Upload
gagisodihapusberoo
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/26/2019 G0012109_bab2
1/23
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Polip Hidung
a. Definisi
Secara umum polip hidung dapat didefinisikan sebagai lesi
abnormal pada mukosa hidung atau sinus paranasalis sebagai hasil
manifestasi dari berbagai proses patologis pada rongga hidung
(McClay, 2014). Polip hidung merupakan massa lunak yang
mengandung banyak cairan dan berada di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk
makroskopis polip hidung berupa massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak
sensitif terhadap nyeri bila ditekan atau ditusuk (Mangunkusumo et
al., 2012).
b.
Klasifikasi
Hellquist (1996) mengklasifikasikan polip menjadi 4 tipe berdasarkan
gambaran histopatologisnya, yaitu:
1) tipe 1 : polip edematous atau eosinofilik, dengan ciri morfologis
berupa edema, hiperplasi sel goblet epitel, dan penebalan
membran basal
7/26/2019 G0012109_bab2
2/23
7
2)
tipe 2 : polip fibroinflamatori, dengan ciri morfologis berupa
inflamasi kronis dan metaplasi epitel
3) tipe 3 : polip dengan hiperplasi kelenjar seromukus, pada
gambaran histologis nampak pertambahan jumlah kelenjar
seromukus dan struktur duktus pada stroma yang edem
4) tipe 4 : polip dengan stroma atipik, tipe ini sangat jarang ditemui
dengan ciri khas sel stromal yang atipik dan bizzare, bisa juga
didapati sel ireguler dan hiperkromatik.
Etiologi dan patofisiologi polip hidung belum dapat diketahui
secara menyeluruh, sehingga belum ada klasifikasi yang valid
mengenai subtipe polip yang bisa digunakan untuk memprediksi
kondisi pasien setelah pemberian terapi obat atau operasi
pengangkatan polip (Wright, 2008). Berdasarkan jenis sel
peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe
eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo et al., 2012).
c. Patogenesis
Pembentukan polip merupakan konsekuensi dari kerusakan
epitel mukosa hidung. Infeksi bakteri, virus, dan paparan partikel
iritan dalam jangka waktu lama dapat merusak epitel. Mukosa yang
rusak pasti memiliki respon perbaikan jaringan dengan cara migrasi
epitelium dari tepian luka kemudian masuk ke dalam untuk menutup
luka, namun pada beberapa kasus mekanisme regenerasi epitel hidung
terjadi tidak sempurna, ditambah dengan sitokin yang dilepaskan pada
7/26/2019 G0012109_bab2
3/23
8
proses regenerasi akan mempermudah proses pembentukan polip
(Chojnowska S, 2013).
Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti namun
sering dikaitkan dengan tiga hal, yaitu inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom, dan predisposisi genetik. Sebagian besar teori
menganggap polip sebagai manifestasi paling akhir dari inflamasi
kronis, oleh karena itu setiap keadaan yang menyebabkan inflamasi
kronis pada cavum nasi dapat memicu pertumbuhan polip hidung
(McClay, 2014). Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa lebih
dari 14% pasien polip hidung memiliki riwayat keluarga yang
menderita polip hidung. Meskipun predisposisi genetik merupakan
faktor yang berpengaruh pada perkembangan polip hidung, namun
hingga saat ini belum ada pola Mendel yang jelas pada kasus polip
hidung ini, kemungkinan besar yang berperan adalah interaksi antara
genetik dan lingkungan (Pearlman et al., 2010). Saraf otonom terdiri
dari dua macam, yaitu saraf kolinergik dan adrenergik. Hiraide dan
Kakoi (1986) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sulit untuk
menemukan serabut saraf otonom pada polip hidung, kecuali pada
bagian tangkai polip hidung sehingga peneliti menyimpulkan bahwa
disfungsi saraf otonom berperan pada pembentukan polip hidung.
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor,
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi
vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast,
7/26/2019 G0012109_bab2
4/23
9
yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip
(Mangunkusumo et al, 2012). Menurut teori Bernstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal.
Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan
vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan
regulasi vaskuler yang mengakibatkan sel mast melepaskan sitokin-
sitokin kemudian menyebabkan edem dan lama-kelamaan menjadi
polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung
dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo et al., 2012). Kahveci et
al. (2008) mengatakan dalam penelitiannya bahwa terdapat
ketidakseimbangan regulasiMatrix Metalloproteinase-9(MMP-9) dan
Tissue Inhibitor of Metalloproteinase(TIMP) pada polip hidung yang
dapat berperan pada pembentukan polip melalui remodellingjaringan.
Walaupun banyak teori telah dikemukakan, peranan alergi dan infeksi
masih menjadi mekanisme paling penting dan mendasari pada
perkembangan polip dan rinosinusitis kronis (Tikaram, 2013).
7/26/2019 G0012109_bab2
5/23
10
d. Insidensi
Data dariEuropean Position Paper on Rhinosinusitis(2012)
menyebutkan bahwa di Swedia prevalensi polip hidung mencapai
2,7% dari keseluruhan populasi, 0,5% di Korea, 4,3% di Finlandia,
dan 2,1% di Perancis. RSUD Dr.Soetomo Surabaya mencatat ada 55
pasien polip hidung berkunjung ke poli THT-KL per-Januari 2006
hingga Desember 2006 (Ardani et al., 2008). Insidensi polip hidung di
RSSA Malang tahun 2011 sekitar 0,6% dari 4.632 kasus baru.
Biasanya ditemukan pada pasien usia 20-60 tahun dengan puncak usia
di atas 50 tahun, serta lebih banyak mengenai laki-laki dibandingkan
perempuan (2-4:1) (Arif et al., 2014). Polip nasi sangat jarang terjadi
pada anak-anak, angka kejadian pada anak sebesar 0,1% dari
keseluruhan polip nasi. Dari keseluruhan polip nasi anak tersebut,
33% kasus merupakan polip antrokoanal (Budiman et al., 2014).
e. Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung
tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-
bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatipost nasal
dripdan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah
bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur
7/26/2019 G0012109_bab2
6/23
11
dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada
saluran napas bawah berupa batuk kronik dan mengi, terutama
pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus
ditanyakan riwayat rinitis alergi, asma, intileransi terhadap aspirin
dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.
2) Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas
hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran
batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat
sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut
Mackay dan Lund (1997) adalah pada stadium 1 polip masih
terbatas di meatus medius, stadium 2 polip sudah keluar dari
meatus medius tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung, stadium 3 polip yang masif.
3) Naso-endoskopi
Endoskop membantu diagnosis polip stadium 1 dan 2
yang kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai
polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.
4) Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters,
anteroposterior, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
7/26/2019 G0012109_bab2
7/23
12
penebalan mukosa dan batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi
komputer (TK, CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang
gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi
dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi. (Mangunkusumo et al., 2012).
f. Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip hidung adalah
menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip
hidung disebut juga polipeptomi medikamentosa, kortikosteroid dapat
diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik. Polip tipe
eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan
kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus
polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipeptomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan anestesi lokal, etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Cadwell-Luc
untuk sinus maksila. Pilihan yang terbaik ialah jika tersedia fasilitas
7/26/2019 G0012109_bab2
8/23
13
endoskop maka dapat dilakukan tindakan Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF) (Mangunkusumo et al., 2012).
Tikaram (2013) menyebutkan pada penelitiannya bahwa
polip hidung di Asia dominan tipe neutrofil, etiologi polip hidung ras
Kaukasia dan Asia berbeda sehingga memerlukan penanganan yang
berbeda, pemberian antibiotik disamping kortikosteroid akan
memberikan prognosis lebih baik bagi pasien Asia namun masih
diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pemilihan jenis
antibiotiknya.
g. Prognosis
Multiple benign polyps biasanya masih bisa mengalami
rekurensi walaupun telah mendapat penanganan medikasi atau
pembedahan. Polip besar dan tunggal (misalnya tipe antrokoanal)
memiliki sedikit sekali kemungkinan untuk kambuh (McClay, 2014).
Pasien polip dengan eosinofil dominan memiliki tingkat rekurensi
yang lebih tinggi (Nakayama et al., 2011). Intervensi bedah dapat
memacu proses penyembuhan yang tidak sempurna dan bisa
menyebabkan komplikasi akibat pembentukan jejas, karena proses
penyembuhan luka mungkin melemah akibat mukosa yang mengalami
inflamasi (Wright, 2008).
7/26/2019 G0012109_bab2
9/23
14
2. Inflamasi
Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap
infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding
respon imun didapat (innate immunity). Proses inflamasi akan berjalan
sampai antigen dapat disingkirkan, hal itu umumnya terjadi cepat berupa
inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Inflamasi akan
pulih setelah mediator-mediator diinaktifkan. Bila penyebab inflamasi
tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang akan terjadi
inflamasi kronis yang dapat merusak jaringan dan akhirnya jaringan akan
kehilangan fungsi sama sekali (Baratawidjaja et al., 2012).
Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh luka atau
mikroorganisme patogen menginduksi serangkaian proses yang kompleks,
disebut respon inflamasi. Komponen molekuler mikroba seperti
Lipopolysaccharide (LPS) mampu memicu respon inflamasi melalui
interaksi dengan reseptor permukaan sel. Pada abad pertama Masehi,
dokter Romawi bernama Celcus mendeskripsikan empat tanda utama
inflamasi sebagai rubor (kemerahan), tumor (bengkak), calor(panas), dan
dolor (nyeri). Pada abad ke empat, dokter lainnya, Galen menambahkan
tanda ke lima yaitufunctio laesa (hilangnya fungsi) (Kindt et al., 2007).
a. Inflamasi Akut
Inflamasi akut disebabkan oleh pelepasan berbagai mediator
yang berasal dari jaringan rusak, sel mast, leukosit, dan komplemen.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan edem, bengkak, kemerahan,
7/26/2019 G0012109_bab2
10/23
15
nyeri, gangguan fungsi daerah yang terkena serta merupakan penanda
klasik inflamasi. Fosfolipid yang ada pada membran sel yang rusak
dipecah menjadi asam arakidonat dan Lyso-Platelet Activating Factor
(LysoPAF), Platelet Activating Factor (PAF) kemudian dapat
menimbulkan agregasi trombosit, mengaktivasi eosinofil serta
neutrofil. Asam arakidonat selanjutnya dimetabolisme menjadi
Prostaglandin (PG) dan Tromboksan (TX). PG menunjukkan efek
fisiologis seperti peningkatan vaskuler, dilatasi vaskuler, dan induksi
kemotaksis neutrofil, sedangkan TX menimbulkan konstriksi
pembuluh darah dan agregasi trombosit. Asam arakidonat juga dapat
dimetabolisme menjadi Leukotrien (LT) melalui jalur lain, salah satu
produknya yaitu Leukotrien B4 (LTB4) merupakan kemoatraktan
poten untuk neutrofil. Mikroba dapat melepaskan endotoksin dan atau
eksotoksin, keduanya memacu pelepasan mediator proinflamasi. LPS
adalah komponen dinding sel bakteri gram negatif, aktivator
poliklonal sistem imun, memacu pelepasan berbagai sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-12, IL-18, TNF-, dan TNF-.
Toksin bakteri juga merusak jaringan dan memacu pelepasan trombin,
histamin, dan sitokin yang dapat merusak ujung-ujung saraf
(Baratawidjaja et al., 2012).
7/26/2019 G0012109_bab2
11/23
16
Komponen utama inflamasi akut terdiri dari (Kumar et al.,
2013):
1) Perubahan vaskuler
Perubahan pada pembuluh darah berupa vasodilatasi agar aliran
darah yang menuju tempat inflamasi bertambah dan kenaikan
permeabilitas kapiler supaya memudahkan protein plasma
meninggalkan sirkulasi untuk mendukung proses inflamasi. Sel
endotel pembuluh darah juga ikut aktif guna mempermudah
adhesi dan migrasi leukosit.
