Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN
PRIMER INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA BALITA (USIA 1-5 TAHUN) DI WILAYAH
PUSKESMAS CARINGIN
SKRIPSI
Diajukan Untuk salah Satu syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Keperawatan
Disusun Oleh:
DARA FUTRI RAHAYU
AK.1.15.060
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2019
ABSTRAK
Di Indonesia prevalensi penyakit menular ISPA mengalami penurunan
dari tahun 2013 sebesar 13,8% menjadi 4.4% pada tahun 2018. Angka kejadian
ISPA di Kota Bandung pada anak tahun 2018 sebanyak 82.702 orang atau sebesar
(33.02%). Balita mudah untuk tertular ISPA oleh karena itu perlunya pencegahan
primer ISPA yang dilakukan oleh orangtua, salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku ibu yaitu sikap dalam pencegahan ISPA.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sikap dengan tindakan
pencegahan primer ISPA pada balita (usia 1-5 tahun) wilayah kerja puskesmas
Caringin tahun 2019.
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan deskriptif
korelasional dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Populasi
pada penelitian ini yaitu seluruh ibu yang memiliki balita sebanyak 112 orang.
Sampel sebanyak 53 orang. Analisa data menggunakan analisa univariat dan
analisa bivariat dengan uji statistik analisis chi square.
Hasil analisis univariat diperoleh hasil sebagian besar responden (56.6%)
memiliki sikap negatif terhadap pencegahan primer penyakit ISPA, sebagian besar
responden (66.0%) tindakan pencegahan primer ISPA tidak baik. Hasil uji
statistik chi square diperoleh hasil nilai value (0.014) < α 0.05 yang berarti Ha
diterima maka diartikan terdapat hubungan antara sikap dengan tindakan
pencegahan primer ISPA pada balita.
Perlunya peningkatan penyuluhan tentang kesehatan penyakit menular
atau tidak menular pada anak yang dilakukan oleh petugas kesehatan agar ibu
lebih mengetahui dan memahami akan pentingnya pencegahan dini penyakit
termasuk pencegahan primer ISPA sehingga dapat sebagai salah satu cara dalam
menurunkan angka kejadian ISPA di tempat penelitian.
Kata Kunci : Pencegahan Primer ISPA, Sikap
Kepustakaan : 31 sumber (2014-2018)
28 buku (2014-2018)
3 jurnal (2016-2017)
ABSTRACT
In Indonesia, the prevalence of RESPIRATORY infectious diseases has
decreased from the year 2013 amounting to 13.8% to 4.4% in the year 2018. The
number of respiratory events in the city of Bandung in the year 2018 as much
82,702 people or registration (33.02%). Toddlers easy for contracting respiratory
therefore the need for primary prevention of respiratory conducted by parents,
one of the factors that affect the behavior of the mother that is the attitude in the
prevention of respiratory.
The purpose of this research is to know the attitude of the relationship
with the primary respiratory precautions on toddlers (ages 1-5 years) work-area
clinics Caringin year 2019.
Research methods in this study using descriptive korelasional by using the
draft cross sectional study. The population in this study i.e. the whole mothers
who have babies as many as 112 people. Sample as many as 53 people. Data
analysis using univariate analysis and analysis of the statistical test analysis with
bivariat chi square.
The results of the univariate analysis of the obtained results the majority
of respondents (56.6%) having a negative attitude towards primary prevention of
respiratory disease, the majority of respondents (66.0%) primary prevention of
respiratory Act is not good. The results of the statistical test chi square value of
the results obtained value (0.014) 0.05 meaning α < Ha accepted then there is
defined the relationship between attitude with the primary respiratory precautions
on toddlers.
The need for increased public awareness about health infectious diseases
or not contagious in children conducted by health workers so that more mothers
will know and understand the importance of early prevention primary prevention
of respiratory ailments including so be as one way in lowering the number of
respiratory events in place of research.
Key words: Primary Prevention of respiratory, the attitude of
Librarianship: 31 sources (2014-2018)
28 books (2014-2018)
3 journals (2016-2017)
i
KATA PENGANTAR
Bissmilahirahmanirrahim
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat kekuatan, kesehatan, karunia dan berkat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan berjudul “Hubungan sikap ibu
dengan tindakan pencegahan primer infeksi saluran nafas akut (ISPA) pada
balita (Usia 1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Caringin”.
Skripsi ini dibuat oleh penulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas
Bhakti Kencana Bandung Tahun 2019. Dalam penulisan skripsi ini penulis
banyak mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
selayaknya penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. H. Mulyana, SH., M.Pd., M.HKes selaku Ketua Yayasan Adhi Guna
Kencana.
2. Dr. Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt selaku rektor Universitas Bhakti
Kencana Bandung.
3. R. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Bhakti Kencana Bandung.
4. Lia Nurlianawati, S.Kep., Ners., M.Kep selaku ketua Program Studi
Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Bhakti Kencana
Bandung dan penguji I yang telah memberikan arahan dan masukan demi
kelancaran proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
5. Inggrid Dirgahayu, S.Kp., M.KM selaku pembimbing I yang selalu
memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi, dan bantuan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Novitasari Ts. Fuadah, S.Kep., Ners., M.Kep selaku pembimbing II yang
selalu memberikan bimbingan, masukan, arahan, motivasi, dan bantuan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
ii
7. Yuyun Sarinengsih, S.Kep.,Ners., M.Kep selaku penguji I yang telah
memberikan arahan dan masukan demi kelancaran proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
8. Denni Fransiska, S.Kp., M.Kep selaku penguji II yang telah memberikan
arahan dan masukan demi kelancaran proses penelitian dan penysunan
skripsi ini.
9. Seluruh dosen, staf pengajar dan karyawan Universitas Bhakti Kencana
Bandung terutama Program Studi Sarjana Keperawatan Faktultas
Keperawatan yang telah banyak memberikan wawasan dan segala bentuk
bantuan.
10. Terimakasih kepada orangtua Ayah dan Mamah, adik tercinta yang selalu
memberikan doa, kekuatan, kasih sayang yang tiada henti, memberikan
motivasi dan support setiap saat serta memberikan dukungan baik moril
maupun material.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana Bandung angkatan 2015 yang
telah membantu dan memberikan support setiap saat, terutama untuk
sahabat-sahabatku yang tercinta (Selvia, dina, ulfah, dinda) dan kepada
teman hidupku (Niktul) terimakasih untuk semua doa dan dukungannya
sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Penulis menyadari dalam
penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga penulis
dapat memperbaiki dalam proses penelitian selanjutnya.
