14
DILEMATISASI PERTUMBUHAN PEMBANGUNAN DAN INDIKASI KASUS KORUPSI OLEH : PUTU ANANTHA PRAMAGITHA 1503005117 2015 NI MADE RIT MEIDYANA 1503005134 2015 PUTU AYU OSSI WIDIARI 1503005145 2015 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar

"Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

DILEMATISASI PERTUMBUHAN PEMBANGUNAN

DAN INDIKASI KASUS KORUPSI

OLEH :

PUTU ANANTHA PRAMAGITHA 1503005117 2015

NI MADE RIT MEIDYANA 1503005134 2015

PUTU AYU OSSI WIDIARI 1503005145 2015

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar

Page 2: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan

pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam pasal 18 ayat

(2) yaitu pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal tersebut juga telah diatur

secara implisit dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah yaitu pelimpahan tugas dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi daerah menganut asas desentralisasi yaitu

penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepala daerah otonom dalam kerangka Negara

kesatuan republik Indonesia. Dalam hal ini, daerah otonom merupakan suatu kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara kesatuan

Republik Indonesia. Sehingga otonomi daerah melahirkan raja-raja kecil yang memegang kendali

kebijakan penyelenggaraan pemerintah di daerah.

Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan

tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Dengan otonomi seluas-luasnya, maka

segala kebijakan dikendalikan oleh pemerintah daerah. Namun dalam pelaksanaannya masih

menyisakan berbagai persoalan yang belum terselesaikan, diantaranya kasus korupsi di daerah,

penyalahgunaan wewenang, tidak tercapainya pembangunan yang diprioritaskan oleh masyarakat,

tumpang tindih kekuasaan yang diakibatkan kurang dijabarkannya kewenangan, hak dan

kewajiban antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kurangnya pelayanan publik serta

masih banyak lagi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Political and Economy Risk

Consultancy (PERC) tahun 2010, Kasus korupsi di Indonesia menduduki posisi tertinggi dari 16

negara yang berada di Asia Pasifik dan posisi pertama dari tujuh Negara ASEAN yaitu sebesar 8,

32 %. Survei ini diperkuat dengan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2010 yang

mengungkapkan salah satu penyumbang kerugian Negara tertinggi adalah korupsi keuangan

Page 3: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

daerah yang dilakukan oleh sejumlah oknum Kepala Daerah dan DPRD.1 Tetapi tidak sedikit juga

pemerintah yang khawatir dalam hal penyerapan anggaran pemerintah daerah karena takut

berurusan dengan hukum. Sehingga menimbulkan suatu dilema pemerintah untuk menjalankan

program pembangunan.

Berdasarkan data pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2015, dana

sebesar Rp 20,766,200,000 merupakan total nasional dari rincian dana desa menurut kabupaten

kota.2 Namun, permasalahan saat ini adalah data yang terhimpun pada 30 juni 2015, penyerapan

anggaran sangat berjalan lamban, rata-rata untuk kabupaten kota baru 24,95% sementara provinsi

hanya 25,95%.3 Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri menyebutkan Rp 672 triliun

telah ada di daerah yang disalurkan melalui dana perimbangan daerah namun daya serapnya masih

sangat lamban. Padahal ditengah kemerosotan rupiah, perekonomian Negara yang masih berjalan

pelan dan semakin mencekik, serta pengangguran yang semakin meningkat, pemerintah daerah

harus segera mengambil keputusan dalam hal percepatan penyerapan anggaran daerah agar

perekonomian tidak jalan ditempat dan program pembangunan segera terlaksana.

Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, juga sempat berpendapat bahwa disatu sisi Indonesia

sukses memberantas korupsi namun disisi lain masih terdapat kendala dalam hal pergerakan

perekonomian yaitu terhambatnya pelaksanaan perekonomian Negara akibat tidak terlaksananya

pembangunan karena ketakutan para pejabat dalam penggunaan anggaran daerah. Salah satu faktor

yang menyebabkan hal tersebut adalah ketidakjelasan definisi korupsi seperti yang telah termuat

dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi. Terkait hal ini, penegakan

hukum dirasa masih mengganggu jalannya pembangunan sehingga menimbulkan ketakutan

terhadap sanksi hukum oleh para pejabat karena tidak adanya kepastian hukum. Menanggapi

permasalahan tersebut, tentunya para penegak hukum serta aparat pemerintahan sebagai satu