2)
Perubahan seluler
Berupa perpindahan leukosit dari sirkulasi dan akumulasi di
tempat perlukaan (cellular recruitment), diikuti oleh aktifasi
leukosit, dan eliminasi patogen. Leukosit utama yang berperan
pada inflamasi akut adalah neutrofil (polymorphonuclear
leukocytes).
b. Inflamasi Kronis
Respon inflamasi akut ditujukan untuk eradikasi bahan atau
mikroorganisme yang memacu respon awal. Pada beberapa keadaan,
eradikasi tidak efektif atau tidak lengkap sehingga mencetuskan fase
inflamasi kronis. Inflamasi kronis dapat menimbulkan kerusakan
jaringan yang tergantung dari bahan pemicu, tempat terjadinya reaksi
dan respon imun yang dominan. Bila inflamasi tidak terkontrol,
7/26/2019 G0012109_bab2
12/23
17
neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik khas dari inflamasi
kronis. Bila patogen peristen dalam tubuh, makrofag akan
mengalihkan respon berupa reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
melibatkan limfosit secara penuh. Sitokin terutama IFN- dan TNF-
berperan dalam inflamasi kronis (Baratawidjaja et al., 2012).
T Helper 1 (TH1), Natural Killer (NK), dan sel T cytotoxic
(TC) memproduksi IFN-, sedangkan makrofag teraktivasi
menghasilkan TNF-. IFN- secara eksklusif dihasilkan oleh sel T dan
NK, efek paling utama IFN- adalah sebagai aktivator makrofag.
Makrofag yang teraktivasi menunjukkan kenaikan ekspresi MHC II di
permukaan selnya, menaikkan produksi sitokin, dan aktifitas
mikrobialnya lebih meningkat, sehingga lebih aktif dalam
mempresentasikan antigen dan membunuh patogen intraseluler. Pada
inflamasi kronis, makrofag teraktivasi dalam jumlah besar
mengeluarkan berbagai enzim hidrolitik, oksigen reaktif (ROS), dan
nitrogen yang bertanggung jawab pada sebagian besar kerusakan
jaringan di sekitarnya.
Salah satu sitokin penting yang dihasilkan makrofag
teraktivasi adalah TNF- (Kindt et al., 2007). TNF- dan IL-1 dapat
mengaktivasi NF-B, faktor transkripsi berbagai gen yang berperan
7/26/2019 G0012109_bab2
13/23
18
dalam regulasi produksi sitokin proinflamasi, rekruitmen leukosit, dan
cell survival(Lawrence, 2009).
3. Makrofag
Merupakan sel dominan pada inflamasi kronis, berasal dari
monosit pada sirkulasi darah yang kemudian bermigrasi ke jaringan.
Normalnya makrofag tersebar secara difus di jaringan ikat dan dapat pula
ditemui di organ seperti hepar (disebut sel Kuppfer), limpa dan limfonodus
(disebut histiosit), sistem saraf pusat (sel mikroglia) dan paru-paru
(makrofag alveolus). Semua makrofag tersebut kemudian disebut sebagai
mononuclear phagocyte system, atau dahulu disebut sistem retikulo
endotelia. Pada semua jaringan, makrofag memiliki fungsi sebagai
penyaring benda-benda asing, mikroba, dan sel tua, termasuk pula sel lain
yang telah selesai mengeliminasi mikroba pada respon seluler dan
humoral.
Monosit berasal dari prekursornya di sumsum tulang dan masuk
sirkulasi darah hanya dalam sehari. Adhesin dan kemokin menyebabkan
monosit bermigrasi ke jaringan yang luka dalam 24 hingga 48 jam setelah
onset inflamasi akut. Ketika monosit mencapai jaringan ekstravaskuler,
monosit bertansformasi menjadi makrofag, yaitu sel yang lebih besar,
memiliki waktu hidup lebih lama dan kapasitas fagositosis yang lebih
besar daripada monosit di dalam darah.
7/26/2019 G0012109_bab2
14/23
19
Makrofag jaringan diaktivasi oleh bermacam-macam stimuli
untuk dapat melakukan berbagai fungsi. Jalur aktivasi makrofag ada dua,
yaitu klasik dan alternatif. Jalur klasik diinduksi oleh produk mikrobial
seperti endotoksin, sitokin dari sel T yaituInterferon-gamma (IFN-), dan
oleh benda asing termasuk kristal. Makrofag yang teraktivasi lewat jalur
klasik mensekresi produk-produk enzim lisosomal, Nitric Oxide (NO),
ROS yang memiliki kemampuan untuk membunuh organisme patogen dan
mensekresi sitokin yang menstimulasi inflamasi. Makrofag ini penting
dalam pertahanan tubuh terhadap mikroba dan pada berbagai reaksi
inflamasi kronis.
Aktivasi makrofag jalur alternatif diinduksi oleh sitokin selain
IFN-, seperti IL-4 (Interleukin-4) dan IL-13 yang dihasilkan oleh sel T
dan sel lain termasuk sel mast dan eosinofil. Makrofag yang teraktivasi via
jalur ini berperan bukan sebagai eliminasi makroba tetapi berperan dalam
perbaikan jaringan, dengan cara mensekresi growth factor yang
menginisiasi angiogenesis, mengaktifkan fibroblas dan menstimulasi
sintesis kolagen.
Aktivasi makrofag selayaknya merupakan respon terhadap
sebagian besar rangsang berbahaya, pada awalnya makrofag teraktivasi
melalui jalur klasik untuk mengeliminasi patogen kemudian diikuti dengan
aktivasi via jalur alternatif untuk menginisiasi perbaikan jaringan.
Sayangnya rangkaian tersebut tidak terdokumentasi dengan baik pada
sebagian besar reaksi inflamasi.
7/26/2019 G0012109_bab2
15/23
20
Makrofag merupakan sel yang penting pada respon inflamasi yaitu
perannya pada inisiasi dan propagasi pada semua reaksi inflamasi, dia
mensekresi Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-1, kemokin, dan lainnya
serta eikosanoid. Setelah patogen inisiator telah dieliminasi atau reaksi
inflamasi telah mereda, selanjutnya makrofag akan mati atau kembali ke
sistem limfatik. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi makrofag
terjadi peresisten karena terjadi rekrutmen secara terus-menerus dari
pembuluh darah dan proliferasi di jaringan. IFN- menyebabkan beberapa
makrofag bersatu menjadi besar membentuk multinucleated giant cells
(Kumar et al., 2013).
4. Neutrofil
Disebut juga leukosit polimorfonuklear, merupakan sel darah
putih dengan populasi terbanyak yang beredar di pembuluh darah dan
merupakan sel imun yang pertama kali bermigrasi ke tempat reaksi
inflamasi. Neutrofil berbentuk sferis saat di sirkulasi, diameternya sekitar
12 hingga 15 m, memiliki nukleus berbentuk segmen tiga sampai lima
lobus yang berkaitan. Granula neutrofil terdiri dari dua tipe, yang paling
banyak yaitu granula spesifik berisi enzim lisozim, kolagenase, dan
klastase. Granula lainnya yaitu granula azurofilik yang berisi defenzim dan
katelisidin yang berguna untuk mengeliminasi patogen. Stimulasi
diferensiasi neutrofil diperankan oleh Granulocyte Colony-Stimmulating
Factor (G-CSF). Manusia dewasa mampu memproduksi neutrofil
7/26/2019 G0012109_bab2
16/23
21
sebanyak 1 x 1011neutrofil tiap harinya. Neutrofil melakukan migrasi ke
tempat infeksi mikroba dan segera bekerja mengeliminasi makroba,
setelah masuk ke jaringan neutrofil hanya dapat hidup 1 hingga 2 hari
kemudia mati (Abbas et al., 2015).
5. Sel Plasma
Sebagian besar limfosit B yang menghasilkan antibodi secara
morfologi diidentifikasi sebagai sel plasma. Ciri khasnya adalah nukleus
eksentris, kromatin yang terdistribusi mengikuti cartwheel pattern,
sitoplasmanya banyak dan mengandung retikulum endoplasma yang padat
dan kasar, serta memiliki aparatus golgi yang nampak jelas. Diperkirakan
setengah atau lebih dari messenger RNA pada sel ini mengkode protein
antibody, sel plasma tunggal dapat mensekresi beribu-ribu molekul
antibodi tiap detik. Sel plasma berkembang pada organ limfoid dan pada
tempat terjadinya respon imun, beberapa di antara sel plasma dapat
menetap di sumsum tulang, sel tersebut dapat hidup dan mensekresi
antibodi dalam jangka waktu yang lama setelah terjadi induksi terhadap
respon imun (Abbas et al., 2015).
6. Limfosit
Limfosit dapat ditemukan pada berbagai keadaan seperti infeksi,
inflamasi yang tidak dimediasi oleh imunitas (neksrosis iskemik atau
trauma), maupun inflamasi pada autoimun dan inflamasi kronis. Aktivasi
7/26/2019 G0012109_bab2
17/23
22
limfosit T dan B merupakan bagian dari respon adaptif pada keadaan
infeksi dan penyakit imunologik. Kedua limfosit tersebut bermigrasi ke
tempat inflamasi menggunakan molekul adesi dan kemokin yang sama
untuk rekrutmen leukosit lain. Limfosit B dapat berkembang menjadi sel
plasma pada jaringan yang kemudian bisa mensekresi antibodi, sedangkan
aktivasi limfosit T CD4+ dapat mensekresi berbagai sitokin. Sitokin yang
dihasilkan oleh limfosit T CD4+ dapat menaikkan respon inflamasi dan
memengaruhi berbagai keadaan pada inflamasi. CD4+ memiliki tiga
subset yang dapat menghasilkan sitokin yang berbeda:
a.
TH1: memproduksi IFN- yang dapat mengaktivasi makrofag melalui
jalur klasik
b. TH2: mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 yang bisa merekrut dan
mengaktivasi eosinofil serta bertanggung jawab pada aktivasi
makrofag melalui jalur alternatif
c. TH17: mensekresi IL-17 dan sitokin lainnya yang dapat menginduksi
sekresi kemokin untuk rekrutmen neutrofil dan monosit
TH1 dan TH17 berperan penting pada pertahanan terhadap
berbagai bakteri dan virus serta pada autoimun, sedangkan TH2 adalah
limfosit penting pada infeksi cacing dan inflamasi akibat alergi. Interaksi
antara limfosit dan makrofag berupa dua arah dan tipe interaksi ini
memiliki peran yang penting pada perkembangan inflamasi kronis.
Makrofag mempresentasikan antigen ke sel T dan memproduksi sitokin
yang dapat menstimulasi respon sel T. Sel T yang teraktivasi memproduksi
7/26/2019 G0012109_bab2
18/23
23
sitokin yang kemudian dapat merekrut dan mengaktivasi makrofag,
sehingga presentasi antigen dan produksi sitokin makin bertambah. Oleh
karena itu gambaran khas dari inflamasi kronis yang peresisten yaitu
akumulasi limfosit, Antigen-Presenting Cell (APC), dan sel plasma
(Kumar et al., 2013).
7. NF-B
Nuclear Factor-kappa Beta (NF-B) atau Rel adalah kompleks
protein, faktor transkripsi yang mengontrol berbagai proses seluler
penting, seperti terlibat dalam respon imun dan inflamasi, proses
perkembangan, pertumbuhan sel, dan apoptosis. Selain itu faktor
transkripsi ini juga aktif pada kanker, atritis, inflamasi kronis, asma,
penyakit neurodegeneratif, dan penyakit jantung. Pada sebagian besar sel,
NFB ada dalam keadaan laten, inaktif karena diikat oleh IB (inhibitor of
NF-B) di sitoplasma. IB merupakan protein inhibitor NF-B, regulator
utama aktifitas NF-B.Inducer atau stimulus NF-B dapat berupa infeksi
(bateri, virus, parasit), stres (fisik, psikis, oksidatif), sitokin-sitokin
inflamasi (TNF-, IL-1), dan lain-lain. Ketika sel menerima stimulus-
stimulus tersebut, NF-B akan masuk dengan cepat ke nukleus dan
mengaktifkan ekspresi beberapa gen, misalnya sitokin atau kemokin dan
modulatornya,growth factor, dan regulator apoptosis (Gilmore, 2006).
