13
Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017 Lex specialis derogat legi generali Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 1 Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Tindak Pidana Khusus Pembicara : 1. Dian Prawiro Napitupulu (2013) 2. Alex Mulandar Manalu (2013) Pemateri : 1. David Julianus Saruksuk (2014) 2. Indra Permana Raja Gukguk (2014) Moderator : Waristo Ritonga (2014) A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Tindak Pidana Khusus 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. 1 Kriteria tindak pidana khusus : 2 Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapapun. Penyimpangan ketentuan hukum pidana 1 https://slissety.wordpress.com/tindak-pidana-khusus 2 https://belajarhukumonline.wordpress.com/2015/11/24/pengertian-tindak-pidana-khusus-dikaitkan-dengan-pasal-63- ayat-2-kuhp-dan-pasal-103-kuhp/

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar Tindak ... · oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara. c) Sanksi dalam Tindak Pidana Ekonomi Sanksi

  • Upload
    dotuong

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 1

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar

Tindak Pidana Khusus

Pembicara : 1. Dian Prawiro Napitupulu (2013)

2. Alex Mulandar Manalu (2013)

Pemateri : 1. David Julianus Saruksuk (2014)

2. Indra Permana Raja Gukguk (2014)

Moderator : Waristo Ritonga (2014)

A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum Tindak Pidana Khusus

1. Pengertian Tindak Pidana Khusus

Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan

ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu

merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum

Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana

tersendiri.1

Kriteria tindak pidana khusus :2

Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat

dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

Dilihat dari substansi dan berlaku bagi siapapun.

Penyimpangan ketentuan hukum pidana

1 https://slissety.wordpress.com/tindak-pidana-khusus 2 https://belajarhukumonline.wordpress.com/2015/11/24/pengertian-tindak-pidana-khusus-dikaitkan-dengan-pasal-63-ayat-2-kuhp-dan-pasal-103-kuhp/

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 2

Undang-Undang tersendiri

Pasal 103 KUHP , pasal ini merupakan aturan penutup di buku I, dengan bunyi:

“Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-

perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh

Undang-Undang ditentukan lain.3

Berikut adalah Perbedaan antara Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus :4

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus

Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah

tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU

Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa

telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana

khusus.

3 Lihat pasal 103 Undang-Undang no 1 tqahun 1946 (KUHP) 4 http://mylegalnote.blogspot.sg/2015/06/resume-hukum-tindak-pidana-khusus.html

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 3

Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:

1. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955)

2. Tindak Pidana Korupsi

3. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika

4. Tindak Pidana Perpajakan

5. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai

6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)

7. Tindak Pidana Anak

3. Dasar Hukum serta Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Khusus

UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No. 7

Drt. 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 1/Perpu/2002 dan UU No. 2/Perpu/2002.

Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu; untuk orang/golongan tertentu.

Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana

Formal.

Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.

Dasar hukum UU Pidana Khusus melihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP.

Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini

mengandung pengertian:

1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang

UU itu tidak menentukan lain.

2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur

seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

B. Ajaran Lex Special Derogat Lege Generali

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 4

Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa

hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex

generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara

demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati

pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang

gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan.5

Pasal 103 KUHP , pasal ini merupakan aturan penutup di buku I, dengan bunyi:

“Ketentuan-ketentuan dalam bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-

perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh

Undang-Undang ditentukan lain.

Pasal 63 ayat 2 KUHP : “ Jika bagi sesuatu perbuatan yang diancam oleh ketentuan pidana pada

ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saya yang digunakan. 6

C. Kekhususan Tindak Pidana Khusus dalam Undang-Undang diluar KUHP

I. TINDAK PIDANA EKONOMI

a) Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Ekonomi

UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi mengenai

hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 pada intinya yang disebut

tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1

sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun

1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955

tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

b) Unsur-Unsur dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Ekonomi

Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7

Tahun 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e.

5 https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali 6 Lihat pasal 63 ayat (2) KUHP serta komentar-komentarnya terjemahan R. Soesilo

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 5

Tindak pidana Pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU Drt. No. 7 Tahun

1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar

undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran

tindak pidana ekonomi.

Tindak pidana ekonomi dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 ini lebih bersifat hokum administrasi.

Secara teliti pelanggaran terhadap UU Drt. No. 7 Tahun 1955 disebut dengan tindak pidana ekonomi,

oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara.

c) Sanksi dalam Tindak Pidana Ekonomi

Sanksi terhadap pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan

tindakan tata tertib. Sistem ini dikenal dengan istilah double track system. Sanksi pidana berupa sanksi

pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana ini sesuai dengan ketentuan Ps. 10 KUHP.

Sedangkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Ps. 8 UU Drt. No. 7 Tahun 1955.

Tindakan tata tertib berupa:

1. Penempatan perusahaan si terhukum berada dibawah pengampuan;

2. Kewajiban membayar uang jaminan;

3. Kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban

mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;

4. Meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat

satu sama lai, atas biaya si terhukum apabila hakim

Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps. 6 ayat (1), yaitu sanksi pidana

penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e

dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternative, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok

sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.

Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan

pemberatan, yaitu:

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 6

1. UU Drt. No. 8 Tahun 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap ketentuan Ps 1

sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat (1) huruf a yaitu kata-

kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.

2. UU No. 5/PNPS/1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana

Ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana dalam buku II Bab I dan II KUHP, dengan

hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun[8] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau

hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

d) Sistem Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 terdapat perbedaan

dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak

pidana umum.

1. Tingkat pertama, Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps. 35, Ps. 36, Ps. 37, Ps. 38,

Ps. 39;

2. Tingkat banding, diatur dalam Ps. 41, Ps. 42, Ps. 43, Ps. 44, Ps. 45, dan Ps. 46;

3. Tingkat kasasi, diatur dalam Ps. 47, Ps. 48.

II. TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

a. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan

pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya,yaitu dengan cara memasukkan

ke dalam tubuh.

Yang dimaksud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-

Undang ini.

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 7

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada

aktivitas mental dan perilaku.

b. Jenis-Jenis Narkotika

Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Pasal 6:

(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

1. Narkotika Golongan I;

2. Narkotika Golongan II; dan

3. Narkotika Golongan III.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa Psikotropika yang

mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

digolongkan menjadi:

1. Psikotropika golongan I;

2. Psikotropika golongan II;

3. Psikotropika golongan III;

4. Psikotropika golongan IV.

c. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Narkotika

1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika dapar diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan

hokum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan ketentuan-ketentuan

lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 8

Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan:

1. Pelaku utama;

2. Pelaku peserta;

3. Pelaku pembantu

Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:

1. Penyalahgunaan/melebihi dosis; hal ini disebabkan oleh banyak hal.

2. Pengedaran narkotika, karena keterikatan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik

nasional maupun internasional.

3. Jual beli narkotika.

Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga

karena motivasi untuk kepuasan.

d. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika

Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat tindak pidana kejahatan dan

pelanggaran (punishment) adalah merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang

lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang

berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang

diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment).

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai jenis-jenis pidana atau

hukuman.

1. Pidana Pokok:

o Pidana mati

o Pidana penjara

o Kurungan

o Denda

2. Pidana Tambahan

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 9

o Pencabutan hak-hak tertentu

o Perampasan barang-barang tertentu

o Pengumuman putusan hakim

III. TINDAK PIDANA KORUPSI

1) Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan

merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga

memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.[15]

Pengertian korupsi menurut pendapat para ahli: (1) Andi Hamzah: “Korupsi berasal dari kata

corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak

bermoral”;[16] (2) Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan

kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk

dilaksanakan”.[17] Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa

pengertian korupsi adalah penyalahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri.

2) Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat

disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:

1. Korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri:

o Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,

bahwa pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat perundang-undangan

diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas jabatan negeri atau tugas lainnya

serta digaji menurut undang-undang yang berlaku.

o Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai negeri

adalah:

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 10

Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu

juga orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-

undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas

nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli

dan kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.

Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan administrasi,

ketua/anggota peradilan agama.

Anggota angkatan perang.

Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau

daerah.

Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara

atau masyarakat.

3) Sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi

Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem pembuktian

terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa

yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah

ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai

“Omkering van het Bewijslast” atau “Reversal Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan

menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian

yang bias apabila diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian

yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum, namun

mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan tidak lagi

pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian

inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian” yang bagi masyarakat awam

hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.

Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 11

sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem

pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi,

dengan demikian berlaku asas praduga tak bersalah”.[20]

Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan, karena

dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan telah bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Pembuktian terbalik yang

terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP,

terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 dinyatakan bahwa: “Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan

tindak pidana korupsi”.

Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban Jaksa

Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan haknya dan dapat

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan hal yang menguntungkan

posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak

melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib

untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta

benda setiap orang atau korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu

termuat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta harta

benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan”.

IV. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Karakteristiknya

Istilah “cuci uang” atau juga disebut dengan “pemutihan uang” adalah merupakan peralihan dari

bahasa imggris yaitu “money laundering” kedalam bahasa Indonesia sebagai suatu istilah yag pada

mulanya digunakan di America Serikat dalam khazanah kejahatan. Lalu mengapa uang harus dicuci? ,

tentu saja karena uang tersebut dalam keadaan “kotor”. Kotor dalam arti “uang haram” yang

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 12

biasanya disebut dengan “dirty money” atau juga disebut “secret money”, yaitu uang yang dapat dari

berbagai bentuk kejahatan mulai dari blue collar crime hingga white collar crime.

UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai

perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk

menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta

kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).

2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

Adapun metode proses pencucian itu meliputi tiga tahap, yaitu :

1. Placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan

lainnya. Negara-negara harus ada persyaratan pelaporan terhadap transaksi tunai yang besar.

2. Layering yaitu memisahkan dana (kekayaan) dari asalnya dan dilakukan untuk menyamarkan

apa yang sebenarnya dan membuat tidak jelas dalam melakukan penelusurannya.

3. Integration yang membutuhkan penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke

dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulkan kecurigaan asal mula perolehannya.

Pada mulanya, memang kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan narkotika atau

psikotropika, tetapi dalam perkembangannya diperluas hingga meliputi uang haram dari hasil

kejahatan terorganisasi yang lain.

3. Pertanggungjawaban pidana Tindak Pidana Pencucian Uang

Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan

menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,

menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang

diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk

Tindak Pidana Khusus Rabu, 22 Maret 2017

Lex specialis derogat legi generali

Hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum 13

menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta

Kekayaan yang sah.

Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Pelaku, dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003,

digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang

adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam

Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau

kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Istilah

transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal

pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai

ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum

pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh

kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan

hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau

pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan.