22
38 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59 RIBA MENURUT PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB (Tela’ah Illat Hukum Larangan Riba Dalam Al-Qur’an) Harun Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta ABSTRAK Kontroversi seputar hukum bunga dan pembahasan riba telah menjadi perdebatan yang cukup lama. Masalah hukum bunga Bank sampai sekarang masih menjadi perselisihan para Ulama, meskipun sudah ada fatwa dari Majlis Ulama dan Majlis tarjih Muhammadiyah tentang haramnya bunga Bank. Perbedaan ulama dalam merumuskan hukum bunga Bank, lebih mengarah pada perbedaan memahami illat hukum larangan riba. Berdasarkan perspektif diatas, tujuan penelitian ini untuk mengetahui latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turunya ayat riba, dan apa yang menjadi illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an menurut pemikiran Muhammad Quraish Shihab. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka dengan menggunakan pendekatan sosiologis historis . Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan analisa datanya secara kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa (1) Latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turun ayat larangan riba dalam al-Qur’an adalah kebiasaan prilaku orang-orang jahiliyyah yang melipatgandakan pengembalian dari pokok hutang yang dipinjamkan kepada debitor yang sangat membutuhkan. (2) Illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an adalah bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutang tetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan (zhulm). (3) Ciri perbedaan pemikiran ahli Fiqh dengan M.Quraish Shihab dalam merumuskan illat hukum larangan riba terletak pada perbedaan di dalam memahami teks (nash) al-Qur’an dan al Hadits tentang riba. Pendekatan Ahli fiqh lebih condong pada makna tekstual ayat ataupun hadits, sehingga setiap bentuk

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

38 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

RIBA MENURUT PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB(Tela’ah Illat Hukum Larangan Riba Dalam Al-Qur’an)

HarunDosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAKKontroversi seputar hukum bunga dan pembahasan riba telahmenjadi perdebatan yang cukup lama. Masalah hukum bungaBank sampai sekarang masih menjadi perselisihan para Ulama,meskipun sudah ada fatwa dari Majlis Ulama dan Majlis tarjihMuhammadiyah tentang haramnya bunga Bank.Perbedaan ulama dalam merumuskan hukum bunga Bank, lebihmengarah pada perbedaan memahami illat hukum laranganriba. Berdasarkan perspektif diatas, tujuan penelitian ini untukmengetahui latar belakang sosiologis yang menjadi sebabturunya ayat riba, dan apa yang menjadi illat hukum laranganriba dalam al-Qur’an menurut pemikiran Muhammad QuraishShihab.Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka denganmenggunakan pendekatan sosiologis historis . Sifat penelitianini adalah deskriptif analisis dengan analisa datanya secarakualitatif.Hasil penelitian ditemukan bahwa (1) Latar belakangsosiologis yang menjadi sebab turun ayat larangan riba dalamal-Qur’an adalah kebiasaan prilaku orang-orang jahiliyyahyang melipatgandakan pengembalian dari pokok hutangyang dipinjamkan kepada debitor yang sangat membutuhkan.(2) Illat hukum larangan riba dalam al-Qur’an adalahbukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah hutangtetapi kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang yangmengandung unsur penganiayaan dan penindasan (zhulm). (3)Ciri perbedaan pemikiran ahli Fiqh dengan M.Quraish Shihabdalam merumuskan illat hukum larangan riba terletak padaperbedaan di dalam memahami teks (nash) al-Qur’an dan alHadits tentang riba. Pendekatan Ahli fi qh lebih condong padamakna tekstual ayat ataupun hadits, sehingga setiap bentuk

Page 2: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

39Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

kelebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan.Sementara pendekatan M.Quraish Shihab lebih menekankanpada pemahaman makna subtansi (kontekstual) dari ayatataupun hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlahhutang dinamakan riba, tetapi kelebihan yang terdapat unsurpenganiayaan dan penindasan.

Kata Kunci : Illat Hukum, Riba, zhulm

PENDAHULUANKontroversi seputar hukum

bunga dan pembahasan ribatelah menjadi perdebatan yangcukup lama. Perdebatan dalammerumuskan seputar hukum bungadan riba tersebut, lebih mengarahpada perbedaan dalam memahamiillat hukum larangan riba. Sebagianulama fiqh klasik menggunakanpendekatan fiqhiyyah (tekstualis-formalis), sehingga segala bentukkelebihan dari pokok hutangdikatakan sebagai riba yangdiharamkan. Sementara ulamafiqh kontemporer menggunakanpendekatan makna subtansi,sehingga tidak setiap kelebihan daripokok hutang itu menjadi riba

Perbedaan pendapat ulamaseputar riba yang terjadi sekarangini dapat dimaklumi, karena wahyumengenai riba yang terakhirturun kepada Rasulullah saw.beberapa waktu sebelum beliauwafat, sampai-sampai Umar binKhaththab r.a. sangat mendambakankejelasan masalah riba ini. Beliauberkata: “Sesungguhnya termasuk

dalam bagian akhir al-Qur’anyang turun, adalah ayat-ayat riba”.Rasulullah wafat sebelum beliaumenjelaskannya (M. QuraisyShibah, 1992: 258).

Dalam pembahasan ulama fiqhklasik tidak dijumpai pembahasantentang kaitan bunga bank denganriba, karena sistem perekonomiandengan menggunakan model bankbelum dikenal di zaman mereka.Pembahasan tentang bunga bank,apakah termasuk riba atau tidak, baruditemukan dalam berbagai literaturfiqh kontemporer. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqh Syria, membahashukum bunga bank melalui kacamatariba dalam terminologi ulama-ulamaklasik dalam berbagai madzhab fiqh.Menurutnya, apabila standar ribayang digunakan adalah pandanganulama madzhab fiqh klasik, makabunga bank sekarang ini termasukriba yang diharamkan syara’, karenamenurut mereka, bunga bank itutermasuk kelebihan uang tanpaimbalan dari pihak penerima denganmenggunakan tenggang waktu(ini yang dinamakan riba nasi’ah)

Page 3: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

40 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

(Wahbah Az-Zuhaili, 1997: 682).Pembahasanribayangdilakukanolehsebuah lembaga Majma’al-Buhutsal-Islamiyah di Kairo, menurutlembaga ini, sekalipun mengakuibahwa sistem perekonomian suatunegara tidak bisa maju tanpa bankdan bank belum dikenal di masarasulullah saw., namun karena sifatbunga itu merupakan kelebihandari pokok hutang yang tidak adaimbalan bagi orang berpihutangdan sering menjurus kepada sifatadh’afan mudha’afatan (berlipatganda) apabila hutang tidak dibayartepat waktu, maka lembaga ini punmenetapkan bahwa bunga banktermasuk riba yang diharamkansyara’ (Nasrun Haroen, 1995: 188).

