14
Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No. 2, 2018 P-ISSN: 2580-5045; E-ISSN: 2580-5053 Available online: http://journal.staincurup.ac.id/index.php/arabiyatuna Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi Mansyūrātun Fidāiyyatun „Alā Judrāni Isrāīl” Loita Kurrota A‟yun Universitas Gadjah Mada Yogyakarta [email protected] Abstract A poet often uses the style of language in composing poetry in order to achieve the desired beauty. Likewise with one of the famous Arab poets in the modern era, namely Nizar Qabbani. He often uses language styles, one of which is the figurative language style, to compose verses in his poems. One of his works which contains a lot of this style of figurative language is his poem entitled "Mansyūrātun Fidāiyyatun ā Al Judrāni Isrāīl". This study aims to analyze the style of figurative language used in the poem. In this study, researchers used stylistic analysis, to be able to find out the types of figurative language used by poets. The results of this study indicate that poets use several kinds of figurative language styles, namely equation or simile (tasybīh), metaphor or isti’ārah, antonomasia or kināyah, pars pro toto (majāz mursal juz’iyyah), irony and cynicism. The most figurative style of speech used by poets is the style of equality or simile (tasybīh), irony and cynicism. This is because the poem is a criticism and representation of expressions of bitterness, anger, and disappointment of the Palestinian people both towards Israel, America, and other world communities. Keywords: Nizar Qabbani, Figurative Language Styles, Arab poets. Abstrak Seorang penyair seringkali menggunakan gaya bahasa dalam merangkai puisi guna mencapai keindahan yang diinginkan. Begitu pula dengan salah satu penyair Arab termasyhur pada era modern, yakni Nizar Qabbani. Ia seringkali menggunakan gaya bahasa, salah satunya adalah gaya bahasa kiasan, untuk merangkai bait-bait dalam puisi-puisinya. Adapun salah satu karyanya yang banyak mengandung gaya bahasa kiasan adalah puisinya yang berjudul Mansyūrātun Fidāiyyatun ‘Alā Judrāni Isrāīl ”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam puisi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis stilistika, untuk dapat mengetahui macam-macam gaya bahasa kiasan yang digunakan oleh penyair. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No. 2, 2018

P-ISSN: 2580-5045; E-ISSN: 2580-5053 Available online: http://journal.staincurup.ac.id/index.php/arabiyatuna

Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun „Alā Judrāni Isrāīl”

Loita Kurrota A‟yun Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

[email protected]

Abstract

A poet often uses the style of language in composing poetry in order to achieve the desired beauty. Likewise with one of the famous Arab poets in the modern era, namely Nizar Qabbani. He often uses language styles, one of which is the figurative language style, to compose verses in his poems. One of his works which contains a lot of this style of figurative language is his poem entitled "Mansyūrātun Fidāiyyatun ā Al Judrāni Isrāīl". This study aims to analyze the style of figurative language used in the poem. In this study, researchers used stylistic analysis, to be able to find out the types of figurative language used by poets. The results of this study indicate that poets use several kinds of figurative language styles, namely equation or simile (tasybīh), metaphor or isti’ārah, antonomasia or kināyah, pars pro toto (majāz mursal juz’iyyah), irony and cynicism. The most figurative style of speech used by poets is the style of equality or simile (tasybīh), irony and cynicism. This is because the poem is a criticism and representation of expressions of bitterness, anger, and disappointment of the Palestinian people both towards Israel, America, and other world communities. Keywords: Nizar Qabbani, Figurative Language Styles, Arab poets.

Abstrak

Seorang penyair seringkali menggunakan gaya bahasa dalam merangkai puisi guna mencapai keindahan yang diinginkan. Begitu pula dengan salah satu penyair Arab termasyhur pada era modern, yakni Nizar Qabbani. Ia seringkali menggunakan gaya bahasa, salah satunya adalah gaya bahasa kiasan, untuk merangkai bait-bait dalam puisi-puisinya. Adapun salah satu karyanya yang banyak mengandung gaya bahasa kiasan adalah puisinya yang berjudul “Mansyūrātun Fidāiyyatun ‘Alā Judrāni Isrāīl”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam puisi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis stilistika, untuk dapat mengetahui macam-macam gaya bahasa kiasan yang digunakan oleh penyair. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

Page 2: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

162 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

bahwa penyair menggunakan beberapa macam gaya bahasa kiasan, yakni persamaan atau simile (tasybīh), metafora atau isti’ārah, antonomasia atau kināyah, pars pro toto (majāz mursal juz’iyyah), ironi dan sinisme. Adapun gaya bahasa kiasan yang paling banyak digunakan oleh penyair adalah gaya bahasa persamaan atau simile (tasybīh), ironi serta sinisme. Hal ini dikarenakan puisi tersebut bersifat kritikan serta representasi ungkapan kegetiran, kemarahan, serta kekecewaan rakyat Palestina baik terhadap Israel, Amerika, serta masyarakat dunia lainnya. Kata Kunci: Nizar Qabbani, Gaya Bahasa Kiasan, Puisi Arab.

Pendahuluan

Menurut Kridalaksana, seorang ahli linguistik, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.1 Sebenarnya manusia dapat juga menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa, namun tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi paling baik dan paling sempurna dibandingkan dengan alat-alat komunikasi lain.2 Oleh karena itu, bahasa merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi.

Ratna, dalam bukunya yang berjudul “Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya” mengemukakan bahwa medium utama sastra adalah bahasa.3 Oleh karena itu, bahasa merupakan suatu hal yang penting dalam sastra. Bagi seorang sastrawan, bahasa merupakan peranti guna mengungkapkan ide dan gagasannya. Adapun ide dan gagasan tersebut ia tuangkan ke dalam karya-karya yang ia tulis dengan menggunakan bahasa.

Dalam karya sastra, terlebih dalam puisi dan soneta, gaya bahasa harus selalu ditekankan. Hal ini disebabkan karena gaya bahasalah yang menjadi unsur pokok untuk mencapai bentuk keindahan.4 Adapun tujuan utama gaya bahasa untuk menghadirkan aspek keindahan tersebut terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model pertama, dalam ruang lingkup linguistik, maupun sebagai sistem model kedua, yakni dalam ruang lingkup kreativitas sastra.5

1 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2011), hlm. 24. 2 Abdul Chaer, Sosiolinguistik Perkenalan Awal. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 11. 3 Nyoman K Ratna, Stilistika:Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 43. 4 Nyoman K Ratna, Stilistika:Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 45. 5 Nyoman K Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 45.

Page 3: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 163

Gaya bahasa dalam sebuah karya sastra, terutama dalam puisi dan soneta, ditekankan oleh seorang penyair guna mencapai keindahan. Oleh karena itu, penyair mempunyai sebuah lisensi khusus dalam merangkai karya-karyanya, lisensi ini disebut sebagai lisensia puitika (poetic licence). Hal ini merujuk pada pendapat Fowler yang menyatakan bahwa karena sulitnya membatasi bentuk-bentuk puisi, maka seorang penyair memiliki lisensi untuk melonggarkan beberapa batasan normal sistem bahasa.6 Hal ini juga selaras dengan pendapat Jakobson, bahwa fungsi puisi adalah untuk menunjukkan bahwa tanda tidak selalu identik dengan referennya.7

Seorang penyair seringkali menggunakan gaya bahasa kiasan (majas) untuk memperindah puisinya. Dalam stilistika, ilmu mengenai gaya bahasa, majas merupakan salah satu bagian yang mempunyai peran cukup banyak. Kata majas diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of speech (Inggris), yang berarti persamaan atau kiasan.8 Adapun menurut Keraf, gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan, yakni dengan membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, yang berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.9 Majas mempunyai berbagai macam bentuk, seperti: simile, metafora, antonomasia, ironi, sinisme, sarkasme, dan lain sebagainya.

Penggunaan gaya bahasa kiasan (majas) dalam puisi tidak luput dilakukan oleh para penyair Arab, baik sejak masa jahiliah hingga era modern. Budaya Arab yang sangat kuat turut mempengaruhi karakteristik puisi dan memperkaya kosakata yang terdapat dalam puisi-puisi Arab. Bangsa Arab merupakan bangsa yang kaya akan kesusastraannya. Terbukti sudah banyak sekali puisi yang ditulis oleh para penyair Arab dari masa jahiliah hingga era modern. Adapun salah satu penyair Arab termasyhur pada era modern adalah Nizar Qabbani. Penyair yang juga seorang diplomat ini menjadi kebanggan Suriah, yang merupakan tanah kelahirannya, dan juga menjadi kebanggaan bangsa Arab. Hal ini dikarenakan karya-karyanya yang telah bayak menyentuh sanubari pembaca di seluruh dunia. Adapun Nizar Qabbani, selaku penyair masyhur, juga seringkali menggunakan gaya bahasa kiasan dalam puisinya guna memperindah puisi tersebut. Salah satu karyanya, “Mansyūrātun Fidāiyyatun ‘Alā Judrāni Isrāīl” „Poster-poster Komando di Dinding-dinding Israel‟, juga mengandung banyak gaya bahasa kiasan untuk menunjang keindahan puisi tersebut. Oleh karena itu, hal ini menarik bagi

6 Roger Fowler, A Dictionary of Modern Critical Terms. (New York: Routledge & Kegan

Paul Inc, 1987), hlm. 183. 7 Roger Fowler, A Dictionary of Modern Critical Terms. (New York: Routledge & Kegan

Paul Inc, 1987), hlm. 183. 8 Nyoman K Ratna, Stilistika:Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3. 9 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 136.

Page 4: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

164 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

peneliti untuk menganalisis gaya bahasa kiasan yang digunakan oleh Nizar Qabbani dalam puisi tersebut.

Nizar Qabbani

Nizar Qabbani lahir pada 21 Maret 1923 di Damaskus, ibukota Suriah. Ia menjadi diplomat Suriah selama 21 tahun, dan selama itu pulalah ia selalu pindah antara Mesir, Turki, Inggris, Lebanon, China, dan Spanyol.10 Kegemarannya menulis puisi membuatnya mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai diplomat. Meskipun begitu, rupanya keputusan tersebut telah mengantarkannya menjadi penyair termasyhur di era modern. Selain terkenal dengan puisi politiknya yang jujur dan tajam, ia juga terkenal dengan puisi cinta yang kontradiksi atau berbeda dengan puisi cinta di masyarakat Arab pada setengah abad terakhir.11

Adapun puisi-puisi Nizar merupakan representasi ide dan gagasannya terkait keadaan dan kondisi dunia saat itu, baik itu politik, sosial, maupun budaya. Oleh karena itu seringkali Nizar menulis tentang Palestina yang pada saat itu juga telah mengalami konflik dengan Israel. Puisinya menyuarakan suara rakyat Palestina, ketidakadilan, serta kekejaman Israel yang merebut tanah Palestina. Salah satu puisinya terkait Palestina adalah puisi yang ia tulis setelah perang 1967 yang berjudul “Hawāmisy ‘alā daftari an-naksah” „Margin Pada Buku Kemunduran‟.12 Puisi tersebut merupakan kritik tajam atas pasifnya bangsa Arab dalam menghadapi Israel pada perang 1967 yang berakhir dengan kemenangan Israel atas beberapa wilayah di Palestina.

Selain itu, puisi yang ditulis oleh Nizar terkait kondisi Palestina adalah puisi yang berjudul “Mansyūrātun Fidāiyyatun ‘Alā judrāni Isrāīl” „Poster-poster Komando di Dinding-dinding Israel‟. Seperti halnya puisi-puisi Nizar tentang Palestina yang lain, puisi ini juga berisi kritikan dan representai kemarahan serta kekecewaan, tidak hanya terhadap Israel namun juga bangsa Arab serta warga dunia. Adapun puisi tersebut menjadi data dalam artikel ini.

Landasan Teori

Stil (Style) adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat

10 Said Jaudah As-Sahar, Mausū`ah Aʻlāmu al-Fikri al-‘Arabiyyi. (Mesir: Maktabah Miṣr,

1999), hlm. 324. 11 Said Jaudah As-Sahar, Mausū`ah Aʻlāmu al-Fikri al-‘Arabiyyi. (Mesir: Maktabah Miṣr,

1999), hlm. 324. 12 Said Jaudah As-Sahar, Mausū`ah Aʻlāmu al-Fikri al-‘Arabiyyi. (Mesir: Maktabah Miṣr,

1999), hlm. 324.

Page 5: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 165

dicapai secara maksimal.13 Style dapat diartikan sebagai bentuk pengungkapan ekspresi kebahasaan sesuai dengan kedalaman emosi dan sesuatu yang ingin direfleksikan pengarang secara tidak langsung.14 Dalam merangkai sebuah puisi, seorang penyair tidak akan luput menggunakan gaya bahasa (style). Hal ini menunjukkan bahwa gaya bahasa merupakan hal yang penting bagi penyair dalam menulis sebuah karya.

Adapun salah satu gaya bahasa terpenting yang digunakan oleh sastrawan dalam karyanya, terutama puisi, adalah gaya bahasa kiasan (majas). Kata majas diterjemahkan dari kata trope (Yunani), figure of speech (Inggris), yang berarti persamaan atau kiasan.15 Adapun menurut Keraf, gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan, yakni dengan membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, yang berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut.16 Beberapa bentuk gaya bahasa kiasan (majas) adalah berikut ini:

1. Persamaan atau Simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, maksudnya adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.17 Oleh karena itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.18

Adapun dalam ilmu balaghah, persamaan atau simile ini serupa dengan istilah tasybīh. Makna tasybīh secara bahasa berarti perbandingan atau persamaan. 19 Adapun secara istilah berarti kesepakatan antara dua hal atau lebih yang mempunyai sifat yang sama yang ditujukan pembicara untuk informasi.20 Menurut Abdul Ghaniy, tasybīh adalah perumpamaan atau penggambaran suatu

13 Nyoman K Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3. 14 Aminuddin, Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. (Semarang: IKIP

Semarang Press, 1995), hlm. 13 15 Nyoman K Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3. 16 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 136. 17 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 138. 18 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 138. 19 Sayyid A. Al-Hasyimiy, Jawāhiru al-Balāghah. (Kairo: Dar al-Ḥadīṡ, 2013), hlm. 281. 20 Sayyid A. Al-Hasyimiy, Jawāhiru al-Balāghah. (Kairo: Dar al-Ḥadīṡ, 2013), hlm. 281.

Page 6: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

166 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

hal dengan yang lain dikarenakan oleh hubungan antara keduanya.21 Adapun contoh dari tasybīh adalah:22

بر جمل في الصال

م م

الأ

Kata “al-ummu” „ibu‟ di atas diperumpamakan dengan kata “al-jamali” „unta‟ unta dengan huruf tasybīh yakni huruf kāf, dan wajhu syabah nya adalah kata “as-shabru” „kesabaran‟.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. 23 Oleh karena itu, sebagai perbandingan langsung metafora tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua.24

Adapun dalam ilmu balaghah, metafora serupa dengan isti’ārah. Isti’ārah secara bahasa berarti meminta sesuatu untuk digunakan.25 Adapun secara istilah berarti penggunaan sebuah istilah, selain dari apa yang ditetapkan, untuk hubungan yang serupa, dengan indikasi yang bertentangan dengan makna yang diberikan.26 Contoh dari isti’ārah dalam ilmu balaghah adalah:27

لم ت ت ت أ ت د ت و ت الم و ت

Adapun maksud dari kata “asadun” „singa‟ pada kalimat di atas adalah “syaikhun syujā’un” „orang yang pemberani‟. Adapun “syaikhun syujā’un” meminjam kata “asadun”, karena “asadun” memiliki hubungan yang sama atau merepresentasikan hal yang sama yakni keberanian.

21 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 32. 22 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 42. 23 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 139. 24 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 139. 25 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 67. 26 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 67. 27 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 67.

Page 7: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 167

3. Antonomasia

Antononomasia merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epita untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.28

Antonomasia dalam ilmu balaghah serupa dengan istilah kināyah. Kināyah secara istilah berarti penyembunyian makna dengan menyebutkan tanda atau petunjuk tentang makna tersebut. 29 Adapun contoh dari kināyah adalah sebagai berikut:30

ماء فه في السهشيد أ

Kalimat di atas merupakan kināyah tentang kesombongan. Penutur menyembunyikan makna aslinya dengan menyebutkan tanda atau petunjuk atas

makna asli tersebut. Oleh karena itu, ia tidak menyebutkan “ ر شيد ب ن ” akan tetapi

“ فه هماء في أ الس ”.

4. Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).31

Dalam ilmu balaghah, sinekdoke serupa dengan majāz mursal kulliyyah dan majāz mursal juz’iyyah. Adapun definisi majāz mursal kulliyyah adalah menyebutkan keseluruhan dari sesuatu namun maksudnya hanya pada sebagian dari sesuatu tersebut.32 Adapun contohnya adalah:33

ثازا بروااس ن

وا واس ن صس

ىا ثيابهم وا

ش

نهم واس غ

صابعهم في ءاذا

ىا أ

هم جعل

فس ل

ما دعىتهم ل غ

لي م

( ٧:هىح)و إو

Adapun maksud dari frasa “ashābi’ahum” „jari-jari mereka‟ adalah ujung jari, bukan keseluruhan dari jari mereka. Oleh karena itu, frasa tersebut termasuk ke dalam majāz mursal kulliyyah karena menyebutkan keseluruhan bagian jari-jari dengan maksud hanya sebagian dari jari-jari tersebut yakni ujung-ujungnya.

28 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 142. 29 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 93. 30 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 93. 31 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 142. 32 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 139. 33 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 139.

Page 8: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

168 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

Adapun majāz mursal juz’iyyah merupakan lawan dari majāz mursal kulliyyah. Majāz mursal juz’iyyah adalah apabila disebutkan sebagian dari sesuatu, namun maksudnya adalah keseluruhan dari sesuatu tersebut.34 Contohnya adalah:35

ماء سعها ف الساا و

ها ث

صل

ث أ ي

جس

ل

ث ي

لم

م

س

ي

س ل

م

ل( ٢٤:إاساهيم) أ

Maksud dari lafaz “kalimatan” „kata‟ di atas adalah “kalāman katsīran”. Oleh karena itu, ayat di atas merupakan contoh majāz mursal juz’iyyah yakni menyebutkan sesuatu dengan maksud keseluruhan dari sesuatu tersebut.

5. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.36 Adapun menurut Keraf, ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar dan entah disengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya.37

Sedangkan sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.38 Adapun sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme, yakni suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.39

Analisa Bahasa Kiasan Dalam Puisi Mansyūrātun Fidāiyyatun „alā Judrāni isrāīl

Nizar Qabbani dalam puisinya yang berjudul “mansyūrātun fidāiyyatun ‘alā judrāni isrāīl”„Poster-poster Komando di Dinding-dinding Israel‟ menggunakan berbagai macam gaya bahasa kiasan guna memperindah serta mengungkapkan emosi terdalamnya terkait konflik Palestina-Israel. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam puisi tersebut.

1. Persamaan atau Simile (Tasybīh)

يام الصحسيس م عازك ال

ىيل

34 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 140. 35 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 141. 36 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 143. 37 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 143. 38 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 143. 39 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2009),

hlm. 143.

Page 9: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 169

„Ṭawīlatun ma’ārikus at-tahrīri ka as-siyāmi’

„Panjang, medan tempur pembebasan bagaikan puasa‟

Bait di atas merupakan gaya bahasa kiasan dengan bentuk simile atau tasybīh. Adapun bentuk tasybīhnya adalah tasybīh mufassal. Tasybīh mufassal adalah apabila seluruh rukun tasybīh (musyabbah, musyabbah bih, adātu at-tasybīh, dan wajhu asy-syibh) disebutkan.40 Pada bait di atas, frasa “ma’āriku at-tahrīri” „medan tempur kebebasan‟ yang merupakan musyabbah dibandingkan atau disamakan dengan

kata “ṣiyāmi” „puasa‟ yang merupakan musyabbah bih. Adapun upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan disimbolkan dengan huruf “kāf” „seperti‟ yang disebut sebagai adātu at-tasybīh. Sedangkan kata tawīlatun „panjang‟ merupakan wajhu asy-syibh. Bentuk tasybīh di atas merupakan tasybīh mufassal, karena keempat rukun tasybīh telah disebutkan.

Maksud dari bait di atas adalah bahwa penyair mengumpamakan medan pertempuran antara rakyat Palestina dan Israel sangatlah panjang dan berat seperti halnya puasa. Puasa menuntut kesabaran dan perjuangan bagi yang melaksanakannya. Begitu pula dengan rakyat Palestina yang bertempur dan berjuang melawan Israel yang merampas tanah air mereka. Adapun jalan panjang peperangan harus mereka lalui. Hal ini pun ditekankan oleh penyair pada bait sebelumnya yang berarti „ apa yang terjadi di antara kami dan kalian tidak akan berakhir dalam satu tahun, tidak akan berakhir dalam lima, sepuluh, bahkan seribu tahun‟.

مالىقش في السخام ...و هحن ااقىن عل صدوزلم

“wa nahnu bāqūna ‘alā ṣudūrikum ka an-naqsyi fī ar-rakhāmi”

„Kami kekal di hati kalian bagaikan ukiran di batu marmer‟

Bait di atas juga merupakan bentuk simile atau tasybīh. Adapun bentuk tasybīhnya adalah tasybīh mufassal. Kalimat dalam bait di atas, disebut dengan tasybīh mufashshal karena seluruh rukun tasybīh (musyabbah, musyabbah bih, adātu at-tasybīh, dan wajhu asy-syibh) telah disebutkan. Pada bait di atas, pronomina “nahnu” „kami‟ yang merupakan musyabbah dibandingkan atau disamakan dengan frasa “an-naqsyi fi ar-rakhāmi” „ukiran di batu marmer‟ yang merupakan musyabbah bih. Adapun adātu at-tasybīh ditunjukkan dengan huruf “kāf” yang berarti „seperti‟. Sedangkan wajhu asy-syibh dalam bait tersebut adalah “bāqūn” atau “khulūdun”

atau “ṡābitun” yang mempunyai arti „kekal‟ atau „tetap‟. Oleh karena itu, karena keempat rukun tasybīh telah disebutkan, maka jenis tasybīh di atas termasuk dalam tasybīh mufashshal.

40 Amin A Abdul Ghaniy, Al-Kāfi fi al-Balāghah. (Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-turāṡi,

2011), hlm. 46

Page 10: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

170 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

Adapun makna dari bait di atas adalah bahwa rakyat Palestina akan kekal di hati bangsa Israel, yang telah merampas tanah air mereka, selayaknya ukiran di batu marmer yang tidak akan pernah pudar ataupun hilang, karena telah menggores terlalu dalam. Maksud dari kekal di hati bangsa Israel adalah bahwa rakyat Palestina akan terus menghantui di manapun mereka berada, sekalipun itu dalam hati mereka. Hal ini merupakan ungkapan emosi rakyat Palestina, yang seakan memperingatkan bangsa Israel untuk terus mengingat dosa dan kesalahan besar yang telah mereka lakukan.

2. Metafora (Isti’ārah)

الراا ىااد ن العدد خبب شر

“yasyhażu khubza al-‘adli min mawāidi aż-żiābi” „ia mengemis roti keadilan dari meja-meja makan para serigala‟

Bait di atas mengandung gaya bahasa kiasan berbentuk metafora atau isti’ārah. Maksud dari kata aż-żiābi „serigala‟ pada bait di atas adalah orang-orang yang licik. Penyair meminjam kata serigala untuk menggantikan definisi orang-orang yang licik karena merepresentasikan hal yang sama yakni kelicikan atau kejahatan. Oleh karena itu, gaya bahasa kiasan pada bait di atas disebut metafora atau isti’ārah karena peminjaman kata yang merepresentasikan makna asli tersebut.

Pada bait di atas, penyair hendak menggambarkan kesedihan dan ketidakberdayaan rakyat Palestina yang meminta keadilan kepada pihak-pihak atau negara-negara berkuasa yang dengan licik hanya mementingkan keuntungan mereka tanpa memperdulikan penderitaan rakyat Palestina. Emosi tersebut penyair lukiskan dengan gaya bahasa kiasan metafora atau isti’ārah yakni dengan meminjam kata “serigala” untuk merepresentasikan pihak-pihak yang licik tersebut.

3. Antonomasia atau Kināyah

في هره الأزض التي لجس في عصها إسىاز ن شهس ... ىحن ااقىها هىا

“fanahnu bāqūna hunā... fī hāżihi al-ardi allatī talbasu fī ma’samihā iswāratan min zahr”

„kami kekal di sini... di tanah ini yang memakai gelang pada pergelangan tangannya gelang dari bunga‟

Bait di atas mengandung gaya bahasa kiasan yang berupa antonomasia

atau kinayah. Klausa “fī hāżihi al-ardi allatī talbasu fī ma’ṣamihā iswāratan min zahr” ‘di tanah ini yang memakai gelang pada pergelangan tangannya gelang dari bunga‟ merupakan petunjuk untuk mengungkap makna yang sebenarnya. Adapun makna yang sebenarnya adalah tentang keindahan Palestina. Penyair tidak menggunakan frasa “Palestina yang indah”, namun memberikan petunjuk tentang keindahan tersebut dengan menggunakan klausa “tanah ini yang

Page 11: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 171

memakai gelang pada pergelangan tangannya gelang dari bunga”. Adapun maksud dari bait tersebut adalah bahwa rakyat Palestina akan terus berada di tanah air mereka yang indah.

4. Sinekdoke

بعد زحل الضياع و السسا ...أها الفلسسييي

“anā al-Falastīniyyu... ba’da rihlati ad-diyā’i was-sarāb”

„Aku adalah orang Palestina... setelah pengasingan dan fatamorgana‟

Bait di atas menggunakan gaya bahasa kiasan sinekdoke yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto). Dalam balaghah disebut dengan majāz mursal juz’iyyah, yakni disebutkan sebagian dari sesuatu, namun maksudnya adalah keseluruhan dari sesuatu tersebut. Adapun indikasi pars pro toto (majāz mursal juz’iyyah) terdapat pada frasa “anā al-Falastīniyyu” „aku adalah orang Palestina. Maksud dari frasa tersebut sebenarnya adalah “nahnu Falastīniyyun” „kami adalah orang Palestina‟. Akan tetapi penyair menggunakan kata sebagian yakni “anā” „aku‟ dari kata keseluruhan yakni “nahnu” „kami‟. Hal ini dilakukan oleh penyair karena

meyakini bahwa dengan menggunakan frasa “anā al-Falasṭīniyyu” telah dapat

menyatakan atau mewakili frasa “nahnu Falasṭīniyyun”.

5. Ironi

ا جاء في الصةىز ... هىصشنم أن قسؤوا

و تثعى هجينم للسىز ...هىصشنم أن حملىا ثىزا نم

“Nunsihukum an taqra’ū mā jā’a fi az-zabūri, Nunsihukum an tahmilū taurātikum wa tattabi’ū nabiyyakum li at-tūri”

„Kami sarankan kalian untuk membaca apa yang ada di dalam Zabur, kami sarankan kalian untuk membawa Taurat-taurat kalian dan mengikuti nabi kalian menuju bukit‟

Bait di atas merupakan gaya bahasa kiasan dengan bentuk ironi atau sindiran. Adapun maksud dari penyair yang merepresentasikan emosi rakyat Palestina adalah bukan untuk memerintah umat Yahudi selaku bangsa Israel untuk membaca kita Zabur dan Taurat, tetapi merupakan sindiran bagi mereka agar mereka sadar dan tidak melakukan kezaliman yang sesungguhnya bertolak belakang dari apa yang diperintahkan dalam kitab suci.

6. Sinisme

صفق العالم للمغا س ...لقد سسق م و ىا

صفق العالم للمغا س ... صادز م الألىف ن ايى ىا، وتع م الألىف ن أ فالىا

“laqad saraqtum watanan...fasaffaqa al-‘ālamu lil-mugāmarah” “sadartum al-ulūfa min buyūtinā, wa bi’tum al-ulūfa min atfālinā.... fasaffaqa al-‘ālamu lil-mugāmarah”

Page 12: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

172 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

„Sungguh kalian telah mencuri sebuah negeri...dunia bertepuk tangan untuk sebuah kebodohan‟

„Kalian telah menyita ribuan rumah-rumah kami dan kalian telah menjual ribuan anak-anak kami...dunia bertepuk tangan untuk sebuah kebodohan‟

Kedua bait di atas merupakan gaya bahasa kiasan berbentuk sinisme. Sinisme juga merupakan sindiran, tetapi lebih kasar dibandingkan ironi. Bait di atas mengungkapkan kegetiran, kekecewaan, dan kemarahan rakyat Palestina terhadap masyarakat dunia. Penyair mengungkapkan emosi yang dirasakan oleh rakyat Palestina melalui kedua bait tersebut. Rakyat Palestina melemparkan sindiran terhadap masyarakat dunia yang hanya diam seakan tidak peduli, bahkan seolah bertepuk tangan menganggap apa yang terjadi terhadap rakyat Palestina adalah sebuah pertunjukan belaka. Kekejaman Israel yang telah merampas tanah air, rumah-rumah, dan anak-anak keturunan rakyat Palestina seolah hanya menjadi sebuah tontonan atas kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat Palestina.

شعب هىىد حمس ... لن جعلى ن شعثىا

“lan taj’alū min sya’binā... sya’bun hunūdin humur” „Kalian tidak akan menjadikan bangsa kami...bangsa Indian merah‟

Bait di atas merupakan bait pertama dalam puisi ini. Bait tersebut mengawali puisi ini guna menekankan dan melontarkan sindiran terhadap Israel beserta para sekutunya. Maksud dari bait tersebut adalah bahwa Israel beserta para sekutunya tidak akan pernah bisa menjadikan bangsa Palestina seperti bangsa mereka. Frasa “sya’bun hunūdin humur” yang mempunyai arti „bangsa Indian merah‟ merujuk pada suku asli bangsa Amerika. Oleh karena itu, frasa tersebut merujuk pada bangsa Amerika. Bangsa Palestina menekankan dan memberikan sindiran tegas bahwa invasi Israel yang disokong oleh sekutu terkuatnya, yakni Amerika, tidak akan menjadikan bangsa Palestina menjadi kalah lalu hilang berganti dengan bangsa mereka.

Penutup

Penggunaan gaya bahasa dalam puisi dilakukan guna mencapai keindahan sesuai yang diinginkan oleh penyair. Selain itu, gaya bahasa juga berfungsi untuk mengungkapkan emosi terdalam penyair dalam merepresentasikan fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Adapun jenis gaya bahasa yang seringkali digunakan oleh para peyair dalam puisi mereka adalah gaya bahasa kiasan atau majas. Penggunaan gaya bahasa ini tak luput dilakukan oleh Nizar Qabbani, yang merupakan sastrawan Arab termasyhur di era modern. Salah satu puisi Nizar yang banyak menggunakan gaya bahasa kiasan atau majas adalah puisi yang berjudul “Mansyūrātun Fidāiyyatun ‘Alā Judrāni Isrāīl” yang berarti „Poster-poster Komando di Dinding-dinding Israel‟.

Page 13: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

Loita Kurrota A‟yun: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi…. | 173

Puisi tersebut merupakan representasi Palestina yang mengalami penderitaan yang disebabkan oleh perampasan tanah air mereka oleh bangsa Israel. Nizar Qabbani menuangkan emosi terdalamnya ke dalam puisi tersebut melalui gaya bahasa yang indah, salah satunya adalah gaya bahasa kiasan atau majas. Adapun macam gaya bahasa kiasan atau majas dalam puisi tersebut adalah persamaan atau simile (tasybīh), metafora atau isti’ārah, antonomasia atau kināyah, pars pro toto (majaz mursal juz’iyyah), ironi dan sinisme. Adapun bentuk persamaan atau simile (tasybīh), ironi serta sinisme merupakan gaya bahasa kiasan yang paling banyak ditemukan oleh peneliti.

Page 14: Gaya Bahasa Kiasan Dalam Puisi “Mansyūrātun Fidāiyyatun

174 | Arabiyatuna : Jurnal Bahasa Arab, Vol. 2, No.2, 2018

Bibliografi

Abdul Ghaniy, Amin A, al-Kāfi fi al-Balāghah, Kairo: Dar-at-taufīqiyyah li at-

turāṡi, 2011

Aminuddin, Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995

Chaer, Abdul, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2010

Fowler, Roger, A Dictionary of Modern Critical Terms, New York: Routledge & Kegan Paul Inc, 1987

Al-Hasyimiy, Sayyid A, Jawāhiru al-Balāghah, Kairo: Dar al-Ḥadīṡ, 2013

Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009

Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011

Ratna, Nyoman K, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

As-Sahar, Said Jaudah, Mausū`ah Aʻlāmu al-Fikri al-‘Arabiyyi, Mesir: Maktabah Mishra, 1999