1
I. PENDAHULUAN
“Nandur kentang kuwe kaya wong main, apa bae bisa kontal”(menanam kentang itu seperti orang berjudi, apapun bisa terjual).
(Karep, petani Puncakwangi, 2012)
A. Di Balik Ledakan Ekonomi Kentang
Karep tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan menerima
perlakuan kasar dan pelecehan dari penagih hutang di hadapan anak dan istrinya.
Tokoh pemuda yang bekerja sebagai petani kentang itu juga tidak pernah
menduga kalau pada akhirnya harus menjual rumah warisan untuk menutup
hutang di bank. Agar tidak kehilangan muka kepada tetangga sekitar, rumah itu ia
jual kepada seorang saudara perempuan. Ia dan keluarganya kini menempati
rumah warisan lain yang didapat dari keluarga istrinya. Meskipun demikian,
Karep tidak menyerah. Ia bertekad terus memproduksi kentang di lahan warisan
yang tersisa. Berbagai cara dicoba oleh segenap orang untuk memperbaiki
produksi, mulai dari memperbesar modal dengan tidak hanya meminjam di satu
bank, melipatgandakan pemakaian bahan agrokimia, meminta saran para petani
lain di luar desa yang dipandang lebih sukses, hingga menyertakan mantera dan
doa-doa yang diperoleh dari para kyai.
Karep tidak sendirian; banyak petani kentang yang senasib dengannya.
Meskipun demikian, hingga hari ini produksi kentang di Dieng masih berlanjut.
Kentang masih tetap dipandang sebagai “emas hijau”, tanaman yang telah berhasil
mengubah dataran tinggi Dieng dan nasib orang-orang yang tinggal di sana. Sejak
2
tanaman kentang masuk pada tahun 1980-an, berbagai perubahan mencolok
memang terjadi di dataran tinggi itu. Dari wilayah yang sebelumnya dipandang
tidak produktif dan rawan pangan, kini Dieng justru dianggap sebagai kawasan
pertanian yang berhasil menciptakan surplus ekonomi dan mampu menyerap
tenaga kerja.
Secara ekonomis, kentang yang padat modal memang menjanjikan
keuntungan lebih besar dibandingkan tanaman komersial yang pernah
dibudidayakan para petani Dieng, seperti tembakau dan kobis. Secara sosial,
kentang juga dipandang sebagai tanaman prestisius, diproduksi dengan teknologi
modern dan dikonsumsi oleh orang modern. Menanam kentang di kalangan petani
dinilai bisa meningkatkan status. Bisa dipahami kalau kemudian dalam 2 dekade
luas produksi kentang di dataran tinggi Dieng melonjak pesat, dari 200-an hektar
pada tahun 1970-an menjadi 2000-an hektar pada 1980-an, dan 5000-an hektar
pada 1990-an. Meskipun demikian sejak 1990-an akhir produksi kentang di
daerah pegunungan itu mulai mengalami konstraksi, akibat daya dukung
lingkungan yang menurun. Dalam 2 dekade terakhir luas produksi kentang di
pegunungan Dieng menurun, rata-rata hanya mencapai 3000 hektar.
Itu semua pada akhirnya seperti mengingatkan kita bahwa dinamika
perubahan pertanian pegunungan di Jawa tidak pernah terlepas dari fenomena
ledakan komoditas pertanian (boom crop). Sejak produksi getah perca mengalami
kejayaan pada sekitar pertengahan abad ke-19, berbagai ledakan komoditas
pertanian terus berlanjut. Tembakau adalah komoditas yang menurut Boomgaard
(2002: 87-102) telah memiliki sejarah panjang dalam perubahan pertanian gunung
3
di Jawa. Ledakan ekonomi tembakau di sekitar pegunungan Dieng setidaknya
sudah dimulai pada awal abad ke-20 ketika tercatat produksi tembakau di wilayah
itu mulai membanjiri pelabuhan Cilacap (Zuhdi, 2002: 57-73). Selain tembakau,
pitrum, sejenis tanaman bunga yang secara botanis masuk dalam rumpun keluarga
Chrysanthemum, pada kisaran 1960-1970-an juga pernah mengalami kejayaan,
hingga hampir separuh lahan-lahan di pegunungan Dieng digunakan untuk
produksi tanaman bahan baku obat itu. Hal yang kemudian perlu dicatat adalah
semua komoditas yang pernah mengalami kejayaan itu, tidak terkecuali kentang
yang datang belakangan, pada akhirnya surut, baik karena alasan-alasan ekologi,
sosial maupun ekonomi.
Sayangnya, sebagaimana dikatakan Li (2010: 12-13), dalam dua dekade
terakhir ini tidak banyak kajian-kajian sosial yang memberikan perhatian serius
terhadap isu-isu ini. Dalam perspektif Indonesia misalnya, setelah hiruk-pikuk
kajian Revolusi Hijau dan produksi beras pada tahun 1970-an, dilanjutkan dengan
kajian-kajian ekonomi pedesaan yang bersifat off-farm pada 1990-an, kemudian
cenderung bergeser menjadi kajian-kajian lain yang lebih luas seperti lingkungan,
kehutanan sosial, dan masyarakat lokal serta adat. Mengingat hampir separuh dari
populasi di Indonesia tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka pada
umumnya masih bergantung pada sektor agraris, disamping itu Indonesia juga
memiliki populasi terbesar keempat di dunia (setelah China, India dan Amerika),
maka pertanyaan bagaimana ekonomi pedesaan di Indonesia kini mengalami
rekonfigurasi seiring dengan derasnya arus perubahan di sektor pertanian
dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipelajari.
4
B. Boom Crop dalam Berbagai Kajian
Istilah boom crop diperkenalkan oleh Hall (2011: 508-509) untuk
menyebut komoditas-komoditas pertanian yang mampu menciptakan lonjakan
produksi dan dalam waktu yang relatif cepat bisa mengkonversikan luasan lahan
yang besar menjadi hamparan agroekosistem sejenis atau hampir sejenis (mono
atau almost mono croping). Sejauh ini, boom crop dipandang sebagai determinan
penting dalam hal ekspansi pertanian komersial di Asia Tenggara yang sudah
dimulai sejak abad ke-19 hingga abad ke-21. Perubahan-perubahan pertanian yang
selama ini terjadi di beberapa tempat, seperti di Vietnam, Pilipina, Thailand,
Malaysia dan Indonesia, yang secara keseluruhan ditandai dengan semakin
mengemukanya peranan pasar, semakin intensifnya proses komodifikasi, dan
semakin tingginya peranan kredit, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan
fenomena boom crop (lihat De Koninck 2003; Tan 2000; Trung 2003; Ha dan
Shively 2008; Li 2007).
Menurut Hall (2011: 509-5015) ada 6 komoditas seperti cokelat, kopi,
karet, sawit, udang dan kayu-kayu cepat tumbuh yang dalam kurun waktu 25
tahun belakangan ini berhasil melakukan ekspansi dan memberikan lonjakan
produksi yang luar biasa di beberapa tempat di Asia Tenggara. Tanaman sawit di
Indonesia dan Malaysia misalnya, hanya dalam waktu 15 tahun (1990-2005)
mampu berkembang hingga mencapai luasan sekitar 5 juta hektar lebih (Hall
2011: 515-519). Boom crop, menurut catatan Hall, pada umumnya berupa
komoditas-komoditas menahun (perennial), dan berorientasi pada pasar ekspor.
Ada 7 hal yang biasanya selalu terkait dengan ekspansi boom crop, yaitu: 1)
5
peranan kebijakan pemerintah; 2) peranan agribisnis; 3) interelasi antara boom
(lonjakan ekonomi) dan crash (kejatuhan ekonomi) dengan kesejahteraan dan
kemiskinan; 4) migrasi; 5) kenaikan harga tanah dan konflik atas tanah; 6)
deforestasi dan konservasi; 7) kompleksitas hubungan dengan fenomena boom
dan bust di tempat lain.
Meskipun demikian, sebagai sebuah topik studi, booming atau ledakan
produksi komoditas-komoditas pertanian sudah dicatat dan dipelajari orang sejak
lama. Kinealy, (1995: 1-17) dan Reader (2009: 131-168) setidaknya sudah
melaporkan bahwa pada paruh ke dua abad ke-18, hanya dalam waktu 2 dekade
saja booming kentang di Irlandia telah berhasil menggeser sereal dan gandum
sebagai makanan pokok di negara itu. Tetapi, sebagaimana umumnya yang terjadi
pada fenomena booming, kejayaan produksi kentang itupunkemudian berakhir,
akibat serangan jamur dan penyakit yang tidak tertanggulangi. Segera setelahnya,
kelaparan mewabah, bahkan sekitar 1 juta orang dilaporkan meninggal, 1 juta
lainnya bermigrasi. Tragedi yang kemudian terkenal dengan sebutan Irish Potato
Famine itu sampai hari ini masih terus menjadi referensi kalangan sarjana
ekonomi, sosial, politik, bahkan tidak terkecuali sarjana-sarjana pertanian, ketika
membahas ekspansi tanaman kentang dan peranannya terhadap perubahan sosial
ekonomi masyarakat.
Sementara itu Lombard (2008: 146-147) mencatat bahwa perkembangan
teknologi komunikasi yang sudah dimulai sejak 1859 telah memicu ledakan
produksi getah perca di Jawa. Getah perca adalah bahan baku utama pembalut
kabel bawah laut, salah satu perangkat kunci bagi teknologi komunikasi berbasis
6
kawat. Pada masa itu, permintaan pasar global terhadap getah jenis ini meningkat,
hingga kemudian menjadikan Pulau Jawa sebagai wilayah perdagangan yang
dianggap penting di dunia karena banyak menghasilkan komoditas ini. Maka
seiring dengan meningkatnya jaringan komunikasi dan bergairahnya perdagangan
getah perca, Pulau Jawa pun menjadi terhubungkan dengan bagian-bagian dunia
lain seperti Singapura dan Darwin. Sebuah transformasi awal menuju proses
globalisasipun dimulai.
Selain getah perca, Boomgaard (2002: 87-1002) juga mencatat bahwa
sejak memasuki abad ke-18, tembakau adalah komoditas yang secara cepat
mengalami ekspansi di Jawa, dampak dari program komersialisasi pertanian
pemerintah kolonial. Di beberapa tempat seperti Besuki, Probolinggo, Kedu dan
Banyumas, produksi tembakau berhasil mencapai angka yang sangat
mengagumkan, untuk tidak mengatakan mengalami ledakan. Ledakan produksi
tembakau di Kedu dan Banyumas, bahkan dicatat Zuhdi (2002: 50-73) sebagai
sebuah tonggak penting, karena berhasil menggeser peran tebu (gula) yang
sebelumnya selalu menjadi primadona perdagangan komoditas-komoditas
pertanian dipelabuhan Cilacap. Dalam pandangan Boomgaard (2002: 87-102),
ledakan produksi tembakau di Jawa bahkan dianggap menjadi penanda penting
bagi proses komersialisasi pertanian daerah pegunungan yang sebelumnya
mengalami kelesuan. Ekspansi tembakau yang cepat ini juga berkaitan erat
dengan laju peningkatan populasi pegunungan. Menurutnya pertumbuhan
populasi di daerah pegunungan di Jawa tidak semata-mata disebabkan oleh
gelombang migrasi dari dataran rendah sebagaimana yang dilaporkan Palte (1989:
7
215-219), akan tetapi juga didorong oleh perkembangan tanaman-tanaman
komersial seperti tembakau yang memang sangat cocok di produksi di wilayah
atas.
Hefner (1999: 61-80) juga melaporkan bahwa di pegunungan Tengger,
ekspansi tanaman kopi yang dipromosikan pemerintah kolonial pada sekitar
pertengahan abad ke-19, telah berkembang sedemikian pesat hingga mengubah
hutan-hutan yang sebelumnya memenuhi lereng pegunungan itu menjadi aneka
perkebunan kopi dan tanaman-tanaman komersial lain. Ledakan ekonomi kopi di
pegunungan itu telah menjadi pintu masuk penting bagi perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi yang terjadi di sana. Perubahan itu tidak hanya menyangkut
masalah produksi dan konsumsi, juga aspirasi dan identitas. Akan tetapi ledakan
ekonomi kopi yang dianggap berhasil membangun “pertanian baru” itu, pada
akhirnya tidak secara nyata berhasil menciptakan proletarisasi dan hubungan-
hubungan kapitalis di kalangan petani. Pengasingan tanah memang terjadi, tetapi
mereka yang benar-benar tidak memiliki tanah terus bertahan dalam jumlah yang
tidak terlalu besar. Meskipun memasuki pertengahan abad ke-20 stratifikasi di
pegunungan Tengger tidak lagi bisa dihindari, pada kenyataannya proses
intensifikasi dan komersialisasi pertanian bertalian erat dengan hambatan politik,
ekonomi, dan ekologi.
Kajian terhadap ledakan komoditas pertanian yang relatif baru dilakukan
oleh Li (2002; 2007; 2009; 2010; 2011; 2012) di Sulawesi. Ledakan ekonomi
cokelat di sana yang mulai terjadi tahun 1990-an pada akhirnya menciptakan apa
yang ia namakan sebagai sebuah proses pembentukan hubungan-hubungan
8
kapitalis dari bawah. Gairah pasar cokelat dunia yang sedang mengalami pasang
naik dimanfaatkan secara cepat oleh kalangan petani di segenap dataran tinggi
Sulawesi. Hubungan petani dengan lahanpun mengalami perubahan secara drastis:
lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai secara komunal berubah menjadi lahan-
lahan milik personal, semata-mata demi bisa memperoleh kredit dan terlibat
dalam produksi cokelat untuk kepentingan pasar ekspor. Yang menarik,
perubahan ini tidak didorong oleh hadirnya perusahaan-perusahaan besar,
sebagaimana yang sering dibayangkan banyak orang, melainkan atas inisiatif
sendiri dari kalangan petani. Secara perlahan, transformasi hubungan antara
masyarakat dengan lahanpun tidak bisa dihindari. Pada akhirnya hal itu
mendorong terciptanya diferensiasi akses petani terhadap lahan, yang dalam
beberapa kasus berujung pada hilangnya hak akses mereka terhadap lahannya:
sebuah proses ketersingkiran yang lazim dalam pembentukan hubungan-hubungan
kapitalis.
Li (2012: 199-212) memberikan catatan lain, bahwa situasinya akan
menjadi bertambah kompleks ketika pada akhirnya ledakan produksi itu mulai
mengalami penurunan (busting), baik karena gairah pasar yang menurun maupun
kondisi ekologis yang tidak lagi memungkinkan untuk menopang proses produksi.
Pada fase ini banyak petani yang kemudian mengalami kegagalan produksi, dan
pada akhirnya memicu terjadinya migrasi. Dari studi Li tersebut setidaknya kita
bisa mendapatkan gambaran bahwa ledakan produksi komoditas-komoditas
pertanian seringkali akan menjadi pintu masuk bagi proses transformasi agraria
menuju pada hubungan-hubungan pertanian yang bersifat kapitalis. Proses
9
transformasi itu, nampaknya tidak selalu disebabkan oleh hadirnya perusahaan-
perusahaan besar sebagaimana yang sudah digambarkan di muka, akan tetapi bisa
saja ditimbulkan oleh praktik-praktik pertanian berskala kecil yang tereskalasi
oleh ledakan-ledakan produksi (booming) yang awalnya justru dianggap
menguntungkan bagi kalangan petani.
Selain cokelat, ledakan produksi sawit nasional yang terjadi sejak tahun
1980-an juga dipandang memiliki peran besar dalam proses transformasi
pertanahan di Indonesia; yang membedakan, jika proses transformasi yang
ditimbulkan cokelat umumnya berasal dari bawah, proses transformasi yang
ditimbulkan sawit banyak yang berasal dari atas. McCarthy dkk. (2013: 34)
mencatat bahwa para perencana di Indonesia mulai menyadari potensi
pengembangan kelapa sawit sejak dekade 1980-an. Semenjak itu, narasi
pengembangan kebijakan telah menjadi fondasi bagi praktik-praktik yang
bertujuan menarik investor dan pinjaman. Narasi ini terfokus pada penyediaan
lahan potensial sebagai umpan untuk menarik investasi di era penting booming
tanaman-tanaman komersial global (global boom crop) (McCarthy dan Cramb
2009: 35). Pada 2004, Direktorat Jenderal Produksi dan Pengembangan
Perkebunan memperkirakan setidaknya sekitar 32 juta hektar lahan dinyatakan
cocok untuk produksi kelapa sawit. Situasi semacam inilah yang kemudian
mendorong proses-proses akuisisi lahan berskala besar (land grabbing) di satu
sisi, dan ketersingkiran di sisi yang lain.
Studi ini sesungguhnya tidak terkait dengan salah satu dari 6 komoditas
boom crop yang ditengarai Hall di atas. Kendatipun demikian, kalau melihat lebih
10
dalam, ledakan produksi dan ekspansi pertanian, bahkan di Asia sekalipun, selama
ini tidak hanya sebatas pada 6 komoditas itu. Dalam 2 hingga 3 dekade terakhir
komoditas kentang juga memegang peranan yang sangat penting dalam hal
ekspansi dan ledakan produksi di negara-negara berkembang, baik di Asia, Afrika
maupun Amerika Selatan, kendatipun dalam luasan dan volume produksi yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan 6 komoditas itu. Sebagaimana yang
dilaporkan FAO, hanya dalam 10 tahun (antara tahun 1990-an hingga 2000-an),
produksi kentang di negara-negara berkembang melonjak hingga 2 kali lipat, dari
rata-rata 84 juta ton/ tahun menjadi sekitar 165 juta ton/ tahun (FAO, 2008: 48-
49). Kalau melihat Asia, angkanya juga tidak jauh berbeda. Dalam 4 dekade
terakhir, antara tahun 1960an hingga 2000-an, produksi kentang melonjak hingga
6 kali lipat, dari rata-rata 20 juta ton/ tahun menjadi sekitar 120 juta ton/ tahun
(FAO 2008: 50-51).
Di Indonesia, ekspansi produksi kentang juga sangat nyata, terutama di
beberapa dataran tinggi seperti Dieng, Pengalengan, dan Brastagi. Mengacu pada
laporan Adiyoga dkk. (2004: 1-5), produksi kentang di Indonesia melonjak
hampir 6 kali lipat dalam 3 dekade, dari rata-rata produksi 120.000 ton/ tahun
pada 1970-an menjadi sekitar 1 juta ton/ tahun pada 2000-an. Sejak tahun 2000-an
suplai kentang dunia pun mulai bergeser dari negara-negara Eropa dan Amerika
Utara ke negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Cina
adalah negara yang tergolong paling sukses dalam mengambil alih produksi
kentang dunia, hingga sampai saat ini masih tercatat sebagai produsen kentang
terbesar, mengalahkan Amerika dan negara-negara lain di Eropa. Negara Asia lain
11
yang juga tergolong sukses adalah India yang menempati urutan nomor 3 dalam
hal produksi kentang dunia, hanya satu tinggat di bawah Rusia yang menempati
nomor 2 (FAO 2008: 68). Indonesia, sejauh ini, oleh FAO digolongkan sebagai
negara yang menempati ranking tengah di antara produsen kentang di Asia.
Kentang memang bukan boom crop menahun (perennial) sebagaimana
yang dikategorikan Hall (2011: 508-509) di muka, tetapi pada kenyataanya bisa
dengan cepat menghadirkan efek lingkungan dan sosial ekonomi yang
dinamikanya tidak berbeda dengan dinamika yang ditimbulkan oleh 6 komoditas
Hall. Selain kopi sebagaimana yang sudah dibahas di muka, Hefner (1999: 139-
147) juga melaporkan tentang ekspansi komoditas kentang di pegunungan
Tengger yang mulai ramai pada sekitar tahun 1980-an. Bagaimanapun komoditas
itu pada akhirnya telah mentransformasikan segenap sendi kehidupan para petani
gunung di sana, hingga pada akhirnya mengaburkan batas-batas identitas yang
sebelumnya tegas memilah antara petani gunung (wong gunung) dan petani
dataran rendah (wong ngare), sebagaimana dilaporkan oleh Hefner (1999: 4-5)
Dalam literatur-literatur studi agraria di Asia Tenggara, ekspansi boom
crop seringkali dikaitkan dengan persoalan-persoalan land grabing atau
pengambilalihan lahan oleh segenap aktor (Hall, 2011: 838). Aktor-aktor tersebut
bisa saja datang dari berbagai lapisan, sebagaimana transformasi lahan pada sawit
dan kayu-kayu cepat tumbuh yang umumnya dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan nasional dan multi nasional besar, transformasi lahan pada cokelat
dilakukan oleh petani kaya dan perusahaan menengah, dan pengambilalihan lahan
pada karet yang dilakukan oleh kalangan petani menengah sendiri.
12
Berangkat dari uraian-uraian di atas, nampaknya studi boom crop di
Indonesia akhir-akhir ini lebih banyak diarahkan pada tanaman tahunan
(perennial) di luar Jawa, di mana proses produksi umumnya tidak dilakukan di
atas lahan dengan tenurial stabil, juga tidak didukung oleh surplus tenaga kerja
yang cukup memadai. Studi ini dilakukan pada sebuah kondisi yang hampir
sepenuhnya berlawanan dengan kondisi tersebut. Sebagaimana yang sudah kita
ketahui, kentang adalah tanaman semusim, bisa diproduksi hanya dalam waktu
100 hari. Sementara itu Dieng adalah wilayah pegunungan yang meskipun sering
digolongkan sebagai pedalaman tetapi ditopang oleh tenurial lahan stabil. Wilayah
pegunungan ini juga dikelilingi oleh kantong-kantong tenaga kerja, dan didukung
oleh jaringan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lokasi
studi Tania Li di luar Jawa. Dengan situasi seperti ini, saya memandang bahwa
ledakan ekonomi kentang di Dieng tidak bersifat linier sebagaimana pada boom
crop tahunan: hanya ditentukan oleh tingkat penguasaan faktor produksi. Sirkulasi
produksi kentang yang cepat dan menjanjikan, tidak saja mendorong sentralitas
peran pasar dalam proses produksi, akan tetapi juga mendesak para petani untuk
memasuki sebuah dunia perjudian ekonomi.
Atas dasar itulah, selain bisa memperkaya pemahaman kita akan dinamika
boom crop di pedesaan Indonesia sebagaimana yang sudah diawali oleh Li (2007;
2010; 2011; 2012), studi ini juga bisa melengkapi – sekaligus menguji – dinamika
perubahan pertanian gunung di Jawa yang sudah lebih dahulu dilaporkan Hefner
(1999: 379-389): bahwa komersialisasi pertanian gunung di Jawa tidak akan
pernah mengarah pada hubungan-hubungan kapitalis. Dalam perspektif yang lebih
13
luas, studi ini juga bisa menguji optimisme International Potato Center (CIP)
yang menyebutkan bahwa ekspansi kentang di beberapa negara berkembang akan
bisa menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan.
C. Pertanyaan Penelitian
Pada awalnya, narasi perubahan pertanian yang ditimbulkan oleh ledakan
produksi kentang adalah pergeseran dari kemiskinan menuju kejayaan (Kompas
24 Mei, 1991). Meskipun demikian, narasi itu sekarang sudah sulit kita temui.
Jika pada masa lalu pemerintah cenderung mensyukuri perubahan, kini justru
mengkhawatirkannya (Kompas 10 Januari, 2003). Bagi kalangan pejabat
pemerintah, intensifikasi produksi kentang yang berlebihan dipandang
mengancam masa depan lingkungan di sana. Bagi kalangan warga sendiri,
perubahan yang dulu dipandang membawa kesejahteraan, kini mulai dianggap
menimbulkan problematika baru, seperti beban kredit yang semakin berat,
produksi yang menurun, banyak orang harus pergi meninggalkan desa untuk
mencari pendapatan di tempat lain, kepemilikan lahan yang menyempit, bahkan
tidak sedikit yang kemudian harus menjual semua lahannya demi bisa menutup
pinjaman-pinjaman di bank, koperasi dan lain sebagainya.
Kendatipun demikian, sejauh ini tidak ada tanda-tanda kalau warga
pegunungan Dieng akan menghentikan produksi kentang dan menggantinya
dengan komoditas-komoditas lain. Himbauan pemerintah Wonosobo agar mereka
segera beralih ke tanaman baru dengan alasan lingkungan maupun margin
keuntungan yang sudah sangat tipis tidak ditanggapi. Warga memandang rata-rata
pendapatan dari kentang masih lebih baik dibandingkan dengan tanaman-tanaman
14
komersial lain. Alasan-alasan itu sebenarnya tidak didasarkan atas perhitungan
yang sesungguhnya, melainkan hanya mencerminkan betapa kuatnya ikatan
ekonomi pasar yang terjadi di sana. Ikatan-ikatan pasar inilah yang kemudian
menjadikan proses produksi tidak lagi bisa sepenuhnya dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan lokal, dan cenderung diwarnai kompleksitas hubungan-
hubungan kapitalis.
Ledakan ekonomi kentang, dengan demikian, telah menghadirkan
sekaligus merakit pasar sebagai satu-satunya sumber kekuatan yang menarik
semua aktor untuk berlomba-lomba mengejar keuntungan. Ledakan itu juga telah
meletakkan pasar bukan lagi sebagai sebuah pilihan melainkan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses produksi (imperative), bahkan juga dalam
pemenuhan segala kebutuhan hidup (means of life). Bahwa kemudian dari sana
justru muncul persoalan-persoalan baru sebagaimana yang sudah digambarkan
sebelumnya, hingga secara keseluruhan menjadikan proses produksi mengalami
ketidak-kepastian, adalah hal yang tidak bisa dihindari lagi oleh kalangan petani.
Dalam pandangan Wood, (2002:193-198), itu semua adalah keniscayaan dari
proses pembentukan hubungan kapitalis di sektor pertanian.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, maka pertanyaan
kunci penelitian ini adalah: Mengapa para petani di Puncakwangi mengubah
agroekosistem dan mengeksploitasinya dengan budidaya kentang? Kekuatan-
kekuatan apa yang mendorong mereka untuk terus berspekulasi memproduksi
kentang meskipun beresiko tinggi? Bagaimana kekuatan-kekuatan itu bekerja?
Apa implikasi dari itu semua pada kehidupan masyarakat di sana?
15
D. Kerangka Teori
Studi ini memandang bahwa produksi kentang di dataran tinggi Dieng
yang pada dekade 1980-1990-an mengalami ledakan (booming) pada dasarnya
adalah bagian dari produksi boom crop di tingkat global. Produksi boom crop
selama ini hampir selalu diwarnai oleh kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi boom
crop menjanjikan keuntungan besar, tetapi di sisi lain justru mendatangkan
kerusakan lingkungan (Li, 2009); di satu sisi mendatangkan kesejahteraan, di sisi
lain juga menciptakan kemiskinan (Hall, 2011) ; di satu sisi merakit model
agroekosistem homogen, di sisi lain menciptakan model masyarakat heterogen; di
satu sisi orang melakukan akumulasi, di sisi lain orang harus terdisposesi; di satu
sisi dipandang mendatangkan kejayaan, di sisi lain dianggap menyebabkan
ketersingkiran (Li, 2014). Dalam hal produksi kentang, kontradiksi-kontradiksi itu
bahkan bisa terbentuk dalam kurun waktu yang relatif cepat, mengingat usia
produksi hanya 100 hari.
Atas dasar itu, maka studi ini juga memandang bahwa produksi kentang di
Dieng pada akhirnya akan mendorong terakitnya agroekosistem yang sangat khas,
di mana pasang-surut perubahan yang ditimbulkan bisa terjadi dengan cepat.
Agroekosistem seperti ini saya namakan sebagai agroekosistem cepat, untuk
membedakannya dengan model agroekosistem lain yang cenderung tidak
menciptakan pasang-surut perubahan, atau perubahan-perubahan yang dihasilkan
cenderung berjalan lambat. Untuk memperjelas ciri-ciri agroekosistem
sebagaimana yang sudah diutarakan di muka, studi ini akan meminjam konsep
yang diusulkan Conway (1987: 95-117) mengenai sifat agroekosistem
16
(agroecosystem property), yakni produktivitas (productivity), stabilitas (stability),
keberlanjutan (sustainability), dan kesetaraan (equitability), dengan melakukan
penyempurnaan-penyempurnaan.
Studi ini mencatat bahwa analisis Conway yang didasarkan pada sifat-sifat
agroekosistem tersebut belum sepenuhnya bisa memberikan penjelasan terhadap
perbahan-perubahan proses produksi dalam sebuah agroekosistem modern yang
berjalan begitu cepat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam produksi boom
crop tidak sepenuhnya bersandar pada komponen-komponen ekologi sebagaimana
yang diajukan Conway; akan tetapi juga dipengaruhi oleh komponen-komponen
sosial-budaya dan politik ekonomi. Atas dasar itu studi ini memandang perlu
untuk melengkapi pendekatan agroekosistem Conway dengan pendekatan lain
yang memberikan perhatian besar pada komponen-komponen di luar ekologi.
Sesuai dengan sifat-sifatnya, studi ini kemudian mengelompokkan
agroekosistem ke dalam 3 golongan. Pertama, agroekosistem lambat, yaitu
sebuah agroekosistem yang secara ekologis rentan, tidak dikelola secara intensif,
dan umumnya hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Salah satu
contoh agroekosistem lambat adalah ladang tumpang gilir yang banyak
berkembang di hutan-hutan tropis di luar Jawa. Kedua, agroekosistem sedang,
yaitu agroekosistem yang secara ekologis stabil, dikelola dengan cukup intensif,
ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan subsisten, dan terkadang juga pasar. Salah
satu contoh agroekosistem sedang adalah sawah yang banyak berkembang di
desa-desa dataran rendah di Jawa. Ketiga, agroekosistem cepat, yaitu
agroekosistem yang secara ekologis rentan, akan tetapi dikelola dengan sangat
17
intensif, bahkan spekulatif sehingga dalam tataran tertentu seperti sebuah
perjudian. Agroekosistem ini umumnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
pasar, baik domestik maupun ekspor. Contoh dari agroekosistem cepat adalah
tegal komersial di dataran tinggi yang banyak menghasilkan berbagai komoditas
hortikultura dan komoditas ekspor lain.
Produksi boom crop pada agroekosistem cepat tidak saja ditandai oleh
derasnya laju perubahan ekologi dan mengemukanya sentralitas peran pasar,
untuk tidak mengatakan terbentuknya hubungan-hubungan kapitalis (Li 2009: 74;
2010: 409; 2011: 288; Hall 2012: 1200), tetapi juga cenderung diwarnai oleh
spekulasi-spekulasi proses produksi. Kombinasi antara tingkat keuntungan yang
tinggi, usia produksi yang pendek, dan dukungan pasar yang kuat, pada akhirnya
tidak saja mendorong para petani untuk berkompetisi dalam melakukan
akumulasi, akan tetapi juga berspekulasi dalam memacu proses produksi. Cara
produksi seperti inilah yang kemudian saya namakan sebagai perjudian produksi:
sebuah cara produksi yang beresiko tinggi, karena diwarnai dengan spekulasi-
spekulasi untuk menciptakan kejayaan, dengan resiko ketersingkiran.
Mengacu pada kamus Webster, perjudian (gambling) didefinisikan sebagai
“tindakan dalam sebuah permainan yang memberi harapan kemenangan (termasuk
di dalamnya pengeluaran sejumlah biaya untuk sebuah hadiah yang berlipat
ganda)”. Sementara itu menurut McMillen (2005: 5), dalam era kapitalisme
modern, perjudian secara umum bisa dimaknai sebagai sebuah tindakan atau
transaksi beresiko yang terjadi di berbagai aspek kehidupan. Mendasarkan pada
konvensi, ia kemudian mendefinisikan konsep perjudian sebagai “transaksi
18
finasial – sesuatu yang berkaitan dengan uang, atau nilai ekonomi – untuk sebuah
keluaran yang tidak pasti di waktu yang akan datang”. Meskipun demikian,
menurutnya, perjudian adalah tindakan yang tidak sepenuhnya menyandang hal-
hal negatif, sebagaimana pandangan banyak kalangan yang terjadi pada masa
sebelum Perang Dunia II.
Para ekonom, sosiolog dan antropolog pada pasca Perang Dunia II
cenderung menganggap bahwa pada umumnya pelaku juga mampu menentukan
pilihan rasional dalam tindakan-tindakann perjudian (McMillen, 2005). Lynch
(1990) bahkan menyebutkan, alih-alih menjadi bagian dari perilaku sesat atau
setan, sebagaimana pandangan kaum moralis, perjudian justru menyediakan
peluang bagi berbagai kalangan untuk mendemonstrasikan kekuatan karakter dan
komitmen terhadap nilai-nilai sosial seperti keberanian menanggung resiko,
keteguhan hati, dan kejujuran; hal yang juga disuarakan oleh Noteboom (2003). Ia
kemudian menyimpulkan, bahwa sampai tingkatan tertentu, perjudian bisa
dipandang telah berkontribusi dalam penguatan nilai-nilai konvensional
masyarakat. Pandangan-pandangan liberal seperti ini pada pasca perang dunia II
mengalami kejayaan dan seperti memberi angin segar bagi perkembangan praktik-
praktik perjudian ekonomi di era modern (McMillen, 2005).
Secara historis, perjudian adalah hal yang sudah jamak kita temukan di
kalangan masyarakat pedesaan. Bahkan menurut Geertz (2005), dalam tataran
tertentu, perjudian sebagaimana kasus “Sabung Ayam” di Bali, bisa dikategorikan
sebagai deep play (permainan mendalam) – konsep yang sebenarnya
diperkenalkan oleh Jeremmy Bentham. Dalam hal ini deep play diartikan sebagai
19
sebuah pertaruhan yang tidak semata-mata mengacu pada nilai ekonomi (uang),
akan tetapi juga nilai-nilai sosial seperti yang sudah disinggung di muka. Sebagai
sebuah permainan mendalam (deep play), perjudian di kalangan masyarakat
kemudian sering diterjemahkan sebagai arena kontestasi untuk mencapai
kejayaan.
Bagi kalangan petani, perjudian dalam pengertian seperti itu bukan hal
baru, karena proses produksi sendiri penuh dengan pertaruhan resiko. Investasi
dalam bentuk faktor-faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) sering kali
diwarnai ketidakpastian-ketidakpastian, baik karena pengaruh iklim, kesuburan
tanah, maupun, pasar. Bahkan, bagi kalangan petani dataran tinggi, perjudian
dalam proses produksi tampaknya telah menjadi kebiasaan, mengingat kondisi
agroekosistem pegunungan yang rentan, terutama bila dibandingkan dengan
agroekosistem sawah di dataran rendah (Lewis, 1992; Hefner, 1999). Kombinasi
antara tingkat kelembaban dan kemiringan yang tinggi menjadikan agroekosistem
pegunungan rawan terhadap penyakit tanaman dan erosi. Proses produksi pun
menjadi lebih kompleks. Karena itu bisa dipahami kalau mereka tidak segan-
segan berspekulasi, untuk tidak mengatakan berjudi, dalam menjalankan proses
produksi. Apalagi ketika pasar memainkan peran seperti bandar perjudian:
memberikan dukungan penuh (dalam bentuk penyediaan faktor produksi),
sekaligus menjanjikan keuntungan besar, sebagaimana dalam produksi boom crop
di era pertanian modern (Hall, 2011).
Terlepas dari itu semua, pertanian modern yang ditopang teknologi, pasar,
dan permodalan, sebagaimana catatan Scott (1998), sesungguhnya dirancang
20
untuk mengurangi ketidakpastian dalam proses produksi, dan mendorong
keteraturan dalam mencapai apa yang ia namakan sebagai “simple production and
profit”. Menurutnya, pertanaman sejenis dan pengembangan varietas baru (seperti
kentang granola di Dieng) ditujukan untuk menyederhanakan pengelolaan
sekaligus melipatgandakan hasil, sehingga usaha akumulasi keuntungan bisa
dilakukan dengan sebaik-baiknya. Input kimiawi dalam bentuk penyubur, pemacu
pertumbuhan dan penangkal penyakit tanaman juga dikembangkan untuk
menjawab persoalan keterbatasan kesuburan tanah dan hal-hal lain yang
mengancam kegagalan produksi. Untuk menopang permodalan yang besar,
produksi boom crop dalam pertanian modern ditopang mekanisme kredit
perbankan (de Soto, 2000; Li, 2012; Deininger dan Binswanger 2001; Hefner
1999; Scott, 1998; Pinchus 1990). Boleh jadi karena itulah organisasi pangan
Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa optimistis bahwa konon ekspansi produksi
kentang di di era pertanian modern adalah “cahaya baru dari harta karun yang
tersembunyi” (FAO, 2008).
Namun pada kenyataannya usaha menyederhanakan produksi dan
melipatgandakan keuntungan dalam pertanian modern, sebagaimana yang sudah
disinggung di muka, justru memunculkan persoalan-persoalan baru (Li 2012;
2014; Hall, 2011; Wood, 2002; Scott, 1998; Pinchus 1990). Ledakan produksi
kentang di Dieng berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan: penyakit
tanaman mewabah dan erosi meningkat pesat. Secara perlahan produksi kentang
di wilayah pegunungan itupun mengalami penurunan, hingga pada akhirnya
21
mendorong para petani untuk meningkatkan spekulasi-spekulasi, jika bukan
perjudian dalam proses produksi.
Studi ini memandang setidaknya ada 4 faktor yang berperanan dalam
mengkonstruksikan proses produksi kentang di Puncakwangi sebagai arena
perjudian. Pertama, adalah faktor ekologi, yakni terbentuknya agroekosistem
cepat di daerah pegunungan. Sebagaimana yang sudah disinggung di muka,
agroekosistem pegunungan pada umumnya bersifat kompleks karena paradoks-
paradoks yang ada di dalamnya: secara ekologis rentan, tetapi secara ekonomi
juga menjanjikan produktivitas tinggi. Kombinasi seperti itulah yang secara
historis telah membentuk cara produksi khas di daerah pegunungan, di mana para
petani berusaha memanfaatkan peluang keuntungan meskipun harus menanggung
resiko besar (Lewis, 1992). Apalagi ketika kemudian pasar melakukan intervensi
dan berhasil merakit agroekosistem cepat yang diikuti dengan ledakan ekonomi
(booming), maka perjudian dalam proses produksi adalah hal yang sulit untuk
dihindari (Hall, 2011).
Kedua adalah faktor politik ekonomi, yakni kuatnya dukungan dan
kepentingan pasar global. Sejak masa kolonial, faktor ini sudah memiliki peranan
besar dalam mengkonstruksikan proses produksi di segenap agroekosistem
pegunungan (Setyawati, 1998). Peranan itu menjadi semakin sentral ketika sejak
1970-an Orde Baru mempromosikan program Revolusi Hijau sebagai upaya
pemerintah untuk meningkatkan produktivitas agroekosistem (Hefner, 2009).
Dalam hal produksi kentang di Dieng, sentralitas itu bahkan terlihat sangat nyata
ketika pada akhirnya pasar berhasil mengendalikan seluruh faktor produksi (lahan,
22
modal dan tenaga kerja). Dalam situasi seperti ini petani tidak akan pernah bisa
mendapatkan akses terhadap faktor-faktor produksi kecuali melui proses
kompetisi dengan sesama petani lainnya. Disamping itu, pasar juga tidak lagi bisa
diletakkan sebagai sebuah peluang yang bersifat pilihan (opportunity), melainkan
ketentuan yang telah mengikat (imperative) (Wood, 2002). Siapa yang ingin
mendapatkan keuntungan dan mencapai kejayaan dalam proses produksi, maka
mereka harus mengikuti mekanisme kompetisi dan akumulasi pasar, dengan
resiko kerugian dan ketersingkiran.
Ketiga adalah faktor sosial; yakni berubahnya hubungan-hubungan sosial
dan cara pandang masyarakat terhadap proses produksi. Sejak 5 dekade terakhir di
kalangan masyarakat berkembang pandangan bahwa perjudian adalah intrumen
ekonomi yang memuat nilai-nilai fundamental, seperti keberanian, ketangguhan,
dan kekuatan (McMillen, 1996; Noteboom, 2003). Dengan demikian, dalam
tataran tertentu perjudian tidak saja dipandang sebagai pertaruhan uang, akan
tetapi juga status sosial. Dalam hal proses produksi kentang di Puncakwangi,
bahkan pertaruhan itu terkait dengan nilai-nilai modernitas. Kentang granola yang
mulai diproduksi tahun 1980 an dipandang sebagai komoditas modern, karena
dikonsumsi oleh masyarakat modern yang tinggal di perkotaan dan diproduksi
dengan menggunakan teknologi modern. Mereka yang bisa terlibat dalam
produksi kentang akan dipandang sebagai petani modern, dan sebaliknya yang
tidak terlibat akan dianggap sebagai petani masa lalu, jika bukan tradisional.
Mereka yang sedang berjaya akan diposisikan sebagai orang terpandang,
sedangkan yang tersingkir akan merasa “wirang” (malu). Dalam istilah lokal
23
sering diungkapkan, “Sing menang panen keplok, sing kalah panen poyok” (yang
berhasil akan mendapat tepuk tangan, yang gagal akan mendapat ejekan).
Keempat adalah faktor budaya, yakni adanya adaptasi sistem kepercayaan
dalam proses produksi. Menurut Hayes dan Jarvis (2004) pada akhirnya sistem
kepercayaan akan cenderung menyertai proses perjudian, karena dipandang
mampu meningkatkan rasa percaya diri dalam mengendalikan ketidakpastian.
Meskipun secara kultural manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, mereka juga menyadari bahwa tidak semua aspek kehidupan bisa
ditangani oleh kedua instrumen itu (Lavenda dan Schultz, 2003). Maka melalui
berbagai ritus, sistem kepercayaan kemudian memproduksi berbagai istrumen
magis untuk mengelola hal-hal yang sifatnya tidak menentu dan cenderung
mendatangkan kerugian. Dengan tindakan-tindakan seperti itulah para petani
Puncakwangi terus melanjutkan perjudian dalam proses produksi, sekaligus
menyandarkan harapan akan datangnya kejayaan. Ritus-ritus yang meningkat
pesat sejak mereka memproduksi kentang pada tahun 1980-an saya kira menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari usaha masyarakat untuk mengendalikan
segenap ketidakpastian dalam proses produksi. Dengan ungkapan yang lain bisa
dikatakan bahwa dalam produksi boom crop, tindakan-tindakan magis telah
diposisikan sebagai faktor produksi ke empat, setelah lahan, modal dan tenaga
kerja.
Keempat faktor itu telah menjadi landasan rasionalitas para petani
Puncakwangi untuk melakukan perjudian dalam produksi kentang di era pertanian
modern. Jika kemudian yang muncul adalah kerusakan lingkungan, dan
24
kesenjangan sosial yang makin melebar, sebagaimana yang kini tengah terjadi di
Puncakwangi, adalah hal yang tidak bisa dihindari dari hubungan produksi yang
sepenuhnya sudah berada di bawah mekanisme pasar (Wood, 2002: 95-116).