Ijtihad baru (qaul al-jadid)Muhammadiyah baru-baru inimengeluarkan fatwa mengharamkanbunga bank, karena dipandangbunga bank sama dengan ribayang dilarang oleh syara’ (HarianRepublika, 23 Agustus 2006).Ahmad Hasan memandang bungadan riba pada hakekatnya samayaitu tambahan pinjaman atas uang,yang dikenal dengan riba nasi’ah.Perbedaan keduanya adalah sifatbunganya yang berlipat ganda tanpabatas. Oleh karena itu, menurutnyatidak semua riba itu dilarang, jikariba itu diartikan sebagai tambahanatas hutang, lebih dari pokok yangtidak ada unsure yang berlipatganda adalah halal, bila tambahanitu mengandung unsure eksploitasi

atau berlipat ganda, adalah ribayang dilarang agama (Muslimin,2005: 83). Mohammad Hatta dalambuku “Islam dan Rente: BeberapaPasal Ekonomi Jalan ke Ekonomidan Bank”, menjelaskan perbedaanantara riba dan rente. Riba adalahkelebihan dari pinjaman yangbersifat konsumtif, sementara bungaatau rente adalah balas jasa ataspinjaman yang digunakan untukkepentingan yang bersifat produktif(Muslimin, 2005: 82).

Dalam penelitian ini akanmembahas masalah riba menurutpemikiran M. Quraish Shihabdengan melihat dari sudut pandangstudi al-Qur’an (Tafsir) denganmenela’ah latar belakang sosiologisyang menjadi sebab ayat riba ituturun, dan apa yang menjadi illathukum larangan riba dalam al-Qur’an.

Berangkat dari latar belakangmasalah (fenomena) diatas, makayang menjadi masalah dalampenelitian ini adalah: (1). Apa yangmenjadi latar belakang sosiologissebab turun ayat riba (Asbabul Nuzulayat riba?. (2). Apa yang menjadiillat hukum larangan riba dalamal-Qur’an?. (3). Apa yang menjadiciri perbedaan pemikiran QuraishShihab dengan Ahli fiqh dalammerumuskan illat hukum laranganriba?.

Penelitian ini bertujuan untukmengetahui dan memahami: (1).Latar belakang sosiologis yang

Page 4: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

41Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

menjadi sebab turun ayat riba. (2).Illat Hukum Larangan Riba dalamal-Qur’an. (3). Ciri perbedaanpemikiran Quraish Shihab denganAhli fiqh dalam merumuskan illathukum larangan riba. Manfaatpenelitian ini sebagai berikut:(1), Penelitian ini diharapkandapat menjadi masukan bagiperkembangan ilmu pengetahuan,khususnya di bidang hukum Islam.(2). Sebagai tambahan informasiuntuk kajian hukum Islam padaperguruan tinggi

TINJAUAN PUSTAKAKarya-karya ilmiyah yang

berkaitan dengan pemikiran-pemikiran hukum Islam, khususnyatentang riba sudah banyak dilakukanoleh kalangan ahli hukum Islam,antara lain seperti Yusuf al-Qardzawi, “Bunga Bank Haram”.Abul A’la Al-Maududi, “Riba”.Muhammad Syafi’i Antonio, “BankSyari’ah dari Teori ke Praktek”.Adi Warman Karim, “Bank IslamAnalisis Fiqh dan Keuangan”.Muhammad Zuhri, “Riba dalamAl-Qur’an dan Masalah PerbankanSebuah Tilikan Antisipasi”. SyabirinHarahap, “Bunga Bank dan Ribadalam Islam”. Fuad MuhammadFahruddin, “Riba dalam Bank,Koperasi, Perseroan dan Asuransi”.

Inti pembahasan dari buku-buku tersebut berkisar seputarkontroversi mengenai hukum bungabank, termasuk kategori riba atautidak. Perbedaan pandangan seputar

hukum bunga bank disebabkankarena perbedaan dalam memahamidan menafsirkan Illat hukumlarangan riba. Bagi Ulama yangmelihat illat larangan riba bukansemata-mata ada tambahan dalampokok hutang, tetapi karena dalamriba itu ada unsur mengeksploitasidari yang kuat terhadap yanglemah (dzulm) sebagaimana padaakhir ayat riba disebutkan : kamutidak (jangan) menganiaya dantidak (pula) dianiaya, maka sistembunga dalam perbankkan nasionalbukanlah termasuk riba. Sementarabagi ulama yang memandang bahwariba adalah setiap tambahan ataurente (bunga) atau apapun namanyayang muncul akibat dari pinjammeminjam uang sebagaimanaketentuan nash al-Qur’an (QS.an-Nisa’, 4; 161, Ali Imron, 3; 130,al-Baqarah, 2; 275, 278-279), makabunga bank dalam perekonomiansekarang ini dipandang sebagai riba(haram).

Dalam penelitian ini akanmelihat analisis dari seorang pakarilmu tafsir di dalam merumuskanhakekat riba atau apa yangdimaksudkan oleh al-Qur’an denganriba yang diharamkan itu. Paradigmayang digunakan M. Quraish Shihabdalam merumuskan riba melaluipendekatan studi al-qur’an (tafsir)dengan melihat latar belakangsosiologis yang menjadi sebab ayatriba itu turun dan apa yang menjadiillat hukum larangan riba dalam al-Qur’an.

Page 5: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

42 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

METODE PENELITIANPenelitianinitermasukpenelitian

kepustakaan, artinya data dan bahankajian yang dipergunakan berasaldari sumber-sumber kepustakaan,seperti buku (kitab) tafsir dan buku-buku fiqh yang membahas masalahriba. Sumber data primer dalampenelitian ini adalah karya ilmiyahyang berkaitan dengan masalah riba,yaitu karya M. Quraish Shihab Tafsiral Misbah, Membumikan Al-Qur’an.dan Wawasan al-Qur’an. Sebagaisumber data sekunder adalah sumberkepustakaan yang berkaitan denganpembahasan riba seperti tafsir Al-Manar, tafsir at-Thobari, al-Maraghidan buku-buku fiqh muamalah atauekonomi Islam. Metode pendekatanyang dipakai dalam penelitianini adalah pendekatan sosiologisyuridis.

Pendekatan sosiologis yuridisdigunakan untuk melihat latarbelakang sosiologis yang menjadisebabayat laranganriba itu turunataudalam bahasa tafsir adalah asbabulnuzul ayat riba. Sifat dari penelitianini adalah deskriptif analitis, yaituberusaha memaparkan fenomenahukum yang terjadi apa adanya,kemudian menarik pemahaman ataukesimpulan berdasarkan penilaianterhadap fenomena tersebut.Metodeanalisa data yang digunakan dalampenelitian ini adalah metodekualitatif dengan pola pikir deduktifdan induktif

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Illat Hukum

Illat secara bahasa berarti“nama bagi sesuatu yangmenyebabkan berubahnyakeadaan sesuatu yang laindengan keberadaannya.” Misal-nya, penyakit itu dikatakanillat, karena dengan adanya“penyakit” tersebut tubuhmanusia berubah dari sehatmenjadi sakit (Nasrun Harun,1995 : 76).

Menurut istilah ushulfiqh, yang dinamakan illathukum adalah suatu sifat yangmenjadi motivasi atau yangmelatar-belakangi terbentuknyahukum. Jumhur Ulama ushulfiqh menyatakan bahwa yangdijadikan patokan itu adalah“sifat zhahir yang dapat diukuryang terdapat dalam hukum,baik sifat itu terkait denganpermasalahan bathin, tetapi bisadinalar, seperti sukarela dalamjual beli, yang bisa langsungditangkap panca indra, sepertipembunuhan dan pencurianmaupun yang ditentukan olehadat kebiasaan masyarakatsetempat, seperti persoalanbaik dan buruk.” Illat sepertiinilah, menurut jumhur ulama,yang dapat dijadikan patokandalam menentukan suatu hokum(Nasrun Haron, 1995 : 80).

Oleh sebab itu, menurutjumhur ulama illat berbeda

Page 6: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

43Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

dengan hikmah. Hikmah adalahsesuatu yang sulit diukur danditangkap panca indra. Hikmahbisa berbeda dalam pandangansatu individu dengan individulain dan berbeda antara satukedaan di suatu tempat dengankeadaan di tempat lain,sehingga tidak dapat dijadikanpatokan umum. Misalnya,kebolehan berbuka puasa bagipara musafir merupakan hikmahuntuk menghindari kesulitan(masyaqqah) dari mereka.Masyaqqah itu sendiri bisaberbeda untuk setiap orang dankeadaan. Orang yang bepergiandengan pesawat udara, tidakakan mengalami kesulitandalam perjalanannya. Berbedadengan orang yang bepergiandengan menggunakan angkutanumum, akan banyak menemuikesulitan dalam perjalanannya.Dengan demikian, menurutjumhur ulama ushul fiqh,hikmah itu sulit diukur dan tidakbisa berlaku umum, sedangkanyang akan dijadikan illat hukumitu adalah sesuatu yang dapatdiukur dan berlaku secara umumuntuk semua orang, kedaan dantempat. Dalam masalah musafir,yang menjadikan bolehnyameng-qashar (meringkas) shalatatau bolehnya berbuka bagiorang yang berpuasa, yangmenjadi illatnya adalah safar(perjalanan) itu sendiri, bukan

masyaqqah-nya. Inilah yangdimaksud oleh jumhur ulamaushul fiqh dengan ungkapan“hukum itu beredar sesuaidengan illatnya bukan denganhikmahnya”. Maksudnya,hukum itu ada berdasarkan illat-nya, sekalipun hikmahnya tidakada, dan hukum itu juga tidakakan ada karena illat-nya hilang,sekalipun hikmahnya masih ada.Melakukan perjalanan dalambulan ramadhan, misalnya,merupakan illat dibolehkannyaberbuka puasa atau meng-qasarshalat, sekalipun masyaqah(yang menjadi hikmah bolehberbuka puasa dan meng-qasarshalat) tidak ditemui dalamperjalanan tersebut. Seseorangyang melakukan perjalanandi bulan ramadhan denganpesawat udara, tidak menemuikesulitan, baik dalam berpuasamaupun dalam melakukanshalat. Mereka tetap dibolehkanberbuka atau meng-qasar shalat,karena illat hukumnya ada, yaitumelakukan perjalanan (safar)(Nasrun Haroen, 1995 : 80-81).

Jumhur ulama ushul fiqh,juga membedakan antara illatdengan sebab. Menurut mereka,sebablebihumumkandungannyadari illat. Setiap illat adalahsebab dan setiap sebab bukanillat. Apabila suatu sifat sejalandengan suatu hukum dan dapatditangkap akal manusia atau

Page 7: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

44 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

dinalar manusia, maka sifat itudisebut sebagai illat sekaligussebab. Misalnya, transaksi jualbeli beli yang menunjukkankerelaan kedua belah pihak(penjual dan pembeli) untukmemindahkantangankan hakmilik, disebut illat sekaligussebab. Apabila persesuaian sifatdengan suatu hukum tidak bisadinalar manusia, maka sifatitu disebut sebab. Misalnya,tergelincirnya matahari darititik kulminasi atas merupakanpenyebabwajibnyamelaksnakanshalat. Tergelincirnya mataharitersebut dikaitkan dengankewajiban shalat zhuhurmerupakan keterkaitan yangtidak bisa dinalar akal manusia.Hal seperti ini, jumhur ulamaushul fiqh disebut sebab, bukanillat (Nasrun Haroen 1995: 80-81).

2. Pengertian RibaRiba menurut bahasa berarti

ziyadah (tambahan). Dalampengertian lain, secara linguistik,riba juga berarti tumbuh danmembesar (Muh. Syafi’iAntonio, 2001: 37). Ibnu al-Arabi al-Maliki mendifinisikanriba sebagai tambahan yangdiambil tanpa adanya satutransaksi pengganti ataupenyeimbang yang dibenarkansyari’ah (Muh. Syafi’i Antonio,2001: 38).

Badr ad-Din al-Aynimemberikan pengertian ribaadalah penambahan atas hartapokok tanpa adanya transaksibisnis riil (Muh. Syafi’i Antonio:38). Imam Sarakhsi darimadzhab Hanafi menjelaskanriba adalah tambahan yangdisyaratkan dalam transaksibisnis tanpa adanya iwadh(atau padanan) yang dibenarkansyari’ah atas penambahantersebut (Muh. Syafi’i Antonio,2001: 38).

Berdasarkan beberapapendapat mengenai riba tersebut,secara umum yang dinamakanriba adalah pengambilantambahan, baik dalam transaksijual beli maupun pinjammeminjam tanpa diimbangi olehsuatu transaksi yang dibenarkanoleh syari’ah. Maksud transaksipengganti atau penyeimbangyaitu transaksi bisnis ataukomersial yang melegitimasiadanya penambahan tersebutsecara adil, seperti transaksijual beli, gadai, sewa, ataubagi hasil proyek. Misal dalamjual beli, si pembeli membayarharga atas imbalan barang yangditerimanya. Demikian jugadalam proyek bagi hasil, parapeserta perkongsian berhakmendapat keuntungan karenadisamping menyertakan modaljuga ikut serta menanggungkemungkinan resiko kerugian

Page 8: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

45Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

yang bisa mucul setiap saat(Muh. Syafi’i Antonio, 2001:37).