Bandung, 07 Agustus 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR BAGAN ..................................................................................... vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 7
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9
2.1 Perilaku .................................................................................................. 9
2.2 Perilaku Pencegahan ............................................................................. 13
2.3 Sikap ...................................................................................................... 18
2.4 Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................. 24
2.5 Kerangkat Teori .................................................................................... 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 50
3.1 Rancangan Penelitian ........................................................................... 50
3.2 Paradigma Penelitian ............................................................................ 50
vi
3.3 Hipotensis Penelitian ............................................................................ 53
3.4 Variabel Penelitian ................................................................................ 53
3.5 Definisi Konseptual dan Definisi Oprasional ....................................... 54
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 55
3.7 Pengumpulan Data ................................................................................ 57
3.8 Langkah-langkah Penelitian ................................................................. 63
3.9 Pengolahan dan Analisa Data................................................................ 64
3.10 Etika Penelitian ................................................................................... 70
3.11 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 72
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 72
4.2 Pembahasan ........................................................................................... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 84
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 84
5.2 Saran ...................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Hubungan Sikap Ibu Dengan Tindakan Pencegahan
Primer Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita
(Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Puskesmas Caringin ................... 49
Bagan 3.1Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan
Primer ISPA Pada Balita (Usia 1-5 tahun) Di Wilayah
Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019 ..................................... 52
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian .................................................. 55
Tabel 3.2 Alternatif Jawaban Pengukuran Sikap ........................................ 58
Tabel 4.1Distribusi Frekuensi Sikap Ibu Terhadap Pencegahan
Prime Penyakit ISPA Di Wilayah Kerja Puskesmas
Caringin Tahun 2019................................................................... 72
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pencegahan Primer ISPA
Di Wilayah Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019.................. 73
Tabel 4.3Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan Primer
ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah
Kerja Puskesmas Caringin Tahun 2019 ...................................... 73
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Pernyataan kesediaan menjadi responden
Lampiran II : Hasil Uji Validalitas dan Realibilitas
Lampiran III : Lembar Kuesioner
Lmpiran IV : Hasil Penelitian
Lampiran V : Data Responden
Lampiran VI : Lembar Persyaratan Sidang
Lampiran VII : Lembar konsul
Lampiran VII : Lembar matrik
Lampiran VIII : Surat kampus STIKes ( permohonan data dan penelitian)
Lampiran IX : Surat balasan
Lampiran X : Riwayat hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan dibidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan
nasional yang ditata dalam Sistem Kesehatan Nasional diarahkan untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal dan produktif sebagai perwujudan
dari kesejahteraan umum. Upaya pemerintah dalam meningkatkan kesehatan
salah satunya yaitu penyehatan perumahan dan lingkungan yang diutamakan
pada daerah yang mempunyai resiko tinggi kemungkinan penularan penyakit
seperti Diare, TB Paru, Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) (Depkes, 2015).
Data menurut WHO (World Healthy Organization) ISPA menunjukkan
salah satu penyebab kematian pada anak dibawah lima tahun di dunia.
Hampir 7 juta anak meninggal akibat ISPA setiap tahun. Kasus terbanyak
terjadi di Bahamas (33%), Romania (27%), Timor Leste (21%), Afganistan
(20%), Laos (19%), Indonesia (16%), dan India (13%). Tingkat mortalitas
akibat ISPA pada bayi, anak dan ibu tergolong tinggi terutama di negara-
negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di sarana
pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2015).
2
Di Indonesia ISPA masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama
dan merupakan penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan,
kunjungan berobat ke puskesmas akibat ISPA sebesar 40-60%, dan 15-30%
kunjungan berobat di rawat jalan dan rawat inap rumah sakit. Depkes RI
prevalensi ISPA pada tahun 2014 adalah 25%, dan prevalensi ISPA yang
tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25.8% (Depkes,
2015). Data terbaru menurut RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar)
prevalensi penyakit menular ISPA tahun 2018 mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan hasil RISKESDAS 2013, yaitu dari 13,8% menjadi
4.4%, namun demikian angka kejadian ini masih bisa mengalami kenaikan di
tahun lainnya (RISKESDAS, 2018).
ISPA dapat disebabkan karena bakteri, virus, jamur, dan rickettsia.
Bakteri yang dapat menyebabkan ISPA paling banyak yaitu Haemophilus
influenza dan Streptoccocus oneumonia. Tanda dan gejala ISPA dapat berupa
batuk, kesukaran bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga, dan demam.
Gejala ISPA dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu gejala ISPA ringan, gejala
ISPA sedang, dan gejala ISPA berat (Kemenkes, 2014).
Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA sangat rentan dialami oleh
anak-anak, hal ini dikarenakan kekebalan tubuh anak yang masih rendah,
anak dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap tahun terutama mereka
yang tinggal di daerah urban. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian ISPA yaitu faktor intrinsk (status gizi, berat badan lahir, ASI
Eksklusif, jenis kelamin, dan status imunisasi), dan faktor ekstrinsik (sanitasi
3
lingkungan, kepadatan hunian, ventilasi, suhu, dan kelembapan ruangan)
pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain yaitu
pemberian ASI ekslusif, menjaga kesehatan gizi, melakukan penyuluhan dan
sosialisasi, imunisasi lengkap, kebersihan lingkungan dan pribadi, mencegah
kontak langsung ataupun tidak langsung dengan penderita ISPA, ventilasi
rumah, dan pelaksanaan surveilens sentinel pneumonia (Najmah, 2016).
Perilaku pencegahan penyakit dalam keperawatan komunitas dapat
digunakan pada tahap sebelum terjadinya suatu penyakit prepathogenesis
phase dan pada tahap pathogenesis phase. Pada tahap prepathogenesis phase
dapat dilakukan melalui kegiatan primary prevention atau pencegahan primer
yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya masalah kesehatan dan
mencakup perlindungan. Pada tahap pathogenesis phase dapat dilakukan
dengan sekodary prevention (pencegahan sekunder) yaitu pencegahan pada
saat masih atau sedang sakit dan tertiary prevention (pencegahan tersier)
yaitu usaha pencegahan setelah sembuh dari sakit. Berdasarkan tahapan
tersebut pencegahan primer merupakan upaya pencegahan terpenting dalam
kesehatan karena dilakukan sebelum terjadinya penyakit (Mubarak, 2014).
Berdasarkan Levell dan Clark pencegahan primer dapat dilakukan
melalui tahapan peningkatan kesehatan (health education, penyuluhan
kesehatan, growth and development monitoring, pengadaan rumah sehat,
pengendalian lingkungan, stimulasi dini, dan pemberantasan penyakit tidak
menular), dan tahapan perrlindungan umum dan khusus (imunisasi, personal
hygiene, dan perlindungan diri) (Mubarak, 2014). Menurut teori Najmah
4
tentang pencegahan ISPA dan berdasarkan teori Levell dan Clark pencegahan
primer maka pada penelitian ini pencegahan primer ISPA dapat dilakukan
diantaranya yaitu mencari informasi tentang ISPA (health education),
imunisasi lengkap pada balita, pemenuhan makanan bernutrisi, personal
hygiene, pengadaan rumah sehat.
Pencegahan penyakit dapat dipengaruhi oleh perilaku kesehatan. Perilaku
kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sehat-sakit (kesehatan). Perilaku kesehatan ditentukan atau terbentuk dari 3
faktor yaitu faktor: Faktor predisposisi (predisposing factors), faktor
pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factors) Faktor
paling mempengaruhi perilaku seseorang terhadap kesehatan ditentukan oleh
faktor predisposisi yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari orang
atau masyarakat yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2014).
Sikap merupakan faktor yang termasuk ke dalam predisposisi faktor atau
faktor pemungkin yang akan membentuk perilaku seseorang. Sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu, atau perasaan mendukung maupun
perasaan tidak mendukung pada objek tertentu. Sikap terdiri dari komponen
kognitif (represensi apa yang dipercayai), komponen afektif (perasaan yang
menyangkut aspek emosional), dan komponen konatif (aspek kecenderungan
berperilaku sesuai keinginan) (Notoatmodjo, 2014).
5
Hasil penelitian oleh Fithria (2016) tentang Upaya keluarga dalam
pencegahan Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita, diperoleh
hasil upaya pencegahan ispa tingkat pertama (primer) yaitu sebanyak 25
(50%) kategori baik (Fithria, 2016). Hasil penelitian oleh Arfiza Ridwan
(2016) tentang pencegahan primer penyakit infeksi saluran pernafasan akut
pada balita di desa Ceurih Banda Aceh, diperoleh hasil ada hubungan sikap
ibu dengan pencegahan primer terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan
akut pada balita (p=0.001) (Arfiza, 2016).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung angka kejadian ISPA
pada anak tahun 2018 sebanyak 82.702 orang atau sebesar (33.02%). Tiga
puskesmas penyumbang tertinggi angka kejadian ISPA di Kota Bandung
yaitu Puskesmas Kopo (43,4%), Puskesmas Caringin (45.9%), Puskesmas
Pasir Kaliki (24,3%). Dari hasil tersebut dapat dilihat angka kejadian ISPA di
Kota Bandung paling tertinggi yaitu di Puskesmas Caringin (Dinkes Kota
Bandung, 2018).
Puskesmas Caringin menaungi enam desa/kelurahan yaitu desa Babakan
Ciparay, Margahayu Utara, Margasuka, Cirangrang, Sukahaji, dan Babakan.
Berdasarkan data pada bulan desember tahun 2018 angka kejadian ISPA pada
anak di Puskesmas Caringin yaitu sebanyak 607 orang (Data Puskesmas
Caringin, 2018). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di puskesmas pada
tanggal 19 Maret 2019 data anak yang mengalami ISPA sebanyak 135 pasien.
Tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Caringin salah satunya
disebabkan oleh masih rendahnya upaya tindakan pencegahan penyakit ISPA
6
di wilayah tersebut. Hal ini dipertegas oleh pernyataan oleh salah satu petugas
kesehatan masih banyaknya balita yang tidak melakukan imunisasi lengkap,
kurangnya keaktifan ibu untuk datang ke puskesmas pada jadwal konseling
balita yang diadakan setiap satu minggu sekali, dan masih adanya balita yang
tergolong gizi kurang karena kurangnya asupan gizi pada balita.
Hasil studi pendahuluan dengan melakukan wawancara pada 10 ibu yang
memiliki balita tentang pencegahan primer ISPA, diperoleh hasil 5 orang ibu
menyatakan dalam pelaksanaan pencegahan primer penyakit ISPA ibu merasa
tidak konsisten dalam perilaku pencegahan penyakit karena terkadang merasa
pencegahan dini tidak perlu dilakukan pada awal karena belum tentu anaknya
akan mengalami ISPA. 3 orang ibu menyatakan pencegahan primer ISPA
harus dilakukan karena sebagai langkah awal dari terhindarnya penyakit yang
dapat membahayakan anaknya, dan 2 orang menyatakan bahwa pencegahan
primer ISPA dianggap belum penting dilakukan karena selama ini anaknya
tidak pernah mengalami sakit yang serius termasuk ISPA.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Hubungan Sikap Dengan Tindakan Pencegahan Primer
ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Kerja Puskesmas Caringin”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Apakah Terdapat Hubungan Sikap Dengan Tindakan
7
Pencegahan Primer ISPA Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Caringin?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dengan tindakan pencegahan primer
ISPA pada balita (usia 1-5 tahun) wilayah kerja puskesmas Caringin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gambaran sikap ibu terhadap pencegahan primer
penyakit ISPA di Puskesmas Caringin.
2. Mengidentifikasi gambaran tindakan pencegahan primer ISPA di
Puskesmas Caringin.
3. Menganalisis hubungan sikap dengan tindakan pencegahan primer
ISPA pada balita wilayah kerja puskesmas Caringin tahun 2019.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai sikap ibu
pada anak yang mengalami kejadian ISPA dan sebagai bahan informasi
untuk upaya meningkatkan pelayanan kesehatan anak terutama pada
tindakan pencegahan ISPA.
8
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Tempat Penelitian
Memberikan informasi bagi pihak tenaga kesehatan terutama
mengenai sikap ibu terhadap penyakit ISPA, sehingga sebagai
bahan landasan untuk melakukan asuhan keperawatan memberikan
penyuluhan tentang tindakan pencegahan primer penyakit ISPA.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Menjadi data awal dan sumber referensi untuk peningkatan kualitas
pencegahan kesehatan terutama mengenai penyakit ISPA, serta
menjadi bahan bacaan di pustakaan.
3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama
menjadi mahasiswa keperawatan, dan sebagai bahan dasar untuk
peneliti selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
2.1.1 Pengertian
Perilaku adalah segala tindakan atau aktivitas organisme (mahluk
hidup) yang bersangkutan. Perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap adanya stimulus (rangsangan dari luar)
(Notoatmodjo, 2014).
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-
faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan). Dengan kata lain
perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik
yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan
dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan
kesehatan ini mencakup mencegah dan melindungi diri dari penyakit
dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari
penyembuhan saat sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo,
2014).
10
2.1.2 Cakupan Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan mencakup sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2014)
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana
manusia berespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan
mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di
luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan
dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan
penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkatan pencegahan
penyakit yaitu :
1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan (health promotion behavior). Misalnya makan
makanan yang bergizi, olah raga, tidak merokok, dan
sebagainya.
2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit.
Misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan
nyamuk Demam Berdarah, imunisasi dan sebagainya,
termasuk juga perilaku menjaga kebersihan lingkungan tempat
tinggal supaya terhindar dari berbagai penyakit.
3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health
seeking behavior) yaitu perilaku untuk melakukan atau
mencari pengobatan misalnya berusaha mengobati diri sendiri
penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilias
kesehatan modern (puskesmas, dokter, PKD dan sebagainya)
11
4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health
rehabilitation behavior) yaitu perilaku yang berhubungan
dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari
penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran dokter
dalam rangka pemulihan kesehatan.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon
seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sisitem
pelayanan modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut
respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, cara pelayanan,
petugas kesehatan, dan obat-obatnya terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap, dan penggunaan fasilitas, petugas, dan obat-obatan.
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) yakni respon
seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi
kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan
praktik terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan dan sebagainya,
sehubungan dengan kebutuhan tubuh kita.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health
behavior) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai
determinan ke manusia. Misalnya adalah perilaku seseorang
terhadap pencegahan terhadap penyakit DHF yaitu dengan
menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat
penampungan air, dan mengubur atau mendaur ulang barang-barang
bekas yang dapat menjadi tempat genangan air (Depkes RI, 2014).
12
2.1.3 Faktor-faktor dalam Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan mendapat perhatian yang tinggi karena
kebiasaan perilaku kesehatan mempengaruhi kecenderungan
berkembangnya penyakit kronis dan fatal. Penyakit dan kematian akan
berkurang jika manusia mempunyai gaya hidup yang meningkatkan
kesehatan seperti menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal,
perilaku hidup bersih dan sehat, makan-makanan yang bergizi, olah
raga, mengendalikan stres, dan tidak merokok. Di negara berkembang
seperti Indonesia, pada umumnya masyarakat masih berorientasi pada
pengobatan penyakit bukan pada pencegahan penyakit. Perilaku
masyarakat belum mendukung ke arah perilaku hidup sehat dan
memberikan pengaruh yang paling besar terhadap munculnya masalah
kesehatan di masyarakat. Hal ini sejalan dengan kondisi kesehatan
masyarakat Indonesia sat ini masih tepuruk, yang ditandai dengan
fenomena temuan kasus-kasus gizi buruk, DHF, TBC yang belum dapat
diatasi (Priyoto, 2014).
Green (1980) menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh tiga faktor yaitu; (Notoatmodjo, 2014)
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
13
atau sarana-sarana kesehatan. Misalnya puskesmas, obat-obatan,
jamban dan sebagainya.
2. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2.2 Perilaku Pencegahan
2.2.1 Tingkat Pencegahan
Berdasarkan Levell dan Clark (1965) tingkatan pencegahan dalam
keperawatan komunitas dapat digunakan pada tahap sebelum terjadinya
suatu penyakit (Prepathogenesis Phase) dan pada tahap Pathogenesis
Phase (Mubarak, 2014).
1. Prepathogenesis Phase
Pada tahapan ini yang dapat digunakan melalui kegiatan primary
prevention atau pencegahan primer. Pencegahan primer ini dapat
dilakukan selama fase pre pathogenesis terjadinya penyakit atau
masalah kesehatan. Pencegahan dalam arti sebenarnya yaitu,
terjadinya sebelum sakit atau ketidakfungsian dan di aplikasikan
ke dalam populasi sehat pada umumnya. Pencegahan primer
merupakan suatu usaha agar masyarakat yang berada dalam stage
of optinum health tidak jatuh kedalam stage yang lain dan yang
lebih buruk. Pencegahan primer ini melibatkan tindakan yang
diambil sebelum terjadinya masalah kesehatan dan mencakup
14
aspek promosi kesehatan dan perlindungan. Dalam aspek promosi
kesehatan, pencegahan primer berfokus pada peningkatan
kesehatan secara keseluruhan dari mulai individu, keluarga, dan
kelompok masyarakat. perlindungan kesehatan ini ditujukan
untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan yang spesifik.
Misalnya, imunisasi adalah ukuran pelindung untuk penyakit
menular tertentu. Aspek perlindungan kesehatan dari pencegahan
primer ini juga dapat melibatkan, mengurangi atau
menghilangkan faktor risiko sebagai cara untuk mencegah
penyakit. Primary prevention dilakukan dengan dua kelompok
kegiatan yaitu:
1) Health Promotion atau Peningkatan Kesehatan
Peningkatan status kesehatan masyarakat, dengan melalui
beberapa kegiatan, sebagi berikut:
1. Pendidikan kesehatan atau health education
2. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) seperti
penyuluhan tentang masalah gizi.
3. Pengamatan tumbuh kembang anak atau growth and
development monitoring
4. Pengadaan rumah yang sehat
5. Pengendalian lingkungan masyarakat
6. Program P2M (pemberantasan penyakit tidak menular)
15
7. Simulasi dini dalam kesehatan keluarga dan asuhan pada
anak atau balita penyuluhan tentang pencegahan penyakit
2) General and specific protection (Perlindungan umum dan
khusus)
Merupakan usaha kesehatan untuk memberikan perlindungan
secara khusus dan umum terhadap seseorang atau masyaraka,
antara lain :
1. Imunisasi untuk balita
2. Hygine perseorangan
3. Perlindungan diri dari terjadinya kecelakaan
4. Perlindungan diri dari lingkungan kesehatan dalam kerja
5. Perlindungan diri dari carsinogen, toxic dan alergen
2. Pathogenesis Phase
Pada tahap pathogenesis ini dapat dilakukan dengan dua kegiatan
pencegahan yaitu :
1) Sekodary Prevention (Pencegahan Sekunder)
Yaitu pencegahan terhadap masyarakat yang masih atau
sedang sakit, dengan dua kelompok kegiatan:
1. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis awal
dan pengobatan segera atau adekuat), antara lain melalui:
pemeriksaan kasus dini (early case finding), pemeriksaan
umum lengkap (general check up), pemeriksaan missal
(mass screening), survey terhadap kontak, sekolah dan
16
rumah (contactsurvey, school survey, household survey),
kasus (case holding), pengobatan adekuat (adekuat
tretment).
2. Disability Limitation (Pambatasan Kecacatan)
Penyempurnaan dan intensifikasi terhadap terapi
lanjutan, pencegahan komplikasi, perbaikan fasilitas
kesehatan, penurunan beban sosial penderita, dan lain-
lain.
Pada pencegahan level ini menekankan pada upaya
penemuan kasus secara dini atau awal dan pengobatan tepat
atau “early diagnosis and prompt treatment”. Pencegahan
sekunder ini dilakukan mulai saat fase patogenesis (masa
inkubasi) yang dimulai saat bibit penyakit masuk kedalam
tubuh manusia sampai saat timbulnya gejala penyakit atau
gangguan kesehatan. Diagnosis dini dan intervensi yang tepat
untuk menghambat prosespatologik (proses perjalanan
penyakit) sehingga akan dapat memperpendek waktu sakit
dan tingkat keparahan atau keseriusan penyakit.
2) Tertiary Prevention (Pencegahan Tersier)
Yaitu usaha pencegahan terhadap masyarakat yang setelah
sembuh dari sakit serta mengalami kecacatan antara lain :
1. Pendidikan kesehatan lanjutan
2. Terapi kerja (work therapy)
17
3. Perkampungan rehabilitsi sosial
4. Penyadaran terhadap masyarakat
5. Lembaga rehabilitasi dan partisipasi masyarakat
Upaya pencegahan tersier dimulai pada saat cacat atau
ketidakmampuan terjadi penyembuhan sampai stabil/
menetap atau tidak dapat diperbaiki (irreversaible). Dalam
pencegahan ini dapat dilaksanakan melalui program
rehabilitas untuk mengurangi ketidakmampuan dan
meningkatkan efisiensi hidup penderita. Kegiatan rehabilitasi
ini meliputi aspek medis dan sosial. Pencegahan tersier
dilaksanakan pada fase lanjut proses patogenese suatu
penyakit atau gangguan pada kesehatan. Penerapannya pada
upaya pelayanan kesehatan masyarakat melalui program
PHN (Public Health Nursing) yaitu merawat penderita
penyakit kronis di luar pusat-pusat pelayanan kesehatan yaitu
di rumahnya sendiri.
Perawatan penderita pada stadium terminal (pasian yang
tidak mampu diatasi penyakitnya) jarang dikategorikan
sebagai pencegahan tersier tetapi bersifat paliatif, prinsip
upaya pencegahan adalah mencegah agar individu atau
kelompok masyarakat tidak jatuh sakit, diringankan gejala
penyakitnya atau akibat komplikasi sakitnya, dan
ditingkatkan fungsi tubuh penderita setelah perawatan
18
dilakukan. Rehabilitas sebagai tujuan pencegahan tersier
lebih dari upaya untuk menghambat proses penyakitnya
sendiri yaitu mengembalikan individu kepada tingkat yang
optimal dari ketidakmampuannya. Jadi pencegahan pada
tahap pathogenesis ini dimaksudkan untuk memperbaiki
keadaan masyarakat yang sudah jatuhpada tahap sakit ringan,
sakit, dan sakit berat agar dapat mungkin kembali ke tahap
sehat optinum.
2.3 Sikap
2.3.1 Definisi Sikap
Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek sikap secara nyata
menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang
bersipat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2014).
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi
merupakan predisposisi perilaku dan mengikat sikap sebagai bagian
dari psikologis yang dapat dipengaruhi oleh keadaan pada saat tertentu
sikap ini masih merupakan suatu respon tertutup terhadap suatu
stimulus (Notoatmodjo, 2014).
19
2.3.2 Tingkat Sikap
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap paling tinggi.
2.3.3 Struktur Dan Pembentukan Sikap
Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, manivestasi sikap
tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku tertutup (Notoatmodjo, 2014).
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap suatu obyek.
Dalam penentuan sikap terdapat 3 komponen yaitu :
20
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3. Kecenderungan untuk bertindak .
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu :
1. Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercaya
oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi persepsi,
kepercayaan dan streotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Sering kali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan
pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau
problem yang kontraversial (Azwar, 2014).
2. Komponen Afektif
Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek
sikap yang menyangkut emosi. Aspek emosional ini lah yang
biasanya yang terbakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek paling terhadap pengaruh-pengaruh yang
mungkin akan mengubah sikap seseorang
3. Komponen Perilaku (konatif)
Komponen perilaku atau komponen konatif dalam stuktur sikap
menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan berprilaku
21
yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang
dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan
dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Para ahli psikologis banyak yang beranggapan ketiga komponen
sikap tersebut adalah selaras dan konsisten dikarenakan apabila
dihadapkan dengan suatu obyek sikap yang sama maka ketiga
komponen itu harus mempolakan arah dan sikap yang seragam dan juga
mereka beranggapan kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi
perilaku (Azwar, 2014)
Apabila seseorang hidup dalam budaya yang mempunyai norma
yang longgar bagi pergaulan bebas, sangat mungkin mereka akan
mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan
pergaulan heteroseksual, walaupun secara kognitif sudah tahu dampak
yang akan timbul dari perbuatannya.
Demi interaksi socialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap
tertentu terhadap berbagia obyek psikologis yang dihadapinya. Diantara
berbagai factor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu :
1. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus. Tanggapan
akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat
mempunyai penghayatan dari tanggapan seseorang harus
mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis.
22
Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif
atau negative akan bergantung pada berbagai factor.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain yang disekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen yang ikut mempengaruhi sikap pada umumnya individu
cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini
antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafilasi dan
keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Seseorang
memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat
reinforcement (pengutn, ganjar) dari masyarakat untuk sikap dan
perilaku tersebut.
4. Pengaruh media masa
Sebagai suara komunikasi berbagi bentuk media massa seperti TV,
radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh
besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sabagai tugas pokoknya media massa
membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru yang
23
mengenai sesuatu hal memberikan landasan berfikir kognitif baru
berbagai terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Apabila cukup
kuat akan memberi dasarefektif dalam menilai sesuatu hal
sehinggat terbentuknya arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagi system merupakan
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
merupakan dasar pengetahuan konsep moral dalam diri individu
pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan
dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Pengaruh factor emosional
Tidak semua bentuk sikap di tentukan oleh sesuatu lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang kadang-kadang sesuatu bentuk sikap
merupakan pertanyaan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang
sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang akan tetapi
dapat pula merupakan sikap yang lebih resisten dan bertahan lama.
Adanya pengalaman menyenangkan dalam suatu obyek cenderung
akan membentuk sikap terhadap obyek tersebut dan sebaliknya tidak
adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek cendrung akan
24
membentuk sikap yang negative terhadap obyek tersebut (Azwar,
2014).
2.4 Konsep Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.4.1 Pengertian ISPA
Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi
adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup
saluran pernafasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah
(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.
Sesuai dengan batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam
saluran pernapasan (respiratory tract). Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari (Suhandayani, 2017).
25
2.4.2 Etiologi
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia. Infeksi
bakterial merupakan penyulit ISPA oleh karena virus, terutama bila ada
apidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan
parenkim. ISPA oleh virus, merupakan penyebab terbesar dari angka
kejadian ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus
penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas
untuk masing-masing jenis virus, sebaliknya beberapa jenis virus
bersama-sama pula memberikan gambaran klinik yang hampir sama.
(Amin, 2011). Virus yang termasuk penggolong ISPA adalah rinovirus,
koronavirus, adenovirus, dan koksakievirus, influenza, virus sinisial
pernapasan. Virus yang mudah ditularkan melalui ludah yang
dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita adalah virus influenza, virus
sinisial pernapasan, dan rinovirus (Junaidi, 2014).
2.4.3 Patofisiologi ISPA
Patofisiologi saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar
dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien dari sistem saluran pernapasan ini. Ketahanan saluran
pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara
sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang
sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa dan gerak moksila,
makrofagalveoli, dan antibodi setempat. Sudah menjadi suatu
26
kecenderungan, bahwa terjadinya infeksi bakterial, mudah terjadi pada
saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya, yang
disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu. Keutuhan gerak lapisan
mukosa dan silia dapat terganggu oleh karena: (Amin, 2014).
1. Asap rokok dan gas SO2 polutan utama adalah pencemaran udara.
2. Sindroma imotil.
3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan di
mobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok
menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan
alkohol, menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat pada
saluran napas, adalah Imunoglobulin A (Ig A) yang banyak terdapat di
mukosa. Kurangnya antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran pernapasan, seperti pada keadaaan defisiensi Ig A pada anak.
Mereka dengan keadaan-keadaan imunodefisiensi juga akan mengalami
hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang mendapat
terapi situastik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas, dan
lain-lain. Gambaran klinik radang oleh karena infeksi sangat tergantung
pada karakteristik inokulum, daya tahan tubuh seseorang, dan umur
seseorang. Karakteristik inokulum sendiri terdiri dari besarnya aerosol,
tingkat virulensi jasad renik dan banyak (jumlah) jasad renik yang
masuk. Daya tahan tubuh, terdiri dari utuhnya sel epitel mukosa dan
gerak mukosilia, makrofagalveoli, dan Ig A (Amin, 2014).
27
Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran
pernapasan bawah anak dan bayi, akan memberikan gambaran klinik
yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Terutama
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama karena virus,
pada mereka ini tampak lebih berat karena belum diperoleh kekebalan
alamiah. Pada orang dewasa, mereka memberikan gambaran klinik
yang ringan sebab telah terjadi kekebalan yang diberikan oleh
infeksinya terdahulu. Pada ISPA dikenal 3 cara penyebaran infeksi ini:
1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.
2. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk
dan bersin-bersin.
3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah
dicemari jasad renik (hand to hand transmission).
Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus,
melalui bahan sekresi hidung, virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih
banyak dalam mukosa hidung dari pada faring. Dari beberapa klinik,
laboratorium, maupun dilapangan, diperoleh kesimpulan bahwa
sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar bila
dibandingkan dengan cara penularan aerogen yang semula banyak
diduga (Amin, 2014).
28
2.4.4 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi menurut (Suhandayani, 2017),
sebagai berikut :
1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut Infeksi yang menyerang
bagian hidung sampai faring seperti pilek, faringitis, dan otitis
media.
2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut Infeksi yang menyerang
mulai dari bagian laring sampai alveoli seperti epiglotitis,
bronkitis, bronkiolitis, laringitis, laringotrakeitis, dan pneumonia.
1. Klasifikasi penyakit berdasarkan umur sebagai berikut :
1) Kelompok umur < 2 bulan, dibagi atas :
a) Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan napas cepat
(fast breathing), 10 dimana frekuensi pernapasan 60
kali/menit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding
dada bagian bawah ke dalam yang kuat (severe chest
indrawing).
b) Non pneumonia, bila tidak ada tarikan dinding dada bagian
bawah dan frekuensi pernapasan normal.
2) Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun, dibagi atas :
a) Pneumonia sangat berat, bila batuk dan mengalami
kesulitan saat bernapas yang disertai sianosis sentral,
adanya tarikan dinding dada, dan kejang.
29
b) Pneumonia berat, bila batuk dan mengalami kesulitan
bernapas serta ada tarikan dinding dada, tetapi tidak disertai
sianosis sentral.
c) Pneumonia, bila batuk dan terjadi kesukaran bernapas yang
disertai dengan napas cepat, yaitu >50 kali/menit untuk
umur 2-12 bulan, dan >40 11 kali/menit untuk umur 12
bulan sampai 5 tahun.
d) Non pneumonia, bila mengalami batuk pilek saja, tidak ada
tarikan dinding dada, tidak ada napas cepat, frekuensi
kurang dari 50 kali/menit pada anak umur 2-12 bulan dan
kurang dari 40 kali/menit untuk umur 12 bulan sampai 5
tahun.
2.4.5 Manifestasi Klinis
Menurut (Suhandayani, 2017) penyakit ISPA pada balita dapat
menimbulkan berbagai tanda dan gejala seperti batuk, pilek, demam,
kesulitan bernafas, dan sakit tenggorokan. Gejala ISPA terbagi
menjadi 3, yaitu :
1. Gejala dari ISPA ringan
Seorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan satu atau lebih gejala-gejala berikut :
1) Batuk
2) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir (ingus) dari hidung
30
3) Demam, jika suhu badan lebih dari 37°C d. Serak, yaitu anak
bersuara parau saat berbicara atau menangis
2. Gejala dari ISPA sedang
Seorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang, jika
ditemukan gejala-gejala dari ISPA ringan yang disertai satu atau
lebih gejala-gejala berikut :
1) Suhu tubuh lebih dari 39°C
2) Pernapasan cepat (fast breathing) yaitu frekuensi nafas 60
kali/menit atau lebih
3) Radang Tenggorokan
4) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
5) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak
campak
3. Gejala dari ISPA Berat
Seorang balita dinyatakan menderita ISPA berat, jika dijumpai
gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang yang disertai satu atau
lebih gejala-gejala berikut :
1) Sianosis
2) Kesadaran menurun
3) Pernapasan berbunyi seperti mengorok
4) Ada tarikan dinding dada
5) Nadi > 160 kali per menit atau tidak teraba
31
2.4.6 Pencegahan ISPA
Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem
kekebalan tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan
sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat rentan terhadap
serangan sehingga pengobatan ISPA biasanya di fokuskan kepada
mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah. ISPA
sangat rentan kepada anak-anak, itulah mengapa kasus ISPA
sebagai penyakit dengan prevalensi sangat tinggi di dunia juga
menunjukkan angka kematian anak sangat tinggi dibandingkan
penyakit lainnya (Yusri, 2016).
Menurut Najmah (2016) pencegahan penyakit ISPA dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau
mencegah orang sehat agar tidak sakit.
1) Mempromosikan pemberian Air Susu Ibu pada bayi dan
balita selama 6 bulan pertama dan melengkapi ASI dengan
makanan tambahan ASI (MP-ASI) hingga dua tahun untuk
meningkatkan daya tahan tubuh anak sejak dini.
2) Menjaga kesehatan gizi, dengan mengkonsumsi makanan
sehat dan jika perlu memberikan mikronutrient tambahan
32
seperti zink, zat besi dan sebagainya sehingga dapat
meningkatkan kekebalan tubuh.
3) Melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai penyakit
ISPA.
4) Melakukan imunisasi lengkap pada anak sehingga tidak
mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh virus dan
penyakit. Imunisasi influenza biasa diberikan jika
diperlukan.
5) Menjaga kebersihan lingkungan dan perorangan dengan
melakukan pola hidup bersih dan sehat, mencuci tangan
dengan sabun dan menciptakan lingkungan rumah yang
sehat.
6) Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan
penderita ISPA. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
saat berinteraksi dengan orang yang menderita ISPA
maupun ketika berada di lingkungan yang berdebu.
7) Ventilasi yang baik di rumah dan tidak merokok pada
ruangan tertutup.
8) Pelaksanaan surveilens sentinel pneumonia untuk
mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam ditribusi
epidemiologi, menurut waktu, tempat dan orang di wilayah
sentinel; mengetahui jumlah kematian.
33
2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary prevention)
Pencegahan tingkat kedua merupakan diagnose dini dan
upaya dalam mengobati yang telah sakit agar sembuh,
menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Adapun
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan sekunder
yaitu:
1) Jika balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adaya
tarikan dinding dada bagian bawah kea rah dalam, maka
anak tidak perlu diberikan obat antibiotik tetapi cukup
diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan
obat atuk tradisionat atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan.
2) Jika anak batuk dan atau kesusahan bernafas. Diagnosa ini
berdasarkan umur, batas frekuensi napas cepat pada anak
berusia dua bulan sampai 1 tahun adalah 50 kali per menit
dan untuk anak 1 – 5 tahun adalah 40 kali per menit, maka
sebaiknya anak diberi obat antibiotik melalui mulut.
3) Jika anak batuk dan kesusahan bernafas disertai sesak nafas
atau tarikan dinding dada bawah kearah dalam (chest
indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai 5 tahun,
maka anak segera dibawa ke rumah sakit, diberikan
34
antibiotik melalui jalur infus, diberi oksigen, dan di rawat di
rumah sakit.
3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan ini dimaksud untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi, adapun
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam pencegahan tersier
adalah:
1) Jika anak batuk berlangsung selama 30 hari, rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan.
2) Antibiotik diberikan selama 5 hari dan ibu dianjurkan untuk
kontrol anaknya setelah 2 hari atau lebih cepat bila keadaan
memburuk
3) Jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram
fenikol selama 48 jam, periksa lanjutan untuk
memeriksakan adanya komplikasidan ganti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu
pneumonia stafilokokus.
2.4.7 Penatalaksanaan ISPA
Penatalaksanaan dilakukan dalam pelayanan kesehatan sesuai
klasifikasinya dengan petunjuk bagan MTBS, untuk gejala batuk
bukan pneumonia beri pelega tenggorokan dan pereda batuk aman,
jika batuk lebih dari 3 minggu rujuk untuk pemeriksaan lanjutan,
35
kunjungi pelayanan kesehatan bila selama 5 hari tidak ada perbaikan.
Klasifikasi penumonia diberikan antibiotik yang sesuai, beri pelega
tenggorokan dan pereda batuk yang aman dan pneumonia berat beri
dosis pertama antibiotik yang sesuai dan dirujuk ke sarana kesehatan
yang memadai (Depkes, 2016)
Perawatan dirumah sangat penting dalam penatalaksanaan balita
dengan penyakit ISPA, dengan cara (WHO, 2014):
1. Pemberian makanan
1) Berilah makanan secukupnya selama sakit,
2) Tambahlah jumlahnya setelah sembuh,
3) Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian makanan.
2. Pemberian cairan
1) Berilah anak minuman lebih banyak
2) Tingkatkan pemberian ASI
3. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan
ramuan yang aman dan sederhana
4. Paling penting: amati tanda-tanda pneumonia
Bawalah kembali ke petugas kesehatan, bila napas menjadi
sesak, napas menjadi cepat, anak tidak mau minum, sakit anak
lebih parah.
36
2.4.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA
Menurut Utami (2014) banyak faktor yang berperan terhadap
terjadinya ISPA, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik.
Adapun faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor instrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam
balita itu sendiri. Faktor instrinsik adalah faktor yang
meningkatkan kerentanan pejamu terhadap kuman. Faktor
instrinsik terdiri dari status gizi, status imunisasi balita, riwayat
BBLR, umur balita.
1) Gizi
Balita adalah kelompok umur yang rawan gizi dan rawan
penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling
sering menderita penyakit akibat gizi dalam jumlah besar. Gizi
buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan
tubuh. Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limfoid
yang berperan dalam sistem kekebalan akibat gizi buruk,
menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah. Rendahnya
daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan
mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
2) Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan
yang sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian
37
bayi dan balita. Imunisasi merupakan salah satu cara
meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif.
Imunisasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen,
sehingga kelak bila ia terpajan pada antigen serupa tidak terjadi
penyakit. Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya
penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk
mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara
memasukkan kuman atau produk kuman yang telah dilemahkan
atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi lengkap perlu
diupayakan untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, campak, pertusis, difteri, dan beberapa
penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka
peningkatan cakupan imunisasi seperti difteri, pertusis serta
campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
penyakit tersebut. Bayi dan balita mempunyai status imunisasi
lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
3) Riwayat BBLR
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan, perkembangan
fisik dan mental pada balita. Bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada
38
bulan pertama melahirkan karena pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit saluran
pernapasan. Apabila daya tahan terhadap tekanan dan stress
menurun, makan sistem imun dan antibodi berkurang, sehingga
mudah terserang infeksi. Pada anak hal ini dapat
mengakibatkan kematian.
4) Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk
terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan
anak balita akan lebih tinggi jika dibandingakan dengan orang
dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan
gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan
karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merukana kejadian
infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses
kekebalan secara alamiah. Bayi umur kurang dari satu tahun
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap penyakit ISPA. Hal ini
disebabkan imunitas anak kurang dari dua tahun belum baik
dan lumen saluran napasnya masih sempit. Pneumonia pada
anak balita sering disebabkan virus penapasan dan puncaknya
terjadi pada umur 2-3 tahun. Penyebabnya antara lain imunisasi
yang kurang lengkap, pemeberian nutrisi yang kurang baik,
39
tidak diberikan ASI eksklusif dan pajanan terhadap asap dapur,
asap rokok, serta penderita ISPA lainnya.
2. Faktor ekstrinsik
Merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya
disebut faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang
dapat meningkatkan pemaparan dari pejamu terhadap kuman
penyebab yang terdiri dari tiga unsur yaitu biologi, fisik dan sosial
ekonomi yang meliputi kondisi fisik rumah, jenis bahan bakar,
ventilasi, kepadatan hunian, care seeking, kebiasaan orang tua
merokok, polusi asap dapur, lokasi dapur, pendidikan ibu,
pekerjaan orang tua, dan penghasilan keluarga. Selain kondisi fisik
rumah, faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA
pada balita yaitu:
1) Status ekonomi
Status ekonomi sangat sulit dibatasi. Hubungan dengan
kesehatan juga kurang nyata yang jelas bahwa kemiskinan erat
kaitannya dengan penyakit, hanya saja sulit dianalisis yang
mana sebab dan mana akibat. Status ekonomi menentukan
kualitas makanan, hunian, kepadatan, gizi, taraf pendidikan,
tersedianya fasilitas air bersih, sanitasi, besar kecilnya keluarga,
teknologi. Tingkat penghasilan sering dihubungkan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan.
Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada
40
mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli obat,
membayar tansport dan lainnya.
2) Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya
dalam masyarakat tempat dia hidup, proses sosial yakni
seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih
dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga
ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal.
Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan penyakit.
Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan
penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan
lingkungan dan informasi yang didapat tentang kesehatan.
Semakin rendah pendidikan ibu maka semakin tinggi risiko
ISPA pada balita.
3) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan hasil
domain yang terpenting dalam membentuk tindakan seseorang.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku
sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari
41
pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcame) pendidikan kesehatan.
4) Pemberian ASI eksklusif
Bayi atau balita yang kekurangan gizi sangat rentan
terhadap penyakit-penyakit infeksi, termasuk diare dan indfeksi
saluran pernapasan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi bayi
memerlukan perhatian yang serius. Gizi bagi bayi yang paling
sempurna adalah air susu ibu. ASI adalah cairan hidup yang
mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur. Bayi
ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit
dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
5) Keberadaaan anggota keluarga yang menderita ISPA
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan
ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek
penanganan ISPA di keluarga, baik yang dilakukan oleh ibu
ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit
terkecil dari masyarkat yang berkumpul dan tinggal dalam satu
rumah tangga, satu sama lainnya saling tergantung dan
berinteraksi, bila salah satu atau beberapa anggota keluarganya
mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh
42
terhadap keluarga lainnya, apalagi untuk penyakit menular
seperti ISPA.
6) Perilaku
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan
sebagian dari orang tua masyarakat bersangkutan. Disamping
itu ketersediaan fasilitas kesehatan, sikap dan perilaku para
petugas kesehatan juga dapat memperkuat terbentuknya
perilaku. Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap, tindakan,
proaktif untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya
penyakit. Perilaku kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan kegiatan/tindakan seseorang dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan-tindakan untuk
mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.
Perilaku yang mempengaruhi ISPA diantaranya:
1. Kebiasaan membuka jendela
Jendela kamar tidur merupakan bagian dinding yang dapat
dibuka agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk ke
ruang tidur sehingga dapat membunuh organisme di
dalamnya. Jendela kamar tidur dikatakan tidak berfungsi
apabila jendela tersebut selalu ditutup pada siang hari. Suatu
kamar tidur yang memiliki jendela tetapi tidak pernah
dibuka akan membuat kamar tidur menjadi pengap dan
43
lembab. Perilaku membuka jendela merupakan salah satu
kelompok perilaku penghuni dalam penilaian rumah sehat.
2. Kebiasaan merokok orang tua
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan saluran napas
mengalami iritasi akibat asap rokok yang dihirup secara
langsung maupun secara pasif akibat merokok di dalam
rumah. Hal ini mengakibatkan kadar COHb di dalam darah
meningkat. Anak-anak lebih mudah terserang pneumonia
dan masalah pernapasan lainnya jika mereka tinggal di
lingkungan yang tercemar asap.
3. Penggunaan obat nyamuk/Bahan bakar memasak
Pencemaran udara di dalam rumah selain berasal dari luar
ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam
rumah terutama sktivitas penghuninya antara lain
penggunaan biomassa untuk memasak atau pemanas
ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan
bahan bakar, asap rokok, penggunaan obat nyamuk, pelarut
organik yang mudah menguap (formaldehid) yang banyak
dipakai pada peralatan perabotan rumah tangga.
