Upload
nugrahangraini
View
312
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Suatu zat ada yang dapat larut dalam dua pelarut yang berbeda, dalam
pelarut polar dan pelarut non polar. Dalam praktikum ini akan diamati kelarutan
suatu zat dalam pelarut air dan minyak. Sifat zat harus diketahui dengan baik
agar dapat diperoleh suatu produk farmasi yang baik.
Dalam bidang farmasi prinsip dari fenomena distribusi ini sangatlah
penting, karena mencakup berbagai bidang farmasetik. Yaitu untuk mengetahui
medium yang cocok untuk suatu pelarut atau untuk membantu menyelesaikan
berbagai masalah yang timbul ketika membuat sediaan farmasetik, untuk
menentukan pelarut/ pengawet yang cocok untuk suatu sediaan farmasetik,
untuk mengetahui kerja obat yang tidak spesifik tempat absorbsinya dan
distribusi dari suatu obat.
Aplikasi dalam bidang farmasi adalah untuk pembuatan lotion dan
mempengaruhi penetrasi salep. Peranan koefisien distribusi dalam pembuatan
salep yaitu menentukan bahan salep yang memenuhi syarat untuk digunakan
pada lapisan kulit tertentu sehingga menghasilkan efek yang diinginkan.
Melihat pentingnya fenomena distribusi dalam aplikasi di bidang farmasi
maka diadakanlah percobaan ini.
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud percobaan
Mengetahui dan memahami cara menentukan koefisien distribusi
suatu zat dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur.
I.2.2 Tujuan percobaan
Menentukan perbandingan kelarutan dan koefisien distribusi dari
asam borat dan asam benzoat dalam pelarut air dan minyak yang tidak
saling bercampur.
I.3 Prinsip Percobaan
Penentuan koefisien distribusi atau partisi dari asam borat dan asam
benzoat dalam pelarut air dan minyak kelapa berdasarkan pada perbandingan
kelarutan suatu zat dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yang dititrasi
dengan larutan baku NaOH 0,0979 N ditandai dengan perubahan warna dari
tidak berwarna menjadi merah muda dengan bantuan indikator fenolftalein.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversibel
meninggalkan aliran darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan atau
ke sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma ke interstisium terutama
tergantung pada aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut
dengan protein plasma atau jaringan, dan hidrofobisitas dari obat tersebut (1).
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi dan laju reaksi,
yaitu (2):
a. Temperatur
Kecepatan reaksi akan bertambah setiap kenaikkan 10 oC. kenaikan
tersebut mencapai dua kali atau tiga kali lipatnya. Dengan persamaan
Archeniusnya:
Log k= log A – Ea/2.303 RT
Keterangan :
R = konstanta gas yaitu 1,987 kal/omol
Ea= derajat/ energi aktifasi
A = faktor frekuensi
b. Efek pelarut
Pelarut biasaya bersifat tidak ideal. Laju reaksi akan besar dalam
pelarut dibandingkan dengan pelarutnya. Jadi dapat dikatakan bahwa pelarut
polar yaitu pelarut yang mempunyai tekanan dalam yang tinggi cenderung
menghasilkan reaksi yang dipercepat untuk menghasilkan produk yang
mempunyai tekanan dalam tinggi dari pada reaktan.
c. Pengaruh kekuatan ion
Koefisien aktivitas dalam larutan air encer (< 0,01 M) pada suhu 25oC
akan bernilai negatif.
d. Pengaruh konstanta dielektrika
Efek konstanta dielektrika terhadap konstanta laju reaksi ionik yang
diekstrapolasikan sampai pengenceran tidak terbatas, yang pengaruh
terhadap laju reaksi sering menjadi kemungkinan reaksi dikatalisis oleh satu
atau beberapa komponen penyusun dapar.
e. Pengaruh cahaya
Energi cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang
diperlukan untuk terjadinya reaksi.
Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran
dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri di antara kedua
fase sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan ke dalam
pelarut tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan
larutan, maka zat tersebut tetap terdistribusi di atara kedua lapisan dengan
perbandingan konsentrasi tertentu (2).
Jika C1 dan C2 adalah konsentrasi kesetimbangan zat dalam pelarut 1 dan
pelarut 2, persamaan kesetimbangan menjadi
C1
Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai perbandingan distribusi,
koefisien distribusi atau koefisien partisi (2).
Interaksi molekul dibedakan dengan asal dan juga kekuatan. Interaksi
bolak-balik dari karakteristik fisik utama merupakan cara pendekatan dari
kenaikan kekuatan (3) :
a. Interaksi dispersi
b. Interaksi orientasi dwi kutup dan induksi
c. Ikatan hidrogen atau interaksi penerima-penerima elektron
d. Ikatan ionik dan dwi kutub atau ion lain
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki
daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang
relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak
sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang
minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin
dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan
ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi (4).
Untuk menghasilkan respons farmakologi, suatu molekul obat harus
melewati membran biologis. Membran terdiri dari protein dan bahan lemak yang
C2
= K
bertindak sebagai penghalang lipofilik tempat lalu lintas obat. Ketahanan
penghalang terhadap perpindahan obat berhubungan dengan sifat lipofilik dan
molekul yang sedang dipindahkan (4).
Koefisien partisi minyak/air merupakan ukuran sifat lipofilik suatu
molekul, ini merupakan rujukan untuk sifat fase hidrofilik atau lipofilik.
Koefisien partisi harus dipertimbangkan dalam pengembangan bahan obat
menjadi bentuk obat. Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian
obat ke dalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air (4).
II.2 Uraian Bahan
1. Air Suling (5:96)
Nama resmi : Aqua Destilata
Nama lain : Air suling, aquadest
RM/BM : H2O / 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tak berbau, tidak berasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pelarut
2. Asam Benzoat (5:49)
Nama resmi : Acidum Benzoicum
Nama lain : Asam Benzoat
RM/BM : C7H6O2 / 122,12
RB : COOH
Pemerian : Hablur halus dan ringan; tidak berwarna; tidak berbau.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang350 bagian air, dalam lebih kurang
3 bagian etanol (95%) P, dalam 8 bagian kloroform P dan
dalam 3 bagian eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai sampel
3. Asam Borat (4:49)
Nama resmi : Acidum boricum
Nama lain : Asam borat
RM/BM : H3BO3 / 61,83
Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap tidak
berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak asam dan pahit
kemudian manis.
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air mendidih,
dalam 16 bagian etanol (95%)P, dalam 5 bagian gliserol P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai sampel
4. Indikator Fenolftalein (5: 662)
Nama resmi : Phenolphthaleinum
Nama lain : Fenolftalein
RM / BM : C20H14O4 / 318,33
RB :
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan lemah; tidak
berbau ; stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol; agak sukar
larut dalam eter.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Trayek pH : 8,3 – 10,0
Kegunaan : Sebagai indikator
5. Minyak kelapa (4 ; 456).
Nama resmi : Oleum cocos
Nama lain : Minyak kelapa
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna atau kuning pucat, bau khas,
tidak tengik.
Kelarutan : Larut dalam 2 bagian etanol (95%)P pada suhu 600 C
sangat mudah larut dalam CHCl3 P dan eter P.
O
OH
OH
O
C
C
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik terlindung dari cahaya dan
ditempat sejuk.
Kegunaan : Sebagai pelarut
6. Natrium hidroksida (4 ; 412)
Nama resmi : Natrii hydroxidum
Nama lain : Natrium hidroksida
RM/BM : NaOH / 40,00
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur, atau keping, keras,
rapuh dan menunjukkan susunan hablur, putihm mudah
meleleh, basah, sangat alaklis dan korosif, cepat menyerap
CO2.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95 %) P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan : Sebagai titran.
II.3 Prosedur Kerja
1. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.
2. Timbang asam borat sebanyak 100 mg dengan menggunakan timbangan
milligram.
3. Masukkan asam borat ke dalam erlenmeyer kemudian larutkan dengan 100
mL air suling.
4. Ambil 25 mL larutan lalu masukkan ke dalam corong pisah.
5. Ke dalam 25 mL larutan, tambahkan 25 ml minyak kelapa, kemudian
dikocok hingga homogen.
6. Diamkan beberapa menit sampai campuran membentuk dua lapisan yang
jelas.
7. Lapisan air diambil dan lapisan minyak dibuang.
8. Tambahkan 3 tetes indikator pp lalu titrasi dengan larutan NaOH
9. Dari larutan stok (100 mL), diambil 25 mL larutan untuk dititrasi seperti
point 8.
10. Catat volume titrasi.
11. Ulangi percobaan dengan mengganti asam borat dengan asam benzoat.
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat-alat yang digunakan
Anak timbangan 100 mg
Baskom
Batang pengaduk
Botol semprot
Buret 25 mL
Erlenmeyer 250 mL
Gelas ukur 25 mL, 100 mL
Pipet tetes
Pipet volume 5 mL dan 10 mL
Sendok tanduk
Statif dan Klem
Timbangan milligram
III.1.2 Bahan-bahan yang digunakan
Air suling
Asam borat
Asam benzoat
Indikator PP
Kertas timbang
Larutan NaOH 0,0979 N
Minyak kelapa
Tissue rol
III.2 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Ditimbang asam borat sebanyak 100 mg.
