29
12 BAB II GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASI Dalam bab ini akan diuraikan mengenai dasar teori yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu untuk menjelaskan hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa perantau di Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2009 dan 2010. A. Gegar Budaya Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya, karena budaya termasuk dalam konstruk psikologis. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak- belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya, maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003). Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing dibudaya tersebut, dimana individu dihadapkan pada situasi yang kebiasaan- kebiasaannya menjadi diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stres bahkan depresi. Keterkejutan akan menyebabkan terguncangnya konsep diri dan identitas kultural individu sehingga mengakibatkan kecemasan. Kondisi seperti ini akan menyebabkan individu mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh

GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

12

BAB II

GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASI

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai dasar teori yang dianggap relevan

dengan permasalahan yang diteliti, yaitu untuk menjelaskan hubungan antara

gegar budaya dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa perantau di Jurusan

Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2009 dan 2010.

A. Gegar Budaya

Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang

mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya, karena budaya termasuk

dalam konstruk psikologis. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik

secara fisik maupun psikis dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak-

belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya, maka pada

saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya

yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003).

Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing

dibudaya tersebut, dimana individu dihadapkan pada situasi yang kebiasaan-

kebiasaannya menjadi diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan

stres bahkan depresi. Keterkejutan akan menyebabkan terguncangnya konsep diri

dan identitas kultural individu sehingga mengakibatkan kecemasan. Kondisi

seperti ini akan menyebabkan individu mengalami gangguan mental dan fisik,

setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh

Page 2: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

13

Oberg disebut dengan istilah gegar budaya, sehingga dapat dikatakan bahwa

frame pertemuan antar budaya sebagai sumber ketidakpastian dan kecemasan

(Gudykunst dan Kim, 2003).

1. Definisi Gegar Budaya

Istilah gegar budaya pertama kali dikenalkan oleh seorang antropolog

bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960, yaitu sebagai penyakit yang diderita

oleh individu ketika hidup di luar lingkungan kulturnya yang amat berbeda dari

kulturnya yang lama dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan

barunya tersebut. Istilah ini mengandung pengertian timbulnya rasa frustrasi yang

ditandai dengan adanya perasaan cemas, hilangnya arah dan timbul perasaan

bingung apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan

sesuatu karena ia kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan

sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang ia lakukan dalam

mengendalikan diri sendiri pada saat menghadapi situasi sehari-hari, seperti kapan

berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

kapan dan bagaimana menerima tip, kapan membuat pernyataan dengan sungguh-

sungguh dan kapan sebaliknya demikian seterusnya. Dan hal ini terjadi saat

individu tersebut tinggal di lingkungan yang memiliki budaya baru dalam jangka

waktu relatif lama (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2003).

Tanda-tanda yang dimaksud ini dapat berbentuk pola berkomunikasi yang

diungkap dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, pakaian,

kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau norma-norma bahkan cara berfikir yang

Page 3: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

14

diperoleh sepanjang perjalanan hidup individu tersebut sejak kecil. Bila individu

memasuki suatu budaya asing, maka semua atau hampir semua tanda-tanda ini

akan lenyap. Hal ini terjadi karena semua simbol-simbol tersebut berbeda antara

budaya yang satu dengan yang lainnya, sehingga individu tersebut bagaikan ikan

yang keluar dari air dan ia akan kehilangan pegangan dan shock lalu mengalami

frustasi bahkan dapat menjadi depresi (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat,

2003).

Hal ini juga selaras dengan pernyataan Adler (1975) yang menekankan

bahwa gegar budaya adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari

hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya

yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti,

dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda.

Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan

takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya,

perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain.

Gudykunst dan Kim (2003) mengemukakan bahwa gegar budaya adalah

reaksi-reaksi yang muncul terhadap situasi dimana individu mengalami

keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda, yang

menyebabkan terguncangnya konsep diri, identitas kultural dan menimbulkan

kecemasan temporer yang tidak beralasan.

Dari pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan dapat disimpulkan

bahwa gegar budaya adalah kondisi keterkejutan yang menimbulkan stres atau

frustrasi bahkan sampai depresi yang dialami seseorang dalam rangka

Page 4: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

15

penyesuaiannya di lingkungan baru yang memiliki kultur berbeda, di mana

kebiasaannya yang lama terasa tidak memiliki arti di lingkungan barunya

sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu yang bersangkutan. Hal ini

tentu juga disebabkan oleh perbandingan jumlah emik yang lebih besar dibanding

jumlah etik di lingkungan yang barunya tersebut.

