Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA INDIVIDU
YANG TIDAK MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA
OLEH
NOVLYN ELISABETH PRASYLIA
802011046
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN FORGIVENESS PADA INDIVIDU
YANG TIDAK MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA
Novlyn Elisabeth Prasylia
Ch. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan
forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama. Subjek dalam
penelitian ini berjumlah 55 partisipan dengan karakteristik yakni berusia minimal 18
tahun dan tidak melakukan praktik agama minimal 1 tahun. Teknik pengambilan sampel
menggunakan teknik snowball sampling. Hasil penelitian uji korelasi product moment
antara religiusitas dengan forgiveness diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,243 dengan
signifikansi sebesar 0,037 (p<0,05). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada
korelasi positif signifikan antara religiusitas dengan forgiveness. Sumbangan efektif
yang diberikan religiusitas terhadap forgiveness sebesar 5,91% dan 94,09% disebabkan
oleh faktor-faktor lain.
Kata kunci : Religiusitas, Forgiveness, Tidak melakukan praktik agama.
ii
Abstract
This research aims to know the relation between religiousity with forgiveness of person
who does not do the religion practice. The subjects of this research are 55 participants
with the characteristic of the minimum age are 18 years old and do not do the religion
practice minimum 1 year. Intake technique of sample use snowball sampling technique.
The product moment correlation results between the religiousity with forgiveness are
0,243 for the correlation coefficient with the significantion 0,037 (p<0,01). This case
shows that there is a positive significant correlation between religiousity with
forgiveness. The effectiveness contribution is given by religiousity toward forgiveness
is 5,91% and 94,09% caused by other factors.
Keyword : Religousity, Forgiveness, Not do the religion practice.
1
PENDAHULUAN
Setiap agama pada dasarnya memberikan pemahaman bahwa setiap
manusia harus hidup di dalam kebaikan. Hal ini yang kemudian menjadi panutan
untuk seseorang berusaha hidup sebaik mungkin sesuai dengan ajaran agama
maupun kepercayaan yang dianut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap
manusia pasti pernah melakukan kesalahan kepada orang lain dan begitupun
sebaliknya. Tidak jarang manusia bahkan mengalami konflik dengan sesamanya
karena adanya kesalahan yang terjadi di dalam relasi antar individu. Hal yang
kemudian akan muncul adalah individu harus mampu untuk memaafkan
kesalahan. Hal tersebut dikarenakan bahwa dengan adanya hubungan yang
positif dengan orang lain, maka seseorang akan memiliki kesejahteraan dalam
hidup. Hubungan yang dekat dengan orang lain seringkali merupakan suatu
sumber penting bagi kebahagiaan dan kepuasan serta mendukung kesejahteraan
(Karemans & Van Lange, 2008).
Forgiveness kemudian muncul sebagai suatu hal yang bisa dilakukan
oleh manusia. Hal ini bertujuan agar setiap orang bisa hidup dengan baik dengan
sesamanya. Semua agama besar di dunia mempertimbangkan forgiveness
sebagai kualitas positif dalam mempertahankan keharmonisan tiga sudut antara
diri sendiri, orang lain dan Tuhan sebagai yang diyakini individu (Enright &
Fitzgibbons, dalam Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006). Ada beberapa hal yang
mempengaruhi forgiveness, diantaranya religiusitas, empati, keramahan,
kemarahan, perasaan malu, kedekatan hubungan dengan transgressor, kualitas
hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi transgressor (luka yang
2
ditimbulkan oleh transgressor) dan permintaan maaf (Wade & Worthington,
2003).
Konsep tentang pemaafan sendiri sudah ada sejak lama, dan bahkan
memiliki sejarah di dalam filsafat (Downie, 1965 dalam McCullough,
Worthington & Rachal, 1997). Penduduk Amerika pada umumnya memiliki
sikap positif terhadap pemaafan (Gursuch & Hao, 1993). Poloma & Gallup
(1990) juga menjelaskan bahwa 65% orang Amerika melaporkan bahwa
pemaafan penting bagi mereka yang religius (Bedell, 2002 dalam Simorangkir,
2014).
McCullough, Root dan Cohen (2006) serta McCullough, Worthington
dan Rachal (1997) telah memberikan konsep bahwa pemaafan sebagai proses
mengurangi motivasi yang negative, yakni menghindar (avoidance) dan balas
dendam (revenge) menuju motivasi positif.
Sejauh penelusuran peneliti di sekitar Salatiga, masih terdapat individu
yang tidak melakukan praktik agama. Penelusuran awal yang dilakukan oleh
peneliti pada individu yang termasuk kedalam kategori dewasa awal dan tidak
melakukan praktik agama, melalui wawancara singkat mengaku bahwa mereka
tetap bisa untuk memaafkan orang lain apabila berbuat salah kepada mereka.
Namun adapula beberapa orang yang mengaku tidak mampu untuk dengan
mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Selain itu, penelitian lain juga menemukan bahwa religiusitas memiliki
peran dalam melakukan pemaafan (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006) serta
memiliki hubungan positif dengan pemaafan (McCullough & Worthington,
3
1999) dimana di dalam kehidupan sehari-hari selalu disesuaikan dengan nilai-
nilai religius. Secara historis, pemaafan telah dihubungkan dengan berbagai
macam tradisi spiritual dan keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa pemaafan
telah dihubungkan secara positif dengan beberapa hal terkait religiusitas seperti
komitmen agama, kesehatan spiritualitas dan religiusitas intrinsik (Tsang,
McCullough & Hoyt, 2005 dalam Sandage & Williamson, 2010). Individu yang
religius seringkali percaya bahwa mereka harus memaafkan (McCullough &
Worthington, 1999 dalam Rhoades, dkk., 2007) dan kerohanian pribadi secara
positif berkaitan dengan kecenderungan untuk memaafkan (Gorsuch & Hao,
1993; Konstam dkk., (2003, dalam Rhoades, dkk., (2007).
Individu dengan kepercayaan pada religiusitas yang lebih kuat juga lebih
mampu untuk mengampuni orang lain (Luzombe & Karol, 2009). Mullet, (2003,
dalam Lazombe & Karol, 2009) meneliti mengenai keterlibatan religiusitas di
dalam kepercayaan religius, kehadiran di gereja dan peraturan religius lainnya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang memiliki ikatan yang
kuat dengan agamanya (religius), khususnya orang yang memiliki tingkat
kehadiran yang tinggi di gereja cenderung lebih mampu untuk memaafkan
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan
agamanya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fox dan Thomas (2008)
juga menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan secara positif dengan
forgiveness.
Namun, hasil penelitian yang berbeda kemudian dikemukakan oleh
Rangganadhan dan Todorov (2010). Dimana subjek penelitian berjumlah 91
orang yang merupakan mahasiswa di Universitas Macquarie. Hasil penelitian
4
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada ukuran yang terkait dengan religiusitas
yang kemudian berkorelasi secara signifikan. Bahkan tidak ada hasil yang
membuktikan bahwa orang yang lebih religius akan lebih mampu untuk
memaafkan.
Sejauh penelusuran peneliti, hampir sebagian besar hasil penelitian
terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dan
forgiveness. Namun tidak menutup kemungkinan untuk adanya hasil penelitian
yang berbeda, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Rangganadhan dan
Todorov (2010). Watts (dalam Gross, 2007) menyatakan bahwa praktik agama
meliputi nyanyian, doa syafaat dan puji-pujian kepada Allah. Hal tersebut
dianggap sebagai salah satu bentuk aktivitas agama. Oleh karena itu, dibutuhkan
bukti empiris untuk membuktikan hal tersebut. Pertanyaan utama yang menjadi
inti dari penelitian ini adalah “apakah terdapat hubungan positif signifikan antara
religiusitas dengan forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik
agama”.
Selain itu, diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini
mampu memberikan pemahaman mengenai religiusitas dan forgiveness, terlebih
khusus berkaitan dengan individu yang tidak melakukan praktik agama.
Sedangkan manfaat secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi
tentang pentingnya forgiveness di dalam kehidupan individu sehingga setiap
orang bisa hidup dengan tenang dan nyaman.
5
Pengertian Forgiveness
McCullough, Worthington dan Rachal (1997) berpendapat bahwa
forgiveness adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau
menurunnya motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari
orang yang telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang berespon
yang destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan
perilaku yang konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya.
Proses Forgiveness
Enright dan Fitzgibbon (2000), menyatakan bahwa ada 4 fase dalam
forgiveness, yaitu :
a. Fase pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang
merasa sakit hati dan dendam.
b. Fase keputusan (decision phase), yaitu ketika seseorang mulai
memperoleh pemahaman dari memaafkan secara alami dan membuat
keputusan untuk memaafkan diatas dasar memahami.
c. Fase tindakan (work phase), yaitu ketika ada tindakan yang secara
aktif memberikan forgiveness kepada orang yang bersalah.
d. Fase pendalaman (deepening phase), yaitu internalisasi
kebermaknaan dari proses forgiveness, dimana pada fase ini individu
memahami bahwa dengan forgiveness maka dirinya akan memberi
manfaat untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungannya
6
Aspek-Aspek Forgiveness
Menurut McCullough (2000), ada tiga aspek di dalam forgiveness, yaitu :
a. Avoidance Motivation
Semakin menurunnya motivasi untuk menghindari pelaku, membuang
keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah
menyakitinya
b. Revenge Motivation
Semakin menurunnya motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu
hubungan mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap
orang yang telah menyakiti.
c. Benevolence Motivation
Semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan
pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan berbahaya, keinginan
untuk berdamai atau melihat well-being orang yang menyakitinya.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Forgiveness
Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya pemaafan. Menurut Wade
dan Worthington (2003), faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Religiusitas (religiosity), dimana individu yang mendasarkan tingkah laku
hidup sehari-hari atau segala aspek hidupnya dalam agama yang diyakininya
dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas
tinggi dapat melakukan pemaafan
b. Empati, dimana hal ini merupakan faktor utama di dalam proses pemaafan
yang berasal dari dalam diri individu untuk memposisikan dirinya berada
7
dalam situasi dan kondisi yang dialami oleh individu lain, serta turut
merasakan gejolak jiwa yang terjadi di dalam diri transgressor.
c. Keramahan, dimana individu dapat mengerti keadaan individu lain dan
memakluminya. Keramahan memungkinkan untuk terjadinya pemaafan.
d. Kemarahan, dimana merupakan emosi negatif yang sering menstimulasi
usaha untuk mengurangi tindakan untuk memaafkan.
e. Perasaan malu (shame-pronenes), yakni dimana individu sebagai pelaku
kejahatan merasa malu atas perbuatan yang dilakukannya yang kemudian
menyakiti orang lain. Adanya perasaan malu tersebut kemudian akan
mempersulit terjadinya pemaafan.
f. Kedekatan hubungan dengan transgressor. Hal ini dikarenakan pemaafan
melibatkan perubahan dorongan dari negative menjadi positif terhadap
transgressor, maka kedekatan hubungan kemudian akan mempengaruhi
proses tersebut.
g. Kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi. McCullough, Rachal,
Sandage, Worthington, Brown dan Hight (1998) menyatakan bahwa
hubungan yang romantik mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena
mempunyai sumber daya yang cukup besar dalam hubungan.
h. Reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgresor), dimana
semakin besar luka yang dihasilkan, maka semakin sulit pula individu untuk
memaafkan transgressor.
i. Permintaan maaf, dimana hal ini menstimulasi emosi dalam diri korban dan
menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga dapat meningkatkan pemaafan
individu terhadap transgressor.
8
Pengertian Religiusitas
Stark dan Glock (1968) merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius
(yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat
melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau
keyakinan iman yang dianut.
Dimensi religiusitas
Dimensi religiusitas menurut Huber dan Huber (2012) terdiri dari :
a. Intellectual dimension
Berasal dari sudut pandang sosiologi, dimana merujuk pada ekspektasi
sosial bahwa orang yang religius memiliki pengetahuan tentang agama
dan mereka mampu menjelaskan pandangan mereka tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, agama dan kepercayaan. Memiliki pemahaman
yang mendalam mengenai pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran-
ajaran dasar agama dan kitab sucinya.
b. Ideology
Dimensi ini merujuk pada ekspektasi sosial bahwa individu yang religius
memiliki kepercayaan terhadap keberadaan dan inti yang mendalam dari
kenyataan dan hubungan antara manusia dengan tuhannya dan manusia
dengan sesamanya. Dalam hal ini, dimensi ini menjelaskan mengenai
keyakinan tentang Tuhan, malaikat, surga-neraka dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan hukum Tuhan terhadap perilaku manusia.
9
c. Public practice
Dimensi ini merujuk pada ekspektasi sosial bahwa individu yang religius
selalu mengikuti komunitas yang religius, dimana hal tersebut
diwujudnyatakan dalam keikutsertaan dalam ritual keagamaan dan
kegiatan komunal.
d. Private practice
Dimensi ini merujuk pada ekspektasi sosial bahwa individu yang religius
mempersembahkan diri mereka dalam hubungannya dengan Tuhan di
dalam kegiatan yang sangat pribadi dan hal tersebut dibedakan di dalam
ruang tertentu. Dimensi ini dibentuk dengan membangun hubungan yang
sangat pribadi dengan Tuhan melalui tindakan yang bersifat pribadi pula,
seperti berdoa secara pribadi dan meditasi.
e. Religious experience
Dimensi ini merujuk pada ekspektasi sosial bahwa individu yang religius
memiliki beberapa macam hubungan secara langsung terhadap suatu
tujuan yang nyata yang akhirnya mempengaruhi mereka secara
emosional. Hal ini juga merujuk pada perasaan atau emosi, sensasi dan
persepsi individu dalam komunikasinya dengan Tuhan.
Kelima dimensi tersebut mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh
Stark dan Glock sebelumnya.
Fungsi religiusitas
Menurut Allport dan Ross, (dalam Tongeren, Raad, McIntosh, & Pae, 2013)
fungsi religiusitas yaitu:
10
a. Salah satu sebagai penata dunia dengan ilmu epistimologis dan ontological
yang didalamnya mengandung banyak makna.
b. Menawarkan keabadian simbolis atau literal bagi para pengikutnya, untuk
mengurangi ancaman kematian.
c. Membatasi batas-batas moral sehingga individu memiliki hidup yang benar
oleh karena itu individu dapat dikatakan memenuhi standar dalam
pandangan dunia dan budaya.
Hubungan Religiusitas dengan Forgiveness
Pada dasarnya, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa religiusitas
berkorelasi positif dengan forgiveness. Semakin tinggi tingkat religiusitas
seseorang, maka mereka lebih mampu untuk memaafkan. McCullough
menjelaskan bahwa forgiveness sebagai motivasi berbuat baik (benevolence
motivations) yaitu bertambahnya dorongan untuk berbuat baik dari kesalahan
yang telah dilakukan dengan tidak menghindar dan tidak ingin membalas
dendam. Sehingga dalam hal ini muncul motivasi atau dorongan dari individu
untuk forgiveness. Individu didorong dengan adanya motivasi untuk berbuat
baik kepada orang lain, tanpa harus menghindari maupun memunculkan
keinginan untuk membalas dendam kepada orang yang telah menyakitinya. Hal
ini juga didukung dengan konsep religiusitas yang merupakan komitmen yang
dapat ditunjukkan melalui perilaku seseorang yang kemudian dianggap sebagai
cerminan nilai-nilai agama ataupun kepercayaan yang dianutnya.
Nilai agama mempengaruhi nilai dan konsep pemaafan individu, sedangkan
keterlibatan di dalam praktik religius mempengaruhi kecenderungan memaafkan
di situasi yang nyata (Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006). Gambaran mengenai
11
religiusitas seseorang terlihat dari perilaku yang ditunjukkan oleh individu
tersebut. Semakin individu bisa berperilaku dengan baik, menunjukkan
gambaran nilai-nilai agamanya di dalam kehidupan sehari-hari, maka individu
tersebut akan dianggap sebagai seorang yang religius. Semakin tinggi tingkat
religiusitas seseorang, maka semakin mampu pula mereka untuk melakukan
pemaafan.
Hipotesis
Berdasarkan pemahaman tersebut, hipotesis yang dihasilkan dalam
penelitian ini ada hubungan positif signifikan antara religiusitas dengan
forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama. Artinya semakin
tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin besar kemungkinan untuk
melakukan pemaafan.
METODOLOGI PENELITIAN
Partisipan
Tempat dilakukannya penelitian adalah di kota Salatiga, Jawa Tengah. Total
responden dalam penelitian ini berjumlah 55 orang. Karakteristik responden
dalam penelitian ini adalah responden berusia minimal 18 tahun dan tidak
melaksanakan praktik agama (tidak pergi ketempat ibadah, tidak berdoa, tidak
melakukan ritual agama, tidak melakukan praktek religiusitas) selama minimal 1
tahun. Peneliti memilih untuk mengambil sampel yang berusia minimal 18 tahun
dikarenakan pada usia ini seseorang telah dianggap mampu untuk mengambil
12
keputusan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Dimana Hurlock
(1980) juga menyatakan bahwa pada saat usia tersebut, jika seseorang mampu
memecahkan masalahnya dengan baik, maka mereka akan berada didalam
keadaan emosi yang tenang dan stabil, begitu pula sebaliknya.
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik snowball sampling. Teknik ini dilakukan dengan penentuan sampel yang
mula – mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Metode ini mengacu pada
penentuan kriteria subyek dan objek yang menjadi tujuan penelitian ini
(Sugiyono, 2012).
Instrumen
Penelitian ini menggunakan instrumen berbentuk skala likert. Dibagi dalam
dua bagian. Skala pertama adalah skala untuk forgiveness dan skala kedua
adalah skala untuk religiusitas. Skala yang digunakan untuk forgiveness ini
menggunakan teori (McCullough, Wortington & Rachal, 1997) dan skala
Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) yang
disusun oleh McCullough, Root dan Cohen (2006). Penilaiannya adalah jika
semakin tinggi skor total yang diperoleh individu maka semakin tinggi
forgiveness. Sedangkan semakin rendah skor total yang diperoleh maka
semakin rendah skor forgiveness. Skala forgiveness berjumlah 18 aitem.
Skala yang digunakan untuk mengukur religiusitas menggunakan skala yang
disusun oleh Huber dan Huber (2012), yang didasarkan dari teori Stark dan
Glock (1968). Skala ini kemudian telah dimodifikasi oleh Soakokone (2015) dan
kemudian diadaptasi kembali oleh peneliti. Penilaian dalam skala ini adalah jika
13
makin tinggi skor total yang diperoleh individu maka religiusitasnya makin
tinggidangkansemakin rendah skor total yang diperoleh individu maka
religiusitasnya rendah. Skala religiusitas berjumlah 16 aitem favorable.
Selanjutnya pada tahap pembuatan skala forgiveness dan religiusitas pada
penulisan tersebut mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari ahli dalam hal
ini dosen pembimbing. Pada masing-masing aitem terdapat lima alternatif
jawaban, yang sangat sesuai dengan yang saya rasakan (SS), sesuai dengan yang
saya rasakan (S), tidak dapat menentukan dengan pasti (N), tidak sesuai dengan
yang saya rasakan (TS) dan sangat tidak sesuai dengan yang saya rasakan (STS).
Aitem favorable, jawaban SS mendapatkan nilai 5, S nilainya 4, N nilainya 3,
TS nilainya 2, STS nilainya 1. Sedangkan untuk aitem unfavorable penyekoran
merupakan kebalikan dari penyekoran aitem-aitem favorable.
Sebelum peneliti melakukan pengambilan data terhadap subyek penelitian
yang sesungguhnya, peneliti menguji bahasa terhadap skala yang telah dibuat
oleh peneliti kepada 5 orang responden yang mempunyai kriteria yang sama
dengan subyek yang sesungguhnya.
Pada tanggal 1 April 2015, peneliti menyebar skala pada 5 orang responden
guna menguji bahas. Diperoleh bahwa seluruh aitem di dalam kedua skala yang
digunakan dapat dimengerti oleh para responden.
Prosedur Penelitian
Setelah kedua skala selesai dipersiapkan, peneliti kemudian mempersiapkan
persiapan penelitian yang lainya, seperti perizinan dari fakultas dan hal lainya,
maka peneliti segera menuju ke Sekertaris Fakultas Psikologi untuk meminta
surat penelitian.
14
Perizinan dari pihak fakultas didapat pada tanggal 27 Maret 2015. Setelah itu
peneliti menyiapkan 60 skala psikologi yang terdiri dari dua skala yaitu skala I,
yakni skala forgiveness dan skala II, yakni skala religiusitas.
Penelitian lapangan dilakukan pada tanggal 12 April 2015. Peneliti langsung
mencari partisipan dengan cara mencari informasi dari teman yang mengetahui
partisipan sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Setelah peneliti mendapatkan
satu partisipan, peneliti memintanya untuk mengisi skala tersebut dengan
sejujur-jujurnya karena tidak berpengaruh apapun bagi diri partisipan.
Kemudian, peneliti mencari tahu untuk mendapatkan partisipan selanjutnya
dengan cara mencari informasi dari partisipan yang sudah pernah mengisi.
Selanjutnya, setelah peneliti mendapatkan informasi peneliti langsung
membagikan skalanya.
Peneliti mempersiapkan skala sebanyak 60 eksemplar. Pada saat pembagian
skala, skala yang kembali hanya 55 eksemplar yang terdiri dari 14 eksemplar
(Kristen), 26 eksemplar (Islam), 4 eksemplar (Katholik), 1 eksemplar (Kejawen)
dan 10 eksemplar (tanpa keterangan agama). Sebanyak 5 eksemplar tidak
kembali kepada peneliti. Setelah responden mengisi skala tersebut, peneliti
mengucapkan terima kasih.
HASIL PENELITIAN
Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik
Corrected Item-Total Correlation dengan bantuan program komputer SPPS 16
for windows. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan
15
batasan koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan memberikan
kontribusi yang baik adalah sebesar > 0,30 (Azwar, 2012). Pada skala
forgiveness, diperoleh bahwa dari 18 aitem yang diuji, terdapat 2 aitem gugur (9
dan 14) pada pengujian pertama dan tersisa 16 aitem. Kemudian peneliti
melakukan pengujian kedua dan terdapat 1 aitem yang gugur (3) dan tersisa 15
aitem. Kemudian peneliti kembali melakukan pengujian yang ketiga dan
hasilnya tidak menunjukkan adanya aitem gugur, sehingga terdapat 15 aitem
terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0.332-0.692
dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0.861 yang berarti alat ukur ini
tergolong reliabel.
Pada skala religiusitas, diperoleh bahwa dari 16 aitem yang diuji, tidak
terdapat aitem gugur, sehingga keenambelas aitem terpakai. Nilai r (corrected
item total-correlation) bergerak dari 0.352-0.759 dengan koefisien alpha
cronbach sebesar 0.913 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.
Analisis Deskriptif
a. Variabel Forgiveness
Kategorisasi variabel forgiveness dibuat berdasarkan nilai tertinggi yaitu 5 x
15 = 75 dan nilai terendah yaitu 1 x 15 = 15. Untuk mengetahui religiusitas
digunakan interval dengan ukuran:
16
Tabel 1
Kategorisasi hasil pengukuran
Skala forgiveness
No Interval Kategori Mean N Persentase
1 60 ≤ x ≤ 75 Sangat
Tinggi
3 5,46%
2 45 ≤ x <60 Tinggi 45,42 26 47,27%
4 30 ≤ x <45 Rendah 22 40%
5 15 ≤ x <30 Sangat
Rendah
4 7,27%
Jumlah 55 100%
SD = 9,554 Min = 23 Max = 73
Forgiveness rata-rata subjek pada kategori “tinggi” dengan mean 45,42.
b. Variabel Religiusitas
Kategorisasi variabel regulasi emosi dibuat berdasarkan nilai tertinggi yaitu
16 x 5 = 80 dan nilai terendah yaitu 16 x 1 = 16. Untuk mengetahui religiusitas,
digunakan interval dengan ukuran:
17
Tabel 2
Kategorisasi hasil pengukuran
Skala religiusitas
No Interval Kategori Mean N Persentase
1 64≤ x ≤ 80 Sangat
Tinggi
18 32,73%
2 48 ≤ x < 64 Tinggi 57,29 23 41,82%
3 32 ≤ x < 48 Rendah 14 25,45%
4 16 ≤ x < 32 Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 55 100%
SD = 11,426 Min = 35 Max = 76
Religiusitas rata-rata berada pada kategori “tinggi” dengan mean 57,29.
Uji Normalitas
Berdasarkan uji hasil pengujian normalitas kedua variabel memiliki
signifikansi p>0,05. Variabel religiusitas memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,774
dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,558 (p>0.05). Oleh karena
nilai signifikansi p>0,05, maka distribusi data religiusitas berdistribusi normal.
Hal ini juga terjadi pada variabel forgiveness yang memiliki nilai K-S-Z sebesar
0,634 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,816. Dengan demikian
data forgiveness juga berdistribusi normal.
18
Uji Linearitas
Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi
penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut. didapatkan FDeviation from
Linearity = 0,1052 dengan sig. = 0,442 (p > 0,05), yang menunjukkan hubungan
antar religiusitas dengan forgiveness adalah linear.
Analisis Korelasi
Tabel 3
Hasil Uji Hipotesis Antara Religiusitas dengan Forgiveness
Correlations
X Y
X Pearson
Correlation
1 .243*
Sig. (1-tailed) .037
N 55 55
Y Pearson
Correlation
.243* 1
Sig. (1-tailed) .037
N 55 55
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-
tailed).
19
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi
antara religiusitas dengan forgiveness sebesar 0,243 dengan sig. = 0,037 (p <
0.05) yang berarti ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan
forgiveness.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi religiusitas, maka akan
semakin tinggi pula forgiveness yang dimiliki responden. Besarnya variasi
forgiveness dengan religiusitas dapat menjelaskan bahwa religiusitas
memberikan kontribusi terhadap forgiveness sebesar 5,91% (diperoleh dari r²)
dan sisanya sebesar 94,09% yang dipengaruhi oleh faktor lain di luar
religiusitas yang dapat berpengaruh terhadap forgiveness.
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dengan
forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama, didapatkan hasil
bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara religiusitas dengan
forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik agama. Berdasarkan
hasil uji perhitungan korelasi, keduanya memiliki r sebesar 0,243 dengan
signifikansi sebesar 0,037 (p<0,05) yang berarti kedua variabel yaitu religiusitas
dengan forgiveness pada individu memiliki hubungan yang positif signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka
ia akan semakin mampu untuk melakukan forgiveness kepada orang lain.
Hasil penelitian ini mendukung hasil-hasil penelitian terkait yang
sebelumnya sudah pernah dilakukan. Dimana sebagian besar hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dan forgiveness.
20
Penelitian yang dilakukan oleh Hui, Watkins, Wong dan Sun (2006)
menunjukkan bahwa religiusitas memiliki peran dalam melakukan pemaafan.
Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh McCullough dan
Worthington (1999) yang menunjukkan adanya hubungan yang positif anatar
religiusitas dan forgiveness karena nilai yang ada didalam kehidupan sehari-hari
selalu mengandung nilai religiusitas.
Bukti yang mendukung hasil penelitian ini juga dibuktikan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Luzombe dan Karol (2009) serta Fox dan Thomas (2008)
yang sama-sama membuktikan bahwa individu yang memiliki keyakinan
religiusitas yang kuat cenderung lebih mampu untuk mengampuni orang lain dan
hal ini menunjukkan hubungan yang positif.
Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan nilai persentase yang
menunjukkan bahwa tingkat religiusitas dan forgiveness dari para responden
berada pada kategorisasi tinggi, ditunjukkan dari persentase yang diperoleh yaitu
sebesar 47.27% pada skala forgiveness (26 responden) dan 41,82% pada skala
religiusitas (23 responden). Hal ini menunjukkan bahwa religiusitas dan
forgiveness yang tinggi bukan hanya dimiliki oleh individu yang melakukan
praktik agama saja, tetapi berlaku juga bagi individu yang tidak melakukan
praktik agama. Hal ini didasarkan pada beberapa aspek yang diungkap didalam
religiusitas dan forgiveness. Berdasarkan hasil kategorisasi pada skala
religiusitas, terdapat perbedaan frekuensi individu yang tidak terlalu signifikan,
yakni 18 orang (sangat tinggi), 23 orang (tinggi) dan 14 orang (rendah). Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah orang yang memiliki religiusitas, khususnya pada
individu yang tidak melakukan praktik agama tidak sedikit dan tergolong cukup
21
banyak. Sedangkan pada kategorisasi forgiveness terdapat perbedaan jumlah
frekuensi yang juga tidak terlalu jauh, yakni 26 orang (tinggi) dan 22 orang
(rendah). Hal ini menunjukkan bahwa individu yang tidak melakukan praktik
agama tetap bisa memaafkan kesalahan orang lain, namun adapula yang sulit
untuk memaafkan.
Hasil dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa dilihat berdasarkan
kategorisasi tingkat religiusitas bahwa sebanyak 23 responden (tanpa agama = 3
responden; Islam = 12 responden; Kristen = 6 responden; Katholik = 1
responden dan Kejawen = 1 responden), 18 responden (tanpa agama = 3
responden; Islam = 11 responden; Kristen = 5 responden; Katholik = 1
responden) dan 14 responden (tanpa agama = 4 responden; Islam = 3 responden;
Kristen = 3; Katholik = 2 responden) menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat
religiusitas seseorang berdasarkan agama yang dianut. Hal ini bisa dipengaruhi
berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung didalam agama
dan seberapa paham seseorang terhadap nilainilai ajaran agama tersebut yang
kemudian menjadi ukuran seberapa tingg tingkat religiusitas yang dimiliki.
Dalam penelitian ini juga dihasilkan bahwa religiusitas memberikan
kontribusi sebesar 5,91% terhadap forgiveness. Sebanyak 94,09% dipengaruhi
oleh faktor lain seperti empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu,
kedekatan hubungan dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal
sebelum transgresi, reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor)
dan permintaan maaf (Wade & Worthington, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa
religiusitas memiliki pengaruh bagi individu yang akan melakukan forgiveness.
22
Berdasarkan keseluruhan kategori tersebut, didapatkan hasil bahwa ada
hubungan positif signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada individu
yang tidak melakukan praktik agama. Hal ini didasarkan pada nilai korelasi yang
didapatkan dari perhitungan secara statistic. Dimana nilai tersebut menunjukkan
bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kedua variabel tersebut.
Artinya, ketika seseorang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka mereka
lebih mampu untuk melakukan forgiveness. Penelitian ini juga telah menjawab
hipotesis yang diajukan oleh peneliti, yakni ada hubungan positif signifikan
antara religiusitas dengan forgiveness pada individu yang tidak melakukan
praktik agama. Hasil penelitian ini juga membantah hasil penelitian terdahulu
yang membuktikan bahwa tidak ada ukuran yang terkait dengan religiusitas dan
kemudian berkorelasi secara signifikan (Rangganadhan & Todorov, 2010).
KESIMPULAN
Dari berbagai hasil yang telah ditunjukkan didalam penelitian ini, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
religiusitas dengan forgiveness pada individu yang tidak melakukan praktik
agama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas memberikan kontribusi
penting terhadap forgiveness sebesar 5,91% dan sisanya yakni sebesar 94,09%
dipengaruhi oleh faktor lain diluar religiusitas. Peneltian ini juga membuktikan
bahwa individu yang tidak melakukan praktik agama juga memiliki tingkat
religiusitas dan forgiveness yang tinggi. Hal ini dibuktikan berdasarkan
kategorisasi religiusitas responden yang berada pada level tinggi 41,82% dan
23
forgiveness responden yang juga memiliki nilai persentase yang tinggi, yakni
47,27%.
Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
religiusitas seseorang maka mereka lebih mampu untuk melakukan pemaafan.
Dengan demikian hipotesis yang diajukan oleh peneliti dapat diterima dan
dibuktikan melalui uji statistik yang dilakukan.
SARAN
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, peneliti menyarankan agar :
1. Bagi individu yang tidak melakukan praktik agama
Selain religiusitas, masih ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk melakukan pemaafan, yakni empati, keramahan,
kemarahan, perasaan malu, kedekatan hubungan dengan transgressor,
kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi, reaksi transgressor
(luka yang ditimbulkan oleh transgressor) dan permintaan maaf.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Agar mencoba untuk menghubungkan variabel forgiveness dengan
faktor yang mempengaruhi lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa dari hasil
penelitian ini ditunjukkan bahwa religiusitas hanya mempengaruhi
sebesar 5,91% dan sebesar 94,09% dipengaruhi oleh faktor lainnya,
seperti empati, keramahan, kemarahan, perasaan malu, kedekatan
hubungan dengan transgressor, kualitas hubungan interpersonal sebelum
transgresi, reaksi transgressor (luka yang ditimbulkan oleh transgressor)
dan permintaan maaf. Selain itu, hasil penelitian ini juga masih kontra
terhadap hasil penelitian sebelumnya (Rangganadhan & Todorov, 2010)
24
sehingga masih bisa dilakukan penelitian serupa dengan metode yang
berbeda.
Selain itu, diharapkan pula peneliti bisa melakukan pemilihan sampel
yang lebih teliti, karena proses pencarian sampel dengan kriteria yang
sama termasuk sulit untuk dilakukan. Sehingga diharapkan agar peneliti
selanjutnya dapat menggunakan metode sampling yang lebih baik dan
teliti.
25
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Ed. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fox, A., & Thomas, T. (2008). Impact of religious affiliation and religiosity on
forgiveness. Australian Psychologist, 43, 175-185.
Gorsuch, R. L., & Hao, J. Y. (1993). Forgiveness: an exploratory factor analiysis and its
relationships to religious variables. Review of religious research, 34, 333-347.
Huber, S., & Huber, O. W. (2012). The Centrality of Religiosity Scale
(CRS).Religions, 3(3), 710-724.
Hui, E. K. P., Watkins, D., Wong, T. N. Y., & Sun, R. C. F. (2006). Religion and
forgiveness from Hong Kong chinese perspective. Pastoral Psychology, 55,
183-195.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental psyhcology. Alih Bahasa Dra.Istiwidayati & Drs.
Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Karremans, J. C., & Van Lange, P. A. M. (2008). The role of forgiveness in shifthing
from “me” to “we”. Self and Identity, 7, 75-88.
Luzombe, L. O., & Karol, E. D. (2009). Moderating and intesfying factors influencing
forgiveness by priests and lay people. Pastoral Psychology, 57, 263-274.
McCullough, M. E., Worthington, E. L. Jr., & Rachal, K. C. (1997). Interpersonal
forgiving in close relationships. Journal of Personality and Social
Psychology, 73, 321-336.
McCullough, M. E., & Worthington, E. L. Jr. (1999). Religion and the forgiving
personality. Journal of Personality, 67, 1141-1164.
McCullough, M. E. (2000). Forgiveness As Human Strength: Theory, Measurement,
And Links To Well-Being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19,
43–55.
McCullough. M. E. 2013. Trangression-Related Interpersonal Motivation Inventory
(TRIM-18). www.midss.ie
Rangganadhan, A. R., & Todorov, N. (2010). Personality and self-forgiveness : the role
of shame, guilt, empathy and conciliatory behavior. Journal of Social and
Clinical Psychology, 29, 1-22
Rhoades, G. K., Mcintosh, D. N., Wadsworth, M. E., Ahlkvist, J. A., Burwell, R. A.,
Gudmundsen, G. R., Raviv, T., & Rea, J. G. (2007). Forgiving the September
11th
terrorist: associations with coping, psychological distress, and religiosity.
Anxiety, Stress, and Coping, 20, 109-128.
26
Sandage, S. J., & Williamson, I. (2010). Relational spirituality and dispositional
forgiveness: a structural equations model. Journal of Psychology and
Theology, 38, 255-266.
Simorangkir, S. L. B. L. (2014). Empati dan Religiusitas sebagai prediktor terhadap
pemaafan pada mahasiswa sekolah tinggi teologi salatiga. Tesis yang tidak
dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.
Soakokone, T. A. Y. (2014). Hubungan religiusitas dengan regulasi emosi individu
dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Skripsi tidak
dipublikasikan. Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.
Stark, R. dan Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature religious comitment.
University of California perss: London.
Sugiyono, (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r & d. Bandung:
Alvabeta.
Sutton, P. M, Ph.D. The Enright process model of psychological forgiveness.
Tongeren, D. R., Raad, J. M., McIntosh, D. N., & Pae, J. (2013). The Existential
Function of Intrinsic Religiousness: Moderation of Effects of Priming
Religion on Intercultural Tolerance and Afterlife Anxiety. Journal for the
Scientific Study of Religion, 52(3), 508-523.
Utami, M. S. (2012). Religiusitas, koping religius dan kesejahteraan subjektif. Jurnal
Psikologi. 39(1), 46-66. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Wade, N. G., & Worthington, E. L. Jr. (2003). Overcoming interpersonal offenses: Is
forgiveness the only way to deal with unforgiveness? Journal of Counseling
& Development – Summer, 81, 343-353.