Dalam bab-bab berikutnya, disertasi ini akan mendiskusikan empat faktor penting
yang mentransformasikan proses produksi di Puncakwangi menjadi perjudian
ekonomi, sebagaimana yang secara teoritik sudah dijelaskan pada bagian ini.
E. Metode Penelitian
Studi-studi antropologi secara metodologis memiliki tradisi yang khas,
yakni penggunaan instrumen etnografi. Sejak Bronislaw Malinowski meneliti
kehidupan orang-orang Trobriand di Papua Nugini pada 1915, hingga Tania Li
yang meneliti kehidupan petani cokelat di Palu (Sulawesi Selatan) pada 2009,
etnografi selalu menjadi instrumen penelitian yang penting. Meskipun demikian,
dalam pandangan Henry (2009), etnografi bukanlah metode, melainkan
pendekatan, yang dalam hal ini digunakan untuk mempelajari kebudayaan
masyarakat tertentu. Metode pengumpulan data dalam etnografi bisa beragam:
sensus, wawancara, pengamatan, penelusuran sejarah, dan lain sebagainya.
Kerja-kerja etnografi mendasarkan pada penafsiran suatu budaya atau
sistem sosial kelompok masyarakat tertentu. Geertz (1986:6-7) mencatat bahwa
penelitian etnografis adalah upaya memahami secara mendalam arti atau makna
peristiwa dari lingkungan sosial-budaya tertentu. Melalui etnografi, seorang
peneliti akan menggambarkan dan menginterpretasikan pola nilai, perilaku,
kepercayaan, dan bahasa yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat.
Berdasarkan prinsip ini, peneliti akan melakukan eksplorasi, pengamatan dan
25
wawancara, dengan cara tinggal bersama masyarakat yang diteliti dalam jangka
waktu tertentu, terlibat dalam segenap proses sosial dan budaya setempat, hingga
secara alamiah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari obyek penelitianya.
Untuk melancarkan arus informasi yang dibutuhkan, peneliti akan membutuhkan
informan kunci yang bisa masuk lebih dalam ke kelompok masyarakat yang
sedang diteliti, dan menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan kehidupan sosial
dan budaya mereka.
Dalam perkembangannya, etnografi dibedakan menjadi dua: etnografi
kelasik dan etnografi kritis atau kontemporer (Henry, 2009). Dalam etnografi
kelasik, seorang peneliti akan berada di tengah-tengah kebudayaan masyarakat
yang sama sekali asing, tinggal di sana selama beberapa waktu untuk melakukan
pengamatan dan pencatatan terhadap kehidupan masyarakat tersebut, sebelum
kemudian kembali ke tempat asalnya untuk menulis laporan dengan target
pembaca adalah orang-orang yang berasal dari dunia yang sama dengan si
peneliti. Etnografi kelasik menempatkan peneliti sebagai aktor dan pencerita yang
terpisah dari masyarakat yang diteliti, dan mengandaikan adanya prinsip obyektif
dalam mengungkapkan kebenaran hasil penelitianya.
Sementara itu etnografi kritis memandang bahwa studi antropologi tidak
harus dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sama sekali asing,
bahkan studi antropologi bisa dilakukan di kalangan masyarakat urban yang ada di
sekitar peneliti. Etnografi kritis dan kontemporer juga tidak memposisikan peneliti
sebagai aktor yang terpisah dari masyarakat yang diteliti, melainkan menjadi satu
kesatuan dengan obyek penelitianya (Hammersley and Atkinson, 1995; Denzin,
26
1997; Sanjek, 2000). Prinsip obyektif juga sudah ditanggalkan, karena seorang
peneliti dipandang tidak bisa sepenuhnya netral. Menurut Emerson (1995), tugas
seorang antropolog bukanlah untuk melakukan determinasi kebenaran, tetapi
mengungkap lapisan-lapisan kebenaran yang sangat beragam dalam kelompok
masyarakat yang ditelitinya.
Berangkat dari gambaran singkat di atas, studi mengenai kehidupan para
petani kentang di pegunungan Dieng ini menggunakan pendekatan etnografi kritis
atau kontemporer. Puncakwangi adalah desa yang menjadi pusat pengamatan
untuk pengumpulan data. Secara administratif, desa ini masuk ke dalam
Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Beberapa
alasan yang menopang keputusan pemilihan lokasi ini adalah, bahwa produksi
kentang di Puncakwangi tergolong tinggi, bukan saja disebabkan oleh
produktivitas lahannya yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan desa-desa lain di
Dieng, akan tetapi juga karena hampir semua lahan pertanian di sana digunakan
untuk produksi kentang. Pertimbangan lainnya adalah bahwa di wilayah
pegunungan Dieng, desa ini tergolong sebagai desa terbelakang dengan
infrastruktur sangat terbatas, hingga sering kali oleh kalangan masyarakat yang
tinggal di desa-desa di bawahnya diposisikan sebagai desa ngiwa atau terpencil.
Alasan yang terakhir adalah, kini petani Puncakwangi dikenal sebagai orang-
orang yang intensif memanfaatkan kredit perbankan untuk menopang produksi
kentangnya. Saya memandang ketiga ciri yang melekat pada Desa Puncakwangi
itu adalah kombinasi ideal untuk topik penelitian saya yang hendak melihat
perubahan pertanian akibat adanya ledakan ekonomi kentang.
27
Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan
pengamatan terlibat pada segenap informan. Untuk memudahkan penggalian data,
informan dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu informan khusus dan
informan umum. Informan khusus jumlahnya terbatas, terdiri dari orang-orang
tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan jaringan sosial luas, sehingga
memungkinkan untuk mendapatkan klarifikasi dan penjelasan-penjelasan lebih
dalam. Informan umum adalah mereka yang tidak diharuskan menyampaikan
keterangan mendalam; jumlah mereka lebih besar dari informan khusus. Pada
tahap awal, penelitian ini berusaha melakukan wawancara kepada para informan
khusus yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Bahan-bahan yang terkumpul dari
para informan khusus kemudian menjadi pijakan untuk menentukan informan-
informan umum yang akan menjadi subyek wawancara dan pengamatan lebih
lanjut.
Di samping melalui wawancara, pengamatan dan perbincangan, data dan
informasi juga dikumpulkan melalui dokumen-dokumen tertentu, antara lain
monografi desa, statistik kecamatan, statistik kabupaten, laporan proyek, kliping
koran, dan dokumen-dokumen lain yang saya pandang relevan. Sumber data dan
informasi lain adalah kegiatan seminar, lokakarya dan rapat koordinasi teknis
yang diselenggarakan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Pertemuan-pertemuan
warga yang di pegunungan Dieng tergolong sangat padat, juga menjadi sumber
data dan informasi yang sangat berharaga.
Data dan informasi yang terkumpul kemudian diposisikan sebagai
sederetan kejadian atau peristiwa yang ikut membentuk arus sejarah warga.