2. Jenis-jenis Perantau

Dalam membedakan pengunjung asing (perantau) yang mendatangi suatu

lingkungan yang secara kultur berbeda dengan tempat asalnya menurut lamanya ia

tinggal diberikan istilah sojourners (pengunjung sementara) dan imigran (orang

yang mengambil tempat tinggal tetap).

2.1 Sojourners

Menurut Martin and Nakayama (2007), sojourners merupakan pengunjung

yang memilih pergi ke lingkungan yang secara budaya berbeda dalam priode

waktu yang terbatas dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti mahasiswa

(pelajar), turis, diplomat, tentara yang sedang ditugaskan ke negeri lain, expatriate

bisnis dan missionaris. Lamanya sojourners tinggal di lingkungan barunya

tersebut secara umum berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun.

2.2 Imigran

Istilah imigran digunakan kepada mereka yang memilih meninggalkan

kampung halamannya dengan maksud untuk menetap di negara lain karena alasan

Page 5: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

16

tertentu, seperti adanya reunian keluarga, diskriminasi rasial dan demi

pengembangan karir (Martin and Nakayama, 2007).

Menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), karena respek mereka terhadap

pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun

berbeda. Imigran berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat

barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun

kesementaraannya bervariasi antara turis dalam beberapa hari sampai mahasiswa

dalam beberapa tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat

komitmen tetap pada masyarakat barunya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gegar Budaya

Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi gegar

budaya yaitu:

1) Faktor intrapersonal, diantaranya keterampilan komunikasi, pengalaman

dalam setting lintas budaya, trait personal (mandiri atau toleransi), dan

akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur,

kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian

menunjukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan gegar budaya.

Individu yang lebih muda cenderung mengalami gegar budaya yang lebih

tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami gegar

budaya daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995).

Page 6: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

17

2) Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain.

Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal

ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam

masyarakat dan bahasa. Pederson (1995) menyatakan bahwa semakin beda

antar dua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa lokal akan

semakin rendah.

3) Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi gegar budaya. Sikap dari

masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotype dan

intimidasi.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa geger budaya

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang ada pada diri individu

yang bersangkutan. Faktor internalnya adalah adanya pengaruh intrapersonal

dalam diri individu sedangkan faktor eksternalnya antara lain adanya variasi antar

budaya yang berbeda dan manifestasi sosial politik yang meliputi prasangka,

stereotype dan intimidasi.

4. Dinamika Munculnya Gegar Budaya

Ada berbagai macam variasi reaksi terhadap gegar budaya dan perbedaan

jangka waktu dalam penyesuaian diri di lingkungan barunya (Oberg dalam

Mulyana dan Rakhmat, 2003), menurut Oberg (1960) biasanya sojourners akan

melewati empat tahapan utama gegar budaya sebagai sebuah proses penyesuaian

Page 7: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

18

diri terhadap budaya asing. Keempat tahapan ini juga dapat digambarkan sebagai

kurva U, sehingga disebut juga u-curve:

1) Fase Kegembiraan dan Optimistik (Honeymoon). Fase yang pertama ini

divisualisasikan berada di ujung sebelah kiri dalam kurva U, dan

berlangsung setidaknya dalam jangka waktu beberapa hari hingga

beberapa bulan. Pada fase ini segala sesuatunya tampak baru, menarik dan

mengagumkan. Biasanya penuh dengan rasa gembira, harapan-harapan

dan euforia seperti yang dialami individu pada saat baru memasuki

lingkungan baru. Penduduk asli begitu terasa bersikap sangat santun,

ramah dan sangat menerima terhadap para pendatang baru.

2) Fase Gegar Budaya (Crisis). Fase kedua ini dimulai ketika individu

menyadari akan kenyataan dari ruang lingkup yang berbeda dan beberapa

masalah awal mulai berkembang. Tahap ini merupakan periode

munculnya masa krisis, sehingga kesulitan dalam beradaptasi dan

komunikasi mulai muncul. Individu menemukan dirinya dalam situasi

kekecewaan atau penolakan dari budaya baru sebagai hasil dari

ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, hal ini terutama terjadi

kerena adanya perbedaan dalam bahasa, nilai, keyakinan atau simbol

sosial dari budaya tuan rumah sehingga individu mulai merasa bingung,

cemas dan heran dengan lingkungan yang baru ini. Rasa frustrasi yang

muncul ini dapat membuat individu tersebut gampang tersinggung, tidak

sabar, mudah marah, memiliki sikap bermusuhan atau menolak terhadap

Page 8: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

19

budaya tuan rumah, dan bahkan tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya

dengan baik (tidak kompeten).

