Upload
leduong
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR (BBL) DENGAN
PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN
DI POSYANDU GONILAN KARTASURA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Oleh :
Miss Iman Chapakia
J500120024
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAM LAHIR (BBL) DENGAN
PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN
DI POSYANDU GONILAN KARTASURA
Iman Chapakia, Mohammad Shoim Dasuki, Anika Candrasari
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK
Fase terpenting dalam perkembangan anak adalah usia antara 2-5 tahun yaitu merupakan
periode keemasan (golden age) dalam proses perkembangan. Di Indonesia sekitar 5-10%
anak mengalami keterlambatan perkembangan. Badan Lahir (BBL) merupakan salah satu
faktor kunci pembangunan di semua aspek perkembangan. Dimana berat badan lahir yang
rendah dapat dikaitkan dengan perkembangan, pendidikan, dan perilaku yang merugikan di
masa mendatang. Oleh karena itu harus mendeteksi dini tumbuh kembang anak. Untuk
menilai perkembangan anak banyak instrumen yang dapat digunakan salah satunya yaitu
DDST II (Denver Development Screening Test II).Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
adakah hubungan riwayat berat badan lahir dengan perkembangan motorik halus anak usia 2-
5 tahun di Posyandu Gonilan Kartasura. Penelitian ini menggunakan metode observational
analytic dengan desain case control retrospective. Sampel penelitian diambil secara
purposive sampling. Berupa data primer yaitu melakukan tes Denver II pada anak usia2-5
tahun di Posyandu Gonilan Kartasura sebanyak 60 sampel yang memenuhi kriteria inklusi.
Analisis data menggunakan uji statistic Chi Square. Hasil analisis bivariat dengan uji statistic
Chi Square menunjukkan bahwa riwayat BBL berhubungan dengan perkembangan motorik
halus didapatkan nilai p = 0.02 dan OR = 5.0
Kata Kunci : Golden Age, Berat Badan Lahir, Perkembangan Motorik Halus, Denver II
CORRELATION BETWEEN BIRTH WEIGHT WITH FINE MOTORIC
DEVELOPMENT OF CHILDREN AGE 2-5 IN
POSYANDU GONILAN KARTASURA
ABSTRACT
The most important phase of children development was age 2-5 where it was a golden period
of children development. In Indonesia, between 5-10% of children with delayed of
development. Birth weight was one key factor that determine development in children. Low
birth weight associated with delayed development, education, and behavior in the future.
Because of that, earlier detection should be held. One of instrument that used to assess the
development DDST II (Denver Development Screening Test II). The purposes of this study is
to analyze correlation between birth weight with fine motoric development of children age 2-
5 in Posyandu Gonilan Kartasura. This study used an analytical observational study with
case control retrospective design. The samples in this study were chosen by purposive
sampling. Assessment of development as a primary data was conducted by Denver II test on
60 samples of children age 2-5 according to inclusion criteria. Data analyzed using Chi
Square. Analyzed data by using bivariate analysis with Chi square obtain there is correlation
between birth weight with fine motoric development of children age 2-5 in Posyandu Gonilan
Kartasura, p = 0.02 and OR = 5.0
Keyword : Golden Age, Birth Weight, Fine Motoric Development, Denver II
Latar Belakang
Berat badan lahir merupakan
salah satu indikator kesehatan bayi
baru lahir. Rerata berat bayi normal
adalah 3200 gram (7 lbs). Secara
umum, bayi berat lahir rendah dan
bayi dengan berat berlebih lebih besar
risikonya untuk mengalami masalah
(Damanik, 2009).
WHO memperkirakan bahwa
diseluruh Dunia, 16% dari semua bayi
lahir mempunyai berat < 2500 gram
(BBLR). Dari jumlah ini, frekuensi
BBLR 90% berasal dari negara-negara
berkembang (Khasanah, 2003;
Qobadiyah, dkk, 2012), dan 3,6-
10,8% dari negara-negara maju
(Cunningham, 2006; Qobadiyah, dkk,
2012). BBLR lebih sering terjadi di
negara-negara berkembang dan sosial
ekonomi rendah (Pantiawati, 2010;
Tazkiah, 2013).
Presentase berat badan bayi baru
lahir menurut Provinsi, Riskesdas
2013 di Indonesia terdapat 85%
dengan berat badan lahir normal dan
15% dengan berat badan lahir yang
tidak normal (10,2% BBLR dan 4,8%
BBLL). Sedangkan di Jawa Tengah
terdapat 9,7% BBLR, dengan ranking
ke-16 di Indonesia (Kemenkes RI,
2014).
Berat lahir merupakan salah satu
faktor kunci pembangunan di semua
aspek perkembangan (Zareien, dkk.,
2014) sangat berguna dan penting
dalam menentukan dan
mengemukakan faktor harapan hidup
dan kesehatan anak di masa
mendatang (Ehsanpour, dkk., 2005;
Zarien, dkk., 2014). Berat badan lahir
yang rendah dapat dikaitkan dengan
perkembangan, pendidikan, dan
perilaku yang merugikan di masa
kecil, masa remaja, dan di kemudian
hari (Mc Avovy, dkk., 2006;
Amarnath, dkk., 2014).
Fase terpenting dalam
perkembangan anak adalah ketika
masa bayi dan balita di bawah lima
tahun. Anak pada usia 2-5 tahun
merupakan periode keemasan (golden
age) dalam proses perkembangan,
yang artinya pada usia tersebut aspek
kognitif, fisik, motorik, dan
psikososial seorang anak
berkembangan secara pesat (Zaviera,
2008). Masalah perkembangan anak
seperti keterlambatan motorik,
berbahasa, perilaku autism, hiperaktif
di Amerika Serikat berkisar 12-16%,
Thailand 24%, Argentina 22%, dan di
Indonesia antara 13-18% (Hidayat,
2010). Pada tahun 2013 berdasarkan
data IDA diperkirakan 5-10% anak
mengalami keterlambatan
perkembangan (IDAI, 2013).
Perkembangan motorik anak berbagai
Negara berbeda. Dibandingkan
motorik anak-anak di negara-negara
Eropa Barat, maka perkembangan
motorik milestone pada anak
Indonesia tergolong rendah (Ginting,
2012).
Akibat bila perkembangannya
terhambat, karena kurangnya deteksi
dini tumbuh kembang, maka anak akan
kurang mampu menyesuaikan dan
melakukan tugas sehari-hari. Bahkan,
pada akhirnya juga menghambat
perkembangan akademik anak
(Dharma & Nakita, 2010; Krisdiyanto,
dkk, 2013). Untuk menilai
perkembangan anak banyak instrumen
yang dapat digunakan. Salah satu
instrumen skrining yang dapat dipakai
secara internasional untuk menilai
perkembangan anak adalah DDST II
(Denver Development Screening
Test). DDST II merupakan alat untuk
menemukan secara dini masalah
penyimpangan perkembangan anak
(Chamidah, 2009).
Berdasarkan uraian diatas penulis
tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hubungan riwayat Berat
Badan Lahir dengan perkembangan
motorik halus anak usia 2-5 tahun di
Posyandu Gonilan Kartasura. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada
masyarakat Indonesia khususnya
kepada ibu sehingga dapat dijadikan
metode yang berkualitas untuk
pemantauan perkembangan anak.
Tujuan
Untuk mengetahui adakah hubungan
riwayat berat badan lahir dengan
perkembangan motorik halus anak usia
2-5 tahun di Posyandu Gonilan
Kartasura.
Metode
Penelitian bersifat analitik dengan
rancangan penelitian case control
retrospective. Penelitian dilaksanakan
di Posyandu Gonilan Kartasura pada
bulan December 2015. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
anak umur 2-5 tahun yang diketahui
berat lahirnya dipilih secara purposive
sampling. Penentuan besar sampel
ditentukan berdasarkan rumus
perhitungan Notoatmojo yang
diperoleh hasil sebesar 60 responden.
Identifikasi variabel terdiri dari
variabel bebas : berat badan lahir,
variabel terikat : perkembangan
motorik halus. Metode yang digunakan
: DDST II. Alat yang digunakan :
kertas kosong, pinsil, dan balok-balok
berwarna.
Cara Kerja
1. Tetapkan umur kronologis
anak, tanyakan tanggal lahir anak yang
akan diperiksa. Gunakan patokan 30
hari untuk satu bulan dan 12 bulan
untuk satu tahun.
2. Jika dalam perhitungan umur
kurang dari 15 hari dibulatkan ke
bawah, jika sama dengan atau lebih
dari 15 hari dibulatkan ke atas.
3. Tarik garis berdasarkan
kronologis yang memotong garis
horizontal tugas perkembangan pada
formulir DDST.
4. Setelah itu dihitung pada
masing-masing sektor, berapa yang P
dan berapa yang F.
Hasil dan Pembahasan
Dari penelitian ini ditetapkan
masing-masing sampel sebesar 11
untuk kasus, dan 49 sebagai kontrol.
Karakteristik responden berdasarkan
data yang telah didapat meliputi jenis
kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan
ibu, dan berat badan lahir yang tersaji
dalam tabel berikut.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Tabel 5. Distribusi hubungan jenis kelamin dengan perkembangan motorik halus
Jenis
Kelamin
Perkembangan Motorik Halus Total Nilai
p Normal Suspek
F % F % F %
Laki-laki 30 50 4 6.7 34 56.7 0.133
Perempuan 19 31.7 7 11.7 26 43.3
Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100
Karakteristik responden
Jumlah (orang) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 34 56.7
Perempuan 26 43.3
Pendidikan Ibu
Tidak Tamat SD 1 1.7
SD 4 6.7
SMP 19 31.7
SMA/SMK 32 53.3
Sarjana 4 6.7
Pekerjaan Ibu
IRT 42 70
Buruh 6 10
PNS 1 1.7
Swasta 11 18.3
Berat badan lahir (BBL)
BBLN 48 80.1
BBLR 12 19.9
Perkembangan Motorik Halus (PMH)
Normal 49 81.7
Suspek 11 18.3
Tabel 6. Distribusi hubungan pendidikan ibu dengan perkembangan motorik halus
Pendidikan
Ibu
Perkembangan Motorik Halus Total Nilai p
Normal Suspek
F % F % F %
Tidak
Tamat SD
1 1.7 0 0 1 1.7 0.81
SD 3 5.0 1 1.7 4 6.7
SMP 16 26.7 3 5.0 19 31.7
SMA/SMK 25 41.7 7 11.7 32 53.3
Sarjana 4 6.7 0 0 4 6.7
Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100
Tabel 7. Distribusi hubungan pekerjaan ibu dengan perkembangan motorik halus
Pekerjaan
Ibu
Perkembangan Motorik Halus Total Nilai p
Normal Suspek
F % F % F %
IRT 33 55 9 15 42 70 0.276
Buruh 4 6.7 2 3.3 6 10
PNS 1 1.7 0 0 1 1.7
Swasta 11 18.3 0 0 11 18.3
Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100
Table 8. Distribusi hubungan berat badan lahir dengan perkembangan motorik halus
Riwayat Berat
Badan Lahir
(BBL)
Perkembangan Motorik Halus Total Nilai
p
Nilai
OR Normal Suspek
F % F % F %
BBLN 42 70 6 10 48 80 0.02 5.0
BBLR 7 11.7 5 8.3 12 20
Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100
Perbedaan jenis kelamin
berpengaruh pada keterampilan
motorik dan aktivitas anak (Samara,
dkk, 2012). Pahlevanian, dkk (2014)
menyimpulkan dalam penelitiannya
bahwa perempuan lebih menguasai
keterampilan motorik halus, sedangkan
pada laki-laki lebih dominan
menguasai keterampilan motorik
kasar. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Vlachos, dkk (2014) dengan judul
perbedaan usia dan jenis kelamin
dalam keterampilan motorik pada anak
prasekolah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perempuan lebih
baik perkembangan visual motorik
(kemampuan anak mengopi atau
mencontoh bentuk, huruf dan angka)
dan graphmotor (menulis,
menggambar) dibanding laki-laki,
sementara anak laki-laki lebih kearah
keterampilam keseimbangan.
Hal ini berbeda dengan
penyataan Gaul (2014) di dalam
tesisnya, perempuan memiliki
keterampilan motorik halus lebih
rendah dibanding laki-laki. Penelitian
ini melakukan pengukuran terhadap
gangguan motorik, dengan hasil 37%
perempuan memiliki gangguan
motorik, sementar pada laki-laki 12%.
Presentase ini dapat disimpulkan
bahwa perempuan lebih cenderung
mengalami kesulitan gerak dibanding
laki-laki. Sementara pada hasil
penelitian ini, disajikan pada tabel 5
telah menunjukkan anak perempuan
dinyatakan suspek sebesar 7 orang
(11.7%), sementara anak laki-laki
hanya 4 orang (6.7%). Setelah
dilakukan uji chi square didapatkan
nilai p = 0.133, yang artinya tidak ada
hubungan antara perbedaan jenis
kelamin dengan perkembangan
motorik halus.
Perbedaan jenis kelamin dalam
kemampuan motorik dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, faktor
biologis, atau interaksi mereka.
Sebelum pubertas, karakteristik fisik
anak laki-laki dan perempuan adalah
sama, dan pengaruh lingkuan lebih
mungkin menjelaskan perbedaan jenis
kelamin dalam kemampuan motorik
(Samara, dkk, 2012).
Pendidikan ibu termasuk salah
satu faktor mempengaruhi
perkembangan motorik kasar maupun
halus (Husniati, 2007; Sitoresmi, dkk,
2015). Tingkat stimulasi dari keluarga
dan lingkungan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan motorik
(Giagazoglou, dkk, 2007). Orang tua
yang berpendidikan tinggi akan
diharapkan untuk memberikan
stimulasi intelektual yang lebih besar
dan menciptakan lingkungan rumah
yang mendorong dan memfasilitasi
perkembangan anak. Ibu tetap sebagai
pengasuh utama bagi anaknya, ada
kemungkinan bahwa tingkat
pendidikannya akan memiliki dampak
yang kuat pada perkembangan anak
(Najman, dkk, 1992; Giagazoglou,
2007). Dalam penelitian Christi, dkk
(2013) menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan ibu
tentang stimulasi dini dengan
perkembangan motorik anak. Anak
yang mempunyai ibu dengan
pengetahuan yang kurang tentang
stimulasi dini akan berisiko labih besar
untuk mengalami dugaan
keterlambatan perkembangan motorik
daripada anak dengan ibu
berpengetahuan baik.
Akan tetapi pada penelitian ini
(table 6) sebagian besar responden
memiliki ibu berpendidikan SMA/
SMK yaitu sebesar 32 responden
(53.3%), namun perkembangan
motorik halus dinyatakan suspek
sebesar 7 respomden (11.7%),
sementara ibu yang berpendidikan
SMP 3 orang (5%), SD 1 orang
(1.7%), ibu yang tidak tamat SD
dantingkat sarjana tidak ditemukan
responden dengan hasil perkembangan
motorik halus suspek (0%).
Berdasarkan uji chi square didapatkan
nilai p = 0.81, yang artinya tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu
dengan perkembangan motorik halus
anak. Hal ini mungkin dikarenakan
kurangnya pengalaman dan cara
mendidik anak yang benar. Akhirnya,
anak-anak juga memainkan peran
kunci dalam pengalaman belajar
mereka sendiri, seperti yang
dicontohkan oleh orang tuanya.
Status bekerja ibu dianggap
merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak
(Arimurti, 2010; Sitoresmi, dkk,
2015). Hasil penelitian ini (table 7)
responden paling banyak memiliki ibu
bekerja sebagai IRT yaitu sebesar 42
orang (70%) dengan hasil
perkembangan motorik halus suspek
sebesar 9 orang (15%), sementara ibu
yang bekerja sebagai buruh 2 orang
(3.3%), PNS, dan swasta tidak
ditemukan (0%) dengan hasil
perkembangan motorik halus suspek.
Sebagian besar ibu responden bekerja
sebagai IRT, yaitu bekerja di rumah,
bisa bersama dan mengasuh anaknya
sendiri. Ibu memilki perran dalam
pemenuhan kebutuhan dasar anak yang
akan berdampak bagi perkembangan
anaknya. Berdasarkan uji chi square
didapatkan nilai p = 0.276, artinya
tidak ada hubungan antara pekerjaan
ibu dengan perkembangan motorik
halus anak. Sesuai dengan penelitian
Sitoresmi, dkk (2015) menyimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada perkembangan motorik
anak antara ibu bekerja dan tidak
bekerja. Serupa dengan penelitian
Ariyanti (2010), tidak ditemukan
adanya perbedaan perkembangan
motorik halus pada anak, baik pada
anak yang ibunya bekerja maupun
tidak bekerja. Kesimpulan ini bersifar
definitif, karena sejumlah faktor
perancu seperti faktor genetic,
kuantitas dan intensita perhatian, kasih
sayang, interakksi anak dan ibu,
stimulasi dini, dan faktor-faktor
psikososial lainnya, mungkin menutupi
perbedaan perkembangan yang
sesungguhnya terjadi pada anak balita
dari kedua kelompok tersebut.
Berdasarkan Berat badan lahir
anak, hasil penelitian ini dapat
diketahui dari 60 responden yang
dilahirkan dengan berat badan normal
sebagian besar memiliki
perkembangan motorik halus normal
42 responden (70%), dan 6 responden
(10%) dengan hasil suspek, sedangkan
anak dengan BBLR terdapat 7
responden (11.7%) perkembangan
motorik halus normal, dan 5 responden
(8.3%) suspek pada perkembangan
motorik halus.
Berat badan lahir rendah
dianggap sebagai faktor risiko yang
kuat untuk keterlambatan
perkembangan motorik (Chaves, dkk,
2015). Bayi BBLR rentan terhadap
abnormal tanda-tanda neurologis,
koordinasi dan reflex, karena
komplikasi neonatal yang
menyebabkan perkembangan deficit
motor dan penundaan pada anak yang
menunjukkan gangguan motorik yang
akan mempengaruhi fungsi tangan dan
kinerja sekolah mereka (Nazi, 2012).
Sesuai dengan penelitian Nazi (2012)
dengan judul hubungan riwayat berat
badan lahir rendah dengan
perkembangan motorik halus.
Penelitian ini menggunakan metode
kohort prospektif dengan responden
sebanyak 32 anak, hasil penelitian ini
telah menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara
kelompok bayi BBLN dan BBLR,
yaitu keterampilan pada anak dengan
riwayat BBLR cenderung terhambat.
Nilai p yang diperoleh yaitu 0.007,
artinya ada hubungan antara riwayat
berat badan lahir dengan
perkembangan motorik anak.
Pada hasil penelitian ini (tabel
8) setelah diuji chi square didapatkan
nilai p = 0.02. Oleh karena nilai p <
0.05 artinya ada hubungan antara
riwayat berat badan lahir dengan
perkembangan motorik halus. Di mana
nilai OR yang didapat yaitu sebesar 5
yang bermaksud anak dengan riwayat
BBLR mempunyai risiko 5 kali lipat
untuk masalah keterlambatan
perkembangan motorik halus halus
pada anak usia 2-5 tahun di Posyandu
Gonila Kartasura.
Namun demikian masih ada
anak dengan riwayat berat badan lahir
normal yang perkembangan motorik
halusnya suspek sebesar 6 orang
(10%), hal ini mungkin disebabkan
oleh berbagai faktor lain yang
mempengaruhi diantaranya pemberian
stimulasi yang baik. Menurut Depkes
(2006) stimulasi tumbuh kembang
anak dilakukan oleh ibu dan ayah yang
merupakan orang terdekat dengan
anak, pengganti/ pengasuh anak,
anggota keluarga lain dan kelompok
masyarakat di lingkungan rumah
tangga masing-masing dan dalam
kehidupan sehari-hari. Pemberian
stimulasi ini bisa diberikan berbagai
cara, seperti mengajak anak bermain,
bernyanyi, bervariasi, menyenangkan,
tanpa paksaan dan tidak ada hukuman,
menggunakan alat bantu/ permainan
yang sederhana dan aman. Kurangnya
stimulasi dapat menyebabkan
penyimpangan tunbuh kembang anak
bahkan gangguan menetap.
Berdasarkan pendapat Adolph, dkk,
(2007) bahwa 3 tanda untuk
menunjukkan keberhasilan
perkembangan motorik : (1)
melakakukan pergerakan, (2) perilaku
yang tertanam dalam lingkungan fisik
yang kaya dengan informasi sensorik,
dan membutuhkan persepsi untuk
tindakan yang efektif, dan (3)
pengembangan motorik berdasarkan
budaya dari pengasuhan.
Kesimpulan
Terdapat hubungan antara
riwayat berat badan lahir dengan
perkembangan motorik halus anak usia
2-5 tahun di Posyandu Gonilan
Kartasura.
Saran
1. Bagi Orang Tua
a. Untuk semua ibu hamil
hendaknya memeriksakan ANC
secara rutin khususnya ibu
hamil yang memiliki paritas
tinggi, jarak kehamilan dekat,
menderita penyakit sistemik,
dan pada kondisi sosial ekonomi
keluarga miskin, sehingga
kondisi janin dapat selalu
dipantau dengan baik.
2. Bagi Posyandu
a. Memberikan pelatihan
perkembangan motorik halus
pada anak-anak supaya di masa
mendatang tidak ada kendali
dalam hal gerakan motorik.
3. Bagi Masyarakat
a. Memperhatikan kesehatan
dengan memeriksakan
kehamilan untuk mencegah
berbagai komplikasi pada
kehamilan seperti BBLR
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Agar diteliti faktor risiko lain yang
dapat mempengaruhi keterlambatan
perkembangan motorik halus
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan puji dan
syukur kepeda Tuhan Yang Maha Esa
atas rahmatNya dalam penyusunan
naskah publikasi ini. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada
dr.M. Shoim Dasuki, M.Kes selaku
pembimbing utama dan dr.Anika
Candrasari, M.Kes selaku pembimbing
pendamping dalam penelitian ini yang
senantiasa membimbimg dan
mengarahkan penulis dalam
mengerjakan penelitian. Terimakasih
kepada Posyandu Gonilan yang telah
memberikan kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian di
wilayah kerjanya. Dan kepada semua
pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan, penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya.
Daftar Pustaka
Adolph K.E., Robinsons S.R., 2007. Motor Development. New York University
(diakses taggal 18 Januari 2016)
Amarnath A., Jacob S., 2014. Low Birth Weight of Infants in Relation to Various
Bio-Social variable. International Journal of Advanced Researh. 2(5) : 309
Ariyanti A., 2010. Perbedaan Perkembangan Anak Balita pada Ibu Bekerja dan Ibu
Tidak Bekerja Penilaian Menggunakan Metode Denver II. Thesis. Pp. 110
Chamidah A.N., 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkebangan Anak.
Jurnal Pendidikan Khusus. 5(2) : 84, 89, 92
Chaves R., Jone A.B., Games T., Souza M., Pareira S., dan Maia J., 2015. Efffects of
Individual and School-Level Characteristucs on A Child’s Gross Motor
Coordination Development. Int. J. Environ. Res. Public Health. 12 :8884
Christi A.Y., Syamlan R., dan Kusuma I.F., 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu
Tentang Stimulasi Dini dengan Perkembangan Motorik pada Anak Usia 6-24
Bulan di Kecematan Mayang Kabupaten Jember. Atrikel Ilmiah. pp2
Depkes RI, 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta :
Depkes RI.
Damanik S.M., 2009. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI pp.11
Giagazoglou P., Kyparos A., Fotiadou E., dan Angelopoulou N., 2007. The Effect of
Residence Area and Mather’s Education and Motor Development of
Preschool Aged Children in Greece. Early child Development and Care.
177(5) : 480
Ginting T., 2012. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu dalam Memantau
Perkembangan Motorik pada Batita (1-3 Tahun) di Dusun VIII Desa Kolam
Kec.Percut Sei Tuan medan Tahun 2012. Jurnal Darma Agung (diakses
tanggal 10 November 2015)
Gaul D., 2014. Fine Motor Skill Performance in Irish Children. DCU (diakses
tanggal 18 Januari 2016)
Hidayat A.A., 2010. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta : salemba Medika
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2013. Mengenal Keterlambatan
Perkembangan Umum pada Anak (diakses tanggal 3 September 2015)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2013. Jakarta : Kemenkes RI pp.87-88
Krisdiyanto E., Arwani, dan Purnomo, 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua
Terhadap Perkembangn Motorik Anak Usia 3-5 Tahun. Pp.2 (diakses tanggal
3 Seprember 2015)
Nazi S., 2012. Fine Motor Development of Low Birth Weight Infants at the Corrected
Aged of 8 to 12 Months. Iranian Rehabilitation Journal. 10(16) : 22
Pahlevanian A.A, dan Ahmadizadeh Z., 2014. Relationship between Gender and
Motor Skill in Preschoolers. Middle East J Rehabil Health. 1(1) :1
Qobadiyah T.P., Mustain, dan Maryanti, 2012. The Influence of Size Upper Arm
Circumference (LLA) Third Trimester Pregnant Women on the Birth Weight
Babies in BPS Sujamil jatinom Klaten. Jurnal Ilmu Kesehatan. 4(2)
Samara D., Sidarta N., Meidiana D., dan Noviyanti, 2012. Gender Impacts on Motor
Skill Perficiency-Physical Activity Reslahionship in Children. 31(3) : 193,
197
Sitoresmi, Kusnanto, dan Krisnana, 2015. Perkembangan Motorik Anak Toddler pada
Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekarja. Jurnal Pediomateranal. 3(1) : 66
Tazkiah M., Wahyuni C.U., dan Martini S., 2013. Determinan Epidemiologi Kejadian
BBLR pada daerah Endemis Malaria di Kabupaten Banjar Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal Berkala Epidemiologi. 1(2) : 266
Vlachos F., Papadimitriou A., dan Bonoti F., 2014. An Investigantion of Age and
Gender Difference in Preschool Children’s Specific Motor Skill. European
Psychomotricity Journal. 6(1) : 16, 18
Zareian E., Saeedi F., dan Rabbani V., 2014. The Role of Birth Order and Birth
Weight in the Balance of Boys Aged 9-11 Years Old. Ann Appl Sport Sci. 2(2)
: 51-53