31
1 I. PENDAHULUAN Nandur kentang kuwe kaya wong main, apa bae bisa kontal(menanam kentang itu seperti orang berjudi, apapun bisa terjual). (Karep, petani Puncakwangi, 2012) A. Di Balik Ledakan Ekonomi Kentang Karep tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan menerima perlakuan kasar dan pelecehan dari penagih hutang di hadapan anak dan istrinya. Tokoh pemuda yang bekerja sebagai petani kentang itu juga tidak pernah menduga kalau pada akhirnya harus menjual rumah warisan untuk menutup hutang di bank. Agar tidak kehilangan muka kepada tetangga sekitar, rumah itu ia jual kepada seorang saudara perempuan. Ia dan keluarganya kini menempati rumah warisan lain yang didapat dari keluarga istrinya. Meskipun demikian, Karep tidak menyerah. Ia bertekad terus memproduksi kentang di lahan warisan yang tersisa. Berbagai cara dicoba oleh segenap orang untuk memperbaiki produksi, mulai dari memperbesar modal dengan tidak hanya meminjam di satu bank, melipatgandakan pemakaian bahan agrokimia, meminta saran para petani lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan mantera dan doa-doa yang diperoleh dari para kyai. Karep tidak sendirian; banyak petani kentang yang senasib dengannya. Meskipun demikian, hingga hari ini produksi kentang di Dieng masih berlanjut. Kentang masih tetap dipandang sebagai “emas hijau”, tanaman yang telah berhasil mengubah dataran tinggi Dieng dan nasib orang-orang yang tinggal di sana. Sejak

dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

  • Upload
    hakhanh

  • View
    242

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

1

I. PENDAHULUAN

“Nandur kentang kuwe kaya wong main, apa bae bisa kontal”(menanam kentang itu seperti orang berjudi, apapun bisa terjual).

(Karep, petani Puncakwangi, 2012)

A. Di Balik Ledakan Ekonomi Kentang

Karep tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan menerima

perlakuan kasar dan pelecehan dari penagih hutang di hadapan anak dan istrinya.

Tokoh pemuda yang bekerja sebagai petani kentang itu juga tidak pernah

menduga kalau pada akhirnya harus menjual rumah warisan untuk menutup

hutang di bank. Agar tidak kehilangan muka kepada tetangga sekitar, rumah itu ia

jual kepada seorang saudara perempuan. Ia dan keluarganya kini menempati

rumah warisan lain yang didapat dari keluarga istrinya. Meskipun demikian,

Karep tidak menyerah. Ia bertekad terus memproduksi kentang di lahan warisan

yang tersisa. Berbagai cara dicoba oleh segenap orang untuk memperbaiki

produksi, mulai dari memperbesar modal dengan tidak hanya meminjam di satu

bank, melipatgandakan pemakaian bahan agrokimia, meminta saran para petani

lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan mantera dan

doa-doa yang diperoleh dari para kyai.

Karep tidak sendirian; banyak petani kentang yang senasib dengannya.

Meskipun demikian, hingga hari ini produksi kentang di Dieng masih berlanjut.

Kentang masih tetap dipandang sebagai “emas hijau”, tanaman yang telah berhasil

mengubah dataran tinggi Dieng dan nasib orang-orang yang tinggal di sana. Sejak

Page 2: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

2

tanaman kentang masuk pada tahun 1980-an, berbagai perubahan mencolok

memang terjadi di dataran tinggi itu. Dari wilayah yang sebelumnya dipandang

tidak produktif dan rawan pangan, kini Dieng justru dianggap sebagai kawasan

pertanian yang berhasil menciptakan surplus ekonomi dan mampu menyerap

tenaga kerja.

Secara ekonomis, kentang yang padat modal memang menjanjikan

keuntungan lebih besar dibandingkan tanaman komersial yang pernah

dibudidayakan para petani Dieng, seperti tembakau dan kobis. Secara sosial,

kentang juga dipandang sebagai tanaman prestisius, diproduksi dengan teknologi

modern dan dikonsumsi oleh orang modern. Menanam kentang di kalangan petani

dinilai bisa meningkatkan status. Bisa dipahami kalau kemudian dalam 2 dekade

luas produksi kentang di dataran tinggi Dieng melonjak pesat, dari 200-an hektar

pada tahun 1970-an menjadi 2000-an hektar pada 1980-an, dan 5000-an hektar

pada 1990-an. Meskipun demikian sejak 1990-an akhir produksi kentang di

daerah pegunungan itu mulai mengalami konstraksi, akibat daya dukung

lingkungan yang menurun. Dalam 2 dekade terakhir luas produksi kentang di

pegunungan Dieng menurun, rata-rata hanya mencapai 3000 hektar.

Itu semua pada akhirnya seperti mengingatkan kita bahwa dinamika

perubahan pertanian pegunungan di Jawa tidak pernah terlepas dari fenomena

ledakan komoditas pertanian (boom crop). Sejak produksi getah perca mengalami

kejayaan pada sekitar pertengahan abad ke-19, berbagai ledakan komoditas

pertanian terus berlanjut. Tembakau adalah komoditas yang menurut Boomgaard

(2002: 87-102) telah memiliki sejarah panjang dalam perubahan pertanian gunung

Page 3: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

3

di Jawa. Ledakan ekonomi tembakau di sekitar pegunungan Dieng setidaknya

sudah dimulai pada awal abad ke-20 ketika tercatat produksi tembakau di wilayah

itu mulai membanjiri pelabuhan Cilacap (Zuhdi, 2002: 57-73). Selain tembakau,

pitrum, sejenis tanaman bunga yang secara botanis masuk dalam rumpun keluarga

Chrysanthemum, pada kisaran 1960-1970-an juga pernah mengalami kejayaan,

hingga hampir separuh lahan-lahan di pegunungan Dieng digunakan untuk

produksi tanaman bahan baku obat itu. Hal yang kemudian perlu dicatat adalah

semua komoditas yang pernah mengalami kejayaan itu, tidak terkecuali kentang

yang datang belakangan, pada akhirnya surut, baik karena alasan-alasan ekologi,

sosial maupun ekonomi.

Sayangnya, sebagaimana dikatakan Li (2010: 12-13), dalam dua dekade

terakhir ini tidak banyak kajian-kajian sosial yang memberikan perhatian serius

terhadap isu-isu ini. Dalam perspektif Indonesia misalnya, setelah hiruk-pikuk

kajian Revolusi Hijau dan produksi beras pada tahun 1970-an, dilanjutkan dengan

kajian-kajian ekonomi pedesaan yang bersifat off-farm pada 1990-an, kemudian

cenderung bergeser menjadi kajian-kajian lain yang lebih luas seperti lingkungan,

kehutanan sosial, dan masyarakat lokal serta adat. Mengingat hampir separuh dari

populasi di Indonesia tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka pada

umumnya masih bergantung pada sektor agraris, disamping itu Indonesia juga

memiliki populasi terbesar keempat di dunia (setelah China, India dan Amerika),

maka pertanyaan bagaimana ekonomi pedesaan di Indonesia kini mengalami

rekonfigurasi seiring dengan derasnya arus perubahan di sektor pertanian

dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipelajari.

Page 4: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

4

B. Boom Crop dalam Berbagai Kajian

Istilah boom crop diperkenalkan oleh Hall (2011: 508-509) untuk

menyebut komoditas-komoditas pertanian yang mampu menciptakan lonjakan

produksi dan dalam waktu yang relatif cepat bisa mengkonversikan luasan lahan

yang besar menjadi hamparan agroekosistem sejenis atau hampir sejenis (mono

atau almost mono croping). Sejauh ini, boom crop dipandang sebagai determinan

penting dalam hal ekspansi pertanian komersial di Asia Tenggara yang sudah

dimulai sejak abad ke-19 hingga abad ke-21. Perubahan-perubahan pertanian yang

selama ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Vietnam, Pilipina, Thailand,

Malaysia dan Indonesia, yang secara keseluruhan ditandai dengan semakin

mengemukanya peranan pasar, semakin intensifnya proses komodifikasi, dan

semakin tingginya peranan kredit, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan

fenomena boom crop (lihat De Koninck 2003; Tan 2000; Trung 2003; Ha dan

Shively 2008; Li 2007).

Menurut Hall (2011: 509-5015) ada 6 komoditas seperti cokelat, kopi,

karet, sawit, udang dan kayu-kayu cepat tumbuh yang dalam kurun waktu 25

tahun belakangan ini berhasil melakukan ekspansi dan memberikan lonjakan

produksi yang luar biasa di beberapa tempat di Asia Tenggara. Tanaman sawit di

Indonesia dan Malaysia misalnya, hanya dalam waktu 15 tahun (1990-2005)

mampu berkembang hingga mencapai luasan sekitar 5 juta hektar lebih (Hall

2011: 515-519). Boom crop, menurut catatan Hall, pada umumnya berupa

komoditas-komoditas menahun (perennial), dan berorientasi pada pasar ekspor.

Ada 7 hal yang biasanya selalu terkait dengan ekspansi boom crop, yaitu: 1)

Page 5: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

5

peranan kebijakan pemerintah; 2) peranan agribisnis; 3) interelasi antara boom

(lonjakan ekonomi) dan crash (kejatuhan ekonomi) dengan kesejahteraan dan

kemiskinan; 4) migrasi; 5) kenaikan harga tanah dan konflik atas tanah; 6)

deforestasi dan konservasi; 7) kompleksitas hubungan dengan fenomena boom

dan bust di tempat lain.

Meskipun demikian, sebagai sebuah topik studi, booming atau ledakan

produksi komoditas-komoditas pertanian sudah dicatat dan dipelajari orang sejak

lama. Kinealy, (1995: 1-17) dan Reader (2009: 131-168) setidaknya sudah

melaporkan bahwa pada paruh ke dua abad ke-18, hanya dalam waktu 2 dekade

saja booming kentang di Irlandia telah berhasil menggeser sereal dan gandum

sebagai makanan pokok di negara itu. Tetapi, sebagaimana umumnya yang terjadi

pada fenomena booming, kejayaan produksi kentang itupunkemudian berakhir,

akibat serangan jamur dan penyakit yang tidak tertanggulangi. Segera setelahnya,

kelaparan mewabah, bahkan sekitar 1 juta orang dilaporkan meninggal, 1 juta

lainnya bermigrasi. Tragedi yang kemudian terkenal dengan sebutan Irish Potato

Famine itu sampai hari ini masih terus menjadi referensi kalangan sarjana

ekonomi, sosial, politik, bahkan tidak terkecuali sarjana-sarjana pertanian, ketika

membahas ekspansi tanaman kentang dan peranannya terhadap perubahan sosial

ekonomi masyarakat.

Sementara itu Lombard (2008: 146-147) mencatat bahwa perkembangan

teknologi komunikasi yang sudah dimulai sejak 1859 telah memicu ledakan

produksi getah perca di Jawa. Getah perca adalah bahan baku utama pembalut

kabel bawah laut, salah satu perangkat kunci bagi teknologi komunikasi berbasis

Page 6: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

6

kawat. Pada masa itu, permintaan pasar global terhadap getah jenis ini meningkat,

hingga kemudian menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah perdagangan yang

dianggap penting di dunia karena banyak menghasilkan komoditas ini. Maka

seiring dengan meningkatnya jaringan komunikasi dan bergairahnya perdagangan

getah perca, Pulau Jawa pun menjadi terhubungkan dengan bagian-bagian dunia

lain seperti Singapura dan Darwin. Sebuah transformasi awal menuju proses

globalisasipun dimulai.

Selain getah perca, Boomgaard (2002: 87-1002) juga mencatat bahwa

sejak memasuki abad ke-18, tembakau adalah komoditas yang secara cepat

mengalami ekspansi di Jawa, dampak dari program komersialisasi pertanian

pemerintah kolonial. Di beberapa tempat seperti Besuki, Probolinggo, Kedu dan

Banyumas, produksi tembakau berhasil mencapai angka yang sangat

mengagumkan, untuk tidak mengatakan mengalami ledakan. Ledakan produksi

tembakau di Kedu dan Banyumas, bahkan dicatat Zuhdi (2002: 50-73) sebagai

sebuah tonggak penting, karena berhasil menggeser peran tebu (gula) yang

sebelumnya selalu menjadi primadona perdagangan komoditas-komoditas

pertanian dipelabuhan Cilacap. Dalam pandangan Boomgaard (2002: 87-102),

ledakan produksi tembakau di Jawa bahkan dianggap menjadi penanda penting

bagi proses komersialisasi pertanian daerah pegunungan yang sebelumnya

mengalami kelesuan. Ekspansi tembakau yang cepat ini juga berkaitan erat

dengan laju peningkatan populasi pegunungan. Menurutnya pertumbuhan

populasi di daerah pegunungan di Jawa tidak semata-mata disebabkan oleh

gelombang migrasi dari dataran rendah sebagaimana yang dilaporkan Palte (1989:

Page 7: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

7

215-219), akan tetapi juga didorong oleh perkembangan tanaman-tanaman

komersial seperti tembakau yang memang sangat cocok di produksi di wilayah

atas.

Hefner (1999: 61-80) juga melaporkan bahwa di pegunungan Tengger,

ekspansi tanaman kopi yang dipromosikan pemerintah kolonial pada sekitar

pertengahan abad ke-19, telah berkembang sedemikian pesat hingga mengubah

hutan-hutan yang sebelumnya memenuhi lereng pegunungan itu menjadi aneka

perkebunan kopi dan tanaman-tanaman komersial lain. Ledakan ekonomi kopi di

pegunungan itu telah menjadi pintu masuk penting bagi perubahan-perubahan

sosial dan ekonomi yang terjadi di sana. Perubahan itu tidak hanya menyangkut

masalah produksi dan konsumsi, juga aspirasi dan identitas. Akan tetapi ledakan

ekonomi kopi yang dianggap berhasil membangun “pertanian baru” itu, pada

akhirnya tidak secara nyata berhasil menciptakan proletarisasi dan hubungan-

hubungan kapitalis di kalangan petani. Pengasingan tanah memang terjadi, tetapi

mereka yang benar-benar tidak memiliki tanah terus bertahan dalam jumlah yang

tidak terlalu besar. Meskipun memasuki pertengahan abad ke-20 stratifikasi di

pegunungan Tengger tidak lagi bisa dihindari, pada kenyataannya proses

intensifikasi dan komersialisasi pertanian bertalian erat dengan hambatan politik,

ekonomi, dan ekologi.

Kajian terhadap ledakan komoditas pertanian yang relatif baru dilakukan

oleh Li (2002; 2007; 2009; 2010; 2011; 2012) di Sulawesi. Ledakan ekonomi

cokelat di sana yang mulai terjadi tahun 1990-an pada akhirnya menciptakan apa

yang ia namakan sebagai sebuah proses pembentukan hubungan-hubungan

Page 8: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

8

kapitalis dari bawah. Gairah pasar cokelat dunia yang sedang mengalami pasang

naik dimanfaatkan secara cepat oleh kalangan petani di segenap dataran tinggi

Sulawesi. Hubungan petani dengan lahanpun mengalami perubahan secara drastis:

lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai secara komunal berubah menjadi lahan-

lahan milik personal, semata-mata demi bisa memperoleh kredit dan terlibat

dalam produksi cokelat untuk kepentingan pasar ekspor. Yang menarik,

perubahan ini tidak didorong oleh hadirnya perusahaan-perusahaan besar,

sebagaimana yang sering dibayangkan banyak orang, melainkan atas inisiatif

sendiri dari kalangan petani. Secara perlahan, transformasi hubungan antara

masyarakat dengan lahanpun tidak bisa dihindari. Pada akhirnya hal itu

mendorong terciptanya diferensiasi akses petani terhadap lahan, yang dalam

beberapa kasus berujung pada hilangnya hak akses mereka terhadap lahannya:

sebuah proses ketersingkiran yang lazim dalam pembentukan hubungan-hubungan

kapitalis.

Li (2012: 199-212) memberikan catatan lain, bahwa situasinya akan

menjadi bertambah kompleks ketika pada akhirnya ledakan produksi itu mulai

mengalami penurunan (busting), baik karena gairah pasar yang menurun maupun

kondisi ekologis yang tidak lagi memungkinkan untuk menopang proses produksi.

Pada fase ini banyak petani yang kemudian mengalami kegagalan produksi, dan

pada akhirnya memicu terjadinya migrasi. Dari studi Li tersebut setidaknya kita

bisa mendapatkan gambaran bahwa ledakan produksi komoditas-komoditas

pertanian seringkali akan menjadi pintu masuk bagi proses transformasi agraria

menuju pada hubungan-hubungan pertanian yang bersifat kapitalis. Proses

Page 9: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

9

transformasi itu, nampaknya tidak selalu disebabkan oleh hadirnya perusahaan-

perusahaan besar sebagaimana yang sudah digambarkan di muka, akan tetapi bisa

saja ditimbulkan oleh praktik-praktik pertanian berskala kecil yang tereskalasi

oleh ledakan-ledakan produksi (booming) yang awalnya justru dianggap

menguntungkan bagi kalangan petani.

Selain cokelat, ledakan produksi sawit nasional yang terjadi sejak tahun

1980-an juga dipandang memiliki peran besar dalam proses transformasi

pertanahan di Indonesia; yang membedakan, jika proses transformasi yang

ditimbulkan cokelat umumnya berasal dari bawah, proses transformasi yang

ditimbulkan sawit banyak yang berasal dari atas. McCarthy dkk. (2013: 34)

mencatat bahwa para perencana di Indonesia mulai menyadari potensi

pengembangan kelapa sawit sejak dekade 1980-an. Semenjak itu, narasi

pengembangan kebijakan telah menjadi fondasi bagi praktik-praktik yang

bertujuan menarik investor dan pinjaman. Narasi ini terfokus pada penyediaan

lahan potensial sebagai umpan untuk menarik investasi di era penting booming

tanaman-tanaman komersial global (global boom crop) (McCarthy dan Cramb

2009: 35). Pada 2004, Direktorat Jenderal Produksi dan Pengembangan

Perkebunan memperkirakan setidaknya sekitar 32 juta hektar lahan dinyatakan

cocok untuk produksi kelapa sawit. Situasi semacam inilah yang kemudian

mendorong proses-proses akuisisi lahan berskala besar (land grabbing) di satu

sisi, dan ketersingkiran di sisi yang lain.

Studi ini sesungguhnya tidak terkait dengan salah satu dari 6 komoditas

boom crop yang ditengarai Hall di atas. Kendatipun demikian, kalau melihat lebih

Page 10: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

10

dalam, ledakan produksi dan ekspansi pertanian, bahkan di Asia sekalipun, selama

ini tidak hanya sebatas pada 6 komoditas itu. Dalam 2 hingga 3 dekade terakhir

komoditas kentang juga memegang peranan yang sangat penting dalam hal

ekspansi dan ledakan produksi di negara-negara berkembang, baik di Asia, Afrika

maupun Amerika Selatan, kendatipun dalam luasan dan volume produksi yang

jauh lebih kecil dibandingkan dengan 6 komoditas itu. Sebagaimana yang

dilaporkan FAO, hanya dalam 10 tahun (antara tahun 1990-an hingga 2000-an),

produksi kentang di negara-negara berkembang melonjak hingga 2 kali lipat, dari

rata-rata 84 juta ton/ tahun menjadi sekitar 165 juta ton/ tahun (FAO, 2008: 48-

49). Kalau melihat Asia, angkanya juga tidak jauh berbeda. Dalam 4 dekade

terakhir, antara tahun 1960an hingga 2000-an, produksi kentang melonjak hingga

6 kali lipat, dari rata-rata 20 juta ton/ tahun menjadi sekitar 120 juta ton/ tahun

(FAO 2008: 50-51).

Di Indonesia, ekspansi produksi kentang juga sangat nyata, terutama di

beberapa dataran tinggi seperti Dieng, Pengalengan, dan Brastagi. Mengacu pada

laporan Adiyoga dkk. (2004: 1-5), produksi kentang di Indonesia melonjak

hampir 6 kali lipat dalam 3 dekade, dari rata-rata produksi 120.000 ton/ tahun

pada 1970-an menjadi sekitar 1 juta ton/ tahun pada 2000-an. Sejak tahun 2000-an

suplai kentang dunia pun mulai bergeser dari negara-negara Eropa dan Amerika

Utara ke negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Cina

adalah negara yang tergolong paling sukses dalam mengambil alih produksi

kentang dunia, hingga sampai saat ini masih tercatat sebagai produsen kentang

terbesar, mengalahkan Amerika dan negara-negara lain di Eropa. Negara Asia lain

Page 11: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

11

yang juga tergolong sukses adalah India yang menempati urutan nomor 3 dalam

hal produksi kentang dunia, hanya satu tinggat di bawah Rusia yang menempati

nomor 2 (FAO 2008: 68). Indonesia, sejauh ini, oleh FAO digolongkan sebagai

negara yang menempati ranking tengah di antara produsen kentang di Asia.

Kentang memang bukan boom crop menahun (perennial) sebagaimana

yang dikategorikan Hall (2011: 508-509) di muka, tetapi pada kenyataanya bisa

dengan cepat menghadirkan efek lingkungan dan sosial ekonomi yang

dinamikanya tidak berbeda dengan dinamika yang ditimbulkan oleh 6 komoditas

Hall. Selain kopi sebagaimana yang sudah dibahas di muka, Hefner (1999: 139-

147) juga melaporkan tentang ekspansi komoditas kentang di pegunungan

Tengger yang mulai ramai pada sekitar tahun 1980-an. Bagaimanapun komoditas

itu pada akhirnya telah mentransformasikan segenap sendi kehidupan para petani

gunung di sana, hingga pada akhirnya mengaburkan batas-batas identitas yang

sebelumnya tegas memilah antara petani gunung (wong gunung) dan petani

dataran rendah (wong ngare), sebagaimana dilaporkan oleh Hefner (1999: 4-5)

Dalam literatur-literatur studi agraria di Asia Tenggara, ekspansi boom

crop seringkali dikaitkan dengan persoalan-persoalan land grabing atau

pengambilalihan lahan oleh segenap aktor (Hall, 2011: 838). Aktor-aktor tersebut

bisa saja datang dari berbagai lapisan, sebagaimana transformasi lahan pada sawit

dan kayu-kayu cepat tumbuh yang umumnya dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan nasional dan multi nasional besar, transformasi lahan pada cokelat

dilakukan oleh petani kaya dan perusahaan menengah, dan pengambilalihan lahan

pada karet yang dilakukan oleh kalangan petani menengah sendiri.

Page 12: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

12

Berangkat dari uraian-uraian di atas, nampaknya studi boom crop di

Indonesia akhir-akhir ini lebih banyak diarahkan pada tanaman tahunan

(perennial) di luar Jawa, di mana proses produksi umumnya tidak dilakukan di

atas lahan dengan tenurial stabil, juga tidak didukung oleh surplus tenaga kerja

yang cukup memadai. Studi ini dilakukan pada sebuah kondisi yang hampir

sepenuhnya berlawanan dengan kondisi tersebut. Sebagaimana yang sudah kita

ketahui, kentang adalah tanaman semusim, bisa diproduksi hanya dalam waktu

100 hari. Sementara itu Dieng adalah wilayah pegunungan yang meskipun sering

digolongkan sebagai pedalaman tetapi ditopang oleh tenurial lahan stabil. Wilayah

pegunungan ini juga dikelilingi oleh kantong-kantong tenaga kerja, dan didukung

oleh jaringan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lokasi

studi Tania Li di luar Jawa. Dengan situasi seperti ini, saya memandang bahwa

ledakan ekonomi kentang di Dieng tidak bersifat linier sebagaimana pada boom

crop tahunan: hanya ditentukan oleh tingkat penguasaan faktor produksi. Sirkulasi

produksi kentang yang cepat dan menjanjikan, tidak saja mendorong sentralitas

peran pasar dalam proses produksi, akan tetapi juga mendesak para petani untuk

memasuki sebuah dunia perjudian ekonomi.

Atas dasar itulah, selain bisa memperkaya pemahaman kita akan dinamika

boom crop di pedesaan Indonesia sebagaimana yang sudah diawali oleh Li (2007;

2010; 2011; 2012), studi ini juga bisa melengkapi – sekaligus menguji – dinamika

perubahan pertanian gunung di Jawa yang sudah lebih dahulu dilaporkan Hefner

(1999: 379-389): bahwa komersialisasi pertanian gunung di Jawa tidak akan

pernah mengarah pada hubungan-hubungan kapitalis. Dalam perspektif yang lebih

Page 13: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

13

luas, studi ini juga bisa menguji optimisme International Potato Center (CIP)

yang menyebutkan bahwa ekspansi kentang di beberapa negara berkembang akan

bisa menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan.

C. Pertanyaan Penelitian

Pada awalnya, narasi perubahan pertanian yang ditimbulkan oleh ledakan

produksi kentang adalah pergeseran dari kemiskinan menuju kejayaan (Kompas

24 Mei, 1991). Meskipun demikian, narasi itu sekarang sudah sulit kita temui.

Jika pada masa lalu pemerintah cenderung mensyukuri perubahan, kini justru

mengkhawatirkannya (Kompas 10 Januari, 2003). Bagi kalangan pejabat

pemerintah, intensifikasi produksi kentang yang berlebihan dipandang

mengancam masa depan lingkungan di sana. Bagi kalangan warga sendiri,

perubahan yang dulu dipandang membawa kesejahteraan, kini mulai dianggap

menimbulkan problematika baru, seperti beban kredit yang semakin berat,

produksi yang menurun, banyak orang harus pergi meninggalkan desa untuk

mencari pendapatan di tempat lain, kepemilikan lahan yang menyempit, bahkan

tidak sedikit yang kemudian harus menjual semua lahannya demi bisa menutup

pinjaman-pinjaman di bank, koperasi dan lain sebagainya.

Kendatipun demikian, sejauh ini tidak ada tanda-tanda kalau warga

pegunungan Dieng akan menghentikan produksi kentang dan menggantinya

dengan komoditas-komoditas lain. Himbauan pemerintah Wonosobo agar mereka

segera beralih ke tanaman baru dengan alasan lingkungan maupun margin

keuntungan yang sudah sangat tipis tidak ditanggapi. Warga memandang rata-rata

pendapatan dari kentang masih lebih baik dibandingkan dengan tanaman-tanaman

Page 14: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

14

komersial lain. Alasan-alasan itu sebenarnya tidak didasarkan atas perhitungan

yang sesungguhnya, melainkan hanya mencerminkan betapa kuatnya ikatan

ekonomi pasar yang terjadi di sana. Ikatan-ikatan pasar inilah yang kemudian

menjadikan proses produksi tidak lagi bisa sepenuhnya dikendalikan oleh

kekuatan-kekuatan lokal, dan cenderung diwarnai kompleksitas hubungan-

hubungan kapitalis.

Ledakan ekonomi kentang, dengan demikian, telah menghadirkan

sekaligus merakit pasar sebagai satu-satunya sumber kekuatan yang menarik

semua aktor untuk berlomba-lomba mengejar keuntungan. Ledakan itu juga telah

meletakkan pasar bukan lagi sebagai sebuah pilihan melainkan sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dalam proses produksi (imperative), bahkan juga dalam

pemenuhan segala kebutuhan hidup (means of life). Bahwa kemudian dari sana

justru muncul persoalan-persoalan baru sebagaimana yang sudah digambarkan

sebelumnya, hingga secara keseluruhan menjadikan proses produksi mengalami

ketidak-kepastian, adalah hal yang tidak bisa dihindari lagi oleh kalangan petani.

Dalam pandangan Wood, (2002:193-198), itu semua adalah keniscayaan dari

proses pembentukan hubungan kapitalis di sektor pertanian.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, maka pertanyaan

kunci penelitian ini adalah: Mengapa para petani di Puncakwangi mengubah

agroekosistem dan mengeksploitasinya dengan budidaya kentang? Kekuatan-

kekuatan apa yang mendorong mereka untuk terus berspekulasi memproduksi

kentang meskipun beresiko tinggi? Bagaimana kekuatan-kekuatan itu bekerja?

Apa implikasi dari itu semua pada kehidupan masyarakat di sana?

Page 15: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

15

D. Kerangka Teori

Studi ini memandang bahwa produksi kentang di dataran tinggi Dieng

yang pada dekade 1980-1990-an mengalami ledakan (booming) pada dasarnya

adalah bagian dari produksi boom crop di tingkat global. Produksi boom crop

selama ini hampir selalu diwarnai oleh kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi boom

crop menjanjikan keuntungan besar, tetapi di sisi lain justru mendatangkan

kerusakan lingkungan (Li, 2009); di satu sisi mendatangkan kesejahteraan, di sisi

lain juga menciptakan kemiskinan (Hall, 2011) ; di satu sisi merakit model

agroekosistem homogen, di sisi lain menciptakan model masyarakat heterogen; di

satu sisi orang melakukan akumulasi, di sisi lain orang harus terdisposesi; di satu

sisi dipandang mendatangkan kejayaan, di sisi lain dianggap menyebabkan

ketersingkiran (Li, 2014). Dalam hal produksi kentang, kontradiksi-kontradiksi itu

bahkan bisa terbentuk dalam kurun waktu yang relatif cepat, mengingat usia

produksi hanya 100 hari.

Atas dasar itu, maka studi ini juga memandang bahwa produksi kentang di

Dieng pada akhirnya akan mendorong terakitnya agroekosistem yang sangat khas,

di mana pasang-surut perubahan yang ditimbulkan bisa terjadi dengan cepat.

Agroekosistem seperti ini saya namakan sebagai agroekosistem cepat, untuk

membedakannya dengan model agroekosistem lain yang cenderung tidak

menciptakan pasang-surut perubahan, atau perubahan-perubahan yang dihasilkan

cenderung berjalan lambat. Untuk memperjelas ciri-ciri agroekosistem

sebagaimana yang sudah diutarakan di muka, studi ini akan meminjam konsep

yang diusulkan Conway (1987: 95-117) mengenai sifat agroekosistem

Page 16: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

16

(agroecosystem property), yakni produktivitas (productivity), stabilitas (stability),

keberlanjutan (sustainability), dan kesetaraan (equitability), dengan melakukan

penyempurnaan-penyempurnaan.

Studi ini mencatat bahwa analisis Conway yang didasarkan pada sifat-sifat

agroekosistem tersebut belum sepenuhnya bisa memberikan penjelasan terhadap

perbahan-perubahan proses produksi dalam sebuah agroekosistem modern yang

berjalan begitu cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam produksi boom

crop tidak sepenuhnya bersandar pada komponen-komponen ekologi sebagaimana

yang diajukan Conway; akan tetapi juga dipengaruhi oleh komponen-komponen

sosial-budaya dan politik ekonomi. Atas dasar itu studi ini memandang perlu

untuk melengkapi pendekatan agroekosistem Conway dengan pendekatan lain

yang memberikan perhatian besar pada komponen-komponen di luar ekologi.

Sesuai dengan sifat-sifatnya, studi ini kemudian mengelompokkan

agroekosistem ke dalam 3 golongan. Pertama, agroekosistem lambat, yaitu

sebuah agroekosistem yang secara ekologis rentan, tidak dikelola secara intensif,

dan umumnya hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Salah satu

contoh agroekosistem lambat adalah ladang tumpang gilir yang banyak

berkembang di hutan-hutan tropis di luar Jawa. Kedua, agroekosistem sedang,

yaitu agroekosistem yang secara ekologis stabil, dikelola dengan cukup intensif,

ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan subsisten, dan terkadang juga pasar. Salah

satu contoh agroekosistem sedang adalah sawah yang banyak berkembang di

desa-desa dataran rendah di Jawa. Ketiga, agroekosistem cepat, yaitu

agroekosistem yang secara ekologis rentan, akan tetapi dikelola dengan sangat

Page 17: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

17

intensif, bahkan spekulatif sehingga dalam tataran tertentu seperti sebuah

perjudian. Agroekosistem ini umumnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

pasar, baik domestik maupun ekspor. Contoh dari agroekosistem cepat adalah

tegal komersial di dataran tinggi yang banyak menghasilkan berbagai komoditas

hortikultura dan komoditas ekspor lain.

Produksi boom crop pada agroekosistem cepat tidak saja ditandai oleh

derasnya laju perubahan ekologi dan mengemukanya sentralitas peran pasar,

untuk tidak mengatakan terbentuknya hubungan-hubungan kapitalis (Li 2009: 74;

2010: 409; 2011: 288; Hall 2012: 1200), tetapi juga cenderung diwarnai oleh

spekulasi-spekulasi proses produksi. Kombinasi antara tingkat keuntungan yang

tinggi, usia produksi yang pendek, dan dukungan pasar yang kuat, pada akhirnya

tidak saja mendorong para petani untuk berkompetisi dalam melakukan

akumulasi, akan tetapi juga berspekulasi dalam memacu proses produksi. Cara

produksi seperti inilah yang kemudian saya namakan sebagai perjudian produksi:

sebuah cara produksi yang beresiko tinggi, karena diwarnai dengan spekulasi-

spekulasi untuk menciptakan kejayaan, dengan resiko ketersingkiran.

Mengacu pada kamus Webster, perjudian (gambling) didefinisikan sebagai

“tindakan dalam sebuah permainan yang memberi harapan kemenangan (termasuk

di dalamnya pengeluaran sejumlah biaya untuk sebuah hadiah yang berlipat

ganda)”. Sementara itu menurut McMillen (2005: 5), dalam era kapitalisme

modern, perjudian secara umum bisa dimaknai sebagai sebuah tindakan atau

transaksi beresiko yang terjadi di berbagai aspek kehidupan. Mendasarkan pada

konvensi, ia kemudian mendefinisikan konsep perjudian sebagai “transaksi

Page 18: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

18

finasial – sesuatu yang berkaitan dengan uang, atau nilai ekonomi – untuk sebuah

keluaran yang tidak pasti di waktu yang akan datang”. Meskipun demikian,

menurutnya, perjudian adalah tindakan yang tidak sepenuhnya menyandang hal-

hal negatif, sebagaimana pandangan banyak kalangan yang terjadi pada masa

sebelum Perang Dunia II.

Para ekonom, sosiolog dan antropolog pada pasca Perang Dunia II

cenderung menganggap bahwa pada umumnya pelaku juga mampu menentukan

pilihan rasional dalam tindakan-tindakann perjudian (McMillen, 2005). Lynch

(1990) bahkan menyebutkan, alih-alih menjadi bagian dari perilaku sesat atau

setan, sebagaimana pandangan kaum moralis, perjudian justru menyediakan

peluang bagi berbagai kalangan untuk mendemonstrasikan kekuatan karakter dan

komitmen terhadap nilai-nilai sosial seperti keberanian menanggung resiko,

keteguhan hati, dan kejujuran; hal yang juga disuarakan oleh Noteboom (2003). Ia

kemudian menyimpulkan, bahwa sampai tingkatan tertentu, perjudian bisa

dipandang telah berkontribusi dalam penguatan nilai-nilai konvensional

masyarakat. Pandangan-pandangan liberal seperti ini pada pasca perang dunia II

mengalami kejayaan dan seperti memberi angin segar bagi perkembangan praktik-

praktik perjudian ekonomi di era modern (McMillen, 2005).

Secara historis, perjudian adalah hal yang sudah jamak kita temukan di

kalangan masyarakat pedesaan. Bahkan menurut Geertz (2005), dalam tataran

tertentu, perjudian sebagaimana kasus “Sabung Ayam” di Bali, bisa dikategorikan

sebagai deep play (permainan mendalam) – konsep yang sebenarnya

diperkenalkan oleh Jeremmy Bentham. Dalam hal ini deep play diartikan sebagai

Page 19: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

19

sebuah pertaruhan yang tidak semata-mata mengacu pada nilai ekonomi (uang),

akan tetapi juga nilai-nilai sosial seperti yang sudah disinggung di muka. Sebagai

sebuah permainan mendalam (deep play), perjudian di kalangan masyarakat

kemudian sering diterjemahkan sebagai arena kontestasi untuk mencapai

kejayaan.

Bagi kalangan petani, perjudian dalam pengertian seperti itu bukan hal

baru, karena proses produksi sendiri penuh dengan pertaruhan resiko. Investasi

dalam bentuk faktor-faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) sering kali

diwarnai ketidakpastian-ketidakpastian, baik karena pengaruh iklim, kesuburan

tanah, maupun, pasar. Bahkan, bagi kalangan petani dataran tinggi, perjudian

dalam proses produksi tampaknya telah menjadi kebiasaan, mengingat kondisi

agroekosistem pegunungan yang rentan, terutama bila dibandingkan dengan

agroekosistem sawah di dataran rendah (Lewis, 1992; Hefner, 1999). Kombinasi

antara tingkat kelembaban dan kemiringan yang tinggi menjadikan agroekosistem

pegunungan rawan terhadap penyakit tanaman dan erosi. Proses produksi pun

menjadi lebih kompleks. Karena itu bisa dipahami kalau mereka tidak segan-

segan berspekulasi, untuk tidak mengatakan berjudi, dalam menjalankan proses

produksi. Apalagi ketika pasar memainkan peran seperti bandar perjudian:

memberikan dukungan penuh (dalam bentuk penyediaan faktor produksi),

sekaligus menjanjikan keuntungan besar, sebagaimana dalam produksi boom crop

di era pertanian modern (Hall, 2011).

Terlepas dari itu semua, pertanian modern yang ditopang teknologi, pasar,

dan permodalan, sebagaimana catatan Scott (1998), sesungguhnya dirancang

Page 20: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

20

untuk mengurangi ketidakpastian dalam proses produksi, dan mendorong

keteraturan dalam mencapai apa yang ia namakan sebagai “simple production and

profit”. Menurutnya, pertanaman sejenis dan pengembangan varietas baru (seperti

kentang granola di Dieng) ditujukan untuk menyederhanakan pengelolaan

sekaligus melipatgandakan hasil, sehingga usaha akumulasi keuntungan bisa

dilakukan dengan sebaik-baiknya. Input kimiawi dalam bentuk penyubur, pemacu

pertumbuhan dan penangkal penyakit tanaman juga dikembangkan untuk

menjawab persoalan keterbatasan kesuburan tanah dan hal-hal lain yang

mengancam kegagalan produksi. Untuk menopang permodalan yang besar,

produksi boom crop dalam pertanian modern ditopang mekanisme kredit

perbankan (de Soto, 2000; Li, 2012; Deininger dan Binswanger 2001; Hefner

1999; Scott, 1998; Pinchus 1990). Boleh jadi karena itulah organisasi pangan

Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa optimistis bahwa konon ekspansi produksi

kentang di di era pertanian modern adalah “cahaya baru dari harta karun yang

tersembunyi” (FAO, 2008).

Namun pada kenyataannya usaha menyederhanakan produksi dan

melipatgandakan keuntungan dalam pertanian modern, sebagaimana yang sudah

disinggung di muka, justru memunculkan persoalan-persoalan baru (Li 2012;

2014; Hall, 2011; Wood, 2002; Scott, 1998; Pinchus 1990). Ledakan produksi

kentang di Dieng berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan: penyakit

tanaman mewabah dan erosi meningkat pesat. Secara perlahan produksi kentang

di wilayah pegunungan itupun mengalami penurunan, hingga pada akhirnya

Page 21: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

21

mendorong para petani untuk meningkatkan spekulasi-spekulasi, jika bukan

perjudian dalam proses produksi.

Studi ini memandang setidaknya ada 4 faktor yang berperanan dalam

mengkonstruksikan proses produksi kentang di Puncakwangi sebagai arena

perjudian. Pertama, adalah faktor ekologi, yakni terbentuknya agroekosistem

cepat di daerah pegunungan. Sebagaimana yang sudah disinggung di muka,

agroekosistem pegunungan pada umumnya bersifat kompleks karena paradoks-

paradoks yang ada di dalamnya: secara ekologis rentan, tetapi secara ekonomi

juga menjanjikan produktivitas tinggi. Kombinasi seperti itulah yang secara

historis telah membentuk cara produksi khas di daerah pegunungan, di mana para

petani berusaha memanfaatkan peluang keuntungan meskipun harus menanggung

resiko besar (Lewis, 1992). Apalagi ketika kemudian pasar melakukan intervensi

dan berhasil merakit agroekosistem cepat yang diikuti dengan ledakan ekonomi

(booming), maka perjudian dalam proses produksi adalah hal yang sulit untuk

dihindari (Hall, 2011).

Kedua adalah faktor politik ekonomi, yakni kuatnya dukungan dan

kepentingan pasar global. Sejak masa kolonial, faktor ini sudah memiliki peranan

besar dalam mengkonstruksikan proses produksi di segenap agroekosistem

pegunungan (Setyawati, 1998). Peranan itu menjadi semakin sentral ketika sejak

1970-an Orde Baru mempromosikan program Revolusi Hijau sebagai upaya

pemerintah untuk meningkatkan produktivitas agroekosistem (Hefner, 2009).

Dalam hal produksi kentang di Dieng, sentralitas itu bahkan terlihat sangat nyata

ketika pada akhirnya pasar berhasil mengendalikan seluruh faktor produksi (lahan,

Page 22: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

22

modal dan tenaga kerja). Dalam situasi seperti ini petani tidak akan pernah bisa

mendapatkan akses terhadap faktor-faktor produksi kecuali melui proses

kompetisi dengan sesama petani lainnya. Disamping itu, pasar juga tidak lagi bisa

diletakkan sebagai sebuah peluang yang bersifat pilihan (opportunity), melainkan

ketentuan yang telah mengikat (imperative) (Wood, 2002). Siapa yang ingin

mendapatkan keuntungan dan mencapai kejayaan dalam proses produksi, maka

mereka harus mengikuti mekanisme kompetisi dan akumulasi pasar, dengan

resiko kerugian dan ketersingkiran.

Ketiga adalah faktor sosial; yakni berubahnya hubungan-hubungan sosial

dan cara pandang masyarakat terhadap proses produksi. Sejak 5 dekade terakhir di

kalangan masyarakat berkembang pandangan bahwa perjudian adalah intrumen

ekonomi yang memuat nilai-nilai fundamental, seperti keberanian, ketangguhan,

dan kekuatan (McMillen, 1996; Noteboom, 2003). Dengan demikian, dalam

tataran tertentu perjudian tidak saja dipandang sebagai pertaruhan uang, akan

tetapi juga status sosial. Dalam hal proses produksi kentang di Puncakwangi,

bahkan pertaruhan itu terkait dengan nilai-nilai modernitas. Kentang granola yang

mulai diproduksi tahun 1980 an dipandang sebagai komoditas modern, karena

dikonsumsi oleh masyarakat modern yang tinggal di perkotaan dan diproduksi

dengan menggunakan teknologi modern. Mereka yang bisa terlibat dalam

produksi kentang akan dipandang sebagai petani modern, dan sebaliknya yang

tidak terlibat akan dianggap sebagai petani masa lalu, jika bukan tradisional.

Mereka yang sedang berjaya akan diposisikan sebagai orang terpandang,

sedangkan yang tersingkir akan merasa “wirang” (malu). Dalam istilah lokal

Page 23: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

23

sering diungkapkan, “Sing menang panen keplok, sing kalah panen poyok” (yang

berhasil akan mendapat tepuk tangan, yang gagal akan mendapat ejekan).

Keempat adalah faktor budaya, yakni adanya adaptasi sistem kepercayaan

dalam proses produksi. Menurut Hayes dan Jarvis (2004) pada akhirnya sistem

kepercayaan akan cenderung menyertai proses perjudian, karena dipandang

mampu meningkatkan rasa percaya diri dalam mengendalikan ketidakpastian.

Meskipun secara kultural manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan

teknologi, mereka juga menyadari bahwa tidak semua aspek kehidupan bisa

ditangani oleh kedua instrumen itu (Lavenda dan Schultz, 2003). Maka melalui

berbagai ritus, sistem kepercayaan kemudian memproduksi berbagai istrumen

magis untuk mengelola hal-hal yang sifatnya tidak menentu dan cenderung

mendatangkan kerugian. Dengan tindakan-tindakan seperti itulah para petani

Puncakwangi terus melanjutkan perjudian dalam proses produksi, sekaligus

menyandarkan harapan akan datangnya kejayaan. Ritus-ritus yang meningkat

pesat sejak mereka memproduksi kentang pada tahun 1980-an saya kira menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dari usaha masyarakat untuk mengendalikan

segenap ketidakpastian dalam proses produksi. Dengan ungkapan yang lain bisa

dikatakan bahwa dalam produksi boom crop, tindakan-tindakan magis telah

diposisikan sebagai faktor produksi ke empat, setelah lahan, modal dan tenaga

kerja.

Keempat faktor itu telah menjadi landasan rasionalitas para petani

Puncakwangi untuk melakukan perjudian dalam produksi kentang di era pertanian

modern. Jika kemudian yang muncul adalah kerusakan lingkungan, dan

Page 24: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

24

kesenjangan sosial yang makin melebar, sebagaimana yang kini tengah terjadi di

Puncakwangi, adalah hal yang tidak bisa dihindari dari hubungan produksi yang

sepenuhnya sudah berada di bawah mekanisme pasar (Wood, 2002: 95-116).

Dalam bab-bab berikutnya, disertasi ini akan mendiskusikan empat faktor penting

yang mentransformasikan proses produksi di Puncakwangi menjadi perjudian

ekonomi, sebagaimana yang secara teoritik sudah dijelaskan pada bagian ini.

E. Metode Penelitian

Studi-studi antropologi secara metodologis memiliki tradisi yang khas,

yakni penggunaan instrumen etnografi. Sejak Bronislaw Malinowski meneliti

kehidupan orang-orang Trobriand di Papua Nugini pada 1915, hingga Tania Li

yang meneliti kehidupan petani cokelat di Palu (Sulawesi Selatan) pada 2009,

etnografi selalu menjadi instrumen penelitian yang penting. Meskipun demikian,

dalam pandangan Henry (2009), etnografi bukanlah metode, melainkan

pendekatan, yang dalam hal ini digunakan untuk mempelajari kebudayaan

masyarakat tertentu. Metode pengumpulan data dalam etnografi bisa beragam:

sensus, wawancara, pengamatan, penelusuran sejarah, dan lain sebagainya.

Kerja-kerja etnografi mendasarkan pada penafsiran suatu budaya atau

sistem sosial kelompok masyarakat tertentu. Geertz (1986:6-7) mencatat bahwa

penelitian etnografis adalah upaya memahami secara mendalam arti atau makna

peristiwa dari lingkungan sosial-budaya tertentu. Melalui etnografi, seorang

peneliti akan menggambarkan dan menginterpretasikan pola nilai, perilaku,

kepercayaan, dan bahasa yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat.

Berdasarkan prinsip ini, peneliti akan melakukan eksplorasi, pengamatan dan

Page 25: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

25

wawancara, dengan cara tinggal bersama masyarakat yang diteliti dalam jangka

waktu tertentu, terlibat dalam segenap proses sosial dan budaya setempat, hingga

secara alamiah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari obyek penelitianya.

Untuk melancarkan arus informasi yang dibutuhkan, peneliti akan membutuhkan

informan kunci yang bisa masuk lebih dalam ke kelompok masyarakat yang

sedang diteliti, dan menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan kehidupan sosial

dan budaya mereka.

Dalam perkembangannya, etnografi dibedakan menjadi dua: etnografi

kelasik dan etnografi kritis atau kontemporer (Henry, 2009). Dalam etnografi

kelasik, seorang peneliti akan berada di tengah-tengah kebudayaan masyarakat

yang sama sekali asing, tinggal di sana selama beberapa waktu untuk melakukan

pengamatan dan pencatatan terhadap kehidupan masyarakat tersebut, sebelum

kemudian kembali ke tempat asalnya untuk menulis laporan dengan target

pembaca adalah orang-orang yang berasal dari dunia yang sama dengan si

peneliti. Etnografi kelasik menempatkan peneliti sebagai aktor dan pencerita yang

terpisah dari masyarakat yang diteliti, dan mengandaikan adanya prinsip obyektif

dalam mengungkapkan kebenaran hasil penelitianya.

Sementara itu etnografi kritis memandang bahwa studi antropologi tidak

harus dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sama sekali asing,

bahkan studi antropologi bisa dilakukan di kalangan masyarakat urban yang ada di

sekitar peneliti. Etnografi kritis dan kontemporer juga tidak memposisikan peneliti

sebagai aktor yang terpisah dari masyarakat yang diteliti, melainkan menjadi satu

kesatuan dengan obyek penelitianya (Hammersley and Atkinson, 1995; Denzin,

Page 26: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

26

1997; Sanjek, 2000). Prinsip obyektif juga sudah ditanggalkan, karena seorang

peneliti dipandang tidak bisa sepenuhnya netral. Menurut Emerson (1995), tugas

seorang antropolog bukanlah untuk melakukan determinasi kebenaran, tetapi

mengungkap lapisan-lapisan kebenaran yang sangat beragam dalam kelompok

masyarakat yang ditelitinya.

Berangkat dari gambaran singkat di atas, studi mengenai kehidupan para

petani kentang di pegunungan Dieng ini menggunakan pendekatan etnografi kritis

atau kontemporer. Puncakwangi adalah desa yang menjadi pusat pengamatan

untuk pengumpulan data. Secara administratif, desa ini masuk ke dalam

Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Beberapa

alasan yang menopang keputusan pemilihan lokasi ini adalah, bahwa produksi

kentang di Puncakwangi tergolong tinggi, bukan saja disebabkan oleh

produktivitas lahannya yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan desa-desa lain di

Dieng, akan tetapi juga karena hampir semua lahan pertanian di sana digunakan

untuk produksi kentang. Pertimbangan lainnya adalah bahwa di wilayah

pegunungan Dieng, desa ini tergolong sebagai desa terbelakang dengan

infrastruktur sangat terbatas, hingga sering kali oleh kalangan masyarakat yang

tinggal di desa-desa di bawahnya diposisikan sebagai desa ngiwa atau terpencil.

Alasan yang terakhir adalah, kini petani Puncakwangi dikenal sebagai orang-

orang yang intensif memanfaatkan kredit perbankan untuk menopang produksi

kentangnya. Saya memandang ketiga ciri yang melekat pada Desa Puncakwangi

itu adalah kombinasi ideal untuk topik penelitian saya yang hendak melihat

perubahan pertanian akibat adanya ledakan ekonomi kentang.

Page 27: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

27

Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan

pengamatan terlibat pada segenap informan. Untuk memudahkan penggalian data,

informan dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu informan khusus dan

informan umum. Informan khusus jumlahnya terbatas, terdiri dari orang-orang

tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan jaringan sosial luas, sehingga

memungkinkan untuk mendapatkan klarifikasi dan penjelasan-penjelasan lebih

dalam. Informan umum adalah mereka yang tidak diharuskan menyampaikan

keterangan mendalam; jumlah mereka lebih besar dari informan khusus. Pada

tahap awal, penelitian ini berusaha melakukan wawancara kepada para informan

khusus yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Bahan-bahan yang terkumpul dari

para informan khusus kemudian menjadi pijakan untuk menentukan informan-

informan umum yang akan menjadi subyek wawancara dan pengamatan lebih

lanjut.

Di samping melalui wawancara, pengamatan dan perbincangan, data dan

informasi juga dikumpulkan melalui dokumen-dokumen tertentu, antara lain

monografi desa, statistik kecamatan, statistik kabupaten, laporan proyek, kliping

koran, dan dokumen-dokumen lain yang saya pandang relevan. Sumber data dan

informasi lain adalah kegiatan seminar, lokakarya dan rapat koordinasi teknis

yang diselenggarakan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Pertemuan-pertemuan

warga yang di pegunungan Dieng tergolong sangat padat, juga menjadi sumber

data dan informasi yang sangat berharaga.

Data dan informasi yang terkumpul kemudian diposisikan sebagai

sederetan kejadian atau peristiwa yang ikut membentuk arus sejarah warga.

Page 28: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

28

Meminjam ungkapan Pred dan Watts (1992: 11), bahwa bagaimana sejarah sosial

suatu masyarakat terbentuk, akan sangat tergantung di mana proses pembentukan

itu berlangsung, latar belakang apa yang telah terpateri di sana, di dalam struktur

sosial dan spasial yang memang sudah ada sebelumnya. Atas dasar itulah

penelitian ini kemudian menggunakan analisis conjuncture atau “analisis deretan

peristiwa”, sebuah analisis yang pernah dipopulerkan oleh kalangan antropolog

Marxian dari Manchester School pada tahun 1950-an, dan dicoba-kembangkan

oleh Tania Li untuk melihat ledakan ekonomi cokelat di Sulawesi Tengah. Saya

memaknai apa yang dinamakan “deretan peristiwa” atau conjuncture adalah

sebagaimana yang didefinisikan Li (2014: 10): sebuah kombinasi unik atas

elemen-elemen kejadian, proses dan hubungan-hubungan yang kemudian

membentuk suatu formasi dalam ruang dan waktu tertentu.

Hal yang terpenting dari analisis ini adalah tidak memandang sebuah

elemen bisa menjadi determinan, karena semuanya saling mempengaruhi. Tidak

ada satupun elemen yang beroperasi secara tunggal. Setiap elemen dalam deretan

peristiwa dipandang memiliki latar belakang sejarah yang membentuk peristiwa

sekarang, dan deretan peristiwa sekarang pada akhirnya akan membentuk sejarah

baru di masa depan, yang boleh jadi sesuai dengan prediksi-prediksi, tapi tidak

menutup kemungkinan menyimpang dari apa yang sudah diprediksikan. Itulah

mengapa analisis ini pada dasarnya adalah usaha untuk menyingkap lapisan-

lapisan permukaan sebuah makna dan tindakan, sekaligus menelusuri hubungan-

hubungan yang terpilin melampaui batas-batas geografis dan masa.

Page 29: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

29

Saya sebagai antropolog yang menjadikan pegunungan Dieng sebagai

lokasi penelitian, pada dasarnya adalah bagian dari deretan peristiwa atau

conjuncture di sana, karena itulah saya merasa perlu untuk mencantumkannya

dalam gambar, sekaligus menjelaskan kapan, untuk apa dan mengapa saya ada di

sana. Mei, 2009 adalah kunjungan pertama saya ke wilayah pegunungan Dieng

untuk melakukan observasi lapangan dan menentukan desa lokasi penelitian.

Kunjungan berikutnya saya lakukan pada bulan Agustus di tahun yang sama; kali

ini sudah berbekal keyakinan bahwa Puncakwangi adalah desa yang akan menjadi

lokasi penelitian saya. Setelah kunjungan kedua, sampai dengan 2011, setiap

tahun saya selalu melakukan kunjungan singkat ke Desa Puncakwangi.

Kunjungan-kunjungan iu saya maksudkan untuk membangun hubungan sosial,

memelihara perkawanan dengan warga, sekaligus mengumpulkan bahan, mencatat

perkembangan dan memperbaharui data.

Tahun 2012 adalah periode di mana kerja lapangan untuk penelitian ini

dilakukan. Sejak Januari hingga Agustus 2012 saya tinggal di Desa Puncakwangi,

rata-rata 20-25 hari dalam setiap bulan. Saya dan asisten lapangan menginap di

rumah seorang warga Puncakwangi yang kemudian menjadi informan kunci

sekaligus asisten lapangan kedua bagi penelitian ini. Karena dialah saya sebagai

orang luar merasa sangat terbantu, baik dalam membangun hubungan-hubungan

sosial dengan warga setempat, maupun dalam memahami berbagai hal yang

terkait dengan kehidupan warga Puncakwangi dan pegunungan Dieng pada

umumnya.

Page 30: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

30

Selama kurang lebih 8 bulan saya berinteraksi secara intensif dengan para

petani kentang, buruh upahan, penyedia bahan-bahan agrokimia, para pejabat dan

petugas pemerintah, juga kalangan perbankan di pegunungan Dieng, guna

melakukan wawancara, pengukuran, pengamatan lapangan, dan mencatat

informasi. Kunjungan yang secara periodik sudah saya lakukan sejak 3 tahun

sebelumnya, nampaknya menjadi jembatan sekaligus modal yang sangat penting

untuk mencairkan perasaan asing. Setidaknya, saya merasa waktu kerja lapangan

selama 8 bulan bisa berjalan cukup efektif, karena ketika itu saya sudah bukan

orang baru lagi bagi warga Puncakwangi dan pegunungan Dieng pada umumnya.

F. Sistematika

Disertasi ini terdiri dari dari 8 bab, termasuk di dalamnya Pendahuluan dan

Kesimpulan yang masing-masing menempati Bab 1 dan Bab 8. Sebagaimana yang

sudah dibahas di muka, pada Bab Pendahuluan ini dijelaskan beberapa hal penting

yang melatarbelakangi penelitian ini; disamping itu juga hal-hal lain seperti

rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori dan metodologi. Bab 2

membahas gambaran umum mengenai ekologi pegunungan Dieng dan

Puncakwangi, desa yang menjadi pusat observasi penelitian ini. Pada bab ini

disajikan gambaran utuh mengenai ruang yang pada akhirnya menjadi muara bagi

segenap eksternalitas. Faktor kesejarahan adalah hal yang penting dalam

mengkondisikan perubahan-perubahan yang kemudian terjadi.

Bab 3, menampilkan fragmen kisah 5 keluarga sebagai gambaran formasi

sosial di Puncakwangi, sebuah konskwensi dari proses kompetisi yang terjadi di

sana. Fragmen ini menegaskan bahwa diferensiasi sosial adalah hal yang tidak

Page 31: dipandang sebagai “emas hijau” - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91424/potongan/S3-2015...lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan

31

lagi bisa dihindari ketika pasar telah mengendalikan semua factor produksi. Bab 4

membahas “agroekosistem cepat”, sebuah agroekosistem baru yang menopang

perjudian proses produksi di Puncakwangi. Di sini saya akan mendiskusikan

mode produksi dan sifat-sifat agroekosistem cepat dalam konteks perjudian proses

produksi.

Bab 5 membahas masalah relasi produksi, di mana politik ekonomi

memainkan peranan yang sangat penting dalam menopang hubungan para

pemangku kepentingan proses produksi. Dalam hal ini pasar menjadi muara

kepentingan semua pihak, hingga kemudian melahirkan persaingan-persaingan.

Bab 6 membahas komponen sosial dalam konstruksi perjudian ekonomi. Pada bab

ini ini saya akan membahas hubungan-hubungan sosial yang mengalami

penyesuaian-penyesuaian. Bab 7 membahas komponen terakhir perjudian

ekonomi, yakni budaya, terutama sistem kepercayaan. Pada bab ini saya akan

mendiskusikan bagaimana agama dan kepercayaan diadaptasikan sedemikian rupa

sehingga bisa menjadi pelindung bagi perjudian ekonomi di Puncakwangi. Bab 8

adalah bab terakhir, yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari penelitian ini.

Di dalam tulisan ini saya merasa perlu untuk mengganti semua nama orang

dan nama tempat, terutama desa, dengan nama-nama lain, semata-mata untuk

menjaga etika, mengingat di dalamnya memuat berbagai hal yang boleh jadi

merupakan informasi penting dan sangat pribadi bagi sebuah identitas sosial.

Dengan menyamarkan mereka dan ruangnya, setidaknya penafsiran dalam

penelitian telah melakukan apa yang oleh Geertz (1973: 20-21) disebut sebagai

“mengamankan sebuah perbincangan sosial”.