3) Fase Penyesuaian dan Pemulihan (Adjustment). Apabila seseorang telah

melalui fase kedua dengan baik, maka tahap yang akan ia lalui selanjutnya

adalah fase penyesuaian dan pemulihan (adjustment). Dalam fase ini

individu mulai mengerti elemen kunci dari budaya barunya yang

mencakup nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, prilaku dan lain

sebagainya, sehingga ia mulai merasa nyaman dan dapat berfungsi secara

efektif di lingkungan barunya tersebut.

4) Fase Penguasaan (Mastery). Fase terakhir ini divisualisasikan berada di

ujung sebelah kanan kurva U. Tahap ini ditandai dengan adanya perasaan

puas, mandiri dan menikmati pada diri individu yang bersangkutan. Pada

tahap ini individu juga telah menyadari bahwa antara budaya yang satu

dengan yang lainnya tidak lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya,

yang terjadi hanya karena pada setiap budaya memiliki ciri berbeda yang

berbeda pula dalam menangani setiap masalah dalam kehidupannya.

Biasanya individu yang telah melewati tahap ini menjadi memiliki

kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda (budaya asalnya

dan budaya yang baru). Namun beberapa hal menyatakan bahwa untuk

dapat hidup dalam 2 budaya tersebut individu akan perlu beradaptasi

kembali dengan budayanya yang lama.

Page 9: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

20

Gambar 2.1 U-Curve (Oberg, 1960)

5. Reaksi pada Gegar Budaya

Perubahan dapat menyebabkan stres seperti ketika seseorang memasuki

budaya baru hingga akhirnya ia mengalami gegar budaya. Perubahan dan ketidak-

familiaran yang dialami akan mempengaruhi penyesuaian psikologis

(psychological adjustment) dan keikutsertaan mereka terhadap lingkungan

barunya tersebut. Perasaan bingung dan ketidaknyamanan akan memiliki dampak

negatif bagi keadaan psikis seseorang dan berpotensi memunculkan berbagai

simptom psikologis. Meskipun tidak semua orang akan mengalami simptom-

simptom tersebut, tetapi hampir setiap orang akan mengalami berbagai simptom-

simptom psikologis ini. Simptom yang sering muncul antara lain ialah depresi,

Page 10: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

21

kecemasan dan perasaan akan ketidakberdayaan (Mio, 1999). Lebih lanjut lagi

Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distres mental maupun fisik yang

dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala gegar budaya.

Apabila dampak negatif dari gegar budaya ini tidak segera ditangani, maka

individu yang bersangkutan akan terus mengalami kesulitan dalam mempelajari

kultur barunya sehingga dapat mengalami psychological disorientation.

Psychological disorientation merupakan keadaan ketidakmampuan seseorang

untuk menyesuaikan diri pada aspek spatial, temporal dan contextual di

lingkungannya.

Dalam banyak kasus psychological disorientation dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah

sehingga menurunkan minat seseorang tersebut untuk mempelajari kultur barunya

(Ferraro, 2009). Individu yang mengalami ini biasanya akan cenderung mencari

perlindungan dengan berkumpul bersama teman-temannya setanah air atau yang

sebudaya dengannya, dan di dalam perkumpulan-perkumpulan seperti ini sering

menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotype pada budaya

tuan rumah dengan cara negatif (Mulyana, 2006).

Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat gegar

budaya tidak hanya melulu reaksi emosioanal, tetapi juga meliputi reaksi fisik

yang diderita individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat

asalnya. Pengalaman ini juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan

norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan bahkan

teknologi yang berbeda dari tempat asal dengan tempat yang didatanginya.

Page 11: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

22

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka secara umum

reaksi-reaksi yang mungkin terjadi terhadap individu yang mengalami gegar

budaya, antara lain:

1) Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan,

kecemasan dan disorientasi yang mengakibatkan munculnya stereotype

negatif terhadap lingkangan barunya.

2) Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang

dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap

masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau

minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit

dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat.

3) Menderita rasa sakit akibat psikosomatis di berbagai areal tubuh seperti

muncul berbagai alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya,

seperti diare, maag, sakit kepala dll.

4) Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah, rapuh

dan merasa tidak berdaya.

5) Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk

berinteraksi dengan orang lain.

6) Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal

secara berlebihan.

7) Kehilangan kemampuan untuk belajar dan bekerja secara efektif.

8) Homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama.

Page 12: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

23

9) Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama

ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah

orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh,

aneh, tidak menarik dll.

10) Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di

lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami

lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.

11) Kehilangan kepercayaan diri.

12) Adanya keinginan untuk terus bergantung kepada orang yang sekultur

dengannya.

Pengalaman gegar budaya ini sebenarnya dianggap hal wajar dan banyak

dialami oleh individu ketika sedang berada di dalam lingkungan yang secara

kultur berbeda dari lingkungan asalnya (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat

gangguan yang dialami oleh individu tersebut berbeda dari satu orang ke orang

yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.

