.
Penggunaan aliterasi /w/ yang juga minim intensitas kemunculannya dapat dilihat
dalam data berikut.
(97) LANDA BAJANG
Yo ben! Kertu kawit mau mati terus… Kertu dhemit, kertu bosok, wek-
uwek sisan…(Dom, 227)
Biari! Kartu dari tadi mati terus… Kartu setan, kartu busuk, sobek-sobek
sekalian…
(98) DEN SETRA
… Ben milih, ben mlaku neng dalane dhewe! Wong-wong kuwi luwih
wanuh luwih ngerti karo karepe! Aja mbok setani! (Dom, 261)
… Biar memilih, biar berjalan di jalannya sendiri! Orang-orang itu lebih
kenal lebih paham dengan keinginannya! Jangan kau bujuk.
(99) PRAPTI
…, Cah wadon ngendi sing gelem nglakoni kaya aku, saben dina anane
mung was-was, wedi, kuwatir merga kowe dadi buron neng kene, sing ora
karu-karuwan uripe, sandhang pangan kowe durung bisa nyembadani.
(Dom, 267)
…, Perempuan mana yang mau menjalani seperti aku, tiap hari yang ada
hanya cemas, takut, khawatir sebab kamu jadi buronan di sini, yang tidak
pasti hidupnya, kebutuhan pakaian dan makan kamu belum bisa mencari.
Pada data (98) dan (99) penggunaan bunyi konsonan /w/ diulang sebanyak
tujuh kali yang muncul di awal kata, maupun awal suku kata. Sedangkan dalam
data (97) penggunaan konsonan bunyi /w/ terdapat pengulangan sebagian suku
kata yang diulang pada awal kata berikutnya yaitu pada kata wek-uwek ‗sobek-
sobek‘.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ketiga data yang menggunakan aliterasi konsonan /w/ di atas, digunakan
pengarang dalam menggambarkan suatu kondisi yang kurang nyaman.
Pemanfaatan bunyi kosonan /w/ untuk menggambarkan kondisi yang tidak
menyenangkan ini dirasa mampu membawa emosi pendengar untuk larut dalam
penghayatan dialog.
Pemanfaatan asonansi dan aliterasi dalam naskah drama yang terangkum
dalam buku kumpulan naskah berjudul Gapit tidak semua mucul dalam dialog
tokoh-tokohnya. Adapun dominasi pemanfaatan asonansi dan aliterasi dalam
naskah drama Gapit karya Bambang Widoyo SP, dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 2
DOMINASI PEMANFAATAN BUNYI DALAM NASKAH DRAMA
BERBAHASA JAWA DALAM GAPIT KARYA BAMBANG WIDOYO SP.
NO ASPEK BUNYI
Jumlah Presentase
1 ASONANSI
a. Asonansi /a/ 6 19,35%
b. Asonansi /i/ 7 22,58%
c. Asonansi /u/ 5 16.12%
d. Asonansi /ǝ/ 5 16.12%
e. Asonansi /e/ 5 16.12%
f. Asonansi /o/ 3 9.67%
Total 31 100%
ASONANSI SUKU TERTUTUP
a. Sonansi Suku Tertutup /g/ 2 6.06%
b. Sonansi Suku Tertutup /h/ 3 9.09%
c. Sonansi Suku Tertutup /k/ 4 12.12%
d. Sonansi Suku Tertutup /l/ 3 9.09%
e. Sonansi Suku Tertutup /n/ 10 30.30%
f. Sonansi Suku Tertutup /r/ 3 9.09%
g. Sonansi Suku Tertutup /s/ 3 9.09%
h. Sonansi Suku Tertutup /t/ 5 15.15%
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Total 33 100%
Lanjutan
NO ASPEK BUNYI
Jumlah Presentse
2 ALITERASI
a. Aliterasi /b/ 2 5.71%
b. Aliterasi /c/ 2 5.71%
c. Aliterasi /d/ - -
d. Aliterasi /dh/ 1 2.85%
e. Aliterasi /g/ 3 8.57%
f. Aliterasi /h/ - -
g. Aliterasi /j/ 4 11.42%
h. Aliterasi /k/ 11 31.42%
i. Aliterasi /l/ 1 2.85%
j. Aliterasi /m/ 1 2.85%
k. Aliterasi /n/ - -
l. Aliterasi /ŋ/ 1 2.85%
m. Aliterasi /ñ/ - -
n. Aliterasi /p/ - -
o. Aliterasi/r/ 3 8.57%
p. Aliterasi /s/ 1 2.85%
q. Aliterasi /t/ 2 5.71%
r. Aliterasi /w/ 3 8.57%
s. Aliterasi /y/ - -
Total 35 100%
Di dalam tabel 2 dapat diketahui dominasi penggunaan asonansi da aliterasi
yang dimanfaatkan oleh pengarang (Bambang Widoyo SP) menunjukkan bunyi
apa saja yang muncul membentuk keindahan dalam dialog. Dari penghitungan
jumlah presentase tersebut diketahui bahwa asonansi /i/ muncul sebagai yang
dominan digunakan pengarang dengan presentase kemunculan 22,58%. Asonansi
bunyi vokal /i/ muncul untuk menggambarkan kondisi yang serba kecil, terjepit,
dan selalu menjadi objek penderita. Hal ini sesuai dengan latar belakang penulisan
naskah yang memang megangkat kehidupan rakyat kecil dalam komunitas yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kecil pula. Bunyi vokal yang kurang produktif digunakan pengarang dalam
karyanya adalah asonansi bunyi vokal /o/ yang mencapai jumlah presentase
sebesar 9.67%. Penyebabnya adalah kata-kata bahasa Jawa memang sangat sedikit
yang menggunakan vokal /o/. Untuk asonansi suku tertutup didominasi dengan
penggunaan bunyi /n/ yang mencapai jumalah presentase 30.30%. Bunyi-bunyi
asonansi suku tertutup bunyi /n/ banyak muncul dalam naskah ini dikarenakan
bunyi tersebut juga difungsikan sebagai pembentuk afiks –an yang mendukung
keindahan bunyi dalam dialog tokoh-tokohnya.
Panggunaan aliterasi konsonan dalam naskah drama berbahasa Jawa Gapit
ini tidak semuanya muncul. Dominasi kemunculan aliterasi konsonan berupa
bunyi /k/ yang mencapai 31.42%. Penggunaan aliterasi konsonan /k/ yang
dominan disinyalir karena bunyi /k/ mampu memberikan efek tegas dan dalam
dalam dialog-dialog yang dihadirkan.
2. Pemanfaatan Diksi atau Pemilihan Kosakata
Di dalam menyapaikan pesan melalui naskah drama, pengarang dituntut
mampu menggunakan diksi dengan tepat. Hal ini didasari bahwa ungakapan-
ungkapan yang digunakan pengarang bisa jadi pencerminan sikap batin maupun
idenya. Pemanfaatan diksi dalam naskah drama tidak hanya berkaitan erat dengan
style pengarang dalam menulis, namun juga latar belakang naskah drama yang
ditulisnya. Latar belakang yang dimaksudkan di sini adalah aspek sosial,
psikologis, dari tokoh-tokoh yang ditampilkan pengarang.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa pilihan kata yang digunakan
pengarang dalam menciptakan dunia alternative memang sedikit tidak lazim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penulis sastra lakon sebagai angoota masyarakat mengamati kehidupan dan sistem
yang menggerakknnya. Setelah mengamati dan dan mengenali segala sesuatu
yang menjalin kehidupan tersebut mereka akan menciptakan dunia tandingan yang
merupakan kesimpulan atas pengamatannya. Setiap penulis sastra lakon memiliki
pretensi yang khas dari hasil pengamatan yang akurat yang kemudian dituangkan
dalam tulisannya.
Diksi adalah pilihan kata yang tepat, baik dalam kata, frasa maupun dalam
kalimat untuk menyampaikan gagasan dan kemampuan menemukan bentuk-
bentuk yang sesuai dengan situasi sehingga memperoleh efek tertentu.
Karakteristik diksi atau pilihan kata yang ditemukan di dalam naskah drama LT
karya Bambang Widoyo S.P., meliputi (1) tembung saroja, (2) kata seru, (3)
sinonim, (4) idiom atau ungkapan, (5) tembung kasar ‗kata makian‘.
a. Tembung saroja
Tembung saroja adalah dua buah kata yang mempunyai makna sama atau
hampir sama (makna mirip) dan dipakai secara bersama-sama (Edi Subroto,1999:
72). Tembung saroja tegese tembung rangkep, maksude tembung loro kang padha
utawa meh padha tegese dianggo bebarengan. ‗Kata saroja berarti rangkap,
maksudnya dua kata yang sama atau hampir sama artinya digunakan bersama‘
(Padmosoekotjo, 1960). Penggunaan tembung saroja dalam naskah drama ini
dapat dilihat dalam uraian berikut.
(100) PAK REBO
Wenangku ki apa? Pokoke angger ora njarah rayah wewengkonku wae
ora dadi ngapa. (Leng, hal 80)
‗Kuasaku apa? Pokoknya kalau tidak merebut pekerjaanku tidak jadi
masalah.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(101) KRESNA GAMBAR
Yen tranahe wis ora kuwat nglakoni lara-lapane dadi bojone tukang
gabar arep kepriye meneh. (Dom, 235)
Jika sudah tidak kuat menjalani sengsaranya jadi istrinya tukang gambar
mau bagaimana lagi.
Njarah rayah ‗merebut‘ pada data (100) kata tersebut apabila dipisah berarti
sama atau hampir sama artinya, yaitu kata njarah berarti rebut dan kata rayah juga
berarti rebut. Untuk data (101) kata lara yang mempunyai arti sakit bersenyawa
dengan lapa yang berarti lapar, dalam hal ini jika orang merasakan lapara akan
menyebabkan kesakitan. Pemanfaatan dua kata dengan makna yang hampir sama
atau mendekati dalam tuturannya bertujuan untuk memperkuat emosi yang akan
ditimbulkan.
(102) BONGKREK
Sepi nyenyet sing ngeten niki sing ngangenke. Neng ati marakne wening,
semeleh ora kremrungsung, penak dienggo ngademne pikir. Ndisik dhek
durung ana pabrik sareyan mriki rasane tentrem ayem. Kepenak dienggo
sembayang (Leng, hal 95)
‗Sepi yang seperti ini yang mengingatkan. Di hati membuat bening, pasrah
tidak tergesah-gesah, enak buat menenangkan pikiran. Dulu sebelum ada
pabrik makam di sini rasanya tenang sejahtera. Enak buat sembahyang.‘
Pada data (102) terdapat dua tembung saroja frasa sepi nyenyet ‗sepi sekali‘
dan tentrem ayem ‗tenang/tentram‘. Sepi nyenyet kata tersebut apabila dipisah
berarti sama atau hampir sama artinya, yaitu kata sepi berarti sepi dan kata
nyenyet juga berarti sepi dan frasa tentrem ayem kata tentrem berarti tentram, kata
ayem juga berarti tenang/tentram. Frasa tentrem ayem merupakan pilihan kata
yang kurang tepat. Kekurangtepatannya bukan tentrem ayem tetapi ayem tentrem
seperti pada data (103)
(103) JANAKA
Lha niku, sing wigati malah dereng kecekel, rasa cedhak karo sing gawe
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
urip. Uripe ayem tetrem rahayu slamet. (Leng, hal 102)
‗Lha itu, yang penting malah belum mengerti, terasa dekat dengan yang
membuat hidup. Hidupnya sangat tenang sejahtera‘
(104) PAK LAKON
Wis wancine siram rah jamas getih, ya ngger. (Dom, 243)
Sudah saatnya mandi darah.
(105) MBAH JAGA
Apa meneh manungsa sing jare digawani nalar pikir rasa-pangrasa lan
pengarep-arep, kudune luwih sempurna olehe nata uripe, … (Dom, 251)
Apalagi manusia yang dianugrahi pikiran, perasaan dan cita-cita, harusnya
bisa lebih sempurna dalam menata hidupnya, …
Data (103-105) di atas terdapat dua tembung saroja, yaitu frasa ayem
tentrem dan frasa rahayu slamet. Frasa ayem tentrem terdiri dari dua kata yaitu
ayem dan tentrem yang sama-sama memiliki arti tenang/tentram. Frasa rahayu
slamet terdiri dari dua kata rahayu slamet yang sama-sama memiliki arti
selamat/sejahtera. Untuk data (104) frasa siram rah yang berarti mandi darah
bertemu dengan frasa jamas getih yang berarti sama yaitu mani darah. Dan untuk
data (105) frasa nalar pikir mempunyai arti yang sama dan berdekatan maknanya
dengan rasa pangrasa yang berarti perasaan.
Penggunaan dua tembung saroja dalam satu ujaran dapat memberikan efek
yang kuat pada makna yang hendak disampaikan. Sehingga pemahaman akan
emosi yang ditimbulkan oleh ujaran terebut mampu memberikan efek psikologis
bagi pemainnya.
(106) MBOKDE JEMPRIT
Nek nyangkut bot repote papan kene kuwi nyangkut butuhe wong akeh.
(Tuk, hal 170)
‗Kalau menyangkut beban repot tempat di sini itu menyangkut
kebutuhannya orang banyak.‘
(107) MBOKDE JEMPRIT
Margesaren kene dadi jejel riyel. (Tuk, hal 183)
‗Margesaren sini jadi penuh berjejal-jejal‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(108) MBAH KAWIT
Ujare sapa? Swarga thik gampang emen digayuh nganggo drajat
pangkat. (Tuk, hal 197)
‗Kata siapa? Surga mudah sekali dicapai dengan kedudukan.‘
(109) LIK BISMA
Paringana bagas waras! (Tuk, hal 207)
‗Berikanlah kesehatan!‘
(110) PAK LAKON
Botohe karo jagone ki kudu mong-kinemong. (Dom, 241)
Yang pasang taruhan dan jagonya harus bisa saling memelihara.
(111) KRESNA GAMBAR
Majua, aku ora arep tedheng aling-aling….(Dom, 257)
Majulah, aku tidak akan sembunyi.
Pada data (106-111) terdapat bentuk tembung saroja yaitu frasa bot repot
‗beban‘, jejel riyel ‗berjejal-jejal‘, drajat pangkat ‗pangkat‘, dan bagas waras
‗sehat‘, mong kinemong ‗saling memelihara‘, tedheng aling-aling ‗bersembunyi‘.
Kata jejel berarti berjejal, kata riyel juga berarti berjejal. Kata drajat berarti
pangkat, kata pangkat juga berarti pangkat. Kata bagas berarti sehat/kuat, kata
waras juga berarti sehat/kuat. Kata mong merupakan asal kata dari kata kinemong
yang berarti dijaga/dipelihara/diperhatikan.
Pengarang dalam hal ini sering menggunakan tembung saroja dalam dialog-
dialog tokohnya sepertinya ingin memberikan efek yang lebih dalam terhadap
emosi yang harus dicapai pemain drama. Selain itu pemanfaatan tembung saroja
dalam suatu kalimat akan memberikan makna lebih atau berlebih-lebihan.
b. Kata Seru
Pengertian kata seru seperti dalam Kmaus Lingustik adalah kata atau frasa
yang dipakai untuk mengawali seruan, misalnya alangkah (Bahasa Indonesia)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(Kridalaksana: 2008: 112). Kata seru seperti dalam contoh merupakan bentuk kata
yang tak dapat diberi afiks dan yang tidak mempunyai dukungan sintaksis dengan
bentuk lain, dan dipakai untuk mengungkapkan perasaan. Di dalam askah-naskah
drama ang dianalisis, kata seru di bedakan menjadi kata seru yang menunjukkan
kerterkejutan, kata seru yang menunjukkan emosi marah, dan kata seru yang
menunjukkan rasa kagum. Berikut ini adalah pemakaian kata seru dalam naskah
drama LTD.
1) Kata seru yang menunjukkan keterkejutan
(112) BONGKREK
Lha…, nggih nggen mriku lupute. (Leng, hal 69)
‗Lha…, ya itu letak kesalahannya.‘
(113) MBOK SENIK
E,e Ora genah kijing kok dititipke. Yen ana tamu mengko sing ndongani
sapa? (Leng, hal 82)
‗E,e Tidak jelas kijing kok dititipkan. Kalau ada tamu nanti yang
mendoakan siapa?‘
(114) MBOK SENIK
Horok, kowe mau metu ki perlune apa? Kok malah nyocoke buntut. (Leng,
hal 120)
‗Horok, kamu mau keluar itu perlunya apa? Kok malah melihat nomer.‘
(115) KECIK
Heh…? Kobongan… pabrike kobongan!!! (Leng ,hal 124)
‗Heh… ? terbakar… pabriknya terbakar!!!‘
(116) LIK BISMA
O, ponakan sampeyan ta! Lha inggih, sakniki bareng di kukup Jupri lagi
gelem ngaku anak. (Tuk, hal 142)
‗O, keponakan kamu ya! Lha iya, sekarang setelah di ambil Jupri baru
mengakui anak.
(117) MBAH KAWIT
E’eh, apa ora kapok cah kae? (Tuk, hal 143)
‗E‘eh, apa dia tidak jera?
(118) MBAH KAWIT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Blaik, botohan maneh ta? (Tuk, hal 143)
‗Blaik, taruhan lagi?‘
(119) MBAH KAWIT
Horotoyoooh! Marto Krusuk kuwi! Ngrungokne ora? (Tuk, hal 199)
‗Horotoyoooh! Marto Krusuk itu! Mendengarkan tidak?
(120) PAK REBO
Ooooo,… ngoten ta. Bul tesih bujangan, tesih jaka ta, nuwun sewu
yuswane pinten? (Leng , hal 105)
‗Oooo,…begitu. Bul masih bujangan, masih perjaka, permisi umurnya
berapa?‘
(121) MBOK SENIK
Halaah, kok ndadak tekan sugih, wong bendinane, yen butuhe saget
ketutup mawon kula matur nuwun. (Leng, hal 101)
‗Halaah, kok sampai menjadi kaya, orang setiap harinya, kalau
kebutuhanya bisa mencukupi saja saya sudah bersyukur.‘
(122) BEDOR
Wo, wis mati. Mati!! Pejah Den… Den…Ndara! Bagong mati. Bagong
mati. (Leng, hal 109)
‗Wo, sudah mati. Mati !! meninggal Den… Den… Ndara! Bagong mati.
Bagong mati.‘
(123) PAK LAKON
Huuu, turu kepriye…(Dom, 241)
Huuu, tidur gimana….
(124) KRESNA GAMBAR
Heh…? Genah modar!! Nengapa kuwi…? (Dom, 290)
Heh….? Pasti mati!! Kenapa itu….?
Data (112) sampai dengan (124) penggunaan kata seru pada awal kalimat
dapat dikategorikan sebagai kata seru yang menujukkan emosi terkejut.
Keterkejutan ini ditandai dengan penggunaan kata seru lha; e,e; horok; heh; o;
e‟eh; blaik, horotoyoooh.
Kata seru yang menunjukkan rasa terkejut yang disertai emosi lainnya dalam
hal ini mengejek juga digunakan pengarang untuk mengihupkan dialog tokoh-
tokohnya. Hal ini dapat dilihat dalam data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(125) KRESNA GAMBAR
Horotoyooh! Lha ya ngono kuwi sing jenenge ngundhunh wohing
panggawe. Jang, Bajang, saiki rasakna, uripmu kesampar kesandhung.
Kapokmu kapan. Otot kawat balunga wesi sisan ta, yen nganti
kerawuhan Yamadipati aja takon dosa, lagi ndheprok kepuyuh-puyuh
kowe Jang. Dak titenane, sing prayitna den ngati-ati, iki mung nunggu
lenamu….(Dom, 229)
Horotoyooh! Lha ya begitu itu yang namanya karma, Jang, Bajang,
sekarang tahu rasa kamu, hidupmu terseok-seok. Kapok kamu. Otot
kawat tulang besi sekalipun jika sampai kedatangan Yamadipati jangan
bertanya dosa, langsung terduduk terkencing-kencing kamu Jang. Aku
lihat, yang waspada dan hati-hati, ini hanya menunggu kamu terlena….
(126) MBOK SENIK
Woalaaah, gene mung nomer. (NGECE) ngono wae direwangi rewel
kaya manten anyar kademen. (Leng, hal 83)
‗Woalaaah, hanya nomer. (MENGEJEK) kaya itu saja dibelain crewet
seperti pengantin baru yang kedinginan.‘
(127) BEDOR
Walah-walah…, thik sudi-sudi temen melu mbayangke. Wong dhuwit
mung sewu rupiah bae aku wis bingung…( Leng , hal 77)
‗Walah-walah… kok niat-niatnya ikut membayangkan. Uang hanya
seribu rupiah saja aku sudah bingung.‘
(128) MBAH KAWIT
Oueet, padune kowe sing ora wani rabi, thik nyalahake tanggane! (Tuk,
hal 141)
‗Oueet, padahal kamu yang tidak berani menikah, kok menyalahkan
tetangga!‘
(129) MBAH JAGA
Ayaaak, andekna saiki ya mung kudu trima nguping siyaran radio.
(Dom, 239)
Ayaaak, sekarang ya hanya bisa nguping siaran radio.
(130) PAK LAKON
Hayaah, kok ora apal karo lagehane bajang ta Mbah… Diwenehi
kembangan padudon neng ngarep, ora wurung mengkone ya njaluk
kelon. (Dom, 247)
Hayaah, kok tidak hafal dengan kebiasaannya sih Mbah… Bertengkar di
depan, nanti juga minta tidur.
(131) MBAH JAGA
Biyuuh...mung asu pasar gudhigen wae dimen-menke. (Dom,)
Biyuuh….hanya anjing pasar burikan saja di sayang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(132) MBAH JAGA
O, alah, Naa, Pak Kresna, nggambar mung sak rai wae diendhe-endhe,
senengane nandho gaweyan… Akeh apa pesenanmu….?(Dom, 237)
O, alah, Naa, Pak Kresna, menggambar hanya satu wajah saja ditunda-
tunda, sukanya menupuk pekerjaan… Banyak ya pesananmu…?
(133) PAK LAKON
Oalah mbah, mbah. Yen mung daging, aku kie wis blokeken Mbah, uripe
jagal kie awor daging, dhaharane piyayi-piyayi, cepakane ndara-ndara,
ngereti ora? (Dom, 251)
Oalah, mbah, mbah, jika hanya daging, aku sudah bosan Mbah, hidupnya
jagal itu bersama daging, makanannya orang besar, hidangannya
majikan-majikan, ngerti tidak?
(134) MBAH JAGA
Ayaaak kuwi rak sangitmu sing kadhung kewirangan. (Dom, 254)
Ayaaak itu kan alasanmu yang terlanjur malu.
(135) PAK LAKON
Huluh, nyetiri lakone dhewe wae ora pecus kok arep ngatur wong liya.
Wis wani mlebu neng Kandhangan kene kudu siap mati sak wayah-
wayah…..(Dom, 271)
Huluh, mengarahkan hidupnya sendiri saja tidak bisa kok mau mengatur
orang lain. Sudah berani masuk ke Kandangan sini harus siap mati
sewaktu-waktu.
(136) MBAH JAGA
Uwoooot, saiki lagi bisa ngomong ngono. (Dom, 271)
Uwoooot, sekarang baru bisa ngomong begitu.
(137) PAK LAKON
Biyuh, kok kaya bisa njugrugke gunung ngasatake segara sumbar
smeburmu….(Dom, 278)
Biyuh, kok seperti bisa meruntuhkan gunung, mengeringkan samudra
bicaramu….
(138) PAK LAKON
Halah, kuwi rak mung kewan to mbah….(Dom, 289)
Halah, itu kan Cuma hewan kan Mbah…
Data mulai dari (125) sampai dengan data (136) menunjukkan penggunaan
kata seru yang disertai sikap emosi mengejek atau ngece (dalam bahasa Jawa).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kata seru yang dipilih pengarang untuk menunjukkan sikap emosi tersebut antara
lain berupa kata horotoyooh, lha, waoalah, walah-walah, oueet, biyuh, ayaak,
hayaah, oalah, huluh, halah, dan ouwoot. Kata seru yang digunakan pengarang
dalam dialog tokohnya dimaksudkan agar emosi pemain dapat sampai pada kadar
yang diharapkan ketika membawakan peran tersebut. Selain itu juga untuk
menghindari kekakuan dalam membaca naskah/dialog sehingga terlihat wajar dan
tidak membosankan.
Pemanfaatan kata seru untuk mencapai tingkat emosi yang sesuai dengan
nada dan suasana hadir dalam bermacam sikap emosi. Selanjutnya, kata seru yang
menunjukkan keterkejutan yang disertai rasa khawatir juga nampak dalam dialog
tokoh berikut.
(139) KRESNA GAMBAR
Lho, Den…., lha nika rak mitra sampeyan… Digawa teng pundi nika…
Den, diseret, dieret-eret, dipeksa, dilarak, diarak…nyerik-nyerikake
olehe nyikara. Den, diglandhang dilebokne kandhang. Wadhuh
Den,…dudu menungsa! (Dom, 263)
Lho, Den….., lha itu kan temanmu…. Dibawa ke mana itu…. Den,
diseret, ditarik-tarik, dipaksa, diarak, menyakitkan hati caranya
menyiksa. Den, dipaksa dimasukkan kandang. Waduh Den, bukan
manusia!
(140) PAK LAKON
Adhuuuuuh, adhuh….. . Iki mau piye…. Adhuh, kae mau! Ladingku,
pusakaku, ladingku digawa Bajang…..Jaaaaang! balekna Jaaaaang! Ati-
ati! Kuwi pusaka, ndrawasi Jaaang! Aja sembarangan. Aja digawa!
Blaik, kae mengko mesthi njaluk tumbal……Jaaaaang ati-ati, kuwi
mbialeni!! (Dom, 288)
Adhuuuuuh, adhuh….. Ini tadi bagaimana…Adhuh, itu tadi! Pisauku,
pusakaku, pisauku dibawa Bajang….Jaaaaaang! kembalikan Jaaaaaaang!
Hati-hati! Itu pusaka, mengkhawatirkan Jaaaang! Jangan sembarangan.
Jangan dibawa! Blaik, itu nanti pasti minta tumbal….Jaaaaang hati-hati,
itu mbialeni!!
(141) PAK LAKON
Blaik! Kowe ta sing diarah? Aja ngetok dhisik, ndhelika neng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pendheman mburi kana. Gek ndang mlebuo kana…!(Dom, 254)
Blaik! Kamu ya yang diincar? Jangan muncul dulu, sembunyi dulu di
Pendheman belakang san. Cepat masuk sana…!
Kata seru pada data (139), (140), dan (141) dimanfaatkan pengarang untuk
menunjukkan rasa terkejut yang disertai rasa khawatir akan suatu hal. Kata seru
yang dipilih pengarang adalah lho, adhuuuuuh, dan blaik.
(142) BIBIT
Walaaah, dijabel! Kere tenan ki! (Tuk, hal 165)
‗Walaaah, di cabut! Benar- benar jadi miskin!
(143) SOLEMAN
Lho… kok ora ana? Neng ngendi iki? (Tuk, 148)
‗Lho…kok tidak ada? Di mana ini?
Data (142) dan (143) adalah contoh penggunaan kata seru yang disertai
sikap emosi kecewa. Pengarang dalam hal ini menggunakan kata seru berupa
walaaah, dan lho sebagai pengejawantahan rasa kecewa tokoh.
(144) MBOK SENIK
(KAGET) Heh…? Kok ulihke? Kowe ki piya ta..? Dadi kowe wis pisahan
karo Yatmi… (Leng, hal 72)
‗(TERKEJUT) Heh…? Kok dipulangkan? Kamu itu bagaimana…? Jadi
kamu sudah pisah dengan Yatmi…‘
(145) PAK LAKON
Aduuuuh..obatku mau kie neng ngendi…Mata tuwa mumet yen kon
nggoleki, disingkirake neng ngendi karo Mbah Jaga….(ORA NEMU
OBAT NANGING NEMU BATU BATREI) Mbah….Mbah Jaga…(Dom,
238)
Aduuuuh…obatku tadi di mana….Mata tua pusing jika harus mencari,
dipindah di mana sama Mbah Jaga…..Mbah Jaga…..(TIDAK
MENEMUKAN OBAT TAPI MENEMUKAN BATU BATREI
Data (144) penggunaan kata seru mengarah pada sikap emosi yang
mengkombinasikan rasa terkejut dengan rasa tidak percaya dari Mbok Senik atas
kelakuan Bongkrek yang memulangkan istri dan anaknya ke rumah mertuanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk data (145) pengarang menggunakan kata seru aduuuh untuk
menunjukkan sikap emosi terkejut yang bercampur jengkel karena Pak Lakon
tidak dapat menemukan obanya yang semula ditaruh di suatu tempat.
2) Kata seru yang menunjukkan kemarahan
Kata seru digunakan pengarang untuk menambah efek emosi dalam sebuah
dialog. Emosi yang dihadirkan dalam suatu dialoh dapat bermacam-macam, salah
satunya adalah rasa marah. Hal ini dapat dilihat dalam data yang disajikan berikut.
(146) PAK REBO
We ladalah, ngajak padu? Iyooh, ayo dakladeni. (Leng, hal 85)
We ladalah, mengajak berantem? Iya, ayo saya turuti.‘
(147) PAK REBO
We-lha kowe wani temenan ta… (Leng, hal 85)
‗We-lha kamu berani beneran ya…‘
(148) JURAGAN
Hah! Apa? Bagong mati? Bajingan! Sapa sing mateni. (Leng ,hal 109)
‗Hah! Apa? Bagong mati? Bajingan! Siapa yang membunuhnya.‘
(149) MBAH KAWIT
E, sembrono…, mbok anggep pawuhan piye? (Tuk, hal 146)
‗E, sembarangan…, apa dikira sampah?‘
(150) MBAH KAWIT
Huss! Sumure ki sumber banyu ya Le, aja mainan kowe. Banyu resik
larang regane! (Tuk, hal 145)
‗Huss! Sumur itu sumber air Le, jangan dibuat mainan, air bersih mahal
harganya!‘
(151) PAK LAKON
E, dak urus iki! Yen ngene iki aku bisa serik! (Dom, 251)
E, aku urus ini! Kalau begini bisa sakit hati!
(152) KRESNA GAMBAR
Huss, he…he.. aja bengok-bengok, ngrusuhi wong nyambut gawe! Aku
lagi ngrampungake gambarku…(Dom, 289)
Huss, he…he….jangan teriak-teriak, mengganggu orng kerja! Aku
tengah menyelesaikan gambarku…..
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(153) MBAH JAGA
Biyangane ....! Asat nggereng! Layak ditus ora tetes.(Dom, 223)
Biyangane…! Kering krontang! Pantas sampai dijungkirkan tidak tetes.
(154) KRESNA GAMBAR
Heii...ati-ati. Kuwi dudu kewan! Aja dilarak. Kae ki ya menungsa
lumrah….(Dom, 261)
Heii… hati-hati. Itu bukan hewan! Jangan ditarik. Itu juga manusia
biasa….
(155) KRESNA GAMBAR
We lha, kepriye ta kowe kie, aja di-ming-ke aja di-mung-ke....(Dom, 232)
We lha, bagaimana kamu ini, jangan disepelekan, jangan direndahkan…
(156) DEN SETRA
Lho-lho-lho....piyayi-piyayi kae dha arep neng ngendi? Kurang ajar,
ana sing nggeret…ana sing nyurung…!! (Dom, 261)
Lho-lho-lho…..orang-orang itu mau dibawa ke mana? Kurang ajar, ada
yang menarik, ada yang menorong…!!
(157) DEN SETRA
Wadhuuuuuh. Ora duwe uteg…! Bajingan kae arep dikebiri….!! (Dom,
263)
Wadhuuuuuh. Tidak punya otak…! Bajingan itu mau dikebiri…!!
(158) LANDA BAJANG
(NGIPATNE TANGANE PRAPTI) Aasss....ora sudi! Nggagas Genjik gur
marahi panas!...gawe serik…mecahke ndhas….(Dom, 269)
(MENAMPIK TANGANNYA PRAPTI) Aass…tidak sudi! Mikirin
Gejik Cuma bikin panas!..bikin sakit hati…memecahka kepala…
(159) LANDA BAJANG
Ass…kula pun ngereti karepe…(Dom, 270)
Ass..aku sudah tahu maksudnya…
(160) PAK LAKON
He-he....kowe ki arep ngapa ta Jang, kesamber mimis sida dadi randha
bojomu! Mbok rasah kakean pertingsing, dadi uwong kok anane mung
ora trima. Kebangetan olehe ngidak bojone. Mbok ngelingi olehe dadi
buron. (Dom, 271)
He-he…kamu mau apa Jang, kena peluru jadi janda istrimu! Jangan
bertingkah, jadi orang kok tidak pernah menerima. Keterlaluan yang
menyia-nyiakan istri. Sadar diri kalau sedang jadi buronan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kata seru pada data (146) sampai dengan data (160) digunakan pengarang
untuk memancing emosi pemain agar sesuai dengan suasana yang diharapkan,
yaitu rasa marah atau kesal. Kata seru yang dipilih pengarang untuk
mengungkapkan kemarahan antara lain yaitu we ladalah, we lha, hah, huss, e,
biyangane, heii, aass, he-he. Kata seru yang digunakan atau dipilih pengarang
untuk menunjukkan emosi marah pada umumnya hanya terdiri dari satu suku kata
atau justru hanya satu huruf. Namun apabila pengucapannya atau pendialogannya
dengan tegas dan penuh emosi kata seru tersebut mampu mencapai efek yang
dramatis.
(161) MBAH JAGA
Wee. Ora! Emoh. Dak tinggal mingset sedhela mengko kertuku mbok
unthut, tukang nginjen, sida badhar. Rumangsane apa. Keretuku lagi
apik…lha rak apa ta. (MBANTING KERTU, KELEGAN) (Dom, 224)
Wee. Tidak! Tidak. Aku tinggal pergi sebentar nanti kamu curi kartuku,
tukang ngintip, jadi kalah. Kamu kira apa. Kartuku baru bagus, lha betul
kan. (MEMBANTIN KARTU, MERASA LEGA).
(162) LANDA BAJANG
Huu….diamput, isih padha neng kana….Pating threnguk neng kana ki
sapa sing digoleki. Wis ora aman neng kene! Bajingan, marakne dheg-
dhegan. (Dom, 249)
Huu….diamput, masih di sana semua…. Berjajar di sana itu siapa yang
di cari. Sudah tidak aman di sini! Bajingan, membuat deg-degan.
(163) MBAH JAGA
Horotoh...(MBENGOK) Jaang…! Neng kene wae! Arep ngang ndi? Mas
Mantri ki ora nonton ulat……(Dom, 270)
Horotoh....(BERTERIAK) Jaaaang….! Di sini saja! Mau ke mana? Mas
Mantri itu tidak melihat raut muka…..
Emosi marah juga dapat bercampur dengan emosi lainnya yang mampu
memberikan nuansa keteganga pada dialog. Pada data (161), (162) dan (163)
pengarang menghadirkan nuansa kemarahan yang bercampur rasa khawatir akan
suatu hal. Kata seru yang dipilih mengarang untuk memperjelas nuansa tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adalah wee, huu, dan horotoyoh yang peristiwanya dijelaskan dalam kalimat-
kalimat setelahnya.
3) Kata seru yang menunjukkan rasa kagum
(164) JANAKA
Halaah, kok ndadak tekan sugih, wong mbendinane, yen butuhe saget
ketutup mawon kula pun matur nuwun. (Leng, hal 101)
‗Halaah, kok sampai menjadi kaya, orang setiap harinya, kalau
kebutuhan sudah tercukupi saja saya sudah bersyukur.‘
(165) ROMLI
Weleh, weleh…, ember nggo ngising wae olehe nyimpen primpene. (Tuk,
hal 153) ‗Weleh, weleh… ember buat buang hajat saja yang menyimpan
tersimpan sekali.‘
Data (164) dan (165) kata seru halah dan weleh, weleh menunjukan rasa
kagum. Pemakaian kata seru di atas oleh pengarang sebagian besar diletakan
dalam awal kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pemain dalam
mencapai sikap emosi yang dikehendaki dialog.
c. Penggunaan Dasanama (Sinonimi)
Sinonim atau dalam bahasa Jawa disebut dasanama merupakan kata-kata
yang mempunyai padanan makna. Dalam bahasa Jawa, dasamana adalah kata-
kata yang mempunyai padanan kurang lebih ada sepuluh bentuk kata lain.
Sebaliknya sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama (Gorys
Keraf, 2004: 34). Sementara itu Harimurti Kridalaksana (2001: 198) sinonim
adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain;
kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya
yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.
Pemakaian unsur dasanama atau sinonimi dalam sebuah naskah drama
dimaksudkan untuk memberikan penegasan atas apa yag disampaikan melalui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dialog tokohnya. Sinonimi dapat padanan berupa bentuk kata dengan kata, kata
dengan frasa (atau sebaliknya), dan frasa dengan frasa. Berikut ini beberapa data
yang menggunakan sinonim dalam naskah drama Leng, Tuk, dan Dom.
1) Sinonim kata dengan kata
(166) BEDOR
Boten sah digateke, orasah digagas, niku mung krungon-krungonan.
Dienggo sare mawon, sing penak. (Leng, hal 77)
‗Jangan diperhatikan, itu hanya kedengaranya. Buat tidur saja, yang
nyaman.‘
(167) PAK REBO
Saben tamu sambate nggih ngoten. Lha neng ajeng pripun? Didhelike
teng leng semut pisan ta, ya tetep krebrebegan, tetep kebribenan. (Leng,
hal 78)
‗Setiap tamu mengeluh seperti itu. Lha tetapi mau bagaimana?
Disembunyikan di lubang semut sekalian , ya masih kedengaran.‘
(168) JURAGAN
Dikandhani kabeh, bengi iki aku lagi butuh leren, perlu istirahat. (Leng,
hal 111)
‗Semua diberitahu, malam ini aku butuh istirahat.‘
(169) BEDOR
Lha kok kaya bocah wandu! Banci! Ampun wedi sampeyan niku lanang
tenan Den. (Leng, hal 88)
‗Lha kok seperti bocah banci! Jangan takut kamu itu lelaki sungguhan
Den!‘
(170) BIBIT
(NYANGKING EMBER BOROT, NYEDHAKI MBAH KAWIT) Mbah,
kowe melu bakulan ora, nya, daksetori dagangan.. (Tuk, hal 161)
(MEMBAWA EMBER BERLUBANG, MENDEKATI MBAH KAWIT)
Mbah, kamu ikut berdagang tidak, ini saya kasih setoran dagangan.‘
(171) SOLEMAN
Aku ki butuh leren, butuh ngaso, malah dha ngajak rame! (Tuk, hal 175)
‗Aku ini butuh istirahat, malah diajak ribut.‘
(172) MARTO KRUSUK
Wong sugih kuwi rak ora perlu dadi maling, ora susah dadi kecu… (Tuk,
hal 199)
‗Orang kaya itu tidak perlu jadi pencuri, tidak perlu jadi penjahat… ‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(173) BIBIT
Isih akeh sing kudu ditandur, gatekne bibit-bibit liyane. Nasibe piye?
Piye tuwuhe wineh-wineh sing padha kecer neng kene…(Tuk, hal 214)
‗Masih banyak yang perlu ditanami, diperhatikan bibit-bibit yang lain.
Nasibnya bagaimana? Bagaimana tumbuhnya bibit-bibit yang tersebar
disini.‘
(174) KRESNA GAMBAR
Lha biasane piyayi sing lantip, sing waskita, sing jatmika,… (Dom, 233)
Lha biasanya orang besar yang pandai, pintar, cerdas, …
Data (166) sampai dengan (174) merupakan sinonimi dalam bentuk kata
dengan kata. Data (166) kata bersinonim adalah digatekne ―diperhatikan‖ dan
digagas ―diperhatikan‖, data (167) pengarang menggunkan sinonimi kebrebegen
dengan kebribenan yang berarti terganggu oleh suara untuk menyatakan rasa tidak
suka karena sesuatu yang dirasa menggangu. Penggunaan sinonimi berupa kata
dengan kata juga dijumpai dalam data (168) sampai dengan (174). Penggunaan
sinonimi berupa kata dengan kata dipilih pengarang untuk memberikan variasi
kalimat.
2) Sinonim frasa dengan kata
Penggunaan sinonimi dalam bentuk frasa dengan kata atau kata dengan frasa
juga dijumpai dalam naskah drama ini. Penggunaan sinonimi bentuk ini
dimaksudkan untuk memberikan penegasan pada peristiwa atau suatu kondisi
dalam cerita. Hal ini nampak dalam data berikut.
(175) KECIK
Mbok…Ragile kang Bongkrek sida ora ngukup. Mati Mbok…(NANGIS)
(Leng, hal 109)
‗Mbok…Anaknya Bongkrek yang bungsu sudah meninggal. Meninggal
Mbok…(MENANGIS)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(176) DEN SETRA
..... bojoku isih waras, kowe dhewe sing edan! Miring utegmu! Ilang
kamanungsanmu! Edan! Wong ora waras, edaaaaannnnn....(Dom, 264)
Istriku tidak gila, kamu sendiri yang gila! Miring otakmu! Hilang rasa
kemanusiaanmu! Gila! Orang gila! Gilaaaa……
Data (175) pengarang memilih sinonim berupa frasa ora ngukup dengan kata
mati. Frasa ora ngukup dalam bahasa Jawa merupakan ungkapan menyatakan
untuk memperhalus kata mati. Untuk data (176) kata edan bersinonim dengan
frasa miring utegmu dan ora waras.
3) Frasa dengan frasa
Sama seperti bentu sinonim yang lainnya, sinonim bentuk frasa dengan frasa
juga dipilih pengarang untuk memberikan nuansa penyangatan pada peristiwa atau
suasana yang terjadi dan dialami tokoh. Penggunaan sinonimi dalam bentuk frasa
dengan frasa dapat dilihat pada data berikut.
(177) KECIK
Mbok, arepa dudu sanak, dudu kadang rasane kok kaya ya tetep krasa
melu kelangan. (Leng, hal 114)
‗Walaupun bukan saudara, rasanya kok seperti ikut kehilangan.‘
(178) SOLEMAN
Tanggor tuwekan ora waras, tuwekan ora genah! (Tuk, hal 151)
‗Bertemu orang tua tidak waras, orang tua tidak jelas.‘
(179) LIK BISMA
Paringana bagas waras… umur dawa… yuswa panjang! (Tuk, hal 207)
‗Di kasih kesehatan… umur panjang!‘
(180) KRESNA GAMBAR
corekanku ki mawa teges, mawa karep, ana perlambange, ana
sasmitane, yen gelem nggatekke ya ana pituduhe ana pituture....(Dom,
233)
Coretanku ini mengandung arti, memuat lambang, mengandung makna,
jika mau memperhatikan ada petunjuknya ada nasihatnya.
(181) MBAH JAGA
Disarehake dhisik, atine dirih-rih...ampun digawe susah, ampun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
digawe mbentoyong.....(Dom, 238)
Ditenangkan dulu, hatinya dibikin nyaman, jangan dibuat menderita,
jangan terlalu dipikirkan.
(182) MBAH JAGA
....., kathah kancane, mboten-mboten yen kijenan....(Dom, 238)
Banyak temannya, jangan takut jiaka nanti sendirian
(183) PAK LAKON
....sing payu pancen mung swarane, mung nggedebuse, mung olehe
padha pinter umuk, olehe wasis ngomong. ..... (Dom, 240)
Yang laku memang ahany suaranya, hanya bualannya, hanya
omongannya, hanya kepandaiannya berbicara.
(184) DEN SETRA
...... , bojoku isih waras, sehat pikirane, ..... (Dom, 264)
Istriku tidak gila, masih sehat pikirannya
Pada data (177) frasa dudu sanak bersinonim dengan dudu kadang, kedua
frasa tersebut memiliki makna yang sama yaitu bukan saudara. Pemilihan kata
tersebut dimaksudkan untuk menyatakan perasan kehilangan yang sangat
meskipun bukan saudara. Data yang menunjukkan bentuk sinonim berupa frasa
dengan frasa juga terdapat dalam data (177) sampai dengan data (184). Pada data
(180), (181) dan (183) pengarang menggunkan persamaan lebih dari dua frasa.
Data (180) sininom berupa frasa mawa teges yang bersinonim dengan frasa mawa
karep, ana perlambange, ana sasmitane, kesemua frasa yang dipilih pengarang
memiliki arti ‗memuat makna‘. Data (181) frasa yang brsinonim adalah
disarehake dhisik dengan atine dirih-rih, ampun digawe susah, ampun digawe
mbentoyong, frasa yang dipilih pengarang pada data (181) ini memiliki makna
yang sama atau hampir sama yaitu ‗sabar‘, sedangkan untuk data (183) frasa yang
bersinonim adalah mung swarane dengan mung nggedebuse, mung olehe padha
inter umuk, olehe wasis ngomong,frasa ini memilik makna yaitu ‗omong kosong‘.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemanfaatan sinonimi seperti pada data (177) sampai dengan (184)
menunjukkan bahwa pengarang hendak menegaskan suasana atau peristiwa yang
terjadi. Selain itu pemanfaatan sinonim dalam naskah-naskah drama ini
menjunjukkan bahwa bahasa Jawa mempunyai banyak leksikon yang bervariasi
dan beragam. Kekayaan kosakata bahasa Jawa ini ternyata mampu dimanfaatan
pengarang untuk menyampaikan nuansa emotif yang tegas dan penuh nilai estetis
disamping faktor variasi kata yang dituju.
d. Paribasan (Peribahasa)
Peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku
bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat; brsifat turun-temurun;
dipergunakan untuk penghias karangan atau percakapan penguat maksud
karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup; mencakup bidal,
pepatah, perumpamaan, ibarat, pemeo (Kridalaksana, 2008: 189). Peribahasa
dalam bahasa Jawa disebut paribasan yaiku unen-unen kang ajeg penganggone,
mawa teges entar, ora ngemu surasa pepindhan ‗peribahasa yaitu ungkapn yang
penggunaannya konsisten, berarti kiasan, dan tidak berarti perumpamaan.
(Padmosoekotjo, 1960: 62).
Di dalam lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP ini banyak
menggunakan peribahasa untuk memberikan penguatan pada makna dialog yang
disampaikan. Data mengenai peribahasa dalam naskah drama ini dapat disajikan
sebagai berikut.
(185) JURAGAN
Bengok-bengok, ambata rubuh, gamane ditudingke nyang raiku… aku
wedi…(Leng, hal 92)
‗Teriak-teriak, seperti batu merah roboh, senjatanya diacungkan di depan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mukaku… aku takut…‘
Pada data (185) pengarang menggunakan peribahasa ambata rubuh
mengibaratkan suara orang, sejata api, dan sebaginya yang banyak jumlahnya dan
bersama-sama mengeluarkan suara/dibunyikan sehingga suarana menyerupai
tumpukan batu bata yang roboh. Paribasan ambata rubuh digunakan pengarang
untuk menggambarkan ketakutan tokoh Juragan yang merasa dirinya tengah di
demo puluhan orang dengan membawa senjata yang semuanya serentak berteriak-
teriak kepada Juragan.
(186) MBOK SENIK
Ben mboten diarani wong Jawa ilang Jawane. (Leng, hal 103)
‗Biar tidak disebut orang Jawa hilang Jawanya.‘
Data (186) wong Jawa ilang Jawane ‗orang Jawa hilang Jawanya‘,
paribasan tersebut sering digunakan untuk menggambarkan orang Jawa yang
mulai melupakan budaya, bahasa, maupun tatakrama Jawa. Paribasan tersebut
serupa dengan idiom ―kacang lupa akan kulitnya‖. Paribasan tersebut memuat
makna agar tidak melupakan identitasnya. Pada dialog tersebut menggambarkan
Mbok Senik yang tidak mau melupakan budaya Jawa.
(187) PAK REBO
Tiwas tamune takjak crita ngethuprus, karepku ben Si Bongkrek mlayune
bisa tekan adoh, ben ora kecandhak. Jebul kutuk marani sunduk. (Leng,
hal 122)
‗Terlanjur tamunya saya ajak bicara banyak, inginku Bongkrek biar lari
jauh, biar tidak ketangkap. Tak tahunya (Si Bongkrek) sengaja menuju
bahaya.‘
(188) PAK LAKON
Oalaaaah Jang, kowe ko goblok temen, ngereti yen nyawane diincer
malah njrunthul metu, kutuk marani sunduk…. Iki mau kok ya nganggo
nyaut ladingku, gek arep nggo apa…., Ora genah! Yen ora ndang dak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
turuti sida ilang kabeh, kae mengko, lading pusaka dak eman-eman…
(KLEPAT MLAYU METU NUTUTI BAJANG) (Dom,289)
Oalaaaaa Jang, kamu kok bodoh sekali, tahu kalau nyawamu sedang
diintai malah lari keluar, itu namanya menyerahkan diri…. Ini tadi kok ya
menyambar pisauku, mau digunakan apa…. Tidak becus! Jika tidak segera
aku turuti jadi hilang semua nanti, pisau pusaka aku sayang….(BERLARI
KELUAR MENGEJAR BAJANG)
Pada data (187) dan (187) paribasan kutuk marani sunduk mempunyai arti
seseorang yang sengaja meghampiri bahaya. Pada data (187) paribasan tersebut
menggambarkan keberanian Bongkrek yang mendatangi pabrik tanpa berpikir
panjang. Sedangkan untuk data (188) kutuk marani sunduk meggambarkan tokoh
Bajang yang lari keluar Kandangan dengan membawa pisau Pak Lakon untuk
mecari Genjik tanpa memperhatikan kondisi keamanannya.
(189) ANA PABRIK JURAGANE MALAH NANTANG
Pokoke rawe-rawe rantas malang-malang putung. Sapa sing wani
ngalang-ngalangi lakuku? Ha? Pabrik kudu mlaku terus. (Leng, hal 123)
‗Pokoknya maju terus pantang menyerah. Siapa yang berani menghalang-
halangi rencanaku? Hei? Pabrik harus berjalan terus.‘
(190) KRESNA GAMBAR
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung...(Dom, 258)
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung
Data (189) rawe-rawe rantas malang-malang putung mempunyai makna
seorang yang bertekad kuat, sehingga siapapun yang merintangi keinginannya
akan disingkirkan. Pada data (190) ungkapan tersebut menggambarkan Juragan
yang memiliki kekuatan dan kekuasan yang ingin memperbesar pabriknya dan
akan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi keinginannya itu. Untuk data
(190) menggabarkan tekad besar yang dipunyai Kresna Gambar atas kondisi
dirinya dan warga Kandangan yang dijadikan bulan-bulanan oleh penguasa.
(191) BIBIT
Njur, warga Margesaren kene dha ngrubung sampeyan mbokdhe, ben
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kecripatan rejeki, wong ya mung kadang konang. (Tuk, hal 164)
‗Kemudian, warga Margesaren sini semua mengelilingi kamu mbokde,
biar kebagian rejeki, hanya saudara yang mampu.‘
Data (191) kadang konang kata kadang berarti saudara dan konang berarti
kunang-kunang (serangga yang dapat bercahaya karena kandungan pospor
diekornya). Ungkapan kadang konang secara idiomatis bermakna orang hanya
akrab dengan dengan sanak-saudaranya yang kaya saja, sedangkan yang miskin
tidak dipedulikan. Konang dalam hal ini mengibaratkan orang kaya. Pada data
(191) penggunaan paribasan kadang konang dalam dialog Bibit untuk mbombong
Mbokde Jemprit yang bermimpi kepengin jadi orang kaya padahal sebenarnya
Bibit tengah mengolok Mbokdhe Jemprit.
(192) MARTO KRUSUK
…amburu uceng kelangan deleg! Ilang kabeh pangarep-ngarepku, gara-
gara kelebonan dhemit, amblas rejekiku. (Tuk, hal 213)
‗…mengejar ikan uceng kehilangan ikan deleg! Hilang semua harapanku,
gara-gara kemasukan dhemit (mahkluk halus), hilang rejekiku.‘
Data (192) mburu uceng bermakna karena terlalu fokus mengejar sesuatu
yang remeh temah (tak bernilai/bernilai kecil), akhirnya kehilangan sesuatu yang
lebih besar dan bernilai (berguna). Pengarang penggunakan peribahasa tersebut
untuk memberi gambaran tentang rasa kecewanya Marto Krusuk yang selama ini
memikirkan uang pesangonnya padahal dilain pihak tempat tinggalnya akan
dijual.
(193) KRESNA GAMBAR
Ming gambar kerdhus wae thik bia dingo kaca benggala. (Dom, 232)
Cuma gambar dari kardus kok bisa dijadikan bahan instrospeksi.
Data (193) pengarang menggunakan paribasan kaca benggala dari asal kata
kaca: cermin, dan benggala: besar. Kaca benggala dalam paribasan mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
makna yaitu seseorang/sesuatu yang selalu dijadikan contoh (baik maupun buruk)
oleh masyarakat. Pada data (193) kaca benggala digunakan pengarang untuk
menggambarkan gambar-gambar yang dibuat Kresna Gambar bisa dijadikan kaca
benggala.
(194) MBAH JAGA
Aja nyetani kowe! Rembugmu bisa nglincipi carang. Krungu Bajang
dadi rame. Wis kana, gaweyanmu gek ndang rampungna…..(Dom, 236)
Jangan ngompori kamu! Kata-katamu bisa menjadikan masalah.
Terdengar bajang bisa rame. Sudah sana, pekerjaanmu cepat
diselesaikan….
Data (194) pengarang menggunakan paribasan berupa nglincipi carang yang
berarrti meruncingi ranting bambu padahal ranting bambu sudah runcing dan
kecil. Dalam data (194) nglincipi carang menggambarkan perkataan yang
dilontarkan Kresna Gambar dapat membuat runcing masalah yang tengah terjadi.
(195) PAK LAKON
Kalah cacak menang cacak, diadhepi! (Dom, 254)
Kalah menang sama saja, hadapi saja!
Data (195) kalah cacak menang cacak yang mempunyai makna segala
sesuatunya harus dicoba dahulu, soal berhasil tidaknya itu urusan nanti.
Pengambaran ini digunakan pengarang untuk menggambarkan pelarian Landa
Bajang yang telah diketahui dan menyarankan untuk mengahadapi saja apapun
yang terjadi.
(196) KRESNA GAMBAR
Majua, aku ora arep tedheng aling-aling...(Dom, 257)
Majulah, saya tidak akan menghindar!
Di dalam data (196) paribasan ora arep tedheng aling-aling untuk
menggabarkan semangat perlawanan Kresna Gambar dalam menghadapi kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang dialaminya, ia akan menghadapainya secara terang-terangan tanpa ada yang
disembunyikan atau dirahasiakan.
(197) KRESNA GAMBAR
Dadi sing diperangi niku tindak kanistan, bobroking bebuden, sipat
adigang-adigung, laku malak murka, nyenyamah hak miliking
liyan…sing ngeten-ngeten niki kula bisa melu merangi, nadyan drajade
mung tukang gambar. orasah nggawa bdhil nggegem klewang, nanging
nganggo pucukan potlot bisa luwih ampuh. …..
Ubaling hawa, panasing dhada getering ati, prentuling pangarsa, kabeh
mili wutuh nyawiji dadi corekan gambar. (Dom, 283-284)
Jadi yang dibrantas itu tindak kenistaan, rusaknya moral, sifat yang
sombong, kemarahan, mengambil hak orang lain, yang seperti ini ku bisa
ikut memberangtas, meskipun hanya tukang gambar, tidak usah
membawa senapan, membawa golok, namun menggunakan ujung pensil
bisa lebih ampuh. …. Emosi yang meluap, rasa marah, keinginan, semua
tercurah secara total melalui coretan gambar.
Paribasan adigang adigung adiguna sudah sering diguakan dalam berbagai
hal. Peribahasa tersebut memuat arti bahwa orang yang meninggikan atau
mengandalkan kekuatan, besar atau tingginnya serta kepandaiannya. Alam data
(197) pengarang menggunakan peribahasa adigang adigung yang menggambarkan
penguasa yang hanya menggunakan kekuatan dan besarnya saja tidak
menggunakan otak/kepandaiannya.
(198) DEN SETRA
Saiki wis genah mung adi barang bobrok, abrag bobrog, bekakas turahan,
wis dibuwang merga tatuku arang-kranjang. (Dom, 260)
Sekarang sudah jadi barang rusak, barang bekas, barang sisa sidah dibuang
karena lukaku rapat.
Data (198) pengarang menggunakan paribasan arang kranjang untuk
menggambarkan luka yag pernah diderita Den Setra sudah terlalu banyak, atau
luka parah karena penyiksaan oleh pihak yang berkuasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e. Tembung Kasar ‘Kata Makian’
Kata makian yang diturunkan dari verbal memaki berarti ‘mengeluarkan
kata-kata keji, kotor, kasar sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel‘
(KBBI, 2002: 702). Makian mempunyai arti yang tidak jauh berbeda dengan
umpatan, yaitu ‘perkataan yang keji-keji atau kotor yang diucapkan karena marah,
jengkel atau kecewa‘ (KBBI, 2002: 1244). Kata-kata kasar berarti tidak sopan,
keji berarti sangat rendah, tidak sopan, dan kata-kata kotor berarti jorok,
menjijikan, melanggar kesusilaan (KBBI, 2002: 511, 527, 599). Berikut ini adalah
pemakaian tembung kasar atau kata makian dalam naskah drama LTD.
1) Tembung kasar dengan referansi netral
(199) BONGKREK
(MUNTAB) Tobat tenan thik, swara siji kae kok mesthi ngusuhi.
Diancuk…! (Leng, hal 67)
‗(MARAH) Tobat benar, suara satu itu selalu mengganggu. Diancuk
(makian)…!‘
(200) JURAGAN
Ndlogok, ora rumangsa yen dikalahi. (Leng, hal 90)
‗Ndlogok (makian), tidak merasa kalau dikalahkan.‘
(201) SOLEMAN
Lho…kok ora ana? Neng ngendi iki? Ndladhuk…wadhuuh…
(MUNTAB KARO NGGOLEKI JAGO NING SAKIWA TENGENE
KANDHANG) (Tuk, hal 148)
‗Lho…tidak ada? Di mana ini? Ndladhuk (makian)…waduh…(MARAH
DENGAN MENCARI DI SEKITAR KANDANG) ‘
(202) LANDA BAJANG
Gathel...! Kowe pengin weruh aku modar apa piye? Iya….? Ben ndang
dadi randha, ndang bisa golek lanangan sing bisa ngeloni pendhak
dina….Genjik sing mbok endelke? Preeek…! (Dom, 246)
Gathel…! Kamu ingin lihat aku mati ya? Iya….? Biar cepat jadi janda,
cepat bisa cari pria yang bisa menemani tidur tiap hari….Ganjik yang
kamu andalkan? Preeeek….!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(203) LANDA BAJANG
Gathel…..(NGLUNGANI) (Dom, 227)
Gathel….(PERGI)
(204) LANDA BAJANG
Gathel…..! (Dom, 247)
Gathel….!
Pada data (199) sampai dengan data (204) kata- kata makian yang digunakan
hanya digunakan sebagai alat pelampiasan. Kata-kata pisuhan yang digunakan
hanya sebagai media meluapkan emosi kemarahan yang memucak. Kata-kata
yang demikan tidak memliki arti, orang yang mengucapkannya pun tidak
memikirkan arti kata yang diucapkan. Sehingga kata makian seperti data di atas
dikategorikan pada kata makian yang netral, artinya tidak merujuk pada kondisi
atau mahkluk lainnya.
2) Tembung kasar dengan referensi binatang
Kata-kata makian selalu identik dengan kemarahan. Kemarahan selalu
berhubungan dengan keadaan tertentu. Dalam keadaan marah seseorang sering
tidak mampu mengontrol segala ucapannya, termasuk mengucapkan kata-kata
makian. Luapan emosi marah dapat dilihat dari ekspresi wajah dan suara. Seorang
aktor sangat perlu mempelajari muatan emosi yang dihadirkan dalam setiap dialog
tokoh-tokohnya.
Di dalam naskah drama Leng, Tuk, dan Dom pengarang banyak
menggunakan luapan emosi kemarahan untuk menunjukkan kondisi yang terjadi.
Luapan marah tersebut salah satunya dimunculkan dalam bentuk kata makian.
Berikut akan disajikan data mengenai kata makaian yang mengambil referensi
dari nama hewan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(205) BEDOR
Hoi, aja gawe ribut ana kene! Aja bengok-bengok ana kene, gawe rame,
yen rame wae neng kene sing adoh… asu! (Leng, hal 74)
‗Hoi, jangan buat keributan di sini! Jangan teriak-teriak di sini, membuat
ramai, kalau masih ramai di sini pergi jauh… anjing!‘
(206) LANDA BAJANG
Mlebua. Ndang mlebu…Prap, cepet! Gek ndang mlebu mrene, aja tolah-
toleh, rasah menga-mengo, rikat! Cepet, …..asu! Gek ndang….! Selak
konangan! Ngati-ati, aja nganti ana sing ngunthil…ayo, cepet,
mlayu….!(Dom, 244)
Masuk. Cepat masuk Prap, cepat! Cepat masuk sini, jangan tengak-
tengok, cepat! Cepat….anjing! Cepat! Keburu kelihatan! Hati-hati jangan
sampai ada yang mengikuti…ayo, cepat lari….
(207) LANDA BAJANG
Asuu…! (AGE_AGE DIBUWANG, GETHEM-GETHEM) (Dom, 246)
Anjing…! (BURU-BURU MEMBUANG, KESAL)
(208) JURAGAN
Bangsat! Ndablek emen. Cepet mrene. Yen diceluki ndang mara! (Leng,
hal 73)
‗Bangsat! Malas sekali. Cepat kesini. Kalau dipanggil cepat datang.‘
(209) JURAGAN
Bangsat! Iki mesthi ana sing nggawe. Bajingan! Sapa sing arep ngrusuhi
aku? Sapa? (Leng, hal 76)
‗Bangsat! Ini pasti ada yang membuat. Bajingan (makian)! Siapa yang
akan mengganggu saya? Siapa?‘
(210) PAK REBO
(ORA NGREWES) E, mbok menawa nomere nyasar… (NJERENGI SIJI-
SIJI KERTASE)…semprul…! (DIBUANG SAKLEMBAR) wedhus!
(Leng, hal 119)
(TIDAK PEDULI) E, kalau ada nomer kesasar… (MEMBUKA SATU-
SATU)… semprul (makian)… ! (DI BUANG SATU LEMBAR) wedhus
(makian)!
Pada data (205), (206), dan (207) pengarang menggunakan referensi kata
asu ‗anjing‘. Namun dalam dialog yang dtuturkan Bedor dan Landa Bajang kata
asu ‗anjing‘ menduduki peran yang berbeda, kata tersebut ditujukan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
seseorang yang tengah dimarahinya. Dalam hal ini kata asu ‗anjing‘ telah
mengalami pergeseran makna.
Pada data (208) dan (209) pengarang menggunaka kata makian bangsat
‗kutu busuk‘. Kata bangsat ‗kutu busuk‘ tidak digunakan untuk menyebut
binatang tersebut secara nyata, tetapi digunakan untuk menyatakan kekesalan
Juragan. Sedangkan data (210) kata makian yang digunakan adalah wedhus
‗kambing‘.
3) Tembung kasar dengan referensi anggota tubuh
Kata-kata makian dapat diambil kata apa saja, termasuk dari anggota tubuh.
Nama anggota tubuh bisa jadi kata makian apabila pengucapannya dengan nada
tinggi dan ekspresi marah. Kata-kata makian dengan referensi anggota tubuh
dapat dilihat dalam ata berikut.
(211) BONGKREK
Ora duwe utek…Lha sampeyan keganggu mboten? (Leng, hal 68)
‗Tidak punya otak… Lha kamu merasa keganggu tidak?‘
(212) MBOKDE JEMPRIT
Wis picek apa matamu, ya mung neng Margesaren iki awake dhewe bisa
ketemu, bisa leren, bebrayan. (Tuk, hal 172)
‗Sudah buta apa matamu, ya cuma di Margesaren ini kita bisa ketemu,
bisa istirahat, berumah tangga.‘
(213) SOLEMAN
Maling, maling ndasmu! Esuk mau kok ya nganggo lali niliki, lali
makani! (Tuk, hal 149)
‗Pencuri-pencuri kepalamu! Pagi tadi kok pakai lupa melihat, lupa
memberi makan!‘
(214) SOLEMAN
Orasah kakehan cangkem, cocote dijaga. (Tuk, hal 174)
‗Jangan banyak bicara, mulutnya dijaga.‘
(215) MBAH KAWIT
Sumpelona gobogmu kuwi nek ora pengin ngrungokne. (Tuk, hal 202)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‗Ditutup kupingmu kalau tidak ingin mendengarkan.‘
(216) LANDA BAJANG
Aman dhengkulmu…Nyawaku sing diincer…Prap, kene lagi
dikupeng….Wiwit saiki kowe yen ngirim sing ngati-ati….(Dom, 244)
Aman dhengkulmu.. Nyawaku yang diincar. Prap, di sini sedang
dikepung. ..Mulai sekarag kamu kalau mengirim yang hati-hati…(Dom,
244)
(217) MBAH JAGA
Cangkeme....! (Dom, 250)
Mulutmu….!
(218) MBAH JAGA
Kulakan—kulakan, dhapurmu! Kana, dadiya gedibal terus yen mung
pengin wareg wejangan….! Sing penting kie lakune Cah! (PAK LAKON
ORA DIGLAPE, BANJUR NYEDHAKI PRAPTI). (Dom, 252)
Kulakan-kulakan, dhapurmu! Sana, jadi gelandangan terus jika hanya
ingin kenyang nasehat…! Yang penting itu menjalani, cah!
(219) PAK REBO
Sapa sing gojek? Dhengkulmu amoh kuwi. (Leng, hal 120)
‗Siapa yang sendau gurau? Dhengkulmu amoh (makian) itu.‘
(220) JURAGAN
Matamu dibukak, celekna goblok! Swarane genah cetha isih
klesakklesik. (Leng, hal 74)
‗Matamu dibuka, bukalah bodoh! Suaranya masih jelas samar-samar.‘
Pada data (21)1 sampai data (220) di atas makian yang mengacu pada bagian
tubuh manusia. Data (211) menggunakan kata uteg ‗otak‘ untuk menyatakan
kekesalan Bongkrek terhadap lawan bicaranya. Data (212) dan (220) kata kasar
yang digunakan adalah matamu ‗matamu‘. Dalam bahasa Jawa, kata mata
tergolong dalam bahasa tingkat rendah sehingga nilai rasa yang dibawa kata
tersebut tidak nyama. Hal serupa juga ditemui dalam data (213) yang
menggunakan kata ndasmu ‗kepalamu‘. Kata makian lainya yang digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pengarang dalam mengekspresikan kemarahan adalah dhengkulmu, ‗dengkulmu‘,
dhapurmu ‗wajahmu‘, gobog ‗kuping‘, cangkeme, cocote ‗mulutnya.
4) Tembung kasar dengan referensi keadaan
Referensi kata makian dalam bahsa Jawa memang banyak dan beragam. Hal
ini didasari oleh adanya unda usuk dalam bahasa Jawa, yang memnyebabkan
adanya stratisikasi penggunaan bahasa dalam lingkup sosial masyarakat. Apabila
suatu kelompok masyarakat menggunakan strata terendah dari bahasa Jawa, maka
kelompok tersebut dianggap tidak sopan, bukan kalangan ‗piyayi‘. Namun
kalangan yang dianggap demikian justru lebih jujur dalam mengekspresikan
emosinya. Salah satunya dengan penggunaan kata makian yang meluncur dengan
bebas dari tokoh-tokoh yang memang dari kalangan marjinal. Berikut data yang
memuat kata makian dengan referensi keadaan.
(221) JURAGAN
Edan! Sing bengok-bengok kuwi. (Leng, hal 74)
‗Gila! Yang teriak-teriak itu.‘
(222) JURAGAN
Cepet. Saiki dipecat, goblok! (Leng, hal 110)
„Cepat. Sekarang dipecat, bodoh!‘
(223) BEDOR
(NAMPA AMPLOP LORO) Sontoloyo! Nyaruwuwus! Ora etung wayah.
(Leng, hal 112)
‗(MENERIMA AMPLOP DUA) Konyol! Ikut campur urusan orang!
Tidak kenal waktu.‘
(224) SUARA LANANG
Ngongkreh-ongkreh nggone Lik Bisma suk nek wonge wis modar. (Tuk,
hal 175)
‗Besuk membongkar tempatnya Lik Bisma kalau orangnya sudah mati.‘
(225) JURAGAN
Apa…? Gendheng! Kowe aja clometan Dor! Setan! (NGREBUT
KERTAS SING DIGEGEM BEDOR) apa iya…? (MACA SEDHELA,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SURATE DEREMES TERUS DIBANTING) Setan alas! (Leng, hal 113)
‗Apa…? Gila! Kamu jangan bercanda Dor! Setan ! (MEREBUT
KERTAS YANG DIGENGGAM BEDOR) Apa iya… ? (MEMBACA
SEBENTAR, SURATNYA DIREMAS LALU DIBUANG)
Kata kasar yang dipilih pengarang untuk mengekspresikan luapan emosi
tokohnya dengan referensi keadaan adalah kata edan, gendheng ‗gila‘ yang
terdapat dalam data (221) dan (225). Data (222) menggunakan kata goblog
‗bodoh‘ sebagai ungkapan ketidakpuasan Juragan terhadap pegawainya. Data
(223) kata sontoloyo ‗konyol‘ digunakan untuk menggambarkan luapan kekesalan
Bedor. Dan kata modar ‗mati‘ dalam data (224) secara referensial juga mengacu
pada keadaan seseorang.
5) Tembung kasar dengan referensi barang tidak berharga
Kata makian dengan referensi barang yang tidak berharga atau tidak berguna
juga ditemukan dalam naskah karya bambang Widoyo SP. Berikut akan disajikan
data mengenai hal tersebut.
(226) PAK REBO
(ORA NGREWES) E, mbok menawa nomere nyasar… (NJERENGI SIJI-
SIJI KERTASE)…semprul…! (DIBUANG SAKLEMBAR) wedhus!
(Leng, hal 119)
‗(TIDAK PEDULI) E, kalau ada nomer kesasar… (MEMBUKA SATU-
SATU)… semprul (makian)… ! (DI BUANG SATU LEMBAR) wedhus
(makian)!
(227) BIBIT
Gombal! Dhuwit panas tekan ngendi tanjaane Lik…( Tuk, hal 144)
‗Gombal (makian)! Uang panas sampai mana Lik…‘
(228) SOLEMAN
Tai! Iki genah ana sing bukak, mokal bisa ucul dhewe! (Tuk, hal 148)
‗Tai (makian)! Ini pasti ada yang membuka, tidak mungkin bisa lepas
sendiri.‘
(229) LANDA BAJANG
Nggedebus! Endi coba, ndhisik jare saguh nggolekke dalan, ngajak kowe
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
rekaman nyanyi, endi, endi buktine…? Tai! Kae mung cangkemane thok,
ben kowe seneng, ben bisa cedhak karo kowe, ben kowe kepencut, ben
gampang olehe nggrumut…(Dom, 246)
Nggedebus! Mana coba, dulu katanya sanggup mencar ikan jalan, ngajak
kamu rekaman nyanyi, mana, mana buktinya..? Tai! Dia Cuma mulutny
saja, supaya kamu senang, biar bisa dekat sama kamu, agar kamu naksir,
supaya mudah yang mendekati.
Data (226) pengarang menggunakan kata makian semprul yang berarti
‗tembakau yang berkualitas rendah atau jelek‘. Penggunaan kata ini
menggambarkan perkataan yang tidak bermutu disamakan dengan barang yang
tak berharga, yaitu tembakau yang berkualitas rendah atau jelek. Pengucapan kata
tersebut dalam dialog dimaksudkan hanya merupakan luapan emosi penutur yaitu
Pak Rebo.
Data (228) kata tai ‗tinja‘ digunakan sebagai makian yang mengacu kepada
kotoran manusia atau hewan. Kata makian tersebut hanyalah digunakan sebagai
alat pelampiasan. Karena hanya dianggap sebagai pemuas perasaan dan tidak
memikirkan arti kata yang diucapkan tokoh. Sedangkan untuk data (229) kata
tersebut digunakan untuk menyatakan kekesalan Landa Bajang atas perbuatan
Genjik yang dianggapnya kotor. Kata tersebut dipilih pengarang untuk
memberikan penegasan bahwa apa yang dikatakan Genjik tidak berbeda dengan
kotoran ‗tai‘ hal ini dibuktikan dengan digunakannya kata cangkemne thok
‗katanya saja‘ setelah kata tai. Data (227) kata gombal berarti kain bekas yang
jelek, dalam hal ini kata makian gombal digunakan untuk menyatakan kekesalan
tokoh Bibit, kata ini juga identic dengan rasa tidak percaya yang tergambar dalam
dialog Bibit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Tembung makian dengan referensi pekerjaan yang rendah/perbuatan
tidak baik
(230) BOJONE ROMLI
Hayo, mlebua…Dakgebuk alu sisan! (METHUKAKE ROMLI) Wis
kebacut mbok gawe serik, panas atiku! Lanangan asu! Crongoh,
ngglathak! Lonthe lanang! Kesuwen neng kene mati gering awaku.
(Tuk, hal 139)
‗Hayo, silahkan masuk… nanti saya pukul pakai palu sekalian!
(MENEMUI ROMLI) sudah terlanjur dibuat benci, panas hatiku! Pria
anjing! Rakus! Lonthe pria! Disini lama-lama mati kurus badanku.‘
(231) LANDA BAJANG
(NGGRUNDEL), Iki mesthi Genjik sing mbukak borokku. Wis lapor yen
aku ndhelik neng kene….Bajingan, neng kene wis ora aman. Dadi buneg
neng pikiran….piye yen nganti konangan…(GOLEK KANCA) Pak
Lakon, sampeyan pun tau dijlumprungake kanca? (Dom, 252)
(BERBICARA SENDIRI) ini pasti Genjik yang membuka boroku. Sudah
lapor jika aku sembunyi di sini….Bajingan, di sini sudah tidak aman.
Jadi pusing memikirkannya..bagaimana jika sampai ketahuan
(MENCARI TEMAN) Pak Lakon, anda sudah pernah dikorbankan
teman?
(232) LANDA BAJANG
Akeh tong-tong sing ora ketut dipendhem, isih pating blengkrah, isine
kecer neng ngendi-endi. Bajingan! Wis reti tai pabrik ki racun, malah
dhek wingi iwis ditambahi meneh patang trek. Mung diglethakke, ora
dipendhemi. Aku wingi niliki, ning ora betah ambune…..(Dom, 255)
Banyak tong-tong yang tidak ikut ditanam, masih berserakan, isinya
tercecer di mana-mana. Bajingan! Sudah tahu lembah pabrik itu racun,
malah kemarin sudha ditambah lagi empat truk. Hanya diletakkan saja,
tidak ditanam. Aku kemarin melihat, tapi tidak kuat baunya….
(233) JURAGAN
Bangsat! Iki mesthi ana sing nggawe. Bajingan! Sapa sing arep ngrusuhi
aku? Sapa? (Leng, hal 76)
‗Bangsat! Ini pasti ada yang membuat. Bajingan (makian)! Siapa yang
akan mengganggu saya? Siapa?‘
Data (230) frasa lanangan asu ‗lelaki anjing‘ dan kata kasar crongoh,
ngglatak ‗rakus‘, dalam kalimat di atas secara referesial mengacu pada binatang.
Oleh pengarang tidak digunakan untuk menunjuk binatang anjing tetapi lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ditunjukan pada tindakan atau perbuatan seseorang seperti anjing. Makian lonthe
lanang ‗pelacur lelaki‘ secara referensial mengacu pada pekerjaan, yaitu orang
yang pakerjaannya melacur.
Untuk data (231) sampai dengan (233) pengarang menggunakan kata
makian bajingan, untuk menyatakan kemarahan tokoh atas kondisi yang terjadi.
Kata bajingan dapat diartikan sebagai seorang yang buruk tindakannya, seorang
yang menjadi perampok, dan sebagainya. Data (231) kata tersebut digunakan
Landa Bajang untuk mengumpat perilaku temannya yang membongkar
persembunyiannya sehingga ia merasa tidak aman. Pada data (232) Landa Bajang
menggunakan kata tersebut untuk memaki dan meluapkan emosinya atas tindakan
penguasa pabrik yang membuang limbah pabriknya dengan sembarangan. Seang
untuk data (233) dan (233) kata bajingan dalam kalimat tersebut oleh pengarang
digunakan utuk menggambarkan kemarahan Juragan terhadap seseorang yang
sering mengganggunya.
7) Tembung kasar dengan referensi mahkluk gaib
Keragaman kosa kata yang dgunakan dalam analisi ini menunjukkan bahwa
bahasa Jawa adalah kaya. Kekayaan bahasa tersebut juga nampak dalam kata-kata
kasar yang digunakan dalam naskah drama ini. Bahkan mahkluk yang tidak kasat
mata pun mampu memberikan nuansa yang lain dalam naskah ini. Hal ini nampak
dalam data berikut.
(234) PAK REBO
Iblis laknat…! Iki genah kowe sing arep ngrayah gaweanku, ngrebut
pangkatku. (Leng, hal 84)
‗Iblis terkutuk…! Ini pasti kamu yang akan merebut pekerjaanku,
merebut pangkatku.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(235) PAK REBO
Kok kabeh rapalan dongaku wis kok colong, wis kok apalne? Dhemit.
(Leng, hal 84)
‗Kok semua hafalan doaku sudah kau curi, sudah kau hafalkan? Dhemit.
(makian)‘
(236) JURAGAN
Apa…? Gendheng! Kowe aja clometan Dor! Setan! (NGREBUT
KERTAS SING DIGEGEM BEDOR) apa iya…? (MACA SEDHELA,
SURATE DEREMES TERUS DIBANTING) Setan alas! (Leng, hal 113)
‗Apa…? Gila! Kamu jangan bercanda Dor! Setan ! (MEREBUT
KERTAS YANG DIGENGGAM BEDOR) Apa iya… ? (MEMBACA
SEBENTAR, SURATNYA DIREMAS LALU DIBUANG)
Data (234) dan (235) frasa iblis laknat dan kata dhemit secara referensial
mengacu pada makhluk halus. Frasa iblis laknat ‗iblis terkutuk‘ digunakan oleh
Pak Rebo sebagai ungkapan rasa kekawatiran terhadap kemungkinan ada yang
merebut pekerjaannya. Pada data (235) dhemit adalah makhluk halus yang
digunakan sebagai luapan emosi Pak Rebo karena terkejut semua hafalan doanya
bisa diketahui Mbok Senik. Data (236) kata setan dan frasa setan alas yang
diucapkan oleh Juragan hanya menjadi alat pelampiasan. Pilihan kata setan dan
setan alas digunakan pengarang secara metafora. Setan yang mengacu pada
makhluk halus disamakan dengan manusia.
3. Gaya Bahasa dalam Naskah Drama LTD
Sebenarnya, apakah fungsi penggunaan gaya bahasa? Pertama-tama, bila
dilihat dari fungsi bahasa, penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi
puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat
(sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran) dapat menarik
perhatian penerima. Sebaliknya, bila penggunaannya tidak tepat, maka
penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan
dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna
dengan singkat.. Seringkali pemakaian gaya bahasa digunakan untuk penekanan
terhadap pesan yang diungkapkan. Dengan demikian gaya bahasa merupakan
salah satu ciri penting di dalam teks sastra. Gaya bahasa banyak digunakan dalam
teks sastra karena bermanfaat untuk menghidupkan makna, memberi citraan yang
khas, membuat gambaran yang lebih jelas, serta membuat kalimat-kalimat lebih
dinamis dan hidup (Rachmad Djoko Pradopo, 1997: 93). Beberapa jenis gaya
bahasa yang dipergunakan pengarang dalam nakah drama LTD antara lain adalah
gaya bahasa berdasarakan struktur kalimat dan gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna.
a. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Nada yang Terkandung dalam
Wacana.
Gaya bahasa ini berdasarkan sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-
kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti akan lebih nyata
kalau dikuti dengan sugesti suara dari pembicara apabila sajian yang dihadapi
lisan. Gaya bahasa ini terjadi: gaya bahasa sederhana, gaya mulia dan bertenaga,
serta gaya menengah.
1) Gaya Bahasa Sederhana
Gaya sederhana biasa digunakan untuk memberi instruksi, perintah,
pelajaran, perkulihan, dan sejenisnya. Gaya bahasa ini tepat untuk menyampaikan
fakta dan pembuktian.
(237) MBAH JAGA
Iya-iya... rasah seru-seru. Mung dolanan kartu wae mbok rewangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pethenthengan. Sing mbok udhokke rak dudu nyawamu. Sing mati mung
kertumu....(Dom, 225)
Iya..iya..tidak perlu bertariak. Cuma main kartu saja sampai marah. Yang
kamu buat taruhan kan bukan nyawamu. Yang mati cuma kartumu…
Gaya bahasa sederhana yang digunakan pengarang dalam dialog Mbah Jaga
pada data (237) menggambarkan perintah yang disampaikan Mbah Jaga agar tidak
terlalu keras berbicara. Fakta yang dibuktikan dalam dialog di atas adalah ketika
bermain kartu jika mengalami kekalahan tidak perlu marah dan bertariak toh
nyatanya yang dijadikan taruhan bukan nyawanya. Data lain yang menyatakan hal
serupa seperti terlihat di bawah ini.
(238) PAK LAKON
Jenenge adu nasib, kari kalah apa menang! Yen wis nangsipe kekasut ya
kudu gelem setor udhu. Wong wis diniyati! Sing kalah ora mung kowe
dhewe....(Dom, 227)
Namanya juga mangadu nasib, tinggal kalah atau menang! Jika nasibnya
kalah ya harus mau memberi taruhan. Karena sudah diniatkan! Yang
kalah tidak cuma kamu…
Data (238) memberi gambaran tentang kenyataan bahwa orang yang berjudi
sama halnya dengan mengadu nasib, bisa menang bisa kalah. Jika segalanya sudah
diniatkan maka harus mau menerima segala konsekuensinya.
(239) KRESNA GAMBAR
Gambar iki dienggo pepiling menungsa. Sapa sing uripe ora blak
prasaja, bakal ndang dijabut nyawane. (Dom, 234)
Gambar ini digunakan manusia sebagai pengingat. Siapa yang hidupnya
tidak jujur akan cepat mati.
Untuk data (239) pengarang melalui gaya bahasa sederhana ini sepertinya
ingin memberikan peringatan bahawa siapa yang dalam hidupnya tidak jujur akan
cepat mati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(240) KRESNA GAMBAR
lha ya kuwi. sing jenenge manungsa ki racake seneng nguja hardaning
dhiri, ngubal-ngubal tuk sumbering hawa nepsu, kaya ta, nguja
planangan, nguja kekarepan, nguja panguwasane, nguja iki nguja kuwi
nganti kebacut lali. Lha bareng eling biasane wong sing kaya ngono mau
banjur wedi mati. Pungkasane wedi kepthuk Yamadipati. Saking wedine,
njur wewayangane Yamadipati dadi medeni, dadi ora peni, elek, matane
mentholo, rambute riyap-riyap, duwe siyung, kukune landhep, hiii...
mangka sejatine ora, manungsa ki yen nrima kodrate, eling karo jejere,
nganti wates-watese jeneng mati ki ora medeni, malah kepara nampa
kamulyan merga enggal katimbalan. Yamadipati dadi ora medeni maneh.
Lha wong sejatine Yamadipati ki bagus. Yamadipati ki dewa. Dewa ki
bagus! (Dom, 234)
Itu, yang namanya manusia pada umumnya suka mengumbar hawa nafsu,
membongkar sumbernya hawa nafsu, seperti mengumbar birahi,
mengumbar keinginan, menumbar kekuasaan, mengumbar ini dan itu
hingga lupa diri. Lha setelah ingat lalu takut mati. Akhirnya takut
bertemu Yamadipati. Karena sangat takut, lalu gambar Yamadipati dibuat
menakutkan, menjadi tidak indah, jelek, matanya melotot, rambutnya
kusut, punya taring, kukunya tajam, hiiii…..sebenarnya tidak demikian,
manusia jika pasrah, selalu ingat akan hakikatnya hingga batasan
kematian itu tidak menakutkan, justru akan menerima kebahagiaan
karena segera dipanggil. Yamadipati menjadi tidak menakutkan lagi. Lha
sebenarnya Yamadipati itu cakep. Yamadipati itu dewa. Dewa itu cakep!
Fakta yang ingin disampaikan melalui dialog Kresna Gambar alam data
(240) bahwa manusia pada umumnya suka menggumbar nafsu, apabila sudah
sampai mendekati kematian mereka baru ingat dan merasa takut.
(241) MBAH JAGA
(AGE-AGE NGELINGKE) Wis Pak Lakon, aja, rasah mbok wudani,
mundhak kepanasen ngelak mengko ngokop getih... gek ndang
disarungne... aku wis ngerti ladingmu kuwi, sing mbok pundhi dadi
jimatmu, dadi pusakamu. Wis rasah mbok pamerke... (Dom, 243)
Sudahlah Pak Lakon, jangan, jangan kau telanjangi, nanti kepanasan haus
nanti minum darah….cepat disarungkan…aku sudah tahu pisaumu itu,
yang kau banggkan jadi senjatamu, dadi pusakamu. Sudah tidak usah
kamu pamerkan….
Pemanfaatan gaya bahasa sedrhna dalam data (241) terlihat jelas dalam
narasi laku yang terdapat di awal dialog. Narasi laku tersebut mamuat peringatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang disampaikan Mbah Jaga kepada Pak Lakon untuk menyarungkan kembali
senjatanya.
(242) MBAH JAGA
Uwis ta Jang .... kowe aja kasar-kasar! (NUNTUN PRAPTI NYISIH)
Lagi ana setan liwat, .... (dst) (Dom, 269)
Sudahlah Jang….kamu jangan kasar-kasar!(MENUNTUT PRAPTI
MENYISIH) sedang ada setan lewat…..
Pengarang dalam data (242) menggunakan kalimat imperative atau perintah
dalam pemanfaatan gaya bahasa sederhana. Perintah tersebut disampaikan Mbah
Jaga kepada Bajang agar tidak terlalu kasar dan menyudahi semuanya.
2) Gaya Bahasa Mulia
Gaya bahasa mulia umumnya bertenaga, penuh vitalitas dan energy. Nada
yang agung dan mulia dapat menggerakkan emosi setiap pendengar. Penggunaan
gaya bahasa mulia ini dapat ditemukan dalam naskah drama LTD ini. Data yang
menyatakan hal tersebut dapat dilihat dalam sajian berikut.
(243) LANDA BAJANG
Prap...! Arep nyang ngendi? Neng kene dhisik! Iki lho sawangen!
Sawangen polahe bojomu sing lagi sekarat, ora bisa apa-apa, delengen
aku! Iki bojomu! (NYALAHKE AWAKE DEWE) Oh, aku pancen tembre,
bajingan sing wedi mati, jirih ing getih, ora wani ngetok, ora jenggos
nyembadani bojo, urip ngene ki dinggo apa...!! Nyawa mung ngene wae
digondheli... (GETEM-GETEM AREP NGAMUK NING ORA ANA SING
DIAMUK) Prap, kowe yen arip kawin, kawina, ning ngentenana yen aku
wis dadi bathang. Patiku ora wurung ya neng kene... (Dom, 256)
Prap…! Mau kemana? Di sini dulu! Ini lihat! Lihatlah tingkah suamimu
yang sedang sekarat, tidak bisa apa-apa, lihat aku! Ini suamimu!
(MENYALAHKAN DIRI SENDIRI) Oh, aku memang tembre, bajingan
(umpatan) yang takut mati, takut darah, tidak berani muncul, tidak bisa
menyeangkan istri, hidup sepereti ini buat apa!! Nyawa Cuma sepereti ini
digondeli.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(244) DEN SETRA
Aja mung memanis apus, aja sora sesumbaran, lekna matamu...! ora ana
titah sing antuk nyingkurake bebener. Aja selak! Akalmu mung sak okol.
Kowe wedi yen kewiyak wadimu! (Dom, 258)
Jangan hanya basa-basi, jangan besar omong, buka matamu! Tidak ada
manusia yang bisa menyingkirkan kebenaran. Jangan munafik! Akalmu
hanya kecil! Kamu takut jika terbuka rahasiamu!
(245) DEN SETRA
Carane ora ngono! Dirembug. Ditata, aja dipeksa! Mbiyen kowe wis
nyanggemi, saguh ngudhari pepalang wong sing nyandhang
kecingkrangan. Mula aja kesusu ngobral janji, yen ora wurung arep
nglarani ati. Saiki wis kejeron tatune, kakehan bantene...(Dom, 261)
Caranya tidak begitu! Dimusyawarahkan. Ditata, jangan dipaksa! Dulu
kamu sudah bersedia, membuka penghalang orang yang kekurangan.
Maka jangan terburu-buru ngobral janji, jika tidak jadi akan menyakiti
hati. Sekarang sudah terlalu dalam sakitnya, telalu banyak korban…..
(246) KRESNA GAMBAR
Kowe ki piye...kok meneng wae! Aja mung nggah-nggih yen diloloh.
Lepehen yen ora gelem, ja diulu, kuwi candu sing dienggo njenu utegmu.
Marakake bodho, plonga-plongo bisamu mung dadi beo. Mengoa,
tontonen njaba, asahen nalarmu, olehen rasamu. Tangia, gumregaha,
sing rampak, yen gelem bareng dayamu ngedep-edepi, rosamu
nggegirisi. (Dom, 263)
Kamu itu bagaimana kok diam saja! Jangan hanya mengiyakan jika
disuapi. Muntahkan jika tidak mau, jangan ditelan, itu candu yang
digunakan meracuni otakmu. Membuat bodoh, linglung kamu hanya bisa
seperti beo. Tengoklah, lihatlah keluar, asahlah nalarmu, olahlah rasamu.
Bangunlah, bergeraklah yang rampak, jika mau bersama-sama
kekuatanmu hebat, menakutkan.
(247) DEN SETRA
Kowe dudu lempung sing mlengkang-mlengkung. Dadia watu ireng,
dadia watu inten, sing atos, sing dhuwur ajine. Tangia, ndangaka.
Tontonen kae, wis akeh sing ngenteni…! (Dom, 263)
Kamu bukan tanah liat yang lentur. Jadilah batu hitam, jadilah intan,
yang keras, yang berharga tinggi. Bangunlah, tengadahlah. Lihat itu,
sudah banyak yang menunggu…!
(248) KRESNA GAMBAR
Enggal kiprah-a, mangkat-a, singkirna papalang pupung kowe durung
dikandhang. Mung kowe sing isih bisa digadhang-gadhang. (Dom, 263)
Cepat lakukan, berangkatlah, singkirkan semua penghalang, mumpung
kamu belum dipenjara. Hanya kamu yang masih bisa diharapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemanfaatan gaya bahasa mulia dalam sebuah sastra lakon memang sangat
berguna untuk memunculkan efek emotif pada pemain maupun pendengar
(penonton). Gaya bahasa mulia dan bertenaga dalam data (243) sampai dengan
(248) digunakan pengarang untuk memancing emosi pemain dalam menghayati
perannya. Selain itu, pemanfaatan gaya bahasa tersebut oleh pengarang agar
penikmat karyanya dapat hanyut dan tergetar emosinya ketika mendengar tuturan
tersebut dibawakan. Dengan demikian pesan yang hendak disampaikan
pengarang dapat tersampaikan dengan baik.
b. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarakan Struktur Kalimat
Pemanfaatan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra memang menjadi suatu
unsur penting. Gaya bahasa yang digunakan pengarang selain sebagai aspek
keindahan juga mampu menaikkan emosi pembaca maupun pendnegar. Salah satu
gaya bahasa yang banyak dimanfaatkan pengarang adalam karyanya adalah gaya
bahasa berdasarkan struktur kalimatnya. Gaya bahasa ini menurut Gorys Keraf
(2004: 124), terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitetis, dan repetisi.
Berikut akan disajikan data yang memuat gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimatnya yang ditemukan dalam naskah LTD.
1) Klimaks
penggunaan gaya bahasa klimaks dimanfaatkan pengarang untuk
mengungkapkan sesuatu yang bbersifat periodic denga urutan dari sesuatu yang
lemah/kurang menjadi sesuatu yang kuat/baik. Gaya klimaks kadang-kadang juga
menyebutkan barang atau sifat atau hal yang makin lama makin meningkat atau
menghebat. Klimaks termasuk majas penegasan yang menyatakan beberapa hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin
memuncak pengertiannya (Purwandari, 2007: 46). Di bawah ini adalah beberapa
gaya bahasa klimaks yang ada dalam naskah drama LTD:
(249) MBOK SENIK
Ampun percaya dhing mas. Wong nyatane desa mriki empun tambah
maju, malah tambah rame. Omah-omah sing maune mung gedheg,
mung gebyok reyot empun dadi rumah sehat, lampu-lampu neon sakniki
empun pating klencar. (Leng, hal 122)
‗Jangan percaya mas. Kenyataannya desa sini semakin tambah maju,
semakin tambah ramai. Rumah-rumah yang dulunya hanya gedeg, hanya
dinding kayu yang tidak kokoh sudah menjadi rumah sehat, lampulampu
sudah sangat terang.‘
Pada data (249) menunjukkan penggunaan gaya bahasa klimaks yang
menyatakan suatu perubahan kondisi desa yang dulunya tertinggal menjadi lebih
maju dan ramai. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan bahwa dulu rumah di desa
tersebut berdinding gedheg menjadi rumah sehat dan lampu–lampu neon
menerangi des tersebut.
(250) MARTO KRUSUK
Bribik-bribik usaha bukak bengkel mobil. Yen bengkele dadi terus
bukak angkutan taksi. Usahane taksi saya gedhe nganti bisa duwe
dealer dhewe, banjur munggah eksportir mobil, usahane saya ndadi
saya gedhe, saya ngrembaka, nganti dadi pirang-pirang usahane, nganti
olehe nyacahke, nganti bingung olehku ngetung. (Tuk, hal 200)
‗Sedikit demi sedikit usaha membuka bengkel mobil, kalau bengkelnya
sudah menjadi membuka angkutan taksi. Usaha taksi menjadi besar
sampai bisa membuka dealer sendiri, terus meningkat eksportir mobil,
usahanya semakin menjadi besar, jadi berkembang, sampai usahanya
menjadi banyak, sampai menanjakannya, sampai bingung menghitung.‘
Pada data (250) di atas periode tingkatan yang dismapaikan pengarang
adalah cita-cita Marto Krusuk yang ingin membuka usaha dari bengkel mobil dan
angkutan taksi. Diharapkan usahanya berkembang menjadi eksportir mobil dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ushanya akan semakin pesat sehingga bisa membuka banyak cabang. Data (250)
menyebutkan pengharapan-pengharapan yang semakin meningkat.
(251) LIK BISMA
O, yen nganti Semar muntab, aja takon dosa, ora jendral, ora ratu, ora
menteri, ora presiden, kabeh bisa dilorot! (Tuk, hal 204).
‗O, kalau Semar marah, jangan tanya dosa, tidak jenderal, tidak ratu, tidak
menteri, tidak presiden, semua bisa dilengser!
Data (251) penggunaan kata jenderal, menteri, dan presiden di atas
menunjukan adanya gaya bahasa klimaks, yaitu adanya urutan yang hirarki
kekuasaan dan jabatan. Penggambaran tersebut dimulai dari jenderal, menteri, dan
presiden.
2) Antiklimaks
Kebalikan dari gaya klimaks adalah gaya antiklimaks. Antiklimaks sebagai
sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan
dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting (Gorys Keraf,
2004: 125). Antiklimaks biasanya menyebutkan orang, benda, sifat, atau hal yang
makin lama makin menurun. Seperti pada data berikut.
(252) BONGKREK
Iki, ki lemahe Mbah-mbahmu, lemah-lemahe bapakmu, lemah-lemahmu,
lemahe anak-putumu mbesuk. Kowe ki mung ketitipan. Ora kuwasa
ngedol. (Leng, hal 122)
‗Ini tanah kakek-kakekmu, tanah-tanahnya bapakmu, tanah-tanahmu,
tanahnya anak cucumu besuk. Kamu itu hanya dititipi.‘
(253) LIK BISMA
Semar penjalmane dewa, sing momong para ratu, para satriya, para
punggawa lan kawula tanah Jawa. (Tuk, hal 204).
‗Semar itu penjelmaan dewa, yang mengasuh ratu, satria, punggawa, dan
rakyat tanah Jawa.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada data (252) dan (253) adanya urutan kata-kata yang dianggap
mengalami penurunan dari aspek usia atau urutan silsilah keluarga mulai dari
yang tertua yaitu mbah-mbahmu ‘kakek-kakekmu‘, bapakmu, dan anak putumu
‗anak cucumu‘. Sedangkan data (253) periodisasi yang dihadirkan pengarang
mengacu pada urutan kedudukan dalam strata sosial, yaitu pada kata dewa, ratu,
punggawa, dan rakyat.
3) Paralelisme
Keraf (2004: 126) berpendapat paralelisme merupakan gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata atau frase yang menduduki
fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kata-kata tersebut
memiliki pengertian yang dekat. Makna gramatikal merupakan makna yang
timbul karena peristiwa gramatikal. Makna gramatikal dapat dikenali dalam
kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. (I.G.N. Oka, 1994:
233). Hasil analisis dalam naskah drama LTD karya Bambang Widoyo SP
terdapat delapan data gaya bahasa paralelisme, yaitu sebagai berikut.
(254) BONGKREK
Kaya kula sampeyan nyepi teng sareyan mriki rak butuh panggonan sing
wening, ben tentrem atine, ben tentrem pikirane. (leng, hal 71)
‗Seperti saya kamu menyepi di makam hanya butuh tempat yang tenang,
biar tentram hatinya, biar tentram pikirannya.‘
Frasa ben tentrem atine ‗biar tentram hatinya‘ dan ben tentrem pikirane ‗biar
tentram pikirannya‘ pada data (254) di atas membentuk dalam satu rangkaian
paralelisme.
(255) BONGKREK
Akeh wargane sing banjur budhegi, padha miceki, padha ambisu. Jane
nggih ngerti yen banyune, lemahe lan hawane empun rusak mboten
ketulungan. Apa ora krasa yen lemahe wis bubrah, tegese kelangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sawah, kelangan garapan. (leng, hal 71)
‗Banyak warga yang telanjur tidak mendengar, sudah buta, sudah gagu.
Sebenarnya tahu kalau air, tanah, dan udaranya sudah rusak tidak
tertolong. Apa tidak terasa kalau tanahnya sudah rusak, artinya
kehilangan sawah, kehilangan pekerjaan.‘
Pada data (255) frasa banjur budhegi ‗telanjur tidak mendengar‘, padha
miceki ‗sudah buta‘, padha ambisu ‗sudah gagu‘ menggunakan frasa-frasa yang
sejajar dan kelangan sawah ‗kehilangan sawah‘, kelangan garapan ‗kehilangan
pekerjaan‘ memiliki kedudukan yang sama.
(256) DEN SETRA
Arep tekan ngendi lelakonku, apa malah mung cukup sakmene.
Rampung eneng kene, kelangan dhapukan, kelangan jejer, ketendhang
saka kalangan. (MENENG SEDELA) Ora... Ora, aku durung kalah,
aku kudu bisa bali, bisa ngadeg jejeg. Abota dikaya ngapa tetep arep
dak adhepi, dak dhada, dak lakoni. Kudu dak wiwiti saka saiki…. (Dom,
228)
Mau sampai di mana takdirku, apa hanya cukup sampai di sini. Selesai di
sini, kehilangan peran, kehilangan hakikat, tertendang dari kelompok.
(DIAM SEBENTAR) Tidak….tidak, aku belum kalah, aku harus bisa
kembali, bisa berdiri tega,. Meskipun berat tetap akan aku hadapi, aku
hadapi, aku jalani. Harus aku mulai dari sekarang.
Diaog dalam data (256) dikategorikan sebagai gaya bahasa pararelisme
karena menggunakan kata yang mempunyai fungsi yang sama dan pengertian
yang dekat yaitu mung cukup sakmene ‗sampai di sini‘, rampung eneng kene
‗selesai di sini. Masih dalam satu rangkaian kalimat pengarang juga menggunakan
bentuk kesejajaran berupa kondisi tokoh yang kehilangan peran/jati diri melalui
pemanfaatan frasa kelangan dhapukan, kelangan jejer, ketendhang saka kalangan
yang memiliki makna hampir sama yaitu kehilangan jati diri. Dalam data (256)
pengarang banyak menghadirkan gaya bahasa pararelisme untuk menyatakan
sikap mental tokoh, hal ini dinyatakan dengan digunakannya frasa aku durung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kalah, aku kudu bisa bali, bisa ngadeg jejeg, abota dikaya ngapa tetep arep dak
adhepi, dak dhada, dak lakoni.
(257) MBAH JAGA
Ning rak ora kaya mbiyen larise, akeh sing nuku, akeh sing mborong,
akeh sing dha kulak, nganti ali-alimu ngebaki driji...(Dom, 231)
Tapi kan tidak sperti dulu larisnya, banyak yang beli, banyak yang
borong, banyak yang kulakan, sampai jarimu penuh cincin…..
Data (257) dapat diaktergorikan sebagai gaya bahasa pararelisme karena
menggunakan kata yang mempunyai fungsi dan makna yang dekat yaitu akeh sing
nuku, akeh sing mborong, akeh sing dha kulak yang mempunyai arti laris.
(258) KRESNA GAMBAR
Aja mung nyawang wujude. Nadyan mung kaya ngene ning corekanku ki
mawa teges, mawa karep, ana perlambange, ana sasmitane, yen gelem
nggatekke ya ana pituduhe ana pituture... lha biasane piyayi sing lantip,
sing waskitha , sing jatmika kip padha kesengsem karo gambar-
gambarku, kaya dene Den Setra kuwi. ... (Dom, 233)
Jangan ahanya melihat bentuknya. Meskipun hanya seperti ini, tapi
coretanku ini memuat makna, memuat pesan, ada lambangnya, jika mau
memperhatikan ada petunjuk dan nasihatnya…..lha biasanya orang
berada itu pandai, pintar, yang cerdas itu suka dengan gambar-gambarku,
seperti Den Setra itu…..
Pemanfaatan gaya bahasa pararelisme dalam dialog Kresna Gambar terlihat
dari penggunaan frasa: mawa teges, mawa karep, ana perlambange, ana
sasmitane yang artinya adalah ‗memuat makna‘.
(259) KRESNA GAMBAR
.... Mbah dak kandhani Den Setra ki jebule ya piyayi ampuh, nate
kesinungan drajat, pangkate dhuwur, dhasare satriya tama. ....... Nganti
kepepet, kepojok, keseser, njur disisihake terus minggir-minggir-
minggir nganti pungkasane dikandhangke ana kene. (Dom, 233)
Mbah, aku kasih tahu Den Setra itu ternyata orang hebat, pernah terlipahi
derajat, pangkatnya tinggi, dasarnya orang besar…..Sampai terpojok,
terdesak, lalu disingkirkan sampai ke tepi akhirnya dimasukkan kandang
di sini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Data (259) pararelisme ditunjukkan dengan penggunakan frasa kesinungan
drajat ‗mempunyai kedudukan‘, pangkate dhuwur yang berarti ‗berpangkat
tinggi‘ dan juga dengan penggunaan kata kepepet, kepojok, keseser yang
bermakna ‗terpinggirkan/tersudut‘.
(260) MBAH JAGA
....ampun digawe susah, ampun digawe mbentoyong. (Dom, 238)
Jangan dibuat susah, jangan dibuat menderita.
Penggunaan gaya bahasa pararelisme dalam data (260) ditunjukkan dengan
frasa ampun digawe susah ‗janga dibikin susah‘ yang sejajar dengan frasa ampun
digawe mbentoyong ‗jangan dibikin berat‘. Hal tersebut digunakan pengarang
untuk menggambarkan kondisi psikis tokoh yang terlalu memikirkn masalah yang
menerpanya.
(261) MBAH JAGA
.... wayang-wayang saiki sing payu pancen mung pancen mung swarane,
mung nggedebuse, mung olehe padha pinter umuk, olehe wasis
ngomong. (Dom, 240)
Wayang-wayang sekarang yang laku memang hanya suaranya, hanya
bualannya, hanya kepamdaiannya berbicara.
Dialog Mbah Jaga dikategorikan sebagai gaya bahasa pararelisme karena
menggunakan frasa mung swarane ‗hanya suaranya‘ yang sejajar pengertiannya
dengan frasa mung nggdebuse ‗hanya omong kosong‘, mung olehe padha pinter
umuk ‗hanya pandai bicara‘, dan wasis ngomong ‗padai berbicara‘
4) Antitesis
Keraf (2004: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa
yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan
kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa dalam antitesis terdapat pemakaian kata-kata yang berantonim. Hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
analisis dalam naskah drama LTD terdapat data gaya bahasa antitesis, yaitu
sebagai berikut.
(262) MBOK SENIK
Gek digawa nyang ngendi? Mbuh mati mbuh urip. (Leng, hlm 68)
‗Mau dibawa kemana? Mungkin mati mungkin hidup.‘
(263) MBOK SENIK
Nyang ngendi-endi kok mung ngregeti, nyang ngendi-endi mung diresiki.
(Leng, hal 69)
‗Di mana-mana hanya mengotori, di mana-mana hanya di bersihkan‘
(264) MBOK SENIK
Wong meneng cemepak menange, kosok baline wong kakehan polah
cemepak kalahe. (Leng, hlm 69)
‗Orang diam dapat kemenangan, dan sebaliknya orang yang banyak
tingkah mendapat kekalahan‘
(265) BONGKREK
Ora etung wayah, awan bengi mesine gembrenggeng terus. (Leng, hal70)
Tidak mengenal waktu, siang malam mesinnya berisik terus.
(266) BONGKREK
Aku sing kojur, ngiwa-nengen ditangisi sedulur-sedulur ndesa sing padha
dipecat. (Leng, hal 80)
‗Aku yang sial, kiri kanan ditangisi saudara-saudara desa yang ikut
dipecat‘.
(267) BIBIT
Ember asu! Pinter endha, ditambal kiwa genti bocor sing tengen,
ditambal tengen mingset ngiwa. (Tuk, hal 145)
‗Ember anjing! Pintar menangkis, di tambal kiri ganti bocor kanan, di
tambal kanan pindah kiri.‘
Data (262) sampai data (267) di atas memakai bentuk gaya bahasa antitesis.
Pada data (262) kata yang dipertentangkan, yaitu antara mati dan urip ‗hidup‘.
Data (263) pada kata ngregeti ‗mengotori‘ dan direseki ‗dibersihkan‘. Data (264)
kata-kata yang dipertentangkan, yaitu meneng ‗diam‘ dan polah ‗banyak tingkah‘
dan menang dan kalah, yang ditandai dengan menggunakan pertentangan kosok
baline. Data (265) pada kata awan ‗siang‘ dan bengi ‗malam‘. Data (266) pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kata ngiwa ‗kiri‘ dan nengen ‗kanan‘. Kata-kata yang digunakan sangatlah jelas
yang dipertentangkan. Data (267) kata yang dipertentangkan kiwa ‗kiri‘ dan
tengen ‗kanan‘.
5) Repetisi
Gaya bahasa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. Purwakanthi basa (lumaksita) sama dengan gaya bahasa repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat)
yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai
(Sumarlam, 2003: 32). Purwakanthi basa merupakan persajakan yang didasarkan
pada persamaan kata,suku kata akhir dengan suku kata awal yang berurutan atau
persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam satu baris
terhadap baris berikutnya. Purwakanthi basa mempunyai padan istilah yaitu
purwakanthi lumaksita, purwakanthi lumaksana, dan dalam bahasa Indonesia
dinamakan sajak berkait serta repetisi anadiplosis. Dalam hal ini hanya akan
dibahas mengenai repetisi dalam bentuk kata atau frasa atau klausa. Berikut ini
beberapa data yang menggunakan purwakanthi basa (lumaksita) dalam naskah
drama LTD.
(268) JURAGAN
Pirang-pirang taun dakrewangi krenggosan, adus kringet, adol wiring rai
gedek, adol topeng, adol kepercayaan, adol awak, entek-entekane mung
kaya ngene… (Leng, hal 86)
‗Sudah betahun-tahun bekerja keras, mandi keringat, menjual muka,
menjual kepercayaan, menjual badan, akhir-akhirnya seperti ini…‘
(269) PAK REBO
Dingge gawe gedung serbaguna, dingge gawe gapura pitulasan, dingge
nyuguh yen nampa tamu, dingge keperluan lomba desa lan liya-liyane.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(Leng, hal 106)
‗Digunakan untuk gedung serbaguna, digunakan untuk gapura tujuh
belasan, digunakan mempersiapkan menerima tamu, digunakan keperluan
lomba desa dan lain-lain.‘
(270) BOJONE ROMLI
Gatel ki ya gatel., ning diampet sedhela apa ora bisa! Sumelang dadi akik
apa piye! Njur apa gunane bebojoan, yen golek barang liyane. Beda apa
jenenge, beda apa gandane, beda apa rupane…! (Tuk, hal.139)
‗Gatal ya gatal, tapi ditahan dulu apa tidak bisa! Apa khawatir kalau
menjadi batu! Lalu apa gunanya suami istri, kalau mencari barang yang
lain. Beda apa namanya, beda apa baunya, beda apa wajahnya.‘
(271) SOLEMAN
(NGIDONI SUMUR) Cuh…cuh…! Ora arep melik, ora arep nyawuk, ora
arep nyiduk banyumu, adus gebyur neng sumur liya ya bisa. (Tuk,hal 154)
‗(MELUDAHI SUMUR) Cuh…cuh…! Tidak akan berharap, tidak akan
menyauk, tidak akan mengambil airmu, mandi di tempat lain juga bisa.‘
(272) LIK BISMA
Sapa sing ora mudheng ho-gi, sapa sing ora bisa methuk rejeki, sapa sing
ora ngerti sesaji, bakale ya tiwas kedhupak. Mbah, kowe ngerti, pasar ki
apa coba? Pasar ki apa? Terus, pasar dhuweke sapa? (Tuk, hal 159)
‗Siapa yang tidak tahu ho-gi, siapa yang tidak bisa mendapat rejeki, siapa
yang tidak mengerti sesaji, kalau hanya ketendang. Mbah, kamu mengerti,
pasar itu apa coba? Pasar ini apa? Terus, pasar punyanya siapa?‘
(273) LIK BISMA
Mangka Puntadewa ki sejatine rak duwe getih putih, getihe wong apik,
getihe wong resik, getihe wong sing duwe ati suci. Dadi wong cilik kuwi
apik, resik suci. (Tuk, hal 161)
‗Padahal Puntadewa sejatinya punya darah putih, darahnya orang
baik,darahnya orang bersih, darahnya orang yang mempunyai hati suci.
Jadiorang kecil itu baik, bersih suci.‘
(274) KRESNA GAMBAR
....Dudu duwit sing dak buru. Dudu benggol sing dak luru. ....(Dom, 231)
Bukan uang yang saya cari, bukan receh yang saya pungut,…..
(275) MBAH JAGA
......, akeh sing nuku, akeh sing mborong, akeh sing dha kulak,....(Dom,
231)
Banyak yang membeli, banyak yang memborong, banyak yang belanja.
(276) MBAH JAGA
.... isih pengin nyetir, isih kepingin ngendhaleni...... (Dom, 271)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Masih ingin mengemudi, masih ingin mengendalikan….
(277) PAK MANTRI
Ora keli, ora kalap, ora klelep karo urusaning kadonyan ..... (Dom, 293)
Tidak hanyut, tidak tenggelam, dengan masalah dunia….
(278) MBAH JAGA
Bumi pertiwi iki rawaten, openana,..... Mbesuk kareben anakmu bisa melu
ngundhuh, melu panen..... waton ngedhuk, waron ngeruk, waton nyerot,
waton ngokop sak gelemmu. Mbok cucup, mbok cecep, mbok kemah-
kemah satemah mung ninggali sepah. (Dom,293)
Bumi pertiwi ini rawatlah, peliharalah….agar anakmu bisa ikut merasakan,
ikut panen……jangan hanya menggali, hanya mengeruk, hanya menyedot
sesuka hati. Kamu minum, kamu kunyah hanya akan meninggalkan sisa.
Data (266) sampai data (278) di atas penggarang menggunakan repetisi
tautotes. Bentuk perulangan yang digunakan pengarang tidak hanya berupa kata
seperti dalam data (266), (267), (274), (277) dan (278), sedangkan data (270),
(271), (272), (273) dan (275) pengarang penggunakan repetisi berupa frasa dalam
satu tuturan/dialog tokohnya seperti kata sapa sing ora ‗siapa yang tidak‘ dan
frasa sing dak ‗yang akan‘. Dan untuk data (274) pengarang menggunakan repetisi
kata dan frasa dalam satu kalimat. Penggunaan repetisi berupa kata dan frasa yang
dimanfaatkan pengarang untuk menunjukkan nilai estetika juga memberika
penegasan terhadap materi pembicaraan tokoh.
Pengulangan kata dan frasa yang berbentuk repetisi anaphora tengah kalimat
yang digunakan di awal kalimat atau baris berikutnya seperti terlihat dalam data
(279) dan (280) berikut.
(279) KRESNA GAMBAR
Sampeyan ampun kesusu nglokro! Ampun kendho! (Dom,259)
Anda jangan terburu-buru putus asa! Jangan patah semangat!
(280) KRESNA GAMBAR
...... Wis da ora kena dipremakke, ora kena ditata. ....(Dom, 264)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sudah tidak bisa ditata….
Pada data (281) ditemukan dua bentuk purwakanthi lumaksita yaitu
pengulangan pada awal kata pira sing ‗berapa yang‘ yang diulang enam kali serta
pengulangan berupa bunyi sengau /ŋ/ yang terdapat dalam kata ditendang
‗ditendang‘, didugang ‗ditendang‘, dan durung madang ‗belum makan‘.
(281) BIBIT
Pira sing kesrakat, pira sing mlarat, pira sing sekarat, pira sing
ditendhang, pira sing didugang, pira sing durung madhang… (Tuk, hal
188)
‗Berapa yang miskin, berapa yang melarat, berapa yang sekarat,
berapayang ditendang, berapa yang didepak, berapa yang belum makan…‘
Perulangan frasa dalam bentuk repetisi anaphora ini mampu memberikan
efek keindahan dalam dialog yang dibawakan tokoh Bibit yang menggambarkan
nasib rakyat kecil.
Repetisi epanalepsis berupa pengulangan kata pertama yang diulang pada
akhir barisnya juga ditemukan dalam naskah ini yang tercermin dalam data (282)
sampai dengan data (285) yang ditunjukkan dalam dialog berikut.
(282) PAK REBO
Berkah nggih berkah, ning berkah dienggo napa? (Leng, hal 104)
‗Anugerah ya anugerah, tetapi anugerah buat apa?‘
(283) BEDOR
Sandiwara maneh…! Iki dikapake sih? Judhek. Dienggak-enggoke
mlayune nyang sandiwara maneh. Timbang mumet mikir nyadharke
Juragane, melu-melu main sandiwara sisan. (Leng, hal 91)
‗Sandiwara lagi…! Ini harus bagaimana? Pusing. Sudah dialihkan larinya
ke sandiwara lagi. katimbang pusing menyadarkan Juragan, ikutikutan
main sandiwara sekalian‘
(284) MBOKDE JEMPRIT
Ngalah Mbah, ngalah, sing tuwa ngalah…( Tuk, hal 166)
‗Mengalah Mbah, mengalah, yang tua mengalah…‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(285) PAK REBO
…Yo dhangumpul, sing tuwa karo sing tuwa, sing enom karo sing enom.
(Leng, hal 106)
‗…Ya semua berkumpul, yang tua dengan yang tua, yang muda dengan
yang muda.‘
Data (282) pengulangan kata berkah diulang sebanyak tiga kali, data (283)
pengulangan kata sandiwara diulang tiga kali, dan pada data (284) pengulangan
kata ngalah ‗mengalah‘ yang diulang tiga kali pula. Data (285) bentuk
purwakanthi lumaksita (repetisi epanalepsis) yaitu pada pengulangan frasa sing
tua ‗yang tua‘ pengulangan pada akhir merupakan pengulangan frasa pada awal,
dan frasa sing enom ‗yang muda‘ pengulangan pada akhir baris merupakan
pengulangan yang sama pada frasa awal.
Repetisi epanalepsis di atas digunakan pengarang tidak semata-mata untuk
mencapai nilai estetisnya. Pengulangan jenis epanalepsis digunakan untuk
memberikan penekanan betapa pentingnya makna kata yang diulang dalam
kalimat/dialog.
(286) BOJONE ROMLI
Aku mulih (NGEPRUKI BEKAKAS) Saiki yen butuh madhang ngliweta
dhewe! Nggodhogka wedhang dhewe. Urasana dhewe…rapungna dhewe!
(Tuk, hal 139)
‗Aku pulang (MELEMPAR BEKAKAS) Sekarang kalau ingin makan
memasak sendiri! Merebus air sendiri. Diurus sendiri… diselesaikan
sendiri!‘
Dalam data (286) terdapat purwakanthi lumaksita (repetisi epistora), yaitu
pengulangan pada akhir baris berupa kata dhewe ‗sendiri‘ yang diulang empat kali
secara berturut-turut. Pengulangan epistora berupa satuan lingual suku kata juga
hadir mendukung aspek keindahan dalam naskah drama ini. Repetisi epistora ini
terlihat dalam dialog Lik Bisma berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(287) LIK BISMA
Kari milih, sing mbeling apa sing wani maling. (Tuk, hal 141)
‗Tinggal memilih, yang nakal apa yang berani mencuri.‘
Pada data (287) adanya purwakanthi lumaksita yaitu perulangan bunyi suku
kata pada akhir kata mbeling ‗nakal‘ dan maling ‗pencuri‘. Bunyi /ŋ/ merupakan
bunyi sengau yang menandakan adanya penggemaan. Repetisi epistora di atas
digunakan untuk mendukung kesepadanan makna kata.
(288) ANA PABRIK JURAGANE MALAH NANTANG
Iki, ki dinggo butuhe wong akeh. Dinggo butuhe masyarakat. Dinggo
butuhe masa depan, dinggo butuhe pembangunan. Terus mlakua, ora
susah menga-mengo! Tutupen gobogmu. (Leng, hal 123)
‗Ini, digunakan kebutuhannya orang banyak. Digunakan kebutuhannya
masyarakat. Digunakan kebutuhannya masa depan, digunakan kebutuhan
pembangunan. Terus berjalan, jangan berhenti! Ditutup kupingmu.‘
(289) SOLEMAN
(MANGKEL KARO NENDHANG KANDHANG PITIK) Niki, niki, gilo
niki…Ingon-ingon kula, ayam bangkok kula, jogo kula gari siji,dieman-
eman dinggo jagan, dinggo jago malah ilang, jagan kula nggih mung kari
siji niku…(Tuk, hal 150)
(MARAH DENGAN MENENDANG KANDANG AYAM) Ini, ini, lho
ini…peliharaan saya, ayam bangkok saya, ayam jago saya tinggal satu, di
pertahankan untuk cadangan, buat jago malah hilang, cadangan saya hanya
satu itu…‘
(290) MBAH KAWIT
Ngamal jariah Prit, ngamal, dinggo nglebur dosa Prit, ben jembar
kuburmu, ben entuk dalan padhang suk nek ditimbali mulih, ngamal. (Tuk,
hal 165)
‗Beramal jariyah Prit, beramal, untuk melebur dosa Prit, biar luas
kuburmu, biar dapat jalan terang besuk kalau dipanggil pulang, beramal.‘
(291) MBOKDE JEMPRIT
Aja mung mikir butuhmu dhewe! Sing nemplek neng Margesaren ki butuh
ngiyub, butuh leren, butuh turu ora ketang sedhela, bot abote ngoyak
butuh. Man…(Tuk, hal 170)
‗Jangan hanya memikirkan kebutuhanmu sendiri! Yang menempati
Margesaren ini butuh berteduh, butuh istirahat, butuh tidur walau hanya
sebentar, beban berat kebutuhan Man…‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(292) MBAH KAWIT
Iduku geni, iduku mandi…iduku geni, iduku mandi…aja nganti
payu…aja nganti payu... Daksapatani, aja ana sing nuku, ora ana sing
nuku…(Tuk, hal 190)
‗Ludahku api, ludahku manjur… ludahku api, ludahku manjur… jangan
sampai terjual…jangan sampai terjual.‘
(293) MARTO KRUSUK
Setan-setan kene kabeh mengko dha dilungake Mbah! Kaya setan aku,
setan kowe, setan Bisma. (Tuk, hal 191)
‗Setan, setan sini semua nanti disuruh pergi Mbah! Seperti setan aku, setan
kamu, setan Bisma.‘
(294) BONGKREK
(IDU) Cuaah…! Kula niki dede umbrukan uwuh sing kintir teng kali. Sing
empun gebacut keli. Sing trima dadi uwuh, ben ajek dadi uwuh. (Leng,
hal 68)
(BERLUDAH) Cuaah… ! Saya ini bukan tumpukan sampah yang hanyut
di sungai. Yang sudah terlanjur hanyut. Biar saja tetap jadi sampah, biar
jadi sampah.‘
Data (288) sampai data (294) ditemukan bentuk repetisi epizeuksis. Repetisi
epizueksis merupakan pengulangan kata yang dipentingkan secara langsung
beberapa kali. Dalam hal ini data (288) pengulangan terjadi pada frasa dinggo
butuhe ‗digunakan kebutuhannya‘, data (289) pada kata niki ‗ini‘ dan kula ‗saya‘,
data (290) pada kata ngamal ‗beramal‘, data (291) pada kata butuh, data (292)
pada frasa iduku geni ‗ludahku api‘, iduku mandi ‗ludahku manjur‘, dan aja
nganthi payu ‗jangan sampai terjual‘, data (293) pada kata setan, dan data (296)
pada kata uwuh ‗sampah‘.
c. Pemanfaatan Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk
menimbulkan gagasan yang tepat dalam imajinasi pembaca atau pendengar,
seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara, Persoalan
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pertama, ketetapan pilihan kata, kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata.
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna diukur dari apakah
acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau ada
penyimpangan. Dilihat dari segi umumnya, makna dapat dibagi menjadi dua yaitu
makna konotatif dan makna denotatif. Pilihan kata atau diksi lebih banyak
bertalian dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Makna konotatif sifatnya
lebih professional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif
adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang
dikaitkan dengan kondisi dan situasi tertentu.
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ini dibagi atas dua
kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Dalam penelitian ini
gaya bahasa bardasarkan makna yang ditemukan dalam nasakah drama LTD
adalah sebagai berikut.
1) Litotes
Kata ini berasal dari bahasa Yunani, dan berarti ―kesederhanaan‖. Berbeda
dengan hiperbola, majas ini digunakan untuk melemahkan ungkapan pikiran, jadi
untuk menampilkan gagasan tentang sesuatu yang kuat atau besar dengan
ungkapan yang lemah. Jadi juga mengandung pertentangan antara kenyataan dan
perkataan. Dipakai untuk merendahkan diri, seperti pada data berikut.
(295) BIBIT
Waton ana sing dijujuk, ora ketang mung gubug reyot. (Tuk, hal 184)
‗Asal ada yang dituju, walaupun hanya gubug tak kokoh.‘
(296) MBAH KAWIT
Selak gubugku mengko kobong! (Tuk, hal 214)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‗Cepat rumah gubugku nanti terbakar!‘
Pada data (295) dan (296) gubug reyot ‗rumah sederhana tak kokoh‘ dan
rumah gubug termasuk gaya bahasa litotes yang mengandung pertentangan antara
kenyataan dan perkataan yaitu, sebuah rumah di Margesaren diibaratkan sebagai
rumah gubug.
2) Hiperbola
Sebenarnya di dalam hiperbola terdapat dua leksem, penanda leksem yang
pertama tersembunyi dan digantikan oleh yang ke dua, yaitu yang mempunyai
intensitas makna jauh melebihi petanda yang pertama (yang tersembunyi).
Sebenarnya proses pembentukannya tidak jauh berbeda dengan metafora, hanya
saja di sini fokus terletak pada kesan intensitas makna. Itulah sebabnya mengapa
banyak hiperbola yang juga merupakan metafora atau perbandingan
(perumpamaan) Di bawah ini terdapat beberapa gaya hiperbola yang ada dalam
naskah drama LTD.
(297) JURAGAN
Adhuuuh…Dor, lindhu Dor iki! Iki piye Dor, kratonku ambruk, barang-
barangku remuk. (Leng, hal 86)
‗Aduh… Dor, ini gempa bumi Dor! Bagaimana Dor, keratonku runtuh,
barang-barangku hancur.‘
(298) SOLEMAN
Ora sudi! Diopahana helikoter pisan ta,… (Tuk, hal 138)
‗Tidak mau! Di kasih upah helikopter…‘
(299) LIK BISMA
Mbah, welinge wong mati kuwi mung penak dirungokne. Nanging yen
dilakoni, mecahke polo. Abot! (Tuk, hal 193)
‗Mbah, pesannya orang mati hanya enak didengarkan. Tetapi kalau
dilakukan, memecahkan otak. Berat‘
(300) MBAH JAGA
Biyangane...! Asat nggereng! Layak ditus ora tetes. (Dom, 223)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Biyangane!!(umpatan) kering kerontang! Pntas saja digulingkan tidak
tetes.
(301) DEN SETRA
.... Sing dak lakoni rasane kaya wis nggepok, mentog tekan dhasaran...
Sambata ya wis kentekan ukara, mripatku nganti wis ora bisa netesake
luh. Mung gari balung kulit.....(Dom, 280)
……..Yang saya kerjakan rasanya sepereti sudah paten, sudah mentok
sampai dasarnya…Mengeluhpun sudah kehabisan kata, mataku sampai
tidak bisa meneteskan air mata. Hanya tinggal kulit pembungkus
tulang….
Data (297) sampai dengan data (301) merupakan gaya bahasa hiperbola
pada data (297) kratonku ‗keranton‘ dianggap sangat berlebihan karena rumah
diibaratkan seperti keraton. Pada data (298) diopahono helikopter ‗dikasih upah
helikopter‘ merupakan pernyataan yang berlebih-lebihan jarang orang memberi
upah sebuah helikopter. Frasa mecahke polo ‗memecahkan otak‘ pada data (299)
juga merupakan bentuk gaya bahasa hiperbola, karena jarang ada orang yang
berpikir berat akan menjadikan kepala pecah. Untuk data (300) frasa asat
nggereng dimaksudkan untuk menyatakan air yang sudah habis sampai tidak
berbisa satu tetespun. Data (301) ungkapan hiperbola ditunjukkan dengan
dipilihnya kata kentekan ukara ‗kahabisan kata‘, ora bisa netesake luh ‗tidak bisa
meneteskan air mata‘, dan mung gari balung kulit ‗hanya tersisa tulang dan kulit‘
semua ungkapan tersebut digunakan pengarang untuk menyatakan kondisi yang
sudah sangat buruk.
3) Koreksio
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula
menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya (Gorys Keraf, 2004:135).
Gaya bahasa koreksia terlihat pada data berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(302) BONGKREK
Uwuh sing apik bisa dinggo rabuk. Yen uwuhing uwuh? Nanging Lik,
kula boten purun yen mung diajeni kaya uwuh. Bongkrek dudu uwuh.
(Leng, hal 69)
‗Sampah yang baik bisa buat pupuk. kalau sampahnya sampah? Tetapi
Lik, saya tidak mau kalau dianggap seperti sampah. Bongkrek bukan
sampah‘.
Pada data (302) di atas adanya bentuk gaya bahasa koreksio, Bongkrek yang
menegaskah bahwa uwuh ‗sampah‘ yang baik bila dijadikan rabuk kemudian
ditegaskan dengan kata nanging ‗tetapi‘, karena Bongkrek tidak mau dianggap
seperti sampah.
4) Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada (Keraf, 2004: 136). Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung
pertentangan dengan fakta yang ada. Gaya bahasa ini terkesan kontroversial akan
tetapi mengandung kebenaran. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik
perhatian karena kebenarannya, seperti pada data berikut.
(303) MBOK SENIK
Karepku ki mbok coba nonton dhisik, sapa sing mbok adepi. Wong
ngalah ki jare ora kalah. (Leng, hal 69)
‗Keinginanku itu dilihat dulu, siapa yang mau dihadapi. Orang mengalah
itu katanya belum tentu kalah.‘
(304) ROMLI
Boten ajeng mulang, boten ajeng muruki. Ning sampeyan rak rumangsa
nandur. Kandhane wong nandur ki bakale ngunduh. (Tuk, hal 180)
‗Tidak mau mengajar, tidak mau mengajarinya, tetapi kamu merasa
menanam tidak. Katanya orang menanam itu akan memetik hasilnya.‘
Pada data (303) ungkapan wong ngalah ki jare ora kalah ‗orang mengalah
itu katanya belum tentu kalah‘ merupakan sesuatu hal yang mengandung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pertentangan tetapi juga mengandung kebenarannya. Data (304) terdapat kata
yang bertentangan yaitu kata nandur ‗menanam‘ dengan ngunduh ‗memetik‘
pertentangan tersebut mengandung kebenarannya karena semua perbuatan
seseorang itu ada timbal baliknya yang akan dipertanggungjawabkan dan ada
konsekuensinya.
5) Simile
Di dalam simile terdapat dua kata (atau bentuk lainnya) yang masing-masing
menampilkan konsep dan acuan yang berbeda. Menurut pandangan budaya
tertentu (bisa juga menurut pandangan seseorang, bila simile itu orisinil) antara
wilayah makna kedua berupa kata (atau bentuk lainnya) itu terdapat persamaan
komponen makna, sehingga keduanya bisa diperbandingkan. Perbandingan ini
tidak menimbulkan masalah.. Majas ini mudah dikenali, karena kedua penanda
muncul secara bersamaan dan selalu dihubungkan oleh kata pembandingnya. Jadi
perbandingan bersifat eksplisit. Di bawah ini adalah beberapa analisis gaya bahasa
perumpamaan (simile) dalam naskah drama LTD.
(305) BONGKREK
Swara kok ora ana penake,… grung-grung-grung… bengung tanpa
irama… kaya eneng neraka… Huh…! (Leng, hal 70)
‗Suara kok tidak ada enaknya,… grung-grung-grung… mendengung
tanpa irama…seperti berada di neraka…‘
(306) BONGKREK
… Kaya kula sampeyan nyepi teng sareyan mriki rak butuh panggonan
sing wening ben tentrem atine, ben tentrem pikirane. Lha kok kosok
balene, malah gebrebegan. Kaya arep ana gunung mledhos. (Leng, hal
71)
‗… Seperti saya kamu menyepi di makam ini hanya butuh tempat yang
bening biar tentram hatinya, biar tentram pikirannya. Lha kok
sebaliknya, jadi kedengaran. Seperti mau ada gunung meletus.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(307) DEN SETRA
Keparat…! Seprana-seprene dieret-eret, wekasane mung diblusukke
eneng kene, kaya kewan, dikandhang, panas…sumpeg rasane…! (Dom,
238)
Keparat…! Selama ini diseret, akhirnya hanya dijebloskan di sini, seperti
hewan, dimasukkan kandang, panas…sumpeg rasanya…!
Pada data (305) dan (307) terdapat majas perumpaaan (simile) yaitu pada
tuturan kaya eneng neraka ‗seperti berada di neraka‘ dan kaya arep ana gunung
mbledhos ‗seperti mau ada gunung meletus‘. Dalam hal ini keberadaan mesin
pabrik yang suaranya bising sering mengganggu keresahan warga yang disamakan
dengan berada di neraka dan seperti gunung meletus. Untuk data (307) pengarang
menggunakan simile kaya kewan ‗seperti hewan‘ untuk menyatakan kondisi Den
Setra yang dikurung di Kandangan yang memang bekas tepat penyembelihan babi
atau mbaben.
(308) MBOK SENIK
Kesusu ki arep nyang ngendi? Mung juru kunci ribute kaya pegawe
negeri. (Leng, hal 82)
‗Tergesah-gesah mau kemana? Hanya juru kunci ributnya seperti
pegawai negeri.‘
Data (308) kalimat mung juru kunci ribute kaya pegawe negeri ‗hanya juru
kunci ributnya seperti pegawai negeri‗, adalah bentuk gaya bahasa simile dalam
hal ini pekerjaan juru kunci yang disamakan dengan pegawai negeri.
(309) MBOK SENIK
Woalaaah, gene mung nomer. (NGECE) ngono wae direwangi rewel
kaya manten anyer kadhemen. (Leng, hal 83)
‗Woalah, ternyata hanya nomer. (MENGEJEK) seperti itu saja
dibelabelain banyak bicara seperti pengantin baru yang kedinginan.‘
Pada data (309) terdapat gaya bahasa simile juga yaitu pada tuturan ngono
wae direwangi rewel kaya manten anyar kadhemen ‗kaya itu saja dibelain cerewet
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
seperti pengantin baru yang kedinginan‘. Dalam hal ini direwangi rewel ‗dibelain
cerewet‘ yang disamakan seperti pengantin yang kedinginan.
(310) BEDOR
Eling Den! Ora eneng apa-apa kok jerit-jerit, mingseg-mingseg
tangisan kaya cah wedok kelangan prawan. (Leng, hal 86)
Ingat Den! Tidak ada apa-apa kok jerat-jerit, tersedu-sedu tangisnya
seperti perempuan kehilangan keperawanan.
Data (310) kalimat mingseg-mingseg tangisan kaya cah wedok kelangan
prawan ‗tersedu-sedu tangisnya seperti perempuan kehilangan perawan‘. Dalam
hal ini tangisan tersedu-sedu disamakan tangisan perempuan yang kehilangan
keperawanan.
(311) MBOK SENIK
Anane mung ngglindhing-gemblundhung kaya barang mati tanpa
nyawa… waton mlaku. (Leng, hal 115)
‗Adanya hanya berputar-putar seperti benda mati tanpa nyawa… hanya
berjalan.‘
(312) KECIK
Adate yen sajene nyah-nyoh, rejekine nggih bludak kaya grojogan.
(Leng, hal 117)
‗Biasanya sesajennya mudah, rejekinya juga tumpah ruah seperti air
terjun.‘
(313) BOJONE ROMLI
(NGEPRUKI BALA PECAH) Aku mulih! Sumpek eneng kene! Menungsa
ki yen wis kebrongot birahine dadi kaya kewan. Cupet nalare! (Tuk, hal
139)
‗(MELEMPARI BALA PECAH) Aku pulang! Sempit berada di sini!
Manusia kalau sudah kebakar birahinya menjadi seperti hewan. Pendek
pikirannya!‘
(314) ROMLI
Tanggor wong cupet nalare, lha kok direwangi mampang-mampang
kaya arep maju perang. (Tuk, hal 173)
‗Ketahuan orang sempit pikirannya, mengapa dibela marah-marah seperti
akan maju perang.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kata kaya ‗seperti‘ dalam data (311) sampai data (314) merupakan kata-kata
pembanding yang menandai adanya gaya bahasa simile. Dalam data (311) terdapat
tuturan ngglindhing-gemblundhung kaya barang mati tanpa nyawa
‗menggelinding seperti benda mati tanpa nyawa‘. Tuturan hidup yang sudah sulit
disamakan dengan barang yang berputar-putar seperti barang yang hanya bisa
pasrah menghadapi kerasnya kehidupan. Data (312) tuturan rejekine nggih
mbludag kaya grojogan ‗rejekinya juga tumpah ruah seperti air terjun‘ dalam hal
ini seseorang mendapatkan rejeki banyak disamakan seperti air terjun. Data (313)
tuturan menungsa ki yen wis kebrongot birahine dadi kaya kewan. ‗manusia kalau
sudah kebakar birahinya jadi seperti hewan.‘ Dalam hal ini orang yang sudah
mempunyai birahi tinggi disamakan seperti hewan yang tidak dapat
mengendalikan hawa nafsu. Data (314) orang yang marah-marah disamakan
dengan seperti maju perang.
6) Metafora
(Gorys Keraf 2004: 139) metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat:
bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora
sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata-kata: seperti, bak,
bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan
dengan pokok kedua. Jadi, metafora dapat disebut sebagai perbandingan implisit.
Dalam pandangan modern metafora dibagi menjadi empat, yaitu antropomorfosis,
kehewanan, metafora yang timbul karena pemindahan pengalaman dari konkret ke
abstrak, dan metafora sinestetis (Ullman, 1972 dalam Edi Subroto, 1996: 39-41).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Metafora dibentuk berdasarkan penyimpangan makna. Sebenarnya, seperti
juga pada simile, dalam metafora terdapat dua bentuk penanda yang maknanya
diperbandingkan. Namun, di sini, salah satu unsur bahasa yang dibandingkan itu
tidak muncul, melainkan bersifat implisit. Sifat implisit ini menyebabkan adanya
perubahan acuan pada penanda yang digunakan. Selain itu, tidak ada kata yang
menunjukkan perbandingan seperti dalam simile. Hal-hal inilah yang mungkin
menjadi masalah dalam pemahaman metafora. Berikut ini beberapa data gaya
bahasa metafora dalam naskah drama LTD.
(315) BONGKREK
Lha…basan ketanggor ora wurung nggih mung bingung, mlayu teng
kutha ngeker-ngeker rejeki sakkecandhake. (Leng, hal 71)
‗Lha… ketahuan tidak berhasil ya hanya bingung, lari di kota
mengaiskais rejeki sedapatnya.‘
Data (315) pada ngeker-ngeker ‗mengais-kais‘ biasanya dilakukan oleh
hewan seperti ayam untuk mencari makanan. Ngeker-ngeker rejeki ‗mengais-
ngais rejeki‘ dalam tuturan tersebut mengandung pengertian orang mengadu nasib
di kota untuk mendapatkan rejeki.
(316) PAK REBO
Harak mung arep nyitak kere. Aluwung bukak warung, bathine kena
dijagakke tambah kenalane….(NGIGUK NJABA NYAWANG LANGIT
SING PETENG) Kok petenge wis kaya ngene. (Leng, hal 81)
‗Harak hanya mau membuat gelandangan. Mendingan membuka warung,
untungnya bisa buat serep, kenalannya bertambah…(MELIHAT KELUAR
MEMANDANG LANGIT YANG GELAP) kok gelapnya seperti ini.‘
Pada data (316) nyitak kere ‗membuat gelandangan‘ merupakan gaya bahasa
metafora. Kata nyitak ‗membuat‘ biasanya dipakai untuk membuat suatu barang.
Ungkapan Nyitak kere dalam tuturan tersebut mengandung pengertian membuat
gelandangan yang dibandingkan seperti membuat suatu barang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(317) PAK REBO
Matane padha mlilik yen ana gaweyan sing ketelesan dhuwit. (Leng, hal
83)
‗Matanya melotot kalau ada pekerjaan yang ada uang.‘
Data (317) pada ketelesan dhuwit merupakan gaya bahasa metafora. Kata
ketelesan ‗kebasahan‘ biasanya dipakai yang mengandung air atau terkena air.
Ketesan dhuwit dalam tuturan tersebut mengandung pengertian pekerjaan yang
mudah menghasilkan uang.
(318) JURAGAN
Gawane clurit, klewang…arep ana beleh-belehan Dor…, banjir, banjir
getih… (Leng, hal 92)
‗Bawaannya clurit, klewang… mau ada disembelih Dor…, banjir, banjir
darah…‘
Data (318) banjir getih ‘banjir darah‘, bukan berarti banjir darah melainkan
bermakna akan terjadi pertumpahan darah akibat perkelahian dengan senjata
tajam. Pengarang menggambarkan akibat dari perkelahian dengan kalimat banjir
getih ‘banjir darah‘, bukan mati atau tewas.
(319) BEDOR
Beres kabeh Den. Jane yen boten nganti kepepet, boten nganti klepenet
wong-wong wau boten bakal tukhul siunge. (Leng, hal 92)
‗Beres semua Den. Tetapi kalau tidak terdesak, tidak sampai terhimpit
orang-orang tadi tidak akan tumbuh taringnya.‘
Data (319) menjelaskan bahwa thukul siunge ‗tumbuh gigi taring‘
menggambarkan sifat seseorang yang akan menjadi keras atau bringasan seperti
sifat yang dimiliki oleh hewan. Karena hanya hewan yang liar yang mempunyai
siung ‗taring‘.
(320) KECIK
Dharah mudha Mbok, dijak nonton ndangdhut. (Leng, hal 116)
‗Darah muda Mbok, diajak menonton dangdut.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Data (320) dharah mudha bukan berarti darah yang berwarna merah muda
melainkan mempunyai pengertian jiwa yang masih muda.
(321) KECIK
Ora ana sulihe sing bisa dienggo nambal atine sing tatu. (Leng, hal 121)
‗Tidak ada yang bisa dipakai untuk mengganti hati yang terluka.‘
Data (321) pada nambal atine sing tatu ‗mengganti hati yang terluka‘
nambal biasa dipakai dalam menambal ban yang bocor dan ati ‗perasaan hati‘
adalah sesuatu yang abstrak yang disamakan dengan benda seperti ban mobil,
motor, atau sepeda. Jadi maksud tuturan metafora di atas mengandung pengertian
untuk menyembuhkan hati yang sedang terluka.
(322) BOJONE ROMLI
Apa ngana kuwi…! Karepe adol bagus golek gratisan, yang-yangan neng
petengan, mbok diakoni ora kuat jajan! (Tuk, hal 136)
‗Apa begitu itu…! Maunya pamer tampan mencari gratisan, pacaran di
tempat gelap, jujur saja kalau tidak kuat beli!‘
Pada data (322) adol bagus ‗pamer tampan‘ bukan berarti menjual tampan
melainkan bermakna orang laki-laki yang ingin diperhatikan oleh orang banyak.
(323) BIBIT
Dhuwit kari nyidhuk, rejeki ngetuk saka ngendi-endi. (Tuk, hal 164)
‗Uang tinggal mengambil, rejeki mengalir dari mana-mana‘
Data (323) rejeki ngetuk ‗rejeki mengalir‘ termasuk gaya bahasa metafora
rejeki merupakan sesuatu yang abstrak yang disamakan sesuatu yang konkret
seperti air yang keluar dari tanah. Rejeki ngetuk ‗rejeki mengalir‘ dalam tuturan
tersebut mengandung pengertian mendapat rejeki lancar dan mudah seperti halnya
air keluar dari tanah.
(324) MBOKDE JEMPRIT
Ora maido kowe bisa makelaran, ning aja ngancik-ngancik kesengsarane
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
liyan, apa maneh tanggamu dhewe sing pendhak byar adu bathuk. (Tuk,
hal 172) ‗Tidak terkejut kamu bisa makelaran, tetapi jangan menginjak-
injak kesengsaraannya ora lain, apa lagi tetanggamu sendiri yang tiap pagi
selalu ketemu.‘
Data (324) adu bathuk pada tuturan itu tidak berarti bahwa orang yang
beradu antar dahi, tetapi mempunyai arti salalu ketemu.
(325) MBOKDE JEMPRIT
Kepriye olehe muter utek…!(Tuk, hal 173)
„Bagaimana dalam berpikir‟
Data (325) muter utek bukan berarti untuk memutar otaknya tetapi dengan
maksud untuk berpikir.
(326) SOLEMAN
(METU SAKA NJERO NGOMAH, TERUS NEMPUKAKE) matamu, eling-
eling bakul lombok, omonge ceplas-ceplos medhesne kuping. (Tuk, hal
173)
‗(KELUAR DARI RUMAH, LALU MEMPERTEMUKAN) matamu,
ingat-ingat penjual cabe, bicaranya mudah membuat marah.‘
Pada data (326) medhesne kuping merupakan gaya bahasa metafora. Kata
medhesne ‗pedas‘ berarti sesuatu yang rasanya pedas seperti cabe, tuturan omonge
ceplas-ceplos medhesne kuping berarti pembicararaan yang membuat marah.
(327) ROMLI
Dudu niku, sanes. Nanging tangga-tangga mriki akeh tumbak cucukan!
(Tuk, hal 180)
‗Bukan itu, berbeda. Tetapi tetangga-tetangga sini banyak yang mengadu
domba!‘
Data (327) tumbak cucukan bukan berarti tombak yang ada paruhnya seperti
burung melainkan mempunyai makna orang yang suka membicarakan keburukan
orang lain, atau mengadu domba orang lain.
(328) ROMLI
Bit, kowe ki rasah nglincipi rembuk! Yen kowe ora nyaru ngono jano piye
ta? (Tuk, hal181)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bit, kamu jangan memperuncingkan pembicaraan! Kalau kamu jangan
mengganggu bagaimana?‘
Data (328) merupakan frasa yang menunjukkan gaya bahasa metafora yaitu
nglincipi rembuk ‗memperuncingkan pembicaraan‘ yang mempunyai maksud
memanas-manasi pembicaraan yang akan memperuncing keadaan atau
memperumit keadaan.
(329) MBOKDE JEMPRIT
Buktine, bubar perkara kuwi diputus Denmas Darsa dadi lara-laranen
terus mangan ati. (Tuk, hal 182)
‗Buktinya, setelah masalah itu diputus Denmas Darsa jadi sakit-sakitan
terus makan hati.‘
Data (329) kata mangan ‗makan‘ biasanya dilakukan oleh makhluk hidup
seperti hewan atau manusia dan ati ‗perasaan‘ sesuatu yang abstrak tidak dapat
disentuh atau diraba. Tuturan mangan ati ‗makan hati‘ di atas bukan berarti
makan daging hati ayam atau yang lainnya melainkan menggambarkan ati
‗perasaan‘ Den Darsa yang sering disakiti Mbokde Senik.
(330) MARTO KRUSUK
Ya ben diarani mata dhuwiten, dremis, wong nyatane ya kesrakat neng
kene. mumpung ana rejeki lewat (Tuk, hal 213) ‗Ya biarin disebut mata
duitan, kenyataanya di sini ya miskin. Kebetulan ada rejeki datang.‘
Data (330) tuturan mata dhuwiten ‗mata duitan‘ bukan berarti mata yang ada
duitnya melainkan bermakna orang yang pikirannya tertuju semata pada uang.
Pada data di atas juga memanfaatkan gaya bahasa personifikasi rejeki lewat
‘rejeki datang‘ yang disamakan seperti layaknya manusia yang bisa berjalan.
7) Personifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf, 2004:140).
Personifikasi atau disebut juga sebagai penginsanan merupakan suatu corak
khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat,
berbicara seperti manusia (Sumarlam (2006: 37). Di bawah ini adalah beberapa
analisis gaya bahasa Personifikasi (prosopopoeia) dalam naskah drama LTD:
(331) MBOK SENIK
Ati-ati Cik, yen ngomong aja waton cal-cul, eneng kene ki cagak bisa dadi
kuping. (Leng, hal 100)
‗Hati-hati Cik, kalau berbicara jangan kelepasan, di sini tiang bisa menjadi
kuping.‘
Cagak bisa dadi kuping ‗tiang bisa menjadi kuping‗ pada data (331) di atas
kata cagak ‗tiang‘ sebagai benda tak bernyawa disamakan makhluk hidup seperti
manusia yang bisa mendengarkan.
(332) BIBIT
Soleman ki mlayu ngidul sedhela kelon dhemenane genah anget, genah
kemringet mulihe entuk sangu. Waras awake waras kanthonge. (Leng,hal
145)
‗Soleman lari ke selatan sebentar minta tidur sama selingkuhannya
pastihangat, pasti lelah pulangnya dapat uang saku. Sehat badannya dan
rejeki banyak.‘
Pada data (332) waras kantonge jelas sebagai benda mati tak bernyawa yang
disamakan benda hidup yang bernyawa seperti manusia yang mempunyai badan
sehat.
(333) SUARA WADON
Mburi kene sumpek, cedhak ilen-ilen kalen, ambune badheg. Neg udan
banyune inguk-inguk lawang. (Tuk, hal 175)
‗Dibelakang sini sempit, dekat aliran selokan, berbau tuak. Kalau hujan
airnya hampir masuk rumah.‘
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada data (333) di atas menggunakan gaya personifikasi, yaitu tuturan
banyune inguk-inguk lawang. Air sebagai benda mati tidak bisa melihat, yang bisa
melakukan hanyalah makhluk hidup seperti manusia.
(334) BIBIT
Dhuwit pancen luwih kuwasa. Bisa ndadekake papan sepi dadi rame.
(Tuk, hal 183)
‗Uang memang lebih kuasa. Bisa menjadikan tempat sepi menjadi ramai.‘
Data (334) pada dhuwit pancen luwih kuwasa ‗uang memang lebih kuasa‘
yang merupakan benda tak bernyawa (inanimate) disamakan dengan makhluk
(benda bernyawa animate) seperti manusia yang bisa berkuasa seolah-olah uang
bisa berkuasa.
(335) MARTO KRUSUK
Dhuwite sing ora gelem mara, Mbah! (Tuk, hal 198)
‗Uangnya yang tidak mau datang, Mbah!‘
Data (335) pada dhuwite sing ora gelem mara ‗uangnya yang tidak mau
datang‘ dalam hal ini dhuwit ‗uang‘ merupakan benda tak bernyawa disamakan
dengan manusia yang bisa berjalan.
