Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Rahadhian P.H., dl<I<.
EKSISTENSI
SEBAGAI KARYA AGUNG ARSITEl<TUR INDONESIA
DI ASIA TENGGARA
r No. Klass .. ~~. : ~ ... ~~~ ........... .
' No. lnduj, ~~?~!~ .. Tgl .7~ :. ~.: ~.~~~
~~:~~ Bel; •fl••························ KC\n\s,us Dari . .. ..... ....• ...•••......•.••.•.•••
Rahadhian P. H. , dkk.
EKSISTENSI
SEBAGAI KARYA AGUNG ARSITEKTUR INDONESIA
DI ASIA TENGGARA
"'t2(,. \
E; \'<S
\lB31~ J ~I tTf'.\
:l~. ":/. :l.O\S.
PENERBIT PT KANISIUS
BKSISTBNSI CANDI SEBAGAI KARYA AGUNG
ARSITBKTUR INDONESIA DI ASIA TBNGGARA
1018002014
© 2018 PT Kanisius
PBNBRBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, Fax (0274) 563349
E-mail : [email protected]
Website : www.kanisiusmedia.co.id
Cetakan ke-
Tahun
5
22
4
21
3
20
2
19
1
18
Tim Penyusun Buku: Dr. Rahadhian P.H. (Koordinator)
Dr. Yuswadi Saliya
Editor
Desainer isi
Desainer sampul
IndriAstrina, S.T., M.A.
Dewi Mariana, S.T., M.T.
Andreas Martinus, S.T.
GalihAndika, S.T.
Nathanael W., S.T.
: Rosalia Emmy
: Marini
: Hermanus Yudi
ISBN 978-979-21-5516-7
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun,
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta
KATA PENGANTAR ( 1)
Buku ini merupakan hasil serangkaian riset yang dengan tekun dilakukan
oleh Tim Peneliti, terutama Dr. Rahadhian Prayudi Herwindo, menge.nai
candi-candi di Indonesia. Candi merupakan warisan arsitektur agung
(grand architecture) dari nenek moyang kita. Candi merupakan representasi
keunggulan arsitektural pada peradaban masa lampau Indonesia yang
seyogianya perlu dipelajari clan dipahami demi pengembangan arsitektur
(di) Indonesia pada masa kini clan mendatang. Penggalian clan pemahaman
kearifan clan keunggulan arsitektur candi semakin dirasa perlu clan penting
dalam upaya penguatan pengembangankonsep, unsur, clan karakter arsitektur
lokal di tengah arus pengaruh globalisasi.
Buku Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia
Tenggara merupakan telaah candi dari sudut pandang disiplin arsitektur yang
dapat melengkapi referensi perihal percandian yang selama ini tinjauannya
lebih bersifat antropologis clan arkeologis. Dengan ketekunan menggali
arsitektur candi dapat dikenali konsep tatanan, geometri, sosok, unsur
unsur, clan proporsi candi yang menunjukkan kekhasan kekayaan kasanah
arsitektural yang terdapat di Nusantara. Buku ini menunjukkan bahwa
keunggulan tradisi arsitektur (candi) Indonesia telah memberi pengaruh kuat
sampai ke mancanegara. Candi-candi besar di Jawa (seperti Prambanan clan
Borobudur) diduga kuat telah menjadi rujukan desain kuil/candi di kawasan
Asia Tenggara pada masa lalu. Dugaan tersebut membuka peluang untuk
mengembangkan penelitian arsitektur Candi lebih lanjut yang diharapkan
dapat lebih mengafirmasi pengaruh kuat arsitektur (candi di Indonesia) di
kawasan Asia.
Sesuai dengan Visi Universitas clan dijabarkan lebih lanjut dalam Visi
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
yang ingin mengangkat nilai-nilai lokal dalam tataran global, kehadiran b~ku
Kata Pengantar 3
ini merupakan bukti nyata pengejawantahan visi tersebut. Sebagai Dekan
Fakultas Teknik dan dosen Arsitektur, saya menyampaikan apresiasi yang
setinggi-tingginyaatas jerih payah Tim Peneliti yangsecara berkesinambungan
melakukan penelitian dan penyusunan buku ini.
Semoga buku ini dapat ikut merangsang tumbuhnya diskursus ilmiah
dalam rangka membangun teori arsitektur modern Indonesia berbasis
kelokalan Nusantara dan semoga penerbitan buku Eksistensi Candi sebagai
Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara merupakan awal dari upaya
penyusunan buku mengenai kekayaan arsitektur lokal Nusantara yang begitu
banyak dan beragam.
Selamat menikmati penjelajahan uraian pembandingan arsitektur candi
di Jawa dengan arsitektur percandian di Kamboja.
Dr. Yohanes Basuki Dwisusanto, IAI
Dekan Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan
4 I Ek s i s t ensi Ca n di seb agai K a r ya Agu n g A rs it ek tur Indone sia
KATA PENGANTAR (2)
S aya bersyukur bahwa beberapa arsitek Indonesia masa kini memiliki
keinginan kuat untuk mempelajari candi-candi hasil karya arsitektur
nenek moyang kita dengan pendekatan ilmu arsitektur sebagaimana
terungkap dalam buku ini: Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur
Indonesia di Asia Tenggara. Candi-candi yang terse bar di Indonesia (khususnya
Jawa dan Sumatera) dipelajari secara rind unsur-unsurnya dan dibandingkan
dengan bangunan serupa di Asia Tenggara. Oleh karena itu, kehadiran buku
yang bersifat regional ini pa tut mendapat sambutan hangat.
Bersyukur pula bahwa nenek moyang kita telah meninggalkan hasil
pemikiran dan karya mereka berwujud candi. Bentuk, ukuran, gaya, jenis
bahan, teknik pembuatan, usia, fungsi, dan lokasinya amat beragam. Pening
galan budaya itu kini masih ada dalam tingkat keterawatan yang utuh,
kurang utuh atau tidak lengkap, bahkan sudah rusak, rapuh atau hancur oleh
kegiatan alam dan tindakan manusia. Kita tidak dapat mengundang nenek
moyang untuk mendapat jawaban atas pertanyaan sederhana, seperti: usia
candi, lama pembangunan, siapa arsiteknya, pilihan lokasi, sistem peralatan,
organisasinya karena mereka sudah tiada.
Kita beruntung ada nenek moyang kita yang menuliskan pada prasasti
batu dan logam atau naskah lontar dan kertas yang tidak tahan lama tentang
peristiwa pendirian candi dengan bahasa dan tulisan kuno mereka. Data
tertulis semacam itu memang dapat membantu sebagian upaya interpretasi
peneliti, namun pastilah tak akan lengkap. Demikianlah hakikat data masa
lalu yang amat terbatas dipandang dari segi kuantitas maupun kualitas
informasinya.
Tidak ada salahnya, bahkan sangat positif, jika para arsitek Indonesia kini
melakukan penelitian candi untuk membantu perkembangan ilmu arkeol<_>gi,
Kata Pen gantar 5
karena objek yang dikaji tidak berbeda, kecuali pendekatannya. Berbagai
ilmu pengetahuan lain, seperti dari hard sciences dan so~ sciences, sudah biasa membantu arkeologi sejak lama. Proyek restorasi Candi Borobudur
membuktikan hal itu.
Saya tidak akan menyampaikan hipotesis yang diajukan para peneliti, cara meneliti, cara menganalisis, dan hasil akhir penelitiannya karena semua
itu agaknya sudah terungkap cukup jelas dalam buku ini, dilengkapi ilustrasi
yang bermanfaat.
Semoga para arsitek peneliti tetap bersemangat untuk meneruskan pe
nelitiannya dengan hipotesis-hipotesis baru agar kita dapat memperoleh pengetahuan lebih banyak tentang kebudayaan kita yang ditinggalkan sebagai
warisan budaya yang bermakna bagi masyakat kita sekarang. Diharapkan
warisan budaya ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah, dan kepentingan ekonomi melalui
kepariwisataan. Selamat membaca.
Prof. Dr. Mundardjito
Arkeolog
6 I Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia
KATA PENGANTAR (3)
A rsitektur Yunani, arsitektur Romawi, clan Vitruvius sepertinya sudah
J-1.ada dalam pikiran setiap arsitek dan mahasiswa arsitektur di Indonesia.
Ada yang lebih banyak lagi mengetahuinya, misalnya arsitektur klasik,
arsitektur modern, clan arsitektur postmodern. Mengapa hal ini bisa terjadi
di Indonesia? Tentunya disebabkan sebagian besar dari kita memercayai
clan bahkan meyakini bahwa arsitektur yang satu itu adalah satu-satunya
arsitektur yang ada, yang benar, clan yang (harus) berlaku. Perhatikan, di situ
"yang satu" telah tergeser oleh "satu-satunya", tidak ada lagi lainnya kecuali
"yang satu" itu. Sekolah-sekolah arsitektur dengan sadar maupun tidak sadar
telah menjadikan mahasiswa clan alumninya untuk berpikiran seperti itu.
Sudah semenjak saya menjadi mahasiswa semester awal di sekolah arsitektur
pada tahun 1967, saya sudah dimasuki pengetahuan arsitektur Barat/Eropa
sebagai satu-satunya arsitektur. Tentu saja, tidak dengan terang-terangan
dikatakan sebagai satu-satunya, tetapi dengan menyampaikan yang Barat/
Eropa itu saja, lainnya tidak dibicarakan. Menyimak yang dipunyai sebagai
pengetahuan oleh sebagian besar mahasiswa arsitektur semester awal,
sungguh luar biasa adanya: tidak jauh berbeda dari yang saya dapatkan dalam
akhir dasawarsa 1960-an.
Pengamatan awal membuat saya menduga bahwa berlimpah publikasi
clan demikian mudahnya akses ke sejarah clan pengetahuan arsitektur Barat/
Eropaadalahpenyebabpalingutama. Tentusaja,kemalasanparadosensejarah
arsitektur juga ikut menjadi penyumbang bagi keadaan itu. Betapa tidak,
di awal 1980-an Almarhum Mangunwijaya telah dengan tegas clan terang
terangan memastikan bahwa arsitektur Barat/Eropa bukanlah satu-satunya
sumber pengetahuan arsitektur, ada arsitektur Indo clan arsitektur Cina
yang juga ada clan mampu disejalankan perkembangannya dengan arsitektur
Barat/Eropa, khususnya yang berkenaan dengan zaman awal Masehi. Entah
mengapa, hingga hari ini, nama Mangunwijaya dengan pemikirannya tidak
Kata Pengantar 7
mai?uk dalam pengajaran sekolah arsitektur, padahal buku Mangunwijaya itu
berbahasa Indonesia .
Kemudian tibalah tahun 2013 yang bisa saja sangat penting bagi kita
di Indonesia, utamanya untuk melakukan pengubahan dari "satu-satunya"
menjadi "salah satu" sumber arsitektur. Tahun 2013 terbitlah buku berjudul
A Global History of Architecture dengan penyusun yang sangat menarik karena
berkebangsaan Cina, India, dan Amerika/ Eropa, yakni Francis DK Ching,
Mark Jarzombeck, dan Vikramaditha Prakash. Dengan terang-terangan
buku ini menyajikan sejarah arsitektur menurut waktu. Dalam waktu yang
sama, arsitektur mana saja yang dapat ditemui di dunia ini. Dari buku ini,
jelas-jelas tampak bahwa pada abad 1 sM-lM di Eropa, Cina, dan India sudah
hadir karya-karya arsitektur yang saling berbeda. Perbedaan ini sekaligus
menunjukkan bahwa India dan Cina tidak mesti seturut dengan Firmitas,
Utilitas, Venustas dari Vitruvius. Buku ini dengan nyata menegaskan bahwa
arsitektur Barat/Eropa hanyalah salah satu arsitektur, bukan satu-satunya
arsitektur.
Borobudur adalah karya arsitektur yang hadir pada abad ke-8, dan itu
berarti beberapaabadsetelah Vitruvius menyampaikan "rum us" arsitekturnya.
Pertanyaannya, apakah Borobudur dirancang dan dibangun dengan berpegang
pada Vitruvius? Jika pada abad ke-8 arsitektur Eropa sudah menampakkan
pengaruhnya di Indonesia, tentunya dapat diduga adanya pengaruh Vitruvius
di Borobudur. Sayang sekali, sejarah sudah membuktikan sendiri bahwa
Borobudur lebih banyak dan lebih kuat berkaitan dengan India daripada
Eropa. Demikian pula dengan banyaknya arsitektur candi hingga abad ke-10
di Indonesia, tidak ada yang berkaitan dengan arsitektur Barat/Eropa. Oleh
karena memang tidak ada hubungan dan kaitan antara Indonesia dengan
Barat/Eropa hingga abad ke-15, sebaiknya diyakinkan bahwa ada konsekuensi
dasar berikut ini yang sebaiknya menjadi dasar berpikir dan berpandangan
dalam menggeluti arsitektur candi dan arsitektur seumumnya di Indonesia
hingga abad ke-15. Ini membuat kita seharusnya berkepastian bahwa hingga
abad ke-15 arsitektur di Indonesia berhubungan dengan arsitektur India
(dan Cina) serta tidak dengan arsitektur Eropa/Barat. Ini berkonsekuensi
bahwa arsitektur kita tidak (harus) berpangkal dan bertumpu pada Vitruvius
beserta arsitektur Barat/Eropa sebagai sumber arsitekturnya. Sama sekali
8 I E k sistens i Candi sebaga i K arya Agung Arsitek t ur I n don e sia
tidak keliru bila dikatakan bahwa India clan Cina adalah hubungan clan kaitan
yang dipunyai oleh Indonesia dalam arsitektur.
Perhubungan clan perkaitan antara Indonesia dengan India (clan Cina)
menunjukkan intensitas yang tinggi sehingga dalam dunia arkeologi dikata
kan bahwa utamanya India memiliki pengaruh yang kuat dalam perjalanan
arsitektur candi di Indonesia. Di sini bisa saja dikatakan bahwa India yang
datang ke Indonesia, tetapi juga bisa saja dikatakan bahwa Indonesia yang
datang ke India. Yang pasti, hampir tidak ada candi di Indonesia yang me
rupakan salinan (copy) dari India, sehingga dapat dipastikan bahwa Indonesia
memiliki tempat clan kesempatan untuk mengembangkan daya ciptanya
sendiri dalam menggarap arsitektur candi sehingga hadir berbeda dari
India. Memang, bisa saja perbedaan itu adalah hasil dari meniru (mimetik/
mimesis) sehingga hal-hal yang sangat Indonesia lalu bisa muncul di candi
candi. Daya cipta clan kecerdasan dalam berarsitektur candi ternyata bukan
among kosong dan hal membesar-besarkan keberadaan arsitektur candi di
Indonesia. Meskipun tidak ada ulasan panjangnya, buku ini memastikan
bahwa Prambanan menjadi gedung jangkung pertama di Asia yang hadir
sebelum abadke-10. Memangtidakpanjang-lebaruraiannya, tetapi cukup jelas
betapa penguasaan teknologi telah memungkinkan pemberdirian bangunan
setinggi ini. Jikalau Prambanan dikatakan sebagai wakil (representasi) dari
kecerdasan dan daya cipta teknologi yang mengagumkan, dapat disaksikan
dari apa yang terjadi setelah Prambanan berdiri. Bukti demi bukti yang tidak
terbantahkan sudah menunjukkan bahwa candi Kamboja menyerap unsur
unsur candi Indonesia. Di sinilah buku ini harus ditempatkan sebagai bukti
arsitektur bagi penyerapan unsur arsitektur Indonesia dalam arsitektur
Kamboja.
Sejujurnya, jika sudah selesai membaca buku ini, sangat mungkin kita
akan mengatakan, "Hanya beginikah langkah untuk menunjukkan supremasi
Indonesia dalam arsi tektur percandian ?" Pertanyaan seperti ini menginga tkan
saya pada kisah telur Colombus. Dalam kisah itu ditunjukkan betapa semua
kontestan berkata, "Kalau hanya seperti itu yang dilakukan, kami semua ten tu
saja bisa melakukannya." Terhadap komentar itu Colombus mengatakan,
"Memang semua saja bisa melakukan hal itu, tetapi sayang hanya saya yang
berani melakukan itu di depan um um, tidak hanya dibatin saja." Saya sendiri
belum melakukan langkah yang sudah ditempuh tim Universitas Katolik
Kata Pengantar 9
Para.hyangan ini, walaupun demikian gampang caranya, maklum saya masih
belum punya cukup keberanian untuk menjadi Colombus. Bagaimanakah
cara yang telah ditempuh dalam menunjukkan adanya pengaruh Indonesia
di Kamboja? Sederhana sekali, yakni dengan menemukan jawaban atas
pertanyaan: Apa yang dapat terjadi saat dua objek arsitektur dijejerkan?
Salah satu kemungkinan kejadian yang muncul adalah adanya keserupaan
antara satu clan lainnya. Keserupaan menunjuk pada adanya kesamaan clan
sekaligus juga kebedaannya. Sekarang, kalau kedua objek itu ditunjukkan
angka tahunnya, maka temuan penjejeran ini berpotensi besar untuk dapat
menjadi penunjuk bagi objek mana yang lebih dahulu ada. Ini terutama dapat
diyakinkan dari kesamaan yang terjadi. Bila dua objek sama rupanya, maka
yang lebih tua usianya akan menjadi yang lebih mula dari objek kedua. Ten tu,
ini adalah sebatas penjejeran rupa atau bentuk dari objek-objek arsitektur,
tetapi sudah cukup sahih sebagai bukti bahwa yang lebih tualah yang memberi
pengaruh pada yang lebih muda. Kecermatan yang dipunyai oleh tim dalam
melakukan pemeriksaan ini sangat layak diberi penghargaan tinggi.
Sungguh sebuah pekerjaan rintisan yang pa tut diberi pujian. Tidak hanya
berurusan dengan dalam negeri, tidak juga hanya berurusan dengan yang
mancanegara, melainkan berurusan dengan keduanya. Kenapa tidak ada
keberanian untukmengatakan bahwa percandian di Kamboja adalah pengaruh
dari Indonesia? Kenapa harus menunggu lebih dari enam puluh tahun untuk
mengetahui clan menyadari bahwa ada langkah penelitian arsitektur yang
membuahkan hasil cemerlang, padahal dengan cara yang bisa dilakukan oleh
mahasiswa semester awal, yakni menjejerkan clan mendeskripsi? Semoga
buku ini tidak bernasib seperti Wastu Citra dari Mangunwijaya yang ternyata
tidak disentuh oleh sekolah arsitektur, padahal buah karya anak negeri clan
berbahasa Indonesia.
Prof. Dr. Josef Prijotomo
10 I Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia
KATA PENGANTAR ( 4)
Ketika manusia purba menyusun beberapa bongkah batu, para peneliti
bertanya-tanya dorongan apa gerangan yang telah menggerakkannya
hingga sampai pacla suatu gubahan bentuk tertentu. Kehendak apa pula yang
telah menghentikannya pacla bersusun tiga, lima, atau sembilan, misalnya.
Namun, jangankan tindakannya clengan batu-batuan, terhaclap wajahnya
sendiri pun -menorehkan getah tanaman, atau larutan lemak akan warna
warni bubuk kapur, arang, atau batuan berwarna, menghiasi rambutnya
clengan aneka bunga clan serbak setanggi- tak habis-habisnya mereka
membahasnya. Menduga-cluga, seperti benarkah karena didera oleh rasa
takut akan biclang kosong (horror vacui), atau was-was akan terungkapnya
rahasia pribacli hingga dalam tidurnya nanti dijemput jin-setan-siluman.
Mereka menyimak pula berbagai perubahan clan perkembangannya.
Bangunan cancli di Pulau Jawa, seperti Prambanan yang diclirikan lebih
clari sepuluh abacl yang lalu, jelaslah merupakan suatu karya canggih, yang
bukan sekadar susunan sejumlah batu, melainkan ujucl yang juga mewakili
suatu gagasan. Ungkapan rasa akan kekuranglengkapan hakikat kehadiran
umat manusia di tengah alam, perasaan clisergap kesepian batiniah yang
menclalam, clan/atau sebaliknya, ungkapan rasa sukur clan nikmat ilahiah.
Demikianlah maka candi itu pun menjacli bagian dari perikehidupan jiwa
raga umatnya.
Candi clengan demikian mempertemukan umat clengan berbagai hal yang
muskil clan gaib sesuai clengan pemahaman clan keyakinan serta tata-cara
yang telah disepakati. Jaclilah cancli sebagai jembatan eksistensial umatnya.
Bangunan candi memperlihatkan bagaimana berbagai bentuk ragawi clan
kasat mata itu sesungguhnya menganclung hal-hal yang tak teraga clan tak
terukur. Susunan sejumlah batu itu mengandung cerita, membawa pesan
Kata Pengantar 11
dan .berita yang tanpanya tak kan tersampaikan sebab memang tak perikan
adanya. Medium is the message, tulis McLuhan.
Untuk mengungkapkan perasaannya, rupanya umat manusia mempunyai
banyak cara, sebanyak kemungkinan pencerapan indrawinya. Manusia bisa
bernyanyi atau menari, bahkan berdiam diri, semedi, atau paduan akan se
muanya itu. Candi, kiranya jelas merupakan ungkapan yang bersandar pada
gejala yang kasat mata. Namun, seperti mudah diduga, pesan yang ingin
disampaikan tidak cukup dengan hanya melalui indra mata. Kehadiran candi
niscaya akan melibatkan gerak-langkah -olah tubuh dalam ruang dan waktu
di tengah gemerincing bunyi-bunyian dan imbauan suara penggembala doa di
antara serbak setanggi, dan seterusnya. Puncaknya semua itu membuktikan
bahwa susunan batu candi itu tidak berdiri sendiri. Kehadirannya bersangkut
paut dengan perilaku umatnya, berkelindan dengan tata ruang dan arah
lintang alam raya, bulan clan bintang, terbit-tenggelamnya matahari, ada
kalanya dengan sedikit berahasia, di antara selinap gelap-terangnya cahaya.
Bahkan juga dengan tinggi rendah muka tanah dan air, tanaman dan julang
pohonan, batas-batas kawasan beserta bukit gemunung.
Maka candi itu berdiri pasti di tempatnya. Tepat di titik terpilih dan ter
baik. Candi itu mengikat tamasya dan menyatu dengannya, lalu jadi penanda,
sekaligus juga berundak-undak mengarah ke angkasa jadi tengaran di tengah
dataran, memancarkan hasrat dan semangat dari sudut-sudut dan puncak
puncak tiaranya. Dari satu sisi, candi itu mewakili kehadiran ilahiah di antara
sekalian makhluk manusia di bumi. Dari sisi lainnya, candi mewakili karya
terbaik umat manusia dalam mengungkapkan pengakuan dan rindu akan
kehadiran-Nya.
Kiranya inilah yang terpenting di sini, sekalian umat fasih memaknai
nya melalui peta clan segi-segi garis geometrinya yang niscaya, yang tak
sedikit pun menampakkan keraguan atau kesangsian. Geometri candi itu
mencerminkan nuansa kepastian belaka, seperti digariskan oleh mandala
acuannya. Kalaulah Pulau Jawa memiliki lahan datar yang luas clan bebas
gempa, niscaya ungkapannya pun akan membahana lepas. Kompleks Angkor
Wat di Kamboja berada di lahan datar lebih dari sepuluh kilometer persegi
luasnya. Ada garis selasar yang lurus sempurna sepanjang lebih dari satu
kilometer panjangnya sebelum tiba di inti candi, seolah berenang mem
belah waduk raksasa. Permukaan air yang datar sempurna, garis-garis sejajar
12 I Eks istensi Candi sebagai Kary a Agung Arsitektur Indonesia
mengapit paduraksa di selang pola jarak tertentu: itu pun cerminan hasrat
dan semangat makhluk manusia dalam bahasa geometri, petak-petak yang
penuh perhitungan.
Di antara ratusan candi, Pulau Jawa memiliki Candi Prambanan, yang
dipercaya sebagai puncak peradaban Hindu-Siwa paruh kedua abad ke-9,
menandaikebangkitankembaliDinastiSanjayapadazamanKerajaanMedang,
Mataram Awal, sesudah Dinasti Syailendra satu abad sebelumnya. Dengan
Prambanan, Sanjaya seolah menyaingi kebesaran Borobudur. Bangunan
Candi Prambanan setinggi 4 7m, setara dengan bangunan modern 10 lantai,
yang diperkirakan mulai dibangun pada tahun 850 CE itu, dapat dikatakan
sebagai bangunan bertingkat tinggi pertama di Asia Tenggara. Inilah temuan
pen ting yang sejauh ini diperoleh melalui penelusuran data kesejarahan yang
ada. Kemampuan mendirikan bangunan tinggi pada pertengahan abad ke-9
sungguh merupakan prestasi membanggakan. Angkor Wat yang sangat mirip
dengan Prambanan dibangun abad ke-12, sebagaimana diungkapkan dalam
buku hasil penelitian ini. Itu berarti Prambanan telah berdiri dua abad lebih
awal dari Angkor Wat.
Peradaban tektonika setinggi ini, sekalipun sangat mungkin tidaklah
berdiri sendiri melainkan mengambil manfaat dari luar juga, dari Cina mi
salnya, merupakan pencapaian ketukangan tersendiri, terutama dalam
mengolah batu-batuan andesit yang banyak tersedia berkat banyaknya
gunung api di Jawa. Para pemahat Mataram memiliki kepekaan akan ke
selarasan ukuran tubuh manusia, kehalusan dalam menyelesaikan raut
wajah pada pahatan reliefnya. Keterampilan ini masih membekas di sana-
. sini sesudah runtuhnya Dinasti Sanjaya, diduga oleh perpecahan di dalam
kerajaan, atau bencana letusan gunung Merapi, dan berpindah ke timur, di
bawah Mpu Sindok. Sekalipun tampak ada kemunduran dalam penyelesaian
ukiran perwajahannya dan besaran bangunan candi-candinya yang mengecil,
namun dalam keselarasan ukuran candi masih menampakkan tampilan
yang tetap manis, mungil, cenderung mengarah ke ungkapan puitis, seperti
dikatakan Jan Fontein. Ada ungkapan gerak dinamik yang mendorong inti
candi ke ujung.
Dengan perkataan lain, percandian di Jawa mengalami perkembangan
ungkapan bentuk, tidak hanya dalam ukuran melainkan dalam matra
gerak. Sesungguhnya, sejak awal mula perkembangan budaya batu-besar,
Kata Pengantar 13
megalitikum, dari situs Sibedug di Banten yang diduga telah dibangun pada
500 BCE, hingga ke Borobudur yang berdiri pada tahun 824 CE itu, bahasa
bentuk atau bahasa rupa telah mengalami perkembangan jauh. Hal ini,
menurut para ahli, antara lain merupakan buah letak geografis Nusantara
yang berada di antara dua benua dan dua samudera. Nusantara adalah
kawasan yang terbuka, serupa betul dengan keadaan di Mesopotamia pada
empat-lima milenial Sebelum Tarikh Umum, BCE. Telah diketahui bahwa
kawasan Mesos + Potamos, kawasan di antara dua sungai itu, Mesopotamia,
merupakan lahan subur dan terbuka, hingga ada saatnya suatu kawasan
berganti-ganti diperebutkan dan diduduki tak kurang dari sembilan suku
dengan latar belakang budaya berbeda. Hasilnya adalah budaya campuran
yang heterogen dan (hingga) sangat ekspresif, kaya dengan ungkapan
berkat luasnya khazanah kosa bentuk dan suburnya keterampilan yang telah
dihimpunnya sepanjang masa yang telah dilaluinya.
Dari laporan penelitian ini tampaklah bahwa bawaan sifat ekspresif
-istilah trendi masa kini adalah DNA-nya sosial-budaya- membutuhkan
keterampilan pragmatik untuk dapat menghasilkan karya-karya eksistensial,
yakni karya-karya yang mampu mewakili atau mewadahi kehadiran umat
manusia dengan segenap hasrat dan semangatnya. Sebaliknya, keterampilan
pragmatik semata-mata, seperti telah terbukti dalam lawatan sejarah
kebudayaan Eropa, setidak-tidaknya sepanjang mengikuti garis historiografi
dunia Barat, Rococo, y.i. sempalan "sesat" dari Barak, yang sangat meng
andalkan pada keterampilan semata-mata berakhir di ujung jalan buntu.
Hasilnya, kalaulah bukan terjebak di kantung Virtuoso-isme, seperti Paganini
yang konon mampu memainkan partitur dengan senar tunggal biolanya
karena senar lainnya mendadak putus di tengah pertunjukan, a tau hanyut ke
alur Mannerism. Di situ, hasrat dan semangatnya akan terkunci pada upaya
penghalusan, refinement terus-menerus. Serupa betul dengan nasib Mataram
Akhir sesudah laut dan darat dikuasai VOC. Sesudah hasrat dan semangatnya
terpasung, terjadilah penghalusan demi penghalusan budaya keraton, dari
ragam busana hingga tilam bahasa. Proses involutif yang kontraproduktif,
keasikan kultural yang membius.
Dari titik ini, sulit bagi saya untuk membayangkan arsitektur Indonesia
a tau Nusantara tanpa menyimak perjalanan perujudan candi dengan segenap
rajah geometrinya yang muktamat itu. Jadi, seperti bersajak: dalam candi
14 I Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia
tersimpan sandi. Untuk bangkit kembali, itulah yang kini harus dikaji, sampai
tergali hasrat clan semangat yang asli, yang asali, yang sejati. Kisi-kisi candi
merupakan awal yang bagus, tidak perlu mulai dari nol. Maka, untuk maju,
tidak harus menelusuri kembali dari zaman batu. Seperti halnya tak perlu
mencipta ulang roda untuk maju, maka alih-alih mendirikannya kembali,
muruah arsitektur candi pun 'kan tetap abadi dengan menyimak saripati inti
api sesanti sandinya. Selangkah lebih maju, desa kala patra, kata orang Bali
dengan fasih.
Akhirul kalam, dari judul Ekistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur
Indonesia di Asia Tenggara, kalau mau, dari balik jendela perspektif yang
berbeda, boleh jugalah agaknya dibaca Candi sebagai Karya Agung Eksistensial
Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara. Selamat mengkaji.
Dr. Yuswadi Saliya
Kata Pengantar 15
PENGANTAR
I ndonesia memiliki tradisi arsitektur yang kuat. Tidak semua bangsa di
dunia memiliki tradisi arsitektur seperti Indonesia. Kedinamisan dan
keragaman wujud arsitektur merupakan bagian dari kuatnya tradisi arsitek
tur tersebut. Secara sinkronik maupun diakronik, pada hakikatnya wujud
keunggulan seni-tradisi arsitektur di Indonesia dapat dikenali melalui
pengaruhnya ke tingkat Asia Tenggara a tau Asia. Prambanan dan Borobudur
diperkirakan menjadi rujukan desain kuil di kawasan Asia Tenggara. Hal ini
merupakan contoh nyata keunggulan tradisi arsitektur Indonesia, demikan
pula dengan kreativitas dalam menghasilkan bentuk arsitektur yang barn.
Candi Prambanan dapat dipandang sebagai "The first high rise building in
South East Asia'', sebelum Menara Petronas ataupun Angkor.
Hal tersebut menunjukkan keunggulan tradisi arsitektur masyarakat
Nusantara di masa lampau dan telah menjadi sumber inspirasi yang kuat
bagi kawasan Asia Tenggara. Jejak arsitektur era Hindu-Buddha yang masih
dapat disaksikan sampai saat ini adalah bangunan pemujaan-kuil yang
dikenal dengan "candi". Oleh karena itu, desain candi dapat dimasukkan ke
dalam salah satu representasi kebudayaan utama pada masanya. Implikasi
unsur-unsur desain candi diduga masih persisten dirasakan pada masa lalu,
di dalam maupun di luar Indoensia, dan masih dapat dikenali pada masa
Islam, Kolonial, dan di Indonesia, baik digunakan secara sadar maupun tidak
sadar representasinya. Peninggalan bangunan masa Hindu-Buddha tersebut
berpotensi sebagai sumber inspirasi/referensi yang "stabil" (diduga selalu
muncul pada tiap masa) dan persisten di Indonesia dan Asia Tenggara. Oleh
karena itu, candi dapat dipandang sebagai salah satu local historical prototype
yang pen ting di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Penggalian kekayaan Nusantara dapat dimulai dengan merujuk pada
peninggalan masa Hindu-Buddha. Tradisi yang lebih bersifat holistik seperti
Hindu-Buddha telah mewarnai perkembangan kebudayaan Nusantara
Pengantar 17
kur9-ng lebih 11 abad lamanya. Tradisi Hindu-Buddha diperkirakan memiliki
akar pengaruh yang sangat kuat clan persisten dalam budaya Indonesia,
khususnya di Jawa-Bali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kitab
Nagarakertagama mencatat bahwa wilayah Majapahit (salah satu kerajaan
Hindu terbesar di Nusantara) menjangkau seluruh Nusantara, bahkan sampai
kawasan negara tetangga (Singapura, Malaysia, Philippina). Fenomena ini
mendorong kebudayaan yang berakar pada tradisi Hindu-Buddha secara
unconscious diduga telah merasuk kuat dalam collective memory masyarakatnya.
Memori yang berkaitan erat dengan alam bawah sadar masyarakatnya
dapat bermuara dalam wujud archetype. Meskipun pada saat ini mayoritas
masyarakat Indonesia tidak lagi memeluk agama Hindu-Buddha, namun jejak
jejak tradisi budaya tersebut masih dapat dirasakan, khususnya di Jawa-Bali.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan simbol-simbol nasional yang
masih merujuk pada kebudayaan masa Hindu-Buddha oleh founding father
Indonesia, seperti Burung Garuda, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih, clan
sebagainya.
Penelitian pada warisan bangunan masa lalu di Indonesia selama ini
terlihat cenderung bertumpu pada ranah yang bersifat antropologis clan
arkeologis clan kurang dikenali sifat transformatifnya sehingga terkesan
statis. Buku ini akan meninjau bangunan candi berdasarkan kajian arsitek
tur. Pendekatan Arsitektur memungkinkan adanya gagasan yang lebih
transformatif, khususnya yang berkaitan dengan wilayah Asia Tenggara clan
dipandang dapat menunjukkan eksistensi candi dalam konteks yang lebih
luas dalam konteks diakronik. Diharapkan melalui buku ini, dapat dikenali
keunggulan-keunggulan clan potensi-potensi yang menunjukkan kekhasan
arsitektur candi Nusantara. Teori arsitektur Indonesia tentunya tidak hanya
bertumpu dari rujukan tradisi Yunani-Romawi, namun merujuk pada tradisi
yang sudah dimiliki di Nusantara, sehingga dapat digunakan sebagai landasan
dalam membangun identitas Ke-Indonesia-an di tengah arus globalisasi yang
kuat.
Buku ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan melalui
dukungan RISTEKDIKTI (Hibah Kompetensi) dan LPPM Unpar. Pada tahun
III penelitian difokuskan pada kegiatan membandingkan candi-candi utama
Indonesia (Borobudur, Prambanan, Sewu) clan candi-candi di Kamboja (Pra
Angkor, Angkor, clan Angkor Akhir). Hasil dari penelitian ini diharapkan akan
18 I Eksistensi Candi scbagai Karya Agung Arsitektur Indonesia
~
dapat dimunculkan pemahaman barn tentang eksistensi arsitektur Indonesia
pada level internasional dengan tetap bertumpu clan digali dari kekayaan
arsitektur Nusantara. Buku ini dapat menggugah semangat penghargaan
terhadap rasa clan sikap nasionalisme yang kuat clan tradisi Indonesia melalui
arsitektur, baik secara umum (sejarawan, arkeolog, clan sebagainya) maupun
khususnya bagi para arsitek, akademisi-sarjana arsitektur Indonesia.
Pengaruh globalissasi saat ini menunjukkan kesan adanya "pemindahan"
gaya, sosok, clan konsep arsitektur asing anything goes, sementara pada masa
lalu, Indonesia pernah menjadi pusat peradaban arsitektur yang kuat clan
dirujuk di Asia Tenggara. Hal ini memang belum banyak ditlilis. Bab I clan
V merupakan pengembangan penelitian tentang arsitektur percandian oleh
Rahadhian P.H., Bab II merupakan kajian Galih Andika, Bab III merupakan
kajian Andreas Martinus, Bab IV merupakan kajian Nathanael W. Bab II, Ill,
IV kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Indri Astrina, Dewi Mariana,
Yuswadi Saliya, clan Rahadhian P.H. Penelitian yang dilakukan ini dalam
rangka mendukung penelitian Hibah RISTEKDIKTI.
Di sisi lain, saat ini wisatawan yang berkunjung ke Angkor menunjukkan
jumlah yang luar biasa, yakni mencapai kurang lebih sepuluh kali lipat
dibandingkan wisatawan mancanegara ke Borobudur-Prambanan. Hal
ini menunjukkan bahwa eksistensi Angkor lebih kuat dari candi-candi di
Indonesia, sementara pada masa lampau, teknologi clan tradisinya -jujur
dapat dikatakan- berasal dari Jawa. Buku ini ingin menggambarkan bahwa
bangunan candi Jawa sebenarnya jauh lebih unggul daripada di Kamboja,
baik dari segi teknologi maupun seni arsitektur. Penelitian ini menunjukkan
bahwa candi Jawa telah menjadi sumber inspirasi yang kuat bagi desain
bangunan-bangunan candi di kawasan Asia Tenggara. Buku ini akan me
nunjukkan pada masa lalu arsitektur Indonesia sangat eksis clan telah
menginternasionalisasi di kawasan Asia Tenggara (bahkan diduga sampai
India -penelitian selanjutnya- terjadi arus balik ke India dari Indonesia).
Buku ini menggunakan pendekatan arsitektural melalui kajian repre
sentasi, tipomorfologi arsitektur, transformasi, percampuran, clan dapat
dikaitkan dengan pemahaman analogi-analogi yang bertumpu dari nilai-nilai
lokal. Buku ini dibagi dalam lima bab sebagai berikut.
Pengantar 19
Ba~ I Pendahuluan
Berisi tipomorfologi arsitektur candi di Indonesia secara umum, termasuk
Prambanan, Borobudur, Sewu. Bab ini membahas unsur-unsur kuat
arsitektur candi di Indonesia yang transformatif.
Bab II Candi Jawa dengan Arsitektur Era Transisi di Kamboja
Berisi kajian hubungan candi Era Transisi di Kamboja dengan candi
Jawa. Jayawarman, raja Kamboja, pernah tinggal di Istana Syailendra di
Jawa. Bab ini menunjukkan bahwa candi-candi Masa Transisi di Kamboja
menunjukkan adanya relasi kuat dengan arsitektur candi-candi di Jawa.
Hal ini dapat dilihat dari tipomorfologi arsitekturnya.
Bab III Candi Jawa dengan Arsitektur Angkor
Berisi kajian hubungan candi di Era Angkor dengan candi Jawa. Bab
ini berisi perbandingan Angkor Wat sebagai puncak arsitektur candi di
Kamboja dengan Candi Prambanan-Borobudur sebagai puncak arsitektur
candi di Jawa. Dapat ditunjukkan bahwa Angkor Wat menunjukkan
adanya percampuran gagasan arsitektur Borobudur clan Prambanan.
Hal ini dapat dikenali melalui tipomorfologi arsitekturnya, meskipun di
Kamboja menunjukkan adanya perkembangan lokal genius yang semakin
kuat.
Bab IV Candi Jawa dengan Arsitektur Angkor Akhir (Late Angkor)
Berisi kajian hubungan candi pada Era Angkor akhir dengan candi Jawa.
Bab ini berisi perbandingan Bayon dengan Candi Prambanan-Borobudur
Sewu. Gagasan ide arsitektural menyerupai Candi Borobudur, Prambanan,
clan Sewu secara umum masih dapat dikenali di sana meskipun tidak
sekuat era Angkor dan Transisi. Pengamatan lapangan menunjukkan
bahwa arsitekturnya menunjukkan gagasan yang baru.
Bab V Penutup
Bab ini menggambarkan keunggulan tradisi arsitektur candi di Indonesia
clan sekaligus menunjukkan adanya persistensi eksistensi candi Jawa pada
candi-candi di Angkor. Hal ini sekaligus menggambarkan, baik langsung
maupun tidak langsung, adanya keunggulan tradisi arsitektur Indonesia
20 I E k sis t e ns i Ca n di s e bag a i K a r y a Ag u n g A r site kt u r I n done s i a
di Asia Tenggara. Sosok Angkor Wat sepintas terlihat lebih tinggi dari
Prambanan clan Borobudur, namun harus jujur dikatakan, yang tinggi
sebetulnya hanya kaki bangunannya, sementara bangunan utama di
puncaknya tidak lebih tinggi dari Candi Mendut. Hal ini menggambarkan
peradaban Kamboja sebenarnya belum mampu menghasilkan bangunan
beruang setinggi Candi Prambanan.
Kami mengucapkan terima kasih atas penerbitan buku ini, khususnya
kepada Kementerian RISTEKDIKTI yang sudah memberikan dukungan
dalam penelitian ini melalui Hibah Kompetensi. Selain itu, kami juga
mengucapkan terima kasih kepada LPPM Unpar, Fakultas Teknik Unpar,
clan Prodi Arsitektur Unpar yang telah mendukung terlaksananya kegiatan
ini. Tim Peneliti terdiri atas Dr. Rahadhian P.H. (Koordinator), Dr. Yuswadi
Saliya, Dr. Basuki Dwisusanto, Indri Astrina, S.T., M.A, Dewi Mariana, S.T.,
M.T, Andreas Martinus, S.T, Galih Andika, S.T., Nathanael W., S.T. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada para alumni yang telah membantu
memperkaya pendataan ketika studi di Unpar, antara lain saudara Lucky
Prasetyo, S.T., Antonius Richard, S.T., Ramos, S.T., Andre Halim, S.T., Martin
Pradipta, S.T., MarvinLimanjaya, S.T., IrwanCitra, S.T.,Andrian Kartawidjaja,
S.T., Anthony Cahya, S.T., Michael, S.T., Leewan Yendy, S.T., Kalvin Widjaja,
S.T., Tiara Larissa, S.T., Reginald Fabian Tirtaputra, S.T., Kenrick Phoan, S.T.,
Rayner S.T., Janitra Satriani, S.T., clan Muhammad Hilmy Arieza, S.T. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada para pakar dalam penerbitan buku
ini, yakni Prof. Dr. Mundardjito (Arkeolog Senior Indonesia, Guru Besar UI),
Prof Dr. Josef Prijotomo (Guru Besar Arsitektur ITS), Dr. Yuswadi Saliya
(Arsitek clan Akademisi Senior Indonesia, pendiri Lembaga Sejarah Arsitektur
Indonesia). Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih, khususnya kepada
Saudara Danang S., Dr. Karyadi Kusliansjah dan Tim PT Kanisius.
Salam
Rahadhian P - Dodo Arsitektur Unpar,
Desember 2017
Pengantar 21
DAFTAR Is1
Kata Peng an tar 1 .......................................................... .. ................................................................................... 3
Kata Pengantar 2 ................................................................................................................................................ 5
Kata Pengantar 3 ............................................... ............ ............................. ................................................. ....... 7
Kata Pengantar 4 ...... _ .................. _................ ..... .... .......... .......... ........ .. .......... .. ....................................... .......... 11
Pengantar .............................................................................. ................................... ............................. ..... ................... 17
Daftar Isi ...................................................................................................................................... .... ........... ................... 23
Bab I Arsitektur Candi di Jawa ...................................... ........................................................ 25
A. Tipologi Sosok Arsitektur Candi .................... ... ............................................... 27
B. Sosok Candi .................................................................... ........................................................... 31
C. Perkembangan Arsitektur Candi ....................................................................... 35
D. Elemen Fisik ................................................................. ........ ............... ...... ............ .................... 53
E. Sifat dan Karakteristik Arsitektural ............................................................. 70
Bab II Relasi Candi Jawa dan Candi Era Transisi di Kamboja.. .... 89
A. Gaya Candi di Era Transisi ....................................................................................... 90
B. Representasi Arsitektur Candi Jawa pada Candi Bakong.. ... 103
Rangkuman ............................................. ....................... ....................................................................... 132
Bab III Pengaruh Arsitektur Candi Jawa pada Puncak
Arsitektur Percandian di Kamboja .............. ...... ............................................. 137
A. Tata Massa dan Denah ..... .............................. ............................................................. 139
B. Denah Bangunan Utama dan Bangunan Penunjang ............... 145
C. Sosok ................................................................................................................. ................................ 148
D. Ornamen ......... ............................ ................................ ........................ .. ........................................ 154
Rangkuman Komparasi Unsur Arsitektur ......................................................... 167
Daftar lsi 23
Bab IV Persistensi Jejak Candi Jawa di Era Angkor Akhir ....... ........... 171
A. Tata Massa ···············-·· ······································ ··········· ·· ··················-··· ······································· 173 B. Denah ......... ....................................................................................................................................... 182
C. Sosok ............... ........................... ..................................................................................... ................... 187
D. Ornamen ............... ........................................................................................................................ 198
Komparasi Ornamen Pin tu dan Kepala candi ............... ........................... .... 214
BAB V Keunggulan Tradisi "Big Temples" Arsitektur Candi
di Indonesia sebagai Sumber Inspirasi yang Penting
di Kawasan Regional .................................................. ................... .. .................................. .. . 231
A. Tata Massa ............ .. ............ ............... ....... .. ................................................................................ 237
B. Denah dan Ruang .......................................................................................... ..................... 239
C. Sosok ................... .................................................... ................................. ......................................... 239
D. Ornamen ....................................................................................................................................... 241
Daftar Pustaka .. .......................... .. .................... ............... .......... ........................................................................... 24 7
Biodata Tim Penyusun Buku ................... ............. ., ...... .. .. .. ................ ............. ...................... ..... .... ... 254
24 I E k s i s t e n s i C a n J i s c b a g a i K a r y a Ag u n g A rs i t c kt u r I n cl o n e s i a
BAB I
ARSITEKTUR CANDI DI ]AWA
I ndonesia pada hakikatnya rnemiliki tradisi arsitektur yang kuat clan
unggul. Hal ini tecermin dari wujud desain arsitektm:nya. Wujud arsitek
tur yang beragam clan dinamis merupakan bagian dari tradisi arsitektur
tersebut. Keragaman ini menunjukkan pola berpikir masyarakat Indonesia
sangat dinamis clan terbuka. Indonesia memiliki kekayaan arsitektur tra
disional yang sangat beragam, baik secara sinkronik maupun diakronik.
Jejak arsitektur era Klasik-Hindu-Buddha yang masih dapat disaksikan
sampai saat kini adalah bangunan pemujaan-kuil yang dikenal dengan
"candi". Dalam klasifikasi Rapoport (1978) tentang building, bangunan kuil
(contohnya seperti candi) dapat dikategorikan ke dalam klasifikasi grand
design tradition yang mereperesentasikan high style, main culture, power and
good tastes of patern and designer, berbeda dengan folk tradition (vernacular,
primitive, clan sebagainya). Oleh karena itu, desain candi dapat dimasukkan
ke dalam salah satu representasi keutamaan suatu hasil kebudayaan pada
mas an ya.
Implikasi unsur-unsur desain candi diduga masih persisten dirasakan
pada masa Islam, kolonial, clan saat ini di Indonesia, baik digunakan secara
sadar maupun bawah sadar. Peninggalan bangunan masa Hindu-Buddha
tersebut berpotensi sebagai sumber inspirasi/referensi yang "stabil" (selalu
muncul pada tiap masa) clan persisten di Indonesia. Oleh karena itu candi,
dapat dipandang sebagai salah satu local historical prototype yang penting
di Indonesia. Dalam perkembangannya, representasi candi tidak sekadar
dipahami sebagai bangunan, melainkan dapat mengandung nilai "place"
di dalam alam pikiran masyarakat, khususnya di Jawa-Bali. Candi-candi
Jawa juga diperkirakan berpengaruh kuat terhadap candi-candi lain di Asia
Tenggara, seperti di Kamboja, bahkan memberikan feedback ke India yang
dikenal sebagai pusat lahirnya Hindu clan Buddha di dunia.
Arsitektur Candi di Jawa 25
Candi dapat dikenali sebagai wujud keunggulan tradisi arsitektur di
Indonesia, baik dari kedinamisan, variasi bentuk, maupun pengaruhnya ke
masa pasca-Hindu-Buddha. Prambanan adalah The First High Rise Building
in South East Asia, dapat dibandingkan dengan arsitektur yang sezaman di
Asia Tenggara dan India. Membangun bangunan tinggi seperti Prambanan
diperlukan kemampuan pengetahuan clan manajemen pengelolaan yang
memadai.
Arsitektur candi di Indonesia menunjukkan hasil local genius khas yang
dimiliki Indonesia, berbeda dengan kuil-kuil yang ada di India, meskipun
tradisi Hindu-Buddha berasal dari sana. Pengkajian candi selama ini cen
derung bertumpu: pada ranah yang bersifat arkeologis, namun demikian
candi pada dasarnya adalah bangunan sehingga semestinya juga bagian
penting dari pengkajian yang bersumber pada ilmu arsitektur, apalagi jika
muncul pemahaman wujud pengembangannya dalam perjalanan sejarah
arsitektur sampai masa kini. Dengan pendekatan arsitektural, candi tidak
dianggap sebagai benda statis (pathological monument) saja, namun dapat
berlaku dinamis (propelling monument), baik dalam wujud bendanya sendiri
maupun wujud transformasinya gagasan arsitekturalnya.
Selain Indonesia, di Asia Tenggara, negara yang memiliki tradisi per
candian adalah di Angkor Kamboja. Pesatnya perkembangan arsitektur candi
di Kamboja konon berkorelasi kuat dengan arsitektur percandian di Jawa,
khususnya era Prambanan dan Borobudur. Raja Jayawarman II dari Kamboja
diceritakan pernah tinggal di Jawa di Istana Syailendra ketika Borobudur
mulai didirikan. Hadirnya Jayawarman di Jawa menimbulkan banyak tafsir,
antara lain: Jayawarman II mengungsi ke Jawa akibat perebutan kekuasaan
di Kamboja, Jayawarman II hadir di Jawa karena ditawan atau dibawa ke
Jawa ketika masih belia dan dibesarkan oleh Kerajaan Mataram setelah
penaklukan Kamboja oleh Raja Sanjaya, Jayawarman II tinggal di Jawa
karena memang beliau adalah keturunan di Jawa dan mempunyai hubungan
pernikahan dengan tokoh di Kamboja dan setelah itu beliau kemudian
hijrah ke Kamboja, dan sebagainya.
Berdasarkan banyak tafsir tersebut, dapat dipahami adanya hubungan
erat antara Kamboja clan Jawa dangan hadirnya Jayawarwan II di Jawa,
meskipun kemudian beliau menyatakan merdeka atau melepaskan diri
dari pengaruh Jawa setelah diangkat menjadi Raja di Phnom Kullen. Yang
26 I Ek sis t e 11 s i Cand i s e bag a i K a r y a Ag u n g A rs it e k t u r Ind o n cs i a
dimaksud merdeka tersebut masih juga terdapat banyak tafsir, merdeka dalam arti wilayah-otonomi atau merdeka dalam mitreka satata karena di
perkirakan dengan kemakmuran Mataram Kuna di J awa yang marnpu mem
bangun bangunan-bangunan besar, diperkirakan juga mampu membangun
angkatan perang yang kuat pula. Dengan demikian, jika berani melepaskan diri tentunya akan dibayar dengan pengiriman pasukan perang seperti
pernah ada sebelumnya. Namun demikian, dari sudut pandang arsitektur
diperkirakan Jawanisasi arsitektur candi telah terjadi di awal-awal per
kembangan Angkor. Di sisi lain, merdeka dapat pula dikaitkan dengan pe
mujaan Raja Gunung yang diinisiasi sendiri di Kamboja, terlepas dari Raja
Gunung yang ada di Jawa, khususnya dalam hal pemujaan terhadap dewa
dewa yang lain dengan Jawa.
A. TIPOLOGI SOSOK ARSITEKTUR CANDI
Istilah candi pada umumnya dihubungkan pada bangunan sakral yang
dibangun berdasarkan konsep-konsep Hindu dan Buddha. Berdasarkan
tipologi sosok arsitektoniknya, wujud bangunan sakral peninggalan zaman
Hindu-Buddha dapat dibagi menjadi beberapa jenis yang mendasar sebagai
berikut.
1. Tipe Menara. Tipe menara sering disebut "bentuk candi" yang dikenal
saat ini secara luas, seperti Candi Prambanan, Sewu, Gedongsongo, dan
sebagainya. Tipe menara merupakan bangunan yang terbangun men
julang, seperti bangunan menara yang langsing. Tipe ini dapat memiliki
ruang maupun tidak memiliki ruang. Tipe ini dapat terbuat dari material
batu, bata, kayu, maupun kombinasinya. Meru di Bali adalah contoh
peninggalan arsitektur yang merupakan bangunan menara dan terbuat
dari kayu yang masih dapat dikenali sampai saat ini.
2. Tipe Berundak. Tipe ini merupakan bangunan pepundenan yang disusun
secara berundak-undak menyerupai bukit. Hal ini dapat dikenali pada
bangunan berundak, seperti candi-candi di lereng Penanggungan,
Lawu, Borobudur, dan sebagainya. Tipe ini dapat diduga terinspirasi
dari bangunan pr sejarah punden berundak yang telah dibangun sebelum
masuknya tradisi Hindu clan Buddha. Tipe ini dibangun juga dapat
merupakan respons terhadap tanah yang miring/berundak di lerenglereng.
Arsitektur Candi di Jawa 27
3. '{ipe Kolam/Pertirtaan. Tipe ini merupakan bangunan yang menyerupai
kolam, baik yang merespons sumber air dari permukaan bumi, dalam
tanah yang muncul ke atas permukaan tanah datar, ataupun air yang
mengalir dari permukaan berundak yang lebih tinggi ke bawah. Kolam
dapat dibedakan menjadi kolam yang bersandar pada slope tanah
(Jalatunda, Belahan, Cabean Kunti, Ngawonggo, dan sebagainya) dan
tak bersandar/menggali permukaan tanah datar (Candi Tikus, Penataran
belakang). Namun, dimungkinkan juga kombinasi keduanya, seperti
Tirta Empul.
4. Tipe Gua. Gua ini dapat dikaitkan dengan fungsi gua sebagai tempat ritual
pemujaan ataupun untuk meditasi, seperti halnya di India. Gua-gua
di India diukir dan digunakan sebagai tempat untuk pemujaan. Gua di
Indonesia juga diperkirakan digunakan sebagai tempat untuk pemujaan
sampai tempat meditasi. Contoh di Indonesia adalah Gua Selomangleng
Kediri, Selomangleng Tulungagung, Gua Gajah, Gua Sentono, dan
sebagainya.
Gambar 1.1. Tipe peninggalan yang ditemukan (kiri-kanan). Atas: Menara, Berundak, Pertirtaan. Bawah: Gua.
(Sumber: Prajudi, 2008).
Variasi sosok dapat juga berlaku kombinasi antartipe tersebut, seperti
kombinasi antara Menara dan Berundak. Tipe ini merupakan kombinasi
antara tipe-tipe yang berbentuk menara dan berundak, misalnya bagian kaki
atau tapaknya dapat berundak-undak kemudian puncaknya berupa menara,
seperti Candi Sukuh, Cetho, Jago, Penataran, bahkan Prambanan. Puncak
28 I Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia
Candi Sukuh tidak dapat dikenali karena sudah hancur, diperkirakan di
atasnya terdapat bangunan yang menyerupa bangunan menara.
Gambar 1.2. Tipe kombinasi kaki berundak dan puncaknya berupa menara. (Sumber: Prajudi, 2008, Kempers 1959).
Selain tipe bentuk tersebut, terdapat pula peninggalan yang sering
pula oleh masyarakat disebut sebagai candi, yaitu yang berbentuk gapura/
pintu gerbang, yakni gapura paduraksa, seperti Candi Bajangratu, Jedong,
Plumbangan, clan gapura bentar/belah, seperti Wringinlawang. Tipe bentuk
gapura dapat dibagi menjadi tipe gapura belah clan paduraksa. Gapura
merupakan bagian dari tembok kompleks percandian yang berfungsi sebagai
pintu masuk sehingga pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai
bangunan candi.
Gambar 1.3. Gapura Wringinlawang, Jedong, Bajangratu, dan Plumbangan. (Sumber: Prajudi, Survei 1988-2017).
Dari tipe-tipe bentuk peninggalan tersebut, paling banyak ditemukan
adalah tipe menara. Tipe menara hanyalah sebutan untuk membedakannya
dengan tipe lain yang sering dikarakteristikkan sebagai "candi". Se bu tan candi
secara fisik dianggap berbentuk menjulang seperti menara. Tipe ini juga dapat
diperkaya dengan elemen-elemen khusus, seperti "stupa'', baik digunakan
sebagai atap, seperti Candi Mendut, Sewu, atau candi-candi Buddha maupun
wujudnya memang berbentuk stupa, seperti Candi Sumberawan. Namun
Ar s i tcktur Can<li di Jawa 29