Gegar budaya yang dialami oleh para pendatang baru ini merupakan bagian dari

proses adaptasi rutin terhadap stres kultural dan merupakan manifestasi dari

kerinduan terhadap lingkungan yang lebih dapat diprediksi, lebih stabil dan lebih

dapat dimengerti seperti yang dialami sebelumnya.

Selanjutnya menurut Oberg (1960) dalam jurnal ilmiahnya menyimpulkan

paling sedikit ada enam karakteristik negatif pada seseorang yang mengalami

gegar budaya, yaitu:

Page 13: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

24

1) Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.

2) Perasaan kehilangan dan kekurangan teman, status, profesi dan

kepemilikan.

3) Perasaan tertolak atau menolak terhadap masyarakat dari budaya yang

baru tersebut.

4) Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut,

nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.

5) Keterkejutan, kecemasan, bahkan rasa jijik setelah menyadari adanya

perbedaan antara kedua budaya.

6) Adanya perasaan tidak berdaya termasuk perasaan bingung, frustrasi dan

depresi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan

yang baru.

6. Gegar Budaya pada Mahasiswa Perantau

Rantauan secara harfiah berasal dari kata perantau yang dalam kamus

besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang mencari penghidupan,

ilmu dan lain sebagainya di negri lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat

Bahasa, 2008).

Sedangkan mahasiswa rantauan dapat diartikan sebagai seorang

mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara kultur berbeda, lalu ia

mengunjungi lingkungan perkuliahan baru untuk menetap dalam jangka waktu

beberapa tahun yang termotivasi untuk menyelesaikan studinya di lingkungan

barunya tersebut. Mereka dapat dikatagorikan sebagai sojourners yang dimana

Page 14: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

25

menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), mereka berada dalam landasan rentang

waktu yang sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi hingga beberapa

tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat komitmen tetap

pada masyarakat barunya. Sebagai makhluk sosial mereka harus dituntut untuk

mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya yang baru.

Dalam lingkungan yang baru tersebut akan memungkinkan terdapatnya

tuntutan-tuntutan dimana mereka tidak memahami respon yang tepat bagi budaya

yang berlaku dan respon yang mereka berikan tidak menunjukkan hasil yang

dikehendaki dikarenakan adanya bahasa, adat-istiadat, tata cara dalam

berhubungan atau berkomunikasi yang berbeda dan kurang dapat dipahami,

Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi mereka. Sehingga dapat

menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah. Paling

tidak, gegar budaya dapat menyebabkan perasaan putus asa, lelah dan tidak

nyaman (Smith dalam Samovar, 2010).

Mahasiswa yang mengalami gegar budaya biasanya dialami oleh

mahasiswa perantau yang masih berkatagori mahasiswa baru, dimana mereka

berada diantara transisi budaya yang berbeda dan dituntut untuk harus benar-benar

bisa beradaptasi dengan lingkungan dalam kondisi yang benar-benar baru, hanya

saja tingkat gegar budaya ini berbeda-beda tergantung seberapa bedanya sistim

nilai yang dimilikinya terhadap kebiasaan yang berlaku di lingkungan yang ia

datangi. Bagi sebagian mahasiswa rantauan, masalah transisi ini dapat diatasi

dengan baik setelah beberapa waktu. Mereka mampu untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan dan kebudayaan baru yang ditemuinya, sehingga mereka dapat

Page 15: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

26

hidup normal. Adapun sebagian lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan

baik, sehingga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Selanjutnya menurut Huang (dalam Furnham & Bochner, 1986),

mengidentifikasikan 4 area masalah yang paling umum dihadapi oleh mahasiswa

perantau, yaitu:

1) Hambatan dalam berkomunikasi, yang disebabkan aspek-aspek linguistik

dan paralinguistik yang kompleks dan unfamiliar.

2) Mengubah patokan-patokan budaya, karena mahasiswa perantau dipaksa

untuk berpindah dari nilai-nilai budaya yang lama ke nilai budaya yang

baru.

3) Mengganti jaringan sosial yang selama ini dekat dengannya seperti

keluarga, teman-teman lama dan tetangga, di tempat baru dimana mereka

dianggap sebagai orang asing.

4) Harus bertanggung jawab kepada banyak pihak, seperti keluarga, pihak

yang mendanai dan penasihat akademis.

Sejumlah penelitian terdahulu telah mengungkapkan adanya dampak

kesulitan penyesuaian diri ini terhadap kesehatan jasmani dan psikis. Munculnya

perasaan kesepian, merasa terasing, kelelahan fisik yang berkelanjutan, frustrasi,

kecemasan yang berlebihan, stres, kecurigaan akan lingkungan sekitar (paranoia),

psikosomatik, kecenderungan untuk menarik diri dan depresi adalah beberapa

akibat yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa perantau yang tidak mampu untuk

beradaptasi (Adelegan dan Park, 1985; Lee dkk., 1981; Searle dan Ward, 1990).

Page 16: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

27

Klineberg dan Hull (1979), juga mengungkapkan dalam analisisnya,

mereka menemukan bahwa depresi adalah salah satu masalah yang paling sering

dialami oleh mahasiswa perantau. Dan tentu saja depresi dapat mengakibatkan

kualitas hidup mahasiswa tersebut manjadi menurun.

B. Motivasi Berprestasi

1. Definisi Motivasi

Motivasi berasal dari kata-kata “movere” yang berarti dorongan. Dalam

istilah bahasa inggrisnya disebut “motivation”. Motivasi dapat didefinisikan

sebagai suatu usaha karena adanya dorongan (motif) pada individu atau kelompok

agar bertindak melakukan sesuatu. Istilah ini biasanya digunakan untuk

menunjukkan suatu pengertian, yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu: (1)

pemberi daya pada tingkah laku manusia (energizing); (2) pemberi arah pada

tingkah laku manusia (directing); (3) bagaimana tingkah laku itu dipertahankan

(sustaining). Daya atau kekuatan tersebut memiliki intensitas tertentu yang sesuai

dengan apa yang ingin dicapai. Apabila sudah terarah pada tujuan, maka tingkah

laku tersebut tetap dipertahankan secara gigih agar tujuan dapat tercapai (Suryana

Sumantri 1995). Sedangkan menurut Robbins (2006) motivasi juga merupakan

akibat dari interaksi individu dengan situasi. Situasi yang menimbulkan suasana

menyenangkan akan cenderung digandrungi, sedangkan situasi yang

menimbulkan suasanan tidak menyenangkan/menjemukan bagi individu akan

cenderung dihindari atau tidak dilakukan.

Sedangkan pengertian motivasi menurut para ahli, antara lain:

Page 17: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

28

1) Menurut Sternberg (2001) adalah suatu proses psikologis yang

memberikan suatu dorongan atau keinginan ke arah tujuan dan energi.

2) Menurut Sardiman (1994) mengemukakan “Motive is defined as a

tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The

adjustment is said to satisfy the motive”. Motif didefinisikan sebagaisuatu

kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri

(drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan

untuk memuaskan motif.

3) Robbins (2006) motivasi itu merupakan suatu proses yang menghasilkan

suatu intensitas, tujuan dan ketekunan dalam mencapai sasaran.

4) Luthans (2002) mengemukakan “motivation is a process that starts with a

psychological deficiency or need a drive that is aimned at a goal or

incentive”. Motivasi merupakan sebuah proses yang muncul karena

adanya keadaan kesenjangan (kekurangan) psikis atau kebutuhan akan

sebuah gerakan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau

pendorong.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah aktivitas

dalam mengarahkan kekuatan, tenaga dan kesiap-sediaan dalam diri individu

untuk bergerak ke arah tujuan tertentu karena terdapat keadaan psychological

deficiency demi memenuhi kebutuhannya baik disadari ataupun tidak disadari.

Sehingga motivasi juga dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam

diri orang itu. Sikap yang bisa positif atau negatif itu timbul lantaran adanya

Page 18: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

29

persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau

pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan

untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sistem nilai yang

tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, masyarakat, dan orang

tua.

2. Proses Motivasi

Proses motivasi menurut Luthans (2002), adalah proses interaksi dari tiga

elemen utama dalam diri manusia. Ketiga elemen tersebut adalah:

1) Kebutuhan (need), yaitu suatu keadaan kekurangan (deficiency) dalam diri,

kebutuhan muncul dari adanya ketidak-seimbangan, baik fisiologis

maupun psikologis.

2) Dorongan (drive), yaitu dorongan untuk meredakan keadaan deficiency.

3) Tujuan (goal), merupaka akhir dari proses motivasi, tujuan dapat diartikan

sebagai segala sesuatu yang dapat mengurangi kebutuhan dan dorongan.

Dengan tercapainya tujuan akan meredakan keadaan ketidak-seimbangan

dalam diri individu.

Pada dasarnya setiap manusia tentu saja memiliki berbagai kebutuhan,

yaitu terjadi bila terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dan karena

adanya kebutuhan pada setiap manusia, tentu saja setiap manusia ingin memenuhi

kebutuhannya termasuk kebutuhan berprestasi. Demikian juga dengan anak

Page 19: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

30

remaja karena prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja (Henderson

dan Dweek dalam Santrock, 2003).

Dengan kata lain motivasi dapat dijadikan sebagai alat penggerak yang

mendorong seseorang untuk berprestasi, sehingga menimbulkan rasa percaya akan

dirinya, melakukan sesutau dengan sebaik-baiknya, lebih cepat dan lebih efisien

dengan hasil akhir yang maksimal bila dibandingkan dengan apa yang telah

dilakukan sebelumnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Motivasi sebagai proses psikologis dalam diri seseorang sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gouzaly (2000) mengelompokkan faktor-faktor

yang mempengaruhi motivasi seseorang kedalam dua kelompok diantaranya

yaitu:

1) Faktor ekstern, yaitu: lingkungan kerja yang menyenangkan atau

mendukung, tingkat kompensasi, supervisi yang baik, adanya penghargaan

atas prestasi, status dan tanggung jawab.

2) Faktor intern, yaitu: tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan,

keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan.

4. Teori Motif Sosial dan Need of Achievment

Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor yang memunculkan motivasi

adalah adanya proses interaksi dari tiga elemen utama dalam diri manusia. Ketiga

elemen tersebut adalah need, drive dan goal (Luthans, 2002). Karena adanya need

Page 20: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

31

of achievement (kebutuhan untuk berprestasi) pada diri seseorang maka orang

tersebut akan melakukan suatu tindakan (drive) untuk memenuhi kebutuhannya

tersebut hingga mencapai target (goal) yang ia inginkan. Sehingga orang tersebut

dapat dikatakan melakukan motivasi untuk berprestasi atau memiliki motivasi

berprestasi.

Motivasi berprestasi merujuk pada dorongan yang menggerakkan

seseorang untuk melakukan keinginan yang dilandasi adanya tujuan pencapaian

prestasi yang baik, dengan demikian motivasi berprestasi dapat mendorong usaha-

usaha pencapaian hasil belajar yang maksimal (Sardiman, 1994). Teori motivasi

yang paling komprehensif mengenai motivasi berprestasi adalah teori yang

dikemukakan oleh David McClelland. McClelland (1961) mengartikan bahwa

motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan

dengan perangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan.

Konsep tentang motif berprestasi diperkenalkan dan dipopulerkan pertama

kali oleh David McClelland dari istilah “N-Ach”, yang merupakan singkatan dari

need for achievement. Penelitian McClelland tersebut bertitik tolak dari

pertanyaan, mengapa suatu bangsa lebih maju dari bangsa lainnya, atau mengapa

suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu lebih maju dibandingkan dengan kurun

waktu lainnya? Hasil penelitian McClelland menunjukan bahwa kemajuan

tersebut disebabkan karena adanya semacam “virus mental” sebagaimana

dikemukakan oleh Weiner (1966), yaitu…”A certain way of thinking that was

relatively are but which, when it occurred in an individual, tended to make him

behave in a peculiarly energetic way”. Virus mental yang ada pada suatu bangsa

Page 21: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

32

atau perorangan itu disebut need for achievement yang lazim disebut “motif

berprestasi”. McClelland berpendapat bahwa motif berprestasilah yang membuat

para industriawan dan pelaku bisnis lainnya menjadi lebih kompetitif bekerja dan

lebih tekun.

Teori motivasi berprestasi ini lahir dari seperangkat teori motif sosial

yang dicetuskan oleh David McClelland (1961). Dalam teori tersebut ia

mengidentifikasikan tiga jenis kebutuhan dasar dalam diri manusia yang diperoleh

dan dikembangkan dari lingkungan, yaitu need of achievment (N-Ach)/motif

berprestasi, need of affiliation (N-Aff)/motif beraffiliasi dan need of power (N-

Power)/motif berkuasa. Motif-motif tersebut akan mempengaruhi tingkah laku

individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. Tiga kunci motif atau

kebutuhan utama dalam teorinya tersebut adalah:

1) Need for Achievement – yaitu dorongan yang menggerakkan seseorang

menuju suatu keberhasilan dan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik.

Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi adalah mereka

yang menyukai tantangan dalam setiap pekerjaannya. Mereka didorong

oleh hasrat untuk menjadi yang terdepan, untuk menyelesaikan

permasalahan, dan untuk menampilkan performa kerja yang luar biasa.

Kebutuhan berprestasi juga dikaitkan dengan sikap task-oriented, dimana

individu dengan sikap ini lebih menyuikai situasi yang menawarkan risiko

kesulitan yang menengah dan mereka sangat mengharapkan umpan balik

berkaitan dengan pencapaian tujuan mereka. Tingkah laku individu yang

Page 22: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

33

didorong oleh kebutuhan berprestasi atau motif berprestasi (N-Ach) ini

adalah:

a) Melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif.

b) Menyukai umpan balik. Individu dengan motif berprestasi

tinggi sangat terbuka terhadap umpan balik, karena melalui

umpan balik, ia dapat mengetahui hal-hal positif dan negatif

dalam dirinya yang harus dipertahankan, ditingkatkan atau

diperbaiki untuk dapat mencapai hasil kerja yang lebih baik

dikemudian hari.

c) Menyukai tantangan, menetapkan tujuann yang cukup sulit,

tetapi masih mungkin dicapai sesuai dengan kemampuannya.

d) Lebih suka memikul tanggung jawab pribadi dalam

menyelesaikan pekerjaan.