2.4.9 Dampak ISPA
Dampak Infeksi Pernafasan Saluran Akut ( ISPA ) ini memiliki
dampak yaitu, Nasofaringitis, faringitis, sinusitis, rhinitis, tonsilitis,
44
abses retrofiring, otitis media dan penyakit penyakit jalan nafas bagian
atas lainnya, ISPA mudah sekali menyerang anak-anak, karena
kekebalan tubuh masih rendah (Kartiningrum, 2016).
Adapun menurut Suhandayani (2014) Dampak ispa pada balita
antara lain seperti gangguan pernapasan, dan tidak nafsu makan.
Gangguan pernafasan seperti Virus yang menyebabkan ISPA pada
balita menyerang sistem pernapasan atas, seperti hidung, tenggorokan
dan paru-paru. Dampak dari terganggunya sistem pernapasan ini tidak
baik bagi kesehatan balita, karena akan mengganggu sistem tubuh
lainnya. Sulit bernapas membuat tubuh kekurangan oksigen yang
sangat dibutuhkan tubuh. Akibatnya organ-organ tubuh lain tidak
berfungsi dengan baik juga. Sedangkan tidak nafsu makan di
akibatkan karena sakit tenggorokan dan radang, karena virus masuk ke
tenggorokan. Akibatnya, balita sulit menelan makanan dan minuman.
Batuk dan pilek yang biasanya datang berbarengan dengan sakit
tenggorokan ini juga membuatnya tidak nafsu makan, sehingga
tubuhnya pun menjadi lemas. Status gizi yang buruk akan
menyebabkan sistem pertahanan tubuh dan antibody menurun
sehingga balita akan lebih mudah terserang infeksi seperti diare, dan
infeksi saluran pernafasan. Pada balita yang daya tahan tubuhnya
masih belum sempurna beresiko akan berlimpat ganda terkena ISPA.
Status gizi yang kurang tidak hanya meningkatkan angka kesakitan
dan kematian tetapi juga akan menurunkan produktifitas, menghambat
45
pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan
keterbelakanagan. Dimana status gizi juga dapat mempengaruhi
kekebelan tubuh balita, karena balita yang mengalami gizi buruk
meskipun telah di imunisasi lengkap tetap akan terserang penyakit
(Maryunani, 2014).
2.4.10 Perilaku Pencegahan
Berdasarkan teori perilaku pencegahan penyakit menurut Levell
dan Clark (1965) pada tahap prepathogenesis phase dan berdasarkan
teori pencegahan ISPA menurut Najmah (2016) maka pencegahan
primer ISPA pada penelitian ini yaitu:
1. Health education atau Mencari informasi tentang ISPA
Menurut Friedman (1998) sebuah intervensi keperawatan utama
adalah mengajar keluarga tentang sistim kesehatan, sakit, dan
dinamika keluarga, pengasuh anak, perlakuan perawatan
kesehatan, dan bidang-bidang terkait lainnya. Penyuluhan
menyediakan informasi bagi klien dan dengan demikian
membantu mereka mengatasi perubahan hidup secara lebih
efektif. Memperoleh informasi yang bermakna membantu
anggota keluarga merasa memiliki perasaan kontrol, juga mampu
membuat mereka mendefinisikan pilihan-pilihan mereka sendiri
dan pemecahan masalah.
46
2. Imunisasi Pada Balita
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang
sangat efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan
balita. Imunisasi merupakan salah satu cara meningkatkan
kekebalan tubuh seseorang secara aktif. Imunisasi merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak bila ia terpajan
pada antigen serupa tidak terjadi penyakit. Pemberian vaksin
untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi
adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu
penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman
yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh. Imunisasi
lengkap perlu diupayakan untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA, campak, pertusis, difteri, dan
beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko ISPA, maka
peningkatan cakupan imunisasi seperti difteri, pertusis serta
campak akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
penyakit tersebut. Bayi dan balita mempunyai status imunisasi
lengkap bila terserang penyakit diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
3. Pemenuhan makanan bernutrisi pada balita
Menurut Tarwoto (2013) keadaan gizi sangat berpengaruh pada
daya tahan tubuh. Anak yang gizinya kurang atau buruk akan
47
lebih mudah terjangkit penyakit menular atau penyakit infeksi
salah satunya penyakit ISPA.
Agar virus ISPA tidak menyerang tubuh, maka balita butuh
kekebalan tubuh yang kuat. Nutrisi yang paling tepat untuk
menjaga kekebalan tubuh adalah vitamin C, yang aktif
membunuh kuman dan bakteri. Berikan balita makanan yang
banyak mengandung vitamin C seperti buah-buahan dan sayuran
hijau.
4. Personal hygiene (kebiasaan mencuci tangan sebelum memberi
makan atau minum kepada balita)
Salah satu cara penularan ISPA pada balita adalah melalui udara
dan makanan. Virus yang terbang di udara dan menempel di
makanan atau barang-barang yang disentuh anak bisa dengan
mudah masuk ke tubuhnya. Untuk mencegah hal tersebut,
perlunya kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum atau
sesudah beraktifitas, termasuk ketika akan memberi
makanan/minuman kepada balita.
Hasil penelitian oleh Ahmad Yamin (2016) tentang kebiasaan ibu
dalam pencegahan primer penyakit ISPA pada balita keluarga non
gakin di desa Nanjung Mekar, diperoleh hasil kebiasaan ibu
dalam pencegahan primer ISPA sebanyak 48 (55.17%) kategori
baik, dengan uji statistic terdapat hubungan sikap dengan
48
kebiasaan ibu dalam pencegahan primer ISPA pada balita (p=
0.021)
5. Menciptakan rumah sehat (termasuk menghindarkan anak dari
penyebab langsung dan tidak langsung kejadian ISPA)
Pemeliharaan lingkungan rumah baik di dalam maupun di luar
harus tetap dijaga, supaya tetap sehat, karena pemeliharaan rumah
dapat mempengaruhi kesehatan penghuninya. Segala fasilitas
yang tersedia apabila tidak dipelihara dengan baik dapat menjadi
media bagi penyakit. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan
cara menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran
udara dalam rumah, menjaga kebersihan lingkungan luar rumah
dan mengusahakan sinar matahari masuk ke dalam rumah di siang
hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah tetap bersih
sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari
kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatkan
terjadinya ISPA.
49
2.5 Kerangkat Teori
Bagan 2.1
Hubungan Sikap Ibu Dengan Tindakan Pencegahan Primer Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita (Usia 1-5 Tahun) Di Wilayah
Puskesmas Caringin
Sumber : modifikasi dari terori (Levell dan Clark dalam Mubarak, 2014),
(Notoatmodjo, 2014), dan (Najmah, 2016)
Perilaku Sehat
Konsep Pencegahan
Penyakit:
1. Pencegahan
primer
2. Pencegahan
sekunder
3. Pencegahan
tersier
Pencegahan primer
ISPA:
1. Health education
2. Imunisasi
3. Pemenuhan
makanan
bernutrisi
4. Personal hygiene
5. Pengadaan rumah
sehat
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku kesehatan :
1. Faktor predisposisi :
1) Pengetahuan
2) Sikap
2. Faktor pemungkin :
1) Sarana kesehatan
2) Fasilitas kesehatan
3. Faktor penguat:
1) Petugas kesehatan