Pada sel mamalia, famili NF-B/Rel terdiri dari 5 anggota, yaitu
RelA (p65), c-Rel, NF-B1 (p50; p105), dan NF-B2 (p52; p100). Protein
7/26/2019 G0012109_bab2
19/23
24
inhibitor NF-B, yaitu IB terdiri dari IB, IB, IB, dan Bcl-3 (B cell
lymphoma-3). Degradasi IB diperankan oleh kompleks IB Kinase
(IKK), yang tersusun oleh subunit katalitik IKK dan IKK serta subunit
regulator IKK disebutjuga NF-BEssential Modulator(NEMO).
Jalur aktivasi NF-B ada 2, yaitu jalur klasik/canonical pathway
dan jalur alternatif/non-canonical pathway. Aktivasi jalur klasik
dicetuskan oleh reseptor TNF 1/2 (TNFR 1/2), reseptor sel T (TCR),
reseptor sel B (BCR), IL-1, atau reseptor Toll-like(TLR) yang kemudian
akan mengaktivasi IKK dan memfosforilasi IB, aktivasi NF-B akan
mentranskripsi gen yang mengkode sitokin, kemokin, molekul adesi,
penguat respon inflamasi, dan survival sel. Pada jalur alternatif, pencetus
berupa reseptor limfotoksin (LTR), B-cell-activating factor belonging
to the TNF family receptor (BAFF-R), CD40, dan CD30. Aktivasi NF-B
melalui fosforilasi p100 oleh IKK homodimer untuk kemudian
meregulasi perkembangan organ limfoid dan sistem imun adaptif
(Nishikori, 2005).
Pada kanker, aktifasi NF-B merupakan akibat dari proses
inflamasi atau sebagai konsekuensi dari terbentuknya inflammatory
microenvirontment selama proses keganasan. Hal yang paling penting
yaitu karena kemampuannya dalam menaikkan regulasi ekspresi sitokin
pemicu tumor seperti IL-6 maupun TNF- serta gen untuk survival sel
seperti Bcl-XL (B-cell lymphoma-extra large), NF-B merupakan titik
kritis penghubung antara inflamasi dan kanker (Karin, 2009).
7/26/2019 G0012109_bab2
20/23
25
Gambar 2.1 Jalur Aktivasi NF-B Dikutip dari Nishikori (2005) dengan
Perubahan
8. Ekspresi NF-B pada Polip Hidung
NF-B dapat menginduksi transkripsi beberapa gen termasuk gen
yang mengatur sintesis IL-8, IL-16, iNOS, dan eotaksin yang ikut
berkontribusi pada patogenesis polip hidung. Ekspresi eksotaksin 1
mengalami kenaikan 3 kali lipat pada polip hidung dibandingkan kontrol
mukosa normal. Eksotaksin merupakan kemoatraktan poten untuk
eosinofil dan dipercaya sebagai kunci utama terjadinya eosinofilia
jaringan. Di antara beberapa interleukin NF-B-dependen, IL-8
JALUR AKTIVASI NF-B
TNFIL-1
LPS
Reseptor
Reseptor
NF-B
NF-B
IB
IB
Nukleus
Sitoplasma
BAFF
LT12CD40L
Jalur Klasik
Jalur AlternatifIKK
7/26/2019 G0012109_bab2
21/23
26
merupakan interleukin yang mengalami kenaikan paling signifikan, IL-8
ikut andil dalam rekrutmen dan aktivasi leukosit, limfosit T, dan eosinofil
(Fraczek, 2013). Hanya saja keberadaan NF-B belum dapat digunakan
sebagai prediktor rekurensi karena tidak ada perbedaan ekspresi NF-B
yang signifikan secara statistik pada polip hidung primer dan rekuren,
termasuk juga profil CD4, CD8, Transforming Growth Factor-Alpha
(TGF-), TGF-, Vasculae Endothelial Growth Factor (VEGF).
Perbedaan yang signifikan ditemukan pada hitung eosinofil, yaitu pada
polip hidung yang memiliki gambaran histologik eosinofil dominan
memiliki kecenderungan untuk mengalami rekurensi. Pasien dengan
eosinofilia lebih sensitif terhadap pemberian kortikosteriod pasca operasi
untuk mencegah rekurensi (Gel et al., 2015).
NF-B merupakan faktor transkripsi penting yang memiliki peran
dalam respon inflamasi pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung.
Penggunaan kortikosteroid yang dikombinasi bersama inhibitor NF-B
(misalnya DHMEQ atau dehydroxymethylepoxyquinomicin) mampu
menurunkan derajat inflamasi daripada penggunaan secara terpisah. Efek
antiinflamasi dari kombinasi dua obat ini dapat menjadi strategi
menjanjikan untuk diteliti lebih mendalam, terutama untuk terapi polip
hidung yang resisten terhadap kortikosteroid (Valera et al., 2012b).
Resistensi kortikosteroid pada rinosinusitis kronis dengan polip
hidung terjadi karena terbatasnya kerja glukokortikosteroid topikal pada
penyakit kronis, buruknya perbaikan pasca terapi, dan resistensi
7/26/2019 G0012109_bab2
22/23
27
glukokortikosteroid secara seluler maupun molekuler. Mekanisme seluler
dan molekuler yang menyebabkan resistensi terhadap glukortikosteroid
adalah interaksi antara Glucocorticosteroid Receptor -
Glucocorticosteroid Receptor (GR-GR) dan pengaruh dari faktor
transkripsi. Tingginya ekspresi faktor transkripsi ( Activator Protein-1
(AP-1) dan NF-B) menyebabkan resistensi kortikosteroid, karena faktor
transkripsi tersebut menghalangi kerja kostikosteroid dengan cara
mencegah ikatan antara kompleks kortikosteriod dan reseptornya ke
sekuens DNA yang dituju (Valera et al., 2012a).
Penelitian Valera et al.(2011) menyebutkan bahwa TNF- secara
signifikan menaikkan translokasi nuklear NF-B, hal ini sekaligus
mengkonfirmasi bahwa NF-B merupakan mekanisme penting dari
induksi mediator-mediator proinflamasi pada polip hidung seperti yang
diutarakan oleh penelitian sebelumnya. Keberhasilan pengobatan dengan
kortikosteroid dapat dideteksi dengan menurunnya level aktivasi NF-B.
Pada beberapa orang yang tidak menunjukkan respon baik terhadap
kortikosteroid didapatkan kenaikan ekspresi NF-B. Oleh karena itu NF-
B dapat dipertimbangkan sebagi mediator penting pada inisiasi polip
hidung dan resisten terhadap glukokortikosteroid.
7/26/2019 G0012109_bab2
23/23
28
B. Kerangka Pemikiran
C. HIPOTESIS
Terdapat korelasi antara densitas sel-sel radang dengan ekspresi
NF-B pada polip hidung tipefibroinflammatory.
Keterangan:
: faktor perancu
: memacu
: men hambat
Etiopatogenesis
Profil sel-sel radang
Ras dan Geografik
Neutrofil
Radikal bebas, kemokin, sitokin proinflamasi
Pelepasan kompleks
NFB-inhibitor
NF-B
Transkripsi penyandi:
cell survival,
proliferasi, inflamasi
Polip Hidung
LPS
Disfungsi saraf otonom
Predisposisi genetik
Asap Rokok
Stres (fisik,
psikis, oksidatif)
MakrofagHistiosit Sel Plasma Limfosit