13
Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 104 DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi 1 , Bambang Purwanto Utomo 2 , Nurhuda Hendra Setyawan 2 1 Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada 2 Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY FOR THE DETERMINATION OF URINARY STONE COMPOSITION ABSTRACT Urolithiasis is a common disease with a reported prevalence between 4% and 20% in the worldwide. Determination of urinary calculi composition is a key factor in preoperative evaluation, treatment, and recurrence prevention. Dual-energy computed tomography (DECT) is available methods for determining urinary stone composition were only available after stone extraction, and thereby unable to aid in optimized stone management prior to intervention. DECT utilizes the attenuation difference produced by two different x-ray energy spectra to quantify urinary calculi composition while still providing the information attained with a conventional CT. Knowledge of DECT imaging pitfalls and stone mimics is important, as the added benefit of dual-energy analysis is the determination of stone composition, which in turn affects all aspects of stone management. This article describes DECT principles, scanner types and acquisition protocols for the evaluation of urinary calculi as they relate to imaging pitfalls (inconsistent characterization of small stones, small DECT field of view, and mischaracterization from surrounding material) and stone mimics (drainage devices) that may adversely impact clinical decisions. Keywords: Dual-Energy Computed Tomography, Determination Of Urinary Stone Composition, Image Interpretation, Pitfalls, Stone Mimics ABSTRAK Urolitiasis merupakan penyakit yang umum dengan prevalensi yang dilaporkan antara 4% dan 20% di seluruh dunia. Penentuan komposisi batu urin merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan. Dual-Energy Computed Tomography (DECT) merupakan metode yang tersedia untuk menentukan komposisi batu kemih hanya tersedia setelah ekstraksi batu, dengan demikian tidak dapat membantu dalam mengoptimalkan penanganan batu sebelum dilakukan intervensi. DECT memanfaatkan perbedaan atenuasi yang dihasilkan oleh dua spektrum energi sinar-x yang berbeda untuk menentukan komposisi batu urin walaupun tetap menyediakan informasi yang diperoleh dengan CT konvensional. Pengetahuan pencitraan DECT akan pitfall dan material menyerupai batu ini penting, sebagai manfaat tambahan pada analisis DECT adalah penentuan komposisi batu, yang pada gilirannya mempengaruhi semua aspek dalam penanganan batu. Artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu urin yang berkaitan dengan pitfall pencitraan (karakterisasi yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis.

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 104

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY

UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

Pramiadi1, Bambang Purwanto Utomo2, Nurhuda Hendra Setyawan2

1Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada2Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY

FOR THE DETERMINATION OF URINARY STONE COMPOSITION

ABSTRACT

Urolithiasis is a common disease with a reported prevalence between 4% and 20% in the worldwide. Determination of urinary calculi composition is a key factor in preoperative evaluation, treatment, and recurrence prevention. Dual-energy computed tomography (DECT) is available methods for determining urinary stone composition were only available after stone extraction, and thereby unable to aid in optimized stone management prior to intervention. DECT utilizes the attenuation difference produced by two different x-ray energy spectra to quantify urinary calculi composition while still providing the information attained with a conventional CT. Knowledge of DECT imaging pitfalls and stone mimics is important, as the added benefit of dual-energy analysis is the determination of stone composition, which in turn affects all aspects of stone management.

This article describes DECT principles, scanner types and acquisition protocols for the evaluation of urinary calculi as they relate to imaging pitfalls (inconsistent characterization of small stones, small DECT field of view, and mischaracterization from surrounding material) and stone mimics (drainage devices) that may adversely impact clinical decisions.

Keywords: Dual-Energy Computed Tomography, Determination Of Urinary Stone Composition, Image Interpretation, Pitfalls, Stone Mimics

ABSTRAK

Urolitiasis merupakan penyakit yang umum dengan prevalensi yang dilaporkan antara 4% dan 20% di seluruh dunia. Penentuan komposisi batu urin merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan. Dual-Energy Computed Tomography (DECT) merupakan metode yang tersedia untuk menentukan komposisi batu kemih hanya tersedia setelah ekstraksi batu, dengan demikian tidak dapat membantu dalam mengoptimalkan penanganan batu sebelum dilakukan intervensi. DECT memanfaatkan perbedaan atenuasi yang dihasilkan oleh dua spektrum energi sinar-x yang berbeda untuk menentukan komposisi batu urin walaupun tetap menyediakan informasi yang diperoleh dengan CT konvensional. Pengetahuan pencitraan DECT akan pitfall dan material menyerupai batu ini penting, sebagai manfaat tambahan pada analisis DECT adalah penentuan komposisi batu, yang pada gilirannya mempengaruhi semua aspek dalam penanganan batu. Artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu urin yang berkaitan dengan pitfall pencitraan (karakterisasi yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017105

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Kata Kunci: Dual-Energy Computed Tomography, Penentuan Komposisi Batu Urin, Interpretasi gambar, Pitfall Pencitraan, Material Menyerupai Batu Urin

PENDAHULUAN

Urolithiasis merupakan penyakit yang umum ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia, dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%.1 Jenis batu yang paling umum adalah kalsium oksalat (monohidrat atau dihidrat), kalsium fosfat (brushite atau apatit), asam urat, dan lainnya dengan perkiraan prevalensi masing-masing 70, 20, 8% dan 2%.2 Pengobatan batu yang mengakibatkan obstruksi saluran kemih akut meliputi: hidrasi, manajemen rasa sakit, dan mungkin penambahan terapi alpha-blocker dengan atau tanpa prosedur yang lebih invasif, seperti extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous nephrolithotripsy (PCNL), dan ureteroscopy.3 Batu asam urat diobati bukan dengan intervensi melainkan dengan terapi obat penghancur berupa alkalinisasi urin, peningkatan asupan cairan dan xanthine oxidase inhibitor.4 Oleh karena itu, komposisi batu ginjal merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan urolithiasis berulang.3

Dual-energi computed tomography (DECT) menjadi metode pencitraan yang digunakan dalam evaluasi urolithiasis karena kemampuannya yang unik untuk menentukan komposisi batu baik sebagai asam urat atau non-asam urat tanpa peningkatan dosis radiasi yang signifikan.5-11 Sangat mungkin DECT menggantikan single-energy computed tomography (SECT) konvensional karena menyediakan informasi anatomi yang sama serta komposisi batu.12 Metode lain yang tersedia saat ini dalam menganalisis komposisi batu seperti x-ray diffraction, infrared spectroscopy dan polarization microscopy hanya dapat dilakukan setelah batu diekstrak dari tubuh, oleh karena itu tidak memberikan manfaat selama perencanaan pengobatan pra operasi.13,14

Tujuan artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu urin yang berkaitan dengan pitfall pencitraan (karakterisasi yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis.

