Upload
sabrinamaharani
View
131
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
semangat
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATANMEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DENGAN PENDEKATANMODEL SELF CARE OREM
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATIJAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
DIAN NOVITA106748495
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAMPENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAHDEPOK
JUNI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATANMEDIKAL BEDAH PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL DENGAN PENDEKATANMODEL SELF CARE OREM
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATIJAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarNers Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
OLEH
DIAN NOVITA1006748495
FAKULTAS ILMU PERAWATAN PROGRAMSPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH UNIVERSITASINDONESIA
DEPOK,JUNI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini
:
Nama : Dian Novita
NPM : 1006748495
Program Studi : Program Spesialis Keperawatan
Kekhususan : Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya ilmiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL DENGAN
PENDEKATAN MODEL SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM
PUSAT FATMAWATI JAKARTA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (data base), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: DepokPada tanggal : 27 Juni 2013
Yang menyatakan
(DIAN NOVITA)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
vii
PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAHFAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
Karya Ilmiah Akhir, Juni 2013
Dian Novita
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien Gangguan SistemMuskuloskeletal dengan Pendekatan Model Self Care Orem di Rumah Sakit UmumPusat Fatmawati Jakartax + 84 halaman + 2 tabel + 1 gambar + 5 lampiran
AbstrakLaporan ini bertujuan untuk menganalisis tentang pengalaman praktik residensispesialis keperawatan medika bedah dalam menjalankan peran perawat selama praktikkeperawatan. Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan, peneliti, pendidikdan innovator di RSUP fatmawati Jakarta. Sebagai pemberi asuhan keperawatan,penulis mengaplikasikan penerapan model self care Orem dalam memberikan asuhankeperawatan pada pasien dengan gangguan system musculoskeletal. Laporan analisis inijuga menerapkan praktik keperawatan berbasis bukti (Evidence Based Nursing) untukmengurangi nyeri post operasi ORIF dengan menggunakan tehnik terapi music. Terapimusic efektif diterapkan untuk mengurangi nyeri pasien post operasi ORIF. Peranperawat sebagai innovator mencoba menerapkan Clinical Practice Guideline (CPG)pada klien post operasi ektremitas bawah. Penerapan CPG ini melibatkan tim ruangantempat lahan praktik. Rumah sakit sebagai institusi pelayanana kesehatan diharapkandapat mengembangkan sumber daya perawat melalui pendidikan yang berkelannjutan,pelatihan dan pertemuan ilmiah khususnya dibidang ortopedi untuk meningkatkanpelayanan keperawatan yang berkualitas, cepat dan tepat.
Kata Kunci : Self Care Orem, nyeri, terapi music, post operasi ORIF, Clinical PracticeGuideline (CPG)
Daftar pustaka 51 (1995-2012)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
viiiviiiviiiviii
MEDICAL SURGICAL NURSING SPECALIST PROGRAMFACULTY OF NURSINGUNIVERSITY OF INDONESIA
Final Scietific Paper, June 2013
Dian Novita
Analysis of Nursing Practice Residency of Medical Surgical Nursing to MusculosceletalSystem Disorder Patients with Orem Self Care Model Approach in Fatmawati GeneralHospital Center Jakartaxiii + 84 pages + 3 tables + 1 images + 5 appendix
AbstractThis report was aimed to analyze about the experience of specialist nursing practiceresidency medical surgical nursing in performing the role of nurses during the nursingpractice. Nurse's role as provider of nursing care, researcher, educator and innovator inFatmawati General Hospital Center Jakarta. As a provider of nursing care, the practicianapplied the model application Orem self care in providing nursing care to patients with fthe musculoskeletal system disorder. The analysis report also implemented evidence-based nursing practice (Evidence Based Nursing) to reduce postoperative pain ORIFusing music therapy techniques. Music therapy effectively applied to reducepostoperative pain patients ORIF. The role of the nurse as an innovator trying toimplement Clinical Practice Guideline (CPG) on the client postoperative at lowerextremity. This involves of the application of CPG team room where the place ofpractices. Hospital as an institution is expected to develop the service of healthresources through continuing education nurse, training and scientific meetings in thefield of orthopedics in particular to improve the quality of nursing services, progressiveand accurately.
Keywords : Orem’s self care, pain, music therapy, post ORIF surgical, Clinical PracticeGuideline (CPG)
References : 51 (1995-2012)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa karena atas
rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan hasil Karya Ilmiah Akhir yang
berjudul “Analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah pada pasien gangguan
sistem muskuloskeletal dengan pendekatan model adaptasi self care Orem di Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”.
Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan atas bantuan
berbagai pihak. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Dewi Irawaty M.A., PhD., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia dan Koordinator Karya Ilmiah Akhir yang telah
membimbing dan memberi pengarahan pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir
ini.
2. Astuti Yuni Nursasi S.Kp., MN., selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah
memberikan pengarahan tentang penyusunan Karya Ilmiah Akhir
3. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc. selaku Supervisor Utama yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir
ini.
4. Masfuri, S.Kp., MN., selaku Supervisor yang memberikan masukan serta
mengarahkan penulis pada Karya Ilmiah Akhir ini.
5. Umi Aisyiyah S.Kep. Ns. M.Kep. Sp. KMB., selaku Supervisor klinik yang
telah banyak memfasilitasi penulis dalam melaksanakan praktik residensi dan
membimbing penulisan dalam Karya Ilmiah Akhir ini.
6. Dudut Tanjung, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB., selaku Supervisor klinik yang telah
banyak memfasilitasi penulis dalam melaksanakan praktik residensi dan
membimbing penulisan dalam Karya Ilmiah Akhir ini
7. Seluruh staf pengajar Program Spesialis Ilmu Keperawatan terutama
Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah dan seluruh staf akademik yang telah
membantu penulis.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
x
8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta dan seluruh staf yang
telah memberikan kesempatan serta membantu dalam proses praktik spesialis
keperawatan ini.
9. Direktur Rumah Sakit Ortopedi Prof. Soeharso Surakarta Jawa Tengah dan
seluruh staf yang telah memberikan kesempatan serta membantu dalam proses
praktik keperawatan spesialis ini.
10. Seluruh rekan-rekan sejawat perawat dan tim di Gedung Prof. Soelarto RSUP
Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan penulis dan bekerjasama
untuk meningkatkan kompetensi keperawatan ortopedi.
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Spesialis Keperawatan angkatan ganjil
2012, terutama Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah yang telah
memberikan dukungan dan semangat bagi penulis.
12. Orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan do’a
bagi penulis dalam menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.
Semoga semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari ALLAH SWT dan dicatat sebagai amal kebaikan.
Depok, Juni 2013
Penulis
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
xi
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………... iHALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME....................................... iiHALAMAN PERYATAAN ORISINALITAS....................................................... iiiLEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………………... ivHALAMAN PENGESAHAN................................................................................. vHALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................................................... viABSTRAK............................................................................................................... viiABSTRACT.............................................................................................................. viiiKATA PENGANTAR …………………………………………………………… ixDAFTAR ISI ……………………………………………………………………... xiDAFTAR TABEL ………………………………………………………………... xiiDAFTAR SKEMA ……………………………………………………………...... xiiiDAFTAR GRAFIK.............................................................................................. xivDAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...... xvDAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………... xvi
BAB 1 : PENDAHULUAN................................................................................... 11.1 Latar Belakang ……………………………………………………... 11.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………... 71.4 Manfaat Penulisan …………………………………………………. 8
BAB 2 : TINJAUAN TEORI.................................................................................. 92.1 Konsep Fraktur ………………………………………………........... 92.2 Konsep ORIF.......................................................…………………... 122.3 Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi ORIF....................... 142.4 Konsep Teori Model Keperawatan..................................................... 182.5 Penerapan Teori Self Care Orem pada Kasus Fraktur........................ 27
BAB 3 : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM 33MUSKULOSKELETAL..........................................................................3.1 Deskripsi Kasus................................................................................... 333.2 Penerapan Teori................................................................................... 343.3 Pembahasan.......................................................................................... 493.4 Analisis Kasus Resume........................................................................ 52
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
xii
BAB 4 : ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI.............. 604.1 Tinjauan Literatur…………………………………………………... 604.2 Penelitian Terkait………………………………………………….. 674.3 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian…………………... 684.4 Pembahasan........................................................................................ 70
BAB 5 : ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR...................... 735.1 Analisis Situasi …………………………………………………… 735.2 Kegiatan Inovasi………………………………………………........ 745.3 Pembahasan..........…………………………………………………... 76
BAB 6 : SIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 786.1 Simpulan............................................................................................. 786.2 Saran................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 80
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Gambaran radiologi pasien
Lampiran 2 : Asuhan Keperawatan Pasien
Lampiran 3 : Pengkajian nyeri Numeric Rating Scale
Lampiran 4 : Format Clinical Practice Guideline
Lampiran 5 : Lampiran Resume
Lampiran 6 : Daftar riwayat hidup
xiiiAnalisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan proses keperawatan menurut OremHal29
Tabel 3.1 Nursing Care Plan pada pasien kelolaan 39
ix
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan analisis praktik ini merupakan laporan dan analisis praktik residensi selama
2 semester. Laporan ini menganalisis pengalaman dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan pada system musculoskeletal dengan
mengaplikasikan salah satu teori keperawatan. Laporan ini juga melaporkan
pelaksanaan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian atau Evidence Based
Nursing Practice serta hasil analisis terhadap kegiatan inovasi yang dilakukan di
Ruang Ortopedi RSUP Fatmawati Jakarta dan RS Ortopedi Prof. Dr. R Soeharso
Surakarta.
Gangguan yang sering ditemukan saat praktik residensi ini adalah fraktur. Fraktur
juga dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak
lengkap (Price & Wilson, 2006). Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan
pembuluh darah di sekitarnya karena tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan, tetapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut World Health Organization (WHO) kasus fraktur terjadi di dunia kurang
lebih 13 juta orang pada tahun 2008, dengan angka prevalensi sebesar 2,7%.
Sementara pada tahun 2009 terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur
dengan angka prevalensi sebesar 4,2%. Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta
orang dengan angka prevalensi sebesar 3,5%. Terjadinya fraktur tersebut termasuk
didalamnya insiden kecelakaan, cedera olah raga, bencana kebakaran, bencana alam
dan lain sebagainya (Mardiono, 2010).
Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan
kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan didunia yang di dalamnya termasuk
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Indonesia Angka kecelakaan di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 32.988 jiwa
dengan 12.117 korban meninggal dunia (36,73%) dan 41.281 korban luka-luka
(63,27%). Hal ini meningkat sekitar 59,96% dari angka kecelakaan pada tahun 2005
yaitu sebesar 20.623 jiwa. Departemen Perhubungan juga mengumumkan angka
kecelakaan transportasi darat yang ada di Indonesia masih cukup tinggi, dan bila
dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 maka angka kecelakaan tahun 2009
mengalami sedikit peningkatan. Jika tahun 2008 tercatat rata-rata 18.000 kasus
kecelakaan, maka untuk tahun 2009 ada peningkatan menjadi rata-rata 19.000 kasus
(Jakarta, Kominfo News Room tanggal 24/6/2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI tahun 2007 di Indonesia terjadi kasus fraktur yang
disebabkan oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma
benda tajam/tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur
sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang
mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%), dari 14.127 trauma benda
tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). (Riskesdas
Depkes RI, 2007).
Survey Kesehatan Nasional mencatat bahwa kasus fraktur pada tahun 2008
menunjukkan bahwa prevalensi fraktur secara nasional sekitar 27,7%. Prevalensi ini
khususnya pada laki-laki mengalami kenaikan dibanding tahun 2009 dari 51,2%
menjadi 54,5%. Sedangkan pada perempuan sedikit menurun yaitu sebanyak 2% di
tahun 2009, pada tahun 2010 menjadi 1,2% (Depkes RI, 2010).
Rumah Sakit Ortopedi (RSO) Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta sebagai pusat rujukan
nasional, dari sekitar 13 ribu pasien yang datang, dengan jumlah kunjungan 168 ribu
tiap tahunnya, sekitar 80 persen pasien datang dengan kasus trauma akibat
kecelakaan. Selain itu masalah gangguan degenerative tulang dan sendi yang paling
sering dijumpai adalah pada ektremitas bawah.
Data yang diperoleh dari rekam medis RSUP Fatmawati Jakarta didapat sebanyak
37,6% kejadian fraktur ekstremitas bawah. Sebagian besar pasien yang menjalani
prosedur operasi di RSUP Fatmawati Jakarta berada pada rentang usia produktif
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
yaitu remaja sampai dengan dewasa madya (15 tahun sampai dengan 50 tahun). Hal
ini disebabkan tingkat mobilitas golongan usia tersebut cukup tinggi.
Pada umumnya fraktur dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, organ di sekitar
pembuluh darah dan syaraf atau komplikasi secara langsung meliputi kompartemen
syndrome, emboli lemak, perdarahan massif pada injury jaringan lunak terbuka
memiliki konsekwensi yang serius seperti syok hipovolemik dan sepsis. Komplikasi
lanjut yang mungkin terjadi antara lain infeksi, non union, mal union, dan delayed
union (Smelzer & Bare, 2002).
Untuk mencegah dan mengatasi komplikasi ini perlu penanganan yang tepat dan
cepat. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa
pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah prosedur
yang sering dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan
fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002).
Russel dan Palmieri (1995) dalam Maher, Salmond & Pullino, (2002) menyatakan
bahwa perubahan posisi untuk fraktur yang tidak stabil adalah direncanakannya
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dengan menggunakan plate, skrup,
atau kombinasi keduanya. Tindakan pembedahan ORIF ini selain menstabilkan
fraktur juga membantu mengatasi cedera vaskular seperti sindroma kompartemen
yang terjadi pada pasien fraktur.
Penatalaksanaan perawatan yang terjadi dirasakan saat ini belum efektif. Hal ini
dimungkinkan oleh beberapa factor antara lain waktu pertolongan yang lebih dari
“golden periode”, perawatan selanjutnnya setelah berada di ruangan yang kurang
memadai karena jumlah rasio tenaga dan jumlah pasien yang tidak sesuai. Sehingga
kurang maksimal dalam mengembalikan fungsi system. Hal ini memerukan adanya
peningkatan kemampuan perawat yang lebih kompeten dalam mengatasi pasien
ortopedi.
Perawat spesialis dikembangkan untuk menjawab tuntutan kebutuhan asuhan
keperawatan dan tuntutan perkembangan profesi keperawatan. Melalui peran
perawat spesialis diharapkan mampu bekerja sebagai pemberi dan pengelola asuhan
keperawatan, pendidik, peneliti, bimbingan dan konseling, advokasi, menerima dan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
melakukan rujukan dalam mengatasi masalah klien, serta sebagai change agent.
Perry dan Potter (2006) mneyatakan bahwa peran perawat professional secara umum
meliputi empatperan yaitu pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti dan
pengelola, baik dalam pelayanan keperawatan maupun dalam lingkungan
komunitas.
Berdasarkan empat peran tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya serta
memiliki tanggung jawab pada setiaap peran yang dijalankan. Praktik yang
dijalankan adalah praktik residensi di ruang ortopedi RSUP Fatmawati dan RSO
Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan
berbagai macam gangguan system musculoskeletal. Pengalaman pelaksanaan
asuhan keperawatan yang dijalankan pada pasien dengan gangguan system
musculoskeletal, sering ditemukan pasien dalam keterbatasan mobilisasi, luka yang
luas, nyeri. Selain itu juga banyak ditemukan pasien dengan keterbatasan
pemenuhan kebutuhan self care. Dalam memberikan asuhan keperawatan, praktikan
menggunakan landasan teori self care Orem. Teori ini mengajarkan pasien untuk
tidak tergantung dengan pemberi asuhan, tetapi mampu melatih secara bertahap
kemampuan individu untuk melakukan perawatan mandiri untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatannya.
Pemberian asuhan keperawatan nyang sesuai dengan masalah kebutuhan pasien
salah satunya adalah masalah penatalaksanaan nyeri. Nyeri merupakan salah satu
elemen pada post op ortopedi yang bisa meningkatkan level hormone stress seperti
adrenokontikotropin, kortisol, katekolamin dan interleukin, dan secara simultan
menurunkan pelepasan insulin dan fibrinolisis yang akan memperlambat proses
penyembuhan luka pembedahan (Chelly, Ben-David, Williams & Kentor, 2003).
Respon tubuh terhadap nyeri pasca pembedahan tidak hanya menurunkan
metabolisme berbagai jaringan di tubuh, tetapi juga menyebabkan koagulasi darah
meningkat, retensi cairan, gangguan tidur, hingga dampak ke perilaku dan lamanya
hari rawat di rumah sakit yang memanjang (Acute Pain Management Guideline
Panel, 1992; Good, et.al., 1999).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Pada akhir tahun 2000 Presiden Amerika Serikat menyatakan hasil keputusan
Kongres bahwa per 1 Januari 2001 dideklarasikan bahwa dimulainya The Decade of
Pain Control and Research (Pulido, 2010). The American Pain Society sudah
mendukung secara aktif program ini dengan menitikberatkan pada riset-riset untuk
manajemen nyeri (Gordon, et al., 2002). Pengembangan riset untuk nyeri ortopedi
telah diambil alih oleh The Orthopaedic pain Committee yang mengembangkan
berbagai penelitian terutama untuk Complementory and Alternative Medicine
(CAM) (Pulido, 2010). Beberapa teknik non farmakologis adalah stimulasi dan
masase, terapi es dan panas, stimulasi syaraf elektris, distraksi, relaksasi, guide
imaginary dan hipnotis (Strong, Unruh, Wright & Baxter, 2002).
Terapi musik juga merupakan salah satu terapi komplementer yang sudah mulai
banyak dikembangkan diberbagai riset (Engwall & Duppils, 2009). Musik bisa
menyentuh individu baik secara fisik, psikososial, emosional, dan spiritual (Munro
dan Mount, 1978 ; Chiang, 2012). Tubuh manusia memiliki pola getar dasar,
kemudian vibrasi musik yang terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola
getar dasar dapat memiiki efek penyembuhan yang sangat hebat bagi tubuh, pikiran,
dan jiwa manusia. Getaran ini juga menimbulkan perubahan emosi, organ, hormone,
enzim, sel-sel, dan atom di tubuh (Kozier, Erb, Berman, Snyder & 2010). Musik
bersifat nonverbal sehingga lebih condong bekerja pada hemisfer kanan. Musik
tidak membutuhkan analisis yang membuat hemisfer kiri bekerja, tetapi dengan
musik membantu otak kiri mendominasi untuk meningkatkan proses belajar (Kozier,
et.al., 2010).
Dasar teori keperawatan untuk melakukan kombinasi terapi farmakologi dan
nonfarmakologi adalah teori nyeri yang dikembangkan oleh Marion Good yang
berada pada tingkatan Middle Range Nursing Theory yaitu “Pain : A Balance
Between Analgesia and Side Effects (Tomey & Alligood, 2006). Middle range
nursing theory ini dapat membantu perawat dan mahasiswa keperawatan dalam
memandu untuk menemukan dan mencapai tujuan yang diharapkan dari aktivitas
praktik di berbagai area keperawatan. Dalam bidang riset keperawatan, Middle
range nursing theory dapat membantu untuk membuat hipotesis penelitian yang
dapat diuji dan pada akhirnya dapat mempengaruhi praktik keperawatan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Pelaksanaan peran perawat sebagai peneliti yaitu menerapkan asuhan keperawatan
berdasarkan pembuktian atau Evidence Based Nursing Practice dalama menurunkan
nyeri pasac pembedahan dengan menggunakan terapi music pada pasien post opeasi
ORIF. Nyeri pada pasien pembedahan ortopedi ORIF memiliki karakteristik yaitu
melibatkan kerusakan mulai dari integument, jariangan otot, vascular, sampai ke
tulang bagian dalam, dan menimbulkan efek nyeri yang lebih lama pada masa
pemulihan (Chelly, Ben-David, Williams & Kentor, 2003). Nyeri pada pasien pasca
pembedahan ortopedi ORIF dilaporkan berada pada level severe (Chelly, Ben-
David, Williams & Kentor 2003). Pemberian analgesik bukanlah menjadi pemegang
kontrol utama untuk mengatasi keluhan nyeri pasien karena memiliki efek samping
yang akan menambah lama waktu pemulihan.
Asuhan keperawatan yang berdasarkan respon pasien memberi peluang untuk
mengembangkan penelitian keperawatan. Penelitian terapi musik pada pasien
pembedahan abdomen yang dilakukan oleh Good, Anderson, Ahn, Cong, dan
Stanton-Hicks pada tahun 2005 di USA dengan menggunakan metode Randomized
Controlled Trial (RCT) menunjukkan hasil sebanyak 16-40% lebih besar penurunan
nyerinya pada kelompok intervensi daripada kelompok control. Penelitian lainnya
menggunakan terapi musik pada setting klinik telah menunjukkan bahwa terapi
musik merupakan terapi nonfarmakologi yang efektif untuk menurunkan nyeri
pasien post operasi ginekologi pada perempuan di Korea (Good & Ahn, 2008).
Terapi musik juga telah terbukti efektif menurunkan nyeri pada pasien post
pembedahan hernia ingunalis di Swedia (Nilsson, 2003). Terapi musik sangat
berkembang di dunia sebagai terapi nonfarmakologis pada post pembedahan karena
terbukti efektif menurunkan nyeri, mengurangi penggunaan analgesia dan efek
sampingnya, memperpendek lama hari rawat, kepusan pasien meningkat, dan secara
menurunkan biaya.
Peran perawat sebagai innovator yaitu membuat proyek inovasi Clinical Practice
Guidelines (CPG) berupa sosialisasi penerapan clinical practice guideline pada
pasca pembedahan ekstremitas bawah di lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Fatmawati Jakarta. Inovasi ini memberi arahan dan memudahkan para klinisi dalam
pengambilan keputusan untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien pasca
operasi ekstremitas bawah. Proyek ini dibuat berdasarkan kebutuhan ruangan untuk
menyiapkan perawat ortopedi yang kompeten. Dukungan dari manajemen RSUP
Fatmawati untuk meningkatkan kompetensi perawat merupakan kekuatan bagi
praktikan untuk menerapkan CPG.
Berdasarkan uraian di atas Penulis melakukan kajian lebih lanjut dalam “Analisis
praktik residensi keperawatan medikal bedah :Penerapan teori Self Care Orem pada
pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal di Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta”
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi
Mahasiswa Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, khususnya peminatan
Muskuloskeletal menggunakan pendekatan teori keperawatan self care Orem dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem muskuloskeletal di
Gedung Prof. Solearto lantai 1 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunakan Teori
Model Self Care Orem pada pasien gangguan sistem muskuloskeletal terutama
pasien fraktur di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.
1.2.2.2 Melakukan analisis terhadap kegiatan inovasi keperawatan pasien dengan
gangguan sistem musculoskeletal di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP
Fatmawati Jakarta.
1.2.2.3 Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien
gangguan sistem muskuloskeletal terutama pasien fraktur di Lantai 1 Gedung Prof.
Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan
dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada
pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal khususnya fraktur dengan
pendekatan teori Model Self Care Orem.
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar
pengambilan keputusan klinik berdasarkan Evidence Based Nursing Practice pada
kasus gangguan sistem muskuloskeletal khususnya fraktur.
1.3.2 Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah
tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor,
agen perubahan atau agen inovasi, penasihat klien, peneliti, pelindung, dan manajer
kasus khususnya dalam bidang keperawatan ortopedi.
1.3.3 Bagi pendidikan keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensi–intervensi
keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan muskuloskeletal berdasarkan evidence based practice.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Fraktur
2.1.1 Definisi
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sebagian,
baik yang bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2012). Price dan Wilson (2006)
mendefinisikan fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik.
Pengertian fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar daripada yang mampu diabsorpsi olehnya. Meskipun tulang
patah, jaringan lunak disekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon,
kerusakan saraf dan pembuluh darah.
Berdasarkan definisi-defini diatas, dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang. Patah yang dimaksud bisa seluruhnya ataupun
sebagian akibat stressor yang mengenai tulang lebih besar dari daya serap tulang itu
sendiri, dimana kerusakan yang terjadi tidak hanya berakibat pada tulang itu sendiri,
tetapi juga melibatkan kerusakan jaringan disekitarnya seperti pembuluh darah,
pembuluh saraf, sendi, maupun otot.
2.1.2 Etiologi
Helmi (2012) membagi etiologi fraktur menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Fraktur traumatik, disebabkan oleh trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan
kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut. Misalnya
akibat jatuh, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas
9 Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
b. Fraktur patologis, disebabkan oleh kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Tuang seringkali mmenunjukkan penurunan densitas.
Misalnya akibat osteosarkoma atau kanker tulang baik primer maupun metastasis,
osteoporosis, osteomalasia, atau pada penyakit Paget.
c. Fraktur stress, disebabkan oleh trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu. Misalnya kejadian fraktur kompresi pada vertebrae, juga cedera pada atlet.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), manifestasi klinik fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Deformitas akibat bergesernya fragmen tulang atau pemendekkan tulang yang juga
mengakibatkan ekstremitas tidak mampu berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada tempat melekatnya di tulang.
c. Krepitasi adalah bunyi derik pada tulang yang patah akibat gesekan antar fragmen
yang tidak lagi menyatu.
d. Edema dan perubahan warna serta temperature local terjadi akibat trauma dan
perdarahan.
2.1.4 Komplikasi
Secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan komplikasi lama
(Helmi, 2011; Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2002 ).
a. Komplikasi awal, terjadi segera setelah terjadi fraktur. Komplikasi awal yang bisa
terjadi pada fraktur antara lain : syok, kerusakan arteri, sindroma kompartemen,
infeksi, avaskular nekrosis, sindrom emboli lemak. Keadaan-keadaan ini harus
segera ditangani karrena bisa mengakibatkan kehilangan fungsi ekstremitas,
kehilangan ektremitas, bahkan bisa menyebabkan kematian.
b. Komplikasi lama atau komplikasi lanjut, terjadi setelah beberapa buan atau tahun
setelah kejadian fraktur. Yang termasuk komplikasi lanjut antara lain : komplikasi
pada sendi (kaku sendi atau penyakit degenratif pada sendi pasca trauma),
komplikasi penyatuan tulang (mal union, non union, delayed union), komplikasi
pada otot (atrofi otot atau rupture tendon), dan komplikasi pada syaraf (fibrosis
intraneural).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
2.1.5 Tahap penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan tulang dapat dilihat pada pemeriksaan radiologis rontgent
(Helmi, 2012). Tahap-tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 fase (Apley &
Solomon, 1995; Smeltzer & Bare, 2002; Price & Wilson, 2006; Black, 2009)
a. Fase inflamasi, yaitu respon tubuh terhadap cedera yang ditandai dengan adanya
perdarahan dan pembentukan hematoma pada area tulang yang mengalami patah.
Ujung fragmen tulang akan mengalami penurunan vaskularisasi. Tempat tulang
yang cedera akan diinvasi oleh makrofag yang akan membersihkan area tersebut
dari zat asing. Proses inflamasi terjadi pada tahap ini yanga akan berlangsung
selama beberapa hari.
b. Fase proliferasi sel, sekitar lima hari setelah fase inflamasi, hematoma akan
mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin pada adarah dan
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblas.
Fibroblas dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan se periosteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan
tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh
gerakan mikrominimal pada tempat patah tulang. Namun gerakan yang berlebihan
akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan
potensial elektronegatif.
c. Fase pembentukan tulang dan penulangan kalus (osifikasi), pada fase ini
pertumbuhan jaringan tulang berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk
kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga
sampai dengan empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan
atau jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tidak lagi bisa digerakkan.
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan 2-3 minggu setelah patah tulang
melalui proses penulangan endokondrial. Pada patah tulang panjang orang dewasa
normal penulangan memerlukan waktu 3-4 bulan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
d. Fase remodeling, fase ini merupakan tahapan akhir dari perbaikan fraktur. Jaringan
mati akan diambil dan reorganisasi tulang baru ke sususnan struktur sebelumnya.
Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung
pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan stress
fungsional pada tulang.
2.1.6 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur
Tulang yang fraktur mempunyai tahapan dalam penyembuhannya. Terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan fraktur, baik yang mempercepat
maupun yang menghambat (Black, 2009), yaitu :
a. Factor yang mempercepat penyembuhan fraktur, antara lain : immobilisasi fragmen
tulang yang patah, kontak fragmen tulang maksimal, asupan darah yang memadai,
nutrisi yang baik, latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang, hormon-
hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolic, potensial
listrik pada patahan tulang.
b. Factor yang menghambat penyembuhan tulang, antara lain : trauma local ekstensif,
kehilangan tulang, imobilisasi tak memadai, rongga atau jaringan di antara fragmen
tulang, infeksi, keganasan local, penyakit tulang metabolic, radiasi tulang, nekrosis
avaskuler, fraktur intraartikuler, usia, dan konsumsi kortikosteroid.
2.2 Konsep ORIF
Pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal umumnya harus menjalani
pembedahan untuk mengkoreksi masalahnya (Maher, Salmen & Pellino, 2002; Smeltzer
& Bare, 2002). Sasaran kebanyakan pembedahan adalah memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan gerakan, stabilisasi, mengurangi nyeri, mencegah disabilitas, sampai
dengan mengembalikan fungsi dan peran pasien sebelumnya (Hoeman, 1996; Maher,
Salmond & Pellino, 2002). Prosedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi
reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF : Open Reduction Internal Fixation) atau
dengan fiksasi eksterna untuk pasien dengan fraktur yang tidak stabil (Apley &
Solomon, 1995; Salter, 1999; Maher, Salmen & Pellino, 2002).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Pada kondisi garis patah stabil fiksasi bisa dengan gips saja (Apley & Solomon, 1995).
Artroplasti atau pergantian sendi dilakukan jika kerusakan sampai ke sendi, juga
fasiotomi, debridement, sampai tindakan amputasi adalah merupakan pilihan
penanganan fraktur yang memiliki masalah trauma sangat massif (Maher, Salmond &
Pellino, 2002)..
Indikasi dilakukannya prosedur pembedahan Open Reduction and Internal Fixation
adalah pasien yang mengalami fraktur atau patah tulang. Pengertian fraktur menurut
Smeltzer dan Bare (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada
yang mampu diabsorpsi olehnya. Meskipun tulang patah, jaringan lunak disekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah (Brotzman,
1996; Horlocker, 2006).
Prinsip penatalaksanaan pasien fraktur menurut Apley dan Solomon (1995) dikenal
sebagai 4R. yaitu :
a. Rekognisi : Suatu cara mengenali, mendiagnosis, dan menilai fraktur.
b. Reduksi : Suatu cara merestorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang bisa
diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal, dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas, serta perubahan pada sendi seperti osteoarthritis di kemudian
hari.
c. Retensi : Suatu cara meimmobilisasi bagian yang fraktur dan dilakukan setelah
fraktur direduksi. Fragmen tulang harus dipertahankan dalam posisi sejajar.
d. Rehabilitasi : Suatu program mengembalikan aktivitas fungsional pasien secara
keselurahan dengan semaksimal mungkin
Terapi-terapi pembedahan ortopedi menurut Smeltzer dan Bare (2002) biasanya
meliputi yang berikut:
a. Reduksi tertutup, dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang yang patah ke
posisinya sehingga ujung fraktur saling berhubungan (bisa dengan gips atau traksi).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
Tindakan Reduksi tertutup lainnya adalah graft tulang atau cangkok tulang,
artroplasti, penggantian sendi baik sebagian maupun total, dan eksisi fibrokartilago
sendi yang rusak (menisektomi), fasiotomi, transfer tendon dan amputasi (Apley &
Solomon, 1995; Helmi, 2012).
b. Reduksi terbuka adalah melakukan reduksi dan setelah membuat kesejajaran tulang
yang patah setelah terlebih dulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah. Reduksi terbuka bisa dengan fiksasi ekternal atau fiksasi internal.
Fiksasi eksternal (FE) adalah dipasangnya alat yang dapat memberikan dukungan
stabil untuk fraktur kominutif dan atau dengan kerusakan jarringan lunak yang
hancur yang masih dapat ditangani (Hoeman, 1996; Helmi 2012). Alat ini kurang
nyaman untuk pasien (Hoeman, 1996).
Fiksasi internal atau Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) dengan
melakukan reduksi terbuka dan membuat kesejajaran tulang yang patah. Fiksasi
interna adalah stabilisasi tulang yang fraktur dengan menggunakan alat-alat stress
sharing atau stress shielding screwt, plate, Kirschner Wire (K-wire), pin, nail, atau
pemasangan yang merupakan kombinasi dua atau lebih dari alat-alat tersebut
(Brotzman, 1996; Hoppenfeld & Murthy, 2002).
Operasi ORIF memiliki keuntungan yaitu reduksi yang akurat, stabilisasi reduksi
tertinggi, pemeriksaan struktur neurovaskuler lebih mudah, berkurangnya
kebutuhan alat mobilisasi eksternal, penyatuan sendi yang berdekatan dengan
tulang yang patah lebih cepat, rawat inap lebih singkat, dan waktu pemulihan lebih
cepat (Brotzman, 1996; Maher, Salmond, & Pullino, 2002). Antibiotik yang
adekuat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi (Apley & Solomon, 1995;
Horlocker, 2006).
2.3 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi ORIF
Asuhan keperawatan pada pasien yang menjalani pembedahan ortopedi adalah
suatu layanan asuhan yang unik. Perawat memiliki peran yang sangat vital atas
ketidakberdayaan klien mengatasi masalahnya. Kegiatan perioperatif yang
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
dilakukan perawat berlangsung kontinu sejak pre operatif, intra operatif, post
operatif, hingga waktu pemulihan pasien (Maher, Salmond &Pullino, 2002)
Proses keperawatan pada pasien dimulai dari pengkajian riwayat pasien,
menentukan masalah, menetapkan diagnose keperawatan, merencanakan intervensi,
serta melakukan implementasi dan evaluasi (Smeltzer & Bare, 2002; Maher,
Salmond & Pullino, 2002).
2.3.1 Pengkajian
Pada pasien dengan gangguan sistem musculoskeletal yang menjalani prosedur
pembedahan pengkajian post operasi adalah kesinambungan dari pengkajian pre
operasi. Setelah pembedahan ortopedi, perawat tetap melanjutkan rencana perawatan
pre operasi, melakukan menyesuaikan terhadap status pasca pembedahan terbaru.
Perawat mengkaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan,
promosi kesehatan, mobilitas dan konsep diri.
Trauma skeletal dan pembedahan yang dilakukan pada tulang dengan melibatkan
kerusakan jaringan pada sendi, otot, pembuluh darah, pembuluh syaraf, sampai
kerusakan jaringan integument (Smeltzer & Bare, 2002; Chelly, Ben-David,
Williams, & Kentor, 2003). Perfusi jaringan harus dipantau ketat karena edema dan
perdarahan ke dalam jaringan dapat memperburuk peredaran darah dan
mengakibatkan sindrom kompartemen. Pengkajian fungsi respirasi, gastrointestinal
dan perkemihan memberikan data untuk memperbaiki fungsi sistem tersebut.
Anestesi umum, analgesic dan immobilitas dapat menyebabkan kerusakan fungsi
berbagai sistem tersebut. Selain itu, perawat harus memperhatikan mengenai
pengkajian dab pemantauan pasien mengenai potensial masalah yang berkaitan
dengan pembedahan. Komplikasi pada paru berupa ateletaksis dan pneumonia sering
terjadi dan mungkin berhubungan dengan penyakit paru sebelumnya, anestesi,
penurunan aktivitas yang bisa terjadi karena nyeri, analgetik, usia lanjut. Pengkajian
tanda vital, derajat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, bunyi napas, bising usus,
keseimbangan cairang, nyeri, adalah data-data yang harus didokumentasikan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
Menurut Black dan Hawks (2009) data yang perlu dikaji secara sistematis adalah
sebagai berikut :
a. Keluhan utama, data umum pasien, riwayat pemakaian obat, adanya alergi,
pembedahan sebelumnya, dan pengetahuan pasien terhadap persiapan tindakan
pembedahan, yang meliputi persiapan fisik dan mental serta prognosis tindakan
keperawatan selanjutnya dalam mobilisasi dini, latihan pergerakan pasca
pembedahan.
b. Riwayat penyakit sistemik seperti, liver, kardiovaskuler, diabetes, paru-paru, dan
masalah infeksi gigi, infeksi saluran kemih, dan infeksi lainnya. Osteomielitis dapat
terjadi melalui penyebaran hematologi. Disabilitas permanen dapat terjadi akibat
infeksi yang terjadi pada tulang dan sendi, infeksi yang ada harus diobati dulu
sebelum pembedahan ortopedi terencana.
c. Penampilan fisik umum, postur, gaya berjalan, kesimetrisan tubuh, deformitas,
keterbatasan sendi, adanya massa, warna kulit, ekimosis, jejas pada kulit, nyeri
tekan, krepitus, pemakaian alat fiksasi atau alat bantu.
d. Integritas fungsi meliputi keterbatasan mobilitas, keterbatasan fungsi
neuromuskuler. Perubahan sensori-persepsi, pengkajian
motorik dan deficit sensori sebelum induksi.
neurovaskuler, fungsi
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Smeltzer dan Bare (2002) menetapkan diagnose keperawatan utama pasien setelah
pembedahan ortopedi sesuai urutan prioritas adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan
immobilisasi
b. Potensial terhadap perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah.
c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur pembedahan, adanya alat fiksasi
d. Perubahan citra diri, harga diri, atau kinerja peran yang berhubungan dengan
dampak masalah musculoskeletal
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
2.3.3 Intervensi
Tujuan utama pasien setelah pembedahan ortopedi dapat meliputi pengurangan
nyeri, perfusi jaringan yang adekuat, pemeliharaan kesehatan, peningkatan
mobilitas, perbaikan konsep diri, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare,
2002). Intervensi perawatan sesuai dengan diagnose yang telah ditegakkan antara
lain :
a. Meredakan nyeri
Setelah pembedahan ortopedi, nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma, dan
spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan. Tingkat nyeri pasien dan
respon terhadap upaya terapeutik harus dipantau ketat. Nyeri yang terus bertambah
dan tidak dapat dikontrol perlu dilaporkan ke dokter ahli untuk dievaluasi. Harus
diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Bila
pemberian analgesic per oral atau intramuscular diberikan pada kondisi hanya jika
diperlukan. Obat diberikan berdasarkan pencegahan dalam interval yang ditentukan
bila awitan nyeri dapat diramalkan (Smeltzer & Bare, 2002).
Pendekatan farmakologi dan nonfarmakologi diperlukan untuk penatalaksanaan
nyeri (Perry & Potter, 2006). Peninggian ekstremitas yang dioperasi dan kompres
dingin bisa dilakukan untuk membantu mengontrol nyeri dan mengurangi edema
(Smeltzer & bare, 2002). Perawat akan menyadari bahwa tehnik perubahan posisi,
relaksasi, distraksi, guided imagery, dan terapi modalitas lainnya diperlukan untuk
membantu mengurang dan mengontrol nyeri pada pasien (Pulido, Hardwick,
Munro, May & Dupies-Rosa, 2010).
b. Memelihara perfusi jaringan adekuat
Rencana perawatan pre operasi terus dilanjutkan. Perawat harus memantau status
neurovaskuler bagian badan yang dioperasi dan melaporkan segera kepada dokter
bila ditemukan adanya gangguan perfusi jaringan. Pasien diberi penyuluhan agar
melakukan latihan mobilisasi dan latihan pergelangan atau sendi (Black & Hawks,
2009). Perhatikan juga indikasi adanya pressure ulcer, peningkatan nutrisi,
pemenuhan kebersihan diri sebagai upaya juga memperbaiki perfusi.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
c. Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilisasi merupakan keluhan yang paling banyak menyertai setelah nyeri, dan
keluhan takut untuk bergerak juga disertai keluhan nyeri pada pembedahan ortopedi
(Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2004). Hubungan
terapeutik dapat membantu pasien berpartisipasi dalam aktivitas yang dirancang
untuk memperbaiki tingkat mobilisasi.
d. Peningkatan konsep diri
Perawat dan pasien menyusun rencana yang akan dicapai. Peningkatan aktivitas
perawatan diri dalam batas program terapeutik dan pengembalian peran dapat
membantu mengenali kembali kemampuannya dan meningkatkan harga diri,
identitas diri, dan kinerja peran. Penerimaan perubahan citra tubuh dapat dibantu
dengan dukungan yang diberikan oleh perawat, keluarga dan orang lain (Smeltzer
& Bare, 2002).
2.4 Konsep Teori Keperawatan
Teori diperlukan karena merupakan landasan dan analissi berpikir. Menurut Orem,
asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setip individu mempelajari
kemampuan untuk merawat diri sendiri ehingga membantu individu memenuhi
kebutuhan hidupnya, memelihara kesehatan dan kesejahteraan, teori ini dikenal
sebagai teori self care (Orem, 2001). Dalam paradigma keperawatan terdapat empat
konsep utam yaitu manusia, sehat-sakit, lingkungan dan keperawatan.
Beberapa penekanan pandangan dari Orem berkaitan dengan manusia, yaitu:
Manusia sebagai kesatuan unit fungsi biologis, memerlukan self care secara
mandiri, keadaan normal self care terpenuhi dan kondisi sakit self care individu
akan membutuhkan bantuan, manusia mempunyai kemampuan untuk berkembang
dan belajar, juga dipengaruhi oleh kondisi mental, sosial, budaya dan emosi. Secara
biologis manusia merupakan satu kesatuan unit dan merupakan satu sistem yang
melakukan fungsi biologisnya guna terpenuhi kebutuhan self care-nya.
Setiap manusia dalam kondisi normal/sehat dapat melakukan pemenuhan kebutuhan
sehari-harinya, tetapi pada kondisi sakit manusia mengalami gangguan dalam
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
kebutuhan sehari-harinnya atau ketidakmampuan melakukan kebutuhan sehari-
harinya, Orem memperjelas bahwa kebutuhan adanya kebutuhan psikologis dan
biologis, seperti kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktifitas dan lainnya.
Didalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya manusia/individu akan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari, karena kebutuhan-kebutuhan yang disampaikan oleh
teori orem menyangkut kebutuhan dasar dan kebutuhan yang bersifat komplek. Pada
konseptual model Orem penekanannya lebih pada kemampuan atau kemamdirian
individu dalam memenuhi kebutuhan perawatan sehari-harinya sedangkan dalam
konsep ADL adalah bentuk aktivitas yang dilakukan manusia/individu dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dan kedua kondisi ini saling berkaitan dan
dapat diukur dan dinilai apakah seseorang mampu melakukan aktifitasnya dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada dimensi kebutuhan psikis/ mental individu dapat dilihat pada proses
kemampuan manusia untuk berkembang dan belajar. Pemenuhan kebutuhan mental
individu dilihat apakah manusia/individu sudah mempunyai kemampuan untuk
berkembang dan belajar disini ditekankan kearah maturasitas atau kematangan
individu dalam melakukan ADL.baik dari usia bayi sampai usia lanjut.
Sementara domain lingkungan menurut Orem berkaitan dengan bagaimana suatu
lingkungan mempengaruhi individu dalam memenuhi kebutuhan self care-nya,
dikatakan lingkungan pendukung (positif) dan lingkungan menghambat (negatif).
Ini mengambarkan bahwa penekanan pada lingkungan yang bersifat eksternal dan
internal tubuh, baik yang sifatnya fisik, kimia, biologi dan sosial dan lingkungan
internal merupakan bentuk gangguan yang berada dalam tubuh, seperti kondisi sakit
akibat stoke, kelemahan dan sebagainya. Sebagai contoh untuk memenuhi
kebutuhan oksigen orang akan bernafas cepat, belum tentu orang tersebut sakit, ada
proses kompensasi tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigennya.
Kemampuan dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari dipengaruhi oleh
lingkungan-lingkungan tersebut baik internal maupun exsternal, kondisi inilah yang
perlu dinilai atau dikaji sehingga lingkungan positif maupun negatif dapat diketahui
sehingga dalam memberikan bantuan kebutuhan hidup sehari-hari dapat terarah dan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
terencana dengan memanfaatkan kondisi lingkungan positif sehingga pasien dapat
beraktivitas dengan aman dan nyaman.
Orem menjabarkan konsep sehat dan kesehatan berkaitan dengan fungsi tubuh yang
terintegritasi dalam memenuhi kebutuhan self care-nya, bila seseorang mampu
memenuhi kebutuhan self care dikatakan sehat dan dapat ditingkatkan menjadi
sejahtera, tetapi bila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhannya dikatakan
mengalami sakit baik fisik maupun mental. Sehat menurutnya hasil dari individu
menghadapi dan mengatasi stimulus, tuntutan kebutuhan dan dorongan serta
keinginan. Bila seseorang tidak dalam kondisi sehat maka kebutuhan self care-nya
akan terganggu demikian juga bentuk Aktivitas pemenuhan sehari-hari, hal Ini
menunjukan bentuk integritas dari motivasi individu untuk melakukan ADL dalam
memenuhi kebutuhan self care. Dan dengan adanya motivasi ini individu dapat
mampu mencari dan memanfaatkan segala sumber daya dan kekuatannya dalam
memenuhi kebutuhan self care-nya dengan ADL yang mampu dilakukannya.
Kondisi sehat dapat dikatakan sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan self
care dan kemampuan melakukan ADL, bila kebutuhan self care meningkat maka
aktivitas atau ADL juga akan meningkat, bila kebutuhan self care menurun maka
kemampuan dalam melakukan ADL juga akan menurun dan pada kondisi inilah
pasien/individu memerlukan bantuan.
Penekanan konseptual model Orem tentang keperawatan adalah keperawatan
merupakan bentuk pelayanan bantuan sukarela yang spesifik dari sekelompok orang
yang telah memperoleh pendidikan keperawatan. Aktifitas perawat merupakan
produk dan hasil dari pemenuhan kebutuhan self care pasien. Sedangkan sasaran
pelayanan keperawatan terdiri dari individu yang mengalami sakit, kelemahan, usia
lanjut dan kecacatan yang mana kondisi tersebut menunjukan kondisi penyimpangan
kebutuhan self care..
Pada kondisi self care deficit individu/pasien akan terganggu pula pemenuhan
ADLnya, maka tugas perawat adalah memberi bantuan terhadap ADL
pasien/individu sesuai tingkat ketidakmampuannya baik bantuan secara totally,
partialy dan Suportif/edukatif.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
Dengan demikian aplikasi dalam asuhan keperawatan dapat dilaksanakan pada
setiap langkah proses keperawatan yang dimulai dari tahap pengkajian, perumusan
diagnosa, perencanaan dan evaluasi, menggunakan self care deficit dan bentuk
ketidakmampuan melakukan ADL, sebagai berikut:
1. Tahap Pengkajian
Berfokus pada bentuk self care deficit dan ketidakmampuan melakukan ADLnya.
Penyimpangan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti pemenuhan akan
oksigen, eliminasi, makan dan minum dan lain-lain harus dikaji secara mendetail.
Penting pula dilakukan pengkajian pada bentuk ketidakmampuan dalam melakukan
aktifitasnya memenuhi kebutuhan dasar dan intrumentnya (komplek), karena dengan
pengkajian yang detail inilah akan didapat bentuk ketidakmampuan akan kebutuhan
sehari-hari pasien/individu, termasuk juga penting dikaji beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi bentuk ketidakmmapuan melakukan aktifitas, seperti sosial,
lingkungan, fungsi kognitif, kondisi fisik dan mental.
Karakteristik perawatan diri secara normal, berkaitan dengan kemampuan dan
kondisi normal dalam melakukan fungsi perkembangan dan bagaimana berpakaian,
makan, dan toileting tersebut bahwa ketidakmampuan pasien/individu dalam
melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan perawatan diri sendiri
dipengaruhi dari dalam diri pasien/individu tersebut seperti, umur, jenis kelamin,
kondisi mental/psichological termasuk prilaku, budaya, emosi, kebiasaan dan status
perkawinannya, sedangkan dari luar diri pasien/indivu, diantarannya: kekuatan fisik,
ability, bentuk penyimpangan kesehatan yang spesific, lamanya masalah yang
terjadi.
Semua kondisi-kondisi tersebut harus dikaji dengan teliti dan komprehensif agar
dalam melakukan intervensi keperawatan dapat direncanakan dengan baik. Tehnik-
tehnik dalam mendapatkan pengkajian dapat dilakukan dengan wawancara,
observasi langsung pasien dan pemeriksaan fisik serta fungsi kognitifnya.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Pada banyak difinisi dinyatakan ketidakmampuan dalam melakukan perawatan
diri/self care berhubungan erat dengan kemampuan dalam melakukan ADL dan
dalam pengkajian sudah terdapat beberapa cara dalam menilai atau
mengidentifiakasi baik bentuk self care dan bentuk ADL, hal terpenting dalam
melakukan penilaian apabila berkaitan dengan self care maka terdapat tingkatan dari
tingkat 0 – tingkat 4, dimana tingkat 4 (level 4) didiskripsikan bahwa pasien dapat
melakukan semua aktivitas self care secara mandiri. Sedangkan tingkat 0 (level 0)
pasien tidak dapat melakukan self care secara mandiri (dibantu penuh) (Craven &
Hirnle, 2002). Apabila mengkaji/penilaian tentang ADL, yaitu semua aktivitas
pemenuhan sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, toileting dan eliminasi dapat
dilhat dari tingkat independensi dan dependent pasien, sebagai contoh dalam
memenuhi kebutuhan toileting, pasien mengalami kelumpuhan maka perawat
membantu dalam menyiapkan dan memberi penjelasan tentang pemakaian bedpan.
2. Tahap Perumusan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah defisit self care, perubahan
dalam melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti self care deficit:
kebersihan diri, berpakaian, eliminasi dan lain-lain. Sedangkan ketidakmampuan
melakukan aktifitas hidup sehari-hari baik yang bersifat total care, partial care
maupun berbentuk suportif care. Bahwa ini menjelaskan inti dari bentuk diagnosa
keperawatan yang dapat muncul adalah tingkat ketergantungan pasien/individu
dalam memenuhi kebutuhan dan perawatan dirinya berbeda-beda.
3. Tahap Perencanaan
Perencanaan keperawatan meliputi tindakan menetapkan tujuan perawatan yang
sesuai dengan tingkat ketidakmampuan pasien/individu dalam melakukan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Rencana keperawatan diformulasikan oleh
perawat dan pasien/individu bersama-sama dan harus diimplementasikan untuk
mendukung pasien menuju kemandiriannya
4. Tahap Implementasi
Implementasi keperawatan dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan
berdasarkan tingkat ketidakmampuan pasien dalam melakukan aktivitasnya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik ketidakmampuan yang bersifat menyeluruh
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
(totally), Sebagian (partially) dan bentuk suportif/edukasi. Bentuk implementasi
disesuaikan dengan kondisi-kondisi tersebut agar kerja perawat dapat dilakukan
seoptimal mungkin.
Dalam melakukan implementasi keperawatan, perawat harus melibatkan
pasien/individu untuk berpartisipasi didalamnya agar proses memandirikan
individu/pasien dapat tercapai sesuai tujuan yang diharapkan. Bila bentuk
implementasi tidak sesuai dengan masalah keperawatan yang ada akan menghambat
proses kemandirian dan kontinuitas asuhan keperawatan yang diterima
pasien/individu karena rasa ketergatungan yang terlalu tinggi pasien/individu
terhadap perawat menjadikan motivasi untuk proses kemandiriannya tidak terjadi.
Dengan kemampuan pasien mendeteksi ketidakmampuan dalam beraktivitas untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari maka bentuk bantuan/implementasi dapat sesuai
tujuan yang diharapkan sesuai tingkatan ketergantungannya. Bentuk implementasi
yang dapat dilakukan yaitu melakukan tindakan langsung terhadap ketidakmampuan
dalam memenuhi perawatan diri, memberikan pendidikan kesehatan, membimbing
dan memotivasi pasien dan keluarga dan yang penting adalah memfasilitasi
lingkungan yang dapat menunjang pemenuhan self care dan aktivitasnya.
5. Tahap Evaluasi
Evaluasi terhadap terpenuhinya bantuan dan kebutuhan pasien/individu,
diantaranya: mempertahankan kondisi sehat, sehat dari sakit atau kebutuhan self
care terpenuhi, dan kemampuan pasien/individu meningkat dalam melakukan ADL
sesuai harapan sehingga terhindar dari kecacatan dan kematian. Orem tidak
menuliskan secara spesifik mengenai evaluasi dalam bukunya, akan tetapi ia
mengemukakan bahwa pasien membutuhkan kemandirian dalam hal mengatasi
masalah kesehatannya. Oleh karena itu evaluasi difokuskan pada: Kemampuan
pasien mempertahankan kebutuhan self-care, Kemampuan pasien untuk mengatasi
defisit perawatan diri dan sampai sejauh mana perkembangan kemandirian pasien,
Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri anggota
keluarganya yang tidak mampu.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
Orem mengemukakan tiga teori yang saling berhubungan dan menjadi penting
dalam penggunaa proses keperawatan. Pusat dari ketiga teori tersebut adalah fungsi
manusia dalam mempertahankan kehidupan, kesehatan dan self care. Tiga teori
tersebut adalah teori Self Care, Self Care Deficit dan teori Nursing System, yang
mencakup enam konsep sentral yaitu, self care, self care agency, therapeutic self
care demand, self care deficit, nursing agency, nursing system dan conditioning
factor. Berikut penjelasannya (Tomey & Alligood, 2007).
2.4.1 The Self Care Theory
Self care adalah penampilan dari aktifitas individu dalam melakukan sendiri
dalam mempertahankan hidup, sehat dan kesejahteraannya. Self Care yang
dilakukan secara efektif dan menyeluruh dapat membantu menjaga integritas
struktur dan fungsi tubuh serta berkontribusi dalam perkembangan individu.
Memahami teori self care merupakan dasar yang penting untuk memahami
konsep self care, self care agency, basic conditioning factor, therapeutic self
care demand (George, 1995). Self care adalah fungsi pengaturan manusia
dimana individu harus melakukan atau dilakukan pada individu tersebut
(dependent care) untuk memberikan materi/kondisi untuk mempertahankan
kehidupan, memelihara fungsi fisik, psikis dan tumbuh kembang yang normal
dengan kondisi yang esensial bagi kehidupan, dan integritas fungsional dan
pengembangan (Orem, 2001).
Self care agency adalah dimana seseorang mampu melakukan self care.
Kemampuan individu untuk merawat diri sendiri dipengaruhi oleh “conditioning
factor”, meliputi usia, gender, tahap perkembangan, tingkat kesehatan, orientasi
sosiokultural, system pelayanan kesehatan, system dalam keluarga, gaya hidup
dan lingkungan serta kecukupan tersedianya sumber daya. Therapeutic self care
demand yang merupakan totalitas dari tindakan self care perlu dilakukan untuk
menemukan atau mengetahui kebutuhan self care yang spesifik bagi individu.
Keberhasilan dari therapeutic self care menunjukkan bahwa hasil dari tindakan
yang dipilih sudah terepeutik. Therapeutic self care demand menjadi tujuan
akhir dari self care yaitu mencapai dan mempertahankan kesehatan dan
kesejahteraan hidup. Perawat harus dinamis dan menggunakan pengembangan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
intelektual dan persepsi untuk menentukan therapeutic self care demand
seseorang. Therapeutic self care demand bersifat spesifik untuk tiap-tiap
individu tergantung waktu, tempat dan situasi (George, 1995).
Konsep yang menyatu dalam teori self care adalah self care requisites. Orem
membagi self care requisites dalam 3 kategori, meliputi : universal self care
requisites, development self care requisites, dan health deviation self care
requisites.
1. Universal self care requisites terdiri dari : 1) mempertahankan asupan udara,
air dan makanan yang cukup, 2) Proses eliminasi dan pengeluaran sisa
metabolism, 3) Mempertahankan keseimbangan solitude dan interaksi social,
5) pencegahan jenis resiko yang terjadi, mengambil tindakan untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan, 6) Meningkatkan fungsi
individu dan mengembangkan diri dalm kelompok social sesuai situasi yang
normal, meliputi : pengembangan dan mempertahankan konsep diri yang
realistis, mengambil tindakan untuk menetapkan perkembangan manusia
yang spesifik, mengambil tindakan untuk mempertahankan dan
meningkatkan integritas struktur dan fungsi manusia.
2. Development self care requisites
Development self care requisites adalah bagaimana mempelajari proses
kehidupan, pendewasaan, dan pencegahan terhadap kondisi yang merusak
kedewasaan atau dapat mengurangi efek2 tersebut. Development self care
requisites merupakan self care sesuai tahap perkembangan manusia mulai
dari fetal termasuk kelahiran, neonatal, infant, anak-anak dan remaja, serta
dewasa. Kemampuan perawatan diri mandiri atau tergantung sesuai
tahapannya sangat mempengaruhi proses perkembangan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan kesejahteraan.
3. Health deviation self care requisites
Health deviation self care requisites adalah bagaimana memenuhi kebutuhan
manusia pada kondisi sakit, terluka, gangguan struktur dan fungsi manusia
atau efek dari pengobatan dan tindakan. Penyakit atau luka tidak hanya
berpengaruh pada mekanisme struktur spesifik secara psikologis, tetapi juga
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
menyatu dengan fungsi kemanusiaan. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah: 1) Tindakan medis yang sesuai dengan pemaparan agen biologi atau
yang spesifik atau kondisi lingkungan yang berkaitan dengan patologi
manusia atau ketika hal itu mempengaruhi fisiologi dan psikologi. 2)
Dampak hasil dan akibat kondisi dan status keadaan termasuk dampaknya
pada perkembangan. 3) Tindakan diagnostic dan rehabilitasi yang secara
efektif mencegah patologi, untuk mengatasi keadaan patologi itu sendiri,
untuk mengatur agar terintegrasi dengan fungsi, untuk memperbaiki kelainan
atau abnormalitas atau untuk kompensasi ketidakmampuan. 4) Modifikasi
konsep diri dan self image dalam penerimaan seseorang terhadap status
kesehatannya.
2.4.2 Self Care Deficit Theory
Teori ini menjelaskan kapan keperawatan dibutuhkan, yaitu ketika berkurangnya
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan self care atau ketergantungan
kemampuan merawat diri. Membina dan menjaga hubungan perawat-pasien baik
individu, keluarga atau kelompok sampai pasien pulang. Orem mengidentifikasi
lima metode untuk memberikan asuhan keperawatan, antara lain :
1. Memberikan pelayanan langsung dalam bentuk tindakan keperawatan
2. Memberikan arahan dan memfasilitasi kemampuan pasien dalam memenuh
kebutuhannya secara mandiri.
3. Memberikan dorongan secara fisik dan psikologik agar pasien dapat
mengembangkan potensinya untuk melakukan perawatan mandiri.
4. Memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung
perkembangan pribadi pasien untuk meningkatkan kemandirian dalam
perawatannya.
5. Mengajarkan kepada pasien tentang prosedur dan aspek-aspek tindakan agar
pasien dapat melakukan perawatan secara mandiri.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat pada saat memberikan
pelayanan keperawatan dapat digambarkan sebagai domain keperawatan.
Orem (1991) mengidentifikasi lima area aktifitas keperawatan, yaitu:
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
1. Membina dan menjaga hubungan perawat-klien (individu, keluarga dan
kelompok) sampai klien pulang.
2. Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui
keperawatan.
3. Berespon atas pertanyaan, keinginan dan kebutuhan klien untuk kontak
dengan perawat.
4. Menjelaskan dan memberikan bantuan secara langsung dalam bentuk
keperawatan.
5. Mengkkordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dalam kehidupan
sehari-hari klien, atau perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta
pelayanan social dan edukasional yang dibutuhkan atau yang akan
diterima.
2.4.3 Nursing System Theory
Nursing agency yaitu upaya umum yang dapat memenuhi kebutuhan individu,
dapat dilakukan dengan cara mengenal kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya
dan melatih kemampuannya (George, 1995). Keperawatan dibutuhkan karena
ketidakmampuan individu memenuhi self care-nya (Tomey & Alligood, 2006).
Dalam Nursing System Theory, system pelayanan memfasilitasi kebutuhan
kemandirian sesuai dengan tiga tingkatan kemampuan, yaitu the wholly
compensatory nursing system (pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan tingkat ketergantungan berat). The partially compensatory nursing
system (pemberian asuhan keperawatan dengan tingkat ketergantungan sedang),
dan the supportive educative nursing system (pemberian asuhan keperawatan
pada pasien dengan pemulihan/ketergantungan ringan. Memberikan suportif
edukatif untuk memotivasi pasien dalam melakukan kemandirian (Orem, 2001;
Tomey & Alligood, 2006).
2.5 Penerapan Teori Self Care Orem pada Kasus fraktur
Aplikasi dari teori Self Care Orem (2001) disesuaikan dengan penerapannya pada
kondisi pasien, merupakan suatu kemampuan individu untuk memprakarsai dirinya
dalam melakukan perawatan secara mandiri dan untuk mempertahankan kesehatannya.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Penerapan teori self care Orem dalam asuhan keperawatan pasien fraktur ekstremitas
bawah yang menekankan kemandirian, dimulai dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
intevensi dan implementasi keperawatan serta evaluasi. Orem mengemukakan bahwa
proses keperawatan adalah istilah yang digunakan perawat untuk menunjukkan
profesionalisme dalam praktek keperawatan mulai dari perencanaan sampai dengan
evaluasi.
Orem (1991) mendiskusikan 3 tahap proses keperawatan sebagai pelaksanaaan praktik
keperawatan, yaitu:
1. Tahap I : Diagnosis dan pengobatan
Dalam tahap ini menentukan bahwa mengapa keperawatan dibutuhkan,
menganalisis dan membuat interpretasi, membuat keputusan tentang
keperawatan, juga menetapkan manajemen pelaksanaan keperawatan. Diagnose
keperawatan perlu mengamati dan mengumpulkan data focus pasien, dalam
melihat hubungan self care agency dan therapeutic self care demand (Orem,
1991). Orem menekankan ini, dalam diagnose keperawatan dan mengatur
pelaksanaan pengobatan, pasien dan keluaga harus mampu bekolaborasi setelah
apa yang dilakukan oleh perawat.
2. Tahap II : Merancang system keperawatan
Yaitu membuat desain efektif dan efisien, system keperawatan dipilih yang valid
cara membantu pasien, desain ini meliputi hubungan perawat-pasien.
3. Tahap III : Menghasilkan manajemen system keperawatan
Yaitu melaksanakan rencana keperawatan dan kemudian melakukan evauasi.
Terdapat sedikit perbedaan pendokumentasian dengan proses keperawatan yang
disepakati American Nurses Association (ANA) tahun 1980 hanya pada
pembagian tahapannya saja, sedangkan konten iisinya tetap sama. Berikut
perbedaannya bisa dilihat pada table 2.2
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Table 2.1 Perbedaan proses Keperawatan menurut Orem denganProses Keperawatan menurut ANA
Proses Keperawatan Proses Keperawatan Menurut Orem1. Pengkajian2. Diagnosis keperawatan
Langkah 1 : Diagnosis and prescription,menentukan mengapa pasien memerlukanperawatan, analisa dan menentukan perawatan.
3. Perencanaan dan rasional Langkah 2 : Desain nursing system danmerencanakan pemberian asuhan keperawatan.
4. Implementasi5. Evaluasi
Langkah 3 : manajemen nursing system,melaksanakan rencana, menginisiasi danmengontrol tindakan keperawatan
Berikut uraian penerapan proses keperawatan berdasarkan Orem :
Tahap 1 : Diagnosis and prescription
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan, diperlukan untuk
mendapatkan informasi dan data, ada atau tidak adanya penyimpangan kesehatan
pasien. Pengkajian dalam kaitan dengan teori Orem, yaitu:
1. Basic Conditioning Factor, meliputi nama, usia, gender, tahap perkembangan
(development state), status kesehatan (health state), system pelayanan kesehatan
(health care system), orientasi social budaya (sociocultural orientation), pola hidup
(pattern of living), lingkungan / kondisi tempat tinggal (environment/condition of
living), ketersediaan sumber (resources).
2. Self care requsites, merupakan kebutuhan self care yang terjadi karena adanya
penurunan atau keterbatasan diri dalam melakukan sef care, meliputi :
a. Universal self care terdiri dari delapan kebutuhan yaitu : pemeliharaan
pemenuhan kebutuhan terhadap udara, cairan, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan
istirahat, kebutuhan keseimbangan untuk diri sendiri dan interaksi social,
pencegahan bahaya/hambatan dan kesejahteraan dan peningkatan fungsi dan
perkembangan (promotion of normalcy).
b. Development self care requisites
Kebutuhan khusus untuk proses perkembangan dan kematangan seseorang
menuju fungsi yang optimal untuk mencegah terhambatnya penyesuaian diri
terhadap perkembangan tersebut, meliputi : pemeliharaan pengembangan
lingkungan (maintenance of development environment) dan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
pencegahan/manajemen kondisi yang mengancam perkembangan normal
(prevention/management of the condition threatening the normal
development).
c. Health deviation self care requisites
Mengkaji kebutuhan berkaitan dengan adanya penyimpangan status
kesehatan seperti adanya luka, penyakit, dalam penerimaan seseorang
terhadap status kesehatannya serta penataksanaan untuk memperbaiki
kondisi.
1. Adherence to medical regimen yaitu mengkaji ketaatan terhadap tindakan
medis, misanya tindakan keperawatan yang diberikan, pemeriksaan
penunjang, serta pengobatan yang diberikan apakah pasien menerima
atau menolak.
2. Awareness of potential problem assosciated with the regimen, yaitu
mengkaji kesadaran akan masalah potensial berhubungan dengan
pengobatan.
3. Modification of self image to incorporate changes in the health status
and medical regimen, yaitu bagaimana memodifikasi gambaran diri
untuk mengadakan perubahan status kesehatan.
4. Adjusment of lifestyle to accommodate changes in the health status and
medical regimen, yaitu mengkaji penyesuaian tentang gaya hidup untuk
mengakomodasi perubahan dalam status kesehatan dan pengobatan
d. Medical problem and plan
Mengkaji kondisi perspektif dari dokter, diagnose medis dan
penatalaksanaan medis yang akan dilaksanakan.
Diagnostic Operation
Menurut Orem (2001) diagnosis keperawatan termasuk tahap pertama yaitu
proses analisis data dan pengkajian yang valid untuk membuat keputusan
keperawatan, kebutuhan dan perubahan untuk menjelaskan hubungan satu
atau seluruh komponen self care requisites terhadap self care demand.
Masalah keperawatan muncul pada kondisi adanya perbedaan antara
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
kemampuan dalam memenuhi self care dan self care deficit/ketergantungan
kemampuan merawat diri.
Tahap 2 Nursing System Design
Pada tahap ini merencanakan tindakan keperawatan dan menentukan desain nursing
system, sesuai dengan tiga tingkatan yaitu The Wholly compensatory nursing system,
diberikan pada pasien dengan tingkat ketergantungan berat. The partially compensatory
nursing system, diberikan pada pasien dengan ketergantungan sedang, dan the
supportive educative nursing system, diberikan pada pasien dengan
pemulihan/ketergantungan ringan. Perawat memberikan suportif edukatif untuk
memotivasi pasien dalam melakukan kemandirian (Tomey & Alligood, 2006). Pada
proses keperawatan yang termasuk tahap ini adalah : prescriptive operation
Prescriptive operation adalah menentukan rencana keperawatan dibuat untuk mengatasi
self care deficit. Pada intervensi dicantumkan tujuan yang sasarannya: sesuai dengan
diagnose keperawatan; berdasarkan self care demand; meningkatkan kemampuan self
care. Perencanaan dibuat berdasarkan pada tujuan serta diupayakan untuk
meningkatkan kemampuan self care. Perencanaan dibuat berdasarkan pada tujuan serta
diupayakan untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri. Selain itu juga
perlu memperhatikan tingkat ketergantungan pasien meliputi: The wholly compensatory
perawat membuat membuat rencana tindakan sesuai dengan pasien yang memiliki
tingkat ketergantungan penuh. The partially compensatory adalah perawat dan pasien
saling berkolaborasi dalam melakukan tindakan keperawatan dan the supportive-
educative yaitu, memeberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi
pasien melakukan self care secara mandiri.
Selanjutnya membuat metode yang sesuai untuk memberikan asuhan keperawatan,
yaitu: Mengarahkan (guidance), support (Support), mengajarkan (teaching), bertindak
(acting or doing for) dan memodifikasi lingkungan (providing the developmental
environment).
Tahap 3 : Nursing System Management
Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses keperawatan Orem adalah melaksanakan,
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
menginisiasi dan mengontrol tindakan keperawatan. Pada proses keperawatan yang
dikenal dengan impementasi (regularly operation) dan evaluasi (control operation)
1. Regularly operation (implementasi)
Orem memandang implementasi merupakan asuhan kolaboratif dan saling
melengkapi antara perawat dan pasien. Perawat memberikan bantuan dengan
berbagai metode yaitu : memberikan arahan dalam memenuhi self care,
memberi dorongan (support) fisik dan psikologis agar pasien dapat
mengembangkan potensinya untuk self care, mengajarkan dan memfasilitasi
kemampuan pasien terkait dengan perawatan dirinya, bertindak langsung
memberikan pelayanan keperawatan dan memodifikasi lingkungan.
Untuk memberikan pelayanan keperawatan disesuaikan dengan tingkat
ketergantunagn pasien meliputi: the wholly compensatory nursing system, the
partially compensatory nursing system, dan the supportive educative nursing
system yaitu, memberikan pendidikan kesehatan atau penjelasan untuk
memotivasi pasien melakukan self care secara mandiri (Orem, 2001).
2. Control Operation (evaluasi)
Pada tahap evaluasi, Orem tidak merinci secara spesifik aspek mana yang
dievauasi, akan tetapi dilihat kembali keefektifan tindakan untuk meningkatkan
self care, memenuhi kebutuhan self care, menurunkan self care deficit. Pada
kasus fraktur ekstremitas bawah evaluasi difokuskan pada ketiga kemampuan
tersebut untuk mempertahankan kebutuhan self care.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
3.1 Deskripsi Kasus
Tn. M, usia 52 tahun, riwayat post operasi ORIF 2 tahun yang lalu (Januari 2010),
setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Operasi ORIF dilakukan di RS Tarakan.
Terpasang narrow plate 9-14 hole dan 1/3 tubular plate 6.
Setelah 2 minggu pasca ORIF, klien mengalami infeksi pada luka yang ditandai dengan
keluarnya cairan nanah (pus) dari luka, demam, nyeri dan edema di area yang dilakukan
operasi. Lalu klien di bawa ke RS Fatmawati untuk pemeriksaan. Kemudian klien
direncanakan untuk melakukan operasi ulang yaitu mengganti plate Fixasi Internal
dengan Fiksasi eksternal (OREF).
Karena tidak terjadi kalsifikasi, klien direncanakan bone graft (bone graft pertama
tanggal 30 September 2011), dengan mengambil cangkok tulang dari sternum. Lalu
bone graft kedua dilakukan kembali karena tetap tidak terjadi remodeling pada daerah
tibia- fibula dekstra klien. Bone graft kedua dilakukan pada tanggal 25 Mei 2012.
Pengkajian awal dilakukan pada tanggal 9 Desember 2012 di GPS Lantai 1 RSUP
Fatmawati, pasien tampak tidur terlentang dengan tungkai kanan terpasang Fiksasi
eksternal, Pulsasi distal teraba, teratur, tidak ada sianosis, akral hangat, pergerakan
dapat menggerakkan jari-jari kaki, sensasi dapat dirasakan oleh pasien saat diberikan
stimulasi pada kaki. Saat dikaji pasien tidak mengatakan nyeri, setelah di kaji ulang oleh
Supervisor, klien mengatakan nyeri masih terasa. Hal ini menunjukkan bahwa klien
telah berupaya untuk beradaptasi terhadap nyeri yang dialaminya. Nyeri yang dirasakan
pasien berada pada skala nyeri 4 saat merubah posisi tungkai yang terganggu.
Klien mengatakan selama ini ada perawat yang melakukan home care ke rumah.
Perawatan luka dilakukan setiap hari dengan menggunakan NaCl 0,9%, balutan di
sekitar pin tampak kering, tidak tambak rembes dan keluaran eksudat. Posisi tungkai
yang terganggu di elevasi diganjal bantal, sampai posisi tungkai sejajar, pasien nyaman
Universitas Indonesia33
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
34
Universitas Indonesia
dan pasien merasa stabil. Tampak pemendekan antara ekstremitas kiri dan kanan. Pada
area genu tidak mampu ditekuk maksimal (limited movement)
3.2 Penerapan Teori
3.2.1 Diagnostic operation
3.2.1.1 Basic conditioning factor
1. Age and gender : Tn. M, 52 Tahun
2. Development state : Pasien adalah kepala keluarga dalam tahap perkembangan
dewasa. Klien tampak mampu mengendalikan diri, tidak cepat marah, selama
perawatan klien memiliki respon yang baik terhadap perawat dan keluarga walau
dalam keadaan fraktur dan sakit, tetapi klien tidak mudah marah, menerima
keadaannya sekarang, menerima tindakan keperawatan yang diberikan dengan
ikhlas. Pasien dapat melakukan tindakan perawatan secara mandiri, pasien
memerlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan ADL-nya.
3. Health state: Pasien masuk ruang perawatan GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati
pada tanggal 18 Desember 2012 pukul 16.00 WIB karena klien akan
direncanakn operasi pada tanggal 20 Desember 2012. Operasi kali ini adalah
untuk remove FE dan repair tendon Achilles., Berdasarkan hasil pemeriksaan
radiologi pada tungkai kanan dan pemeriksaan fisik, maka diagnose medis yang
ditegakkan adalah union fraktur tibia, kotraktur tendon Achilles, dan
osteomyelitis kronis tibia fibula (pro remove FE). Pasien menyatakan meskipun
ini adalah bukan operasi pertama klien, klien tetap merasa cemas menhadapi
operasinya besok.
4. Health care system : Pasien dan keluarga mendapat fasilitas kesehatan gratis
dengan menggunakan Jamkesmas.
5. Sociocultural spiritual orientation : Pasien adalah seorang suku Betawi aseli,
status telah menikah dan memiliki 4 orang anak (semuanya perempuan).
Aktifitas ibadah klien kurang dapat dilakukan dengan posisi berdiri, klien
melakukannya dalam posisi terlentang. Persepsi klien tentang penyakitnya
adalah suatu ujian yang harus diterima.
6. Pattern of living : Sebagai kepala keluarga, pasien bekerja sebagai tukang ojek.
Pasien berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, walau dengan cara
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
yag sederhana. Setelah sakit ini, klien tidak lagi bekerja, saat ini istri klien
membuka usaha warung di rumah, dan klien membantu istrinya dengan menjaga
warung di rumah mereka. Pasien dan keluarga jarang melakukan aktifitas
olahraga yang rutin karena keseharian anggota keluarga telah disibukkan dengan
aktifitas bekerja dan mengurus rumah tangga. Pasien tidak mempunyai
pekerjaan lain sebagai sampingan.
7. Condition of living / Environment : Pasien tinggal di lingkungan Betawi, di
daerah padat penduduk di daerah Lenteng Agung Jakarta Selatan, bersama istri
dan 4 anaknya. Setiap harinya saat sehat pasien berangkat dengan menggunakan
sepeda motor. Lantai rumah dari keramik, tidak terdapat tangga di rumah, WC
jongkok. Tempat tinggal pasien dekat dengan fasilitas pemberi layanan
kesehatan 24 jam.
8. Resources : Istri dan anak-anak pasien merupakan support system yang baik
untuk perkembangan kesehatan pasien. Istri pasien selalu menunggu pasien di
RS. Orang tu pasien masih ada tetapi letak rumahnya agak berjauhan. Saudara
kandung pasien sering datang untuk membesuk. Pasien memperoleh fasilitas
jaminan Gakin dan ada bantuan dana dari kantor tempat pasien bekerja.
3.2.1.2 Universal self care
1. Pemeliharaan kebutuhan udara : jalan nafas spontan, tidak tampak pucat, tidak
tampak adanya cyanosis, bunyi nafas vesikuler, pasien tidak menggunakan alat
bantu pernafasan. RR 20x/menit.
2. Kebutuhan cairan : Mukosa lembab, turgor kulit elastic, edema pada pedis dekstra,
asupan cairan melalui oral kurang lebih 1500 ml/hari, klien tidak terpasang infuse.
Untuk memenuhi kebutuhan cairan, pasien dapat minum per oral dengan dibantu
untuk mendekatkan dan menyediakan gelas dalam jangkauan pasien.
3. Kebutuhan nutrisi : konjungtiva tidak tampak anemis, tidak ada keluhan mual atau
muntah. Pasien menghabiskan porsi makan yang disediakan dari ruangan. Pasien
mendapat diit biasa. Tinggi badan pasien 165 cm, dengan BB 67 kg, LLA 24 cm,
hasil pemeriksaan Hb pre operasi tanggal 28 November 2012 adalah 16,0 gr/dl.
LED 17, leukosi 6700, trombosit 255 ribu. Hasil pemeriksaan fungsi hati SGOT
19 dan SGPT 27. Pemeriksaan GDS 86. Pemeriksaan fungsi ginjal ureum 21 dan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
36
Universitas Indonesia
kreatinin 0,9. Natrium 138, kalium 3,64, clorida 101. Sementara nilai protein
darah tidak dilakukan pemeriksaan. Pasien dapat makan sendiri, tetapi pasien tetap
memerlukan bantuan terutama untuk mendekatkan makanan dalam jangakaun
pasien.
4. Kebutuhan eliminasi : Pasien dapat BAB spontan, sekali sehari, konsistensi lunak.
BAB mandiri ke kamar mandi. BAK mandiri tanpa keluhan. Warna urin kuning
jernih, jumlah urine per 24 jam adalah 2400 cc.
5. Kebutuhan aktifitas dan istirahat : Sejak masuk RS, pasien tidak hanya terbaring
dan duduk ditempat tidur, pasien dapat menggerakkan tungkai kanan yang
terpasang FE. Aktifitas perawatan diri dilakukan dengan bantuan sebagian. Pasien
belum dapat melakukan fleksi lutut, maksimal, saat dicoba terdapat keterbatasan
pada rentang gerak sendi klien. Kebutuhan istirahat dirasakan cukup oleh klien.
6. Kebutuhan keseimbangan untuk sendiri dan interaksi social : Pasien saat masuk
pertama kali di Ruangan sudah tampak akrab dengan petugas ruangan, tidak
tampak canggung atau asing dengan keadaan ruangan. Pasien sudah langsung
dapat berinteraksi dengan pasien lain dan sangat luwes berkomunikasi dengan
perawat. Selama di rumah, interaksi pasien dengan anggota keluarga cukup dekat.
7. Pencegahan bahaya : adanya deformitas pada area cruris dekstra klien, merupakan
risiko terjadinya injury, hal ini perlu dicegah. Dengan adanya osteomyyelitis yang
sudah terjadi pada tulang tibia dan fibula klien, hal ini beresiko terjadinya fraktur
patologis.
8. Promotion of normalcy : Keterbatasan fungsi fisik ini, membuat pasien kehilangan
fungsinya sebagai pencari nafkah. Pasien ingin cepat sembuh dan bias kembali
mencari nafkah untk keluarganya. Pasien berusaha mematuhi intruksi perawatan
sehingga pasien bisa pulih seperti semula dan kembali bekerja mencari nafkah
keluarga.
3.2.1.3 Development self care requisites
Pasien dalam tahap perkembangan dewasa tengah, pasien mampu
mengendalikan emosinya, misalnya ketika sakit pasien hanya meringis, dan
menarik nafas dalam, pasien juga takut melakukan banyak pergerakan terutama
untuk tungkai kanan yang sakit, pasien lebih berhati-hati.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Kebutuhan pasien masih memerlukan bantuan, aktifitas sebagian besar masih
dilakukan di tempat tidur.
Selama pasien dirawat tidak memiliki masalah perilaku dan perasaan pasien,
pasien tidak mengalami kemunduran kognitif, afektif, maupun psikososial,
pasien tampak senang ketika didampingi istri dan anak-anaknya, maupun sanak
family membesuk.
3.2.1.4 Health deviation self care requisites
Pemasangan FE dan dengan adanya kontraktur pada kaki kanan membuat klien
mengalami keterbatasan gerak. Keterbatasan ini bisa menyebabkan komplikasi.
Masalah yang mungkin muncul akibat imobilisasi yang dikemukan oleh Lewis
(2007), yaitu DVT, kelemahan otot, luka tekan, konstipasi, retensi urin,
pneumoni. Komplikasi yang terjadi pada klien adalah adanya atrifi pada tendon
acchiles.
Look : terpasang FE pada cruris dekstra, eksudat dari pin (-), edema (-)
Feel : krepitasi (-), nyeri tekan (+), NVD +/+
Move : Limited pada genu (< 135 derajat)
Shorthening (+), kontraktur (+), limited (+) ektremitas dekstra
Kanan = femur 49cm, cruris 40cm, pedis 20cm
Kiri = femur 50cm, cruris 42 cm, pedis 22cm
Kekuatan otot = bernilai 5 untuk seluruh ektremitas superior dekstra dan sinistra,
untuk ekstremitas inferior sinistra semua benilai 5, sementara pada ekstremitas
inferior dekstra kekuatan otot hanya 4 (tidak maksimal dalam melawan tahanan
pemeriksa).
Pemberian terapi untuk pasien Tn. M belum ada. Rencana medis selanjutnya
akan dilakukan pasca operasi
3.2.2 Prescriptive operation
Diagnosa keperawatan yang di dapatkan setelah melalui analisis dan pengumpulan data,
yaitu :
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
38
Universitas Indonesia
1. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan disfungsi ektremitas bawah,
imobilisasi
2. Nyeri berhubungan dengan gerakan fragmen ulang insisi operasi
3. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahan
primer
4. Cemas berhubungan dengan mengahdapi prosedur operasi
3.2.3 Analisis Penerapan Teori Model Orem’s Self Care
Penerapan teori Orem’s self care pada kasus ekstremitas bawah telah diterapkan sebagai
suatu pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. M dengan union
fraktur tibia, kotraktur tendon Achilles, dan osteomyelitis kronis tibia fibula (pro
remove FE).Pengkajian perawatan dengan menggunakan pola pengkajian dari Orem
yang terdiri dari Basic conditioning factor merupakan pengumpulan data dasar secara
umum yaitu nama, umur, gender, status perkembangan, status kesehatan sampai dengan
sistem pelayanan kesehatan yang sering digunakan pasien. Dari factor usia dapat
dikaitkan dengan kejadian fraktur di dominasi oleh usia produktif, begitu juga pada
kasus Tn. M (52 tahun) yang masih berada pada rentang usia produktif.
Penerapan pengkajian data therapeutic self care demand yang terdiri dari universal self
care, development self care requisites, dan health deviation self care requisites. Pada
universal self care yang menggali kebutuhan fisiologis dan psikologis, dimana
kebutuhan fisiologis pada teori ini dikji untuk mengetahui keadekuatan organ dan fungsi
dari pemeliharaan kebutuhan oksigen, cairan, nutrisi, eliminasi, keseimbangan aktivitas
dan istirahat. Pada pasien ini, adekuat berarti tidak bermasalah, hanya dalam
penyediaannya pasien memerlukan bantuan. Untuk mengembangkan diri dalam
kelompok social dan mengenal keterbatasan pribadi dan bagaimana harapan untuk
kembali normal. Pasien berharap akan pulih dan kembali normal seperti sebelum sakit.
Kelebihan pengkajian Orem ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih
komprehensif dalam menggali data dari pasien mengingat Orem sangat memperhatikan
pasien secara holistic, disini terlihat peran perawat bahwa perlu mengumpulkan data
yang lengkap sampai dengan tingkat kemampuan pasien dalam sistem keperawatan dan
metode apa yang diperlukan oleh pasien.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Kelemahan teori ini adalah ada beberapa langkah dalam proses keperawatan yang dalam
pelaksanaan pendokumentasiannya masih overlapping data yang satu dengan yang
lainnya. Seperti pada pengkajian self care requisites yang merupakan kebutuhan self
care menurut perawat, maka data ini muncul lagi pada health deviation self care
requisites karena di dalam data ini yang terganggu adalah merupakan salah satu
kebutuhan yang sudah dikaji pada universal self care requisites.
Tabel 3.1 Nursing Care Plan pada pasien kelolaanNursing Diagnosis Outcame Plan
1. Cemas b.d akandilakukanprosedur operasi
a. Outcome : klien mampumengendalikan rasacemasnya
b. Nursing Goal andobjectives :Goal : klien memahamiprosedur yang akandijalankan adalahmerupakan bagian dariproses penyembuhanObjectives : pasien tidakmenunjukkan tanda-tandakecemasan
c. Design of the nursingsystem : partiallycompensatory
d. Methode of helping :guidance, support,directing, teaching,providing thedevelopmentalenvironment
Guidance :- Monitor tanda vital,
hasil laboratorium,seperti adanyapeningkatan tanda-tanda vital
- Monitor kesiapanklien untukmenghadapi operasi.
Directing :- Menjelaskan
prosedur kepadaklien.
Support- Jelaskan pada pasien
untuk melaporkanapabila ada hal yangtidak dipahamipasien mengenaiprosedur
Teaching :Menjelaskan pada pasienpersiapan apa saja yangkan dilakukan menjelangoperasi (puasa,SIO,darah).
Providing thedevelopmentalenvironment :
- Mempersiapkanprosedur persiapanoperasi
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
40
Universitas Indonesia
2. Nyeri b.d insisioperasi,pemasangan FE,pergerakanfragmen tulang
a. Outcome : nyeriterkontrol, nyeriberkurang
b. Nursing goals : nyerihilang/berkurang
Objectives : pasien dapat :- Menggambarkan
penyembuhan/pengurangan nyeri tanpa obat ataudengan obat
- Mendemonstrasikanpengurangan nyeri(relaks, istirahat cukup)
- Menyatakan secara lisansuatu pengurangan skalanyeri
c. Design of the nursingsystem : Partiallycompensatory
d. Methode of helping :Guidance, support,teaching, providing thedevelopmentalenvironment
- Menjelaskan prosedurpada klien dankeluarga
- Meminta klien dankeluarga untuk berdoabersama
Guidance:- Kaji pengalaman masa
lalu dari nyeri danmetode-metode yangdigunakan untukmengurangi nyeri
- Pasien minta untukmelaporkan intensitas,local, tingkatan nyeri,factor-faktor yangmemperberat kejadiannyeri, catat dandokumentasikan
- Observasi responverbal, ukur vital sign
Support- Immobilisasi
ekstremitas yangmengalami fraktur,hindari manipulasiyang berlebihan
- Berikan latihanrentang gerak sendiuntuk ekstremitasyang tidakmengalamigangguan (mis. :ankle pump,isometric)
- Berikan latihanrelaksasi dandistraksi dandukungan psikologispada pasien
Teaching- Ajarkan metode
nonfarmakologiuntuk menguranginyeri (mis.Relaksasi, guided
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
41
Universitas Indonesia
imagery, distraksi)
3. Resiko infeksib.d tidakadekuatnyapertahananprimer,osteomyelitis,trauma jaringan,pemasangan alatinvasive
e. Outcome : integritas kulitnormal, infeksi tidakterjadi
f. Nursing Goal andobjectives :Goal : integritas kulitterjaga dan terhindar dariinfeksi, personal hygieneadekuatObjectives : pasien akanmenunjukkan integritaskult baik, tanda infeksitidak terjadi, edema tidakterjadi, hasil leukositnormal.
g. Design of the nursingsystem : partiallycompensatory
h. Methode of helping :guidance, support,directing, teaching,providing thedevelopmentalenvironment
Providing thedevelopmentalenvironment:- Diskusikan dengan
pasien, catat semuainformasi mengenaiperistiwa dari nyeri
- Ciptakan lingkunagnyang nyaman, batasipengunjung
- Pemberian obatanalgetik sesuaiprogram.
Guidance :- Monitor tanda vital,
hasil laboratorium,seperti adanyapeningkatan leukositatau tanda infeksilainnya.
- Monitor luka secarateratur terhadapperubahan warna,jaga kebersihankulit.
Directing :- Lakukan perawatan
Luka setiap hari ataujika ada rembesanpada kulit.
- Mengganti alatinvasive sesuaidengan jadwal yangditentukan (mis.Infuse 3x24 jam,kateter 7x24 jam).
Support- Jelaskan pada pasien
untuk melaporkangejala-gejala sepertikeluaran, rasa panas
- Jelaskan pada pasienuntuk tidakmemegang balutan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
42
Universitas Indonesia
Teaching :Mengajarkan pasienmenggenali tanda-tandainfeksi.
4. GangguanMobilitas Fisikb.d pembatasanpergerakan,immobilisasi,kontraktur
a. Outcome : perubahanposisi mandiri, mobilisasimaksimal sesuaikemampuan, pergerakansendi baik dan fungsisensori baik.
b. Goal : mencapai tingkatmobilisasi optimal
c. Objectives :- Penampilan posisi tubuh
seimbang- ADL minimal assistance- Kekuatan utuh mencapai
nilai maksimum- Tanda vital dalam batas
normald. Design of the nursing
system : partiallycompensatory
e. Methode of helping :guidance, support,teaching, providing thedevelopmentalenvironment
Providing thedevelopmentalenvironment :
- Jaga kebersihantempat tidur pasien
- Hindari tekanan padaarea edema, ganjaldengan menggunakanbantal atau lapisantambahan
- Berikan antibioticsesuai prosedur
- Berikan inake nutrisiTKTP
Guidance : mengukuranda vital sebelummelakukan latihan,memonitor selamalatihan.Support:
- Kaji motivasi untukmemulai ataumelanjutkan programlatihan, eksplorehambatan, melakukanmobilisasi, motivasiuntukmengungkapkansecara verbal.
- Bantu pasien untukmembuat jadwallatihan dan istirahatsecara periodic
Teaching :- Ajarkan pasien untuk
melakukan latihanrentang gerak sendi
- Ajarkan pasienuntuk mobilisasipasca operasi
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
43
Universitas Indonesia
- Ajarkan pasienmenggunakan alatbantu berjalan
Promoting anddevelopmentalenvironment:- Ajarkan keluarga
cara praktis untukmenolong pasien
3.2.4 Justifikasi penegakan diagnose berdasarkan EBN1. Gangguan Mobilitas Fisik b.d pembatasan pergerakan, immobilisasi,
kontraktur
Perawat harus mampu melakukan tindakan keperawatan bagi klien yang mengalami
keterbatasan mobilitas atau akibat pembatasan mobilitas karena kondisi tertentu. Peran
perawat sangatlah penting dalam melakukan pergerakan dan pengaturan posisi klien
secara aman untuk mencegah komplikasi akibat immobilisasi dan mempertahankan
body aligment (Perry & Potter, 2005). Pada kondisi tertentu klien sangat beresiko
terjadinya komplikasi atau terjadinya injuri akibat pergerakan, membantu pergerakan
dan perubahan posisi secara aman merupakan tindakan keperawatan (Perry & Potter,
2005).
Perubahan posisi pada klien dengan immobilisasi dapat mengurangi tekanan pada area
tubuh tertentu sehingga mampu mencegah ulkus (luka tekan). Perubahan posisi dapat
juga meningkatkan sirkulasi darah pada area yang mengalami injuri/cedera (Black &
Hawks, 2005). Latihan yang dilakukan pada Tn M adalah perubahan posisi miring ke
kiri dan kanan, serta melakukan fleksi lutut. Tn M.
Tn. M telah mengalami kontraktur yang ditandai dengan afanya shortening di kedua
ekstremitas dan penurunan kekuatan otot. Penting bagi perawat mengurangi efek dari
immobilisasi dalam waktu yang lama (permanen atau sementara) harus dilakukan
latihan untuk mencegah atropi otot dan kontraktur sendi. Kontraktur sendi dapat terjadi
pada klien yang immobilisasi selama 3-7 hari, dan perawat harus melakukan intervensi
untuk mencegah hal tersebut (Perry & Potter, 2006). Latihan dapat mencegah
komplikasi immobilisasi dan membantu persiapan klien untuk ambulansi. Perawat harus
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
44
Universitas Indonesia
melakukan latihan pergerakan sendi dan latihan isometric otot. Latihan rentang gerak
sendi dapat dilakukan secara pasif, aktiv, dan aktiv assistive (Perry & Potter, 2006).
Sebelum melakukan latihan rentang sendi harus dikaji factor-faktor yang dapat
membatasi pergerakan sendi atau penyulit seperti nyeri dan ketidakmampuan relaksasi
(Black & Hawks, 2005). Latihan yang dilakukan mulai dari latihan fleksi dan ekstensi
sendi, dan latihan isometric otot.
Klien Tn M setiap pagi dilakukan latihan rentang gerak sendi, pada awal latihan
dilakukan secara pasif. Latihan yang dilakukan adalah fleksi dan ekstensi sendi lutut,
fleksi dan ekstensi engkle, serta gerakan rotasi pada sendi engkle. Pendidikan kesehatan
terkait dengan latihan rentang gerak sendi juga dilakukan pada klien dan keluarga.
Pendidikan kesehatan yang diberikan antara lain menjelaskan tujuan, tehnik (cara
melakukan), waktu pelaksanaan, dan pentingnya kesadaran dan kemauan klien dan
keluarga. Pada awal latihan klien mengeluh nyeri dan sulit untuk mengikuti gerakan
(kaku), akan tetapi semakin lama semakin baik dan nyeri yang timbulpun berkurang,
klien dan keluarga juga melakukan latihan secara mandiri.
Klien direncanakan untuk repair tendon achiles yang mengalami kontraktur. Perawat
harus mampu melakukan tindakan keperawatan bagi klien yang mengalami keterbatasan
mobilitas atau akibat pembatasan mobilitas karena kondisi tertentu. Peran perawat
sangatlah penting dalam melakukan pergerakan dan pengaturan posisi klien secara aman
untuk mencegah komplikasi akibat immobilisasi dan mempertahankan body aligment
(Perry & Potter, 2005).
Pada kondisi tertentu klien sangat beresiko terjadinya komplikasi atau terjadinya injuri
akibat pergerakan, membantu pergerakan dan perubahan posisi secara aman merupakan
tindakan keperawatan (Perry & Potter, 2005). Perubahan posisi pada klien dengan
immobilisasi dapat mengurangi tekanan pada area tubuh tertentu sehingga mampu
mencegah ulkus (luka tekan). Perubahan posisi dapat juga meningkatkan sirkulasi darah
pada area yang mengalami injuri/cedera (Black & Hawks, 2005).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Perawat harus mendukung dan membantu klien selama terjadi perubahan status
kesehatan dan ini merupakan hal yang utama untuk mendorong klien dalam mengambil
keputusan dan mengadopsi prilaku dalam memaksimalkan fungsi individu sesuai
kondisi (Black & Hawks, 2005).
TN M dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan pentingnya nutrisi dalam proses
pemulihan dan penyembuhan, pentingnya perubahan posisi dan mobilisasi serta
bagaimana melakukan perubahan posisi dan mobilisasi yang aman. Dalam proses
rehabilitasi klien dilatih ROM pasif/aktif dalam mempertahankan rentang gerak optimal
dan mencegah komplikasi. Klien dan keluarga juga dilatih dalam mempergunakan alat
bantu yang akan digunakan oleh klien (kruk). Dalam rehabilitasi jangka panjang
sebenarnya dilakukan kolaborasi dengan ahli rehabilitasi medic dan ahli fisioterapi.
2. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang, trauma,inisisi prosedur
Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan,
meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah prosedur yang sering
dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal
dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan
pembedahan ini selain menstabilkan fraktur juga membantu mengatasi cedera vaskular
seperti sindroma kompartemen yang terjadi pada pasien fraktur. Respon nyeri pasien
dilaporkan berada pada level severe karena tindakan pembedahan ortopedi yang
dilakukan (Niles, LeFevre, Mallon, 2009).
Efek samping yang bisa ditimbulkan dari nyeri pasca pembedahan ortopedi adalah
waktu pemulihan yang memanjang, terhambatnya ambulasi dini, penurunan fungsi
sistem, terhambatnya discharge planning. Selain itu, efek samping analgesik akibat
terus menerus mengkonsumsi analgesik sebagai koping mengurangi nyeri, juga akan
merugikan pasien dari sisi ekonomi (Maher, Salmond & Pullino 2002). Peranan tim
pemberi layanan kesehatan sangat penting untuk meminimalkan efek-efek samping dari
nyeri post operasi ortopedi.
Manejemen nyeri harus dilakukan secara bersama-sama antara perawat, klien dan
keluarga untuk mengidentifikasi intensitas nyeri dalam memaksimalkan fungsi klien
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
46
Universitas Indonesia
sebagai individu (Perry & Potter, 2005). Akan tetapi kolaborasi antar petugas kesehatan
juga merupakan hal sangat penting. Persepsi klien terhadap nyeri adalah hal yang
penting dalam melakukan intervensi, sebab persepsi terhadap nyeri sangat individual.
Perawat harus menggunakan proses keperawatan secara individual dalam membantu
klien agar mampu mengontrol nyeri (Potter & Perry, 2006).
Perawat harus mampu membantu klien dalam mengontrol nyeri dengan tindakan
mandiri (nonfarmakologi). Manejemen nyeri nonfarmakologi yang dapat dilakukan
antara lain terapi music, cuteneous stimulation massage, relaxation, guided imagery,
dan distraction (Perry & Potter, 2005).
Klien Tn M dalam mengontrol nyeri dilakukan tindakan nonfarmakologi. Tindakan
nonfarmakologi yang digunakan adalah relaksasi dan distraksi. Klien dilatih dan
dibimbing dalam melakukan relaksasi dengan mengatur napas; menarik napas dalam
dan mengeluarkan secara perlahan-lahan dengan meniupkan, hal ini diminta dilakukan
klien secara teratur. Setiap periode klien diminta melakukan 10 x, khususnya jika nyeri
timbul misalnya saat perawatan luka, merubah posisi, dan ambulansi. Klien juga dilatih
untuk melakukan memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang dianggap klien menarik
dan menyenangkan. Klien mengatakan tindakan atau tekhnik tersebut sangat membantu
dalam mengurangi persepsi nyeri.
3. Risiko perluasan infeksi b.d. kerusakan pertahanan primer (adanya luka
akibat pembedahan).
Risiko infeksi terjadi akibat adanya infeksi (osteomyelitis). Diagnosa keperawatan ini
ditegakan dengan dukungan data antara lain pernyataan klien tentang luka yang pernah
bernanah pada pin, tanda sequester (+), LED 17
Intervensi yang dilakukan:
a. Mengobservasi tanda-tanda infeksi
Menurut Kozier dan Erb (1995) tanda-tanda infeksi meliputi rubor, calor, dollor,
tumor dan functio laesa. Selain itu dapat pula terjadi peningkatan drainage purulen.
Drainage purulen tejadi akibat proses penghancuran benda asing (termasuk
mikroorganisme) di dalam tubuh oleh sistem kekebalan tubuh.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Selain itu peningkatan nyeri juga menjadi indikator dari adanya infeksi/perluasan
infeksi. Untuk itu pengkajian nyeri juga dilakukan dalam merawat klien ini. Pada
saat pengkajian didapatkan nyeri sedang dengan skala 4-5.
b. Melakukan perawatan luka
Perawatan luka merupakan peran penting dari perawat, mengingat adanya luka
menyebabkan klien berrisiko terinfeksi yang akan berdampak pada peningkatan
masa rawat dan biaya.
Menurut Kozier dan Erb (1995) untuk dapat melakukan perawatan luka secara
efektif setidaknya dua persyaratan yang dibutuhkan yaitu memahami fisiologi luka
dan memiliki kemampuan melakukan tindakan-tindakan khusus untuk
penyembuhan luka. Selama melakukan perawatan luka pada Tn. TH, luka
dibersihkan dengan larutan NaCl 0.9% dengan menggunakan tehnik
aseptik/antiseptik. Menggunakan kasa steril, luka dikompres dengan NaCl 0.9%
lalu dibalut.
4. Cemas b.d menghadapi prosedur pembedahan
Tindakan umum yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah
untuk mempersiapkan pasien agar penyulit pasca operasi dapat dicegah. Sebagian
tindakan tersebut dilakukan secara rutin seperti pembersihan kulit, sedangkan yang lain
dipilih berdasarkan keterangan anamnesis. Pemeriksaan praoperasi dan rencana
penolakan. Toleransi pasien terhadap pembedahan mencakup toleransi fisik maupun
mental (Smeltzer & bare,2002).
Persiapan pre operasi adalah suatu tahapan dimuai ketika keputusan untuk pembedahan
dan berahir ketika pasien dirujuk ke meja operasi. Persiapa pra operasi umum pada
pasien (Long,2001) : menjelaskan prosedur operasi dan apa saja yang terjadi,
mengajarkan dan mengusahakan pasien untuk relaksasi, biarkan pasien mengungkapkan
perasaannya, menegaskan penjelasan-penjelasan dari dokter, mendorong keterlibatan
pasien dalam perawatan diri.
Setiap pasien mempunya respon berbeda-beda terhadap pembedahan, berbagai variable
mempengaruhi respon tingkatan pembedahan berupa :
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
48
Universitas Indonesia
1. Persiapan Mental
Secara mental seorang pasien harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan
karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anastesi
terhadap kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini hubungan baik antara penderita,
keluarga dan dokter sangat menentukan. Ansietas ini adalah reaksi normal yang dapat
dihadapi dengan sikap terbuka dan penerangan dokter dan petugas kesehatan lainnya.
Atas dasar pengertian, pasien dan keluarga dapat memberikan persetujuan dan izin
untuk pembedahan.
2. Persiapan Fisik
a) Berbagai organ dan system
Sebelum pembedahan semua pemeriksaan harus dilakukan seperti pemeriksaan
laboratarium, Elektokardiografi, ronsen tanda-tanda vital dalam batas normal, dan
dimulai lambung harus kosong, reflek esophagus mudah terjadi terutama pada
permulaan anastesi, sehingga dapat terjadi aspirasi isi lambung yang merupakan suatu
penyulit berbahaya karena menimbulkan pneumonia yang tidak mudah diatasi. Oleh
karena itu pasien dipuasakan 6 jam sebelum pembedahan.
Suhu badan dipertahankan normal, penderita demam metabolismenya meningkat dan
memerlukan lebih banyak zat asam sehingga iribilitas miskord meningkat dan keadaan
syok tidak dapat dikompensasikan seperti biasa.
b) Keadaan Gizi
Kebanyakan pasien yang akan dioperasi tidak membutuhkan perhatian khusus tentang
gizi. Pada umumnya mereka itu dapat berpuasa untuk waktu tertentu sesuai dengan
penyakit dan waktu pembedahan, tetapi tidak jarang pasien yang datang dalam keadaan
gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita penyakit saluran cerna,
keganasan infeksi kronis dan trauma berat. Malnutrisi berat dipengaruhi morbiditas
karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Karena itu penting sekali untuk mengkaji tingkat kecemasan pasien yang akan
menjalani prosedur operasii.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
49
Universitas Indonesia
3.3 Pembahasan
Pada bagian pembahasan ini akan dianalissi seluruh proses asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Anamnesa bertujuan untuk mendapatkan riwayat kesehatan dan
factor resiko serta perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola kehidupan
(Potter & Perry, 2006). Berdasarkan riwayat pasien ditabrak gerobak besi dan posisi
jatuh kearah kanan kemudian tertimpa motor dan besi bekas. Data ini didapatkan dari
Tn. M, dari riwayat kejadian trauma pasien, selain itu juga waktu terjadinya sampai
dengan penatalaksanaan lebih dari golden periode penanganan untuk trauma
musculoskeletal. Jika penanganan trauma musculoskeletal dengan fraktur terbuka lebih
dari 4-6 jam, maka akan menimbulkan resiko lebih besar untuk terjadinya osteomyelitis.
Penanganan di periode emas pada fraktur terbuka akan meminimalkan komplikasi
terjadinya sepsis (Apley & Solomon, 1995)
Pada pasien Tn. M mengalami kerusakan jaringan lunak lebih dari 8 cm dan klasifikasi
fraktur pasien adalah fraktur terbuka grade IIIB. Jika ditinjau dari riwayat terjadinya
trauma jaringan lunak cukup luas dan luka sudah terkontaminasi. Masalah keperawaatan
resiko infeksi menjadi prioritas kedua karena pada saat mengkaji pasien, pasien
mendapatkan penanganan luka setelah kurang lebih 7 jam dari kejadian. Tampak tidak
ada eksudat dari luka yang telah didebridement. Pada hari ke enam setelah debridement
pertama, dilakukan debridement kedua karena luka tidak menunjukkan tanda-tanda
proses penyembuhan luka fisiologis. Sebaiknya justru luka mengeluarkan eksudat dan
pus. Keadaan disekitar luka berwarna kehitaman, bau dan edema.
Perawatan luka infeksi meliputi dengan membersihkan, debridement, pemberian obat
topical (Bryan & Nic, 2007). Pembersihan luka dengan menggunakan normal saline
bertujuan untuk menurunkan kontaminasi permukaan jaringan. Debridement adalah
tindakan pembersihan luka yang penting, karena mengangkat jaringan yang mati dan
memfasilitasi terjadinya granulasi (Bryant & Nic, 2007).
Selain perawatan luka menggunakan normal saline, pasien juga diberikan antibiotic
injeksi per intra vena untuk mencegah infeksi berkelanjutan akibat kontaminasi luka.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Jenis antibiotic yang diberikan adalah antibiotic golongan pertama yaitu Gentamycin 80
mg per 12 jam dan Ceftriaxone 1 gr per 12 jam.
Pada pengumpulan data fisik didapatkan beberapa penyimpangan data, yaitu pasien
mengeluhkan nyeri. Data yang diperoleh adalah adanya edema pada ektremitas dekstra,
deformasi dan angulasi, pemendekan ektremitas, gangguan pergerakan (limited). Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan Rasjad (2007) bahwa tanda-tanda fraktur yang
belum distabilisasi adalah adanya deformitas, perubahan bentuk, edema, nyeri tekan,
penurunan pulsasi distal, edema, dan tanda-tanda first inflammation lainnya.
Pada saat pengkajian, keluhan utama pasien adalah merasakan nyeri sekali, sehingga
diperlukan analgesic ekstra. Pasien mengeluh pada area post operasi. Saat dilakukan
pengkajian, pasien merasakan nyeri dengan intesitas 6-7. Nyeri merupakan salah satu
keluhan utama pada kasus musculoskeletal (Rasjad, 2007). Reaksi fisik seseorang
terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan dapat diperkirakan.
Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, hypnosis, distraksi, relaksasi,
dan praktik spiritual (Black & Hawsk, 2009).
Karakteristik nyeri pada Tn. M dirasakan saat istirahat, karena ada luka insisi operasi
dan bertambah kalau ada pergerakan karena adanya pergerakan fragmen tulang yang
belum direduksi. Nyeri dapat timbul karena beberapa factor, luka operasi atau tindakan
pembedahan salah satu factor penyebab terjadinya nyeri, apabila nyeri berkelanjutan
tidak dihilangkan akan mengganggu aktifitas fisik yang akhirnya dapat menyebabkan
aliran vena terganggu (Potter & Perry, 2006). Menurut International Association for the
Study of Pain (IASP) (1979), nyeri adalah rasa indrawi dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang tidak menyenangkan, yang
nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan.
Faktor social budaya menentukan perilaku psikologis seseorang, dengan demikian akan
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiate endogen, sehingga terjadi nyeri (Smeltzer
& Bare, 2002). Tn. M merupakan suku Betawi asli yang cenderung kurang berusaha.
Pasien tampak tidak mencari tahu apa yang harus dilakukan saat keluhan nyeri muncul.
Klien hanya mengernyitkan wajah dan melindungi area yang nyeri.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Tindakan yang harus dilakukan oleh perawat adalah memberikan arahan, menjelaskan
tentang nyeri dan cara mengatasinya. Penjelasan yang diberikan harus dengan bahasa
yang dimengerti klien. Upaya-upaya menurunkan nyeri dengan tehnik distraksi dan
relaksasi juga diedukasikan kepada pasien.
Adanya edema pada tungkai terjadi karena perdarahan dalam jaringan yang cedera dan
terjadi pembentukan hematom pada tempat yang patah tulang, terputusnya aliran darah
dan tempat cedera akan diinvasi oleh makrofag yang akan membersihkan daerah
tersebut (LeMone & Burke, 2008). Penjelasan yang diberikan pada pasien bahwa
keadaan akan berlangsung kurang lebih 3 hari. Dan pentingnya pasien melakukan
latihan pergerakan dengan latihan isometric dan latihan ankle pump sesuai kemampuan.
Deformitas berupa angulasi yang terjadi pada tungkai kanan pasien (SIAS-lateral
malleolus). Dari pengkajian didapat : kaki kanan = femur 49cm, cruris 40cm, pedis
20cm. Sementara kaki kiri = femur 50cm, cruris 42 cm, pedis 22cm. Shorthening
merupakan saah atu tanda terjadinya fraktur akibat pergeseran fragmen tulang dari
posisi fisiologisnya (Apley & Solomon, 1995). Perawat harus melihat ini sebagai suatu
yang harus diatasi dengan mencegah terjadinya trauma tambahan atau bahkan cacat
permanen (Rasjad, 2007).
Edema dan swelling terjadi karena perdarahan jaringan yang cedera dan terjadi
pembentukan hematom pada area yang mengalami patah tulang, terputusnya aliran
darah, dan tempat cedera akan diinvasi oleh sel darah putih yang akan membersihkan
daerah tersebut (LeMone & Burke, 2008). Penjelasan yang diberikan kepada pasien
adalah menjelaskan bahwa keadaan ini akan berlangsung kurang lebih 3hari. Dan bias
dilakukan latihan ankle pump dan latihan isometric untuk mengurangi edema.
Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada Tn. M ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosa keperawatan adalah
cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta
respon terhadap masalah actual maupun resiko (Wilkinson, 2005). Menurut North
American Nursing Diagnosis Association (NANDA), diagnose keperawatan adalah
penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, komunitas, terhadap masalah
kesehatan baik yang actual maupun yang potensial.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
52
Universitas Indonesia
Berdasarkan definisi diatas, pada kasus ini penulis mengangkat 4 diagnosa keperawatan
yang menggambarkan bagaimana situasi pasien yang mencerminkan perubahan yang
terjadi pada kondisi pasien. Kecemasan yang dihadapi pasien menjelang prosedur
diangkat sebagai diagnose pertama karena pasien mengalami gangguan istirahat akibat
kecemasannya. Nyeri diangkat sebagai diagnose berikutnya karena pasien mengeluhkan
nyeri pada tungkai yang sangat mengganggu aktifitas dan pemeenuhan ADL pasien.
Resiko infeksi diangkat berdasarkan keadaan luka pasien yang tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Ditambah adanya edema pada luka yang menurunkan
vaskularisasi ke area distal pasien.
Masalah gangguan mobilitas fisik dibuat karena pasien membutuhkan intervensi untuk
memperbaiki pergerakannya. Sebagian besar pasien post operasi ortopedi akan merasa
takut untuk bergerak, hubungan terapeutik perawat-pasien akan membantu pasien
berpartisipasi dalam aktifitas untuk meningkatkan mobilitas. Pasien akan lebih yakin
jika diberi penjelasan bahwa mobilisasi yang dilakukan secara bertahap adalah suatu
aktifitas yangaman dan perawat akan selalu mengontrol kondisi pasien. Mobilisasi yang
bias segera dilakukan secara mandiri akan membantu pasien memenuhi kebutuhan
ADL-nya. Asuhan keperawatan yang diberikan perawat mengarah kepada kemandirian
pasien dalam emmenuhi kebutuhan sehari-hari, sesuai dengan teori Orem bahwa setiap
manusia mempunyai kemampuan untuk mempelajari kemampuan dalam merawat
dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Orem, 2001)
3.4 Analisis Kasus resume
Pasien yang menjadi kelolaan sebagian besar diambil di RSUP Fatmawati Gedung Prof.
Soelarto lantai 1 dan lantai 4, Pengkajian pada pasien menggunakan format Orem. Dari
basic conditioning factor penulis mengambil dari berbagai usia dewasa. Sebagian besar
pasien berada pada rentang usia produktif dan dewasa lanjut. Angka yang cukup tinggi
pada kelompok usia produktif ini karena sebagian besar penyebab kejadian fraktur
adalah trauma akibat lalu lintas dan kecelakaan kerja.
Sebagian besar pasien berjenis kelamin lelaki, terutama kejadian fraktur ekstremitas.
Seperti halnya pada gambaran rentang usia pasien yang berada pada usia produktif,
lelaki sebagai kepala keluarga yang bekerja mencari nafkah memiliki mobilitas yang
tinggi dan beresiko mengalami trauma kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Semua kasus mengalami self care limitation atau self care deficit, dan didapaykan pada
pasien dengan gangguan system musculoskeletal menunjukkan nrsing diagnosis
(diagnose keperawatan) yang sama, yaitu ; nyeri, gangguan mobilitas fisik, dan resiko
infeksi.
Masalah nyeri menjadi masalah utama sebagian besar pasien, baik yang menjalani
pembedahan maupun yang tidak menjalani prosedur pembedahan. Nyeri pada post
operasi ortopedi telah dilaporkan sebagai nyeri akut pada level severe (Australian Acute
Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2004). Pembedahan ortopedi reduksi terbuka
fraktur membantu dalam melihat lebih banyak jaringan yang rusak, jaringan lunak,
perdarahan, kerusakan diantara fragmen, maupun kerusakan pembuluh syaraf (Maher,
Salmond & Pullino, 2002; Pellino, et.al., 2005; Gillaspie, 2010). Pembedahan ortopedi
yang telah didahului oleh trauma sebelumnya akan memprovokasi perubahan persepsi
di CNS yang akan berpengaruh pada outcome post operasi (Pasero & MacCaffery,
2007).
Rowlingson (2009) mengemukakan bahwa proses fisik seperti insisi, pemotongan
jaringan, pengambilan jaringan, pemasangan implant akan menstimulasi ujung saraf
bebas dan nosiseptor. Mediator kimia akan dilepas selama proses pembedahan
berlangsung. Metabolisme laktat akibat iskemia jaringan selama pembedahan juga
berpengaruh terhadap pengeluaran mediator kimia (Maher, Salmond, & Pellino, 2002;
Engwall & Duppils, 2009). Tetapi respon stress pembedahan ini justru mencapai
puncaknya pada periode post operasi (Dunn, 2004).
Smelzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
secara umum adalah usia, jenis kelamin, kultur, makna nyeri, perhatian, ansietas,
pengalaman masa lalu, pola koping dan dukungan social. Sementara pada nyeri post
operasi ortopedi, factor,yang mempengaruhi adalah usia, jenis kelamin, riwayat
pengobatan sebelumnya, riwayat nyeri sebelumnya, dan konsumsi analgetik (Chelly,
Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003; Pellino, Willens, Polomano, & Heye, 2003).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
54
Universitas Indonesia
Pengkajian social budaya diperlukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan pasien
terhadap system keperawatan yang kita berikan pada pasien berdasarkan budaya yang
dianutnya. Keragamana budaya di Indonesia juga menimbulkan keragaman pada pasien.
Kepercayaan budaya yang lebih mempercayai dukun daripada pemberi layanan
kesehatan. Dan sebagian besar pasien yang mengalami komplikasi non union, delayed
union, atau mal union fraktur karena pasien sebelumnya berobat ke dukun.
Untuk mengatasi nyeri ada berbagai implementasi yang sudah diberikan sesuai dengan
etilogi yang ada. Antara lain memonitor nyeri meliputi, lokasi, durasi, frekuensi,
intensitas. Implementasi lainnya antara lain mengimobilisasi fraktur, memberikan posisi
nyaman dengan elevasi ektremitas yang fraktur. Implementasi keperawatan untuk
menurunkan nyeri dengan tehnik nonfarmakologi terapi music sebagai kombinasi
dengan terapi farmakologi.
Kemampuan mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas.
Gangguan mobilisasi fisik oleh NANDA didefinisikan sebagai suatu keadaan individu
mengalami keterbatasan gerak fisik. Pada kasus kelolaan ini semua pasien hamper
seluruhnya mengalami masalah gangguan mobilisasi. Etiologi yang menyebabkan
pasien terganggu mobilisasinya adalah adanya fraktur, deformitas, dan kelemahan
ektremitas. Imobilisasi merupakan initial intervention pada gangguan ekstremitas. Saat
pasien sudah dilakukan koreksi, maka latihan mobilisasi terstruktur perlu diberikan pada
pasien post operasi.
Imobilisasi bertujuan mengamankan dan mencegah sebagian system musculoskeletal
dari injury tambahan, penyembuhan luka, mengembalikan fungsi normal dan
menurunkan nyeri (Maher, Salmond & Pullino, 2002). Tindakan imobilisasi sendiri
antara lain, pemasangan skin traksi, back slab, atau pasien dengan gangguan tulang
belakang. Tujuan imobilisasi berbeda pada setiap pasien, namun keterbatasan mobilisasi
ini, bukan berarti pasien sama sekali tidak mampu melakukan aktifitas. Imobilisasi yang
terlalu lama akan menyebabkan perubahan-perubahan pada system yang lain yang akan
menambah komplikasi dan penyulit proses penyembuhan. Pengaruh penurunan kondisi
otot dikaitkan dengan penurunan aktifitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari.
Pada individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami pengurangan
kekuatan otot dari tingkat dasar rata-rata 3% (Potter & Perry, 2006).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
55
Universitas Indonesia
Untuk mencegah terjadinyya komplikasi berlanjut maka intervensi yang bias dilakukan
oleh perawat adalah mengkaji kemampuan pasien untuk program latihan. Teaching
mengajarkan dan memberikan latihan aktif-pasif, latihan isometric pada tungkai yang
terganggu dan memotivasi supaya sendi yang sehat tidak mengalami penurunan fungsi.
Latihan penguatan tangan dan bahu membantu pasien mengatur posisi. Guidance
memberikan reinforcement untuk aktifitas self care yang telah dilakukan. Perawat
mengukur tanda-tanda vital pasien sebelum dan sesudah melakukan latihan.
Teaching mengajarkan pasien untuk latihan mobilisasi dini, membantu pasien untuk
transfer, merubah posisi, menilai kekuatan otot, meningkatkan intake nutrisi. Perawat
juga memonitor kemampuan pasien dalam melakukan mobilisasi, mengajarkan pasien
menggunakan alat bantu (Smeltzer & Bare, 2002).
Masalah resiko infeksi muncul pada sebagian besar kasus, karena adanya fraktur
terbuka dan kerusakan jaringanlunak yang luas. Luka terbuka harus diantisipasi
terjadinya infeksi (Apley & Solomon, 1995). Menurut Wilkinson (2005), seseorang
dikatakan mempunyai masalah resiko infeksi bila individu tersebut beresiko untuk
menyebarkan agen pathogen. Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau
cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik local maupun sistemik (Sherwood,
2009). Menurut Sherwood (2009), sebagai reaksi imunologi ada beberapa
penyimpangan hasil laboratorium antara lain : peningkatan leukosit lebih dari limfosit,
basofil, eosinofil. Pada kasus resume rata-rata pasien mengalami peningkatan sel darah
putih.
Adanya prosedur operasi perlu menjadi antisipasi perawat dalam mencegah kejadian
infeksi. Resiko infeksi yang terjadi pasca pembedahan dapat berasal dari factor
pembedahan, atau dari factor internal penderita. Kejadian infeksi pasca pembedahan di
Amerika Serikat secara keseluruhan diperkirakan sebesar 7,5%. Tingginya kejadian
infeksi tersebut menimbulkan peningkatan biaya perawatan sebesar 10 juta dolar setiap
tahunnya (Al Ibrahim, 2009). Faktor yang meningkatkan terjadinya infeksi antara lain
adalah usia dewasa tua, pengobatan, obesitas, malnutrisi, perokok, diabetes, dan
pemasangan alat invasive (Black & Haws, 2009).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
56
Universitas Indonesia
Penerapan pengkajian data therapeutic self care demand yang terdiri dari universal self
care, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites. Pada
universal self care yang menggali kebutuhan fisiologis pada teori ini dikaji untuk
mengetahui keadekuatan organ dan fungsi dari pemeliharaan kebutuhan masukan
oksigen, cairan, nutrisi, eliminasi, kesembangan aktifitas dan istirahat.
Rata-rata jumlah hari rawat pasien lamanya tergantung dari tingkat ketergantungan
pasien. Dan pasien diijinkan untuk pulang saat berada pada level supportive educative
nursing system dimana pasien butuh untuk diberikan edukasi dan discharge planning.
Control atau evaluasi dilakukan pada semua pasien kelolaan. Untuk semua masalah
keperawatan yang muncul pada pasien adalah nyeri dan mobilisasi.
Untuk masalah mobilisasi pasien kelolaan sebagian besar memperlihatkan beberapa
pasien dengan gangguan ektremitas yang sudah dikoreksi mulai teratasi. Dengan
supportive educative pasien dapat menggunakan alat bantu, akan tetapi yang harus
diwaspadai oleh perawat setelah mobilisasi teratasi adalah masalah trauma berulang.
Setelah dilaksanakan penerapan Teori Orem self care pada kasus gangguan system
musculoskeletal, penulis mendapatkan bahwa teori self care ini sangat tepat
diaplikasikan pada kasus system musculoskeletal. Tingkat ketergantungan pasien dapat
dilihat dan begitu juga kemandirian pasien dapat dikontrol, dengan melakukan methode
of helping yang tepat bagi pasien dan keluarga dapat dilibatkan sebagai mitra dalam
meningkatkan kemandirian.
Kelebihan pengkajian Orem ini adalah memungkinkan perawat untuk lebih
komprehensif dalam menggali data dari pasien mengingat OREM sangat
memperhatikan pasien secara holistic. Peran perawat disini dalam mengumpulkan data
akan lebih lengkap sampai dengan tingkat kemampuan pasien dalam system
keperawatan dan metode apa yang sebetulnya diperlukan oleh pasien.
Sebagian besar pada kasus kelolaan pada pengkajian untuk therapeutic self care
demand, didapatkan data sebagian besar mengalami gangguan, data tersebut dapat
dilihat pada developmental self care requisites dan health deviation self care requisites.
Pasien tidak mampu menyediakan makanan sendri, tidak mampu memenuhi kebutuhan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
57
Universitas Indonesia
cairan. Pada awal pasien masuk mengalami deficit self care, pada saat keadaan pasien
tersebut pasien butuh bantuan perawat dan keluarga. Perawat membantu memenuhi
kebutuhan pasien, member dukungan secara bertahap sesuai kemampuan pasien. Pasien
juga memerlukan kemampuan orang terdekat untuk mengembalikan rasa percaya dan
membantu pasien beradaptasi dengan keadaannya.
Diagnosa keperawatan menurut Orem (2001) adalah hasil proses pengumpulan,
pengujian, dan analisis data, dengan pengkajian yang divalidasi dan lengkap untuk
membuat keputusan keperawatan tentang pasien, kebutuhan, perkembangan dan
perubahan untuk menjelaskan hubungan antara basic conditioning factor dan
pemenuhannya, kemampuan praktek self care terkait pemahaman komponen dari
therapeutic self care demand, keterbatasan untuk bertindak dan mengambil keputusan,
keadekuatan pengetahuan dan ketrampilan, kesediaan dan komponen penguatan lainnya
untuk menampilkan self care dan memenuhinya. Serta bagaimana potensi
mengembangkan self care agency bila individu berada pada kondisi yang normal.
Perencanaan keperawatan yang dibuat dilandasi atas tujuan mengatasi dan
meminimalkan self care deficit. Berdasarkan hal tersebut nursing agency merupakan
upaya keperawatan yang dapat memenuhi kebutuhan individu, dapat dilakukan dengan
cara mengenal, memenuhi kebutuhan dan melatih kemampuan (Orem, 2001).
Dalam membuat perencanaan ditentukan tujuan dan sasaran yang sesuai dengan
diagnose keperawatan, berdasarkan self care demand dan meningkatkan kemampuan
self care. Pemberian asuhan keperawatan berdasarkan tingkat kemampuan pasien
(Wholly compensatory, partially compensatory dan supportive educative) dan kemudian
membuat metode yang sesuai untuk menolong yaitu : mengarahkan, mensupport,
mengajarkan, bertindak dan memberikan lingkungan untuk berkembang.
Kemudian pada tahap ketiga, terdiri dari implementasi dan evaluasi, Orem (2001)
menjelaskan pada tahap ini adalah melaksanakan rencana dan mengontrol tindakan
keperawatan. Pada tahap implementasi mengacu pada rencana keperawatan yang telah
dibuat. Perawat mempunyai tanggung jawab untuk melakukan implementasi secara tim
dengan melibatkan pasien dan keluarga serta anggota tim secara keseluruhan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
58
Universitas Indonesia
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dan diarahkan untuk
menentukan respon pasien terhadap intervensi keperawatan dan sejauh mana tujuan
tercapai (Smeltzer & Bare, 2002). Pada tahap evaluasi, Orem tidak merinci apa saja
yang harus dievaluasi. Misalnya pada kasus kelolaan utama, ada beberapa diagnose
yang harusnya pada setiap asuhan keperawatan yang sudah diberikan harus dievaluasi,
sehingga kemajuan dan kemunduran pasien dapat dilihat dari evaluasi. Sedangkan pada
model Orem self care evaluasi pada kemampuan pasien akan meningkatkan self care,
menurunkan self care deficit dan mempertahankan kebutuhan self care.
Keunggulan dari teori ini adalah menurut penulis dalam proses setiap tahapnya tidak jah
berbeda dengan tahap proses keperawatan yang dirumuskkan ANA, yaitu mulai dari
pengkajian sampai dengan evaluasi, namun pendokumentasian saja yang berbeda.
Penulis juga melihat keunggulan dalam proses pengumpulan data pasien dilakukan
dengan komprehensif, perawat dituntut mendapatkan data bukan hanya fisiologis saja
tapi juga biopsikososiospiritual, dan yang lebih unggul perawat menentukan apakah
pasien perlu diberikan keperawatan sepenuhnya dan sebagian. Sehingga perawat sudah
memperhitungkan seperti apa rencana tindakan yang akan diberikan, dengan metode
yang bagaimana untuk mengatasi masalah yang ada pada pasien.
Kelemahan dari teori ini ada beberapa langkah dalam proses keperawatan yang dalam
pelaksanaan pendokumentasian masih overlapping data antara satu dengan yang lainnya
seperti pada pengkajian self care requisites yang merupakan kebutuhan self care
menurut penulis akan data yang tidak normal akan muncul kembali di health deviation
self care requisites karena dalam data yang terganggu adalah merupakan salah satu
kebutuhan yang sudah dikaji pada universal self care requisites.
Selain itu sosialisasi penggunaan teori ini belum umum dan dipelajari pada level pasca
sarjana. Kurangnya buku sumber yang menampilkan format baku aplikasi asuhan
keperawatan juga menjadi kesulitan untuk penulis.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
BAB 4
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI
4.1 Tinjauan Literatur
Pedoman Agency for Healthcare Policy and Research (AHCPR) untuk
penatalaksanaaan nyeri akut (1992) menyatakan intervensi nonfarmakologi sebagai
intervensi yang cocok untuk klien yang memenuhi kriteria bahwa pasien merasa
intervensi tersebut menarik. Selain itu klien mengekspresikan kecemasan atau rasa
ketakutan, klien yang memperoleh manfaat dari upaya menghindari atau mengurangi
terapi obat, klien memiliki kemungkinan untuk mengalami dan perlu mengembangkan
koping dengan interval nyeri pasca operasi yang lama, klien yang masih merasakan
nyeri setelah menggunakan terapi nonfarmakologi (Potter & Perry, 2006).
Penggunaan terapi nonfarmakologi yang menjadi pilihan menurut Perry dan Potter
(2006) adalah yang pendekatannya noninvasif, risikonya rendah, tidak mengeluarkan
biaya yang banyak, mudah dilakukan, berada pada lingkup keperawatan. Intervensi
yang diberikan memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas, mengubah respon
psikis, mengurangi rasa takut, dan memberikan klien kekuatan untuk mengontrol nyeri
(Black & Hawsk, 2009).
Arslan, Ozer & Ozyurt (2007) dalam publikasinya di Australian Journal of Advanced
Nursing yang berjudul The Effect of music on preoperative anxiety in the during
undergoing urogenital surgery, menjelaskan bahwa terapi music sangat efektif
menurunkan nyeri pada pasien post operasi urogenital. Hal ini juga didukung oleh
penelitian RCT yang dibuat oleh Schou (2008) di Aalborg University, dengan judul
penelitian Music Therapy for Post Operative Cardiac Patients : A Randomized Control
Trial Evaluating Guided Relaxation with Music and Music Listening on Anxiety, pain,
and Mood. Schou menyatakan bahwa pasien post operasi jantung yang diberikan terapi
musik menunjukkan penurunan level nyeri dan kecemasan lebih besar dibandingkan
yang tidak diberikan intervensi terapi music.
Penelitian lain yang mendukung bahwa terapi music sangat efektif menurunkan nyeri
adalah dari jurnal Research In Nursing and Health dengan judul Relaxation and music
Universitas Indonesia60
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
61
Universitas Indonesia
reduce pain following intestinal surgery (Good, Anderson, Ahn, Cong, & Stanton-
Hicks, 2005). Good dkk menjelaskan bahwa pasien yang menjalani pembedahan
intestinal yang diberikan kombinasi terapi music dan relaksasi menunjukkan penurunan
level nyeri yang cukup signifikan dan penggunaan dosis analgesic yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa pemberian terapi music pada post operasi
intestinal.
Sebanyak kurang lebih 21 penelitian telah dikembangkan oleh Marion Good dalam
dekade tahun 2000an terakhir ini mengenai efektifitas terapi musik terhadap nyeri post
operasi (Pellino, et. al., 2005). Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik (Nilsson, 2008). Sebagian besar distraksi musik dapat dilakukan
di rumah sakit, di rumah, atau di unit hospice (Chiang, 2012).
4.1.1 Masalah Klinik
a. Problem (P)
Beberapa agen farmakologi seperti analgesik digunakan untuk mengatasi nyeri
(Peterson & Bredow, 2004). Non Steroid Anti Inflammation Drugs (NSAID) non
narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri terkait
artritis rematoid, prosedur pengobatan gigi dan proses bedah minor, episiotomy, dan
masalah pada punggung bawah (Potter & Perry, 2006).
Katzung (2007) mengatakan bahwa morfin maupun ketorolak memiliki efek samping
yang hampir sama yaitu ; pruritus, mual dan muntah, retensi urin, sedasi, sampai depresi
pernapasan. Efek samping ketorolak yang lainnya berupa pusing, berkeringat, euforia,
mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkope dan sedasi. Obstipasi dan retensi urin tidak begitu sering timbul seperti pada
morfin tetapi efek sedasinya sebanding morfin. Efek samping yang jarang timbul adalah
delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik.
Kemungkinan timbulnya bahaya adiksi analgesik yang patut diwaspadai adalah inhibisi
agregasi platelet yang ditimbulkan oleh asam arachdonat dan kolagen, tetapi tidak oleh
Adenosin Difosfat (ADP). Hal ini berdampak pada pemanjangan waktu perdarahan jika
analgesic diberikan pada dosis berlebihan dan dalam jangka panjang. Bahaya lainnya
pada pemberian jangka panjang adalah berkurangnya ventilasi pulmonal sampai depresi
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
62
Universitas Indonesia
napas, efek kardiovaskuler, hambatan pembentukan prostaglandin jangka panjang bisa
menyebabkan gangguan homeostasis karena prostaglandin berperan di ginjal, keadaan
yang sangat berat bisa menyebabkan koma (Neal, 2002; Katzung, 2007).
Penggunaan analgesik yang tepat membutuhkan pengkajian, aplikasi prinsip-prinsip
farmakologi, dan alasan yang cermat. Manajemen penatalaksanaan nyeri adalah
kerjasama seluruh tim pemberi layanan untuk kepentingan pasien (Rospond, 2008;
Rowlingsons; 2009). Perawat harus mengetahui obat-obatan yang tersedia dan efek-efek
samping dari obat-obat tersebut (Potter & Perry, 2006).
b. Intervensi (I)
Intervensi ini adalah melakukan penerapan terapi music untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi ORIF. Instrumen pengkajian nyeri menggunakan NRS sangatlah
mudah, klien hanya diminta menunjukkan tingkat nyeri pasien pada suatu garis rentang
0-10. Nyeri diukur sebelum dan sesudah dilakukann intervensi terapi music. Intervensi
terapi music diberikan selama 15 menit menggunakan earphone. Pasien diperkenankan
memilih jenis music yang diinginkan yang ada pada daftar pilihan music. Penggunaan
earphone bertujuan bahwa terapi ini bersifat personal dan preference.
c. Comparison (C)
Survey yang dilakukan pada Oktober dan November 2012 pada pasien post operasi
ORIF yang dirawat di GPS lantai 1 RSUP Fatmawati didapatkan gambaran bahwa rata-
rata pasien mengeluhkan nyeri yang terjadi sehingga tujuan ambulasi dini yang akan
menjadi intervensi selanjutnya sebagai rangkaian dari implementasi penatalaksanaan
asuhan keperawatan mengalami delay. Selain itu pasien juga menyatakan jika mau
memulai ambulasi dini harus minum obat pereda nyeri terlebih dahulu. Sementara itu
pemberian terapi analgetik rute intravena yang dianjurkan sudah bisa digantikan rute
peroral, terkadang pasien masih menginginkan analgetik rute intra vena dengan alasan
nyeri lebih cepat hilang. Ketergantungan ini memiliki efek samping yang kurang
dipahami pasien.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
63
Universitas Indonesia
d. Output (O)
Terapi musik sangat berkembang di dunia sebagai terapi nonfarmakologis pada post
pembedahan karena terbukti efektif menurunkan nyeri, mengurangi penggunaan
analgesia dan efek sampingnya, memperpendek lama hari rawat, kepusan pasien
meningkat, dan secara menurunkan biaya. Penerapan terapi music sebagai terapi
komplementer untuk mengurangi nyeri post operasi ORIF dan diharapkan akan
berdampak luas tidak hanya bagi pasien tetapi juga pada tujuan asuhan keperawatan
sangat mudah untuk diaplikasikan. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan klinis
bagaimana gambaran efektifitas penerapan terapi music terhadap nyeri pasien post
operasi ORIF di Lantai 1 Gedung Prof. Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta.
4.1.2 Metoda Penelusuran Literatur
Penelusuran literatur menggunakan Proquest, Pubmed, dan CINAHL dengan
menggunakan kata kunci “music therapy as nursing complementary intervention”
ditemukan 40 artikel mengenai aplikasi terapi music pada pasien pasca bedah.
Pada abad ke-19 musik telah dipraktikkan sebagai bagian dari intervensi keperawatan
oleh Florence Nihgtingale (Schou, 2008). Nightingale menemukan bahwa bunyi-
bunyian bisa membantu sebagai milieu therapy dalam menyembuhkan karena
meningkatkan relaksasi. Pada saat menyembuhan tentara yang mengalami cedera atau
sakit di Perang Krim, Nightingale menggunakan live musik karena belum ada tape
recorder pada jaman itu (Schou, 2008). Nightingale menggunakan bunyi-bunyi natural
seperti suara angin, air mengalir. Jelaslah bahwa terapi musik digunakan sebagai bagian
dari terapi komplementer adalah kontribusi dari perawat.
Elemen musik bisa mempengaruhi integrasi emosi individu terutama masa pengobatan ,
pemulihan, bahkan pada keadaan disabilitas. Musik adalah suatu komponen yang
dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya
(Wilgram, 2002; Anjali & Ulrich, 2007; Nilsson, 2009). New Zealand Society for Music
Therapy (NZSMT) (2005) menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti efektifitasnya
untuk diimplementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa menurunkan
kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood yang positif. Selain itu musik juga
melibatkan pasien dalam prosesnya, dan terbukti meningkatkan kepuasan pasien,
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
64
Universitas Indonesia
mengurangi lama hari rawat di rumah sakit serta mengurangi biaya rumah sakit
(NZSMT, 2005).
Berdasarkan pada jurnal diatas, maka akan dilakukan penerapan terapi music pada
pasien post operasi ORIF untuk mengurangi nyeri pasca pembedahan. Nyeri diukur
menggunakan instrument nyeri NRS
4.1.3 Validitas
Sjostorm, Dahlgren, dan Haljamae (2000) mengatakan untuk menjaga validitas skala
nyeri pada populasi dewasa bukan anak-anak adalah dengan menggunakan Numeric
Rating Scale (NRS). Validitas alat ukur pada penelitian ini dijaga dengan memberikan
penjelasan mengenai pemakaian instrumen secara jelas kepada responden sehingga
benar-benar memahami cara lapor diri. Responden diminta untuk lapor diri apa adanya
dengan memilih satu angka yang paling tepat untuk menggambarkan tingkat persepsi
nyeri yang dirasakan.
Validitas instrument NRS telah diujikan pada 11 penelitian pada pasien post operasi dan
emergensi dengan intervensi terapi musik (Dunn, 2004). Tujuh penelitian diantaranya
menyatakan bahwa instrument ini valid untuk digunakan pada pengukuran skala nyeri
post operasi dan nyeri akut.
Brunelli, Zecca, Martini, Campa, Fagnoni, Bagnaso, et.al. (2010) melakukan uji
komparasi NRS, VAS, dan VRS untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Jika nilai
Koefisien Kappa > 0,6 dan P value < 0,005, maka persepsi peneliti dan asisten peneliti
sama. Sedangkan jika nilai Koefisien Kappa < 0,6 dan P value > 0,005, maka persepsi
peneliti dan asisten peneliti berbeda (Dharma, 2011). Hasil uji Cohen’s Kappa untuk
instrument NRS yang dilakukan oleh Brunelli, Zecca, Martini, Campa, Fagnoni,
Bagnaso, et.al. (2010) adalah 0,86 (sangat baik). Pada penelitian ini peneliti tidak
menggunakan asisten peneliti, seluruh pengumpulan data dikerjakan sendiri oleh
peneliti.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
65
Universitas Indonesia
4.1.4 Important
Penatalaksanan nyeri sebagai bagian dari asuhan perawat atas respon pasien akan
berbeda antar pasien. Persepsi yang salah mengenai penanganan nyeri harus selalu
diberi analgesik tidak berlaku pada keperawatan (Chung, Ritchie, & Su, 1997). Hal ini
justru menimbulkan suatu concern terhadap respon pasien akibat efek samping dari
analgesik itu nantinya (Potter & Perry, 2006). Pada dasarnya nyeri dapat diatasi dan atau
dikurangi, dengan melihat jenis dan tingkatan respon masing-masing individu
(Rospond, 2010).
Sasaran dari kebanyakan pembedahan ortopedi ORIF adalah memperbaiki fungsi
dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas, mengurangi nyeri dan komplikasi
(Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawks, 2009). Sebagian besar pasien mempercayai
bahwa nyeri yang akan mereka alami saat post operasi menimbulkan ketakutan
tersendiri yang nantinya akan menentukan perilaku mereka sebagai bagian dari
mekanisme koping (Rowlingson, 2009). Analgesik bukanlah protokol utama untuk
menghilangkan nyeri pada post operasi (Dunn, 2004). Pemberian terapi yang
memanipulasi simpatis dan parasimpatis setelah pembedahan hanya akan menghambat
proses recovery jaringan (Rowlingson, 2009).
Respon stress pembedahan ini mengalami puncaknya saat post operasi yang efek
utamanya pada jantung, koagulasi darah, dan sistem imunitas (Rowlingson, 2009).
Seluruh pembedahan di unit ortopedi akan mengakibatkan intesitas dan durasi nyeri
akut yang berbeda dari unit sistem lain. Hal ini disebabkan derajat kerusakan yang
mencedarai mulai dari superfisial, jaringan lunak, bone exposed, pembuluh darah dan
syaraf (Chelly, Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003; Antall & Kresevic, 2004). Derajat
nyeri pasien pada periode post operasi memiliki korelasi yang kuat terhadap lama hari
rawat, waktu pemulihan, biaya yang dikeluarkan pasien dan kepuasan pasien (Adams,
2005; Finnerty, 2005; Nilssons, 2008)
Sesaat setelah pembedahan ortopedi, nyeri yang dirasakan pasien post pembedahan
ortopedi dilaporkan oleh pasien seperti terbakar, pasien merasa itulah saat yang sangat
menderita dan kesakitan (Joelsson, Olsson & Jakobson, 2010). Pada hari berikutnya
setelah operasi, banyak pasien yang mengeluhkan takut menggerakkkan ekstremitas
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
66
Universitas Indonesia
yang dioperasi karena nyeri (Aisudione, & Shadrac, 2010). Pada pemeriksaan dengan
Visual Analogue Scale, pasien melaporkan masih berada pada level 7-8, dan pada
beberapa pasien masih dilaporkan pada level 10 (Joelsson, Olsson & Jakobson, 2010).
Latihan untuk memulai mobilisasi juga belum bisa dilakukan karena pasien merasa
nyeri dan takut. Konsumsi obat penghilang rasa sakit mulai sering diminta oleh pasien
(Engwall & Duppils, 2009).
Permintaan penggunaan analgesik adalah jalan keluar pasien untuk mengatasi nyeri post
operasi. Penggunaan analgesik untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan merupakan
protokol yang seharusnya (Good, et.al., 2005; Nilssons, 2008). Permintaan obat
penghilang rasa sakit juga termasuk dalam mekanisme koping seseorang terhadap nyeri
(Chelly, Ben-Davis, Williams & Kentor, 2003). Smeltzer dan Bare (2002) menjelaskan
bahwa pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
Efek sementara dari pemberian penghilang nyeri akan mengakibatkan banyak efek
samping yang harus dipahami oleh pemberi layanan manajemen nyeri, seperti sedasi,
confuse, agitasi, peningkatan produksi asam-asam saluran cerna, yang justru
menghambat proses penyembuhan luka, ambulasi sampai dengan prolonged length of
stay yang sangat berpengaruh terhadap effective cost management dari pasien (Neal,
2002; Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2003; Peterson &
Bredow, 2004; Nilssons, 2008).
Pada hari-hari berikutnya nyeri yang dikeluhkan pasien selain ketakutan untuk bergerak,
adalah karena luka pembedahan (Gillaspie, 2010). Pada level ini, makin banyak obat
pereda nyeri yang diminta oleh pasien. Tetapi keluhan yang menyertai akibat efek
samping analgesik juga mulai muncul seperti nausea, vomitus, pruritus, retensi urin,
konstipasi, dan imunosupresi (Neal, 2002; Chelly, Ben-David, Williams & Kentor,
2003). Pada pasien pembedahan ortopedi yang lanjut usia, efek samping sedasi dan
confusion juga merupakan yang paling sering dilaporkan (Antall & Kresevic, 2004;
Aisudione & Shadrac, 2010). Ketidakmampuan klien dalam mengontrol nyeri pada
pembedahan ortopedi akan berpengaruh sangat besar pada kualitas hidup pasien
(McCaffrey, 1999; dalam Antall & Kresevic, 2004).
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
67
Universitas Indonesia
4.1.5 Applicability
Penggunaan terapi nonfarmakologi yang menjadi pilihan menurut Perry dan Potter
(2006) adalah yang pendekatannya noninvasif, risikonya rendah, tidak mengeluarkan
biaya yang banyak, mudah dilakukan, berada pada lingkup keperawatan. Intervensi
yang diberikan memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas, mengubah respon
psikis, mengurangi rasa takut, dan memberikan klien kekuatan untuk mengontrol nyeri
(Black & Hawsk, 2009).
Terapi musik dengan pendekatannya yang unik dan universal membantu mencapai
tujuan dengan penurunan stress, ketakutan akan penyakit dan cedera, menurunkan
tingkat depresi, kecemasan, stress, dan insomnia. Terapi musik juga mendorong
perilaku kesehatan yang positif, mendorong kemajuan pasien selama masa pengobatan
dan pemulihan (Schou, 2008).
4.2 Penelitian Terkait
Mitchell dan MacDonald (2006) mengemukakan efek terapi musik pada nyeri adalah
distraksi terhadap pikiran tentang nyeri, menurunkan kecemasan, menstimulasi ritme
nafas lebih teratur, menurunkan ketegangan tubuh, memberikan gambaran positif pada
visual imagery, relaksasi, dan meningkatkan mood yang positif.
Chiang melakukan penelitian efek terapi musik dan suara alam terhadap tingkat nyeri
dan kecemasan pasien kanker di unit perawatan hopice kanker Taiwan pada tahun 2012.
Tehnik yang digunakan adalah Randomized Control Trial (RCT), dengan 117 sampel
pasien kanker. Partisipan dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok perlakuan
diperdengarkan musik, suara alam, dan kombinasi keduanya selama 20 menit setiap hari
selama 3 hari, dengan menggunakan earphone.
Kelompok kontrol diberikan earphone tanpa musik. Tetapi setelah penelitian selesai,
kelompok kontrol juga diberi kesempatan untuk mendengarkan CD yang berisi musik
untuk terapi. Hasil penelitiannya adalah terdapat penurunan nyeri yang signifikan pada
ketiga kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (P value= 0,001). Terapi
musik dengan kombinasi suara alam memiliki efek paling besar untuk menurunkan
nyeri pasien kanker.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
68
Universitas Indonesia
Tse, Chan dan Benzie (2005) melakukan penelitian pengaruh terapi music pada 57
pasien post operasi nasal di Polytehnic University Hong Kong. Intervensi diberikan
segera setelah 30 menit pasien kembali dari ruang operasi. Intervensi diulangi kembali 4
jam sesudahnya. Skala nyeri diukur dengan VRS. Hari berikutnya (hari pertama post
operasi dan hari kedua postoperasi), intervensi dilakukan pada jam 8 pagi dan jam 12
siang. Intervensi dilakukan di ruang perawatan selama 30 menit setiap sesi. Kelompok
kontrol mendengarkan headset tanpa musik.
Finnerty (2006) melakukan studi kualitatif yang diberi judul “Musik Therapy As An
Intervention For Pain Perception”, dengan pernyataan hasil penelitiannya yaitu ; terapi
musik bisa mempengaruhi keadaan biologis tubuh seperti emosi, memori. Ketukan yang
tetap dan tenang memberi pengaruh kuat pada pasien sehingga tercipta suatu keadaan
rileks. Keadaan rileks ini memicu teraktivasinya sistem syaraf parasimpatis yang
berfungsi sebagai penyeimbang dari fungsi parasimpatis. Terapi musik bisa menjadi
distraksi dari nyeri seseorang dan mengurangi efek samping analgesik, terapi musik
juga bisa menurunkan kecemasan, gejala depresi, meningkatkan motivasi, sehingga
berkontribusi meningkatkan kualitas hidup pasien.
4.3 Praktik Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
4.3.1 Subyek
Subyek dalam penerapan praktik berdasarkan bukti adalah pasien post operasi ORIF
yang dirawat di lantai 1 GPS RSUP Fatmawati Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi
selama pengambilan data berlangsung. Kriteria subjek yang ditetapkan adalah pasien
yang telah menjalani operasi ORIF tanpa operasi penyerta lainnya saat menjalani
operasi ORIF (misalnya : ORIF dan craniotomy, ORIF dan laparotomy, ORIF dan
amputasi, dsb), pasien dalam kondisi sadar penuh, pasien memiliki kemampuan baca
tulis, dan pasien tidak mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan kriteria ekslusi
subyek adalah pasien mengalami komplikasi post operasi, seperti gangguan
hemodinamik, perdarahan atau nyeri hebat, maka terapi akan segera dihentikan, dan
pasien harus segera dikonsulkan ke dokter ahli.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
69
Universitas Indonesia
4.3.2 Tempat dan Waktu
Tempat pelaksanaan EBN adalah di Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati Jakarta pada bulan
April 2013 dengan rencana jadwal pelaksanaan sebagai berikut :
NO KEGIATANWAKTU
Februari Maret April Mei
1 Penyusunan Proposal
2 Izin Ruangan
3 Pelaksanaan EBN
4 Penyusunan laporan
4.3.3 Prosedur Pelaksanaan Evidence Based Practice
Prosedur pelaksanaan evidence based practice ini meliputi prosedur administrative dan
teknis. Adapun prosedur tersebut adalah sebagai berikut
1. Prosedur Administratif : menyiapkan proposal dan izin ruangan
2. Prosedur Teknis
a. Meminta izin pada penanggung jawab ruangan Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati
dengan menjelaskan tujuan penerapan EBN
b. Melakukan sosialisasi pada perawat di ruangan Lantai 1 GPS RSUP Fatmawati
Jakarta
c. Mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dengan metode wawancara
dan melihat dokumentasi pasien.
d. Menjelaskan pada pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN.
e. Prosedur Pelaksanaan
- Menjelaskan pada pasien tujuan dan cara pengisian lembar pengkajian
- Meminta persetujuan pasien dengan informed concent
- Memberikan kesempatan bertanya mengenai hal yang tidak dipahami
- Responden diminta menunjukkan tingkat nyerinya pada skala nyeri 0-10 yang ada
pada intrumen pengkajian nyeri NRS untuk menilai skala nyeri pasien sebelum
diberikan terapi musik
- Responden diberikan waktu selama 5 menit untuk menempatkan diri pada posisi
yang nyaman menurut responden dan memilih musik yang disukai dari MP3 atau
memilih dari daftar pilihan musik yang diberikan oleh peneliti.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
70
Universitas Indonesia
- Responden mulai mendengarkan musik yang disukainya dengan earphone.
- Terapi berlangsung selama 15 menit (dihitung dengan menggunakan stopwatch,
yang dimulai sejak tombol play ditekan).
- Setelah 15 menit, musik dihentikan dan earphone dilepaskan.
- Pengkajian nyeri dilakukan pada periode setelah 10 menit sejak tombol off pada
MP3 ditekan. Pengkajian dengan menggunakan NRS untuk skala nyeri sesudah
intervensi.
f. Sosialisasi hasil penerapan EBN
g. Merekomendasikan hasil penerapan EBN
4.4 Pembahasan
Intervensi terapi music diberikan pada 10 orang pasien post ORIF. Setelah mendapatkan
persetujuan dari pasien untuk melakukan penerapan EBN. Rerata nyeri pasien post
ORIF berada pada level nyeri berat (7-10). Dari 10 orang yang diberikan intervensi
terapi music, terdapat 6 orang mengalami penurunan pada level nyeri sedang, dan 4
orang mengalami penurunan nyeri sampai di level nyeri ringan. Jenis kelamin pasien
yang diberikan intervensi terapi music ini semuanya laki-laki. Hal ini disebabkan saat
pasien sedang melaksanakan praktek di bulan April dan Mei 2013, sebagian besar
pasien yang menjalani prosedur pembedahan ORIF adalah laki-laki.
Pasien yang menjalani operasi bukan ORIF (fiksasi eksternal, debridement, amputasi,
atau remove implant) yang berada didekat pasien intervensi juga ikut meminta diberikan
terapi music. Lagu yang menjadi pilihan pasien adalah tembang kenangan. Rentang usia
pasien yang diintervensi adalah 30 tahun sampai dengan 62 tahun, dengan rerata berada
pada usia 30 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kejadian trauma
musculoskeletal khususnya pada ekstremitas sering dialami oleh lelaki yang berusia
produktif.
Pemberian analgetik merupakan prosedur standar pada post operasi ORIF. Penggunaan
analgesik untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan merupakan protokol yang
seharusnya (Good, et.al., 2005; Nilssons, 2008). Efek sementara dari pemberian
penghilang nyeri akan mengakibatkan banyak efek samping yang harus dipahami oleh
pemberi layanan manajemen nyeri, seperti sedasi, confuse, agitasi, peningkatan produksi
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
71
Universitas Indonesia
asam-asam saluran cerna, yang justru menghambat proses penyembuhan luka, ambulasi
sampai dengan prolonged length of stay yang sangat berpengaruh terhadap effective cost
management dari pasien (Neal, 2002; Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines
Group, 2003; Peterson & Bredow, 2004; Nilssons, 2008).
Penurunan level nyeri yang cukup signifikan pada pemberian terapi music untuk nyeri
pasca operasi ORIF membuktikan bahwa terapi music efektif untuk menurunkan nyeri
post operasi ORIF. Terapi musik terbukti menurunkan tingkat nyeri lebih besar
dibandingkan yang hanya diberikan terapi standar pada pasien post operasi ORIF di
RSUDAM Propinsi Lampung (Novita, 2012). Sehingga terapi musik bisa digunakan
sebagai terapi komplementer komplementer pada pasien post operasi ORIF. Penurunan
nyeri ini membantu proses penyembuhan luka dan pemulihan kondisi umum, dan pasien
bisa memulai rehabilitasi sesegera mungkin. Efek samping dari penggunaan analgesik
juga bisa dikurangi karena pasien bisa direkomendasikan untuk mengurangi dosis
konsumsi analgesik. Hal ini akan membantu dalam pengurangan cost pasien dan
meningkatkan kepuasan pasien atas pelayanan keperawatan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori diatas dimana ada perbedaan yang signifikan
tingkat nyeri sebelum dan setelah diberikan terapi musik pada pasien post operasi ORIF
di ruang rawat inap RSUDAM Propinsi Lampung tahun 2012. Penurunan tingkat nyeri
ini bisa yang disebabkan oleh efek musik yang bersifat sedatif memberikan respon
berupa ketenangan emosional, relaksasi, denyut nadi, dan tekanan darah sistolik
menurun sehingga pasien mampu mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman yang
menyebabkan respon nyeri pun berkurang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mitchell dan MacDonald (2006) bahwa terapi musik pada nyeri adalah distraksi pikiran
tentang nyeri, menurunkan kecemasan, menstimulasi ritme nafas lebih teratur,
menurunkan ketegangan tubuh, memberikan gambaran positif pada visual imagery,
relaksasi, dan memberikan mood yang positif.
Pada tahun 2006 di Rumah Sakit Orebro University Swedia, untuk pertama kalinya para
perawat mulai menggunakan musik sebagai salah satu acara di radio dengan
memperdengarkan lagu-lagu yang lembut dan rileks (Nilsson, 2009). Nilsson (2009)
mengemukakan bahwa terapi musik adalah intervensi keperawatan yang menggunakan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
manipulasi lingkungan dengan sumber pendukung stimulasi suara, dimana suara dari
musik yang bersifat relaksasi, manajemen distraksi. Musik dalam konteks keperawatan
bekerja sebagai audioanalgesia, audioanxiolytic, dan atau audiorelaxation.
Berdasarkan Middle Range Theory yang dikemukakan pakar teori keperawatan Marion
Good “Pain: a balance between analgesia and side effect”, partisipasi klien bersama
perawat untuk mencapai tujuan mengontrol nyeri dengan meminimalkan efek samping
analgetik akan meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi biaya perawatan, dan
mempercepat lama hari rawat (Peterson & Bredow, 2004). Terapi musik adalah contoh
terapi modalitas keperawatan yang sangat dianjurkan untuk intervensi pada pasien post
operasi, dimana musik akan membantu pasien meningkatkan kemampuannya
untuk mengontrol gejala-gejala negative akibat nyeri pembedahan (Arslan, Ozer &
Ozyurt,
2007; Dunn, 2004; Engwall & Duppilis, 2009). Siedlecki dan Good (2006)
menyatakan bahwa mendengarkan musik telah menunjukkan efek positif yang
besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan terutama untuk menurunkan nyeri,
kecemasan, dan dalam masa rehabilitasi. Intervensi ini sangat mudah, tidak mahal, non
invasif, bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Dalam praktik klinik terapi musik, sangat penting bagi perawat untuk memperhatikan
faktor-faktor yang bisa mempengaruhi respon individu terhadap musik. Hal yang tidak
bisa diabaikan adalah usia, jenis kelamin, tingkat keparahan penyakit, fungsi kognitif,
kesukaan jenis musik, kebiasaan, budaya, dan hal-hal pribadi lainnya dari pasien yang
terkait dengan terapi music (Campbell, 2006). Keunikan setiap pasien dalam berespon
terhadap intervensi terapi musik harus dipahami oleh perawat. Untuk itu, tidak
bisa selalu diasumsikan musik akan selalu memberi efek yang sempurna bagi semua
pasien, monitoring berkelanjutan sangat diperlukan (Nilsson, 2009). Penelitian tentang
terapi musik sebagai intervensi keperawatan harus terus dikembangkan di era
kesehatan modern saat ini dan masa mendatang.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5
ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR
Bab ini menguraikan pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilakukan di Lantai 1
Gedung Prof Soelarto RSUP Fatmawati Jakarta. Kegiatan dilakukan secara
kelompok oleh Chandra Bagus Ropyanto, Desak Dewi Suarse, dan Dian Novita
sebagai inovator. Inovasi yang dilakukan merupakan aplikasi Clinical Practice
Guidline (CPG) pada kasus pasca ORIF ekstremitas bawah.
5.1 Analisis Situasi
Permasalahan pasca pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi
jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare &Smeltzer,
2006). Permasalahan pasca ORIF ekstremitas bawah memiliki karakteristik yang
berbeda tergantung pada area yang mengalami fraktur.
Fraktur pada ekstremitas bawah dapat menyebabkan ketidakberdayaan dan
ketergantungan yang besar karena tubuh bertumpu pada ekstremitas bawah untuk
bergerak. Dampak yang besar terhadap mobilisasi, aktivitas hidup, dan perawatan
diri memerlukan adaptasi terhadap situasi yang baru dan sulit (Kneale & Davis,
2005)
Karakteristik permasalahan yang berbeda pasca ORIF ekstremitas bawah
memerlukan manajemen asuhan keperawatan yang spesifik berdasarkan lokasi
fraktur. Manajemen asuhan keperawatan yang tepat adalah berdasarkan clinical
pathway. Clinical pathway merupakan rencana multidisiplin sebagai praktik klinik
terbaik pada kelompok pasien yang spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing,
2005).
Manajemen asuhan keperawatan pasca ORIF ekstremitas bawah di GPS Lt.1
RSUP Fatmawati masih dilakukan berdasarkan rutinitas. Pendekatan berdasarkan
clinical pathway perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan manajemen
asuhan keperawatan. CPG dapat dilakukan karena di RSUP Fatmawati sedang
dilakukan pengembangan Diagnostic Related Group (DRG).
73
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
74
5.1.1 Strength
Kekuatan yang dimiliki di GPS lantai 1 merupakan ruang khusus kasus ortopedi
sehingga dimana tenaga keperawatan sudah berpengalaman melakukan asuhan
keperawatan pada kasus bedah ortopedi dengan tingkat pendidikan adalah D-3
dan S1. Dampak yang didapatkan adalah kemampuan mengaplikasikan CPG lebih
cepat
5.1.2 Weakness
Kelemahan yang ditemukan adalah kolaborasi multidisiplin profesi belum optimal
karena terkendala beberapa hal. Dampak yang dirasakan saat aplikasi CPG
kemungkinan kurang optimal karena kewenangan.
5.1.3 Opportunities
RSUP Fatmawati sedang mengembangkan DRG yang sesuai dimana CPG
merupakan aplikasi dari DRG. Peluang yang didapat adalah adanya dukungan dari
pemangku kebijakan karena sesuai dengan pengembangan institusi.
5.1.4 Threath
Tuntutan terhadap pelayanan RSUP Fatmawati yang meningkat sebagai rumah
sakit rujukan pusat. Persaingan antar rumah sakit yang semakin meningkat.
5.2 Kegiatan Inovasi
5.2.1 Persiapan
Tahap pertama adalah analisa kebutuhan ruangan akan inovasi sesuai dengan
analisa SWOT. Persiapan selanjutnya adalah melakukan identifikasi kasus yang
akan dilakukan CPG. Hasil identifikasi didapatkan bahwa kasus yang akan
disusun CPG adalah pasca ORIF fraktur hip, femur, tibia dan fibula.
Studi literatur dilakukan untuk penyusunan CPG, yang terdiri dari outcome setiap
hari dan saat pasien pulang (discharge), dan intervensi keperawatan sesuai clinical
pathway. Intervensi keperawatan disesuaikan dengan permasalahan pada pasca
operasi seperti monitoring pasca operasi, integritas jaringan, resiko infeksi, nyeri,
eliminasi, dan aktivitas/latihan dengan rentang waktu yang telah ditentukan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
75
5.2.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan melakukan sosialisasi program yang
dihadiri kepala instalasi, supervisor, kepala ruangan, wakil kepala ruangan, PN,
dan perawat pelaksana. Materi sosialisasi meliputi latar belakang perlunya CPG,
pengertian CPG, tujuan penggunaan CPG, serta aplikasi CPG.
Tahap selanjutnya adalah aplikasi CPG dalam asuhan keperawatan, dimana CPG
diinterprestasikan dalam asuhan keperawatan sesuai dengan permasalahan
keperawatan. Aplikasi dilakukan selama dua minggu. Tahap terakhir adalah
evaluasi aplikasi CPG yang meliputi evaluasi pasien berkaitan dengan
ketercapaian outcome, dan evaluasi diri perawat yang berkaitan dengan kesulitan,
hambatan, dan persepsi mengenai aplikasi CPG.
5.2.3 Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan kuisioner mengenai evaluasi diri dan evaluasi
pelaksanaan. Evaluasi diri terdiri dari 9 pertanyaan, sedangkan evaluasi
pelaksanaan terdiri dari 5 pertanyaan. Jawaban kuisioner menggunakan jawaban
dari “tidak sesuai” sampai “sesuai” dengan rentang skala 0 sampai 4. Evaluasi
dilakukan terhadap 14 orang perawat di GPS lantai 1 RSUP Fatmawati.
Hasil evaluasi diri menunjukan bahwa CPG memberikan dampak yang positif
terhadap perawat. Hasil evaluasi pernyataan mengenai penggunaan CPG
menunjukan bahwa perawat mengetahui penggunaan CPG dengan sebanyak 71%
perawat menyatakan pada skala 3. Evaluasi diri mengenai CPG mampu membantu
melakukan asuhan keperawatan menunjukan bahwa 57,1% perawat menyatakan
pada skala 3, sementara mengenai CPG mampu meningkatkan kemampuan
kualitas dan keberhasilan asuhan keperawatan 64,3% perawat menyatakan pada
skala 3. Evaluasi mengenai CPG mampu meningkatkan kemampuan perawat
dalam melakukan asuhan keperawatan dan kemampuan dalam berkolaborasi
dengan tim kesehatan lain 78,6% perawat menyatakan pada skala 3. Hasil evaluasi
menunjukan kesesuaian, tetapi pada beberapa pernyataan masih terdapat
kekurangan. Pernyataan mengenai kesulitan dalam mengaplikasikan CPG
menunjukan bahwa 50% perawat menjawab pada skala 2, dan mengenai
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
76
kesesuaian CPG dengan clinical pathway pasien 57,1% perawat menyatakan
dalam skala 2.
Hasil evaluasi pelaksanaan CPG menunjukan hasil yang bervariasi pada setiap
item pernyataan. Hasil evaluasi pernyataan mengenai implementasi asuhan
keperawatan sesuai CPG menunjukan 85,7%, pada skala 3, sementara penggunaan
CPG sesuai kasus 98% perawat menjawab pada skala 3, sementara untuk CPG
mampu meningkatkan kualitas asuhan keperawatan 71,4% perawat menyatakan
pada skala 3. Hasil evaluasi mengenai pernyataan CPG sesuai outcome kasus pada
pasien 50% perawat menyatakan pada skala 2, dan pernyataan mengenai lama hari
rawat CPG sesuai lama hari rawat pasien 71,4% perawat menjawab pada skala 2.
5.3 Pembahasan
Hasil evaluasi proyek inovasi CPG menunjukan hasil yang positif pada beberapa
aspek. Output dari penerapan CPG adalah peningkatan kemampuan perawat dan
kualitas pemberian asuhan keperawatan, karena manajemen asuhan keperawatan
yang tepat adalah berdasarkan clinical pathway. Clinical pathway merupakan
rencana multidisiplin sebagai praktik klinik terbaik pada kelompok pasien yang
spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing, 2005).
Clinical practice guidline (CPG) merupakan produk dari clinical pathway, dimana
dalam melakukan asuhan keperawatan tidak berdasarkan rutinitas. Clinical
practice guidline indikasi spesifik yang dikembangkan berdasarkan literatur,
penelitian medis, dan klinik yang kompeten (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal,
2010).
Hasil evaluasi belum mendukung penerapan CPG mampu mempengaruhi lama
hari rawat pasien. Faktor lain yang berperan dan perlu ditingkatkan dalam aplikasi
CPG adalah kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain. Perawat masih
kesulitan untuk mengimplementasikan CPG karena keterbatasan tenaga. Clinical
pathway merupakan perangkat yang digunakan untuk mengkoordinasi perawatan
yang menetukan outcome sebagai antisipasi berdasarkan rentang waktu dengan
menggunakan sumberdaya yang tersedia (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing,
2005). Pendekatan berdasarkan clincal pathway mampu mereduksi biaya dan
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
77
lama hari rawat pada perawatan akut berdasarkan outcome pasien (Morris,
Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010). CPG merupakan derivat dari DRG sebagai
prospektif rencana pembayaran yang didefinisikan sebagai jumlah yang spesifik
mengenai lama hari rawat pasien berdasarkan prosedur spesifik (Morris, Benetti,
Marro, & Rosenthal, 2010).
Manajemen asuhan keperawatan pasca ORIF ekstremitas bawah di GPS Lt.1
RSUP Fatmawati masih dilakukan berdasarkan rutinitas. Pendekatan berdasarkan
clinical pathway perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan manajemen
asuhan keperawatan dan didukung hasil penelitian yang menunjukan CPG
memberikan dampak yang berarti terhadap pasien. CPG dapat dilakukan karena di
RSUP Fatmawati sedang dilakukan pengembangan Diagnostic Related Group
(DRG). Penelitian oleh Morris, Benetti, Marro, dan Rosenthal (2010) dilakukan
pada pasien primary hip replacement, knee replacement, dan hip resurfacking
dengan jumlah responden sebanyak 14 untuk pre CPG dan 30 untuk post CPG.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi CPG pasien mampu
mobilisasi 6 jam setelah tranfer dari PACU, ambulasi 16 jam setelah transfer dari
PACU, mereduksi lama hari rawat dari 4,3 hari menjadi 2,8 hari. Nyeri pasien saat
aplikasi CPG adalah 3,3 dibandingkan yang tidak dilakukan CPG yaitu 4,7.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Pemberian asuhan keperawatan secara professional pada pasien gangguan
system musculoskeletal perlu didasarkan atas pemahaman anatomi, fisiologi,
patofisiologi, penatalaksanaan keperawatan yang memadai, teori keperawatan
yang mendukung sebagai dasar asuhan keperawatan dan hasil riset yang dapat
dijadikan dasar yang kuat dalam pelaksanaan praktek klinik keperawatan.
Konsep Orem merupakan salah satu model yang menekankan pada kemampuan
individu untuk membantu kebutuhan self care, secara efektif dapat digunakan
sebagai dasar filosofi dan kerangka berfikir dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan system musculoskeletal.
2. Pengembangan peran perawat sebagai innovator dan pendidik bermanfaat untuk
memperbaiki system pelayanan kesehatan, praktek pemberian asuhan
keperawatan serta promosi kesehatan pada pasien, dan keluarga.
3. Praktek keperawatan yang berbasis pembuktian ilmiah, yaitu penanganan nyeri
pada pasien gangguan musculoskeletal dengan menggunakan terapi music.
Penerapan praktik berbasis pembuktian ini terbukti dapat member dampak bagi
pasien sebagai penerima asuhan keperawatan dan efektif untuk dilaksanakan
oleh perawat dalam praktek keperawatan.
6.2 Saran
1. Diperlukan penelitian dan metodologi yang memadai untuk mengevaluasi sejauh
mana penerapan model Orem Self Care Deficit digunakan dalam pemberi
asuhan keperawatan pada pasien gangguan system musculoskeletal.
2. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah peminatan
system musculoskeletal, diperlukan pengembangan diri secara terus menerus
berkelanjutan agar dapat menjalankan perannya sebagai pemberi asuhan
keperawatan, peneliti, pendidik, dan innovator.
Universitas Indonesia78
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
79
3. Manajemen asuhan keperawatan yang sekarang ada dan dijalankan di ruang
ortopedi dan ruang rehabilitasi RSUP Fatmawati Jakarta perlu dipertahankan
dan ditingkatkan lebih lengkap, sistematik, agar tujuan yang diharapkan dapat
dicapai efektif dan efisien.
4. Praktik keperawatan professional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan
dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi
profesi, praktek keperawatan berkelanjutan dan perlindungan perawat
berdasarkan undang-undang praktek.
Universitas Indonesia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
80
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Aisudione, O., & Shadrac, H. (2010). Acute Trauma and Preoperative Pain.(http://www.iasp.pain.org/AM/template, diperoleh tanggal 18 Januari 2013).
Andrzej, W., M. (2009). Stimulation methods in music therapy: Short discussiontowards the bio-cybernetic aspect. Journal of Medical Informatics and
Technologies, 13, 255-258.
American Music Therapy Association. (2008). Music therapy mental health – evidencebased practice support.(http://www.music_therapy.org/factsheet/b.b.psychopathology.pdf, dipeolehtanggal 24 Januari 2012).
Amrizal (2007) Trauma pada Kecelakaan Lalu Lintas, (http://penjelajahwaktu.com ,diperoleh pada tanggal 23 Februari 2013).
Antall, G.F., & Kresevic, D. (2004). The use of guided imagery to manage pain in anelderly orthopaedic population. Orthopaedic Nursing, 23 (5), 335-341.(www.nursingcenter.com/ORNurseWeek, diperoleh tanggal 12 Januari 2013).
Apley, A.G., & Solomon, L. (1995). Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Alih Bahasa :Edi Nugroho. Edisi Ke-7. Jakarta : Widya Medika.
Arslan, S., Ozer, N.,& Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety in meduring undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced Nursing,
26 (2), 46-54.
Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group (2003). Evidence Based :Management of Acute Musculoskeletal Pain. Brisbane : Australian AcademicPress Pty.Ltd.
Bally, K., Campbell, D., Chesnick, K., & Tranmer, J. (2003). Effect of patient-controlled music therapy during coronary angiography on procedural pain andanxiety distress syndrome. American Assosociation of Critical-Care NursesJournal,23,50-57.(http://ccn.aacnjournals.org/cgi/external_ref?link_type=PERMISSIONDIRECT,diperoleh tanggal 2 Maret 2013).
Brunelli, C., Zecca, E., Martini, C., Campa, T., Fagnoni, E., Bagnasco, M., Lanata, L.,Caraceni, A. (2010). Comparasion of numerical and verbal rating scales tomeasure pain exacerbations in patients with chronic cancer pain. BioMedCentral, 42, 1-8.
Brotzman, S.B. (1996). Clinical Orthopaedic Rehabilitation. 3rd Ed. St. Louis : Mosby.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
81
Universitas Indonesia
Berman, B.M., & Bausell, R.B. (2000). The Use of nonpharmacological therapies bypain specialist. Pain, 85, 313-315. (www.iasp.org, diperoleh tanggal 12 Mei
2013).
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical-Surgical Nursing Clinical Management forPositive Outcomes. (8th ed.). St. Louis: Elsevier.
Campbell, D. (2006). Music : Physician For Times to Come. 3rd Edition. Wheaton :Quest Books.
Chang, F., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory after surgery.Anesthesia Analgesia, 85, 808-816 (www.anesthesiaanalgesia.org, diperolehtanggal 12 Januari 2013).
Chelly, J.E., Ben-David, B., Williams, B.A., & Kentor, M.L. (2003). Anesthesia andpost operative analgesia outcomes following orthopaedic surgery.
Orthopaedics, 26 (8), 865-871. (www.orthobluejournal.com, diperoleh tanggal12 Mei 2012).
Chiang, L (2012). The effect of music and nature sounds on cancer pain and anxiety inhospice cancer patients. Frances Payne Bolton School of Nursing Case WesternReserve University, (unpublished dissertation paper).
Chung, G., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory surgery.Anesthesia and Analgesia, 85, 808-816.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Terapi Tulang.(http://www.depkes.go.id/images/themes/theme_dreams/ peroleh Tanggal 12
Januari 2013)
Dunn, K. (2004). Music and The Reduction of Post-operative Pain. Nursing Standard.18 (36), 33-39.
Engwall, M., & Duppils, G.S., (2009). Music as nursing intervention for postoperativepain : a systematic review. Journal of PeriAnesthesia Nursing, 24 (6), 370-383.(www.jopan.com/10.1016/j.jopan.2009.10.013. diperoleh tanggal 14 januari2013).
Finnerty, R. (2001). Music Therapy as an Intervention for Pain Perception.Anglia Ruskin University Cambridge, England. (Unpublished thesis paper).
Good, M., Anderson, G.C., Ahn, S., Cong, X., 7 Stanton-Hicks, M., (2005). Relaxationand music reduce pain following intestinal surgery. Research In Nursing andHealth, 28, 240-251.
Gordon, D.B., Pellino, T.A., Miaskowski, C., McNeil, J.A., Paije, J.A., Laferriere, D.,et.al., (2002). A 10 year review of quality improvement monitoring in painmanagement: Reccomendation for standardized outcome measure. Pain
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Management Nursing, 3 (4), 116-130. (www.nursingcenter.com, diperolehtanggal 18 Januari 2012).
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2008). Fisiologi Kedokteran. Edisi 11, Alih bahasa : Irawatiet al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Heather, S. (2010). The healing power of sound : the latest research related to healthand music therapy.(www.tlfi.com/2010/06/the-latest-research--related-to-health-and-music.pdf,diperoleh tanggal 4 Maret 2013)
Helmi, Z.N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Hoeman, S. P. (1996). Rehabilitation Nursing : Process and Application. 2nd Edition.St. Louis : Mosby-Year Book.
Hoppenfeld, S., & Murthy, V.L. (2011). Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Alih Bahasa :A.A. Mahode, et.al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Horlocker, T.T. (2006). Pain management in total joint arthroplasty : A historicalreview. Orthopedics. 14 (30, 126-135. (www.ORTHOsupersite.com, diperoleh
tanggal 12 Januari 2012).
Huss, A. (2007). The relationship between music therapy and post operative painmanagement. Music is an analgesic : Health and Psychology Home Page(http://healthpsych.psy.vanderbilt.edu/Web2007/MusicPain.htm, diperoleh padatanggal 20 Februari 2013)
Jablonski, A., & Ersek, M. (2009). Nursing home staff adherence to evidence based painmanagement practices. Journal of Gerontological Nursing, 35 (7), 28-35.(www.JOGNonline.com, diperoleh tanggal 18 Januari 2012).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010.(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_2010.pdf , diperoleh pada tanggal 19 Januari 2013)
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2010). Fundamentals of Nursing,Concepts, Process, and Practice. (8th ed.), California: Addison-Wesley.
Liu, Y., Chang, M., & Chen, C. (2010). Effects of music therapy on labour pain andanxiety in Taiwannese first time mother. Journal of Clinical Nursing, 19, 1065-
1072. (www.jcn.com/10.111/j.1365-2702.2010.03260, diperoleh tanggal 18Januari 2013).
Limb, C. (2006). Structural and Functional Neural Correlates of Music Perception.The Anatomical Record Part A, 288, 435-446.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
83
Universitas Indonesia
Macintyre, P.E., Scott, D.A., Scug, S.A., Visser, E.J., 7 Walker, S.M. (2010). Acutepain Management : Scietific Evidence. 3rd Edition. Melbourne : ANZCA &FPM.
McCaffery, M., & Beebe, A. (1993). Pain : Clinical Manual or Nursing Practice.Baltimore : V.V Mosby Company. (www.rehabmeasure.org, diperoleh tanggal
2 Maret 2013).
Maher, A.B., Salmond, S.W., & Pellino, T.A. (2002). Orthopaedic Nursing. 3rd Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company.
Mardiono, 2010. Teknik Distraksi.( www.qittun.com. Posted by Qittun on Wednesday,October 29, 2008, diperoleh pada Tanggal 20 Februari 2013)
Mitchell, L.A., MacDonald, R.A.R., Knussen, C. (2007). A survey investigation of theeffect of music listening on chronic pain. Society for Education music andpsychology research, 35 (1), 37-57.
Munro, B., Creamer, A., Haggerty, M., & Cooper, F., (1988). Effect of relaxationtherapy on post myocardial infarction patient’s rehabilitation. Nursing
Research, 37, 231-235.
Nilsson, U. (2009). Caring Music : Music Intervention For Improved Health.(www.orebroll.se/uso/page_2436.aspx, diperoleh tanggal 2 Maret 2013).
Nilsson, U. (2009). Soothing music can increase oxytocin level during bed rest afteropen-heart surgery : A Randomised Control Trial. Journal of Clinical Nursing,18, 2153-2161.
Nilsson, U. (2008). The anxiety and pain reducing effects of music interventions :A systematic review. AORN Journal, 87, 780-807.
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba Medika
Pasero, C., & McCaffery, M. (2007). Orthopaedic post operative pain management.Journal of Peri Anesthesia Nursing, 22 (3), 160-174. (www.jpan.org, diperolehtanggal 24 Januari 2013).
Pellino, T., Willens, J.S., Polomano, R.C., & Heye, M.L. (2003). The American Societyof Pain Management Nurses Role-Delineation Study (National Association ofOrthopaedic Nurses respondent). Orthopaedic Nursing, 22 (4), 289-297,(www.orthonurs.com, diperoleh tanggal 18 Januari 2012).
Peterson, S.J., & Bredow, T.S. (2004). Middle Range Theories. Application to NursingResearch. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
84
Universitas Indonesia
Pollit, D., & Hungler, B. P. (1999). Nursing Research: Principles and Methods.Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Fundamental of Nursing : Concepts, Process andPractice. Edisi 4. Alih Bahasa : Renata, K et al. Jakarta : EGC.
Pullido, P., Hardwick, M.E., Munro, M., May, L., & Dupies-Rosa, D. (2010). Patientspeak out : Development of evidence based model for managing orthopaedic.Orthopaedic Nursing, March/April (29), 92-98. (www.orthopaedicnursing.com,diperoleh tanggal 12 Januari 2013).
Ramlall, Y., Archibald, D., Pereira, S.J.R., & Ramlall, S., (2010). Post discharge painmanagement following elective primary total hip and total knee arthroplasty onpatients discharged to home on POD 5 or earlier from an acute facility.International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing, 14, 185-192.(www.elsevier.com/locate/ijotn, diperoleh tanggal 18 Januari 2013)
Rasjad, C (1998). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Cetakan Ke-5. Jakarta :Yarsif Watampone.
Rospond, R.M. (2008). Pain Assessment. Consult Pharm, 8, 133-163.
Rowlingson, J.C. (2009). Acute Pain Management Revisited. Anesthesiology, 88,595-603
Sabri, L., & Hastono, S.P. (2007). Modul Biostatistik Kesehatan. Jakarta: FKM-UI.
Salter. R., (1999). Textbook of Disorder and Injures of The Musculosceletal System.3rd Edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Schou, K., (2008). Music Therapy for Post Operative Cardiac Patients : A RandomizedContro Trial Evaluating Guided Relaxation with Music and Music Listening onAnxiety, pain, and Mood. Aalborg University. (Unpublished dissertation paper).
Sendelbach, S.E., halm, M.A., Doran, K.A., Miller, E.H., & Gaillard, P. (2006). Effectof music therapy on physiological and psychological outcomes for patients
undergoing cardiac surgery. Journal of Cardiovascular Nursing, 21, 194-200.
Singh, J.A., Gabriel, S., & Lewallen, D. (2008). The impact of gender, age, andpreoperative pain on pain severity after Total Knee Arthrolasty. ClinicalOrthopaedics and Related Research, 466 (11), 2717-2723.
Sjamsuhidayat, R., & Jong, W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta : EGC.
Sjostorm, B., Dahlgren L.O., & Haljamae, H. (2000). Strategies used in post operativepain assessment and their clinically accuracy. Journal of Clinical Nursing, 9
(1), 111-118. (www.jcn.org/subscriptions/, diperoleh tanggal 18 Januari 2013)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Strong, J., Unruh, A.M., Wright, A., & Baxter G.D. (2002). Pain : A Textbook ForTherapist. Edinburg : Churchill Livingstone.
Suryana, (2010). Info Produk. (www.hexpharmjaya.com diperoleh pada tanggal 12Februari 2013).
Tamsuri, A. (2007). Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Thomson National Initiative on Pain Control (2011). Pain Assessment Scales.(www.painedu.org/download/NIPC/painassessmentscales.pdf, diperoleh tanggal2 Maret 2013).
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2006). Nursing Theorists and their Work. 6th
Edition. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.
Tusek, D., Church, J.M., & Fazio, V.W., (1997). Guided imagery as a coping strategyfor perioperative patients. AORN Journal, 66, 644-649. (www.aornjournals.org,
diperoleh pada tanggal 18 Januari 2013).
Wigram, A., L. (2002). The effects of vibroacoustic therapy on clinical and non-clinicalpopulation. St. Georges Hospital Medical School London University.(unpublished dissertation paper)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 1Deskripsi pasien Tn.T, usia 80 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RStanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected columnfemur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 4 bulan yang lalu. Nyeri di kakikiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dandisarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat kealternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasienke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan padatanggal 3 Oktober 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasantanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 2Deskripsi pasien Tn. D (66 tahun), duda satu anak perempuan. Pekerjaan wiraswasta.
Penddidikan Universitas, agama Islam, suku Padang. Masuk RS tanggal 8Oktober 2012. Pada tanggal 5 Oktober 2012 pasien mengalami kecelakaandalam perjalanan menuju Lampung dan sempat di rawat di RS UmumDaerah di Lampung. Penatalaksanaan di RS lampung adalah denganpembersihan luka dan hecting VL di cruris sepanjang 7 cm. kemudian pasiendibawa pulang ke Jakarta dan dirawat di RSUP Fatmawati. Diagnosa medisFr. Subtrochanter Femur Dekstra. Pasien direncanakan akan dilakukanoperasi ORIF Dynamic Hip Screwt (DHS) pada tanggal 10 Oktober 2012.Look : deformitas (+), edema (+), shorthening (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), edema (+), NVD +/+Move : Ki (free), Ka (limitation)
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 66 tahun merupakan fase perkembangan dewasa lanjut. Pada haripertama sampai hari ketiga setelah operasi pasien mengalami penurunan Hb(9,0 gr%). Keadaan umum oasien tampak sedikit lemah, kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan di tempat tidur, membutuhkanbantuan tolietting, BAK dan BAB menggunakan bed pan, mandi dibantu,tidak mampu berganti posisi, berpindah tidak lebih dari 90 derajat. Pasientidak mengetahui latihan pergerakan untuk menggunakan walker, latihanpergerakan, penguatan otot tangan, latihan keseimbangan, pasien perlubantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien disiapkan untuk segera mandiri bertahap dengansupportive educative pada keluarga yang membantu memenuhi kebutuhanpasien. Anak perempuan pasien sebagai care giver diajarkan dalampemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan menggunakan walker di rumah.
Technologicaldimension
Manajemen keperawatan/kolaboratif meliputi : memberikan transfuse sesuaidengan hasil kolaborasi, monitor Hb dan vital sign, motivasi untukmeningkatkan asupan nutrisi, terapi distraksi/relaksasi , latihan rentang geraksendi, ankle pump, penguatan otot bahu dan lengan atas, mengatur posisikaki lateral abduksi saat tidur, merawat luka, mengajarkan pasien latihanmobilisasi miring ke kanan, duduk di tempat tidur, duduk dengan kakimenjuntai di pinggir tempat tidur, berdiri, latihan keseimbangan, berjalanmenggunakan walker, secara bertahap, memberikan terapi medis sesuaiprogram. Setelah hari ke sepuluh pasien pulang dengan kondisi : luka insisitidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakanwalker dengan jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa bantuan.
Conclusion Kasus ini memperlihatkan dengan system keperawatan partiallycompensatory diperlukan untuk Tn. A agak panjang karena adanyapenurunan Hb dan asupan nutrisi yang kurang. Sistem keperawatansupportive educative memungkinkan pasien agar lebih mandiri, dan anggotakeluarga dapat merawat pasien di rumah. Berdasarkan analisis Orem, selfcare mendukung perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 3Deskripsi Pasien Tn. SI (26 tahun), agama Islam. Pendidikan SMA, karyawan swasta, suku
Jawa. Masuk IGD RSF pada tanggal 11 Oktober 2012 jam 11.00 WIB.Pasien di diagnose mengalami fr. Shaft femur tertutup dekstra dan fr. Tibiadekstra terbuka grade II. Riwayat 1 jam SMRS pasien akan berangkatmenuju tempat bekerja dengan mengendarai sepeda motor. Kejadian sekitarjam 06.30 WIB, kemudian pasien mengalami kecelakaan, ditabrak mobildari sebelah kanan. Keluhan yang dirasa pasien tungkai kanan susahdigerakkan dan sakit. Tampak perdarahan pada fraktur yang terbuka.Bengkak pada paha. Saat terjadi kecelakaan, pasien ditolong orang danmembawanya ke RSPP. Di RSPP dilakukan pembebatan untuk mengatasiperdarahan. Tidak dilakukan tindakan yang lainnya. Karena paha pasiensemakin bengkak, maka pasien memutuskan untuk dipindah ke RSFatmawati. Jam 11.00 WIB pasien tiba di IGD, sementara paha pasienbertambah bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan, kemudian dilakukanreposisi, bengkak pada femur berkurang. Pukul 23.00 WIB dilakukan operasiyaitu debridement dan ORIF pada femur dan tibia pasien. Kemudian pasienmasuk ke ruangan jam 5.30 WIB. Pasca ORIF dan debridement, pasienterpasang backslab dan dibalut elastic verband, tampak rembesan darah padabalutan luka operasi, pasien memerlukan tambahan oksigen nasal, eliminasiterpasang kateter urine deformitas pada shaft femur, fraktur femur belumdistabilisasi, dan penambahan cairan intra vena 1500 ml/hari. Operasi ke 2dilaksanakan setelah 11 hari dirawat yaitu pada tanggal 22 Oktober 2012dengan pemasangan broad plate 10 hole pada shaft femur dekstra.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia dewasa, masa produktif, dan hampir seluruh pemenuhan kebutuhandilakukan oleh perawat, pasien mengalami keterbatasan, imobilisasi padamultiple fraktur. Developmental self care requisites dan health deviation selfcare requisites menjadi tanggung jawab perawat sebagai pemberi asuhankeperawatan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien dengan whollycompensatory karena pasien memerlukan bantuan penuh dari perawat dankeluarga. Partially compensatory diberikan setelah keadaan pasien dilakukanstabilisasi pada shaft femur. Pasien disiapkan untuk segera mandiri secarabertahap dengan supportive educative pada keluarga yang membantumemenuhi kebutuhan pasien, kakak pasien sebagai care giver diajarkandalam pemenuhan kebutuhan ADL.
Technologicaldimension
Wholly compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.SI dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi dan manajemenkeperawatan dan kolaboratif yaitu : menempatkan pasien pada tempat tidurortopedi, mempertahankan dan mengatur posisi elevasi kaki yang terpasangbackslab, melatih distraksi dan relaksasi. Perawat juga mengobservasi statusneurovaskuler perifer, merawat luka, membantu kebutuhan ADL pasien.Perawat juga mengajarkan pasien untuk latihan rentang gerak (isometric,isotonis, penguatan otot bahu dan tangan) sesuai kemampuan pasien. Pasiendiajarkan latihan mobilisasi miring ke kanan, melatih kekuatan otot tangan,duduk di tempat tidur, duduk dengan kaki menggantung di tepi tempat tidur,latihan keseimbangan, latihan transfer, berdiri dan berjalan di menggunakankruk secara bertahap. Dan juga pemberian terapi sesuai program. Setelahminggu ke empat pasien pulang dengan kondisi : luka operasi tidak terdapattanda infeksi, pasien mampu menggunakan kruk dan pasien mampu berjalandengan menggunakan kruk tanpa bantuan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Conclusion Kasus ini memperlihatkan dengan system keperawatan wholly compensatorydiperlukan untuk Tn.SI, dimana semua kebutuhan dibantu oleh perawat.Sejalan dengan system keperawatan yang diberikan kepada pasien dapatdievaluasi pada setiap tahapan maka pasien akan berubah kebutuhankeperawatannya secara bertahap sesuai dengan kemampuan perkembangankemampuan pasien. Dan diharapkan saat pasien diijinkan rawat jalan, systemkeperawatan pasien berada pada tahap supportive educative.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 4Deskripsi Pasien Tn. BU (30 tahun), agama Islam, pendidikan perguruan tinggi, belum
menikah. Pasien dirawat karena mengalami multiple fraktur, ketika pasienmengendarai motor mengalami tabrakan motor pada tanggal 22 Oktober 2012pukul 23.00 WIB. Pasien tidak mampu mengingat kejadian yang menimpapasien. Pasien dibawa ke RSUP Fatmawati Jakarta oleh polisi. Di IGD RSFdilakukan pemerikasaan fisik, pemeriksaan lab dan radiologi. Dari hasilpemeriksaan pasien memngalami multiple fraktur. Diagnosa yang ditegakkanadalah Fraktur tertutup femur 1/3 tengah dekstra dan fraktur terbukagr.II tibia 1/3 proksimal dekstra. Pasien dipasang skin traksi dengan beban6 kg, terdapat luka dijahit di area orbital sinistra, pasien tampak gelisah,pasien masuk ke ruangan Lantai 1 GPS pada pagi harinya.
Self carelimitation atauself care deficit
Pada usia dewasa, pasien berada pada rentang usia produktif, semuapemenuhan kebutuhan perawatan dilakukan oleh perawat. Pasien mengalamiketerbatasan, imobilisasi pada multiple fraktur. Developmental self carerequisites dan health deviation self care requisites menjadi tanggung jawabperawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien whollycompensatory karena pasien memerlukan bantuan penuh dari perawat dankeluarga. Partially compensatory diberikan setelah keadaan pasien dilakukanstabilisasi pada femur dan tibia pasien. Pasien disiapkan untuk mandiri secarabertahap dengan supportive educative pada keluarga yang membantumemenuhi kebutuhan pasien.
Technologicaldimension
Wholly compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan Tn.BU.Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan aspekkeperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi manajemen keperawatandan kolaboratif, yaitu : menempatkan pasien pada tempat tidur ortopedi,mempertahankan dan mengatur posisi kaki yang terpasang skin traksi.Perawat juga mengobservasi neurovascular, perifer terutama pada tungkaiyang terpasang skin traksi, merawat luka, membantu memenuhi ADL pasien,mengajarkan pasien latihan rentang gerak sesuai kemampuan pasien. Perawatmenyiapkan fisik dan mental pasien untuk operasi, mengajarkan pasienmobilisasi. Setelah hari ke tujuh, pasien diperbolehkan rawat jalan.
Conclusion Pada kasus ini memperlihatkan dengan system wholly compensatorydiperlukan oleh Tn. BU dengan dievaluasi secara bertahap danmeningkatkannya pada level berikutnya yaitu partially compensatory. Sistemkeperawatan supportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri, dananggota keluarga dapat merawat pasien di rumah. Berdasarkan analisis OremSCDNT mendukung penuh perawatan di rumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan mempertahankan serta meningkatkan kemampuanpasien sehingga pasien dapat pulih secara sempurna.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 5Deskripsi Pasien Ny. M (56 Tahun), Agama Islam, Pendidikan Universitas, PNS, suku
Lampung. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada daerah sendi lutut kiri,menyebar ke atas sekitar paha dan pinggul, susah digerakkan dan sakit.Look : edema (+), deformitas (+)Feel : nyeri (+), edema (+), krepitasi (-)Move : limited (susah ditekuk)Pasien selama ini berobat di Lampung hanya diberi obat anti bengkak dananti nyeri. Pasien mencari tahu sendiri tentang tindakan Total KneeArthroplasty (TKA). Pasien masuk pada tanggal 21 November 2012 dengandiagnose Osteoarthritis genue sinistra (Pro TKA). Seluruh pesiapan operasisudah dilakukan di rumah.Pasien direncanakan operasi pada tanggal 22November 2012. Hari pertama operasi pasien mengeluh pusing dan mualmuntah. Pasien mengalami penurunan nilai Hb (9,2 gr%). Hasil kolaborasiyaitu pemberian transfuse darah PRC dan mendapat terapi anti emetic. Padahari kedua pasien dipasang CPM (Continous Passive Motion)
Self carelimitation atauself care deficit
Pada usia ini merupakan fase dewasa lanjut untuk pasien. Pasien mengalamipenurunan nilai Hb pada hari pertama sampai dengan hari ketiga. Keadaanumum sedikit lemah, kemampuan, kemampuan pasien terbatas, aktifitasperawatan diri dilakukan di tempat tidur, membutuhkan bantuan untukaktifitas eliminasi. Mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi ataupuberpindah tempat. Posisi kaki fleksi knee dengan CPM 50 derajat. Pasienmengatakan tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkanberjalan menggunakan walker, latihan pergerakan, penguatan otot tangan,latihan keseimbangan. Pasien perlu bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien disiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive educative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien sebagai care giver diajarkan dalampemenuhan kebutuhan ADL.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehNy. M. Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi manajemenkeperawatan mandiri dan kolaboratif yaitu : memberikan transfusi darahsesuai hasil kolabrasi, monitoring Hb dan vital sign, memotivasi pasienuntuk meningkatkan intake nutrisi, terapi distraksi untuk nyeri, pemenuhankebutuhan asupan cairan, perawatan luka, latihan rentang gerak sendi, anklepump, penguatan otot bahu dan lengan atas, mengatur posisi kaki abduksisaat tidur, mengajarkan pasien duduk di tempat tidur dan latihan berdiri.Perawat juga melatih keseimbangan dan transfer menggunakan walker.Pemberian terapi medis sesuai program juga diberikan. Setelah hari ke tujuh,pasien diijinkan pulang dengan kondisi luka tidak terdapat tanda-tandainfeksi, mampu berjalan dengan walker sejauh 10 meter tanpa dibantu.
Conclusion Kasus ini memperlihatkan bahwa dengan system keperawatan partiallycompensatory diperlukan untuk Ny. M agak lebih lama karena adanyapenurunan Hb dan asupan nutrisi yang kurang sehingga pasien menglamiketergantungan agak lebih lama terhadap asuhan keperawatan. Sistemkeperawatan supportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri dananggota keluarga dapat merawat pasien di rumah dan pasien terhindar darikomplikasi post operasi.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 6Deskripsi Pasien Tn. SAR (45 tahun), suku Sunda, agama Islam. Pasien masuk ke poli
ortopedi tanggal 18 Oktober 2012, karena telah 1 tahun pasien merasakannyeri di pinggang, nyeri bila dipakai berjalan. Kemudian timbul benjolandi tulang belakang, pasien merasa nyeri bertambah jika berjalan. Pasienmengatakan tidak nyeri jika berganti posisi saat terlentang. Riwayatpenyakit hipertensi tidak terkontrol (TD 160/90 mmHg). Pasien masihdapat merasakan sensasi rasa dan raba. Pasien masih dapat menggerakkantungkai bawah, tetapi mengeluh nyeri saat berjalan. Kebutuhan ADLpasien dibantu sebagian. Kekuatan otot ektremitas inferior tidak lebih darinilai 4. Pasien mendapatkan terapi OAT sejak tanggal 12 September 2012.Hasil pemeriksaan lumbosakral tanggal 29 Agustus 2012 adalah kesantampak kompresi thoracal 12, dan vertebrae thorakalis : tampak corpusthorakal 12 lebih pipih tidak tampak formation litotesis. Diagnosa medisSpondilitis TB Thorakal 12 Lumbal 1. Pasien direncanakan operasipemasangan PSSW. Terapi OAT dilanjutkan, imobilisasi untuk punggung.Pasien sementara tidak diijinkan untuk turun dari tempat tidur. Pasienmendapatkan terapi hipertensi, bed rest, mobilisasi dengan brace, aktifitasperawatan diri dibantu, pasien pulang setelah 20 hari dirawat
Self care limitationatau self caredeficit
Pasien berada pada rentang usia produktif tetapi pasien tidak mampumelakukan aktifitasnya tanpa dibantu. Keterbatasannya menyebabkanaktifitas diri dilakukan di tempat tidur. Pasien membutuhkan bantuanuntuk toileting. Aktifitas mandi, berganti posisi dan berpindah tempatdengan dibantu. Pasien tidak mengetahui bahaya bila pergerakan padapunggungnya salah. Pasien juga tidak mengetahui latihan pergerakanseperti apa untuk nyeri punggung belakang. Pasien dipersiapkan untukmenggunakan brace. Latihan mobilisasi dan rentang gerak juga diperlukanoleh pasien. Pasien juga diedukasi tentang pentingnya pencegahan infeksi,pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihan keseimbangan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalahpartially compensatory dan supportive educative pada keluarga yangmembatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Istri pasien sebagi care giverdiajarkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien. Perawatjuga memberikan edukasi pada keluarga tentang pencegahan infeksi.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputimanajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu melakukan pengkajiannyeri dan memberikan manajemen nyeri baik farmakologi maupunnonfarmakologi. Perawat juga menjadi advokat bagi pasien saat timRehabilitasi Medik memasangkan brace, dimana perawat memastikanpasien merasa nyaman dan terbebas dari risiko injury. Perawat jugamengajarkan dan mengkonsultasikan bila terjadi gangguan neuromuscular,melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasienberada pada level partially compensatory, system keperawatan supportiveeducative memungkinkan pasien lebiih mandiri, dan anggota keluargadapat melakukan perawatan intensif dirumah serta untuk mencegahpenularan infeksi terhadap anggota keluarga lain. Berdasarkan analisis selfcare Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekat pasien danmemodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitas pasienpada usia produktif.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Deskripsi Pasien Ny. S (56 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir SMP. Pekerjaan adalahseorang IRT. Status marital telah menikah dengan 4 orang anak dan 8orang cucu. Pasien masuk RS pada 12 November 2012 melalui poliklinikortopedi. Keluhan pasien adalah nyeri pada punggung belakang. Nyeridirasakan menjalar ke kaki kanan. Keluhan BAB dan BAK tidak ada.Paisen disarankan untuk operasi, tetapi pasien belum berani untuk operasi.Pasien hanya minumobat penghilang rasa nyeri. Setelah satu bulan,keluhan dirasakan tidak berkurang. Nyeri makin bertambah. Lalu pasiendan keluarga memutuskan untuk operasi. Hasil pemeriksaan radiologiLumbosakral, kesan spondiloarthrosis Lumbalis, alignment Lumbosakralmasih intak, tampak osteofit pada L2-L3, L3-L4, L4-L5, dan L5-S1,diskus sempit dengan permukaan sklerosis. Pasien dilakukan operasilaminectomy pada Th 9 dan PCS (Pedichle club system), beupapemasangan screw pada Th 7, 8, 10, 11. Graft dilakukan denganmengambil dari spina iliaka, debridement dan biopsy jaringan. Hasilbiopsy diperoleh kesimpulan Spondilitis kaseosa, tidak tampak keganasan.
Self care limitationatau self caredeficit
Pasien berada pada rentang usia dewasa lanjut, tidak mampu melakukanaktifitas tanpa bantuan orang lain. Keterbatasan menyebabkan pasienmelakukan aktifitas penmenuhan kebutuhan dasarnya di tempat tidur.Pasien tidak mampu melakukan perubahan posisi secara mandiri, pasientidak mampu melakukan transfer, pasien tidak mengetahui bahaya bilamelakukan pergerakan yang salah. Pasien juga tidak mmengetahui latihanapa yang sebaiknya dilakukan. Pasien dipersiapkan untuk menggunakanbrace, latihan pergerakan, pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihankeseimbangan, posisi yang nyaman untuk tulang belakang, latihanperubahan posisi dan transfer.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalahpartially compensatory dan supportive educative pada keluarga yangmembatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak ketiga psien sebagaicare giver diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputimanajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu memebrikan latihandistraksi dan relaksasi, melakukan pengkajian nyeri dan memberikanmanajemen nyeri baik farmakologi maupun nonfarmakologi. Perawat jugamenjadi advokat bagi pasien saat tim Rehabilitasi Medik memasangkanbrace, dimana perawat memastikan pasien merasa nyaman dan terbebasdari risiko injury. Perawat juga mengajarkan dan mengkonsultasikan bilaterjadi gangguan neuromuscular, melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasienberada pada level partially compensatory, namun system keperawatansupportive educative memungkinkan pasien ebiih mandiri, dan anggotakeluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkananalisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekatpasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitaspasien pada usia lanjut.
Resume 7
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Deskripsi Pasien Ny. W (45 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir tamat akademi,pekerjaan Guru SD. Pasien mengeluh nyeri punggung sejak 5 tahun yanglalu. Riwayat skoliosis 30 tahun yang lalu. Sudah pernah dianjurkan untukoperasi tapi pasien menolak karena hamil. Sejak 6 bulan SMRS, pasienmengeluh pinggul sampai dengan lutut terasa kebas. BAB dan BAK masihspontan dan dirasa. Hasil pemeriksaan MRI Vertebrae Thoracolumbaltanggal 19 Agustus 2012 didapat hasil : kesan skoliosis thorako-lumbal kekanan disertai listesis lateral L3-4 kiri, rotasi korpus vertebrae,spondiloartrosis, penyempitan kanalis, diskus dan foramen intervertebraliskiri, penebalan dan sklerotik facet joint bilateral serta degenerasi diskusdan facet joint. Hasil CT Scan vertebrae lumbal tanggal 20 Juli 2012 :khyposkoliosis thorakolumbal disertai stenosis spinal dan stenosis neuralforamina. Setelah semua pemeriksaan lengkap, pasien masuk ke RStanggal 2 November 2012. Pasien melakukan berbagai persiapan operasi.Kemudian dilakukan operasi pada tanggal 10 November 2012, yaitukoreksi dan stabilisasi scoliosis 110 degree. Terpasang pedichle screwt diTh 8, 10, L3, 4, dan S1 (kiri) dan Th 8-12, L3, S1 (kanan). Mobilisasi postoperasi dengan brace
Self care limitationatau self caredeficit
Pasien berada pada rentang dewasa madya (usia produktif ) tetapi pasienmemiliki keterbatasan anatomi dan penurunan fungsi. Keterbatasannyamenyebabkan aktifitas diri dilakukan di tempat tidur. Pasien membutuhkanbantuan untuk toileting, berganti posisi dan berpindah tempat dengandibantu. Pasien tidak mengetahui bahaya bila pergerakan padapunggungnya salah. Pasien juga tidak mengetahui latihan pergerakanseperti apa untuk nyeri punggung belakang. Pasien dipersiapkan untukmenggunakan brace. Latihan mobilisasi dan rentang gerak juga diperlukanoleh pasien. Pasien juga diedukasi tentang pentingnya pencegahan infeksi,pentingnya penguatan otot ekstremitas dan latihan keseimbangan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalahpartially compensatory dan supportive educative pada keluarga yangmembatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak pasien sebagi caregiver diajarkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ADL pasien..
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputimanajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu melakukan pengkajiannyeri dan memberikan manajemen nyeri baik farmakologi maupunnonfarmakologi. Perawat juga menjadi advokat bagi pasien saat timRehabilitasi Medik memasangkan brace, dimana perawat memastikanpasien merasa nyaman dan terbebas dari risiko injury. Perawat jugamengajarkan dan mengkonsultasikan bila terjadi gangguan neuromuscular,melatih ROM aktif dan pasif. Edukasi tentang pentingnya latihan poststabilisasi tulang belakang secara bertahap, melatih kekuatan ekstremitas,melatih keseimbangan dan control terapi medikasi.
Conclusion Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasienberada pada level partially compensatory, namun system keperawatansupportive educative memungkinkan pasien lebih mandiri, dan anggotakeluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkananalisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekatpasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitaspasien dengan tujuan pasien lebih mandiri sesuai dengan kemampuannya.
Resume 8
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Deskripsi Pasien Tn. H (40 tahun), pendidikan SMA, suku Padang, agama Islam, statusmenikah dan memiliki 2 orang anak. Masuk RS pada tanggal 14 Oktober2012 jam 20.45 WIB dari IGD. Diagnosa medis fraktur subtrochanterdekstra. Tiga jam SMRS pasien ditabrak truk saat sedang mengendaraisepeda motor. Motor menimpa paha atas kanan pasien. Pada pemeriksaanfisik didapatkan luka pada area paha kanan dengan ukuran 6cmx3cmx1cm.gambaran radiologis ditemukan adanya fraktur subtrochanter dekstra.Pemeriksaan lab didapatkan ahsil Hb 8,9gr%; leukosit 14.000, SGOT 27UI, SGPT 30 UI, GDS 276. Pasien mendapatkan transfuse darah PRCsebanyak 750 cc. Pasien dianjurkan melakukan sliding scale setiap 6 jam.Kemudian dilakukan pemasangan skin traksi dengan beban 4 kg.
Self care limitationatau self caredeficit
Pasien berada pada rentang usia dewasa dan masih produktif..Keterbatasannya menyebabkan aktifitas diri dilakukan di tempat tidur.Pasien membutuhkan bantuan untuk toileting. Aktifitas mandi, bergantiposisi dan berpindah tempat dengan dibantu. Pasien tidak mengetahuiimobilisasi pada pemasangan skin traksi. Latihan mobilisasi dan rentanggerak juga diperlukan oleh pasien. Pasien juga diedukasi tentangpentingnya pencegahan infeksi, pentingnya penguatan otot ekstremitas,latihan keseimbangan dan posisi yang nyaman karena pasienmenggunakan skin traksi. Edukasi juga diberikan untuk mengontrol guladarah pasien. Pentingnya pemberian nutrisi sesuai dengan diit diabetes.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalahpartially compensatory. Pasien disiapkan untu mandiri secara bertahapdengan educative supportive untuk mememnuhi kebutuhan dasarnya.Edukasi tentang penatalaksanaan DM juga diperlukan untuk pasien dankeluarga.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputimanajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu menempatkan pasien padatempat tidur ortopedi, mempeertahankan dan mengatur posisi kaki yangterpasang skin traksi, mengobservasi neuromuscular distal pasien, merawatluka, membantu pasien memenuhi kebutuhan dasarnya. Perawat jugamelatih rentang gerak pasien dengan melakukan latihan isotonic danisometric sesuai dengan kemampuan pasien. Memonitor integritas kulitpasien untuk mencegah terjadinya luka tekan. Perawat juga memebrikanterapi kolaborasi sesuai dengan hasil kolaborasi. Dan perawat melakukanevaluasi atas terapi yang diberikan. Mencegah terjadinya hipoglikemiapada pasien dengan terapi hiperglikemia, antibiotic yang sesuai dengankultur dan kombinasi terapi nonfarmakologis dengan terapi music untumengurangi nyeri.
Conclusion Studi kasus ini memperlihatkan bahwa dengan system keperawatansupportive educative dan partially compensatory yang diperlukan pasienmemungkinkan pasien lebih mandiri. Dan mendukung keluarga untuk biasmelakukan perawatan di rumah. Mengedukasi pasien terutama untukmenjaga stabilnya gula darah pasien.
Resume 9
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1010Deskripsi pasien Tn.N, usia 30 tahun, menikah dengan 1 anak, Pekerjaan wirausaha buka
bengkel, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RS tanggal 1Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur shaft humerus 1/3tengah sinistra tertutup. Riwayat jatuh dari motor 4 jam SMRS saat pasiensedang test drive motor pelanggan yang sedang diperbaiki. Nyeri dirasakanditangan kiri. Pasien segera dibawa ke RS Fatmawati oleh teman kerjanya..Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF.Operasi dilakukan pada tanggal 3 Desember 2012.Look : tampak deformitas, pasien masih mampu berjalan, edema (+)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333, selisih panjangtangan kiri dengan tangan yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari pertamasampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuantoileting, buang air kecil dan buang air besar dibimbing ke kamar mandidibantu, mampu berganti posisi, mampu berpindah tempat (perlu bantuan).Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuarm sling untuk imobilisasi humerus sinistra.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkandalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, penguatan otot bahu dan lengan atas,perawatan luka. Perawat membantu melatih tangan kiri secara bertahap.Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 3,pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, edematidak ada, pasien mampu melakukan latihan ROM pada tangan kiri.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Pada kasus ini, pasien dapat mandiri dengancepat dan motivasi pasien agar cepat sembuh membantu tercapainya tujuanintervensi keperawatan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1111Deskripsi pasien Tn. BT, usia 37 tahun, belum menikah, PNS, pendidikan tamat akademi,
agama Islam, Suku Riau, masuk RS tanggal 4 November 2012, melaluipoliklinik ortopedi. Riwayat KLL 4 bulan yang lalu. Diagnosa pasien adalahmalunion closed fraktur genu sinistra. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidakbisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dan disarankan untuk operasi,tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke alternative. Karena tidak adaperbaikan, kemudian keluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati.Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF.Operasi dilakukan pada tanggal 6 November 2012Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada haripertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar dibantu, mandidibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampu berpindah tempat (perlubantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi), fleksi genu tidak lebih dari 30derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan walker,latihan penguatan otot lengan, latihan keseimbangan, pasien memerlukanbantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Adik laki-laki pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.BT dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itujuga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan kruk dalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpadibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaanmodel Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuhperawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga danmeningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangi biaya perawatandibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1212Deskripsi pasien Tn.S, usia 55 tahun, Menikah, sudah memiliki 3 anak (satu perempuan dan 2
laki-laki), PNS, pendidikan tamat akademik, agama Islam, Suku Padang,masuk RS tanggal 1 Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medisosteoarthritis genu sinistra. Riwayat jatuh saat bermain bola 2 tahun yanglalu yang lalu. Nyeri bertambah dank lien tidak mampu berjalan sejak 2bulan SMRS. Pasien melakukan berbagai pemeriksaan, dan hasil radiologimenunjukkan adanya osteoarthritis genus sinistra yang progresif, cavumsynovial tampak menyempit dari ukuran normal, tampak jaringan fibrosamenyelubungi tulang patella. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasiendianjurkan untuk operasi Total Knee Replacement (TKR). Operasi dilakukanpada tanggal 3 Desember 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 55 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi genu tidak lebih dari 30 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.S dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 5, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan walker dalam jarak 10 meter dengan pengawasantanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1313Deskripsi pasien Tn.T, usia 26 tahun, menikah, pekerjaan buruh, pendidikan SLTP, agama
Islam, Suku Sunda, masuk RS tanggal 15 November 2012, Jam 23.00 WIB.Diagnosa medis vulnus amputatum metacarpal dekstra. Riwayat terkenamesin pemotong kayu 7 jam SMRS saat pasien sedang bekerja. Pasiendibawa ke puskesmas untuk dilakukan pertolongan pertama denganmenghentikan perdarahan, hecting situasional. Lalu pasien dirujuk ke RSF.Nilai lab pasien Hb 10,5 gr%; leukosit 15.450 gr/dL, trombosit 310 ribugr/dL. SGOT 67 SGPT 45, gula darah 112. Pasien mengeluh nyeri yangsangat hebat, tampak balutan basah dan berwarna kemerahan. Pasien segeradilakukan debridement malam itu juga. Pasien masuk ruang perawatan padajam 8 pagi tanggal 16 November 2012.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada hari pertamasampai dengan hari ketiga setelah operasi pasien mengeluhkan nyeri hebatpada tangan kanannya. Pasien mengatakan seolah-olah tangannya masih ada,dan pasien sering menggerakkan tangannya seolah-olah tangannya amsih ada(phantom pain). Kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diridilakukan ditempat tidur, kebutuhan ke kamar mandi bias dilakukan mandiridibantu. Pasien mengatakan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengantangan yang hanya sebelah saja yang utuh..
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang seharus dsuai dengan kebutuhan pasien adalahsupportive educative. Pasien dan keluarga dipersiapkan secara psikologisuntuk bias beraktifitas dengan keterbatasan pasien. Perawat memotivasipasien agar tidak mengalami gangguan harga diri. Perawat juga memotivasikeluarga untuk terus mensupport pasien dan meyakinkan bahwa pasien tetapproduktif dengan keterbatannya. Istri dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam membantu mengasisten pemenuhan kebutuhan activitiesdaily living sampai pasien bisa melakukannya secara mandiri penuh.
Technologicaldimension
Supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakan aspekkeperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi tangan kanan, penguatan otot bahudan lengan atas, perawatan luka. Selain itu juga memberikan terapi medissesuai program. Mendukung pasien dan keluarga secara psikologis. Perawatmeyakinkan pasien bahwa dengan keterbatasannya, pasien tetap biasproduktif menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Setelah hari ke 4,pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, pasienmenyatakan akan tetap bekerja walau tangan satu lagi tidak sempurna.
Conclusion Supportive educative nursing system memungkinkan pasien dapatmemperoleh dukungan penuh dari sitem pendukung. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup pasien denganketerbatasan atau kecacatan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1414Deskripsi pasien Ny. G, usia 60 tahun, janda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SMA, agama Islam, Suku Betawi, masuk RStanggal 12 Desember 2012, Jam 08.00 WIB. Diagnosa medis osteoarthritiscolumn femur sinistra. Riwayat nyeri dan sering kesemutan sejak 2 tahunyang lalu pada pangkal paha sebelah kiri. Nyeri di kaki kiri makin hebatsejak 3 minggu SMRS dan pasien tidak bisa berjalan lagi. Pasien dibawa keRS Swasta dan disarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak. Karenapasien tidak mampu beradaptasi dengan nyeri yang semakin hebat terutamasaat pasien menggerakkan kaki kirinya, kemudian keluarga membawa pasienke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan padatanggal 13 Desember 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 222/5555
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 60 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasantanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1515Deskripsi pasien Tn.S, usia 30 tahun, menikah, belum memiliki anak, pendidikan tamat
akademi, agama Kristen, Suku batak, masuk RS tanggal 28 November 2012,Jam 17.00 WIB. Diagnosa medis fraktur clavicula 1/3 lateral dekstra.Riwayat KLL 6 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan tunggal akibatmenabrak pohon. Terdapat vulnus laserasi telah di hecting sebanyak 4jahitan di kening. Tidak ada luka pada bahu kanan pasien. Keluhan sesaktidak ada. Riwayat mengkonsumsi alcohol disangkal. Hb 10,8 gr%, Leukosit10.250 gr/dL, SGOT 35, SGPT 44.Look : tampak deformitas pada bahu kanan, jejas (+), kemerahan (+), edema(+), luka terbuka (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333.Pasien segera dilakukan operasi ORIF clavicula dektra pada pukul 01.00WIB tanggal 29 November 2012. Pasien masuk ruang perawatan pada jam06.00 wib. Pasien mengeluh nyeri. Pasien meraung-raung menahan nyeri.Terpasang armsling pada bahu kanan pasien.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 30 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa muda. Pada haripertama setelah operasi pasien masih menangis karena nyeri. Kemampuanpasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur,membutuhkan bantuan toileting dibantu ke kamar mandi. Pada hari kedua,pasien bisa melakukan duduk, sudah bisa berdiri tanpa dibantu dengantangan tetap disangga armsling. Jari tangan kanan tampak edema. Pasientidak mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan latihanpenguatan otot lengan atas dan bawah. Pasien tidak mengetahui bagaimanacara mengurangi edema dan mengurangi nyeri.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Istri dipersiapkan sebagai motivator dan pasien terusdilatih agar mandiri dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien sampai dengan hari kedua post operasi. Dan supportive educativediperlukan untuk mendukung kemandirian pasien yang merupakan aspekkeperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapidistraksi/relaksasi mengurangi nyeri dan edema. Perawat melakukankombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi untuk mengurangi nyeripasien. Selain itu untuk mengurangu edema dan mencegah kontraktur,perawat melakukan edukasi latihan gerak sendi, penguatan otot bahu danlengan atas, serta perawatan luka. Perawat mengajarkan pasien ROM secarabertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelahhari ke 3, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi,dapat melakukan latihan jari dan penguatan otot bahu selama 15 menit tanpalelah.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan pasien agar segeramandiri dan memenuhi kebutuhannya dengan keterbatasan akibat penyakitpasien. Berdasarkan analisis Orem, penggunaan model Self Care DeficitNursing Theory (SCDNT) mendukung penuh perawatan dirumah oleh pasiensecara mandiri, meningkatkan dukungan keluarga dan mempertahankankualitas hidup pasien. Lama hari rawat yang singkat dan tujuan intervensisegera tercaai akan memberi kepuasan pasien terhadap perawatan.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Deskripsi pasien Tn.ZA, usia 21 tahun, menikah dengan 2 anak (satu laki-laki dan 1perempuan), pekerjaan tukang ojek, pendidikan SLTP, agama Islam, Sukubetawi, masuk RS tanggal 09 Desember 2012, Jam 16.00 WIB melalui IGDRSUPF Jakarta. Diagnosa medis fraktur radius segmental dektra terbukagrade II. Riwayat KLL motor dengan motor 2 jam SMRS. Nyeri di tangankanan. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasiORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 10 Desember 2012.Look : tampak deformitas, kemerahan (+), edema (+), pasien tampak sulitmenggerakkan tangan, luka terbuka (+)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/3333, selisih panjangtangan kanan dengan tangan yang kiri yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada haripertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri masih dilakukan ditempat tidur. Pasienmembutuhkan bantuan toileting. Pasien tidak mengetahui latihan ROM,edema dan nyeri menjadi keluhan pasien. Pasien memerlukan latihanpenguatan otot lengan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkandalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapidistraksi/relaksasi kombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi, latihangerak sendi untu mengurangi edema dan ROM, dan melakukan perawatanluka. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah harike 3, pasien pulang dengan kondisi: tidak terdapat tanda-tanda infeksi,edema berkurang dan nyeri berkurang.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaanmodel Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuhperawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga danmeningkatkan kualitas hidup, mengurangi biaya perawatan dibandingkanperawatan di rumah sakit.
Resume 16
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1717Deskripsi pasien Tn.MH, usia 65 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan)
dan 4 orang cucu. Pekerjaan pensiunan PNS, pendidikan SMA, agama Islam,Suku Jawa, masuk RS tanggal 11 Oktober 2012, Jam 20.00 WIB. Diagnosamedis fraktur tibia 1/3 distal sinistra cominutif terbuka grade II. RiwayatKLL di jalan lintas pantura. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan.Pasien dilakukan fiksasi eksternal cruris sinistra pada tanggal 12 November2012 pukul 08.00 WIB.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), lukaterbuka 4cmx3cmx2cmFeel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertamasampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuantoileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu. Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),pasien mengetahui latihan pergerakan untuk mempersiapkan latihan berjalan,latihan penguatan otot kaki, latihan keseimbangan, pasien memerlukanbantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan. Perlunya pencegahan infeksiakibat luka terbuka.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, perawatan luka. Perawatmengajarkan pasien mobilisasi berdiri, dan membantu dalam menggunakankruk secara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuaiprogram. Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapattanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan kruk dalam jarak15 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1818Deskripsi pasien Ny. JH (usia 55 tahun), menikah dan memiliki 5 orang anak, agama hindu,
Suku Bali, masuk RS tanggal 10 Desember 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosamedis neglected column femur dekstra. Riwayat jatuh di kamar mandi 6bulan yang lalu. Nyeri di kaki kanan dan pasien tidak bisa berjalan. Pasiendibawa berobat ke alternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudiankeluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukanpemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi Total Hip Replacement(THR). Operasi dilakukan pada tanggal 13 Desember 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 5555/2222, selisih panjangkaki kanan dengan kaki yang kiri yang tidak mengalami fraktur 4 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertamasampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuantoileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 30 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi: terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kanan, duduk ditempattidur, berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap.Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6,pasien pulang dengan kondisi: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapatberjalan dengan menggunakan walker dalam jarak 10 meter denganpengawasan tanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume1919Deskripsi pasien Tn.FY (usia 25 tahun), belum menikah, pendidikan tamat akademi, agama
kristen, Suku Jawa, masuk RS tanggal 25 November 2012, Jam 11.00 WIB.Diagnosa medis closed fraktur tibia 1/3 proksimal sinistra. Riwayat jatuhdari motor dalam kecelakaan tunggal. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisaberjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta, karena tidak ada perbaikan, kemudiankeluarga membawa pasien ke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukanpemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi ORIF. Operasi dilakukan padatanggal 26 November 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal dan belum menikah.Pada hari pertama sampai dengan hari kedua setelah operasi. Kemampuanpasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur,membutuhkan bantuan toileting, mandi dibantu, tidak mampu bergantiposisi, tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahuilatihan pergerakan untuk mempersiapkan berjalan menggunakan kruk,latihan penguatan otot kaki, latihan keseimbangan, pasien memerlukanbantuan dalam penggunaan alat bantu berjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory sampai dengan hari ketiga post operasi. Pasien dipersiapkanuntuk mandiri sesegera mungkin secara bertahap dengan supportiveeduvative. Pasien secara mandiri dipersiapkan dan diajarkan dalampemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien sampai dengan hari ketiga. Dan supportive educative diperlukanpasien yang merupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasienmeliputi : terapi distraksi/relaksasi untuk nyeri, latihan gerak sendi, anklepump, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka. Perawatmengajarkan pasien mobilisasi miring ke kiri, duduk ditempat tidur, berdiri,dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itu jugamemberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasien pulangdengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan denganmenggunakan kruk dalam jarak 15 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative pasienberpartisipasi penuh dalam perawatan dan bersama-sama perawat mencapaitujuan utama yaitu pemenuhan self care pasien secara mandiri. Tingkatkepuasan pasien cukup tinggi pada perawat karena pasien menyadaripotensinya sebagai pasien adalah sebagai pendukung utama dalam proseskesembuhan pasien itu sendiri.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 20Deskripsi pasien Tn.LH, usia 60 tahun, menikah, memiliki 4 orang anak (2 laki-laki dan 2
perempuan), pendidikan tamat SMA, agama Islam, Suku Jawa, masuk RStanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur clavicula1/3 medial dekstra. Riwayat jatuh sendiri dari tangga 6 jam SMRS. Nyeri dibahu kanan membuat pasien tidak mampu beraktifitas. Pasien segera dibawake RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi ORIF. Tapi pasien dan keluarga menolak.Look : tampak deformitas dibahu kanan, pasien masih mampu berjalan,edema (+), luka (-), terpasang armslingFeel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertamamasuk RS kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukanditempat tidur, membutuhkan bantuan toileting, buang air kecil dan buangair besar menggunakan bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampuberganti duduk karena merasa nyeri. Pasien hanya menahan nyeri danmenolak di operasi.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Dalam keadaan fraktur yang tidak dikoreksi, maka claviculapasien harus diimobilisasi dalam jangka waktu yang lebih lama karenamenunggu proses remodeling dari tulang clavicula. Kebutuhan pasiendibantu oleh keluarga. Hamper semua kebutuhan ADL dibantu karena pasienkesulitan menggunakan tangan kanannya yang nyeri. Pasien dipersiapkanuntuk segera mandiri secara bertahap dengan supportive eduvative padakeluarga yang membantu memenuhi kebutuhan pasien. Anak kedua pasiendipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan dalam pemenuhan kebutuhanactivities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien. Perawat harus melakukan latihan dan memotivasi latihan agar bagiantangan kanan pasien tidak mengalami kontraktur akibat imobulisasi. Tetapiperawat juga tetap harus mempertahankan imobilisasi pada pasien agarfraktur tidak bertambah jauh garis patahnya sehingga menyebabkan cederayang lebih parah pada pasien. Disain supportive educative diperlukan untukkeluarga yang merupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasienmeliputi : terapi distraksi/relaksasi nyeri pasien, latihan gerak sendi,mengurangi edema, penguatan otot bahu dan lengan atas. Perawatmengajarkan pasien mobilisasi duduk bertahap, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan armsling. Selain itu jugamemberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 3, pasien pulangpaksa dengan kondisi : edema berkurang, pasien masih mengeluh nyeri,keterbatasan gerak, pasien mampu melakukan latihan ROM aktif dan pasifuntuk bagian sendi yang tidak fraktur dengan tetap mempertahankan posisiimobilisasi pada clavicula.
Conclusion Studi kasus ini perawat merasa belum berhasil meyakinkan pasien untukmenjalani koreksi fraktur dengan operasi. Berdasarkan analisis Orem,penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukungpenuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien. Perawatmemberikan edukasi pada pasien dan keluarga untuk latihan pencegahankontraktur dan menjaga posisi imobilisasi fraktur.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume2121Deskripsi pasien Tn.KI (44 tahun), menikah dan memiliki 1orang anak laki-laki. Pekerjaan
wiraswasta, pendidikan tamat akademi, agama Islam, Suku Jawa. Masuk RStanggal 17 Oktober 2012, Jam 14.00 WIB. Diagnosa medis fraktur radius1/3 tengah dekstra terbuka grade I. Nyeri di tangan kanan. Pasien langsungdibawa ke RSF dan segera dilakukan operasi ORIF pada jam 20.00 wib.Riwayat pasien mengalami kecelakaan jatuh dari bangunan kantor pasienyang sedang direnovasi 2 jam SMRS.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka4x2x1cm pada tangan kanan pasien.Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas atas 5555/2222, selisih panjangtangan kanan dengan tangan kiri yang tidak mengalami fraktur 1 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa pertengahan. Kemampuanpasien terbatas hanya pada hari pertama. Aktifitas perawatan diri dilakukanditempat tidur, kebutuhan toileting dibantu. Tidak mengetahui latihanpergerakan untuk latihan penguatan otot lengan, latihan keseimbangan,pasien memerlukan bantuan dalam mengurangi nyeri
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Pasien hampir tidak memerlukan care giver dalampemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien pada hari pertama. Pada hari berikutnya pasien memiliki motivasiuntuk sembuh yang sangat besar sehingga disain supportive educative sangattepat untuk keluarga dan pasien yang merupakan aspek keperawatan yangdapat mendukung pasien meliputi: terapi distraksi/relaksasi untukmengurangi nyeri, latihan gerak sendi untuk mengurangi edema danmencegah kontraktur serta mengembalikan fungsi. Perawat mengajarkanpasien ROM secara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuaiprogram. Setelah hari ke 3, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapattanda-tanda infeksi, dapat melakukan latihan rentang gerak mandiri, pasienmampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri.
Conclusion Pada kasus ini, supportive educative merupakan disain yang tepat untukpasien dengan motivasi kesembuhan yang sangat tinggi seperti Tn.KI.Berdasarkan analisis Orem, penggunaan model Self Care Deficit NursingTheory (SCDNT) mendukung penuh perawatan mandiri pasien sehinggakualitas hidup pasien meningkat dan mampu mengembalikan fungsiproduktif pasien sesegera mungkin.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 22Deskripsi pasien Ny. DL (usia 40 tahun). Menikah dan belum memiliki anak. Pekerjaan IRT,
pendidikan SMA, agama Islam, Suku Jawa. Pasien masuk RS tanggal 16November 2012, Jam 09.15 WIB. Diagnosa medis fraktur femur 1/3proksimal sinistra complete tertutup. Riwayat ditabrak motor 3 jam SMRS.Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dianjjurkan untuoperasi ORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 17 November 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), tidakada luka terbuka pada fraktur, hanya luka vulnus excoriasi.Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa pertengahan. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Edemapada distal tunkai Tidak mengetahui latihan pergerakan untukmempersiapkan berjalan menggunakan kruk. Latihan penguatan otot lenganuntuk menyangga, latihan keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalampenggunaan alat bantu berjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Suami pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, dan perawatan luka. Perawat mengajarkan pasien mobilisasi,duduk ditempat tidur, berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruksecara bertahap. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program.Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tandainfeksi, dapat berjalan dengan menggunakan kruk.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaanmodel Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuhperawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga danmeningkatkan kualitas hidup pasien, apalagi kondisi psikologis pasien yangbelum memiliki anak, membuat pasien sangat sensitive.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 23Deskripsi pasien Nn. UT (usia 22 tahun), belum menikah, mahasiswi, pendidikan SLTP,
agama Islam, Suku Jawa, masuk RS tanggal 2 Maret 2013, Jam 11.00 WIB.Diagnosa medis neglected fraktur tibia fibula 1/3 proksimal dekstra.Riwayat KLL 2 bulan yang lalu. Nyeri di kaki kanan dan pasien tidak bisaberjalan. Pasien dibawa ke RS Fatmawati dan disarankan untuk operasi,tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat ke alternative. Karena tidak adaperbaikan, kemudian keluarga membawa pasien kembali ke RSUPFatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untuk operasi2x, pemasangan skeletal traksi dengan beban 4 kg, setelah itu direncanakanuntuk operasi ORIF tibia. Operasi pemasangan skeletal traksi dilakukan padatanggal 4 Maret 2013. Selanjutnya dilakukan operasi ORIf pada tanggal 20Maret 2013.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-), luka (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 5555/2222, selisih panjangkaki kanan dengan kaki yang kiri yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia pasien saat ini berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi, pasien mengeluh nyeripada betisnya yang terpasang traksi. Pasien mengatakan sangat tidak nyamandengan beban yang menggantung dikakinya. Kemampuan pasien terbatas,aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur karena pasien harusimobilisasi, membutuhkan bantuan toileting, buang air kecil dan buang airbesar menggunakan bedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu bergantiposisi. Posisi kaki terbatas karena harus imobilisasi digantung beban traksi.Tidak mengetahui latihan pergerakan untuk mencegah DVT dan melatihmenarik beban traksi.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien dan terutama mencegah pasien agar tidak HDR. Ibu pasiendipersiapkan sebagai care giver dan diajarkan dalam pemenuhan kebutuhanactivities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan pasien dan keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi :terapi distraksi/relaksasi mengurangi nyeri, latihan gerak sendi, ankle pump,penguatan otot bahu dan lengan atas sebagai titik tolak pasien melakukanlatihan untuk menarik beban traksi, Selain itu juga memberikan terapi medissesuai program. Setelah hari ke 10, pasien pindah ke lantai 2 GPS RSFdengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka tempat pintraksi, dapat melakukan latihan menarik beban traksi. Setelah dievaluasiradiologi, tampak gambaran antara garis patah semakin menjauh, selisihpanjang kaki kanan dan kiri adalah 1 cm pada tanggal 7 Maret 2013.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan pasien memilikimotivasi untuk sembuh dan mengembalikan fungsi ekstremitasnya yangmengalami gangguan. Pasien selama ini merasa malu karena tidak mampuberjalan normal, memiliki keinginan untuk segera dioperasi dan bias berjalannormal kembali.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 24Deskripsi pasien Tn.G (usia 32 tahun). Menikah dan memiliki 1 orang anak. Pekerjaan
karyawan swasta. pendidikan SMA, agama Katolik, Suku Jawa, masuk RStanggal 20 Maret 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur femur1/3proksimal sinistra terbuka gr I. Riwayat KLL 5 jam SMRS saat menuju kekantor. Pasien dibawa ke RS Swasta dan disarankan untuk operasi, pasiendibawa ke RSF karena biaya yang ditanggung oleh jamsostek bila pasiendirawat di RSF. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkan untukoperasi ORIF (K-nail). Operasi dilakukan pada tanggal 21 Maret 2013.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka (+)3cmx3cmx1cmFeel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 45 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan kruk, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Istri pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkandalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot pangguldan lengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Selain itujuga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan kruk dalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpadibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaanmodel Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuhperawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga danmeningkatkan kualitas hidup pasien usia produktif, perawatan dirumah akanmengurangi biaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit danpasien lebih nyaman.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 25Deskripsi pasien Tn.B (usia 17 tahun), belum menikah, pendidikan tamat SLTP, belum
bekerja, agama Islam, Suku Betawi, masuk RS tanggal 13 Maret 2013, Jam13.00 WIB. Diagnosa medis fraktur tibia 1/3 tengah sinistra terbuka gr III.Riwayat tertimpa batu besar saat membantu kerja bangunan. Nyeri di kakikiri dan pasien tidak bisa berjalan. Luka terbuka. Hasil lab menunujukkanhasil Hb 9,5 gr%. Nilai leukosit 15rb. Pasien dianjurkan operasi eksternalfiksasi. Operasi dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2013.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+), luka10x7x3cm, pucat pada kapilerFeel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 1111/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 1 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia pasien berada pada tugas perkembangan remaja akhir. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi pasien mengeluh nyeridan balutan selalu rembes. Pasien mengalami anemia. Luka rembes.Kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempattidur, membutuhkan bantuan ke kamar mandi, tidak mampu berganti posisi,tidak mampu berpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahui latihanpergerakan untuk mempersiapkan berjalan dengan kruk, latihan penguatanotot lengan, latihan keseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalampenggunaan alat bantu berjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Ibu pasien dipersiapkan sebagai care giver dan diajarkandalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : transfuse darahPRC 500 cc, meningkatkan intake nutrisi dan cairan, mengontrol tanda-tandaperdarahan, mencegah infeksi, melakukan perawatan pin site. Terapidistraksi/relaksasi untuk nyeri, latihan gerak sendi, ankle pump. Perawatmengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur, berdiri, danmembantu dalam menggunakan kruk secara bertahap. Keluarga pasiendianjurkan untuk membuat celana yang ergonomis dengan keadaan eksternalfiksasi pasien. Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program.Setelah hari ke 6, pasien pulang dengan kondisi : Hb pasien 10,9 gr%, tidakterdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan dengan menggunakan krukdalam jarak 10 meter dengan pengawasan tanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah. Berdasarkan analisis Orem, penggunaanmodel Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) mendukung penuhperawatan dirumah dengan orang terdekat pasien, lingkungan keluarga danmeningkatkan kualitas hidup pasien usia produktif.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 26Deskripsi pasien Tn.L (65 tahun) Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RStanggal 20 Maret 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected columnfemur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 2 bulan yang lalu. Nyeri di kakikiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dandisarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat kealternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasienke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan padatanggal 22 Maret 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ekstremitas bawah 3333/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia pasien berada pada tugas perkembangan dewasa akhir. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 45 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.L dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasantanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 27Deskripsi pasien Tn.SA (usia 70 tahun), menikah dan memiliki 7 orang anak dan 4 cucu,
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Sunda Banten, masukRS tanggal 1 April 2013, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis fraktur femur 1/3tengah sinistra tertutup e.c osteoporosis. Riwayat jatuh sendiri di rumah 6jam SMRS. Nyeri di kaki kiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawake RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi ORIF. Operasi dilakukan pada tanggal 4 April 2013. PAsienmengatakan takut di operasi.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (+)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 2222/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada hari pertamasampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasien terbatas,aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkan bantuantoileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk menggunakan kruk, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan. Pasien juga tidak mengetahui bahwa pasien memeiliki resikokerapuhan tulang yang bias mneyebabkan fraktur berulang akibatpengeroposan tulang yang dialami pasien.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kelima pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Pasien juga diedukasiuntuk meningkatkan nutrisi yang tepat untuk mengatasi keadaanosteoporosis yang terjadi pada pasien. Setelah hari ke 6, pasien pulangdengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalan denganmenggunakan walker dalam jarak 7 meter dengan pengawasan tanpadibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 28Deskripsi pasien Ny. OH (33 tahun), menikah dan memiliki 2 orang anak, pekerjaan PNS,
pendidikan SMA, agama Islam, Suku Palembang, masuk RS tanggal 16April 2013, Jam 11.00 WIB. Riwayat jatuh dari motor 12 jam SMRS.Diagnosa medis fraktur humerus 1/3 tengah dekstra tertutup. Nyeriditangan kanan dan tampak edema pada tangan kanan pasien. Pasien dibawake RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi ORIF tapi pasien dan keluarga menolak.Look : tampak deformitas, pasien mampu berjalan, edema (+)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjangtangan yang fraktur dengan tangan yang tidak mengalami fraktur 2 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Pasien berada pada tugas perkembangan dewasa awal. Pada hari pertamadirawat, kemampuan pasien terbatas, aktifitas perawatan diri dilakukanditempat tidur, mandi bias mandiri dengan dibantu, mampu berganti posisidengan dibantu. Tidak mengetahui bahwa tangan pasien agar kembaliberfungsi normal harus di operasi.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dan keluarga tidak memahami pentingnya dilakukankoreksi atas fraktur yang dialami melalui operasi.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien berlangsung agak lebih lama dan supportive educative waktunya lebihdelay karena pasien menolak operasi. Tindakan keperawatan yang diberikanuntuk mendukung pasien meliputi : terapi distraksi/relaksasi, latihan geraksendi, latihan untuk mengurangi edema, penguatan otot bahu dan lenganatas, duduk ditempat tidur, dan membantu dalam menggunakan armsling.Selain itu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 4,pasien pulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, edemaberkurang, nyeri masih dikeluhkan, bias menggerakkan jari-jari tangan kiri.
Conclusion Studi kasus memperlihatkan partially compensatory nursing systemmembutuhkan waktu yang lebih lama menuju supportive eucative karenapasien menolak untuk dioperasi. Perawat memberikan edukasi mencegahterjadinya injury dan kontraktur saat pasien dibawa kerumah.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 29Deskripsi pasien Tn.T, usia 80 tahun, Duda dengan 3 anak (satu laki-laki dan 2 perempuan),
Pensiunan PNS, pendidikan SLTP, agama Islam, Suku Jawa, masuk RStanggal 1 Oktober 2012, Jam 11.00 WIB. Diagnosa medis neglected columnfemur sinistra. Riwayat jatuh dari tangga 4 bulan yang lalu. Nyeri di kakikiri dan pasien tidak bisa berjalan. Pasien dibawa ke RS Swasta dandisarankan untuk operasi, tetapi keluarga menolak dan dibawa berobat kealternative. Karena tidak ada perbaikan, kemudian keluarga membawa pasienke RSUP Fatmawati. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dianjurkanuntuk operasi Total Hip Replacement (THR). Operasi dilakukan padatanggal 3 Oktober 2012.Look : tampak deformitas, pasien tidak mampu berjalan, edema (-)Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD +/+Move : limited, kekuatan otot ektremitas bawah 3333/5555, selisih panjangkaki kiri dengan kaki yang kanan yang tidak mengalami fraktur 3 cm.
Self carelimitation atauself care deficit
Usia 80 tahun, berada pada tugas perkembangan dewasa tua. Pada haripertama sampai dengan hari ketiga setelah operasi. Kemampuan pasienterbatas, aktifitas perawatan diri dilakukan ditempat tidur, membutuhkanbantuan toileting, buang air kecil dan buang air besar menggunakanbedpan/commode, mandi dibantu, tidak mampu berganti posisi, tidak mampuberpindah tempat (perlu bantuan). Posisi kaki terbatas (lateral abduksi),fleksi hip tidak lebih dari 70 derajat. Tidak mengetahui latihan pergerakanuntuk mempersiapkan walker, latihan penguatan otot lengan, latihankeseimbangan, pasien memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantuberjalan.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalah partiallycompensatory. Pasien dipersiapkan untuk segera mandiri secara bertahapdengan supportive eduvative pada keluarga yang membantu memenuhikebutuhan pasien. Anak kedua pasien dipersiapkan sebagai care giver dandiajarkan dalam pemenuhan kebutuhan activities daily living.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehTn.T dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yang merupakanaspek keperawatan yang dapat mendukung pasien meliputi : terapidistraksi/relaksasi, latihan gerak sendi, ankle pump, penguatan otot bahu danlengan atas, mengatur posisi lateral abduksi saat tidur, perawatan luka.Perawat mengajarkan pasien mobilisasi miring ke kirti, duduk ditempat tidur,berdiri, dan membantu dalam menggunakan walker secara bertahap. Selainitu juga memberikan terapi medis sesuai program. Setelah hari ke 6, pasienpulang dengan kondisi : tidak terdapat tanda-tanda infeksi, dapat berjalandengan menggunakan walker dalam jarak 15 meter dengan pengawasantanpa dibantu.
Conclusion Studi kasus ini jelas memperlihatkan dengan supportive educative danpartially compensatory nursing system memungkinkan anggota keluargadapat merawat pasien dirumah, terutama yang lansia. Berdasarkan analisisOrem, penggunaan model Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT)mendukung penuh perawatan dirumah dengan orang terdekat pasien,lingkungan keluarga dan meningkatkan kualitas hidup lansia, mengurangibiaya perawatan dibandingkan perawatan di rumah sakit.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
Resume 30Deskripsi Pasien Ny. S (56 tahun), agama Islam, pendidikan terakhir SMP. Pekerjaan adalah
seorang IRT. Status marital telah menikah dengan 4 orang anak dan 8orang cucu. Pasien masuk RS pada 12 November 2012 melalui poliklinikortopedi. Keluhan pasien adalah nyeri pada punggung belakang. Nyeridirasakan menjalar ke kaki kanan. Keluhan BAB dan BAK tidak ada.Paisen disarankan untuk operasi, tetapi pasien belum berani untuk operasi.Pasien hanya minumobat penghilang rasa nyeri. Setelah satu bulan,keluhan dirasakan tidak berkurang. Nyeri makin bertambah. Lalu pasiendan keluarga memutuskan untuk operasi. Hasil pemeriksaan radiologiLumbosakral, kesan spondiloarthrosis Lumbalis, alignment Lumbosakralmasih intak, tampak osteofit pada L2-L3, L3-L4, L4-L5, dan L5-S1,diskus sempit dengan permukaan sklerosis. Pasien dilakukan operasilaminectomy pada Th 9 dan PCS (Pedichle club system), beupapemasangan screw pada Th 7, 8, 10, 11. Graft dilakukan denganmengambil dari spina iliaka, debridement dan biopsy jaringan. Hasilbiopsy diperoleh kesimpulan Spondilitis kaseosa, tidak tampak keganasan.
Self care limitationatau self caredeficit
Pasien berada pada rentang usia dewasa lanjut, tidak mampu melakukanaktifitas tanpa bantuan orang lain. Keterbatasan menyebabkan pasienmelakukan aktifitas penmenuhan kebutuhan dasarnya di tempat tidur.Pasien tidak mampu melakukan perubahan posisi secara mandiri, pasientidak mampu melakukan transfer, pasien tidak mengetahui bahaya bilamelakukan pergerakan yang salah. Pasien juga tidak mmengetahui latihanapa yang sebaiknya dilakukan. Pasien dipersiapkan untuk menggunakanbrace, latihan pergerakan, pentingnya penguatan otot ekstremitas, latihankeseimbangan, posisi yang nyaman untuk tulang belakang, latihanperubahan posisi dan transfer.
Type of nursingsystem
Disain nursing system yang sesuai dengan kebutuhan pasien adalahpartially compensatory dan supportive educative pada keluarga yangmembatu memenuhi kebutuhan dasar pasien. Anak ketiga psien sebagaicare giver diajarkan dan dilatih untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien.
Technologicaldimension
Partially compensatory adalah system keperawatan yang diperlukan olehpasien dan supportive educative diperlukan untuk keluarga yangmerupakan aspek keperawatan yang mendukung pasien meliputimanajemen keperawatan dan kolaboratif, yaitu memebrikan latihandistraksi dan relaksasi, melakukan pengkajian nyeri dan memberikanmanajemen nyeri baik farmakologi maupun nonfarmakologi. Perawat jugamenjadi advokat bagi pasien saat tim Rehabilitasi Medik memasangkanbrace, dimana perawat memastikan pasien merasa nyaman dan terbebasdari risiko injury. Perawat juga mengajarkan dan mengkonsultasikan bilaterjadi gangguan neuromuscular, melatih ROM aktif dan pasif.
Conclusion Pada kasus ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kebutuhan pasienberada pada level partially compensatory, namun system keperawatansupportive educative memungkinkan pasien ebiih mandiri, dan anggotakeluarga dapat melakukan perawatan intensif dirumah. Berdasarkananalisis self care Orem, perawatan di rumah dengan orang-orang terdekatpasien dan memodifikasi lingkungan keluarga akan meningkatkan kualitaspasien pada usia lanjut.
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dian Novita, S.Kep.Ns., M.Kep.
TTL : Gunung Sugih, 29 November 1981
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Perawat di Rumah Sakit dr. H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung
Alamat Rumah : Jl. Pagar Alam gang Damai 15A Segala Mider Bandar Lampung
Alamat Institusi : Jl. Dr. Rivai No. 1 Bandar Lampung
Alamat Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1987 – 1993 : SD Kristen No.3 Bandar Jaya Lampung Tengah
1993 – 1996 : SMP Negeri 9 Bandar Lampung
1996 – 1999 : SMA Negeri 2 Bandar lampung
1999 – 2005 : Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjadjaran Bandung
2010 – 2012 : Pascasarjana Magister keperawatan Kekhususan keperawatan Medikal
Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2012-2013 : Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Kekhususan Keperawatan
Medical Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Riwayat Pekerjaan :
Januari 2005 – April 2005 : CPNS di Dinas Kesehatan Propinsi Lampung
April 2005 – Sekarang : Perawat di RS dr. H Abdul Moeloek Propinsi
Lampung (Ruang Kecelakaan Pria)
Analisis praktik.., Dian Novita, FIK UI, 2013