Upload
dini-rusardani
View
45
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IIPEMBAHASAN
1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan pada peran aktif
siswa dalam membangun pemahaman mereka sendiri tentang pengetahuan yang
dipelajarinya. Slavin (1994:225) mengungkapkan bahwa konstruktivisme dalam sejarah
pendidikan lahir dari gagasan-gagasan Piaget dan Vigotsky. Keduanya menekankan bahwa
perkembangan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya
diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi baru.
Menurut Anderson (dalam Slavin, 1994:48) dalam pandangan konstruktivisme individu
dipandang mengkonstruksi pengetahuan secara berkesinambungan mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru. Berarti bahwa pengetahuan merupakan kostruksi atau
bangunan manusia sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang mempelajari suatu
pengetahuan berarti belajar mengkonstruksi pengetahuan, atau belajar adalah suatu proses
aktif seseorang mengkonsumsi pengetahuan.
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif
mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru didasarkan atas
pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan kata lain,
”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh
dirinya sendiri”.
Dengan demikian, belajar menurut konstruktivis merupakan upaya keras yang sangat
personal, sedangkan internalisasi konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum sebagai
konsekuensinya seharusnya diaplikasikan dalam konteks dunia nyata.
Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan konstruktivisme adalah membahas dua
bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.
1. Konstruktivisme Individu
Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan sesuatu
dengan menggunakan pengatahuan dan keyakinannya secara individu. Pengetahuan disusun
dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan mereorganisasikan pengetahuan yang
sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan cermin dari luar, walaupun pengalaman
mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran mempengaruhi pengetahuan.
Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada hal-
hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung dipelajari
dari lingkungan. Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau
pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan
sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini
bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah pikiran.
2. Konstruktivisme Sosial
Vygotsky meyakini, bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah
yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu. Atau dengan kata lain,
pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosialbudayanya.
Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa,
keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.
Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan,
keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran. Vygotsky juga dianggap
sebagai konstruktivis sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya sangat
bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran.
Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu, karena
ketertarikannya dalam pengembangan individu.
Untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, tiga penjelasan yang bertahap
merangkum berbagai pendekatan konstruktivisme ini:
1. Realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan pembentukan pengetahuan. Individu
merekonstruksi realitas diluarnya dengan membentuk representasi mental secara akurat yang
mencerminkan “keadaan apa adanya”. Tahap pertama yang tidak lain model pemrosesan
informasi dari teori belajar kognitif.
2. Proses internal dari Piaget yaitu organisasi, asimilasi dan akomodasi mengarahkan
pembentukan pengetahuan. Jadinya pengetahuan bukan hanya cermin dari realitas, namun
suatu abstraksi yang tumbuh dan berkembang dengan aktivitas kognitif. Pengetahuan bukan
sekedar benar atau salah; namun terus tumbuh secara internal yang konsisten dan
diorganisasikan seiring dengan perkembangannya.
3. Faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan. Pengetahuan
tumbuh melalui interaksi faktor-faktor internal (kognitif) dan eksternal (lingkungan dan
sosial). Deskripsi Vygotsky tentang perkembangan kognitif melalui pengenalan dan
pemakaian alat-alat budaya seperti bahasa konsisten dengan pandangan ini.
Hal berikutnya dalam pendekaran konstruktivis ini adalah pertanyaan tentang apakah
pengetahuan yang dibentuk itu bersifat internal, umum dan dapat ditransfer atau terikat dalam
ruang dan waktu pada saat dibentuk. Apa yang dijelaskan oleh Vigotsky bahwa belajar
tergantung konteks sosial dan berada dalam lingkup budaya tertentu memang tepat. Namun
apa yang disebut benar dalam waktu dan tempat tertentu bisa menjadi salah di tempat dan
waktu yang lain, seperti anggapan bahwa bumi itu datar sebelum Colombus. Ide-ide tertentu
berguna pada komunitas tertentu, namun tidak bermanfaat apa-apa di komunitas lain. Apa
yang disebut pengetahuan baru ditentukan sebagiannya dengan bagaimana ide baru tersebut
sesuai dengan praktek yang berlaku pada saat tersebut. Sepanjang waktu, praktek yang ada
dipertanyakan dan bisa diganti, namun sebelum itu terjadi praktek yang ada terus dilakukan
karena dinilai tetap menguntungkan.
Selain itu belajar juga terkondisikan berdasar tempat berlangsungnya kegiatan, biasa yang
disebut enkulturasi atau proses mengadopsi norma-norma, perilaku, keahlian, kepercayaan,
bahasa, sikap dari satu komunitas tertentu. Jadinya pengetahuan tidak hanya dilihat sebagai
struktur kognitif individu saja tetapi sebagai buatan dari komunitas sepanjang waktu. Apa
yang dilakukan oleh komunitas, cara bagaimana mereka berinteraksi dan menyelesaikan
suatu hal, seperti halnya alat yang dibuat oleh komunitas, membentuk pengetahuan dari
komunitas tersebut. Belajar artinya menjadi lebih mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan
dan pemakaian alat dan mendapat bagian identitas sebagai anggota komunitas.
Ciri kontruksivisme
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3)
pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4)
pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi
kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber.
DIMENSI-DIMENSI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik
Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan
pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya: siswa dihadapakan pada lingkungan
belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.
Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang
otentik, karena keberagaman situasi yang siswa hadapi tersebut, seperti juga aplikasi yang
mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi SosialTujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-sama. Guna mnyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi, sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.3. Keragaman Pandangan dan Representasi BahasanAcuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.4. Proses Konstruksi PengetahuanPendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran mereka dalam membangun pengetahuan. Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda, mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri, pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam BelajarFokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.
2. Ciri Pembelajaran Konstruktivisme
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
5. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.
Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi
harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Good & Brophy (dalam Kauchack & Eggen, 1998:185) menyebutkan ciri pembelajaran
konstruktivisme secara umum sebagai berikut.
1. Siswa membangun sendiri pemahamannya
2. Belajar yang baru bergantung pada pemahaman sebelumnya
3. Belajar difasilitasi oleh interaksi sosial
4. Belajar yang bermakna terjadi didalam tugas-tugas belajar mandiri
Alexander & Murphy (dalam Kauchack, 1998:9) mengajukan 5 pertanyaan umum tentang
belajar dan mengajar yang sejalan dengan pendapat Good & Grophy, yaitu:
1. Pengetahuan awal siswa mempengaruhi belajarnya
2. Siswa perlu memikirkan strategi belajarnya
3. Motivasi berpengaruh kuat pada belajar
4. Perkembangan dan perbedaan individual mempengaruhi belajar
5. Kontek sosial di dalam kelas mempengaruhi belajar
Kauchack & Eggen (1998:192-193) mengemukakan bahwa pembelajaran untuk memfasilitasi
konstruksi pengetahuan memuat 4 aspek penting sebagai berikut.
1. Pembelajaran berfokus pada penjelasan dan jawaban siswa atas masalah atau
pertanyaan.
2. Penjelasan dan jawaban datang dari siswa
3. Penjelasan dan jawaban bersumber dari representasi konsep
4. Guru membantu siswa mengkonstruk pengetahuan dengan mengarahkan interaksi
sosial dan menyediakan representasi konsep.
Dengan demikian, esensi pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah tidak
terlepas dari belajar aktif dengan tujuan akhir yang bermuara pada pemecahan masalah, atau
dapat dikatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme adalah pemecahan
masalah; bukan hanya pemecahan masalah bagi siswa, tetapi juga memecahkan masalah
guru.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang
dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1. Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman
yang lebih cakap;
2. ZPD (zone of proximal development).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD.
Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat
memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer);
Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau
soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si
anak.
3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai;
4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan
realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Sedangkan Ratumanan (2004:45) menguraikan 5 prinsip-prinsip kunci teori
Konstruktivisme oleh Vygotsky:
1. Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar. ygotsky menekankan pentingnya
peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat
dan tipe-tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa
dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide
baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Vygotsky fungsi
kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks
budaya. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seorang terlibat secara sosial
dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar
tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan
pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini melahirkan model
pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
2. Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD). Vygotsky
yakin bahwa belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan
proksimal mereka. Daerah proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit diatas
tingkat perkembangan seseorang saat ini, artinya bahwa daerah ini adalah daerah
antara tingkat perkembangan sesungguhnya (aktual) dan tingkat perkembangan
potensial anak. Tingkat perkembangan aktual adalah pemfungsian intelektual individu
saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuannya sendiri
(kemampuan memecahkan masalah secara mandiri), sedang tingkat perkembangan
potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan
bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih
mampu. (kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau
teman sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat
(ZPD) mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat
mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di
sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan anak
dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
3. Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu
pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh
keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang
menguasai permasalahan yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman
sebaya. Dalam konteks koperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat
merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
4. Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian
sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada
anak. Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada
anak sejumlah besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas
tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah dalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam
upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan
baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal dalam meraih
keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian
siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode
penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
5. Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau
berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri.
Menurut Vygotsky private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan
orang lain. Private speech dapat dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada
suatu masalah dalam sebuah ruangan di mana terdapat orang lain, biasanya orang
dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada dirinya sendiri mengenai masalah tertentu,
tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private speech kemudian
dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna untuk
menyatakan ide-ide dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan kategori-
kategori dan konsep-konsep untuk berfikir. Ketika kita mempertimbangkan suatu masalah,
kita biasanya berfikir dalam kata-kata dan bagian kalimat-kalimat.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal
dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori
Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka.
B. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky
Berdasarkan teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya
dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang
menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
2. Penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3. Orientasi dan elicitasi,
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-
awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas.
Siswa dituntun agar mereka
mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan
gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-
gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai
dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-
gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan
gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam
tahap konflik kognitif.
4. Refleksi.
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang muncul
pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada
tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi ide, berupa:
a. tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat
diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil
percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka
benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan.
Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling
sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha
untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan
teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c. membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa
konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep
ilmiah yang baru itu
d. memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju
konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam
berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji
penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
7. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung
dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar
resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar
dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
3. Implikasi Paradigma Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-
jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti
materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat
mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya
tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti
dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yangkeras para sisiwa
sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
b.Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa
harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam
kerangka kognitifnya
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan
para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang
dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan
situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi
mental yang diperlukan.
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g.Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi
kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
4. Kelebihan dan Kekurangan Konstruktivisme
a. Kelebihan
Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat
keputusan. Faham kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru,
mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi. Selian itu
murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam
membina pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung
jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya; Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap; Mengembangkan kemampuan siswa
untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana
belajar itu.
b.Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung;
siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
Hudoyo (1998:7) menjelaskan sebagai implikasi dari pandangan konstruktivistik dalam
pembelajaran, ada beberapa hal yang terkait dengan lingkungan belajar yang perlu
diupayakan, yakni:
1. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan;
2. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas
yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara;
3. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkret dalam kehidupan sehari-hari;
4. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial
yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya;
5. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif;
6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik
dan iswa mau belajar.
Robert E. Yager (1991) mengemukakan tahap pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme terdiri dari 4 tahap, yaitu tahap invitasi, eksplorasi, pengajuan eksplanasi dan
solusi, dan pelaksanaan tindakan.
1. Invitasi diperlukan untuk mengidentifikasi konsepsi awal siswa sebelum pelaksanaan
pembelajaran dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan berikut:
mengamati keingintahuan siswa, siswa menjawab pertanyaan, mempertimbangkan
kemungkinan jawaban pertanyaan, mencatat hal-hal yang tidak diperkirakan, dan
mengenali situasi yang diharapkan siswa.
2. Eksplorasi adalah tahap pelaksanaan pembelajaran dengan melibatkan siswa secara
aktif menggali informasi-informasi baru. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan
pada tahap eksplorasi adalah: mengajak siswa untuk fokus pada pembelajaran,
mendiskusikan alternative alternatif kemungkinan, mencari informasi, melakukan
percobaan dengan alat dan bahan yang ada, mengamati gejala-gejala khusus,
merancang model, mengumpulkan dan mengolah data, menggunakan strategi-strategi
penyelesaian masalah, memilih sumbersumber yang tepat, mendiskusikan solusi
dengan yang lain, merancang dan melaksanakan percobaan, ikut serta dalam diskusi,
mengenali resiko dan konsekwensi-konsekwensi yang timbul, menentukan parameter
suatu penyelidikan, menganalisis data dan sebagainya.
3. Pengajuan eksplanasi dan solusi merupakan tahap diskusi yang dilakukan di antara
siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Kegiatan diskusi ini juga dapat
berlangsung dengan guru yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan yang terjadi pada
tahap pengajuan eksplanasi (penjelasan) dan solusi (penyelesaian) adalah:
mengkomunikasikan informasi dan ide-ide, membangun dan menjelaskan model,
membangun penjelasan baru, mereview dan mengupas penyelesaian, menggunakan
evaluasi kolompok, memasang jawaban jawaban atau solusi-solusi, menentukan
penutup yang sesuai, dan memadukan solusi dengan pengetahuan dan pengalaman.
4. Taking action atau tahap pengambilan tindakan merupakan tahap akhir pembelajaran,
pada tahap ini siswa merumuskan hasil eksplorasi dan diskusinya. Pada tahap ini juga
diberikan evaluasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru,
baik secara lisan maupun sacara tulisan. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan pada
tahap taking action adalah: membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan
keterampilan, mentransfer pengetahuan dan keterampilan, berbagi informasi dan ide-
ide, menjawab pertanyaan baru, dan mengembangkan hasil dan ide-ide.