Dalam transaksi simpanpinjam dana (hutang pihutang),secara konvensional, pemberipinjaman mengambil tambahandalam bentuk bunga tanpaadanya suatu penyeimbang yangditerima si peminjam kecualikesempatan dan faktor waktuyang berjalan selama prosespeminjaman tersebut. Ketidak-adilan disini adalah si peminjamdiharuskan untuk selalu,tidak boleh tidak memberikantambahan kepada si pemberipinjaman dan pihak pemberipinjaman pasti untung dalamsetiap penggunaan kesempatantersebut ( Muh. Syafi’i Antonio,2001: 35).

3. Hukum Riba dan Macam-Macamnya

Ulama fiqh sepakatmenyatakan bahwa muamalahdengan cara riba itu hukumnyaharam (Nasrun Harun,2000:181). Keharaman ribaini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al Qur’an (QS.an-Nisa’,4; 161, Ali Imron, 3; 130, al-Baqarah, 2; 275, 278-279) danhadits Rasulullah; “Rasulullahsaw. melaknat para pemakanriba, yang memberi makandengan cara riba, para saksidalam masalah riba dan parapenulisnya” (Hadits Riwayat

Muslim dari Abdullah ibnMas’ud).

Ulama Fiqh membagi ribamenjadi dua macam, yaitu ribaal-fadhl dan riba al-nasi’ah.Riba fadhl adalah riba yangterjadi pada jual beli barter,yaitu kelebihan pada salah satujenis harta yang diperjualbelikandengan ukuran syara’. Ukuransyara’ disini adalah timbanganatau takaran tertentu. (NasrunHaroen, 2000: 183). Misalnya,satu kilogram beras rajaleledijual dengan satu setengahkilogram beras yang sama.Kelebihan setengah kilogramdalam jual beli ini disebutdengan riba fadhl. Apabilajenis yang diperjual-belikanberbeda, maka kelebihannyatidak dipandang riba asalkandengan cara tunai. Misalnya,satu kilogram beras ditukardengan dua kilogram jagung,maka kelebihan satu kilogramjagung tidak dipandang sebagairiba fadhl. Hal ini sebagaimanadalam hadits disebutkanbahwa “memperjualbelikanemas dengan emas, perakdengan perak, gandum dengangandum, anggur dengan anggur,kurma dengan kurma, garamdengan garam (haruslah) sama,seimbang dan tunai. Apabilajenis yang diperjualbelikanberbeda, maka juallah sesuaidengan kehendakmu (boleh

Page 9: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

46 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

berlebih) asal dengan tunai”.(Hadits Riwayat Muslimdari Ubadah bin Shomid).Menurut Ulama Hanafiyahdan Hanabilah, dalam berjualbeli, prinsip keadilan dankeseimbangan harus ada. Kalautidak adil dan seimbang, makaakan mucul kedzaliman. Olehsebab itu, kelebihan salah satubarang dalam jual beli barangsejenis merupakan kelebihantanpa imbalan yang sangatmerugikan pihak lain. Praktikseperti ini menjurus kepadakedzaliman (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, tt. : 114).

Berdasarkan hadits Nabidari Ubadah bin Shomid diatas,menurut ulama Hanafiyah danHanabilah menetapkan bahwaillat hukum larangan riba fadhlitu adalah kelebihan barang atauharga dari benda sejenis yangdiperjualbelikan melalui alatukur al-wazn (timbangan) danal-kail (takaran). Oleh sebabitu, berdasar illat ini, merekatidak mengharamkan kelebihanpada jual beli rumah, tanah,hewan, dan benda lain yangdijual dengan satuan, sekalipunsejenis, karena benda-bendaseperti ini dijual berdasarkannilainya, bukan berdasar al-wazn atau al-kail (NasrunHaroen, 2000: 185).

Ulama Malikiyah danSyafi’iyah memandang illat

keharaman riba fadhl pada emasdan perak terletak pada keduabarang itu merupakan harga darisesuatu, baik emas dan perak itutelah dibentuk, seperti cincin,kalung, maupun belum, sepertiemas batangan. Oleh sebabitu, apabila emas dan perak,apabila sejenis, tidak bolehdiperjualbelikan dengan caramelebihkan harga salah satudari yang lain. Misalnya, duagram cincin emas dijual dengansatu gram emas batangan,maka kelebihan satu gramemas cincin itu termasuk ribafadhl (Ibnu Rusyd, 1978: 131).Sementara illat keharaman ribafadhl pada empat jenis makanansebagaimana yang disebutkandalam hadtis diatas, menurutulama Malikiyah adalahmakanan pokok dan tahan lamasekalipun ulama Malikiyahtidak membatasi berapa tahanlama yang dimaksud (NasrunHaroen, 2000: 186). UlamaSyafi’iyah mengatakan bahwaillat keharaman riba padajenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifatmakanan, baik makananpokok, makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya),yang semuanya bertujuanuntuk menjaga kesehatantubuh. Oleh sebab itu, apabilakelebihan pembayaran padajenis makanan ini menjadi riba

Page 10: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

47Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

fadhl. Kalau berbeda jenis,boleh diperjualbelikan denganmelebihkan harga dari jenislain, asalkan dengan cara tunai(Nasrun Haroen, 2000: 187).

Riba al-Nasi’ah adalahkelebihan atas piutang yangdiberikan orang yang berhutangkepada pemilik modal (pemberihutang) ketika waktu yangdisepakati jatuh tempo (IbnulQayyim al-Jauziyah, tt.: 154).Tambahan (bunga) itu sebagaiimbangan tenggang waktu jatuhtempo, ini yang dinamakannasi’ah. Apabila padawaktunya sudah jatuh tempo,ternyata yang berhutang tidaksanggup membayar hutang dankelebihannya, maka waktunyadapat diperpanjang dan jumlahutang akan bertambah pula.Mengacu pada pengertianriba sebagaimana yang telahdisebutkan dimuka, riba an-nasi’ah tidak hanya terjadi padahutang pihutang saja, melainkanjuga bisa terjadi pada jual belibarter barang yang sejenis ataupun tidak sejenis. Misal dalambarter barang yang sejenis,membeli satu kilogram berasdengan dua kilogram beras yangakan dibayarkan satu bulanyang akan datang. Barter dalambarang yang tidak sejenis,seperti membeli satu kilogramterigu dengan dua kilogram

beras akan dibayarkan dua bulanyang akan datang. Kelebihansalah satu barang, sejenis atautidak, yang dibarengi denganpenundaan pembayaran padawaktu tertentu, termasuk ribaan-nasi’ah. (Ibnul Qayyimal-jauziyah, tt.:154). Jenisriba yang akan dikaji dalampenelitian ini adalah riba al-nasi’ah yang terjadi pada hutangpihutang tidak dalam jual belibarter (tukar menukar barang).

4. Illat Hukum Larangan RibaMenurut ulama Hanafiyah,

illat hukum keharaman ribaal-nasi’ah adalah kelebihanpembayaran dari pokok hutangyang ditunda pembayarannyapada waktu tertentu. Misalnya,Ahmad berhutang kepadaAmir sejumlah dua ratus riburupiah, yang pembayarannyadilakukan bulan depan dandengan syarat pengembalianhutang itu dilebihkan menjadidua ratus lima puluh riburupiah. Kelebihan uang dengantenggang waktu ini disebutdengan riba al-nasi’ah. Unsurkelebihan pembayaran dapatberlipat ganda, apabila hutangtidak dapat dibayar pada saatjatuh tempo, menurut ulamaHanafiyah, merupakan suatukezaliman dalam muamalah.Kezaliman, bagaimanapun

Page 11: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

48 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

bentuknya, menurut merekaadalah haram (Nasrun Haroen,2000: 185). Oleh karena itu,Allah menyatakan pada akhirayat riba al-Baqarah, 2; 279:“….kamu tidak (jangan)menganiaya dan tidak (pula)dianiaya”. Ulama Malikiyyah,Syafi’iyyah dan Hanabilahmemandang illat hukumlarangan riba an-nasi’ah, karenaada kelebihan (tambahan-bunga) yang dikaitkan denganpembayaran tunda (tenggangwaktu), baik kelebihan itu daripokok hutang atau pada barangsejenis maupun tidak sejenis(Ibnu Rusyd, 1978: 131).

Mereka sepakat, jikakelebihan itu tidak ditetapkandimuka, maka kelebihan itutidak termasuk riba. Hal inisesuai dengan apa yang pernahdilakukan oleh Nabi, ketikamembayar hutang kepadaJabir ibn’ Abdillah , Nabimelebihkannya (Hadits riwayatBukhori Muslim).

Berdasarkan pendapatulama ahli fiqh mengenai ribadiatas, maka dapat dipahamibahwa illat hukum laranganriba adalah adanya tambahan(bunga) dari pokok harta yangtidak dimbangi oleh transaksipengganti yang dibenarkan olehsyara’.

5. Riba menurut Pemikiran M.Quraish Shihaba. Latar Belakang Sosiologis

Sebab Turun Ayat laranganRiba

Sejarah menjelaskanbahwa Thaif, tempatpemukiman suku Tsaqifyang terletak sekitar 75sebelah tenggara Makkah,merupakan daerah suburdan menjadi salah satu pusatperdagangan antar sukuQuraisy yang bermukim diMakkah. DiThaif bermukimorang-orang Yahudi yangtelah mengenal praktek-praktek riba, sehinggakeberadaan mereka disana menumbuhsuburkanpraktek tersebut (M. QuraishShihab, 1992 : 259).

Suku Quraisy yangada di Makkah jugaterkenal dengan aktivitasperdagangan, bahkan al-Qur’an mengabarkantentang hal tersebutdalam Surat al-Quraisy.Disana pun mereka telahmengenal praktek-praktekriba. terbukti pula dengankeheranan kaum musyrikterhadap larangan praktekriba yang mereka anggapsama dengan jual beli(QS.2: 275). Dalam artimereka beranggapan

Page 12: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

49Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

bahwa kelebihan yangdiperoleh dari modalyang dipinjamkan tidaklain kecuali sama dengankeuntungan (kelebihanyang diperoleh dari) hasilperdagangan (M. QuraishShihab, 1992: 259).

Kataribadarisegibahasaberarti “kelebihan”. Jikahanya berhenti pada makna“kelebihan” tersebut, makacukup beralasan anggapankaum musyrik di atas,meskipun ayat al-Qur’anhanya menyatakan “Tuhanmenghalalkan jual beli danmengharamkan riba” (QS.2; 275). Hukum halal danharam dalam ayat tersebut,tidak akan ditentukantanpa adanya “sesuatu”yang membedakannya,dan “sesuatu” itulahyang menjadi penyebabkeharaman riba (M. QuraishShihab, 1992: 261).

Pembahasan riba yangdiharamkan al-Qur’an dapatdikaji dengan menganalisiskhusus lagi denganmemahami kata-kata kuncidari ayat-ayat tersebut,yaitu adh’afan mudha’afah(QS. Ali Imron; 130), mabaqiya mi al-riba (QS. Al-Baqarah: 278), falakumru’usu amwalikum (QS.

Al-Baqarah: 279) dan latazhlimuna wa la tuzhlamun(QS. Al-Baqarah ; 279)Dengan memahami katakunci ini, diharapkan dapatditemukan jawaban tentangriba yang diharamkan al-Qur’an atau apakah sesuatuyang menjadikan kelebihantersebut haram (M. QuraishShihab, 1992: 261).

Kata adh’af adalahbentuk jamak (plural) darikata dha’if yang diartikansebagai “sesuatu bersamadengan sesuatu yang lainyang sama dengannya(ganda)”. Dengan demikian,adh’afan mudha’afah ada-lah pelipatgandaan yangberkali-kali.

Al-Thabariy mengemu-kakan beberapa riwayatyang dapat menghantarkankepada pengertian adh’afanmudha’afah atau riba yangberlaku pada masa turunyaal-Qur’an, antara lain:Pertama, dari Zaid bahwaayahnya mengutarakanbahwa riba pada masajahiliyyah adalah dalampelipatgandaan dan umur(hewan). Seseorangyang berhutang, bila tibamasa pembayarannya,ditemui oleh Kreditur(yang menghutangi)

Page 13: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

50 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

dan berkata kepadadebitur (yang berhutang);“bayarlah atau kamutambah untukku“. Makaapabila yang berhutangmempunyai sesuatu (untukmembayarnya), ia melunasihutangnya, dan bila tidak,ia menjadikan hutangnya(bila seekor hewan) seekorhewan yang lebih tuausianya (dari yang pernahdipinjaminya). Apabilayang dipinjamnya berumursetahun dan telah memasukitahun kedua, maka yangdijadikan pembayarannyaseekor hewan yang berumurdua tahun dan telahmemasuki tahun ketiga,begitu juga seterusnya.Sedangkan jika yangdipinjamnya materi (uang),kreditur mendatanginyauntuk menagih, bila iatidak mampu, ia bersediam e l i p a t g a n d a k a n n y asehingga menjadi 100, ditahun berikutnya menjadi200 dan bila belum lagiterbayar dijadikannya 400dan seterusnya sampai iamampu membayar (IbnuJarir at-Thobari, 1954:90). Kedua, Mujahidmeriwayatkan bahwariba yang dilarang olehAllah SWT adalah yang

dipraktekkan pada masajahiliyyah, yaitu bahwaseseorang mempunyaipiutang kepada orang lain,kemudian peminjam berkatakepadanya “untukmu(tambahan) sekian sebagaiimbalan penundaanpembayaran “, makaditundalah pembayarantersebut untuknya. (IbnuJarir at-Thobari, 1954:101). Ketiga, Qatadahmenyatakan menyatakanbahwa riba pada masajahiliyyah adalah penjualanseseorang kepada oranglain (dengan pembayaran)sampai pada masa tertentu.Bila telah tiba masa tersebut,sedang yang bersangkutantidak memiliki kemampuanuntuk membayar, ditambah-lah (jumlah utangnya)dan ditangguhkan masapembayarannya (Ibnu Jarirat-Thobari, 1954: 90).

Riwayat-riwayat diatasdapat digarisbawahi bahwa,;pertama, penambahandari jumlah piutang yangdigambarkan oleh ketigariwayat tidak dilakukanpada saat transaksi,tetapi dikemukakan olehkreditor (riwayat ke 2)atau debitor (riwayat ke 2)pada saat jatuh tempo masa

Page 14: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

51Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

pembayaran. Dalam hal ini,Ahmad Mustafa al-Maraghimengomentari bahwariba pada masa jahiliyyahadalah riba yang dinamaipada masa sekarang denganriba fahisy (riba yang kejiatau berlebih-lebihan),yakni keuntungan yangberganda. Tambahan yangfahisy (berlebih-lebihan)ini terjadi setelah tiba masapelunasan, dan tidak adadari penambahan (yangbersifat keji atau berlebihanitu) dalam transaksi pertamaseperti memberikankepadanya 100 dengan(mengembalikan) 110ataukah lebih atau kurang(dari jumlah tersebut).Rupanya mereka merasaberkecukupan dengankeuntungan yang sedikit(sedikit penambahan padatransaksi pertama). Apabilatelah tiba masa pelunasandan belum lagi dilunasi,sedangkan peminjam ketikaitu telah berada dalamgenggaman mereka (yangmemberi pinjaman), makamereka memaksa untukmengadakanpelipatgandaansebagai imbalan penundaan.Inilah yang dinamai ribaal-nasi’ah (riba akibatpenundaan). Ibnu Abbas

berpendapat bahwa nashal_Qur’an menunjukkepada riba al-nasi’ahyang dikenal (ketika) itu.(Al-Maraghi, 1946: 65).Kedua, pelipatgandaanyang disebutkan dalamriwayat pertama adalahperkalian dua kali, sedangpada riwayat kedua danketiga pelipatgandaantersebut tidak disebutkan,tetapi sekedar penambahandari jumlah kredit. Hal inimengandung makna satudari dua kemungkinan ;memahami masing-masingriwayat secara berdirisendiri artinya riba yangdilarang adalah setiaptambahan dari jumlahhutang dalam kondisitertentu, baik penambahanitu berlipat ganda ataupuntidak berlipat ganda ataumemadukan riwayat-riwayat tersebut, sehinggadapat dipahami bahwapenambahan yang dimaksudoleh riwayat-riwayatyang tidak menyebutkanpelipatgandaan adalahpenambahan yang berlipatganda. Makna yang keduaini secara lahir di dukungoleh redaksi dan dipandangsah (M. Quraish Shihab,1992: 263).

Page 15: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

52 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

Al-Thabariy setelahmencermati riwayat-riwayatdiatas dan riwayat lainnyamenyimpulkan bahwariba adh’afan mudha’afahadalah penambahan darijumlah kredit akibatpenundaan pembayaranatau apa yang dinamaidengan riba al-nasi’ah.Menurutnya, seseorangyang mempraktekkan ribadinamai murbin karenaia melipatgandakan hartayang dimilikinya atasbeban pengorbanan debitorbaik secara langsungatau penambahan akibatpenangguhan waktupembayaran (At-Thobari,1954: 90). Kesimpulanyang senada dengan al-Thabariy adalah kesimpulandari Rasyid Ridho dan IbnuQayyim al-Jauziyyah (At-Thobari, 1954: 90).

Abdul Mun’im al-Namir, salah seoranganggota Dewan UlamaTerkemuka al-Azharmenyimpulkan bahwa ribayang diharamkan tergambarpada seorang kreditor(pemodal) yang memilikiharta kekayaan yangdidatangi oleh seorang yangbutuh (debitor), kemudiania menawarkan kepadanyatambahan pada jumlah

kewajiban membayarhutangnya sebagai imbalanpenundaan pembayaransetahun atau sebulan,dan pada akhirnya yangbersangkutan (peminjam)terpaksa tunduk danmenerima tawaran tersebutsecara tidak rela (At-Thobari, 1950: 101).

Mencermati riwayat-riwayat yang dikemukakanada yang menjelaskanpelipatgandaan dan ada pulayang sekedar penambahan,menimbulkan pertanyaan;apakah yang diharamkanitu hanya yang penambahanyang berlipatganda atausegala bentuk penambahandari jumlah hutang.Permasalahan ini menjadiperbedaan pendapatdikalangan ulama, bagiyang berpegang padateks ayat, berlipatgandamerupakan syaratkeharaman. Artinya, bilatidak berlipat ganda, makaia tidak haram. Sedangkanpihak lain menyatakanbahjwa teks “berlipatganda”bukan merupakan syarattetapi sebagai penjelasantentang bentuk riba yangsering dipraktekkan padamasa turunnya ayat-ayatal-Qur’an. Oleh sebab itu,penambahan walaupun

Page 16: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

53Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

tanpa pelipatgandaan adalahtetap haram (M. QuraishShihab, 1992: 264).

Menurut M.QuraishShihab, untukmenyelesaikan masalahini, perlu mencermatiayat terakhir yangturun menyangkut riba,khususnya kata kunciyang terdapat didalamnya.Sekalipun teks adh’afanmudha’afah merupakansyarat, namun pada akhirnyayang menentukan esensiriba adalah ayat-ayat padatahapan ketiga (QS. AliImron;3;130) (M. QuraishShihab, 1992: 264).

Kata kunci dalam suratal-Baqarah ayat 278 yaitu“ma baqiya min al-riba(tinggalkanlah sisa riba yangbelum dipungut). Kalimatal-riba adalah ma’rifah(definit) ini merujuk kepadariba adh’afan mudha’afahataukah tidak? Rasyid Ridhomenanggapi pertanyaan inidengan mengemukakan tigaalasan untuk membuktikanbahwa kata al-riba padaayat al-Baqarah ini merujukkepada riba yang berbentukadh’afan mudha’afah itu.(Rasyid Ridho, 1376 H:254).