2) Need for Power – yaitu kebutuhan untuk mengarahkan dan mengontrol

aktivitas orang lain dan menjadi orang yang berpengaruh. Individu dengan

kebutuhan kekuasaan yang tinggi adalah mereka yang cenderung status-

oriented dan lebih termotivasi oleh kesempatan untuk memperoleh

pengaruh dan prestise dibandingkan untuk memecahkan beberapa masalah

secara pribadi atau untuk mencapai prestasi yang diinginkan. Adapun

tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan akan motif kekuasaan

(N-Power) ini adalah:

Page 23: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

34

a) Berusaha menolong orang lain walaupun tidak diminta.

b) Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan organisasi dimana

ia berada.

c) Mengumpulkan Barang-barang atau menjadi anggota suatu

perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise. Sangat peka

terhadap struktur pengaruh antar pribadi dalam kelompok atau

organisasi.

3) Need for Affiliation – yaitu keinginan untuk disukai dan diterima oleh

orang lain. Individu yang termotivasi oleh kebutuhan berafiliasi sangat

memperjuangkan persahabatan. Mereka sangat peduli dengan hubungan

interpersonal pada pekerjaan dan lebih menyukai mengerjakan suatu tugas

dengan orang lain. Mereka termotivasi oleh situasi kerja yang kooperatif

dibandingkan dengan situasi kerja yang kompetitif. Adapun tingkah laku

individu yang didorong oleh kebutuhan beraffiliasi (N-Aff) adalah sebagai

berikut:

a) Menyukai interaksi interpersonal.

b) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam

pekerjaannya, dari pada segi tugas-tugas yang ada pada

pekerjaan itu.

c) Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerja sama

dengan orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif.

d) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.

e) Lebih suka bersama orang banyak dari pada sendirian.

Page 24: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

35

Setiap orang akan mengembangkan N-Ach, N-Aff, atau N-Power

berdasarkan sosialisasi dan pengalaman hidupnya yang berbeda dominasinya

dengan yang lainnya. Pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang

mendominasi tingkah laku seseorang. Dengan demikian, maka perbedaan tingkah

laku pada setiap orang dikarenakan oleh adanya perbedaan dominasi motif dalam

dirinya.

Dalam teori motif sosial ini juga disebutkan bahwa motif dalam diri

manusia terbentuk dari hasil belajar terhadap lingkungannya. Seiring dengan

adanya pengalaman tersebut maka akan muncul perasaaan tertentu, yaitu perasaan

yang manyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Situasi atau tingkah laku

tertentu kemudian akan diasosiasikan dengan perasaan tertentu, sehingga untuk

selanjutnya pengasosiasian ini akan memberikan kekuatan atau menjadi motif

bagi individu untuk memunculkan tingkah laku tertentu. Dengan kata lain proses

belajar motif sosial mengikuti prinsip hedonistik.

Tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu yang menyenangkan akan

cenderung untuk diulangi, sebaliknya tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu

yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak diulangi. Jika seseorang

memperoleh hasil yang menyenangkan sebagai akibat dari usahanya tersebut,

maka ia akan semakin terdorong untuk terus berusaha dengan harapan mengalami

lagi hal yang menyenangkan tersebut, Seperti pengakuan, penghargaan,

kesempatan dan lain-lain. Sebaliknya, jika hanya memperoleh perasaan tidak

menyenangkan dari usahanya, misalnya perasaan lelah, gagal, hasil kerjanya

Page 25: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

36

dinilai buruk, dan lain-lain, maka ia tidak akan terdorong untuk berprestasi. Jadi,

dengan semakin orang yakin bahwa dengan berusaha ia akan berhasil memperoleh

prestasi, maka semakin besarlah harapan untuk meraihnya dan semakin besar pula

motif berprestasinya (McClelland, 1961). Demikian juga halnya yang terjadi pada

motif beraffiliasi dan pada motif berkuasa.

Jadi, dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi

adalah suatu konsep yang digunakan untuk menerangkan dorongan yang ada pada

individu guna melakukan suatu aktivitas atau pengorganisasian tujuan dan

perilaku yang berorientasi pada tujuan untuk meningkatkan dan mencapai

keunggulan dan prestasi pribadi dimana ukuran keunggulan dan prestasi ini harus

semaksimal mungkin dan lebih baik dari prestasi yang pernah dicapai sebelumnya

dan prestasi yang dicapai oleh orang lain.

