78
Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : ADITYA ALAMSYAH N I M : 1110045100042 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

Maqasid Syariah

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

ADITYA ALAMSYAH

N I M : 1110045100042

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif
Page 3: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif
Page 4: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif
Page 5: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

ABSTRAK

ADITYA ALAMSYAH. NIM 1110045100042. SANKSI TINDAK PIDANA

PENGHINAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH.

Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, dan menjelaskan dan

menganalisa tentang Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah.

Kebebasan beragama di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen kedua pada Pasal 28E

ayat (1) dan (2). Akan tetapi terdapat pula pembatasan dalam konstitusi tersebut.

Warga negara yang tidak mentaati pembatasan tersebut, maka akan dikenakan

sanksi sesuai dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

dan menggunakan teori Maqasid Syariah. Setelah diundangkannya Undang-

Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau

Penghinaan Agama, maka dalam KUHP tentang tindak pidana penghinaan agama.

Konsep Maqasid al-syari’ah merupakan konsep yang sangat penting dan tidak

luput dari perhatian para ulama dan pakar hukum Islam. Sebagian besar pakar

hukum menempatkan pembahasannya dalam Ushul Fiqh, ketika mereka

membahas tentang qiyas serta Maqasid Al-syariah telah menjadi pertimbangan

sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya

dilakukan pula oleh para sahabat. Oleh karenanya melalui tulisan ini, penulis

mencoba untuk menelaah secara mendalam permasalah kasus tindak pidana

penghinaan agama dengan pendekatan teori maqasid syariah.

Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research). Studi

kepustakaan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang,

buku-buku majalah, artikel website, serta kasus yang berhubungan dengan tema

penelitian.

Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca,

memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi

bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Kata kunci : Sanksi Pidana, Penghinaan Agama, Maqasid Syariah

Pembimbing : Dr. Rumadi. M. Ag

Page 6: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

بسم الله الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan

kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang

mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi

Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa

bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa

kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia

hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah

memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan

hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Nurul Irfan, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam terima

kasih banyak telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama

perkuliahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata I dengan sebaik-baiknya.

Page 7: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam

terima kasih banyak telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam

keperluan, dan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata I dengan sebaik-

baiknya.

4. Bapak Dr. Rumadi. M.Ag selaku Dosen Pembimbing terima kasih banyak telah

memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

5. Kepada kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan

serta do’a yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi strata I dengan penuh semangat, Ayahanda Chotib, dan Ibunda

Romlah, maafkan anakmu ini yang sungguh bergelimpangan dosa.

6. Terima kasih kepada Kakak saya terutama untuk, Andri Rahadiansyah, Apit Firmansyah,

Ade Darmawansyah, dan Adik saya yaitu: Aldi Alviansyah, Alvi Syahrin, Khoirul Amri

yang telah memberikan doa, dukungan moril dan materil, serta sebagai motivator dalam

menyelesaikan studi strata I saya.

7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan

pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.

8. Terima kasih kepada Mutiara Lukman Amd. Keb, SKM yang telah memberikan nasehat,

meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sebagai motivator dalam menyelesaikan

Skripsi saya.

9. Terima kasih kepada Gerardin Ferrari S.Sy yang telah banyak berdiskusi dan

memberikan buku-buku referensi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya ini.

Page 8: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

10. Teman-teman Seperjuanganku Program Studi Hukum Pidana Islam Angkatan 2010 yang

telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam

hidup, terutama Edi Irawan, Ade Dani Setiawan, Sena, Rodhi, Awal, Ayu, Dijah, Siska,

Ika, Lulu, Dika, Denis, Rijal, Agung, Yongki, Sahuri, Gunawan, Imas (ss) dan teman-

teman yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang

selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang. Alhamdulilah

saya bisa lulus juga.

11. Kepada Adik-adik kelasku Program Studi Hukum Pidana Islam Angkatan 2011, 2012,

2013, 2014, dan 2015 terima kasih banyak telah menemani saya dalam kegiatan kampus

dan berdiskusi dalam pembelajaran, yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu.

Lanjutkan perjuangan kalian dalam meraih cita-cita.

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT

sehingga dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi

Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis

mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Wassalammualaikum. Wr. Wb

Jakarta, Juli 2017

Penulis

Page 9: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

i

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................................ 10

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 11

D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................................... 12

E. Metodologi Penelitian ............................................................................................... 13

F. Sistematika Penulisan ................................................................................................ 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHINAAN AGAMA ........................ 16

A. Pengertian Tentang Penghinaan Agama .................................................................... 16

B. Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan Agama ................................................................ 20

C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama ....................................................... 26

BAB III : SANKSI PIDANA DALAM HUKUM POSITIF .......................................... 31

A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................................................... 31

B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................................................. 31

C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif ............................................................. 41

Page 10: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

ii

BAB IV: PANDANGAN MAQASID SYARIAH DALAM SANKSI PIDANA

PENGHINAAN AGAMA ................................................................................................. 50

A. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah ...................................................... 50

B. Bentuk-bentuk Maqasid Syariah ............................................................................... 55

C. Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah .......................................... 58

BAB V: PENUTUP ........................................................................................................... 64

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 64

B. Saran-saran ................................................................................................................ 65

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 66

Page 11: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem

budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan

tatanan/perintah dari kehidupan. Bagi para penganutnya agama berisikan ajaran-

ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan

petunjuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi

bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari

masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi

tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai

dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya1.

Agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,

tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, agama juga

memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pengingkaran terhadap pengaruh agama dalam kehidupan bermasyarakat dapat

mendorong terjadinya penodaan terhadap agama. Maraknya tindak pidana

penistaan agama dalam berbagai bentuk, seperti munculnya penyimpangan-

penyimpangan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat yang bertentangan

dengan ajaran-ajaran dan hukum agama yang telah ada tersebut dapat merongrong

sendi-sendi kehidupan beragama masyarakat.

1 Parsudi Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed). 1988. “Agama: Dalam Analisis dan

Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi. Jakarta CV. Rajawali, h. 26.

Page 12: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

2

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,

ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi

pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.1

Perjalanan manusia untuk melaksanakan amanah tidaklah mulus. Berbagai

rintangan, ujian, dan godaan menghadang ditengah jalan. Perjuangan manusia

semakin berat karena harus berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Musuh-

musuh ini seringkali menipu daya manusia dengan perkataan-perkataan yang

indah.

Firman Allah dalam Al-Qur’an:

Artinya: Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh,

Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka

membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-

indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka

tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-

adakan.( QS. Al-An’am Ayat 112)

Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk

mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama islam norma

tersebut dikenal dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang

mengatur hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia

dan tuhannya. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih

menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses

tasyrî’.

Page 13: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

3

Dalam istilah para ulama fiqh tasyrî’ bermakna menetapkan norma-norma

hukum untuk menata kehidupan manusia baik hubungan manusia dengan

tuhannya maupun dengan sesamanya2.

Syari’at yang dimaksud di sini adalan syariah yang mencakup ketentuan-

ketentuan Allah dan rasulnya dan norma-norma hukum hasi kajian ulama

mujtahid untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal

dengan Maqâsîd al-Syariah (tujuan perundang-undangan) dalam hukum Islam.

Berdasarkan pemberitaan di media cetak dan elektronik, penistaan Agama

kembali men jadi topik pembicaraan di masyarakat Indonesia. Satu diantaranya

adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama terpenggal oleh pola yang

termuat dalam format tindak pidana penodaan agama.

Isu tentang penodaan agama dan ujaran kebencian telah menjadi satu isu

yang paling banyak dibicarakan di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun ke

belakang terkait konteks hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Isu ini

banyak mendapat sorotan bukan hanya dari komunitas atau lembaga yang

mempunyai fokus kajian dan advokasi di bidang Ham, tetapi juga mendapat

perhatian dari Negara bahkan jauh sebelum reformasi di tahun 1998.

Di dalam konteks penghinaan agama, salah satu soal yang menjadi

perhatian besar adalah soal penegakan hukum yaitu terkait penerapan aturan

tentang penodaan agama yaitu UU No 1/ PNPS tahun 1965 tentang pencegahan

penyalahgunaan dan /atau penodaan agama dan Pasal 165 a KUHP.

2 Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri‟I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam,

1981), h. 11

Page 14: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

4

Aturan tentang penghinaan agama ini seringkal disalahgunakan dan

penafsirannya tidak jelas dan tergantung kepada kepentingan yang muncul paling

dominan, bukan untuk kepentingan hukum secara adil atau biasa disebut pasal

karet. Ini akan menitikberatkan dan menganalisa lebih jauh dalam sudut pandang

aspek hukum pidana terkait kasus yang berkaitan dengan soal penghinaan agama.

Kajian dan analisa khusus ini harapkan akan dapat memberikan referensi dan

rekomendasi terkait penegakan hukum yang berkaitan dengan pidana penghinaan

agama.3

Tindak pidana menurut agama/delik agama tersebar dibeberapa pasal

dalam hukum positif (KUHP), seperti membunuh, mencuri, berzina dan

sebagainya tetapi menurut agama cakupannya lebih luas dibandingkan KUHP.

Tindak pidana terhadap agama dan yang berhubungan dengan agama

sebagian juga sudah diatur dalam hukum positif (KUHP), namun beberapa

perbuatan yang merugikan dan telah menimbulkan korban belum diatur dan perlu

pengkajian kembali untuk dikriminalisasikan menjadi tindak pidana, seperti

perusakan tempat ibadah yang seharusnya bagian dari delik agama tetapi dalam

prakteknya para penegak hukum hanya menjerat seperti dengan pasal-pasal

perusakan yang terdapat dalam KUHP.

Masalah besar dalam delik agama bukan hanya masalah kepolisian,

kejaksaan, dan hakim saja sebagai aparat penegak hukum yang akan menindak

dan memprosesnya secara hukum, melainkan terletak pada kebijakan

penanggulangan kejahatan atau yang sering disebut kebijakan kriminal.

3 Hasil monitoring kasus-kasus penodaan agama dan ujaran kebencian atas dasar agama di

Indonesia yang diterbitkan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) pada tahun 2012

Page 15: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

5

Penanggulangan kejahatan yang bernuansa agama/delik agama hendaknya

dikaji dan dibahas bersama dengan pemangku kepentingan (legislatif dan

eksekutif) serta tokoh-tokoh lintas agama guna merumuskan langkah-langkah

penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) itu dengan membuat aturan yang

tepat sasaran.4

Dalam KUHP sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama,

meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik

agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa

pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang

berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda

Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap

agama dan delik yang berhubungan dengan agama.5 Menurut Konsep negative

rights dijelaskan, yaitu kebebasan dalam bentuknya yang negatif, yang terdiri dari

unsur ‚bebas untuk‛ melakukan berbagai hal yang bias membuat manusia menjadi

manusia yang bebas. Hukum moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur

tentang larangan melakukan intervensi mengandung unsur kebebasan negatif.

Aturan tersebut ditujukan untuk melindungi hak seseorang dari semua bentuk

intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya.6

4Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru,( Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2010, hal. 3 (lihat juga

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hal. 113-114)

5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996), hal 331

6 Al-Hanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: Leksbang

Grafika, 2010),h. 90-91.

Page 16: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

6

Larangan melakukan prosiletisme (penyebaran agama secara tidak patut)

dan penghujatan agama sebenarnya berada dalam konteks ini. Kadang-kadang

dalam penyebaran agama dilakukan dengan mengganggu kebebasan orang lain,

sehingga negara perlu melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan kepada

pemeluk agama.

Demikian juga larangan penghujatan agama dimaksudkan untuk

melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan dilukai orang lain.

Dengan menghukum proselitisme, sebenarnya negara melakukan intervensi

terhadap kebebasan individu dalam memanifestasikan agamanya demi melindungi

kebebasan keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama. Demikian juga,

pemberian hukuman pada pelaku penghujatan agama, merupakan bentuk

intervensi negara terhadap kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan

keagamaan orang lain.7

Meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan

tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP seperti

delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah,

delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).

Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama

bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar

dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan

upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama

7 Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah”

Mahkamah Konstitusi RI Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012. h 268

Page 17: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

7

dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam

menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.

Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan

rujukan hakim untuk memutus kasus penghinaan agama. Pasal ini selengkapnya

berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang

siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perkataan atau melakukan

perbuatan. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya

orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang

Maha Esa.”

Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik

terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu

sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-

kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-

simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian,

karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk

melindungi penganut agama.8

Seperti dicontohkan dalam Agama Islam, Agama yang membawa rahmat

kepada seluruh alam semesta.9 Maka, agar mampu mewujudkannya harus ada

norma yang menjadi aturannya, dalam agama Islam norma tersebut dikenal

8 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981),

cet. 3, hal. 79-80

9 Hal ini sesuai dengan redaksi firman Allah dalam surat al-Anbiya’/21:107, yang

artinya” Dan tidaklah kami mengutusmu, melaikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.

Page 18: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

8

dengan hukum syari’ah, yaitu suatu aturan yang mengatur hubungan antara

manusia dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan tuhannnya. Istilah

syari’ah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih menggambarkan

kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses tasyri’.10

Dan prinsip utama dalam hukum Islam adalah memelihara prinsip asasiah

( hak paling dasar ), yaitu hifdzu al-Din, hifdzu al-Nafs, hifdzu al-„aql, hifdzu an-

Nasl, dan hifdzu al-mal.11

Sehingga dalam menetapkan suatu Peraturan tindak pidana, konsep

dlaruriyyah Al-khomsah / Maqasid Syari‟ah merupakan sebuah kewajiban bagi

para pemangku kebijakan untuk merujuk kepada konsep tersebut, termasuk pula

terhadap ketentuan macam-macam sanksi yang akan diterapkan dalam peraturan

tersebut, baik terhadap tindak pidana umum, maupun terhadap tindak pidana

khusus. Kelima unsur dlaruriyyah Al- Khomsah / Maqasid Syari‟ah tersebut

adalah hifdzu al-Din, (dalam hal pemeliharaan agama), hifdzu al-Nafs (dalam hal

pemeliharaan jiwa), hifdzu al-„aql (dalam hal pemeliharaan akal), hifzu al-Mal

(dalam bidang pemeliharaan harta), hifdzu an-Nasl (dalam hal pemeliharaan

keturunan dan kehormatan).

Lima unsur tersebut sangat urgen dalam perumusan peraturan perundang-

undangan pidana. Namun demikian, dalam perumusan tindak pidana tidak

mengenal unsur prioritas antara kelima tersebut diatas. Semuanya sama

tingkatanya dalam hal terjadinya tidak pidana. Prioritas-prioritas dalam hal hukum

10

Muhammad Faruq Nabhan, al-madkhal li al-tasyri,I al-islami (Beirut: Dar al-Qalam,

1981) ,h.11.

11 Lihat KPK, Buku Saku untuk Memahami: Pandangan Islam Terhadap Korupsi; Koruptor

Dunia Akhirat dihukum. h. Mukaddimah

Page 19: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

9

pidana hanya terdapat pada letak pertanggung jawaban pidana, hapusnya ancaman

pidana, dan pengecualian pemidanaan.12

Namun pada saat ini hukum akan selalu berkembang seiring dengan

perkembanggan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut

berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di

masyarakat.

Di mana salah satu sifat hukum adalah dinamis. Perkembangan

masyarakat yang begitu pesat dan meningkatnya kriminalitas, di dalam kehidupan

bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderungan dari anggota masyarakat

itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi ini sering

terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang telah

ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib,

dalam masyarakat.

Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk menaatinya, dan

masih saja ada yang menyimpang yang pada umumnya perilaku tersebut kurang

disukai oleh masyarakat.13

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana

memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan

menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh

karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan

tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan

12

Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Kholam Publishing, 2008), h-72.

13 Soerjono, Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, (Jakarta: Rajawali Pers),hal .21

Page 20: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

10

secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula

seiring dengan perkembangan masyarakat.14

Berkaitan dengan hal di atas, dalam prakteknya sehari-hari masih terjadi

kasus-kasus yang berkaitan dengan delik agama, misalnya penghinaan,

merendahkan, penghasutan dan penodaan terhadap agama tertentu serta perusakan

tempat-tempat ibadah yang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang

atau organisasi masih terjadi ditengah-tengah masyarakat.15

Berdasarkan permasalahan dan gejala fenomena yang ada di atas penulis

tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul : (Sanksi Tindak

Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di dalam latar belakang masalah,

penulis membatasinya alasan-alasan mengapa tindak pidana penghinaan Agama

perlu mengkaji lebih mendalam, dan penulis merumuskannya sebagai berikut:

1. Bagaimana Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Menurut Hukum Positif?

2. Bagaimana Pandangan Maqasid Syariah Terhadap Sanksi Tindak Pidana

Penghinaan Agama?

14

Wirjono Prodjodikoro, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,(Jakarta:

PT.Refika Aditama), hal.15.

15 Tim Pengacara Muslim (TPM) Anggap Penindakan Aliran Sesat Sesuai Prinsip HAM,

dari situs: http://www.hukumonline.com/artikel di akses tanggal 8/03/2014

Page 21: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan dan

manfaat yang ingin di capai, begitu pula dengan penulisan skripsi ini. Adapun

tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk Mengetahui Pandangan Maqasid Syariah Terhadap Sanksi Tindak Pidana

Penghinaan Agama.

2. Untuk Mengetahui Hukum Positif Terhadap Sanksi Tindak Pidana Penghinaan

Agama

D. Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara

teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut :

1. Kegunaan secara teoritis

Menambah perbendaharaan keilmuwan dalam bidang hukum khususnya

kajian mengenai konsep Maqasid syariah tentang Sanksi Tindak Pidana

Penghinaan Agama teoritis maupun praktis.

2. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang Konsep Maqasid

syariah tentang Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama serta memberikan

gambaran yang objektif menganai sanksi pidana bagi pelaku Tindak Pidana

Penghinaan Agama

3. Kepada yang mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, diharapkan skripsi ini

dapat menjadi salah satu masukan yang berarti, dan sedikit banyak dapat

membuka cakrawala berfikir yang ilmiah.

Page 22: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

12

4. Kegunaan secara praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran masyarakat

dan penegak hukum sehingga mempunyai wawasan yang lebih komprehensif

khususnya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi disiplin

pengetahuan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana penghinaan agama.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait Tindak Pidana Penghinaan Agama penelitian secara

spesifik tentang relevansi maqasid syariah tindak pidana penghinaan agama dalam

perspektif hukum islam dan hukum positif, serta analisa kasus menurut putusan

pengadilan negeri belum ditemui penulis.

Akan tetapi penulis tetap mengambil kerangka penelitian terhadap hasil-

hasil karya ilmiah terdahulu untuk membantu melengkapi dan menjadi bahan

acuan penulisan skripsi ini. Adapun hasil penelitian terdahulu yang menunjang

penelitian ini adalah :

1. Skripsi yang berjudul.Relevansi Maqasid Syariah Dalam Tindak Pidana Korupsi

(Studi Ulama NU dan Muhammadiyah). Yang ditulis oleh Muhammad Fahdun

Najib Pada Tahun 2013. Skripsi ini menjelaskan tentang pengertian, dan konsep-

konsep maqasid syariah.

2. Skripsi yang berjudul. “ Analisa Hukum Pidana dan Kriminologi terhadap Tindak

Pidana Penistaan Agama Di Indonesia” yang ditulis oleh Ismuhadi pada tahun

2008. Skripsi ini menjelaskan tentang penistaan agama dari segi kriminologi serta

sanksi pidana terhadap penistaan agama

Page 23: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

13

F. Metode Peneltian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis

untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.

Tujuan dari semua usaha ilmiah adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan

mengontrol gejala fenomena yang ada.

Untuk mendapatkan data dalam penelitian skripsi ini penulis

menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analistis yaitu

menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi

objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan normatif dan pendekatan analistis

1. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang objek utamanya berupa

buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, norma-norma yang hidup

dan berkembang dalam masyarakat, majalah, surat kabar, hasil seminar dan

sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan obyek yang diteliti16

a. Sumber Data Primer

Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala

keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber data

tersebut berupa Perundang-undangan, Al-Quran dan As-Sunnah, dan juga buku-

buku yang membahas tindak pidana penghinaan agama.

16

Zainudin Ali, M.A. Metode penelitian hukum. Palu: Sinar grafika, 2009.

Page 24: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

14

b. Sumber Data Sekunder

Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer

yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-

keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang

relevan, artikel, buletin, atau karya ilmiah para sarjana.

2. Teknik Analisis Data

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan

metode kualitatif. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisa data-data yang

diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap

objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan

objek penelitian.

Data yang diklarifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan

menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif.

Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi

kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa teks

atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau dokumen.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,

penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab,

dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang

terinci, agar memudahkan pembaca. Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis

bahas, sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :

Page 25: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

15

BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang

penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, lokasi penelitian serta diakhiri

dengan penjelasan mengenai sistematika penelitian ini yang menjadi pedoman

dalam bab-bab selanjutnya.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Terhadap Penghinaan Agama. Pokok Bahasan

bab ini, penulis menjelaskan teoritis sebagai lanjutan dari bab sebelumnya, yaitu

Pengertian Tentang Penghinaan Agama, Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan

Agama, dan Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama., agar diketahui oleh

pembaca, bahwa pelaku akan dikenakan sanksi pidana, bila terbukti melakukan

penghinaan terhadap agama.

BAB III : Sanksi Pidana Dalam Hukum Positif. Uraian Bab ini penulis membahas

tentang pengertian Sanksi Pidana, Macam-Macam Sanksi Pidana, serta Prinsip

dan Tujuan Sanksi Pidana Menurut Hukum Positif di Indonesia mengenai

penghinaan agama .

BAB IV : Pandangan Maqasid Syariah Sanksi Pidana Penghinaan Agama. Dalam

bab ini, penulis memuat uraian teoritis dan analisis hukum sebagai lanjutan dari

bab sebelumnya, yaitu Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah,

Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan, dan

Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah.

BAB V : Penutup, Penulis menyimpulkan tahap akhir dari penulisan ini yang

berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga Terdiri dari

saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam penulisan Skripsi ini

Page 26: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHINAAN AGAMA

A. Pengertian Tentang Penghinaan Agama

Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama memiliki padanan istilah dalam

bahasa aing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata Blasphemy

berasal dari bahasa Inggris zaman pertengahan yaitu blasfemen, yang pada gilirannya

berhubungan dengan bahasa Yunani yaitu blasphemein, berasal dari kata blaptein

artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi.1

Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God,

religion, a religious icon, or something else considered sacred2 yang artinya

ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain

dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, blasphemy is the

malicious, revilement of God and Religion yang artinya dengan niat jahat menghina

Tuhan dan Agama. Menurut Kamus Online Merriam- Webster3, blasphemy adalah 1)

a: the act of insulting or showing contempt or lack of reverence of God; b: the act of

claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or

inviolable yang artinya 1) a: tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau

kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan,

1 http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy, diunduh pada Senin 09 Januari 2017 Pukul

16.06 WIB. 2 Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9

th Edition, West Thomson Reuters, St. Paul,

2009, h. 193. 3 http://www.merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy, diunduh pada Senin 09 Januari 2017 Pukul

16.12 WIB.

Page 27: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

17

2) ketidakhormatan

terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggu- gugat.

Di Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa

Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia4. Sila

Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara

Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi

bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha

nation building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan

bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Isi pasal tersebut mempertegas bahwa

Indonesia bukan Negara agama, sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada

perlakuan khusus terhadap suatu agama apapun.

Indonesia adalah Negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara

Negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh Negara-negara barat dan Negara-negara sosialis5.

sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam peraturan perundang-undangan pidana

dipandang sebagai suatu pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan

kepercayaan6. Istilah delik agama dapat mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut

agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama7. Delik menurut agama

banyak tersebat di KUHP seperti misalnya pembunuhan, pencurian, penipuan, penghinaan,

fitnah, dan delik-delik kesusilaan (zinah dan pemerkosaan). Delik terhadap agama terlihat

terutama dalam Pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar

4 Pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. 5 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981)

6 Ibid, h. 49. Lihat juga Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan landasan hukum bagi

pembatasan terhadap kebebasan (hak asasi manusia) di Indonesia. 7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 302.

Page 28: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

18

orang tidak menganut agama), termasuk juga Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP

(penghinaan terhadap golongan/penganut agama; dikenal dengan istilah group libel). Delik yang

berhubungan dengan agama dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal

175 s.d 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 yang meliputi perbuatan-perbuatan :

1) Merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal

175);

2) Mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah

(Pasal 176);

3) Menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan

(Pasal 177 huruf (a);

4) Menghina benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 huruf (b);

5) Merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178);

6) Menodai/merusak kuburan (Pasal 179);

7) Menggali, mengambil, memindahkan jenazah (Pasal 180);

8) Menyembunyikan, menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan

kematian/kelahiran (Pasal 181);

9) Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah

dilakukan (Pasal 503 ayat 2).

Tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van

Strafrechts (WvS) Belanda, melainkan dari Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama . Adapun maksud dari undang-undang itu dibentuk

Page 29: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

19

adalah8 pertama, untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari

ajaran- ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang

bersangkut an (Pasal 1-3); dan kedua, untuk melindungi ketenteraman beragama tersebut dari

penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi, bila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-

undang tersebut adalah dalam rangka pengamanan Negara dan ketertiban masyarakat untuk

mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil

dan makmur dan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama9.

Undang-undang ini terdiri dari empat pasal yang lengkapnya sebagai berikut :

Pasal 1

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau

mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di

Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan

keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran

agama itu.

Pasal 2

1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan

keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri

Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran

kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan

menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain

setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan

Menteri Dalam Negeri.

8 Tim Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang Undang

Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-

Undang Dasar 1945, Jakarta. 9

Siti Aminah Dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil Uu Penodaan Agama, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (Ilrc), 2011, h. 2.

Page 30: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

20

Pasal 3

Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri

Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang,

Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,

penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Pasal 4

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum

mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama

yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-

Tuhanan Yang Maha Esa."

B. Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan Agama

Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada sanksi yang

mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat rumusan pidana diakhiri

dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga

cara dalam perumusan sanksi, yaitu:

1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-

ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu

sanksi.

2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal

awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikiuti secara langsung

dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.

3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.10

10

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta : Alumni AHM-PTHM,

1986), h. 32.

Page 31: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

21

Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap agama dan

kehidupan beragama dalam UU PNPS No 1/1965 dan KUHP di Indonesia menjadi satu

kesatuan. Sebagaimana telah diketahui, bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila

tidak ada sanksi yang mengaturnya. Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia

maupun dalam UU PNPS No 1/1965, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang

bersangkutan. Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal

rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana. Sanksi yang

diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama serta pelaku

aliran sesat adalah pidana penjara.

Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan

pasal 156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang

siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan

terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan sistematika KUHP,

pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.

Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang

ditujukan untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan

perlindungan terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu

karena adanya pelanggaran ketertiban umum.

Page 32: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

22

Penempatan Pasal 156a sebagai bagian dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan

sebagai tindak pidana terhadap ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut

(dalam UU No. 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi

ketenteraman orang-orang yang beragama.

Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai

pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu

ketenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya

apabila ketenteraman orang beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu,

maka orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana.

Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar

seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana.

Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur

subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari

keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan

kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.

Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang menyebutkan bahwa

unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan

dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam

hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si

pelaku itu harus dilakukan.11

11

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,

1997), h. 193-194.

Page 33: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

23

Tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama dapat mempunyai

pengertian yang sangat luas, yang dapat dimasukan di dalamnya adalah delik-delik

kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama, Namun di sini

akan membatasi Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP.

1. Pasal 175

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan

keagamaan yang bersifat umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang

diijinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling

lambat satu tahun empat bulan.

2. Pasal 176

Barang siapa dengan sengaja menggangu pertemuan keagamaan yang bersifat

umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang dijinkan atau upacara

penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidan denda paling

banyak seribu delapan ratus rupiah.

Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan,

sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.12

Menurut M. Solehuddin sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi

dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap

orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan

terhadap perbuatan si pelaku.

12

M. Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 32

Page 34: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

24

Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan,

misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sifatnya,

sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan

berhubungan dilanggarnya suatu norma oleh seseorang.

Mengenai aturan penghinaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara

sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi

penghinaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No

5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1)

“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan

pernyataan keras untuk menghentikan perbuatannya itu didalam keputusan bersama

Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila

pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisai atau sesuatu aliran

kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan

menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu

dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa

Agung dan Menteri dalam Negeri.

Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun

penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota ataupun anggota pengurus

organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa

cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau

penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat

yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk

menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya.

Page 35: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

25

Dalam pasal 3 disebutkan:

“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa

Agung dan Menteri Dalam Negri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut

ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih

terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau

anggota pengurus organisasi yang bersangkungkatn dari aliran itu dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.

Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan

terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh

karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti

organisasi/perhimpunan, dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotannya,

maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih melakukan

pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang

menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Menginggat sifat dari tindak pidana dalam

pasalini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.

Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang

berbunyi: “Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa

dngan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang

pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama

yang di anut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun

juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Saksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan

meyakinkan dan diputus oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun

Page 36: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

26

penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah jumlah pidana tersebut pelaku penghinaan

agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau dapat diberikan hukuman minimum.

C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama

Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaaan atau

melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penghinaan terhadap

suatu agama yang dianut di Indonesia, diatur dalam pasal 156a KUHP yang rumusannya

sebagai berikut :13

Dipidana dengan pidana penjaraa selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan

sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang

ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang

dianut di Indonesia.

Menurut paal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penghinaan agama adalah

sebagai berikut :14

a. Barang Siapa

b. Di muka umum

c. Menggeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan

d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap uatu

agama yang di anut di Indonesia

Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP adalah

sebagai berikut :15

1. Unsur Subjektif

a. Barang Siapa

Menurut Sudarto bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan orang dan

pada dasarnya yang melakukan tindak pidana adalah manusia. Rumusan tindak pidana

13

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:

Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92. 14

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:

Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92 15

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hukum UNDIP, 1990), Cet. Ke-1, h 50.

Page 37: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

27

dalam undang-undang lazim di mulai dengan kata-kata “Barang siapa....., kata “barang

siapa” tidak diartikan lain lebih dari pada orang.16

b. Dengan Sengaja

Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan

batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan batin antara si pembuat

terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat (pertanggungjawaban pidana)

Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan dengan sengaja,

KUHP tidak memberikan definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan

dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelichting), yang mengartikan kesengajaan

(opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (wilian en wettens). Jadi dapat diartikan

bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang

melakukan perbuatan dengan sengaja mengehendaki perbuatan itu dan di samping itu

ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.17

Dalam hal seseorang

yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin

yang menunjukan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan

adalah sebagai berikut :18

1) Kesengajaan sebagai maksud

Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (Dolus directus). Corak kesengajaan

ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si

pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini

tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.

2) Kesengajan dengan sadar kepastian

16

Ibid 17

Sudarto, Ibid., h 19 18

Ibid., h 103

Page 38: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

28

Dalam hal ini mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu :19

a. Akibat yang memang dituju si pembuat (merupakan tidak pidana tersendiri

atau tidak);

b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk

mencapai tujuan dalam nomor satu di atas.

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Doluss Eventualis atau

Voorwaardelijk opzet)

Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku melakukan tindakan untuk

menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia mungkin

mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain daripada

akibat yang timbulnya memang ia kehendaki.

Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak

membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat

semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat terhadap seperti itu si pelaku

dikatakan telah mempunyai suatu kesengajaan dengan sadar kemungkinan.

Dengan kata lain, pada waktu si pelaku melakukan perbuatan untuk

menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia telah

menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat yang memang ia

kehendaki.20

Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam pasal

156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai kesengajaan sebagai

maksud saja, namun diartikan pula sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian

dan sebagai kesengajaan dengan sadar kemungkinan, karena unsur “dengan

19

Ibid., h 104 20

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : CV. Armico, 1984), Cet. Ke-1 h. 301.

Page 39: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

29

sengaja” itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan di depan

unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP.

Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, pelaku

harus dapat di buktikan :

a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaan atau melakukan

perbuatan ;

b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang telah

ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Jika kehendak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang dimaksudkan

di atas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan putusan bebas bagi

pelaku.

Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari segala

tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan sengaja atau opzet

oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur

tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP.21

2. Unsur-Unsur Objektif

a. Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang

dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “ Wet Boek van Strafrech”

cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu penghinaan dilakukan di muka

umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat terbuka untuk dikunjungi umum dan semua

orang dapat mendengarnya.22

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Lamintang bahwa dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan

21

P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara,

(Bandung:CV. Armico, 1986), h. 464. 22

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 71

Page 40: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

30

tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa perasaan

yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik.23

b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan

Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat

dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan.24

c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang

ada di indonesia.

Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU No. 1 (Pnps)

Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong

Hu Cu.25

Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai perasaan atau

perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang

dianut di Indonesia, Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan dan agaknya

pembentuk undang-undang telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan

penafsiran dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang

sebagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang

dianut di Indonesia.26

23

P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 464 24

Ibid., h. 465 25

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h.69 26

P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465

Page 41: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

31

BAB III

SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Pengertian Sanksi Pidana

Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang

mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman

dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan

sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak

korban.

Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti

tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum.1

Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut

“straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.2

Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat

pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum.

Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas

cerita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.3

B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman)

Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab

undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu:

1. Hukuman Pokok

Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan

dapat juga dijatuhkan sendiri.4

1 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),

h. 692 2 Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, 1990), h. 83

3 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I,

h. 436

Page 42: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

32

Macam-macam hukuman pokok ialah:

a. Hukuman Mati

Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia.

Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP

Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip

dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan

berlakunya hukuman mati, yaitu:5

1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. “Makar

dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau

meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara”.

2) Pasal 124 (3) KUHP: Kejahatan terhadap keamanan Negara. “Pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun

dijatuhkan jika:

a) Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan

atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki

suatu alat penghubung gudang persediaan perang, atau kas perang

ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat ataupun bagian dari padanya.

b) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru hara pemberontakan

atau diserse dikalangan Angkatan Perang.

3) Pasal 340 KUHP: Pembunuhan berencana.

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu

menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan

4 Hartono Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), cet. Ke-I,

h 109-110 5 Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h .6

Page 43: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

33

(moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara

semantara selama-lamanya 20 tahun.

4) Pasal 365 (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan. “Diancam dengan pidana

mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling

lama 20 tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan

dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah

satu hal yang diterangkan dalam nomor (10 dan (3).

5) Pasal 444 KUHP: Kejahatan terhadap pelayaran.

“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan pasal 438-441 mengakibatkan

seseorang yang dikapal diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka

nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta

melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama

20 tahun.

6) dan 7) Pasal 479 (K) ayat 2 KUHP dan pasal 479 (0) ayat 2 KUHP:

Kejahatan penerbangan dan prasarana. “Jika perbuatan itu mengakibatkan

matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu dipidana dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20

tahun”.

8) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999: Korupsi atau merugikan

Negara dalam keadaan tertentu. “Tindakan korupsi untuk memperkaya orang

lain atau orang lain diancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan

maksimal 20 tahun ditambah denda minimal 200 jutu atau maksimal satu

milyar”.

9) Pasal 80-82 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang: Memproduksi,

Page 44: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

34

mengolah, menyediakan narkotika.

Pasal 80

1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :

a. Memproduksi, mengolah, mengkonversi, perakit, atau menyediakan

narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau penjara

seumur hidup, atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

2) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling

sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 2. 000.000.000.00 (dua miliar rupiah).

3) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atu pidana penjara paling

singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.

500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).

Pasal 81

4) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a (membawa, mengirim, mengangkut narkotika

golongan I) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana

mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.

Page 45: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

35

500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).

Pasal 82

1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:

a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,

menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual

beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20

tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milia

rupiah).

2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

didahului dengan pemufakatan jahat maka terhadap tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara seumur 4 tahun dan paling lama 20

tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).

3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:

a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling

sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp. 3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah). 10) Pasal 59 Undang-

Undang Nomor 5 tahun 1997: Menyalahgunakan obat-obatan

psikotropika secara terorganisasi.

Page 46: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

36

1) Barang siapa:

a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4

ayat (2), atau

b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika

golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6

c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal12 ayat (3), atau

d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu

pengetahuan, atau

e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan membawa psikotropika

golongan I.

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling

lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima

puluh juta rupiah).

2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara

terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda sebesar

Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

11) Perpu Nomor 1 tahun 2002 Jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 2003

tentang terorisme:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang

secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat misal, dengan cara

merampas atau menghilangkan nyawa harta benda orang lain atau

Page 47: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

37

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas

internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.

Di dalam praktek terdapat peraturan-peraturan lain bagaimana hukuman

mati itu harus dilaksanakan, yaitu:30

a) Dilaksanakan di dalam penjara;

b) Dilaksanakan oleh penuntut umum dan hakim yang bersangkutan yang

mengadili si terhukum;

c) Didampingi seorang dokter yang memastikan bahwa si terhukum benar-benar

mati;

d) Dilaksanakan oleh seorang algojo yang merupakan seorang pejabat negeri;

e) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum hukuman mati dijalankan polisi

harus diberitahukan kepada ketua terhukum oleh ketua pengadilan negeri atau

yang diwakilkan dengan dibantu oleh panitera, atau jika ketua pengadilan

negeri tidak ada di tempat maka oleh jaksa;6

f) Sejak si terhukum diberi tahu tentang hari akan dijalankannya hukuman mati,

ia harus dijaga ketat;

g) Seorang terhukum mati harus diizinkan bertemu dengan guru keagamaan

atau pendeta;

h) Persiapan-persiapan untuk menjalankan hukuman mati harus

dilakukan tanpa diketahui atau dapat terlihat oleh si terhukum;

i) Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada hari minggu, hari raya

6 Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,

tth), cet. Ke-I, h. 273

Page 48: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

38

nasional atau keagamaan.7

b. Hukuman Penjara

Di Indonesia si terhukum selalu menjalani hukuman penjara bersama-sama

dengan terhukum lainnya, sehingga hal ini semakin memberatkan si terhukum orang

yang melakukan kejahatan yang bukan dikarenakan bakat-bakat jahatnya. Akan tetapi

oleh karena mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, atau penderitaan,

kemudian melakukan kejahatan setelah pada dirinya di hinggapi pikiran-pikiran yang

melemahkan.

Oleh karena itu timbulah anggapan bahwa penjara itu justru merupakan

“kursus kejahatan” bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat, akan

tetapi perbuatannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidup.

c. Hukuman Kurungan

Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara dengan

perbedaan sebagai berikut:

Pertama: Hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan

hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.

Kedua: Hukuman penjara maksimal 15 tahun yang apabila disertai masalah

masalah tertentu dapat dinaikan menjadi 20 tahun. Sedangkan maksimum hukuman

kurungan satu tahun yang hanya dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika

ada, masalah-masalah yang memberatkan.

Ketiga: Hukuman penjara pelaksanaannya dapat dilaksanakan disemua

tempat. Sedangkan hukuman kurungan hanya dapat dilaksanakan di dalam lingkungan

daerah dimana terhukum bertempat tinggal. Jika terhukum tidak mempunyai tempat

tinggak maka dihukum di dalam di daerah dimana ia berada.

7 Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Erasco, 1989), cet. Ke-

VI, h. 168

Page 49: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

39

d. Hukuman Denda

Hukuman denda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap harta kekayaan

terhukum.

2. Hukuman Tambahan

Sesuai dengan namanya maka pidana ini tidak dapat dijatuhkan tersendiri. Jadi

selalu dijatuhkan bersama-sama pidana pokok.8

Macam-macam hukuman tambahan sebagai berikut:

a. Pencabutan hak-hak tertentu

Jenis hukuman tambahan ini disebut juga erestal, maksudnya hukuman

tambahan ini dijatuhkan terhadap kehormatan atau martabat seseorang.

Adapun hak-hak yang dapat dicabut ini meliputi lapangan hukum tata Negara

dan lapangan hukum perdata. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP (1) yaitu hak-hak

yang dapat dicabut itu adalah:

1) Hak untuk memangku jabatan tertentu;

2) Hak untuk bekerja dalam angkatan perang atau alat kekuasaan lainnya;

3) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) atau Daerah yang diatur menurut undang-undang;

4) Hak untuk menjadi penasihat atau wali terhadap orang yang bukan anaknya

sendiri;

5) Hak untuk melakukan kekuasaan sebagai orang tua wali terhadap

anaknya sendiri;

6) Hak untuk bekerja atau mata pencaharian tertentu. Adapun jangka

waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu

8 Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum, h. 109

Page 50: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

40

tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 KUHP yaitu antara

satu tahun dan seumur hidup.

1) Seumur hidup

Jika hukuman pokok yang dijatuhkan itu adalah hukuman mati atau hukuman

seumur hidup.

2) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih.

Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman

kurungan.

b. Penyitaan terhadap barang-barang tertentu

Hukuman tambahan ini berupa perampasan atau pembinasaan terhadap

barang-barang tertentu. Adapun barang-barang yang dapat dirampas itu adalah barang

yang bersifat:

1. Milik terhukum sendiri, misalnya kepemilikan senjata api dengan tanpa izin;

2. Barang-barang yang diperoleh terhukum dari kejahatan;

3. Barang-barang yang dipergunakan oleh terhukum untuk melakukan kejahatan

dengan sengaja.

c. Pengumuman keputusan hakim

Jika hukuman tambahan ini yaitu mengumumkan keputusan hakim agar

umum mengetahui bahwa terhukum telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.

Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila dinyatakan dengan tegas

dalam perumusan suatu delik. Pengumuman ini dilakukan oleh penuntut umum.

Biasanya dilakukan melalui pers dengan biaya pengumuman menjadi tanggungan

terhukum.

Page 51: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

41

C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif

Tindak pidana yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman

Hindia Belanda sampai sekarang merupakan sesuatu yang dibuat oleh orang yang

menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun

matinya seseorang.

Menurut Moljatno, perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya

bertentangan dengan cara atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu

perbuatan hukum atau melawan hukum.9 Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa

perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua

keadaan konkret. Pertama, adanya jaminan yang tertentu, dan yang kedua adanya

orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.10

Ada dua macam jenis hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP

yaitu:

a. Pidana Pokok, terdiri atas:

1. Pidana Mati;

2. Pidana Penjara;

3. Kurungan;

4. Denda.

b. Pidana Tambahan, terdiri atas:

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman keputusan hakim.11

9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Aneka Cipta, 1993), h. 2

10 Ibid., h. 54

11 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979), edisi

kelima, h. 16

Page 52: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

42

1) Pidana Mati

Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan

menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana

kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.

2) Pidana Penjara

Pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu atau sementara

ditentukan minimum dan maksimum lamanya penjara berjumlah 15

tahun atau 20 tahun untuk batas yang paling akhir.12

3) Hukuman Kurungan

Hukuman kurungan seringan-ringannya yang umum adalah satu hari

dan hukuman seberatnya yang umum adalah 1 tahun dan waktu 1

tahun dapat ditambah paling lama sampai dengan 1 tahun 4 bulan.

4) Hukuman Denda

Hukum denda diancam sering kali sebagai alternatif dengan hukuman

kurang terhadap hampir semua pelanggar hukum dalam buku III

KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan hukuman denda diancam

sebagai alternative dengan hukuman penjara.

5) Pencabutan beberapa hak tertentu

Hukuman ini disebut dalam KUHP pasal 35-38 Pasal 35 (1) hak-hak

terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal

yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang.

Hukum Pidana (KUHP) antara lain:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. Hak memasuki angkatan bersenjata;

12

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1996), cet. Ke-I, h. 173

Page 53: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

43

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum;

d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan

pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas pengampu atau

pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu Ayat (2) hakim tidak

berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam

aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

6) Perampasan barang tertentu Perampasan harus mengenai barang-

barang diatur dalam pasal 39-42 KUHP

7) Pengumuman keputusan hakim

Pidana ini pun hanya dapat dikenakan dalam hal yang ditentukan oleh

undang-undang.

Di dalam KUHP menentukan tindak pidana penistaan agama adalah

kejahatan yang menodai suatu agama yang tercantum dalam pasal 156 a KUHP,

yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang

siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan

perbuatan:

c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

d. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.13

13

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 173

Page 54: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

44

Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada

sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat

rumusan pidana diakhiri dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal

tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga cara dalam perumusan sanksi,

yaitu:

1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga

pada ayat ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung

diikuti dengan suatu sanksi.

2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada

pasal-pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa di

ikuti secara langsung dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.

3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.14

Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap

agama dan kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat dalam UUPNPS dan

KUHP di Indonesia menjadi satu kesatuan. Sebagaimana telah diketahui,

bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila tidak ada sanksi yang

mengaturnya.

Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia maupun dalam

UUPNS, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang bersangkutan.

Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal

rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana.

Sanksi yang diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan

kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat adalah pidana penjara. Tindak

pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan pasal

14

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alumni AHM-

PTHM, 1986), h. 32.

Page 55: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

45

156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun

barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau

penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama

apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan

sistematika KUHP, pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang

kejahatan terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan

merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi

kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan terhadap

kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena

adanya pelanggaran ketertiban umum. Penempatan Pasal 156a sebagai bagian

dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap

ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut (dalam UU No.

1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi

ketenteraman orang-orang yang beragama.

Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan

konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila

pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman orang-orang beragama dan

membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya apabila ketenteraman orang

beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu, maka orang

yang bersangkutan tidak dapat dipidana.

Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan

Page 56: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

46

agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik

pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur

objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan

atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan

kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.

Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang

menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada

diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke

dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan

unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan

dari si pelaku itu harus dilakukan.15

perkembangan delik agama dari masa ke masa. Yang akan dibahas bukan

perkembangan delik agama dalam putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi), tetapi

perkembangan dalam arti perumusannya dalam RUU KUHP Pidana. Seperti diketahui,

penyusunan naskah RUU KUHP sudah dimulai sejak tahun 1977 hingga sekarang ini. Dalam

naskah RUU KUHP sekarang, delik agama telah mengalami perluasan sehingga perlu diatur

tersendiri dalam satu bab di bawah judul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan

Beragama”, yang tercantum pada Bab VII (terdiri dari 8 dan 4 ayat).

Delik agama awalnya dalam masuk dalam KUHP, dan kemudian mempengaruhi

perumusan RUU KUHP Pidana. Yang terutama ingin dilindungi dalam konsep ”delik

terhadap agama” ini adalah kesucian agama itu sendiri. Bukan melindungi kebebasan

beragama para pemeluknya (individu).16

Sebab menurut para perancangnya, agama perlu

dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan

15

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya

Bakti, 1997), h. 193-194. 16

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) h 2

Page 57: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

47

menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya.

Penjelasan RUU KUHP mengenai Penghinaan Agama di yaitu17

:

Pasal 341

Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan

yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori

III.

Sedangkan perbuatan yang menghina keagungan Tuhan (Godslastering), dirumuskan

sebagai berikut:

Pasal 342

Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling

banyak Kategori IV.

Pasal 343

Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama,

rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Begitu juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan seperti menyiarkan,

mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang bermuatan penghinaan atau

penodaan terhadap agama, juga akan dikenakan pidana. Lebih lanjut lihat pasal di kutip di

bawah ini:

Pasal 344

1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan

atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu

rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar

isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh

umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau

pidana denda paling banyak Kategori IV.

2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan

perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum

lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka

17

Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 84

Page 58: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

48

dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.

Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan „penghasutan untuk meniadakan

keyakinan terhadap agama‟, dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 354

Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apupun dengan

maksud meniadakan keyakian terhadap agama yang dianut di Indonesia,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana densa

paling banyak Kategori IV.

Berkaitan dengan „tindak pidana kehidupan beragama dan sarana ibadah‟,

RUU KUHP Pidana merumuskannya dalam pasal-pasal di kutip di bawah ini:

Pasal 346

1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum

membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap

jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau

pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk

menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan

pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal 347

Setiap orang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah

atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling

banyak kategori III.

Pasal 348

Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau

membakar bangunan tempat ibadah atay benda yang dipakai untuk beribadah,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Ketegoti IV.18

18

Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 86

Page 59: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

49

Terlihat dari pemaparan di atas, bahwa perancang RUU KUHP Pidana telah

merumuskan begitu banyak tindak pidana (delik) terhadap agama maupun tindak pidana

(delik) yang berhubungan dengan agama. Meskipun beberapa tindak pidana merupakan

perumusan ulang dari KUHP yang sekarang berlaku, tetapi formulasi yang dihasilkan oleh

perancang RUU masih tetap luas. Apalagi bahasa yang digunakan bersifat subjektif, jauh dari

prinsip “lex certa”. Akibatnya, setiap orang akan dengan mudah dituduh mengejek,

menghasut, menghina dan sebagainya --yang pada gilirannya dapat berbenturan dengan

jaminan konstitusi mengenai kebebasan berpikir dan berekspresi.

Page 60: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

50

BAB IV

PANDANGAN MAQASID SYARIAH DALAM SANKSI PIDANA PENGHINAAN

AGAMA

A. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah

Secara Lughawi (bahasa), Maqāşid al-Syarī‟ah terdiri dari dua kata, yakni

Maqāşid dan Syarī‟ah. Maqāşid adalah bentuk jama‟ dari maqsuudu yang berarti

kesengajaan atau tujuan. Syari‟ah berarti secara bahasa jalan menuju sumber air. Jalan

menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok

kehidupan. 1

Makna Maqāşid al-Syarī‟ah menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The holly Quran,

Syari‟ah adalah segala apa yang digunakan atau ditetapkan oleh Allah swt dalam agama

untuk pengaturan hidup hamba-hambaNya2. Akhmad al-Raisuni dalam Nazhariyat al-

Maqashid „Inda al-Syatibi, dari segi bahasa Maqāşid al- Syarī‟at berarti maksud atau

tujuan disyari‟atkan hukum Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya

adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.3 Kandungan

Maqāşid al-Syarī‟ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.4

Kemaslahatan itu, melalui analisis Maqāşid al-Syarī‟ah tidak hanya dilihat dalam arti

teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat

sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan

1Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep ke

pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 178-179 2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h

61 3 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h 123

4 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h

64

Page 61: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

51

Tuhan terhadap manusia.5 Dengan demikian Maqāşid al-Syarī‟ah dapat dimaknai dengan

“ tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan syari‟at Islam”. Yang tiada lain selain

untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan manusia itu sendiri, baik

di dunia maupun di akhirat.6

Dasar dari Maqasid Syariah adalah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-

Jatsiyah, ayat 18, yang berbunyi:

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari

urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu

orang-orang yang tidak Mengetahui”. (QS. Al-Jatsiyah, ayat 18)

Dalam QS. Al-Syuraa, ayat 13 juga di tegaskan:

Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-

Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah

kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah

kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang

kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-

Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

(QS. Al-Syuraa, ayat 13)

5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari’ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h 65

6 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h 233

Page 62: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

52

Maqasid Syariah adalah suatu konsep yang menekankan tujuan penetapan hukum

islam dalam upaya memelihara kemaslahatan hidup manusia, dengan tujuan

mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan diri dari bahaya. Ibnu al-Qayyim al-

jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M) mengatakan bahwa sesungguhnya prinsip-prinsip

dan dasar pendapatan hukum islam adalah demi kemaslahatan hamba di dunia dan di

akhirat. Menurutnya, hukum islam itu semuanya adil, membawa rahmat, mengandung

maslahat dan membawa hikmah. Imam al-Ghazali (450-505 H) berpendapat, bahwa

maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari memperoleh manfaat dan menolak

mudharat. Ungkapan tersebut dikategorikan sebagai kaidah yang paling luas, ruang

lingkup dan cakupannya.7

Para ulama mengemukakan, bahwa ada tiga macam tujuan syarī‟ah atau tingkatan

Maqāşid yaitu :

1. Pertama, Maqāşid al-dharuriyat, Imam Juwayniy telah mengemukakan, yang

kemudian dikembangkan oleh Al-Ghozali dan asy-Syatibi untuk memelihara al-

Umurdh-dharuriyah dalam kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang menjadi sendi

eksistensi kehidupan manusia yang harus ada kemaslahatan pada mereka. Yaitu

semua syariat yang tercakup dalam lima hal, al-kulliyyat alkhams.8

Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurdh-dharuriyah Yaitu :

a Hifz al-din (perlindungan terhadap agama) Untuk menegakkan agama. Islam

mewajibkan iman, terutama rukun iman yang enam dan mensyariatkan hukum-hukum

yang berkaitan dengan rukun Islam yang lima.

7 Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqasid Syariah menurut Imam Al-Syahibi, h. 61-62

8 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h XV

Page 63: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

53

b Hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa) Untuk memelihara jiwa, Islam

memerintahkan makan dan minum, memakai pakaian dan bertempat tinggal sekedar

cukup untuk memelihara dari kebinasaan. Begitu pula Islam mensyariatkan hukum

qishash, diyat, dan kifarat bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan, dan

menyiksa tubuh. Kesemuanya adalah untuk menghindarkan kemudharatan yang

mengancam jiwa.

c Hifz al-„aql (perlindungan terhadap akal) Untuk memelihara akal, Islam

mengharamkan khamar dan segala Jenis makanan dan minum yang memabukan karena

merusak akal, serta memberikan hukuman kepada peminum khamar. Islam juga

Menjamin kreatifitas berfikir dan mengeluarkan pendapat

d Hifz al-mal (perlindungan terhadap harta benda) Untuk memelihara harta, Islam

mengharamkan mencuri, menipu, menjalankan dan memakan riba, merusak harta baik

milik sendiri maupun milik orang lain. Untuk memperoleh harta disyaratkan usahausaha

yang halal, seprti bertani, berdagang, mengelola industri, dan lain sebagainya.

e Hifz al-nasl wa al-„ird (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan)

Untuk memelihara kehormatan/keturunan, Islam mensyariatkan hukuman badan (had)

bagi orang yang berzina dan orang yang menuduh orang baik-baik berbuat zina. Untuk

memelihara keturunan, Islam mensyaratkan hukum perkawinan agar manusia

berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Islam juga melarang menghina

dan melecehkan orang lain di hadapan umum Islam menjamin kehormatan manusia

dengan memberikan perhatian yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk

memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Islam juga memberikan perlindungan

Page 64: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

54

melalui pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu domba, memata-matai,

mengumpat, dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga

perlindunganperlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan

manusia.9

2. Kedua. Maqāşid al- hajiat Untuk memenuhi dalam kehidupan manusia untuk

menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Sesuatu yang

dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan

jika tidak ada akan akan terjadi ketidak sempurnaan.

Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurul-hajiat Yaitu :

Prinsip utama dalam mewujudkan hal-hal yang hajiyat ini adalah untuk

menghilangkan kesulitan, meringankan beban dan memudahkan manusia bermuamalat

dan tukar menukar manfaat.10

Dalam bidang ibadat, Islam memberikan rukhsah dan keringanan bila

menjalankan kewajiban. Misalnya di bolehkan seseorang tidak puasa pada bulan

ramadhan, karena ia sakit atau dalam perjalanan; diperbolehkan mengqasar sholat yang

empat rakaat bagi orang yang sedang dalam perjalanan; diperbolehkan tayamum bagi

orang yang tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya, dibolehkan shalat

sambil duduk bagi orang yang tidak sanggup melaksanakannya sambil berdiri, serta

diperbolehkannya mengeluarkan pendapat atas kejadian yang menimpanya demi

kebaikan semua orang dan lain sebagainya.

9 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h 131

10 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi usul al-syari’ah II, h 8-9

Page 65: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

55

3. Ketiga. Maqāşid al- Tahsiniyat yaitu tindakan dan sifat yang harus dijahui oleh

akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh

kepribadian yang kuat.11

Hukum-hukum untuk mewujudkan Tahsiniyat yaitu :

Hal-hal yang tahsini bagi manusia pada hakikatnya kembali kepada prinsip

memperbaiki keadaan manusia menjadi sesuatu dengan muru‟ah (hakikat diri) dan akhlak

yang mulia.

Dalam bidang ibadat misalnya, disyariatkan berhias dan berpakaian bersih serta

bagus ketika pergi ke mesjid, menjalankan amalan-amalan sunat, bersedekah, yang

kesemuanya itu untuk membiasakan manusia dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik

B. Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan

Dilihat Dari Sejarah Munlculnya Teori Maqashid Al-Syari‟ah kebanyakan karya

yang membahasnya hanya terjebak pada kajian tokoh. Kalupun dilihat secara umum teori

Maqashid al-Syari‟ah hanya terhenti pada al-Syatibi sebagai tokoh terakhirnya. Karena

itulah perjalanan Maqashid al-Syari‟ah dari konsep nilai ke pendekatan tidak tergambar

secara utuh sebagai suatu perkembangan yang berkelanjutan, karena perkembanganya

sebagai pendekatan baru menjadi gambaran yang lebih jelas pasca al-Syatibi. Ahmad al-

Raysuni menyediakan data kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan

Maqashid al-Syari‟ah sampai pada massa pasca al-Syatibi, yakni sampai pada

kemunculan Tahir Ibn-Asyur.12

11

M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h 95 12

Gamal al-Banna, Ushul al-Syari‟ah (Kairo: dar al-Fikr al-Islami, 2006 ) h. 22

Page 66: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

56

Menurut Jaser Auda yang telah dikutip dalam Bukunya Ahmad Imam Mawardi,

ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-Syatibi dalam mereformasi maqashid al-

Syari‟ah. Pertama, Pergeseran Maqashid al-syari‟ah dari kepentingan yang tidak terbatasi

dengan jelas ke poin inti dasar hukum. Maqashid al-Syari‟ah yang pada masa-masa

sebelumnya dianggap sebagai bagian yang tidak jelas dan tidak dianggap sebagai sesuatu

yang fundamental dibantah oleh al-Syatibi dengan pernyataan bahwa justru Maqashid al-

syari‟ah merupakan landasan dasar Agama, hukum dan keimanan (ushul al-din, wa

qawa‟id al-syrai‟ah wa qulliyah al-millah) kedua, pergeseran dari kebijakan atau hikmah

di balik aturan hukum, menurutnya Maqashid al-Syari‟ah itu bersifat fundamental dan

universal (Kulliyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh yang Juziyah (parsial).

Pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional. Ketiga, pergeseran

dari Dhoniyyah ke Qothiyyah. Baginya proses induktif yang digunakan dalam aplikasi

Maqashid al-Syari‟ah adalah Valid dan bersifat Qath‟I (Pasti), sebuah kesimpulan yang

menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang menentang metode

induktif.

Dari pendapat ini jelas bahwa apa yang di sampaikan oleh al-syatibi dalam rangka

mulai menggeser Maqashid al-Syari‟ah dari konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi

sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis.13

Al-Raysuni menyimpulkan bahwa sepanjang perkembangan Ushul Fiqh,

maqashid al-syari‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh sentral, yaitu

Imam al-Haramain Abu al-Ma‟ali Abd Allah al- Juwayni, Abu Ishaq al-Syatibi, dan

Muhammad al-Thahir ibn Asyur.

13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep

ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 194.

Page 67: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

57

Ketiga tokoh besar dalam pemikiran Maqashid al-Syari‟ah ini tentu juga tidak

meninggalalkan peran tokoh-toko yang lain seperti al-Ghozzali, al- Tuffi, al-Amidi dan

lani sebagainya. Yang mempertegas dan mengawali konsepsi maqashid al-Syari‟ah,

Namun ketiga tokoh tersebut menjadi tonggak penting dan era penting di mana Maqashid

al-Syari‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran makna.

Peta sejarah perkembangan Maqashid al-Syari‟ah yang dikemukakan oleh al-

Raysuni, yang menekankan kategorisasinya pada tokoh, Muhammad Husyn dalam

disertasinya memetakanya dengan kategorisasi perkembangan pemikiranya. Menurutnya

perkembangan Maqashid al-syari‟ah dapat dibagi menjadi tiga (3) era: era pertumbuhan

(Nash‟ah al-Fiqr al-Maqashidi) dari mulai tahun 320 H sampai dengan 403 H; dan era

kemunculan (Zuhur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai tahun 478 H sampai dengan tahun 771

H; dan era perkembangan (Tathawur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai dari tahun 771 H

sampai dengan tahun 790 H. Dan dari tahun 790 sesudah berakhirnya al-Syatibi

diteruskan dengan metode Maqashid al-Syariah Tahir ibn Asyur pada tahun 1379 H

sampai dengan sekarang.

Pasca Ibn Asyur hingga saat ini, Maqashid al-Syari‟ah menapaki jalan menuju

puncak kejayaan, dengan indikator utama dijadikanya Maqashid al-Syari‟ah sebagai

rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagian besar persoalan kontemporer,

terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan sosial, politik dan

ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global) dalam upaya

merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menjadi saksi

Page 68: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

58

semakin meningkatnya perhatian ulama dunia dan cendikiawan muslim terhadap

Maqashid al-Syariah.14

C. Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah

Dalam pembahasan ini mungkinkah pelaku penghinaan agama dapat disamakan

hukumannya dengan orang yang murtad, karena adanya unsur kesengajaan (berniat)

melawan hukum Islam. Jika dilihat secara seksama, seandainya seseorang telah secara

nyata mengakui dari pernyataan-pernyataan, tulisan-tulisan, yang telah diedarkan

diberbagai media elektronik (khalayak ramai atau sembunyi-sembunyi) bahwa ia telah

menerima wahyu dari tuhan dan mengaku sebagai nabi atau mengakui dirinya adalah

jelmaan Jibril atau melanggar dasar akidah Islam, serta tidak mengakui hukum-hukum

syariat seperti akan kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya maka ia telah dianggap

menyelewengkan agama.

Karena unsur yang dianggap adalah unsur yang dapat membuat seseorang

dianggap telah murtad karena melakukannya, maka dengan demikian hukuman yang

berlaku adalah hukuman murtad. Para ulama berbeda pendapat, hukuman mati dalam

hukum Islam termasuk dalam hukuman hudud. Apa akibat dari kemurtadan itu?.

Bagaimana jika ia insyaf dan kembali masuk Islam?Amalnya tidak dihapus dan taubatnya

diterima Allah SWT (itu pendapat ulama mazhab Syafi‟i). Ulama mazhab Maliki dan

Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang murtad kemudian insyaf, maka amalan apa saja

yang pernah dilakukan batal, terhapus dan sia-sia. Abu Hanifah berpendapat bahwa

hukuman mati tidak diberlakukan bagi seorang murtad wanita, tetapi ia harus dipaksa

kembali kepada Islam, pendapat ini menyamakan dengan kafir harbi. Paksaan ini dengan

14 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep

ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 198-199.

Page 69: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

59

cara menahan dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk

kembali ke agama Islam.15

Begitu juga Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Ali Mustofa Yakub

memfatwakan bahwa jika seseorang itu mau bertaubat maka berarti ia kembali kedalam

Islam, ttetapi jika ia tidak mau maka hukumannya murtad dan hukum bagi murtad adalah

hukuman mati.16

Sedangkan mazhab yang lain berbeda pendapat dengan imam Abu Hanifah,

mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki atau perempuan

yang murtad itu dihukum mati.17

Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa

memang tidak mengikat, statusnya sama dengan ijtihad individual, ia hanya mengikat

bagi yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada

dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum

pada umumnya.

Sedangkan persoalan eksekusi menurut Didin Hafiduddin, yang mengikuti sidang

komisi fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa . Misalnya mereka yang berstatus nurtad

dan sesat mau diapakan? Di usir atau di bubarkan?. Keputusan fatwa itu tidak

eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan. Peran-peran fatwa adalah memberikan

pendapat hukum, eksekusi ditangan pemerintah.18

Jika memang Al-Qur‟an bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku

penistaan agama, dan beberapa hadis yang digunakan sebagai dasar pidananya riddah

adalah shahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di

15

Alaudin Al-Kasani, Bad‟I As-Sana‟I fi tarbisy Syara‟I, jilid VII, h. 135 16

Ali Mustofa Yakub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 26 17

Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni „alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th), jilid 1, h.

74 18

Dawan Rahardjo, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus 2005, no. 38

Page 70: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

60

Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nas al-Qur‟an dan

Hadisnya. Sebagai contoh Umar bin Khatab sahabat Nabi yang menjadi Khalifah Nabi

yang kedua pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas al-

Qur‟an dan Hadis telah menyebutkan secara jelas, diantaranya mengenai tanah rampasan

perang, dera bagi minuman keras, hukuman bagi pencuri.

Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian hukum syara' terhadap larangan

lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperitah oleh Allah SWT, yaitu

menjauhi segala ancaman yang dapat merusak akidah kita sehinga menimbulkan

perpecahan antara umat Islam sendiri.19

Dari penjelasan diatas bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku

penghinaan agama itu pada dasarnya disamakan dengan hukuman murtad, hukumannya

adalah hukuman mati. Jadi sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penghinaan

agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang

murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak

mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau

menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).

Kejahatan atau tindak pidana dalam islam merupakan larangan-larangan syariat

yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fiqh telah mendefinisikan

jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan

ancaman hukuman hadd atau ta‟zir, sedangkan jinayah yaitu hasil perbuatan seseorang

yang dibataskan pada perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang merugikan jiwa dan harta

dll.

19

Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.39

Page 71: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

61

Larangan-larangan hukum artinya melakukan perbuatan hukum yang dilarang

atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan. Hukum dalam sitem hukum apapun

bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam kehidupan

bermasyarakat, tidak terkecuali hukum islam.

Tujuan hukum islam sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah

mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan hidup yang hakiki bagi manusia, baik secara

individual maupun sosial. Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan

pemahaman ulama‟ saat itu atas dasar nash yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun

hadits untuk mengatur kehidupan manusia.20

Prinsip ini menjadi rujukan dalam penetapan dan penerapan hukum islam dalam

menangani kasus aliran sesat dan penghinaan agama. Menurut Abdul Wahab Khallaf

dalam Ilmu Ushul al- Fiqh-nya menjelaskan bahwa produk hukum apa pun dalam islam

harus mempertimbangkan unsur maslahat yang tercakup dalam al-dharuriyat alkhamsah

yang terdiri dari hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-„aql (menjaga akal), hifdz al-din

(menjaga Agama), hifdz al-mal (menjaga harta) dan hifdz al-nasl (menjaga keturunan).21

Dalam fiqh jiyasah, al-Qur‟an merupakan sumber hukum islam yang pertama

yang dijadikan dasar pijakan terhadap segala hal yang dihadapi oleh umat islam.

Sedangkan hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur‟an, hadits

berfungsi sebagai penjelas, mengurai pandangan atau konsep al-Qur‟an dan sebagai

praktek amaliah dari al-Qur‟an.

20 Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 6. 21

Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Da‟wah Islamiyah al-Azhar, tt), h. 200.

Page 72: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

62

Di samping al-Qur‟an dan hadits, ada juga sumber lain yaitu ijma‟ dan qiyas,

kedua sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang menjadi pegangan mayoritas

umat islam.22

Permasalahan mengenai tindak pidana penghinaan agama maupun kehidupan

beragama, secara otomatis menyeret agama itu sendiri untuk turut serta

menyelesaikannya. Ketika negara menjadi pelindung agama islam, maka konsekwensinya

adalah setiap ancaman terhadap negara adalah juga dianggap sebagai ancaman terhadap

agama. Ini merupakan perlawanan islam bagi pelaku tindak pidana penghinaan terhadap

agama sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Hal tersebut berdasarkan pada Qs. At-

Taubah ayat 12:

Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka

mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,

karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)

janjinya, agar supaya mereka berhenti. (QS. At-Taubah ayat 12)

Dalam rangka melindungi keutuhan serta kereligiusan agama yang bersangkutan

dengan tindak pidana penghinaan agama dan kehidupan beragama, sudah terendus sejak

lama. Di antara kriteria yang sangat menonjol adalah pengakuan menjadi Nabi, menerima

wahyu, dan kedatangan Malaikat Jibril. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pernah

terdapat seorang yang mengaku Nabi dihukum bunuh. Musailamatul Kazzab dan al-

Aswad al-'Insi dihukum bunuh karena keyakinan sesat, mereka mengaku sebagai Nabi.

22

Yusuf al-Qardowi, Membumikan Syariat Islam, (terj, Muhammad Zaki, dkk), h. 53.

Page 73: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

63

Di dalam al-Qur‟an larangan menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT

berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 57:

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya[1231]. Allah

akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang

menghinakan.(QS al-Ahzab ayat 57)23

Dengan demikian, maka pelanggaran bagi tindak pidana penghinaan agama dapat

dikenakan hukuman. Dalam hukum islam sering disebut dengan jarimah, yaitu larangan

syara‟ yang diancam dengan hukuman hadd maupun ta‟zir. Hadd sendiri merupakan

sanksi hukum yang sudah jelas tertera dalam nash al-Qur‟an maupun hadits. Sedangkan

ta‟zir ialah sanksi hukum yang tidak dijelaskan dalam nash al-Qur‟an maupun hadits,

hanya dibebankan pada kearifan seorang hakim.

23

Departemen Agama RI. al‟Qur‟an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung: 2004.

Page 74: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

64

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari pembahasan Penelitian ini adalah

1. Sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku Penghinaan Agama menurut hukum

positif yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHP yaitu pasal 156a dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka

umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang

dianut di Indonesia dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Mengenai Pandangan Maqasid Syariah dengan sanksi tindak pidana penghinaan

agama, menurut hemat penulis sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana penghinaan

agama sudah mengakomodir kepentingan hukum islam. Artinya ketentuan-ketentuan

sanksi yang tercantum dalam undang-undang mengenai tindak pidana penghinaan

agama, tindak bertentangan dengan hukum islam. Sebagaimana bunyi konsideran

Menimbang dalam UU tersebut.

Page 75: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

65

B. Saran

Agar tidak muncul lagi aliran atau paham sesat yang lainnya dan membuat kasus

penghinaan agama di Indonesia semakin meluas, saran saya:

1. Kepada pemerintah agar memberi hukuman yang setimpal sesuai aturan yang

ada agar para pelaku penistaan agama tidak mengulanginya lagi dan tidak ada

lagi aliran-aliran sesat seperti yang sudah ada sekarang. Juga harus

diperhatikan pemahaman ajaran agama yang benar, maksudnya pemahaman

ajaran agama Islam secara benar adalah pemahaman ajaran sebagaimana yang

telah diajarkan Rasulullah SAW. Sejalan dengan tata cara pemahaman nash

yang telah Rasulullah SAW sampaikan kepada para sahabat, dan kemudian

diformulasikan oleh para imam Mazhab dalam bentuk metodologi dalam

pengambilan hukum Islam.

2. Untuk masyarakat umum khususnya umat Islam harus mengikuti apa-apa

yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dan memahaminya

sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Mengikuti apa-apa yang telah

disampaikan oleh Rasulullah SAW artinya adalah berpegang teguh kepada Al

Quran dan Sunnah. Kemudian peningkatan iman dan ketakwaan di dalam

masyarakat untuk berpeganglah pada tali agama dan hukum yang berlaku di

Indonesia, serta kenali berbagai fenomena yang sekarang begitu merebak di

seluruh media informasi baik cetak, visual ataupun audio visual.

Page 76: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

66

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an Al-Karim

Abdullah Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni „alâ Mukhtasar Al-kharoqy, al-Manar, t. Th.

Ali Zainudin, M.A. Metode penelitian hukum. Palu: Sinar grafika, 2009.

Al-Munawar Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004.

Al-Qardowi Yusuf, Membumikan Syariat Islam, terj, Muhammad Zaki, dkk.

Aminah Siti dan Sihombing Parulian Uli, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama

Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil Uu

Penodaan Agama, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center ILRC, 2011.

Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 1996

Bryan A. Gamer Edition in Chief, Black‟s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson

Reuters, St. Paul, 2009

Endri, Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kejahatan Delik Agama, Semarang: Jurnal

Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

Gamal al-Banna, Ushul al-Syari‟ah Kairo: dar al-Fikr al-Islami, 2006.

Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,

2002

Kertanegara Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa

Lamintang P.A.F, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum

Negara, Bandung:CV. Armico, 1986

Lamintang P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : CV. Armico, 1984

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya

Bakti, 1997.

Mawardi Ahmad Imam, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah

dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta:Lkis, 2010.

Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Aneka Cipta, 1993

Mudjib Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia,

2001.

Mustofa Yakub Ali, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2007

Page 77: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

67

Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2010.

Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996.

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Prodjodikoro Wirjono, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta:

PT.Refika Aditama.

Qadir Audah, Abdul. Al-Tasyri‟al Jina‟iy al-Islami, Beirut: Muasasah al - Risalah, 1992.

R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979

Rahardjo Dawan, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus

2005, no. 38

Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah” Mahkamah

Konstitusi RI Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012

S. Pradja Juhaya dan Syihabudin Ahmad, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia,

Bandung: Angkasa, 1993

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni

AHM-PTHM, 1986

Seno Adji Oemar, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1981

Sianturi S.R., Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya Jakarta : Alumni

AHM-PTHM, 1986

Soekanto Soerjono, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, Jakarta: Rajawali Pers

Soeprapto Hartono Hadi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, Jakarta: WIPRES, 2007

Solehuddin M , sistem sanksi dalam hukum pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003.

Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1990

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hukum UNDIP, 1990

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981.

Tim Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang

Undang Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan

Agama Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta.

Wahab Khallaf Abdul, „Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Da‟wah Islamiyah al-Azhar.

Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta:

Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2006.

Page 78: Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif

68

Sumber dari Artikel, Internet, dan Undang-undang

Departemen Agama RI. al‟Qur‟an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung: 2004.

http://www.hukumonline.com/artikel

http://www.merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy

http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy

http://www.wawasandigital.com

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pengujian Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dan undang-

undang nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau

penodaan agama terhadap undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945) dalam putusan nomor 84/PUU-X/2012.

Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945