Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HAK PENGUASAAN KEKAYAAN ALAM ATAS AIR OLEH NEGARA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
(STUDI ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013
TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG SUMBER DAYA AIR)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
USWATUN KHASANAH
11150490000054
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
iv
ABSTRAK
Uswatun Khasanah NIM 11150490000054 HAK PENGUASAAN KEKAYAAN
ALAM ATAS AIR OLEH NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM (STUDI ATAS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR),
Skripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/1440 H, 1x +
Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian teori kepemilikan
dalam islam dan teori kedaulatan negara, dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif, dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statu approach) dan pendekatan
kasus (case approach). Sumber data yang digunakan data primer dan data
sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
kepustakaan yaitu analisis yurisprudensi.
Penelitian ini menunjukan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013 telah ada kesesuaian dengan teori hukum, bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Kata Kunci : Sumber Daya Air, Penguasaan Sumber Daya Air, Peran
Negara
Dosen Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1986-2018
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat ilahi robbi Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan karunia, ampunan dan
pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta
salam senantiasa tidak lupa tercurahkan kepada junjungan baginda dan suri
tauladan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini. Semoga kelak kita mendapat
syafa’atnya di akhirat.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya, penulis inngin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. AM. Hasan Ali, MA., ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan
Dr. Abdurrauf, MA., sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabaran dalam
memberikan arahan, motivasi, bimbingan dan saran-saran yang sangat
berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., selaku dosen pembimbing
akademik.
5. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman
vi
serta staf yang telah memberikan fasilitas dan menjaga kebersihan fakultas
selama masa perkuliahan.
6. Teristimewa kepada orangtua tercinta Ayahanda Syaffrudin Balfash dan
Ibunda Lilis Sri Mulyati yang telah memberi kasih sayang lahir batin
teramat besar dan memberikan dukungan tiada henti. Serta kepada adik-
adik tersayang Faris Muhammad dan Tuhfatul Maula yang selalu
memberikan semangat untuk segara wisuda.
7. Himpunan Mahasiswa Islam Komfaksy, Keluarga Besar Muamalat,
Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Kelas B, serta
Angkatan 2015 yang telah memberikan dukungan sehingga penulis dapat
berproses di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Teman-teman KKN Gempur 2018, terutama Muthia, Hilmah dan Espe
yang selalu menyemangati dalam penulisan skripsi.
9. Teman-teman SMP (saleb) khususnya Firda, Meisya, Indah, Lulu, Niken,
Liza, Riska, Rizqoh, Fia, Nurindah, Dilla, Alifah, Iif. yang telah
memberikan dukungan kepada penulis.
10. Orang-orang terdekat Evi Fitriah, Kholidah Hanum, Farda Syarifah, Rifa
Rafida, Rifdah Afifah (sobi) yang selalu menjadi teman baik bagi penulis.
Tidak lupa teruntuk Radi Fitrah yang selalu membantu, menyemangati
dalam suka maupun duka dalam penulisan skripsi ini.
Terimakasih kepada orang-orang yang telah memberikan semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini, mohon maaf apabila tidak dapat di ucapkan
namanya satu per satu, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Jakarta, 27 September 2019
Penulis
Uswatun Khasanah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 3
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................................ 4
D. Metode Penelitian ............................................................................................. 5
E. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 7
BAB II KONSEP KEDAULATAN DAN KEPEMILIKAN DALAM PENGUASAAN
ATAS SUMBER DAYA AIR
A. Kajian Teoritis .................................................................................................. 9
1. Pengertian Teori Kedaulatan ..................................................................... 9
2. Pengertian Teori Kepemilikan .................................................................. 10
3. Konseptual ................................................................................................ 11
B. Hak menguasai Negara ................................................................................... 12
1. Pengertian Kekuasaan Negara .................................................................. 12
2. Pengertian Menguasai Negara .................................................................. 13
3. Makna Penguasaan Negara ...................................................................... 14
4. Penguasaan Negara Menurut Konstitusi .................................................. 14
5. Penguasaan Negara dalam Perundang-Undangan .................................... 15
C. Pengelolaan Atas Sumber Daya Air ............................................................... 16
D. Penguasaan Sumber Daya Air oleh Negara ................................................... 17
viii
E. Hak Milik ....................................................................................................... 18
1. Pengertian Hak Milik ............................................................................... 18
2. Sebab-Sebab Kepemilikan ....................................................................... 22
3. Sifat Kepemilikan ..................................................................................... 23
4. Macam-Macam Kepemilikan ................................................................... 23
F. Mahkamah Konstitusi ..................................................................................... 25
G. Pengujian Undang-Undang ............................................................................ 26
H. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................................. 27
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013
TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1945
TENTANG SUMBER DAYA AIR
A. Kronologi Kasus ............................................................................................. 32
B. Pertimbangan Hukum ..................................................................................... 34
C. Amar Putusan ................................................................................................. 38
BAB IV ANALISIS PERAN ATAU KEWAJIBAN NEGARA DALAM
PENGUASAAN SUMBER DAYA AIR OLEH NEGARA
A. Peran atau kewajiban negara terhadap penguasaan Sumber Daya Air oleh
negara menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 .. 41
B. Penguasaan Sumber Daya Air oleh Negara menurut hukum islam .............. 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 65
B. Saran ................................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, para tokoh nasional yang terbentuk dalam wadah yang
disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kemudian dikenal
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di samping
mengatur tata kenegaraan juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan
kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.
Corak Undang-Undang Dasar Neagara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai konstitusi ekonomi terlihat pada materi Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, yang berbunyi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudiaan hadirlah Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air telah menimbulkan berbagai reaksi diseluruh kalangan masyarakat
karena Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tersebut dinilai telah
menyebabkan adanya privatisasi air, yaitu penguasaan air dari pemerintah
kepada swasta. Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 18 Februari 2015
2
melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 telah membatalkan berlakunya UU No.
7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA).1
Di Indonesia, ide privatisasi pengelolaan air dimulai pada tahun 1991,
ketika Bank Dunia menawarkan pinjaman USD 92 juta kepada PAM Jaya
untuk memperbaiki infrastrukturnya. Pada 1999, Bank Dunia memberikan
pinjaman lagi di sektor sumber daya air atau Water Resources Sector
Adjustment Loan (WATSAL) sebesar USD 300 juta untuk penataan kembali
kebijakan sektor air di Indonesia. Penataan ini untuk memberikan peluang
partisipasi sektor swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air.
Berdasarkan paradigma pengelolaan sumberdaya air yang dijelaskan di
atas, maka ada kesalahan mendasar dari UU SDA terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu adalah air dipandang
sebagai barang ekonomi dengan diperkenalkannya hak guna air yang terdiri
dari hak guna pakai dan hak guna usaha dan penyelenggaraan oleh swasta
(privatisasi). Hal inilah yang menjadi dasar alasan Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan semua pasal dalam UU SDA pada tanggal 18 Februari
2015 melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013.2
Pengelolaan privatisasi air bukanlah barang baru di Indonesia. Proyek
privatisasi air pertama terjadi di Serang Utara tahun 1993, kemudian Batam
tahun 1996. Lalu pada tahun 1998 privatisasi air paling kontroversi terjadi di
Indonesia, ketika dua perusahaan asing Suez Lyonnaise des Eaux (Perancis)
dan Thames Water (Inggris) mendapatkan konsesi 25 tahun untuk
menyediakan layanan air di Jakarta melalui proses penunjukan langsung.
Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan
pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam
terdiri dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah) (ii) kepemilikan umum
1 MK Batalkan UU Sumber Daya Air, http://www.hukumonline.com/mkbatalkan-uu-
sumber-daya-air, diakses pada tanggal 5 April 2016, Pukul 15.40 WIB 2 Justicia M. Grace Istia, “Implikasi Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air Terhadap Perusahaan Pengelola Air (Pdam Kota Surakarta Dan PT
Tirta Investama Klaten)”, Privat Law, Vol. IV, No. 2, (Juli - Desember 2016), h. 19.
3
(milk’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).3 Terminologi konsep
kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi
konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep
kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan.
Islam mengakui kepemilikan individu atau swasta akan tetapi tidak boleh
memilikinya dalam arti seluas-luasnya.
Dalam pandangan fiqih siyasah, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi semua
kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air, hal ini sesuai dengan kaidah
fiqih yang berbunyi:4
تصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة
”kebijakan yang di ambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus di bebankan
(diarahkan) kepada kepentingan umum”
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan pada latar belakang di atas,
peniliti tertarik untuk melakukan penelitian skripsi mengenai “Hak
penguasaan kekayaan alam atas air oleh negara dalam perspektif hukum
islam dan hukum positif (Studi Atas Putusan Mahkamah Konstitusi No.
85/Puu-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun2004 Tentang Sumber Daya Air)”.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, dapat
diidentifikasikan ke dalam beberapa masalah yaitu :
1) Adanya privatisasi air dari pemerintah kepada swasta
2) Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap masyarakat dalam
pengelolaan air
3 Rofiq Yunusal-Mishry, Ushul al-Iqtishod al-Islami, (Beirut: Dar as-Syamiyah,1993), h.
41. 4 Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h
.124
4
3) Terdapat beberapa dampak privatisasi air yang dilakukan
perusahaan swasta
4) Masyarakat tidak mendapatkan haknya dalam penggunaan air
dengan baik
5) Kurangnya peran negara dalam mengatasi atau memegang Sumber
Daya Air negara
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, penulis memberikan
batasan dalam masalah ini agar lebih fokus dan terarah dan tidak
meluas. Maka dari itu batasan masalah yang akan diteliti yaitu
mengenai “Hak Negara dalam Kekuasaan atas Sumber Daya Air”.
3. Perumusan Masalah
Berikutnya untuk mempermudah, penulis merumuskan beberapa
masalah yaitu :
1) Apa peran atau kewajiban negara terhadap penguasaan sumber
daya air munurut putusan mahkamah konstitusi nomor 85/PUU-
XI/2013?
2) Bagaimana pandangan hukum islam mengenai penguasaan sumber
daya air oleh negara?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian :
1) Menganalisis mengenai penguasaan air oleh negara dalam
perspektif hukum islam.
2) Menganalisis peran negara dalam penguasaan Sumber Daya Air.
D. Manfaat Penelitian
1) Manfaat bagi penulis, untuk mengembangkan ilmu yang telah
didapatkan selama perkuliahan, dan juga memeberikan wawasan
bagi penulis dalam pengelolaan air oleh negara.
2) Manfaat bagi praktisi,memberikan referensi untuk pemerintah dan
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
5
3) Manfaat bagi akademis, memberikan referensi dan informasi untuk
peneliti selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan
yuridis normatif. Menurut Soerjano Soekanto pendekatan yuridis
normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk di teliti
dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan
dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang di
teliti.5
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian yurudis normatif, terdapat beberapa macam
pendekatan. Adapun dalam penyusunan skripsi ini penulis
menggunakan dua macam pendekatan yaitu:6
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan ini digunakan dengan menalaah norma-norma
hukum seperti undang-undang dan regulasi yang bersangkutan
dengan isu hukum yang ditangani. Sehingga hasil telaah tersebut
berupa argumentasi dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian
normatif bertujuan untuk mempelajari kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama menegenai kasus-kasus
yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam
yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus
penelitian.
5 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Rajawali Pers, Jakarta, 2001), h. 13-14 6 Jhonny Ibrahum, teori dan metodologi penelitian hukum normatif, (bayumedia
publishing, juli 2008), h. 299
6
3. Sumber dan Jenis Data Penelitian
Data yang akan digunakan di dalam penelitian ini meliputi data
sekunder dan data primer, yaitu :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang terdiri atas peraturan
perundang-undang yang diurut berdasarkan hierarki Undang-
Undang, serta putusan-putusan hakim.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang terdiri atas buku-buku
teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan komentar
atas putusan pengadilan yang terkait dengan topik penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, maka
data yang akan di kumpulkan adalah dengan analisis yurisprudensi.
Teknik analisis ini diawali dengan menggabungkan berbagai dokumen
termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi
islam yang berkaitan dengan penguasaan sumber daya air oleh negara.
7
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kemudahan dalam memahami penelitian serta
memberikan gambaran yang menyeluruh secara garis besar, sistematika
penulisan penelitian dibagi menjadi :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KONSEP KEDAULATAN DAN KONSEP
KEPEMILIKAN DALAM PENGUASAAN
ATAS SUMBER DAYA AIR
Bab ini membahas mengenai teori-teori kepemilikan
atas sumber daya air, teori-teori kedaulatan negara
atas penguasaan sumber daya air, pengertian
mahkamah konstitusi dan pengujian undang-
undang.
BAB III : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 85/PUU-XI/2013 TENTANG
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR
7 TAHUN 1945 TENTANG SUMBER DAYA
AIR
Bab ini menjelaskan isi duduk perkara,
pertimbangan mahkamah dalam putusan mahkamah
konstitusi nomor 85/PUU-XI/2013 tentang
pengujian undang-undang nomor 7 tahun 1945
tentang sumber daya air.
8
BAB IV : ANALISIS PERAN ATAU KEWAJIBAN
NEGARA DALAM PENGUASAAN SUMBER
DAYA AIR OLEH NEGARA
Berisi tentang hasil dan analisa dari penelitian yang
dilakukan, yang menggunakan konsep kepemilikan
dalam fiqih muamalah dan konsep kedaulatan.
BAB V : PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran yang dapat
diberikan dari hasil penelitian.
9
BAB II
KONSEP KEDAULATAN DAN KEPEMILIKAN DALAM PENGUASAAN
ATAS SUMBER DAYA AIR
A. Kajian Teoritis
Dalam kerangka teori penelitian ini, penulis akan membahas
mengenai teori hak penguasaan negara terhadap sumber daya air.
Penulis akan memaparkan tentang pengertian kedaulatan negara dan
kepemilikan. Kemudian penulis akan membahas mengenai hak-hak
dan kewajiban negara atas sumber daya air yang dimiliki dan
pengujian undang-undang sumber daya air oleh putusan mahkamah
konstitusi.
1. Teori Kedaulatan
Jika kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan
disebut sebagai kedaulatan, tentang pengertian kedaulatan ini
terdapat perbedaan pendapat. Mula-mula kedaulatan diartikan
sebagai kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, karena tidak ada
kekuasaan lain yang mengatasinya (superlatif).
Kemudian dengan timbulnya hubungan antarbangsa dan
negara, maka kedaulatan itu mulai terasa terbatas lebih-lebih
dengan adanya perjanjian-perjanjian internasional di mana dengan
keterikatan dalam perjanjian internasional tersebut berarti
mengurangi kedaulatan negara keluar. Kedaulatan ke dalam
dengan dibatasi oleh hukum positifnya, sehingga arti kedaulatan ini
menjadi relatif.1
Pengertian kedaulatan tidak sama menurut beberapa sarjana
karena itu kedaulatan itu sering ditinjau menurut sejarahnya.
Menurut urutan waktunya, macam-macam kedaulatan dikenal
sebagai berikut :
1Moh. Kusnadi, danBintan R. Saragih, Ilmu Neagara, (Gaya media pratama jakarta), h.
122
10
1. Kedaulatan Tuhan
2. Kedaulatan Raja-Raja
3. Kedaulatan Rakyat
4. Kedaulatan Negara
5. Kedaulatan Hukum
2. Teori Kepemilikan
Dalam pandangan Islam, kepemilikan terhadap sumber
daya alam yang ada di bumi pada dasarnya ialah milik Allah SWT
(QS. Al-Nuur: 33). Kepemilikan yang ada pada Allah SWT pada
dasarnya ialah semata untuk menciptakan kesejahteraan dan
keadilan bagi segenap manusia.
Untuk mengatur penggunaan kepemilikan tersebut di muka
bumi, Allah mengaturnya lewat pesan universal Al-Qur’an dan
pesan-pesan Rasul-Nya, seperti yang ada dalam Hadis atau
Sunnah. Pesan Al-Qur’an dan Hadis inilah yang kemudian
melahirkan ijtihad ulama’. Hak kepemilikan sumber daya alam
dalam Islam ditegaskan sangat spesifik dalam sebuah Hadis yang
berbunyi: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama)
dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud,
Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam pandangan fiqih siyasah, pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya
dengan memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan
terhadap air, hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi:2
تصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة ”kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus
dibebankan (diarahkan) kepada kepentingan umum”.
2Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.124
11
3. Konseptual
Kerangka konseptual akan menjelaskan beberapa konsep terkait
istilah-istilah yang di gunakan dalam penelitian ini:
1. Sumber Daya Air, adalah sumber daya yang berupa air yang
berguna atau potensial untuk memenuhi kebutuhan bagi
kehidupan manusia.
2. Kekuasaan Negara, adalah wewenang yang diberikan kepada
penguasa atau pemerintah untuk mengatur dan menjaga wilayah
kekuasaannya dari penguasa negara lain.
3. Pengelolaan Sumber Daya Air, adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelanggaraan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya air rusak.
4. Privatisasi Air, adalah berpindahnya pengelolaan air baik
sebagian maupun seluruhnya dari sektor publik kepada sektor
swasta.
5. Hak Asasi Manusia, adalah hak-hak dasar yang dimiliki setiap
pribadi manusia sebagai anugrah tuhan yang dibawa sejak lahir.
6. Kepemilikan, adalah kekuasaan yang didukung secara sosial
untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara
eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi atau publik.
7. Mahkamah Kontitusi, adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
8. Kedaulatan Negara, adalah kekuasaan mutlak atau kekuasaan
tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang di
punyai oleh sistem negara nasional yang berdaulat.
12
B. Hak Menguasai Negara
1. Pengertian Kekuasaan Negara
Seacara umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai
dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri. Oleh Miriam
Budiarjo,3 kekuasaan diartikan sebagai “kemampuan seseorang atau
kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan
itu”.4
Sebagai suatu konsep hukum publik, maka wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnyatiga komponen, yakni pengaruh, dasar hukum, dan
konformitas hukum.5Komponen pengaruh ialah penggunaan
wewenangdimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.
Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat
ditunjuk dasar hukumnya. Adapun komponen konformitas hukum
adalah mengandung makna adanya standar wewenang baik untuk
semua jenis wewenang maupun untuk jenis wewenang tertentu.6
Tanpa adanya penguasaan negara, maka tidak mungkin tujuan
negarayang telah ditetapkan dalam konstitusi atau UUD dapat
diwujudkan. Teori kedaulatan negara melihat bahwa kekuasaan negara
itu ada karena negaralah yang berdaulat.7 Pada dasarnya pemberian
kekuasaan bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta 1977), h. 35
4 Moh. Kusnadi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Neagara,(Gaya media pratama jakarta),h.
115 5Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta 1977), h. 18
6 Ada banyak teori mengenai pemberian kekuasaan kepada negara seperti teori teokrasi,
yang menyatakan bahwa asal mula dari kekuasaan itu sebenarnya datangnya dari tuhan. Teori
hukum alam justru menyatakan sebaliknya, bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, kemudian
kekuasaan yang ada pada rakyat itu diserahkan kepada seseorang yang disebut raja untuk
menyelenggarakan kepentingan masyarakat dengan melalui suatu perjanjian masyarakat. Dalam
teori hukum modern, pelimpahan kekuasaan tersebut kepada negara merupakan suatu mandat atau
pemberian kewenangan kepada negara melalui suatu ketetapan. 7 Sjachran Basah, Loc, cit.
13
1. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif” disebut juga sebagai
pembentukan kekuasaan, karena dari keaadaan yang belum ada
menjadi ada. Pembentukan kekuasaan ini menyebabkan timbulnya
kekuasaan baru.
2. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif” disebut juga
sebagai “pelimpahan kekuasaan” karena kekuasaan ini dialihkan
kepada badan hukum publik lain.
Umumnya kekuasaan negara itu dijalankan atau diselenggarakan
berdasar pada teori pemisahan atau pembagian kekuasaan8 yang
dikenal selama ini akan terbagi kedalam tiga bagian, yakni kekuasaan
negara yang melaksanakan perundang-undangan, kekuasaan negara
yang melaksanakan peradilan dan kekuasaan negara yang
melaksanakan pemerintahan.9
2. Pengertian Hak Menguasai Neagara
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, khususnya dalam
alinea keempat, adalah memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal tersebut, maka
ditetapkan dasar dan sistem perekonomian Indonesia dalam suatu
ketentuan dasar, yakni dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Masih banyak yang menilai, bahwa ketentuan dalam pasal tersebut
sukar sekali dipahami dan memerlukan banyak interpretasi, baik karena
cita-cita besar yang terkandung didalamnya maupun karena belum
8 Konsikuensi dari ajaran ini bahwa meskipun ajaran tersebut tidak diterapkan secara
konsikuen diberbagai negara khususnya di indonesia, akan tetapi ajaran ini telah memberikan
dasar untuk membatasi kekuasaan negara secara tidak terbatas. Ide itu harus dilihat sebagai suatu
pemikiran yang memberikan pembatasan kekuasaan negara dan memberikan jaminan dan
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa atas nama negara.
Melalui pemisahan atau pembagian kekuasaan, maka kekuasaan negara yang bertumpu kepada
seseorang penguasa dapat di batasi. Hal ii sejalan dengan pandangan Montesquieu bahwa, tujuan
pertama dari negara bukanlah negara menjadi alat kekuasaan (“machtsapparat”), melainkan
negara harus menjadi suatu alat hukum (“rechtsapparat”). 9 A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, pidato pengukuhan
dalam Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, (Jakarta, 22
April 1992), h. 8.
14
adanya ketentuan yang secara resmi menjabarkan apa dan bagaimana
maksud dan tujuan dari pasal tersebut.10
3. Makna Penguasaan Negara
Penguasaan oleh negara itu dapat dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan, kebijakansanaan, pengaturan, pemilikan
langsung, dan penguasaan oleh pemerintah. Untuk memperjelas
pengertian tentang arti penguasaan negara itu, maka terlebih dahulu
perlu dilakukan penelusuran secara historis mengenai perumusan Pasal
33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan berpijak secara
normatif, baru kemudian dilakukan suatu analisis peraturan perundang-
undangan dan berbagai pandangan atau pendapat berkaitan dengan
penguasaan negara dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
4. Penguasaan Negara Menurut Konstitusi
Mohammad Hatta beranggapan, bahwa bangsa Indonesia lemah
kedudukan ekonominya, sehingga dia hanya kuat dengan koperasi.
Bagi Muhammad Hatta sendiri keberadaan usaha negara dalam sistem
ekonomi hanya pada pengadaan pelayanan umum, seperti listrik, air,
dan gas, atau apa yang disebut public utilities yang merupakan bidang
garapan negara, ditambah dengan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara lainnya seperti industri pokok dan tambang,
sehingga perlu dikuasai oleh negara.11
Menurut beliau pengertian
“dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau
pemerintah, akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta, asalkan
dengan pengawasan pemerintah. Dalam kaitan usaha negara, maka
Muhammad Hatta berpendapat bahwatidak perlu negara menjadi
10
M. Rusli Karim, Negara: Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan
Fungsi,(Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1997), h. 1. 11
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Gema Insani Press, Jakarta, 1996), h. 4.
15
pengusaha atau ondernemer, akan tetapi cukup dengan pengawasan
dari pemerintah.12
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneia (1995) dijelaskan arti kata
penguasaan yang berasal dari akar kata “kuasa”. Kuasa diartikan
sebagai suatu kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu,
dapat pula diartikan sebagai wewenang atas sesuatu atau untuk
menentukan (memerintah, mewakili, mengurus dan sebagainya) atau
orang yang diserahi wewenang. Sedangkan pengertian “menguasai”
atau “dikuasai” adalah berkuasa atas (sesuatu)atau mengurus dan
mengusahakan sesuatu.13
5. Penguasaan Negara Dalam Perundang-Undangan
Dalam ketentuan hukum positif, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi
disebutkan, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi dikuasai oleh
negara dan pembinannya dilakukan oleh pemerintah. Dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikemukakan bahwa, penguasaan
oleh negara tersebut pada garis besarnya berarti kewenangan utntuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
penyediaan, dan pemeliharaannya.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak.
3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan-
perbuatan hukum berkenaan dengan penyelenggaraan
telekomunikasi.
Dapat disimpulkan bahwa penguasaan oleh negara itu tidaklah
sepenuhnya mutlak dilaksanakan oleh negara, dalam arti negara tetap
membuka kemungkinan adanya suatu kerjasama atau sebagai mitra
usaha dengan koperasi dan usaha swasta terhadap cabang-cabang
12
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Cetakan Ketujuh Belas, 1996), h. 45. 13
W. Friedmann, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven And Son,
London, h. 5.
16
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat orang
banyak selama tidak merugikan kepentingan negara dan masyarakat.14
C. Pengelolaan Atas Sumber Daya Air
Berdasarkan pada situasi dan kondisi konflik atas Sumber Daya
Air dan ketercabutan regulasi atas Sumber Daya Air, arah politik
legislasi terhadap UU SDA menuai berbagai perdebatan. Putusan
Mahkamah Konstitusi memberikan penegasan atas dibatalkannya
keberlakuan secara kesluruhan UU SDA karena tidak memenuhi enam
prinsip15
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Tata kelola
sumber daya air sejatinya harus dilandaskan terhadap pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, bahwa:
Pasal (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”.
Pasal (3) “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Harmonisasi dan sinkronisasi hukum dipandang penting mana kala
terdapat perbedaan mendasar kontekstualisasi paradigma penguasaan
atas sumber daya air antara aturan UU SDA dengan UU Pengairan
mengedepankan pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan
tanggung jawab negara (pengusaan negara) yang mengutamakan
kepentingan kebutuhan sosial (hajat hidup orang banyak) dan pelibatan
masyarakat dalam perencanaan pengusahaan, perlindungan dan
14
Aminuddin Ilmar,Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Kencana, Jakarta,
Cetakan Kesatu, Juni 2012), h. 43. 15
Enam prinsip tersebut antara lain. Pertama, Setiap pengusahaan atas air tidak boleh
mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air Karen bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya selain harus dikuasai oleh Negara, juga
peruntukannya adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua, Negara harus memenuhi hak
rakyat atas air. Ketiga, Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu
hak asasi manusia. Keempat, Air sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak yang harus dikuasai oleh Negara. Kelima, sebagai kelanjutan hak menguasai oleh
Negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka
prioritas utama yang diberikan penguasaan atas air adalah BUMN/D. Keenam, Pemerintah
dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusaan atas air
dengan syarat-syarat tertentu dan ketat. Dalam, Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013. h, 138-139
17
pembiayaan atas manfaat dari pengairan serta belum detail mengatur
soal pemanfaatan air untuk kepentingan industri lainnya.16
Konsep penguasaan oleh Negara tersebut dipertajam lagi oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 63/PUU-X/2012 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi membagi
penguasaan Negara dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah
pengelolaan secara langsung oleh negara, yang kedua adalah dengan
membuat kebijakan dan pengurusan dan ketiga adalah melalui fungsi
pengaturan dan pengawasan.17
D. Penguasaan Sumber Daya Air oleh Negara
Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria juga menjelaskan bahwa hak menguasai
negara terhadap bumi, air dan ruang angkasa bukan dalam artian
memiliki, akan tetapi memberi kewenangan kepada negara sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, untuk tingkatan tertinggi.
Dalam Pasal 2 UUPA diatur bahwa hak menguasai dari negara
memberi wewenang untuk:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Mandat pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara
khususnya oleh pemerintah dalam rangka mengawasi dan
16
Ria Casmi Arrsa, “Telaah Sociolegal Terhadap Terwujudnya Kedaulatan Hak Atas
Sumber Daya Air”, Jurnal Recgtvinding, Vol 4, No. 2 (Agustus:2015), h. 12 17
paragraf 3.12 putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012.
18
mengendalikan agar penguasaan oleh Negara tersebut dilakukan benar-
benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.18
Konsep penguasaan oleh negara ini juga menjadi paradigma yang
digunakan dalam memutus pengelolaan sumber daya air. Berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi, secara konstitusional air telah diakui
sebagai hak asasi manusia. Dengan demikian, adalah menjadi kewajiban
negara untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut dengan paradigma
bahwa negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect)
dan memenuhinya (to fulfil).19
Bila merujuk pada ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, negara
utamanya pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan (protection),
pemajuan(promotion), penegakan (enforcement), dan pemenuhan
(fulfillment) hak asasi manusia.
E. Hak Milik
1. Pengertian Hak Milik
Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan
terhadap harta yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak
melanggar hukum syara’. Dan oleh karena itu islam juga
menetapkan cara-cara melindungi hak milik ini, baik melindungi
dari pencurian, perampokan, perampasan yang disertai dengan
sanksinya.
Juga seorang pemilik harta mempunyai hak mentasharufkan
hartanya dengan cara menjualnya, menyewakannya,
mewasiatkannya, menggadaikannya, memberikannya dan lain
sebagainya dari hak-hak tasharuf yang diperkenankan syara dan
18
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 001-021-022/PUU-
I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Tafsir
atas frasa “dikuasai oleh negara” tersebut diikuti dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
berikutnya yakni putusan No. 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan putusan No. 36/PUU-X/2012 perihal Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 19
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan No.
008/PUUIII/2005 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, h. 487
19
hak-hak pengambilan manfaatnya, pembuktian adanya hak milik
perseorangan ini misalnya dalam al-qur’an:
An-nisa:2
“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baligh) harta-harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan
jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur
adukannya)kepada hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu adalah dosa besar”.
Dan dalam hadits Nabi SAW yang berbunyi: “Siapa yang
mengambil sebagian harta orang muslim tanpa haknya, dia
menemui Allah Azza wa Jalla yang dalam keadaan marah kepada-
Nya”.20
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa arab al-
milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milkjuga berarti
sesuatu yang dimiliki (harta).Secara terminologi, ada beberapa
definisi al-milk yang dikemukakan oleh para fuqoha, antara lain:
Definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa al-Syalabi:21
اختصاص بالشيئ يمنع الغير ويمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء اال لمانع شرعي
“Hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan
pemiliknya membelanjakannya secara langsung selama tidak ada
halangan syara (halangan yang ditetapkan hukum islam)”.
Ali al-Khafifi22
menyampaikan definisi sebagai berikut:
اختصاص يمكن صاحبه شرعا ان يستبد بالتصرف واألنتفاع عند عدم المانع الشرعي
20
AH. Azharudin Lathif,Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005) 21
AH. Azharudin Lathif,Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005), h. 47 22
AH. Azharudin Lathif,Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005), h. 48
20
“Hak milik adalah keistimewaan yang memungkinkan pemiliknya
bebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak ada
halangan syara”.
Definisi yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa:23
اختصاص حاجز شرعا صاحبه التصرف إال المانع
“Milik adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat
mengahalangi (orang lain) yang syara’ memberikan kewenangan
kepada pemiliknya membelanjakan kecuali terdapat halangan
syara”.
Definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily:24
اختصاص بالشيئ يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف ابتداء إال لمانع شرعي
”Milik adalah keistimewaan (ihtishash terhadap sesuatu yang
menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas
membelanjakannya secara langsung kecuali ada halangan
syar’iy”
Seluruh definisi yang disampaikandiatas menggunakan term
ishtishash sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah
sebuah ishtishash (keistimewaan/kekhususan). Dalam definisi
tersebut terdapat dua ishtishash atau keitimewaan yang diberikan
oleh syara’ kepada pemilik harta:
Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk
memanfaatkannya tanpa kehendak atau tanpa izin pemiliknya.
Kedua, keistimewaan dalam membelanjakannya (tasharruf).
Tasharruf adalah: “sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah
(kehendak-Nya) dan syara’ menetapkan atasnya beberapa
konsikuensi yang berkaitan dengan baik”.
Jadi pada prinsip atas dasar milkiyah (pemilikan) seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam
23
Ghufron A mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual ,(Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002), h. 48 24
Ghufron A mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual ,(Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002), h. 48
21
membelanjakannya selama tidak ada halangan tertentu yang
diakui oleh syara’.
a. Prinsip Pertama
Tentang ini adalah menetapkan bahwa hakikatnya harta itu
adalah milik Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an:
(Q.S. Al-hadid:7)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka orng-orang yang
beriman di antara kamu dan nafkahkan (sebagian)dari
hartanya memperoleh pahala yang besar”.
b. Prinsip Kedua
Harta kekayaan jangan sampai hanya ada atau dimiliki oleh
segolongan kecil masyarakat:
(Q.S.Al-hsyr:7)
“supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu”.
(Q.S. Al-hsyr:9)
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
itulah orang-orang yang beruntung”.
c. Prinsip Ketiga
Ada barang-barang yang karena dharurinya adalah untuk
kepentingan masyarakat seluruhnya, seperti jalan-jalan,
irigasi, tempat-tempat peribadatan. Adapun Hadits Nabi
SAW. Yang berbunyi:
المسلمون شركاء في ثالث في الكإل والماء والنار
“Manusia bersyarikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api”.
22
Adalah air yang belum jadi milik perseorangan dan
api di dalam mengambil penerangan dan manfaat nyalanya.
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian
harta yang pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah
SAW untuk seluruh umat manusia. Mereka berserikat
didalamnya dan melarang mereka untuk memiliki bagian
apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu
merupakan hak seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air
dari sungai-sungai yang ada untuk mengairi sawah dan
ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil rumput untuk
hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak
dimiliki oleh seseorang.
Dalam hal ini pemerintah tidak boleh
memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang
golongan lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan
melakukan pengaturan agar tidak terjadi perselisihan antar
sesama anggota masyarakat dalammemanfaatkan sarana
umum tersebut.
2. Sebab-sebab Kepemilikan
Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik
Allah SWT. Kedudukan manusia hanyalah sebagai makhluk yang
diberi amanah (kepercayaan) untuk menguasai dan
mendayagunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah
SWT dan rasul-Nya. Walaupun demikian tidak semua manusia
dapat menguasai atau memilikinya sehingga ia dapat dengan bebas
mendayagunkannya. Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat
dimiliki anatara lain:
(1) Penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahat), yaitu
harta yang belum dimiliki orang lain secara sah dan tak ada
penghalang syara’ untuk dimiliki.
23
(2) Khalafiyah, yaitu berpindahnya sesuatu menjadi milik
seseorang karena kedudukannya sebagai penerus pemilik lama
atau kedudukannya sebagai pemilik barang tertentu yang telah
rusak atau musnah dan digantikan dengan sesuatu yang baru
oleh orang yang merusaknya
(3) Tawallud Mamluk, yaitu segala sesuatu yang lahir atau tumbuh
dari obyek hak yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang
memiliki obyek hak tersebut.
(4) Akad, yaitu pertalian atau ketertarikan antara ijab dan qobul
sesuai dengan kehendak syari’ah (Allah SWT dan Rasul-Nya)
yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.
3. Sifat Kepemilikan
Persoalan ini dibahas ulama fiqih dalam kaitan milik
pribadi dengan kepentingan umum. Mereka sepakat bahwa islam
sangat menghormati kemerdekaan seseorang untuk memiliki
sesuatu, selama itu sejalan dengan cara yang digariskan syara’. Ia
bebas mengembangkan hartanya tersebut dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan cara yang jujur.
Namun demikian pemilik harta secara hakiki adalah Allah
SWT. Seseorang dikatakan memiliki harta hanya secara majasi dan
harta itu merupakan amanah ditangan yang harus dipergunakan
untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain (QS. 5:120 dan QS.
57:7).25
4. Macam-macam Kepemilikan
Dari segi unsur harta (benda dan manfaat) dibedakan menjadi
dua:26
a. Milk al-tam (pemilikan sempurna), yaitu apabila materi dan
manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga
seluruh hak yang terkait dalam harta itu berada di bawah
25
AH. Azharudin Lathif, Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005), h. 51 26
AH. Azharudin Lathif, Fiqih Muamalat, (Cetakan 1, Desember 2005), h. 53
24
penguasaannya. Milik seperti itu bersifat mutlak, tidak dibatasi
masa, dan tidak bisa digugurkan oleh orang lain.
b. Milk al-naqish (pemilikan tidak sempurna), yakni pemilikan
atas salah satu unsur saja.
Dari segi obyek (mahal) pemilikan dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Milk Ain (memiliki benda), pemilikan ini diperoleh melalui
empat sebab pemilikan yang telah disampaikan di muka.
b. Milk Manfaat, yaitu pemilikan seseorang untuk memanfaatkan
suatu harta benda milik orang lain dengan keharusan menjaga
materi bendanya.
c. Milk Dain, yaitu pemilikan harta benda yang berada dalam
tanggung jawab orang lain karena sebab tertentu.
Dari sisi bentuknya, milik dibedakan menjadi dua:27
a. Milk al-mutamayyaz (milik jelas) adalah pemilikan sesuatu
benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu
yang dapat dipisahkan dari yang lainnya.
b. Milk al-masya’ (milik bercampur), adalah pemilikan atas
sebagian, baik sedikit atau banyak, yang tidak tertentu dari
sebuah harta benda, seperti pemilikan atas separuh rumah, atau
seperempat kebun dan lain sebagainya.
Al-Qur’an, sebagai fondasi agama Islam, menyatakan bahwa
air merupakan hal paling penting bagi keberlangsungan hidup
seluruh makhluk di muka bumi sekaligus bumi itu sendiri. Dalam
Surat An Nahl, 65: dikatakan Dan Allah menurunkan dari langit
air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah
matinya.
27
Ghufron A mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual ,(Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002), h. 66.
25
Pertama adalah fungsi air sebagai unsur keberlangsungan
makhluk hidup, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Informasi kedua adalah mengenai apa yang disebut sebagai teori
daur hidrologi air dewasa ini. Hal tersebut ditunjukkan dalam
kalimat “Allah SWT menurunkan air dari langit, lalu diaturnya
menjadi sumber-sumber air di bumi”. Pernyataan ini mengandung
kesimpulan bahwa air yang ada di muka bumi ini merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, yang juga berimplikasi terhadap
hukum tentang pengaturan air dalam kehidupan manusia.
Alasan mendasar dari eksistensi kepemilikan ketiga hak
tersebut (air, padang, rumput dan api) karena manfaat hak
ketiganya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Privatisasi terhadap ketiga hak tersebut berarti akan meniadakan
hak-hak publik untuk menggunakan dan mengonsumsinya.
F. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung
(MA), yang di bentuk melalui perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945.
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK pembentukan
MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20.28
Latar
belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lepas dari
perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk
hukum oleh lembaga peradilan yang biasanya disebut Judicial Review.
Selain itu, adanya kekosongan pengaturan pengujian (judicial
review) terhadap undang-undang secara tidak langsung telah
menguntungkan kekuasaan karena produk perundang-undangnya tidak
akan ada yang menggangu gugat, dan karenanya untuk menjamin bahwa
28
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan
peraturan di pusat 78 negara, Tahun 2002.
26
penyusunan peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi
harus ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji.
G. Pengujian Undang-Undang
Dalam praktik, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang
dapat diuji atau yang biasa disebut sebagai non control mecahanism.
Ketiga bentuk norma hukum tersebut sama-sama dapat diuji kebenarannya
melalui mekanisme peradilan (justisial) ataupun mekanisme non-justicial.
Jika pengujian itu dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses
pengujiannya itu disebut sebagai judicial review atau pengujian oleh
lembaga judisial atau pengadilan. Akan tetapi, jika pengujian itu dilakukan
bukan oleh lembaga peradilan, maka hal itu tidak dapat dikatakan sebagai
judicial review.29
Baik di dalam kepustkaan maupun dalam praktek dikenal adanya
dua macam hak menguji, yaitu:
a. Hak Menguji Formil (Formele Toetsingsrecht)
Yang dimaksud dengan hak menguji formil ini adalah wewenang
untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang
misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak.30
b. Hak Menguji Material (materiele toetsingsrecht)
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki
dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenede macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.31
29
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Sinar Grafika: Jakarta
Timur, 2010), Hal. 1 30
Dr. Sri Soemantri, M., S.H., Hak Menguji Material Di IndonesiaI, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1986), Hal. 6 31
Dr. Sri Soemantri, M., S.H., Hak Menguji Material Di IndonesiaI, (Bandung: Penerbit
Alumni, 1986), Hal. 8
27
H. Studi Review Terdahulu
“Perencanaan/Pengendalian dan Pengembangan Potensi Sumber Daya
Air Kabupaten Pasuruan”. Oleh Sukobar. Tahun 2010. Dalam jurnalnya
membahas tentang peengelolaan potensi sumber daya air (Air Permukaan
dan Air Bawah Tanah) di Kabupaten Pasuruan terhadap jumlah kebutuhan
air (Water Demand) menurut kualitas air dan peruntukannya. Objek
penelitian ini lebih berfokus pada Kabupaten Pasuruan. Studi teoritis dan
studi lapangan (survey) mengenai identifikasi Potensi Sumber Daya Air
Kabupaten Pasuruan yang akan dilakukan adalah Melakukan survey dan
investigasi untuk mendapatkan data (informasi) yang berkaitan dengan
keperluan analisa dan kajian, beberapa data sekunder dan data primer,
Melakukan analisa dan kajian Posisi dan Sebaran Sumber Daya Air,
Melakukan analisis dan kajian Kapasitas Sumber Air, dan Melakukan
analisis dan kajian Kualitas. Dari hasil penelitiannya disebutkan bahwa
potensi sumber daya air di Kabupaten Pasuruan dibagi menjadi dua yaitu,
air permukaan dan air di bawah tanah. Dan seberapa banyak air bersih
yang dibutuhkan warga Kabupaten Pasuruan. Dalam strategi
pengelolaannya melakukan beberapa hal yaitu,tingkat kepentingan
(Urgensi) penyediaan air dan kondisi Demand dan Suplainya.32
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini tidak hanya
membahas Sumber Daya Air saja. Tetapi, penelitian ini lebih membahas
bagaimana perencana/pengendalian dan pengembangan potensi Sumber
Daya Air di Kabupaten Pasuruan.
“Undang-Undang Air No. 7 Tahun 2004 Dalam Perspektif
Manajemen Sumber Daya Air”. Oleh Putu Doddy Heka Ardana.
Mahasiswa Universitas Ngurah Rai. Tahun 2017. Dalam jurnalnya
membahas tentang nilai positif dan nilai negatif dari UU Air No. 7 Tahun
2004. Mengenai tentang sisi negatif dan positif dari undang-undang
sumber daya air ini. Meskipun muncul suatu isu privatisasi dan
32
Sukobar, “Perencanaan/Pengendalian dan Pengembangan Potensi Sumber Daya Air
Kabupaten Pasuruan”, Volume 8, Nomor 2, (Agustus 2010).
28
komersialisasi oleh beberapa pihak terhadap sumber daya air Indonesia,
terdapat sisi positif yang berpengaruh signifikan terhadap pengelolaan
sumber daya air. Sisi positif tersebut yang utama adalah pembentukan
Dewan Air Nasional yang berperan penting dalam pengelolaan sumber
daya air dan sebagai badan atau lembaga koordinasi antar wilayah
mengenai tata kelola sumber daya air. UU Sumber Daya Air no. 7 Tahun
2004 mengenai sumber daya air ini harus diinformasikan secara luas
kepada masyarakat luas, baik itu masyarakat pendidikan maupun
stakeholders.33
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah tidak hanya
membahas Undang-Undang Tentang Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004.
Tetapi, penelitian ini lebih membahas tentang kebijakan dalam
pengelolaan air dan nilai positif dan negatif dari UU Sumber Daya Air No.
7 Tahun 2004.
“Studi tentang hukum air dan problematika Pemenuhan hak asasi
manusia atas air di indonesia”. Oleh Hamid Chalid. Tahun 2018. Dalam
jurnalnya membahas tentang hak asasi manusia atas air dan juga
privatisasi di indonesia. Kegiatan penelitian ini adalah sebuah penelitian
lapangan maka metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
empiris.34
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini utamanya adalah
data primer, yakni data-data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.
Namun pada prakteknya penelitian ini tidak akan bisa mengesampingkan
pentingnya data-data sekunder, yakni data-data yang diperoleh melalui
studi kepustakaan. Dari hasil penelitiannya disebutkan bahwa, seluruh air
yang ada di bumi, hanya 2,35% saja yang merupakan air tawar (fresh
water), sisanya adalah air laut (salt water). Dari 2,35% air tawar tadi, dua
pertiganya terperangkap dalam glaciers dan tertutup salju permanen. Sisa
33
Putu Doddy Heka Ardana, “Undang-Undang Air No. 7 Tahun 2004 Dalam Perspektif
Manajemen Sumber Daya Air”, Mahasiswa Universitas Ngurah Rai. (Tahun 2017). 34
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum. Edisi Revisi”. (Jakarta: Prenada Media
Group, Cet. Kesembilan, 2011), h. 140.
29
sepertiganya masih pula dikotori dengan polusi.35
Menurut data, ada
sekitar 2 juta ton air segar setiap hari terbuang percuma karena polusi dan
lain-lain.36
Pintu masuknya tidak lain ialah melalui Undang-Undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) yang sejak awal
pembentukannya memang sarat dengan pengaruh dan tekanan World Bank
yang memang mengusung misi untuk melakukan liberalisasi dan
privatisasi air di Indonesia.37
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah
tidak hanya membahas tentang hukum air pemenuhan hak asasi manusia.
Tetapi, penelitian ini lebih membahas tentang privatisasi air di Negara kita
Indonesia serta upaya yang harus di lakukan dalam menangani privatisasi
air.
“Pengelolaan sumber daya air bagi swasembada pangan dalam sistem
agribisnis syariah”. Oleh Ujang Maman. Tahun 2014. Dalam jurnalnya
membahas tentang kepemilikan dan dampak negatif dari sumber daya air.
Metode studi dalam penulisan artikel ini adalah menggunakan studi
pustaka yang terkait dengan agribisnis syariah. Aspek yang menjadi fokus
kajian adalah mengenai konsepsi kepemilikan tentang asset-asset strategis
yang menjadi kepentingan umum.Analisis data menggunakan analisis
diskriptif dengan pendekatan sistem agribisnis syariah. Dari hasil
penelitiannya disebutkan bahwa Pengelolaan sumber daya air di Indonesia
tidak mengenal adanya konsepsi kepemilikan umum. Trend pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia lebih menekankan pada swastanisasi, yakni
memberikan yang besar kepada swasta, seperti tampak dalam Desa
Babakan Pari, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam pengelolaan sumber
daya air ini tidak ada kejelasan konsepsi kepemilikan. Laporan kunjungan
mahasiswa yang dipaparkan di atas mungkin masih banyak memiliki
35
Rosemary Lyster, “The Current Status of Water Law in New South Wales.” Makalah
dalam seminar tentang Water Law Reform in New South Wales, the Faculty of Law, the
University of Sydney, (22 September 2004). 36
Di negara berkembang, sekitar 50% air yang ada tercemar oleh berbagai polutan. Ibid 37
Hamid Chalid, “Studi Tentang Hukum Air Dan Problematika Pemenuhan Hak Asasi
Manusia Atas Air Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan (Tahun ke-48 No.2 April-Juni
2018).
30
kekurangan dari segi pendalaman informasi dan metodologi studi yang
dilakukan. Tapi satu hal yang sangat penting dari laporan tersebut adalah
perlunya reorientasi pengelolaan sumber daya air bagi kebutuhan warga
secara lokal dan juga bagi pemenuhan kebutuhan air untuk budidaya padi.
Kekurangan air akan mejadi persoalan tersendiri bagi usaha mewujudkan
swasembada pangan. Adanya krisis air bagi sektor pertanian. Sebagai
sebuah kerangka teoritis untuk menjaga keberlanjutan lahan pertanian
pangan, kita dapat menganalisis dengan pendekatan sistem agribisnis.38
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini lebih membahas
sistem agraria bisnisnya dan konsep kepemilikan.
“Implikasi pembatalan undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air terhadap perusahaan pengelola air (PDAM Kota
Surakarta dan PT Tirta Investama Klaten)”. Oleh Justicia M. Grace Istia.
Tahun 2016. Dalam jurnalnya membahas tentang implikasi pembatalan
UU SDA terhadap perusahaan pengelola air milik pemerintah dan milik
swasta, dalam hal ini adalah PDAM Kota Surakarta dan PT Tirta
Investama Klaten. Penelitian menggunakan jenis penelitian empiris dan
bersifat deskriptif, yang mendeskripsikan secara lengkap mengenai akibat
hukum yang ditimbulkan setelah dibatalkannya UU SDA terhadap proses
pengelolaan air oleh perusahaan pengelola air, baik perusahaan milik
negara maupun milik swasta dan mendeskripsikan juga mengenai
implikasi hukum setelah di berlakukannya kembali UU Pengairan. Penulis
melakukan wawancara dengan Ibu Laksmisitha P., S.H. selaku Kepala
Seksi Hukum, Humas, dan Kerjasama PDAM Surakarta. Dari hasil
penelitiannya di sebutkan bahwa UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa MK dilarang membuat putusan Ultra Petita Partium,
Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut
atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang
38
Ujang Maman, “Pengelolaan Sumber Daya Air Bagi Swasembada Pangan Dalam
Sistem Agribisnis Syariah”, Jurnal Agribisnis, Vol. 8, No. 2, (Desember 2014), h. 141-154.
31
ditutuntut oleh penggugat, tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan
yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178
ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg. PP PSDA menyatakan izin
pengusahaan sumber daya air yang ditetapkan hanya terbatas pada
pemberian izin oleh pemerintah kepada pemegang izin untuk memperoleh
dan mengusahakan sejumlah (kuota) air, daya air dan/atau sumber air
sesuai dengan alokasi yang ditetapkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah
kepada pengguna air.39
Perbedaannya penelitian ini adalah lebih
membahas tentang pembatalan UU SDA pada PDAM Kota Surakarta dan
PT Tirta Investama Klaten.
“Hak Menguasai Negara: Konsep Pengelolaan Sumber Daya Air
Berdimensi Transendental”. Oleh Ahmad. Dalam jurnalnya membahas
tentang hak menguasai negara dalam pengelolaan sumber daya air. Jenis
penelitian ini adalah penelitian library research yang sumber datanya
diperoleh melalui penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan
dengan obyek penelitian sebagaimana yang termuat secara lengkap dalam
daftar pustaka. Adapun tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil
penelitian disebutkan bahwa Dalam perkembangannya negara memberikan
ruang bagi perseorangan dan atau pihak swasta untuk ikut mengelola
sumber daya air dalam bentuk hak guna usaha air yang dapat diberikan
kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Dan juga membahas
tentang Konsep Hak Menguasai Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya
Air Berdimensi Transendental.40
Perbedaannya penelitian ini adalah lebih
membahas tentang Hak Menguasai Negara dalam pengelolaan Sumber
Daya Air Berdimensi Transendental.
39
Justicia M. Grace Istia, “Implikasi pembatalan undang-undang nomor 7 tahun 2004
tentang Sumber daya air terhadap perusahaan pengelola air (pdam kota Surakarta dan pt tirta
investama klaten)”. Privat Law, Vol. IV No. 2 (Juli - Desember 2016). 40
Ahmad. “Hak Menguasai Negara: Konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Berdimensi
Transendental”.
32
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 85/PUU-XI/2013
A. KRONOLOGI KASUS
Prof. H.M. Din Syamsudin, M.A., yaitu Ketua Umum Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah, sebagai pemohon I beserta anggota yang
lainnya. Mengajukan pengujian materiil Konstitusional atas Perbaikan
Permohonan Pengujian Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 26, Pasal 29 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48
ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 80, Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Yang didaftarkan di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 23 September 2013 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Perkara Nomor 478/PAN.MK/2013 dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 85/PUU-XI/2013 pada
tanggal 16 Oktober 2013 setelah diperbaiki.
Pemohon mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2013 Tentang Sumber Daya Air, dengan beberapa alasan
pokok, alasan-alasan permohonan yang dikemukakan pemohon tidak
akan seluruhnya dijelaskan, melainkan hanya pada isu penting yang
berkaitan dengan penguasaan sumber daya air, yaitu:
a. Komersialisasi dan swastanisasi pengelolaan sumber daya air, yaitu
penguasaan dan monopoli sumber-sumber air oleh swasta,
terkonsentrasinya penggunaan air bagi kepentingan komersil, dan
Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air yang mengandung muatan
privatisasi atas penyediaan air minum, pengelolaan sumber daya air
dan irigasi bagi pertanian.
33
b. Faktanya terbukti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM) yang pada Pasal 1 Butir 9 menyatakan
“Penyelenggaraan pengembangan SPAM adalah BUMN/BUMD,
koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat”.
Padahal, dalam pasal 40 ayat (2) UU SDA sudah dinyatakan bahwa
pengembangan SPAM adalah tanggung jawab pemerintah pusat
atau pemerintah daerah, sehingga Pasal 40 ayat (3) UU SDA
menyatakan “penyelenggaraan SPAM adalah BUMN dan/atau
BUMD”.
c. Bahwa pengembangan SPAM seperti pada PP Nomor 16 Tahun
2005 yang merupakan implementasi Pasal 40 Undang-Undang a
quo adalah merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran
penafsiran Konstitusional Mahkamah terhadap Undang-Undang a
quo. Dengan kondisi yang demikian ini maka melahirkan secara
sempurna telah melahirkan mindset pengelola air yang selalu
profit-oriented.
d. Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam hal penyediaan
fasilitas pelayanan umum kepada rakyat, termasuk dalam hal ini
adalah penyediaan air yang bersih dan sehat sebagai turunan Pasal
33 ayat (2) , ayat (3), ayat (4) serta Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945.
Petitum atau tuntutan yang disampaikan oleh seluruh pemohon
kepada Mahkamah Konstitusi oleh pemohon perkara Nomor 085/PUU-
XI/2013, yaitu sebagai berikut:
a. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian
Undang-Undang PEMOHON.
b. Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3),
Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11
ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), Pasal 49, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
34
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2) serta Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
c. Menyatakan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3),
Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11
ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 40 ayat (4), Pasal 49, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Memerintahkan amar Putusan Majelis Hakim dari Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan
pengZujian UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004 terhadap UUD
1945 untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
B. PERTIMBANGAN HUKUM
Mahkamah Konstitusi menjatuhkan pertimbangan yang sangat erat
kaitannya dengan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 9, Pasal 26, ayat
(7), Pasal 80, Pasal 45, serta Pasal 46 UU sumber daya air, yang
mengandung muatan penguasaan dan monopoli atas sumber daya air
yang bertentangan dengan prinsip dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di mana dalam tuntutan yang berasas pada pasal-pasal tersebut,
dapat diketahui bahwa Undang-Undang a quo sudah memberikan
ruang seluas-luasnya bagi swasta (badan usaha dan individu) untuk
menguasai sumber daya air. Bahwa guna mempertimbangkan
permasalahan permohonan para pemohon, Mahkamah perlu
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Kesejahteraan rakyat salah satunya berasal dari sumber daya alam
yang termasuk di dalamnya sumber daya air. Pandangan sebagaimana
di uraikan di atas secara konstitusional dirumuskan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, ayat tersebut termasuk salah satu dari 3 (tiga) ayat
dari Pasal 33 UUD 1945 yang tidak diubah dalam perubahan UUD
35
1945 Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002, menurut Mahkamah,
ketiga ayat dimaksud merupakan bentuk konstitusionalitas dianutnya
demokrasi ekonomi, selain demokrasi politik, yang terkait dengan
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud sila keempat dan sila
kelima pancasila.
Berdasarkan pertimbangan tersebut ada beberapa pembatasan yang
ketat untuk menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan
bangsa:
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu,
mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain
harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Kedua, adalah bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air.
Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah
satu hak asasi tersendiri maka pasal 28I (4) menentukan,
“perlindungan, kemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Ketiga, haru mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebagai
salah satu hak asasi manusia, pasal 28H (1) UUD 1945 menentukan,
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin tempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
Keempat adalah bahwa sebagai cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara
dan air yang menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya
mutlak.
Kelima, adalah sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan
karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup
36
orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas
air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Bahwa oleh karena UU SDA dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dan untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan
mengenai sumber daya air maka sembari menunggu pembentukan
Undang-Undang baru yang memperhatikan Putusan Mahkamah oleh
pembentuk Undang-Undang, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1974 Tetang Pengairan diberlakukan kembali.
Bahwa hukum adalah salah satu sarana yang dipergunakan negara
untuk menyelenggarakan fungsi guna mencapai tujuan. Norma hukum
mengenal adanya hierarki atau tata susunan norma, yang dalam
hierarki tersebut UUD 1945 menempati posisi tertinggi.
Bahwa Pasal 60 UU MK menyatakan “(1) Terhadap materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di kecualikan jika metri
muatan dalam UUD Tahun 1945 yang di jadikan dasar pengujian
berbeda”. Melihat dasar pengujian konstitusionalitas antara
pemohonan a quo dengan dasar pengujian dalam permohonan Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 adalah
sama, menurut Mahkamah, sebagaimana yang akan di pertimbangkan
di bawah, terdapat penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan UU
SDA dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 sebelumnya.
Dengan demikian permohonan para Pemohon a quo dapat
diterima. Mahkamah perlu menegaskan bahwa di Indonesia makna
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara. Air adalah salah satu unsur yang sangat penting
dan mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia atau menguasai
hajat hidup orang banyak.
37
Penelaahan Mahkamah terhadap amanat yang terkandung dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, khususnya mengenai sumber daya air,
membawa Mahkamah pada kesimpulan bahwa akses terhadap air
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Dalam pertimbangan
hukum putusan dimaksud, selanjutnya Mahkamah mengatakan, antara
lain : “Komentar umum tersebut menafsirkan hak atas kesehatan
sebagai hak inklusif yang meliputi tidak hanya pelayanan kesehatan
yang terus menerus yang layak tetapi juga meliputi faktor-faktor yang
menentukan kesehatan yang baik, termasuk salah satu di dalamnya
adalah akses kepada air minum yang aman. Pada Tahun 2002 Komite
selanjutnya mengakui bahwa akses terhadap air adalah sebagai hak
asasi yang tersendiri”. Oleh karena itu Mahkamah pun kemudian
menegaskan bahwa sebagai bagian dari hak asasi maka negara wajib
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya
(to fulfil), ketiga aspek tersebut tidak hanya menyangkut kebutuhan
sekarang tetapi juga harus dijamin kesinambungannya untuk masa
depan karena menyangkut eksistensi manusia.
Menurut Mahkamah menyatakan pula pengairan, pertanian,
pembangkit tenaga listrik, dan keperluan industri menjadi faktor
penting pula bagi manusia untuk hidup layak. Mahkamah antara lain,
menyatakan: “fungsi pengurusan (berstuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenanngannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi
(licentie), dan konsensi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara
(regelandaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR
bersama dengan pemerintah, dan regulasi oleh pemerintah (eksekutif).
Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan malalui mekanisme
pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan
langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana
negara c.q. pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas
38
sumber-sumber kekeyaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara
(toezichtthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksaan penguasaan
oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”.
Menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tidak
memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya
air. Peraturan Pemerintah tersebut diantranya yaitu: PP Nomor 16
Tahun 2005, PP Nomor 20 Tahun 2006, PPNomor 42 Tahun 2008, PP
Nomor 43 Tahun 2008, PP Nomor 38 Tahun 2011, PP Nomor 73
Tahun 2013.
C. AMAR PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 telah
membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Menurut pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
putusan ini, pelaksanaan Undang-Undang Sumber Daya Air telah
melanggar syarat konstitusionalitas (conditionally constitutional)
pemberlakuan undang-undang sebagaimana pernah ditentukan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004.
Dalam putusan itu ditegaskan, meskipun permohonan uji materiil
atas Undang-Undang Sumber Daya Air sebelumnya pernah ditolak
Mahkamah Konstitusi tahun 2004, putusan Mahkamah Konstitusi
tahun 2004 memutuskan bahwa manakala pada kemudian hari
pelaksanaan Undang-Undang Sumber Daya Air ditafsirkan berbeda
dari syarat konstitusional penerapannya sebagaimana ditentukan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004, Mahkamah Konstitusi
dapat menguji kembali Undang-Undang tersebut.
Dalam putusannya, majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga
menafsirkan frase “dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat (3) UUD
39
1945 yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pasal-pasal yang dimohon uji
materiil dalam Undang-Undang Sumber Daya Air itu merupakan
jantungnya Undang-Undang Sumber Daya Air sehingga Mahkamah
Konstitusi melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan
berlakunya Undang-Undang Sumber Daya Air. Guna mencegah
terjadinya kekosongan norma hukum, Mahkamah Konstitusi melalui
putusan itu juga memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 tentang Pengairan, yang sebelumnya sudah dicabut
berlakunya oleh Undang-Undang Sumber Daya Air tahun 2004.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan putusan yang
progresif karena dapat menghentikan praktik-praktik liberalisasi air
secara terencana yang dilegalisasi oleh berbagai peraturan perundang-
undangan pelaksanaan dari Undang-Undang Sumber Daya Air.
Namun, dengan putusan yang memberlakukan kembali Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974, bisa timbul penilaian bahwa
Mahkamah Konstitusi justru menguji materiil Pasal 20 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada
intinya mengatur kewenangan legislasi DPR dan presiden.
Pemberlakuan (kembali) suatu Undang-Undang menurut Undang-
Undang Dasar merupakan domain kewenangan legislasi DPR dan
presiden. Kemudian dalam amar putusan mengadili, menyatakan:
1) Permohonan Pemohon III tidak dapat diterima.
2) Mengabulkan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V,
Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon XI, Pemohon
X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya.
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377)
40
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377)
tidak memiliki kekuatan hukum.
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046)
berlaku kembali.
6) Memerintahkan pemuatan putusan ini dengan menempatkannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
41
BAB IV
ANALISIS PERAN ATAU KEWAJIBAN NEGARA DALAM
PENGUASAAN SUMBER DAYA AIR OLEH NEGARA
A. Peran atau Kewajiban Negara Terhadap Penguasaan Sumber Daya Air
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
Seperti yang sudah dijelaskan penulis pada bab sebelumnya bahwa
Sumber Daya Air merupakan sumber daya yang berguna atau potensial untuk
memenuhi kebutuhan bagi kehidupan manusia. Dan dalam pegelolaan sumber
daya air yaitu merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya
air, dan pengendalian sumber daya air rusak. Sehingga sumber daya air kita,
dapat terjaga untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SDA perlu dikelola
menurut asas-asas sebagai berikut:
a. Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pendayagunaan sumber
daya air diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi sumber daya
air itu secara berkelanjutan.
b. Asas keseimbangan mengandung pengertian untuk senantiasa
menempatkan fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi
ekonomis secara harmonis.
c. Asas kemanfaatan umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan
sumber daya air dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan umum secara efektif dan efisien.
d. Asas keterpaduan dan keserasian mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya air dilakukan secara terpadu dalam
mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan dan memperhatikan
sifat alami air yang dinamis.
e. Asas keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya
air dilakukan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah
42
tanah air, sehingga setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama untuk berperan dan menikmati hasilnya secara nyata dan tetap
memberikan perlindungan kepada lapisan masyarakat yang tingkat
ekonominya berkekurangan.
f. Asas kemandirian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber
daya air dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan keunggulan
sumber daya setempat.
g. Asas transparansi dan akuntabilitas mengandung pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya air dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dengan asas-asas tersebut, sumber daya air perlu dikelola secara
menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan dengan tujuan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
a. Menurut Teori Kedaulatan
Pengertian kedaulatan tidak sama menurut beberapa sarjana karena itu
kedaulatan itu sering ditinjau menurut sejarahnya. Menurut urutan
waktunya, macam-macam kedaulatan dikenal sebagai berikut :
1. Kedaulatan Tuhan
2. Kedaulatan Raja-Raja
3. Kedaulatan Rakyat
4. Kedaulatan Negara
5. Kedaulatan Hukum
Secara umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain/kelompok lain sesuai
dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri. Oleh Miriam
Budiarjo,1 kekuasaan diartikan sebagai “kemampuan seseorang atau
kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
1 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta 1977), h.35
43
orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai
dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan
itu”.2
Tanpa adanya penguasaan negara, maka tidak mungkin tujuan negara
yang telah ditetapkan dalam konstitusi atau UUD dapat diwujudkan.
Teori kedaulatan negara melihat bahwa kekuasaan negara itu ada karena
negaralah yang berdaulat.3 Pada dasarnya pemberian kekuasaan bisa
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “atributif” disebut juga sebagai
pembentukan kekuasaan, karena dari keaadaan yang belum ada
menjadi ada. Pembentukan kekuasaan ini menyebabkan timbulnya
kekuasaan baru.
2. Pemberian kekuasaan yang sifatnya “derivatif” disebut juga sebagai
“pelimpahan kekuasaan” karena kekuasaan ini dialihkan kepada badan
hukum publik lain.
Dengan demikian, pengertian kata penguasaan atau dikuasai oleh
negara adalah suatu kemampuan atau kesanggupan yang ada pada negara
berdasar wewenang yang dimiliki atau yang ada padanya untuk
menentukan sesuatu dapat dalam bentuk memerintah, mewakili atau
mengurus cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
Pengakuan akses terhadap air sebagai hak asasi manusia
mengindikasikan dua hal disatu pihak adalah pengakuan terhadap
kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan yang demikian penting bagi
hidup manusia, dipihak lain perlunya perlindungan kepada setiap orang
atas akses untuk mendapatkan air.
2 Moh. Kusnadi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Neagara,(Gaya media pratama jakarta),h.
115 3 Sjachran Basah, Loc, cit.
44
Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi
hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah bagaimana posisi negara
dalam hubungannya dengan air sebagai benda publik atau benda sosial
yang bahkan telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai hak menguasai
negara. penguasaan negara dalam cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus pula
didasarkan pada pembatasan yang jelas dan tegas melalui penafsiran
ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yakni apakah
penguasaan negara itu tidak sampai merugikan kepentingan rakyat atau
tidak. Perumusan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 secara jelas dan tegas
sangat diperlukan, untuk memperjelas kegiatan usaha BUMN sekaligus
untuk menetapkan kriteria atau batasan privatisasi BUMN.4
Seperti diketahui bahwa dasar dan sistem perekonomian Indonesia
telah diatur dalam ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Dalam Pasal 2 UUPA diatur bahwa hak menguasai dari negara
memberi wewenang untuk:
4 Moh. Kusnadi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Neagara, (Gaya media pratama jakarta), h.
122
45
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang kepada Pemerintah untuk:
a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-
sumber air.
b. Menyusun, mengesahkan, dan/atau memberi izin berdasarkan
perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata
pengairan.
c. Mengatur, mengesahkan, dan atau memberi izin peruntukkan,
penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air.
d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air,
dan/atau sumber-sumber air.
e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan
hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum
dalam persoalan air dan atau sumber-sumber air.
Penguasaan sumber daya alam oleh negara, sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dengan tujuan dari penguasaan
tersebut yaitu guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut
Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:
1) Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
46
2) Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3) Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Pentingnya membahas konsep dan hakikat kekuasaan khususnya
kekuasaan negara dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tidak lain adalah
untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap makna “hak
menguasai negara”. Bagaimanapun juga perlu diperjelas dasar teoritis
dari penguasaan negara, yang selama ini sering kali masih diperdebatkan
baik dalam bidang akademis maupun praktis, sehingga perlu di tinjau
secara teoretis dari berbagai sudut pandang yang melandasi adanya
penguasaan negara itu. Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan
berbagai teori atau pandangan mengenai konsep kekuasaan itu sendiri
sehubungan dengan kieberadaan negara sebagai suatu organisasi
kekuasaan.
Dalam ilmu politik dikenal berbagai konsep yang berkaitan erat
dengan konsep kekuasaan, seperti wewenang atau kewenangan
(authority), pengaruh (influence), persuasi (persuasion), kekuatan
(force), dan manipulasi. Namun demikian, yang terpenting dan sangat
erat kaitannya dalam pembahasan ini adalah konsep kekuasaan yang
berkenaan dengan kewenangan (authority) dari negara.
Jika kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan disebut
sebagai kedaulatan, tentang pengertian kedaulatan ini terdapat perbedaan
pendapat. Mula-mula kedaulatan di artikan sebagai kekuasaan tertinggi
yang bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya
(superlatif).
Konsep penguasaan oleh Negara tersebut dipertajam lagi oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 63/PUU-X/2012 perihal
47
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi membagi
penguasaan Negara dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah
pengelolaan secara langsung oleh negara, yang kedua adalah dengan
membuat kebijakan dan pengurusan dan ketiga adalah melalui fungsi
pengaturan dan pengawasan.
Penguasaan oleh negara itu dapat dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan, kebijaksanaan, pengaturan, pemilikan langsung,
dan penguasaan oleh pemerintah. Untuk memperjelas pengertian tentang
arti penguasaan negara itu, maka terlebih dahulu perlu dilakukan
penelusuran secara historis mengenai perumusan Pasal 33 ayat (2) UUD
1945 sebagai landasan berpijak secara normatif, baru kemudian
dilakukan suatu analisis peraturan perundang-undangan dan berbagai
pandangan atau pendapat berkaitan dengan penguasaan negara dalam
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
Kemudian dengan timbulnya hubungan antarbangsa dan negara, maka
kedaulatan itu mulai terasa terbatas lebih-lebih dengan adanya perjanjian-
perjanjian internasional di mana dengan keterikatan dalam perjanjian
internasional tersebut berarti mengurangi kedaulatan negara keluar.
Kedaulatan ke dalam dengan dibatasi oleh hukum positifnya, sehingga
arti kedaulatan ini menjadi relatif.5
Umumnya kekuasaan negara itu dijalankan atau diselenggarakan
berdasar pada teori pemisahan atau pembagian kekuasaan6 yang dikenal
5 Moh. Kusnadi, danBintan R. Saragih, Ilmu Neagara, (Gaya media pratama jakarta), h.
122 6 Konsikuensi dari ajaran ini bahwa meskipun ajaran tersebut tidak diterapkan secara
konsikuen diberbagai negara khususnya di indonesia, akan tetapi ajaran ini telah memberikan
dasar untuk membatasi kekuasaan negara secara tidak terbatas. Ide itu harus dilihat sebagai suatu
pemikiran yang memberikan pembatasan kekuasaan negara dan memberikan jaminan dan
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa atas nama negara.
Melalui pemisahan atau pembagian kekuasaan, maka kekuasaan negara yang bertumpu kepada
seseorang penguasa dapat di batasi. Hal ii sejalan dengan pandangan Montesquieu bahwa, tujuan
pertama dari negara bukanlah negara menjadi alat kekuasaan (“machtsapparat”), melainkan
negara harus menjadi suatu alat hukum (“rechtsapparat”).
48
selama ini akan terbagi kedalam tiga bagian, yakni kekuasaan negara
yang melaksanakan perundang-undangan, kekuasaan negara yang
melaksanakan peradilan dan kekuasaan negara yang melaksanakan
pemerintahan.7
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan
dalam pembukaan UUD NRI 1945, khususnya dalam alinea keempat,
adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Berdasar hal itu, maka ditetapkan dasar dan sistem perekonomian
Indonesia dalam suatu ketentuan dasar, yakni dalam ketentuan Pasal 33
UUD NRI 1945.
Namun demikian, rumusan pasal tersebut dalam pelaksanannya paling
banyak diperdebatkan meskipun dalam bagian penjelasan UUD NRI
Tahun 1945 sebelum dilakukan proses amandemen itu sendiri sudah
dianggap jelas. Padahal masih banyak yang menilai, bahwa ketentuan
dalam pasal tersebut sukar sekali dipahami dan memerlukan banyak
interpretasi, baik karena cita-cita besar yang terkandung didalamnya
maupun karena belum adanya ketentuan yang secara resmi menjabarkan
apa dan bagaimana maksud dan tujuan dari pasal tersebut.8
Sistem ekonomi yang kita kenal selama ini, yakni sistem ekonomi
kapitalistik maupun sistem ekonomi sosialistik. Masing-masing sitem
ekonomi tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sistem
ekonomi kapitalistik pada dasarnya berasumsi bahwa peranan negara
atau pemerintah dalam bidang ekonomi harus semaksimal mungkin
dikurangi. Adapun sistem ekonomi sosialistik justru sebaliknya
beranggapan bahwa dengan melalui peranan negara dalam bidang
ekonomi akan dapat memberikan hasil yang lebih mamadai dan
menjamin terselenggaranya kesejahteraan masyarakat.
7 A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, pidato pengukuhan
dalam Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, (Jakarta, 22
April 1992), h. 8. 8 M. Rusli Karim, Negara: Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan Fungsi,
Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1997, h. 1.
49
Penguasaan sumber daya alam oleh negara, sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dengan tujuan dari penguasaan
tersebut yaitu guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengertian ”dikuasai negara” adalah termasuk pengertian mengatur
dan/atau menyelenggarakan, membina dan mengawasi, terutama untuk
memperbaiki dan meningkatkan pelayanan, sehingga sumber daya air
dapat didayagunakan secara adil dan berkelanjutan.
Berdasarkan kedudukan air sebagai hak asasi manusia, maka negara
utamanya pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan,
menegakkan dan memenuhinya. Meskipun demikian, untuk pemanfaatan
air dalam fungsi sekundernya, keterlibatan swasta menjadi penting sebab
pada tataran tertentu, air pun dapat dikenai harga secara ekonomi. Negara
mempunyai hak menguasai sumber daya air, prioritas utama menguasai
atas air diberikan kepada BUMN/BUMD.
Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak warga negara tidak
bisa dilepaskan dari kekuasaan yang dimiliki oleh negara. Kekuasaan
negara berlandaskan pada konsepsi kedaulatan. Konsepsi kedaulatan
berkenaan dengan pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaan ini bisa
dipandang dari kekuasaan di bidang politik dan kekuasaan dibidang
ekonomi. Dalam konsespsi kedaulatan raja misalnya kedaulatan yang
dimiliki oleh raja dari segi politik adalah kedaulatan atas rakyatnya
sementara dari segi ekonomi adalah kedaulatan atas kekayaan atau harta
benda sebagaimana dalam konsep perdata termasuk kekayaan atas tanah
dan air sebagai sumber penghidupan.9
Konsep kedaulatan yang berlaku di Indonesia berdasarkan UUD 1945
adalah kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat
(2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan
menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, kekuasaan tertinggi,
termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini sumber
9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), h. 147
50
daya air, dilakukan dengan memperhatikan kepentingan pemegang
kedaulatan tertinggi yakni rakyat. UUD NRI Tahun 1945 menjadi
pedoman bagaimana penyelenggaraan kedaulatan rakyat ini dilakukan.10
Selama ini, UU SDA 2004 telah memanjakan negara sehingga lalai
dan akhirnya melepaskan tanggung jawab pengelolaan air. Pelalaian
tanggung jawab tersebut dilaksanakan melalui mekanisme hak guna
usaha. Pasal 9 Ayat 1 UU SDA 2004 menyatakan bahwa hak guna usaha
air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin
dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya Pasal 40 Ayat (4) UU SDA 2004 menyatakan bahwa
koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
Menurut penulis dalam teori kedaulatan ini pada intinya peran negara
dalam pengelolaan sumber daya air ini sangat erat kaitannya dengan
kewajiban negara untuk memenuhi hak atas air sebagai hak asasi
manusia. Selain UUD NRI Tahun 1945 yang telah menegaskan
kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, memajukan dan
memenuhi hak asasi manusia.
Kewajiban inti yang demikian, tidak bisa diserahkan kepada swasta
untuk memenuhinya sebab pada dasarnya negara yang memiliki
kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia. Secara umum negara
memiliki tiga jenis kewajiban terkait hak asasi manusia yakni kewajiban
negatif untuk menghargai hak asasi manusia, kewajiban positif untuk
melindungi hak asasi manusia dalam arti untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hak asasi oleh pihak ketiga dan kewajiban untuk memenuhi
hak asasi manusia.11
10
Helmi Kasim, “Penegasan Peran Negara dalam Pemenuhan Hak Warga Negara Atas
Air”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Juni
2015), h. 362. 11
Helmi Kasim, “Perspektif Konstitusional Kedudukan Negara dan Swasta dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut UUD 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol 13, No. 2, (Juni:2016),
h. 470.
51
b. Menurut Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
Menurut penulis Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu menegakan konstitusi dan
prinsip Negara hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan.
Mahkamah Konstitusi juga diharuskan mampu memberi keseimbangan
(checks and balances) antara lembaga negara dan menyelesaikan
sengketa konstitusional, agar hukum dasar yang terkandung dalam UUD
NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan, dan satu
kewajiban, yaitu:
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Waib, memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitus tersebuti memberikan pedoman
mengenai bagaimana konsepsi implementatif dari penguasaan negara atas
sumber daya alam. Konsepsi implementatif tersebut, yaitu:
1. Prinsip kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan.
2. Prinsip rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD NRI
Tahun 1945 memberi mandat kepada negara.
3. Prinsip mandat rakyat secara kolektif untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichtoudendaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
52
Menurut Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
Pengelolaan secara langsung oleh negara merupakan penguasaan yang
paling utama dan ini dilakukan dengan mendayagunakan BUMN.
Dengan kata lain, konstitusi, berdasarkan tafsir Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya, menempatkan BUMN dalam garda terdepan
penguasaan oleh negara dengan melakukan pengelolan langsung atas
bumi dan air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konsitutusi secara jelas dan tegas meletakkan titik tolak
pertimbangannya pengujian UU No.7 tahun 2004 pada Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa air adalah bahwa sebagai cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang
harus dikuasai oleh negara dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas
air sifatnya mutlak.12
Air harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, penguasaan atas air oleh
negara dilakukan dengan maksud semata-mata agar air dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Bila merujuk pada public trust doctrine maka
dalam hal ini penguasaan oleh negara atas air tersebut mengandung
pengertian bahwa penguasaan tersebut merupakan amanah yang
dipercayakan rakyat kepada negara yang berarti menempatkan rakyat
sebagai pemberi amanah dan negara sebagai penerima amanah.
Penguasaan ini pun harus dilakukan dengan merujuk pada konstitusi
atau putusan Mahkamah Konstitusi sebagai landasan konstitusionalnya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, ada lima mandat yang
diberikan rakyat kepada negara untuk melaksanakan penguasaan tersebut
yakni mandat untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan melakukan
12
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi bagian 3.22 dalam putusan perkara nomor
85/PUU-XI/2013, h. 138
53
tindakan pengurusan (bestuursdaad) yang dijabarkan ke dalam
kewenangan untuk mengeluarkan dan mecabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie) dan konsesi (concessie).
Mandat untuk melakukan fungsi pengaturan (regelendaad) yang
diwujudkan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan
pemerintah dan kewenangan regulasi oleh pemerintah. Mandat untuk
melakukan fungsi pengurusan (beheersdaad) melalui mekanisme
kepemilikan saham (share-holding) atau keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Hukum
Milik Negara (BHMN).
Mandat pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara
khususnya oleh pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan
agar penguasaan oleh Negara tersebut dilakukan benar-benar untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat13
.
Konsep penguasaan oleh negara ini juga menjadi paradigma yang
digunakan dalam memutus pengelolaan sumber daya air. Berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi, secara konstitusional air telah diakui
sebagai hak asasi manusia. Dengan demikian, adalah menjadi kewajiban
negara untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut dengan paradigma
bahwa negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect)
dan memenuhinya (to fulfil)14
.
Bila merujuk pada ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, negara
utamanya pemerintah bertanggung jawab atas perlindungan (protection),
pemajuan (promotion), penegakan (enforcement), dan pemenuhan
(fulfillment) hak asasi manusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan penegasan atas
dibatalkannya keberlakuan secara kesluruhan UU SDA karena tidak
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, bagian 2.3, h. 70 14
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, bagian 2.3, h. 65.
54
memenuhi enam prinsip diantaranya: Pertama, Setiap pengusahaan atas
air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak
rakyat atas air Karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya selain harus dikuasai oleh Negara, juga peruntukannya
adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua, Negara harus
memenuhi hak rakyat atas air. Ketiga, Harus mengingat kelestarian
lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia. Keempat,
Air sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak yang harus dikuasai oleh Negara. Kelima, sebagai
kelanjutan hak menguasai oleh Negara dan karena air merupakan sesuatu
yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama
yang diberikan penguasaan atas air adalah BUMN/BUMD. Keenam,
Pemerintah dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta
untuk melakukan pengusaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan
ketat.15
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, penguasaan atas air dan
pengelolaannya sepenuhnya diserahkan kepada negara. Pemenuhan
kebutuhan akan air merupakan tanggung jawab negara. Negara memiliki
kewajiban fundamental untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar
demikian terpenuhi dengan baik. Kegagalan memenuhi kebutuhan dasar
ini atau setidaknya menyediakan akses untuk terpenuhinya kebutuhan
tersebut dapat menempatkan negara pada posisi tidak bertanggung jawab
(irresponsible). Penguasaan dan pengelolaan ini berkaitan dengan fungsi
negara yang berdasarkan public trust doctrine sebagai pengemban amanat
dari rakyat atas pengelolaan air sebagai benda publik (res commune).
Pasal 5 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan
bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak atas air bagi
15
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. h, 138-139
55
setiap orang guna memenuhi kebutuhan minimum sehari-hari yang sehat,
bersih dan produktif. Sayangnya, pada pasal-pasal berikutnya tidak
pernah ditemukan mekanisme yang hendak ditempuh oleh negara agar
jaminan negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ini dapat
diwujudkan. Jaminan ketersediaan air bagi semua orang tidak mendapat
mekanisme yang tegas dan jelas, maupun janji akan adanya pengaturan
lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan di
bawahnya.
Meskipun negara berperan mutlak dalam pengelolaan sumber daya
air, peran swasta juga tidak dinafikan. Salah satu alasan mendasar
pelibatan swasta dalam pengelolaan air adalah faktor dana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 secara
substantif menentukan rambu-rambu pengusahaan air berupa
pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan ketika air ditempatkan
sebagai benda ekonomi dan dikenai harga secara ekonomi. Dalam
putusan ini, semua bentuk pengelolaan air diarahkan pada terpenuhinya
hak warga negara atas air sebab air telah ditentukan sebagai hak asasi
manusia.
Pada dasarnya penulis berpendapat bahwa menurut teori kedaulatan
yang telah dijelaskan di atas telah sesuai dengan isi Putusan Mahkamah
Konstitusi, bahwa peran negara atau pemerintah pada intinya adalah
memenuhi hak dan kewajiban masyarakat atas penggunaan Sumber Daya
Air, karena hakikatnya Sumber Daya Air merupakan sesuatu yang sangat
penting menguasai hajat hidup orang banyak.
Seperti sudah dijelaskan dalam pertimbangan hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi, bahwa pengelolaan sumber daya air ditujukan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
sebaliknya, Sumber Daya Air di negara kit, bukan untuk komersialisasi,
privatisasi atau swastanisasi, dan monopoli.
56
Penulis beranggapan bahwa antara teori hukum dan isi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 mengenai peran dan
kewajiban negara dalam penguasaan sumber daya air kita ini, telah sesuai
karena sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945
bahwa negara utamanya pemerintah memiliki tanggung jawab atau
kewajiban dalam perlindungan (protection), pemajuan (promotion),
penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fullfilment) hak asasi
manusia. Maka dari itu sudah jelas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 hanya ingin realisasi dalam melaksanakan
pengelolaan sumber daya air negara, sesuai dengan dasar hukum yang
telah ditetapkan yaitu pada Undang-Undang Dasar 1945.
B. Hak Penguasaan Sumber Daya Air Oleh Negara Pespektif Hukum Islam
Pada umumnya air, seperti yang telah dijelaskan di atas, merupakan
salah satu benda yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh
semua orang. Sedangkan air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air
sungai, air sumur, dan air dari mata air.
Seluruh makhluk hidup di muka bumi membutuhkan air. Sejak awal
kehidupan, mahluk hidup terutama manusia telah memanfaatkan air untuk
kelangsungan hidupnya, bahkan mutlak dibutuhkan manusia. Seiring dengan
pertambahan penduduk dan perkembangan industri, kebutuhan manusia akan
air cenderung meningkat.
Mengingat pentingnya air sebagai sumber kehidupan seluruh makhluk
hidup, maka pengaturan air pun tidak cukup hanya diatur oleh peraturan
ditingkat Undang-Undang (UU), tetapi juga perlu diatur dalam konstitusi. Hal
ini disadari betul oleh para pendiri negara kita. Oleh karena itu, tatkala
merumuskan ketentuan tentang sumber daya alam dalam konstitusi, air
merupakan komponen sumber daya alam yang mesti dimasukan dan diatur
dalam konstitusi.
57
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 memberi ruang yang luas bagi
swasta untuk menguasai sumber-sumber air (air tanah, segala bentuk air
permukaan, dan sebagian badan sungai). Instrumen Hak Guna dalam pasal 7,
8, 9,dan 10 menjadi dasar alokasi dan penguasaan sumber-sumber air kepada
swasta (individu dan badan usaha).
Pengaturan dengan instrumen Hak Guna mirip dengan instrumen
water rights dari Water Management Policy dari Bank Dunia. Instrumen yang
sama tersebut juga telah didesakkan oleh Bank Dunia kepada Pemerintah
Srilanka dalam penyusunan pengelolaan air dan irigasi pertanian tahun 1996.
Instrumen Hak Guna ini menjadi dasar pengelolaan air dan menjiwai
sebagian besar pasal-pasal dalam Undang-undang Sumber daya Air ini.
Pemikiran para pendiri negara kita (the founding fathers) ini telah
melahirkan rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, ”Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
1. Perspektif Teori Kepemilikan
Dalam pandangan Islam kepemilikan terhadap sumber daya alam yang
ada di bumi pada dasarnya ialah milik Allah SWT. Kepemilikan yang
ada pada Allah SWT pada dasarnya ialah semata untuk menciptakan
kesejahteraan dan keadilan bagi segenap manusia. Untuk mengatur
penggunaan kepemilikan tersebut di muka bumi, Allah SWT
mengaturnya lewat pesan universal Al-Qur‟an dan pesan-pesan rasul-Nya
seperti yang ada dalam Hadist dan Sunnah. Pesan Al-Qur‟an dan Hadist
inilah yang kemudian melahirkan ijtihad ulama‟.
Adapun Hadits Nabi SAW. Yang berbunyi:
المسلمون شركاء في ثالث في الكإل والماء والنار
“Manusia bersyarikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api”.
58
Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan terhadap harta
yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara‟.
Dan oleh karena itu islam juga menetapkan cara-cara melindungi hak
milik ini, baik melindungi dari pencurian, perampokan, perampasan yang
disertai dengan sanksinya.
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa arab al-milk yang
berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang
dimiliki (harta). Secara terminologi, ada beberapa definisi al-milk yang
dikemukakan oleh para fuqoha, antara lain:
Definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa al-Syalabi:16
اختصاص بالشيئ يمنع الغير ويمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء اال لمانع شرعي
“Hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan
pemiliknya membelanjakannya secara langsung selama tidak ada
halangan syara (halangan yang ditetapkan hukum islam)”.
Dari dasar-dasar hukum tentang hak milik tersebut dapat kita ketahui
bahwasannya semua harta-harta manusia termasuk air, rumput dan api
adalah kepunyaan Allah dan diperuntukkan bagi umatnya. Jadi, menjadi
kewajiban bagi makhluk terutama manusia untuk senantiasa
memanfaatkan nikmat dari Allah SWT tersebut untuk kepentingan dan
keberlangsungan hidup makhluk di dunia.
Jadi, kekuasaan Allah SWT disini terhadap penguasaan langit, bumi
dan segala apa yang ada di dalamnya mutlak milik Allah yang tidak
dipunyai makhluk-Nya, sedangkan hak manusia terhadap langit bumi dan
segala hal yang ada di dalamnya hanyalah merupakan hak semu, yang
mana manusia hanya mempunyai hak untuk memanfaatkannya demi
16
AH. Azharudin Lathif,Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005), h. 47
59
kesejahteraan manusia itu sendiri. Sudah sepatutnya kita dapat terlepas
dari praktek komersialisasi di mana semakin terbatasnya sumber mata air
menjadikan air sebagai komoditas yang memiliki nilai komersil sangat
tinggi.
Alasan mendasar dari eksistensi kepemilikan ketiga hak tersebut (air,
padang, rumput dan api) karena manfaat hak ketiganya yang berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak. Peniadaan terhadap hak-hak publik
tersebut akan mendorong terhadap kemiskinan, pemelaratan dan
kemudaratan. Privatisasi terhadap ketiga hak tersebut berarti akan
meniadakan hak-hak publik untuk menggunakan dan mengkonsumsinya.
Wahbah Zuhaili menafsirkan (QS. Al-Anbiyya‟: 30)
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
keduanya dahulu menyatu kemudian kami pisahkan antara keduanya, dan
kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa
mereka tidak beriman?”.
Maksud dari ayat diatas menurut Wahbah Zuhaili bahwa setiap
makhluk hidup diciptakan dari unsur air. Unsur terpenting dari makhluk
hidup di dunia ini adalah air. Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa
makhluk hidup tidak bisa hidup tanpa adanya air. Islam sependapat
bahwa hak atas air termasuk hal yang paling dasar bagi manusia untuk
keberlangsungan hidup di dunia ini.17
Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya
dapat dibagi menjadi dua bagian:
1) Kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan
terhadap suatu harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk
seseorang yang tertentu sebagai pemilik harta.
2) Kepemilikan umum (milkiyah „ammah), yaitu: kepemilikan terhadap
sesuatu yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok
17
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz IX, (Damaskus: Dar al-fikr, 2003), h. 48-51
60
masyarakat dengan ketentuan setiap anggota masyarakat berhak
menggunakannya atas nama bagian dari masyarakat tersebut.
Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian
kepemilikan dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi
tiga bagian dengan menambah satu bagian, yaitu:
3) kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang
merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin atau rakyat dan
pengelolaannya menjadi wewenang khalifah atau negara, dimana
khalifah atau negara berhak memberikan atau mengkhususkannya
kepada sebagian kaum muslim atau rakyat sesuai dengan ijtihadnya.
Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang
dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan individu ialah kekayaan yang dapat dimiliki oleh setiap
individu masyarakat melalui sebab-sebab kepemilikan yang disyariatkan
oleh Allah SWT seperti hak hasil bekerja,waris, dan pemberian harta
negara kepada rakyat. Kepemilikan umum ialah kekayaan yang oleh
Allah diperuntukkan bagi seluruh umat seperti kekayaan alam yang tidak
boleh dimiliki secara perseorangan. Sedangkan kepemilikan negara
adalah kekayaan yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang
pengelolaannya menjadi wewenang negara seperti harta fa’i, kharaj,
jizyah dan lain sebagainya.
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama
kali diperbolehkan oleh Rasulullah SAW untuk seluruh umat manusia.
Mereka berserikat didalamnya dan melarang mereka untuk memiliki
bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak
seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada
untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil
rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak
dimiliki oleh seseorang.
61
Menurut aturan islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan
umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya
diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum sebaliknya, haram
hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada
individu, swasta apalagi asing.
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan
hadist dari penunturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut
diceritakan bahwa Abyadh bin Hammal pernah meminta kepada
Rasulullah SAW. Untuk dapat mengelola sebuah tambang garam.
Rasulullah SAW lalu meluluskan permintaan itu, namun, beliau segera
diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah anda, apa
yang telah anda berikan kepada dia? sungguh anda telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir (mau al-iddu).” Rasulullah SAW
kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-
Tirmidzi).
Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumber daya
alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tidak mau kita harus
kembali pada ketentuan syariah islam. Selama pengelolaan sumber daya
alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak di atur dengan
syariah islam, semua itu tidak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan
pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti di tengah berlimpahnya
sumber daya alam kita, mayoritas rakyat negri ini miskin, masih banyak
yang kekurangan air atau tidak mendapatkan haknya sebagai warga
negara Indonesia. Paslnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya di
nikmati oleh segelintir orang, terutama pihak swasta atau pihak asing,
bukan oleh rakyat kebanyakan.18
Berbeda dengan sistem kapitalis, islam dalam praktek berekonomi
terdapat etika-etika yang mengaturnya agar sistem berekonomi akan
18
https://mediaumat.news. Di akses pada tanggal 27 September 2019, pukul 07.14 WIB
62
tercipta keadilan serta memperlakukan lingkungan hidup dengan baik
dan bijaksana agar lingkungan dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan di
era sekarang maupun di era akan mendatang. Ketika berbicara soal air
yang dijadikan komoditas barang yang diperjual belikan Islam dengan
tegas melarang. Karena air merupakan hak publik dan mempunyai peran
yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup seluruh makhluk di
bumi.
Dalam hal ini pemerintah tidak boleh memberikannya hanya kepada
satu golongan dan melarang golongan lainnya. Pemerintah hanya
diperbolehkan melakukan pengaturan agar tidak terjadi perselisihan antar
sesama anggota masyarakat dalam memanfaatkan sarana umum tersebut.
Pada Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi
memutuskan menyatakan bahwa UU No. 7 Tahun 2004 tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat dan menyatakan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 tentang Pengairan berlaku kembali. UU No. 7 Tahun 2004
dianggap:19
1) Mengandung muatan penguasaan dan monopoli sumber-sumber
daya air yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dikuasai negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2) Mengandung muatan yang memposisikan bahwa penggunaan air
adalah condong untuk kepentingan komersial.
3) Mengandung muatan yang memicu konflik horizontal.
4) Menghilangkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan
kebutuhan air.
5) Merupakan UU yang diskriminatif.
Dalam pandangan fiqih siyasah, pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi
19
Alasan Pemohon dalam Perkara Nomor 85/PUU-XI/2013.
63
semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air, hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih yang berbunyi:20
عية منوط بالمصلحة ف االمام على الر تصر
”kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus
dibebankan (diarahkan) kepada kepentingan umum”
Pada dasarnya islam dalam menentukan hukum islam semua
kaidah akan bertujuan satu yakni:
“Menolak kerusakan itu di dahulukan daripada menarik
kebaikan”21
.
Maksud dari kaidah fiqh tersebut adalah bagaimana tujuan dari
penetapan hukum tercipta dapat memilah-memilah antara lebih banyak
manfaat atau lebih banyak madharat yang tercipta. Jika kita
menariknya kedalam Al-Maqasid Asy-syari‟ah yakni tujuan-tujuan
dari pokok syari‟at Islam yaitu dapat memberikan keadilan yang
menyeluruh tidak hanya memberikan bersikap adil terhadap manusia
tetapi juga keseimbangan hidup. Hukum mengenai air harus memenuhi
syarat-syarat yang telah dijadikan rujukan dalam penentapan hukum
yakni berdasarkan tujuan maqasid asy-syari‟ah.
Dalam Maqasid Asy-Syari‟ah terdapat beberapa prinsip yaitu
prinsip keadilan, rahmat, hikmah, kesejahteraan manusia, dan
kebaikan. Prinsip-prinsip tersebut yang merupakan tujuan
diberlakukannya hukum Islam dari seluruh aspek kehidupan tidak
terlepas dari hukum yang diterapkan termasuk hukum tentang sumber
daya air. Jika diberlakukannya komersialisasi sumber daya air, Islam
dengan jelas melarang praktek tersebut, karena air merupakan barang
20Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
h.124 21
Moh. Adib Bisri. Terjemahan Al Faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh, (Rembang:
Menara Kudus, 1997), h. 24.
64
publik dan setiap makhluk akan mengalami kepunahan tanpa adanya
air.
Karena bagaimanapun bentuk privatisasi pasti akan berujung pada
komersialisasi. Karena tujuan utama dari privatisasi adalah
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan berpegang
pada prinsip kaidah Islam yang lebih mengedapankan kebaikan dan
meninggalkan keburukan praktek komersialisasi sumber daya air di
Indonesia menurut hukum islam tidak diperbolehkan. Ini bertujuan
untuk terciptanya sebuah keadilan, rahmat, hikmah, kesejahteraan
manusia, dan kebaikan.
Karena praktek komersialisasi sumber daya air sangat merugikan
bagi orang miskin karena untuk mengakses air bersih mereka akan
kesusahan dengan dana yang serba terbatas. Ditambahkan lagi efek
kedepan dari praktek tersebut jikalau terjadi kelangkaan air ini bisa
mengakibatkan terjadinya monopoli air. Hal ini bisa saja terjadi
mengingat daerah resapan air di Indonesia memberikan sikap bagi
setiap individu agar lebih baik dan bijaksana dalam memanfaatkan air.
Menurut penulis, penguasaan sumber daya air oleh negara dalam
pandangan islam yang diatur dalam fiqih muamalah dan fiqih siyasah
bahwa, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum.
Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya
diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum sebaliknya, haram
hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada
individu, swasta apalagi asing.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat
menarik kesimpulan yaitu:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 mengenai peran dan
kewajiban negara dalam penguasaan sumber daya air, telah sesuai karena
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 bahwa negara
utamanya pemerintah memiliki tanggung jawab atau kewajiban dalam
perlindungan (protection), pemajuan (promotion), penegakan (enforcement), dan
pemenuhan (fullfilment) hak asasi manusia.
2. Menurut pandangan hukum islam yang merujuk pada fiqih muamalah yaitu teori
kepemilikan bahwa penguasaan sumber daya air dan semua kekayan alam yang
ada di negara harus dikuasai oleh negara. Lebih tepatnya oleh pemerintah yang
mengatur semuanya. Karena hakikatnya sumber daya air sebesar-besarnya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 2004 tentang sumber daya air adanya keterkaitan dengan terlibatnya pihak
swasta dalam proses pengelolaanya, hal ini tidak terlepas dari pergeseran makna
air yang sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas yang
lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya berorientasi pada mencari
keuntungan. Apabila sumber daya air dipegang oleh swasta seharusnya adanya
batasan-batasan yang diberikan pemerintah kepada pihak swasta.
B. Saran
Dari hasil penelitian di atas maka penulis menyarankan agar:
1. Pemerintah lebih memperhatikan hasil pertimbangan hakim agar tidak terjadi
penyelewengan makna penguasaan negara atas sumber daya air. Karena
masyarakat pun membutuhkan haknya untuk mendapatkan keadilan atas sumber
daya air di negaranya sendiri. Jika pemerintah ingin memberi peluang kepada
pihak swasta ikut campur tangan dalam pengelolaan sumber daya air kita, lebih
baik diberi batasan yang sangat ketat agar tidak terjadi komersialisasi ataupun
privatisasi air untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
66
2. Pemerintah hendaknya segara membuat Undang-Undang baru mengenai Sumber
Daya Air dengan memperhatikan kemaslahatan masyarakat dan tidak merugikan
masyarakat kembali, sesuai dengan prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang
tertera dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
67
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Yunusal-Mishry, Rofiq, Ushul al-Iqtishod al-Islami, (Beirut: Dar as-
Syamiyah,1993).
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001).
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
(Rajawali Pers, Jakarta, 2001).
Ibrahum, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia
Publishing, Juli 2008).
Kusnadi, Moh, Ilmu Neagara, (Gaya media pratama jakarta).
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Gramedia, Jakarta 1977).
Attamimi, Hamid, Teori Perundang-Undangan Indonesia, pidato pengukuhan
dalam Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, (Jakarta, 22 April 1992).
Karim,M. Rusli, Negara: Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan
Fungsi,(Tiara Wacana, Yogyakarta, Cetakan Pertama, 1997).
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Komplikasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Gema
Insani Press, Jakarta, 1996).
Friedmann, W, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven And
Son, London.
Ilmar, Aminudin, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, (Kencana,
Jakarta, Cetakan Kesatu, Juni 2012).
Lathif, Azharudin AH, Fiqih Muamalat,(Cetakan 1, Desember 2005).
Mas’adi, Ghufron, Fiqih Muamalah Kontekstual ,(Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2002).
Asshiddiqie, Jimly, Mahkamah Konstitusi Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan
peraturan di pusat 78 negara,(Tahun 2002).
68
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Sinar Grafika:
Jakarta Timur, 2010).
Soemantri, Sri, Hak Menguji Material Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni,
1986).
Marzuki, Mahmud, Petter, Penelitian Hukum. Edisi Revisi. (Jakarta: Prenada
Media Group, Cet. Kesembilan, 2011).
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005).
Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir, juz IX, (Damaskus: Dar al-fikr, 2003).
Bisri, Moh, Adib, Terjemahan Al Faraidul Bahiyah Risalah Qawaid Fiqh,
(Rembang: Menara Kudus, 1997).
JURNAL DAN SKRIPSI
Grace Istia, Justicia, “Implikasi Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air Terhadap Perusahaan Pengelola Air
(Pdam Kota Surakarta Dan PT Tirta Investama Klaten)”, Privat Law,
Vol. IV, No. 2, (Juli - Desember 2016).
Arrsa, Ria Casmi, “Telaah Sociolegal Terhadap Terwujudnya Kedaulatan Hak
Atas Sumber Daya Air”, Jurnal Recgtvinding, Vol 4, No. 2
(Agustus:2015).
Sukobar, “Perencanaan/Pengendalian dan Pengembangan Potensi Sumber Daya
Air Kabupaten Pasuruan”, Volume 8, Nomor 2, (Agustus 2010).
Ardana, Heka, Doni, Putu, “Undang-Undang Air No. 7 Tahun 2004 Dalam
Perspektif Manajemen Sumber Daya Air”, Mahasiswa Universitas
Ngurah Rai. (Tahun 2017).
Chalid, Hamid, “Studi Tentang Hukum Air Dan Problematika Pemenuhan Hak
Asasi Manusia Atas Air Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan (Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018).
Maman, Ujang, “Pengelolaan Sumber Daya Air Bagi Swasembada Pangan Dalam
Sistem Agribisnis Syariah”, Jurnal Agribisnis, Vol. 8, No. 2,
(Desember 2014).
69
Ahmad, “Hak Menguasai Negara: Konsep Pengelolaan Sumber Daya Air
Berdimensi Transendental”.
Kasim, Helmi, “Perspektif Konstitusional Kedudukan Negara dan Swasta dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut UUD 1945”, Jurnal
Konstitusi, Vol 13, No. 2, (Juni:2016).
Kasim, Helmi “Penegasan Peran Negara dalam Pemenuhan Hak Warga Negara
Atas Air”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2, (Jakarta, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Juni 2015).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
INTERNET DAN ARTIKEL
MK Batalkan UU Sumber Daya Air, http://www.hukumonline.com/mkbatalkan-
uu-sumber-daya-air, diakses pada tanggal 5 April 2016, Pukul 15.40
WIB
Rosemary Lyster, “The Current Status of Water Law in New South Wales.”
Makalah dalam seminar tentang Water Law Reform in New South
Wales, the Faculty of Law, the University of Sydney, (22 September
2004).
https://metro.tempo.co
70
https://m.liputan6.com/amp/3885185/upaya-hukum-kandas-di-mahkamah-agung-
air-minum-di-jakarta-milik-swasta
https://m.hukumonline.com enam materi muatan dalam RUU Sumber Daya Air
https://mediaumat.news. Diakses pada tanggal 27 September 2019, pukul 07.14 WIB