Karena pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang

banyak mendominasi tingkah laku individu maka dalam penelitian ini motif

berafiliasi dan motif power tidak diteliti, peneliti hanya meneliti motivasi

berprestasi.

C. Hubungan Gegar Budaya dengan Motivasi Berprestasi

Muchlas (dalam Wulandari, 2004) menjelaskan bahwa meskipun

seseorang mempunyai kemampuan dan kemauan, tapi mungkin saja ada

penghalang yang bisa menghambat prestasinya. Jadi seseorang yang menunjukkan

prestasi yang tidak baik, maka harus dilihat lingkungan luarnya apakah sudah

cukup membantu, seperti apakah memiliki kelengkapan peralatan dan bahan,

Page 26: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

37

kondisi belajar yang favorable, teman kerja yang membantu, peraturan yang

mendukung dan prosedur kerja dengan alokasi waktu yang cukup. Jika semua

tidak ada maka jangan diharapkan muncul suatu prestasi kerja yang minimal

sekalipun. Penghalang disini dapat juga berupa perbedaan kebiasaan, sikap, nilai

yang dirangkum dalam sebuah budaya.

Selanjutnya (Jayasuriya et al., 1992) mengungkapkan bahwa pendidikan

dan pekerjaan dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang dipengaruhi oleh

penyesuaian lintas-budaya (sosio-cultural adjusment). Pendidikan sangat

berhubungan erat dengan penyesuaian diri yang baik dan level stres yang rendah

pada lingkungan belajar. Dan selama pendidikan atau pekerjaan tersebut

dihubungkan dengan sumber lain seperti memiliki pengetahuan tentang budaya

yang spesifik (culture-specific knowledge) dan kemampuan beradaptasi di budaya

tersebut.

Apabila seseorang mengalami kesulitan dalam memahami kultur barunya

di lingkungan belajar yang baru, tentu saja hal ini dapat menyebabkan tekanan

dan akan berdampak negatif apabila keadaan ini tidak diatasi, dalam hal ini ia

akan gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya dan berpotensi

menjadi depresi hingga memungkinkan berakibat pada kompetensi akademik

siswa tersebut sehingga mempengaruhi motivasi berprestasinya. Dengan kata lain

gegar budaya dapat menjadi suatu penghalang pada seseorang yang ingin meraih

prestasi yang baik. Jadi dalam hal ini penulis berpendapat bahwa gegar budaya

berhubungan dengan motivasi berprestasi individu.

Page 27: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

38

Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berfikir

D. Penelitian-penelitian Terdahulu

Terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang juga mengindikasikan

bahwa terdapat hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi.

Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ediana (2009) mengenai Gegar

Budaya Yang Dialami Mahasiswa Perantau FISIP UAJY Angkatan 2008 Dan

Pengaruhnya Terhadap Motivasi Kuliah di FISIP UAJAY, yang menyimpulkan

bahwa:

1) Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008

megalami fase optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang

ketika awal berpindah ke Jogja.

2) Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami gegar budaya.

Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun

emosional. Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola

makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit.

Motivasi Berprestasi

Gegar Budaya

Mahasiswa Perantau di Jurusan

Psikologi UPI Angkatan 2009 dan

2010

Apakah terdapat hubungan negatif?

Page 28: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

39

3) 16,67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (gegar budaya)

yang berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda

budayanya dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin

mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka

kemungkinan terjadinya gegar budaya pun semakin kecil.

4) Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu

motivasi belajarnya karena mengalami gegar budaya sementara

setengahnya tidak. Data yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh

terhadap motivasi belajar relatif tidak terlalu besar tetapi juga tidak kecil.

Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu

motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja.

Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan budaya baru di

Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.

5) Gangguan motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari

malas dan bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa

konsentrasi belajar hingga nilai atau IP jeblok.

6) Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru

di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah.

Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan

budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan

merasa tidak nyaman hidup di Jogja.

Page 29: GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASIa-research.upi.edu/operator/upload/s_psi_045486_chapter2(1).pdfberjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,

40

Selanjutnya menurut Ebbin, A.J & Blakenship, E.S. (1986) dalam

penelitiannya yang berjudul A Longitudinal Health Care Study: International

Versus Domestik Students mengemukakan bahwa depresi pada mahasiswa

internasional (asing) yang muncul sebagai hasil akhir dari stres

berhubungan positif dengan kesulitan melakukan penyesuaian diri di

lingkungan barunya.

Dari hasil penelitian terdahulu diatas, penulis berpendapat bahwa terdapat

hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi.