Upload
mikosapta-sera-konar
View
194
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM PIDANA
GRASI
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama :
Miko sapta sera k – 011100175
Catur Agustina – 011100021
Armayani – 011100049
Sella safitri - 01110051
Dosen mata kuliah : Rohman Hasyim, SH, MH
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
SUMPAH PEMUDA (STIHPADA)
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “GRASI” sebagai tugas. Salawat
beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW, beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran di STIHPADA. Penulis menyadari bahwa
Makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun guna kesempurnaan materi dan perbaikan di masa yang akan
datang.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan
dan saran. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga bermanfaat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin.
Palembang, 18 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
2
JUDUL ......................................................................... ........................1
KATA PENGANTAR ........................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................3
A.Pengertian Grasi............................................................................. 4
B.Pengaturan ketentuan mengenai grasi................................................ 4
C.Pihak yang dapat mengajukan grasi....................................................5
D.Pemberitahuan mengenai hak mengajukan grasi..................................7
E.Syarat-syarat pengajuan grasi............................................................8
F.Tata cara Pengajuan grasi..................................................................9
G.Tata cara penyelesaian permohonan grasi............................................11
H.Penundaan pelaksanaan putusan pemidanaan.......................................11
I.Bentuk grasi.....................................................................................12
J.Permohonan grasi dan permohonan peninjauan kembali........................13
K.Permohan grasi yang belum terselesaikan berdasarkan pasal 15 UU no.22
tahun 2002.........................................................................................14
KESIMPULAN..................................................................................15
GRASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN2002 TENTANG GRASI
3
A. Pengertian grasi
Grasi adalah hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana.
Oleh karena grasi bersifat mengampuni, keputusan yang diambil oleh Presiden, baik yang
bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan grasi, tidak akan memperberat pidana
yang diputus oleh pengadilan. Konsekuensi yang paling berat diterima oleh terpidana adalah
grasinya ditolak oleh Presiden, sehingga terpidana tetap harus menjalani pidana sesuai
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Grasi hanya mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani
pidana yang dijatuhkan pengadilan. Jadi, grasi tidak menghilangkan kesalahan dan juga
bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
B. Pengaturan ketentuan mengenai grasi
ketentuan mengenai grasi diatur.
Ketentuan mengenai grasi diatur dalam:
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4234), yang mulai berlaku pada tanggal 22 Oktober 2002.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150),
yang mulai berlaku pada tanggal 23 Agustus 2010.
Sebelumnya, ketentuan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1950
Nomor 40). Kemudian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 ini dinyatakan tidak berlaku
oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Penggantian Undang-Undang Nomor 3 Tahu444n 1950 tersebut dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dilakukan berdasarkan pertimbangan:
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia
Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada
saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat;
4
b. Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang
tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan
grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana
(criminal justice system) dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika
diajukan permohonan grasi. Hal tersebut mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi
yang diajukan dan adanya penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan
putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu
birokratis;
c. Perlu menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa
Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Sedangkan, pertimbangan yang mendasari dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2010 adalah:
a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi
yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi diberikan waktu penyelesaian selama 2 (dua) tahun
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Namun,
tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan semua
permohonan grasi tersebut, sehingga penyelesaian grasi tersebut setelah tanggal 22 Oktober
2004 tidak mempunyai landasan hukum. Untuk menghindari adanya kekosongan hukum bagi
penyelesaian pemberian Grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950, batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi perlu diperpanjang sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memberikan batasan waktu
pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati, sehingga dalam pelaksanaannya
menyebabkan eksekusi atau pelaksanaan pidana mati menjadi tertunda sampai dengan waktu
yang tidak terbatas. Demi kepastian hukum, perlu diatur mengenai batasan waktu pengajuan
permohonan grasi bagi terpidana mati.
c. Dalam memberikan keputusan atas suatu permohonan grasi, Presiden perlu
mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang
telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan secara
berulang-ulang (residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara
sadis dan berencana;
5
Oleh karena grasi, pada dasarnya, merupakan pemberian dari Presiden dalam bentuk
pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan putusan kepada terpidana, dengan demikian pemberian grasi itu bukan
merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif.
Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan
penilaian terhadap putusan hakim. Karena itu, pemberian grasi bukan merupakan campur
tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk
memberikan ampunan.
Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan
kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
C. Pihak yang dapat mengajukan grasi
Yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ini berarti, seseorang yang masih berstatus tersangka atau terdakwa tidak dapat mengajukan
permohonan grasi, karena bagi tersangka perkaranya masih dalam proses penyidikan, dan
bagi terdakwa perkaranya masih dalam proses pemeriksaan pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, atau Mahkamah Agung.
Terpidana yang perkara pidananya diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer
juga dapat mengajukan permohonan grasi.
permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana melalui Advokat atau keluarganya. Selain
oleh terpidana sendiri, permohonan grasi juga dapat diajukan oleh:
a. Advokat yang diberi kuasa oleh terpidana;
b. Keluarga terpidana (istri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara
sekandung terpidana), dengan persetujuan terpidana.
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, keluarga terpidana (istri atau suami, anak kandung,
orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana) dapat mengajukan permohonan grasi
bagi terpidana tanpa memperoleh persetujuan dari terpidana.
D. Pemberitahuan mengenai hak mengajukan grasi
6
hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana (baca: terdakwa) oleh hakim atau
hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Hakim atau hakim ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama memberitahukan kepada terpidana
(terdakwa) hak mengajukan grasi hanya dalam hal terpidana (terdakwa) dijatuhi putusan
pemidanaan oleh Pengadilan berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Pemberitahuan ini dilakukan dengan maksud agar
terdakwa dapat memutuskan apakah dirinya akan menempuh upaya hukum banding terhadap
putusan pemidanaan tersebut ataukah akan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Menulis kata “terdakwa” di belakang setiap kata “terpidana”, oleh karena menurut pendapat
kami, pada saat hakim atau hakim ketua sidang memutus perkara pada tingkat pertama,
putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, sehingga statusnya masih sebagai
terdakwa. Kami berpendapat kata “terdakwa” yang digunakan dalam undang-undang yang
bersangkutan perlu dikoreksi .
Yang dapat memberitahukan kepada terpidana (terdakwa) mengenai haknya untuk
mengajukan grasi jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana (terdakwa) tidak
hadir atau jika putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi.
a. Dalam keadaan seperti diuraikan di atas, hak terpidana untuk mengajukan permohonan
grasi diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama.
b. Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dapat meminta kepada terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya
untuk mengajukan permohonan grasi. Menteri tersebut berwenang meneliti dan
melaksanakan proses pengajuan grasi dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada
Presiden.
Komentar untuk jawaban butir a:
Menurut pendapat kami frasa “hak terpidana untuk mengajukan permohonan grasi
diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama” dari sisi panitera tersebut dapat diartikan sebagai kewajiban panitera itu
untuk memberitahukan kepada terpidana haknya untuk mengajukan permohonan grasi, dan
sebaliknya dari sisi terpidana dapat diartikan sebagai hak terpidana untuk diberitahukan oleh
panitera tersebut mengenai haknya untuk mengajukan permohonan grasi.
Berhubung pemberitahuan kepada terpidana mengenai haknya untuk mengajukan
permohonan grasi tersebut dapat dipandang sebagai “hak terpidana” dan sekaligus
“kewajiban panitera”, dari sisi terpidana kelalaian panitera memberitahukan kepada terpidana
7
mengenai haknya untuk mengajukan permohonan grasi dapat digunakan sebagai alasan untuk
menyatakan haknya untuk itu belum gugur walaupun jangka waktu pengajuan permohonan
grasi yang ditentukan oleh undang-undang telah berakhir. Sebaliknya, dari sisi panitera,
kelalaian itu dapat pula dijadikan sebagai dasar oleh pejabat yang berwenang untuk
menjatuhkan sanksi administratif kepada panitera yang bersangkutan baik berdasarkan atau
tanpa berdasarkan adanya tuntutan dari pihak yang dirugikan.
Jika pembentuk undang-undang tidak bermaksud menciptakan peluang bagi terpidana untuk
menjadikan kelalaian panitera tersebut untuk menyatakan haknya mengajukan permohonan
belum berakhir, seharusnya dalam undang-undang diperlukan tambahan pasal atau ayat yang
menyatakan bahwa kelalaian panitera itu untuk memberitahukan kepada terpidana haknya
untuk mengajukan permohonan grasi tidak mengurangi atau meniadakan kewajiban terpidana
untuk menjalani pidana sesuai dengan putusan yang telah berkekuataan hukum tetap.
butir b:
Menurut pendapat kami ketentuan kata “dapat” dalam frasa “Demi kepentingan kemanusiaan
dan keadilan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dapat meminta
kepada terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya untuk mengajukan permohonan grasi”
perlu diganti dengan kata “wajib” atau jika pembentuk undang-undang tidak memandang hal
itu sebagai hal yang “wajib” dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, sebaiknya ketentuan itu ditiadakan saja. Mengapa? Karena, ketentuan
demikian akan menempatkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pada posisi yang dilematis, karena jika tidak semua terpidana yang berhak mengajukan
permohonan grasi diminta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
untuk mengajukan permohonan grasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dapat dituduh berlaku diskriminatif terhadap terpidana yang berhak mengajukan
permohonan tersebut. Bukankah setiap terpidana sebagai manusia merasa dirinya berhak
memiliki sisi kemanusiaan dan keadilan yang patut diperhatikan.
E. Syarat-syarat pengajuan grasi
mengajukan grasi harus dipenuhi syarat-syarat:
(1) Terpidana dijatuhi putusan pemidanaan oleh Pengadilan berupa pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
(2) Putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena:
a. putusan pengadilan tingkat pertama tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
8
b. putusan pengadilan tingkat banding tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan
oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
c. merupakan putusan kasasi.
Seharusnya frasa “dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana” yang tertulis pada huruf a dan huruf b di atas tidak perlu dicantumkan atau dipertegas
dalam undang-undang, oleh karena:
- jika disebutkan pengajuan banding atau kasasi, dengan sendirinya yang dimaksud adalah
pengajuan banding atau kasasi yang dilakukan dalam waktu dan menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
- jika disebutkan frasa “Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana” apakah yang
dimaksud hanya terbatas pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Tidak, setiap permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana dan memenuhi kedua syarat
tersebut wajib dikabulkan oleh Presiden. Presiden berhak mengabulkan atau menolak
permohonan grasi yang diajukan setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Jika permohonan grasi dikabulkan, Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden
mengenai pemberian grasi. Sedangkan, jika permohonan grasi ditolak, Presiden akan
mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai penolakan grasi.
Bahwa pertimbangan Mahkamah Agung tersebut tidak mutlak harus diikuti oleh Presiden,
karena pertimbangan itu diberikan semata-mata dari segi juridis atau lebih pada segi
juridisnya. Sedangkan, pemberian grasi juga memerlukan pertimbangan dari segi politis,
sosiologis, atau segi-segi lainnya misalnya segi kemanusiaan atau segi keadilan. Lagi pula,
jika pertimbangan itu mengikat Presiden, Presiden akan hanya berfungsi sebagai “tukang
stempel” dari Mahkamah Agung .
F. Tata cara pengajuan grasi
tata cara pengajuan grasi.
Tata cara pengajuan grasi adalah:
(1) Jika permohonan grasi diajukan oleh kuasa hukum atau keluarga terpidana
a. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau
keluarganya, kepada Presiden;
b. Salinan permohonan grasi tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara
pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
(2) Jika permohonan grasi diajukan oleh terpidana
9
a. Permohonan grasi dan salinannya disampaikan oleh terpidana (kepada Presiden) melalui
Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
b. Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada
Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan
salinannya. (Komentar: Yang dimaksud dengan “salinannya dikirimkan kepada pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama” adalah dikirimkan untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung)
Berhubung terpidana yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan memiliki keterbatasan
dalam bergerak atau berada dalam suatu pengawasan yang ketat dari petugas Lembaga
Pemasyarakatan, sebaiknya dalam undang-undang yang bersangkutan ditambahkan pasal-
pasal atau ayat-ayat yang menyatakan:
- Kepala Lembaga Pemasyarakatan wajib menyerahkan kepada setiap terpidana yang berada
di bawah pengawasannya formulir permohonan grasi dalam waktu selambat-lambatnya tujuh
hari terhitung sejak timbulnya haknya untuk mengajukan permohonan grasi;
- Jika dalam waktu tiga puluh hari sebelum berakhirnya masa pengajuan permohonan grasi,
ternyata terpidana tersebut belum menyerahkan kembali formulir permohonan grasi kepada
Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan wajib menjelaskan
kepada terpidana mengenai haknya serta jangka waktu yang tersedia baginya untuk
mengajukan permohonan grasi. Semua penjelasan dan jawaban atau sikap yang diberikan
oleh terpidana dicatat dalam berita acara dan ditandatangani oleh terpidana dan Kepala
Lembaga Pemasyarakatan atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
(Hal-hal lain yang bersifat teknis sudah tentu dapat dirumuskan dengan lebih teleti dalam
undang-undang)
permohonan grasi dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.Permohonan grasi diajukan paling
lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kome Sebelum Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diubah
oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.
G. Tata cara penyelesaian permohonan grasi
Tata cara penyelesaian permohonan grasi adalah:
10
a. Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas perkara terpidana (termasuk putusan pengadilan tingkat pertama, serta putusan
pengadilan tingkat banding atau kasasi jika terpidana mengajukan banding atau kasasi)
kepada Mahkamah Agung.
b. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan
tertulis kepada Presiden.
c. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau
penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
d. Keputusan Presiden tersebut disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
e. Salinan keputusan tersebut disampaikan kepada: Mahkamah Agung, Pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama, Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana,
dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi
disampaikan kepada: pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang memutus perkara
pidana pada tingkat pertama, oditurat militer yang menuntut perkara terpidana, dan Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Militer tempat terpidana menjalani pidana.
Pada bagian e. berpendapat sebaiknya ketentuan tersebut ditambahkan dengan klausul bahwa
dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan keputusan tersebut, pengadilan tingkat pertama memberitahukan isi keputusan
tersebut kepada kuasa hukum terpidana atau keluarga terpidana yang mengajukan
permohonan grasi.
H. Penundaan pelaksanaan putusan pemidanaan
Hanya permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati saja yang menunda pelaksanaan
pidana matinya. Pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang
penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Sudah tentu permohonan grasi yang
diajukan oleh kuasa hukum atau keluarga terpidana mati harus dipandang pula sebagai
permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati.
11
I. Bentuk grasi
Jika permohonan grasi dikabulkan oleh Presiden, bagaimanana bentuk grasinya.
Pemberian grasi yang dituangkan oleh Presiden ke dalam Keputusan Presiden dapat berupa:
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.
Komentar terhadap huruf a:
Jenis pidana yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
- Pidana pokok, yang terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana
denda;
- Pidana tembahan, yang terdiri atas: pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Jika dihubungkan dengan ketentuan KUHP, contoh peringanan jenis pidana yang dapat
terjadi adalah semula terpidana dijatuhi pidana mati, dalam Keputusan Presiden pidana ini
diganti dengan pidana penjara atau semula dijatuhi pidana penjara kemudian diganti dengan
pidana kurungan.
Menurut pendapat kami frasa “perubahan jenis pidana” tidak dapat diartikan seolah-olah
Presiden dapat mengubah jenis pidana dari jenis pidana yang lebih ringan (misalnya pidana
kurungan) menjadi jenis pidana yang lebih berat (misalnya pidana mati). Tidak dapat
diartikan demikian karena hakikat grasi adalah suatu pengampunan yang diberikan oleh
Presiden kepada terpidana. Kata “pengampunan” itu sendiri sudah menunjukkan bahwa jika
Presiden memberi grasi, sudah tentu jenis pidana yang akan diberikan adalah jenis pidana
yang lebih ringan dibanding dengan jenis pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Komentar terhadap huruf b:
Menurut hemat kami, pengurangan jumlah pidana dapat terdiri atas:
- pengurangan mengenai jangka waktu pidana penjara dengan contoh tadinya terpidana
dijatuhi pidana penjara seumur hidup, kemudian dalam keputusan grasi pidana itu diubah
menjadi pidana penjara dua puluh tahun.
- pengurangan mengenai jumlah uang denda dengan contoh tadinya terpidana dijatuhi pidana
denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), kemudian dalam keputusan grasi
pidana itu diubah menjadi pidana denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- pengurangan mengenai jumlah jenis pidana dengan contoh tadinya terpidana
dijatuhi pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
12
rupiah), kemudian dalam keputusan grasi pidana denda itu ditiadakan, sehingga terpidana
hanya menjalani pidana penjara tersebut.
Komentar terhadap huruf c:
Contoh penghapusan pelaksanaan pidana adalah tadinya terpidana dijatuhi pidana penjara dua
tahun, kemudian Presiden melalui keputusannya menyatakan menghapuskan pelaksanaan
pidana tersebut. Artinya, tidak ada lagi pidana apa pun yang harus dijalani oleh terpidana.
J. Permohonan grasi dan permohonan peninjauan kembali
Tterpidana dapat mengajukan permohonan grasi bersamaan waktunya dengan waktu
pengajuan permohonan peninjauan kembali. Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi
bersamaan waktunya dengan waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali.
Artinya, untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, terpidana tidak harus
menunggu hasil dari permohonan grasi yang diajukan. Sebaliknya, seandainya terpidana telah
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, terpidana pun tidak perlu menunggu sampai
permohonan Peninjauan Kembali itu diputus baru mengajukan permohonan grasi. Hal ini
mengingat adanya batas waktu tertentu yang harus dituruti baik untuk pengajuan permohonan
Peninjauan Kembali maupun untuk pengajuan permohonan grasi.
Presiden dan Mahkamah Agung bersikap terhadap adanya permohonan grasi dan
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana secara bersamaan waktunya.
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan
peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama,
permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu. Artinya, Presiden memberi
kesempatan kepada Mahkamah Agung untuk mengambil putusan atas permohonan
Peninjauan Kembali tersebut terlebih dahulu. Keputusan permohonan grasi itu akan
ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan
peninjauan kembali diterima Presiden.
Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi ini diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
K. Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
13
Penyelesaian terhadap permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi?
Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2002 tentang Grasi akan diselesaikan paling lambat tanggal 22 Oktober 2012.
Sebelumnya ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi bahwa permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum
berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku. Perpanjangan waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak
tanggal 22 Oktober 2002 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012 perlu dilakukan untuk
memberikan landasan hukum bagi penyelesaian permohonan Grasi yang diajukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi dan telah
diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, namun belum selesai.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun untuk mengajukan
permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi dihitung sejak mulai berlakunya ini Undang-Undang ini atau sejak
tanggal 23 Agustus 2010.
KESIMPULAN :
14
Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi
adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan
pembebasan hukuman sama sekali. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat
hukuman mati dikurangi menjadi bebas dari hukuman sama sekali .
Di Indonesia, grasi merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat
penerapan sistem pembagian kekuasaan.
Di bawah Grasi atau tindakan pengampunan yang membatalkan, mengurangi atau
mengubah pemahaman kalimat mana hakim dijatuhkan.Amnesty berarti remisi lengkap
kalimat, untuk individu tertentu atau untuk semua orang untuk pelanggaran tertentu yang
dinyatakan bersalah.
Kasih karunia adalah tidak sama dengan vonis bebas . Pembebasan berarti bahwa ditentukan
bahwa tersangka tidak bersalah atas pelanggaran yang dituduhkan. Sebelumnya, rahmat
kadang-kadang diberikan kepada orang yang mengaku mereka secara salah
dihukum. Sekarang ini adalah prosedur banding . Beberapa mempertimbangkan memperoleh
pengampunan oleh karena itu sebagai pengakuan bersalah: Alfred Dreyfus (salah dihukum
karena spionase) diampuni pada tahun 1899 dan tidak menetap di sana.
Suatu pembedaan bisa dibuat antara:
Pengampunan individu diberikan kepada orang tertentu, berdasarkan keadaan pribadinya
Maaf Kolektif yang diberikan kepada kelompok orang karena acara khusus seperti ulang
tahun atau Yobel negara.
Di beberapa negara, hakim tidak mengizinkan kurang dari hukuman minimum menurut
undang-undang untuk memaksakan. Jika pengadilan yang tidak adil (karena tersangka
dipaksa atau bertindak dengan niat baik), maka hakim di kepala negara permintaan
maaf.Dalam prakteknya, permintaan tersebut hampir selalu diberikan.
Grace kadang-kadang diterapkan di negara-negara dimana hukuman mati masih ada secara
resmi, tetapi di mana tidak lagi dilakukan.Hukuman mati dapat mencari pengampunan itu, di
sini adalah hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
Pengampunan mungkin Belanda hanya diberikan oleh Royal SK . Di Belgia,
hanya raja pengampunan.
BELANDA
Dalam kasus yang dapat diberikan pengampunan?
15
Grasi dapat diberikan dari semua hukuman pokok, hukuman tambahan dan langkah-langkah
tertentu yang diambil oleh pengadilan pidana Belanda yang dikenakan.
Ada dua alasan mengapa grasi dapat diberikan:
berdasarkan fakta atau keadaan yang hakim tidak sadar dan mungkin untuk hukuman yang
lebih ringan atau hukuman tidak ada yang dipimpin hakim telah dikenal ini, misalnya, jika
kemudian muncul bahwa perbuatan itu diprovokasi oleh yang lain;
untuk melaksanakan atau melanjutkan hukuman tidak lagi memiliki tujuan yang cukup,
misalnya, jika dikutuk sakit kronis dan tidak lagi dapat tinggal di penjara.
Dalam semua kasus, bahwa harus ada sebuah kalimat yang tidak dapat dibatalkan. Ini berarti
bahwa tidak ada banding atau kasasi adalah mungkin.
Ketika tidak dapat diberikan pengampunan?
Dalam tiga bulan pertama setelah penilaian atau keputusan telah menjadi akhir, pada
prinsipnya, tidak diampuni. Selanjutnya, pengampunan tidak diberikan denda yang lebih
rendah dari 340 euro. Juga tidak dapat kasih karunia diperoleh dari transaksi tersebut
dengan jaksa dan ketetapan pajak . Dalam kasus ini ada pertanyaan dari penalti yang
dikenakan oleh hakim.
Bagaimana meminta pengampunan?
Untuk mengajukan permohonan grasi memanfaatkan bentuk pengampunan, yang dapat
diperoleh dari Departemen Kehakiman .
Sebuah aplikasi pengampunan dapat dilakukan oleh individu itu sendiri, tetapi juga
oleh pengacara atau konselor, masa percobaan atau kerabat untuk disampaikan. Jika
permintaan diajukan oleh sepertiga, maka itu dianggap hanya apabila para pihak setuju dan
juga menandatangani formulir.
Untuk lebih mendukung permintaan tersebut, harus bukti dikirim. Bukti dokumen dapat
berupa: pernyataan majikan, pernyataan dari seorang dokter spesialis atau pernyataan dari
sebuah panti rehabilitasi. Tetapi juga dokumen lain yang mungkin penting dalam penilaian.
Bagaimana permintaan grasi diobati?
Sebuah aplikasi pengampunan dapat dilakukan oleh pelaku sendiri atau dengan
nasihatnya. Permintaan juga dapat diajukan oleh percobaan dan keluarga. Permintaan maaf
harus ditujukan kepada Yang Mulia Ratu.
Prihatin dengan polisi di nya atau tempat tinggal dia diundang untuk mengomentari
permintaan maaf. Jika orang yang ditahan adalah laporan yang diambil dari
perangkat. Intelijen polisi pelaporan, atau perangkat dikaitkan dengan permintaan grasi
ke penuntutan , setelah pendapat (laporan) dilepaskan. Kemudian seluruh paket
16
ke hakim (yang dikenakan hukuman). Hakim menyarankan Mulia Ratu.Kementerian
kemudian mencari persiapan praktis dari keputusan tersebut sebagai gantinya.
Waktu proses rata-rata permintaan grasi adalah enam bulan.
Jika permintaan grasi ditolak maka kasus ini pada dasarnya diberhentikan. Jika permohonan
grasi kedua diajukan dan ada keadaan baru ini dapat ditangani. Permintaan kedua tidak
memiliki efek menangguhkan.
17