Pertama; menurutkaidah kebahasaan bahwa

pengulangan kosakata yangberbentuk ma’rifah, makapengulangan kosakatayang kedua sama dengankosakata pertama. Dalamhal ini, kata al-riba padaSurat Ali Imron ayat 130dalam bentuk ma’rifahdemikian pula al-riba padaayat 278 al-baqarah. Atasdasar ini, maka berartiriba yang dimaksud padatahap akhir yaitu surat al-baqarah ayat 278 samadengan apa yang dimaksudriba pada tahapan keduayaitu surat Ali Imron ayat130 yaitu yang berbentukRiba adh’afan mudha’afah(berlipatganda).

Kedua, memahamiayat yang tidak bersyaratberdasarkan ayat yang samatetapi bersyarat. Penerapankaidah ini pada ayat-ayatriba adalah memahami artial-riba pada al-baqarah278 yang tidak bersyarat ituberdasarkan pada kata al-riba yang bersyarat adh’afanmudha’afah surat Ali Imron130. Atas dasar ini, makayang dimaksudkan riba yangdiharamkanadalah riba yangberbentuk berlipat gandaatau adh’afan mudha’afah.Ketiga, Pembicaraanal-Qur’an tentang ribaselalu digandengkan

Page 17: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

54 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

dengan pembicaraantentang sedekah, danriba dinamainya dengandhulm (penganiayaan ataupenindasan). Dalam halini, M. Quraish Shihabmembenarkan ataumendukung pemikiranRasyid Ridho. Pembenaranini didasarkan pada riwayat-riwayat yang jelas tentangsebab nuzul ayat al-Baqarahdi atas.

Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah;pertama, Al-‘Abas (pamanNabi) dan seorang darikeluarga Bani Mughirahbekerja sama memberikanhutang secara ribakepada orang-orang darikabilah Tsaqif. Kemudiandengan datangnya Islam(diharamkannya riba)mereka masih memiliki(pada para debitor) sisaharta benda yang banyak,maka diturunkan ayat 278al-Baqarah untuk melarangmereka memungut sisa hartamereka yang berupa ribayang mereka praktekkan alajahiliyyah itu (At-Thobari,1954: 101).

Kedua, Ayat 278 al-Baqarah turun menyangkutkabilah Tsaqif yangmelakukan praktek riba,

kemudian (mereka masukIslam) dan bersepakatdengan nabi untuk tidakmelakukan riba lagi. Tetapipada waktu pembukaankota Makkah, merekamasih ingin memungut sisauang hasil riba yang belumsempat mereka pungut yangmereka lakukan sebelumturunnya larangan riba,seakan mereka beranggapanbahwa larangan tersebuttidak berlaku surut. Makaturunlah ayat al-baqarah 278tersebut untuk menegaskanlarang memungut sisariba tersebut. (At-Thobari,1954:101).

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, Ibnu Jariral-Thabariy menyatakanbahwa ayat al-baqarah278 tersebut berartitinggalkanlah tuntutan apayang tersisa dari riba, yakniriba yang berlebih darimodal (at-Thobari, 1954:101).

Mencermati penjelasanRasyid Ridho danketerangan riwayat-riwayatdiatas, tidak beralasan untukmenjadikan pengertianriba pada ayat terakhir (al-Baqarah 278) melebihipengertian riba dalam ayat130 Ali Imron yang turun

Page 18: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

55Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

sebelumnya (riba adh’afanmudha’afah). Oleh sebabitu dapatlah diambilpemahaman bahwa ribayang diharamkan al-Qur’anadalah yang disebutkannyasebagai adh’afanmudha’afah (berlipatganda)atau yang disebut denganriba al-nasi’ah.

Kesimpulan yangdapat diperoleh dari ayat-ayat al-Qur’an yangberbicara tentang riba,demikian pula hadits Nabidan riwayat-riwayat lainnyaadalah bahwa riba yangdipraktekkan pada masa-masa turunnya al-Qur’anadalah kelebihan yangdipungut bersama jumlahhutang, pungutan yangmengandung penganiayaandan penindasan, bukansekedar sekedar kelebihanatau penambahan darijumlah hutang (M. QuraishShihab, 1999: 414-415).

M. Quraish Shihabmemperkuat pendapatnyadengan memperhatikanasbabul Nuzul ayat 130Ali Imron yaitu denganmengutip pendapat Al-qaffal dan Al-biqa’i yangmengkorelasikan ayat130 Ali Imron denganayat sebelumnya tentang

perang uhud. Menurut Al-Qaffal bahwa peperanganuhud dibiayai oleh kaummusyrikin dengan hartayang mereka hasilkandari riba. Hal ini, bolehjadi terlintas dalam benakkaum muslimin untukmengumpulkan pulabiaya peperangan melaluiriba. Ayat ini turun untukmengingatkan merekaagar tidak melangkah kesana.Sedang Al-Biqa’iberpendapat bahwa sebabutama malapetaka yangterjadi dalam peranguhud adalah langkahpara pemanah yangmeninggalkan posisimereka di atas bukit, untukturun mengambil hartarampasan perang padahalNabi SAW sebelumnyatelah melarang mereka.Harta yang mereka ambilitu serupa dengan riba, darisisi bahwa keduanya adalahsesuatu yang lebih darihiasan dunia. Kesamaannyadalam hal sesuatu yangterlarang, atau sesuatu yanglebih dari wajar. Itulahyang mengundang ayat initurun dan mengajak orang-orang beriman agar tidakmemakan riba sebagaimanayang sering terjadi dalam

Page 19: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

56 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

masyarakat jahiliyah ketikaitu, yakni yang berlipatganda (M. Quraish Shihab,2002: 213-214).

b. Illat Hukum Larangan RibaDalam Al-Qur’an.

Sebagaimana yang telahdijelaskan dalam kerangkateori bahwa yang dimaksuddengan illat hukum adalahsesuatu sifat yang menjadimotivasi atau yang melatar-belakangi terbentuknyasuatu hukum. Dalam hal ini,yang menjadi pertanyaan;apa yang menjadi sifat ataumotivasi yang menjadi latarbelakang larangan ribadalam al-Qur’an.

Berbagai penjelasanyang diutarakan olehkalangan ahli tafsirmengenai latar belakangsebab turun ayat riba dengandiperkuat oleh beberapariwayat, maka ada duakemungkinan illat hukumlarangan riba yaitu antarasemata-semata kelebihandari pokok hutang atautidak sekedar kelebihanatau penambahan jumlahhutang.

