Upload
alim-sumarno
View
290
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : Triton Prawira Budi Muzayanah Nugroho Hari Purnomo, http://ejournal.unesa.ac.id/
Citation preview
1
HUBUNGAN ANTARA STATUS PEKERJAAN DAN PERSEPSI NILAI
ANAK-ANAK TENTANG PEREMPUAN MENIKAH DI KOTA
SURABAYA
Triton Prawira Budi*
Muzayanah *
Nugroho Hari Purnomo*
Abstract
A woman who lives in an urban area is faced with high living cost demand
which oftentimes entangles her in activity to earn a living for her family. On the
other side, she is also demanded to raise her children so as to yield a qualified
generation in the future. It becomes a serious problem that requires some
strategic answers. This research was done in the housing complex of Ketintang,
Surabaya. The type of this research is descriptive-analytic research, by using
survey method, and the data were analyzed quantitatively. This research
population was married women from the above area. The purpose of this research
is to know the significance of the relationship between working status with
children’s value perception, ages with children’s value perception, education with
children’s value perception, and couple’s income with children’s value
perception. The results of this research indicate that the relationship between
couple’s income with children’s value perception is significant at 95 % trust level.
The significant is showed by value of chi-square= 4,50 at value of p < 0,05. The
opportunity of respondents with high couple’s income to have positive children’s
value perception is equal to 4.00 times, as compared to the opportunity of the
respondents to have negative perception. This matter is shown by value of OR as
equal to 4.00 at 95 % trust interval among 1.7 until 14.90. In reality, working
status, age, and formal education among married women do not have significant
relationship with children’s value perception at 95 % statistic trust level.
Key words: value perception, working status of women, family’s income
A. Pendahuluan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 31, menyatakan
bahwa wanita mempunyai kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Didukung
meningkatnya jumlah wanita dengan anak sedikit di Indonesia, makin banyak
wanita memanfaatkan tenaga dan waktu di sela kewajiban sebagai ibu rumah
* Triton Prawira Budi, S.Si., Muzayanah, S.T., M.T., dan Nugroho Hari
Purnomo, S.P., M.Si. staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Surabaya.
2
tangga dengan memasuki dunia kerja ketika datang tawaran atau kesempatan.
Penduduk Kota Surabaya dalam bulan Juni 2005 mencapai 2.701.312 jiwa,
terdiri dari penduduk laki–laki 1.358.610 jiwa dan penduduk perempuan
1.342.702 jiwa, dengan tingkat kepadatan 8.277 jiwa / km2. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) di Kota Surabaya selama tahun 2002 sampai dengan
September 2004 menunjukkan perkembangan meningkat. Pada tahun 2002 TPAK
mencapai 61,19%, tahun 2003 naik menjadi 61,23%, dan di tahun 2004 sampai
dengan bulan September, TPAK di Kota Surabaya telah mencapai angka 61,97%.
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk, 2005
Gambar 1. Grafik Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di
Kota Surabaya Periode 2002-September 2004
Grafik di atas menunjukkan bahwa TPAK di Kota Surabaya cenderung
meningkat. Mengingat masyarakat kota umumnya sudah memiliki kesadaran
jender lebih baik dibandingkan masyarakat di desa, maka peningkatan TPAK ini
memungkinkan semakin banyaknya wanita baik yang belum maupun telah
menikah yang memilih untuk bekerja di Surabaya.
Di samping aspek positif meningkatnya kesetaraan gender dengan banyak
wanita yang bekerja, ada indikasi bahwa penurunan fertilitas menunjukkan
pergeseran persepsi nilai anak oleh wanita bekerja. Dahulu sebagian besar
masyarakat, menilai anak sebagai sumber rezeki dengan pameo “banyak anak
3
banyak rezeki”, sekarang pameo itu berubah menjadi “banyak anak banyak
beban”. Keuntungan materi dan kebahagiaan oleh orang tua apabila mempunyai
anak, tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam membesarkan anak.
Jika jumlah anak dalam keluarga itu besar, maka biaya dan waktu alokasi untuk
anak akan besar dan hal tersebut dapat membebani orang tuanya.
Rahmawati (2003) mengemukakan dua pandangan yang bertentangan
mengenai persepsi nilai anak. Pandangan pertama, bahwa dengan jumlah anak
banyak dapat meringankan beban orangtua. Pandangan kedua, bahwa anak dengan
jumlah banyak, bila tidak berkualitas justru memperberat beban orangtua kelak.
Fawcett (1986) mengemukakan enam nilai anak bagi orang tua, yaitu (1) perekat
cinta kasih, (2) sumber tenaga kerja, (3) asuransi di hari tua, (4) pelangsung
keturunan, (5) sumber rezeki, (6) anak sebagai teman, penolong dan pelindung.
Persepsi nilai anak dapat mempengaruhi jumlah anak yang diinginkan.
Konkretnya, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara status kerja dengan persepsi
nilai anak pada wanita telah menikah?
2. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan persepsi nilai
anak pada wanita telah menikah?
3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan
persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?
4. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan
persepsi nilai anak pada wanita telah menikah?
5. Apakah terdapat hubungan bersama-sama yang signifikan antara status kerja,
umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada
wanita telah menikah?
B. Kajian Pustaka
Menurut Parawangsa (2006), pembangunan di berbagai bidang yang
diselenggarakan selama ini belum terlalu mampu mengangkat kualitas perempuan.
Hal ini antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya nilai Gender-related
Development Index (GDI) Indonesia. GDl mengukur variable-variable dalam
4
HDI. Namun dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, nilai GDI Indonesia
adalah 0,675 dan berada pada rangking ke-88. jauh tertinggal dibanding negara-
negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand (HDR, 1999).
Namun, status wanita menikah bekerja di Indonesia bukanlah persoalan
sederhanan. Menurut Kofifah (2006), dalam hal kesetaraan dan keadilan gender,
tampak bahwa belum sepenuhnya dapat diwujudkan, karena masih kuatnya
pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki. Nilai-nilai ini menempatkan
laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara.
Kesetaraan gender ditandai oleh pembakuan peran, beban ganda, sub
ordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Semua berawal dari
diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki akses,
kesempatan, dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari
pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Himpitan permasalahan
gender ini dapat menyebabkan wanita bekerja memiliki persepsi nilai anak
berbeda dibanding wanita yang tidak bekerja.
Persepsi adalah proses kognitif yang dialami seseorang untuk memahami
informasi lingkungan, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan, dan penciuman (Thoha, 1980). Proses persepsi menyediakan mekanisme
seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti, sehingga gambaran
mengenai lingkungan cenderung diwakili oleh stimuli tersebut (Winardi, 2002).
Menurut Rahmawati (2003), ada beberapa syarat agar seseorang dapat
menyadari dan dapat melakukan persepsi, yaitu 1) adanya objek yang dipersepsi,
2) adanya indera atau reseptor, yaitu sebagai alat untuk menerima stimulus, dan 3)
diperlukan perhatian sebagai langkah awal menuju persepsi.
Mengenai nilai anak, menurut Rahmawati (2003) orang tua sekaligus
menentukan pilihan untuk memiliki anak atau tidak, dan dari sudut pandang
ekonomi kependudukan mikro, orang tua atau dari satuan keluarga telah
menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama seperti mobil, rumah,
televisi, dan sebagainya, yang dapat memberikan kepuasan dalam waktu yang
lama. Setiap orang tua telah memiliki sumber-sumber yang terbatas dan berusaha
semaksimal mungkin untuk mendapatkan kepuasan dengan memilih berbagai
5
barang, termasuk pilihan jumlah anak yang diinginkan. Pendekatan ini sulit
menjawab mengapa meningkatnya penghasilan justru menyebabkan turunnya
fertilitas. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan,
orang tua ingin agar anaknya bependidikan formal lebih tinggi, sehingga mereka
lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, 1990).
Dasar pemikiran utama dari teori transisi demografi adalah bahwa sejalan
diadakannya pembangunan sosial ekonomi, maka keinginan mempunyai anak
lebih merupakan suatu proses ekonomis daripada proses biologi (Robinson dalam
Lucas dkk, 1990). Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menentukan jumlah kelahiran anak yang diinginkan per keluarga di antaranya
adalah jumlah kelahiran yang dapat dipertahankan hidup (survive). Tekanan
utama adalah cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila
orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran
anak yang diinginkan. Perhitungan-perhitungan ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran seorang anak, baik berupa keuangan maupun psikis (Caldwell, 1983).
Menurut Robinson (1983) ada tiga macam tipe kegunaan anak yakni:
1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi, misalnya
sebagai sumber hiburan.
2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni
dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan
tertentu yang menambah pendapatan keluarga.
3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada
hari tua maupun sebaliknya.
Menurut pendekatan lain yang lebih sesuai dengan keadaan di negara
berkembang, anak dianggap sebagai barang investasi atau aktiva ekonomi.
Orangtua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari anak. Manfaat ini akan
nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha milik keluarga atau
memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun membantu
keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990).
6
Bila anak dianggap sebagai barang konsumsi tahan lama atau barang
investasi, maka perlu dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi
anak menurut Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :
1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang
dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan
formal dan perawatan kesehatan anak.
2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang
dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila
seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka
orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.
Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan
ini juga merupakan biaya aternatif.
Manfaat ekonomi anak nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau
usaha milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua
ataupun membantu keuangan orang tua (Lucas dkk, 1990). Bila anak dianggap
sebagai barang konsumsi yang tahan lama atau barang investasi, maka perlu
dipikirkan berapa nilainya. Ada dua macam beban ekonomi anak menurut
Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) yaitu :
1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang
dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan
formal dan perawatan kesehatan anak.
2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang
dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila
seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka
orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja.
Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan
ini juga merupakan biaya aternatif.
Nilai anak dapat diartikan sebagai „koleksi benda-benda bagus‟ yang
diperoleh orangtua karena mempunyai anak (Espenshade dalam Lucas dkk, 1990).