3. Dimasukkan asam borat ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan dengan
100 mL air suling.
4. Diambil 25 mL larutan, lalu dimasukkan dalam erlenmeyer (sebagai larutan
awal).
5. Ke dalam larutan ditambahkan 3 tetes indikator PP lalu dititrasi dengan
larutan NaOH 0,0979 N.
6. Dicatat volume titrasi.
7. Dari larutan stok, diambil 25 mL larutan dengan pipet volume dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
8. Ditambahkan 25 mL minyak kelapa, kemudian diaduk hingga larut (sebagai
larutan akhir).
9. Didiamkan selama beberapa menit sampai larutan membentuk dua lapisan
yang jelas.
10.Lapisan air diambil dan lapisan minyak dibuang.
11.Ke dalam lapisan air, ditambahkan 3 tetes indikator pp lalu dititrasi dengan
larutan NaOH 0,0979 N.
12.Dicatat volume titrasi.
13.Diulangi percobaan dengan mengganti asam borat dengan asam benzoat.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Data Pengamatan
Sampel Berat (mg)Volume titran (mL)
Tanpa minyak Dengan minyak
Asam benzoat100 5 2,6100 5,20 2,1
Asam borat100 2,75 1,9100 2,6 2,1
IV.1 Perhitungan
N NaOH = 0,0979 N
Berat sampel = 100 mg
BE Asam benzoat = = = 122,1
BE Asam benzoat = = = 618,3
K =
K =
Bst fk
12,21
0,1
fk 0,1Bst 61,83
N x V x BstBs x fk
N x V x BEBs
Untuk Asam Benzoat
Tanpa minyak
Dengan minyak
K fase minyak 1 = K tanpa minyak – K dengan minyak
= 0,5977 - 0,3108
= 0,2869
K fase minyak 1 = K tanpa minyak – K dengan minyak
= 0,6216 - 0,251
= 0,3706
100 mg Kadar 1 =
Kadar 2 =
= 0,5977
100 mg = 0,6216
100 mg Kadar 1 = = 0,3108
2,6 mL x 0,0979 N x 122,1
5,2 mL x 0,0979 N x 122,1
5 mL x 0,0979 N x 122,1
100 mg Kadar 2 = = 0,251
2,1 mL x 0,0979 N x 122,1
Untuk Asam Borat
Tanpa minyak
Kadar airKoefisien distribusi 1 =
=
Kadar minyak
0,5977 0,2869
= 0,48
Kadar airKoefisien distribusi 2 =
=
Kadar minyak
0,6216 0,3706
= 0,5962
100 mg Kadar 1 =
Kadar 2 =
= 1,6646
100 mg = 1,5738
2,6 mL x 0,0979 N x 618,3
2,75 mL x 0,0979 N x 618,3
2
Koef distribusi 1 + Koef distribusi 2Koef. distribusi rata-rata =
= 0,48 + 0,5962
2
= 0,5381
Dengan minyak
K fase minyak 1 = K tanpa minyak – K dengan minyak
= 1,6646 – 1,15
= 0,5146
K fase minyak 1 = K tanpa minyak – K dengan minyak
= 1,5738 – 1,271
= 0,3028
Kadar airKoefisien distribusi 1 =
=
100 mg Kadar 1 = = 1,15
1,9 mL x 0,0979 N x 618,3
100 mg Kadar 2 = = 1,271
2,1 mL x 0,0979 N x 618,3
Kadar minyak
1,6646 0,5146
= 0,309
Kadar airKoefisien distribusi 2 =
=
Kadar minyak
1,5738 0,3028
= 0,1924
IV.3 Reaksi
1. Asam borat
H3BO3 + H2O HBO2 + 2H2O
H3BO3 + NaOH Na3BO3 + 3H2O
2. Asam benzoat
+ H2O + H3O+
+ NaOH + H2O
2
Koef distribusi 1 + Koef distribusi 2Koef. distribusi rata-rata =
= 0,309 + 0,1924
2
= 0,2507
COOH COO -
COOH COONa
Reaksi indikator fenolftalein
H2In, fenolftalein HIn -, tidak berwarna
tidak berwarna
In 2-, merah
C
O
C
OH + H2O C
HO
C
OH + H3O+
O-
OH OH
O O
C
C
OH + H3O+
O-
O
O
BAB V
PEMBAHASAN
Koefisien distribusi adalah perbandingan konsentrasi kesetimbangan zat
dalam dua pelarut yang berbeda yang tidak bercampur. Faktor yang mempengaruhi
koefisien distribusi adalah konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1 dan pelarut 2,
dirumuskan :
C1
Dalam bidang farmasi prinsip dari fenomena distribusi ini sangatlah
penting, karena mencakup berbagai bidang farmasetik. Yaitu untuk mengetahui
medium yang cocok untuk suatu pelarut atau untuk membantu menyelesaikan
berbagai masalah yang timbul ketika membuat sediaan farmasetik, untuk menentukan
pelarut/pengawet yang cocok untuk suatu sediaan farmasetik, untuk mengetahui kerja
obat yang tidak spesifik tempat absorbsinya dan distribusi dari suatu obat.
Aplikasi dalam bidang farmasi adalah untuk pembuatan lotion dan
mempengaruhi penetrasi salep. Peranan koefisien distribusi dalam pembuatan salep
yaitu menentukan bahan salep yang memenuhi syarat untuk digunakan pada lapisan
kulit tertentu sehingga menghasilkan efek yang diinginkan.
Pada percobaan ini, digunkan sampel asam borat dan asam benzoat yang
dilarutkan dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yaitu minyak kelapa dan
air. Ketidakcampuran ini disebabkan oleh sifat fisisnya yang berbeda yaitu bobot
C2
K =
jenis, perbedaan tegangan permukaan dan perbedaan tingkat kepolaran dimana air
bersifat lebih polar dibandingkan dengan minyak kelapa. Asam borat merupakan
bahan yang larut dalam air, dimana 1 bagian dari asam borat dapat larut dalam 20
bagian air. Sedangkan asam benzoat adalah zat yang sukar larut dalam air dimana 1
bagian dari asam benzoat hanya dapat larut dalam 350 bagian air.
Mula-mula 100 mg asam borat dilarutkan dalam 100 mL air suling, diaduk
hingga larut. Dari larutan diambil 25 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ke
dalamnya dimasukkan 25 mL minyak kelapa dan dicampur hingga larutan homogen,
lalu diamkan selama beberapa menit hingga terbentuk dua lapisan yang jelas. Pada
lapisan atasnya adalah minyak sedang pada lapisan bawahnya adalah air lalu lapisan
minyaknya dibuang dan lapisan air diambil. Setelah itu ditambahkan indikator PP ke
dalam larutan sebanyak 3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH baku 0,0979 N,
kemudian ditentukan kadarnya. Diulangi untuk sampel asam benzoat dengan
pengerjaan yang sama.
Pada percobaan ini dilakukan titrasi dengan NaOH menggunakan indikator
Fenolftalein (PP). PP mempunyai trayek pH antra 8,3-10,0 dengan perubahan warna
dari tidak berwarna menjadi merah. Pada waktu terjadi titik akhir titrasi, sampel asam
telah habis bereaksi dengan titran NaOH sehingga titran bereaksi dengan indikator
dan dicapai range pH indikator sehingga terjadi perubahan warna. Fase yang dititrasi
adalah fase air, bukan fase minyak, sebab jika fase minyak yang dititrasi maka akan
terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan). Hal ini dikarenakan apabila minyak
direaksikan dengan alkali hidroksida maka akan terbentuk sabun yang akan
mengganggu proses titrasi.
Untuk perhitungan koefisien distribusi pada percobaan ini, tidak digunakan
faktor pengenceran, sebab jumlah zat terlarut dalam 100 mL adalah sama dengan
jumlah zat dalam 25 mL larutan yang diambil dari 100 mL larutan.
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, diperoleh koefisien distribusi
asam borat dan asam benzoat adalah 0,2507 dan 0,5381. Hasil ini tidak sesuai dengan
tujuan percobaan yaitu untuk mendapatkan koefisien distrubusi zat = 1.
Kesalahan ini mungkin disebabkan karena ketidaktelitian dalam
penimbangan sampel dan kesalahan pengamatan titik akhir.
BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan :
- Koefisien distribusi asam borat adalah 0,2501.
- Koefisien distribusi asam benzoat adalah 0,5381.
VI.2 Saran
Sebaiknya alat-alat lab dilengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mycek, Mary J., (2001), ”Farmakologi Ulasan Bergambar” Edisi 2, Widya Medika: Jakarta hal 8.
2. Martin., Alfred., dkk., (1990), ”Farmasi Fisik 1”, UI-Press : Jakarta hal 622.
3. Rumate., F., (1993), ”Analisis Instrumental I”, Jurusan Farmasi, Unhas: Makassar hal 33.
4. Ansel., Howard C., (1989), ”Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”, UI-Press: Jakarta hal 57, 58, 59.
5. Dirjen POM., (1979), ”Farmakope Indonesia Edisi III”, Depkes RI : Jakarta hal 49, 96, 412, 456.
6. Dirjen POM., (1995), ”Farmakope Indonesia Edisi IV”, Depkes RI : Jakarta hal 662.