28
Meminjam ungkapan Pred dan Watts (1992: 11), bahwa bagaimana sejarah sosial
suatu masyarakat terbentuk, akan sangat tergantung di mana proses pembentukan
itu berlangsung, latar belakang apa yang telah terpateri di sana, di dalam struktur
sosial dan spasial yang memang sudah ada sebelumnya. Atas dasar itulah
penelitian ini kemudian menggunakan analisis conjuncture atau “analisis deretan
peristiwa”, sebuah analisis yang pernah dipopulerkan oleh kalangan antropolog
Marxian dari Manchester School pada tahun 1950-an, dan dicoba-kembangkan
oleh Tania Li untuk melihat ledakan ekonomi cokelat di Sulawesi Tengah. Saya
memaknai apa yang dinamakan “deretan peristiwa” atau conjuncture adalah
sebagaimana yang didefinisikan Li (2014: 10): sebuah kombinasi unik atas
elemen-elemen kejadian, proses dan hubungan-hubungan yang kemudian
membentuk suatu formasi dalam ruang dan waktu tertentu.
Hal yang terpenting dari analisis ini adalah tidak memandang sebuah
elemen bisa menjadi determinan, karena semuanya saling mempengaruhi. Tidak
ada satupun elemen yang beroperasi secara tunggal. Setiap elemen dalam deretan
peristiwa dipandang memiliki latar belakang sejarah yang membentuk peristiwa
sekarang, dan deretan peristiwa sekarang pada akhirnya akan membentuk sejarah
baru di masa depan, yang boleh jadi sesuai dengan prediksi-prediksi, tapi tidak
menutup kemungkinan menyimpang dari apa yang sudah diprediksikan. Itulah
mengapa analisis ini pada dasarnya adalah usaha untuk menyingkap lapisan-
lapisan permukaan sebuah makna dan tindakan, sekaligus menelusuri hubungan-
hubungan yang terpilin melampaui batas-batas geografis dan masa.
29
Saya sebagai antropolog yang menjadikan pegunungan Dieng sebagai
lokasi penelitian, pada dasarnya adalah bagian dari deretan peristiwa atau
conjuncture di sana, karena itulah saya merasa perlu untuk mencantumkannya
dalam gambar, sekaligus menjelaskan kapan, untuk apa dan mengapa saya ada di
sana. Mei, 2009 adalah kunjungan pertama saya ke wilayah pegunungan Dieng
untuk melakukan observasi lapangan dan menentukan desa lokasi penelitian.
Kunjungan berikutnya saya lakukan pada bulan Agustus di tahun yang sama; kali
ini sudah berbekal keyakinan bahwa Puncakwangi adalah desa yang akan menjadi
lokasi penelitian saya. Setelah kunjungan kedua, sampai dengan 2011, setiap
tahun saya selalu melakukan kunjungan singkat ke Desa Puncakwangi.
Kunjungan-kunjungan iu saya maksudkan untuk membangun hubungan sosial,
memelihara perkawanan dengan warga, sekaligus mengumpulkan bahan, mencatat
perkembangan dan memperbaharui data.
Tahun 2012 adalah periode di mana kerja lapangan untuk penelitian ini
dilakukan. Sejak Januari hingga Agustus 2012 saya tinggal di Desa Puncakwangi,
rata-rata 20-25 hari dalam setiap bulan. Saya dan asisten lapangan menginap di
rumah seorang warga Puncakwangi yang kemudian menjadi informan kunci
sekaligus asisten lapangan kedua bagi penelitian ini. Karena dialah saya sebagai
orang luar merasa sangat terbantu, baik dalam membangun hubungan-hubungan
sosial dengan warga setempat, maupun dalam memahami berbagai hal yang
terkait dengan kehidupan warga Puncakwangi dan pegunungan Dieng pada
umumnya.
30
Selama kurang lebih 8 bulan saya berinteraksi secara intensif dengan para
petani kentang, buruh upahan, penyedia bahan-bahan agrokimia, para pejabat dan
petugas pemerintah, juga kalangan perbankan di pegunungan Dieng, guna
melakukan wawancara, pengukuran, pengamatan lapangan, dan mencatat
informasi. Kunjungan yang secara periodik sudah saya lakukan sejak 3 tahun
sebelumnya, nampaknya menjadi jembatan sekaligus modal yang sangat penting
untuk mencairkan perasaan asing. Setidaknya, saya merasa waktu kerja lapangan
selama 8 bulan bisa berjalan cukup efektif, karena ketika itu saya sudah bukan
orang baru lagi bagi warga Puncakwangi dan pegunungan Dieng pada umumnya.
F. Sistematika
Disertasi ini terdiri dari dari 8 bab, termasuk di dalamnya Pendahuluan dan
Kesimpulan yang masing-masing menempati Bab 1 dan Bab 8. Sebagaimana yang
sudah dibahas di muka, pada Bab Pendahuluan ini dijelaskan beberapa hal penting
yang melatarbelakangi penelitian ini; disamping itu juga hal-hal lain seperti
rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori dan metodologi. Bab 2
membahas gambaran umum mengenai ekologi pegunungan Dieng dan
Puncakwangi, desa yang menjadi pusat observasi penelitian ini. Pada bab ini
disajikan gambaran utuh mengenai ruang yang pada akhirnya menjadi muara bagi
segenap eksternalitas. Faktor kesejarahan adalah hal yang penting dalam
mengkondisikan perubahan-perubahan yang kemudian terjadi.
Bab 3, menampilkan fragmen kisah 5 keluarga sebagai gambaran formasi
sosial di Puncakwangi, sebuah konskwensi dari proses kompetisi yang terjadi di
sana. Fragmen ini menegaskan bahwa diferensiasi sosial adalah hal yang tidak
31
lagi bisa dihindari ketika pasar telah mengendalikan semua factor produksi. Bab 4
membahas “agroekosistem cepat”, sebuah agroekosistem baru yang menopang
perjudian proses produksi di Puncakwangi. Di sini saya akan mendiskusikan
mode produksi dan sifat-sifat agroekosistem cepat dalam konteks perjudian proses
produksi.
Bab 5 membahas masalah relasi produksi, di mana politik ekonomi
memainkan peranan yang sangat penting dalam menopang hubungan para
pemangku kepentingan proses produksi. Dalam hal ini pasar menjadi muara
kepentingan semua pihak, hingga kemudian melahirkan persaingan-persaingan.
Bab 6 membahas komponen sosial dalam konstruksi perjudian ekonomi. Pada bab
ini ini saya akan membahas hubungan-hubungan sosial yang mengalami
penyesuaian-penyesuaian. Bab 7 membahas komponen terakhir perjudian
ekonomi, yakni budaya, terutama sistem kepercayaan. Pada bab ini saya akan
mendiskusikan bagaimana agama dan kepercayaan diadaptasikan sedemikian rupa
sehingga bisa menjadi pelindung bagi perjudian ekonomi di Puncakwangi. Bab 8
adalah bab terakhir, yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari penelitian ini.
Di dalam tulisan ini saya merasa perlu untuk mengganti semua nama orang
dan nama tempat, terutama desa, dengan nama-nama lain, semata-mata untuk
menjaga etika, mengingat di dalamnya memuat berbagai hal yang boleh jadi
merupakan informasi penting dan sangat pribadi bagi sebuah identitas sosial.
Dengan menyamarkan mereka dan ruangnya, setidaknya penafsiran dalam
penelitian telah melakukan apa yang oleh Geertz (1973: 20-21) disebut sebagai
“mengamankan sebuah perbincangan sosial”.