Hoffman dan Hoffman dalam Lucas dkk (1990) menghasilkan suatu sistem nilai
yang meliputi sembilan kategori, yakni delapan nilai bukan ekonomi (misalnya
7
status kedewasaan, imortalitas, kebahagiaan, kreativitas) dan satu nilai yang
menyangkut manfaat ekonomi.
Di antara berbagai pendekatan terhadap nilai anak, adalah pendekatan
mikro ekonomi dan pendekatan psikologi sosial yang dikembangkan dari
kerangka kerja Hoffman (Fawcett, 1983). Pendekatan ini menekankan adanya
kebutuhan masing-masing orang yang terpenuhi dengan mempunyai anak, cara
lain untuk memenuhi kebutuhan ini, dan interaksi antara nilai emosional, sosial
dan ekonomi, serta “beban” karena mempunyai anak (Fawcett, 1986).
Bouge dalam Lucas (1990) mengemukakan bahwa pendidikan formal
berpengaruh lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel lain. Bellante dan
Jackson (1990) berpendapat anak-anak memberikan utilitas dan jasa pelayanan
yang produktif bagi orang tua mereka. Dalam masyarakat yang berpenghasilan
rendah (terutama pada daerah pertanian dan pesisir), anak-anak dianggap sebagai
sumber tenaga kerja dan sumber pendapatan yang penting bagi keluarga. Selain
itu, anak dinilai sebagai investasi hari tua atau sebagai komoditas ekonomi yang
dapat disimpan di kemudian hari. Hal tersebut merupakan hubungan positif antara
penghasilan dengan nilai anak. Berkorelasi negatif apabila penghasilan yang
tinggi akan menilai anak bukan sebagai potensi, modal atau rezeki. Mereka
menilai anak sebagai beban dalam keluarga. Sehingga semakin tinggi penghasilan
maka persepsi nilai anak akan berkurang sehingga fertilitas akan menurun.
Operasionalisasi konsep nilai anak didasarkan pada rumusan yang
diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini,
dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan
atau yang merugikan. Apa yang diperoleh tersebut dapat dikategorikan ke dalam
empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, dan
nilai keluarga kecil.
Keempat kategori nilai anak tersebut meliputi:
1. Nilai Positif Umum (Manfaat)
a. Manfaat Emosional. Anak membawa kegembiraan dan kebahagiaan ke
dalam hidup orang tuanya. Anak adalah sasaran cinta kasih, dan sahabat
bagi orang tuanya.
8
b. Manfaat Ekonomi dan Ketenangan. Anak dapat membantu ekonomi orang
tuanya dengan bekerja di sawah atau di perusahaan keluarga lainnya, atau
dengan menyumbangkan upah yang mereka dapat di tempat lain. Mereka
dapat megerjakan banyak tugas di rumah (sehingga ibu mereka dapat
melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang)
c. Pengembangan Diri. Memelihara anak adalah suatu ”pengalaman belajar”
bagi orang tua. Anak membuat orang tuanya lebih matang, lebih
bertanggung jawab. Tanpa anak, orang yang telah menikah tidak selalu
dapat diterima sebagai orang dewasa dan anggota masyarakat sepenuhnya.
d. Mengenali Anak. Orang tua memperoleh kebanggaan dan kegembiraan
dari mengawasi anak-anak mereka tumbuh dan mengajari mereka hal-hal
baru. Mereka bangga kalau bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
e. Kerukunan dan Penerus Keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan
perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan.
Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.
2. Nilai Negatif Umum (Biaya)
a. Biaya Emosional. Orang tua sangat mengkhawatirkan anak-anaknya,
terutama tentang perilaku anak-anaknya, keamanan dan kesehatan mereka.
Dengan adanya anak-anak, rumah akan ramai dan kurang rapi. Kadang-
kadang anak-anak itu menjengkelkan.
b. Biaya Ekonomi. Ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberi makan
dan pakaian anak-anak dapat besar.
c. Keterbatasan dan Biaya Alternatif. Setelah mempunyai anak, kebebasan
orang tua berkurang.
d. Kebutuhan Fisik. Begitu banyak pekerjaan rumah tambahan yang
diperlukan untuk mengasuh anak. Orang tua mungkin lebih lelah.
e. Pengorbanan Kehidupan Pribadi Suami Istri, yaitu waktu untuk dinikmati
oleh orangtua sendiri berkurang dan orang tua berdebat tentang
pengasuhan anak.
3. Nilai Keluarga Besar (alasan mempunyai keluarga “Besar”)
9
a. Hubungan Sanak Saudara. Anak membutuhkan kakak dan adik
(sebaliknya anak tunggal dimanjakan dan kesepian).
b. Pilihan Jenis Kelamin. Mungkin orang tua mempunyai keinginan khusus
untuk seorang anak lelaki atau anak perempuan, atau suatu kombinasi
tertentu. Orang tua ingin paling tidak mempunyai satu anak dari masing-
masing jenis kelamin atau jumlah yang sama dari kedua jenis kelamin.
c. Kelangsungan Hidup Anak. Orang tua membutuhkan banyak anak untuk
menjamin agar beberapa akan hidup terus sampai dewasa dan membantu
mereka pada masa tua.
4. Nilai Keluarga Kecil (alasan mempunyai keluarga “Kecil”)
a. Kesehatan Ibu. Terlalu sering hamil tidak baik untuk kesehatan ibu.
b. Beban Masyarakat. Dunia ini menjadi terlalu padat, karena terlalu banyak
anak sudah merupakan beban bagi masyarakat. Sebagai barang ekonomi,
anak-anak mengandung suatu arus keuntungan atau utilitas bagi orang tua
mereka. Orang tua juga mengeluarkan biaya dalam memiliki dan
membesarkan anak-anak mereka. Dalam memutuskan untuk memiliki
seorang anak, berapa jumlah anak yang diinginkan, orang tua diasumsikan
mempertimbangkan keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari
memiliki anak-anak dibandingkan secara relatif dengan biaya-biaya yang
diperkirakan akan dikeluarkan. Terutama sekali, keuntungan yang
diberikan anak-anak telah menurun sedangkan biayanya telah meningkat.
Peran wanita dapat dilihat dari tiga perspektif dalam kaitannya dengan
posisinya sebagai ibu rumah tangga dan partisipan pembangunan atau pekerja
pencari nafkah (Hubeis dalam Achmad, 1994):
1. Peran tradisi. Sering juga disebut peran domestik menjadi urusan wanita.
Semua pekerjaan rumah dari membersihkan rumah, memasak, mencuci,
merawat/mengasuh anak dan masih banyak lainnya yang berkaitan dengan
rumah tangga. Wanita sebaiknya di rumah saja agar semua urusan menjadi
terselesaikan dengan baik.
10
2. Peran transisi, yang terjadi khususnya di daerah pertanian, wanita sudah
terbiasa bekerja di lahan pertanian keluarga, bila di kota bekerja di usaha
keluarga.
3. Peran kontemporer. Jika seorang wanita hanya memiliki peran di luar rumah
tangga saat ini masih disebut wanita kontemporer atau wanita karir. Biasanya
mereka memilih hidup tidak menikah dan mencari nafkah sendiri. Ini terdapat
di kota-kota besar. Moser (1986) telah melakukan penelitian selama lima
tahun yang berkaitan dengan peran wanita dalam pembangunan di Dunia
Ketiga, karena peran wanita dan pria berbeda maka keperluan mereka berbeda
pula. Dekade Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Wanita (1976-1985) telah
berperan penting dalam mengangkat dan menyebarluaskan pentingnya peran
wanita dalam pembangunan sosial ekonomi di negara dan masyarakat. Suatu
kerangka konseptual mengenai peranan wanita dan perubahan demografi,
termasuk fertilitas dan pengaturannya, oleh Oppong (1983) membagi peran-
peran wanita ke dalam tujuh kategori, yaitu : peran sebagai ibu (maternal),
pasangan kawin (conjugal), domestik, pekerjaan (occupational), kerabat,
masyarakat dan peran individu. Teori ekonomi mengenai fertilitas juga
mengasumsikan bahwa waktu pemeliharaan anak sebagian besar disediakan
oleh para ibu. Diasumsikan bahwa ada pilihan utama bagi wanita antara
kegiatan-kegiatan ekonomi/pekerjaan dan kegiatan sebagai orang tua.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mueller dalam Oppong (1983),
perhatian yang sedikit terutama ditujukan pada kemungkinan bahwa waktu
untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan waktu luang jadi berkurang
dengan adanya waktu untuk memelihara anak, demikian juga sebaliknya.
Bakir (1984) mengemukakan hubungan fertilitas dan angkatan kerja:
1. Partisipasi wanita dalam angkatan kerja mempunyai pengaruh negatif terhadap
fertilitas. Hal ini disebabkan karena terjadi pertentangan atau konflik antara
fungsi dan tugas wanita yang dianggap utama yaitu sebagai istri dan ibu serta
fungsi dan tugas wanita sebagai pekerja. Orang beranggapan bahwa
meningkatnya kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam kegiatan
11
ekonomi di luar rumah dapat digunakan sebagai salah satu kebijakan di bidang
kependudukan yang mendukung program KB untuk menurunkan fertilitas.
2. Hubungan antara fertilitas dengan angkatan kerja wanita sebagai hubungan
kausal timbal balik, di mana satu sama lain saling mempengaruhi.
Menurut Goldscheider dalam Ibrahim (1997) terdapat hubungan yang
positif antara pendidikan formal, mata pencaharian dan pendapatan dengan
fertilitas. Hal ini diamati dari dua kecenderungan yang saling berbeda yaitu:
1. Kenaikan fertilitas suatu kelompok karena berstatus lebih tinggi dan
perubahan keinginan kelompok tersebut untuk memiliki keluarga lebih besar,
2. Penurunan fertilitas dari kelompok berstatus lebih rendah karena mereka
semakin ekspansif dan sukses dalam menggunakan alat kontrasepsi.
Sebaliknya Hatmaji (1971) mengungkapkan bahwa terjadi hubungan
negatif antara pekerjaan wanita dengan fertilitas. Wanita bekerja di luar rumah
cenderung mempunyai anak lebih sedikit, sedangkan wanita yang mengurus
rumah tangga mempunyai anak lebih banyak. Pendidikan formal juga
berpengaruh kuat terhadap fertilitas. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal
akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan
adanya keluarga besar
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik yang dilakukan dengan
metode survei dan analisis kuantitatif. Penelitian deskriptif memberikan gambaran
tentang keadaan dan gejala-gejala sosial tertentu. Keadaan atau gejala yang
dimaksud adalah status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan pasutri
dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.
Penelitian analitik menyangkut pengujian hipotesis. Hubungan antara
variabel status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan dengan persepsi
nilai anak pada wanita yang telah menikah akan diuji dengan alat bantu statistik.
Pada jenis penelitian ini, dalam deskripsinya juga mengandung uraian-uraian,
tetapi fokusnya terletak pada analisis hubungan antara variabel.
12
Waktu pengumpulan data dalam penelitian ini berlangsung selama dua
bulan dengan lokasi penelitian di Ketintang Kecamatan Wonokromo Surabaya.
Populasi penelitian ini adalah wanita telah menikah di Perumahan Ketintang
Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya yang telah memiliki satu anak atau lebih,
masih memungkinkan untuk hamil, dan berusia antara 20 hingga 49 tahun. Jumlah
sampel penelitian ini dalam penentuannya tidak menggunakan kerangka sampling,
karena jumlah populasi yang ada belum dapat diketahui secara pasti.
Rencana pemilihan sampel dilakukan dengan metode convenience
sampling terhadap responden yang mewakili karakteristik populasi, yaitu wanita
telah menikah di Perumahan Ketintang Sekitar Kampus UNESA Kota Surabaya
yang telah memiliki satu anak atau lebih, masih memungkinkan untuk hamil,
berusia antara 20 hingga 49 tahun, dan berdomisili di Perumahan Ketintang dan
atau ber-KTP Ketintang Kota Surabaya.
Kemudian berdasarkan prinsip convenience sampling, maka secara
accidental terhadap setiap wanita yang telah menikah dengan KTP Ketintang,
berusia 20-40 tahun, dan telah memiliki satu anak atau lebih, dengan kondisi
masih mungkin untuk hamil, dan bersedia menjadi responden. Selanjutnya
responden yang memenuhi lima kriteria tersebut, langsung terpilih menjadi
sampel penelitian hingga mencukupi jumlah sampel. Penentuan ukuran sampel
minimal adalah 45 responden dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut sudah
melebihi batas minimal jumlah sampel (30 sampel) yang lazim dilakukan
Data dikumpulkan dengan metode survai menggunakan instrumen
kuesioner oleh tiga orang pewawancara yang telah dilatih. Hasil pengisian
kuesioner akan dianalisis dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik
inferensial dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).
Analisis data terdiri tiga tingkatan, yaitu analisis univariabel, bivariabel,
dan multivariabel. Analisis univariabel merupakan analisis untuk setiap variabel
yang dinyatakan dengan sebaran frekuensi dengan disertai penjelasan secara
deskriptif. Analisis bivariabel menggunakan tabel silang untuk menyoroti dan
menganalisis perbedaan atau hubungan antara dua variabel. Menguji signifikansi
13
perbedaan/hubungan antara variabel status kerja kerja, umur, pendidikan formal,
dan penghasilan dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah menikah.
Analisis bivariabel dilakukan dengan menggunakan analisis Chi Square,
dengan tingkat signifikansi = 0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis Chi
Square dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p, kemudian
dibandingkan dengan = 0,05. Apabila nilai p lebih kecil dari = 0,05 maka
terdapat signifikansi dalam hubungan/perbedaan antara dua variabel tersebut
(Agung, 1993). Sedangkan untuk mengetahui kuatnya perbedaan antara variabel
dikonsultasikan dengan uji lanjut nilai odds ratio atau OR (untuk variabel dengan
data nominal).
Analisis multivariabel dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan
bersama-sama antara status kerja, umur, pendidikan formal, dan penghasilan
pasutri dalam hubungannya dengan persepsi nilai anak pada wanita yang telah
menikah. Pengujian dilakukan dengan regrsi logistik.
1. Umur. Adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir saat dilakukan
survai, dinyatakan dengan tahun.
2. Pendidikan formal. Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan
diselesaikan responden hingga saat penelitian. variabel ini dikelompokkan atas
1) SMP atau Lebih Rendah, dan 2) SLTA atau Perguruan Tinggi
3. Penghasilan. Akumulasi pendapatan, baik dari suami maupun penghasilan
langsung dari responden rata-rata per bulan. Satuannya adalah rupiah. Untuk
analisis terdiri atas 1) < Rp 1.000.000,00, dan 2) >= Rp 1.000.000,00
4. Status Kerja. Merupakan aktivitas ekonomi responden sebelum melahirkan
anak terakhir, terdiri atas a) bekerja, dan b) tidak Bekerja
5. Persepsi Nilai Anak. Pandangan responden terhadap anak. Nilai anak
digolongkan ke dalam empat kelompok nilai, yakni nilai positif, nilai negatif,
nilai keluarga besar, dan nilai keluarga kecil. Persepsi terhadap nilai anak
diukur dengan memberikan pernyataan kepada responden yang memuat
keempat nilai tersebut. Setiap pernyataan tersebut disertai alternatif jawaban
yang harus dipilih oleh responden. Untuk pernyataan yang mengukur nilai
positif dan nilai keluarga besar, alternatif jawaban dinilai dengan angka yaitu:
14
a) Sangat setuju mendapat skor 5,
b) Tidak setuju mendapat skor 4,
c) Ragu-ragu mendapat skor 3,
d) Tidak setuju mendapat skor 2, dan
e) Sangat tidak setuju mendapat skor 1
Untuk pernyataan yang mengukur nilai negatif dinilai dengan angka
kebalikan dari nilai di atas, yaitu:
a) Sangat setuju mendapat skor 1,
b) Tidak setuju mendapat skor 2,
c) Ragu-ragu mendapat skor 3,
d) Tidak setuju mendapat skor 4, dan
e) Sangat tidak setuju mendapat skor 5
Sumber: modifikasi dari Arnold dan Fawcett dalam Singarimbun, 1989.
Setelah persepsi nilai anak diukur dengan pilihan jawaban dari
pernyataan untuk responden, kemudian persepsi nilai anak disimpulkan
dengan dua kategori, yaitu 1) negatif (< nilai mean), dan 2) positif ( nilai
mean) sebagai nilai akhir.
D. Pembahasan
Data persepsi nilai anak pada penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil
isian kuesioner yang diisi oleh wanita telah menikah di Kota Surabaya dengan
mengambil lokasi di Perumahan Ketintang. Berdasarkan lokasi tempat tinggal
responden, maka tabel berikut menunjukkan distribusi tempat tinggal responden:
Tabel 1. Distribusi tempat tinggal responden
Nomor
Responden
Lokasi Tempat Tinggal Jumlah Responden Persentase
1 – 3 Ketintang tengah 3 6,67
4 – 9 Ketintang madya 6 13,33
10 – 16 Ketintang raya 7 15,56
15
17 – 26 Ketintang timur 10 22,22
27 – 45 Ketintang barat 19 42,22
Total 45 100
Sumber: Hasil Olah Data Primer, 2007
Hasil analisis univariabel sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Analisis Univariabel
Persepsi Nilai Anak
Negatif (<50,47) Positif (>50,47) Total
N (%) n (%) N (%)
Umur:
> 35 tahun (berisiko)
20-35 tahun (aman)
12 (26,7)
8 (17,8)
14 (31,1)
11 (24,4)
26 (57,8)
19 (42,2)
Pendidikan formal
Dasar dan menengah
Perguruan tinggi
4 (8,9)
16 (35,6)
7 (15,6)
18 (40,0)
11 (24,4)
34 (75,6)
Penghasilan
>1.000.000
<1.000.000
10 (22,2)
10 (22,2)
5 (11,1)
20 (44,4)
15 (33,3)
30 (66,7)
Status kerja
Tidak bekerja
Bekerja
66 (69,5)
29 (30,5)
39 (41,1)
56 (58,9)
105 (55,3)
85 (44,7)
TOTAL 29 (30,5) 56 (58,9) 85 (44,7)
Sumber: Olah data primer dari kuesioner, 2007
Hasil analisis bivariabel ditampilkan pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Ringkasan Hasil Analisis Bivariabel
Hasil Analisis Bivariabel terhadap
Persepsi Nilai Anak
Chi-Square (p) OR (IK 95%I)
Umur:
> 35 tahun (berisiko)
20-35 tahun (aman)
0,07 (0,787 0,85 (0,26-2,80)
16
Pendidikan formal
Dasar dan menengah
Perguruan tinggi
0,39 (0,535) 0,64 (0,16-2,61)
Penghasilan
>1.000.000
<1.000.000
4,50 (0,034) * 4,00 (1,07-14,90)
Status kerja
Tidak bekerja
Bekerja
0,54 (0,463) 0,64 (1,97-2,09)
Sumber: olah data primer dari kuesioner, 2007
Keterangan : * = signifikansi (p < 0,05) IK = Interval kepercayaan
Tabel di atas menyajikan informasi bahwa hubungan antara penghasilan
dengan persepsi nilai anak adalah bermakna pada taraf kepercayaan 95 persen.
Kebermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan oleh nilai Chi-square= 4,50 pada
nilai p < 0,05. Nilai OR sebesar 4,00 pada IK 95 persen antara 1,07 sampai 14,90
memperlihatkan bahwa peluang responden dengan penghasilan tinggi untuk
memiliki persepsi nilai anak positif adalah sebesar 4,00 kali lipat dibandingkan
dengan peluang responden tersebut untuk memiliki persepsi negatif.
Ternyata baik umur, pendidikan formal, dan status kerja tidak memiliki
hubungan yang signifikan (bermakna) dengan persepsi nilai anak (NA) pada taraf
kepercayaan 95 persen. Ketidakbermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan oleh
nilai p > 0,01 pada masing-masing variabel tersebut. Karena ketiga variabel
tersebut tidak memiliki hubungan bermakna, maka nilai OR tidak berlaku.
Tabel 4. menggambarkan hasil analisis multivariabel pada semua variabel
bebas terhadap variabel terikat, yang ditampilkan dalam analisis regresi logistik
pada variabel terikat persepsi nilai anak. Hasil analisis bivariabel yang dilakukan
memperlihatkan bahwa dari empat variabel yang diuji kebermaknaan
hubungannya dengan variabel persepsi nilai anak, ternyata hanya satu variabel
yang terbukti memiliki hubungan bermakna dengan variabel persepsi nilai anak.
Variabel tersebut adalah penghasilan.
Tindak lanjut hasil analisis bivariabel adalah analisis multivariabel. Hasil
analisis multivariabel disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4. Regresi logistik: ringkasan analisis multivariabel umur, pendidikan
formal, penghasilan, status kerja, dengan persepsi nilai anak
17
Variabel terikat: persepsi nilai anak
No Variabel B p
1. Umur -0,016 0,981
2. Pendidikan formal -2,036 0,094
3. Penghasilan 2,668 0,018 *
4. Status kerja -0,604 0,383
Sumber: Olah data primer dari kuesioner, 2007
Keterangan: * = signifikansi (p < 0,05)
Ternyata hasil analisis multivariabel tetap menunjukkan bahwa tingkat
penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak,
dengan nilai koefisien regresi 2,668 dan angka signifikansi 0,018. Karena P < 0,05
maka penghasilan memiliki hubungan yang signifikan terhadap persepsi nilai anak
pada taraf kepercayaan statistik 95 persen.
Berdasarkan keseluruhan hasil analisis data, ternyata menunjukkan bahwa
status kerja tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi nilai anak.
Ternyata justru variabel penghasilan keluarga yang memiliki hubungan signifikan
terhadap persepsi nilai anak.
Dengan hasil ini, maka dapat dinyatakan bahwa wanita telah menikah
dengan penghasilan tinggi lebih berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang
positif dibandingkan peluangnya untuk memiliki persepsi nilai anak negatif.
Sebaliknya, pada wanita telah menikah dengan penghasilan rendah, maka lebih
berpeluang memiliki persepsi nilai anak yang negatif dibandingkan peluangnya
untuk memiliki persepsi nilai anak positif.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa wanita telah menikah yang
bekerja maupun tidak bekerja, wanita telah menikah dengan umur kehamilan
aman maupun umur kehamilan rawan, dan juga wanita telah menikah dengan
tingkat pendidikan formal tinggi maupun rendah, kesemuanya itu tidak berasosiasi
dengan persepsinya terhadap nilai anak.
Oleh karena itu, bagi pasangan suami istri seyogyanya tidak perlu lagi
mempermasalahkan secara serius apakah sang istri bekerja atau tidak bekerja. Jika
ingin berpeluang meningkatkan persepsi nilai anak, maka fokus setiap keluarga
adalah bagaimana penghasilan keluarga meningkat hingga ke angka yang
18
signifikan (dalam penelitian ini, angka penghasilan Rp 1.000.000,00 ternyata
sudah merupakan batas minimal yang berpeluang untuk meningkatkan persepsi
positif terhadap anak).
E. Penutup
Hubungan antara penghasilan dengan persepsi nilai anak adalah bermakna
pada taraf kepercayaan 95 persen. Kebermaknaan hubungan tersebut diperlihatkan
oleh nilai Chi-square= 4,50 pada nilai p < 0,05. Peluang responden dengan
penghasilan tinggi untuk memiliki persepsi nilai anak positif adalah sebesar 4,00
kali lipat dibandingkan dengan peluang responden tersebut untuk memiliki
persepsi negatif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai OR sebesar 4,00 pada IK 95 persen
antara 1,07 sampai 14,90 memperlihatkan bahwa ternyata status kerja, umur, dan
pendidikan formal pada wanita telah menikah tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan persepsi nilai anak pada taraf kepercayaan 95 persen.
Bagaimanapun, peran wanita sebagai ibu rumah tangga sangat menentukan
masa depan anak. Oleh karena itu, alih-alih menuntut istri untuk bekerja, suami
justru penting memfokuskan pada upaya meningkatkan penghasilan keluarga agar
peluang terwujudnya keluarga sakinah lebih besar melalui peluang makin
positifnya persepsi terhadap kehadiran seorang anak. Di tengah-tengah isu
kesetaraan jender yang melazimkan wanita bekerja, harus dipahami bahwa alasan
wanita sebagai istri yang bekerja bukan hanya untuk meningkatkan penghasilan
keluarga, tetapi juga untuk meningkatkan peran dan aktualisasi dirinya dalam
pembangunan. Suami diharapkan tetap menjadi figur yang bertanggung jawab
penuh membentuk keluarga bahagia dan pembentukan persepsi positif nilai anak
melalui berbagai ikhtiar untuk peningkatan pendapatan keluarga. Selain itu, suami
sebaiknya selalu fokus mencari cara meningkatkan penghasilan keluarga dengan
menghindari sedapat mungkin kesan menggantungkan peningkatan pendapatan
dari istri yang bekerja. Ikhtiar pasutri untuk meningkatkan pendapatan keluarga
sebaiknya senantiasa diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan rumah tangga
dan juga peningkatan pencurahan kasih sayang antara orang tua dan anak.
19
Daftar Pustaka
Achmad, Syamsiah. 1994. Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan.
Kantor Menteri UPWRI, Jakarta.
Agung, I Gusti Ngurah. 1993. Metode Penelitian Sosial Pengertian dan
Pemakaian Praktis. Jakarta.
Alfian. 1986. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Gramedia, Jakarta.
Amannullah, Gantjang dkk. 1999. Indikator Kesejahteraan Anak. BPS Statistics,
Indonesia.
Anonim. 1990. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pelaksanaannya. Bina Dharma Pemuda, Indonesia.
Anwar, Evi dan Wongkaren, TS. 1997. Masalah Anak dan Implikasi Ekonomi.
LP3ES, Jakarta.
Bakir, Zainab dan Manning, Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia. Rajawali,
Jakarta.
Bellante, Don dan Jackson, M. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan.Lembaga
Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1998. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997.
BPS, Jakarta Indonesia.
Bongaarts, John and Menken, Jane. 1983. The Supply of Children: A Critical
Essay. Academic Press, New York/London. 136
Bulatao, R.A., Lee, R.D., Hollerbach, P.E., dan Bongaarts. 1983. Determinants of
Fertlity in Developing Countries. Academic Press,
New York/ London. Caldwell, John C. 1983. Direct Economic Costs and Benefits
of Children.
Academic Press, New York/London. Costa, Mariarosa Dalla dan Costa, Giovanna
F. Dalla. 1993. Kaum Perempuan dan Politik Strategi Ekonomi
Internasional. Kalyanamitra, Jakarta.
Dwiyanto, A., Faturochman, Molo, M., Abdullah. 1996. Penduduk dan
Pembangunan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
20
Djarwanto. 1997. Statistik Non Parametrik (edisi 3). BPFE, Yogyakarta.
Ediastuti, Endang dan Faturochman. 1995. Fertilitas dan Aktivitas Wanita
di Pedesaan. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Effendi, Tadjuddin Noer. 1995. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Faturochman. 1996. Dampak Penurunan Fertilitas: Inventarisasi Awal. Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Fawcett, James T. 1983. Perceptions of the Value of Children: Satisfactions and
costs. Academic Press, New York/London.
-------------. 1986. The Value and Cost of Children : Converging Theory and
Research. Sage Publications, New Delhi/Beverly Hills/London.
Freedman, Ronald. 1986. Theories of Fertility Decline. Sage Publications, New
Delhi/Beverly Hills/London.
Goldsheider, C.1971. Population Modernization and Social Structure. Litle
Brown & Lompang, Boston.
Hatmadji, Sri Harijati. 1971. Fertilitas (Kelahiran) dalam Pengantar Demogarfi.
Lembaga Demografi FE UI, Jakarta.
------------- (Ed.). 1982. Diferensial Fertilitas di Indonesia. Suatu Analisa
Regional (Jilid 1). Lembaga Demografi FE UI, Jakarta. 137
-------------. 1995. Pengaruh Program KB pada Perubahan Fertilitas di Jawa: Suatu
Analisis Wilayah”. Dalam Aris Ananta, ed.
Ihromi, T.O. (Penyunting). 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1982. Masalah-masalah Pembangunan, dalam Bunga Rampai
Antropologi Terapan. LP3ES, Jakarta.
Lucas, D., McDonald, P., Young, E., Young, C. 1990. Pengantar Kependudukan
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
-------------, Meyer, Paul. 1990. Ekonomi Kependudukan dan Nilai Anak. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
21
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif
(terjemahan). UI Press, Jakarta.
Oppong, Christine. 1983. Women’s Roles, Opportunity Costs, and Fertility.
Academic Press, New York/London.
Parawangsa, Khofifah Indar. 2003. Pemberdayaan Perempuan dalam
Pembangunan Berkelanjutan. Bali:
http://www.lfip.org/english/pdf/baliSeminar/Pemberdayaan%20perempua
n%20-%20khofifah%20indar%20parawansa.pdf
Rahmawati. 2003. Analisis Permintaan Anak pada Wanita Pasangan Usia Muda di
Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Robinson, Warren C. dan Sarah F.H. 1983. Menuju Fertilitas Terpadu
(Terjemahan). Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM,
Yogyakarta.
Santoso, Singgih. 2000. Buku latihan SPSS Statistik Parametrik. Gramedia,
Jakarta.
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan
Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta.