59

HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 2: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

HUKUM PARTAI POLITIK

DAN

SISTEM PEMILU

(DERAJAT KETERWAKILAN RAKYAT)

Suranto, S.H., M.H. Andina Elok Puri Maharani, S.H.,M.H.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M.

Page 3: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

ii

Page 4: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

iii

Hak cipta © pada penulis

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. No.19.Th. 2002

Dilarang memperbanyak/memperluas dalam bentuk apapun

tanpa izin dari penulis dan penerbit.

HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

KETERWAKILAN RAKYAT)

Penulis : Suranto, S.H., M.H. Andina Elok Puri Maharani, S.H., M.H.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M.

Editor : Ratih Ramadhani Irawan, S.H.

Desain Isi : ASA GRAFIKA SOLO

Desain Sampul : Normanta Agus Purwasandi

Preliminary viii

Halaman isi 104

Ukuran buku : 17,5 x 25 cm

Edisi Pertama

Cetakan pertama, Oktober 2016

ISBN: 978 - 602 - 6363 - 09 - 1

Diterbitkan oleh:

CV. INDOTAMA SOLO

Penerbit & Supplier Bookstore

Jl. Pelangi Selatan, Kepuhsari, Perum PDAM,

Mojosongo, Jebres, Surakarta 57127

Telp. 0851 0282 0157, 0812 1547 055, 0815 4283 4155

E-mail: [email protected], [email protected]

Anggota IKAPI No. 165/JTE/2018

Page 5: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

iv

Page 6: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya milik Alloh SWT, atas

limpahan rizki berupa ilmu pengetahuan dan ijin-Nya,

akhirnya penulis berhasil menyelesaikan bahan ajar untuk

mata kuliah hukum partai politik dan sistem pemilu. Bahan

ajar ini disusun berdasar hasil penelitian tahun kedua yang

disusun tim penulis yang terdiri dari Suranto, Isharyanto,

Andina Elok Puri Maharani dan Kukuh Tedjomurti, keempat

penulis ini berasal dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret. Tentunya selama penyusunan bahan ajar ini, telah

mendapat bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai

pihak. Pada kesempatan ini ijinkan penulis menyampaikan

terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat ;

1. Kemenristek dan Dikti yang menggulirkan program

penelitian yang sangat besar manfaatnya bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Indonesia.

2. Rektor UNS Prof. Dr. Ravik Karsidi dan pimpinan serta

seluruh jajaran LPPM UNS yang memberikan dukungan

penuh akan perkembangan penelitian di lingkungan UNS

Solo.

3. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Supanto,S.H.,M.Hum

selaku pimpinan Fakultas Hukum UNS yang banyak

memberikan dorongan dan kesempatan kepada peneliti

untuk senantiasa berkarya dan menulis dengan capaian

optimal.

4. Mahasiswa assisten peneliti Anajeng Esri Edhi, S.H.,

M.H., Ratih Ramadhani Irawan, S.H., Nugraha Wisnu

Wijaya, Rizky Aji Pangestu, dan Laras Ayu Sahita yang

telah menunjukkan totalitas dan loyalitasnya untuk

membantu melakukan penelitian.

Page 7: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

(Derajat Keterwakilan Rakyat)

5. Editor Ratih Ramadhani Irawan, S.H. yang telah membantu

menyusun dan menyunting buku ajar .

6. Semua pihak yang belum penulis sebutkan dalam kesempatan

ini, terima kasih atas segala bantuannya.

Semoga bahan ajar ini bermanfaat untuk menambah wacana

keilmuan.Amiin.

Surakarta, Oktober 2016

Penulis

vi Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu

Page 8: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

(Derajat Keterwakilan Rakyat)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar v

Daftar Isi vii

Halaman

Bab I Negara Hukum ....................................................... 1-11

Bab II Negara Demokrasi .................................................. 12-21

Bab III Partai Politik Dan Rekrutmen Politik ....................... 22-30

Bab IV Sistem Pemilu Mempengaruhi Derajat Keterwakilan

Rakyat .................................................................... 31-82

Bab V Money Politic Dalam Perspektif Sosiologi Hukum .... 83-99

Daftar Pustaka .................................................................... 100

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu vii

Page 9: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

(Derajat Keterwakilan Rakyat)

viii

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu

Page 10: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

1

BAB I

NEGARA HUKUM

Negara hukum merujuk pada pengertian suatu negara yang

berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warga negaranya.

Dalam negara hukum, segala kewenangan dan tindakan alat-alat

perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan

hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Istilah rechtsstaat

yang diterjemahkan sebagai Negara hukum menurut Philipus

M.Hadjon mulai populer di Eropa sejak abad ke-19,meski pemikiran

tentang hal itu telah lama ada.1 Cita Negara hukum itu untuk pertama

kalinya di kemukakan oleh Plato dan kemudian pemikiran tersebut

dipertegas oleh Aristoteles.2 Menurut Aristoteles,yang memerintah

dalam suatu Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang

adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik atau buruknya suatu

hukum.Menurut Aristoteles,suatu Negara yang baik ialah Negara

yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ia

menyatakan:3

“Constitutional rule in a state is closely connected,also with the

requestion whether is better to be rulled by the best men or the

best law,since a goverrment in accordinace with law,accordingly

1 Philipus.M.Hadjon, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak

Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri

Martosoewignjo,Media Pratama,Jakarta,1996,hal.72

2 Ni’matul Huda,Negara Hukum,Demokrasi dan Judicial Riview,UII

Press,Yogyakarta,2005,hal.1

3 George Sabine, A History of Political Theory,George G.Harrap &

CO.Ltd.,London,1995,hal.92: juga Dahlan Thaib,Kedaulatan Rakyat ,Negara

Hukum dan Hak-hak Asai Manusia,hal.22

Page 11: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

2

the supremacy of law is accepted by Aristoteles as mark of good

state and not merely as an unfortunate neceesity.”

Artinya: Aturan konstutitusional dalam suatu Negara

berkaitan secara erat,juga dengan mempertanyakan kembali

apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun

atau hukum yang terbaik,selama pemerintahan menurut

hukum. Oleh sebab itu,supremasi hukum diterima oleh

Aristoteles sebagai pertanda Negara yang baik dan bukan

semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak.

Aristoteles juga mengemukakan tiga unsur dari pemerintahan

berkonstitusi. Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan

umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang

berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,bukan hukum yang dibuat

secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan

konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi yanga dilaksanakan

atas kehendak rakyat.4 Pemikiran Aristoteles tersebut diakui

merupakan cita Negara hukum yang dikenal sampai sekarang.

Bahkan, ketiga unsur itu hampir ditemukan dan dipraktikkan oleh

semua Negara yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Negara

hukum.

Konsep Negara hukum rechtsstaat di Eropa Kontinental sejak

semula didasarkan pada filsafat liberal yang individualistik. Ciri

individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran Negara hukum

menurut konsep Eropa Kontinental. Konsep rechtsstaat menurut

Philus M.Hardjon lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism,

sehingga sifatnya revolusioner.5

Adapun ciri-ciri rechtsstaat adalah sebagai berikut:6

1. Adanya Undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat

ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan

rakyat;

2. Adanya pembagian kekuasaan Negara;

3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

4 Ibid

5 Philipus M.Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,Bina

Ilmu Surabaya,1987,hal.72

6 Ni’matul Huda,Negara Hukum Demokrasi dan Judicial Review,UII Press

Yogyakarta,2005,hal.9

Page 12: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 13: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

12

BAB II

NEGARA DEMOKRASI

Indonesia adalah negara demokrasi maka prinsip dasar dalam

mengatur dan mengelola negara adalah kedaulatan berada di

tangan rakyat, itulah maka Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar

(selanjutnya disebut UUD) 1945 mengamanatkan “Kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Maka fungsi negara dalam negara demokrasi adalah pelayan

rakyat, dengan kedudukan sebagai regulator, fasilitator, dan

pelindung yang lemah. Sementara dalam negara otoriter kedudukan

negara adalah penguasa. Konsekuensi logis dari paham tersebut di

atas maka Undang-Undang yang mengatur tata laksana kedaulatan

rakyat dan hak-hak dasar rakyat lainnya haruslah memberi jaminan

bahwa dalam praktik penyelengaraan negara tidak boleh ada

penyimpangan, distorsi, penjegalan dan apalagi pemberangusan

serta penghilangan makna kedaulatan rakyat dan hak-hak dasar

milik rakyat itu sendiri.

Karena demokrasi adalah sebuah sistem maka pengaturan

sub-sub sistem demokrasi tidak bisa hanya menginduk ke UUD

semata, karena munculnya peran, fungsi dan tugas sebuah lembaga

demokrasi yang satu, sangat ditentukan oleh pilihan model dari

lembaga demokrasi yang lainnya, utamanya yang terkoneksi secara

langsung. Keberadaan DPR umpamanya, tidak bisa dilepas dari

pilihan model Pemilu. Sedang pilihan model Pemilu sangat ditentukan

pilihan sistem demokrasi, dan pilihan sistem demokrasi akan

menentukan model partai, dan model partai dari masing-masing

sistem demokrasi akan mempengaruhi sistem rekruitmen kader

yang bakal duduk di DPR dan Kabinet, dan seterusnya model partai

dan DPR akan menentukan pola interaksi dan komunikasi antara

rakyat dengan anggota DPR, antara DPR dengan Pemerintah, dan

antara rakyat dengan pemerintah. Sudah barang tentu keberadaan

Page 14: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

13

kabinet juga ditentukan model Pemilu.

Dalam demokrasi ada 2 model Pemilu, pada sistem presidensial

berlaku model Pemilu langsung dimana rakyat langsung memilih

orang, artinya yang dipercaya rakyat adalah orang yaitu presiden

dan anggota DPR, DPD dan DPRD. Sedang pada sistem parlementer

menggunakan model Pemilu tidak langsung, dimana rakyat dalam

Pemilu memilih partai, artinya yang dipercaya rakyat adalah partai.

Secara umum partai politik adalah suatu organisasi yang

disusun secara rapi dan stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang

secara sukarela dan mempunyai kesamaan kehendak, cita-cita,

dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari

dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum

untuk mewujudkan alternatif kebijakan atau program-program

yang telah mereka susun. Partai politik pada pokoknya mempunyai

fungsi antara lain, yaitu, (i) sebagai sarana komunikasi politik dari

pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya dari masyarakat

kepada pemerintah; (ii) sebagai sarana sosialisasi politik ataupun

pendidikan politik kepada masyarakat; (iii) sebagai sarana

rekrutmen politik untuk menduduki jabatan politik tertentu; (iv)

sebagai sarana untuk mengendalikan konflik, baik bersifat horisontal

antara masyarakat dengan masyarakat maupun bersifat vertikal

antara masyarakat dengan pemerintah.

