52
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Relasi antara budaya dan agama Hindu di Bali menunjukkan hubungan yang sangat erat. Agama menyatu atau merasuk ke dalam budaya sehingga identitas agama dan etnisitas itu saling identik, dimana tidak adanya celah di antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an bahkan seakan-akan menunjukkan pada Bali itu Hindu dan Hindu itu Bali. Relasi semacam ini disebut “inkulturasi” 1 . Hal tidak adanya celah ini menjadikan kehadiran orang Bali yang beragama lain selain Hindu, harus menghadapi tantangan yang sangat berat. Keadaan serupa juga terjadi di daerah lain di Indonesia seperti diantaranya pada orang Aceh Islam, orang Toraja Kristen, dan orang Minang Islam, yaitu terjadinya penyatuan agama ke dalam budaya atau sebaliknya budaya ke dalam agama. (Hoon, 2013:160). Beralihnya beberapa orang Bali menganut agama Kristen yang selanjutnya disebut dengan istilah “orang Bali Kristen” pada tahun 1931, harus menghadapi tantangan inkulturasiyang sudah ada. Inkulturasiantara budaya Bali dengan agama Hindu yang tidak memberikan peluang bagi masuknya unsur baru yang ingin memisahkan antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an yang sudah menyatu. Namun jika unsur-unsur baru itu bersedia melebur ke dalam ke-Bali-an dan ke-Hindu-an justru dapat diterima, seperti masuknya unsur Buddha ke 1 Inkulturasi adalah budaya dan agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak adanya celah diantara keduanya karena terjadinya proses adaptasi agama ke dalam budaya atau sebaliknya budaya ke dalam agama.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77261/potongan/S3-2015... · Bali yang awal menganut agama Kristen, yang diawali oleh beberapa orang dari Denpasar

Embed Size (px)

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Relasi antara budaya dan agama Hindu di Bali menunjukkan hubungan

yang sangat erat. Agama menyatu atau merasuk ke dalam budaya sehingga

identitas agama dan etnisitas itu saling identik, dimana tidak adanya celah di

antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an bahkan seakan-akan menunjukkan pada Bali

itu Hindu dan Hindu itu Bali. Relasi semacam ini disebut “inkulturasi”1. Hal tidak

adanya celah ini menjadikan kehadiran orang Bali yang beragama lain selain

Hindu, harus menghadapi tantangan yang sangat berat. Keadaan serupa juga

terjadi di daerah lain di Indonesia seperti diantaranya pada orang Aceh Islam,

orang Toraja Kristen, dan orang Minang Islam, yaitu terjadinya penyatuan agama

ke dalam budaya atau sebaliknya budaya ke dalam agama. (Hoon, 2013:160).

Beralihnya beberapa orang Bali menganut agama Kristen yang

selanjutnya disebut dengan istilah “orang Bali Kristen” pada tahun 1931, harus

menghadapi tantangan “inkulturasi” yang sudah ada. “Inkulturasi” antara budaya

Bali dengan agama Hindu yang tidak memberikan peluang bagi masuknya unsur

baru yang ingin memisahkan antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an yang sudah

menyatu. Namun jika unsur-unsur baru itu bersedia melebur ke dalam ke-Bali-an

dan ke-Hindu-an justru dapat diterima, seperti masuknya unsur Buddha ke

1 Inkulturasi adalah budaya dan agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak

adanya celah diantara keduanya karena terjadinya proses adaptasi agama ke dalam budaya atau

sebaliknya budaya ke dalam agama.

2

dalamnya. Seperti apa yang di ungkapkan oleh I Nyoman Wijaya dalam artikelnya

“Menjadi atau memiliki Hindu: Pluralisme Agama di Bali dalam Dimensi

Sejarah”.

“Sekalipun berbeda semuanya tetap satu: yakni kendaraan, sehingga tak perlu

dipersoalkan apakah dia lebih sederhana daripada yang lain, yang terpenting

adalah tujuannya sama: mendekatkan diri dengan Yang Ilahi. Sikap to be sangat

menjunjung paham sinkretik, namun tanpa pretensi menciptakan agama baru.

Sekaligus juga pluralis dalam arti mau mengakui bahwa kebenaran itu beragam

dan bersikap positif akan kesamaan tujuan dan fungsi semua agama. Sikap

tersebut menandakan bahwa masyarakat Bali-Hindu sudah berhasil

melokalisasikan substansi Veda, terutama pasal yang menyebutkan: “Jalan apapun

yang engkau pakai menujuKu, Aku terima.” Sikap ini terbentuk melalui proses

panjang, diawali oleh saling mempengaruhi antara agama Hindu sekte Shiwa

Sidhanta dengan dengan agama Buddha sekte Mahayana, tanpa melahirkan agama

baru, bahkan pendeta Buddha wajib terlibat dalam setiap pelaksaaan upacara

agama”. (http://www.tspkantorsejarawan.com/menjadi-atau-memiliki-hindu.html/,

diakses:16 Juni 2014)

Antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an orang Bali Hindu menyatu dengan

pemahaman, apabila terdapat ajaran baru dari suatu agama tetap diterima asalkan

bersedia melebur ke dalam ke-Hindu-an yang sudah ada.

Berawal dari beralihnya beberapa orang Bali Hindu menjadi Kristen,

orang-orang awal yang merupakan pelopor di desa Blimbingsari itu mengisahkan

seperti ini: Blimbingsari merupakan sebuah desa yang seluruh penduduknya

memeluk agama Kristen Protestan. Umat Kristen Protestan yang kini menetap di

Desa Blimbingsari, bukanlah penduduk asli desa ini melainkan berasal dari

berbagai daerah yang ada di pulau Bali. Desa ini terbentuk oleh beberapa orang

Bali yang awal menganut agama Kristen, yang diawali oleh beberapa orang dari

Denpasar tepatnya di desa Dalung, Buduk dan Abianbase. Orang-orang ini

mengalami krisis spiritual yang mendalam, karena apa yang mereka yakini tidak

3

dapat memuaskan batin yang haus akan ilmu. Sekitar tahun 1929, ada seorang

Jawa yang datang sebagai perantau di Bali dan memiliki keahlian di bidang ilmu

kebatinan bernama Raden Kusuma Atmaja2. Mereka belajar ilmu kebatinan

kepada Raden Kusuma Atmaja. Orang Bali yang telah memiliki ilmu kebatinan

tingkat tinggi yang dinamakan liyak3, banyak yang ingin meningkatkan ilmunya

dengan belajar ilmu kebatinan Jawa yang dimiliki Atmaja. Semakin meningkatnya

jumlah murid dari Atmaja menimbulkan kekuatiran pemerintah Belanda di Bali

akan terjadinya pemberontakan, maka Atmaja di usir dari Bali dan tidak

diperkenankan untuk kembali tinggal di Bali. Ditinggal Atmaja pulang ke Jawa

dan tidak akan kembali lagi, murid-muridnya berusaha mencari guru yang dapat

mengajarkan ilmu kebatinan yang akhirnya ditemukan pada diri Tsang To Hang.

Hang yang semula bernama Tsang Kam Fuk adalah seorang Cina Kristen yang

ditugaskan oleh C&MA sebagai gembala (istilah bagi pendeta agama Kristen

dalam membimbing umatnya) yaitu orang-orang Kristen China yang ada di Kota

Denpasar. C&MA ketua misinya di Indonesia adalah DR. Robert Alexander

Jaffray, kelompok ini di Indonesia bernama Kemah Injil. Jaffray juga merangkap

sebagai bendahara Chinese Foreign Missionary Union (CFMU) yang diketuai

oleh DR. Leland Wang (End dan Weitjens, 2008: 256).

Melalui seorang perempuan Bali yang dinikahi oleh seorang China

Kristen di Denpasar, Hang berkenalan dengan beberapa orang murid Atmaja yang

akhirnya menjadi Kristen. Kesediaan beberapa orang Bali ini menjadi Kristen erat

2 Raden Kusuma Atmaja adalah orang Jawa yang datang dan menetap di Bali Utara untuk

mengajarkan ilmu kebatinan. 3 Liyak adalah ilmu kebatinan yang berkembang di Bali yang menunjukkan kesaktiannya

dengan berubah wujud menjadi seperti apa yang diinginkan oleh pelaku.

4

kaitannya dengan pertarungan penguasaan ilmu kebatinan atau keyakinan yang

dikuasai oleh Hang sebagai orang Kristen dapat mengalahkan semua ilmu yang

mereka kuasai. Pengesahan menjadi Kristen melalui upacara baptisan pertama

terjadi pada dua belas orang Bali yang berasal dari desa Untal-Untal dan Buduk di

Denpasar pada tanggal 11 November 1931. Upacara baptis dilaksanakan oleh

pendeta Jaffray terhadap dua belas orang4 di Tukad Yeh Poh, Desa Dalung,

Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kedua belas orang inilah sebagai titik

awal orang Bali menjadi Kristen, sehingga tahun 1932 jumlahnya telah mencapai

tiga ratus orang (Ripa dkk, 2012:136).

Akibat dari Jumlah orang Bali Kristen semakin banyak, terjadinya

tekanan ekonomi, politik dan perbedaan keyakinan serta tidak mendapatkan hak-

haknya sebagai orang Bali, orang-orang ini berupaya untuk mencari tempat baru

untuk melanjutkan hidupnya dengan tenang. Melalui berbagai upaya akhirnya

orang-orang ini diijinkan pindah ke Bali barat dan membangun desa baru yang

dinamakan Blimbingsari. (Sunarya, 2009:5). Komunitas umat Kristen Protestan di

desa Blimbingsari, hidup berdampingan bersama masyarakat Bali yang beragama

Hindu dan pendatang dari daerah lainnya yang beragama Islam. Keunikan

masyarakat desa tersebut membangun gerejanya dengan arsitektur dan ornamen

ukiran Bali. Tetap mempertahankan tradisi dan adat-istiadat Bali dalam

melaksanakan perayaan hari raya umat Kristiani dengan memasang penjor,

4 Kedua belas orang Bali yang menjadi Kristen pertama setelah I Gusti Wayan Karangasem

yang tewas di tiang gantungan setelah dituduh mendalangi pembunuhan Yakob de Vroom tahun

1881 adalah: I Made Gepek (Pan Loting), Goesti Poetoe Sanoer, I Wajan Geroet (Pekak

Timothius), Ketoet Legi (Pan Bungkalan), I Made Geden (Pan Lipeng), Made Glendoeng (Pan Wajan Durja), I Ketoet Greda (Pekak Luh Seri), I Ketoet Toemboel (Pan Djawi), Gede Dedioeng

(Pan Kari), I Njoman Tijeb (Pan Degir), Nang Sadra, dan Ni Wajan Moenoeng (Nini Timothius).

5

memakai busana adat, tembang, tari, dan gamelan Bali. Pada saat perayaan Natal

maupun hari-hari raya Kristen lainnya, masyarakat juga menyajikan masakan-

masakan khas Bali seperti be guling, sate lilit, lawar, komoh dan berbagai

masakan Bali lainnya.

Kehidupan berkesenian orang Bali Kristen, diawali dengan penolakan

terhadap penggunaan simbol-simbol ke-Bali-an yang terjadi sejak tahun 1931

sampai Sidang Sinode GKPB di Abianbase, Denpasar tanggal 21-24 Maret 1972,

yang memutuskan di dalam pelayanan gereja menggunakan budaya daerah Bali

(Ripa, 2012: 278). Mereka menyingkirkan keberadaan patung-patung, ukiran,

lukisan, musik (gamelan Bali), nyanyian (mekekawin), dan tari Bali. Penolakan

terjadi menurut mereka akibat pemahaman yang dangkal terhadap larangan yang

ada pada kitab suci, dalam ajaran yang dianutnya yaitu agama Kristen. begitu pula

karena tekanan fisik dan mental dari saudara-saudaranya yang masih memeluk

agama Hindu. Dari sisi seni rupa akan sangat terlihat dari arsitektur dan dekorasi

gedung gereja lamanya di Blimbingsari, yang ber-arsitektur Eropa, sedangkan di

sisi seni pertunjukan akan terlihat pada upacara kebaktian, puji-pujiannya diisi

dengan koor tanpa menggunakan alat musik pengiring. Pada hari raya Natal, diisi

dengan sandiwara kelahiran Tuhan Yesus dan Paskah, sandiwara penyaliban.

Sangat berbeda dengan tampilan gedung gereja saat ini, seperti yang dikatakan

Mastra (Mantan Ketua Sinode5 GKPB

6), akan sangat sulit membedakannya

dengan Pura.

5 Sinode adalah Lembaga yang menaungi beberapa gereja di bawah satu atap. 6 GKPB merupakan singkatan dari Gereja Kristen Protestan di Bali.

6

Ukiran dan dekorasi dengan ornamen Bali, dilengkapi dengan simbol-simbol yang

ada pada agama Kristen. Gamelan Gong Kebyar7 dan Jegog

8, menghiasi satu sisi

dari gedung gereja yang ditabuh sebagai ilustrasi, untuk mengiringi lagu, tarian,

dan sendratari (Adams, 1997:201).

Peningkatan jumlah penduduk Bali yang terjadi dengan pesat dan

meletusnya Gunung Agung pada awal tahun 1963 (Mastra, 2010:51),

mengakibatkan banyaknya penduduk Bali berpindah untuk mencari tempat yang

lebih aman dan dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tempat

yang dituju diantaranya Bali barat di Kabupaten Jembrana, namun tidak sedikit

pula yang meninggalkan Bali. Mereka pada umumnya mengikuti program

pemerintah yaitu transmigrasi. Beberapa keluarga yang berpindah tempat tersebut

membentuk komunitas di sekitar desa Blimbingsari dan Ekasari, sehingga daerah

tersebut menjadi daerah hunian yang sebelumnya merupakan daerah kosong. Hal

yang sama terjadi di Blimbingsari, banyak keluarga dari berbagai desa di Bali

datang dan menetap di Blimbingsari karena berbagai himpitan yang disebabkan

memeluk agama Kristen. Di Blimbingsari mereka merasa nyaman walaupun

hidupnya tidak seberuntung yang datang di sana lebih awal, namun dengan rasa

aman dari intimidasi saudara-saudaranya mereka merasa senang (Wawancara

dengan I Gede Togor, 15 Maret 2012).

7 Gong kebyar merupakan salah satu jenis gamelan Bali yang umumnya digunakan untuk

menyajikan pertunjukan yang profan. 8 Jegog merupakan gamelan khas Kabupaten Jembrana yang terbuat dari bambu dengan

lubang diameter besar.

7

Karena jumlah penduduk Blimbingsari yang terus meningkat dan tidak

diimbangi dengan perluasan wilayah yang hanya terdiri dari dua Banjar9 yaitu

Banjar Blimbingsari dan Banjar Ambyarsari. Mereka juga tidak mendapatkan

ijin untuk memperluas wilayah lagi, maka Sinode GKPB mengupayakan adanya

program transmigrasi. Upaya tersebut berhasil dilaksanakan atas ijin pemerintah,

transmigrasi dilaksanakan dengan daerah tujuan Sulawesi Tengah (daerah

Parigi)10

, Maluku dan Timor Timur (saat itu masih bergabung dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia). Gelombang perpindahan penduduk dari desa

Blimbingsari terjadi mulai tahun 1950-an sampai 1970-an dan pada tahun-tahun

berikutnya terjadi perpindahan atas prakarsa sendiri, karena diajak oleh

keluarganya yang sudah berhasil di daerah transmigran (Mastra, 2010: 64,78,94).

(Gambar 1. Blimbingsari Tahun 1950an, Dokumentasi GKPB)

Peningkatan jumlah penduduk Blimbingsari yang bentuk huniannya

dirancang menyerupai salib dari timur ke barat ini, mendapat perhatian yang

serius dari pihak desa karena untuk perluasan wilayah yang kemungkinannya

9 Banjar merupakan istilah Bali untuk menyebutkan bagian dari desa yang diketuai oleh

seorang kliyan, di Jawa setara dengan dukuh. 10 Transmigran orang Bali Kristen (diaspora Blimbingsari) dengan jumlah terbesar ada di

Parigi Butong Sulawesi Tengah, dengan jumlah sekitar dua kali lipat jumlah penduduk desa

Blimbingsari (namun jumlahnya pastinya belum pernah diteliti).

8

sangat kecil, maka dengan tidak mengalami kesulitan karena keadaan yang

memaksa program Keluarga Berencana (KB) berhasil sukses yaitu sejak tahun

1980-an setiap keluarga hanya memiliki dua anak dan paling banyak empat anak.

Bersamaan dengan dilancarkannya program Keluarga Berencana (KB) oleh

pemerintah saat itu, maka berbagai penghargaan KB dapat diperoleh warga desa

Blimbingsari (wawancara dengan I Gede Togor 20 Sept 2010, salah seorang

tokoh penggerak KB di desa Blimbingsari tahun 1975). Upaya lain dari

masyarakat Blimbingsari dalam mengatasi kekuatiran akan lonjakan jumlah

penduduk desa maka seluruh keluarga apalagi yang terlahir sebelum adanya

program KB, berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin

sesuai kemampuan finansial yang dimiliki, dengan harapan setelah menyelesaikan

pendidikan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan untuk menghidupi

keluarganya kelak. Upaya yang dilakukan semuanya berdampak positif terhadap

keberlangsungan desa Blimbingsari saat ini, karena berbanding lurus dengan

peningkatan ekonomi yaitu pengolahan lahan yang ada menjadi semakin efektif.

Dengan pendidikan yang baik dan memadai, sebagian besar putra-putri

Blimbingsari bekerja di kota-kota besar di seluruh Indonesia bahkan beberapa

orang ada yang menetap di luar negeri.

Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya

dua pengertian desa. Desa dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan

batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979

tentang pemerintahan desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai

kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan

9

istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian yang kedua,

yaitu „desa adat‟ atau „Desa Pakraman’, mengacu kepada kelompok tradisional

dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama

(Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung,

Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem). Dasar pembentukan desa adat

dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah

penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat.

Desa adat mempunyai identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat

hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakannya dengan

kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara lain adanya wilayah tertentu

yang mempunyai batas-batas yang jelas, sebagian besar warganya berdomisili di

wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik desa adat berupa kahyangan tiga

atau kahyangan desa (Dharmayuda, 2001).

Dengan adanya sistem pemerintahan desa yang khas untuk seluruh desa

di Propinsi Bali, maka untuk desa adat orang Bali Kristen di Blimbingsari adalah

desa adat Kristen yang luas wilayahnya sama dengan desa Dinas. Desa adatnya

dipimpin oleh seorang ketua adat yang bernama bendesa. Awig-awig atau aturan

adat yang ada dan berlaku, disesuaikan dengan agama Kristen yang dianut

masyarakat desa Blimbingsari, yang saat ini memiliki tiga gedung gereja sebagai

tempat ibadah.

Di desa-desa selain desa Blimbingsari, ada beberapa orang Bali Kristen

yang hidup secara berkelompok kepala keluarga dan ada pula yang berada

ditengah-tengah keluarganya yang beragama Hindu. Beberapa desa itu termasuk

10

desa awal yang ada penduduk Kristennya, seperti; desa Untal-Untal, Buduk,

Abianbase, Tuka, Plambingan, dan Carangsari di Badung serta Bubunan di

Buleleng. Saat ini, gereja yang bernaung di bawah GKPB tersebar diberbagai

tempat di Bali, gereja-gereja tersebut berada di Untal-untal, Buduk, Abianbase,

Carangsari, Tumbakbayuh, Padangtawang, Legian, Padangluwih, Sading,

Pegending, Bongan, Dukuh/Plambingan, Penataran, Lalanglinggah, Ulun Uma,

Piling, Selabih, Pengeraguan, Tibu Poh, Sudimara, Blatungan, Bubunan,

Banyupoh, patas, Sangsit, Sega, Galungan, Pakisan, Blimbingsari, Ambyarsari,

Pangkung Tanah, Melaya, Negara, Gilimanuk, Teluk Terima, Patas, Gitgit,

Ngis/Jegu, Amlapura, Sibetan, Singaraja, Klungkung dan Badung. Selain di

bawah naungan GKPB, ada pula beberapa gereja berdiri di seluruh kabupaten di

Bali (Ripa dkk.,2012).

Sebagai orang Bali, orang Bali Kristen akan sangat merasakan disisihkan

dan tidak dianggap sebagai orang Bali oleh orang Bali Hindu, ketika orang Bali

Kristen diketahui identitas agamanya. Sebagai contoh pengalaman menarik, yang

pernah dirasakan oleh seorang anak Bali Kristen. Ketika itu, anak ini menempuh

pendidikan di satu sekolah menengah atas. Dia siswa satu-satunya yang beragama

Kristen di sekolah tersebut, teman-temannya mengejeknya sebagai “anak spritus”

(yang memberikan nama julukan itu adalah guru agama yang mengajar di sekolah

tersebut, “anak spritus” yang merupakan ejekan sebagai anak Kristus). Suatu saat

pada saat latihan menaikkan bendera untuk upacara bendera setiap hari Senin,

anak ini diancam akan “dikerek” di tiang bendera oleh teman-temannya agar

nasibnya sama seperti “spritus” yang disembahnya tersalib di kayu salib. Tidak

11

boleh masuk ke pura walaupun dengan pakaian adat lengkap, padahal anak ini

menyaksikan banyak orang asing dan orang luar Bali yang tidak beragama Hindu

diijinkan masuk ke pura, hanya dengan sarana sebuah amed (selendang yang

diikatkan pada pinggang). Perlakuan berbeda yang diterima anak ini hanya karena

dia orang Bali yang beragama Kristen.

Pengalaman seorang anak Bali di atas dapat menjadi cerminan

keberadaan orang Bali Kristen, sebagai orang Bali yang menganut agama Kristen,

terusik nuraninya untuk menanyakan identitas ke-Bali-an yang melekat pada

dirinya. Lahir di Bali, berbahasa ibu bahasa Bali, menjalankan kehidupan sosial,

politik, ekonomi, dan kesenian yang sama sebagai orang Bali. Tetapi di dalam

banyak hal tidak mendapatkan hak-haknya sebagai orang Bali, terutama hak atas

adat sebagai orang Bali walaupun beragama Kristen.

Orang Bali menunjukkan identitasnya melalui berbagai hal yang sangat

khas, dibandingkan dengan identitas kelompok lain yang ada di Indonesia. Agama

Hindu Bali memberikan warna pada kehidupan spiritual orang Bali, mereka

sangat taat pada berbagai upacara yang wajib diikuti. Walaupun aturan itu hanya

bersifat lisan secara turun temurun, mereka sangat patuh mengikuti. Pura dan

sanggah sebagai tempat pemujaan berdiri berimbang dengan pemukiman yang

ada, karena pada tiap-tiap rumah dapat dipastikan terdapat tempat pemujaannya.

Pernak-pernik peralatan penunjang upacara menghiasi setiap sisi ruang pura dan

rumah, yang setiap hari mengalami pembaharuan bagaikan tidak ada waktu yang

tersisa hanya untuk membuat dan membenahi peralatan upacara. Setiap hari ada

ratusan upacara sedang dan besar yang dilaksanakan di pulau Bali yang sangat

12

kecil ini, jika dibandingkan dengan pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua dan

pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Upacara kecil dengan sarana canang

dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari di setiap rumah dan instansi

pemerintah maupun swasta, dengan demikian sangat layak untuk dikatakan

sebagai “tiada hari tanpa upacara”.

Bahasa Bali dengan logatnya yang sangat khas, sering menjadi bahan

gurauan karena tidak bisa bilang “t”. Walaupun memiliki keterbatasan huruf

dibandingkan dengan aksara Jawa dengan tidak adanya huruf “th” dan “dh”,

namun dapat bertahan hingga saat ini sebagai sarana komunikasi sehari-hari pada

keluarga di pedesaan. Struktur huruf yang artistik mengandung unsur-unsur magis

menghiasi tiap rumah sebagai simbol kekuatan kuasa Tuhan. Penduduk Bali

dalam kesehariannya sebagian besar menggunakan bahasa Bali sebagai sarana

komunikasi dengan sesama maupun dengan Tuhan sebagai ucapan doa untuk

memohon kepada dewa-dewanya, agar diberikan kekuatan dan keselamatan.

Kesenian Bali yang berupa seni pertunjukan dan seni rupa, menempati

posisi sentral sebagai sarana upacara dan penunjang upacara. Tarian sakral dan

benda-benda seni yang dikeramatkan selalu hadir pada upacara ritual diberbagai

pura, seni dipercaya memiliki kekuatan gaib sebagai sarana komunikasi antara

umat dengan Tuhan. Pada sisi lain kesenian memberikan nuansa keindahan, yang

hadir pada seluruh sisi kehidupan orang Bali pada umumnya. Bangunan dengan

arsitektur khas Bali dengan hiasan pernak-pernik ukiran, lukisan terpajang dengan

artistik, patung-patung dengan berbagai wujud berposisi bagaikan penjaga

mengawasi lalu-lalang orang yang lewat di depannya. Suara berbagai jenis

13

gamelan menggema berbaur, di wantilan11

dan bale banjar12

gadis-gadis dan pria

remaja berlatih tari dengan kesungguhannya mengikuti instruksi pelatih.

Kehidupan bermasyarakat ditunjukan dengan kerja sama saling tolong menolong,

melalui kelompok profesi yang bernama seka13

.

Konstruksi identitas agama dan seni pada orang Bali Kristen terjadi,

karena desakan kuasa mayoritas yang tidak mengakui orang Bali Kristen sebagai

orang Bali. Tekanan kuasa mayoritas melalui diskriminasi terhadap hak-hak

kepemilikan termasuk hak waris, awig-awig di desa pakraman yang hanya

berlaku untuk orang Bali Hindu dan munculnya gerakan ajeg Bali. Sikap orang

Bali Hindu yang menempatkan ke-Bali-an dan ke-Hindu-an pada pemahaman

yang sama, mendorong orang Bali Kristen untuk menanyakan identitas ke-Bali-

annya.

Orang yang menyebut dirinya orang Bali Kristen adalah orang Bali

Kristen yang berada di Bali dan yang berada di luar Bali. Orang Bali Kristen yang

berasal dari Desa Blimbingsari yang bertempat tinggal di luar Blimbingsari,

menyebut dirinya dan kelompoknya sebagai “diaspora Blimbingsari”. “Diaspora

Blimbingsari” adalah: Semua orang yang berasal dari desa Blimbingsari

Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana Bali, memiliki ikatan keturunan dengan

orang Blimbingsari, mengakui Blimbingsari sebagai tanah leluhurnya dan tinggal

11 Wantilan adalah tempat yang awalnya didirikan khusus untuk tujuan belajar dan berlatih

gamelan dan tari Bali. 12 Balai Banjar mempunyai arti yang sama dengan tempat pertemuan warga desa di Bali. 13 Seka merupakan kelompok yang terdiri dari sekitar 5 sampai 40 orang, untuk

melaksanakan suatu kegiatan secara bersama-sama atau gotong royong untuk mencapai hasil atau

tujuan yang diinginkan. Contohnya; seka gong (perkumpulan penabuh gamelan), seka mederep

(kelompok penggarap sawah dari menanam sampai memetik padi), seka joged bumbung

(kelompok penabuh dan penari joged bumbung), dan banyak lagi seka lainnya.

14

di luar desa Blimbingsari sebagai perantauan. Kesenian orang Bali Kristen adalah

kesenian yang sama dengan kesenian Bali pada umumnya dan tidak menggunakan

kesenian yang fungsinya sebagai ritual (wali) dan pendukung ritual (bebali)

agama Hindu di Bali.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian dengan judul “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang

Bali Kristen”, difokuskan pada kehidupan orang Bali Kristen Protestan di desa

Blimbingsari dan diaspora Bali Kristen. Latar belakang kehadiran Orang Bali

Kristen disajikan untuk mengungkap awal mula beberapa orang Bali yang

menganut agama Kristen, yang merupakan cikal bakal terjadinya perpindahan

orang Bali timur dan utara, berdasarkan pada persetujuan yang diberikan

pemerintah Kolonial Belanda, sehingga terbentuknya sebuah desa yang diberi

nama Blimbingsari. Perjalanan kehidupan bermasyarakat sebagai orang Bali

Kristen, karena disingkirkan dari lingkungannya di daerah asal, sehingga

memutuskan untuk meninggalkan adat istiadatnya terutama yang tidak sesuai

dengan agama baru yang dianutnya dan kesenian Bali. Namun kemudian

kesadaran muncul sebagai orang Bali tidak bisa lepas dari budaya Bali yang

sangat dipahaminya, tanpa meninggalkan keyakinan Kristen yang baru dianutnya

berupaya menyatukan budaya Bali dan agama Kristen dalam setiap upacara

keagamaannya.

Kepadatan penduduk Blimbingsari yang diakibatkan oleh pesatnya

kelahiran dan kedatangan penduduk dari berbagai daerah, dan tidak mendapat ijin

15

untuk memperluas wilayah hunian, memaksa para orang tua menyekolahkan

anaknya setinggi mungkin, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di kota.

Harapan tersebut saat ini terwujud dengan tersebarnya orang Blimbingsari di

berbagai daerah di Indonesia, yang menamakan dirinya sebagai “Diaspora

Blimbingsari”. Kelompok diaspora Blimbingsari menjalin komunikasi melalui

media yang ada, baik antara diaspora Blimbingsari maupun dengan orang yang

masih tinggal di Blimbingsari.

Rumusan masalah ini terbentuk dari berbagai persoalan yang

mengemuka dalam penelitian ini yaitu: Pertama, menyatunya budaya Bali dan

agama Hindu sebagai “inkulturasi” atau menyatunya antara ke-Bali-an dan ke-

Hindu-an orang Bali Hindu, tidak memberikan celah dan rongga sedikitpun bagi

orang Bali Kristen sebagai orang Bali yang beragama Kristen. Kedua, ajaran

Kristen yang diajarkan Hang masuk pada kelompok karismatik (“dekulturasi”)

yang mengajarkan untuk membuang seluruh unsur ke-Bali-an yang dianggap

sebagai penyembahan berhala. Penghancuran tempat persembahyangan Hindu

yang dianggap sebagai penyembahan berhala, menimbulkan kebencian yang

sangat mendalam sehingga terjadi penyiksaan, pengusiran dan pengucilan serta

menghilangkan seluruh hak-hak orang Bali Kristen sebagai orang Bali. Ketiga,

diusirnya Hang dari Bali dimanfaatkan oleh orang Bali Hindu untuk memaksa

saudara-saudaranya yang telah menjadi pengikut Hang, untuk kembali menjadi

Hindu. Sehingga jumlah orang Bali Kristen yang tersisa tinggal sedikit. Keempat,

peluang hidup orang Bali Kristen tumbuh kembali setelah dibukanya desa

Blimbingsari sebagai tempat bermukim untuk orang Bali Kristen, yang berangsur

16

kehilangan ajaran karismatiknya setelah mendapat pengaruh dari Gereja Kristen

Jawi Wetan14

. Sehingga terbentuknya Gereja Kristen Protestan Bali yang

menyadari arti ke-Bali-an walaupun tetap beragama Kristen. Kelima, Pesatnya

angka pertumbuhan jumlah orang Bali Kristen sehingga harus diatasi dengan

upaya transmigrasi dan sekolah setinggi mungkin untuk mendapatkan pekerjaan

yang layak di luar Blimbingsari dan mereka disebut sebagai “diaspora

Blimbingsari”.

Beberapa masalah di atas dirangkum dan dirumuskan menjadi: (1)

Bagaimana latar belakang kehidupan dan sosial orang Bali Kristen, sebelum dan

setelah tinggal di desa Blimbingsari? (2) Bagaimana orang Bali Kristen bersiasat

sebagai minoritas dari mayoritas masyarakat Bali terhadap tekanan fisik dan

mental? (3) Bagaimana peran diaspora Blimbingsari dalam memperjuangkan

eksistensinya sebagai Orang Bali Kristen?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diajukan, maka penelitian yang akan

dilakukan bertujuan untuk (1) mengungkap latar belakang kehidupan sosial orang

Bali Kristen dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kehidupan

masyarakatnya ditinjau dari sisi organisasi kemasyarakatan, mata pencaharian

yang menunjang kehidupan ekonomi, pendidikan, keagamaan, adat istiadat dan

14 Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah Sinode yang membawahi Gereja-gereja

Kristen Jawa yang ada di wilayah Jawa Timur.

17

kesenian. Mendeskripsikan hasil penelitian tentang budaya orang Bali Kristen,

serta mengeksplanasikan budaya orang Bali Kristen. (2) Menemukan jawaban atas

pertanyaan Bagaimana orang Bali Kristen bersiasat sebagai minoritas dari

mayoritas masyarakat Bali terhadap tekanan fisik dan mental. (3) Mengungkap

upaya diaspora Bali Kristen dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai orang

Bali Kristen, untuk selalu berinteraksi dan mengetahui situasi dan mendukung

perkembangan daerah asalnya.

Siasat

Identitas

Agama

Seni

Orang

Blimbingsari

Diaspora

Blimbingsari

Orang Bali Kristen

Identitas Bali Etnik

Bali Kristen Sub-kultur

(Gambar 2.

Alur Pemikiran Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen)

1.3.2 Manfaat Penelitian

(1) Menumbuhkan pemahaman kritis tentang identitas di Bali khususnya

yang berkenaan dengan keterkaitan antara identitas etnik/budaya dengan agama.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di Bali itu terdapat orang Bali yang bukan

18

beragama Hindu saja, tetapi ada pula yang beragama Kristen Protestan, Katolik,

Budha, Islam, dan Konghucu. (2) Bermanfaat bagi orang Bali Kristen, dalam

menempatkan diri sebagai orang Bali dan juga sebagai orang Kristen yang dapat

menerapkan ke-Bali-an dan ke-Kristen-an dalam aktivitas kehidupannya. (3)

Bermanfaat bagi pemerintah, dalam menerapkan arti keragaman dalam kehidupan

bermasyarakat dan sebagai bahan yang utuh tentang “Konstruksi Identitas Agama

dan Seni Orang Bali Kristen” yang dikaji secara ilmiah, serta (4) memberi peluang

bagi peneliti selanjutnya untuk mendapatkan referensi yang lebih lengkap.

1.4 Kajian Pustaka

Penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap beberapa pustaka yang

menyajikan tentang konstruksi identitas ke-Bali-an, ke-Kristen-an, diaspora serta

hubungan agama dan seni ditemukan beberapa pustaka yang dapat digunakan

sebagai pijakan di dalam melangkah pada penelitian ini. Hal yang menyebabkan

orang Bali Hindu pindah menjadi Kristen, dapat peneliti gunakan untuk menggali

lebih dalam terhadap identitas ke-Bali-an dan ke-Kristen-an orang Bali Kristen.

Penelitian yang berupa skripsi dari Kadek Surpi ini, menguraikan tentang konversi

agama dari Hindu ke Kristen pada beberapa orang Bali. Begitu pula penelitian

yang berupa tesis dari Sukmi tentang “akulturasi” budaya dengan lokasi penelitian

di Desa Blimbingsari, memandang hubungan agama dengan budaya yang terjadi

pada orang Bali Kristen sebagai hubungan yang bersifat akulturasi. Namun

peneliti berpandangan hubungan antara agama dan budaya yang terjadi pada

orang Bali Kristen sudah masuk pada hubungan secara “inkulturasi”.

19

Memasukkan budaya Bali ke dalam bentuk peribadatan, mengarah pada proses

terjadinya “inkulturasi” pada orang Bali Kristen. Uraian sejarah tentang orang

Bali Kristen dari Wijaya dan Ripa, memberikan celah bagi peneliti untuk

mencermati sisi konstruksi identitas dari orang Bali Kristen.

Serat Salib Dalam Lintas Bali Sejarah Konversi Agama di Bali 1931-

2001 oleh Nyoman Wijaya. Sejarah munculnya agama Kristen di Bali diungkap

dengan begitu gamblang, sejak awal mula bagaimana orang-perorang mempelajari

agama Kristen masuk dan meresap ke hati sanubari bagaikan serat-serat kayu.

Munculnya GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) yang merupakan bagian dari

sejarah Bali, membuktikan keberadaan orang Bali yang menganut agama Kristen.

Kajian sejarah dari tulisan Nyoman Wijaya, tentang kehidupan umat Kristen di

Bali memberikan kemudahan dalam penelitian ini, karena dalam sub judulnya

Maselong ke Alas Cekik di halaman 239-272 menguraikan tentang sejarah

terjadinya Desa Blimbingsari. Namun ada beberapa hal perlu dikaji kebenarannya

tentang istilah-istilah yang digunakan dalam buku ini antara lain, rumah penduduk

yang berjajar menyerupai bentuk salib, pada awalnya berujung di barat dengan

pangkalnya di timur menunjukkan perlawanan terhadap budaya Bali yang

meyakini kaja (utara) adalah tempat yang dianggap suci. Hal itu dapat dibuktikan

dari jumlah awal enjungan (wilayah) yaitu kangin, kauh, kaja, kelod, dan tengah.

Enjungan tengah terletak memanjang ke arah timur, sehingga kaki salib yang

panjang ada di sebelah timur. Walaupun dalam perkembangannya setelah

masyarakat Blimbingsari menerapkan kembali budayanya, pemahaman terhadap

arah salib itu dibenahi dengan memberikan alasan-alasan yang ada. Begitu pula

20

istilah tempekan tidak dikenal dimasyarakat Blimbingsari, istilah untuk wilayah

atau bagian dari banjar dinamakan enjungan (Wijaya, 2007, 239-272).

Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah yang ditulis oleh tim penulis

terdiri dari I Nengah Ripa, Tjatra Puspita, I Ketut S. Waspada dan I Ketut Suyaga

Ayub, berusaha mengungkap sejarah lahirnya gereja di Bali. Tidak jauh berbeda

dengan apa yang ditulis Nyoman Wijaya, mengungkapkan dari waktu kewaktu

awal mula dibaptisnya orang Bali menjadi Kristen. Karena buku ini ditulis oleh

empat orang dan semuanya berjabatan pendeta, maka isu sejarah yang diangkat

kurang didasari dengan kajian sejarah yang mendalam dan melibatkan dogma

agama sebagai fakta sejarah. Sebagai contoh di halaman 5 terungkap kalimat

“gereja sebagai tubuh Kristus, dan keyakinan bahwa Tuhan sendirilah kepala dari

tubuh tersebut, membuat tim penulis meyakini bahwa keberadaan GKPB, waktu

dan prosesnya hanya Tuhan sendirilah yang menentukan”. Beberapa fakta baru

tentang sejarah GKPB terungkap melalui data, dapat digunakan sebagai tambahan

referensi (Ripa dkk,. 2012:5)

Bab dua buku ini yang ditulis oleh Tjatra Puspita mengungkap tentang

keyakinan yang dianut oleh penduduk Bali sejak abad ke delapan, masuknya

agama Budha dan Hindu dapat melebur dengan keyakinan yang telah dimiliki

orang Bali. Tjatra Puspita mengungkapkan bagi orang Bali apapun agama yang

masuk tidak dipermasalahkan, yang penting bisa melebur dengan apa yang

diyakini oleh orang Bali saat itu. Sehingga pada saat ada tuntutan untuk

menyebutkan memeluk agama apa, terutama pada awal Indonesia merdeka, orang

Bali bingung menyebut agamanya. Pernyataan yang dikutip dari buku Prasasti

21

Bali yang ditulis oleh R.Goris terbit tahun 1954 mengungkapkan orang Bali saat

itu menganut Budha bercampur dengan ajaran Hindu yang terpadu dengan

keyakinan mula-mula yaitu penyembahan terhadap roh leluhur, yang diungkapkan

dengan menggunakan sesajen yang sama artinya dengan Bali. Bali itulah yang

kemudian menjadi nama dari pulau Bali. (Ripa dkk.,2012:12).

Bab tiga yang diberi judul “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya

Gereja Bali”, ditulis oleh I Ketut S. Waspada, menekankan penulisan pada usaha

awal penyebaran agama Kristen di Bali. Kekuatan adat yang menyatu dengan

keyakinan pada roh leluhur, menjadikan orang Bali merasa nyaman dengan

kondisinya saat itu (sebelum ada kewajiban untuk mencantumkan agama atau

masa sebelum Indonesia merdeka). Agama apapun yang masuk ke Bali asalkan

sejalan dengan pola kehidupan dan upacara-upacara dalam penyembahan terhadap

leluhur, akan diterima dan disatukan dengan keyakinannya. Masuknya Hindu dan

Budha sebagai dua agama yang masuk dan menyatu dengan keyakinan orang Bali.

Masuknya misionaris Kristen yang ajarannya menentang penyembahan leluhur,

mendapat penolakan serius dan berlangsung selama ratusan tahun. Sehingga baru

tahun 1931 melalui dua belas orang Bali yang dibaptis di tukad Yeh Poh,

menghasilkan ratusan orang Bali meninggalkan keyakinannya terhadap

penyembahan roh leluhur. (Ripa dkk.,2012:136).

Keputusan menjadi orang Bali Kristen, ternyata merupakan awal

penderitaan yang sangat berat karena penolakan keras sehingga orang Bali yang

masuk agama Kristen dianggap sudah mati walaupun masih hidup. Dengan kata

lain dapat diperlakukan sesuka hati, karena sudah meninggalkan keyakinannya

22

menyembah leluhur. Tentang penderitaan karena menjadi Kristen ini, diulas pada

bab empat “Umat Kristen Bali Mula-mula Mengalami Penganiyaan” oleh I Ketut

Suyaga Ayub. Penyiksaan yang sangat tragis terjadi di berbagai tempat yang ada

orang Bali Kristennya, pengusiran delapan kepala keluarga dari Madangan,

Gianyar tahun 1942, yang akhirnya menetap di Blimbingsari, dengan berjalan

kaki selama tujuh hari tujuh malam. Penolakan dari warga masyarakat yang

megama Canang (istilah Bali bagi umat Hindu Bali tahun 1940-an), meniadakan

keberadaan orang Bali Kristen karena orang Bali Kristen tidak mau nyungsung

sanggah (menyembah di tempat roh leluhur tinggal) (Ripa dkk.,2012:234).

Pada Buku Palms and The Cross: Socio-economic Development in Nusa

Tenggara, 1930-1975 tulisan Paul Webb, tersebar pada beberapa halaman

bukunya mengungkapkan tentang tekanan ekonomi yang dialami masyarakat Bali

pada saat itu sehingga melakukan migrasi untuk mendapatkan lahan yang lebih

subur ke bagian barat pulau tersebut. Blimbingsari dan Palasari merupakan dua

tempat yang dituju untuk membentuk komunitas baru yang beranggotakan

masyarakat dari berbagai desa yang ada di Bali bagian timur dan utara. Krisis

ekonomi yang menyebabkan kelaparan pada sebagian besar penduduk Bali,

berakibat pula pada krisis rohani. Pada saat itu ada beberapa orang yang sudah

pindah agama menjadi Kristen atau Katolik, setelah ekonomi pulih, kembali

memeluk Hindu (Webb, 1986:114-215).

Bali yang hilang: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali, Yudhis M.

Burhanuddin pada halaman 129 menyinggung tentang Bali sebagai pulau dimana

multikulturalitas dan pluralitas sangat kentara terbukti dari hadirnya berbagai

23

tempat ibadah yang sudah barang tentu didukung oleh pemeluk agamanya

masing-masing. Multikulturalitas itu lebih tampak menonjol di daerah Denpasar,

Singaraja dan Jembrana. Berbagai etnis juga hadir di Bali bahkan kehadirannya

jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, seperti etnis Bugis yang beragama Islam di

desa Loloan Jembrana, etnis Cina, Arab, dan India menunjukkan masyarakat Bali

adalah masyarakat yang heterogen. Hadirnya masyarakat Bali Kristen Protestan di

Blimbingsari dan Katolik di Palasari juga diungkap sebagai bukti bahwa Bali

sejak lama telah menerima hadirnya agama lain selain Hindu. (Burhanuddin,

2008:129).

Sisi di Balik Bali Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global

karya I Ngurah Suryawan. Sebuah tulisan yang memandang Bali dari sisi lain,

untuk mengurai keadaan Bali yang sebenarnya terjadi saat ini. Kekerasan dengan

mengatasnamakan adat yang menimpa anggota adatnya sendiri, yang melanggar

aturan adat kasepekang (dikucilkan atau disisihkan) oleh krama desa adat. Hal

yang ditulis ini benar-benar terjadi dengan beberapa contoh, pada buku ini diberi

sub judul “Suara Lirih Manusia Bali dalam Politik”. (Suryawan, 2012:14). Sisi

yang berbeda dari penilaian umum terhadap Bali yang indah dan damai, diuraikan

secara rinci dan penuh kehati-hatian. Politik yang dipengaruhi oleh relasi kuasa

dan kepentingan, menonjolkan suryak siyu (bersorak untuk mendukung yang

dominan), menjadikan hembusan suara politik orang Bali sangat lirih di

permukaan Negara Indonesia. Kaum berkasta diperalat sebagai obyek dalam

politik, tidak berbeda jauh dengan apa yang pernah diterapkan pemerintah

penjajah pada awal sampai pertengahan tahun 1900. (Suryawan, 2012:73).

24

I Wayan Mastra dalam bukunya Jejakku Mengikut Kristus, menuliskan

tentang perjalanan hidupnya yang ditekankan setelah menjadi Kristen dan

kemudian terpilih sebagai pemimpin atau Ketua Sinode Gereja Kristen Protestan

di Bali. Bagaimana awal mula orang Bali ada yang menjadi Kristen juga diungkap

di sebagian kecil halaman, yang sebagian besar menuliskan tentang riwayat hidup

dirinya. (Mastra, 2010).

I Ngurah Suryawan dalam buku Rintihan Negri Sorga pada halaman 217

yang diberi judul “Ajeg Bali dan Politik Identitas ke-Bali-an”, menguraikan

tentang sebuah gerakan yang diberi nama Ajeg Bali yang dilontarkan oleh

Kelompok Media Bali Post (KMB). Gerakan ini bertujuan untuk menggugah

kesadaran masyarakat Bali, menjaga, mengokohkan, dan melestarikan budaya

mereka dari pengaruh luar. Gerakan Ajeg Bali ini secara tidak langsung membawa

serta “politik identitas” ke-Bali-an untuk merevitalisasi posisi diri menghadapi

terjangan globalisasi yang mengepung Bali. (Suryawan (2009:217).

Putu Fajar Arcana dalam bukunya Surat Merah Untuk Bali, pada bagian

prolog yang ditulis oleh Jean Couteau menjelaskan tentang rancangan untuk Bali

mengutip karya Covarrubias dalam tulisannya Island of Bali. Covarrubias melihat

Bali sebagai sosok perempuan cantik yang mengusung sesaji, atau tengah mandi

di pancuran tanpa busana, yaitu suatu keadaan yang indah seperti di surga.

Kekhawatiran di masa depan akan masuknya pengaruh asing melalui pariwisata,

akan menghancurkan surga Bali, maka dirancanglah oleh kolonial Belanda agar

Bali dapat dinikmati sebagai musium hidup. Arcana mengupas kondisi Bali saat

ini, dengan menekankan pada kekuatan multikulturalisme dengan menuangkan

25

argumentasinya bahwa pada daerah yang multikulturalismenya kuat justru lebih

tahan menghadapi tantangan globalisasi yang terjadi. Beberapa contoh daerah

yang masyarakatnya multi-etnis dan multi-agama seperti antara lain Jembrana

justru mengalami pertumbuhan dalam ketahanan tradisinya, hubungan sosial

kemasyarakatan, birokrasi kepemimpinan, keamanan, yang sekaligus membawa

peningkatan secara ekonomi masyarakatnya. (Arcana, 2007).

Daniel J Adams sebagai editor buku From East To West, pada halaman

201, I Wayan Mastra memberi judul tulisannya “The Mother Temple of

Blimbingsari: A Sermon in Stone”, mengungkapkan tentang arsitektur bangunan

gereja yang ada di Blimbingsari sangat sulit dibedakan apakah itu Pura atau

Gereja. (Adams, 1997:201). Seperti yang diungkapkan Mastra, bahwa inkulturasi

telah terjadi pada pembangunan gedung gereja yang baru. Gedung gereja lama

yang telah dibongkar berarsitektur Eropa, dengan ornamen gambar yang

ditampilkan seperti ornamen gereja yang ada di Eropa juga. Pendapat dari Mastra

ini, dapat peneliti gunakan sebagai acuan dalam mengkaji dari sisi seni rupa dan

arsitektur.

Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi tulisan dari

Nengah Bawa Atmaja mengutarakan arti penting dari identitas kultural orang Bali,

yang diwujudkan dalam Ajeg Bali. Pertanyaan yang dimunculkan sesudahnya,

apakah identitas kultural orang Bali sama dengan agama Hindu? Jika sama, berarti

ajeg Bali sama dengan Ajeg Hindu. Sayangnya pertanyaan ini tidak dijawab,

tetapi disamarkan sebagai wacana. Berwacana secara global, sebaiknya

menguatkan kultur lokal terlebih dahulu, agar dalam berbicara secara global sudah

26

mewakili seluruh kepentingan lokal (Atmaja, 2010). Buku karya Atmaja ini, dapat

peneliti gunakan sebagai pijakan dalam rumusan masalah pada pertanyaan,

apakah orang Bali Kristen di desa Blimbingsari dengan latar belakang keyakinan

yang dianutnya dan berkesenian Bali, tetap menjadi orang Bali? Begitupula orang

Bali yang beragama lain seperti Budha, Katolik, dan Islam juga berhak

menanyakan apakah masih diakui sebagai orang Bali atau berhak menyandang

predikat sebagai orang Bali? Jika jawabannya ya, maka Ajeg Bali tidak sama

dengan Ajeg Hindu.

Kewargaan Multikultural tulisan dari Will Kymlicka mengungkapkan,

politik multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas, Tuntutan hak

terhadap kewargaan bukan berdasar pada keberadaan masyarakat pribumi atau

non pribumi. Gelombang migrasi yang terjadi pada abad kedua puluh, merupakan

awal terjadinya masyarakat polietnis. Banyak orang melintasi perbatasan

menjadikan setiap Negara dihuni oleh berbagai etnis yang berbeda dalam banyak

hal kehidupan. Politik perbedaan ini menjadi ancaman bagi banyak orang,

perbedaaan menimbulkan berbagai permasalahan yang sangat rumit dipecahkan,

namun sebenarnya perbedaan itu dapat dikelola secara damai. Ketidakadilan

selalu mengancam kelompok minoritas, bahkan sampai pada pemusnahan

kelompok etnis tertentu seperti yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Justru di

Negara-negara liberal seperti Inggris Raya, Prancis dan Amerika Serikat, hak-hak

minoritas diabaikan, atau diperlakukan hanya sebagai hal yang aneh dan anomali.

Negara-negara demokrasi baru, mengalami permasalahan yang lebih berat dalam

menegakkan hak-hak minoritas, karena kepemimpinannya ada pada kelompok

27

nasionalis yang benci akan keberadaan orang asing (xenophobia). (Kymlicka,

2003).

Tesis untuk menempuh jenjang S2 dari Sih Natalia Sukmi yang berjudul

Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi, baru penulis dapatkan setelah penelitian

ini selesai, ternyata penelitiannya dilakukan pada lokasi yang sama yaitu desa

Blimbingsari. Sub judulnya, “Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis

Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh

Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali”. Sih Natalia dapat penulis jumpai

setelah mendapat informasi dari masyarakat Blimbingsari, karena penelitiannya

dilakukan hampir pada saat bersamaan penulis memulainya pada tahun 2010

sedangkan Sih Natalia tahun 2011 dan diujikan di Universitas Sebelas Maret

Surakarta pada tahun 2012.

Kajian pustaka dari sisi sejarah pindahnya beberapa orang Bali Hindu

menjadi Kristen, menyandingkan penelitian Serat Salib dari Wijaya dengan

Dinamika GKPB dari Ripa dkk., serta didukung skripsi dari Surpi dan thesis

Sukmi. Kajian pustaka sejarah tersebut melihat orang Bali Kristen dari berbagai

sisi pandang yang berbeda sehingga mengungkap secara utuh tentang kajian

sejarah dari orang Bali Kristen. Sedangkan kajian pustaka lainnya yang

menjelaskan tentang orang Bali dari sisi agama, adat-istiadat, dan dinamika

kehidupan orang Bali, berkaitan dengan tulisan dalam penelitian ini. Kuatnya

hubungan antara agama Hindu dan adat-istiadat begitu pula hubungan agama

Hindu dengan kesenian seakan menafikan orang Bali untuk pindah agama. Namun

kenyataan yang ada menunjukkan semakin hari semakin banyak orang Bali

28

beralih agama, bahkan di Bali ada penduduk desanya yang sebagian besar

beragama Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Pada awalnya, istilah diaspora digunakan oleh orang-orang Yunani

untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah

jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam

kerajaan. Asal usul kata itu diduga dari Kitab Ulangan 28:64, “sehingga engkau

menjadi diaspora (bahasa Yunani untuk penyebaran) bagi segala kerajaan di

bumi.” Istilah ini telah digunakan dalam pengertian modernnya sejak akhir abad

ke-20. Makna aslinya terlepas dari maknanya yang sekarang ketika Perjanjian

Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan kata diaspora digunakan untuk

merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada

586 M oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh kekaisaran Romawi. Istilah

ini digunakan berganti-ganti untuk merujuk kepada gerakan historis dari

penduduk etnis Israel yang tersebar, perkembangan budaya penduduk itu, atau

penduduk itu sendiri. Seiring waktu, istilah diaspora juga digunakan dalam proses

migrasi yang bukan saja pada pengusiran dari negara asal dengan kekuatan.

Orang-orang Yahudi sendiri kadang-kadang lebih suka tinggal di diaspora

Yahudi atau untuk bermigrasi dari satu diaspora ke diaspora lainnya dari pada

kembali ke tanah air mereka. Bidang akademik dari studi diaspora mulai muncul

pada akhir abad ke-20, khususnya setelah terjadi krisis pengungsi etnis besar-

besaran. Pengungsian yang diakibatkan oleh peperangan dan bangkitnya

nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme, serta karena berbagai bencana

alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruh pertama dari abad ke-20 ratusan

29

juta orang terpaksa mengungsi di seluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora, diakses 4 Juni 2014).

Vertovec mengatakan, Secara sosiologis dan antropologis masyarakat

diasporik mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan

masyarakat lokal. Pola perubahan seputar migrasi dan status minoritas

biasanya meliputi: organisasi dan mobilisasi, politik pengakuan, posisi dan

aturan tentang wanita, regenerasi, etnis dan pluralisme agama, identitas dan

kemasyarakatan, praktik ritual, respasialisasi, jaringan: horisontal-vertikal,

kesadaran identitas keagamaan global, lokalitas menghadapi universalitas,

reorientasi pengabdian, dan lintasan (Vertovec, 1999:1).

Diaspora dan migrasi adalah sebuah fenomena yang banyak

dijumpai dalam perjalanan sejarah bangsa- bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

Salah satu fenomena yang paling menonjol dalam sejarah diaspora di kepulauan

Indonesia adalah diaspora suku bangsa Bugis sejak abad ke- 17. Orang-orang

Bugis membangun koloni-koloni di Kalimantan bagian timur, di Kalimantan

bagian tenggara, Pontianak, Semenanjung Melayu, khususnya di barat daya Johor,

dan di wilayah lainnya. Dari beberapa koloni tersebut, orang Bugis

mengembangkan pelayaran dan perdagangan, perikanan, pertanian dan

pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan menyesuaikan diri merupakan

modal terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan di mana-mana

selama berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri

dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis tetap mampu mempertahankan

identitas kebugisan mereka (Husain, 2011:1).

30

Disertasi Kathryn Gray Anderson, The Open Door: Early Modern

Wajorese Statecraft and Diaspora. Disertasi ini membahas hubungan antara

Wajo, sebuah pemerintahan konfederasi Bugis di Sulawesi Selatan, dengan

kelompok-kelompok migran Wajo di luar daerahnya seperti di Makassar,

Sumatera Barat, Selat Malaka, serta Kalimantan Timur dan Tenggara, setelah

Perang Makassar (1666- 1669). Anderson berpendapat bahwa orang Bugis

yang berdiaspora ke daerah lain, berinteraksi dengan „daerah pusat‟ dalam

cara yang mirip dengan „konstituen lokal‟ , dan bahwa daerah tujuan diaspora

dapat dilihat sebagai bagian dari negara. Migran Wajo menurut Anderson

memiliki fleksibilitas yang luar biasa dalam beradaptasi dengan kondisi lokal di

daerah di mana mereka menetap. Sementara itu, tiap komunitas Bugis yang

berkembang di daerah tujuan bisa bekerja sama dan memiliki strategi

sehingga bisa membaur. Terutama lewat jalan perkawinan, diplomasi dan

peperangan. Berbagai komunitas Bugis di berbagai daerah juga bekerja sama

dalam membangun daerah komersial dan saling memberikan bantuan militer.

Kerjasama tersebut didukung adanya konsep Bugis yakni “pesse” dan solidaritas

atau simpati. “Pesse” adalah ikatan emosional yang mengikat imigran dengan

“tanah air”nya di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu kunci untuk

pemeliharaan hubungan antara pemukim Bugis Wajo di beberapa daerah,

adalah hubungan antara perantau Wajo dengan “tanah air”nya yang

diintensifkan pada awal abad ke- 18 ketika penguasa Wajo berusaha untuk

memanfaatkan kekuatan militer dan potensi komersial daerah tujuan migran.

Upaya ini mencapai puncaknya tahun l736 ketika salah seorang penguasa

31

Wajo, La Maddukelleng, yang terusir dari Wajo kembali dari Kalimantan Timur

ke daerah Wajo di Sulawesi Selatan. La Maddukelleng mendapat dukungan

orang Wajo di Makassar dan Sumbawa untuk mengusir Belanda dari

Sulawesi Selatan. Walaupun pada akhirnya gagal, tindakan ini mencontohkan

“budaya diaspora” orang-orang Wajo, walaupun berada di luar daerahnya tetap

menjadi bagian penting dari daerah Wajo yang menjadi homeland. Adapun

kelebihan dari tulisan Anderson ini , adalah pembahasannya yang cukup rinci

tentang diaspora orang Bugis Wajo pada abad ke-18. Menunjuk pada perjuangan

diaspora orang Bugis Wajo dalam mendukung daerah asalnya. Kemudian dari

tulisan ini juga dapat dijadikan acuan sekaligus perbandingan dalam menuangkan

bahan tulisan untuk penulisan diaspora pada disertasi ini, khususnya pada bagian

diaspora Blimbingsari yang turut ambil bagian dalam memperjuangkan identitas

sebagai orang Bali sekaligus sebagai orang Kristen (Anderson, 2003: 141-168).

Berdasarkan tinjauan pustaka yang digunakan pada penelitian

sebelumnya tentang hal yang berkaitan dengan orang Bali Kristen dan

Blimbingsari, sebegitu jauh dapat dikatakan bahwa penelitian tentang identitas,

agama dan seni orang Bali Kristen hanya penelitian Sih Natalia dan I Nyoman

Wijaya yang meneliti dengan tempat penelitian yang sama namun mengupas sisi

yang berbeda. Sih Natalia mengkaji dari sisi studi etnografi komunikasi dan I

Nyoman Wijaya pada sisi sejarahnya. Sementara itu meskipun selama ini telah

ada beberapa penelitian tentang orang Bali Kristen, akan tetapi belum ada yang

mengupas tentang konstruksi identitas ke-Bali-an dan ke-Kristen-an dari sisi

Kajian Budaya dan Media (KBM). Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk

32

melakukan penelitian tentang identitas, agama dan seni orang Bali Kristen

khususnya di desa Blimbingsari.

1.5 Kerangka/ Landasan Teori

1.5.1 Perspektif Teoritik

Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini mengarah pada beberapa

isu konseptual. Oleh karenanya, dalam sub bab ini akan dibahas beberapa konsep

yang menempati posisi sentral pada penelitian ini. Konsep-konsep tersebut secara

berturut-turut adalah konsep identitas dan politik identitas, identitas etnik, agama,

dan seni.

Konsep Identitas dan Politik Identitas. Usaha untuk memahami konsep

identitas tidak bisa hanya menggunakan perpektif konvensional sebagaimana yang

selama ini difahami oleh banyak orang. Ketika orang mendiskusikan soal

identitas, senantiasa diidentikan dengan jati diri sebuah entitas. Misalnya sering

terdengar dalam percakapan umum, bahwa suatu bangsa harus memiliki identitas,

maka kata identitas di sini disamakan maknanya dengan jati diri. Konsep identitas

juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan Antony Giddens, yang memahami

identitas diri sebagai keahlian menarasikan tentang diri, dengan demikian

menceriterakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Cerita

identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan?

Bagaimana melakukan? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksi

cerita identitas yang saling bertalian dimana diri membentuk lintasan

perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (Giddens,

33

1991:75). Oleh karena itu identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau

merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu, identitas diri adalah

diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografinya (Giddens,

1991:53).

Identitas Etnik. Istilah etnik pada umumnya menunjuk pada suatu

kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun

kombinasi dari beberapa kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.

Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang

melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak, mempunyai nilai

budaya yang sama dan sadar akan kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi internal, serta menentukan ciri

kelompoknya yang diterima oleh kelompok lain serta dapat dibedakan dari

kelompok populasi lain. Namun demikian pengertian kelompok etnik seperti di

atas, yang mengidentifikasikannya terutama berdasar pada hubungan darah dan

kesatuan tempat hidup, mendapat kritik dari cara pandang lain. Kritik tersebut

antara lain dapat tergambar dari pertanyaan: apabila seseorang mengadopsi semua

nilai dan tradisi suatu etnik tertentu yang bukan merupakan warisan genealogisnya

maka orang tersebut tidak dapat ditempatkan sebagai warga etnik tersebut? Dari

pertanyaan tersebut, tampak bahwa sebenarnya pengertian umum tentang

kelompok etnik masih memerlukan pemikiran lebih lanjut, yang tidak sekedar

memahami kelompok etnik sebagai sebuah gejala (fenomena) primordial yang

statis. Sebagai konsekuensinya, etnisitas mesti dipahami sebagai proses konstruksi

34

formasi terbatas dan dilestarikan oleh kondisi-kondisi sosio-historis yang spesifik

(Barker, 2000: 195).

Orang Bali Kristen adalah „orang Bali‟ yang sudah tentu masuk ke dalam

etnik Bali, namun dalam aktivitas kehidupannya sering tidak diakui sebagai etnik

Bali hanya karena agama yang dianutnya Kristen. Oleh karena itu pengakuan

sebagai etnik Bali itu penting artinya, sehubungan dengan munculnya ajeg Bali

yang pengertiannya disamakan dengan ajeg Hindu. Awig-awig yang mengabaikan

keberadaan orang Bali Kristen dan kebijakan kepala pemerintah daerah yang

merugikan orang Bali Kristen, seperti dalam hal kesamaan hak, penerimaan

pegawai dan pelayanan umum lainnya.

Cultural Studies memahami etnisitas sebagai suatu konstruk yang

diberikan pada realita fisik, mental dan material sekelompok orang. Sebagai

sebuah konstruk, dengan demikian, persoalan yang diajukan oleh cultural studies

cenderung pada pemahaman mengenai proses dan kekuatan yang membentuk atau

mengklasifikasikan orang-orang ke dalam kelompok etnik. Dengan kata lain,

perhatian yang diberikan bergeser dari kelompok etnik menuju persoalan etnisitas,

yakni persoalan perolehan, pengakuan dan pemeliharaan ciri-ciri fisik, mental,

dan material untuk menyatakan diri sebagai kelompok etnik tertentu bukannya

kelompok etnik lain (Barker, 2000:196).

Tak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap etnik, para ahli

cultural studies pun memahami identitas sebagai sebuah konstruk, sesuatu yang

dibentuk dari bahan-bahan yang dimiliki sebelumnya. Cara pandang ini tidak

melihat identitas sebagai suatu status yang tetap atau statis, melainkan sebagai

35

fenomena yang cair dan dinamis. Identitas bisa digambarkan sebagai semacam

„kesepakatan‟ bersama mengenai „siapa saya/kami‟ yang ditentukan dalam

relasinya dengan „kamu/mereka.‟ Sudah barang tentu, „kesepakatan‟ bersama itu

sendiri dapat bergeser, berubah sesuai dengan konteks relasi antara „saya/kami‟

dan „kamu/mereka.‟ Relasi atau interaksi tersebut bergerak secara dinamis selaras

dengan komposisi modal ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang dimiliki.

(Hall, 1996: 4).

Dalam tradisi kajian akademik, usaha untuk menjelaskan konsep etnisitas

dapat diurai melalui dua perspektif, yaitu perspektif esensialis dan

konstruktivistik. Dalam pandangan esensialistik, konsep etnisitas dipahami

sebagai entitas yang tetap, baku, dan berorientasi pada karakter biologis. Apa

yang disebut oleh Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Culture

sebagai “primordial” merujuk pada anggapan bahwa etnisitas adalah sebuah

identitas yang telah dibawa seseorang sejak lahir. “Primordial” merupakan sesuatu

yang bersifat askriptif dan melekat pada setiap orang. Meskipun semua adalah

orang Indonesia, masing-masing tetap memiliki identitas primordialnya sebagai

orang Jawa, orang Sunda, orang Batak, orang Bugis, orang Madura, Orang

Minang, orang Melayu, orang Minahasa, orang Dayak, orang Bali, orang Ambon,

orang Buton, orang Serui, orang Aceh, orang Papua dan seterusnya

(Tirtosudarmo, 2007: 142-143). Sedangkan perspektif konstruktivistik melihat

konsep etnisitas sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi

penganut persepektif ini, identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat

bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah (Hall, 1996:4).

36

Agama. Clifford Geertz, dalam The Interpretation Of Cultures

mengatakan, Religion as a cultural system. Geertz mengungkapkan bahwa agama

harus dilihat sebagai suatu sistem, yang mampu mengubah suatu tatanan

masyarakat. Geertz berkeyakinan bahwa agama adalah sistem budaya itu sendiri,

yang dapat membentuk karakter masyarakat. Geertz mendefinisikan agama

sebagai berikut;

“Religion is (1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful,

pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating

conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions

with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem

uniquely realistic” (Geertz, 1973:90).

Agama merupakan (1) sistem simbol yang bertindak untuk (2) menetapkan

perasaan dan motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam diri manusia dengan

cara (3) memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum keberadaan

(eksistensi) dan (4) menyandangi konsep-konsep tersebut dengan aura

faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi tersebut tampak secara khusus

(unik) nyata.”

Geertz mengartikan agama merupakan simbol sebagai suatu kendaraan

(vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz, norma

atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang

menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak

yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang

lainnya ia merupakan modes of reality. Modes for reality menyajikan keberadaan

agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam tatanan

tertentu, sementara itu modes of reality merupakan pengakuan Geertz sisi agama

dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Konsep penting terkait

dengan agama dalam hal ini adalah keberagamaan, dimengerti sebagai ruang yang

37

lebih sempit dari pengertian luas agama. Keberagamaan lebih merujuk pada

dimensi praktik dan perilaku para pemeluk agama, bukan menyoroti persoalan

dimensi keyakinan yang dianut pemeluk agama. Sistem simbol agama Kristen

pada orang Bali Kristen di Blimbingsari akan dikaji keberadaannya, terkait

dengan budaya Bali yang masih melekat secara lahiriah dan wilayah tempat

tinggalnya yang masih berada di Bali.

Seni. Geertz juga menawarkan keterkaitan agama dan seni sebagai sistem

simbol. Simbol-simbol yang dibicarakan oleh Geertz sebagai simbol agama,

apabila dilucuti dari unsur keagamaannya, dapat pula dipahami sebagai gejala

seni. Persis seperti itulah yang terjadi di kalangan orang Bali Kristen. Secara rupa

dan aktivitas pertunjukan, sejumlah ekspresi yang digunakan dalam ritual orang

Bali Kristen memiliki kesamaan atau keserupaan dengan ekspresi keagamaan

orang Bali Hindu. Namun, bagi orang Bali Kristen, ekspresi-ekspresi tersebut

dipandang tidak lebih dari sekedar perlengkapan ritual yang kehadirannya bukan

sentral dalam ritual.

Seni sering pula dipahami sebagai salah satu indikator identitas etnik.

Mereka yang memandang seni sebagai identitas etnik berasumsi bahwa ekspresi

artistik sekelompok orang berakar pada sistem nilai budaya dan pengalaman hidup

masyarakatnya yang spesifik, sehingga bentuk ekspresi artistik suatu kelompok

etnik tidak sama dengan bentuk ekspresi artistik kelompok etnik lain (Geertz,

1973:90). Perspektif serupa ini signifikan bagi kajian mengenai orang Bali

Kristen, yang mengartikulasikan gagasan artistiknya dalam bentuk-bentuk yang

serupa dengan orang Bali Hindu. Dari sisi ini bisa saja orang luar Bali akan

38

menengarai bentuk-bentuk ekspresi artistik mereka sebagai ciri orang Bali pada

umumnya. Keterkaitan antara identitas agama dan seni, terjadi pada pemanfaatan

simbol-simbol agama yang juga merupakan gejala seni.

Relasi antara etnisitas dan agama dari Hoon dalam artikelnya “By race

I am Chinese; and by grace I am Christian” mengungkapkan; hubungan antara

budaya dan agama merupakan sesuatu yang kompleks dan berbelit-belit seperti

benang kusut, yang coba dia uraikan dan Hoon membaginya ke dalam tiga

kelompok. “Dekulturasi” digunakan untuk menyebutkan hubungan yang terjadi

ketika agama membuang dan memusnahkan seluruh budaya tradisi yang dianggap

sebagai berhala. “Akulturasi” yaitu agama dan budaya tumbuh dan berkembang

bersama, meletakkan budaya dan agama sebagai dua hal yang terpisah namun

keduanya bersifat cair dan saling mempengaruhi. “Inkulturasi” yaitu budaya dan

agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak adanya celah di antara

keduanya karena terjadinya proses adaptasi agama ke dalam budaya atau

sebaliknya budaya ke dalam agama (Hoon, 2013:160).

1.5.2 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian, diperlukan pemikiran secara runtut dan

sistematik, untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan secara

ilmiah. “Siasat Identitas, Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, akan dikaji

berdasarkan beberapa landasan teori.

“...The major tradition of cultural studies combine – at their best – social

theory, cultural analysis, history, philosophy, and specific political

interventions, thus overcoming the standard academic division of labor by

surmounting specialization which bifurcates the filed of study of the media,

39

culture, and communications. Cultural studies thus operate with a

transdisciplinary conception that draws on social theory, economics, politics,

history, communication studies, literary and cultural theory, philosophy, and

other theoretical discourses. Transdisciplinary approach to culture and

society transgress borders between various academic disciplines. In

particular, they argue that one should not stop at the border of a text, but

should see how it fits into system of textual production, and how various texts

are thus part of system genres or type of production and have an intertextual

construction” (Kellner, 1995: 37).

(Beragam tradisi besar kajian budaya menggabungkan-sebaik yang mereka

mampu-teori sosial, analisis budaya, sejarah, filsafat, dan beberapa intervensi

politis tertentu, dan dengan demikian mengatasi pembagian tugas akademis

yang standar dengan melampaui spesialisasi yang memecah-belah bidang

kajian media, budaya, dan komunikasi. Kajian budaya bekerja dengan

pemahaman lintas disiplin ilmu yang berangkat dari teori sosial, ekonomi,

politik, sejarah, kajian komunikasi, teori sastra dan budaya, filsafat dan

berbagai wacana teoritis lainnya. Pendekatan lintas disiplin ilmu terhadap

budaya dan masyarakat melampaui batas-batas antara berbagai disiplin

akademik. Berbagai pendekatan tersebut secara khusus berpendapat, agar kita

tidak berhenti hanya pada batas sebuah teks, tetapi juga melihat teks tersebut

masuk ke dalam sistem produksi tekstual dan bagaimana beragam teks

tersebut menjadi bagian dari berbagai system genre atau jenis produksi serta

memiliki bangunan intertekstual).

Berbicara tentang cultural studies dapat dideskripsikan sebagai

permainan bahasa atau pembentukan wacana yang terkait dengan isu kekuasaan

dan signifikasi kehidupan manusia. Cultural studies adalah suatu proyek yang

mengasyikkan dan cair yang mengisahkan kepada kita cerita tentang dunia yang

tengah berubah dengan harapan agar kita dapat memperbaikinya (Barker, 2000:

195).

Bagi Hall, yang membedakan cultural studies dengan wilayah subyek

lain adalah persoalan kekuasaan dan politik, Hall mengatakan kebutuhan akan

perubahan dan dengan representasi atas dan bagi kelompok-kelompok sosial yang

terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras (bahkan termasuk umur,

kecacatan, nasionalitas, dll.). Dengan demikian cultural studies adalah perspektif

40

teori yang dibangun oleh pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis

sebagai praktik politik. Disini pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral

atau obyektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara,

kepada siapa dan untuk apa. Dalam tulisannya yang berjudul Cultural Studies and

Its Theoretical Legacies, Stuart Hall mengatakan bahwa harus ada sesuatu yang

dipertaruhkan dalam cultural studies untuk membedakannya dari wilayah subyek

lain. Hal yang dipertaruhkan adalah kaitan-kaitan cultural studies dengan

persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan

representasi dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama

representasi yang menyangkut klas, gender dan ras (bahkan juga usia,

penyandang cacat, nasionalitas, dan sebagainya). Dengan menggunakan perspektif

ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan

pengetahuan yang netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan

pengetahuan adalah tindakan politik. (Grossberg, 1992).

Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture berpendapat bahwa

identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang sudah diberikan sejak lahir dari

kekosongan. Identitas kultural bukan entitas yang ditakdirkan, tidak bisa

direduksi, atau ciri ahistoris yang menetapkan konvensi kultural. Pandangan

oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai sesuatu yang terpisah

satu dari yang lainnya dan masing-masing berdiri sendiri. Bhabha menganjurkan

bahwa negoisasi kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya

yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengalaman timbal

balik akan perbedaan budaya. Bahwa bukan hanya yang terjajah yang mengambil

41

atau meniru kaum penjajah, dalam beberapa hal kaum penjajah pun mengambil

atau meniru dari kaum terjajah walaupun dalam porsi yang lebih sedikit.

Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak

independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-

bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara

penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya

untuk bernegosiasi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu

resistensi (Bhabha, 2007:4).

Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu

“ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-

budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat

dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses

gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus.

Pencarian identitas itu idealnya tidak pernah berhenti, identitas mengalir sebagai

sesuatu yang senantiasa mengalami proses perubahan. Bhabha melukiskan

bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk ruang ketiga sebagai tempat

bernegosiasi. Teori liminalitas Bhabha ini memang mengesankan menghindari

oposisi biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Sebaliknya, yang hendak

ditawarkan Bhabha adalah bahwa ruang ambang itu mampu berperan sebagai

ruang untuk interaksi simbolik Ruang ketiga Bhabha dengan demikian

memberikan kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya. (Bhabha,

2007:34).

42

Teori liminalitas Bhabha meletakkan orang Bali Kristen pada posisi

ruang ketiga atau ruang antara, yang mempertemukan budaya Bali dengan budaya

Kristen. Seperti juga telah terjadi jauh pada masa sebelumnya, antara budaya Bali

dengan budaya Hindu. Konstruksi identitas berlangsung atau terus berproses tanpa

ada ujung yang jelas. Seperti ungkapan Bhabha bahwa tidak ada konfrontatif

saling menaklukkan di antara dua budaya yang ada, tetapi justru terjadi negosiasi-

negosiasi di ruang ketiga.

Dalam kajian ilmu sosial, kemudian ada upaya memformulasikan konsep

fisikal identitas secara lebih dinamis. Satu faktor yang mendorong perumusan

baru terhadap konsep identitas adalah banyaknya konflik sosial, politik, dan

kebudayaan yang mengeksploitir perbedaan. Di samping itu ketika perkembangan

dunia semakin mengglobal, maka mobilitas sosial, migrasi penduduk,

perdagangan bebas, lintas batas, dan serba berjejaring, maka problem identitas

menjadi semakin kabur. Karena itu identitas tidak ada yang bersifat tetap dan

mengkristal. Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan

suatu usaha berkelanjutan tanpa akhir. Oleh karena itu identitas bukan merupakan

suatu entitas konstruksi dasar/spiritual yang final dan statis, melainkan sesuatu

yang selalu tumbuh dan relasional. Sejalan dengan ungkapan Hall yang

menyebutnya sebagai ”suatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses dan

selalu dibangun dari dalam” (Hall 1996: 160). Orang Bali Kristen dalam posisinya

sebagai orang Bali dan diaspora Blimbingsari, meletakkan identitas diri sebagai

orang Bali yaitu sebagai “primordial” merujuk pada anggapan bahwa etnisitas

adalah sebuah identitas yang dibawa seseorang sejak lahir. Namun sesuatu hal

43

dinamis, tumbuh dan relasional serta terbuka terhadap masuknya tradisi yang

diterapkan dalam ajaran Kristen yang dianutnya.

Geertz memberi batasan pengertian agama sebagai berikut; agama

merupakan sistem simbol yang bertindak untuk menetapkan perasaan dan

motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam diri manusia dengan cara

memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum keberadaan atau

eksistensi dan mengisi konsep-konsep tersebut dengan aura faktualitas sehingga

perasaan dan motivasi tersebut tampak secara khusus, unik, dan nyata (Geertz,

1973:90). Batasan agama yang diungkapkan Geertz ini dirasa tepat bagi studi ini

karena didalamnya tidak terkandung elemen-elemen keilahian (wahyu), dan

sejenisnya; melainkan agama didekati sebagai suatu gejala sosial-budaya yang

mewujud dalam berbagai sistem simbol. Hal ini sejalan dengan apa yang

diungkapkan G.R. Lono Lastoro Simatupang pada makalah dengan judul; “Seni

dan Agama dalam Wacana Akademis”, yang disampaikan dalam Pembekalan

Jelajah Budaya, BPSNT Yogyakarta, tanggal 12 Juli 2010. Sebagai batasan

pembanding, perhatikan pendapat Koentjaraningrat tentang sistem religi.

Koentjaraningrat memandang sistem religi (agama) sebagai sebuah sistem yang

terdiri dari empat usur dasar. Keempat unsur dasar tersebut adalah; emosi

keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan kelompok keagamaan.

Keempat unsur dasar tersebut harus ada, agar suatu fenomena dapat dipahami

sebagai agama. Lebih lanjut Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa sistem

upacara melibatkan sejumlah unsur, termasuk tindakan, peralatan, tempat, waktu,

maupun pelaku (pemimpin dan umat). Upacara dibagi lagi menjadi dua macam

44

yaitu upacara kolektif dan upacara individual. Namun pada upacara individual,

tidak dibedakan antara pemimpin dan pengikut upacara. Pendapat

Koentjaraningrat tentang sistem upacara tersebut di atas sejalan dengan batasan

agama dari Geertz, yaitu apa yang disebut Geertz merupakan simbol-simbol yang

dihadirkan atau dilakukan untuk membangkitkan emosi keagamaan. Hal ini oleh

Koentjaraningrat disejajarkan dengan apa yang disebut sebagai peralatan dan

tindakan upacara.

Dengan demikian pendapat Geertz dan Koentjaraningrat, dapat

membantu dalam penelitian agama pada orang Bali Kristen ini. Sebagai orang

Bali Kristen, penerapan simbol-simbol agama dituangkan untuk menetapkan

perasaan dan motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam dirinya dengan cara

memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum sebagai orang Bali.

Sehingga keberadaannya dengan mempergunakan konsep-konsep orang Bali,

akan dapat menyatakan eksistensinya sebagai orang Bali yang beragama Kristen.

Konsep penting terkait dengan agama dalam hal ini adalah keberagamaan,

dimengerti sebagai ruang yang lebih sempit dari pengertian luas agama.

Keberagamaan lebih merujuk pada dimensi praktik dan perilaku para pemeluk

agama, bukan menyoroti persoalan dimensi keyakinan yang dianut pemeluk

agama.

Konsep agama sebagai sistem simbol yang ditawarkan oleh Geertz dapat

dengan mudah ditemukan kaitannya dengan seni. Simbol-simbol yang dibicarakan

oleh Geertz sebagai simbol agama, apabila dilucuti dari unsur keagamaannya,

dapat pula dipahami sebagai gejala seni. Persis seperti itulah yang terjadi di

45

kalangan orang Bali Kristen. Secara rupa dan aktivitas pertunjukan, sejumlah

ekspresi yang digunakan dalam ritual orang Bali Kristen memiliki kesamaan atau

keserupaan dengan ekspresi keagamaan orang Bali Hindu. Namun, bagi orang

Bali Kristen, ekspresi-ekspresi tersebut dipandang tidak lebih dari sekedar

perlengkapan ritual yang kehadirannya bukan sentral dalam ritual. Dengan

demikian, penelitian ini memahami seni sebagai fenomena material dan perilaku

yang memiliki daya pesona tanpa mempersoalkan apakah pesona yang terdapat

dalam gejala seni tersebut dipandang berasal dari sesuatu yang „maha tinggi‟ atau

bukan. Dapat pula dikatakan bahwa studi ini akan lebih menekankan dimensi

fungsi seni, yang antara lain dapat difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan.

Namun, seni sering pula dipahami sebagai salah satu indikator identitas

etnik. Mereka yang memandang seni sebagai identitas etnik berasumsi bahwa

ekspresi artistik sekelompok orang berakar pada sistem nilai budaya dan

pengalaman hidup masyarakatnya yang spesifik, sehingga bentuk ekspresi artistik

suatu kelompok etnik tidak sama dengan bentuk ekspresi artistik kelompok etnik

lain. Perspektif serupa ini signifikan bagi kajian mengenai orang Bali Kristen,

yang mengartikulasikan gagasan artistiknya dalam bentuk-bentuk yang serupa

dengan orang Bali Hindu. Dari sisi ini bisa saja orang luar Bali akan menengarai

bentuk-bentuk ekspresi artistik mereka sebagai ciri orang Bali pada umumnya.

Melalui seluruh pendekatan teori yang dipergunakan dalam penelitian

“Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, berupaya dikupas

secara mendalam tentang keberadaan orang orang Bali Kristen yang berjuang

dalam mengkonstruksi identitasnya. Identitas sebagai orang Bali yang beragama

46

Kristen, dapat menerapkan kesenian Bali dalam kehidupannya dan melakukan

aktivitas kehidupannya sebagai orang Bali yang beragama Kristen.

1.6 Metode Penelitian

Dalam upaya untuk memahami sebuah produk budaya, dan upaya

mengungkap “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, maka

metode penelitian kualitatif digunakan dengan fokus pada makna kultural

(Sugiyono, 2011:7). Untuk dapat mengumpulkan data tentang “Konstruksi

Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, maka dalam penelitian ini

dilakukan beberapa metode pengumpulan data yang dianggap relevan dengan

permasalahannya. Pengumpulan data melalui sumber pustaka, dokumen tertulis

dan arsip, dokumen fotografi, dan data visual, benda artifact, dan barang kenang-

kenangan lainnya.

Studi kepustakaan ditempuh untuk memperoleh data tertulis tentang

Siasat Identitas, Agama, dan Seni Orang Bali Kristen yang berupa buku, jurnal,

ensiklopedi dan kamus, brosur, surat kabar, surat berharga, arsip, serta dokumen,

terutama yang berkaitan dengan budaya. Data empiris yang diperoleh dari

lapangan diperlukan untuk mengetahui “Siasat Identitas Agama dan Seni Orang

Bali Kristen”, dan hal-hal lain yang perlu dipahami secara komprehensif. Karena

pada dasarnya penelitian merupakan usaha dari seseorang untuk mendekati,

memahami, mengurai, dan menjelaskan fenomena yang terkait dengan obyek

tertentu (Ignas Kleden, 1987: 60).

47

Pada studi observasi partisipasi, penulis berusaha terlibat secara langsung

dalam aktivitas masyarakat desa Blimbingsari. Pengamatan langsung di lokasi

penelitian diperlukan untuk mengetahui secara detail, tentang berbagai aspek

kehidupan masyarakat Blimbingsari. Untuk pengamatan langsung ini penulis tidak

mengalami masalah, karena penulis lahir dan dibesarkan di desa ini sehingga

sempat mengalami sendiri kehidupan di tempat ini.

Selain data yang diperoleh melalui observasi di lapangan, informasi dari

narasumber melalui wawancara sangat besar manfaatnya (Paula Saukko, 2003).

Untuk kepentingan wawancara pada informan terdiri dari ketua adat (Bendesa),

Kepala Desa (Prebekel), Pendeta dan tokoh masyarakat dan pengelola kesenian

dari Desa Blimbingsari, ketua adat dan Kepala desa dari desa Melaya dan desa

Ekasari, beberapa orang Blimbingsari yang menduduki jabatan atau pernah

menjabat di pemerintahan daerah Kabupaten Jembrana, serta diaspora Bali

Kristen. Wawancara dilengkapi dengan alat perekam, sehingga diperoleh

informasi mendalam berkait dengan pokok permasalahan. Menggunakan

wawancara sebagai teknik pengumpulan data merupakan konsekuensi dari pilihan

metodologi. Ketika seorang peneliti memilih metode penelitian kualitatif maka

wawancara yang biasanya dikombinasikan dengan observasi menjadi pilihan

utama sebagai teknik pengumpulan data. Meskipun demikian, teknik wawancara

bukan monopoli metode penelitian kualitatif, dalam penelitian kuantitatif pun

teknik ini juga bisa digunakan. Hanya saja, biasanya pertanyaannya lebih

terstruktur.

48

Dengan teknik wawancara akan diperoleh data verbal dan non-verbal,

tetapi dalam wawancara yang sering diutamakan adalah data verbal yang

diperoleh melalui percakapan atau tanya jawab. Pada umumnya ucapan seorang

responden atau informan disertai oleh gerak-gerik tubuh, perubahan raut

muka,intonasi bicara, gerak bibir, gerak mata dan lainnya, semua itu adalah data

non-verbal. Dalam aktivitas penelitian data non-verbal perlu diperhatikan karena

kaya akan konteks, sedangkan data verbal kaya akan informasi. Keduanya

merupakan data yang diperlukan untuk memahami makna ucapan dalam

wawancara. Dalam wawancara, data berupa persepsi dari responden atau informan

seperti pendapat, pengalaman, perasaan, pengetahuan, dan sikap. Karena iti tujuan

utama dari wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam

pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangan tentang dunia, yaitu hal-hal

yang tidak dapat diketahui melalui observasi.

Wawancara dikenal ada beberapa jenis, seperti wawancara berstruktur

dan tidak berstruktur. Dalam tradisi penelitian kualitatif, terutama pada kegiatan

wawancara awal sering tidak berstruktur. Tujuannya adalah untuk memperoleh

keterangan terinci dan mendalam mengenai pandangan informan terhadap sesuatu.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti biasanya belum mempersiapkan pertanyaan

spesifik kepada informan, karena belum dapat memprediksi apa kira-kira jawaban

yang akan diberikan oleh informan. Karena itu pertanyaan yang bersifat tidak

berstruktur, artinya memberi kebebasan dan kesempatan kepada responden atau

informan untuk mengeluarkan pendapatnya, buah pikirannya, dan perasaannya

tanpa diatur secara ketat oleh peneliti. Karena itu, pada fase ini seorang peneliti

49

perlu mempunyai “tradisi mendengar” yang baik, dengan membiarkan informan

memberikan informasi menurut pandangan dunianya terhadap suatu masalah atau

peristiwa. Akan tetapi, setelah peneliti kemudian memperoleh sejumlah data yang

relevan dengan fokus penelitiannya, maka wawancara mengarah pada wawancara

berstruktur yang disusun berdasarkan keterangan data dari informan yang

diperoleh sebelumnya. Dalam wawancara berstruktur ini memasukan sejumlah

pertanyaan yang lebih bersifat etik, yaitu suatu pertanyaan yang diatur oleh

peneliti.

Wawancara juga digolongkan pada wawancara formal dan informal.

Pada wawancara formal, artinya sejak awal peneliti sudah menyampaikan kepada

informan apa tujuan wawancaranya. Dengan teknik ini, materi wawancara terjaga

relevansinya dengan topik utama yang ingin diperoleh informasinya. Wawancara

tidak melompat-lompat dari topik yang satu ke topik yang lainnya, sehingga

banyak memperoleh informasi yang relevan. Sedangkan wawancara informal,

dilakukan secara santai dalam suatu waktu senggang sambil minum teh,

tempatnya digardu ronda yang berlangsung secara santai dan dalam suasana yang

akrab. Model ini memang akan memakan waktu lama dan mengharuskan peneliti

tinggal cukup lama dalam suatu lokasi penelitian. Akan tetapi, model ini akan

dapat memperoleh keterangan dan informasi dari informan yang lebih seperti apa

adanya, sehingga kadar representativitasnya lebih tinggi. Dalam studi ini,

wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci yang dianggap

mengetahui atau terlibat secara intensif dalam kegiatan yang menyangkut pada

identitas, agama dan seni di desa Blimbingsari. Informan yang dianggap paling

50

kompeten untuk memberikan informasi secara mendalam tentang identitas, agama

dan seni pada orang Bali Kristen meliputi ketua adat (bendesa), pejabat

pemerintah desa (prebekel), tokoh yang dituakan, pendeta dan lain-lain.

Selain mengumpulkan data dengan teknik observasi langsung dan

wawancara mendalam, dilakukan pula studi dokumentasi untuk melengkapi data

dan informasi yang telah terkumpul. Studi dokumentasi ini sekaligus dapat

digunakan sebagai pembanding dan alat pengecekan ulang kebenaran hasil

wawancara yang telah dilakukan dengan informan. Dengan cara pengumpulan

data melalui lintas metode ini menurut Moleong diharapkan dapat menjamin

kelengkapan dan kesahihan data. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat

interpretatif terhadap suatu topik, yaitu identitas, agama dan seni pada orang Bali

Kristen. Meskipun demikian, tidak berarti mengesampingkan validitas penelitian.

Oleh karena itu langkah yang ditempuh adalah menyadari bahwa validitasnya

bergantung pada bagaimana validitas pertanyaan, reliabilitas kajian, dan integritas

peneliti yang mampu mengambil jarak.

Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk mengorganisasikan

data. Semua data tentang identitas, agama dan seni orang Bali Kristen, terdiri dari

catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, video, artikel, hasil wawancara,

dan lain-lain. Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode, dan mengkatagorikannya (Moleong, 2000:

103). Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke

dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Sedangkan

51

interpretasi data diartikan sebagai pemberian arti yang signifikan terhadap

analisis, penjelasan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi

uraian. Dalam penelitian kualitatif ini analisis dilakukan mulai dari proses

pengumpulan data. Informasi data yang diperoleh dari awal kegiatan penelitian ini

yaitu mulai tahap observasi pendahuluan sampai wawancara, kemudian langsung

diorganisir yaitu disusun dan dikelompokan berdasarkan jenis, kategori data, dan

satuan uraian sesuai dengan keperluan dan prioritas penafsiran atau pembahasan

hasil penelitian.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dalam suatu proses. Proses di

sini berarti analisis data sudah dilakukan dan dikerjakan secara intensif, selama

proses pencarian dan pengumpulan data dilapangan penelitian. Sesuai dengan sifat

data, semua informasi dan data yang dapat dikumpulkan, dianalisis dengan

menggunakan teknik deskriptif analitis. Hal ini dimaksud untuk memperoleh

pemahaman tentang “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk dapat memberikan gambaran utuh penelitian yang dilakukan,

maka sistematika penulisan penelitian ini disusun sebagai berikut: Bab pertama

merupakan pengantar yang berkenaan dengan latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka/landasan teori

yang meliputi perspektif teoritik dan teori. Bagian akhir dari bab pertama adalah

metode penelitian yang meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara, teknik

dokumentasi, dan analisis data. Bab kedua tentang tinjauan sosial kemasyarakatan

52

antar sesama orang Bali Kristen dan dengan orang Bali Hindu di Bali,

menguraikan keberadaan orang Bali Kristen yang jumlahnya sangat sedikit

dibandingkan dengan orang Bali Hindu dan dijelaskan pula tentang keberadaan

desa yang hampir seluruh penduduknya beragama Kristen yaitu Blimbingsari. Bab

ketiga menyajikan Siasat Identitas bagi orang Bali Kristen melalui nama, bahasa,

pendidikan, ibadah dan upacara agama. Disajikan sebagai upaya untuk

menguatkan analisis tentang ke-Bali-annya, disamping yang utama berdasarkan

cultural studies dan tempat tinggal. Bab keempat menguraikan tentang agama dan

seni sebagai identitas orang Bali Kristen, yang diawali dengan penolakan terhadap

masuknya seni tradisi Bali ke dalam peribadatan gereja. Namun lambat laun

berangsur-angsur digunakan setelah melalui penyaringan makna, baik secara

internal maupun dari eksternal. Bab kelima membahas tentang dampak adanya

otonomi daerah, awig-awig dan ajeg Bali bagi orang Bali Kristen serta kuasa

mayoritas dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Bab keenam merupakan

kesimpulan.