Urolithiasis

Urolithiasis mengacu pada pembentukan deposit

mineral atau batu dalam urin pada ginjal, ureter dan vesika urinaria.15 Urolithiasis merupakan penyakit yang umum ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia, dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%. Prevalensi puncak terjadi pada usia antara 30-60 tahun. Lebih sering terjadi pada laki-laki sebesar 12% daripada wanita sebesar 12%. Epidemiologi urolitiasis berbeda menurut wilayah geografis dalam hal prevalensi dan kejadian, distribusi umur dan jenis kelamin, komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan tersebut telah dijelaskan dalam hal faktor ras, diet dan iklim. Selanjutnya perubahan kondisi sosio-ekonomi telah menghasilkan perubahan dalam prevalensi, kejadian dan distribusi untuk usia, jenis kelamin dan jenis batu baik dari segi bentuk maupun komposisi fisik kimia dari batu saluran kemih.1,16

Secara umum faktor risiko terjadinya urolithisasi dibagi menjadi tiga yaitu faktor individual, saluran kemih dan lingkungan. Faktor individual dibagi menjadi dua yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan yang berhubungan dengan gaya hidup. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi diantarannya riwayat keluarga penderita urolithiasis, etnik, usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor gaya hidup terdiri dari diet, dehidrasi, kelebihan berat badan, obesitas, diabetes melitus dan hipertensi. Faktor sistem saluran kemih diantaranya kelainan anatomi dari saluran kemih seperti horseshoe kidney, duplex collecting system. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya keadaan geografi, pekerjaan, iklim dan temperatur.1,16-19

Pembentukan batu adalah proses kompleks yang melibatkan nukleasi kristal, agregasi dan / atau nukleasi sekunder, fiksasi di dalam ginjal, dan agregasi lebih dan nukleasi sekunder. Langkah-langkah ini dimodulasi oleh sejumlah konstituen batu yang muncul dalam cairan tubular, konsentrasinya dipengaruhi oleh ekskresi air, pH cairan tubular dan / atau urin, dan keseimbangan promotor dan inhibitor yang bukan komponen utama dari komposisi batu.20-22

Gejala Urolithiasis tergantung pada letak batu, tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih, meskipun beberapa batu ginjal tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala klinis dapat berupa nyeri yang bersifat klasik yaitu nyeri kolik akibat strangulasi batu dan nyeri kostovertebral, hematuria akibat gesekan batu dengan ginjal maupun ureter dan gangguan miksi. Sedangkan gejala sistemik yang muncul dapat berupa demam jika berhubungan dengan infeksi, mual maupun muntah.2

Komposisi Batu Urin

Batu saluran kemih dibagi berdasarkan komposisi

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 106

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

mineral yang terdiri dari kombinasi kristal (baik organik maupun anorganik) dan protein.3 Komposisi batu berhubungan dengan faktor penyebab pembentukan batu yang penting dalam penentuan proses etiologi dan mencegah kambuhnya, serta menjadi dasar untuk keputusan diagniostik dan manajemen terapi.22,24

Batu berbasis kalsium termasuk kalsium oksalat monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat adalah batu yang paling umum ditemukan dengan prevalensi 70% dari semua batu. Batu asam urat terjadi pada urin yang asam (pH <5,8) dengan keunikan dapat larut dengan alkalinisasi urin dengan prevalensi 8% dari semua batu. Batu magnesium amonium fosfat (struvite) biasanya terjadi pada urin yang bersifat alkali dan berhubungan dengan infeksi ginjal dengan prevalensi 20% dari semua batu. Batu sistin jarang terjadi dengan prevalensi 2% dari semua batu yang berhubungan dengan defek tubular ginjal. Karakteristik komposisi batu dalam pencitraan radiografi, densitas pada CT Scan, fragilitas, dan faktor etiologi batu dapat dilihat pada Tabel 1.3,22

Modalitas Pencitraan Urolithiasis

Pencitraan memainkan peran penting dalam menetapkan diagnosis, manajemen perencanaan dan melakukan intervensi, menilai efektivitas terapi dan untuk surveilans pasien urolithiasis.14 Pencitraan dapat memberikan informasi yang akurat dalam evaluasi urolithiasis tentang jumah, ukuran, komposisi, lokasi secara anatomis, temuan yang berhubungan dengan batu, kelainan anatomi yang mungkin berhubungan dengan batu dan kelainan-kelainan yang mungkin berhubungan dengan sistem genitalia dan saluran kemih.25 Modalitas pencitraan yang digunakan dalam evaluasi urolithiasis termasuk foto polos abdomen, intravenous pyelography (IVP), ultrasonografi, computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) yang dapat dilihat pada Tabel 2.22

Penentuan komposisi batu sangat penting karena pada batu asam urat dapat diobati dengan alkalinisasi urin sebagai pengobatan lini pertama, bila tidak merespon dengan alkalinisasi urin baru dipertimbangkan penanganan secara bedah, dan pada batu dari komposisi tertentu seperti batu sistin dan batu kalsium sangat sulit dipecah dengan ESWL.3

Tabel 1. Karakteristik Komposisi Batu Urin dalam Pencitraan Radio-grafi, Densitas pada CT Scan, Fragilitas, dan Faktor Etiologi.3,22

Komposisi Batu

Gambaran Radiografi

Densitas CT Scan

(HU)

Fragilitas Faktor Etiologi

Kalsium oksalat monohidrat dan dihidrat

Radioopak 1700 - 2800

sedang - keras

Penyakit Metab-olik

Kalsium Fosfat

Radioopak 1200 - 1600

sedang Bukan Penyakit Metab-olik

Magnesium ammoni-um fosfat (struvite)

Radioopak (batu staghorn)

600 - 900 sedang infeksi ginjak

Asam urat Radiolusen 200 - 450 lunak Hiperuri-semia

Sistin Radioopak 600 - 1100 sangat keras

Sistinu-ria, Defek tubular ginjal

Tabel 2. Modalitas Pencitraan pada Evaluasi Urolithiasis22

Modalitas Pencitraan

Kelebihan Kekurangan Pemanfaatan Pilihan

Foto Polos Abdomen

Dosis radiasi lebih rendah dibanding CT, 90% batu ber-sifat radioopak

Sensitivitas hanya 60%, sumber nyeri pasien mung-kin bukan urolithiasis

Pemantauan batu pada pasien yang sudah diket-ahui memiliki urolithiasis

IVP Menunjukkan gambaran anatomi dan system collecting ginjal

Paparan agen kontras, lama pemeriksaan, agen kontras dapat meng-aburkan batu

Pada kasus yang memer-lukan evaluasi anatomi dan system collect-ing ginjal

Ultrasono-grafi

Tanpa radiasi, sensitivitas me-nengah untuk de-teksi batu ginjal dan hidronefrosis

Tergantung operator, sulit menilai ureter

Pasien hamil atau anak dan riwayat batu berulang

MRI Tanpa radiasi, pencitraan efek sekunder dari urolithiasis dan kelainan genitou-rinari lainnya, ter-masuk keganasan

Kesulitan memvisualis-asikan batu

Evaluasi temuan saluran kemih selain urolith-iasis seperti striktur

CT Scan Menggambarkan anatomi saluran kemih dan non genitourinaria; akuisisi dan interpretasi yang cepat; memfokus-kan anatomi yang sesuai dengan prosedur terapi

Paparan radi-asi terutama pada pasien hamil atau anak dan riwayat batu berulang

Investigasi pencitraan lini pertama pada orang dewasa dengan nyeri panggul

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017107

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Foto polos abdomen menjadi pemeriksaan pilihan pertama dalam evaluasi onset akut nyeri panggul. Sekitar 90% dari batu saluran kemih bersifat radioopak.22 Foto polos abdomen tidak dapat mendeteksi batu radiolusen dan tidak mudah membedakan antara plebolith dengan batu ureter.14 Sayangnya, foto polos abdomen hanya memiliki sensitifitas 44-77% dan spesifisitas 80-87% dalam mendeteksi urolitiasis.3,22,24 Foto polos abdomen lebih sering digunakan untuk evaluasi batu pada pasien yang diketahui memiliki urolithiasis dengan tujuan untuk mengurangi paparan radiasi pasien dibandingkan dengan CT Scan.22,24,26

Intravenous pyelography (IVP) memiliki kelebihan dalam hal gambaran anatomi ginjal dan dapat mengungkapkan adanya batu yang menyebabkan obstruksi. Dalam kasus batu asam urat yang bersifat radiolusen, identifikasi defek kontras pada urinary collecting system dapat membantu.22 IVP memberi informasi penting tentang aspek fisiologis dan fungsional ginjal dan saluran kemih, termasuk lokasi, derajat dan sifat obstruksi serta adanya atau tidak adanya berbagai kemungkinan anomali kongenital.14 Obstruksi urin dapat menyebabkan keterlambatan yang signifikan dalam ekskresi agen kontras, sehingga meningkatkan waktu pemeriksaan. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, penggunaan media kontras dapat dikontraindikasikan.22

Ultrasonografi sangat baik diaplikasikan pada pasien anak, pasien hamil, atau pasien dengan serangan urolithiasis berulang, karena tidak menggunakan radiasi pengion, dapat dilakukan berulang dan tidak mahal.14,22,24,27 Selain itu, ultrasonografi tidak tergantung pada komposisi batu, karena hampir semua batu akan menunjukkan ekogenisitas dan bayangan yang sama. Ultrasonografi dapat mendeteksi batu sekecil 0,5 mm sebagai echogenik fokal dengan bayangan di dalam saluran kemih. Untuk mengkonfirmasi visualisasi batu, ultrasonografi color doppler dapat digunakan untuk menghasilkan artefak di daerah bayangan yang diharapkan pada ultrasonografi gray-scale.22 Ultrasonografi dapat menunjukkan efek sekunder dari batu, seperti obstruksi, infeksi, atau pembentukan abses. Visualisasi langsung dari batu ureter sulit dilakukan dengan ultrasonografi karena gas usus di atasnya dan kedalaman ureter yang relatif di dalam panggul. Visualisasi ultrasonografi mungkin lebih rumit pada pasien obesitas dengan lemak yang tebal.14,22 Kelemahan ultrasonografi diantaranya adalah sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk mendeteksi batu ureter, dan sensitivitas 45% dan spesifisitas 88% untuk mendeteksi batu ginjal, selain itu ultrasonografi sangat tergantung operator.22,28

CT Scan baik dengan kontras maupun tanpa kontras telah menjadi modalitas pilihan dalam evaluasi dugaan urolitiasis dan telah menggantikan IVP karena terbukti lebih akurat.3,22,24-27 Studi meta-analisis akurasi CT dosis radiasi rendah menunjukkan sensitivitas gabungan 97% dan

spesifisitas gabungan 95% pada pasien dengan urolitiasis.23,29 Keunggulan CT Scan dibanding teknik pencitraan lainnya termasuk dapat dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan pemberian bahan kontras, sangat sensitif untuk mendeteksi batu dari semua ukuran, dan memungkinkan deteksi abnormalitas diluar sistem saluran kemih.3,30,31 CT Scan dapat mengukur densitas batu, mengevaluasi efek samping sekunder dari obstruksi, menggambarkan anatomi yang sesuai kebutuhan operasi, dan mendeteksi sumber nyeri yang lain atau kelainan patologis lainnya.22

Kekurangan CT tanpa kontras adalah hilangnya informasi tentang fungsi ginjal dan anatomi urinary collecting system serta menggunakan radiasi pengion. Dosis efektif rata-rata yang dilaporkan untuk CT urografi tanpa kontras dilaporkan 8,5 mSv untuk multi detector computed tomography (MDCT). Risiko radiasi dapat dikurangi dengan CT dosis radiasi rendah.32 Tabung modulasi berbeda yang digunakan mesin yang lebih baru lebih universal, bisa membantu mengurangi dosis. Teknologi pengurangan noise yang lebih baru seperti rekonstruksi gambar berulang dapat memfasilitasi pengurangan dosis tanpa mengurangi kualitas gambar.22

Akurasi SECT dalam menentukan komposisi batu dilaporkan sebesar 64-81% karena tidak ada nilai cut-off yang pasti untuk membedakan berbagai jenis batu.14,33 Pada studi meta-analisis dilaporkan DECT memiliki sensitifitas 95% dan spesifisitas 98% dalam membedakan batu asam urat dan non-asam urat, serta sensitifitas 99% dan spesifisitas 97% dalam membedakan batu kalsium.34

MRI tidak dianggap sebagai modalitas diagnostik pilihan yang valid dalam evaluasi urolithiasis, namun merupakan modalitas yang sangat baik untuk menggabarkan efek sekunder dari urolithiasis seperti infeksi atau obstruksi. Batu seringkali tidak tervisualisasikan dengan baik pada MRI dan akan muncul sebagai signal void pada sekuens T1 dan T2. Defek pengisian yang tidak spesifik untuk batu, namun dapat dibedakan dari neoplasma berdasarkan kurangnya penyengatan kontras. Seperti ultrasonografi, MRI tidak menggunakan radiasi pengion dan bisa berdiri sendiri atau dikombinasikan dengan foto polos abdomen dalam evaluasi pasien anak, hamil, atau yang dilakukan pencitraan secara serial.22,26

Pilihan Terapi

Keputusan terapi urolithiasis tergantung pada lokasi batu, ukuran batu, komposisi batu, dan gejala pasien.3,35 Sedangkan keberhasilan terapi dipengaruhi oleh tapi lokasi batu, ukuran batu, jumlah batu, riwayat urolithiasis, hidronefrosis, kolik ginjal, dan stent ureter.36,37 Pada batu ginjal pilihan terapi dapat berupa ESWL, ureteroscopy, atau PCNL

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 108

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

yang tergantung dari gejala dan ukuran batu.3 Sedangkan batu ureter, pengobatan prosedur intervensi urologis seringkali bergantung pada ukuran dan jenis batu. Pengobatan lini pertama adalah terapi obat ekspulsif (α-blockers atau calcium channel blockers dengan atau tanpa obat antiinflamasi steroid dan non-steroid), serta hidrasi dan analgetik.3 Berdasarkan komposisi batu, hanya batu asam urat yang dapat hancur dengan obat oral. Asam urat mudah larut dalam urin yang alkali dan bisa larut dengan sedikit perubahan pH urin. Metode alkalinisasi ini meliputi terapi kalium sitrat atau sodium bikarbonat oral. Bila terapi oral gagal ataupun menimbulkan gejala obstruksi, dapat dilanjutkan dengan terapi ESWL atau ureteroscopy.3,25

Dual-Energy Computed Tomography

DECT menggunakan dua sumber sinar-x (energi rendah dan energi tinggi) dan dua detektor sinar-x yang dipasang pada perangkat CT baik dalam model energi ganda atau energi tunggal yang memungkinkan membedakan dan mengklasifikasi jaringan untuk mendapatkan informasi gambar anatomi dan karakterisasi material yang spesifik berdasarkan komposisi unsur pembentuknya.38,39

Prinsip-prinsip Dasar DECT

Material pencitraan ditampilkan dalam nilai-nilai atenuasi, diukur dalam Hounsfield Unit, sebagai hasil dari faktor-faktor material spesifik (komposisi atom, densitas dan ketebalan) serta energi foton sinar-x pada saat pemindaian dilakukan.40 Dua mekanisme penting yang bertanggung jawab atas atenuasi jaringan dan material dalam CT adalah efek Compton scattering dan efek photoelectric, juga tergantung energi foton sinar-x. Efek photoelectric tergantung pada nomor atom dan energi yang dominan pada energi rendah dimana terdapat penyerapan sinar-x yang komplit, sedangkan efek Compton tergantung pada kerapatan elektron yang dominan pada energi tinggi dimana terjadi hamburan sinar-x.14 Pencitraan DECT dihasilkan dari perbandingan atenuasi antara energi rendah dan tinggi, pada energi rendah menghasilkan lebih banyak noise dengan kontras yang lebih baik sedangkan energi tinggi menghasilkan gambar dengan noise yang lebih sedikit namun kontras yang rendah. Besarnya perubahan atenuasi antara spektrum energi rendah dan tinggi ditentukan oleh jumlah atom yang efektif dari material. Karakterisasi material dengan akuisisi DECT bertujuan untuk mendapatkan karakteristik atenuasi dari material pada energi rendah dan tinggi, dengan menganalisa spektrum atenuasi pada energi yang berbeda namun lokasi anatomi yang sama. Sebaliknya dengan SECT konvensional, hanya memberikan pengukuran Hounsfield Unit (HU) pada energi sinar x tunggal. Pada SECT, dua material dengan komposisi kimia yang

berbeda dapat memiliki nilai atenuasi yang sama, sedangkan pada DECT dapat membedakan dua material dengan atenuasi yang sama pada SECT dengan menganalisis perubahan atenuasi pada masing-masing energi.38,41,42

Kemampuan DECT untuk membedakan dua material tergantung dari karakteristik nilai rasio DECT masing-masing material. Rasio DECT didefinisikan sebagai rasio antara nilai atenuasi material pada gambar yang diberikan energi rendah dibandingkan dengan nilai atenuasi material yang sama pada gambar dengan energi tinggi.

Rasio DECT=(HU energi rendah)/(HU energi tinggi)

Perbedaan antara nilai rasio DECT untuk dua bahan ditentukan oleh pemisahan antara spektrum energi rendah dan tinggi dan jumlah atom yang efektif dari bahan.43 Akurasi membedakan material oleh DECT ditingkatkan dengan mengurangi perbedaan spektral antara energi rendah dan tinggi dan registrasi spasial dan temporal yang akurat antara spektrum energi rendah dan tinggi. Pemisahan spektral dapat ditingkatkan dengan menggunakan filtrasi timah yang berbeda pada dua tabung sinar-x.14,44

Jenis-jenis Alat DECT

Terdapat beberapa desain alat dan metode untuk memperoleh data dari DECT yang tersedia untuk penggunaan klinis meliputi dual-source, rapid-switching, dual-layer detector, dan sequential.

Ada beberapa perbedaan penting dalam bagaimana spektrum energi rendah dan tinggi yang diperoleh dan diproses oleh perangkat DECT yang berbeda yang dirangkum dalam Tabel 3.11,42,44,45

Gambar 1. Jenis-jenis alat DECTdan teknik akuisisi data. 45

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017109

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

switching DECT), gambar campuran (dual-source DECT), atau gambar konvensional (spectral detector). Selain itu, berbagai rekonstruksi material-spesifik dapat diperoleh dengan menggunakan algoritma dekomposisi dua material (rapid-switching dan spectral detector) atau tiga material (dual-source DECT). Dekomposisi material dapat dilakukan di ruang gambar setelah rekonstruksi gambar (dual-source DECT) atau di ruang proyeksi sebelum rekonstruksi gambar (rapid-switching dan spectral detector) dengan algoritma ruang proyeksi yang memiliki keunggulan teoritis dalam dekomposisi material dan memungkinkan koreksi koreksi data preprocessing untuk meminimalkan artefak dan meningkatan kualitas gambar.11,38,42

Dosis Radiasi

Dosis radiasi dari kebanyakan protokol DECT setara dengan SECT konvensional, walaupun dosis radiasi pada DECT merupakan penjumlahan antara dosis radiasi energi rendah dan tinggi.47 Kesetaraan ini dicapai melalui strategi pengurangan dosis dan proteksi radiasi selama pemindaian DECT, seperti sistem pelindung dengan penggunaan filter timah pada energi tinggi (Sn140 kV), modulasi arus tabung otomatis, desain detektor yang baru yang dapat mengurangi electronic noise, teknologi rekonstruksi gambar berulang, sehingga dapat membantu pengurangan dosis radiasi.11,14,48 Dosis radiasi rata-rata dalam pemeriksaan rutin untuk analisis komposisi batu dengan menggunakan teknik pemindaian dosis rendah didapatkan volume CT dose index (CTDIvol) sebesar 8.3 mGy.14

Dual-source DECT merupakan alat yang paling sering digunakan saat ini.14 Dual-source DECT memiliki dua tabung sinar-x yang menghasilkan sinar-x energi rendah pada 70-100 kVp dan energi tinggi pada 140 atau 150 kVp, dan dua rantai detektor yang menangkap spektrum energi rendah dan tinggi secara terpisah.38 Filtrasi tambahan sinar-x energi tinggi dengan menggunakan timah digunakan untuk meningkatkan pemisahan spektral dari sinar-X berenergi tinggi.46 Energi yang dikeluarkan dari tabung sinar-x energi rendah dapat bervariasi tergantung pada postur tubuh pasien untuk mencapai penetrasi yang lebih baik. Karena dua tabung sinar-x digunakan, arus tabung (mA) dapat dioptimalkan secara individual untuk setiap perolehan yang memungkinkan penggunaan modulasi arus tabung otomatis. Tabung sinar-x energi tinggi memiliki bidang pemindaian penuh dengan field of view (FOV) 50 cm, sedangkan tabung sinar-x energi rendah memiliki bidang pemindaian yang lebih kecil yaitu 33 cm atau 35 cm. Karena pemindaian energi rendah dan tinggi diperoleh pada waktu dan sudut yang sedikit berbeda, akan tampak sedikit penundaan dalam registrasi sementara dan fase offset 90 derajat dari data energi rendah dan tinggi.38,42

Rekonstruksi Gambar DECT

Data dari energi tinggi dan rendah pada DECT dapat diproses dengan berbagai cara. Data akan dikombinasikan untuk membuat gambar yang memberikan nilai atenuasi dan informasi struktural yang serupa dengan SECT. Gambar-gambar ini disebut sebagai gambar ekivalen 120 kV (rapid-

Tabel 3. Karakteristik Jenis-jenis Alat Dual-Energy Computed Tomography. 11

Jenis Alat DECT

Mekanisme Mendapatkan Spektrum Energi Rendah Dan Tinggi

Kelebihan Kekurangan

Dual-source Dua sumber sinar-x berjalan simultan pada tabung potensial rendah (70-100 kV) dan tinggi (100-140 kV), dua rantai detektor menangkap spektrum energi rendah dan tinggi

Pemisahan spektral yang lebih baik antara spektrum energi rendah dan tinggi, filter tambahan sinar-x energi tinggi untuk memperbaiki pemisahan spektral, memungkinan untuk memilih arus tabung yang berbeda untuk energi rendah dan tinggi dan menggunakan ATCM

Keterbatasan pemindaian FOV energi ganda pada 33-38 cm, sedikit keterlambatan dalam registrasi temporal, fase offset 90° pada data energi rendah dan tinggi

Rapid-switching Tabung sinar-x tunggal bergantian dari energi rendah (80 kV) ke tinggi (140 kV) dalam 0,4 ms, detektor tunggal respon cepat menangkap spektrum energi rendah dan tinggi bergantian dengan cepat.

Pemindaian FOV hingga 50 cm untuk analisis DECT, yang secara simultan mengakuisisi spektrum energi rendah dan tinggi yang menyediakan registrasi temporal yang baik

Tidak memungkinkan memodifikasi tabung antara pemindaian energi rendah dan tinggi, tidak dapat menggunakan ATCM

Spectral detector Sumber sinar-x tunggal (120 atau 140 kV), detektor khusus dengan dua lapisan scintillation menangkap foton berenergi rendah (lapisan superfisial) dan tinggi (lebih dalam)

Registrasi spasial dan temporal yang sempurna dari spektrum energi rendah dan tinggi, data energi ganda tersedia secara retrospektif untuk analisis pada semua pemindaian yang dilakukan pada 120 atau 140 kV

Tingginya tumpang tindih antara spektrum energi rendah dan tinggi

Sequential Tabung sinar-x tunggal bergantian antara energi rendah (80 kV) dan tinggi (135 kV) setelah selesai putaran

Memungkinkan untuk memvariasikan arus tabung antara pemindaian energi rendah dan tinggi

Keterbatasan registrasi temporal dan spasial

Keterangan: ATCM = Automated Tube Current Modulation

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 110

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Protokol Pencitraan DECT pada Batu Urin

Pada pasien dengan dugaan urolithiasis digunakan protokol DECT untuk batu ginjal. DECT tanpa aplikasi kontras, gambar dimulai dari diafragma bagian atas sampai ke simfisis pubis. Pada pasien dengan jarak antara kedua ginjal <35 cm menggunakan energi rendah 80 kV dan energi tinggi 140 kV, sedangkan pasien dengan jarak antara kedua ginjal >35 cm menggunakan energi rendah 100 kV dan energi tinggi 140 kV.49

Karakterisasi komposisi batu ginjal pada DECT dengan menggunakan algoritma dekomposisi tiga material yang membagi karakteristik material berdasarkan rasio atenuasi menjadi 3 kelompok warna yang telah ditentukan. Kemudian dengan software post-processing dibuat gambar material spesifik dengan diberi kode warna sesuai algoritma rasio atenuasi, masing-masing warna untuk tiap kelompok rasio atenuasi. Voxel dengan rasio atenuasi yang serupa dengan batu asam urat menunjukkan satu warna tertentu (umumnya berwarna merah) sedangkan material yang serupa dengan non-asam urat menunjukkan warna yang berbeda (umumnya berwarna biru), sedangkan voxels yang menunjukkan karakteristik kepadatan yang linier pada kedua energi tetap berwarna abu-abu.14,49

Tabel 4. Protokol Dual Energy Computed Tomography untuk Batu Ginjal.49

Parameter ValueDECT renal stone protocolScan type Rotation time (s) Collimation (mm) PitchScan time (s)

Helical0.5

32 x 0.60,7

16,26

Parameter Tube A Tube BInter-kidney distance 35 cm and belowkVp (kV) Quality ref (mAs) CARE dose CTDI-vol (mGy)

80419ON

15.51

140162ON

15.51

Parameter Tube A Tube BInter-kidney distance 36 cm and abovekVp (kV) Quality ref (mAs) CARE dose CTDI-vol (mGy)

100210ON

16.61

140162ON

16.61

Post-processing Pencitraan DECT pada Batu Urin

Data dari hasil pemindaian DECT dapat diproses untuk menghasilkan tiga jenis set gambar:

1. Gambar yang memberikan informasi struktural dengan nilai atenuasi yang serupa dengan SECT konvensional yang biasa disebut sebagai gambar ekivalen 120 kV. Gambar-gambar ini digunakan untuk interpretasi diagnostik rutin.

2. Gambar material spesifik yang bisa menghilangkan atau menyoroti material spesifik tertentu.

3. Gambar monokromatik virtual yang menampilkan atenuasi bergantung energi.14

Gambar 2. Software post-processing DECT batu ginjal dengan algoritma dekomposisi untuk karakterisisasi batu asam urat murni, batu asam urat campuran dan batu kalsium.10

Interpretasi Pencitraan DECT pada Batu Urin

Parameter yang digunakan untuk menginterpretasikan komposisi batu ginjal pada DECT berdasarkan rasio DECT dari material batu, yang ditentukan oleh perbedaan nomor atom dan pemisahan spektral. Perbedaan nomor atom asam urat dan non-asam urat yang besar menjadi dasar untuk membedakan batu asam urat dari batu asam non-urat pada DECT dengan akurasi tinggi. Namun, perbedaan bilangan atom efektif di antara batu asam non-asam yang umum, seperti sistin, struvit, kalsium oksalat, sitrat, dan apatit, jauh lebih kecil.50 Identifikasi komposisi batu ginjal berdasarkan

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017111

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

nilai rasio DECT dapat juga dilakukan melalui diagram alir berdasarkan studi dari Mahalingam dkk.51

Gambar 3. Diagram alir menggambarkan pendekatan untuk mengidentifikasi komposisi batu berdasarkan nilai rasio DECT.51

Penggunaan software post-processing algoritma dekomposisi tiga material ini memungkinkan untuk membedakan asam urat murni, asam urat campuran dan batu non-asam urat.14,49 Sedangkan untuk membedakan antara jenis batu non-asam urat (batu sistin, hidroksiapatit, kalsium oksalat dan lain-lain) dengan menggunakan pemisahan spektral yang ditingkatkan yang dihasilkan dari penggunaan filter timah pada sumber energi tinggi pada alat DECT.42,50

Gambar 4. Interpretasi gambar DECT.49

a). Batu ginjal kanan pada gambar SECT potongan koronal yang dibuat dari data campuran linear energi rendah dan tinggi

b). Batu asam urat ginjal kanan pada gambar DECT potongan koronal berwarna merah

c). Batu non-asam urat ginjal kiri pada gambar DECT potongan koronal berwarna biru

d). Batu komposisi campuran ginjal kiri pada gambar DECT potongan koronal berwarna warna merah dan biru

Gambar 5. Gambar DECT menggunakan pemisahan spektral yang ditingkatkan yang dihasilkan dari penggunaan filter timah pada sumber energi tinggi.42

a). Batu asam urat ginjal kiri pada gambar DECT potongan aksial berwarna merah

b). Batu sistin ginjal kiri pada gambar DECT potongan aksial berwarna kuning

c). Batu kalsium oksalat ginjal kiri pada gambar DECT potongan aksial berwarna hijau

d). Batu apatit ginjal kanan pada gambar DECT potongan aksial berwarna biru

Pitfall Pencitraan DECT pada Batu UrinBatu Urin Yang Sangat Kecil (<3mm)

Faktor-faktor yang menurunkan spesifisitas DECT dalam menentukan komposisi batu urin meliputi peningkatan postur tubuh pasien (yang mengakibatkan peningkatan quantum noise) dan ukuran batu yang sangat kecil mengakibatkan berkurangnya signal-to-noise ratio (SNR).49 Sebelum evaluasi in-vitro dari gambaran batu <3 mm dalam phantom yang sangat besar memiliki spesifisitas sekitar 88%.9 Keterbatasan akurasi ini terlihat sebagai karakterisasi yang tidak konsisten dari batu yang sangat kecil pada pasien dengan postur tubuh yang besar. Akurasi masih mungkin ditingkatkan dengan penambahan filter timah pada sinar energi tinggi untuk meningkatkan pemisahan spektral, serta penggunaan sinar 100 kV daripada 80 kV pada energi rendah untuk untuk meningkatkan penetrasi sinar pada pasien dengan diameter cross-sectional > 35 cm.49

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 112

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Field of View DECT

Pada desain dual-souce DECT, FOV ditentukan oleh FOV pada tabung kedua dengan ukuran 33 cm, yang jauh lebih kecil dari FOV diagnostik tabung pertama ukuran 50 cm. Terdapat area minimal sekitar 5 mm dari overlap antara data energi tinggi dan rendah yang tidak masuk dalam analisis secara akurat. Oleh karena itu, objek yang berada di perifer FOV tabung kedua tidak termasuk dalam area analisis. Akibatnya, batu yang berada di perifer FOV tidak ditandai.49

Pitfall pencitraan dapat diatasi dengan melakukan pemindaian pendahuluan sebelum untuk memastikan kedua ginjal berada dalam margin analisis. Jika kedua ginjal berada diluar margin analisis, dilakukan reposisi pasien agar memungkinkan untuk analisis DECT dengan tepat. Namun, manfaat dan risiko dari paparan radiasi kedua harus dievaluasi sebelum dilakukan pencitraan ulang.49

Karakterisasi Batu Yang Salah

Pitfall pencitraan DECT terjadi pada pasien yang diterapi dengan stent ureter atau nephrostomy tube. Algoritma DECT mengkode stent ureter dengan tanda warna merah atau biru.52 Oleh karena, penanda stent sebagai satu warna oleh algoritma DECT (misalnya, merah) dapat ditempatkan pada pasien dengan batu yang ditandai sebagai warna yang berlawanan (misalnya, biru) untuk membuat kontras warna yang berguna secara klinis. Karakterisasi DECT terhadap stent juga dapat menjadi kelemahan jika pengaturan post-processing tidak dioptimalkan.49

Range ini merupakan parameter yang diatur secara manual pada software post-processing DECT yang menentukan radius dari kehalusan filter dalam analisis DECT untuk mengurangi efek quantum noise, dimana nilai range merupakan penjumlahan antara resolusi spasial dan SNR. Range yang lebih kecil, terjadi penurunan dari piksel yang berdekatan digunakan dalam mengkarakterisasikan batu, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, jika pengaturan range terlalu tinggi dan fragmen batu sangat dekat dengan stent, material stent akan dimasukkan dalam perhitungan komposisi material batu dan dapat dimasukkan kedalam batu yang memberikan warna yang sama seperti stent yang berdekatan. Pitfall ini mengakibatkan kamuflase dari fragmen batu dan kesalahan membedakan pada susunan batu. Akibatnya, perubahan keputusan manajemen batu yang dapat mengakibatkan pilihan intervensi yang suboptimal dan pencabutan stent lebih dini, keduanya menghasilkan peningkatan morbiditas pasien yang disebabkan oleh kesalahan karakterisasi material batu ukuran kecil yang berdekatan dengan stent ureter.49

Gambar 6. Karakteristik komposisi batu ginjal yang tidak konsisten sebagai non-asam urat atau asam urat pada pasien dengan postur yang gemuk dengan ukuran batu <3 mm. (a) DECT awal menunjukkan batu di pole atas ginjal kiri ukuran 2 mm ditandai sebagai non-asam urat (biru); (b) Pemeriksaan lanjutan ditandai sebagai batu asam urat (merah).49

Gambar 7. Pasien batu ginjal dengan BMI 47,7 kg/m2 dan diameter cross-sectional 50 cm. (A) Batu pole bawah ginjal kiri (panah) terlihat di tepi FOV pada analisis dual-energi (garis putus-putus). Akibatnya ada bagian di sekitar voxel yang tidak cukup untuk dilakukan analisis pada batu tersebut dan itu tidak ditandai pada gambaran DECT (b) Gambar aksial DECT. Penyesuaian posisi pasien ke arah sisi kontralateral akan memindahkan batu dalam FOV untuk dilakukan analisis.49

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017113

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Pitfall pencitraan DECT yang terjadi karena kesalahan memilih kontras antara batu dengan stent ureter pada gambar dua dimensi dapat diatasi dengan mengolah data pada berbagai pengaturan range dan dapat juga dinilai dengan rekontruksi gambar tiga dimensi dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda tanpa melakukan pencitraan ulang pada pasien.49,53

Gambar 8. Pasien dengan batu non-asam urat (a) Gambar DECT awal dengan range pada 3 tampak kontras antara stent Boston Scientific (merah) dan batu non-asam urat (biru) di ureter kanan. (b) Gambar DECT lanjutan dengan range pada 7 menyebabkan batu ditandai tidak benar menjadi sama dengan material stent yang berdekatan (merah), yang menyebabkan keputusan pencabutan dini dari stent. (c) Gambar setelah pencabutan stent menunjukkan biru batu non-asam urat (panah) masih ada.49

Gambar 9. Gambar rekonstruksi tiga dimensi DECT dari batu ginjal dan berbagai jenis stent ureter. Stent kiri dan kanan tampak merah dan biru, sementara semua batu tampak biru karena komposisinya non-asam urat. Perbedaan warna stent dan batu pada ginjal kiri memungkinkan visualisasi batu yang lebih baik (panah) daripada di ginjal kanan dimana stent dan batu memiliki warna yang sama. Efek kamulfase dapat dihindari dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda pada gambar rekonstruksi tiga dimensi.53

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 114

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Material yang menyerupai batu urinKomposisi Percutaneous Nephrostomy Tube

Percutaneus nephrostomy tube berbeda dengan stent ureter yang homogen, karena percutaneus nephrostomy tube memiliki band radiopaque dan intro tips untuk menusuk permukaan kulit. Bagian kateter ini mungkin termasuk bahan yang berbeda dari bagian sisa kateter yang lainnya. Hasilnya, kateter dapat ditandai sebagai biru dan band atau tip dapat ditandai sebagai merah, yang menyerupai gambaran batu asam urat dalam pigtail coil.49

KESIMPULAN

DECT merupakan modalitas pencitraan yang dapat menentukan komposisi batu urin secara spesifik dengan akurasi, sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi berdasarkan karakteristik rasio DECT masing-masing batu urin tanpa peningkatan dosis radiasi. Penentuan komposisi batu urin sangat penting dalam pengambilan keputusan terapi dan manajemen pasien.

Pemahaman tentang prinsip dasar, jenis alat, protokol, post-processing gambar pencitraan DECT sangat penting dalam melakukan interpretasi yang tepat pada analisis penentuan komposisi batu urin. Pengetahuan akan pitfall pencitraan dan material menyerupai batu menyajikan tantangan diagnostik yang dapat diminimalkan dengan pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip DECT yang dapat mencegah kesalahan interpretasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Curhan GC. Epidemiology of Stone Disease. Urol Clin N Am. 2007;34:287–93.

2. Saita A, Bonaccorsi A, Motta M. Stone Composition : Where Do We Stand? Urol Int. 2007;79(suppl 1):16–9.

3. Kambadakone AR, Eisner BH, Catalano OA, Sahani D V. New and Evolving Concepts in the Imaging and Management of Urolithiasis: Urologists’ Perspective. RadioGraphics. 2010;30:603–23.

4. Ngo TC, Assimos DG. Uric Acid Nephrolithiasis: Recent Progress and Future Directions. Rev Urol. 2007;9(1):17–27.

5. Boli DT, Patil NA, Paulson EK, Merkle EM, Simmons WN, Pierre SA, et al. Renal Stone Assessment with Dual-Energy Multidetector CT and Advanced Postprocessing Techniques: Improved Characterization of Renal Stone Composition — Pilot Study. Radiology. 2009;250:813–20.

6. Matlaga BR, Kawamoto S, Fishman E. Dual Source Computed Tomography: A Novel Technique to Determine Stone Composition. Urology. 2008;72(5):1164–8.

7. Stolzmann P, Kozomara M, Chuck N, Muntener M, Leschka S, Scheffel H, et al. In vivo identification of uric acid stones with dual-energy CT : diagnostic performance evaluation in patients. Abdom Imaging. 2010;35:629–35.

8. Stolzmann P, Scheffel H, Katharina V, Thomas R, Frauenfelder T, Leschka S, et al. Dual-energy computed

Gambar 10. Pasien dengan batu asam urat menjalani pemasangan percutaneous nephrostomy tube dengan Cook Dawson-Mueller drainage catheter. (a) Gambaran DECT setelah tindakan menunjukkan batu asam urat di ginjal kiri (panah pendek). (b) Gambaran DECT evaluasi menunjukkan resolusi dari batu ginjal dengan fokus tunggal merah yang tersisa pada ujung distal dari pigtail (panah panjang). (c) Pemindaian secara in-vitro dari Cook Dawson-Mueller drainage catheter menunjukkan intro tip (panah) akan ditandai berbeda dari bagian sisa kateter yang lainnya. (d) Tampilan kasar dari Cook

Dawson-Mueller drainage catheter dengan intro tip. (e) Rekonstruksi tiga dimensi secara in-vitro dari Cook Multipurpose Drainase Catheter dengan radiopaque band (panah) ditandai berbeda dari bagian sisa kateter yang lainnya. (f ) Tampilan kasar dari Cook Multipurpose Drainase Catheter dengan radiopaque band.49

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017115

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

tomography for the differentiation of uric acid stones: ex vivo performance evaluation. Urol Res. 2008;36:133–8.

9. Primak AN, Fletcher JG, Vrtiska TJ, Dzyubak OP, Lieske JC, Jackson ME, et al. Noninvasive Differentiation of Uric Acid versus Non-Uric Acid Kidney Stones Using Dual-Energy CT. Acad Radiol. 2007;14(12):1441–7.

10. Thomas C, Patschan O, Ketelsen D, Tsiflikas I, Brodoefel H, Kopp A, et al. Dual-energy CT for the characterization of urinary calculi: In vitro and in vivo evaluation of a low-dose scanning protocol. Eur Radiol. 2009;19:1553–9.

11. Kaza RK, Ananthakrishnan L, Kambadakone A, Platt JF. Update of Dual-Energy CT Applications in the Genitourinary Tract. AJR. 2017;208:1185–92.

12. Yu L, Primak AN, Liu X, Mccollough CH. Image quality optimization and evaluation of linearly mixed images in dual-source, dual-energy CT. Med Phys. 2009;36(3):1019–24.

13. Li X, Zhao R, Liu B, Yu Y. Determination of urinary stone composition using dual-energy spectral CT: Initial in vitro analysis. Clin Radiol. 2013;68(2013):370–7.

14. Rathore NS, Yadav S, Tu N, Wu G. Current Role of Dual-Energy Computed Tomography in Predicting The Chemical Composition of The Urinary Stones and Radiation Concerns. EJPMR. 2017;4(5):510–7.

15. Hoppe B, Leumann E, Milliner DS. Urolithiasis and Nephrocalcinosis in Childhood. In: Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. p. 499–525.

16. Trinchieri A. Epidemiology of urolithiasis: an update. Clin Cases Min Bone Metab. 2008;5(2):101–6.

17. Shoag J, Tasian GE, Goldfarb DS, Eisner BH. The New Epidemiology of Nephrolithiasis. Adv Chronic Kidney Dis. 2015;22(4):273–8.

18. Piazza PFR, Bisi NGM, Ferrari GGG. Lithiasis and Risk Factors. Urol Int. 2007;79(suppl 1):8–15.

19. Trinchieri A, Cappoli S, Butti A, Esposito N, Acquati P. Epidemiology of renal colic in a district general hospital. Arch Ital Urol Androl. 2008;80(1):143–6.

20. Ratkalkar VN, Kleinman JG. Mechanisms of Stone Formation. Clin Rev Bone Min Metab. 2011;9(3–4):187–97.

21. Evan AP. Physiopathology and etiology of stone formation in the kidney and the urinary tract. Pediatr Nephrol. 2010;25:831–41.

22. Cheng PM, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA. What the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis: Part 1— Pathogenesis, Types, Assessment, and Variant Anatomy. AJR. 2012;(198):540–7.

23. Tamm EP, Silverman PM, Shuman WP. Evaluation of the Patient with Flank Pain and Possible Ureteral Calculus. Radiology. 2003;228:319–29.

24. Turk C, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Skolarikos A, Straub M, et al. EAU Guidelines on Diagnosis and Conservative Management of Urolithiasis. Eur Urol. 2016;69:468–74.

25. Cheng PM, Moin P, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA.

What the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis: Part 2—CT Findings, Reporting, and Treatment. AJR. 2012;198:548–54.

26. Villa L, Giusti G, Knoll T, Traxer O, Catto J. Imaging for Urinary Stones: Update in 2015. Eur Urol Focus. 2015;81:1–8.

27. Mccarthy CJ, Baliyan V, Kordbacheh H, Sajjad Z, Sahani D, Kambadakone A. Radiology of renal stone disease. Int J Surg. 2016;36:638–46.

28. Ray AA, Ghiculete D, Pace KT, Honey RJDA. Limitations to Ultrasound in the Detection and Measurement of Urinary Tract Calculi. Urology. 2010;76(2):295–300.

29. Niemann T, Kollmann T, Bongartz G. Diagnostic Performance of Low-Dose CT for the Detection of Urolithiasis: A Meta-Analysis. AJR. 2008;191:396–401.

30. Heneghan JP, Mcguire KA, Leder RA, Delong DM, Yoshizumi T, Nelson RC. Helical CT for Nephrolithiasis and Ureterolithiasis: Comparison of Conventional and Reduced Radiation-Dose Techniques. Radiology. 2003;229:575–80.

31. Zagoria RJ. Retrospective View of “ Diagnosis of Acute Flank Pain : Value of Unenhanced Helical CT .” AJR. 2006;187:603–4.

32. Katz SI, Saluja S, Brink JA, Forman HP. Radiation Dose Associated with Unenhanced CT for Suspected Renal Colic: Impact of Repetitive Studies. AJR. 2006;186:1120–4.

33. Motley G, Dalrymple N, Keesling C, Fischer J, Harmon W. Hounsfield unit density in the determination of urinary stone composition. Urology. 2001;58(2):170–3.

34. Zheng X, Liu Y, Li M, Wang Q, Song B. Dual-energy computed tomography for characterizing urinary calcified calculi and uric acid calculi : A meta-analysis. Eur J Radiol. 2016;85(10):1843–8.

35. Preminger GM, Vieweg IJ, Leder RA, Nelson URC. Urolithiasis: Unenhanced Detection and Management with Spiral CT-A Urologic Perspective. Radiology. 1998;207:308–9.

36. Wang M, Shi Q, Wang X, Yang K, Yang R. Prediction of outcome of extracorporeal shock wave lithotripsy in the management of ureteric calculi. Urol Res. 2011;39:51–7.

37. Gupta NP, Ansari MS, Kesarvani P, Kapoor A, Mukhopadhyay S. Role of computed tomography with no contrast medium enhancement in predicting the outcome of extracorporeal shock wave lithotripsy for urinary calculi. BJU Int. 2005;95(9):1285–8.

38. Marin D, Boll DT, Mileto A, Nelson RC. State of the Art : Dual-Energy CT of the Abdomen. Radiology. 2014;271(2):327–42.

39. Fletcher JG, Hartman R, Guimaraes L, Huprich JE, Hough DM, Mccollough CH. Dual-Energy and Dual-Source CT: Is There a Role in the Abdomen and Pelvis? Radiol Clin N Am. 2009;47:41–57.

40. Johnson TRC, Krauß B, Sedlmair M, Grasruck M, Reiser MF, Becker CR. Material differentiation by dual energy CT : initial experience. Eur Radiol. 2007;17:1510–7.

41. Kaza RK, Platt JF, Cohan RH, Caoili EM, Al-Hawary MM,

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 116

Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Wasnik A. Dual-Energy CT with Single- and Dual-Source Scanners : Current Appli- cations in Evaluating the Genitourinary Tract. RadioGraphics. 2012;32:353–69.

42. McCollough CH, Leng S, Yu L, Fletcher JG. Dual- and Multi-Energy CT: Principles, Technical Approaches, and Clinical Applications. Radiology. 2015;276(3):637–53.

43. Primak AN, Giraldo JCR, Eusemann CD, Schmidt B, Kantor B, Fletcher JG, et al. Dual-Source Dual-Energy CT With Additional Tin Filtration: Dose and Image Quality Evaluation in Phantoms and In Vivo. AJR. 2010;195:1164–74.

44. Johnson T. Dual-Energy CT : General Principles. AJR. 2012;199:3–8.

45. Forghani R, Man B De, Gupta R. Dual-Energy Computed Tomography Physical Principles, Approaches to Scanning, Usage, and Implementation: Part 1. Neuroimaging Clin N Am. 2017;27(3):371–84.

46. Karlo C, Lauber A, Götti RP, Baumüller S. Dual-energy CT with tin filter technology for the discrimination of renal lesion proxies containing blood, protein, and contrast-agent. An experimental phantom study. Eur Radiol. 2011;21:385–92.

47. Hidas G, Eliahou R, Duvdevani M, Coulon P, Lemaitre L, Gofrit O, et al. Determination of Renal Stone Composition with Dual-Energy CT: In Vivo Analysis and Comparison with X-ray Diffraction. Radiology. 2010;257(2):394–401.

48. Henzler T, Fink C, Schoenberg SO, Schoep UJ. Dual-Energy CT: Radiation Dose Aspects. AJR. 2012;199:16–25.

49. Jepperson MA, Cernigliaro JG, Sella D, Ibrahim E, Thiel DD, Leng S, et al. Dual-energy CT for the evaluation of urinary calculi: Image interpretation, pitfalls and stone mimics. Clin Radiol. 2013;68(12):e707–14.

50. Qu M, Ramirez-Giraldo JC, Leng S, Williams JC, Vrtiska TJ, Lieske JC, et al. Dual-Energy Dual-Source CT With Additional Spectral Filtration Can Improve the Differentiation of Non–Uric Acid Renal Stones: An Ex Vivo Phantom Study. AJR. 2011;196:1279–87.

51. Mahalingam H, Lal A, Mandal AK, Singh SK, Bhattacharyya S, Khandelwal N. Evaluation of low-dose dual energy computed tomography for in vivo assessment of renal/ureteric calculus composition. Korean J Urol. 2015;56:587–93.

52. Jepperson MA, Thiel DD, Cernigliaro JG, Broderick GA, Parker AS, Haley WE. Determination of Ureter Stent Appearance on Dual-energy Computed Tomography Scan. Urology. 2012;80(5):986–9.

53. Ibrahim EH, Haley WE, Jepperson MA, Wehle MJ, Cernigliaro JG. Characterization of ureteral stents by dual-energy computed tomography: Clinical implications. World J Radiol. 2014;6(8):625–9.