Pasal 1 angka 1 UU 2/2011 menegaskan bahwa partai politik

adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan

membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan

negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena Pasal tersebut

menentukan bahwa partai politik merupakan organisasi yang bersifat

nasional maka partai politik yang dibentuk dan diakui sebagai partai

politik harus mempunyai kepengurusan secara bertingkat secara

nasional, yaitu tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/

kota, tingkat kecamatan dan/atau tingkat kelurahan/desa (Pasal

17 dan Pasal 18 UU 2/2011). Dengan demikian, partai politik akan

memadai sebagai wadah partisipasi masyarakat.

Page 15: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

22

BAB III

PARTAI POLITIK

DAN REKRUTMEN POLITIK

Partai politik dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah

2 (dua) hal yang saling berkaitan. Dimana untuk bisa duduk di

kursi pemerintahan diperlukan partai politik sebagai jembatan

penghubung dalam pemilihan umum. Carl J.Friedrich dalam Imam

Yudhi Prasetya mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok

manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau

mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan

partainya dan berdasarkan penguasaan tersebut memberikan manfaat

secara idiil dan materiil bagi anggota partainya. 22 Carr dalam Besty

Anindya Nur Azni berpendapat “political party is an organization that

attemps to achieve and maintain to control of government” yang artinya

partai politik adalah suatu organisasi yang berusaha mencapai dan

memelihara pengawasan terhadap pemerintah.23 Pengertian partai

politik menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik adalah:

Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk

oleh sekelompok warga negaraIndonesia secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkandan

22 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai

Politik. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011

23 Besty Anindya Nur Azni. Pola Rekrutmen Calon Anggota Legislatif: Studi Komparasi

an- tara Partai Amanat Nasional dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi: UNY Yogyakarta. Hlm. 21)

Page 16: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

23

membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan

negara, serta memeliharakeutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang DasarNegara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Partai politik didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Tujuan tersebut berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus yang terdiri dari:

a) Tujuan Umum

Tujuan umum dari didirikannya suatu partai politik adalah

tujuan yang berkaitan dengan tujuan negara.

1) Mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2) Menjaga dan memelihara keutuhan bangsa;

3) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan

Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat; dan

4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

b) Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari partai politik adalah tujuan yang hendak

dicapai dimana tujuan tersebut berasal dari dalam partai politik.

1) Meningkatkan partisipasi politik dari anggota dan masyarakat

dalam kegiatan penyelenggaraan pada bidang politik dan

pemerintahan;

2) Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan

3) Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hak dan kewajiban yang

dimiliki partai politik adalah:

a) Hak Partai Politik

1) Memperoleh kedudukan dan perlakuan yang sederajat, adil

dan sama dihadapan negara;

2) Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasinya secara

mandiri;

3) Memperoleh hak cipta atas lambang, nama dan gambar partai

politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

Page 17: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

24

4) Ikut serta dalam pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,

serta kepala daerah dan wakil kepala daerah;

5) Membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyarwaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/

Kota;

6) Mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

7) Mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya yang duduk

di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

8) Mengusulkan pemberhentian anggotanya yang duduk di

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah;

9) Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil

bupati serta calon walikota dan wakil walikota;

10) Membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik; dan

11) Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah.

b) Kewajiban Partai Politik

1) Mengamalkan Pancasila dan melaksanakan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan

perundang-undangan;

2) Mempelihara dan menjaga keutuhan negara;

3) Ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional bangsa;

4) Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak

asasi manusia;

5) Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi

politik anggotanya;

6) Ikut mensukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;

7) Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban anggota;

8) Menyusun pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan

jumlah sumbangan yang diterima serta diberitahuakan secara

terbuka kepada masyarakat;

9) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan

dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan

Page 18: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

25

Belanja Daerah kepada pemerintah setelah diperiksa oleh

Badan Pemeriksaan Keuangan;

10) Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum;

dan

11) Mensosialisasikan program.

c) Fungsi Partai Politik

Pendirian suatu partai politik akan memberikan fungsi atau

manfaat tersendiri bagi lingkup kehidupan masyarakat. Dimana

partai politik erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat

yang diperjuangkan melalui organisasinya tersebut. Menurut

Ramlan Surbakti terdapat 7 (tujuh) fungsi dari pendirian partai

politik, antara lain:

1) Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan

orientasi politik para anggota masyarakat agar masyarakat

memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik. 24

2) Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik merupakan seleksi dan pemilihan

atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok

orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem

politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. 25

Partai politik diharapkan melaksanakan proses kaderisasi

pemimpin maupun individu yang memiliki kemampuan

untuk menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan

jabatannya. Didalam demokrasi, meskipun individu disini

diberikan kesempatan yang sama untuk mencapai derajat

tertentu atau untuk mendapatkan suatu hal, tetap taat pada

undang-undang atau peraturan yang ada mengenai tata cara

individu dalam mencapai hal tersebut. Melalui partai politik,

individu-individu tersebut mendapatkan kemudahan dalam

mencapai tujuan yang hendak dicapai. 26

3) Partisipasi Politik

Kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses

24 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,

hlm.117

25 Ibid, Hlm.118

26 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal

Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011

Page 19: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

26

pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam

menentukan pemimpin pemerintahan. 27

4) Pemadu Kepentingan

Keadaan masyarakat modern yang semakin luas dan

kompleks membuat banyak ragam pendapat dan aspirasi

semakin berkembang. Masing-masing kelompok tertentu

memiliki banyak keberagaman pendapat, sehingga perlu

adanya suatu proses yang dinamakan penggabungan

kepentingan (interest aggregation). Setelah digabungkan,

pendapat dan aspirasi tersebut diolah dan dirumuskan dalam

bentuk yang lebih teratur (interest articulation). 28

5) Komunikasi Politik

Proses penyampaian informasi mengenai politik dari

pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada

pemerintah. 29

6) Pengendali Konflik

Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi

berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui berdialog

dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan

memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak

yang berkonflik serta membawa permasalahan kedalam

musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan

penyelesaian berupa keputusan politik.30

7) Kontrol Politik

Fungsi partai politik dalam kontrol politik adalah

sebagai kegiatan untuk menjamin kesalahan, kelemahan

dan penyimpangan dalam suatu kebijakan atau dalam

pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah. 31

27 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,

hlm.117

28 Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2008,

hlm.405

29 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,

hlm.117

30 Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik. Jurnal

Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol 1 No. 1 2011

31 Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta., 2007,

hlm.118

Page 20: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

27

Rekrutmen politik adalah proses dilibatkannya individu

atau kelompok individu dalam peran-peran politik secara aktif.32

Menurut Suharno dalam Besty, pengertian dari rekrutmen politik

merupakan proses pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga

politik termasuk partai politik dan administrasi orang-orang yang

menjalankan kekuasaan.33 Hafied dalam Besty berpendapat yang

berbeda dari kedua ahli diatas, menurut Hafied rekrutmen politik

dalah bagian dari sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah proses

memperkenalkan sistem politik kepada individu dan bagaimana

individu tersebut menentukan reaksi atas gejala-gejala politik yang

ada. 34 Berdasarkan penjelasan tentang pengertian dari rekrutmen

politik menurut para ahli, maka penulis dapat mengambil kesimpulan

bahwa rekrutmen politik adalah proses pemilihan individu-individu

untuk duduk pada jabatan politik tertentu, baik itu partai politik

maupun lembaga-lembaga politik.

Proses rekrutmen politik dibagi kedalam 3 (tiga) tahap, yaitu

sertifikasi, penominasian dan tahap pemilu.35 Tahap yang pertama

adalah sertifikasi dimana dilaksanakannya tahap pendefinisian

kriteria yang dapat masuk dalam kandidasi dengan didasarkan

pada aturan-aturan pemilihan, aturan-aturan partai dan norma

sosial informal. Pendominasian merupakan tahapan selanjutnya

setelah sertifikasi, yaitu ketersediaan calon yang memenuhi syarat

dan permintaan dari penyeleksi ketika memutuskan siapa yang

dinominasikan. Tahap yang terakhir adalah tahap pemilu yang

merupakan penetuan siapakah individu-individu yang memenangkan

pemilu.

32 Sigit, Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for

Democracy and Welfarism, Yogyakarta., 2011, hlm.91

33 Besty Anindya Nur Azni. Pola Rekrutmen Calon Anggota Legislatif: Studi Komparasi an-

tara Partai Amanat Nasional dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di Daerah

Istimewa Yogyakarta. Skripsi: UNY Yogyakarta. Hlm. 25)

34 Ibid

35 Sigit, Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, Institute for

Democracy and Welfarism, Yogyakarta., 2011, hlm.92

Page 21: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 22: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

31

BAB IV

SISTEM PEMILU

MEMPENGARUHI DERAJAT

KETERWAKILAN RAKYAT

A. Pemenuhan Derajat Keterwakilan Rakyat Dalam Sistem Per-

wakilan Di Indonesia

Sub bahasan pada makalah ini diawali dengan menganalisis

pemenuhan derajat keterwakilan rakyat dalam sistem perwakilan

di Indonesia. Kesimpulan dari bahasan ini akan menjawab

apakah pelaksanaan sistem perwakilan di Indonesia telah mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap wakil rakyat yang

representatif untuk mengaspirasikan kepentingan rakyat.

Terdapat tiga hal yang perlu dianalisis guna menjawab

persoalan diatas, yakni analisis aspek filosofis, yuridis normatif

dan empiris. Analisis pada aspek filosofis dilakukan dengan

mengkaji dasar-dasar filosofi sistem perwakilan di Indonesia,

analisis pada aspek yuridis dilakukan dengan mengkaji peraturan

perundang-undangan khususnya yang terkait dengan sistem

perwakilan, sedangkan analisis pada aspek empiris dilakukan

dengan mencermati fenomena dan isu yang berkembang di

masyarakat mengenai pelaksanaan demokrasi perwakilan di

Indonesia.

1. Analisis pada aspek Filosofis

Terdapat hubungan yang erat antara pemenuhan derajat

perwakilan rakyat dengan persepsi kedaulatan rakyat.

Logikanya, apabila kedaulatan rakyat dapat ditafsirkan

secara benar, maka terdapat keinginan yang kuat untuk

mewujudkannya, yakni salah satunya dengan sistem

Page 23: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

32

perwakilan. Implementasinya adalah sebuah sistem yang

mampu memenuhi derajat keterwakilan rakyat sehingga

semua golongan rakyat memiliki representasinya di lembaga

perwakilan rakyat.

Sebelum dibahas lebih jauh perlu kiranya kita mengkaji

kembali teori kedaulatan.36 Dalam bahasan ini, penulis

mengkaji teori kedaulatan rakyat yang menjadi pijakan dari

pelaksanaan demokrasi perwakilan. Teori kedaulatan rakyat

ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik

sejarah kekuasaan negara. Bagaimana mungkin rakyat

dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah

dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanya dilingkupi oleh

kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai

raja, maka pemikiran untuk menempatkan rakyat sebagai

penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu

pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian gagasan

kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam

36 Teori Kedaulatan dalam khazanah ilmu negara merupakan teori yang sangat

penting. Seluruh pembicaraan mengenai kekuasaan suatu institusi besar

yang disebut sebagai negara mau tidak mau harus membicarakan hal

ini dalam perkembangannya. Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas

sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan

tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapak teori kedaulatan rakyat ini

adalah Jean Jacques Rousseau yang menggemakan kekuasaan rakyat

lewat bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinya mengenai per-

janjian masyarakat (Kontrak sosial), ia menyatakan bahwa dalam suatu

negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat

memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal

ini melalui perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (general will

volonte generale). Volonte generale harus berdasarkan kepentingan dari

golongan yang terbanyak. Jadi apabila hanya kepentingan satu golongan

yang diutamakan, walaupun mendapat suara terbanyak (general), maka

bukan menjadi apa yang disebut kepentingan umum. Ajaran Rousseau

ini terlalu murni, sedangkan apa yang dikatakan oleh Rousseau sebagai

keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yang membawakan kepent-

ingan umum, tidak pasti selalu benar. Apa yang didukung oleh suara

terbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaran yang hendak

dikejar melainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah. Disinilah

letak penyelewengan dari sistem mayoritas yang tidak mengejar kebena-

ran lagi, melainkan mengejar kemenangan (Lihat: Ari Wahyudi Hertanto.

Aspek Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945 dalam Perspektif HAM.

Jakarta: Harian Umum Pelita, ed. Selasa 10 November 2015). (Lihat juga:

Soehino. 1980. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty. Hlm 121)

Page 24: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

33

diskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error

baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh

hampir seluruh negara di dunia. Arus deras demokrasi telah

merombak struktur monarkhi, minimal menjadi monarkhi

parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan

dengan sistem Republik Demokrasi.

Sejarah telah membuktikan tentang latar belakang

lahirnya teori kedaulatan rakyat berikut perkembangan

teori-teorinya yang terjadi. Semestinya pengundang-undang

turut menyikapi fakta-fakta tersebut secara bijak agar tidak

terjadi pemanfaatan kepentingan kelompok tertentu dalam

mencapai kekuasaan, maupun alasan lainnya.37

Pertama, penyelenggara negara harus memahami dulu

Pancasila sebagai philosophisce grondslag (dasar falsafah

negara) sehingga Pancasila menjadi panduan dalam

pengambilan kebijakan, putusan, dan pembuatan perundang-

undangan. Dengan demikian, Pancasila adalah domain bagi

eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam melaksanakan

amanah negara. Pembuatan peraturan perundang-undangan

harus dilihat apa dasar pembuatan UU tersebut dibuat.

Memahami akar filosofisnya, dasar sosiologisnya bagaimana,

yuridisnya mengatakan seperti apa. Kedalaman tiga hal ini

bisa dilacak dari naskah akademiknya. Sehingga bukan hanya

kacamata emosional-reaksioner dalam melihat fenomena yang

cepat berubah dengan dasar kalkulasi politik.

Kedua, nilai yang terkandung dalam Sila ke-4 Pancasila

adalah rakyat. Rakyatlah yang harus dimuliakan dan

kedaulatan rakyat haruslah dijunjung tinggi. Pada kursus

Pancasila yang membahas sila ke-4 di Istana Negara 3

September 1958, Presiden Soekarno menekankan bahwa

dalam alam keyakinan dan kepercayaan, kedaulatan rakyat

bukan sekedar teknis, tetapi juga secara kejiwaan, secara

psikologis nasional, secara kekeluargaan karena demokrasi

bagi kita.38

37 Ari Wahyudi Hertanto. Op.Cit

38 Diasma Sandi S. Makalah: Tafsir Sila ke-4 Pancasila. Makalah

disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada Berbasis Pancasila di

Jogjakarta

Page 25: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

36

Preambule UUD 1945 tertulis sejatinya “Republik Indonesia

yang berkedaulatan rakyat”, dimana orang menyebut suara

rakyat adalah suara Tuhan “vox populi vox Dei”. Para

penyelenggara Negara seharusnya mengutamakan suara

rakyat sebagai realisasi kedaulatan rakyat. Segala kebijakan

pemerintah harus merupakan pengejawantahan amanat

Daulat Rakyat, bukan sekedar Daulat Partai atau Daulat

Penguasa. Namun praktek-praktek politik praktis sering

dengan bangga dan arogan menyatakan dirinya mendominasi

kekuasaan negara dengan koalisi partai mayoritasnya. Koalisi

partai bahkan dengan tanpa malu mengatur pembagian kursi

pejabat, hingga beberapa Kementerian mempunyai Wakil

Menteri lebih dari dua Wamen. Lebih dari keperluan yang

sewajarnya. Dengan jelas terpampang bahwa disini Daulat

Partai koalisi lebih diutamakan. Dengan keadaan seperti ini

tidak mungkin tercapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.” Oligarki politik, oligarki ekonomi merupakan

anak kandung kapitalisme politik, rakyat hanya sebagai

pelengkap penderita karena suara nuraninya telah terbeli.

Demokrasi seyogyanya tidak untuk kepentingan partai saja,

tetapi seharusnya keberadaan partai adalah salah satu

pelaksanaan demokrasi.

Pembahasan mengenai derajat keterwakilan rakyat bukan

hanya sekedar membahas masalah sistem akan tetapi lebih

dari itu yakni tentang kemampuan dan kesanggupan calon

terpilih untuk mewakili kehendak rakyat. Disinilah letak

pemenuhan kedaulatan rakyat.

2. Analisis pada aspek Yuridis Normatif

Analisis pada aspek yuridis normatif, dimulai dengan

mengkaji pengaturan mengenai keterwakilan dalam konstitusi

yakni Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD NRI 1945), selanjutnya mengkaji Undang

Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR,

DPD dan DPRD .39

39 Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal

22C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pemilihan umum anggota De-

wan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dilaksanakan melalui pemilihan umum. Ketentuan lebih

Page 26: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

37

Konstitusi40, memiliki kehendak kuat untuk melaksanakan

demokrasi perwakilan guna mewujudkan kedaulatan rakyat.

Ketentuan mengenai Kedaulatan rakyat diatur dalam Pasal

1 ayat (2) UUD NRI 1945 Amandemen.

Menilik sejarah, Begitu banyak faktor dan kualifikasi

yang harus dimiliki oleh para perumus naskah UUD 1945

dalam memformulasikan kalimat dalam setiap pasalnya,

termasuk dan tidak terbatas pada Pasal 1 ayat (2) dimaksud,

yaitu yang menyebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan

rakyat. Sementara itu dalam versi amandemen disebutkan

kedaulatan berada di tangan rakyat. Sekilas memang kalimat

pasal versi amandemen lebih lugas dan tegas.

lanjut mengenai pemilihan umum, khususnya pemilihan umum calon

anggota legislatif diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. (Lihat: Irwan Anjalline

dkk. Pengaturan Dana Kampanye Pemilihan Umum Sebagai Tanggungjawab

Calon Anggota Legislatif berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 2012

tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. E-Jurnal Lentera Hukum,

Vol 1, No. 1. April 2014. Hlm.42). Termasuk dalam lembaga perwakilan,

adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan implementasi dari

demokrasi lokal. Pelaksanaan demokrasi lokal yang berkedaulatan rakyat

terlihat dengan jelas pada pengisian jabatan penyelenggara pemerintahan

daerah. Pasal 18 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa DPRD

dipilih melalui Pemilu, sedangkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

menentukan juga bahwa Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Dari

kedua ketentuan di atas, terlihat bahwa legal policy perubahan Pasal 18

UUD NRI Tahun 1945 menghendaki adanya demokratisasi di pemerintahan

daerah, yang secara tidak langsung menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Dengan rakyat diberikan hak untuk memilih anggota DPRD dan Kepala

Daerah yang merupakan penyelenggara pemerintahan daerah, maka secara

langsung rakyat diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam

pembangunan daerah. Dengan adanya partisipasi tersebut, maka menan-

dakan bahwa demokrasi daerah bisa terjamin adanya. (Lihat: Sofyan Hadi.

Fungsi Representative Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Sistem

Otonomi. Jurnal Ilmu Hukum. Vo. 9. No. 17. Februari 2013. Hlm. 48-49)

40 Penulis menyamakan istilah konstitusi dengan UUD. Sekalipun dalam lit-

eratur hukum dan politik di Indonesia ada saja pakar yangberkecenderun-

gan memebdakan keduanya. Konstitusi dianggap lebih luas dibandingkan

UUD karena menyangkut tidak saja ketentuan dasar yang tertulis tetapi

juga tidak tertulis. Lihat: Sri Soemantri Martosuwignyo, 1993, Prosedur

dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni. (Lihat juga:

Miriam Budiardjo, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia

Sarana Utama); (Lihat juga: Soehino, 2000, Sumber-Sumber Hukum Tata

Negara, Yogyakarta, Penerbit Liberty).

Page 27: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

38

Namun, timbul pertanyaan apakah rumusan tersebut

tidak memberikan suatu implikasi tersendiri pada konteks

pemahaman maupun interpretasi, yang kiranya dapat

menimbulkan suatu pemahaman baru atau peluang-peluang

tertentu. Yang ingin disampaikan dalam UUD 1945 adalah

berkaitan dengan hakekat kedaulatan rakyat yang sebenar-

benarnya, yaitu pada prinsipnya telah melekat pada dan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rakyat

Indonesia. Disamping itu bunyi dan sifat dari pasal tersebut

juga merupakan pencerminan deklarasi yang informatif

tentang sikap UUD 1945 terhadap arti kedaulatan.

Sedangkan substansi yang dirumuskan dalam perubahan

UUD 1945 tersebut memberikan pemaknaan yang sifatnya

mempertegas kedaulatan itu dan ditekankan pula bahwa

masing-masing rakyat memegang kedaulatan, dalam arti

harafiahnya adalah kekuasaan tertinggi berada ditangan

masing-masing rakyat yang diaktualisasikan secara mutlak.

Penulis hendak menyoroti mengenai pengaturan

kedaulatan rakyat oleh UUD NRI 1945 (amandemen).

Setelah tumbangnya rejim Soeharto pada tahun 1998 yang

didahului dengan demonstrasi mahasiswa secara besar-

besaran, sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 telah dilakukan

empat kali amandemen terhadap UUD NRI 1945. Keempat

amandemen tersebut merubah banyak hal, mulai dari sistem

pemerintahan hingga dimasukkannya beberapa ketentuan

Hak Azasi Manusia kedalam UUD NRI 1945. Termasuk yang

mengalami perubahan adalah Pasal 1 ayat (2) yang diubah

melalui amandemen ke tiga.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula menyatakan

bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan

amandemen ketiga, pasal tersebut dirubah hingga berbunyi:

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar.”

Dengan berubahnya bunyi Pasal 1 ayat (2) tersebut maka

MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat, bukan lagi

sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, atau lembaga

yang melakukan kedaulatan (atas nama) rakyat. Kedaulatan

tetap berada ditangan rakyat, hanya saja pelaksanaan

Page 28: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

39

kedaulatan tersebut (oleh rakyat) harus menurut Undang-

Undang Dasar. Sesungguhnya, anak kalimat terakhir ini

sangat aneh. Bagaimana mungkin kedaulatan rakyat dibatasi

oleh kebijakan yang merupakan produk dari wakil rakyat?

Apakah ini berarti kalau rakyat menghendaki perombakan

sistem kenegaraan, tetapi jika para wakil rakyat tidak

menghendakinya, maka perubahan tidak boleh dilakukan?

Pertanyaan ini muncul karena dalam Pasal 3 ayat (1) ditentukan

bahwa yang berwenang mengubah Undang-Undang Dasar

adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bahkan didalam

Pasal 37 ayat (5) ditentukan bahwa khusus tentang bentuk

Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan

perubahan. Ini berarti, bahwa walaupun rakyat menghendaki

perubahan, kalau MPR tidak menghendaki, maka perubahan

tidak boleh dilakukan. Bahkan, jika rakyat menghendaki

dilakukannya perubahan bentuk negara, karena hal itu

telah dilarang oleh Undang-Undang Dasar, maka tetap saja

perubahan tersebut tidak boleh dilakukan (tentu saja secara

konstitusional, bukan melalui jalan revolusi rakyat).

Kalau negara Indonesia masih ingin mengakui kedaulatan

rakyat, maka anak kalimat akhir dalam Pasal 1 ayat (2) UUD

RI yang berbunyi: “dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar,” harus dihilangkan. Sementara itu, Pasal

37 ayat (5) sama sekali harus dihilangkan, karena selain

berarti merampas kedaulatan rakyat, juga tidak berguna

sama sekali. Bagaimanapun juga, karena kewenangan untuk

mengubah UUD ada ditangan MPR., yang berarti termasuk

juga mengubah Pasal 37 ayat (5) (harap diingat, Pasal 3 ayat

(1) berlaku untuk semua pasal, karena tidak mengecualikan

Pasal 37 ayat (5)), maka adanya ketentuan dalam Pasal 37

ayat (5) yang berupa larangan untuk mengubah bentuk

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tidak berguna.

Larangan dalam ayat tersebut merupakan kesia-siaan, yang

hanya akan menambah bunyi-bunyian tanpa makna, dan

menambah tinta untuk menulis kalimat yang tak berarti.41

Selanjutnya, mencermati Undang-undang No. 8 tahun

2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD,

ada beberapa catatan terhadap perumusan dalam undang-

undang tersebut, utamanya terkait pemenuhan derajat

keterwakilan rakyat yakni catatan pada aspek keterwakilan,

aspek alokasi kursi DPR dan Daerah Pemilihan, serta

Page 29: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

40

dominasi kekuasaan partai politik.

Pada bab III undang-undang ini menjelaskan mengenai peserta dan persyaratan mengikuti pemilu. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan. Itu artinya Indonesia menganut sistem bikameral. Peserta pemilu dari partai politik adalah calon legislatif yang akan duduk di DPR sebagai perwakilan politik untuk mewakili kepentingan penduduk, sementara calon legislatif dari perseorangan yang duduk di DPD42 mewakili kepentingan daerah, sehingga dengan begitu ada aspek keterwakilan kepentingan daerah.

Kita mengetahui distribusi penduduk menurut wilayah

di Indonesia sangat pincang. Struktur penduduk dan pola

geografi yang dimiliki Indonesia dengan komposisi sekitar 60%

penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, tetapi lebih dari

90% wilayah Indonesia berada di luar pulau Jawa. Sehingga

anggota DPR yang berasal dari pulau Jawa akan lebih banyak

daripada yang berasal dari luar pulau Jawa. Sebaliknya

anggota DPD yang berasal dari luar pulau Jawa akan

lebih banyak daripada yang berasal dari Jawa. Pulau Jawa

kaya akan jumlah penduduk atau sumber daya manusia,

sementara luar pulau Jawa kaya akan sumber daya alam.

Sebetulnya, jika melihat komposisi tersebut, tampak

bahwa sistem bikameral berupaya memberikan jaminan check

and balances diantara kedua lembaga perwakilan rakyat

tersebut. Dan hal ini dalam situasi geografis Indonesia saat ini

tentu sangat mampu menjawab sejumlah kelemahan maupun

ketimpangan jumlah penduduk dengan besar wilayah yang

ada di Indonesia. Akan tetapi sistem ini juga mengandung

kelemahan terkait dengan derajat keterwakilan rakyat

yakni dilihat dari anggota legislatif dari aspek keterwakilan

penduduk.

41 Hadi Wahono. Amandemen UUD: Mengembalikan Kedaulatan di tangan rakyat ?. http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/amandemen-uud-

mengembalikan-kedaulatan.html diakses 11 Februari 2015

42 Lihat: Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI 1945 sebagai dasar konstitu- sional kedudukan DPD, lihat juga: Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengatur lebih jelas berkaitan dengan susunan dan kedudukan DPD. Berbicara mengenai kedudukan DPD sebagai lembaga perwakilan, hal ini tidak mungkin dilepaskan dari konsepsi demokrasi.

Page 30: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

41

Catatan selanjutnya untuk Undang-undang ini adalah

terkait keterwakilan perempuan pada pencalonan anggota

legislatif. Pasal 55 mengatur bahwa Daftar bakal calon

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit

30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.44

Terdapat dua permasalahan yang dianalisis dalam pasal

ini, pertama terkait dengan ketegasan berupa konsekuensi

hukum terhadap pasal ini, dan kedua terkait dengan konsep

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% ini.

Pertama, ketegasan berupa konsekuensi hukum. Pasal

ini hanya berhenti pada klausula, dan tampak jelas bahwa

sifatnya hanya anjuran. Tidak ada sanksi pidana terhadap

partai politik jika ada yang melanggar ketentuan ini. Jika

pembuat undang-undang menghendaki adanya keseriusan

pelaksanaan ketentuan ini, maka harusnyamerumuskan

pula sanksi hukum yang tegas sehingga dengan begitu akan

tampak kewibawaan hukum pada pelaksanaan ketentuan

ini. Tidak adanya sanksi hukum mengakibatkan “pelecehan”

43 Mekanismen pencalonan anggota legislatif pada pemilu 1999 diatur

secara detail mulai dari Pasal 41 hingga 45. Terkait dengan pencalonan

anggota legislatif pada pemilu ini sepenuhnya menjadi kewenangan

partai politik, kemudian dalam Partai Politik Peserta Pemilihan Umum

dapat mengajukan nama nama calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II,

sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali jumlah kursi yang telah ditetapkan dan

penetapan nomor urut calon sepenuhnya menjadi kewenangan DPP partai

politik. Ketentuan yang mengatur tentang pencalonan anggota legislatif

pada pemilu 2004 terdapat dalam pasal 60 hingga 70 Undang-undang

No 12 tahun 2003. Pada pe- milu ini ada anggota legislatif yang berasal

dari unsur partai yaitu DPR dan DPRD serta calon persorangan atau

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana setiap provinsi terdiri dari 4

orang. Pada pemilu tahun 2004 ini selain munculnya calon

perseorangan ada kewajiban partai politik untuk memperhatikan

keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pengajuan calon

angggota legislatif. Pemilu 2009 juga terjadi perbaikkan dalam proses

pengajuan calon anggota legislatif dimana selain ada calon dari partai

dan calon perseorang, dalam pemilu secara tegas diatur menge- nai kuota

30% keterwakilan perempuan, dimana dari tiga orang calon yang diajukan

partai politik harus ada minimal satu orang calon perempuan. (baca:

Bismar Arianto. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2

Tahun 2011. Hlm. 136)

Page 31: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

42

partai politik terhadap realisasi ketentuan ini. Nyata, bahwa

ketentuan dalam pasal ini tidak implementatif.

Kedua, terkait dengan konsep keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30%. Sudah menjadi pemahaman

umum bahwa latar belakang munculnya pasal ini adalah

penyamaan derajat perempuan dalam politik. Akan tetapi jika

dicermati, munculnya angka 30% justru menjadi kontradiktif

terhadap semangat munculnya pasal ini. Menurut hemat

penulis, angka-angka seperti ini tidak perlu muncul dalam

persyaratan pemilu. Ada logika yang sepertinya perlu dibenahi

bahwa parameter “mewakili” dan “memperjuangkan” itu

bukan karena jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan,

tetapi lebih karena kompetensinya, dan kredibilitasnya.

Dengan demikian, ketentuan klausul “keterwakilan

perempuan sekurang-kurangnya 30%” perlu dibenahi,

bahkan perlu dihapus. Sehingga bisa saja terjadi komposisi

laki-laki lebih banyak daripada perempuan, atau sebaliknya

perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Ini persoalan

kemauan, kemampuan, intergritas, kapasitas dan kompetensi.

Page 32: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 33: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

48

3. Analisis pada aspek Empiris

Pada tataran empiris, penulis hendak menyajikan beberapa

survey pendapat masyarakat mengenai representasi wakil rakyat

dan persoalan yang dihadapi masyarakat dan negara ini terkait

dengan derajat keterwakilan rakyat dalam sistem perwakilan di

Indonesia.

Dalam survei Pol-Tracking Institute, Direktur Riset Pol-Tracking

Institute mengatakan bahwa DPR kembali mendapat nilai merah

dari masyarakat. Survei terhadap 2010 responden di 33 provinsi

ini mengungkapkan hanya sekitar 12,64 persen masyarakat yang

puas dengan kinerja para wakil rakyat di parlemen. Sisanya 61,85

persen dari responden menilai kinerja parlemen tidak baik.46

Tahun 2013 Publica Research and Consulting menggelar survei

terhadap kinerja anggota DPR. Diberitakan oleh Kompas.com, hasil

survei ini menyatakan bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia

menganggap anggota DPR lebih mewakili partai daripada suara

rakyat. Dari hasil survei, 84,1 persen responden menilai anggota

DPR hanya mewakili partai masing-masing. Hanya sejumlah 8,4

persen dari responden yang mengatakan bahwa anggota DPR

mewakili rakyat.

Di sisi lain, survei juga mengatakan bahwa 53,6 persen dari

responden berpendapat bahwa tidak ada satupun dari partai

politik yang mau peduli terhadap kepentingan masyarakat.

Penilaian publik terhadap partai politik tersebut tidak sampai

menyentuh jumlah 10 persen dari total responden. Untuk

penilaian kepedulian partai politik ini Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan mendapatkan dukungan tertinggi dengan 8,2 persen,

disusul dengan Partai Demokrat yang memperoleh 6,8 persen

dukungan. Sedangkan PKS, Partai Golkar, Partai Hanura, PAN,

PPP, dan PKB mendapat penilaian kepedulian kurang dari lima

persen responden. Survei yang digelar oleh lembaga survei itu

diadakan pada tanggal 18 hingga 21 Februari 2013 lalu. Mayoritas

dari para responden survei belum menentukan pilihan pada Pemilu

2014 nanti. Dari hasil survei tersebut juga didapat bahwa sebanyak

7,2 persen responden sudah menetapkan pilihan terhadap PDI-P,

6,2 persen telah memilih Partai Demokrat, dan 6 persen memilih

44 http://www.jpnn.com/read/2013/10/20/196629/Kinerja-DPR-Kembali-

Dinilai-Buruk-dalam-Survei- diakses 12 Februari 2015

Page 34: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

49

Partai Gerindra. Survei tersebut diikuti oleh 1.300 responden

dengan rentang kesalahan kurang lebih 2,8 persen dan tingkat

kepercayaan 95 persen. Hasil penelitan juga mengatakan bahwa

responden survei tersebut merasa tidak puas terhadap kinerja

anggota Dewan. Sedangkan untuk kerja legislasi, ketidakpuasan

dinyatakan oleh 35,1 persen responden, penyusunan anggaran

oleh 36,5 persen, pengawasan kinerja Pemerintah 30,8 persen,

dan mewakili kepentingan rakyat 39,5 persen.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai politik.

Partai Politik adalah organisasi infra struktur politik yang

bertujuan memperoleh kekuasaan secara konstitusional.

Anggota partai politik yang biasa disebut politisi atau kader

adalah sekumpulan orang yang memiliki visi misi dan

kepentingan yang sama.

Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang

dilakukan dari 5 hingga 10 September 2011 terhadap 1.200

responden di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode

multistage random sampling menyatakan bahwa pada tahun

2011, penilaian responden yang menyatakan kerja politisi

baik hanya sebesar 23.4 persen, 51.3 persen diantaranya

menilai kerja politisi sangat buruk.47 Diskursus kaderisasi

partai politik belum mampu menjadi solusi. Salah satu faktor

penyebab adalah diskursus kaderisasi parpol tidak berjalan

sesuai dengan arah tujuannya dan menyimpang dari hakikat

negara serta berkurangnya rasa nasionalisme.

Survei nasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Riset

Informasi (LRI) pada bulan Desember 2007 lalu (johanspolling)

berusaha memotret peran partai politik di dalam menjalankan

fungsinya sebagai agen demokrasi. Peranan ketua umum

tujuh partai politik yang selama ini mendominasi peta politik

nasional dalam melakukan kaderisasi di partai politik yang

mereka pimpin dijadikan tolok ukur keberhasilan proses

kaderisasi pemimpin nasional di Indonesia.

Di dalam survei ini, responden diminta untuk memberikan

penilaian terhadap peranan yang dimainkan oleh ketua

45 sumber: http://www.pelitaonline.com diakses 10 Juli 2015

Page 35: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

50

umum partai politik dalam melakukan kaderisasi pemimpin

nasional (1 nilai terburuk, 9 nilai terbaik).

(Sumber: http://qisai-indo.blogspot.com)

Mayoritas responden memberikan nilai rendah kepada

semua ketua umum partai politik (tujuh partai politik:

Partai Golkar, PDIP, PKB, PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat)

dalam mempersiapkan kader pimpinan nasional melalui

partai politik yang mereka dipimpin. Meskipun survei

yang dilakukan oleh LRI ini adalah snapshot survey, tetapi

dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi

kemacetan proses kaderisasi di dalam partai politik sehingga

menimbulkan krisis kepemimpinan nasional. Inilah yang

menyebabkan langkanya pemimpin nasional alternatif yang

bisa dipilih rakyat.

Page 36: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

51

B. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia dalam Memenuhi Derajat

Keterwakilan Rakyat

Pemilihan umum dianggap sebagai prosedur utama bagi

operasionalisasi demokrasi, namun kenyataannya pemilu tidak

selalu menjadi alat pendorong keberlangsungan demokrasi di

suatu negara. Pemilihan umum ternyata juga dipakai sebagai

alat untuk kepentingan non demokrasi, bahkan kemudian jauh

dari interpretasi kedaulatan rakyat.60

Pada sub bahasan ini, penulis akan menganalisis apakah sistem

pemilihan umum di Indonesia61 telah mampu memenuhi derajat

keterwakilan rakyat. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu dikaji untuk

menjawab permasalahan ini. Pertama, analisis korelasi sistem

pemilihan umum dan derajat keterwakilan rakyat. Kedua,

permasalahan pada tataran yuridis politis terkait pemenuhan

derajat keterwakilan rakyat oleh sistem pemilu yang dianut di

Indonesia. Ketiga, permasalahan pada tataran empiris terkait

pemenuhan derajat keterwakilan rakyat oleh sistem pemilu yang

dianut di Indonesia.

Pertama, mengenai korelasi sistem pemilihan umum dan

derajat keterwakilan rakyat. Konsekuensi dari dianutnya

kedaulatan rakyat/ demokrasi maka harus ada pemilihan umum

untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen, baik

pada parlemen pusat maupun pada parlemen daerah. 62Sistem

46 http://04locker.blogspot.com/2010/10/representasi-politik.html diakses

12 Februari 2015

47 Fitra Arsil. Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa. Jurnal

Legislasi Indonesia Vol. 9 No 4 Desember 2012.Hlm. 567)

48 Pada masa Orde Baru, pemilu 1971, 1982, 1987, 1992, dan 1997 meng-

gunakan sistem proporsional (tertutup), akibatnya hampir dapat dipastikan

bahwa anggota legislatif terpilih karena posisi nomor urut kecil yang ban-

yak ditentukan oleh pimpinan partai politik. Pada masa transisi, pemilu

1999 juga menggunakan sistem proporsional (tertutup), sehingga keter-

pilihan anggota legislatif banyak ditentukan oleh pimpinan partai politik.

Pasca perubahan UUD 1945, pemilu anggota DPR dan DPRD tahun 2004

menggunakan sistem proporsional terbuka (terbatas), harapannya pemilu

tahun ini bisa memunculkan banyak anggota legilatif yang terpilih karena

dukungan langsung dari rakyat, akan tetapi BPP yang tinggi menyebabkan

hampir semua anggota legislatif (DPR) terpilih karena posisi nomor urut

yang kecil. Pemilu untuk memilih anggota DPD menggunakan sistem distrik

banyak, namun lemahnya kewenangan DPD dalam UUD dan UU menye-

Page 37: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

52

babkan anggota DPD tidak dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat

yang memilihnya. Pada pemilu 2009, menggunakan sistem proporsional

terbuka (terbatas), namun melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008,

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 214 UU No. 10 tahun 2008,

konsekuensinya ialah bahwa pemilu dilaksanakan menggunakan sistem

proporsional terbuka (sepenuhnya) atau dengan suara terbanyak. (Lihat:

Anwar C. Analisis terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di

Page 38: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

53

Indonesia. Hlm 19). Begitu pula pada pemilu 2014, dilaksanakan dengan

sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.

49 Anwar C. Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di In-

donesia. Jurnal Konstitusi Puskasi FH Universitas Widyagama Malang Vol.

II Nomor 1, Juni 2009. Hlm.7. Terdapat 5 (lima) hal yang mempengaruhi

pemilih dalam menentukan siapa yang dipilihnya, yakni Political issue, So-

cial Imagery. Epistemic Value, Situational Contigency, Candidate Personality.

Kelima hal tersebut menjadi pertimbangan pemilih dalam menentukan pili-

han terhadap kandidatnya. Isu-isu politik apa yang sedang menjadi konsen

mayoritas pemilih hendaknya bisa ditangkap oleh kandidat dan timnya,

dan kemudian dijadikan isu yang dipromisikan untuk mempengaruhi pili-

han pemilih. Misalnya ketika pemilih sedang memperbincangkan isu dana

pendidikan 20%, maka kandidat harus menjadikan isu yang sedang diper-

bincangkan mayoritas pemilih tersebut isu dalam melakukan kampanye

pemilih. Selanjutnya komponen social imagery, bagaimana kandidat akan

dicitrakan sehingga mampu menarik pemilih. Kandidat mengasosiasikan

diri dengan pemilih. Komponen situational contigency merepresentasikan

bahwa pikiran pemilih dapat diubah dengan meyakinkan kepada pemilih

bahwa kandidat akan bisa merubah situasi yang ada sekarang ke dalam

sebuah situasi yang lebih baik. Komponen yang lain yang bisa untuk me-

narik pemilih adalah personality kandidat, misalnya Clinton mengklaim

bahwa dirinya merupakan orang yang mampu mewujudkan mimpi-mimpi

orang Amerika. (baca juga: Tri Hastuti. Pentingnya memahami Perilaku

Politik dalam Political Marketing. Jurnal Komunikator. Vol 1, No.1 Yogya-

karta Mei 2009. Hlm. 11). Selain itu, ada juga teori yang berkaitan dengan

perilaku pemilih, Tiga pendekatan teori yang seringkali digunakan oleh para

sarjana untuk memahami perilaku pemilih yakni, pendekatan sosiologis,

pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional (rational choice

theory). (baca: Leo Agustino, Moh. Agus Yusoff. Pemilu dan Perilaku Pe-

milih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Jurnal Poelitik Vol.

5 No 1 tahun 2009. Hlm. 422)

Page 39: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

54

pemilu di Indonesia tidak hanya semata-mata dilihat pada

pilihan antara sistem distrik dengan sistem proporsional, akan

tetapi harus memperhatikan kaitannya dengan perwujudan

kedaulatan rakyat. Untuk itu, maka dalam penerapannya

sistem pemilu tidak bersifat konstan, sebab akan dipengaruhi

oleh banyak faktor atau berbagai unsur kepentingan. Sistem

pemilu apapun yang diterapkan akan diinterperetasikan

sedemikian rupa supaya membawa keuntungan, baik bagi

kekuatan pro demokratisasi maupun pro status quo. Dengan

demikian, sistem pemilu apapun yang dipilih pada akhirnya

baik tidaknya tergantung pada pelaksanaannya. Oleh karena itu,

maka dimungkinkan diterapkannya sistem campuran dengan

menggabungkan kelebihan masing-masing. Dengan demikian,

pemilu merupakan paradigma dari sebuah sistem politik yang

demokratis, dalam arti lembaga-lembaga pemilu dan badan

legislatif yang dihasilkannya merupakan penghubung yang sah

antara rakyat dan pemerintah dalam suatu masyarakat modern.

Oleh karena itu, pemilu adalah merupakan alat (tool) yang utama

bagi rakyat untuk “mengartikulasikan” dan “mengagregasikan”

kepentingan mereka. Proses pengangkatan wakil-wakil itu

dilakukan melalui suatu pemilihan umum (general election)

yang modelnya bervariasi, seperti sistem distrik (single member

constituency), sistem proporsional (multi member constituency)

atau campuran antara keduanya63

Sebuah sistem pemilu dirancang untuk melakukan 3 (tiga)

tugas utama:

Pertama, berperan sebagai saluran tempat rakyat bisa meminta

pertanggungjawaban wakil-wakilnya. Kedua, menerjemahkan

pilihan yang diberikan rakyat menjadi kursi yang dimenangkan

dalam lembaga legislatif. Sistem tersebut bisa condong kepada

proporsionalitas antara perolehan suara dan kursi yang

dimenangkan, atau ia bisa mengarahkan pilihan bagaimanapun

terfragmentasinya diantara partai-partai menjadi sebuah

parlemen yang mencakup dua partai yang mewakili pandangan

yang berbeda. Ketiga, sistem pemilu yang lain membentuk batas-

batas diskursus politik yang “bisa diterima” dalam cara-cara yang

50 Marzuki. 2007. Disertasi: Pengaruh Sistem pemilihan Umum Terhadap

Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera

Utara.

Page 40: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

55

berbeda, dan memberikan insentif bagi mereka yang berkompetisi

untuk “mengiklankan” dirinya kepada para pemilih dengan cara-

cara tertentu.64

Terlihat korelasi antara sistem pemilu dengan derajat

keterwakilan rakyat dalam kehidupan bernegara, khususnya

melalui lembaga perwakilan rakyat. Di dalam sistem pemilu yang

memperhitungkan keterkaitan antara wakil dengan konstituennya

atau yang memperhitungkan wakil-wakil realnya yang tercantum

dalam daftar calon dengan para pemilihnya, akan membawa

konsekuensi perhatian atau porsi aktivitas yang lebih besar

yang harus diberikan oleh wakil rakyat kepada konstituennya,

sesuai dengan predikatnya sebagai lembaga perwakilan rakyat.65

Dalam hubungan ini dikaji teori yang dianut di Indonesia sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyangkut

hubungan wakil dengan yang diwakili, sehingga dapat diperoleh

latar belakang keberadaan wakil rakyat dengan yang diwakili,

dalam hal wakil rakyat bertindak sebagai wakil guna menampung

dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Konsep

keterwakilan (representation) dalam sistem perwakilan terdiri

dari dua jenis, yaitu keterwakilan dalam gagasan (representation

in ideas) dan keterwakilan dalam kehadiran (representation in

presence).66

Derajat keterwakilan penduduk di badan legislatif melalui

partai politik peserta pemilu pada dasarnya merupakan

keterwakilan dalam gagasan. Disebut keterwakilan dalam gagasan

kaerna pemilihan (oleh rakyat) terhadap partai politik atau calon

legislatif dari partai politik semata-mata didasarkan atas program,

preferensi, dan aspirasi politik yang mereka ajukan yang disetujui

rakyat yang memilihnya. Keterwakilan dalam gagasan ini dinilai

memiliki kelemahan karena partai politik peserta pemilu atau

wakil rakyat hanya mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat.

Sedangkan keterwakilan kehadiran, mengharapkan keberadaan

51 Peter harris dan Ben reilly (Eds). 2000. Demokrasi dan Konflik yang

men- gakar: Sejumlah pilihan untuk negosiator. Jakarta: International

IDEA. Hlm. 194

52 Marzuki. Op.Cit.

53 Ramlan Surbakti. Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi

Hubun- gan dan Distribusi Kekuasaan dalam Maruto M.D. dan Anwari

WMK (Eds). 2002. Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala

dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES. Hlm. 49

Page 41: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

56

wakil yang benar-benar merupakan wakil dari rakyat yang bisa

dilihat dari keberadaanya.

Pemilihan umum merupakan institusi pokok pemerintahan

perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara

demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas

persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama

untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi

wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan

umum yang bebas dan jujur, khususnya untuk memilih lembaga

perwakilan rakyat. Bahkan di negara yang tidak menjunjung nilai

demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi

corak legitimasi kekuasaan (otoritas).

Hal ini berarti pemilihan umum berhubungan erat dengan

prinsip demokrasi dan negara hukum sebagai prinsip-

prinsip fundamental dalam negara modern. Pemilihan umum

berhubungan erat dengan demokrasi karena sebenarnya

pemilihan umum merupakan salah satu sarana mewujudkan

demokrasi. Di dalam negara demokrasi, derajat keterwakilan

rakyat harus diperhatikan. Hak-hak rakyat untuk menentukan

haluan negara dilakukan oleh sebahagian kecil dari seluruh rakyat

yang berkedudukan sebagai wakil rakyat dan yang menempati

lembaga perwakilan yang biasa disebut parlemen. Oleh karena

anggota-anggota parlemen merupakan wakil rakyat, idealnya

semua orang yang duduk pada lembaga tersebut haruslah dipilih

sendiri oleh rakyat yang diwakilinya melalui pemilu yang secara

hukum dapat dinilai adil.

Penulis akan mengulas mengenai macam-macam sistem

pemilu dengan kelebihan dan kelemahannya. Secara umum

sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu

sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem

pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat

mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu

yang sama. Sedangkan sistem pemilihan organis menempatkan

rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama

dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan

geneologis (rumah tangga, keluarga) fungsi tertentu (ekonomi,

industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan

lembaga-lembaga sosial (universitas).

Page 42: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

73

C. Upaya Perbaikan Sistem Pemilihan Umum Agar Memenuhi

Derajat Keterwakilan Rakyat

Pada bahasan ini, penulis menyajikan upaya-upaya yang

dilakukan dalam perbaikan sistem pemilu guna memenuhi

derajat keterwakilan rakyat.

Sistem yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan

sebuah sistem Pemilu yang, pertama,akuntabel dan memiliki

derajat keterwakilan yang tinggi, sehingga memperoleh legitimasi

kuat dari rakyat. Kedua,sistem Pemilu juga merupakan sebuah

rekayasa politik untuk menghasilkan lembaga perwakilan yang

representatif atau menghasilkan pemimpin yang responsibel

dan cakap. Ketiga, sistem yang kompatibel, diharapkan dapat

menghasilkan sebuah proses demokrasi yang substantif.

Selanjutnya ketika sebuah sistem pemilu dipilih, maka harus

terimplementasikan dalam praktek.73

Penciptaan ketiga kondisi diatas dapat dilakukan dengan

upaya pada tataran regulasi dan implementasi. Pada tataran

regulasi perlu perbaikan undang-undang pemilu, perlu dilakukan

pengaturan tentang penyederhanaan partai politik secara

bertahap sesuai aspirasi masyarakat.74 Hal ini sesuai dengan

hasil survei yang menunjukkan masyarakat menghendaki jumlah

politik yang tidak terlalu banyak, 5-6 partai politik. Oleh karena

itu, ambang parlemen (parliament threshold) perlu diterapkan

di semua level dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/

kota.

Selanjutnya, perlu formulasi tentang sistem pemilu yang ideal

bagi Indonesia. Salah satu aspek meningkatkan derajat

keterwakilan wakil rakyat hasil Pemilu adalah melalui rekayasa

sistem Pemilu yang dituangkan dalam sebuah regulasi. Sistem

Pemilu akan memberikan penekanan kepada bagaimana cara

memilih wakil rakyat yang disesuaikan dengan kondisi sosial

politik serta budaya politik masyarakat di suatu negara. Sistem

proporsional memiliki kelebihan utama yaitu meminimalkan suara

rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi serta memberikan

peluang bagi lebih besar partai politik kelas menengah untuk

memperoleh kursi di DPR. Sebaliknya, sistem mayoritas-pluralitas

yang dikenal dengan sistem distrik mempunyai kelebihan, karena

wakil rakyat terpilih memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan

konstituen.

Page 43: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

74

Sistem proporsional bisa menghasilkan wakil rakyat yang

lebih tinggi derajat keterwakilannya. Salah satunya adalah

dengan membuat Daerah Pemilihan (districting) yang lebih kecil,

sehingga para wakil rakyat di daerah pemilihan tersebut bisa

lebih mudah menjangkau konstituennya. Sebaliknya, rakyat di

daerah pemilihan tersebut bisa lebih jelas kepada siapa mereka

meminta dan menyalurkan aspirasinya baik untuk tingkat DPR

maupun DPRD.

Sistem pemilu sebenarnya merupakan sesuatu yang penting,

tetapi hanya merupakan ”satu aspek teknis” dari keseluruhan

proses pemilu. Sistem pemilu hanya menunjuk dua elemen

dalam ”ritual” pemilu, yaitu: bagaimana teknik memilih dan

bagaimana teknik penghitungan suara. Dalam kerangka ini,

sekalipun perubahan atau perbaikan sistem pemilu merupakan

pekerjaan yang penting, tetapi ia bukanlah obat yang mujarab

untuk menyembuhkan seluruh ”borok” pemilu. Sayangnya,

dalam semesta diskusi tentang sistem pemilu kerapkali terjebak

pada dikotomi dua sistem besar proporsional dan distrik tanpa

masuk ke varian-varian kedua sistem itu. Artinya perhatian

terlalu banyak diarahkan pada pembahasan sistem pemilu dan

gagal melihat substansi. Padahal pemilu dengan sistem apapun,

hanya merupakan instrumen untuk mewujudkan pemerintahan

yang representatif dan legitimet dilihat dari sudut menegakkan

demokrasi. Jadi intinya terletak pada pembangunan demokrasi

dan memaksimalkan fungsi representasi. Oleh karena itu,

jika mau mencari sistem pemilu yang tepat, terlebih dahulu

perlu dipahami makna demokrasi dan fungsi representasi yang

bagaimana yang ingin diwujudkan.

54 Marzuki Alie. 2013. Makalah: Penataan Sistem Politik dan Otonomi Daerah

55 Kebijakan penyederhanaan kepartaian dimulai pada 31 Desember

1959 saat Presiden Soekarno mengeluarkan Penpres Nomor 7 Tahun

1959 ten- tang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Muchamad

Ali Safa’at. 2009. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis

Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004).

Disertasi UI Jakarta. Hlm. 157)

Page 44: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

83

BAB V

MONEY POLITIC

DALAM PERSPEKTIF

SOSIOLOGI HUKUM

A. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Money Politic Pada

Pilihan Legislatif Tahun 2014 di Surakarta Dalam Perspektif

Sosiologi Hukum

Faktor yang mempengaruhi terjadinya money politic pada

pilihan legislatif tahun 2014 dapat dikaji dalam perspektif

Sosiologi Hukum.78

56 Pembentukan sosiologi hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat

hukum dan sosiologi. Sosiologi hukum merupakan salah satu cabang

khusus dari sosiologi, sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya

khusus ke- pada ikhwal ketertiban sosial. Kajian-kajian sosiologi hukum

dalam hal ini mampu untuk memberikan kontribusi yang cukup bagi

perkembangan ilmu hukum (baca Yesmil Anwar dan Adang.2008.

Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Grasindo. Hlm 126-127)

Sosiologi hukum hanya berurusan dengan fakta yang diamati (observable

facts) dan tidak memikirkan tentang adanya tujuan hukum, maksud dan

nilai hukum. (baca: Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum:

Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah. Sura- karta: UMS Press).

Sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi sintesa antara hukum

sebagai organisasi sosial dan sebagai sarana keadilan. Dalam fungsinya

itu, hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi

hukum. Selain hal itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa,

kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang peneran- gan

pengkaidahan (baca: Soerjono Soekanto. 2003. Pokok-Pokok Sosiologi

Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm 25-26). Sosiologi hukum

dapat memberikan kemampuan untuk menganalisis aktivitas kegiatan

dalam masyarakat berhukum melalui penguasaan konsep-konsep dasar

sosiologi (baik secara mikro, meso, ataupun makrososiologi hukumnya)

(baca: Sabian Utsman. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. 2009. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. hlm. 112). Sosiolog akan memperlakukan fakta sosial

itu sebagai obyek yang diamati, dipahami, dideskripsikan, dianalisis dan

Page 45: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

84

Dalam pemilihan legislatif, banyak terjadinya perbuatan

politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan

peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics

banyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan nasional serta

juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik.

Masyarakat umum memahami politik uang sebagai praktik

pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu,

kepada seseorang atau massa secara berkelompok atau individual,

untuk mendapatkan keuntungan politis. Artinya, tindakan politik

uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku.

Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang

diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya

didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka

memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga

negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang,

satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan

politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya

ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.

Dalam teori Kausalitas dikatakan bahwa ada akibat karena

ada sebab, begitu juga permasalahan yang satu ini, pasti ada

penyebab atau latar belakang dari terjadinya Money Politic di

Indonesia yang telah mencoreng esensi dari demokrasi.

Berdasar hasil penelitian di Surakarta, juga terdapat Money

Politic pada proses pemilihan anggota legislatif Surakarta.

Penelitian dilakukan dengan observasi langsung, dan wawancara

dengan masyarakat setempat. Penulis mencatat ada beberapa

faktor yang mempengaruhi terjadinya Money Politic pada pilihan

legislatif di Surakarta.

Faktor yang mempengaruhi tersebut disebut motivasi,

Motivasi79 berasal dari kata “movere” yang berarti dorongan.

kemudian disimpulkan (baca: Heru Nugroho. 2001. Menumbuhkan Ide-Ide

Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 85)

57 Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu: a) Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup misalnya makan, minum, perlindungan fisik, dan bernapas. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tingkat terendah

atau disebut pula sebagai kebutuhan yang paling dasar bagi setiap indi- vidu, b) Kebutuhan rasa aman atau keselamatan adalah kebutuhan akan

Page 46: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

85

Motivasi adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan

dilakukan oleh seorang atau individu dalam hidupnya. Jika

seseorang dikatakan memiliki motivasi yang tinggi, berarti

seseorang tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk

mencapai apa yang diinginkannya dengan mengerjakan sesuatu.

Seberapa kuat motivasi yang dimiliki oleh individu akan banyak

menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya

dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks belajar, bekerja

maupun dalam kehidupan lainnya.

Terkait dengan motivasi dalam money politik, terdapat faktor

penyebab terjadinya Money Politic dilihat dari sudut pandang

masyarakat penerima, yakni.

1. Faktor Ekonomi

Terdapat alasan mengapa masyarakat menerima uang

atau suap lainnya yang di berikan para calon pemimpin.

Salah satu alasannya adalah ekonomi. Terkait faktor ekonomi,

terdapat stratifikasi sosial ekonomi pada masyarakat

Surakarta. Stratifikasi sosial ekonomi disini diartikan sebagai

perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas

secara bertingkat atau secara hierarkis.80

Seperti kita tahu bahwa kodrat manusia itu tidak pernah

cukup, dan tidak kita sangkali juga bahwa manusia memang

juga sangat membutuhkan uang, dan masa kampanye itu

bisa dijadikan ajang untuk menambah pendapatan mereka.

Dari hasil wawancara dengan sebagian masyarakat

Surakarta, bahwa diantara faktor pendukung maraknya

praktik Money Politics di Surakarta dalam pemilu legislatif

2014 diantaranya adalah karena persoalan ekonomi.

perlindungan diri dari ancaman, bahaya, pertentangan, dan lingkungan hidup. Tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologi-

kal dan intelektual, c) Kebutuhan untuk rasa memiliki (sosial) adalah kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai dalam keluarga. Kebutuhan ini pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status sosial, d) Kebutuhan akan harga diri atau penghargaan adalah kebutuhan untuk

dihormati, diakui dan dihargai oleh orang lain atas prestasi yang telah dicapai, dan e) Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri

58 Baca: Zainuddin Ali. 2012. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. hlm.

56-57

Page 47: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 48: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

87

Dalam perspektif ekonomi, semua tindakan manusia

didasarkan pada prinsip rasionalitas. Prinsip ini juga

diakomodasi dalam pendekatan ekonomi terhadap hukum,

yakni atas dasar untung-rugi dengan cara mengusahakan

agar keseluruhan keuntungan (benefits) harus lebih besar

daripada keseluruhan biaya (cost).81 Dalam hal money politic,

masyarakat menilai bahwa mereka tidak perlu mengeluarkan

modal apapun untuk mendapat keuntungan yakni berupa

uang atau barang dari caleg, sehingga masyarakat, apalagi

kelas bawah, tidak berpikir panjang untuk menerima money

politic tersebut.

2. Faktor Pendidikan Konstituen

Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana pembelajaran dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

sriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan

dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.82 Pendidikan

diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan, tingkah

laku dan sikap seseorang.83

59 Antonius Cahyadi dan Donny Dardono (ed). 2009. Sosiologi Hukum dalam

Perubahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 251

60 Sentosa Sembiring. 2006. Himpunan Perundang-Undangan Tentang Guru

dan Dosen. Bandung: Nuansa Aulia. hlm. 97

61 Robinson Tarigan. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat

Page 49: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

88

Alasan tidak tahu bahwa jual beli hak suara melanggar

norma moral dan agama berkaitan dengan pola budaya suatu

masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan

masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang

berkecukupan, masih merasa samar tentang status imoralitas

(jahatnya) praktik Money Politics, hal ini berdasarkan

100 angket yang penulis sebarkan di beberapa kalangan

masyarakat Surakarta. Ada pertanyaan kecil dalam benak

mereka, apa salahnya menerima pemberian; dan sebagai

imbalannya, apa salahnya membalas kebaikan hati si pemberi

dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk orang

miskin; lagi pula antara kedua pihak, tidak ada ancam

mengancam ataupun paksa memaksa, ungkap salah satu

masyarakat Surakarta. Apa yang kita kutuk sebagai Money

Politics, bagi mereka merupakan sekedar ritual saling memberi

atau menerima, atau tolong menolong, dan itu merupakan

kebiasaan yang mulia. Money Politics menyerupai transaksi

jual beli yang biasa setiap hari dilakukan oleh semua orang

di pasar, di kedai, di kantor, dan seterusnya. Disitu tidak ada

salah dan tidak ada yang harus disalahkan

Tingkat pendidikan seseorang secara langsung dapat

mempengaruhi partisipasi politik dan kesadaran politiknya.

Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, seseorang

dapat berpikir logis dan memandang suatu masalah

secara mendalam dan lebih terstruktur, termasuk pada

masalah pemilihan calon legislatif. Berbeda dengan masyarakat

kalangan kelas bawah yang memiliki tingkat pendidikan

yang rendah cenderung mengabaikan dan buta akan

Pendapatan Perbandingan antara Empat hasil penelitian. Jurnal Wawasan.

Vol 11, No. 3 Februari 2006

Page 50: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

89

masalah politik. Hal itu berhubungan dengan faktor ekonomi

seseorang, jika seseorang tersebut dikatakan memiliki tingkat

ekonomi yang rendah maka seseorang tersebut tidak dapat

mengusahakan untuk memiliki tingkat pendidikan yang tinggi

akibatnya kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan

sangat penting dalam faktor penyebab masyarakat menerima

money politics yang dilakukan oleh salah satu calon legislatif.

Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka masyarakat

mempunyai pengetahuan yang luas dan dengan pengetahuan

masyarakat yang luas dapat membantu untuk membedakan

mana yang baik dan tidak, mana yang salah dan benar

sehingga setiap melakukan tindakan selalu menggunakan

pertimbangan secara rasional begitu pula dalam menyalurkan

hak pilihnya pada pemilihan legislatif dengan memilih calon

yang berkompeten dan berkualitas.

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu,

baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis,

termasuk didalamnya adalah belajar. lingkungan juga

terkadang sering disebut patokan utama pembentukan

prilaku. Semuanya dikaitkan dengan lingkungan dan manusia

pun selalu tergantung pada lingkungannya. Terhadap faktor

lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik

yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu

individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya.

Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari

pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa

tersedia di sekitarnya. Perilaku adalah bentuk tanggapan,

gerakan atau reaksi yang dihasilkan dari dalam diri individu

Page 51: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT
Page 52: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

91

tersebut atau hasil dari meniru lingkungan setempat. Perilaku

juga dapat diartikan sebagai perbuatan dan perilaku yg

dapat dilihat adalah perilaku terbuka, perilaku yang dapat

kita amati secara langsung dari apa yang individu lakukan,

kadang perilaku bisa membuat image tertentu pada setiap

orang yang ada dan perilaku juga dapat menggambarkan

bagaimana orang itu.

B. Pelaksanaan Money Politic pada Pilihan Legislatif tahun 2014

di Surakarta Dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Praktik dalam pelaksanaan money politics pada pilihan

legislatif tahun 2014 di Surakarta sangat beragam. Diantara

bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain:

1. Distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada

para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok

tertentu,

Uang sebagai sumber daya yang paling konvertibel,

menjadi acuan bagi setiap transaksi atau manuver individual.

Dalam persentuhannya dengan dunia politik, justru uang

menemukan hakikat ekstensialnya, yakni sebagai alat

tukar menukar. Ketika uang menjadi media barter politik,

peran kelompok-kelompok strategis yakni elit politik dan

elit ekonomi yang menyelingkupi pucuk penguasa tertinggi,

tak dapat dikesampingkan. Dinamika interaksi di antara

mereka ikut mendorong proses tumbuh berkembangnya

Money Politics.

Memasuki masa kampanye Pilcaleg 2014, banyak terlihat

para timses Caleg memberikan berupa benda sebagai cendra

mata kepada para pemilih. Cendra mata yang di berikan

itu mulai dari pemberian kitab yasin, sajadah, mukena,

kerudung/jilbab. Bahkan ada yang memberikan tas, baju

kaos, topi dan alat alat rumah tangga, serta banyak lain

lainnya. Bahkan dalam pemberian cendra mata ini di selipkan

juga berupa uang, antara Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-

Hasil 100 angket yang penulis sebar kepada berbagai

lapisan masyarakat, para sopir, tukang becak, pegawai

negeri, swasta dan tokoh masyarakat, sebagian besar diantara

mereka menerima amplop dari masing-masing calon anggota

legislatif daerah pemilihan setempat yang nominalnya

bervariasi, berkisar antara Rp.20.000 sampai Rp. 100.000.

Page 53: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

92

bahkan ada salah satu warga yang mengaku “panen duit”

menjelang pemilu dengan mendapatkan amplop dari hampir

semua calon yang ada di daerah pemilihannya.

Pola distribusi money politics di tingkatan elit umumnya

dilakukan dengan cara tertutup dan sangat dirahasiakan,

mengingat hal ini merupakan tindak pidana. Setidaknya

hanya pemain-pemain inti dan pemilik kepentingan yang

dapat mengetahuinya. Selain itu, pemberian uang tidak pula

selalu dilakukan oleh para kandidat, bahkan justru jika

dilakukan sendiri oleh kandidat akan menjadi tindak pidana

yang akan dikenai sanksi hukum apabila ternyata diketahui

oleh tim pemantau pemilu. pemberian uang dapat dilakukan

melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga,

hubungan bisnis, bahkan tokoh masyarakat sekalipun yang

mempunyai banyak akses sosial di masyarakat. Malah justru

hal ini menjadi cara yang aman karena bukan termasuk tim

sukses kandidat yang terdaftar secara resmi di KPU.

2. Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi

kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi

yang ilegal,

Partai politik bekerjasama dengan pengusaha yang

menyokong kebutuhan partai, termasuk membagi-bagikan

uang kepada konstituen. Penyalahgunaan wewenang dan

fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang

simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan

dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-

lain.

3. Sistem Ijon

Pelaksanaan sistem ijon yang dimaksudkan di sini

memang hampir sama sebagaimana yang terjadi dalam

fenomena rentenir, di mana pemodal meminjamkan kapitalnya

pada pihak yang membutuhkan. Dikatakan meminjamkan

karena memang bantuan tersebut akan ditarik kembali

dalam jangka waktu tertentu. Mekanisme serupa terjadi

pula dalam permainan politik, dimana praktik Money Politics

berbentuk hibbah politis tidak selalu terjadi saat menjelang

even politik. Melainkan juga dapat dilakukan jauh-jauh hari

sebelum pelaksanaan even politik, atau bahkan sebelum sang

politisi menyampaikan maksud dan tujuan jangka panjang

strategisnya. Kemudian hibbah politis ini akan diminta

kembali dalam bentuk sikap dukungan politik.

Page 54: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

93

Mekanisme Money Politics dengan sistem ijon ini seringkali

digunakan para politisi dalam upaya menarik simpati atau

menggelandang tokoh atau masyarakat secara berlahan

untuk masuk ke dalam kelompok kepentingannya dengan

cara memenuhi fasilitas atau sesuatu yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Dengan cara seperti ini, ketika tiba saatnya

politisi menyampaikan maksud dan tujuannya untuk masuk

dalam pertarungan politik, guna merebutkan jabatan politik

tertentu, yang mana hal tersebut membutuhkan back up kuat

dari suara masyarakat, maka masyarakat tidak akan banyak

berbicara, kecuali hanya menyampaikan kesanggupan

dukungan (meskipun dukungan pasif).

4. Penyalahgunaan fasilitas negara

Berdasar hasil wawancara, sebagian kandidat caleg

dan tim suksesnya, juga mempraktikan cara baru dalam

menggunakan fasilitas negara. Jadi pola penggunaan fasilitas

negara ini juga berkembang. Bukan hanya (penggunaan) mobil

dinas, tapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan pelibatan

pegawai negeri untuk mengampanyekan sang kandidat, Para

caleg dan tim suksesnya acapkali menggunakan instrumen

birokrasi pemerintahan sebagai tim pemenang, dengan cara

(meminta) kantor dinas membuat aktivitas kegiatan yang

turut mensosialisasikan dan mengkampanyekan kandidat

tersebut. Kegiatan sosialisasi dan kampanye tersebut menjadi

ajang untuk bagi-bagi amplop yang mengatasnamakan

kandidat tertentu.

Page 55: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

100

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Antonius Cahyadi dan Donny Dardono (ed), Sosiologi Hukum dalam

Perubahan, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2009.

Abdul Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi

Paradigmatik, Institute for Strengthening Transition Society

Studies (In-TRANS): Malang, 2003.

Azhary, Negara Hukum (Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya,

Dilihat Dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode

Negara Madinah dan Masa Kini), Penerbit Kencana: Jakarta,

2003.

Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Hak-hak

Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri

Soemantri Martosoewignjo, Media Pratama: Jakarta, 1996.

George Sabine, A History of Political Theory,George G.Harrap &

CO.Ltd., London,1995.

Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Pustaka Pelajar:

Yogyakarta , 2001.

Indra Ismawan, Money Politics: Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Cet

ke-1, Penerbit Media Presindo: Yogyakarta, 1999.

Komarudin Hidayat dan Ignas Klede, Pergulatan Partai Politik

Indonesia, PT. Rajawali Press: Jakarta, 2004.

M. Ryaas Rashid, 2000. Fungsi Representasi dan Sistem Pemilu,

dalam Sistem-Sistem Pemilu. Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka

Utama: Jakarta, 2007.

______________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka:

Jakarta, 2008.

Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya

dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika

Page 56: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

101

Aditama.

Ni’matul Huda, Negara Hukum,Demokrasi dan Judicial Review, UII

Press: Yogyakarta, 2005.

Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Republik Indonesia,

Rajawali: Jakarta, 1982.

Peter harris dan Ben reilly (Eds), Demokrasi dan Konflik yang

mengakar: Sejumlah pilihan untuk negosiato, International

IDEA: Jakarta, 2000.

Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.

Bina Ilmu Surabaya: Surabaya, 1987.

, Kedaulatan Rakyat,Negara Hukum dan Hak-hak

Asasi Manusia,Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri

Soemantri Martosoewignjo. Media Pratama, Jakarta, 1996.

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia: Jakarta,

2007.

Ramlan Surbakti dkk, Memaksimalkan Derajat Keterwakilan Partai

Politik dan Meningkatkan Akuntabilitas Calon Terpilih.

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan: Jakarta, 2011.

Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Pelajar:

Yogyakarta, 2009.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan

Pilihan Masalah, UMS: Press Surakarta, 2002.

Sentosa Sembiring, Himpunan Perundang-Undangan Tentang Guru

dan Dosen, Nuansa Aulia: Bandung, 2006.

Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,

Institute for Democracy and Welfarism: Yogyakarta, 2011.

Sidharta, Bernand Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.

Mandar Maju: Bandung, 2000.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty: Yogyakarta, 1980.

, Sumber-Sumber Hukum Tata Negara. Penerbit

Liberty: Yogyakarta, 2000.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo

Persada: Jakarta, 2003.

Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,

Penerbit P.T Alumni: Bandung, 1992.

Page 57: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

102

Sudjito, Hukum dalam Pelangi Kehidupan, TUGUJOGJA Pustaka:

Jogjakarta, 2013.

Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT. Grasindo:

Jakarta, 2008.

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum. Sinar Grafika: Jakarta, 2012.

Disertasi

Anis Ibrahim. 2008. Disertasi: Legislasi dalam Perspektif Demokrasi.

UNDIP Semarang

Marzuki. 2007. Disertasi: Pengaruh Sistem pemilihan Umum

Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD

Di Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

Muchamad Ali Safa’at. 2009. Disertasi: Pembubaran Partai Politik di

Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran

Partai Politik 1959-2004). UI Jakarta

Tesis

Kuntan Magnar. 1989.“Ketetapan MPR sebagai salah Satu Bentuk

Peraturan Perundang-undangan (Suatu Pemikiran)”.(Tesis,

Bandung: Tesis Pascasarjana UNPAD).

Skripsi

Besty Anindya Nur Azni. 2014. “Pola Rekrutmen Calon Anggota

Legislatif: Studi Komparasi antara Partai Amanat Nasional

dengan Partai Gerakan Indonesia Raya Tahun 2014 di Daerah

Istimewa Yogyakarta”. (Skripsi, Yogyakarta: Skripsi Sarjana

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta).

Jurnal

Aqmarina, Melati. Kajian mengenai Tingkat Kepercayaan Masyarakat

terhadap Partai Politik sebagai Implikasi Fungsi Partai Politik

di Indonesia. Jurnal Respublika Vol. 1 No 1 Juni 2013

Anwar C. Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di

Indonesia. Jurnal Konstitusi Puskasi FH Universitas Widyagama

malang Vol. II No. 1 Juni 2009

Page 58: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

103

Bismar Arianto. Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Legislatif Era Reformasi di Indonesia. Jurnal FISIP UMRAH Vol.

2, No. 2 Tahun 2011

Fitra Arsil. Mencegah Pemilihan Umum Menjadi Alat Penguasa.

Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No 4 Desember 2012

Imam Yudhi Prasetya. Pergeseran Peran Ideologi dalam Partai Politik.

Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol.1.No.1.Tahun

2011.

Leo Agustino, Moh. Agus Yusoff. Pemilu dan Perilaku Pemilih: Analisis

Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Jurnal Poelitik Vol. 5 No

1 tahun 2009

Patawari. Sistem Pemilihan Umum Legislatif. Jurnal Al-Risalah Vol.

12 No. 1 Mei 2012

Robinson Tarigan. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat

Pendapatan Perbandingan antara Empat hasil penelitian. Jurnal

Wawasan. Vol 11, No. 3 Februari 2006

Salmon E.M Nirahua. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan

daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum

Vol. 18 No. 4 Oktober 2011

Sofyan Hadi. Fungsi Representative Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dalam Sistem Otonomi. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9. No. 17.

Februari 2013

Tri Hastuti. Pentingnya memahami Perilaku Politik dalam Political

Marketing. Jurnal Komunikator. Vol 1, No.1 Yogyakarta Mei

2009

Wasisto Raharjo Jati. Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas

Parlemen yang Afirmatif: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 52/PUU-X/2012. Jurnal Yudisial Vol 6 No. 2 Agustus

2013

Yogo Pamungkas. Tinjauan Ambang Batas Perolehan Suara Berdasar

UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD

terhadap UUD NRI 1945. Jurnal: RechtsVinding Vol 3 No. 1

April 2014

Page 59: HUKUM PARTAI POLITIK DAN SISTEM PEMILU (DERAJAT

Hukum Partai Politik dan Sistem Pemilu (Derajat Keterwakilan Rakyat)

104

Makalah

Diasma Sandi S. Makalah: Tafsir Sila ke-4 Pancasila. Makalah

disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada Berbasis

Pancasila di Jogjakarta

Ki Priyo Dwiarso. Makalah: Hakikat Pilkada bukan Daulah Partai.

Makalah disampaikan di FGD Pakar ke-5 tentang Pilkada

Berbasis Pancasila di Jogjakarta

Marzuki Alie. 2013. Makalah: Penataan Sistem Politik dan Otonomi

Daerah

Titi Anggraini. August Mellaz. Makalah: Beberapa Catatan atas

Keberlakukan UU No, 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD.

Koran

Ari Wahyudi Hertanto. Aspek Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD

1945 dalam Perspektif HAM. Jakarta: Harian Umum Pelita, ed.

Selasa 10 November 2015

Litbang Kompas. Senin 9 April 2012

Internet

Hadi Wahono. Amandemen UUD: Mengembalikan Kedaulatan di

tangan rakyat ?.http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/

amandemen-uumengembalikan-kedaulatan.html diakses 11

Februari 2015

http://www.jpnn.com/read/2013/10/20/196629/Kinerja-DPR-

Kembali-Dinilai-Buruk-dalam-Survei- diakses 12 Februari 2015

http://www.pelitaonline.com diakses 10 Juli 2015

http://04locker.blogspot.com/2010/10/representasi-politik.html

diakses12Februari 2015

Wahyufisipuns.blogspot.com/2014/02/sistem-pemilu-proporsional-

terbuka.html diakses 12 februari 2015