Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM PARTAI POLITIK
DAN
SISTEM PEMILU
(DERAJAT KETERWAKILAN RAKYAT)
Suranto, S.H., M.H. Andina Elok Puri Maharani, S.H.,M.H.
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
ii
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
iii
Hak cipta © pada penulis
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. No.19.Th. 2002
Dilarang memperbanyak/memperluas dalam bentuk apapun
tanpa izin dari penulis dan penerbit.
HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
KETERWAKILAN RAKYAT)
Penulis : Suranto, S.H., M.H. Andina Elok Puri Maharani, S.H., M.H.
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M.
Editor : Ratih Ramadhani Irawan, S.H.
Desain Isi : ASA GRAFIKA SOLO
Desain Sampul : Normanta Agus Purwasandi
Preliminary viii
Halaman isi 104
Ukuran buku : 17,5 x 25 cm
Edisi Pertama
Cetakan pertama, Oktober 2016
ISBN: 978 - 602 - 6363 - 09 - 1
Diterbitkan oleh:
CV. INDOTAMA SOLO
Penerbit & Supplier Bookstore
Jl. Pelangi Selatan, Kepuhsari, Perum PDAM,
Mojosongo, Jebres, Surakarta 57127
Telp. 0851 0282 0157, 0812 1547 055, 0815 4283 4155
E-mail: [email protected], [email protected]
Anggota IKAPI No. 165/JTE/2018
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
iv
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Alloh SWT, atas
limpahan rizki berupa ilmu pengetahuan dan ijin-Nya,
akhirnya penulis berhasil menyelesaikan bahan ajar untuk
mata kuliah hukum partai politik dan sistem pemilu. Bahan
ajar ini disusun berdasar hasil penelitian tahun kedua yang
disusun tim penulis yang terdiri dari Suranto, Isharyanto,
Andina Elok Puri Maharani dan Kukuh Tedjomurti, keempat
penulis ini berasal dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret. Tentunya selama penyusunan bahan ajar ini, telah
mendapat bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini ijinkan penulis menyampaikan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat ;
1. Kemenristek dan Dikti yang menggulirkan program
penelitian yang sangat besar manfaatnya bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Indonesia.
2. Rektor UNS Prof. Dr. Ravik Karsidi dan pimpinan serta
seluruh jajaran LPPM UNS yang memberikan dukungan
penuh akan perkembangan penelitian di lingkungan UNS
Solo.
3. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum
selaku pimpinan Fakultas Hukum UNS yang banyak
memberikan dorongan dan kesempatan kepada peneliti
untuk senantiasa berkarya dan menulis dengan capaian
optimal.
4. Mahasiswa assisten peneliti Anajeng Esri Edhi, S.H.,
M.H., Ratih Ramadhani Irawan, S.H., Nugraha Wisnu
Wijaya, Rizky Aji Pangestu, dan Laras Ayu Sahita yang
telah menunjukkan totalitas dan loyalitasnya untuk
membantu melakukan penelitian.
(Derajat Keterwakilan Rakyat)
5. Editor Ratih Ramadhani Irawan, S.H. yang telah membantu
menyusun dan menyunting buku ajar .
6. Semua pihak yang belum penulis sebutkan dalam kesempatan
ini, terima kasih atas segala bantuannya.
Semoga bahan ajar ini bermanfaat untuk menambah wacana
keilmuan.Amiin.
Surakarta, Oktober 2016
Penulis
vi Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu
(Derajat Keterwakilan Rakyat)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
Halaman
Bab I Negara Hukum ....................................................... 1-11
Bab II Negara Demokrasi .................................................. 12-21
Bab III Partai Politik Dan Rekrutmen Politik ....................... 22-30
Bab IV Sistem Pemilu Mempengaruhi Derajat Keterwakilan
Rakyat .................................................................... 31-82
Bab V Money Politic Dalam Perspektif Sosiologi Hukum .... 83-99
Daftar Pustaka .................................................................... 100
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu vii
(Derajat Keterwakilan Rakyat)
viii
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
1
BAB I
NEGARA HUKUM
Negara hukum merujuk pada pengertian suatu negara yang
berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warga negaranya.
Dalam negara hukum, segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Istilah rechtsstaat
yang diterjemahkan sebagai Negara hukum menurut Philipus
M.Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19,meski pemikiran
tentang hal itu telah lama ada.1 Cita Negara hukum itu untuk pertama
kalinya di kemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut
dipertegas oleh Aristoteles.2 Menurut Aristoteles,yang memerintah
dalam suatu Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang
adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik atau buruknya suatu
hukum.Menurut Aristoteles,suatu Negara yang baik ialah Negara
yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia
menyatakan:3
“Constitutional rule in a state is closely connected,also with the
requestion whether is better to be rulled by the best men or the
best law,since a goverrment in accordinace with law,accordingly
1 Philipus.M.Hadjon, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak
Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri
Martosoewignjo,Media Pratama,Jakarta,1996,hal.72
2 Ni’matul Huda,Negara Hukum,Demokrasi dan Judicial Riview,UII
Press,Yogyakarta,2005,hal.1
3 George Sabine, A History of Political Theory,George G.Harrap &
CO.Ltd.,London,1995,hal.92: juga Dahlan Thaib,Kedaulatan Rakyat ,Negara
Hukum dan Hak-hak Asai Manusia,hal.22
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
2
the supremacy of law is accepted by Aristoteles as mark of good
state and not merely as an unfortunate neceesity.”
Artinya: Aturan konstutitusional dalam suatu Negara
berkaitan secara erat,juga dengan mempertanyakan kembali
apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun
atau hukum yang terbaik,selama pemerintahan menurut
hukum. Oleh sebab itu,supremasi hukum diterima oleh
Aristoteles sebagai pertanda Negara yang baik dan bukan
semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak.
Aristoteles juga mengemukakan tiga unsur dari pemerintahan
berkonstitusi. Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan
umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,bukan hukum yang dibuat
secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi yanga dilaksanakan
atas kehendak rakyat.4 Pemikiran Aristoteles tersebut diakui
merupakan cita Negara hukum yang dikenal sampai sekarang.
Bahkan, ketiga unsur itu hampir ditemukan dan dipraktikkan oleh
semua Negara yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Negara
hukum.
Konsep Negara hukum rechtsstaat di Eropa Kontinental sejak
semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ciri
individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran Negara hukum
menurut konsep Eropa Kontinental. Konsep rechtsstaat menurut
Philus M.Hardjon lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism,
sehingga sifatnya revolusioner.5
Adapun ciri-ciri rechtsstaat adalah sebagai berikut:6
1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat
ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan
rakyat;
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara;
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
4 Ibid
5 Philipus M.Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,Bina
Ilmu Surabaya,1987,hal.72
6 Ni’matul Huda,Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review,UII Press
Yogyakarta,2005,hal.9
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
12
BAB II
NEGARA DEMOKRASI
Indonesia adalah negara demokrasi maka prinsip dasar dalam
mengatur dan mengelola negara adalah kedaulatan berada di
tangan rakyat, itulah maka Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
(selanjutnya disebut UUD) 1945 mengamanatkan “Kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Maka fungsi negara dalam negara demokrasi adalah pelayan
rakyat, dengan kedudukan sebagai regulator, fasilitator, dan
pelindung yang lemah. Sementara dalam negara otoriter kedudukan
negara adalah penguasa. Konsekuensi logis dari paham tersebut di
atas maka Undang-Undang yang mengatur tata laksana kedaulatan
rakyat dan hak-hak dasar rakyat lainnya haruslah memberi jaminan
bahwa dalam praktik penyelengaraan negara tidak boleh ada
penyimpangan, distorsi, penjegalan dan apalagi pemberangusan
serta penghilangan makna kedaulatan rakyat dan hak-hak dasar
milik rakyat itu sendiri.
Karena demokrasi adalah sebuah sistem maka pengaturan
sub-sub sistem demokrasi tidak bisa hanya menginduk ke UUD
semata, karena munculnya peran, fungsi dan tugas sebuah lembaga
demokrasi yang satu, sangat ditentukan oleh pilihan model dari
lembaga demokrasi yang lainnya, utamanya yang terkoneksi secara
langsung. Keberadaan DPR umpamanya, tidak bisa dilepas dari
pilihan model Pemilu. Sedang pilihan model Pemilu sangat ditentukan
pilihan sistem demokrasi, dan pilihan sistem demokrasi akan
menentukan model partai, dan model partai dari masing-masing
sistem demokrasi akan mempengaruhi sistem rekruitmen kader
yang bakal duduk di DPR dan Kabinet, dan seterusnya model partai
dan DPR akan menentukan pola interaksi dan komunikasi antara
rakyat dengan anggota DPR, antara DPR dengan Pemerintah, dan
antara rakyat dengan pemerintah. Sudah barang tentu keberadaan
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
13
kabinet juga ditentukan model Pemilu.
Dalam demokrasi ada 2 model Pemilu, pada sistem presidensial
berlaku model Pemilu langsung dimana rakyat langsung memilih
orang, artinya yang dipercaya rakyat adalah orang yaitu presiden
dan anggota DPR, DPD dan DPRD. Sedang pada sistem parlementer
menggunakan model Pemilu tidak langsung, dimana rakyat dalam
Pemilu memilih partai, artinya yang dipercaya rakyat adalah partai.
Secara umum partai politik adalah suatu organisasi yang
disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang
secara sukarela dan mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita,
dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum
untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program
yang telah mereka susun. Partai politik pada pokoknya mempunyai
fungsi antara lain, yaitu, (i) sebagai sarana komunikasi politik dari
pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya dari masyarakat
kepada pemerintah; (ii) sebagai sarana sosialisasi politik ataupun
pendidikan politik kepada masyarakat; (iii) sebagai sarana
rekrutmen politik untuk menduduki jabatan politik tertentu; (iv)
sebagai sarana untuk mengendalikan konflik, baik bersifat horisontal
antara masyarakat dengan masyarakat maupun bersifat vertikal
antara masyarakat dengan pemerintah.
Pasal 1 angka 1 UU 2/2011 menegaskan bahwa partai politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena Pasal tersebut
menentukan bahwa partai politik merupakan organisasi yang bersifat
nasional maka partai politik yang dibentuk dan diakui sebagai partai
politik harus mempunyai kepengurusan secara bertingkat secara
nasional, yaitu tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/
kota, tingkat kecamatan dan/atau tingkat kelurahan/desa (Pasal
17 dan Pasal 18 UU 2/2011). Dengan demikian, partai politik akan
memadai sebagai wadah partisipasi masyarakat.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
22
BAB III
PARTAI POLITIK
DAN REKRUTMEN POLITIK
Partai politik dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah
2 (dua) hal yang saling berkaitan. Dimana untuk bisa duduk di
kursi pemerintahan diperlukan partai politik sebagai jembatan
penghubung dalam pemilihan umum. Carl J.Friedrich dalam Imam
Yudhi Prasetya mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan tersebut memberikan manfaat
secara idiil dan materiil bagi anggota partainya. 22 Carr dalam Besty
Anindya Nur Azni berpendapat “political party is an organization that
attemps to achieve and maintain to control of government” yang artinya
partai politik adalah suatu organisasi yang berusaha mencapai dan
memelihara pengawasan terhadap pemerintah.23 Pengertian partai
politik menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik adalah:
Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negaraIndonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkandan
22 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai
Politik. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011
23 Besty Anindya Nur Azni. Pola Rekrutmen Calon Anggota Legislatif: Studi Komparasi
an- tara Partai Amanat Nasional dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi: UNY Yogyakarta. Hlm. 21)
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
23
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memeliharakeutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang DasarNegara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Partai politik didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Tujuan tersebut berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus yang terdiri dari:
a) Tujuan Umum
Tujuan umum dari didirikannya suatu partai politik adalah
tujuan yang berkaitan dengan tujuan negara.
1) Mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2) Menjaga dan memelihara keutuhan bangsa;
3) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat; dan
4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari partai politik adalah tujuan yang hendak
dicapai dimana tujuan tersebut berasal dari dalam partai politik.
1) Meningkatkan partisipasi politik dari anggota dan masyarakat
dalam kegiatan penyelenggaraan pada bidang politik dan
pemerintahan;
2) Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
3) Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hak dan kewajiban yang
dimiliki partai politik adalah:
a) Hak Partai Politik
1) Memperoleh kedudukan dan perlakuan yang sederajat, adil
dan sama dihadapan negara;
2) Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasinya secara
mandiri;
3) Memperoleh hak cipta atas lambang, nama dan gambar partai
politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
24
4) Ikut serta dalam pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
serta kepala daerah dan wakil kepala daerah;
5) Membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyarwaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/
Kota;
6) Mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
7) Mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya yang duduk
di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
8) Mengusulkan pemberhentian anggotanya yang duduk di
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
9) Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil
bupati serta calon walikota dan wakil walikota;
10) Membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik; dan
11) Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
b) Kewajiban Partai Politik
1) Mengamalkan Pancasila dan melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan
perundang-undangan;
2) Mempelihara dan menjaga keutuhan negara;
3) Ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional bangsa;
4) Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak
asasi manusia;
5) Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi
politik anggotanya;
6) Ikut mensukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;
7) Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban anggota;
8) Menyusun pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan
jumlah sumbangan yang diterima serta diberitahuakan secara
terbuka kepada masyarakat;
9) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
25
Belanja Daerah kepada pemerintah setelah diperiksa oleh
Badan Pemeriksaan Keuangan;
10) Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum;
dan
11) Mensosialisasikan program.
c) Fungsi Partai Politik
Pendirian suatu partai politik akan memberikan fungsi atau
manfaat tersendiri bagi lingkup kehidupan masyarakat. Dimana
partai politik erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat
yang diperjuangkan melalui organisasinya tersebut. Menurut
Ramlan Surbakti terdapat 7 (tujuh) fungsi dari pendirian partai
politik, antara lain:
1) Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan
orientasi politik para anggota masyarakat agar masyarakat
memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik. 24
2) Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan
atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok
orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem
politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. 25
Partai politik diharapkan melaksanakan proses kaderisasi
pemimpin maupun individu yang memiliki kemampuan
untuk menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan
jabatannya. Didalam demokrasi, meskipun individu disini
diberikan kesempatan yang sama untuk mencapai derajat
tertentu atau untuk mendapatkan suatu hal, tetap taat pada
undang-undang atau peraturan yang ada mengenai tata cara
individu dalam mencapai hal tersebut. Melalui partai politik,
individu-individu tersebut mendapatkan kemudahan dalam
mencapai tujuan yang hendak dicapai. 26
3) Partisipasi Politik
Kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses
24 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,
hlm.117
25 Ibid, Hlm.118
26 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal
Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
26
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam
menentukan pemimpin pemerintahan. 27
4) Pemadu Kepentingan
Keadaan masyarakat modern yang semakin luas dan
kompleks membuat banyak ragam pendapat dan aspirasi
semakin berkembang. Masing-masing kelompok tertentu
memiliki banyak keberagaman pendapat, sehingga perlu
adanya suatu proses yang dinamakan penggabungan
kepentingan (interest aggregation). Setelah digabungkan,
pendapat dan aspirasi tersebut diolah dan dirumuskan dalam
bentuk yang lebih teratur (interest articulation). 28
5) Komunikasi Politik
Proses penyampaian informasi mengenai politik dari
pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada
pemerintah. 29
6) Pengendali Konflik
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi
berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui berdialog
dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan
memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak
yang berkonflik serta membawa permasalahan kedalam
musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan
penyelesaian berupa keputusan politik.30
7) Kontrol Politik
Fungsi partai politik dalam kontrol politik adalah
sebagai kegiatan untuk menjamin kesalahan, kelemahan
dan penyimpangan dalam suatu kebijakan atau dalam
pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah. 31
27 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,
hlm.117
28 Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2008,
hlm.405
29 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,
hlm.117
30 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal
Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011
31 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,
hlm.118
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
27
Rekrutmen politik adalah proses dilibatkannya individu
atau kelompok individu dalam peran-peran politik secara aktif.32
Menurut Suharno dalam Besty, pengertian dari rekrutmen politik
merupakan proses pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga
politik termasuk partai politik dan administrasi orang-orang yang
menjalankan kekuasaan.33 Hafied dalam Besty berpendapat yang
berbeda dari kedua ahli diatas, menurut Hafied rekrutmen politik
dalah bagian dari sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah proses
memperkenalkan sistem politik kepada individu dan bagaimana
individu tersebut menentukan reaksi atas gejala-gejala politik yang
ada. 34 Berdasarkan penjelasan tentang pengertian dari rekrutmen
politik menurut para ahli, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa rekrutmen politik adalah proses pemilihan individu-individu
untuk duduk pada jabatan politik tertentu, baik itu partai politik
maupun lembaga-lembaga politik.
Proses rekrutmen politik dibagi kedalam 3 (tiga) tahap, yaitu
sertifikasi, penominasian dan tahap pemilu.35 Tahap yang pertama
adalah sertifikasi dimana dilaksanakannya tahap pendefinisian
kriteria yang dapat masuk dalam kandidasi dengan didasarkan
pada aturan-aturan pemilihan, aturan-aturan partai dan norma
sosial informal. Pendominasian merupakan tahapan selanjutnya
setelah sertifikasi, yaitu ketersediaan calon yang memenuhi syarat
dan permintaan dari penyeleksi ketika memutuskan siapa yang
dinominasikan. Tahap yang terakhir adalah tahap pemilu yang
merupakan penetuan siapakah individu-individu yang memenangkan
pemilu.
32 Sigit, Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta., 2011, hlm.91
33 Besty Anindya Nur Azni. Pola Rekrutmen Calon Anggota Legislatif: Studi Komparasi an-
tara Partai Amanat Nasional dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Skripsi: UNY Yogyakarta. Hlm. 25)
34 Ibid
35 Sigit, Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta., 2011, hlm.92
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
31
BAB IV
SISTEM PEMILU
MEMPENGARUHI DERAJAT
KETERWAKILAN RAKYAT
A. Pemenuhan Derajat Keterwakilan Rakyat Dalam Sistem Per-
wakilan Di Indonesia
Sub bahasan pada makalah ini diawali dengan menganalisis
pemenuhan derajat keterwakilan rakyat dalam sistem perwakilan
di Indonesia. Kesimpulan dari bahasan ini akan menjawab
apakah pelaksanaan sistem perwakilan di Indonesia telah mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap wakil rakyat yang
representatif untuk mengaspirasikan kepentingan rakyat.
Terdapat tiga hal yang perlu dianalisis guna menjawab
persoalan diatas, yakni analisis aspek filosofis, yuridis normatif
dan empiris. Analisis pada aspek filosofis dilakukan dengan
mengkaji dasar-dasar filosofi sistem perwakilan di Indonesia,
analisis pada aspek yuridis dilakukan dengan mengkaji peraturan
perundang-undangan khususnya yang terkait dengan sistem
perwakilan, sedangkan analisis pada aspek empiris dilakukan
dengan mencermati fenomena dan isu yang berkembang di
masyarakat mengenai pelaksanaan demokrasi perwakilan di
Indonesia.
1. Analisis pada aspek Filosofis
Terdapat hubungan yang erat antara pemenuhan derajat
perwakilan rakyat dengan persepsi kedaulatan rakyat.
Logikanya, apabila kedaulatan rakyat dapat ditafsirkan
secara benar, maka terdapat keinginan yang kuat untuk
mewujudkannya, yakni salah satunya dengan sistem
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
32
perwakilan. Implementasinya adalah sebuah sistem yang
mampu memenuhi derajat keterwakilan rakyat sehingga
semua golongan rakyat memiliki representasinya di lembaga
perwakilan rakyat.
Sebelum dibahas lebih jauh perlu kiranya kita mengkaji
kembali teori kedaulatan.36 Dalam bahasan ini, penulis
mengkaji teori kedaulatan rakyat yang menjadi pijakan dari
pelaksanaan demokrasi perwakilan. Teori kedaulatan rakyat
ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik
sejarah kekuasaan negara. Bagaimana mungkin rakyat
dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah
dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanya dilingkupi oleh
kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai
raja, maka pemikiran untuk menempatkan rakyat sebagai
penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu
pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian gagasan
kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam
36 Teori Kedaulatan dalam khazanah ilmu negara merupakan teori yang sangat
penting. Seluruh pembicaraan mengenai kekuasaan suatu institusi besar
yang disebut sebagai negara mau tidak mau harus membicarakan hal
ini dalam perkembangannya. Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas
sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan
tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapak teori kedaulatan rakyat ini
adalah Jean Jacques Rousseau yang menggemakan kekuasaan rakyat
lewat bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinya mengenai per-
janjian masyarakat (Kontrak sosial), ia menyatakan bahwa dalam suatu
negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat
memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal
ini melalui perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (general will
volonte generale). Volonte generale harus berdasarkan kepentingan dari
golongan yang terbanyak. Jadi apabila hanya kepentingan satu golongan
yang diutamakan, walaupun mendapat suara terbanyak (general), maka
bukan menjadi apa yang disebut kepentingan umum. Ajaran Rousseau
ini terlalu murni, sedangkan apa yang dikatakan oleh Rousseau sebagai
keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yang membawakan kepent-
ingan umum, tidak pasti selalu benar. Apa yang didukung oleh suara
terbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaran yang hendak
dikejar melainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah. Disinilah
letak penyelewengan dari sistem mayoritas yang tidak mengejar kebena-
ran lagi, melainkan mengejar kemenangan (Lihat: Ari Wahyudi Hertanto.
Aspek Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945 dalam Perspektif HAM.
Jakarta: Harian Umum Pelita, ed. Selasa 10 November 2015). (Lihat juga:
Soehino. 1980. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hlm 121)
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
33
diskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error
baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh
hampir seluruh negara di dunia. Arus deras demokrasi telah
merombak struktur monarkhi, minimal menjadi monarkhi
parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan
dengan sistem Republik Demokrasi.
Sejarah telah membuktikan tentang latar belakang
lahirnya teori kedaulatan rakyat berikut perkembangan
teori-teorinya yang terjadi. Semestinya pengundang-undang
turut menyikapi fakta-fakta tersebut secara bijak agar tidak
terjadi pemanfaatan kepentingan kelompok tertentu dalam
mencapai kekuasaan, maupun alasan lainnya.37
Pertama, penyelenggara negara harus memahami dulu
Pancasila sebagai philosophisce grondslag (dasar falsafah
negara) sehingga Pancasila menjadi panduan dalam
pengambilan kebijakan, putusan, dan pembuatan perundang-
undangan. Dengan demikian, Pancasila adalah domain bagi
eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam melaksanakan
amanah negara. Pembuatan peraturan perundang-undangan
harus dilihat apa dasar pembuatan UU tersebut dibuat.
Memahami akar filosofisnya, dasar sosiologisnya bagaimana,
yuridisnya mengatakan seperti apa. Kedalaman tiga hal ini
bisa dilacak dari naskah akademiknya. Sehingga bukan hanya
kacamata emosional-reaksioner dalam melihat fenomena yang
cepat berubah dengan dasar kalkulasi politik.
Kedua, nilai yang terkandung dalam Sila ke-4 Pancasila
adalah rakyat. Rakyatlah yang harus dimuliakan dan
kedaulatan rakyat haruslah dijunjung tinggi. Pada kursus
Pancasila yang membahas sila ke-4 di Istana Negara 3
September 1958, Presiden Soekarno menekankan bahwa
dalam alam keyakinan dan kepercayaan, kedaulatan rakyat
bukan sekedar teknis, tetapi juga secara kejiwaan, secara
psikologis nasional, secara kekeluargaan karena demokrasi
bagi kita.38
37 Ari Wahyudi Hertanto. Op.Cit
38 Diasma Sandi S. Makalah: Tafsir Sila ke-4 Pancasila. Makalah
disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada Berbasis Pancasila di
Jogjakarta
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
36
Preambule UUD 1945 tertulis sejatinya “Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat”, dimana orang menyebut suara
rakyat adalah suara Tuhan “vox populi vox Dei”. Para
penyelenggara Negara seharusnya mengutamakan suara
rakyat sebagai realisasi kedaulatan rakyat. Segala kebijakan
pemerintah harus merupakan pengejawantahan amanat
Daulat Rakyat, bukan sekedar Daulat Partai atau Daulat
Penguasa. Namun praktek-praktek politik praktis sering
dengan bangga dan arogan menyatakan dirinya mendominasi
kekuasaan negara dengan koalisi partai mayoritasnya. Koalisi
partai bahkan dengan tanpa malu mengatur pembagian kursi
pejabat, hingga beberapa Kementerian mempunyai Wakil
Menteri lebih dari dua Wamen. Lebih dari keperluan yang
sewajarnya. Dengan jelas terpampang bahwa disini Daulat
Partai koalisi lebih diutamakan. Dengan keadaan seperti ini
tidak mungkin tercapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Oligarki politik, oligarki ekonomi merupakan
anak kandung kapitalisme politik, rakyat hanya sebagai
pelengkap penderita karena suara nuraninya telah terbeli.
Demokrasi seyogyanya tidak untuk kepentingan partai saja,
tetapi seharusnya keberadaan partai adalah salah satu
pelaksanaan demokrasi.
Pembahasan mengenai derajat keterwakilan rakyat bukan
hanya sekedar membahas masalah sistem akan tetapi lebih
dari itu yakni tentang kemampuan dan kesanggupan calon
terpilih untuk mewakili kehendak rakyat. Disinilah letak
pemenuhan kedaulatan rakyat.
2. Analisis pada aspek Yuridis Normatif
Analisis pada aspek yuridis normatif, dimulai dengan
mengkaji pengaturan mengenai keterwakilan dalam konstitusi
yakni Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945), selanjutnya mengkaji Undang
Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR,
DPD dan DPRD .39
39 Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal
22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pemilihan umum anggota De-
wan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dilaksanakan melalui pemilihan umum. Ketentuan lebih
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
37
Konstitusi40, memiliki kehendak kuat untuk melaksanakan
demokrasi perwakilan guna mewujudkan kedaulatan rakyat.
Ketentuan mengenai Kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal
1 ayat (2) UUD NRI 1945 Amandemen.
Menilik sejarah, Begitu banyak faktor dan kualifikasi
yang harus dimiliki oleh para perumus naskah UUD 1945
dalam memformulasikan kalimat dalam setiap pasalnya,
termasuk dan tidak terbatas pada Pasal 1 ayat (2) dimaksud,
yaitu yang menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan
rakyat. Sementara itu dalam versi amandemen disebutkan
kedaulatan berada di tangan rakyat. Sekilas memang kalimat
pasal versi amandemen lebih lugas dan tegas.
lanjut mengenai pemilihan umum, khususnya pemilihan umum calon
anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. (Lihat: Irwan Anjalline
dkk. Pengaturan Dana Kampanye Pemilihan Umum Sebagai Tanggungjawab
Calon Anggota Legislatif berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. E-Jurnal Lentera Hukum,
Vol 1, No. 1. April 2014. Hlm.42). Termasuk dalam lembaga perwakilan,
adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan implementasi dari
demokrasi lokal. Pelaksanaan demokrasi lokal yang berkedaulatan rakyat
terlihat dengan jelas pada pengisian jabatan penyelenggara pemerintahan
daerah. Pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa DPRD
dipilih melalui Pemilu, sedangkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
menentukan juga bahwa Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Dari
kedua ketentuan di atas, terlihat bahwa legal policy perubahan Pasal 18
UUD NRI Tahun 1945 menghendaki adanya demokratisasi di pemerintahan
daerah, yang secara tidak langsung menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Dengan rakyat diberikan hak untuk memilih anggota DPRD dan Kepala
Daerah yang merupakan penyelenggara pemerintahan daerah, maka secara
langsung rakyat diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam
pembangunan daerah. Dengan adanya partisipasi tersebut, maka menan-
dakan bahwa demokrasi daerah bisa terjamin adanya. (Lihat: Sofyan Hadi.
Fungsi Representative Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Sistem
Otonomi. Jurnal Ilmu Hukum. Vo. 9. No. 17. Februari 2013. Hlm. 48-49)
40 Penulis menyamakan istilah konstitusi dengan UUD. Sekalipun dalam lit-
eratur hukum dan politik di Indonesia ada saja pakar yangberkecenderun-
gan memebdakan keduanya. Konstitusi dianggap lebih luas dibandingkan
UUD karena menyangkut tidak saja ketentuan dasar yang tertulis tetapi
juga tidak tertulis. Lihat: Sri Soemantri Martosuwignyo, 1993, Prosedur
dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni. (Lihat juga:
Miriam Budiardjo, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia
Sarana Utama); (Lihat juga: Soehino, 2000, Sumber-Sumber Hukum Tata
Negara, Yogyakarta, Penerbit Liberty).
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
38
Namun, timbul pertanyaan apakah rumusan tersebut
tidak memberikan suatu implikasi tersendiri pada konteks
pemahaman maupun interpretasi, yang kiranya dapat
menimbulkan suatu pemahaman baru atau peluang-peluang
tertentu. Yang ingin disampaikan dalam UUD 1945 adalah
berkaitan dengan hakekat kedaulatan rakyat yang sebenar-
benarnya, yaitu pada prinsipnya telah melekat pada dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rakyat
Indonesia. Disamping itu bunyi dan sifat dari pasal tersebut
juga merupakan pencerminan deklarasi yang informatif
tentang sikap UUD 1945 terhadap arti kedaulatan.
Sedangkan substansi yang dirumuskan dalam perubahan
UUD 1945 tersebut memberikan pemaknaan yang sifatnya
mempertegas kedaulatan itu dan ditekankan pula bahwa
masing-masing rakyat memegang kedaulatan, dalam arti
harafiahnya adalah kekuasaan tertinggi berada ditangan
masing-masing rakyat yang diaktualisasikan secara mutlak.
Penulis hendak menyoroti mengenai pengaturan
kedaulatan rakyat oleh UUD NRI 1945 (amandemen).
Setelah tumbangnya rejim Soeharto pada tahun 1998 yang
didahului dengan demonstrasi mahasiswa secara besar-
besaran, sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 telah dilakukan
empat kali amandemen terhadap UUD NRI 1945. Keempat
amandemen tersebut merubah banyak hal, mulai dari sistem
pemerintahan hingga dimasukkannya beberapa ketentuan
Hak Azasi Manusia kedalam UUD NRI 1945. Termasuk yang
mengalami perubahan adalah Pasal 1 ayat (2) yang diubah
melalui amandemen ke tiga.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula menyatakan
bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan
amandemen ketiga, pasal tersebut dirubah hingga berbunyi:
“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.”
Dengan berubahnya bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut maka
MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat, bukan lagi
sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, atau lembaga
yang melakukan kedaulatan (atas nama) rakyat. Kedaulatan
tetap berada ditangan rakyat, hanya saja pelaksanaan
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
39
kedaulatan tersebut (oleh rakyat) harus menurut Undang-
Undang Dasar. Sesungguhnya, anak kalimat terakhir ini
sangat aneh. Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat dibatasi
oleh kebijakan yang merupakan produk dari wakil rakyat?
Apakah ini berarti kalau rakyat menghendaki perombakan
sistem kenegaraan, tetapi jika para wakil rakyat tidak
menghendakinya, maka perubahan tidak boleh dilakukan?
Pertanyaan ini muncul karena dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan
bahwa yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bahkan didalam
Pasal 37 ayat (5) ditentukan bahwa khusus tentang bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan. Ini berarti, bahwa walaupun rakyat menghendaki
perubahan, kalau MPR tidak menghendaki, maka perubahan
tidak boleh dilakukan. Bahkan, jika rakyat menghendaki
dilakukannya perubahan bentuk negara, karena hal itu
telah dilarang oleh Undang-Undang Dasar, maka tetap saja
perubahan tersebut tidak boleh dilakukan (tentu saja secara
konstitusional, bukan melalui jalan revolusi rakyat).
Kalau negara Indonesia masih ingin mengakui kedaulatan
rakyat, maka anak kalimat akhir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
RI yang berbunyi: “dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar,” harus dihilangkan. Sementara itu, Pasal
37 ayat (5) sama sekali harus dihilangkan, karena selain
berarti merampas kedaulatan rakyat, juga tidak berguna
sama sekali. Bagaimanapun juga, karena kewenangan untuk
mengubah UUD ada ditangan MPR., yang berarti termasuk
juga mengubah Pasal 37 ayat (5) (harap diingat, Pasal 3 ayat
(1) berlaku untuk semua pasal, karena tidak mengecualikan
Pasal 37 ayat (5)), maka adanya ketentuan dalam Pasal 37
ayat (5) yang berupa larangan untuk mengubah bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tidak berguna.
Larangan dalam ayat tersebut merupakan kesia-siaan, yang
hanya akan menambah bunyi-bunyian tanpa makna, dan
menambah tinta untuk menulis kalimat yang tak berarti.41
Selanjutnya, mencermati Undang-undang No. 8 tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD,
ada beberapa catatan terhadap perumusan dalam undang-
undang tersebut, utamanya terkait pemenuhan derajat
keterwakilan rakyat yakni catatan pada aspek keterwakilan,
aspek alokasi kursi DPR dan Daerah Pemilihan, serta
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
40
dominasi kekuasaan partai politik.
Pada bab III undang-undang ini menjelaskan mengenai peserta dan persyaratan mengikuti pemilu. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan. Itu artinya Indonesia menganut sistem bikameral. Peserta pemilu dari partai politik adalah calon legislatif yang akan duduk di DPR sebagai perwakilan politik untuk mewakili kepentingan penduduk, sementara calon legislatif dari perseorangan yang duduk di DPD42 mewakili kepentingan daerah, sehingga dengan begitu ada aspek keterwakilan kepentingan daerah.
Kita mengetahui distribusi penduduk menurut wilayah
di Indonesia sangat pincang. Struktur penduduk dan pola
geografi yang dimiliki Indonesia dengan komposisi sekitar 60%
penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, tetapi lebih dari
90% wilayah Indonesia berada di luar pulau Jawa. Sehingga
anggota DPR yang berasal dari pulau Jawa akan lebih banyak
daripada yang berasal dari luar pulau Jawa. Sebaliknya
anggota DPD yang berasal dari luar pulau Jawa akan
lebih banyak daripada yang berasal dari Jawa. Pulau Jawa
kaya akan jumlah penduduk atau sumber daya manusia,
sementara luar pulau Jawa kaya akan sumber daya alam.
Sebetulnya, jika melihat komposisi tersebut, tampak
bahwa sistem bikameral berupaya memberikan jaminan check
and balances diantara kedua lembaga perwakilan rakyat
tersebut. Dan hal ini dalam situasi geografis Indonesia saat ini
tentu sangat mampu menjawab sejumlah kelemahan maupun
ketimpangan jumlah penduduk dengan besar wilayah yang
ada di Indonesia. Akan tetapi sistem ini juga mengandung
kelemahan terkait dengan derajat keterwakilan rakyat
yakni dilihat dari anggota legislatif dari aspek keterwakilan
penduduk.
41 Hadi Wahono. Amandemen UUD: Mengembalikan Kedaulatan di tangan rakyat ?. http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/amandemen-uud-
mengembalikan-kedaulatan.html diakses 11 Februari 2015
42 Lihat: Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitu- sional kedudukan DPD, lihat juga: Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengatur lebih jelas berkaitan dengan susunan dan kedudukan DPD. Berbicara mengenai kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan, hal ini tidak mungkin dilepaskan dari konsepsi demokrasi.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
41
Catatan selanjutnya untuk Undang-undang ini adalah
terkait keterwakilan perempuan pada pencalonan anggota
legislatif. Pasal 55 mengatur bahwa Daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.44
Terdapat dua permasalahan yang dianalisis dalam pasal
ini, pertama terkait dengan ketegasan berupa konsekuensi
hukum terhadap pasal ini, dan kedua terkait dengan konsep
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% ini.
Pertama, ketegasan berupa konsekuensi hukum. Pasal
ini hanya berhenti pada klausula, dan tampak jelas bahwa
sifatnya hanya anjuran. Tidak ada sanksi pidana terhadap
partai politik jika ada yang melanggar ketentuan ini. Jika
pembuat undang-undang menghendaki adanya keseriusan
pelaksanaan ketentuan ini, maka harusnyamerumuskan
pula sanksi hukum yang tegas sehingga dengan begitu akan
tampak kewibawaan hukum pada pelaksanaan ketentuan
ini. Tidak adanya sanksi hukum mengakibatkan “pelecehan”
43 Mekanismen pencalonan anggota legislatif pada pemilu 1999 diatur
secara detail mulai dari Pasal 41 hingga 45. Terkait dengan pencalonan
anggota legislatif pada pemilu ini sepenuhnya menjadi kewenangan
partai politik, kemudian dalam Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
dapat mengajukan nama nama calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II,
sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali jumlah kursi yang telah ditetapkan dan
penetapan nomor urut calon sepenuhnya menjadi kewenangan DPP partai
politik. Ketentuan yang mengatur tentang pencalonan anggota legislatif
pada pemilu 2004 terdapat dalam pasal 60 hingga 70 Undang-undang
No 12 tahun 2003. Pada pe- milu ini ada anggota legislatif yang berasal
dari unsur partai yaitu DPR dan DPRD serta calon persorangan atau
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana setiap provinsi terdiri dari 4
orang. Pada pemilu tahun 2004 ini selain munculnya calon
perseorangan ada kewajiban partai politik untuk memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pengajuan calon
angggota legislatif. Pemilu 2009 juga terjadi perbaikkan dalam proses
pengajuan calon anggota legislatif dimana selain ada calon dari partai
dan calon perseorang, dalam pemilu secara tegas diatur menge- nai kuota
30% keterwakilan perempuan, dimana dari tiga orang calon yang diajukan
partai politik harus ada minimal satu orang calon perempuan. (baca:
Bismar Arianto. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2
Tahun 2011. Hlm. 136)
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
42
partai politik terhadap realisasi ketentuan ini. Nyata, bahwa
ketentuan dalam pasal ini tidak implementatif.
Kedua, terkait dengan konsep keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Sudah menjadi pemahaman
umum bahwa latar belakang munculnya pasal ini adalah
penyamaan derajat perempuan dalam politik. Akan tetapi jika
dicermati, munculnya angka 30% justru menjadi kontradiktif
terhadap semangat munculnya pasal ini. Menurut hemat
penulis, angka-angka seperti ini tidak perlu muncul dalam
persyaratan pemilu. Ada logika yang sepertinya perlu dibenahi
bahwa parameter “mewakili” dan “memperjuangkan” itu
bukan karena jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan,
tetapi lebih karena kompetensinya, dan kredibilitasnya.
Dengan demikian, ketentuan klausul “keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%” perlu dibenahi,
bahkan perlu dihapus. Sehingga bisa saja terjadi komposisi
laki-laki lebih banyak daripada perempuan, atau sebaliknya
perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Ini persoalan
kemauan, kemampuan, intergritas, kapasitas dan kompetensi.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
48
3. Analisis pada aspek Empiris
Pada tataran empiris, penulis hendak menyajikan beberapa
survey pendapat masyarakat mengenai representasi wakil rakyat
dan persoalan yang dihadapi masyarakat dan negara ini terkait
dengan derajat keterwakilan rakyat dalam sistem perwakilan di
Indonesia.
Dalam survei Pol-Tracking Institute, Direktur Riset Pol-Tracking
Institute mengatakan bahwa DPR kembali mendapat nilai merah
dari masyarakat. Survei terhadap 2010 responden di 33 provinsi
ini mengungkapkan hanya sekitar 12,64 persen masyarakat yang
puas dengan kinerja para wakil rakyat di parlemen. Sisanya 61,85
persen dari responden menilai kinerja parlemen tidak baik.46
Tahun 2013 Publica Research and Consulting menggelar survei
terhadap kinerja anggota DPR. Diberitakan oleh Kompas.com, hasil
survei ini menyatakan bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia
menganggap anggota DPR lebih mewakili partai daripada suara
rakyat. Dari hasil survei, 84,1 persen responden menilai anggota
DPR hanya mewakili partai masing-masing. Hanya sejumlah 8,4
persen dari responden yang mengatakan bahwa anggota DPR
mewakili rakyat.
Di sisi lain, survei juga mengatakan bahwa 53,6 persen dari
responden berpendapat bahwa tidak ada satupun dari partai
politik yang mau peduli terhadap kepentingan masyarakat.
Penilaian publik terhadap partai politik tersebut tidak sampai
menyentuh jumlah 10 persen dari total responden. Untuk
penilaian kepedulian partai politik ini Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan mendapatkan dukungan tertinggi dengan 8,2 persen,
disusul dengan Partai Demokrat yang memperoleh 6,8 persen
dukungan. Sedangkan PKS, Partai Golkar, Partai Hanura, PAN,
PPP, dan PKB mendapat penilaian kepedulian kurang dari lima
persen responden. Survei yang digelar oleh lembaga survei itu
diadakan pada tanggal 18 hingga 21 Februari 2013 lalu. Mayoritas
dari para responden survei belum menentukan pilihan pada Pemilu
2014 nanti. Dari hasil survei tersebut juga didapat bahwa sebanyak
7,2 persen responden sudah menetapkan pilihan terhadap PDI-P,
6,2 persen telah memilih Partai Demokrat, dan 6 persen memilih
44 http://www.jpnn.com/read/2013/10/20/196629/Kinerja-DPR-Kembali-
Dinilai-Buruk-dalam-Survei- diakses 12 Februari 2015
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
49
Partai Gerindra. Survei tersebut diikuti oleh 1.300 responden
dengan rentang kesalahan kurang lebih 2,8 persen dan tingkat
kepercayaan 95 persen. Hasil penelitan juga mengatakan bahwa
responden survei tersebut merasa tidak puas terhadap kinerja
anggota Dewan. Sedangkan untuk kerja legislasi, ketidakpuasan
dinyatakan oleh 35,1 persen responden, penyusunan anggaran
oleh 36,5 persen, pengawasan kinerja Pemerintah 30,8 persen,
dan mewakili kepentingan rakyat 39,5 persen.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai politik.
Partai Politik adalah organisasi infra struktur politik yang
bertujuan memperoleh kekuasaan secara konstitusional.
Anggota partai politik yang biasa disebut politisi atau kader
adalah sekumpulan orang yang memiliki visi misi dan
kepentingan yang sama.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang
dilakukan dari 5 hingga 10 September 2011 terhadap 1.200
responden di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode
multistage random sampling menyatakan bahwa pada tahun
2011, penilaian responden yang menyatakan kerja politisi
baik hanya sebesar 23.4 persen, 51.3 persen diantaranya
menilai kerja politisi sangat buruk.47 Diskursus kaderisasi
partai politik belum mampu menjadi solusi. Salah satu faktor
penyebab adalah diskursus kaderisasi parpol tidak berjalan
sesuai dengan arah tujuannya dan menyimpang dari hakikat
negara serta berkurangnya rasa nasionalisme.
Survei nasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Riset
Informasi (LRI) pada bulan Desember 2007 lalu (johanspolling)
berusaha memotret peran partai politik di dalam menjalankan
fungsinya sebagai agen demokrasi. Peranan ketua umum
tujuh partai politik yang selama ini mendominasi peta politik
nasional dalam melakukan kaderisasi di partai politik yang
mereka pimpin dijadikan tolok ukur keberhasilan proses
kaderisasi pemimpin nasional di Indonesia.
Di dalam survei ini, responden diminta untuk memberikan
penilaian terhadap peranan yang dimainkan oleh ketua
45 sumber: http://www.pelitaonline.com diakses 10 Juli 2015
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
50
umum partai politik dalam melakukan kaderisasi pemimpin
nasional (1 nilai terburuk, 9 nilai terbaik).
(Sumber: http://qisai-indo.blogspot.com)
Mayoritas responden memberikan nilai rendah kepada
semua ketua umum partai politik (tujuh partai politik:
Partai Golkar, PDIP, PKB, PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat)
dalam mempersiapkan kader pimpinan nasional melalui
partai politik yang mereka dipimpin. Meskipun survei
yang dilakukan oleh LRI ini adalah snapshot survey, tetapi
dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
kemacetan proses kaderisasi di dalam partai politik sehingga
menimbulkan krisis kepemimpinan nasional. Inilah yang
menyebabkan langkanya pemimpin nasional alternatif yang
bisa dipilih rakyat.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
51
B. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia dalam Memenuhi Derajat
Keterwakilan Rakyat
Pemilihan umum dianggap sebagai prosedur utama bagi
operasionalisasi demokrasi, namun kenyataannya pemilu tidak
selalu menjadi alat pendorong keberlangsungan demokrasi di
suatu negara. Pemilihan umum ternyata juga dipakai sebagai
alat untuk kepentingan non demokrasi, bahkan kemudian jauh
dari interpretasi kedaulatan rakyat.60
Pada sub bahasan ini, penulis akan menganalisis apakah sistem
pemilihan umum di Indonesia61 telah mampu memenuhi derajat
keterwakilan rakyat. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu dikaji untuk
menjawab permasalahan ini. Pertama, analisis korelasi sistem
pemilihan umum dan derajat keterwakilan rakyat. Kedua,
permasalahan pada tataran yuridis politis terkait pemenuhan
derajat keterwakilan rakyat oleh sistem pemilu yang dianut di
Indonesia. Ketiga, permasalahan pada tataran empiris terkait
pemenuhan derajat keterwakilan rakyat oleh sistem pemilu yang
dianut di Indonesia.
Pertama, mengenai korelasi sistem pemilihan umum dan
derajat keterwakilan rakyat. Konsekuensi dari dianutnya
kedaulatan rakyat/ demokrasi maka harus ada pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik
pada parlemen pusat maupun pada parlemen daerah. 62Sistem
46 http://04locker.blogspot.com/2010/10/representasi-politik.html diakses
12 Februari 2015
47 Fitra Arsil. Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa. Jurnal
Legislasi Indonesia Vol. 9 No 4 Desember 2012.Hlm. 567)
48 Pada masa Orde Baru, pemilu 1971, 1982, 1987, 1992, dan 1997 meng-
gunakan sistem proporsional (tertutup), akibatnya hampir dapat dipastikan
bahwa anggota legislatif terpilih karena posisi nomor urut kecil yang ban-
yak ditentukan oleh pimpinan partai politik. Pada masa transisi, pemilu
1999 juga menggunakan sistem proporsional (tertutup), sehingga keter-
pilihan anggota legislatif banyak ditentukan oleh pimpinan partai politik.
Pasca perubahan UUD 1945, pemilu anggota DPR dan DPRD tahun 2004
menggunakan sistem proporsional terbuka (terbatas), harapannya pemilu
tahun ini bisa memunculkan banyak anggota legilatif yang terpilih karena
dukungan langsung dari rakyat, akan tetapi BPP yang tinggi menyebabkan
hampir semua anggota legislatif (DPR) terpilih karena posisi nomor urut
yang kecil. Pemilu untuk memilih anggota DPD menggunakan sistem distrik
banyak, namun lemahnya kewenangan DPD dalam UUD dan UU menye-
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
52
babkan anggota DPD tidak dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat
yang memilihnya. Pada pemilu 2009, menggunakan sistem proporsional
terbuka (terbatas), namun melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008,
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 214 UU No. 10 tahun 2008,
konsekuensinya ialah bahwa pemilu dilaksanakan menggunakan sistem
proporsional terbuka (sepenuhnya) atau dengan suara terbanyak. (Lihat:
Anwar C. Analisis terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
53
Indonesia. Hlm 19). Begitu pula pada pemilu 2014, dilaksanakan dengan
sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.
49 Anwar C. Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di In-
donesia. Jurnal Konstitusi Puskasi FH Universitas Widyagama Malang Vol.
II Nomor 1, Juni 2009. Hlm.7. Terdapat 5 (lima) hal yang mempengaruhi
pemilih dalam menentukan siapa yang dipilihnya, yakni Political issue, So-
cial Imagery. Epistemic Value, Situational Contigency, Candidate Personality.
Kelima hal tersebut menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pili-
han terhadap kandidatnya. Isu-isu politik apa yang sedang menjadi konsen
mayoritas pemilih hendaknya bisa ditangkap oleh kandidat dan timnya,
dan kemudian dijadikan isu yang dipromisikan untuk mempengaruhi pili-
han pemilih. Misalnya ketika pemilih sedang memperbincangkan isu dana
pendidikan 20%, maka kandidat harus menjadikan isu yang sedang diper-
bincangkan mayoritas pemilih tersebut isu dalam melakukan kampanye
pemilih. Selanjutnya komponen social imagery, bagaimana kandidat akan
dicitrakan sehingga mampu menarik pemilih. Kandidat mengasosiasikan
diri dengan pemilih. Komponen situational contigency merepresentasikan
bahwa pikiran pemilih dapat diubah dengan meyakinkan kepada pemilih
bahwa kandidat akan bisa merubah situasi yang ada sekarang ke dalam
sebuah situasi yang lebih baik. Komponen yang lain yang bisa untuk me-
narik pemilih adalah personality kandidat, misalnya Clinton mengklaim
bahwa dirinya merupakan orang yang mampu mewujudkan mimpi-mimpi
orang Amerika. (baca juga: Tri Hastuti. Pentingnya memahami Perilaku
Politik dalam Political Marketing. Jurnal Komunikator. Vol 1, No.1 Yogya-
karta Mei 2009. Hlm. 11). Selain itu, ada juga teori yang berkaitan dengan
perilaku pemilih, Tiga pendekatan teori yang seringkali digunakan oleh para
sarjana untuk memahami perilaku pemilih yakni, pendekatan sosiologis,
pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional (rational choice
theory). (baca: Leo Agustino, Moh. Agus Yusoff. Pemilu dan Perilaku Pe-
milih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Jurnal Poelitik Vol.
5 No 1 tahun 2009. Hlm. 422)
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
54
pemilu di Indonesia tidak hanya semata-mata dilihat pada
pilihan antara sistem distrik dengan sistem proporsional, akan
tetapi harus memperhatikan kaitannya dengan perwujudan
kedaulatan rakyat. Untuk itu, maka dalam penerapannya
sistem pemilu tidak bersifat konstan, sebab akan dipengaruhi
oleh banyak faktor atau berbagai unsur kepentingan. Sistem
pemilu apapun yang diterapkan akan diinterperetasikan
sedemikian rupa supaya membawa keuntungan, baik bagi
kekuatan pro demokratisasi maupun pro status quo. Dengan
demikian, sistem pemilu apapun yang dipilih pada akhirnya
baik tidaknya tergantung pada pelaksanaannya. Oleh karena itu,
maka dimungkinkan diterapkannya sistem campuran dengan
menggabungkan kelebihan masing-masing. Dengan demikian,
pemilu merupakan paradigma dari sebuah sistem politik yang
demokratis, dalam arti lembaga-lembaga pemilu dan badan
legislatif yang dihasilkannya merupakan penghubung yang sah
antara rakyat dan pemerintah dalam suatu masyarakat modern.
Oleh karena itu, pemilu adalah merupakan alat (tool) yang utama
bagi rakyat untuk “mengartikulasikan” dan “mengagregasikan”
kepentingan mereka. Proses pengangkatan wakil-wakil itu
dilakukan melalui suatu pemilihan umum (general election)
yang modelnya bervariasi, seperti sistem distrik (single member
constituency), sistem proporsional (multi member constituency)
atau campuran antara keduanya63
Sebuah sistem pemilu dirancang untuk melakukan 3 (tiga)
tugas utama:
Pertama, berperan sebagai saluran tempat rakyat bisa meminta
pertanggungjawaban wakil-wakilnya. Kedua, menerjemahkan
pilihan yang diberikan rakyat menjadi kursi yang dimenangkan
dalam lembaga legislatif. Sistem tersebut bisa condong kepada
proporsionalitas antara perolehan suara dan kursi yang
dimenangkan, atau ia bisa mengarahkan pilihan bagaimanapun
terfragmentasinya diantara partai-partai menjadi sebuah
parlemen yang mencakup dua partai yang mewakili pandangan
yang berbeda. Ketiga, sistem pemilu yang lain membentuk batas-
batas diskursus politik yang “bisa diterima” dalam cara-cara yang
50 Marzuki. 2007. Disertasi: Pengaruh Sistem pemilihan Umum Terhadap
Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera
Utara.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
55
berbeda, dan memberikan insentif bagi mereka yang berkompetisi
untuk “mengiklankan” dirinya kepada para pemilih dengan cara-
cara tertentu.64
Terlihat korelasi antara sistem pemilu dengan derajat
keterwakilan rakyat dalam kehidupan bernegara, khususnya
melalui lembaga perwakilan rakyat. Di dalam sistem pemilu yang
memperhitungkan keterkaitan antara wakil dengan konstituennya
atau yang memperhitungkan wakil-wakil realnya yang tercantum
dalam daftar calon dengan para pemilihnya, akan membawa
konsekuensi perhatian atau porsi aktivitas yang lebih besar
yang harus diberikan oleh wakil rakyat kepada konstituennya,
sesuai dengan predikatnya sebagai lembaga perwakilan rakyat.65
Dalam hubungan ini dikaji teori yang dianut di Indonesia sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyangkut
hubungan wakil dengan yang diwakili, sehingga dapat diperoleh
latar belakang keberadaan wakil rakyat dengan yang diwakili,
dalam hal wakil rakyat bertindak sebagai wakil guna menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Konsep
keterwakilan (representation) dalam sistem perwakilan terdiri
dari dua jenis, yaitu keterwakilan dalam gagasan (representation
in ideas) dan keterwakilan dalam kehadiran (representation in
presence).66
Derajat keterwakilan penduduk di badan legislatif melalui
partai politik peserta pemilu pada dasarnya merupakan
keterwakilan dalam gagasan. Disebut keterwakilan dalam gagasan
kaerna pemilihan (oleh rakyat) terhadap partai politik atau calon
legislatif dari partai politik semata-mata didasarkan atas program,
preferensi, dan aspirasi politik yang mereka ajukan yang disetujui
rakyat yang memilihnya. Keterwakilan dalam gagasan ini dinilai
memiliki kelemahan karena partai politik peserta pemilu atau
wakil rakyat hanya mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat.
Sedangkan keterwakilan kehadiran, mengharapkan keberadaan
51 Peter harris dan Ben reilly (Eds). 2000. Demokrasi dan Konflik yang
men- gakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Jakarta: International
IDEA. Hlm. 194
52 Marzuki. Op.Cit.
53 Ramlan Surbakti. Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi
Hubun- gan dan Distribusi Kekuasaan dalam Maruto M.D. dan Anwari
WMK (Eds). 2002. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala
dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES. Hlm. 49
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
56
wakil yang benar-benar merupakan wakil dari rakyat yang bisa
dilihat dari keberadaanya.
Pemilihan umum merupakan institusi pokok pemerintahan
perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara
demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas
persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama
untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi
wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan
umum yang bebas dan jujur, khususnya untuk memilih lembaga
perwakilan rakyat. Bahkan di negara yang tidak menjunjung nilai
demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi
corak legitimasi kekuasaan (otoritas).
Hal ini berarti pemilihan umum berhubungan erat dengan
prinsip demokrasi dan negara hukum sebagai prinsip-
prinsip fundamental dalam negara modern. Pemilihan umum
berhubungan erat dengan demokrasi karena sebenarnya
pemilihan umum merupakan salah satu sarana mewujudkan
demokrasi. Di dalam negara demokrasi, derajat keterwakilan
rakyat harus diperhatikan. Hak-hak rakyat untuk menentukan
haluan negara dilakukan oleh sebahagian kecil dari seluruh rakyat
yang berkedudukan sebagai wakil rakyat dan yang menempati
lembaga perwakilan yang biasa disebut parlemen. Oleh karena
anggota-anggota parlemen merupakan wakil rakyat, idealnya
semua orang yang duduk pada lembaga tersebut haruslah dipilih
sendiri oleh rakyat yang diwakilinya melalui pemilu yang secara
hukum dapat dinilai adil.
Penulis akan mengulas mengenai macam-macam sistem
pemilu dengan kelebihan dan kelemahannya. Secara umum
sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu
sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem
pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat
mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu
yang sama. Sedangkan sistem pemilihan organis menempatkan
rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama
dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan
geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi tertentu (ekonomi,
industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan
lembaga-lembaga sosial (universitas).
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
73
C. Upaya Perbaikan Sistem Pemilihan Umum Agar Memenuhi
Derajat Keterwakilan Rakyat
Pada bahasan ini, penulis menyajikan upaya-upaya yang
dilakukan dalam perbaikan sistem pemilu guna memenuhi
derajat keterwakilan rakyat.
Sistem yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan
sebuah sistem Pemilu yang, pertama,akuntabel dan memiliki
derajat keterwakilan yang tinggi, sehingga memperoleh legitimasi
kuat dari rakyat. Kedua,sistem Pemilu juga merupakan sebuah
rekayasa politik untuk menghasilkan lembaga perwakilan yang
representatif atau menghasilkan pemimpin yang responsibel
dan cakap. Ketiga, sistem yang kompatibel, diharapkan dapat
menghasilkan sebuah proses demokrasi yang substantif.
Selanjutnya ketika sebuah sistem pemilu dipilih, maka harus
terimplementasikan dalam praktek.73
Penciptaan ketiga kondisi diatas dapat dilakukan dengan
upaya pada tataran regulasi dan implementasi. Pada tataran
regulasi perlu perbaikan undang-undang pemilu, perlu dilakukan
pengaturan tentang penyederhanaan partai politik secara
bertahap sesuai aspirasi masyarakat.74 Hal ini sesuai dengan
hasil survei yang menunjukkan masyarakat menghendaki jumlah
politik yang tidak terlalu banyak, 5-6 partai politik. Oleh karena
itu, ambang parlemen (parliament threshold) perlu diterapkan
di semua level dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/
kota.
Selanjutnya, perlu formulasi tentang sistem pemilu yang ideal
bagi Indonesia. Salah satu aspek meningkatkan derajat
keterwakilan wakil rakyat hasil Pemilu adalah melalui rekayasa
sistem Pemilu yang dituangkan dalam sebuah regulasi. Sistem
Pemilu akan memberikan penekanan kepada bagaimana cara
memilih wakil rakyat yang disesuaikan dengan kondisi sosial
politik serta budaya politik masyarakat di suatu negara. Sistem
proporsional memiliki kelebihan utama yaitu meminimalkan suara
rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi serta memberikan
peluang bagi lebih besar partai politik kelas menengah untuk
memperoleh kursi di DPR. Sebaliknya, sistem mayoritas-pluralitas
yang dikenal dengan sistem distrik mempunyai kelebihan, karena
wakil rakyat terpilih memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan
konstituen.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
74
Sistem proporsional bisa menghasilkan wakil rakyat yang
lebih tinggi derajat keterwakilannya. Salah satunya adalah
dengan membuat Daerah Pemilihan (districting) yang lebih kecil,
sehingga para wakil rakyat di daerah pemilihan tersebut bisa
lebih mudah menjangkau konstituennya. Sebaliknya, rakyat di
daerah pemilihan tersebut bisa lebih jelas kepada siapa mereka
meminta dan menyalurkan aspirasinya baik untuk tingkat DPR
maupun DPRD.
Sistem pemilu sebenarnya merupakan sesuatu yang penting,
tetapi hanya merupakan ”satu aspek teknis” dari keseluruhan
proses pemilu. Sistem pemilu hanya menunjuk dua elemen
dalam ”ritual” pemilu, yaitu: bagaimana teknik memilih dan
bagaimana teknik penghitungan suara. Dalam kerangka ini,
sekalipun perubahan atau perbaikan sistem pemilu merupakan
pekerjaan yang penting, tetapi ia bukanlah obat yang mujarab
untuk menyembuhkan seluruh ”borok” pemilu. Sayangnya,
dalam semesta diskusi tentang sistem pemilu kerapkali terjebak
pada dikotomi dua sistem besar proporsional dan distrik tanpa
masuk ke varian-varian kedua sistem itu. Artinya perhatian
terlalu banyak diarahkan pada pembahasan sistem pemilu dan
gagal melihat substansi. Padahal pemilu dengan sistem apapun,
hanya merupakan instrumen untuk mewujudkan pemerintahan
yang representatif dan legitimet dilihat dari sudut menegakkan
demokrasi. Jadi intinya terletak pada pembangunan demokrasi
dan memaksimalkan fungsi representasi. Oleh karena itu,
jika mau mencari sistem pemilu yang tepat, terlebih dahulu
perlu dipahami makna demokrasi dan fungsi representasi yang
bagaimana yang ingin diwujudkan.
54 Marzuki Alie. 2013. Makalah: Penataan Sistem Politik dan Otonomi Daerah
55 Kebijakan penyederhanaan kepartaian dimulai pada 31 Desember
1959 saat Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 7 Tahun
1959 ten- tang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Muchamad
Ali Safa’at. 2009. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis
Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004).
Disertasi UI Jakarta. Hlm. 157)
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
83
BAB V
MONEY POLITIC
DALAM PERSPEKTIF
SOSIOLOGI HUKUM
A. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Money Politic Pada
Pilihan Legislatif Tahun 2014 di Surakarta Dalam Perspektif
Sosiologi Hukum
Faktor yang mempengaruhi terjadinya money politic pada
pilihan legislatif tahun 2014 dapat dikaji dalam perspektif
Sosiologi Hukum.78
56 Pembentukan sosiologi hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat
hukum dan sosiologi. Sosiologi hukum merupakan salah satu cabang
khusus dari sosiologi, sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya
khusus ke- pada ikhwal ketertiban sosial. Kajian-kajian sosiologi hukum
dalam hal ini mampu untuk memberikan kontribusi yang cukup bagi
perkembangan ilmu hukum (baca Yesmil Anwar dan Adang.2008.
Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Grasindo. Hlm 126-127)
Sosiologi hukum hanya berurusan dengan fakta yang diamati (observable
facts) dan tidak memikirkan tentang adanya tujuan hukum, maksud dan
nilai hukum. (baca: Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum:
Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Sura- karta: UMS Press).
Sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi sintesa antara hukum
sebagai organisasi sosial dan sebagai sarana keadilan. Dalam fungsinya
itu, hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi
hukum. Selain hal itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa,
kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang peneran- gan
pengkaidahan (baca: Soerjono Soekanto. 2003. Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm 25-26). Sosiologi hukum
dapat memberikan kemampuan untuk menganalisis aktivitas kegiatan
dalam masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep dasar
sosiologi (baik secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya)
(baca: Sabian Utsman. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. 2009. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. hlm. 112). Sosiolog akan memperlakukan fakta sosial
itu sebagai obyek yang diamati, dipahami, dideskripsikan, dianalisis dan
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
84
Dalam pemilihan legislatif, banyak terjadinya perbuatan
politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan
peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics
banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan nasional serta
juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik.
Masyarakat umum memahami politik uang sebagai praktik
pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu,
kepada seseorang atau massa secara berkelompok atau individual,
untuk mendapatkan keuntungan politis. Artinya, tindakan politik
uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku.
Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang
diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya
didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka
memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga
negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang,
satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan
politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya
ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.
Dalam teori Kausalitas dikatakan bahwa ada akibat karena
ada sebab, begitu juga permasalahan yang satu ini, pasti ada
penyebab atau latar belakang dari terjadinya Money Politic di
Indonesia yang telah mencoreng esensi dari demokrasi.
Berdasar hasil penelitian di Surakarta, juga terdapat Money
Politic pada proses pemilihan anggota legislatif Surakarta.
Penelitian dilakukan dengan observasi langsung, dan wawancara
dengan masyarakat setempat. Penulis mencatat ada beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya Money Politic pada pilihan
legislatif di Surakarta.
Faktor yang mempengaruhi tersebut disebut motivasi,
Motivasi79 berasal dari kata “movere” yang berarti dorongan.
kemudian disimpulkan (baca: Heru Nugroho. 2001. Menumbuhkan Ide-Ide
Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 85)
57 Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu: a) Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup misalnya makan, minum, perlindungan fisik, dan bernapas. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah
atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar bagi setiap indi- vidu, b) Kebutuhan rasa aman atau keselamatan adalah kebutuhan akan
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
85
Motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan
dilakukan oleh seorang atau individu dalam hidupnya. Jika
seseorang dikatakan memiliki motivasi yang tinggi, berarti
seseorang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk
mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan sesuatu.
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki oleh individu akan banyak
menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks belajar, bekerja
maupun dalam kehidupan lainnya.
Terkait dengan motivasi dalam money politik, terdapat faktor
penyebab terjadinya Money Politic dilihat dari sudut pandang
masyarakat penerima, yakni.
1. Faktor Ekonomi
Terdapat alasan mengapa masyarakat menerima uang
atau suap lainnya yang di berikan para calon pemimpin.
Salah satu alasannya adalah ekonomi. Terkait faktor ekonomi,
terdapat stratifikasi sosial ekonomi pada masyarakat
Surakarta. Stratifikasi sosial ekonomi disini diartikan sebagai
perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat atau secara hierarkis.80
Seperti kita tahu bahwa kodrat manusia itu tidak pernah
cukup, dan tidak kita sangkali juga bahwa manusia memang
juga sangat membutuhkan uang, dan masa kampanye itu
bisa dijadikan ajang untuk menambah pendapatan mereka.
Dari hasil wawancara dengan sebagian masyarakat
Surakarta, bahwa diantara faktor pendukung maraknya
praktik Money Politics di Surakarta dalam pemilu legislatif
2014 diantaranya adalah karena persoalan ekonomi.
perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup. Tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologi-
kal dan intelektual, c) Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial) adalah kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai dalam keluarga. Kebutuhan ini pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status sosial, d) Kebutuhan akan harga diri atau penghargaan adalah kebutuhan untuk
dihormati, diakui dan dihargai oleh orang lain atas prestasi yang telah dicapai, dan e) Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri
58 Baca: Zainuddin Ali. 2012. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. hlm.
56-57
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
87
Dalam perspektif ekonomi, semua tindakan manusia
didasarkan pada prinsip rasionalitas. Prinsip ini juga
diakomodasi dalam pendekatan ekonomi terhadap hukum,
yakni atas dasar untung-rugi dengan cara mengusahakan
agar keseluruhan keuntungan (benefits) harus lebih besar
daripada keseluruhan biaya (cost).81 Dalam hal money politic,
masyarakat menilai bahwa mereka tidak perlu mengeluarkan
modal apapun untuk mendapat keuntungan yakni berupa
uang atau barang dari caleg, sehingga masyarakat, apalagi
kelas bawah, tidak berpikir panjang untuk menerima money
politic tersebut.
2. Faktor Pendidikan Konstituen
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana pembelajaran dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
sriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.82 Pendidikan
diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan, tingkah
laku dan sikap seseorang.83
59 Antonius Cahyadi dan Donny Dardono (ed). 2009. Sosiologi Hukum dalam
Perubahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 251
60 Sentosa Sembiring. 2006. Himpunan Perundang-Undangan Tentang Guru
dan Dosen. Bandung: Nuansa Aulia. hlm. 97
61 Robinson Tarigan. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
88
Alasan tidak tahu bahwa jual beli hak suara melanggar
norma moral dan agama berkaitan dengan pola budaya suatu
masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan
masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang
berkecukupan, masih merasa samar tentang status imoralitas
(jahatnya) praktik Money Politics, hal ini berdasarkan
100 angket yang penulis sebarkan di beberapa kalangan
masyarakat Surakarta. Ada pertanyaan kecil dalam benak
mereka, apa salahnya menerima pemberian; dan sebagai
imbalannya, apa salahnya membalas kebaikan hati si pemberi
dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk orang
miskin; lagi pula antara kedua pihak, tidak ada ancam
mengancam ataupun paksa memaksa, ungkap salah satu
masyarakat Surakarta. Apa yang kita kutuk sebagai Money
Politics, bagi mereka merupakan sekedar ritual saling memberi
atau menerima, atau tolong menolong, dan itu merupakan
kebiasaan yang mulia. Money Politics menyerupai transaksi
jual beli yang biasa setiap hari dilakukan oleh semua orang
di pasar, di kedai, di kantor, dan seterusnya. Disitu tidak ada
salah dan tidak ada yang harus disalahkan
Tingkat pendidikan seseorang secara langsung dapat
mempengaruhi partisipasi politik dan kesadaran politiknya.
Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, seseorang
dapat berpikir logis dan memandang suatu masalah
secara mendalam dan lebih terstruktur, termasuk pada
masalah pemilihan calon legislatif. Berbeda dengan masyarakat
kalangan kelas bawah yang memiliki tingkat pendidikan
yang rendah cenderung mengabaikan dan buta akan
Pendapatan Perbandingan antara Empat hasil penelitian. Jurnal Wawasan.
Vol 11, No. 3 Februari 2006
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
89
masalah politik. Hal itu berhubungan dengan faktor ekonomi
seseorang, jika seseorang tersebut dikatakan memiliki tingkat
ekonomi yang rendah maka seseorang tersebut tidak dapat
mengusahakan untuk memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
akibatnya kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan
sangat penting dalam faktor penyebab masyarakat menerima
money politics yang dilakukan oleh salah satu calon legislatif.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka masyarakat
mempunyai pengetahuan yang luas dan dengan pengetahuan
masyarakat yang luas dapat membantu untuk membedakan
mana yang baik dan tidak, mana yang salah dan benar
sehingga setiap melakukan tindakan selalu menggunakan
pertimbangan secara rasional begitu pula dalam menyalurkan
hak pilihnya pada pemilihan legislatif dengan memilih calon
yang berkompeten dan berkualitas.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis,
termasuk didalamnya adalah belajar. lingkungan juga
terkadang sering disebut patokan utama pembentukan
prilaku. Semuanya dikaitkan dengan lingkungan dan manusia
pun selalu tergantung pada lingkungannya. Terhadap faktor
lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik
yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu
individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya.
Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari
pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa
tersedia di sekitarnya. Perilaku adalah bentuk tanggapan,
gerakan atau reaksi yang dihasilkan dari dalam diri individu
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
91
tersebut atau hasil dari meniru lingkungan setempat. Perilaku
juga dapat diartikan sebagai perbuatan dan perilaku yg
dapat dilihat adalah perilaku terbuka, perilaku yang dapat
kita amati secara langsung dari apa yang individu lakukan,
kadang perilaku bisa membuat image tertentu pada setiap
orang yang ada dan perilaku juga dapat menggambarkan
bagaimana orang itu.
B. Pelaksanaan Money Politic pada Pilihan Legislatif tahun 2014
di Surakarta Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Praktik dalam pelaksanaan money politics pada pilihan
legislatif tahun 2014 di Surakarta sangat beragam. Diantara
bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain:
1. Distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada
para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok
tertentu,
Uang sebagai sumber daya yang paling konvertibel,
menjadi acuan bagi setiap transaksi atau manuver individual.
Dalam persentuhannya dengan dunia politik, justru uang
menemukan hakikat ekstensialnya, yakni sebagai alat
tukar menukar. Ketika uang menjadi media barter politik,
peran kelompok-kelompok strategis yakni elit politik dan
elit ekonomi yang menyelingkupi pucuk penguasa tertinggi,
tak dapat dikesampingkan. Dinamika interaksi di antara
mereka ikut mendorong proses tumbuh berkembangnya
Money Politics.
Memasuki masa kampanye Pilcaleg 2014, banyak terlihat
para timses Caleg memberikan berupa benda sebagai cendra
mata kepada para pemilih. Cendra mata yang di berikan
itu mulai dari pemberian kitab yasin, sajadah, mukena,
kerudung/jilbab. Bahkan ada yang memberikan tas, baju
kaos, topi dan alat alat rumah tangga, serta banyak lain
lainnya. Bahkan dalam pemberian cendra mata ini di selipkan
juga berupa uang, antara Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-
Hasil 100 angket yang penulis sebar kepada berbagai
lapisan masyarakat, para sopir, tukang becak, pegawai
negeri, swasta dan tokoh masyarakat, sebagian besar diantara
mereka menerima amplop dari masing-masing calon anggota
legislatif daerah pemilihan setempat yang nominalnya
bervariasi, berkisar antara Rp.20.000 sampai Rp. 100.000.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
92
bahkan ada salah satu warga yang mengaku “panen duit”
menjelang pemilu dengan mendapatkan amplop dari hampir
semua calon yang ada di daerah pemilihannya.
Pola distribusi money politics di tingkatan elit umumnya
dilakukan dengan cara tertutup dan sangat dirahasiakan,
mengingat hal ini merupakan tindak pidana. Setidaknya
hanya pemain-pemain inti dan pemilik kepentingan yang
dapat mengetahuinya. Selain itu, pemberian uang tidak pula
selalu dilakukan oleh para kandidat, bahkan justru jika
dilakukan sendiri oleh kandidat akan menjadi tindak pidana
yang akan dikenai sanksi hukum apabila ternyata diketahui
oleh tim pemantau pemilu. pemberian uang dapat dilakukan
melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga,
hubungan bisnis, bahkan tokoh masyarakat sekalipun yang
mempunyai banyak akses sosial di masyarakat. Malah justru
hal ini menjadi cara yang aman karena bukan termasuk tim
sukses kandidat yang terdaftar secara resmi di KPU.
2. Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi
kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi
yang ilegal,
Partai politik bekerjasama dengan pengusaha yang
menyokong kebutuhan partai, termasuk membagi-bagikan
uang kepada konstituen. Penyalahgunaan wewenang dan
fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang
simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan
dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-
lain.
3. Sistem Ijon
Pelaksanaan sistem ijon yang dimaksudkan di sini
memang hampir sama sebagaimana yang terjadi dalam
fenomena rentenir, di mana pemodal meminjamkan kapitalnya
pada pihak yang membutuhkan. Dikatakan meminjamkan
karena memang bantuan tersebut akan ditarik kembali
dalam jangka waktu tertentu. Mekanisme serupa terjadi
pula dalam permainan politik, dimana praktik Money Politics
berbentuk hibbah politis tidak selalu terjadi saat menjelang
even politik. Melainkan juga dapat dilakukan jauh-jauh hari
sebelum pelaksanaan even politik, atau bahkan sebelum sang
politisi menyampaikan maksud dan tujuan jangka panjang
strategisnya. Kemudian hibbah politis ini akan diminta
kembali dalam bentuk sikap dukungan politik.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
93
Mekanisme Money Politics dengan sistem ijon ini seringkali
digunakan para politisi dalam upaya menarik simpati atau
menggelandang tokoh atau masyarakat secara berlahan
untuk masuk ke dalam kelompok kepentingannya dengan
cara memenuhi fasilitas atau sesuatu yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan cara seperti ini, ketika tiba saatnya
politisi menyampaikan maksud dan tujuannya untuk masuk
dalam pertarungan politik, guna merebutkan jabatan politik
tertentu, yang mana hal tersebut membutuhkan back up kuat
dari suara masyarakat, maka masyarakat tidak akan banyak
berbicara, kecuali hanya menyampaikan kesanggupan
dukungan (meskipun dukungan pasif).
4. Penyalahgunaan fasilitas negara
Berdasar hasil wawancara, sebagian kandidat caleg
dan tim suksesnya, juga mempraktikan cara baru dalam
menggunakan fasilitas negara. Jadi pola penggunaan fasilitas
negara ini juga berkembang. Bukan hanya (penggunaan) mobil
dinas, tapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan pelibatan
pegawai negeri untuk mengampanyekan sang kandidat, Para
caleg dan tim suksesnya acapkali menggunakan instrumen
birokrasi pemerintahan sebagai tim pemenang, dengan cara
(meminta) kantor dinas membuat aktivitas kegiatan yang
turut mensosialisasikan dan mengkampanyekan kandidat
tersebut. Kegiatan sosialisasi dan kampanye tersebut menjadi
ajang untuk bagi-bagi amplop yang mengatasnamakan
kandidat tertentu.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
100
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Antonius Cahyadi dan Donny Dardono (ed), Sosiologi Hukum dalam
Perubahan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2009.
Abdul Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi
Paradigmatik, Institute for Strengthening Transition Society
Studies (In-TRANS): Malang, 2003.
Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya,
Dilihat Dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini), Penerbit Kencana: Jakarta,
2003.
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Hak-hak
Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri
Soemantri Martosoewignjo, Media Pratama: Jakarta, 1996.
George Sabine, A History of Political Theory,George G.Harrap &
CO.Ltd., London,1995.
Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta , 2001.
Indra Ismawan, Money Politics: Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Cet
ke-1, Penerbit Media Presindo: Yogyakarta, 1999.
Komarudin Hidayat dan Ignas Klede, Pergulatan Partai Politik
Indonesia, PT. Rajawali Press: Jakarta, 2004.
M. Ryaas Rashid, 2000. Fungsi Representasi dan Sistem Pemilu,
dalam Sistem-Sistem Pemilu. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 2007.
______________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka:
Jakarta, 2008.
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
101
Aditama.
Ni’matul Huda, Negara Hukum,Demokrasi dan Judicial Review, UII
Press: Yogyakarta, 2005.
Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Republik Indonesia,
Rajawali: Jakarta, 1982.
Peter harris dan Ben reilly (Eds), Demokrasi dan Konflik yang
mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiato, International
IDEA: Jakarta, 2000.
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.
Bina Ilmu Surabaya: Surabaya, 1987.
, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak
Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri
Soemantri Martosoewignjo. Media Pratama, Jakarta, 1996.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia: Jakarta,
2007.
Ramlan Surbakti dkk, Memaksimalkan Derajat Keterwakilan Partai
Politik dan Meningkatkan Akuntabilitas Calon Terpilih.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan: Jakarta, 2011.
Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2009.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan
Pilihan Masalah, UMS: Press Surakarta, 2002.
Sentosa Sembiring, Himpunan Perundang-Undangan Tentang Guru
dan Dosen, Nuansa Aulia: Bandung, 2006.
Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,
Institute for Democracy and Welfarism: Yogyakarta, 2011.
Sidharta, Bernand Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.
Mandar Maju: Bandung, 2000.
Soehino, Ilmu Negara, Liberty: Yogyakarta, 1980.
, Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. Penerbit
Liberty: Yogyakarta, 2000.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2003.
Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Penerbit P.T Alumni: Bandung, 1992.
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
102
Sudjito, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, TUGUJOGJA Pustaka:
Jogjakarta, 2013.
Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo:
Jakarta, 2008.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum. Sinar Grafika: Jakarta, 2012.
Disertasi
Anis Ibrahim. 2008. Disertasi: Legislasi dalam Perspektif Demokrasi.
UNDIP Semarang
Marzuki. 2007. Disertasi: Pengaruh Sistem pemilihan Umum
Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD
Di Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara
Muchamad Ali Safa’at. 2009. Disertasi: Pembubaran Partai Politik di
Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran
Partai Politik 1959-2004). UI Jakarta
Tesis
Kuntan Magnar. 1989.“Ketetapan MPR sebagai salah Satu Bentuk
Peraturan Perundang-undangan (Suatu Pemikiran)”.(Tesis,
Bandung: Tesis Pascasarjana UNPAD).
Skripsi
Besty Anindya Nur Azni. 2014. “Pola Rekrutmen Calon Anggota
Legislatif: Studi Komparasi antara Partai Amanat Nasional
dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di Daerah
Istimewa Yogyakarta”. (Skripsi, Yogyakarta: Skripsi Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta).
Jurnal
Aqmarina, Melati. Kajian mengenai Tingkat Kepercayaan Masyarakat
terhadap Partai Politik sebagai Implikasi Fungsi Partai Politik
di Indonesia. Jurnal Respublika Vol. 1 No 1 Juni 2013
Anwar C. Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di
Indonesia. Jurnal Konstitusi Puskasi FH Universitas Widyagama
malang Vol. II No. 1 Juni 2009
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
103
Bismar Arianto. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH Vol.
2, No. 2 Tahun 2011
Fitra Arsil. Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No 4 Desember 2012
Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik.
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol.1.No.1.Tahun
2011.
Leo Agustino, Moh. Agus Yusoff. Pemilu dan Perilaku Pemilih: Analisis
Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Jurnal Poelitik Vol. 5 No
1 tahun 2009
Patawari. Sistem Pemilihan Umum Legislatif. Jurnal Al-Risalah Vol.
12 No. 1 Mei 2012
Robinson Tarigan. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat
Pendapatan Perbandingan antara Empat hasil penelitian. Jurnal
Wawasan. Vol 11, No. 3 Februari 2006
Salmon E.M Nirahua. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan
daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum
Vol. 18 No. 4 Oktober 2011
Sofyan Hadi. Fungsi Representative Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dalam Sistem Otonomi. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9. No. 17.
Februari 2013
Tri Hastuti. Pentingnya memahami Perilaku Politik dalam Political
Marketing. Jurnal Komunikator. Vol 1, No.1 Yogyakarta Mei
2009
Wasisto Raharjo Jati. Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas
Parlemen yang Afirmatif: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 52/PUU-X/2012. Jurnal Yudisial Vol 6 No. 2 Agustus
2013
Yogo Pamungkas. Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasar
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD
terhadap UUD NRI 1945. Jurnal: RechtsVinding Vol 3 No. 1
April 2014
Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)
104
Makalah
Diasma Sandi S. Makalah: Tafsir Sila ke-4 Pancasila. Makalah
disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada Berbasis
Pancasila di Jogjakarta
Ki Priyo Dwiarso. Makalah: Hakikat Pilkada bukan Daulah Partai.
Makalah disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada
Berbasis Pancasila di Jogjakarta
Marzuki Alie. 2013. Makalah: Penataan Sistem Politik dan Otonomi
Daerah
Titi Anggraini. August Mellaz. Makalah: Beberapa Catatan atas
Keberlakukan UU No, 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Koran
Ari Wahyudi Hertanto. Aspek Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD
1945 dalam Perspektif HAM. Jakarta: Harian Umum Pelita, ed.
Selasa 10 November 2015
Litbang Kompas. Senin 9 April 2012
Internet
Hadi Wahono. Amandemen UUD: Mengembalikan Kedaulatan di
tangan rakyat ?.http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/
amandemen-uumengembalikan-kedaulatan.html diakses 11
Februari 2015
http://www.jpnn.com/read/2013/10/20/196629/Kinerja-DPR-
Kembali-Dinilai-Buruk-dalam-Survei- diakses 12 Februari 2015
http://www.pelitaonline.com diakses 10 Juli 2015
http://04locker.blogspot.com/2010/10/representasi-politik.html
diakses12Februari 2015
Wahyufisipuns.blogspot.com/2014/02/sistem-pemilu-proporsional-
terbuka.html diakses 12 februari 2015