Hak Atas Kepemilikan Tanah

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    1/38

     

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    2/38

      KATA PENGANTAR

    Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkah dan rahmatNya

    sehingga Bahan Bacaan Diseminasi HAM dengan judul Hak atas Kepemilikan Tanah dapat tersusun.

    Sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-05OT.01.01 tahun 2010 tangga

    20 Desember 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI, pasal 885

    menjelaskan bahwa salah satu tugas Direktorat Diseminasi HAM Direktorat Jenderal HAM adalah

    melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknik dan

    evaluasi di bidang Diseminasi HAM sesuai dengan kebijakan teknik yang ditetapkan oleh Direktur

    Jenderal HAM, lebih lanjut dijelaskan pada pasal 889 bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana

    dimaksud Subdirektorat Program Diseminasi menyelenggarakan fungsi penyiapan bahan penyusunan

    Metodologi Diseminasi dan bahan Diseminasi HAM.

    Dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut, maka pada tahun 2013 Direktora

    Jenderal HAM telah menyusun bahan Diseminasi HAM yaitu Hak atas Kepemilikan Tanah. Bahan

    Diseminasi ini dimaksudkan dapat memberikan pemahaman bagi peserta Diseminasi khususnya dan

    masyarakat pada umumnya tentang Hak atas Kepemilikan Tanah.

    Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak

    untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.

    Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) yang

    menyebutkan bahwa Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

    lingkungan hidup yang baik dan sehat.

    Bahan Bacaan ini selanjutnya akan digunakan dalam rangka Kegiatan Diseminasi HAM dan

    diharapkan dapat menjadi acuan bagi para Diseminator khususnya yang akan menyampaikan mater

    Hak atas Kepemilikan Tanah.

    Akhirnya Tim Penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

    tersusunnya bahan bacaan ini. Semoga Bahan Bacaan ini dapat memberikan manfaat bagi Diseminator

    HAM khususnya serta masyarakat pada umumnya.

    TIM PENYUSUN

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    3/38

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

    DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

    A.  LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1

    B.  APAKAH HAK ATAS TANAH MERUPAKAN HAK ASASI MANUSIA ................. 3

    C. 

    AKSES TERHADAP TANAH DI INDONESIA ........................................................... 13

    D.  JENIS-JENIS HAK ATAS TANAH ............................................................................... 15

    E. 

    PENDAFTARAN TANAH ............................................................................................. 19

    F.  PERALIHAN DAN HAPUSNYA HAK ATAS TANAH ............................................... 20

    G. 

    HAK ULAYAT ............................................................................................................... 21

    H. 

    PENGGUSURAN PAKSA ............................................................................................. 27

    I.  HAL-HAL LAIN YANG PERLU DALAM

    PELAKSANAAN HAK ATAS TANAH …………………………………................... 32

    DAFTAR PUSTAKA

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    4/38

      1

    A. 

    Latar Belakang

    Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi serta

    memiliki nilai sosial, politik dan pertahanan keamanan bagi kehidupan manusia. Dengan

    memiliki tanah, seseorang dapat melakukan investasi, tempat tinggal, dan tempat usaha

    mencari nafkah. Bagi masyarakat pedesaan, tanah tidak hanya digunakan untuk tempat

    tinggal tapi juga bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan air bersih mereka.

    Terutama bagi masyarakat adat yang mempunyai keterikatan yang sangat erat dengan

    tanahnya, kepemilikan tanah menjadi sentral hidup mereka. Tidak berbeda jauh dengandaerah perdesaan, kawasan perkotaan juga sangat bergantung kepada tanah terutama

     berkaitan dengan tempat tinggal, investasi, bisnis, dan ketersediaan sumber-sumber lainnya.

    Mengingat dekatnya dan pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, banyak orang

    mempertahankan tanahnya dimana dia tinggal atau berada.

    Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tanah, terutama di

    kawasan perkotaan, maka masalah kepemilikan tanah semakin meningkat. Hal ini terjadi

    seiring dengan bertambahnya laju pertumbuhan penduduk, perpindahan penduduk dari desa

    ke kota, konversi peruntukan tanah untuk usaha atau kepentingan umum, penurunan kualitas

    lingkungan hidup, dan perubahan struktur tanah karena pengaruh bencana alam. Alasan

    tersebutlah yang menyebabkan ketersediaan tanah menjadi sangat terbatas dan hal ini sangat

    rawan akan permasalahan atau konflik.

    Berdasarkan data statistik dari KOMNAS HAM dan pengaduan ke Direktorat

    Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, pengaduan terbanyak setiap tahunnya selalu

     berkaitan dengan persoalan tanah terutama penggusuran, konversi peruntukan tanah, dan hak

    kepemilikan ganda. Kebanyakan kasus pertanahan menjadi sangat kompleks karena pada

    umumnya melibatkan kekerasan, intimidasi termasuk penculikan.1  Selain itu persoalan

     pertanahan pada umumnya melibatkan lebih dari satu pihak dan/atau instansi seperti Badan

    Pertanahan Nasional, pemerintah daerah, individu dan/atau perusahaan, serta pejabat-pejabat

    1 "Klasifikasi Kasus Pelanggaran Ham Oleh Korporasi Tahun 2010 Dan 2011," (Jakarta: Komisi Nasional Hak

    Asasi Manusia, 2010 - 2011).

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    5/38

      2

    terkait seperti Dinas Kehutanan jika melibatkan hutan, dan Polisi dalam hal pengamanan

    area perusahaan atau jika ada kekerasan. Oleh karena itu masalah pertanahan selalu rentan

    akan pelanggaran HAM. Dengan kata lain, pelanggaran HAM berkaitan dengan tanah dapat

     berujung pada pelanggaran HAM lainnya.

    Pertanyaannya untuk menghindari sengketa tanah, usaha apa yang harus dilakukan?

    Apakah hak atas tanah itu sendiri merupakan suatu hak asasi manusia? Apa implikasinya

    terhadap HAM? Kedua pertanyaan ini menjadi fokus dari bahan bacaan Diseminasi ini.

    Diharapkan dengan adanya bahan bacaan Diseminasi ini, warga masyarakat mendapatkan

     pemahaman mengenai Hak atas tanah dan implikasi HAM yang terkait.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    6/38

      3

    B. Apakah Hak atas Tanah

    merupakan Hak Asasi Manusia ?

    1.  Hukum HAM Internasional

    Secara hukum internasional, belum ada pernyataan secara jelas yang menyatakan

     bahwa Hak atas tanah merupakan suatu HAM. DUHAM maupun kedua kovenan HAM

    tidak menyebutkan secara tegas bahwa hak atas tanah sebagai salah satu HAM. Namun

    demikian, isu akses terhadap tanah, penguasaan dan penggunaan tanah sangat berhubungan

    erat dengan HAM dan dalam beberapa hal tertentu merupakan persyaratan untukmemenuhi HAM. Sebagai contoh, tanah sangat erat berkaitan dengan hak atas pangan,

    keamanan pangan, hak atas papan/perumahan, hak untuk berpartisipasi dan hak atas

    identitas budaya dari beberapa kelompok masyarakat yang sangat terkait dengan sistem

     pertanahan adat.

    Akses terhadap tanah dalam instrumen HAM internasional sering dikaitkan dengan Hak

    atas Masyarakat Adat (indigenous people) dan hak-hak perempuan. Di kedua isu tersebut,

    hak atas tanah dijabarkan dalam instrumen HAM terkait.

    a.  Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah

    Akses terhadap tanah dan penggunaannya seringkali dikaitkan dengan spiritual,

     budaya, dan identitas sosial dari suatu masyarakat. Di tingkat internasional,

    keberadaaan masyarakat asli dan tradisional diatur lebih lanjut dalam Konvensi ILO

     No. 169 Tahun 1989 mengenai masyarakat hukum adat. Konvensi ini memberikan hak

    kepada masyarakat asli dan tradisional, apabila memungkinkan, untuk mengatur

    sendiri perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mereka dalam beberapa hal

    termasuk masalah pertanahan yang diatur secara khusus dalam bab tersendiri.

    Berkaitan dengan tanah, Konvensi ini mewajibkan Negara pihak dalam hal:

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    7/38

      4

    (1)  Mengakui dan menjamin hak milik atas tanah bagi masyarakat adat/asli..2 Dalam

    kasus kasus tertentu, Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan untuk

    menjaga dan melindungi hak-hak masyarakat tersebut, terutama dalam hal

     penggunaan tanah yang tidak secara khusus dikuasai oleh mereka namun mereka

    secara tradisional mempunyai akses untuk kegiatan kehidupan dan kegiatan-

    kegiatan tradisional.3 

    (2)   Negara Pihak wajib untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat

    asli/tradisional terhadap sumber-sumber daya alam. Hak tersebut termasuk hak

    untuk turut serta berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan dan pengamanan

    sumber-sumber daya alam.4 

    (3)  Konvensi ini juga mengakui dan mensyaratkan partisipasi dari masyarakat

    asli/tradisional dalam bentuk dialog terhadap kebijakan atau produk perundang-

    undangan yang membawa pengaruh terhadap mereka.5 

    (4)   Negara Pihak juga berkewajiban untuk mengambil upaya penyelesaian sengketa

    tanah melalui berbagai mekanisme seperti penggantian uang atau tanah atau

    relokasi dengan mengedepankan prinsip persetujuan yang bebas berdasarkan

    informasi yang cukup (free informed consent).6 

    Tahun 2007, Persatuan Bangsa Bangsa mengadopsi Deklarasi mengenai

    Masyarakat Adat/Asli (Declaration on the Rights of Indigenous People). Berbeda

    dengan Kovensi No. 169, Deklarasi ini tidak membutuhkan ratifikasi melainkan suatu

     bentuk kesepakatan tidak mengikat yang mengakui bahwa masyarakat asli/adat

    mempunyai hak atas tanah, wilayah dan sumber-sumber dimana mereka secara

    tradisional memiliki, menguasai dan menggunakannya. Deklarasi ini juga secara tegas

    menyatakan bahwa masyarakat adat/asli memiliki hak untuk mendapatkan pengganti

    terhadap tanah, wilayah, dan sumber-sumber yang secara tradisional mereka miliki,

    kuasai, dan gunakan yang telah dirampas, diambil alih, dirusak atau digunakan oleh

     pihak lain. Seperti halnya Kovensi No. 169, Deklarasi ini juga mengedepankan dialog

    2 "Indigenous and Tribal People Convention No. 169," (International Labour Organisation, 1989), Pasal 14.3 "Indigenous and Tribal People Convention No. 169," (International Labour Organisation, 1989), Pasal 14 ayat (1).4 "Indigenous and Tribal People Convention No. 169," Pasal 15.5 "Indigenous and Tribal People Convention No. 169," Pasal 5.6 "Indigenous and Tribal People Convention No. 169."

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    8/38

      5

     partisipatoris dan prinsip persetujuan yang bebas berdasarkan informasi yang cukup

    (free, prior, and informed consent) dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang

    terkait dengan masyarakat asli/tradisional.

    b.  Hak Atas Tanah dalam Hak-H ak Perempuan

    Referensi terhadap hak atas tanah banyak terdapat di dalam konteks hak-hak

     perempuan. Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

    (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women /

    CEDAW) mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menjamin hak-hak perempuan

    dalam reformasi tanah dan agraria termasuk juga skema pemindahan lahan. CEDAW

    secara tegas menyatakan bahwa pasangan suami istri mempunyai hak yang sama

    terhadap kepemilikan, akuisisi, manajemen, administrasi, pemenuhan dan disposisi

     properti dalam suatu perkawinan.7 Hak-hak yang sama dalam warisan, pembelian, dan

    disposisi properti harus mengedepankan hak-hak perempuan.

    c.  Hak atas Sandang, Pangan, dan Papan

    Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, walaupun tidak diatur secara jelas

    sebagai suatu HAM, hak atas tanah diatur secara tidak langsung di dalam DUHAM,

    Kovenan Sipil dan Politik terutama hak privat dan hak atas properti, serta Kovenan

    Ekonomi, Sosial, dan Budaya terutama hak atas standar hidup yang layak termasuk

    hak atas sandang, pangan, kesehatan, dan pekerjaan. Hak atas papan/perumahan yang

    layak adalah yang paling terkait langsung dengan hak atas tanah karena hak atas tanah

    adalah persyaratan utama untuk terpenuhinya hak atas perumahan/papan yang layak.

    Oleh karena itu perlu dicermati keberadaan hak atas tanah dalam kaitannya dengan

    hak atas papan/perumahan.

    Hak atas perumahan/papan diakui oleh banyak instrumen HAM sebagai satu Hak

    Asasi Manusia bagian dari Hak atas standar hidup yang layak. Interpretasi terhadap

    hak atas perumahan/papan dicantumkan dalam Komentar Umum dari Komite Hak-hak

    Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan di dalam banyak hasil-hasil kerja dari special

    7 "Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Cedaw)," Pasal 16 (h).

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    9/38

      6

    rapporteur. Sebagai contoh, Komentar Umum No. 4 mengenai hak-hak atas papan

    menekankan bahwa hak ini tidak dapat diterjemahkan secara sempit tetapi harus

    dilihat sebagai hak untuk hidup dengan manusiawi, aman, dan damai. Selanjutnya hak

    ini mempunyai 4 (empat) elemen yaitu: kesediaan, habitat, lokasi, dan kemampuan. 8 

    Jaminan terhadap kepemilikan dan perlindungan terhadap penggusuran seringkali

    menjadi indikator dalam mengindentifikasi pelaksanaan hak atas perumahan yang

    layak.

    d.  Hak Properti dan Hak pri vat

    Pasal 17 dari DUHAM menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk

    memiliki properti secara pribadi maupun bersama-sama orang lain dan hak tersebut

    tidak dapat dicabut dengan semena-mena. Dikaitkan dengan hak privat, pasal 17 dari

    Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik melindungi setiap orang dari intervensi yang

    semena-mena dalam kehidupan pribadinya, keluarganya, rumahnya atau dalam

    hubungannya dengan orang lain.

    e.  Larangan Penggusuran dengan Paksa

    Komentar Umum No. 7 dari Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

    secara tegas menyatakan bahwa penggusuran dengan paksa bertentangan dengan

    ketentuan dalam Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Penggusuran pada umumnya

    sering terjadi karena konflik bersenjata, kekerasan etnik, pembangunan daerah urban,

     projek pembangunan dan infrastruktur dan perbaikan kota. Penggusuran dilarang

    kecuali dilakukan dengan tata cara sesuai dengan ketentuan yang berlaku di hukum

    internasional. Pasal 2 ayat (1) dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya mewajibkan

     Negara Pihak untuk menggunakan segala cara untuk memenuhi hak terhadap papan

    termasuk melakukan segala cara untuk mencegah penggusuran paksa. Negara Pihak

     juga berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah agar pihak ketiga tidak

    melakukan penggusuran paksa.Pasal 17 dari Kovenan Sipil dan Politik melengkapi

     pasal 2 (1) dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam konteks hak atas tanah.

    8 "General Comment 4: The Right to Adequate Housing (Art. 11(1))," (Commitee on Economic, Social, and

    Cultural Rigths (CESCR), 13 Desember 1991).

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    10/38

      7

    Pasal 17 ini melarang adanya intervensi secara semena-mena terhadap rumah

    seseorang. Pasal 2 (3) dari Kovenan Sipil dan Politik selanjutnya mewajibkan Negara

    Pihak untuk menyediakan pemulihan yang efektif termasuk kompensasi yang

    memadai terhadap setiap orang yang haknya dilanggar.

    f.  Hak atas pangan dan air

    Hak-hak asasi lain yang berkaitan erat dengan akses terhadap tanah adalah hak

    atas pangan, air, kesehatan, dan bekerja. Di daerah pedesaan, akses terhadap tanah

    sangat penting dalam memenuhi hak atas pangan dan hak untuk bebas dari kelaparan

    sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

    Berdasarkan Kovenan ini, Negara Pihak harus memperbaiki metode produksi,

    konservasi, dan distribusi pangan. Salah satu caranya dengan membangun sistem

    reformasi agraria sedemikian rupa untuk mencapai pembangunan dan penggunaan

    sumber-sumber alam secara efisien. Komentar Umum dari Komite Ekonomi, Sosial,

    dan Budaya menyatakan bahwa untuk menjamin akses terhadap pangan atau sumber-

    sumber pangan, Negara Pihak wajib untuk menjamin akses yang sama terhadap sumber-

    sumber ekonomi termasuk jaminan atas warisan dan hak milik atas tanah kepada setiap

    orang terutama perempuan. Pedoman Food and Agriculture Organization (FAO) yang

    diadopsi Tahun 2004 menyatakan hal yang sama dimana Negara-negara patut

    mempertimbangkan mekanisme hukum dan kebijakan yang konsisten dengan kewajiban

    HAM internasional terutama dalam hal reformasi tanah demi menjamin akses terhadap

    tanah bagi warga miskin dan perempuan.9 

    Special Rapporteur  yang mengurus hak atas pangan secara konsisten menyatakan

     bahwa hak terhadap tanah sangat penting dalam menghormati, melindungi, dan

    memenuhi hak-hak asasi lainnya. Penggusuran warga dengan paksa dari tanah mereka

    merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia atas Pangan terutama jika tanah tersebut

    merupakan alat utama dalam mencari pekerjaan.10 

    9 "Voluntary Guidelines of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations," (Food and Agriculture

    Organisation, 2004).10 Elisabeth Wickeri and Anl Kalhan, "Land Rights Issues in International Human Rights Law," (Institute for Human

    Rights and Business, 2010).

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    11/38

      8

    Sama dengan hak atas pangan, pemenuhan hak atas air sangat tergantung akan

    akses terhadap tanah. Setiap orang berhak atas akses yang cukup terhadap air yang

    sehat, bersih dengan harga yang terjangkau untuk keperluan sehari-hari. Akses terhadap

    air dan makanan dapat terganggu dengan adanya penggusuran paksa.

    g. Hak-hak lainnya

    Hak-hak di dalam HAM saling berkaitan satu sama lain dan akses terhadap tanah

    terletak diantara berbagai hak. Selain berkaitan dengan hak terhadap sandang, pangan,

    dan air, akses terhadap tanah juga sangat berhubungan dengan hak-hak yang lain

    seperti hak atas pekerjaan. Hal ini karena akses terhadap tanah berimplikasi dengan

    tersedianya pangan, air, dan kesehatan.

    2.  Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

    Manusia

    Secara khusus, pengakuan akan hak-hak yang terkait dengan Hak tanah terdapat pada

    UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Economic, Social,

    and Cultural Rights (Kovenan internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan

    Budaya). UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM tidak menyebutkan hak atas tanah

    sebagai salah satu HAM. Namun, ada beberapa pasal yang berkaitan langsung maupun

    tidak langsung dengan hak atas tanah: Berkaitan dengan hak atas papan, pasal 31

    menegaskan bahwa tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. Selanjutnya pasal 36

    tentang hak atas kesejahteraan memberikan pengakuan bahwa setiap orang berhak

    mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi

     pengembangan dirinya, keluarganya, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak

    melanggar hukum.11 Negara menjamin bahwa tidak seorangpun boleh dirampas miliknya

    dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.12  Yang sangat menarik adalah

     pengakuan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial yang diartikan bahwa setiap

     penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Dengan kata lain, hak

    11 "Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia," (1999).12 "Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia," (1999), Pasal 31.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    12/38

      9

    milik dapat dicabut apabila kepentingan umum menghendaki atau benar-benar

    membutuhkannya.13 Lebih lanjut, pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan

    umum hanya diperbolehkan dengan penggantian kerugian yang wajar dan segera sesuai

    dengan ketentuan perundang-undangan. 14 

    a.  Kewajiban Negara

    Dalam hak asasi manusia (HAM), pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah

    negara. Hal ini bisa dilihat dari berbagai Komentar Umum mengenai pasal-pasal dalam

    Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Semua penjelasan dalam Komentar

    Umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara.

    Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mencantumkan

     jaminan mengenai perlindungan HAM: “perlindungan,  pemajuan, penegakan, dan

     pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara,  terutama pemerintah”. 

    Sedangkan dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

     jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 71 yang menyatakan, “ Pemerintah wajib dan 

    bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi 

    manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini (UU 39 Tahun 1999), peraturan

     perundang-undangan  lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang

    diterima oleh  Negara Republik Indonesia”. 

    Ratifikasi kovenan hak sipil dan politik oleh pemerintah Indonesia menimbulkan

    konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia telah

    mengikatkan diri secara hukum. Dengan ratifikasi ini, pemerintah telah melakukan

    kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang-

    undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU.

    13 14 "Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia," Pasal 36.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    13/38

      10

    1.  Secara umum, kewajiban negara terhadap HAM dapat diklasifikasikan menjadi tiga

    kelompok :

    a)  Kewajiban untuk menghormati HAM (to respect )

    Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect ) adalah kewajiban negara

    untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang

    sah (legitimate). Kewajiban ini harus diterapkan pada semua hak, baik hak hidup,

    integritas personal, privasi maupun hak untuk bekerja, hak atas pangan, kesehatan

    dan pendidikan. Kewajiban negara untuk menghormati adalah kewajiban paling

    dasar.  Dalam hubungannya dengan hak-hak yang berkaitan langsung atau tidak

    langsung negara tidak melakukan intervensi terhadap hak milik atas tanah

    sepanjang yang bersangkutan dapat memiliki dan atau menggunakan haknya.

    b) Kewajiban untuk melindungi HAM (to protect ) 

    Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect ) adalah kewajiban

    untuk melindungi hak warga negara bukan hanya terhadap pelanggaran yang

    dilakukan negara, juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh

    entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak

    tersebut. Dihubungkan dengan hak-hak yang terkait dengan tanah, negara

     berkewajiban untuk mengambil upaya upaya untuk menjamin bahwa pihak-pihak

    lain selain negara tidak melanggar hak-hak yang berkaitan dengan tanah seperti

    hak untuk hidup, hak atas pangan dan papan/perumahan termasuk kewajiban

    untuk mencegah terjadinya penggusuran paksa yang dilakukan terutama oleh

     pihak-pihak non-negara. 

    c) Kewajiban untuk memenuhi HAM (to fulf il ) 

    Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara

    untuk mengambil upaya-upaya legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang

     perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Hal ini berarti bahwa negara

     berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan dalam bidang-

     bidang yang terkait dengan pertanahan seperti mekanisme pertanahan dan agraria,

    mekanisme pencegahan dan penyelesaian sengketa tanah, dan lain-lain demi

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    14/38

      11

    untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM lain. Kewajiban ini termasuk juga

    mengambil langkah-langkah demi menjamin akses terhadap tanah untuk

    kelompok masyarakat rentan seperti warga miskin, perempuan, warga minoritas,

    dan kelompok masyarakat asli/tradisional. 

    2.  Disamping ketiga kewajiban pokok HAM, masih ada lagi 2 kewajiban negara lainnya

    meliputi:

    a)  Kewajiban bertindak (obli gation of conduct )

    Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah

    tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak. Dalam hubungannya dengan

    hak-hak yang membutuhkan akses terhadap tanah, negara wajib untuk mengambil

    upaya-upaya hukum, kebijakan, dan upaya lainnya untuk melakukan mekanisme

    reformasi tanah, mekanisme pencegahan dan penyelesaian sengketa tanah serta

    menjamin bahwa kelompok-kelompok rentan seperti kelompok minoritas,

    masyarakat adat, dan kelompok perempuan serta warga miskin mendapatkan

    akses atas tanah. Tanpa jaminan terhadap akses terhadap tanah, hak-hak asasi

    lainnya seperti hak atas pangan, air bersih, perumahan berada pada posisi rawan

    untuk dilanggar.

    b) Kewajiban berdampak (obligation of resul t )

    Kewajiban untuk berdampak mengharuskan negara untuk mencapai sasaran

    tertentu guna memenuhi standar substantif yang terukur. Kewajiban ini

    mensyaratkan bahwa segala tindakan yang diambil oleh suatu negara dalam

     pemenuhan suatu HAM harus mempunyai dampak positif. Dengan demikian,

     berdasarkan tindakan-tindakan yang diambil, negara sudah dapat memprediksikan

    hasilnya. Dalam hal ini, negara tidak dapat berkelit bahwa niatnya untuk

    memajukan HAM namun hasilnya diluar dugaan. Dikaitkan dengan masalah akses

    terhadap tanah, kebijakan reformasi pertanahan contoh kebijakan registrasi tanah

    tidak boleh mengakibatkan tersingkirnya warga miskin untuk mendaftarkan

    tanahnya karena tingginya biaya administrasi. Tanpa kelengkapan administrasi

    kepemilikan tanah maka warga miskin menjadi rawan akan penggusuran paksa.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    15/38

      12

    Dengan kata lain, suatu kebijakan harus dipikirkan terlebih dahulu termasuk

    akibatnya sebelum diambil dan dilaksanakan. Jangan sampai kebijakan yang

     bagus dapat melahirkan suatu pelanggaran HAM yang baru.

    Sebagai pihak yang memangku tanggungjawab, negara dituntut harus

    melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya secara

    sekaligus dan segera. Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal untuk

    dilaksanakan, maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran. Dalam

    konteks pelanggaran, ada dua jenis pelanggaran yang bisa terjadi berkaitan dengan

     pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab negara tersebut, yaitu pelanggaran

    karena disengaja (by commission) dan pelanggaran karena pembiaran (by

    ommision).

    Pelanggaran negara karena disengaja (by commission) terjadi karena negara justru

    malah melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur hak-hak

    warga negara yang semestinya dihormati. Pelanggaran negara karena pembiaran

    (by omission) terjadi ketika negara tidak melakukan suatu tindakan atau gagal

    untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan

    kewajiban hukum. Contoh pelanggaran karena pembiaran ini adalah gagalnya

     pemerintah untuk mengambil langkah-langkah mencegah pihak lain (non-negara)

    untuk melakukan penggusuran paksa sehingga warga miskin yang terkait

    kehilangan tempat untuk berteduh dan mencari nafkah.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    16/38

      13

    C. 

    Akses terhadap Tanah di Indonesia

    Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perlindungan dan jaminan akses terhadap

    tanah menjadi kunci utama dalam pemenuhan hak-hak asasi terhadap pangan,

     papan/perumahan, kehidupan privat, properti, hak-hak perempuan dan kelompok masyarakat

    adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang terkait. Oleh karena itu, menjadi penting bagi

     pembaca untuk mengetahui beberapa topik-topik penting berkaitan dengan pertanahan.

    Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok

    Agraria (UUPA)

    Pada pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960, dikatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam

     pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,

     bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada

    tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

    Dikaitkan dengan hak atas tanah, UUPA (pasal 2 ayat 2) memberi wewenang kepada negara 

    untuk :

    a.  mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

    memelihara bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 

     b.  menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

     bumi, air dan ruang angkasa; 

    c.  menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

     perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 

    Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas

     permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

    orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan

    hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    17/38

      14

    yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar

    diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

    dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang

    lebih tinggi.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    18/38

      15

    D. 

    Jenis jenis Hak Atas Tanah 

    Pasal 4 dari UUPA secara jelas menyebutkan beberapa jenis hak atas tanah yang dapat

    dimiliki oleh orang perorangan maupun badan hukum yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak

     pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan yang masing masing

    akan dijelaskan sebagai berikut :

    1.  Hak Milik

    Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat yang dapat dipunyai orang atas tanahdan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hanya warganegara Indonesia yang

    dapat mempunyai hak milik. Lebih lanjut, pemerintah menetapkan badan-badan hukum

    yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya seperti bank Negara, perkumpulan

    koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial. Terjadinya hak milik, karena

    hukum adat dan Penetapan Pemerintah, serta karena ketentuan oleh undang-undang. Setiap

    tindakan mengalihkan, menghapuskan dan membebankannya kepada pihak lain harus

    didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan pembuktian

    yang kuat.

    2.  Hak Guna Usaha

    Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung

    oleh Negara, perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan dengan jangka waktu 35

    tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka

    waktu dan perpanjangannya berakhir ke pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak

    Guna Usaha di atas tanah yang sama. Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada

     pihak lain. Hak guna usaha dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan Badan Hukum

    yang didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

    Hak guna usaha diberikan paling sedikit luasnya 5 hektar, jika lebih dari 25 hektar

    harus dikelola dengan investasi modal yang layak dengan teknik perusahaan yang baik

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    19/38

      16

    sesuai dengan perkembangan zaman. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha

    adalah Tanah Negara. Hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

    Setiap tindakan untuk mengalihkan, menghapuskan atau membebankan hak guna

    usaha dengan hak lain harus didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran

    dimaksud merupakan pembuktian yang kuat. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan

    utang dengan dibebani hak tanggungan.

    3.  Hak Guna Bangunan

    Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan

    atas tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah Negara, tanah hak

     pengelolaan, tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan

    dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan

     perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru hak guna bangunan di atas tanah yang

    sama.

    Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna

     bangunan dapat dimiliki warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan

     berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna bangunan terjadi

    karena penetapan Pemerintah. Sebagaimana jenis hak lainnya, setiap tindakan

    mengalihkan, menghapuskan, dan atau membebankan hak guna bangunan dengan hak lain,

    harus didaftarkan di kantor pertanahan setempat. Pendaftaran dimaksud merupakan

     pembuktian yang kuat. Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan

    dibebani Hak Tanggungan

    4.  Hak Pakai

    Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari

    tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

    wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

     pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,

    yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala

    sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang.

    Hak pakai dapat diberikan :

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    20/38

      17

    a.  selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk

    keperluan yang tertentu;

     b.  dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

    c.  pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-

    unsur pemerasan.

    Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :

    a.  Warga negara Indonesia

     b.  Orang asing yang berkedudukan di Indonesia

    c.  Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

    d.  Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

    Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya

    dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak pakai atas

    tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan

    dalam perjanjian yang bersangkutan.

    5.  Hak Sewa untuk Bangunan

    Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak

    mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar

    kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :

    a.  Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;

     b.  Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.

    c.  Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai

    syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

    Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :

    a.  Warganegara Indonesia;

     b.  Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

    c.  Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

    Indonesia;

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    21/38

      18

    d.  Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

    6.  Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

    Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya diberikan kepada warganegara

    Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak

    memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah

    itu.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    22/38

      19

    E. 

    Pendaftaran Tanah

    Pendaftaran Tanah merupakan salah satu yang disyaratkan dalam UU Pokok Agraria

    (UUPA). Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran tanah yang

    diamandemen dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 mengatur mengenai proses

     pendaftaran tanah yang terdiri dari:

    -  Pengukuran, pemetaan, dan pencatatan tanah;

    -  Pendaftaran hak-hak atas tanah dan pengalihan hak atas tanah

    Penerbitan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.Dengan didaftarkannya tanah diharapkan dapat menjadi kepastian hukum bagi pemegang hak

    dan masyarakat sekitar, walaupun di dalam praktek, penyimpangan mengenai sertifikat tanah

    seperti sertifikat ganda menjadi sumber permasalahan sengketa tanah. Sayang sekali,

     berdasarkan data statistik 2006, hanya 30% dari 85 juta properti yang sudah disertifikat.15 

    Tidak mengherankan bahwa persoalan kepemilikan tanah akan tetap menjadi akar sengketa

    tanah di kemudian hari. Hal ini jelas akan memberikan dampak negatif terhadap pemenuhan

    hak-hak asasi manusia.

    15 Pidato Joyo Winoto, Head of National Land Agency on the opening session of the national symposium and

    workshop in Tiara Hotel Medan, 13 November 2006

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    23/38

      20

    F. 

    Peralihan dan Hapusnya Hak Atas

    Tanah 

    Hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan sebelumnya dapat beralih karena perbuatan : jual

     beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan warisan. Selanjutnya, hak-hak

    tersebut dapat hapus dalam hal :

    1.  Jangka waktu yang berakhir

    2. 

    Dibatalkan sebelum jangka waktu berakhirnya karena sesuatu syarat yang tidak dapat

    dipenuhi.

    3.  Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang

    4.  Dicabut untuk kepentingan umum

    5.  Diterlantarkan

    6.  Tanahnya musnah

    7.  Beralih ke warganegara asing (khusus Hak Milik) atau badan hukum asing (khusus HGU

    dan HGB

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    24/38

      21

    G. 

    Hak Ulayat

    Perlindungan terhadap masyarakat tradisional dan pengakuan terhadap hak-hak mereka

    secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 dan dipelbagai perundang-undangan baik di tingkat

    nasional maupun daerah. Pasal 18 B ayat (2) dari UUD 1945 mengakui eksistensi dari

    masyarakat adat termasuk hukum adatnya. Pengakuan tersebut juga terdapat dalam Pasal

    67 ayat (1) dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960

    tentang Agraria, pasal 9 ayat (2) dari UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan, dan pasal

    15 huruf (d) dari UU No. 25 Tahun 2007 mengenai investasi. Undang-undang tersebut secarasingkat mewajibkan setiap orang termasuk penanam modal untuk menghormati hukum adat

    dari masyarakat tradisional di segala situasi.

    Hak-hak masyarakat tradisional yang diatur termasuk juga hak adat atas tanah atau yang

     biasa dikenal hak ulayat. Hak ini sangat problematik di lapangan karena kepemilikannya yang

     bersifat kolektif dan seringkali hak ini tidak disertai dengan sertifikat. Problema ini akan

    dijelaskan lebih lanjut dalam bagian ini.

    1.  Definisi

    Apa itu hak ulayat? UU Pokok Agraria tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa

    itu hak ulayat dan masyarakat tradisional. Namun, Peraturan Menteri Pertanahan/Badan

    Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi mengenai tanah ulayat

    sebagai tanah yang diberikan status hak ulayat oleh suatu kelompok masyarakat yang

    mencerminkan masyarakat tradisional. 16  Hal ini berarti bahwa masyarakat tradisional

    tersebutlah yang menentukan sendiri tanah mereka. Pasal 1 dari Peraturan ini, lebih jauh,

    mendefinisikan hak ulayat sebagai hak bersama berdasarkan hukum adat untuk

    menggunakan tanah dan sumber-sumber alam untuk kelangsungan suatu masyarakat adat.

    Hak ini diakui karena adanya hubungan yang sangat erat antara masyarakat tradisional dan

    tanah mereka.

    16 Agrarian Ministry (Menteri Negara Agraria) was changed to ‘National Land Agency’

    (BadanPertanahanNasional).

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    25/38

      22

    Di tingkat daerah, beberapa kota dan kabupaten melalui peraturan daerah memberikan

     beberapa klarifikasi mengenai definisi hak ulayat yang berlaku di daerahnya masing-

    masing. Contohnya adalah Peraturan Daerah dari Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001

    mengenai hak ulayat yang didefinisikan sebagai hak untuk menggunakan tanah dan

    sumber-sumber alam di dalamnya untuk kesejahteraan masyarakat tradisional.17 Berbeda

    dengan Kabupaten Lebak, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008

    menyatakan bahwa hak ulayat adalah hak kolektif dari suatu masyarakat adat untuk

    memiliki tanah ulayat dan mengambil keuntungan dari tanah dan sumber-sumber alam

    yang ada di dalamnya. 18 Dengan kata lain, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat tidak

    hanya memiliki hak untuk menggunakan tanah ulayat tapi juga memilikinya.

    2.  Kepemilikan Hak Ulayat

    Persoalan kepemilikan sangat penting terutama dalam hal akusisi atau peralihan hak untuk

    tujuan apapun. Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999

    menyatakan bahwa suatu masyarakat tradisional dapat mengalihkan kepemilikan tanahnya

    ke pihak lain. Untuk beberapa jenis usaha tertentu seperti pertanian, perkebunan, dan lain-

    lain yang memerlukan hak pakai atau hak guna bangunan, suatu masyarakat adat dapat

    mengalihkan hak menggunakan tanah ulayatnya sementara dengan suatu perjanjian.

     Negara wajib untuk menghormati dan mematuhi perjanjian tersebut.  19 Sebagai akibatnya,

     Negara tidak dapat menerbitkan ijin usaha penggunaan lahan sementara apabila tidak ada

     perjanjian20 diantara masyarakat tradisional dan pengguna lahan / pengusaha.21 Berkaitan

    dengan perkebunan, Pasal 9 (2) dari UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan mengatur

     bahwa setiap orang atau pelaku usaha yang berniat untuk membangun suatu perkebunan di

    tanah ulayat harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat untuk

    memindahtangankan hak atas tanah ulayat tersebut. Sayangnya, ketentuan tersebut tidak

    mempunyai sanksi pidana bagi pelanggar. Dalam kaitannya dengan kehutanan, hak-hak

    masyarakat adat sangat terbatas. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan memberikan

    17 "The 2001 Lebak Law No. 65 on the Protection for Hak Ulayat of Baduy People," (2001), Art. 1 point 4.18 "The 2008 West Sumatra Province Law No. 16 on Hak Ulayat," (2008), Art. 1 point 7.19 "The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat," (1999).20 "The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat," (1999),

    Art. 4.21 "The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat."

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    26/38

      23

    mandat kepada pemerintah sebagai pemegang hak milik atas seluruh hutan di Indonesia.

    Hak ulayat menurut UU ini diartikan sebagai suatu hak untuk mengumpulkan dan

    mengolah sumber-sumber hutan untuk kesejahteraan masyarakat adat.22  UU ini

    membatasi pelaksanaan hak ulayat. Hak-hak ulayat berupa hak untuk mengumpulkan dan

    mengolah hasil hutan tersebut baru dapat dilaksanakan apabila tanah ulayat itu ada dan

    keberadaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Namun, UU ini tidak

    mengklarifikasi bagaimana menentukan keberadaan hak ulayat. Disamping UU, banyak

    kabupaten/ kota juga mulai mengatur mengenai masalah tanah atau hak ulayat melalui

     peraturan daerah. Sebagai contoh adalah provinsi Sumatera Barat yang mempunyai

     peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai hak ulayat. Peraturan daerah tersebut

    mengatur definisi hak ulayat, pemegang hak ulayat, fungsi dan pendaftaran tanah ulayat,

    serta mekanisme pemindahtanganan hak ulayat kepada pihak lain. Peraturan daerah ini

     juga mengijinkan penanam modal untuk menggunakan hak ulayat sepanjang ada perjanjian

    formal antara penanam modal dan masyarakat adat. Demi kepentingan mereka, penanam

    modal diwajibkan untuk memberikan sebagian dari keuntungan perusahaan bagi

    masyarakat adat.  23  Namun, peraturan tersebut tidak mempunyai sanksi hukum apabila

    dilanggar. Sejalan dengan provinsi Sumatera Barat, kabupaten Kampar di provinsi Riau

     juga menerbitkan peraturan daerah yang mewajibkan pengguna tanah untuk mendapatkan

     persetujuan dari semua anggota masyarakat adat jika mereka bermaksud untuk

    menggunakan tanah ulayat. 24  Namun, peraturan tersebut tidak mempunyai sanksi hukum

     jika dilanggar.

    3.  Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat

    Kementerian Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan sebuah

     peraturan mengenai Pedoman Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat. Pedoman tersebut

    sangat umum meliputi dua hal : kepemilikan dan penentuan hak ulayat. Namun, Pedoman

    itu tidak mengatur mekanisme peralihan hak milik dan atau penyelesaian sengketa.

    22 "The 1999 Law No. 41 on Forestry," (1999), Art. 67.23 "The 2008 West Sumatra Province Law No. 16 on Hak Ulayat," Art. 10.24 "The 1999 Law No. 12 of Kampar Regency on Land with Hak Ulayat," (1999), Art. 7.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    27/38

      24

    Selain itu, Badan Pertanahan Nasional telah menyiapkan sebuah mekanisme untuk

    menyelesaikan sengketa tanah yang terbatas pada hak atas tanah.

    Selanjutnya, UU No. 30 Tahun 1999 mengenai Penyelesaian Arbitrasi dan Penyelesaian

    Sengketa Alternatif dengan menggunakan mediator atau arbitrasi dimana semua pihak

    dalam sengketa harus setuju.25 Mekanisme arbitrasi hanya dapat dilakukan untuk sengketa

     berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Penyelesaian Sengketa Alternatif hanya dapat

    dilakukan untuk kasus-kasus perdata. 26  Di dalam penjelasannya, UU ini juga mengakui

    tipe-tipe penyelesaian sengketa lainnya seperti rekonsiliasi, pendapat para ahli, dan lain-

    lain. Beberapa peraturan pelaksana UU ini mengatur secara khusus tipe-tipe sengketa dan

    mekanismenya.27 

    Pertanyaannya adalah apakah mekanisme penyelesaian alternatif dapat diberlakukan dalam

    sengketa tanah. Bahkan sebelum UU tentang Arbitrasi dan Penyelesaian Sengketa

    Alternatif, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan seringkali digunakan

    dalam kasus-kasus tanah. UU ini melegitimasi praktek penyelesaian sengketa di luar

     pengadilan sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia. UU ini juga menentukan kerangka

    waktu bagi proses mediasi dan arbitrasi. UU ini didukung oleh UU No. 17 Tahun 2007

    mengenai Rencana Nasional Jangka Panjang 2005  –   2025 yang berfokus pada

     perkembangan penyelesaian sengketa tanah melalui sistem administrasi dan pengadilan.

    Di dalam kasus-kasus tanah, negosiasi dan mediasi biasanya melibatkan satu atau beberapa

    komponen masyarakat seperti: pemimpin adat, pegawai dari Badan Pertanahan Nasional,

    Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, KOMNAS HAM

    serta para aktivis sebagai mediator.28  Meskipun mekanisme mediasi menyodorkan

     penyelesaian yang cepat dan tidak mahal, mekanisme ini hanya dapat dilakukan dengan

    efektif apabila seluruh pihak mau bekerjasama dan memiliki itikad baik mengingat sifat

    25 "The 1999 Law No. 30 Arbitration and Alternative Dispute Settlement," (1999).26  Ibid.27 For example: 2000 Government Regulation No. 54 on the Agency for Settling Environmental Disputes.28 Irin Siam Musnita, "Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong"

    (University of Diponegory, 2008), p. 88.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    28/38

      25

    dari mediasi adalah suka rela dan amat sangat tergantung dari itikad baik dan kesediaan

    dari masing-masing pihak.29 

    4.  Permasalahan mengenai Hak Ulayat

    Meskipun masyarakat adat dan kebudayaannya termasuk hak atas tanah telah diatur dan

    dilindungi dalam berbagai ketentuan, beberapa permasalahan terus muncul di lapangan.

    Pertama, hukum mengenai pertanahan sangat rumit dan saling tumpang tindih. Hal ini

     juga berlaku terhadap tanah ulayat. Lebih jauh, sebelum menentukan adanya tanah ulayat,

     beberapa peraturan mensyaratkan pengertian masyarakat adat. Siapa yang disebut sebagai

    masyarakat adat sehingga berhak memiliki hak ulayat atas tanah ulayat? Keputusan dari

    Direktur Jenderal Kehutanan dan Perkebunan No. 922/VI-PHT/2000 tentang Pedoman

    Penyelesaian Sengketa Tanah memberikan definisi mengenai masyarakat adat sebagai

    suatu kelompok masyarakat yang terikat oleh hukum adat berdasarkan kesamaan tempat

    tinggal atau keturunan. Lebih lanjut, peraturan ini juga mensyaratkan dua hal: hak ulayat

    hanya berlaku apabila masyarakat terikat oleh hukum adat dan apabila hukum adat juga

     berlaku terhadap tanah ulayat tersebut.30 

    Di lapangan, tidak mudah untuk menentukan masyarakat adat yang berhak untuk

    memegang hak ulayat karena proses integrasi dan transmigrasi.31  Sering kali dijumpai,

    suatu kelompok adat mengontrol suatu area untuk hidup, bercocok tanam, dan berproduksi

    turun temurun tetapi tidak jelas apakah area tersebut merupakan hak ulayat atau tidak.32 

    Pemerintah daerah mencoba untuk memberikan definisi mengenai masyarakat adat yang

    akan digunakan di daerahnya namun hal ini pun tidak mudah mengingat mobilitas dan

    keragaman masyarakat di daerahnya terutama di daerah perkotaan.

    Kedua, yang sering dijumpai di lapangan adalah kesulitan dalam pembuktian. Hukum

    nasional mengenai pertanahan membutuhkan adanya sertifikat sebagai bukti kepemilikan

    29 "Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong" (University of Diponegory,

    2008), p. 104.30  Letter of Director General of Forestry and Plantation No. 922/VI-PHT/2000 on the Guidelines for Dispute

    Settlement for HakUlayat.31 Laurens Bakker, ""Can We Get Hak Ulayat?": Land and Community in Pasir and Nunukan, East Kalimantan,"

    (Berkeley: Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley, 23 May 2008).32  I Ketut Gunawan, The Politics of the Indonesian Rainforest : A Rise of Forest Conflicts in East Kalimantan

     During Indonesia's Early Stage of Democratisation  (Bonn: Civillier Verlag Gottingen, 2004), p. 76.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    29/38

      26

    tanah. Sayangnya, hukum adat tidak mensyaratkan adanya sertifikat sebagai bukti

    kepemilikan tanah. Meskipun telah ada usaha dari pemerintah daerah untuk mendaftarkan

    tanah ulayat supaya mendapatkan bukti kepemilikan, 33 di lapangan tidak selalu demikian.

    Tidak semua pemerintah daerah mempunyai peraturan yang mewajibkan pendaftaran tanah

    ulayat. Oleh karena itu perbedaan pandangan antara hukum adat dan hukum Negara sering

    kali menimbulkan permasalahan tanah terutama dalam hal peralihan peruntukan atau hak

    tanah atau akusisi tanah.

    Ketiga, merupakan masalah laten. Peraturan perundang-undangan mengenai tanah sangat

    rumit, sporadik, dan saling tumpang tindih sehingga harmonisasi hukum menjadi

     permasalahan utama. Konflik antar hukum menjadi sesuatu yang sering kali sukar untuk

    dihindari. Sebagai contoh : Keputusan Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan

     Nasional) yang berlaku di seluruh Indonesia hanya mendefinisikan Hak Ulayat sebagai hak

    untuk menggunakan tanah ulayat, sementara di Peraturan Daerah Sumatera Barat

    sebagaimana telah diuraikan diatas Hak Ulayat diartikan tidak hanya hak untuk

    menggunakan tanah tapi juga memiliki tanah. Pertanyaannya adalah: yang mana yang

     berlaku? Selain masalah isi, kerumitan juga ditambah dengan badan pelaksana peraturan

    yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi antara mereka.

    33 "The 1999 Law No. 12 of Kampar Regency on Land with Hak Ulayat."

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    30/38

      27

    H. 

    Penggusuran Paksa

    Penggusuran Paksa biasanya didefinisikan sebagai tindakan memindahkan atau mengusir

    seseorang atau kelompok dari tempat tinggal atau lahannya yang bertentangan dengan

    keinginan mereka sendiri dan biasanya tanpa perlindungan yang sesuai.

    1.  Beberapa macam penyebab penggusuran paksa, antara lain:

    a) 

    Konsentrasi penguasaan asset berupa tanah atau rumah oleh pemilik modal/penguasaatau pemberian hak kepada segelintir orang. Akhirnya, masyarakat terutama warga

    miskin tersingkirkan dan tidak dapat memiliki lahan atau tempat tinggal.

     b)  Perubahan atau peralihan fungsi ruang /penataan ruang. Perubahan peruntukan tanah

    acap kali mengorbankan hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat

    miskin terutama terpaksa harus pindah ke daerah-daerah yang terlarang karena

    ketidakmampuan mereka untuk memiliki tanah.

    c)  Alasan Ketertiban dan keindahan. Dengan alasan ketertiban dan keindahan, banyak

    terjadi penggusuran paksa yang dilegalisasi oleh berbagai peraturan perundang-

    undangan. Misalnya saja Perda No. 8 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Perda

    11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta. Banyak warga miskin

    yang terpaksa membangun rumah di lahan terlantar, lahan hijau, bantaran kali,

    kolong jembatan, kolong tol, dan tempat yang dilarang lainnya karena tidak dipenuhi

    hak atas perumahannya oleh pemerintah. Perda No. 8 Tahun 2007 tersebut

    menjatuhkan sanksi berupa ancaman pidana penjara minimal 30 hari maksimal 180

    hari karena menyalahgunakan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum

    (Pasal 12 ayat d) atau dilarang membangun dan bertempat tinggal di bawah jalan

    layang, di bawah tol, jalur hijau, taman dan tempat umum (pasal 20 d).

    d)  Penggunaan untuk kepentingan umum. Dari sekian banyak alasan, alasan

     penggunaan untuk kepentingan umum merupakan alasan yang paling sering

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    31/38

      28

    digunakan oleh para pihak. Banyak pihak sering menggunakan alasan ini untuk

    melestarikan kepentingan yang lain. Contohnya: penggusuran masyarakat di

    Rawasari dengan alasan untuk membangun ruang terbuka hijau, ternyata digunakan

    untuk membangun apartemen. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012 tentang

    Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, ada beberapa alasan

    yang dapat digunakan untuk kepentingan umum dan pembangunan:

    1)  pertahanan dan keamanan nasional;

    2)  jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas

    operasi kereta api;

    3)  waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan

    sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

    4) 

     pelabuhan, bandar udara, dan terminal;

    5)  infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

    6)  pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

    7)  jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

    8)  tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

    9)  rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

    10)  fasilitas keselamatan umum;

    11)  tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;

    12)  fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;

    13)  cagar alam dan cagar budaya;

    14)  kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

    15)  penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta

     perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;

    16)  prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

    17)  prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

    18) 

     pasar umum dan lapangan parkir umum.

    e)  Penelantaran tanah.

    Berdasarkan data statistik, BPN mencatat lebih dari 7 juta hektar lahan yang

    ditelantarkan di Indonesia. Data statistik tersebut tidak termasuk tanah-tanah pribadi

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    32/38

      29

    yang tidak digunakan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11

    Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, namun tidak

    dilaksanakan dengan tegas. Hal ini mengakibatkan banyaknya sengketa tanah karena

     pendudukan masyarakat tanpa ijin di tanah-tanah terlantar. Beberapa komentator

    menyebutkan bahwa penggusuran karena penelantaran tanah disebabkan karena

    ketidak jelasan dari UUPA sendiri. Di satu sisi, ada larangan penelantaran tanah yang

    dapat diancam dengan pidana paling lama 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya

    Rp. 10.000-.34  Di sisi lain, tanah mempunyai fungsi sosial yang dapat digunakan

    untuk kepentingan sosial dan masyarakat banyak. Alasan inilah yang sering

    digunakan oleh masyarakat untuk mendiami lahan kosong tanpa memperdulikan

    siapa pemiliknya.

    2. 

    Akibat Penggusuran Paksa

    Penggusuran tanah selalu membuat momok yang menakutkan bagi masyarakat.

    Tidak hanya caranya yang sering kali menggunakan kekerasan sehingga tidak

    mengherankan kadang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, tapi yang lebih

    menakutkan adalah akibat yang ditimbulkan dari penggusuran itu sendiri. Korban

     penggusuran paksa pasti akan terganggu kehidupannya. Mereka pasti kehilangan tempat

    tinggal dan harus hidup di tempat-tempat penampungan atau berpindah-pindah dari

    tempat ke tempat lain. Tidak jarang harus tinggal di kolong jembatan atau di bantaran

    kali atau di daerah-daerah yang berbahaya karena mereka tidak mempunyai pilihan.

    Penggusuran paksa jelas akan menghilangkan rasa aman, terisolasi dari komunitas

    dan keluarga, hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas identitas, hilangnya

    hak untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk mengenyam pendidikan, kerugian

    ekonomi, materi dan juga kerugian psikologis berupa trauma yang sangat mendalam.

    Dengan kata lain, penggusuran menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

    34 Pasal 52 UUPA dan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang

    menegaskan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.  

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    33/38

      30

    3. 

    Penggusuran Paksa Adalah Pelanggaran HAM

    Komunitas internasional telah lama mengakui bahwa penggusuran paksa adalah

     persoalan yang serius. Pada Tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB mencatat

     perlunya perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar haruslah

    saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi telah

    ditentukan”. Pada Tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman Tahun 2000, yang

    disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban utama (pemerintah)

    untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya,

     bukannya merusak atau menghancurkannya”. Agenda 21 menyatakan bahwa “setiap

    orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiran- paksa dari rumah atau tanah mereka.”

    Dalam Agenda Pemukiman, negara-negara menyatakan-diri “melindungi semua orang

    dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan oleh hukum dari pengusiran-paksa

    yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia sebagai pertimbangan;

    (dan) jika pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa

    solusi-solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.” Komisi Hak Asasi Manusia juga

    telah mengindikasikan bahwa “penggusuran paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak

    asasi manusia.”  Dasar-dasar hukum internasional sebagaimana telah diuraikan diawal

    menandaskan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM.

    4. Penggusuran dalam Keadaan Luar Biasa

    Walaupun penggusuran paksa merupakan suatu pelanggaran HAM, sifatnya tidak

    absolut. Ini berarti penggusuran masih dapat dibenarkan dalam keadaaan yang sangat

    luar biasa. Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengatakan

     bahwa pengusiran “hanya dapat dibenarkan di dalam keadaan yang luar biasa, dan sesuai

    dengan prinsip- prinsip hukum internasional yang terkait”. Dalam hal ini ada beberapa

     persyaratan tentang tata cara atau prosedur penggusuran paksa yang harus diikuti :

    a. 

    Penggusuran merupakan jalan terakhir dimana tidak ada jalan lain selain penggusuran

    itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa sebelum ada

     penggusuran terutama yang melibatkan banyak orang, semua kemungkinan lain telah

    dijelajahi dengan melakukan perundingan dengan para korban penggusuran. Hal ini

    untuk menghindari terjadinya penggusuran dengan cara kekerasan.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    34/38

      31

     b.  Penggusuran harus diikuti suatu upaya pemulihan berupa kompensasi materi atau

     penggantian lahan sehingga penggusuran tidak menyebabkan seseorang kehilangan

    tempat tinggal atau terjadi pelanggaran HAM baru lainnya. Pemerintah dengan

    demikian harus memastikan bahwa alternatif tempat tinggal atau lahan yang memadai

    harus tersedia bagi orang yang terkena penggusuran.

    c.  Penggusuran tersebut harus dilaksanakan dengan kepatuhan yang ketat pada prinsip-

     prinsip umum kewajaran dan kesebandingan ( general principles of reasonableness

    and proportionality), meliputi:

    1) Pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang

    akan digusur sebelum tanggal penggusuran;

    2) Informasi tentang penggusuran lahan baik untuk peruntukkan lain atau tempat

    tinggal, harus diberitahukan kepada semua yang terkena penggusuran dalam waktu

    yang cukup;Pejabat pemerintah atau pewakilan mereka harus hadir selama

     penggusuran, terutama ketika banyak orang sedang diusir;

    3) Petugas yang melakukan penggusuran harus memiliki tanda pengenal yang jelas

    dan sesuai;

    4) Penggusuran tidak boleh dilakukan ketika cuaca sangat buruk atau di malam hari,

    kecuali para penghuni menyetujuinya;

    5) Bantuan hukum harus diberikan bagi mereka yang memerlukannya.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    35/38

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    36/38

      33

    2.  Pemberantasan Korupsi dalam hal pertanahan

    Selain akses terhadap informasi, pemberantasan korupsi dalam hal pertanahan menjadi

    suatu kunci yang penting dalam mekanisme pertanahan. Transparansi sangat diperlukan

    dalam hal:

    a.  Mekanisme pendaftaran, pengukuran, dan peralihan tanah dan peruntukannya sehingga

    setiap orang mampu untuk mengurus tanahnya dan mendaftarkan tanahnya;

     b.  Mekanisme perencanaan tata kota/wilayah;

    c.  Dalam hal tender atau kontrak antara pengusaha dan pemerintah/pemerintah daerah

    sangat diperlukan.

    3.  Persetujuan berdasarkan informasi yang benar (informed consent )

    Setiap persetujuan yang dibuat oleh seseorang berkaitan dengan tanahnya harus

     berdasarkan persetujuan bebas berdasarkan informasi yang benar. Ada tiga elemen yang

    sangat penting dalam hal ini:

    a.  Orang yang memberikan persetujuan harus memperoleh pengertian yang jelas

    mengenai fakta-fakta, implikasi dan akibatnya di kemudian hari dari persetujuan yang

    akan dilakukannya. Oleh karena itu informasi yang diperoleh harus jelas, benar, dan

    akurat serta sosialisasi menjadi sangat penting.

     b.  Orang yang memberikan persetujuan harus cukup umur dan sehat sehingga mampu

    memberikan persetujuannya.

    c.  Tidak ada paksaan bagi yang bersangkutan untuk menyetujui.

    4.  Dialog dan partisipasi dalam masyarakat

    Dialog dan partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan merupakan kunci dalam berbagai

    masalah HAM. Hal ini tidak terkecuali hak atas tanah. Masyarakat perlu diikutsertakan

    dalam setiap kebijakan pemerintahan dan atau bahkan swasta dalam mengelola tanah dan

    tata ruang. Hal ini merupakan suatu konsekwensi dari sifat sosial dari tanah itu sendiri.

    Pemerintah perlu juga untuk menjamin adanya mekanisme bagi masyarakat untuk

    memberikan input dan protes terhadap kebijakan-kebijakan pertanahan atau hal-hal yang

    dapat berakibat pada pertanahan termasuk di dalamnya adalah mengkritisi masalah

    AMDAL dan/atau kebijakan investasi dari investor yang akan menggunakan lahan.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    37/38

      34

    Pemerintah selanjutnya juga harus menjamin bahwa partisipasi masyarakat tersebut

    didengar dan diperhatikan. Jangan sampai partisipasi masyarakat hanya dianggap sebagai

     prosedur yang harus ada namun tidak dianggap.

    5.  Kebijakan yang sensitive terhadap kaum rentan seperti: miskin, masyarakat adat, dan

     perempuan;

    Berdasarkan data KOMNAS HAM dan Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum

    dan HAM dalam hal permasalahan dengan tanah biasanya kaum rentan seperti masyarakat

    miskin, masyarakat adat, dan perempuan menjadi korban bagi penggusuran. Hal ini

    dikarenakan keterbatasan sumber-sumber mereka dan lemahnya posisi mereka jika

    dihadapkan dengan para investor maupun pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu sudah

    menjadi tugas pemerintah untuk melindungi mereka dengan membuat program-program

    dan kebijakan pertanahan yang sensitif terhadap kaum rentan.

    6.  Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui Jalur Pengadilan dan di luar Pengadilan

    Mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui jalur pengadilan maupun di luar

     pengadilan seperti mediasi, arbitrasi, dan menggunakan hukum adat yang cepat, mudah

    diakses, dan murah merupakan syarat mutlak bagi penyelesaian sengketa tanah dan

     pencegahan sengketa tanah. Dalam hal penggusuran tidak dapat dihindari, pemulihan

    kepada korban penggusuran seperti kompensasi materiil atau penggantian lahan menjadi

    hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang baru. Dan

    semua mekanisme ini harus dapat diakses oleh siapapun.

  • 8/16/2019 Hak Atas Kepemilikan Tanah

    38/38

    DAFTAR PUSTAKA

    "The 1999 Law No. 12 of Kampar Regency on Land with Hak Ulayat." 1999. 

    "The 1999 Law No. 30 Arbitration and Alternative Dispute Settlement." 1999.

    "The 1999 Law No. 41 on Forestry." 1999

    "The 1999 Regulation of Ministry of Agrarian No. 5 on Guidelines of Dispute Settlement of Hak Ulayat."

    1999.

    "The 2001 Lebak Law No. 65 on the Protection for Hak Ulayat of Baduy People." 2001.

    "The 2008 West Sumatra Province Law No. 16 on Hak Ulayat." 2008.

    Bakker, Laurens. ""Can We Get Hak Ulayat?": Land and Community in Pasir and Nunukan, East

    Kalimantan." Berkeley: Center for Southeast Asia Studies, UC Berkeley, 23 May 2008.

    "Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Cedaw)."

    "General Comment 4: The Right to Adequate Housing (Art. 11(1))." Commitee on Economic, Social, and

    Cultural Rigths (CESCR), 13 Desember 1991.

    Gunawan, I Ketut. The Politics of the Indonesian Rainforest : A Rise of Forest Conflicts in East

     Kalimantan During Indonesia's Early Stage of Democratisation. Bonn: Civillier Verlag

    Gottingen, 2004.

    "Indigenous and Tribal People Convention No. 169." International Labour Organisation, 1989.

    "Klasifikasi Kasus Pelanggaran Ham Oleh Korporasi Tahun 2010 Dan 2011." Jakarta: Komisi Nasional

    Hak Asasi Manusia, 2010 - 2011.

    Musnita, Irin Siam. "Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong."

    University of Diponegory, 2008.

    "Undang-Undang No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia." 1999.

    "Voluntary Guidelines of the Food and Agriculture Organisation of the United Nations." Food and

    Agriculture Organisation, 2004.

    Wickeri, Elisabeth, and Anl Kalhan. "Land Rights Issues in International Human Rights Law." Institute

    for Human Rights and Business, 2010.