21
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI Oleh Nina Puspitasari NIM I1A003009

Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

catatan materi kuliah tentang absorbsi dan eksresi obat

Citation preview

Page 1: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I

ABSORBSI DAN EKSKRESI

Oleh

Nina Puspitasari

NIM I1A003009

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2005

Page 2: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Halaman Pengesahan

ABSORBSI DAN EKSKRESI

Banjarbaru, 27 September 2005

Mengetahui,

Asisten Praktikan

Ismawati Nina Puspitasari NIM. I1A001055 NIM. I1A003053

Page 3: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam ilmu kedokteran, farmakologi dibatasi tujuannnya yaitu agar dapat

menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit.

Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala

penyakit.Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan

berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus

disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik)

didapatkan.

Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses

hidup. Farmakokinetik merupakan suatu keseluruhan proses masuknya obat ke dalam

badan yang meliputi aspek farmakologi yaitu, absorbsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresinya.

Proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah disebut

absorbsi. Kedua, kemudian obat tersebut bisa secara reversibel meninggalkan aliran

darah dan menyebar ke dalam cairan interstitial dan jaringan lainnya. Akhirnya obat dan

metabolitnya dieliminasi tubuh. Pengetahuan mengenai farmakokinatik obat penting

untuk memberikan gambaran patologis dan fisiologis seseorang yang berbeda dengan

individu normal dalam respon suatu dosis obat.

Tujuan Percobaan

Praktikum kali ini bertujuan agar praktikan memahami nasib obat setelah masuk

ke dalam tubuh.

Tinjauan Kepustakaan

Di dalam tubuh manusia, obat harus menembus sawar sel diberbagai jaringan.

Pada umumnya obat melintasi lapisan sel dengan menembusnya bukan melewati celah

antar sel kecuali pada endotel kapiler. Karena itu merupakan peristiwa terpenting dalam

proses farmakokinetik. Cara-cara transport obat lintas membran yang terpenting adalah

difusi pasif dan transport aktif. Transpor aktif melibatkan komponen-komponen sel dan

membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport ialah

bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi, kelarutan dalam lemak

(Setiawati, 2000).

Page 4: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Tercapainya kadar obat tersebut tergantung dari jumlah obat yang diberikan,

keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh

aliran darah ke bagian lain dari badan, artinya dari letak aksinya baik dalam bentuk tak

berubah atau sebagai metabolit yang dikeluarkan melalui proses ekskresi. Untuk

menghasilkan efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam kadar yang cukup

agar dapat menimbulkan respon. (Anief, 1994).

Bentuk obat non-ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi

melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut

dalam lemak Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah yaitu asam lemah dan basa

lemah. Dalam larutan elekrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung

dari pKa dan pH larutan. (Setiawati, 2000).

Farmakokinetik merupakan suatu keseluruhan proses masuknya obat ke dalam

badan yang meliputi aspek farmakologi yaitu, absorbsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresinya. (Setiawati, 2000).

Tahapan proses farmakokinetik adalah sebagai berikut :

1. Absorbsi

Absorbsi adalah transfer suatu obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah.

Kecepatan dan efisiensi absorbsi tergantung pada cara pemberian. Untuk intravena,

absorbsi sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik.

Pemberian obat dengan rute lain hanya bisa menghasilkan absorbsi yang partial dan

karena itu merendahkan ketersediaan hayati. Sebagai contoh, pemberian oral

memerlukan bahwa suatu obat harus larut dalam cairan gastrointestinal dan

kemudian menembus sel-sel epitel mukosa usus, keadaan penyakit atau adanya

makanan bisa mempengaruhi proses ini (Mycek, 2001).

Untuk obat-obatan tertentu tidak semua yang diabsorbsi dari tempat pemberian

akan mencapai sirkulasi sistemik, sebagian dimetabolisme oleh enzim di dinding

usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-

organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama.

Jadi jika suatu obat dimetabolisme di dalam hati atau diekskresi di dalam empedu,

maka sejumlah obat aktif yang diabsorbsi dari saluran pencernaan akan dinon

aktifkan oleh proses hepatik sebelum obat dapat mencapai sirkulasi sistemik dan

didistribusikan ke tempat kerjanya. Penurunan kecepatan obat dalam mencapai

sirkulasi umum merupakan suatu fungsi tempat fisiologis, tempat obat diabsorbsi

dan perubahan jumlah. Efek eliminasi tablet sublingual dan sampai jumlah tertentu

dengan menggunakan suposituria rektal (Katzung, 1989).

Page 5: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Faktor-faktor yang mempengaruhi tempat absorbsi (Mycek, 2001) :

a. Aliran darah ke tempat absorbsi.

Aliran darah ke usus jauh lebih banyak daripada aliran darah ke lambung, jadi

absorbsi dari usus lebih baik dari lambung (keadaan syok sangat mengurangi

aliran darah ke jaringan subkutan sehingga mengurangi absorbsi pada pemberian

subkutan).

b. Jumlah luas permukaan absorbsi

Karena usus memiliki permukaan yang kaya mikrovili maka usus mempunyai

luas permukaan kira-kira 1000 kali luas permukaan lambung sehingga absorbsi

obat melalui usus lebih efisien.

c. Waktu kontak pada permukaan absorbsi

Jika suatu obat bergerak melalui kontak cerna sangat cepat, seperti pada keadaan

diare maka obat tidak diabsorbsi dengan baik. Sebaliknya, apapun yang

memperlambat kecepatan absorbsi obat tersebut (input para simpatis

meningkatkan kecepatan pengosongan lambung, sedangkan input simpatis

misalnya latihan fisik atau perasaan stress dapat memperpanjang waktu

pengosongan lambung. Oleh karena itu, suatu obat yang diminum bersamaan

makanan umumnya diabsorbsi lebih lambat).

2. Distribusi

Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversibel meninggalkan

aliran darah dan masuk ke intestinum (cairan ekstrasel) dan atau ke sel-sel jaringan.

Pengiriman obat dari plasma ke intestinum terutama tergantung pada aliran darah,

permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut dengan protein plasma atau

jaringan, dan hidrofobisitas dari obat tersebut (Mycek, 2001).

Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.

Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang

perfusinya baik. Distribusi fase kedua jauh lebih luas, yaitu mencakup jaringan yang

perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama. Obat yang mudah larut dalam

lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat

yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga

distribusinya terbatas terutama di cairan ekstra sel. (Setiawati, 2000)

Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma. Derajat ikatan obat

dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan

kadar proteinnya sendiri. Obat yang bersifat asam terutama akan teikat pada albumin

Page 6: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

plasma. Sedangkan obat yang sangat basa pada asam 1-glikoprotein (Setiawati,

2000).

3. Biotransformasi atau metabolisme obat

Merupakan proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan

dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar

sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi

inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat

(Setiawati, 2000).

Metabolisme obat biasanya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase I (reaksi

fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Metabolisme fase I meliputi reaksi

oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi juga isomerisasi dan reaksi-reaksi lain yang lebih

jarang. Metabolisme fase I ini berfungsi menyiapkan senyawa untuk metabolisme

fase II, dan tidak menyiapkan obat untuk diekskresi. Metabolisme fase II atau

konjugasi meliputi golongan enzim-enzim yang berbeda dan bereaksi pada tipe

senyawa yang berbeda, umumnya menghasilkan produk yang larut empedu dan

urine. Jadi fase II merupakan detoksifikasi obat yang sebenarnya dan menjadikan

obat umumnya larut dalam air dan mudah diekskresikan (Gibson, 1991).

Biotransformasi atau metabolisme terutama berlangsung di hati, saluran

pencernaan tetapi beberapa obat mengalami biotransformasi di ginjal, plasma, dan

mukosa intestinal (Anief, 1994).

4. Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk

metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat metabolit polar

diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.

Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan

resultan dari 3 proses, yakni filtasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,

dan reabsorbsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Selain itu ekskresi obat juga

melalui empedu yang diekskresikan ke urine, keringat, liur, air mata, air susu dan

rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam

pengakhiran efek obat (Setiawati, 2000).

Page 7: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

CARA PERCOBAAN

Alat dan Bahan Percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :

1. Tabung reaksi dan raknya

2. Pipet tetes

3. Pipet ukur

4. Gelas Beker

5. Lampu spiritus

6. Klem atau pegangan tabung reaksi

7. Stopwatch atau jam

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah :

1. KI 0,3 gram dalam kapsul

2. Larutan KI 1 %

3. Larutan NaNO2 10 %

4. Larutan H2SO4 1 N

5. Larutan Amilum 1 %

Cara Kerja Percobaan

Adapun langkah kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut :

1. Sebelum minum obat, probandus mengosongkan kandung kencing, diambil

kurang lebih 5 ml urine dan 2 ml saliva sebelum minum obat.

2. Probandus meminum obat (kapsul berisi KI) dengan air putih kurang lebih 200

ml.

3. Mengambil sampel saliva dan urine tiap interval waktu tertentu (saliva tiap 5

menit dan urine tiap 15 menit).

4. Menetapkan jumlah (semikuantitatif) Iodium dalam masing-masing sampel urine

dan saliva tersebut.

5. Mengerjakan reaksi :

a. KI 1% (1 cc) + amilum (1 cc) amati perubahan warna

b. KI 1% (1 cc) + amilum (1 cc) +H2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3

tetes) biru

c. Urine (1 cc) + H2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3 tetes) amati

d. Saliva + H2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3 tetes) amati

Page 8: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

e. Urine (1 cc) + amilum (1 cc) + H2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3

tetes) amati

f. Saliva ( 1 cc) + amilum (1 cc) + H2SO4 (2-3 tetes) dilutus + NaNO2 10% (2-3

tetes) amati

Page 9: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Percobaan

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pada Reaksi Kontrol

Reaksi Perubahan warna

1 Tidak ada perubahan

2 Coklat

3 Tidak ada perubahan

4 Tidak ada perubahan

5 Tidak ada perubahan

6 Tidak ada perubahan

Tabel 2. Data Semikuantitatif Kadar I2 Dalam Sampel Saliva

Reaksi 5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’ 65’ 70’

4 - - - - - - - - - - - - - -

6 - - - - - + + + +++ +++ ++ ++ ++ +

75’ 80’ 85’ 90’

- - - -

+ + + +

Grafik 1. Hubungan Waktu Dan Kadar Obat (I2) Dalam Sampel Saliva

++++

+++

++

+

-

KADAR

Page 10: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Tabel 3. Data Semikuantitatif Kadar I2 Dalam Sampel Urine

Reaksi 15’ 30’ 45’ 60’ 75’ 90’

3 - - - - - -

5 - - + ++ +++ +++

Grafik 2. Hubungan Waktu Dan Kadar Obat (I2) Dalam Sampel Urine

Keterangan :

++++ : Biru Tua

+++ : Biru

++ : Biru Muda

+ : Kebiruan

- : Tak Ada Perubahan Warna

Pembahasan

Pada percobaan ini terlebih dahulu dilakukan reaksi kontrol yang dilakukan

sebanyak 6 reaksi. Mula-mula KI 1 % (1 cc) ditambahkan dengan amilum (1 cc). Pada

reaksi ini tidak terjadi perubahan warna. Untuk reaksi kedua, dicampurkan KI 1 % (1

cc), amilum ( 1 cc), H2SO4 (2-3 tetes) dan NaNO2 10 % (2-3 tetes), maka terjadi

perubahan warna menjadi coklat, hal ini disebabkan karena terjadinya hidrolisis dengan

bantuan H2SO4 yang memberikan suasana asam sehingga proses tersebut dapat

berlangsung sempurna dan disebabkan karena terjadinya absorbsi molekul iodine yang

masuk ke dalam uliran spiral amilosa dimana sebelumnya terjadi pemecahan ikatan KI

oleh H2SO4 (H2SO4 berfungsi sebagai reduktor).

++++

+++

++

+

-

KADAR

Page 11: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Penambahan NaNO2 10 % dimaksudkan sebagai katalisatornya yang dapat

mempercepat terjadinya reaksi enzimatis. Pengenceran (melutus) H2SO4 juga berfungsi

untuk mempercepat terjadinya reaksi dimana setiap kenaikan suhu 10o C maka laju

reaksi akan menjadi 2 kali lebih cepat.

Pada reaksi ketiga dan keempat tidak terjadi perubahan warna, hal ini disebabkan

karena tidak adanya amilum 1 % pada masing-masing tabung sehingga tidak terjadi

reaksi hidrolisis. Sedangkan pada reaksi kelima dan keenam menunjukkan hasil yang

negatif pada saliva dan urine karena probandus belum meminum obat sehingga

kandungan iodium di dalam sampel tidak ditemukan.

Sediaan obat yang digunakan adalah bentuk kapsul. Sebagaimana diketahui sifat

fisika obat, bentuk asam, basa, ester, garam kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat

mempengaruhi kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau

polimorf, kelarutan dalam lemak atau air dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses

penyerapan obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi, emulsi serbuk, dan larutan

akan mempengaruhi proses penyerapan obat yang memerlukan waktu berbeda-beda.

Kalium iodide merupakan kristal tak berwarna dengan ikatan kimia yang lebih ionik

daripada kovalen, titik leleh sekitar 681o C dan Hfo perbobot ekuivalen sebesar. 327,6 kJ

(Mytschler, 1993)

Data semikuantitatif dari sampel saliva didapatkan hasil positif pada menit ke-30,

35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, 70, 75, 80, dan 85 yang ditandai dengan perubahan warna dari

putih keruh setelah dilutus menjadi kebiruan pada waktu ditambahkan NaNO2. Jika

digambarkan dalam bentuk grafik diperoleh grafik dalam bentuk kurva sebaran

distribusi normal dimana onset obat meningkat di dalam darah maka ekskresi saliva juga

meningkat perlahan-lahan. Dari grafik ini dapat digambarkan bagaimana suatu

perubahan dalam kecepatan dan tingkat avaibilitas KI dipengaruhi oleh lamanya

ekskresi. Pada hasil pemeriksaan secara semikuantitatif dari sampel urine juga

didapatkan hasil positif pada menit ke- 45 yang ditandai dengan perubahan warna. Pada

keadaan tertentu bisa saja hasil data semikuantatif pada sample urine didapatkan hasil

negatif, hal seperti itu biasanya dipengaruhi oleh factor-faktor berikut :

1. Waktu absorbsi dan ekskresi dari setiap orang berbeda-beda. Pada probandus

mungkin absorbsi dan ekskresinya memakan waktu yang lama sehingga dari

waktu yang tersedia tidak dapat menunjukkan adanya reaksi absorbsi dan

ekskresi dari probandus. Perbedaan daya absorbsi dan ekskresi individu

dipengaruhi oleh (Setiawati, 2000) :

Page 12: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

- pH saluran cerna dan fungsi empedu yang mempengaruhi kecepatan

disintegrasi dan solusi obat.

- Kecepatan pengosongan lambung yang mempengaruhi kecepatan absorbsi

dan jumlah obat yang diserap.

- Waktu transit saluran cerna yang mempengaruhi jumlah obat yang

diabsorbsi.

- Perfusi saluran cerna yang mempengaruhi kecepatan dan jumlah obat yang

diserap.

- Metabolisme dalam lumen saluran cerna yang menentukan jumlah obat yang

tersedia untuk diserap.

- Kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati (aktivitas

enzim saluran cerna dan hati, faktor genetik, aliran darah portal, penyakit

hati) yang menentukan jumlah obat yang sampai pada sirkulasi sistemik.

2. Adanya kemungkinan terjadinya gangguan dalam tubuh probandus yang

mempengaruhi hasil absorbsi dan ekskresi obat. Gangguan ini terjadi pada

saluran cerna, hati dan ginjal.

Pada umumnya ekskresi lewat saliva lebih cepat dibandingkan pada urine.

Kemungkinan terjadinya puncak ekskresi pada saliva juga lebih cepat. Perbandingan

antara onset dan durasi saliva dengan urine juga ditemukan lebih cepat pada saliva

karena memiliki lintas metabolisme yang lebih sederhana dan sisa metabolismenya

langsung diekskresikan melalui kelenjar saliva itu sendiri tanpa melalui metabolisme

lintas pertama (first pass metabolism) di hepar.

Ekskresi obat melalui saliva terdapat dalam jumlah kecil sehingga durasinya

lebih cepat dibandingkan urine. Ekskresi obat melalui urine harus melalui tahap-tahap

metabolisme dimana obat yang mengandung KI ini diserap di saluran cerna secara difusi

pasif kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan pada akhirnya diekskresikan

melalui urine dengan sebelumnya melalui ginjal dengan proses yang lebih kompleks.

Metabolit yang larut dalam air sukar diabsorbsi oleh ginjal sehingga akan

dikeluarkan bersama-sama urine. Sebaliknya, obat yang mudah larut dalam lemak jika

sudah berada dalam tubuli ginjal sebagian besar direabsorbsi oleh tubuli ginjal. Obat

yang tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus bisa diekskresikan oleh ginjal melalui sekresi

tubulus. Jadi proses ekskresi oleh ginjal merupakan hasil proses-proses filtrasi

glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di tubulus

proksimalis dan distalis ginjal (Martin, 1993).

Page 13: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan kesimpulan bahwa di dalam

tubuh obat mengalami proses fakmakokinetik. Dari grafik diketahui bahwa ekskresi

iodium yang terdapat dalam obat pada saliva lebih cepat dibandingkan ekskresinya

melalui urine.

Saran

Untuk mencapai hasil yang lebih maksimal, perlu dilakukan pengujian lebih

lanjut dengan variabel yang lebih banyak. Dan diharapkan tersedia bahan dan reagen

yang baik agar hasil percobaan lebih akurat.

Page 14: Farma 1 Absorbsi Dan Ekskresi

Daftar Pustaka

Anief, Moh. 1994. Farmasetika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Gibson, G. Gordon et al. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. UI Press, Jakarta

Katzung, B.G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. EGC, Jakarta

Martin, Alfred et al. 1993. Farmasi Fisik Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu

Farmasetik. UI Press, Jakarta

Mytschler, E. 1993. Dinamika Obat Edisi 5. ITB, Bandung

Mycek, Mary J. et al. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika, Jakarta

Setiawati, Arini et al. 2000. Pengantar Farmakologi Dalam Farmakologi Dan

Terapi. FKUI, Jakarta

Suwandi, et al. 1989. Kimia Organik Karbohidrat, Lipid, Protein. FKUI, Jakarta