1 Marzuki Laica, 2007, Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Jakarta. 2 Dikutip dari www.kemenkeu.go.id, 2015, Rincian dana transfer ke daerah dan dana APBN tahun anggaran 2015, Diakses

pada tanggal 2 Januari 2016, (15.05 WITA)

3 Sumbar.antaranews, 2015, Dilema Percepatan Anggaran dan Risiko Hukum,

http://sumbar.antaranews.com/berita/157019/dilema-percepatan-penyerapan-anggaran-dan-risiko-hukum.html, Diakses

pada tanggal 2 Januari 2016 (11.10 WITA)

Page 4: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

kesatuan dapat bersama-sama mengkaji ulang untuk menemukan solusi yang tepat dari

permasalahan ini.

Berkaca dari data yang dirilis KPK sebanyak 47 tersangka kasus korupsi dalam dua

semester adalah kepala daerah.4 Hampir 50% pejabat di Bali terlibat kasus korupsi, contohnya di

Kota Denpasar terjadi kasus korupsi yang melibatkan 2 pejabat Pemprov Bali dalam kasus Korupsi

Taman Budaya senilai 6 miliar, di Kabupaten Badung sendiri Kepala Pajak Kabupaten Badung

sudah divonis selama 6,5 tahun akibat tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Mantan Bupati

Buleleng juga tak luput dari kasus korupsi setelah diduga menggelapkan uang senilai 11 miliar,

bukan hanya di Kabupaten Buleleng, mantan bupati Kabupaten Bangli, Jembrana, Karangasem

dan Klungkung juga tersangkut kasus korupsi yang mencapai angka diatas 40 miliar. Kabupaten

Gianyar bahkan harus menangani kasus korupsi senilai 2,2 miliar yang dilakukan oleh pihak

PDAM Kabupaten Gianyar dan Kabupaten terakhir yang tak luput dari kasus korupsi adalah

Kabupaten Tabanan dengan dugaan Mark Up lahan RS Internasional yang akan di bangun di

Tabanan.5

Oleh karena itu, di Provinsi Bali sendiri kasus korupsi merupakan salah satu momok yang

mengakibatkan pembangunan daerah terhambat sehingga pembangunan dinilai lambat oleh

masyarakat. Lemahnya penegakan korupsi di Indonesia juga disebabkan karena penyalahgunaan

kekuasaan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi (abuse of power),

sehingga menimbulkan ketakutan pemerintah daerah dalam mengambil suatu kebijakan yang

bersifat pembangunan.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana efektivitas dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia?

2. Apa dampak Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pembangunan daerah?

3.

4 Dikutip pada laman http://www.kpk.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan, Diakses pada tanggal 10 Januari 2016 (14.50 WITA)

5 Diakses pada laman http://infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=308&l=bali , pada tanggal 10 Januari 2016 (15.00 WITA)

Page 5: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

PEMBAHASAN

I. Efektivitas dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah didasari oleh tiga tujuan utama yaitu

tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Tujuan politik otomi daerah adalah untuk

meningkatkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah serta mewujudkan demokratisasi politik

melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tujuan administratif yaitu pembagian urusan

pemerintahan pusat dan daerah, serta tujuan ekonomi yang hendak dicapai adalah mendorong,

memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Otonomi daerah pada awalnya dimaksudkan untuk

menghindari adanya pemusatan pembangunan di daerah tertentu saja tetapi berusaha untuk

memajukan daerah melalui pemberian wewenang kepada daerah untuk melakukan pembangunan

segala bidang yang tidak bertentangan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan tujuan diadakannya otonomi daerah perlu dilihat bagaimana penerapannya di

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini mengingat masih banyak daerah tertinggal yang

pembangunannya tidak mengalami peningkatan berarti. Di Bali contohnya menurut data yang

dikeluarkan Bappeda sebanyak 82 desa memiliki jumlah keluarga miskin diatas 35% yang tersebar

di 20 Kecamatan dengan empat Kabupaten terbanyak, yang paling banyak terdapat di kabupaten

Buleleng (33 desa) disusul Kabupaten Karangasem (31 desa), Bangli (10 desa) dan Klungkung (8

desa).6

Adanya pembangunan yang tidak merata sangat disayangkan mengingat dana yang

dikeluarkan pemerintah daerah Bali untuk pembangunan bukanlah dana yang sedikit, berdasarkan

data yang dimuat Dinas PU Provinsi Bali, dana APBD daerah Bali mencapai Rp 389 miliar tetapi

faktanya kehidupan masyarakat di Bali tidak merata seluruhnya.7 Di daerah Karangasem angka

putus sekolah siswa SD mencapai 238 siswa sedangkan yang terendah Kabupaten Jembrana

6 Diakses pada laman http://balicaringcommunity.org/bali-simpan-82-desa-miskin.html , pada tanggal 8 Januari 2016. (22.02

WITA) 7 Laporan APBD bulan februari 2014, 2014, Dinas PU Provinsi Bali, hal. 1.

Page 6: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

dengan jumlah 2 siswa.8 Dilihat dari kepadatan penduduknya, Kabupaten Badung dengan luas 418

km2 memiliki kepadatan penduduk sebanyak 1.277 penduduk/km2 sedangkan Kabupaten Buleleng

yang terluas di Bali (1365 km2) hanya memiliki kepadatan penduduk sebanyak 457 penduduk/km2

hal ini membuktikan adanya ketidakmerataan penyebaran penduduk sehingga menyebabkan

kemacetan dan kurangnya lahan untuk pertanian di Kabupaten Badung.

Hal ini menunjukan bahwa otonomi daerah di Bali belum terlaksana seutuhnya karena

konsep pembangunan secara merata masih sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan maraknya

kasus korupsi yang terjadi di daerah, Henderson dan Kuncoro (2004) mengemukakan bahwa

setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, penyuapan yang terjadi pada tingkat pemerintahan daerah

meningkat sejalan dengan makin banyaknya aturan yang diterbitkan oleh pemerintahan daerah,

terutama aturan soal pajak, retribusi dan berbagai perizinan serta kebijakan di daerah.9 Menurut

hasil kajian Komisi Pelaksanaan Otonomi Daerah (2005) dari 3.844 Perda yang muncul hanya

14% yang tidak bermasalah sehingga masalah birokrasi pelaksanaan otonomi daerah paling utama

adalah korupsi dari pemerintah daerah yang memiliki akuntabilitas lemah.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Bappedan dan BPS Bali, Nilai Indeks Kinerja

Pembangunan (IKP) Tahun 2013 secara umum mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun

2012.10 Faktor yang menyebabkan turunnya IKP adalah turunnya nilai Aspek Pelayanan Umum

(APU) dan Aspek Daya Saing (ADSD) yang disebabkan karena turunnya nilai dari komponen

ekonomi daerah dan sumber daya manusia. Melihat dari data tersebut, pertumbuhan pembangunan

di daerah masih belum maksimal sehingga pelaksanaan otonomi daerah juga dianggap belum

mencapai tujuannya.

Faktor yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan otonomi daerah adalah kurangnya

akuntabilitas pemerintah dalam melaksanakan pembangunan daerah serta lemahnya kontrol

terhadap pemerintahan sehingga menimbulkan adanya korupsi di pemerintahan. Studi yang di

lakukan oleh Huntingtin (1968), Myrdal (1970), Krueger (1974), Lui (1985), Bardhan

(1987;1997), Mauro (1995), Klitgaard (1998), Lambsdorff (1999), Rose-Ackerman (2000), Bareto

8 Bali Membangun 2013, 2013, pemerintah provinsi bali badan perencanaan dan pembangunan daerah, hal. 196 9 Riyanto, korupsi dalam pembangunan wilayah: suatu kajuan ekonomi politik dan budaya, 2008, Institut Pertanian Bogor, hal 6 10 Dikutip dari laman http://www.bappeda.baliprov.go.id/id/Indeks-Kinerja-Pembangunan, Diakses pada tanggal 10 Januari

2016 (12.40 WITA)

Page 7: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

(2000), Kuncoro (2002;2006), Henderson dan Kuncoro (2004; 2005) dan World Bank (2006)

menelaah kaitan antara korupsi dan pembangunan ekonomi di negara berkembang, bahwa titik

awal terjadinya korupsi adalah awal perumusan regulasi atau Perda itu sendiri.11

Korupsi memiliki makna yang sangat luas dan kompleks sehingga korupsi masih rancu

(ambigu) serta susah untuk dibedakan. Contohnya adalah korupsi politik dan korupsi ekonomi

dalam kasus apakah usaha untuk keuntungan pribadi termasuk merancang kebijakan dengan tujuan

untuk meningkatkan peluang bertahan di pemerintahan termasuk jenis korupsi yang mana. Selain

itu dalam perumusan kebijakan diluar rencana kegiatan apakah termasuk penyalahgunaan

wewenang atau tidak. Hal ini disebabkan karena kekaburan norma yang merupakan salah satu

faktor penyebab terhambatnya pelaksanaan otonomi daerah.

Oleh karena itu secara nyata, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum mencapai

tujuannya untuk meratakan pembangunan kerena ada tiga faktor yaitu kurangnya akuntabilitas

pemerintah serta pengawasan kinerja pemerintah sehingga memicu banyaknya kasus korupsi yang

terjadi sedangkan kekaburan norma dalam peraturan perundang-undangan mengenai korupsi

masih terjadi dan menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran.

II. Dampak Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pembangunan daerah

Korupsi yang telah masuk keperbendaharaan Bahasa Indonesia berasal dari kata Latin

corruption yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak

bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah (The

Lexicon : 1978) .Tindak pidana korupsi di Indonesia terlihat seperti sebuah kejahatan yang telah

menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Budaya korupsi ini disebabkan karena adanya faktor

seperti yang pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh “ada empat faktor

dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum yang masih

lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan `political will.` "

11 Riyanto, korupsi dalam pembangunan wilayah: suatu kajuan ekonomi politik dan budaya, 2008, Institut Pertanian Bogor, h. 10

Page 8: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sebenarnya telah diatur sejak tahun 1971 yang

diaplikasikan ke dalam UU nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(PTPK), yang telah dirubah sebanyak dua kali hingga saat ini yaitu pada UU 30 Tahun 1999 dan

dirubah lagi pada tahun 2002 diaplikasikan dalam UU 20 tahun 2001 yang berlaku sampai saat ini

dan menjadi hukum positif Indonesia tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Diaturnya Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang membuktikan bahwa Indonesia

sangat menyadari bahwa pentingnya memberantas para koruptor demi memperlancar jalannya

pemerintahan dan mempercepat proses pembangunan guna mencapai tujuan NKRI yang dimuat

dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4, Namun selain membawa dampak positif, UU PTPK

juga membawa dampak negatif dalam proses pembangunan daerah karena dalam Undang-Undang

terdapat kata-kata yang tidak jelas atau bermakna ganda hingga menyebabkan salah penafsiran,

Kesalahan penafsiran ini menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum

dalam penanganan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan diterapkannya ajaran sifat melawan

hukum material yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU (PTPK). Ketentuan pasal

2 ayat (1) UU PTPK menyatakan tindak pidana korupsi adalah :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah). Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tersebut, maka rumusan

tindak pidana korupsi adalah:

“Setiap orang” itu menunjuk pada subjek hukum pidana. Menurut ketentuan pasal 1

angka 3 UU PTPK yang dimaksud dengan setiap orang adalah perseorangan atau

termasuk korporasi.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dirumuskan pada pasal 2 ayat (1) UU PTPK

adalah:

- Secara melawan hukum

- Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

- Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Page 9: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

Rumusan mengenai unsur “melawan hukum” yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU PTPK

ditafsirkan dengan pandangan luas yang diperkenalkan oleh Molengraaff, yang menyatakan bahwa

seseorang melakukan perbuatan melawan hukum: (seseorang yang berbuat kepada orang lain,

yang tidak patut menurut lalu lintas pergaulan masyarakat) atau ditafsirkan sesuai MARI

(Mahkamah Agung Republik Indonesia) tanggal 15 Desember 1983, No 275 K/Pid/1982 dalam

perkara Korupsi di Bank Bumi Daya (Raden Sonson Natalegawa) Majelis Hakim dalam perkara

tersebut memberikan penjelasan hukum bahwa ‘Wederrechtlijkheid” yaitu perbuatan melawan

hukum itu tidaklah diartikan secara formil saja, tetapi meliputi pengertian “Materiele wede-

rechtelijkheid”, suatu perbuatan yang mencakup ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat, bahkan tegasnya suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung tersebut selanjutnya diikuti oleh berbagai putusan lainnya yang

menggunakan perbuatan melawan hukum material dan juga formil dalam memutus perkara

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Padahal menurut Komariah Emong Sapradjaja “Bahwa fungsi perbuatan hukum positif

material ini, menurut ajaran hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan

asas legalitas”. Artinya praktek penerapan perbuatan melawan hukum material positif jelas

bertentangan dengan asas legalitas, penerapan penggunaan perbuatan melawan hukum material

membuat Ir. Dawud Djatimiko, yang tersangkut kasus perkara dugaan korupsi dalam Jakarta Outer

Ring Road melakukan Permohonan Pengujian (judicial review) UU No 31 Tahun 1999 tentang

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD

1945 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Menanggapi hal itu MK

menilai memang terdadat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat penjelasan pasal 2 ayat (1)

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

menerbitkan Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya

menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran sifat melawan hukum material dalam tindak

pidana korupsi.

Terbitnya putusan MK yang menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran sifat

melawan hukum material bertolak belakang dengan praktik peradilan yang diterapkan sampai saat

ini aparat penegak hukum, temasuk hakim pada Mahkamah Agung tetap dengan pendiriannya

Page 10: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

mengimplementasikan ajaran sifat melawan hukum material yang memperkenankan adanya

penafsiran, dan hal ini pun tercemin dari putusan-putusan Mahkamah Agung dalam memutus

perkara tindak pidana korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Implikasi dari pandangan

Mahkamah Agung memperkenankan adanya penafsiran dalam menentukan perbuatan hukum

tersebut, pada akhirnya diterapkan pula oleh aparat penegak hukum lainnya, baik itu polisi, jaksa

maupun penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum material positif dalam perkara Tindak Pidana

Korupsi inilah yang membuat para Pemerintah daerah takut mengeluarkan kebijakan-kebijakan

baru karena takut terindikasi kasus korupsi seperti contoh kasus Johanes Kennedy Aritonang

dalam pembelian mesin turbin oleh PLN, di dalam kasusnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi

kebutuhan PLTGU Borang di Palembang Sumatera Selatan, PT PLN (persero) telah membeli

mesin turbin seharga US$ 27.174.700 dari PT Guna Cipta Mandiri (CGM) yang diwakili oleh

Joanes Kennedy Aritonang sebagai direktur CGM. Perjanjian ini dengan system kontrak sewa beli,

dimana PT PLN Persero akan membayarnya selama jangka waktu 48 bulan. Hal ini dimungkinkan

karena PLN tidak cukup dana untuk membangun sendiri pembangkit baru di daerah itu. Untuk

pembelian mesin turbin dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung, mengingat saai itu

menjelang event nasional PON XVI dan adanya ancaman terkena denda/pinalti take or pay

terhadap PLN dari perusahaan pemasok gas alam di Borang. Mengingat waktu yang tersedia

sangat singkat (3-4 bulan), maka dilakukanlah pembelian dengan cara penunjukan langsung.

Namun demikian berdasarkan penyidik Mabes Polri, dalam pengadaan mesin turbin ini, negara

diduga telah dirugikan sebesar US$ 13.164.680. dasar penghitungannya adalah “draft temuan

BPK” yang menghitung mengenai harga pasar mesin turbin itu. Padahal, pada saat itu, pejabat

BPK sendiri menyatakan BPK tidak mengenal istilah “draft temuan BPK” atas dugaan ini penyidik

Mabes Polri menangkap dan menahan Johanes dengan menetapkan statusnya sebagai tersangka.

Berkas perkara ini kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, dan Jaksa

Penuntut Umum juga telah meningkatkan status Johanes Kennedy Aritonang sebagai terdakwa

dan dilakukan penahanan terhadap yang bersangkutan. Perbuatan terdakwa Johanes Kennedy

Aritonang dianggap melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana

Page 11: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 378 KUHP.

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah tindak pidana korupsi dan penipuan.12

Kasus Johanes Kennedy Aritonang yang melakukan pembelian dengan cara penunjukan

langsung yang maksudnya untuk mempercepat dan terhindar dari denda terhadap PLN dari

perusahaan pemasok gas alam di Borang mengakibatkan dirinya harus ditangkap dan ditahan oleh

penyidik Mabes Polri, walaupun akhirnya Johanes Kennedy Aritonang telah dibebaskan dengan

dikeluarkannya SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) oleh Kejaksaan. Melihat kasus

Johanes Kennedy Aritonang dan penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum dalam

penerapan ajaran sifat melawan hukum material yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal

3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. Hal inilah

yang mengakibatkan pemerintah daerah dilema dalam melakukan penggunaan angaran pemerintah

daerah antara mempercepat pembangunan dan tuduhan korupsi.

12 Girrsang, Juniver, 2012, Abuse Of Power : Penyalahgunaann Kekuasaan Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak

Pidana Korupsi, hal. 216

Page 12: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

PENUTUP

I. KESIMPULAN

Pelaksanaan otonomi daerah didasari oleh tiga tujuan utama yaitu tujuan politik,

tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Namun, faktanya pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia tidak berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan karena diakibatkan oleh beberapa

faktor seperti penyerapan anggaran daerah yang lambat, korupsi oleh pemerintah daerah dan

penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum disebabkan karena

diterapkannya ajaran sifat melawan hukum yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1)

UU PTPK yang dipandang secara luas. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia tanggal 15 Desember 1983, No 275 K/Pid/1982 menjelaskan bahwa perbuatan

melawan hukum itu tidaklah diartikan secara formil saja, tetapi meliputi pengertian “materiele

wede-rechtelijkheid”, suatu perbuatan yang mencakup ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat, bahkan tegasnya suatu perbuatan yang dipandang tercela oleh

masyarakat. Putusan Mahkamah Agung tersebut selanjutnya diikuti oleh berbagai putusan

lainnya yang menggunakan perbuatan melawan hukum material dan juga formil dalam

memutus perkara Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah daerah dilema dalam melakukan

penggunaan angaran daerah antara mempercepat pembangunan dan tuduhan korupsi. Hal ini

pula yang yang memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan masyarakat lainnya,

sehingga sangat sulit mengembangkan potensi daerah untuk mewujudkan pemerataan serta

menjamin kesejahteraan bagi masyarakat.

II. SARAN

Perlunya perubahan UU PTPK No 31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah

dengan UU No. 20 Tahun 2001 dan diikutinya Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006

tanggal 25 Juli 2006 yang pada intinya menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran

sifat melawan hukum material dalam menangani perkara tindak pidana korupsi.

Page 13: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

Sederhananya, jika tidak ada “kongkalikong” dalam pelaksanaannya, tentunya tidak akan

ada pasal yang dapat mempermasalahkan dan membawa mereka ke ranah hukum.

Page 14: "Dilematisasi Pertumbuhan Pembangunan dan Indikasi Kasus Korupsi"

DAFTAR PUSTAKA

Diakses pada laman www.otda.kemendagri.go.id. Perlunya revisi UU Otonomi Daerah. pada

tanggal 3 Januari 2016. (14.00 WITA)

A. Hamzah. 1984. Korupsi dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan. Jakarta : AKADEMIKA

PRESSINDO

Isra, Saldi. 2009. Kekuasaan dan Perilaku Korupsi. Jakarta : KOMPAS

Jangan Bunuh KPK : Perlawanan terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi. 2009. Jakarta :

KOMPAS

Girsang, Juniver. 2012. Abuse Of Power : Penyalahgunaann Kekuasaan Aparat Penegak Hukum

Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : JG Publishing

Wididana, Gede Ngurah. 2005. Politik & Korupsi. Denpasar : Visi Media Pak Oles

Diakses pada laman http://www.bappeda.baliprov.go.id/id/Data-Bali-Membangun3. tanggal 10

Januari 2016 (12.40 WITA)

Diakses pada laman http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54febb754288e/icw--jumlah-

tersangka-kasus-korupsi-ribuan-di-periode-2014 pada tanggal 10 Januari 2016 (13.05

WITA)

Diakses pada laman http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40968. Diakses pada tanggal

10 Januari 2016 (13.05 WITA)

Web Dispu Provinsi Bali. http://www.dispu.baliprov.go.id/id/Laporan-Fisik-Keuangan-APBD-

20142 . Diakses pada tanggal 12 Januari 2016 (14.00 WITA)