(336) BIBIT
Pasar kae kobong, ludhes diuntal geni, bakule mawut. (Tuk, hal 211)
‗Pasar itu kebakaran, habis terbakar api, daganganya rusak.‘
Data (336) ludhes diuntal geni ‗habis terbakar api‘ dalam hal ini kata diuntal
‘makan‘ yang biasanya dilakukan makhluk hidup seperti manusia dibandingkan
dengan keadaan api. Tuturan ludhes diuntal geni mempunyai maksud api yang
besar membakar semuanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(337) MBAH JAGA
(AGE-AGE NGELINGAKE) Wis Pak Lakon, aja, rasah mbok wudani,
mundhak kepanasen ngelak mengko mundhak ngokop getih… gek ndang
disarungne…aku wis reti ladhingmu kuwi, sing mbok pundhi dadi
jimatmu, dadi pusakamu. Wis rasah mbok pamerne…(Dom, 243)
(CEPAT-CEPAT MENGINGATKAN) Sudah Pak Lakon, jangan, tidak
usah kamu buka nanti malah kepanasan, haus malah minta minum
darah…cepat disarungkan..aku sudah tahu pisaumu itu yang kamu puja
jadi jimatmu, jadi pusakamu. Sudah tidak usah kamu pamerkan…
Data (337) mundak kepanasen, ngelak biasanya hanya dilakukan oleh
manusia atau makhluk hidup yang bisa merasakan kepanasan dan kehausan.
Dengan menggunakan gaya bahsa personifikasi tersebut, pengarang ingin
mendatangkan efek mistis pada benda yang dijadikan objek.
8) Eponim
Eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu
sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat.
(338) KECIK
Mbok Sastra sing kenese kaya Srikandhi nika, yen mrene sakrombongan,
nggowo kendharaan pirang-pirang mobil. (Leng, hal 117)
Mbok Sastra yang genit seperti Srikandi itu, kalau ke sini satu rombongan,
membawa kendaraan mobil banyak.
Data (338) Mbok Sastra sing kenese kaya Srikandhi ‗Mbok Sastra yang
genit seperti Srikandi‘ merupakan gaya bahasa eponim, Srikandi terkenal dengan
kecantikannya yang disamakan dengan Mbok Sastra.
9) Alusi
Alusi adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang,
tempat, atau peristiwa. Biasanya alusi ini adalah suatu referansi yang eksplisit atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
implisit kepada peristiwa-peristiwa atau tokoh dalam kehidupan nyata, mitologi
tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa dalam karya sastra yang terkenal.
(339) LIK BISMA
O, yen kuwi pancen dakniati. Genah nganti diparabi „Bisma‟! lha kuwi
wayange „potret diri‟ (NDUDINGI GAMBAR WAYANG BISMA SING
ANA GEDHEG) nanging pancen wis dakdhadha ora arep sambat, aja
nganti nggresula nadyan babak-bundhas ora kepetung pitukone…!! (Tuk,
hal 166)
‗O, kalau itu sudah menjadi niat saya, jelas sampai dinamai ‗Bisma‘! lha
itu wayangnya‘ potret diri‘ (MENUNJUKAN GAMBAR WAYANG
BISMA YANG ADA DI DINDING BAMBU)‘ tetapi saya sudah
menerima tidak akan mengeluh, jangan sampai kecewa walaupun babak
belur tidak terhitung kerugiannya…!
Data (339) genah nganti diparabi „Bisma‟! lha kuwi wayange „potret diri‟
‗jelas sampai dinamai ‗Bisma‘! lha itu wayangnya ‘potret diri‘. Tuturan tersebut
merupakan gaya bahasa alusi yang merujuk pada tokoh wayang Bisma. Bisma
adalah nama lain Dewabrata pengasuh Kurawa dan Pendawa. Mempunyai watak
memegang teguh segala apa yang dijanjikannya. Gaya bahasa tersebut digunakan
untuk menggambarkan Lik Bisma yang akan selalu memegang teguh pada
prinsipnya.
(340) LIK BISMA
Bratayuda meneh…! (RISI DINGGO TAMENG BIBIT) Ngapa ta ya iki,
wis gerang malah oyak-oyakan. (Tuk, hal 154)
‗Bratayuda maneh…! (KURANG SENANG BUAT PELINDUNG BIBIT)
mengapa ini, sudah besar kejar-kejaran.‘
Data (340) Bratayuda adalah perang keluaga Barata menunjukan adanya
gaya bahasa alusi, dalam hal ini Lik Bisma yang melihat perkelahian Soleman
dengan Bibit diibaratkan seperti perang keluarga Barata.
10) Metonimia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Metonimia adalah alih makna dari satu kata karena dipergunakan untuk
menyatakan hal lain (Edi Subroto, 1997: 92). Peralihan makna tersebut ada
pertalian yang sangat dekat, seperti hubungan sebab untuk akibat, akibat untuk
sebab, isi untuk menyatakan wadah, dan sebagainya. Seperti pada data berikut.
(341) MBOKDE JEMPRIT
Aku digandhuli gundhul sanga Li, gundhul sanga ki butuh madhang,
butuh ngeyub. (Tuk, hal 179)
‗Aku diikuti anak sembilan Li, anak sembilan ini butuh makan, butuh
tempat berteduh.‘
Data (341) gundhul sanga ‗anak sembilan‘ merupakan gaya bahasa
metonemia kata gundul sebenarnya untuk menggantikan anak-anaknya Mbok
Jemprit.
11) Hipalase
Hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah
kata yang lain.
(342) JURAGAN
Dicathet goblok! Ngertia, yen nganti aku kumat maneh, sapa sing bisa
nyetir lakune pabrik kene? (leng, hal 111)
‗Dicatat bodoh! Ketahuilah, kalau aku kambuh lagi, siapa yang bisa
memimpin jalannya pabrik‘
Data (342) pada nyetir lakune pabrik ‗memimpin jalannya pabrik‘, kata
nyetir ‗menyetir‘ pada umumnya digunakan untuk menyetir kendaraan seperti
bus, mobil, atau truk. Tetapi pada tuturan di atas digunakan untu menyetir pabrik
dengan maksud memimpin pabrik.
(343) BIBIT
Bandar-bandar gedhe mrika dhabutuh panggonan nggo ngileke dhuwit.
(Tuk, hal 188)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
‗Bandar-bandar besar di sana butuh tempat untuk menanamkan modal.‘
Data (343) kata ngileke ‗mengaliri‘ biasanya berhubungan dengan air seperti
mengaliri air, tetapi di sini menggambarkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh
bandar-bandar tersebut seperti air yang menggalir, yang akan mengalir terus atau
sampai akan membanjirinya sehingga ia membutuhkan tempat untuk
menggalirkan uang agar bisa berkembang uangnya.
4. Analisis Pencitraan dalam Naskah Drama Berbahasa Jawa Gapit karya
Bambang Widoyo SP.
Naskah drama berbahasa Jawa Gapit karya Bambang Widoyo SP ini di
samping menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan ciri keunikan bahasa sehari-
hari masyarakat kelas bawah juga menggunakan citraan yang jelas dan detail. Hal
ini dikarenakan naskah ini adalah naskah drama, dimana penggambaran imajinasi
pengarang akan setting tempat, waktu, dan suasana menduduki peran yang sangat
vital. Pentingnya visualisasi tempat, suasana, dan waktu ini berkenaan dengan
keberhasilan pemanggungan. Citraan sendiri sebenarnya adalah reporoduksi
pengalaman mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan
berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Citraan itu sendiri berkenaan
dengan pengalaman yang bersifat audio, taktil, gerak, dan penciuman. Hal ini
sejalan dengan pemahaman pencitraan yang dikemukaan Sutedjo yaitu meliputi
bentuk pengucapan/pemakaian bahsa oleh penyir untuk menggambarkan objek-
objek, tindakan, persaan, atau pengalaman indera yang tertuang dalam karya
stratanya (2010; 116)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pembahasan terhadap masaalah kekhasan pencitraan ini akan mengikuti
pendapat Burhan Nurgiantoro yang membedakannya menjadi citra berdasarkan
pada pengalaman kelima indera. Kelima citra itu meliputi (i) citra penglihatan
(visual), (ii) citra pendengaran (audio), (iii) citra gerak (kinestetik), (iv) citra
rabaan (taktil), dan (v) citra penciuman (olfaktori) (Burhan,1998: 304).
Berikut ini akan dipaparkan pencitraan secara berturut-turut yang meliputi
(i) citraan visual, (ii) citraan audio, (iii) citraan penciuman, (iv) citraan gerak, dan
(v) citraan taktil (rabaan).
a. Pencitraan visual
Di dalam naskah drama LTD, ditemukan penggunaan pencitraan visual
dengan baik dan detail untuk mengarahkan dan menciptakan imajinasi pembaca
(pemain) tentang lukisan suasana, keadaan, tempat, yang secara memikat
ditampilkan pengarang dengan bahasa yang mudah dipahami.
Pencitraan visual ini merupakan usaha pengarang dalam menuliskan
pengalaman penglihatan (visual) dalam bahasa tulis. Pencitraan visual dalam
naskah drama sangat penting ditampilkan guna memberikan gambaran yang jelas
dalam menginterpretasikan situasi panggung, suasana, latar tempat, waktu,
maupun karakter baik fisik maupun spikis dari tokoh.
Pemanfaatan pencitraan visual dalam naskah LTD nampak dalam narasi
awal dan narasi-narasi yang mengikuti setiap dialog yang dibawakan tokoh-
tokohnya. Hal ini dapat dilihat dalam data berikut.
(344) NGENANI BAB PANGGUNG
KAYA PASAREYAN KANG UWIS RAMPUNG DIPUGAR DIBANGUN
PENDHAPA JOGLO. PENER TENGAH PENDHAPA ANA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KROBONGAN SING DILURUPI KAIN PUTIH MORI PUTIH. LURUP
MAU BISA DISINGKAP. ……(Leng, 65)
Berkenaan bab panggung
Seperti makam yang baru selesai dipugar, dibangun pendapa joglo tepat
di tengah pendapa ada krobongan yang ditutupi kain mori putih penutup
tadi dapat dibuka…..
(345) LAMPU SAREYAN MATI, KRAMATAN KYAI BAKAL PETENG.
NALIKA BALI PADHANG, LURUP KLAMBU PUTIH WIWIT
MUNGGAH, MBUKAK ALON-ALON.
SAYA MUNGGAH-SAYA MUNGGAH, SING KATON MALIH DADI
RUANG DIREKTUR PABRIK, ANA MEJA, KURSI LAN PERABOT
KANTOR SING MEWAH. NDHUWUR MEJA ANA GELAS ISI
WEDANG PUTIH, BUKU-BUKU KANDEL DITATA RAPI, PESAWAT
TELPON, GLOBE LAN SAPANUNGGALE. (Leng, 72-73)
Lampu makam mati, makam kyai bakal gelap. Ketika menyala kembali,
kain putih penutup mulai naik, terbuka pelan-pelan.
Semakin naik, yang kelihatan menjadi ruang direktur pabrik, ada meja,
kursi dan perabotan kantor yang mewah. Di atas meja ada gelas berisi ir
putih, buku-buku yang tebal ditata rapi, telepon, globe dan sebagainya.
(346) MAGERSAREN
PAPAN POMAHAN SING BIYEN DALEM KAGUNGANE DEN MAS
DARSO, SAIKI SAYA TAMBAH RIYEL. OMAH LAN PEKARANGANE
DISINGGET-SINGGET PATING CUPLEK, GEBYOGE PEPET-
PEPETAN PRASASAT ADU GEDHEG, NGANTI TRITIS LAN
EMPERAN OMAH WIS NGRANGKEP DADI DALAN KANGGO
WARGA MAGERSAREN YEN BUTUH LIWAT.
……………..
PENER ANA TENGAH MAGERSAREN ANA SUMUR TUWA KANG
BANYUNE AGUNG. CEDHAK SUMUR ANA JOGANE, ANA
JAMBANE UGA ANA KAKUSE. SUMUR KONO DADI JUJUGANE
PARA WARGA MANAWA PADHA BUTUH BANYU, NGANGSU,
UMBAH-UMBAH, ADUS APADENE AREP PERLU MENYANG
KAKUS
………………… (Tuk, 133-134)
Magersaren
Perumahan yang dulu rumah milik Den Mas Darso, sekarang bertambah
penuh. Rumah dan pekarangannya disekat-sekat kecil, dindingnya
berdempetan, sampai ujug atap dan teras sudah jadi satu jadi jalan buat
warga magersaren jika akan lewat.
………………………..
Tepat di tengah Magersaren ada sumur tua yang airnya banyak, dekat
sumur ada lantainya, ada jamban dan WCnya. Sumur disitu menjadi
tujuan para warga jika membutuhkan air, mengambil air, mencuci,
mandi atau akan ke WC.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(347) SIJI
MAGERSAREN WAYAH SURUP
BOCAH-BOCAH WIS PADHA MLEBU NGOMAH, WIS ORA
KATON DOLANAN ANA LATAR NJABA. SAPERANGAN
PADHA METU, NANGGA, NGLURUG NUNUT NONTON
TELEVISI.
…………………
LIK BISMA KATON LAGI MULIH SAKA GLIDHIG IDER,
DODOLAN, MLEBU PEKARANGAN KARO NUNTUN
SEPEDHANE, MBREYOT GENTEYONGAN GONCENGANE
KEBAK DADGANGAN. SWARANE BEL SEPEDHANE
KEMLINTHING, DADI TITI WANCI TUMRAP WARGA
MAGERSAREN MENAWA BISMA WIS TEKA. (Tuk, 135)
Satu
Magersaren dikala senja
Anak-anak sudah masuk rumah, sudah tidak terlihat bermain di
halaman. Beberapa keluar rumah, ke tempat tetangga, menumpang
melihat televise.
…………………
Lik Bisma terlihat tengah pulang dari bekerja, berkeliling jualan, masuk
pekarangan dengan menuntun sepedanya, membawa banyak dagangan,
diboncengan sepedanya juga penuh dagangan. Suara bel sepedanya
gemerincing, menjadi tanda bagi warga Magersaren jika Lik Bisma
sudha pulang.
(348) TELU
NGANCIK WENGI ING MAGERSAREN
MBAH KAWIT LINGGIH NDHEPIPIL, NYAWANG SUMUR, KARO
NDREMIMIL NGUCAP DONGA APALANE.
MARTO KRUSUK MENTAS SAKA KAKUS, WERUH MBAH
KAWIT, BANJUR MLAKU NYEDHAK NENG SUMUR WISUH
KARO NGGRUNDELAN RISI KRUNGU DONGANE MBAH
KAWIT.
LIK BISMA NGISIS KARO NGELUS-ELUS PUSAKANE SING ISIH
DIBUNTEL MORI PUTIH. ISINE WAYANG, SEMR KARO TOGOG.
(Tuk, 189)
TIGA
MENAPAK MALAM DI MAGERSAREN
MBAH KAWIT DUDUK MEMOJOK MELIHAT SUMUR SAMBIL
NDREMIMIL MENGUCAPKAN HAFALAN DOANYA.
MARTO KRUSUK BARU SAJA DARI KAKUS, MELIHAT MBAH
KAWIT, MEGELUH MENDENGAR DOANYA MBAH KAWIT.
LIK BISMA MENCARI ANGIN SAMBIL MENGELUS-ELUS
SENJATANYA YANG MAISH DIBUNGKUS KAIN MORI PUTIH,
ISINYA WAYANG SEMAR DAN TOGOG.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(349) PAPAT
MAGERSAREN ING ALAME MBAH KAWIT
MLEBU PONDHOKANE MBAH KAWIT BANJUR NGGLOSO
NGAMBEN. GELA, ANYEL, NESU NGLUMPUK DADI SIJI.
AMBEGANE MELAR MINGKUS. TENAGANE ENTEK
WUSANANE KESEL KENTEKAN DAYA. BANJUR LER
KETURON. JRONING TURU TEKA LUNGA KAYA GERET-
GERETAN ANTARANE MBAH KAIT KARO WONG-WONG SING
DURUNG LAN SING WIS DITEPUNGI PADHA BINGUNG AREP
NULUNGI NYLAMETAKE MAGERSAREN SING LAGI KOBONG.
MBAH KWIT NGIMPI. GENINE MBULAT-MBULAT HAWANE
PANAS SUMELET. UGA WERUH ANA SOROT ABANG
MBRANANG MENCORONG METU SAKA NJERO SUMUR.
…………………….
(Tuk, 208)
EMPAT
Magersaren di alamnya Mbah Kawit
Masuk pondokannya Mbah Kawit lalu merebahkan diri di dipan.
Kecewa, kesal, marah mengumpul jadi satu. Nafasnya kembang
kempis. Tenaganya habis capek kehabisan daya. Kemudian teridur.
Dalam tidurnya datang dan pergi seperti orang yang tarik menarik
antara mbah kawit dengan orang yang sudah maupun belum dikenal.
Semua bingung akan menolong menyelamatkan magersaren yang
tengah terbakar. Mbah kawit mimpi apinya besar udaranya panas juga
melihat ada sorot merah menyala keluar dari dalam sumur.
(350) LIMA
MAGERSAREN KESRIPAHAN
GENERA ABANG, GENDERA LAYATAN WIS DIPASANG
KRAN, KEMBANG, MENYAN, WIT GEDHANG LAN MAEJAN
WIS CEMEPAK NENG TRITISAN SING NGRANGKEP DADI
DALAN. UGA CENGKIR KENDI LAN PRABOT SESAJI
UPACARA NGUNTABAKE LAYON. DISAMBUNG SUWARA
KENTHONGAN, WIS AMBAL KAPINDHO, LIK BISMA SING
KUWAJIBAN PIDHATO
OMAHE MBAH KAWIT DITEPLEKI GENDERA WONG MATI.
WIS AKEH SING PADHA NGLAYAT. KABEH WARGA
MAGERSAREN NGLUMPUK. (Tuk, 216)
LIMA
MAGERSAREN BERDUKA
BENDERA MERAH, BENDERA KEMATIAN SUDAH DIPASANG
KRAN, BUNGA, MENYAN, POHON PISANG DAN MAEJAN
SUDAH DISEDIAKAN DI TERAS YANG MERANGKAP JALAN.
JUGA KELAPA MUDA, KENDI DAN PERABOT SESAJI
UPACARA PEMBERANGKATAN JENAZAH. DISAMBUNG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SUARA KENTONGA, SUDAH DIULANG DUA KALI. LIK BISMA
YANG BERKEWAJIBAN PIDATO.
RUMAHNYA MBAH KAWIT DITEPELI BENDERA ORANG
MATI. SUDAH BANYAK YANG MELAYAT, SEMU WARGA
MAGERSAREN BERKUMPUL.
(351) KEDADEYAN ANA ING
KAMPUNG KANDHANGAN
KAMPUNG SING MAUNE TILAS KANDHANG BABI
MBABEN
ANA ING SAPERANGAN POJOK KAMPUNG KAHANANE
SARWA LETHEG, REGED LAN SUMPEG.
AKEH BERKAKAS SING UWIS RUSAK GEMLETHAK PATING
BLENGKRAH.
SATEMENE PAPAN KANG UWIS ORA LUMRAH DIENGGONI.
KAMPUNG KANDHANGN CEDHAK KARO KAMPUNG
SANGKRAH, JEJER KARO KAMPUNG PENDHEMAN.
WUJUDE PANGGUNG
KRONJONG BABI PATING GRANDHUL ANA NDUWUR
PANGGUNG KARO NDUWUR PENONTON, SIJI LAN SIJINE
DICENCANG NGANGGO TALI SUPAYA BISA DISOBAHNE
BEBARENGAN.
………………..
(Dom, 221-222)
KEJADIAN DI
KAMPUNG KANDANGAN
KAPUNG YANG DULUNYA BEKAS KANDANG BABI
MBABEN.
ADA SEBAGIAN POJOK KAMPUNG, KEADAANNYA KOTOR,
DAN SUMPEG.
BANYAK PERKAKAS YANG SUDAH RUSAK BERSERAK.
SEBENARNYA TEMPAT YANG TIDAK LAYAK DITEMPATI.
KAMPUNG KANDANGAN DEKAT DENGAN KAMPUNG
SANGKRAH, BERDAMPINGAN DENGAN KAMPUNG
PENDEMAN.
WUJUDNYA PANGGUNG
KERANJANG BABI BERGANTUNGAN, ADA DI ATAS
PANGGUNG DAN DIATAS PENONTON, SAJI DENGAN YANG
LAIN DIHUBUNGAN DENGA TALI SUPAYA BISA
DIGERAKKAN BERSAMAAN.
………………
(352) MAPAN ANA ING PANGGONANE PAK LAKON TILAS JAGAL
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MBAH JAGA, LANDA BAJANG, MAS MANTRI LAN PAK LAKON
LAGI MAIN KERTU, UWIS SUWE OLEHE BOTOHAN, ORA ETUNG
WAYAH, ORA NGGAGAS KIWA TENGANE NGANTI LALI WEKTU,
EMBUH WIS TABUH PIRA ORA ANA SING MAELU.
SING KALAH UWIS PADHA NGLENTRUK, NANGING ISIH
DURUNG KEPINGIN BUBAR.
………………………….
(Dom, 223)
BERTEMPAT DI TEMPAT PAK LAKON BEKAS JAGAL, MBAH
JAGA, LANDA BAJANG, MAS MANTRI DAN PAK LAKON
TENGAH BERMAIN KARTU, SUDAH LAMA PERMAINANNYA,
TIAK TAHU WAKTU, TIDAK MENGGUBRIS KANAN KIRINYA
SAMPAI LUPA WAKTU, TIDAK TAHU JAM BERAPA TIDAK
ADA YANG MEMPERHATIKAN.
YANG KALAH SUDAH TIDAK BERSEMANGAT, NAMUN
MASIH BELUM INGIN SELESAI.
…………………………
(353) NJABAN KANDANGAN LATARE KATON RADA PADHANG.
KRESNA GAMBAR LAGI NGOBONG UWUH, GENINE MURUP
MBULAT-MBULAT, MOBAT-MABIT KETERAK ANGIN AYANG-
AYANGE MLEBU NGOMAH NGOBAHAKE KRONJONG BABI SING
GEMRANDHUL.
KARO MBENAKE GENI UWUH KRESNA GAMBAR NYAWANG SING
LAGI PADHA BUBARAN BOTOHAN, CANGKEME UMAK-UMIK
GREMENGAN. (Dom, 228)
DI LUAR KANDANGAN HALAMANNYA TERLIHAT AGAK
TERANG
KRESNA GAMBAR TENGAH MEMBAKAR SAMPAH, APINYA
MENYALA-NYALA, BERGERAK-GERAK DITERPA ANGIN,
BAYANGANNYA MASUK RUMAH MENGGERAKKAN
KRANJANG BABI YANG DIGANTUNG.
SAMBIL MEMBENARKAN API SAMPAH KRESNA GAMBAR
MELIHAT YANG SELESAI BERJUDI, MULUTNYA KOMAT-
KAMIT MENGGRUTU.
Citraan visual dalam data (344) sampai (353) di atas digunakan pengarang
untuk menggambarkan keadaan setting panggung sebagai latar tempat. Selain
menggambarkan setting tempat, visualisasi yang dihadirkan pengarang juga
memberikan informasi kepada pemain dan penonton tentang latar sosial yang
dipilih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pemanfaatan citra visual dalam menggambarkan objek yang bersifat abstrak
menjadi suatu produk yang nyata mampu digambarkan secara detail oleh
pengarang. Apabila naskah drama ini hanya dijadikan bahan bacaan tanpa
divisualisasikan di atas panggung, sepertinya pembaca sudah mampu
menerjemahkan latar tempat, sosial, maupun karakter tokoh yang dihadirkan
pengarang.
(354) KRESNA GAMBAR NJUPUK GULUNGAN DLUWANG ANA
SIMPENAN, BANJUR DIUDARI, DIBUKAK.
…………….
LAMAT-LAMAT KEPRUNGU SAMBATE DEN SETRA.
NGGERENG.
MBAH JAGA KAGET. NGGATEKE SEDHELA, RUMANGSANE
MUNG KRUNGON-KRUNGONEN. TERUS BALI NYAWANG
GAMBARE KRESNA. (Dom, 236)
KRESNA GAMBAR MENGAMBIL GULUNGAN KERTAS YANG
DISIMPAN DAN DI BUKA.
…………………………
SAYUP-SAYUP TERDENGAR KELUHAN DEN SETRA.
MENGERANG.
MBAH JAGA TERKEJUT. MEMPERHATIKAN SEBENTAR,
DIKIRANYA TIDAK BENERAN. KEMUDIAN KEMBALI
MELIHAT GAMBARNYA KRESNA.
(355) TANPA SUWARA KRESNA GAMBAR NJINGGLENG OLEHE
NYOREK CIPTA LAN RASANE KENTHEL MANTHENG NYAWIJI
NJERUM MBEBU MENYANG NJERO ALAM GAMBARE.
WEWAYANGANE KRESNA SING LAGI TIWIKRAMA KATON SAYA
MURKA, SAYA MURKA, SAYA MURKA. KAGAWA SAKA MURKANE
SANALIKA PRABU KRESNA BISA KASAT MATA MALIH RUPA
DADI NYATA, AWUJUD RAKSESA BHARALA GEDHE, GERENG-
GERENG NGGEGIRISI GAWE GETER. (Dom, 256)
Tanpa suara Kresn Gambar serius ketika menggambar, cipta dan
rasanya menyatu masuk dalam alam gambarnya. Bayangan Kresna
yang tengah menjelma menjadi raksasa terlihat semakin marah,
semakin marah, semakin marah. Terbawa dari kemarahannya seketika
Prabu Kresna mampu terlihat menjadi nyata beruwujud raksasa besar,
mengerang-erang menakutkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(356) GERENG-GERENGE KRESNA SING LAGI TIWIKRAMA NYAWIJI
KARO NGGERENGE DEN SETRA SING LAGI NESU LAN SAMBAT
NGARUARA.
SAYA SERU SAYA SORA SAYA SERENG
KRONJONG BABI OBAH PATING GENTEYONG, GAWE GETER
KENA KARIBAWANE DEN SETRA LAN KRESNA GAMBAR SING
SAMSAYA MANJING MANJILMA DADI PRABU KRESNA SING LAGI
TIWIKRAMA DIDHEREKAKE MAHA PATIH SETYAKI KANG NITIH
NGUSIRI MAWA KERETA.
NESU, NASAK, NANTANG SAPA SING WANI NGADHANG
(JANTURAN WAYANG PURWA: KERSNA DADI DHUTA
PANDHAWA MENYANG NGASTINA. NITIH KRETA KENCANA SING
DIKUSIRI PATIH STYAKI)
………………………….
KRESNA GAMBAR LAN DEN SETRA KAYA SETYAKI KARO PRABU
KRESNA ANENG NDHUWUR KRETA (Dom, 256-257)
Erangan kresna yang tengah menjelma menjadi raksasa menyatu
dengan erangan den setra yang tengah marah dan mengeluh tak karuan.
Semakin keras
Kranjang babi bergerak , membuat rasa ikut bergetar karena
kewibawaannya den setra dan kresa gambar yang semakin menyatu
menjadi prabu kresna yang tengah menjelma menjadi raksasa
didampingi maha patih setyaki yang mengendarai kereta.
Marah, menerjang menantang siapa saja yang berani menghadang.
(adegan wayang kulit: kresna menjadi utusan pandhawa ke ngastina
mengendarai kereta kencana yang dikusiri patih setyaki)
…………………………
Kresna gambar dan den setra seperti setyaki dan prabu kresna di atas
kereta.
(357) BONGKREK
(MUNTAB) Tobat tenan thik, swara siji kae kok mesthi ngrusuhi.
Diancuk…! Babarblas ora duwe tepaslira. Angger-angger mesthi ngaco!
Pendak byar gembrenggeng terus. Edaaaaaan, edan! (Leng, 67)
(MARAH) Benar-benar tobat, suara satu itu mesti menggangu.
Diancuk…! Sama sekali tidak punya sopan satun. Selalu saja mengaco!
Setiap kali bergemuruh terus. Gilaaaa, gila!
Citra visual juga digunakan pengarang untuk menggambarkan situasi atau
keadaan yang dihadirkan dalam naskah. Penggambaran ini dimaksudkan agar
pembaca atau penonton dapat ikut merasakan nuansa emotif yang terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penggambaran akan hal tersebut dihadirkan pengarang seperti data (354) sampai
(357) di atas.
(358) JURAGAN
Lho….? Kok aku eneng kene. Gendheng ki. Dor, jane iki mau ana apa?
(AGE-AGE MUDHUN SAKA MEJA, NING LAGI SIKILE
NGGANDHUL SAKSISIH, TERUS KAGET, NYAWANG MENGISOR
WEDI, NGUCEK MATNE KAYA WERUH SAMUBARANG, NANGING
ORA PERCAYA KARO PANDELENGE SIKILE DIANGKAT MANEH).
Dor, Bedor…lha kae Dor. Kae sapa Dor? Sing neng ngisor kae?
Rubung-rubung ana ngarep regol. Akeh banget. (MILANG-MILING).
Ya, ampun…gedhong iki wis dikupeng. Wis dikepung dor. Wong-wong
padha gembrudug mara mrene. Kae sapa Dor…Bedor!! (Leng, 89)
Lho…? Kok aku ada di sini. Gila ini. Dor, sebenarnya ini tadi ada apa?
(BURU-BURU TURU DARI MEJA, TAPI KETIKA KAKINYA
MASIH MENGGANTUNG SEBELAH, TERUS KAGET, MELIHAT
KE BAWAH, TAKUT, MENGUCEK MATANYA SEPERTI
MELIHAT MACAM-MACAM, NAMUN TIDAK PERCAYA
DENGAN PENGLIHATANNYA KAKINYA DIANGKAT
KEMBALI). Dor, Bedor…lha itu Dor. Itu siapa Dor? Yang ada di
bawah itu? Berkerumun di depan gerbang. Banyak sekali. (TENGAK-
TENGOK). Ya, ampun….gedung ini sudah dikepung. Sudah dikepung
Dor. Orang-orang semua menuju ke sini. Itu siapa Dor…Bedor!!
(359) JANAKA
Lha kersane pripun?
PAK REBO MENENG WAE ORA WANGSULAN
MBOK SENIK KARO KECIK UGA MELU MENENG. KABEH
PANYAWANGE MENYANG PABRIK (Dom, 122)
Lha maunya gimana?
PAK REBO DIAM TIDAK MEJAWAB
MBOK SENIK DAN KECIK JUGA IKUT DIAM. SEMUA
MEMANDANG KE ARAH PABRIK
(360) DUMADAKAN KECIK LAN MBOK SENIK SING ISIH NYAWANG
PABRIK KAGET . NJERIT BARENG. SAKA SAREYAN KETOK
KLELAP PADHANG ABANG MBRANANG DIBARENGI SWARA
JUMLEGUR, ANA SWARA SIRINE, SEMPRITAN, KENTHONGAN
KLAKSON LAN LIYA-LIYANE. (Leng, 124)
Tiba-tiba Kecik dan Mbok Senik yang masih melihat pabrik terkejut.
Berteriak bersama. Dari makam terlihat kilatan terang merah menyal
dibarengi suara berdentum, ada suara sirine, sempritan, kenethongan,
klakson mobil dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(361) JURAGAN
(NYAWANG TAMUNE KARO MESEM-SEMEM KEMENANGAN).
Kanca-kanca wartawan. Ayo pinarak! (Leng, 128)
…….
(MELIHAT TAMUNYA DENGAN SENYUM KEMENANGAN)
Teman-teman wartawan. Mari msauk!
(362) BIBIT
Iya…iya! (MENYANG SUMUR, NIMBA, EMBERE DIISI BANYU,
MBAH KAWIT NGULATKE, WERUH EMBER SING BUBAR
DITAMBAL ISIH KOTOS-KOTOS) (Dom, 145)
Iya..iya! (KE SUMUR, MENIMBA, MENUANG AIR KE EMBER,
MBAH KAWIT MEMANDANG, MELIHAT EMBER YANG BARU
SAJA DITAMBAL MASIH BOCOR)
(363) SOLEMAN MLEBU NGGAWA KISA, LAKUNE KESUSU, NJUJUG
KANDHANG PITIK. NILIKI KANDHANGE KAGET PITIKE WIS
ILANG.
SOLEMAN
Lho kok ora ana? Neng ngendi iki? Ndladhuk .. wadhuuh…(MUNTAB
KARO NGGOLEKI JAGO NENG SAKIWA TENGENE
KANDHANG) Sing mbukak kandhang pitik mau sapa…? Sapa Lik…?
Sapa…? (NYAWANG BIBIT). Bit, Bibit weruh jagoku, pitikku ilang!
(Tuk, 148)
SOLEMAN MASUK MEMBAWA KISA. JALANNYA TERBURU-
BURU, MENUJU KANDANG AYAM. MENENGOK
KANDANGNYA TERKEJUT AYAMNYA SUDAH HILANG.
SOLEMAN
Lho kok tidak ada? Di mana ini? Ndladhuk…wadhuuuh…(MARAH
SAMBIL MENCARI JAGO DISEKITAR KANDANG)
Yang membuka kandang ayam tadi siapa…? Siapa Lik? Siapa…?
(MELIHAT BIBIT). Bit, Bibit lihat jagoku, ayamku hilang.
(364) SOLEMAN Asu….!! Dha ngapa iki? (NYINGKIRAKE MARTO KRUSUK TERUS
MENTHELENGI SING PADHA NYAWANG) Heh, nonton apa?
Bubar! Bisa bubar ora? Ndhladhuk kabeh! Aku butuh leren, butuh
ngaso, malah dh ngajak rame! nJarag piye…? Bubar…bubar…!
(KABEH PADHA RAGU RAGU< ANA SING MLEBU OMAHE
DHEWE, WEDI)
SING ANA CEDHAK SUMUR ISIH RASANAN, UMYEG DHEWE
KONANGAN SOLEMAN DIPARANI DIGETAK DIKON BUBAR,
DIKON MULIH. NANGING ANA SING NDABLEG MUNG
PINDAH ENGGON, MBACUTAKE OLEHE RASANAN,
PRIHATIN, TAKON UTAWA MUNG PINGIN NGERTI
SOLEMAN LEMPIT SAYA NESU
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SING ENENG NGAREPE DIPARANI, DIOYAK-OYAK,
DIKEPLAK. DITENDHANG, DIPISUHI,DIIDONI.
SOLEMAN LEMPIT NESU BANGET. MATANE ABANG, RAINE
KEMRINGET. (Tuk, 175)
Anjing….!! Pada ngapain ini? (MENYINGKIRKAN MARTO
KRUSUK KEMUDIAN MELOTOT PADA SEMUA YANG
MELIHAT) Heh, lihat apa? Bubar! Bisa bubar tidak? Ndhladhuk
semua! Aku butuh istirahat, malah pada ngajak rame! Sengaja ya?
Bubar….bubar…! (SEMUA RAGU-RAGU, ADA YANG MASUK
RUMAHNYA SENDIRI, TAKUT)
YANG BERADA DI DEKAT SUMUR MASIH MEGGUNJING,
RAMAI SENDIRI.
KETAHUAN SOLEMAN DIHAMPIRI, DIBENTAK, DISURUH
BUBAR, DISURUH PULANG. NAMUN AD YANG BANDEL
HANYA PINDAH TEMPAT, MENERUSKAN MENGGUNJING,
PRIHATIN, BERTANYA ATAU HANYA INGIN TAHU.
SOLEMAN LEMPIT SEMAKIN MARAH
YANG ADA DI DEPANNYA DIHAMPIRI, DIKEJAR, DIPUKUL,
DITENDANG, DIUMPAT, DILUDAHI.
SOLEMAN LEMPIT MARAH SEKALI. MATANYA MERAH.
WAJAHNYA BERKERINGAT.
(365) MBAH JAGA
Wong Bajang ora butuh gambar kok mbok tawani? Genah pilih
nyawang prawan ayu kaya sing neng koran apa neng tanggalan ke.
Katimbang Yamadipatimu sing pating plethot. (Dom, 235)
Orang Bajang tidak butuh gambar kok ditawari? Jelas pilih melihat
gadis cantik sepereti di koran atau tanggalan itu. Dari pada
Yamadipatimu yang tidak jelas.
(366) MBAH JAGA
Prap, aku ki mau njinggleng nyawang kowe. Saiki thik tambah seger,
tambah ayu…(Dom, 247)
Prap, dari taku aku itu takjub melihatmu, segarang terlihat segar,
tambah cantik…
(367) MBAH JAGA
Tenan lho Prap, kowe tambah ayu. Lagi nyidham apa kowe? (Dom,
247)
Benar lho, Prap, kamu sekarang tabah cantik. Tengah nyidam kamu?
(368) DEN SETRA NYAWANG ADOH KAYA-KAYA WERUH WEWAYANGA
SING WIS KELAKON WEWAYANGANGE DHEWE LAN
WEWAYANGAN BRAYAT KIWA TENGENE DEN SETRA KATUT DEN
SETRA KANYUT. (Dom, 261)
Den Setra melihat dikejauhan seperti melihat bayangan yang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terjadi, bayangannya sendiri, bayangan orang-orang disekitarnya, den
setra terhanyut.
(369) DEN SETRA
(SING MAUNE MIRIS SAYA GIRAP-GIRAP, WEDI, AMBEGANE
SESEG RUMANGSANE WERUH BOJONE DILARAK) Haa..? Aja,
ajaaa…bojoku, bojoku arep mbok gawa neng ngendi……, aja mbok
glandhang, dheweke ora melu-melu, aja mbok katut-katutne. … (Dom,
264)
(YANG TADINYA MIRIS SEMAKIN KETAKUTAN, NAPASNYA
SESAK PERASAANYA SEPERTI MELIHAT ISTRINYA) Haa..?
Jangan, jangaaan…istriku, istriku mau kau bawa ke mana… jangan kau
bawa, dia tidak ikut campur, jangan kau ikutkan…
(370) DEN SETRA KALAP GIRAP-GIRAP WERUH BOJONE DILARAK
DENING WONG-WONG TOPENGAN DIGERET DIPISAHAKE
NANGING ORA KUWAWA MENGGAK APA MENEH MBELNI
BOJONE.
DEN SETRA NAPASE DHUWUR NGANTI NDLEMING.
KRINGETE GEMBROBYOS. SAMBATE GERENG-GERENG.
………………………………….
MBAH JAGA SAYA BINGGUNG MERGA DURUNG ENTUK
CARA DURUNG BISA NGLEREMAKE NESUNE LANDA
BAJANG BISANE MUNG NGADHANG-ADHANGI NGALANG-
ALANGI KAREBEN ORA NGRANGKET, ORA MILARA PRAPTI
PAK LAKON MLENGGONG, WERUH SING PADHA RIBUT ANA
ING KANDHANGAN (Dom, 265)
Pencitraan visual yang diiringi pelukisan peristiwa yang menggambarkan
pengalaman penglihatan tokoh juga dihadirkan pengarang dalam data (358)
sampai dengan (370) di atas.
Seperti data (358) merupakan ungkapan dari sebuah pengalaman inderawi
penglihatan Juragan yang sebenarnya hanya semu. Dalam hal ini, Juragan
ketakutan karena ia seperti melihat banyak orang yang sedang mengepung
rumahnya. Data (359) merupakan pengalaman penglihatan yang dialami tokoh
Pak Rebo, Mbok Senik, dan Kecik yang secara bersamaan pandangan mereka
tertuju kea rah pabrik. Yang tak berapa lama mereka dikagetkan dengan kilatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cahaya dari arah pabrik yang disusul dengan suara ledakan, pabrik terbakar.
Pengalaman penglihatan tersebut ditemukan dalam data (361) di atas.
Citra visual yang dihasilkan dari pengalaman penglihatan juga nampak
dalam data selanjutnya yaitu data mulai (361) hingga data (370). Kesemua citra
visual tersebut berlatar belakang sebuah peristiwa. Penggunaan citraan yang
demikian dimaksudkan untuk merangsang imajinasi pembaca (pemain) dan
penonton dalam memahami alur yang disajikan.
b. Pencitraan audio (pendengaran)
Pencitraan audio atau pendengaran dalam naskah drama ini cukup intens
digunakan pengarang dalam merangsang imaji pembaca atau penonton melalui
pendengaran yang disajikan. Pemanfaatan critaa pendengaran dalam naskah
drama LTD ini dapat dilihat dalam data berikut.
(371) WANCI SURUP, KAYA ADAT SABEN
LAMAT-LAMAT SAKA PINGGIR DESA SWARA MESIN PABRIK
MBRENGENGENG.
ANA NJERO PENDHPA MAKAM KIAI BAKAL SISIH SEPI,
NANGING TETEP KRASA AJI
NEMPEL ANA ING LURUP KROBONGAN ANA RONCENAN
KEMBANG MLATHI SING WIS ALUM.
PENDHAPA SAREYAN GANDHANE WANGI-ARUM, WANGINE
WEWANGEN KEMBANG, MENYAN LAN UPA CINA. … (Leng,
65)
Saat senja, sepreti biasa.
Sayup-sayup dari pinggir desa terdengar suara mesin pabrik,
bergemuruh.
Di dalam pendapa makam Kiai Bakal masih sepi, tapi suasanya tetap
agung.
Menempel di kain penutup krobongan ada rangkaian kembang melati
yang sudah layu.
Pendapa makam aromanya wangi, wanginya dari bunga, menyan, dan
dupa cina. …
(372) LAMPU PENDHAPA MAKAM SAYA PADHANG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SAKA KADOHAN SWARA MESIN PBRIK SING MAUNE LIRIH
MBRENGENGENG, SAYA SUWE DADI KRASA SAYA BANTER,
DONGANE PAK REBO WIWIT KESESER, MESIN SAYE SERU,
NUTUPI SWARANE PAK REBO SING MELU SERU. MESINE
SAYA SESEG SWARANE PAK REBO NGANTI KLELEP. PAK
REBO SAYA NGOTOT NGANTI TENGGOROKANE SERAK-A
LOT. PUNGKASANE PAK REBO ORA KUWAT, TERUS
MENGGEH-MENGGEH, KRINGETE GEMBROBYOS. NYOPOT
KLAMBI, KARO ISIH MACA DONGANE SORA. (Leng, 66)
Lampu pendapa semakin terang
Dri kejauhan suara mesin pabrik yang tadinya lirih mendengung
semakin keras, doa pak rebo mulai terseok, mengalahkan suara pak rebo
yang ikut keras. Mesinnya semakin keras suara pak rebo tertilap. Pak
rebo semakin ngotot sampai ternggorokkannya serat. Akhirnya pak rebo
tidak kuat, terus terrengah-engah, keringatnya mengucur deras,
membuka baju, sambil melatunkan doa.
(373) LENG
…
BONGKREK WONG LANANG SETENGAH UMUR, MURING-
MURING ORA GENAH, RISI KRUNGU SWARA MESIN PABRIK
SING TERUS MBRENGENGENG. SIRAHE MUMET DITALENI
KACU.
……
SWARA MESIN ISIH MBRENGENGENG (Leng, 67)
Leng
…..
Bongkrek seorang lelaki setengah baya, marah-marah tidak karuan.
Tidak tahan mendengar suara mesin pabrik yang terus mendengung.
Kepalanya pusing diikat dengan sapu tangan.
…..
Suara meisn masih bergemuruh.
(374) BONGKREK
(MUNTAB) Tobat tenan thik, swara siji kae kok mesthi ngrusuhi.
Diancuk…! Babarblas ora duwe tepaslira. Angger-angger mesthi
ngaco! Pendak byar gembrenggeng terus. Edaaaaaan, edan! (Leng, 67)
(MARAH) Benar-benar tobat, suara satu itu mesti menggangu.
Diancuk…! Sama sekali tidak punya sopan satun. Selalu saja mengaco!
Setiap kali bergemuruh terus. Gilaaaa, gila!
(375) BONGKREK, PAK REBO KARO MBOK SENIK PADHA MENENG,
SWARA MESIN PABRIK ISIH MBRENGENGENG. (Leng, 70)
Bongkrek, Pak Rebo dan Mbok Senik semua terdiam, suara mesin
pabrik masih bergemuruh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(376) JANAKA
(KUPINGE NGGATEKAKE SWARA) Enten napa ta?
NDILALAH SWARA MESINE TAMBAH BANTER. (Leng, 70)
(KUPINGNYA MEMPERHATIKAN SUARA) Ada apa?
KEBETULAN SUARA MESINNYA BERTAMBAH KERAS
(377) MBOK SENIK
Ning gremenganmu ya aja banter-banter, suaramu kuwi iya mbrebegi
kuping. Tujune ora akeh tamune. Krek, kowe kuwi rak iya wis suwe ta
manggon ana kene? Lha kok lagi saiki rumangsa grebebegan. Lucu,
yen lagi sambat saiki. (Leng, 71)
Tapi kamu kalo menggerutu jangan keras-keras, suaramu itu juga
membikin bising. Untungnya tidak banyak tamu. Krek, kamu itu kan
sudah lama tinggal di sini? Lha kok baru sekarang merasa terganggu.
Lucu, jika baru mengeluh sekarang.
(378) BONGKREK
Timbang sakjege padha ora wani sambat. (MANDHEG) Ngesuk ki ya
ngesuk ning aja banget-banget. Mosok butuh turu bae kupinge ndadak
nganggo sumpelan bantal. Ndhisik niku swara bocah ngaji teng
langgar wetan mrika tasih saget tekan mriki, penak dirungoke. Sakniki
pundi? (Leng, 71)
Daripada selamanya tidak berani mengeluh. (BERHENTI) Mendesak
itu ya mendesak, tapi jangan keterlaluan. Masa butuh tidur saja
telinganya harus disumpal bantal. Dulu suara anak ngaji di langgar
timur itu masih bisa sampai sini, enak didengar. Sekarang Mana?
(379) BEDOR
Ngrusuhi pripun ta Den? Lha mbok disarehke dhisik. Wiwit wau genah
nggih mboten enten napa-napa. Niki wau kula rak turon teng lincak
mburi, saking mrika nggih saged mireng! Kula wiwit wau mboten
mireng swara napa-napa, mboten enten sing bengok-bengok.malah
Ndara dhewe sing bengak-bengok ora karuan. (Leng, 76)
Menggangu bagaimana sih, Den? Lha ditenangkan dulu. Dari tadi tidak
ada apa-apa. Tadi saya kan tiduran di balai belakang, dari sana bisa
mendengar! Saya dari tadi tidak mendengar suara apa-apa, tidak ada
siapa-siapa malah Ndara sendiri yang teriak-teriak tidak karuan.
(380) JANAKA
Nyamuke empun mboten ganggu, nanging gembrenggeng swara mesin
nika? (Leng, 79)
Nyamuknya sudah tidak mengganggu, namun suara gemuruh mesin itu?
(381) NJERO PABRIK, KAYA ANA ING ALAM IMPEN
SWARA RIBUT MESIN SING MBRENGENGENG, SWARANE WONG
AKEH BENGOK-BENGOK LAGI „UNJUK RASA‟ MENYANYI LAGU
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERJUANGAN, SWARA KENDHARAAN LAPIS BAJA, SWARANE
TENTARA BARIS PERANG, SWARA SEMPRITAN, SWARA SIRINE,
SWARA TEROMPET, SWARA PERINTAH NGANGGO SPEAKER LAN
MEGAPHON, KALA-KALA SWARA SWARA JUMLEDHORE BOM
ASAP, BEDHIL KARO PISTUL, SWARA TUT TELGRAM, SWARA
RADIO HT SWARA ABA-ABANE KOMANDAN LAN UGA SWARA
YEL-YEL GAGAH LAN SEMANGAT. KABEH WURSUH DADI SIJI.
(Leng, 85-86)
Di dalam pabrik, seperti ada di dunia impian.
Suara ribut mesin yang bergemuruh, suara banyak orang bertriak tengah
unjuk rasa, menyanyikan lagu perjuangan, suara kendaraan lapis baja,
suara tentara berbaris akan perang, suara sempritan, suara sirine,
megaphone, kadang kala suara-suara tembakan bom asap, pistol dan
senapan, suara tut telegram, suara radio HT, suara aba-aba dari
Komandan dan suara yel-yel yang gagah dan bersemangat. Semua
menyatu jadi satu.
(382) BONGKREK
Lagi krasa ta yen enten bedane. Ora keganggu swara disel. Pancene
sing kudu nyingkir ki pabrike. Ora malah awake dhewe. Durung karuan
sesasi pisan juragane gelem ngendheake mesin. Bakda barang nekad
mbrengengeng. Sepi nyenyet sing ngeten niki sing ngangenke. Neng ati
marakne wening, semeleh ora kemrungsung, penak dingo ngedhemke
pikir. Ndhisik dhek durung ana pabrik sareyan mriki rasane tentrem
ayem. Kepenak dingo sembahyang. (MENENG SEDHELA) Eh,
mumpung sepi…dak siap-siap dhisik….(NGULATKE JANAKA). Ajeng
sowan! Sapa reti etuk dhawuh. (Leng, 95)
Baru terasa ya kalau ada bedanya. Tidak terganggu suara disel.
Memang yang harus pergi itu pabriknya. Bukan malah kita. Belum pasti
satu bulan sekali Juragannya mau menghentikan mesin. Lebaran juga
nekat bergemuruh. Sepi yang seperti ini yang dirindukan. Terasa
nyaman di hati, tidak terburu-buru, enak digunakan mendinginkan
pikiran. Dulu sebelum ada pabrik, makam sini suasananya damai.
Nyaman untuk sembahyang. (DIAM SEBENTAR) Eh, mumpung
sepi…aku akan siap-siap dulu…. (MEMPERHATKAN JANAKA).
Mau ‗sowan‘! siapa tahu dapat perintah.
(383) LAMAT-LAMAT KEPRUNGU SWARANE PAK REBO, NDONGA
MANEH KAYA ADAT SABEN.
SWARA PABRIK WIS BALI MBRENGENGENG.
WANCI SURUP LAMU SAREYAN WIWIT MURUP, PADHANG
MBAKA SETHITIK.
…………………..
SKA MBURI TAMU MAU NYEDHAKI KECIK, BISIK-BISIK
TAKON SAJA WIGATI. (Leng, 126)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sayup-sayup terdengar suara Pak Rebo, melantunkan doa lagi seperti
biasanya.
Suara pabrik sudah mulai bergemuruh.
Saat senja lampu makam sudah mulai manyala, terang sedikit demi
sedikit.
……………………….
Dari belakang tamu yang tadi mendekat Kecik, membisikkan sesuatu
yang sepertinya penting.
Data (371) sampai (383) terdapat dalam naskah yang berjudul Leng. Naskah
ini menceritakan tentang kehidupan rakyat kecil disebuah desa yeng terdesak
gelombang modernisasi dan industry yang menjadi kepanjangan kuku pencakar
para penguasa dan pemilik modal besar. Tentang rusaknya lingkungan hidup,
tentang hukum yang menjadi barang mainan pihak yang kuat dalam masyarakat.
Berlatar belakang konflik tersebut maka, dalam maskah Leng ini pengarang
menggunakan citraan pendengaran berupa suara mesin pabrik yang bergemuruh
membuat bising lingkungan sebagai simbol modernisasi yang salah tempat.
(384) MBAH KAWIT SING LAGI NYAPU RESIK-RESIK ANA LATAR,
AGE-AGE METHUKAKE LIK BISMA. NAGGING WONG TUWA
LORO KANDHEG SEDHELA, CINGAK, KRUNGU ANA WONG
RAME PADU SAKA KAMAR MBURI, NJERO OMAHE ROMLI.
KROMPYANGAN SWARA BALAPECAH, SWARA BEKAKAS
DIBANTING DIKEPRUKI.
ROMLI KAGET. (Tuk, 135)
Mbah Kawit yang tengah menyapu membersihkan halaman, cepat-cepat
menjemput Lik Bisma. Namun kedua orang tua itu berhenti sebentar,
kaget, mendengar ada orang bertengkar dari kamar belakang, di dalam
rumah Romli.
Suara barang pecah belah pecah, suara barang-barang dibanting,
dipukul.
Romli kaget.
(385) SWARA KROMPYANGAN BALA PECAH DIBANTINGI SAYA
NDADI.
………………………
BOJONE ROMLI JERIT-JERIT KARO ISIH MBANTINGI
BEKAKAS. NESU BANGET. RAINE ABANG MANGAR-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MANGAR, TERUS METU SAKA KAMAR NGLABRAG SING
LANANG. (Tuk, 136)
Suara ramai barang pecah belah dibanting semakin menjadi.
……………………..
Istrinya Romli berteriak sambil membanting barang-barang. Sangat
marah. Mukanya merah padam, kemudian kaluar dari kamar melabrag
suaminya.
(386) MBAH KAWIT
Dhanyange…dhanyange..!
SOLEMAN KLEDHANG-KLEDHANG SAKA KADOHAN,
SWARANE GEMBRAMBYANG. (Tuk, 147)
Penunggunya..penunggunya..!
SOLEMAN TERLIHAT DARI KEJAUHAN, SUARANYA SAYUP-
SAYUP TERDENGAR.
(387) SOLEMAN
Gombal…gombal…mung rong ewu wae sing nunggu nganti seminggu.
KRUNGU SWARANE SOLEMAN, MBAK KAWIT AGE-AGE
MLEBU NGOMAH NJUPUK BENGGOL KEROKANE. (Tuk, 147)
Gombal…gombal..Cuma dua ribu saja yang menanti sampai dua
minggu.
MENDENGAR SUARA SOLEMAN, MBAH KAWIT BURU-BURU
MASUK RUMAH DAN MENGAMBIL UANG RECEH
KEROAKANNYA
(388) LORO
LIYA DINA ING MAGERSAREN
SUWARA MESIN JAHITE KEMROTOK. ROMLI LAGI NAMBALI
KATHOK. MBOKDHE JEMPRIT LAGI NATA BEKAKAS OMAH.
BIBIT NENG SUMUR AREP ADUS
LAMAT-LAMAT KRUNGU SWARANE WARGA SING PADHA
MANGGON NENG MBURI SUMUR. (Tuk, 176)
DUA
BERGANTI HARI DI MAGERSAREN
SUARA MESIN JAAHITNYA BRISIK. ROMLI SEDANG
MENAMBAL CELANA. MBOKDHE JEMPRIT TENGAH MENATA
PERABOT RUMAH. BIBIT DI SUMUR AKAN MANDI
SAYUP-SAYUP TERDENGAR SUARA WARGA YANG TINGGAL
DI BELAKANG SUMUR.
(389) SWARA WADON
Jlegar-jlegur, swara timbane sing ora nguwati, pendhak subuh
nggugahi wong turu….(Tuk, 176)
Jlegar-jlegur, suara timbanya yang tidak nyaman, tiap subuh
membangunkan orang tidur…
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(390) GANTI SWARANE MENIK SAKA NDHUWUR LOTENG SING LAGI
NYENENI MBOK JIAH
…………
NENG CEDAK SUMUR MBOKDHE JEMPRIT, BIBIT KARO
ROMLI NGGATEKAKE SWARANE MENIK. (Tuk, 177).
BERGANTI SUARANYA MENIK DARI ATAS LOTENG YANG
TENGAH MEMARAHI MBOK JIAH.
……………..
DI DEKAT SUMUR, MBOKDHE JEMPRIT, BIBIT DAN ROMLI
MENDENGARKAN SUARANYA MENIK.
Data (384) hingga (390) terdapat dalam naskah drama berjudul Tuk. Judul
ini berarti ‗sumber air‘, sejalan dengan judul lakon, cerita yang dihadirkan
berpusat dari sumur yang ada di tengah Magersaren yang menjadi pusat kegiatan
warga Magersaren tersebut. Citraan pendengaran yang dihadirkan pengarang
lewat judul ini dtang dari pola perilaku warganya yang datang dari kalangan
bawah. Pada awal cerita pengarang menghadirkan citraan pendengaran melalui
suara petengkaran antara Romli dan istrinya yang diperkuat dengan bunyi barang-
barang dibanting dan pecah. Penggambaran melalui citraan pendengaran dan
peristiwa tersebut dimaksudkan untuk merangsang imaji penonton untuk larut
dalam situasi yang diharapkan pengarang. Hal tersebut dapat dilihat dalam data
(384) dan (385) di atas. Untuk data (386) pengarang menghadirkan citraan audio
melalui suara tokoh Soleman yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Hal ini
selain untuk memberikan rangsangan atas citraan pendengaran kepada penonton
juga dimaksudkan untuk memberi variasi dalam hal teknik muncul tokoh di atas
panggung. Teknik yang demikian dimaksudkan untuk menghindari kemonotonan
dalam teknik muncul. Data (387) merupkan reaksi tokoh lain ketika mendengar
suara Soleman dari luar panggung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Data (388) masih menceritakan warga Magersaren, kali ini pengarang
menghadirkan citraan pendengaran melalui suara mesin jahit salah satu tokohnya
yaitu Romli yang sudah tua dan suaranya berisik. Penggambaran melalui citraan
audio yang seperti ini sekaligus memberikan informasi tentang latar belakang
sosial Romli yang seorang tukang jahit kelas rendah.
(391) KRESNA GAMBAR NJUPUK GULUNGAN DLUWANG ANA
SIMPENAN, BANJUR DIUDARI, DIBUKAK.
…………….
LAMAT-LAMAT KEPRUNGU SAMBATE DEN SETRA. NGGERENG.
MBAH JAGA KAGET. NGGATEKE SEDHELA, RUMANGSANE
MUNG KRUNGON-KRUNGONEN. TERUS BALI NYAWANG
GAMBARE KRESNA. (Dom, 236)
Kresna Gambar mengambil gulungan kertas yang disimpan dan di buka.
…………………………
Sayup-sayup terdengar keluhan Den Setra. Mengerang.
Mbah Jaga terkejut. Memperhatikan sebentar, dikiranya tidak nyata.
Kemudian kembali melihat gambarnya Kresna.
(392) MBAH JAGA KRUNGU DEN SETRA SAMBAT AGE-AGE MARA
NYEDHAKI. (Dom,238)
MBAH JAGA MENDENGAR DEN SETRA MENGELUH CEPAT-
CEPAT MENDEKATI.
(393) SAKA KADOHAN SWARANE LANDA BAJANG SING LAGI NDELIK
MBENGOKI BOJONE. (Dom, 243)
DARI KEJAUHAN SUARANYA LANDA BAJANG YANG
BERSEMBUNYI MEMANGGIL ISTRINYA.
(394) LAMAT-LAMAT KEPRUNGU TEMBANG SESEKARAN
DEN SETRA KATUT DEN SETRA KANYUT KELI ANA ING
TEMBANG (Dom, 274)
SAYUP-SAYUP TERDENGAR NYANYIAN
DEN SETRA TEHANYUT DALAM NYANYIAN.
Penggambaran suasan melalui pencitraan audio juga ditemui dalam naskah
ini. Pada data (391) sampai (394) pengarang memanfaatkan citraan audio dalam
menyampaikan suasana dialog. Penggambaran yang demikian dimaksudkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merangsang emosi pembaca atau penonton untuk ikut larut dalam suasana yang
dihadirkan. Data (391) pengarang ingin memberi informasi mengenai kondisi Den
Setra yang kurang baik dengan suara erangannya. Data (393) merupakan
kelanjutan dari peristiwa pada data (391) begitu apa yang didengarnya nyata,
Mbah Jaga buru-buru mendekat pada Den Setra untuk mengetahui kondisinya.
Peristiwa tersebut terjadi akibat adanya citraan audio yang didengar oleh Mbah
Jaga. Hal serupa juga ditampakkan pada data (393) yang menginformasikan
bahwa kondisi Landa Bajang sedang tidak baik. Untuk data (394) tembang yang
didengar Den Setra mampu membawa imajinya ke dalam ruh tembang tersebut.
Hal ini juga merupakan efek dari penggunaan citraan audio yang dipilih
pengarang dalam membawakan suasana dalam dialog dan lakuan tokohnya.
c. Pencitraan gerak
Objek penelitian ini adalah naskah lakon. Naksah lakon adalah sumber cerita
yang harus ditafsirkan oleh seluruh unsur teater sebelum dipentaskan. Adapun
fungsi naskah lakon adalah memberi inspirasi kepada para penafsirnya. Naskah
yang baik adalah naskah yang mampu menjadi sarana yang pertama dan utama
untuk terbukanya kemungkinan proses pementasan. Di sini peran naskah lakon
tidak sekedar sebagai sarana utama inspirasi bagi pelaku pementasan, namun
bagaimana naskah lakon tersebut dapat menyeret penonton untuk terlibat dalam
peristiwa-peristiwa dalam naskah. Perwujudannya secara visual dapat dinikmati
oleh penonton di atas panggung. Atau naskah yang baik adalah naskah yang
mempunyai tingkat kemungkinan yang tinggi untuk dapat berkomunikasi dengan
penontonnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Untuk dapat berkomunikasi dengan penonton, sebuah naskah lakon
dilengkapi dengan panduan-panduan berupa narasi yang berisi informasi tentang
nada, suasana, gerak, emosi, setting, dan sebagainya. Di dalam naskah lakon
pergerkan pemainnya sangat diperhatikan karena berkaitan dengan komposisi
panggung dan etika dalam berperan. Naskah drama yang ditulis oleh Bambang
Widoyo SP ini memberikan gambaran yang jelas mengenai pergerakan pemain.
Pergerakan pemain dalam naskah ini menunjukkan adanya suatu gesture yang
juga digunakan pengarang dalam menyampaikan pesan atau nuansa emotif yang
mampu ditangkap oleh indera penglihatan. Dikarenakan objek kajian penelitian
ini adalah naskah lakon, maka penggunaan pencitraan gerak banyak digunakan
pengarang. Hal ini dapat dilihat dalam data berikut.
(395) BEDOR
Nggih….(BEDOR ANGUK-ANGUK NYANG LAWANG, BINGUNG)
(Leng, 74)
Iya….(BEDOR MELONGOK KE PINTU, BINGUNG)
(396) JURAGAN
Apa iya?! (ORA PERCAYA, NILIKI DHEWE. CLINGUKAN ANA
NJABAN LAWANG, MILANG-MILING ORA WERUH WONG, TERUS
WEDI) (Leng, 75)
Apa iya?! (TIDAK PERCAYA, MENENGOK SENDIRI, MENOLEH
DI LUAR PINTU, MENEGOK TIDAK MELIHAT ORANG,
KEMUDIAN TAKUT)
(397) BEDOR ORA DIREWES, JURAGAN GUGUP, SAYA WEDI, BALI
LUNGGUH, NJUPUK GELAS, AREP NGOMBE. BALI DISELEHKE
MENEH (Leng, 75)
Bedor tidak digubris, juragan gugup, semakin takut, kembali duduk,
mengampil gelas, akan minum. Kembali diletakkan lagi.
(398) JURAGAN
Lho….? Kok aku eneng kene. Gendheng ki. Dor, jane iki mau ana apa?
(AGE-AGE MUDHUN SAKA MEJA, NING LAGI SIKILE
NGGANDHUL SAKSISIH, TERUS KAGET, NYAWANG MENGISOR
WEDI, NGUCEK MATNE KAYA WERUH SAMUBARANG, NANGING
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ORA PERCAYA KARO PANDELENGE SIKILE DIANGKAT MANEH).
Dor, Bedor…lha kae Dor. Kae sapa Dor? Sing neng ngisor kae?
Rubung-rubung ana ngarep regol. Akeh banget. (MILANG-MILING).
Ya, ampun…gedhong iki wis dikupeng. Wis dikepung dor. Wong-wong
padha gembrudug mara mrene. Kae sapa Dor…Bedor!! (Leng, 89)
Lho…? Kok aku ada di sini. Gila ini. Dor, sebenarnya ini tadi ada apa?
(BURU-BURU TURUN DARI MEJA, TAPI KETIKA KAKINYA
MASIH MENGGANTUNG SEBELAH, TERUS KAGET, MELIHAT
KE BAWAH, TAKUT, MENGUCEK MATANYA SEPERTI
MELIHAT MACAM-MACAM, NAMUN TIDAK PERCAYA
DENGAN PENGLIHATANNYA KAKINYA DIANGKAT
KEMBALI). Dor, Bedor…lha itu Dor. Itu siapa Dor? Yang ada di
bawah itu? Berkerumun di depan gerbang. Banyak sekali. (TENGAK-
TENGOK). Ya, ampun….gedung ini sudah dikepung. Sudah dikepung
Dor. Orang-orang semua menuju ke sini. Itu siapa Dor…Bedor!!
(399) BEDOR
Gampang! Beres (MLAYU MENYANG LAWANG TERUS
CENGKELAK BALI) Den. Sampeyan pun tau sedhekah dereng? Mang
klumpukne rontogan dhuwite receh sampeyan….(MBENGOKI,
NGADEG NENG CEDHAK LAWANG) Hoiii….kanca-kanca….!
Iki…nya! Iki rejekimu. Didum sing adil…pyuurr (NYEBAR DHUWIT)
Pyur…pyuur…(NGALIH ENGGON). Hei…hei, aja rayahan, ora jegal-
jegalan. Rebutan ya kena ning sing tertib…hei Kisut! Aja ndhobel akeh-
akeh! Eling kancane…pyuur…pyur…rampung. (SEBAGIAN
DIKANTHONGI DHEWE). Beres kabeh Den. Jane yen mboten nganti
kepepet, mboten nganti keplenet wong-wong wau mboten bakal thukul
siunge. (Leng, 92)
Gambang! Beres (BERLARI KE PINTU KEMUDIAN TIBA-TIBA
KEMBALI) Den. Anda sudah pernah sedekah belum? Anda kumpulkan
uang receh anda… (BERTERIAK, BERDIRI DI DEKAT PINTU).
Hoiii…kawan-kawan…! Ini….! Ini rejekimu. Dibagi yang adil…pyuur
(MENYEBAR UANG) Pyur…pyuur…(BERPINDAH TEMPAT).
Hei…hei…Kisut! Jangan ‗ndobel‘ banyak-banyak! Ingat
temannya…pyuur…pyur…selesai. (SEBAGIAN DIKANTONGI
SENDIRI). Beres semuanya Den. Sebenarnya jika tidak sampai
terdesak, tidak sampai tergencet, orang-orang itu tidak akan keluar
taringnya.
(400) BONGKREK NJEDHUL SAKA MBURI KROBONGAN, NYELUK
KECIK LIRIH. KECIK KRUNGU. NOLAH-NOLEH NGGOLEKI
SWARANE BONGKREK, BARENG KETEMU BANJUR ALON-ALON
NYEDHAKI BONGKREK. PAK REBO, MBOK SENIK LAN JANAKA
ISIH NDONGA. BONGKREK MBISIKI KECIK SAJAK PENTING
BANGET. BANJUR DHEDHEMITAN ORA NYUWARA, KARO RADA
KESUSU NGLUMPUKE BARANG-BARANGE. (Leng, 107)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bongkrek keluar dari belakang krobongan, memanggil Kecik pelan.
Kecik mendengar. Menoleh mencari arah suara Bongkrek, setelah
ketemu lalu pelan-pelan mendekati Bongkrek, Pak Rebo, Mbok Senik
dan Janaka masih berdoa. Bongkrek membisikkan sesuatu ke Kecik
sepertinya penting sekali. kemudian pelan-pelan tanpa suara, agak
terburu-buru mengumpulkan barang-barangnya.
(401) SING ANA SAREYAN KABEH MLAYU NYEDHAK, NYAWANG
PABRIK SING KOBONG, GENINE MBULAT-MBULAT. KABEH
PADHA NDOMBLONG.
LAMPUNE SAREYANG MBLERET.
NJERO KROBONGAN ANA CAHYA ABANG MBRANANG, ABANGE
GENI MBULAT-MBULAT.
JURAGANE KARO BEDOR EYEL-EYELAN, SWARANE WURSUH
DADI SIJI KARO GEGERE PABRIK SING LAGI RAME MTENI GENI.
(Leng, 124)
Yang di makam semua berlari mendekat, melihat pabrik yang terbakar.
Apinya besar. Semua terpana.
Lampu makam meredup.
Di dalam krobongan ada cahaya merah menyala, merahnya api yang
berkobar.
Juragan dan Bedor bertengkar, suaranya berisik jadi satu dengan
kisruhnya pabrik yang tengah rame mematikan api.
(402) KECIK
Sinten?...Bongkrek?...
KECIK GEDHEG, ORA MANGSULI, BINGUNG LAN WEDI,
DITETER TERUS DITAKONI TERUS MEKSA ORA MANGSULI.
BARENG DIPARANI KECIK MLAYU ETU ORA WANI NANGGAPI.
TAMU GANTI NYEDAKI MBOK SENIK, DIBISIKI.
Siapa?...Bongkrek?..
KECIK MENGGELENG, TIDAK MEJAWAB, BINGUNG DAN
TAKUT DICECAR PERTANYAAN, TETAP TIDAK MENJAWAB.
LALU DIDEKATI, KECIK BERLARI KELUAR TIDAK
MENANGGAPI
TAMU BERGANTI MENDEKAT MBOK SENIK, MEMBISIKAN
SESUATU.
(403) MBAH KAWIT SING LAGI NYAPU RESIK-RESIK ANA LATAR,
AGE-AGE METHUKAKE LIK BISMA. NAGGING WONG TUWA
LORO KANDHEG SEDHELA, CINGAK, KRUNGU ANA WONG
RAME PADU SAKA KAMAR MBURI, NJERO OMAHE ROMLI.
KROMPYANGAN SWARA BALAPECAH, SWARA BEKAKAS
DIBANTING DIKEPRUKI.
ROMLI KAGET. (Tuk, 135)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mbah Kawit yang tengah menyapu membersihkan halaman, cepat-cepat
menjemput Lik Bisma. Namun kedua orang tua itu berhenti sebentar,
kaget, mendengar ada orang bertengkar dari kamar belakang, di dalam
rumah Romli.
Suara barang pecah belah pecah, suara barang-barang dibanting,
dipukul.
Romli kaget.
(404) ROMLI
(MLAYU METU SAKA OMAH) Sum. Cangkemmu isa meneng ora ta
Sum! (Tuk, 136)
(BERLARI KELUAR RUMAH) Sum. Mulutmu bisa diam tidak, Sum!
(405) BOJONE ROMLI
(MALANG KERIK MENTHENTHENG ANA TENGAH LAWANG) Sing
miwiti gawe rame dhisik sapa? Yen wedokanmu ora nganti meteng ya
ora bakal dadi rame! Ben, aku ora perduli, kabeh ben padha ngerti!
(NYANDHAK TABUH, NUTHUK KENTONGAN KARO MBENGOKI
TANGGANE) Mbah…Mbah Kawit, Romli ngetengi prawan. Lik, Lik
Jiah, Romli ngetengi bocah! (Tuk, 136)
(BEKACAK PINGGANG DITENGAH PINTU). Yang mulai membuat
rame siapa? Jika perempuanmu tidak sampai hamil ya tidak mungkin
jadi rame! Biar, aku tidak peduli, biar semua tahu! (MENGAMBIL
PEMUKUL LALU MEMUKUL KETONGAN SAMBIL BERTERIAK
KEPADA TETANGGANYA) Mbah…Mbah Kawit, Romli menghamili
prawan. Lik, Lik Jiah, Romli menghamili anak!
(406) MBOK JIAH
Man, Soleman! O, Edan, dijaluki tulung !Malah minggat! Kowe arep
menyang ngendi! (NGOYAK SOLEMAN)
SOLEMAN LEMPIT ORA NGAPE, AGE-AGE MLAYU METU SAKA
MAGERSAREN NOLEH SEDHELA MENYANG OMAHE ROMLI
SING ISIH RAME REGEJEGAN. (Tuk, 138-139)
Man, Soleman! O, gila, dimintai tolong malah pergi! Malah minggat!
Kamu mau kamana! (MENGEJAR SOLEMAN)
SOLEMAN LEMPIT TIDAK MENGGUBRIS, CEPAT-CEPAT
BERLARI KELUAR DARI MAGERSAREN MENEGOK
SEBENTAR KE RUMAH ROMLI YANG MASIH RAME
BERTENGKAR.
(407) BIBIT NOM-NOMAN WARGA MAGERSAREN METU SAKA
PANDHOKANE NJUJUG NENG LATAR SUMUR KARO
NYANGKING EMBER LAN PIRANTI LIYANE, TERUS LUNGGUH
ANA JIGAN SING WIS RESIK DISAPONI MBAK KAWIT, AREP
NAMBAL EMBER SING BOROT. MBAH KAWIT NYEDHAKI LIK
BISMA SING WIS RAMPUNG OLEHE NEMBANG (Tuk, 141)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Bibit pemuda warga Magersaren keluar dari pondokannya, menuju
halaman sumur sambil membawa ember dan perkakas lainnya,
kemudian duduk di lantai yang sudah bersih setelah disapu Mbah
Kawit, mau menambal ember yang bocor. Mbah Kawit mendekati Lik
Bisma yang selesai menyanyi.
(408) MBAH KAWIT
Biyuuuh, ngerti apane? Upama Jupri ki dudu anake adhiku, aku
gemang diblanja. Isih pingin golek pangan dhewe. (BOLA-BALI
NGINGU MENYANG NDALAN ANA SING DIENTENI). Durung bali
apa ya? Iki wis tabuh pira ta? (Dom, 142)
Biyuuuh, ngerti apanya? Seumpama Jupri itu bukan anaknya adikku,
aku tidak mau digaji. Masih ingin mencari uang sendiri. (BERKALI-
KALI MELIHAT KE ARAH JALAN ADA YANG DITUNGGU).
Belum pulang ya? Ini sudah jam berapa sih?
(409) BIBIT
Iya…iya! (MENYANG SUMUR, NIMBA, EMBERE DIISI BANYU,
MBAH KAWIT NGULATKE, WERUH EMBER SING BUBAR
DITAMBAL ISIH KOTOS-KOTOS) (Dom, 145)
Iya..iya! (KE SUMUR, MENIMBA, MENUANG AIR KE EMBER,
MBAH KAWIT MEMANDANG, MELIHAT EMBER YANG BARU
SAJA DITAMBAL MASIH BOCOR)
(410) SOLEMAN MLEBU NGGAWA KISA, LAKUNE KESUSU, NJUJUG
KANDHANG PITIK. NILIKI KANDHANGE KAGET PITIKE WIS
ILANG.
SOLEMAN
Lho kok ora ana? Neng ngendi iki? Ndladhuk .. wadhuuh…(MUNTAB
KARO NGGOLEKI JAGO NENG SAKIWA TENGENE KANDHANG)
Sing mbukak kandhang pitik mau sapa…? Sapa Lik…? Sapa…?
(NYAWANG BIBIT). Bit, Bibit weruh jagoku, pitikku ilang! (Tuk, 148)
SOLEMAN MASUK MEMBAWA KISA. JALANNYA TERBURU-
BURU, MENUJU KANDANG AYAM. MENENGOK
KANDANGNYA TERKEJUT AYAMNYA SUDAH HILANG.
SOLEMAN
Lho kok tidak ada? Di mana ini? Ndladhuk…wadhuuuh…(MARAH
SAMBIL MENCARI JAGO DISEKITAR KANDANG)
Yang membuka kandang ayam tadi siapa…? Siapa Lik? Siapa…?
(MELIHAT BIBIT). Bit, Bibit lihat jagoku, ayamku hilang.
(411) SOLEMAN
Karepe diulur sedhela, golekake undhakan. Mau sida putus entuk
undhakan rong ewu nanging nunggu seminggu. Malah saiki pitikku sing
ilang. Sapa iki sing njupuk? Nganti konangan sapa sing nyolong dak
kaploki ndhase…(KARO MILANG-MILING NGGOLEKI PITIKE,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
NANGING MALAH KEDHADHUNG EMBER SING MAU
DICANTHELKE BIBIT) Adhuh…ember asu…! (EMBERE
DIBALANGKE BIBIT) Ember bobrok bae isih diopeni! Dicenthelake
ning kene barang ki ya ngapa….(GRENENGAN DHEWE) Pitikku kie
neng ngendi….? Ora ana…! Kuuuur, kur, kur, kuuur, cek, cek,
cek….kuuur!
SOLEMA NGGOLEKI PITIKE, MENCOLOT ANCIK-ANCIK SUMUR
KARO NYETHETI NGUNDANG PITIKE.
MUMPUNG KETEMU SOLEMAN MBAH KAWIT METU SAKA
OMAHE MARANI KARO WIS NGGAWA BENGGOL. (Tuk, 149)
Inginnya diulur sebentar, nyari harganya naik. Tadi sudah putus dapat
kenaikan dua ribu tapi nunggu seminggu. Malah sekarang ayamku yang
hilang. Siapa ini yang mengambil? Sampai ketahuan yang mencuri aku
hajar kepalanya…(DENGAN TENGAK-TENGOK MENCARI
AYAMNYA, NAMUN MALAH TERSANDUNG EMBER YANG
TADI DIGANTUNGKAN BIBIT) Aduh…ember anjing…!
(EMBERNYA DILEMPARKAN BIBIT) Ember rusak aja masih
dirawat! Digantung di sini itu biar apa….(MENGGERUTU SENDIRI)
Ayamku dimana…? Tidak ada…! Kuuuur, kur, kur, kuuur, cek, cek,
cek….kuuur!
SOLEMAN MENCARI AYAMNYA, MELOMPAT KE ATAS
SUMUR SAMBIL MEMANGGIL AYAMNYA.
MUMPUNG BERTEMU SOLEMAN MBAH KAWIT KELUAR
DARI RUMAHNYA MEMBAWA KOIN.
(412) MBAH KAWIT
(NGETUTAKE SOLEMAN NGANTI SING DITUTAKE RISI) Man,
Soleman, sida kerokan ora? Gilo wis dak gawakne benggol. (Tuk, 149)
(MENGUNTIT SOLEMAN SAMPAI YANG DIIKUTI RISIH) Man,
Soleman, jadi kerokan tidak? Ini sudah aku bawakan koin.
(413) SOLEMAN
(KEBACUT KALAP, NGREBUT DHUWIT BANJUR DIBUWANG.
AREP NEMPILING ORA TEKAN ATINE) O, ndladhuk! Njaluk dak
kapakne kowe to Mbah! Kok ora ndang modar ndhisik-ndhisik, gawe
gara-gara terus! Nika jago adon, dudu pitik kampung, yen didol regane
larang…wong tuwa ora teges! (Tuk, 151)
(TERLANJUR KALAP, MEREBUT UANG LALU DIBUANG, MAU
MENEMPELENG TIDAK SAMPAI HATI) O ndhladhuk! Minta
diapakan kamu Mbah! Kok tidak mati dari dulu, membuat masalah
terus! Itu jago petarung, bukan ayam kampung, jika dijual harganya
mahal….orang tua tidak becus!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(414) SOLEMAN
……………..
Sapa iki sing nggegem dhuwit! Seket pitu ewu kudune wis neng tangan
meksa isih mrucut! Sumur asu ki ya ndadak njaluk tumbal! Bajingan.
Sajene ora meneri apa piye? Njaluk meneh apa? Kurang apa piye? Iki
yen kurang, nyaa…!! (NGIDONI SUMUR) cuh…cuh…! Ora arep
melik, ora arep nyawuk, ora arep nyidhuk bayumu, adus gebyur neg
sumur liya ya bisa. Isih kurang piye…nya tambahi (TERUS
MUNGGAH NGADEG ANA LAMBE NGUYUHI SUMUR). Tmpanana
uyuhku… Nyoh..gaglagken kabeh uyuhku, nya…nya…nya…
LIK BISMA, BIBIT, MBAH KAWIT KAGET, NESU KARO BENGAK-
BENGOK, ORA KOBER MENGGAK. SOLEMAN KEBACUT
NGUYUHI SUMUR. SING AREP NYEDHAK NGELIKAKE
MALAH DICIPRATI UYUH, KABEH PADHA GUPAK, TELES, UGA
ING LAMBE SUMUR. (Tuk, 155)
……….
Siapa yang menggenggam uang! Limapuluh tujuh ribu harusnya sudah
ditangan terpaksa masih terlepas! Sumur anjing kenapa harus minta
tumbal! Bajingan. Sesajinya tidak cocok atau gimana? Minta apa lagi?
Kurang apa lagi? Ini jika kurang, nih….!! (MELUDAHI SUMUR)
cuh…cuh…! Tidak akan kepingin, tidak akan mengambil air, mandi di
sumur lainnya masih bisa. Masih kurang ya…ini tambah lagi
(KEMUDIAN NAIK, BERDIRI DI BIBIR SUMUR, MENGENCINGI
SUMUR). Terimalah kencingku…nih...gaglagken semua kencingku,
nih…nih..nih.
LIK BISMA, BIBIT, MBAH KAWIT KAGET, MARAH SAMBIL
BERTERIAK-TERIAK, TODAK SEMPAT MENCEGAH.
SOLEMAN TERLANJUR MENGENCINGI SUMUR YANG AKAN
MENDEKAT MENGINGATKAN JUSTRU DIPERCIKI AIR
KENCING, SEMUA TERKENA, BASAH, JUGA SAMPAI DI BIBIR
SUMUR.
(415) MBOKDHE JEMPRIT TEKA SAKA PASAR, KARO GOPOH-GOPOH
KESUSU, BIBIT AGE-AGE METHUKAKE JEBUL MLAH NGALANG-
NGALANGI MBOKDHE JEMPRIT SING KABOTAN GAWAN.
GAWANE MBOKDHE JEMPRIT DITAMPANI BIBIT. (Tuk, 155)
Mbokdhe Jemprit datang dari pasar, dengan terburu-buru, Bibit cepat-
cepat menjemput ternyata malah menghalangi Mbokdhe Jemprit yang
keberatan membawa barang. Barangnya Mbokdhe Jemprit disambut
Bibit.
………………………
(416) SOLEMAN
Asu….!! Dha ngapa iki? (NYINGKIRAKE MARTO KRUSUK
TERUS MENTHELENGI SING PADHA NYAWANG) Heh, nonton
apa? Bubar! Bisa bubar ora? Ndhladhuk kabeh! Aku butuh leren, butuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ngaso, malah dh ngajak rame! nJarag piye…? Bubar…bubar…!
(KABEH PADHA RAGU RAGU< ANA SING MLEBU OMAHE
DHEWE, WEDI)
SING ANA CEDHAK SUMUR ISIH RASANAN, UMYEG DHEWE
KONANGAN SOLEMAN DIPARANI DIGETAK DIKON BUBAR,
DIKON MULIH. NANGING ANA SING NDABLEG MUNG PINDAH
ENGGON, MBACUTAKE OLEHE RASANAN, PRIHATIN, TAKON
UTAWA MUNG PINGIN NGERTI
SOLEMAN LEMPIT SAYA NESU
SING ENENG NGAREPE DIPARANI, DIOYAK-OYAK,
DIKEPLAK. DITENDHANG, DIPISUHI,DIIDONI.
SOLEMAN LEMPIT NESU BANGET. MATANE ABANG, RAINE
KEMRINGET. (Tuk, 175)
Anjing….!! Pada ngapain ini? (MENYINGKIRKAN MARTO
KRUSUK KEMUDIAN MELOTOT PADA SEMUA YANG
MELIHAT) Heh, lihat apa? Bubar! Bisa bubar tidak? Ndhladhuk
semua! Aku butuh istirahat, malah pada ngajak rame! Sengaja ya?
Bubar….bubar…! (SEMUA RAGU-RAGU, ADA YANG MASUK
RUMAHNYA SENDIRI, TAKUT)
YANG BERADA DI DEKAT SUMUR MASIH MEGGUNJING,
RAMAI SENDIRI.
KETAHUAN SOLEMAN DIHAMPIRI, DIBENTAK, DISURUH
BUBAR, DISURUH PULANG. NAMUN AD YANG BANDEL
HANYA PINDAH TEMPAT, MENERUSKAN MENGGUNJING,
PRIHATIN, BERTANYA ATAU HANYA INGIN TAHU.
SOLEMAN LEMPIT SEMAKIN MARAH
YANG ADA DI DEPANNYA DIHAMPIRI, DIKEJAR, DIPUKUL,
DITENDANG, DIUMPAT, DILUDAHI.
SOLEMAN LEMPIT MARAH SEKALI. MATANYA MERAH.
WAJAHNYA BERKERINGAT.
(417) BIBIT
Gedibal kuwi neng ngendi-ngendi mung gawe reged Mbokdhe, mula
diresiki, disingkirke, ditendhang ben ora nyepet-nyepeti mata,…ayo
ngalih…!! Ngalih…!! (NIROKAKE WONG LAGI NGGUSAH KEWAN)
Lho kok isih neng kono, kon ngalih kok mung mingset, njaluk digebug
(MARANI NYANDHAK SAPU MBOKDHE JEMPRIT, KAYA
PATRAPE PRIYAYI MAIN GOLF) Ngalih sing adoh kana!
Thung…(NGANGGO GAGANG SAPU NYELAH BAL MENEH) kana!
Thung…., Thung… Thung….(NGAMBALI MENEH NYABETAKE STIK
GOLF) Thung….modar! Jaban rangkah! (Tuk, 186-187).
Orang kecil itu dimana-mana hanya membuat kotor saja Mbokdhe,
makanya dibersihkan, disingkirkan, ditendang biar sedap dipandang,
ayo pergi…! Pergi…!! (MENIRUKAN ORANG YANG TENGAH
MENGHARDIK HEWAN). Lho kok masih di sana, suruh pergi kok
cum bergeser, minta dipukul (MENGAMBIL SAPU MBOKDHE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
JEMPRIT, SEPERTI ORANG KAYA BERMAIN GOLF) Pergi yang
jauh sana! Thung…(MEMAKAI GAGANG SAPU MEMUKUL BOLA
LAGI) sana! Thung…, Thung…Thung…(MENGULANG LAGI
MEMUKULKAN STIK GOLF) Thung…mampus! Jaban rangkah!
(418) TELU
NGANCIK WENGI ING MAGERSAREN
MBAH KAWIT LINGGIH NDHEPIPIL, NYAWANG SUMUR, KARO
NDREMIMIL NGUCAP DONGA APALANE.
MARTO KRUSUK MENTAS SAKA KAKUS, WERUH MBAH
KAWIT, BANJUR MLAKU NYEDHAK NENG SUMUR WISUH
KARO NGGRUNDELAN RISI KRUNGU DONGANE MBAH
KAWIT.
LIK BISMA NGISIS KARO NGELUS-ELUS PUSAKANE SING
ISIH DIBUNTEL MORI PUTIH. ISINE WAYANG, SEMR KARO
TOGOG. (Tuk, 189)
TIGA
MENAPAK MALAM DI MAGERSAREN
MBAH KAWIT DUDUK MEMOJOK MELIHAT SUMUR SAMBIL
NDREMIMIL MENGUCAPKAN HAFALAN DOANYA.
MARTO KRUSUK BARU SAJA DARI KAKUS, MELIHAT MBAH
KAWIT, MEGELUH MENDENGAR DOANYA MBAH KAWIT.
LIK BISMA MENCARI ANGIN SAMBIL MENGELUS-ELUS
SENJATANYA YANG MAISH DIBUNGKUS KAIN MORI PUTIH,
ISINYA WAYANG SEMAR DAN TOGOG.
………………
(419) MARTO KRUSUK
Dak luruge…! Dak luruge…titip anaku…endi sing nuku Magersaren…
endi sing nuku…endii…!! (NGERTI-NGERTI WIS NJUPUK
PENTHUNG DINGGO GAMAN BIBIT KARO SOLEMAN BINGUNG
NGALANG-NGALANGI, NGGANDHULI, NYIKEP, MITHING KARO
NGERIH-ERIH) (Tuk, 214)
Aku samperin…! Aku samperin…tititp anakku..mana yang membeli
Magersaren…mana yang beli…!! (TAHU-TAHU SUDAH
MENGAMBIL PEMUKUL DIGUNAKAN SENJATA, BIBIT DAN
SOLEMAN BINGUNG MENGAHDANG, MENCEGAH,
MEMELUK, MENGUNCI SAMBIL MENENANGKAN)
(420) MBAH JAGA
Hiya no….dhuwite bacut omah, kandahange neng kene…(NYESELAKE
DHUWIT ANA KOTANG) (Dom, 224)
Hiya dong…uangnya teranjur ke rumah, kandangnya di
sini…(MEMASUKKAN UANG KE DALAMAN)
(421) LANDA BAJANG
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gathel….(NGLUNGANI)
DURUNG LEGA OLEHE NYUWEKI KERETU, ISIH DIREMES-
REMES BANJUR DIBANTING.
MBAH JAGA NGETUNG DHUWIT NANG-NANGANE.
MAS MANTRI NGLUYUR METU
PAK LAKON NGUKUTI MEJA THOTHIT. (Dom, 227)
Gathel….(PERGI)
BELUM PUAS YANG MENYOBEK-NYOBEK KARTU, MASIH
DIREMAS-REMAS LALU DIBANTING.
MBAH JAGA MENGHITUNG UANG KEMENANGANNYA
MAS MANTRI KELUAR
PAK LAKON MEMBERESKAN MEJA THOTHIT.
(422) MBAH JAGA
Aja nyetani kowe! Rembugmu bisa nglincipi carang. Krungu Bajang
dadi rame. Wis kana, gaweyanmu gek ndang rampungna…
BAJANG NJEDUL SAKA DHELIKANE, KATON REGED,
GRENENGAN SAMBAT SESEG, GATEL. DIARUH-ARUHI MBAH
JAGA, ORA DIGLAPE. BANJUR KLEPAT LUNGA METU. (Dom,
236)
Jangan jadi setan kamu! Omongamu bisa membuat masalah. Di dengar
Bajang jadi rame. Sudah sana pekerjaanmu selesaikan…
BAJANG MUNCUL DARI TEMPAT PERSEMBUNYIANNYA,
TERLIHAT KOTOR, MENGGERUTU, MENGELUH SESAK
NAPAS, GATAL, DISAPA MBAH JAGA TIDAK MENGGUBRIS.
KEMUDIAN PERGI KELUAR.
(423) LANDA BAJANG MLEBU KARO NGGERET BOJONE. KESUSU,
AMBEGANE MENGGEH-MENGGEH, WUNGKUSAN SING DIGAWA
PRAPTI SING ISINE KATHOK KLAMBI KARO RANTANGAN
NGANTI AREP MAWUT. (Dom, 244)
LANDA BAJANG MASUK SAMBIL MENYERET ISTRINYA,
TERBURU-BURU, NAFASNYA TERENGAH-ENGAH,
BUNGKUSA YANG DIBAWA PRAPTI YANG ISINYA CELANA,
BAJU DAN RANTANGAN HAMPIR BERSERAKAN.
(424) LANDA BAJANG
Asuu….! (AGE-AGE DIBUWANG, GETHEM-GETHEM)
PRAPTI MLENGOS RUMANGSA KETRUCUT.
MBAH JAGA SING NGGATEKNE KAWIT MAU BARENG
WERUH ANA SANDHANGN SING DIBUWANG AGE-AGE
ALOK. (Dom, 246-247
Anjing….!(BURU-BURU DIBUANG, GEREGETAN)
PRAPTI MEMBUANG MUKA, MERASA KECEPLOSAN
MBAH JAGA YANG MELIHAT DARI TADI BEGITU MELIHAT
DA PAKAIAN DIBUANG CEPAT-CEPAT MENINGATKAN.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(425) KRESNA GAMBAR MENGGEH-MENGGEH
DEN SETRA MENGGEH-MENGGEH
WONG LORO MANDHEG MENENG KESEL BANJUR PADHA
SAWANG-SAWANGAN, ISIH AKEH SING AREP
DIKADHAKAKE NANGING DURUNG BISA KEWETU MERGA
NAPASE MUNG KARI SAWULU.
DEN SETRA MEGAP-MEGAP LARANE KUMAT.(Dom, 258)
Kresna gambar terengah-engah. Den setra terengah-engah
Kedua orang ini berhenti, diam, capek kemudian saling pandang, masih
banyak yang ingin diuntarakan namun belum bisa keluar karena
napasnya tinggal sedikit. Den setra penyakitnya kambuh.
(426) KRESNA GAMBAR MULIH SAKA DODOLAN, NGGAWA BALI
ANGKROK-ANGKROKAN KARO WAYANG KERDHUS
DAGANGANE, KESEL PRAUPANE PETENG SAJAKE ORA
KEPAYON ORA LANGSUNG MLEBU OMAH NANGING
NGEMATAKE KAHANAN SING RADA BEDA KARO SABENDINANE.
INGAK-INGUK NGUNGAK NJABA. MBAH JAGA METHUKAKE.
(Dom, 275)
KRESNA GAMBAR PULANG DARI JUALAN, MEMBAWA
PULANG KANGROK-ANGKROKAN DAN WAYANG KARDUS
DAGANGNNYA, WAJAHNYA TERLIHAT CAPEK, WAJAHNYA
SURAM SEPERTINYA TIDAK ADA YANG LAKU TIDAK
LANGSUNG MASUK KE RUMAH NAMUN MEMPERHATIKAN
KEAADAAN YANG AGAK BERBEDA DENGAN BIASANYA.
MENOLEH KE LUAR. MBAH JAGA MENGHAMPIRINYA.
(427) MBAH JAGA KLUYUR-KLUYUR METU NGGOLEKI INGON-
INGONE
KRESNA GAMBAR NJEDUL SAKA OMAH, WIS NGANGGO SRUNG
KARO NGGAWA ANGKROK DAGANGANE NGEMATKE NYAWANG
ANGKROKE BANJUR NOLEH GENTI NYAWANG DEN SETRA
KAREPE AREP NGANCANI
DEN SETRA ISIH THELEG-THELEG NGALAMUN KELINGAN
BOJONE (Dom, 279)
MBAH JAGA KELUAR MENCRI PIARAANNYA
KRESNA GAMBAR MUNCUL DARI DALAM RUMAH
MENGENAKAN SARUNG DAN MEMBAWA AKGKROK
DAGANGANNYA MEMPERHATIKAN ANGKROKNYA
KEMUDIAN MENOLEH MEMANDANG DEN SETRA INGINNYA
MENEMANI
DEN SETRA MASIH TERHANYUT MELAMUN TERINGAT
ISTRINYA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(428) PAK LAKON LUNGGUH IJEN NGADHEP MEJA THOTHIT, KARO
NGILING LADHING SING ANA TANGANE PANYAWANGE SAJAK
EMAN LAN GEMATI
LANDA BAJANG LINGGIH ANA CEDHAKE ORA PATI
NGGAGAS KARO PAK LAKON.
……………………..
PAK LAKON NDREMIMIL NGANTI ORA WERUH YEN PRAPTI
WIS ANA SANDHINGE MUNG NGADEG KARO NYAWANG
BAJANG MANGU-MANGU ORA WANI NYEDHAK.
PRAPTI MINGSET BAJANG MUNG NGLIRIK. (Dom, 284)
PAK LAKON DUDUK SENDIRI DI DEPAN MEJA JUDI SAMBIL
MEMANDANG PISAU YANG ADA DI TANGANNYA,
PANDANGANNYA SEPERTI SAANGAT SAYANG
LANDA BAJANG DUDUK DEKAT DENGANNYA TIDAK
BEGITU MEMPERHATIKAN PAK LAKON.
……………………………
PAK LAKON MENGGERUTU SAMPAI TIDAK TAHU KALAO
PRAPTI SUDAH ADA DI SEBELAHNYA HANYA BERDIRI
SAMBIL MEMANDANG BAJANG TERMANGU TIDAK BERANI
MENDEKAT
PRAPTI BERGESER BAJANG HANYA MELIRIK
(429) LANDA BAJANG MUNTAB , NESU BANJUR NGAMUK MARANI
PAK LAKON NYAUT LADINGE PAK LAKON KLABAKAN
BINGGUNG OLEHE NGGONDHELI WONG LORO REBUTAN
PRAPTI NJERIT BAJANG SAYA KALAP LADINGE MEKSA DIREBUT
PAK LAKON NGANTI KEBANTING.
……………………………
BRABAT BAJANG MLAYU METU. PRAPTI MLAYU NUTUTI
NGOYAK BAJANG KARO BENGOK-BENGOK PAK LAKON
SING BUBAR KEBANTING ISIH KRENGKANGAN. (Dom, 287)
LANDA BAJANG MURKA, MARAH MENGAMUK MENDEKATI
PAK LAKON MENGAMBIL PISAUNYA PAK LAKON
KLABAKAN BINGGUNG UNTUK MEMPERTAHANKAN KEDUA
ORANG BEREBUT PISAU, PRAPTI MENJERIT BAJANG
SEMAKIN KALAP PISAUNYA DIAMBIL PAKSA PAK LAKON
TERBANTING.
……………………
BAJANG KELUAR DENGAN CEPAT PRAPTI BERLARU
MENGEJAR BAJANG SAMBIL BERTERIAK-TERIAK PAK
LAKON YANG HABIS TERBANTING BERUSAHA BANGUN.
(430) DEN SETRA KRONCALAN KELARAN KRONJONG BABI SING
GUMANTUNGANA NDHUWURE OBAH MBIYAT-MBIYUT BANJUR
ALON-ALON MLOROT MUDHUN NINDHIH, NGESUK, NDESEK
MLETHET DEN SETRA NGANTI ORA BISA OBAH DEN SETRA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SAYA KELARAN PAK LAKON MAS MANTRI LAN KRESNA GAMBAR
MUNG NYAWANG KAMITENGGENGEN GEREM GETEM-GETEM
ATINE GIRIS GEMETER MBAH JAGA WERUH DEN SETRA ORA
TEGA BANJR NANGIS. (Dom, 294)
DEN SETRA MENGGELIAT TIDAK KARUAN KESAKITAN,
KRANJANG BABI YANG TERGANTUNG DI ATASNYA
BERGERAK MELIUK-LIUK KEMUDIAN PELAN-PELAN TURUN
MENINDIH, MENGGESER MENDESAK, MENGGENCET DEN
SETRA SAMPAI TIDAK BISA BERGERAK DEN SETRA
SEMAKIN KESAKITAN, PAK LAKON MAS MANTRI DAN
KRESNA GAMBAR HANYA BISA MEMANDANG BINGUNG
HATINYA GEMETAR, MBAH JAGA YANG MELIHAT DEN
SETRA TIDAK TEGA KEMUDIAN MENAGIS.
(431) KAYA DIABANI, PAK LAKON, MAS MANTRI, KRESNA GAMBAR
UGA MBAH JAGA AGE-AGE MLAYU NYANDHAK MARANI AREP
NULUNGI DEN SETRA KARO MBENGOK NYANDHET MENGGAK
NGERIH-NGERIH LAN NGELINGAKE MALAH ANA SING MBISIKI.
KRONJONG BABI SAYA MUDHUN, SAYA MEPET SAYA MLENET,
SAYA MLETHET NINDHIHI DEN SETRA SING WIS TANPA DAYA.
(Dom, 295)
SEPERTI DIKOMANDO, PAK LAKON, MAS MANTRI, KRESNA
GAMBAR JUGA MBAH JAGA BURU-BURU BERLARI
MENGHAMPIRI AKAN MENOLONG DEN SETRA SAMBIL
BERTERIAK MENGHADANG, MENENANGKAN DAN
MENGINGATKAN BAHKAN ADA YANG MEMBISIKKAN
SESUATU NAMUN JUSTRU KRANJANG BABI SEMAKIN
TURUN, MENDESAK MENGGENCET, MENINDIH DEN SETRA
YANG SUDAH TAK BERDAYA.
Pencitraan gerak begitu banyak dan intens digunakan pengarang dalam
nasakah lakon yang dibuatnya. Hal ini terlihat dari banyaknya data yang dipilih
peneliti sebagai contoh citra gerak, yaitu sebanyak 36 data, mulai data (395)
sampai dengan (431). Citra gerak sangat penting disampaikan dalam sebuah
naskah lakon dengan tujuan untuk memberi inspirasi kepada pemain atas gesture
yang akan digunakannya. Selain itu citra gerak menggambarkan pola tinggah laku
daro tokoh yang dihadirkan. Secara keseluruhan citra gerak yang dihadirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam naskah ini adalah gerak badani atau gerak pada umumnya, bukan gerak
yang menggandung personifikasi.
Pencitraan gerak yang dihadirkan dalam naskah ini bertujuan untuk
melukiskan kondisi, peristiwa, tempat, waktu, bahkan karakter tokoh. Seperti
dalam data (400) pengarang secara jelas menggambarkan perpindahan Bongkrek
yang bergerak keluar dari balik krobongan yang kemudian memanggil dan
mendekati Pak Rebo. . Dari data tersebut diketahui bahawa pegarang memberikan
penggambaran yang jelas tentang gerak yag harus dijalani pemaian, gerak yang
dimaksud di sini adalah gerak pada umumnya yaitu perpindahan pemain dari satu
tepat ketempat yang lain. Hal serupa juga berlaku untuk data yang telah tersaji di
atas.
d. Pencitraan taktil (rabaan)
Apabila dibandingkan dengan pencitraan visual dan gerak, citraan taktil ini
tidak banyak digunakan pengarang dalam naskahnya. Namun demikian masih
dapat dijumpai pencitraan taktil yang seperti tersaji dalam data berikut ini.
(432) BEDOR
Ach….jugrug apane….Niki! (NGIDAK-IDAK JOBIN) Lho….bengkah
napane….(NGEMEK-NGEMEK DINDING) Sing niki, gilo, kabeh tasih
wutuh! Gilo, gilo, jobin, tembok sedaya tesih wutuh. Niku, niku lukisan
keramat sampeyan nggih tesih wutuh. Miring mawon mboten, napa elih
ilang. Meja sing mang enciki inggih tesih mbegegeg teng mriku…. .
Pundi, pundi enten lindu? Pundi? Mbelgedhes! Niku apus-apusan
mawon. (Leng, 88)
Ach…roboh apanya…ini! (MENGINJAK-INJAK LANTAI)
Lho…retak apanya…(MERABA-RABA DINDING) yang ini, ini,
semua masih utuh! Ni, ini lantai, dinding semua masih utuh. Itu, itu
lukisan keramat anda juga masih utuh. Miring saja tidak, apa lagi
hilang. Meja yang anda naiki juga masih berdiri tegak di situ…. Mana,
mana ada gempa? Mana? Mbelgedhes! Itu bohong-bohongan saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Citraan taktil dalam data (434) digunakan pengarang untuk menggambarkan
bagaimana Bedor menyakinkan kepada Juragan tentang peristiwa yang hanya ada
dalam imajinasi Juragan saja. Bedor meraba tembok/dinding untuk menyakinkan
bahwa semua dalam kondisi baik.
(433) ORA KRASA JURAGAN NGGRAYANGI AWAKE, PUPUNE LAN
BARANGE. KAGET. KABEH ISIH WUTUH. KATHOKE KLAMBINE,
KOMPLIT. BARENG NGGRAYANGI ROMPINE SING GEMEBYAR
JUMBUL, LAGI PERCAYA YEN ORA ANA APA-APA. WIWIT MESEM
SENENG. (Leng, 88)
Tidak terasa Juragan meraba badannya, pahanya, dan barangnya. Kaget.
Semu masih utuh. Celananya, bajunya, komplit. Setelah meraba
rompinya yang mewah, baru percaya jika tidak ada apa-apa. Mulai
tersenyum senang.
Dalam data (434) pengarang sepertinya ingin memberi penegasan kepada
penonton dan pelaku bahwa Juragan adalah seorang yang suka berhalusinasi
sampai-sampai tidak bisa membedakan kenyataan dan imajinasi. Ketika Juragan
meraba tubuhnya sendiri dan mendapati semua dalam kondisi baik ia baru percaya
bahwa semua penglihatannya adalah hasil halusinasinya saja.
e. Pencitraan penciuman
Sama seperti citra perabaan (taktil) citraan penciuman juga sangat minim
digunakan oleh pengarang dalam karyanya. Namun demikian pencitraan
penciuman ini masih dapat ditemukan dalam naskahnya. Pencitraan penciuman
merupakan penggambaran yang diperoleh melalui pengalaman inderawi
penciuman. Citraan ini dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca atau
penonton dalam memperoleh gambaran yang lebih utuh tasa pengalaman indera
yang lain. Berikut akan disajikan data yang memuat citra penciuman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(434) WANCI SURUP, KAYA ADAT SABEN
LAMAT-LAMAT SAKA PINGGIR DESA SWARA MESIN PABRIK
MBRENGENGENG.
ANA NJERO PENDHAPA MAKAM KIAI BAKAL SISIH SEPI,
NANGING TETEP KRASA AJI
NEMPEL ANA ING LURUP KROBONGAN ANA RONCENAN
KEMBANG MLATHI SING WIS ALUM.
PENDHAPA SAREYAN GANDHANE WANGI-ARUM, WANGINE
WEWANGEN KEMBANG, MENYAN LAN DUPA CINA. … (Leng, 65)
Saat senja, sepreti biasa.
Sayup-sayup dari pinggir desa terdengar suara mesin pabrik,
bergemuruh.
Di dalam pendapa makam Kiai Bakal masih sepi, tapi suasanya tetap
agung.
Menempel di kain penutup krobongan ada rangkaian kembang melati
yang sudah layu.
Pendapa makam aromanya wangi, wanginya dari bunga, menyan, dan
dupa cina. …
Kutipan dalam data (434) menunjukkan penggunaan citraan penciuman
secara intensif untuk memberikan citraan tempat terjadinya peristiwa dalam
adegan di atas. Bau wangi bunga, kemenyan dan dupa mencitrakan tampat yang
keramat dalam hal ini makan Kyai Bakal.
(435) BIBIT
(TANGANE DIAMBU) Wadhuh! Iki, uyuh gendruwo! (NGELAPI
TANGAN NGANGGO SAANANE, KELINGAN YEN BUTUH NGURAS
SUMUR, NYAWANG MBOKDHE JEMPRIT) Mbokdhe, mumpung mau
sedina kelarisan, mbokdhe kudu melu urun dingo nguras sumur.
(NYEDHAKI MBOKDHE JEMPRIT) (Dom, 163)
(TANGANNYA DICIUM) Wadhuh! Ini, kencing gendruwo!
(MENYEKA TANGAN DENGAN APA SAJA, INGAT JIKA BUTUH
MENGURAS SUMUR, MELIHAT MBOKDHE JEMPRIT) mbokdhe,
mumpung tadi seharian dagangannya laris, mbokdhe harus ikut
menyumbang buat menguras sumur. (MENDEKATI MBOKDHE
JEMPRIT).
Data (435) memberikan gambaran tempat kejadian masih di sekitra sumur
yang habis dikencingi oleh Soleman. Pencitraan yang disertai dengan pencitraan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
gerak tersebut memberi gambaran bagaimana bau yang ditimbulkan dari kencing
yang mengenai tangan Bibit.
Pemanfaatan pencitraan penciuman dalam dua data di atas sepertinya
mampu membawa pembaca atau penonton menciptakan imajinasi tentang
suasana, tempat kejadian dan melukiskan peristiwa yang melatari adegan tersebut.
5. Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa
Pembelajaran di sekolah mengacu pada Standar Isi 2011 yang dituangkan
dalam KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH Nomor 423.5/27/2011
Tahun 2011. Di dalamnya dipetakan kompetensi capaian dari tiap satuan kegiatan
pembelajaran dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar. Keduanya
menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Bahasa menjadi sarana dalam mengembangkan kualitas intelektual, sosial,
dan emosinal peserta didik. Tiap peserta didik diharapkan mampu mengenal
dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat melalui pembelajaran bahasa.
Pembelajaran Bahasa Jawa memiliki dua arahan utama, yaitu meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Jawa dengan baik
dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap
hasil karya kesastraan manusia Indonesia khususnya karya sastra Jawa. Capaian
dari pembelajaran Bahasa Jawa bukan hanya penguasaan pengetahuan dan
keterampilan berbahasa, melainkan juga menumbuhkan sikap positif terhadap
bahasa dan sastra Jawa yang mulai dilupakan oleh penuturnya sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sastra menjadi salah satu bahan ajar dalam pembelajaran bahasa di sekolah.
Salah satu capaian yang diharapkan dalam pembelajaran Bahasa Jawa, yaitu
mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan
minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan
dan hasil intelektual bangsa sendiri.
Salah satu karya sastra yang menjadi media dan bahan kajian dalam
pembelajaran (muatan lokal) bahasa Jawa di sekolah adalah drama. Pembelajaran
dengan drama sebagai bahan ajar, mencakup beberapa aspek keterampilan, seperti
mengidentifikasi unsur sastra dari cerita yang disampaikan secara
langsung/melalui rekaman (aspek mendengarkan), menganalisis unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang dibaca (aspek membaca), dan
memahami hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh cerita (aspek
membaca).
Naskah drama Leng, Tuk, dan Dom karya Bambang Widoyo SP yang
disatukan dalam buku Gapit ini dapat digunakan sebagi materi pembelajaran
Bahasa Jawa siswa kelas XII pada semester II. Hal ini sesuai dengan muatan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar seperti dalam tabel berikut.
Tabel 3
STANDAR ISI MATA PELAJARAN MUATAN LOKAL (BAHASA
JAWA) SMA/SMALB/SMK/MA
Kelas: XII (Duabelas), semester: 2 (dua)
No Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. MENDENGARKAN
Mampu mendengarkan dan
1.b Mendengarkan rekaman
drama/sandiwara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memahami wacana lisan
nonsastra maupun sastra dalam
berbagai ragam bahasa Jawa
2. BERBICARA
Mampu mengungkapkan pikiran,
pendapat, gagasan, dan perasaan
secara lisan sastra maupun
nonsastra dengan menggunakan
berbagai ragam unggah-ungguh
bahasa Jawa
2.b Mendiskusikan isi
drama/sandiwara
3. MEMBACA
Mampu membaca dan
memahami bacaan sastra
maupun nonsastra berhuruf latin
maupun Jawa dengan berbagai
keterampilan dan teknik
mambaca.
3.a Membaca naskah
drama/sandiwara sesuai
karakter tokoh.
Berdasarkan Standar Isi 2011, terdapat standar kompetensi dan kompetensi
dasar jenjang SMA yang menggunakan bahan ajar drama/sandiwara. Salah
satunya adalah di kelas XII semester 2. Kompetesi Dasar yang ada pada kelas XII
semester 2 tersebut, yaitu mendengarkan rekaman drama/sandiwara,
mendiskusikan isi drama/sandiwara, dan membaca naskah drama/sandiwara
sesuai karakter tokoh.
Sesuai pengamatan yang mengacu pada Kurikulum dan Standar Isi yang
berlaku maka, dapat dikatakan bahwa perencanaan yang telah dilakukan oleh
guru sudah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah pembelajaran, hal itu dapat dilihat
dari 4 hal, yaitu: (1) kurikulum, (2) silabus, (3) standar isi, (4) standar kompetisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lulusan (SKL) mata pelajaran bahasa Jawa. Lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Kurikulum
Konsep kurikulum yang terpenting mengacu pada tiga aspek yaitu,
kurikulum sebagai subtansi, kurikulum sebagai sistem, dan kurikulum
sebagai bidang studi. Aspek pertama mengacu pada pengertian bahawa
kurikulum merupakan suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid
di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu
kurikulum juga dapat merujuk pada suatu dokumen yang berisi rumusan
tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar jadwal, dan
evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen
tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun
kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat.
Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah,
suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum
mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me-
nyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem-
purnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya
suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana
memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu
tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami
bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum.
Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan
percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya
dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Dengan demikian kurikulum merupakan seperangkat program
pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencpai tujuan-
tujuan pendidikan. Kurikulum sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan mempunyai fungsi antara lain, bagi widyaiswara/instruktur
dalam melaksanakan proses pembelajaran, bagi kepala lemdikat dan
pengawas dalam melaksanakan supervise atau pengawasan, bagi
masyarakat dalam memberikan bantuan bagi terselenggarakannya proses
pendidikan, dan bagi peserta didik sebagai pedoman belajar. Berkaitan
dengan fungsi kurikulum tersebut, para ahli pendidikan selalu
mengadakan perombakan dalam menyempurnakan kurikulum agar
sesuai dengan kebutuhan pendidikan sekarang dan akan datang, maka
disusunlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
merupakan implementasi dari kurikulum berbasis kompetensi.
Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini dilaksanakan oleh
pemerintah pusat yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dunia
pendidikan dewasa ini dan masa datang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan memuat tentang Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) sebagai acuan guru
dalam mengembangkan silabus dan rencana pembelajaran untuk bekal
mengajar. Dari Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang termuat
dalam kurikulum, guru memilah masing-masing SK dan KD sesuai
dengan kebutuhan materi yang akan diajarkan yang dijabarkan dalam
silabus. Dalam silabus terdapat SK, KD, Indikator, Materi Pokok,
pengalaman belajar, alokasi waktu, jenis tagihan, karakter siswa yang
akan dibentuk, bentuk instrument penilaian, contoh instrument penilaian,
dan sumber/alat/bahan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa
Jawa yang berlaku sekarang sudah menggunakan Kurikulu Tingkat
Satuan Pendidikan yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Hal ini berarti KTSP telah disusun sesuai dengan
kebutuhan pendidikan yang berorientasi pada siswa dan pembentukan
karakter. Hal ini juga berarti bahwa pembelajaran Bahasa Jawa sudah
merelevankan silabus yang digunakan dengan kurikulum yang ada.
2. Silabus
Silabus merupakan rencana pembelajaran pada kelompok mata pelajaran
terntentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar. Sesuai
dengan konsep pendidikan sekarang yang berorientasi pada pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
karakter, maka pembuatan silabus juga disesuaikan dengan karakter
yang hendak dicapai melalui mata pelajaran yang diajarkan.
Pengembangan silabus dilakukan oleh kelompok guru mata pelajaran
sejenis pada satu sekolah atau beberapa sekolah pada kelompok
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Berdasarkan hasil pengamatan guru Bahasa Jawa telah menggunakan
silabus yang sudah dijabarkan oleh MGMP. Pengembangan silabus yang
dilakukan MGMP sudah mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan
silabus, diantaranya adalah relevan, yaitu cakupan, kedalaman, tingkat
kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus sesuai dengan
tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spiritual
peserta didik. Di samping itu pengembangan silabus dalam mata
pelajaran bahasa Jawa untuk kelas XII telah memuat empat aspek
ketermapilan yang harus dicapai oleh siswa yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis. Di dalam aspek keterampilan
mendengarkan kelas XII semester II, terdapat satu Standar Kompetensi
yaitu membaca yang di dalamnya terdapat dua Kompetensi Dasar salah
satu diantaranya adalah membaca naskah drama/sandiwara sesuai
karakter tokoh. Kompetensi Dasar ini sesuai apabila dalam
pembelajarannya mengunakan materi dari naskah drama berbahasa Jawa
dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP ini. Naskah drama ini, memuat
berbagai karakter tokoh yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi
siswa. Sebagai contoh dapat dilihat dalam penggalan dialog berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BONGKREK : “(MUNTAB) Tobat tenan thik, swara siji kae kok
mesthi ngrusuhi. Diancuk . . .!Babarlas ora duwe
tepaslira. Angger-angger mesthi ngaco! Pendhak
byar gembrengeng terus. Edaaaaan, edan!” (Leng:
67)
(MARAH) Benar-benar ampun, suara satu itu pasti
mengganggu. Diancuk . . .!Tidak punya sopan satun.
Selalu saja bikin kacau! Tiap hari bergemuruh terus.
Gilaaaaa, gila!
MBOK SENIK : ―Bongkrek! Kowe ki ngapa? Sing edan ki sapa? Kok
rame wae sing mbok nesoni ya sapa? (Leng: 68)
Bongkrek! Kamu itu kenapa? Yang gia itu siapa?
Kok rame terus, yang kamu marahi siapa?
BONGKREK : ―Ora duwe uteg…. Lha sampeyan keganggu napa
mboten? (Leng: 68)
Tidak punya otak. Lha kamu terganggu tidak?
MBOK SENIK : ―Sabarna dhisik atimu. Yen mung kok grenengi thok
ya ora ana gunane.” (Leng: 68)
Sabarkan dulu hatimu. Jika hanya menggerutu saja
ya tidak ada gunanya.
BONGKREK : ―Lha dilabarak pripun.” (Leng: 68)
Lha dilabrak saja gimana.
Pada penggalan dialog antara Bongrek dan Mbok Senik di atas, terlihat
dua karakter yang berbeda, Bongkrek yang pemarah dan tidak sabaran
berdialog dengan Mbok Senik yang lebih tenang dan sabar. Dengan
demikian siswa dituntut untuk mampu mengeksplorasi karakter tokoh
dengan cara membaca berulang-ulang naskah tersebut agar karakter yang
diharapkan dapat dicapai.
Berdasarkan pengamatan maka naskah drama berbahasa Jawa dalam
Gapit karya Bambang Widoyo SP ini relevan atau dapat dapat digunakan
sebagai salah satu materi ajar di sekolah. Kesesuaian ini didasarkan pada
Kompetensi Dasar 1.b Mendengarkan rekaman drama/sandiwara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Standar Isi
Di dalam standar isi meliputi komponen Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar. Dalam penelitian tentang stilistika ini dimasukkan
dalam kategori tiga aspek keterampilan, mendengarkan, berbicara dan
membaca. Untuk aspek mendengarkan peserta didik di arahkan mampu
mendengarkan dan memahami wacana lisan nonsastra maupun sastra
dalam berbagai ragam bahasa. Pada Standar Kompetensi tersebut dibagai
menjadi dua Kompetensi Dasar, yaitu:1) mendengarkan ceramah
langsung atau rekaman tentang budaya Jawa, 2) mendengarkan rekaman
drama/sandiwara. Dari dua Kompetensi Dasar tersebut maka drama yang
dijadikan objek penelitian ini terdapat dalam kompetensi dasar yang
nomor dua sebagai materi pembelajaran di kelas.
Pada aspek berbicara memuat Standar Kompetensi yang mengarahkan
peserta didik untuk mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan,
dan perasaan secara lisan sastra maupun nonsastra dengan menggunakan
berbagai ragam dan unggah-ungguh bahasa Jawa. Dalam Standar
Kompetensi ini dijabarkan menjadi dua Kompetensi Dasar yaitu: 1)
berbicara dalam forum sarasehan mengenai budaya Jawa dan 2)
mendiskusikan isi drama/sandiwara. Berdasarkan pengamatan naskah
drama dalam Gapit ini relevan digunakan sebagai materi pembelajaran
sesuai dengan Kompetensi Dasar yang kedua.
Melalui aspek membaca peserta didik diarahkan untuk mampu membaca
dan memahami bacaan sastra maupun nonsastra, berhuruf Latin maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Jawa dengan berbagai keterampilan dan teknik membaca. Standar
Kompetensi ini dibagi menjadi dua Kompetensi Dasar yaitu 1) membaca
naskah drama/sandiwara sesuai karakter tokoh dan 2) membaca indah
wacana panyandra. Dengan demikian, naskah drama Gapit dapat
digunakan sebagai materi pembelajaran untuk siswa kelas XII semester
II yang mengacu pada Kompetensi Dasar pertama.
Berdasarkan pengamatan sumber belajar dengan menggunkan naskah
drama berbahasa Jawa dalam Gapit ini relevan dengan Standar Isi yang
berlaku saat ini. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
peserta didik mendengarkan atau menyaksikan pemutaran CD
pementasan drama dari salah satu naskah dalam buku Gapit. Hal ini
dapat dikatakan relevan dengan Kompetensi Dasar 5.2 mendengarkan
rekaman drama/sandiwara pada aspek mendengarkan.
Kedua, peserta didik memaparkan hal-hal yang menarik dalam baik
dalam diri tokoh-tokoh dalam salah satu drama dalam buku Gapit yang
telah dilihat atau didengarnya. Peserta didik mendiskusikan nilai moral
yang terkandung dalam drama tersebut. Peserta didik dapat
mengungkapkan keteladanan sikap yang dimiliki oleh tokoh utama
dalam drama/sandiwara. Hal ini sesuai dengan Kompetensi Dasar 6.2
mendiskusikan isi drama/sandiwara.
Ketiga, mengidentifikasi tokoh-tokoh yang terdapat dalam naskah drama
dalam buku Gapit. Hal ini berarti peserta didik melakukan identifikasi
terhadap karakter masing-masing tokoh dalam naskah drama. Proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
identifikasi dilakukan dengan cara membaca naskah. Hal ini berarti
peserta didik harus dapat membaca dan memahami karakter tokoh
dalam naskah drama/sandiwara sesuai denga Kompetensi Dasar 7.1
membaca naskah drama/sandiwara sesuai karakter tokoh.
4. Standar Kompetensi Lulusan
Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) untuk satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan
kelulusan peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan tersebut meliputi
Standar Kompetensi Lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan
menengah, Standar Kompetensi Lulusan minimal kelompok mata
pelajaran, dan Standar Kompetensi Lulusan minimal mata pelajaran.
Menurut Peraturan Menteri Nasional Republik Indonesia nomor
423.5/5/2010, tanggal 27 Januari 2010, SKL dalam mata pelajaran
bahasa Jawa meliputi:
a. Mendengarkan
Memahami wacana lisan yang didengar baik wacana sastra maupun
nonsastra dalam berbagai ragam bahasa Jawa berupa percakapan,
pengumuman, berita, pidato, geguritan, macapat, dan cerita.
b. Berbicara
Mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara
lisan, sastra maupun nonsastra dengan menggunakan berbagai ragam
dan unggah-ungguh bahasa Jawa, berupa bercerita, berdialog, dan
berpidato.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Membaca
Menggunakan berbagai keterampilan dan teknik membaca untuk
memahami teks/wacana sastra maupun nonsastra dalam berbagai
ragam bahasa Jawa berupa percakapan, pengumuman, berita, pidato,
geguritan, macapat, cerita, dan huruf Jawa.
d. Menulis
Melakukan keterampilan menulis baik sastra maupun nonosastra
dalam berbagai ragam bahasa Jawa untuk mengungkapkan pikiran,
pendapat, gagasan, perasaan, dan informasi berupa percakapan,
pengumuman, berita, pidato, artikel, geguritan, macapat, cerita, dan
huruf Jawa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka SKL mata pelajaran Bahasa Jawa
meliputi 4 SK seperti yang diuraikan. Oleh karerna itu maka, guru
bahasa Jawa sudah merelevankan antara materi yang akan diajarkan
kepada peserta didiknya terhadap Standara Kompetensi yang diinginkan
dalam SKL.
B. Pembahasan
Naskah drama Leng, Tuk, dan Dom karya Bambang Widoyo SP, yang
dimuat dalam buku Gapit merupakan sebuah naskah drama berbahasa Jawa yang
berbeda dengan naskah-naskah drama berbahasa Jawa lainya. Pengunaan bahasa
Jawa ngoko menjadi pilihannya dalam menuangkan ide dan gagasan. Hal ini
menjadi nilai lebih lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP. Bahasa Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan
Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di
tengah masyarakat penuturnya sendiri.
Pilihan penggunaan media bahasa Jawa ngoko jelas bukan sekadar
romantisme. Penggunaan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang
vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini
sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern)
akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang
membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di
panggung maupun radio.
Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan
lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ‖metamorfosis‖ tradisi kapujanggan yang
pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19,
Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah
pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun,
tradisi itu telah lama ‖putus‖ dan kini tinggal legenda.
Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan
perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ‖mati suri‖ atau antara
ada dan tiada. Maka peneliti merasa berkeinginan untuk melakukan telaah
kebahasaan atas karya-karya Bambang Widoyo SP yang berjudul Leng, Tuk, dan
Dom yang dimuat dalam buku Gapit terbitan Taman Budaya Jawa Tengah
bekerjasama dengan The Ford Foundation pada tahun 1998.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan di atas dengan menerapkan
teori-teori yang meliputi teori stilistika, teori mengenai unsur drama, teori
mengenai naskah drama, bahasa figurative (gaya bahasa), pencitraan serta metode
analisis bahasa, maka dapat diungkap gaya kebahasaan atau aspek-aspek
kebahasaan yang dipilih oleh pengarang sebagai sarana retorika dalam
mennnyajikan naskah drama yang komunikatif dan estetis, antara lain meliputi:
pemanfaatan bunyi bahasa, pemilihan diksi, pemakaian gaya bahasa dan
pencitraan, serta relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa. Adapun uraian
lebih lanjut sebagai berikut.
1. Pemanfaatan Aspek Bunyi Bahasa dan Diksi
Setiap pengarang pasti memiliki ciri dalam menuangkan ide dan
gagasannya, sama halnya dengan Bambang Widoyo SP ini. Ia menggunakan
bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa pengantar karyanya. Pemakian bahasa Jawa
ngoko ini justru memberikan aspek estetis yang unik dank has yang ditunjukkan
dengan penggunaan kata-kata yang memiliki pola bunyi tertentu yang berulang.
Persamaan bunyi yang berulang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama
puswakanthi. Perulangan bunyi atau purwakanthi dalam naskah-naskah drama
yang dianalisis antara lain berupa: perulangan bunyi vokal (asonansi/purwakanthi
swara), perulangan vokal dengan suku tertutup, perulangan konsonan
(aliterasi/purwakanthi guru sasra). Realisasi perulangan bunyi baik vokal maupun
konsonan dalam naskah drama yang dianalisis secara umum dapat menimbulkan
tekanan ritmik dan unsur musikalitas yang mampu memberikan efek keindahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan membangun emosi pemain ketika berdialog. Selain itu perulangan bunyi
vokal dan konsonan dalan naskah drama yang dianalisi juga dapat menimbulkan:
a. Menggambarkan kondisi psikologis tokoh ketika menghadapi suatu
peristiwa dalam cerita. Sebagai contoh vokal /a/ dalam dialog tokoh-
tokohnya mengarang memanfaatkannya untuk menggambarkan kemarahan
atau kekesalan tokoh atas suatu peristiwa. Hal ini didasarkan pada
pengucapan vokal /a/ yang kuat dan penuh tekanan. Contoh lain adalah
vokal /e/ yang pengucapannya dengan posisi sedang tengah digunakan
pengarang untuk mempertegas suatu keadaan atau menunjukkan sikap
emosi.
b. Pemanfaatan asonansi suku tertutup dalam dialog-dialog tokohnya mempu
menggambarkan suatu kondisi atau keadaan. Seperti pada asonansi suku
tertutup /k/ yang digunakan untuk merefleksikan kehidupan orang kecil
yang serba kekurangan seperti dalam kalimat wis wancine wong cilik ora
mung dinggo ancik-ancik!.
Pemanfaatan bunyi-buyi bahasa yang berupa asonansi dan aliterasi dalam
dialog tokoh-tokoh yang hadir dalam naskah drama ini kesemuanya difungsikan
oleh pengarang untuk mendukung penegasan atas pesan yang termuat dalam
dialog-dialog tokohnya. Selain untuk memberikan penegasan, permainan bunyi
vokal dan konsonan dalam dialog tokohnya dimaksudkan agar pengucapan dialog
tersebut lebih ekspresif dan terdengar liris.
Kata-kata yang digunakan pengarang dalam naskah-naskahnya
menggunakan kata-kata dari bahasa Jawa ragam ngoko. Menggunaan bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ngoko ini membuat ciri tersendiri atas karyanya. Secara dasar pengarang,
Bambang Widoyo SP ingin menyampaikan pesan-pesannya kepada kepada
masyarakat tentang kehidupan masyarakat Jawa yang termajinalkan melalui
pilihan bahasa Jawa ngoko sebagai pilihannya. Naskah-naskah yang ditulis
Bambang Widoyo SP kesemuanya menggunakan bahasa Jawa ngoko, tingkat
bahasa paling rendah dalam stratifikasi sosial dan ekonomi masyarakat Jawa.
Naskah Leng, Tuk, dan Dom dalam buku Gapit ini semua bertemakan kehidupan
melarat dan miskin kaum tingkat paling bawah dari mayarakat Jawa, dengan
demikian penggunaan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa lakon dirasa tepat dan
mewakili. Masyarakat Jawa dari tingkat yang demikian memang tidak pernah
merasa terikat dan tunduk pada kaidah ‗halus-kasar‘ dalam menggunakan
stratifikasi bahasa untuk sesama mereka. Bahasa kaum marjinal untuk ukuran para
piyayi yang mapan dalam lingkungan mereka adalah bahasa yang kasar, jorok,
dan ceplas-ceplos dan pengarang secara lincah memakai bahasa Jawa ngoko kaum
bawah yang tertindas dan tersingkir tersebut.
Kata-kata pisuhan, makian khas Solo bermunculan di sela-sela percapakan
tokoh-tokoh dari lakon-lakon ini. Melalui bahasa Jawa ngoko isu-isu ssosial,
ekonomi, hingga politik oleh pengarang mampu dikemas dengan apik dengan
pilihan kata yang pas dengan strata sosial masrayakat yang marjinal dalam lakon-
lakonnya. Problem pemukiman, kesempatan mendapat tempat tinggal yang layak,
tercecernya masyarakat pinggiran untuk mengais sekedar remah-remah
penghidupan, harapan dan keputusasaan orang-orang kalah sekedar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempertahankan harga diri semua menjadi pijakan pengarang yang mendasarai
terciptanya naskah-naskah drama ini dengan bahasa Jawa ngoko yang khas.
2. Pemakaian Gaya Bahasa
Di dalam pembahasan gaya bahasa, dalam naskah yang telah dianalisi di atas
diketahui bahwa pengarang memanfaatkan gaya bahasa sebagai sarana pengantar
pesan yang impisit. Gaya bahasa yang digunakan dalam naskah drama ini
didasarkan pada:
a. Pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam
wacana
b. Pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
c. Pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan langung tidaknya makna
Digunakannya gaya bahasa dalam naskah drama ini, maka dapat
menunjukkan bahwa karya Bambang Widoyo SP ini memang merupakan sebuah
karya yang sarat akan keindahan bahasa yang tak dapat dilepaskan dari pesan
yang dibawanya. Dengan demikian dapat dikatakan penggunaan gaya bahasa
dalam naskah drama ini berfungsi sebagai:
a. Menaikkan selera, dengan digunakannya gaya bahasa tentunya tuturan
akan semakin indah dan pembaca/pemain atau penonton akan semakin
berminat dalam menyimak dialog-dialognya. Sehingga pesaan yang
dimuat didalamnya diharapkan dapat tersampaikan dengan tepat.
b. Gaya bahasa yang digunakan pengarang dapat mempengaruhi nilai rasa
atau perasaan hati pembaca/pemain atau penonton sehingga pemain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dapat menghayati perannya dengan baik, dan penonton dapat hanyut
dalam Susana yang diciptakan lewat gaya bahasa tersebut.
c. Gaya bahasa yang dipilih pengarang nyatanya mampu memberikan
penguatan atas ide atau gagasan yang hendak disampaikan kepada
pembaca atau penonton.
d. Gaya bahasa dapat dijadikan sebagai jembatan dalam mengungkapkan
pikiran pengarang apabila bahasa pada umumnya (bahasa sehari-hari)
tidak cukup kuat atau mampu untuk mewakili perasaan hati tokoh dalam
cerita.
3. Pemakaian Pencitraan
Secara intensif sebenarnya pencitraan itu lebih sering digunakan penyair dari
pada pengarang. Akan tetapi mengingat naskah yang dianalisi ini adalah naskah
lakon maka, pencitraan banyak digunakan pengarang untuk memvisualkan ide dan
gagasannya yang bersifat abstrak. Selain untuk merealisasikan imajinasi ke dalam
bentuk nyata di panggung, pencitraan dalam naskah drama ini juga dimaksudkan
untuk merangsang imajnasi dan membangkitkan emosi pembaca/pemain dan
penonton melalui dialog yang dibawakan tokoh.
Pencitraan yang digunakan pengarang dalam naskah ini kebanyakkan
muncul dalam bentuk narasi berkenaan dengan tata panggung. Selain itu
pencitraan tentang gerak pada umumnya lebih mendominasi dalam naskah ini.
Pencitraan gerak ini dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada pemain akan
laku panggung yang harus dilakukan, sehingga dalam pementasan nantinya tidak
tumpang tindih dengan pemain lainnya. Pengarang dengan detail mengatur lakuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bahkan mengarahkan/mengerakkan emosi pemain dengan narasi di setiap
dialognya. Hal ini yang mendasari analisis pencitraan menjadi penting dilakukan
atas naskah drama.
4. Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa
Berdasarkan analisis data yang telah dipaparkan pada bab IV dan penjelasan
mengenai relevansi untuk pembelajaran bahasa Jawa di sekolah, naskah drama ini
daapat dijadikan sebagai bahan maupun referensi untuk pembelajaran bahasa Jawa
siswa kelas XII. Sebagaimana diketahui pada SK dan KD yang telah dipaparkan
di atas, naskah drama ini sesuai dengan Kompetensi Dasar yang ada pada kelas
XII semester 2 tersebut, yaitu mendengarkan rekaman drama/sandiwara,
mendiskusikan isi drama/sandiwara, dan membaca naskah drama/sandiwara
sesuai karakter tokoh.
Dari standar isi yang dituangkan dalam standar kompetensi di atas, dipilah
menjadi kompetensi dasar yang nantinya akan digunakan guru dalam menyusun
silabus dan rencana pembelajaran. Dari hasil analisis di atas, dalam pembahasan
ini akan diuraikan tentang rencana pembelajaran berdasarkan masing-masing
kompetensi dasar sebagai berikut.
1. Kpmpetensi Dasar: Mendengarkan rekaman drama/sandiwara
Dari kompetensi dasar di atas dapat disusun rencana pembelajaran dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
Tabel 4
Contoh Kegiatan Pembelajaran
No Kegiatan Waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
1.
2.
Kegiatan Awal
Motivasi:
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
sandiwara
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
manfaat mendengarkan sandiwara
Kegiatan Inti
2.1 Eksplorasi
Peserta didik berkelompok dan menyimak sandiwara
dengan penuh rasa ingin tahu
Guru membimbing peserta didik untuk mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik sandiwara
2.2 Elaborasi
Guru meminta peserta didik berpikir kritis untuk
mengidentifikasi sandiwara yang didengar.
Peserta didik melakukan diskusi, menerima pendapat
secara terbuka, demokratis dan toleransi dalam
menentukan isi yang terkandung dalam tembang
sandiwara
Peserta didik menyebutkan amanat dan pesan moral
sandiwara secara komunukatif
Secara aktif dan komunikatif Peserta didik memberikan
5
75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
3.
tanggapan secara lisan sandiwara yang telah
didengarkan sebagai upaya untuk menghargai prestasi
Guru memberi tugas kepada siswa untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan sandiwara
2.3 Konfirmasi
Guru memberikan umpan balik positif atas hasil
tanggapan peserta didik mengenai sandiwara sesuai
unggah-ungguh basa
Guru melakukan pengamatan atas kinerja peserta didik
Guru memberikan penghargaan kepada siswa yang
mampu mengungkapkan tanggapan sesuai unggah-
ungguh basa secara mandiri.
Guru memberi motivasi kepada peserta didik yang
belum berpartisipasi aktif
Penutup
Guru meminta siswa untuk menyampaikan isi sandiwara yang
didengar secara mandiri.
3.1 Penugasan Terstruktur
Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan berkaiatan
dengan sandiwara yang didengarkan
3.2 Kegiatan Mandiri Tak Terstruktur
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
Guru memberi tugas tidak terstruktur sebagai pengayaan
materi tentang tembang sandiwara dengan meminta
siswa mencari sandiwara selain yang dibahas dan
menentukan unsur-unsur intrinsik sandiwara tersebut
secara berkelompok dari berbagai sumber dengan aktif
dan kreatif
Pada materi ini guru dapat menggunakan rekaman berupa CD atau rekaman
kaset dari pementasan drama/sandiwara dengan naskah yang termuat dalam Gapit
karya Bambang Widoyo SP.
2. Kompetensi Dasar: Mendiskusikan isi drama/sandiwara
Kompetensi dasar mendiskusikan isi drama/sandiwara merupakan
kompetensi dasar dari aspek berbicara. Dalam mengajarkan komptensi dasar ini
dapat menggunakan materi yang sama dengan materi pada kompetensi dasar
sebelumnya. Sandiwara yang telah didengarkan siswa kemudian dianalisis isinya
dengan langkah-langkah berikut.
Tabel 5
Kegiatan Pembelajaran
No Kegiatan Waktu
1.
Kegiatan Awal
Motivasi:
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
2.
sandiwara
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
langkah-langkah diskusi
Peserta didik Menentukan kelengkapan diskusi secara
mandiri
Kegiatan Inti
2.1 Eksplorasi
Peserta didik dibagi dalam dua kelompok A dan B
Peserta didik diminta membaca teks sandiwara dengan
tema yang telah ditentukan tanpa diberi penjelasan
terlebih dahulu sesuai kelompok.
Peserta didik diberi kesempatan menanyakan kendala
yang dihadapi dalam berdiskusi secara demokratis,
terbuka
Peserta didik lain diperkenankan membantu
menyelesaikan kendala tersebut.
2.1 Elaborasi
Peserta didik menyimak sandiwara yang disajikan
melalui rekaman
Peserta didik melakukan diskusi, menerima pendapat
secara terbuka, demokratis dan toleransi dalam
mengajukan pertanyaan sesuai pembicaraan dan
75
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
unggah-ungguh basa jawa
Siswa mencatat hal penting dari sandiwara
Peserta didik menyampaikan jawaban atas pertanyaan
dari teman lain secara demokratis dan terbuka
Peserta didik menyusun simpulan dari hasil diskusi
secara kreatif
Salah satu kelompok menanggapi pendapat kelompok
lain berkaitan dengan sandiwara yang dibahas oleh
kelompok, dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang
tepat secara terbuka
Peserta didik secara mandiri melaporkan hasil diskusi
dengan bahasa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa
Jawa
2.3 Konfirmasi
Guru memberikan umpan balik positif atas proses
diskusi dan tanggapan kelompok lain
Guru melakukan pengamatan atas kinerja peserta didik
Guru memberikan penghargaan kepada kelompok
terbaik sebagai penghargaan terhadap siswa
Guru memberi motivasi kepada peserta didik yang
belum berpartisipasi aktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
3. Penutup
Guru bersama dengan peserta didik mengadakan refleksi
terhadap proses dan hasil pembelajaran.
Peserta didik mencari naskah sandiwara dari majalah,
internet dengan penuh tanggung jawab sebagai
tambahan/ pengayaan
Pada pembelajaran ini guru dapat menggunkan naskah drama berhasa Jawa
yang termuat dalam buku Gapit karya Bambang Widoyo SP. Naskah ini diangap
bisa digunakan sebagai materi pembelajaran karena memuat banyak nilai
pendidikan disamping banyak ditemukan khasanah budaya Jawa seperti
purwakanthi, paribasan, maupun penggunaan bahasa rinengga (gaya bahasa)
yang dapat memperkaya khasanah kebahasaan siswa khususnya bahasa Jawa
seperti yang telah dianalisis di atas.
3. Kompetensi Dasar: Membaca naskah drama/sandiwara
Pada kompetensi dasar membaca naskah drama/sandiwara guru dapat
menggunakan naskah drama dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP ini sebagai
materi pembelajarannya. Guru hendaknya kreatif dalam menyampaikan materi ini
sepereti pada contoh langkah-langkah kegiatan belajar berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 6
Kegiatan Pembelajaran
No Kegiatan Waktu
1.
2.
Kegiatan Awal
Motivasi:
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
sandiwara yang akan dibaca
Guru bertanya jawab dengan peserta didik tentang
manfaat membaca naskah drama
Kegiatan Inti
2.1 Eksplorasi
Peserta didik membaca sandiwara
Guru membimbing peserta didik untuk mengidentifikasi
sandiwara yang dibacanya
2.2 Elaborasi
Peserta didik menentukan sandiwara yang dibacanya
Peserta didik menemukan kata-kata sukar dalam
sandiwara
Peserta didik menemukan arti kata-kata sukar yang
ditemukan dalam sandiwara
5
75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
3.
Peserta didik mebaca sandiwara dengan lafal, intonasi,
dan tempo yang sesuai
Peserta didik menemukan tema, alur, setting, tokoh dan
penokohan serta amanat dalam sandiwara yang dibaca
Peserta didik menyebutkan isi sandiwara
Peserta didik menjawab pertanyaan tentang sandiwara
secara aktif
2.3 Konfirmasi
Guru memberikan umpan balik positif terhadap upaya
siswa mengenal naskah sandiwara
Guru melakukan pengamatan atas kinerja peserta didik
Guru memberikan penghargaan kepada peserta didik
yang mampu membacakan naskah sandiwara dengan
intonasi yang benar secara mandiri.
Guru memberi motivasi kepada peserta didik yang
belum berpartisipasi aktif
Penutup
Guru meminta siswa untuk membacakan naskah sandiwara
sesuai karakter tokoh secara mandiri.
3.1 Penugasan Terstruktur
10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
No Kegiatan Waktu
Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan berkaiatan
dengan naskah sandiwara
3.2 Kegiatan Mandiri Tak Terstruktur
Guru memberi tugas tidak terstruktur sebagai pengayaan
materi tentang membaca naskah sandiwara dengan
mempelajari satu naskah kemudian hasilnya direkam
secara berkelompok.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa naskah darama dalam Gapit karya
Bambang Widoyo SP ini diciptakan berdasarkan pengamatan dan survey yang
mendalam terhadap kehidupan masyarakat kelas bawah. Dengan demikian bahasa
yang digunakan dalam naskah ini adalah bahasa Jawa ngoko sehingga dalam
pembelajarannya guru perlu diperhatikan adalah bahasa yang digunakan oleh
pengarang adalah bahasa ngoko dilingkungan masyarakat pinggiran yang
cenderung kasar dan vulgar. Melalui kreatifitas guru dalam mengajarkan materi
dengan sumber belajar naskah karya Bambang Widoyo SP ini, diharapkan
keunggulan naskah dari sisi nilai-nilai moral dan budaya Jawa dapat digali dengan
lebih dalam, sebagai contoh meminta siswa untuk menemukan purwakanti, atau
gaya bahasa yang digunakan dalam dialog tokoh-tokohnya dan menemukan
artinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembasan yang telah ilkaukan pada Baba
IV, dalam bab ini akan disampaikan kesimpulannya sebagai berikut.
1. Pola bunyi yang muncul dalam naskah drama Leng, Tuk, dan Dom, dalam
buku Gapit karya Bambang Widoyo SP dipotensikan pengarang dalam
memperindah tuturannya adalah purwakanthi guru swara, asonansi suku
tertutup, purwakanthi guru sastra. Pemanfaatan bunyi tersebut mampu
membuat dialog yang dibawakan tokoh menjadi lebih indah dan merdu jika
dibawakan. Selain itu pemanfaatan aspek bunyi dalam dialog juga mampu
memberikan gambaran suasana emostif tertentu seperti kemarahan. Dalam
pilihan kata atau diksi ditemukan pemanfaatan tembung saroja, kata seru,
dasanama (sinonimi), paribasan, dan tembung kasar (kata makian) yang khas
digunakan pengarang untuk mendukung suasana emotif dalam dialog.
2. Gaya bahaha yang digunakan pengarang dibagi dalam tiga bagian yaitu; 1)
gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, pada gaya
bahasa jenis ini ditemukan pemanfaatan gaya bahasa berupa gaya bahaha
mulia dan gaya bahasa sederhana; 2) gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat, dalam gaya bahasa ini ditemukan penggunaan gaya bahasa klimakas,
antiklimaks, pararelisme, antithesis dan repetisi; 3) gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna, dalam gaya bahsa ini ditemukan pemanfaatan
247
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berupa gaya bahasa litotes, hiperbola, koereksio, paradoks, simile, metafora,
personifikasi, eponimi, alusi, metonimia, dan hipalase.
3. Pencitraan yang digunakan pengarang dalam naskah ini didominasi oleh
pencitraan berupa gerak yang menjadi acuan bagi pemain dalam berlaku di
atas panggung, citraan visual yang lebih pada pengejawantahan setting
panggung, pencitraan penciuman, dan pencitraan rabaan tau taktil. Pencitraan
yang dominan muncul dalam penelitian ini adalah pencitraan gerak. Hal ini
dikarenakan objek penelitian ini adalah naskah drama, yang menuntut adanya
lakuan berupa gerak dalam memvisualisasikan imajinasi pengarang.
4. Relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa, naskah drama ini dapat
dijadikan sebagai bahan maupun referensi untuk pembelajaran bahasa Jawa
siswa kelas XII. Sebagaimana diketahui pada SK dan KD yang telah
dipaparkan di atas, naskah drama ini sesuai dengan Kompetensi Dasar yang
ada pada kelas XII semester 2 tersebut, yaitu mendengarkan rekaman
drama/sandiwara, mendiskusikan isi drama/sandiwara, dan membaca naskah
drama/sandiwara sesuai karakter tokoh.
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan
memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Implikasi teoritis
a. Berangkat dari kesimpulan yang didapat, naskah drama berbahasa Jawa dalam
Gapit, dengan muatan sastra cukup kuat, dapat dijadikan salah satu bahan
pembelajaran sastra khususnya drama. Lebih jauh lagi dengan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penelitian ini para pencipta karya sastra akan melahirkan karya yang bermutu,
dengan didasarkan pada ―penelitian‖ terhadap masyarakat terlebih dahulu.
Hasil penelitian ini juga akan menambah wawasan tentang hidup bagi para
pembacanya yang apabila dikaitkan dengan pembelajaran di sekolah dapat
membuka wawasan yang berkaitan dengan pendalaman materi keterampilan
bersastra, khususnya karya sastra bergenre drama.
b. Membuka wawasan akan beragamnya karya sastra khususnya drama dalam hal
ini naskah drama yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran.
c. Membuka peluang dilakukannya penelitian-penelitian tentang stilistika serta
karya sastra Jawa lainnya.
2. Implikasi paedagogis
Menambah referensi materi pembelajaran khususnya tentang sastra yang
dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Jawa pada jenjang SMA kelas XII
dengan standar kompetensi mampu membaca dan memahami bacaan sastra
maupun nonsastra, berhuruf Latin maupun Jawa dengan berbagai keterampilan
dan teknik membaca.
Naskah drama berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP
Burlian dapat digunakan sebagai media pembelajaran drama yang isinya dikemas
dalam bahasa ngoko yang lazi digunakan sehari-hari sehingga mudah dipahami,
namun banyak mengandung nilai-nilai pendidikan.
3. Implikasi praktis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penelitian
sastra, sehingga peneliti lain akan termotivasi untuk melakukan penelitian yang
nantinya dapat diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah.
b. Minimnya pengkajian naskah-naskah drama, yang mana drama merupakan
materi pembelajaran sastra, penelitian ini akan sangat bermanfaat terlebih lagi
dengan melihat nilai-nilai yang terkandung dalam naskah drama berbahasa
Jawa dalam Gapit ini yang sangat perlu untuk ditamankan pada generasi muda
khususnya melalui pendidikan formal.
c. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih
mencermati media pembelajaran yang tepat bagi siswa.
C. Saran
Beberapa saran berikut dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat bagi
pihak-pihak terkait antara lain:
1. Saran Kepada Siswa
Siswa hendaknya dalam membaca naskah drama atau melihat pertunjukkan
drama memperhatikan nilai-nilai positif antara lain tentang semangat, tekad,
perilaku pantang menyerah untuk selalu memperjuangkan cita-cita dan jangan
mencontoh apabila drama tersebut mempunyai nilai yang negatif. Nilai-nilai
positif tersebut dapat menjadi dasar bagi siswa untuk menerapkannya dalam
berperilaku dikehidupan di masyarakat.
2. Saran para pelaku pendidikan
Bagi pengajar, dosen atau guru khususnya bahasa Jawa, hendaknya mampu
menyaring dan memilah apabila akan menggunakan naskah drama ini sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
materi ajar. Mengingat askah ini ditulis dalam bingkai bahasa Jawa ngoko yang
cenderung vulgar dan kasar. Namun di lain sisi, naskah drama ini memuat banyak
pesan moral yang bisa menjadi tauladan dalam bertindak ketika anak sudah
dewasa. Dengan demikian guru hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan
bahan pembelajaran sastra, dalam hal ini adalah naskah drama. Naska drama
berbahasa Jawa dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP ini di dalamnya
memenuhi empat macam manfaat pembelajaran sastra, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Lebih lanjut guru dapat
memilih naskah drama lain yang sekiranya terdapat beberapa cakupan yang bisa
memberikan manfaat positif bagi siswa, sehingga siswa tidak hanya memperoleh
hiburan saja tetapi juga mendapatkan ilmu kehidupan.
Para guru khususnya guru bahasa Jawa dalam mengajarkan materi drama
hendaknya dibarengi dengan pemahaman yang mendalam terhadap naskah drama
yang digunakan sebagai materi ajar, dengan memahami naskah tersebut dari
bebagai aspek seperti analisis stilistika ini. Hal tersebut dimaksudkan agar nilai-
nilai yang terkandung dalam naskah drama itu dapat tersampaikan pada siswa.
Peneliti juga menyarankan untuk menggunakan naskah drama berbahasa Jawa
dalam Gapit karya Bambang Widoyo SP sebagai salah satu referensi bahan materi
ajar.
3. Saran Kepada Pembaca Karya Sastra
Dalam memahami suatu karya hendaknya tidak hanya sekedar menikmati
karya sastra tersebut. Namun, ada usaha untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terkandung dalam karya tersebut. Pembaca juga harus pandai memilah dan
memilih hal-hal apa saja yang harus diaplikasikan dan hal-hal mana saja yang
hanya dijadikan referensi saja, kerena dalam karya sastra pada umumnya dan
hampir semua, dalam penceritaannya tetap memaparkan sisi positif dan sisi
negatif untuk lebih menghidupkan cerita.
4. Saran kepada peneliti lain
Dalam penelitian ini hanya membahas dari segi aspek bunyi,
karakteristikdiksi, dan gaya bahasa dalam naskah drama Leng, Tuk dan Dom karya
Bambang Widoyo S.P. Oleh karena itu, diharapkan perlu diadakan penelitian
berikutnya dapat meneliti dari sudut pandang yang lain bisa dalam hal kajian atau
pendekatan yang berbeda seperti dikaji dengan pendekatan pragmatik atau
membahas permasalahan yang lain seperti dari segi morfosintaksis.