Dalam menjawabpersoalan diatas, perludimunculkan pertanyaanyang terkait dengan masalahapakah berlipat ganda itumerupakan syarat riba yang

diharamkan ataupun tidak.Jika kelebihan berlipatganda adalah sebagai syarat,maka kelebihan yang tidakberlipatganda menjadi tidakdiharamkan dan sebaliknya.

M. Quraish Shihabdalam menanggapipersoalan diatas (M.Quraish Shihab, 1992:266-267), mengemukakanbahwa ada kata kuncidalam surat al-Baqarahayat 279 yaitu fa lakumru’usu amwalikum (bagimumodal-modal kamu). Kataini menunjukkan bahwayang berhak merekaperoleh kembali hanyalahmodal-modal mereka. Jikademikian, berarti setiapkelebihan atau penambahandari modal tersebut yangdipungut dalam kondisiyang sama dengan apayang terjadi pada masaturunnya ayat-ayat riba initidak dapat dibenarkan.Dengan demikian, katakunci dalam ayat 279 al-baqarah ini menjadi daliluntuk menetapkan bahwasegala bentuk penambahanatau kelebihan baikberlipatganda atau tidak,telah diharamkan al-Qur’andengan turunnya ayattersebut. Ini berarti kataadh’afan mudha’afah bukan

Page 20: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

57Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

sebagi syarat tetapi sekedarpenjelasan tentang ribayang sudah lumrah merekapraktekkan. Konsekwensidari pemikiran ini,menjadikan persoalan kataadh’afan mudha’afah tidakpenting lagi, apakah menjadisyarat atau tidak, apakahyang dimaksud dengannyapelipatgandaan atau bukan,yang pada akhirnya yangdiharamkan adalah segalabentuk kelebihan. Kalaukesimpulan iniyangmenjadipatokan, dirasa belumsesuai dengan rasa keadilan.Sebab dalam penutup ayatriba (surat al-Baqarah ayat279) diisyaratkan dengankalimat la tadzlimun wala tudzlamun (kamu tidakmenganiaya dan tidak puladianiaya).

Pemahaman yanglebih jauh dari riwayat-riwayat tentang praktekriba pada masa turun al-Qur’an, sebagaimanayang dikemukakan olehkalangan ahli tafsirdiatas, menunjukkanbahwa praktek tersebutmengandung penganiayaandan penindasan terhadaporang-orang yangmembutuhkan dan yangseharusnya mendapat uluran

tangan. Kesimpulan ini dikonfirmasikan oleh penutupayat riba al-Baqarah 279di atas, juga sebelumnyadiperkuat oleh rangkaiankata riba selalu dihadapkandengan sedekah, yangmenunjukkan bahwakebutuhan si peminjamsedemikain mendesaknyadan keadaanya sedemikianparah, sehingga sewajarnyaia diberi bantuan sedekah,bukan pinjaman, ataupaling tidak diberi pinjamantanpa mengharapkanimbalan. Bukankah ini yangdiisyaratkan oleh ayat al-Qur’an surat al-Baqarah280: Dan jika orang yangberhutang itu dalamkesulitan (sehingga tidakmampu membayar padawaktu yang ditetapkan),maka berilah tangguhsampai ia berkelapangan,dan kamu menyedekahkan(sebagian atau semuahutang itu) lebih baik bagikamu jika kamu mengetahui.

SIMPULANBerdasarkan penjelasan dari

berbagai riwayat dan uraian ahlitafsir tentang sebab turun ayatlarangan riba, maka pada akhirtulisan ini dapatlah diambilkesimpulan sebagai berikut:

Page 21: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

58 SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015 : 38-59

1. Latar belakang sosiologisyang menjadi sebab turun ayatlarangan riba dalam al-Qur’anadalah kebiasaan prilakuorang-orang jahiliyyah yangmelipatgandakan pengembaliandari pokok hutang yangdipinjamkan kepada debitoryang sangat membutuhkan.

2. Illat hukum larangan riba dalamal-Qur’an adalah bukan sekedarkelebihan atau penambahanjumlah hutang tetapi kelebihanyang dipungut bersama jumlahhutang yang mengandung unsurpenganiayaan dan penindasan(zhulm).

3. Perbedaan Pendekatan AhliFiqh dengan M.Quraish Shihabdalam merumuskan illat hukumlarangan riba terletak padaperbedaan di dalam memahamiteks (nash) al-Qur’an dan alHadits tentang riba. PendekatanAhli fiqh lebih condong padamakna tekstual ayat ataupunhadits, sehingga setiap bentukkelebihan dari jumlah hutang

adalah riba yang diharamkan.Sementara pendekatanM.Quraish Shihab lebihmenekankan pada pemahamanmakna subtansi (kontekstual)dari ayat ataupun hadits,sehingga tidak setiap kelebihandari jumlah hutang dinamakanriba, tetapi kelebihan yangterdapat unsur penganiayaandan penindasan.

IMPLIKASIHasil penelitian dari pemikiran

M.Quraish Shihab tentang riba,yang menyatakan bahwa riba terjadibukan semata-mata ada tambahandari jumlah hutang, tetapi kelebihanyang terdapat unsur kedzoliman,akan menjadi mainstream umat Islamdi Indonesia didalam pemahamanterhadap teks-teks ayat maupunhadits, yang berkenaan denganmateri hukum Islam tidak sajamelihat dari tekstual formalis (lawin book) tetapi lebih mengarah padamakna subtansinya (Kontekstual).

DAFTAR PUSTAKA

Al Jauziyyah, Ibnul Qayyim, 1973, A’lam al-Muwaqqi’in, Beirut; Dar al-Jail

Al Maraghi, Ahmad Mushtafa, 1946, Tafsir al-Maraghi, Mesir; Mushtafaal-Halabiy

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek,Jakarta; Gema Insani.

Page 22: Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

59Riba Menurut Pemikiran M. Quraish Shihab (Harun)

Ath-Thobari, Imam, tt., Tafsir al-Thobari, Beirut; Dar al-Fikri.

Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos.

___________________, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta, gaya MediaPratama.

Muslimin, 2005, Bank Syari’ah Di Indonesia Analisis Kebijakan PemerintahIndonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, Yogyakarta; UII Press, Cet.I

Ridho, Muhammad Rasyid, 1376 H, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar,Jilid III,

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Beirut; Dar al-Fikri.

Shihab, Muhammad Quraish, 1992, Membumikan al_Qur’an, Bandung;Mizan.

___________________, 1999, Wawasan Al-Qur’an, Bandung; Mizan.

___________________, 2002, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati.

Zuhaili, Wabah,, 1997, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Beirut; Dar al-Fikri..