Upload
truongnga
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Relasi antara budaya dan agama Hindu di Bali menunjukkan hubungan
yang sangat erat. Agama menyatu atau merasuk ke dalam budaya sehingga
identitas agama dan etnisitas itu saling identik, dimana tidak adanya celah di
antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an bahkan seakan-akan menunjukkan pada Bali
itu Hindu dan Hindu itu Bali. Relasi semacam ini disebut “inkulturasi”1. Hal tidak
adanya celah ini menjadikan kehadiran orang Bali yang beragama lain selain
Hindu, harus menghadapi tantangan yang sangat berat. Keadaan serupa juga
terjadi di daerah lain di Indonesia seperti diantaranya pada orang Aceh Islam,
orang Toraja Kristen, dan orang Minang Islam, yaitu terjadinya penyatuan agama
ke dalam budaya atau sebaliknya budaya ke dalam agama. (Hoon, 2013:160).
Beralihnya beberapa orang Bali menganut agama Kristen yang
selanjutnya disebut dengan istilah “orang Bali Kristen” pada tahun 1931, harus
menghadapi tantangan “inkulturasi” yang sudah ada. “Inkulturasi” antara budaya
Bali dengan agama Hindu yang tidak memberikan peluang bagi masuknya unsur
baru yang ingin memisahkan antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an yang sudah
menyatu. Namun jika unsur-unsur baru itu bersedia melebur ke dalam ke-Bali-an
dan ke-Hindu-an justru dapat diterima, seperti masuknya unsur Buddha ke
1 Inkulturasi adalah budaya dan agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak
adanya celah diantara keduanya karena terjadinya proses adaptasi agama ke dalam budaya atau
sebaliknya budaya ke dalam agama.
2
dalamnya. Seperti apa yang di ungkapkan oleh I Nyoman Wijaya dalam artikelnya
“Menjadi atau memiliki Hindu: Pluralisme Agama di Bali dalam Dimensi
Sejarah”.
“Sekalipun berbeda semuanya tetap satu: yakni kendaraan, sehingga tak perlu
dipersoalkan apakah dia lebih sederhana daripada yang lain, yang terpenting
adalah tujuannya sama: mendekatkan diri dengan Yang Ilahi. Sikap to be sangat
menjunjung paham sinkretik, namun tanpa pretensi menciptakan agama baru.
Sekaligus juga pluralis dalam arti mau mengakui bahwa kebenaran itu beragam
dan bersikap positif akan kesamaan tujuan dan fungsi semua agama. Sikap
tersebut menandakan bahwa masyarakat Bali-Hindu sudah berhasil
melokalisasikan substansi Veda, terutama pasal yang menyebutkan: “Jalan apapun
yang engkau pakai menujuKu, Aku terima.” Sikap ini terbentuk melalui proses
panjang, diawali oleh saling mempengaruhi antara agama Hindu sekte Shiwa
Sidhanta dengan dengan agama Buddha sekte Mahayana, tanpa melahirkan agama
baru, bahkan pendeta Buddha wajib terlibat dalam setiap pelaksaaan upacara
agama”. (http://www.tspkantorsejarawan.com/menjadi-atau-memiliki-hindu.html/,
diakses:16 Juni 2014)
Antara ke-Bali-an dan ke-Hindu-an orang Bali Hindu menyatu dengan
pemahaman, apabila terdapat ajaran baru dari suatu agama tetap diterima asalkan
bersedia melebur ke dalam ke-Hindu-an yang sudah ada.
Berawal dari beralihnya beberapa orang Bali Hindu menjadi Kristen,
orang-orang awal yang merupakan pelopor di desa Blimbingsari itu mengisahkan
seperti ini: Blimbingsari merupakan sebuah desa yang seluruh penduduknya
memeluk agama Kristen Protestan. Umat Kristen Protestan yang kini menetap di
Desa Blimbingsari, bukanlah penduduk asli desa ini melainkan berasal dari
berbagai daerah yang ada di pulau Bali. Desa ini terbentuk oleh beberapa orang
Bali yang awal menganut agama Kristen, yang diawali oleh beberapa orang dari
Denpasar tepatnya di desa Dalung, Buduk dan Abianbase. Orang-orang ini
mengalami krisis spiritual yang mendalam, karena apa yang mereka yakini tidak
3
dapat memuaskan batin yang haus akan ilmu. Sekitar tahun 1929, ada seorang
Jawa yang datang sebagai perantau di Bali dan memiliki keahlian di bidang ilmu
kebatinan bernama Raden Kusuma Atmaja2. Mereka belajar ilmu kebatinan
kepada Raden Kusuma Atmaja. Orang Bali yang telah memiliki ilmu kebatinan
tingkat tinggi yang dinamakan liyak3, banyak yang ingin meningkatkan ilmunya
dengan belajar ilmu kebatinan Jawa yang dimiliki Atmaja. Semakin meningkatnya
jumlah murid dari Atmaja menimbulkan kekuatiran pemerintah Belanda di Bali
akan terjadinya pemberontakan, maka Atmaja di usir dari Bali dan tidak
diperkenankan untuk kembali tinggal di Bali. Ditinggal Atmaja pulang ke Jawa
dan tidak akan kembali lagi, murid-muridnya berusaha mencari guru yang dapat
mengajarkan ilmu kebatinan yang akhirnya ditemukan pada diri Tsang To Hang.
Hang yang semula bernama Tsang Kam Fuk adalah seorang Cina Kristen yang
ditugaskan oleh C&MA sebagai gembala (istilah bagi pendeta agama Kristen
dalam membimbing umatnya) yaitu orang-orang Kristen China yang ada di Kota
Denpasar. C&MA ketua misinya di Indonesia adalah DR. Robert Alexander
Jaffray, kelompok ini di Indonesia bernama Kemah Injil. Jaffray juga merangkap
sebagai bendahara Chinese Foreign Missionary Union (CFMU) yang diketuai
oleh DR. Leland Wang (End dan Weitjens, 2008: 256).
Melalui seorang perempuan Bali yang dinikahi oleh seorang China
Kristen di Denpasar, Hang berkenalan dengan beberapa orang murid Atmaja yang
akhirnya menjadi Kristen. Kesediaan beberapa orang Bali ini menjadi Kristen erat
2 Raden Kusuma Atmaja adalah orang Jawa yang datang dan menetap di Bali Utara untuk
mengajarkan ilmu kebatinan. 3 Liyak adalah ilmu kebatinan yang berkembang di Bali yang menunjukkan kesaktiannya
dengan berubah wujud menjadi seperti apa yang diinginkan oleh pelaku.
4
kaitannya dengan pertarungan penguasaan ilmu kebatinan atau keyakinan yang
dikuasai oleh Hang sebagai orang Kristen dapat mengalahkan semua ilmu yang
mereka kuasai. Pengesahan menjadi Kristen melalui upacara baptisan pertama
terjadi pada dua belas orang Bali yang berasal dari desa Untal-Untal dan Buduk di
Denpasar pada tanggal 11 November 1931. Upacara baptis dilaksanakan oleh
pendeta Jaffray terhadap dua belas orang4 di Tukad Yeh Poh, Desa Dalung,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kedua belas orang inilah sebagai titik
awal orang Bali menjadi Kristen, sehingga tahun 1932 jumlahnya telah mencapai
tiga ratus orang (Ripa dkk, 2012:136).
Akibat dari Jumlah orang Bali Kristen semakin banyak, terjadinya
tekanan ekonomi, politik dan perbedaan keyakinan serta tidak mendapatkan hak-
haknya sebagai orang Bali, orang-orang ini berupaya untuk mencari tempat baru
untuk melanjutkan hidupnya dengan tenang. Melalui berbagai upaya akhirnya
orang-orang ini diijinkan pindah ke Bali barat dan membangun desa baru yang
dinamakan Blimbingsari. (Sunarya, 2009:5). Komunitas umat Kristen Protestan di
desa Blimbingsari, hidup berdampingan bersama masyarakat Bali yang beragama
Hindu dan pendatang dari daerah lainnya yang beragama Islam. Keunikan
masyarakat desa tersebut membangun gerejanya dengan arsitektur dan ornamen
ukiran Bali. Tetap mempertahankan tradisi dan adat-istiadat Bali dalam
melaksanakan perayaan hari raya umat Kristiani dengan memasang penjor,
4 Kedua belas orang Bali yang menjadi Kristen pertama setelah I Gusti Wayan Karangasem
yang tewas di tiang gantungan setelah dituduh mendalangi pembunuhan Yakob de Vroom tahun
1881 adalah: I Made Gepek (Pan Loting), Goesti Poetoe Sanoer, I Wajan Geroet (Pekak
Timothius), Ketoet Legi (Pan Bungkalan), I Made Geden (Pan Lipeng), Made Glendoeng (Pan Wajan Durja), I Ketoet Greda (Pekak Luh Seri), I Ketoet Toemboel (Pan Djawi), Gede Dedioeng
(Pan Kari), I Njoman Tijeb (Pan Degir), Nang Sadra, dan Ni Wajan Moenoeng (Nini Timothius).
5
memakai busana adat, tembang, tari, dan gamelan Bali. Pada saat perayaan Natal
maupun hari-hari raya Kristen lainnya, masyarakat juga menyajikan masakan-
masakan khas Bali seperti be guling, sate lilit, lawar, komoh dan berbagai
masakan Bali lainnya.
Kehidupan berkesenian orang Bali Kristen, diawali dengan penolakan
terhadap penggunaan simbol-simbol ke-Bali-an yang terjadi sejak tahun 1931
sampai Sidang Sinode GKPB di Abianbase, Denpasar tanggal 21-24 Maret 1972,
yang memutuskan di dalam pelayanan gereja menggunakan budaya daerah Bali
(Ripa, 2012: 278). Mereka menyingkirkan keberadaan patung-patung, ukiran,
lukisan, musik (gamelan Bali), nyanyian (mekekawin), dan tari Bali. Penolakan
terjadi menurut mereka akibat pemahaman yang dangkal terhadap larangan yang
ada pada kitab suci, dalam ajaran yang dianutnya yaitu agama Kristen. begitu pula
karena tekanan fisik dan mental dari saudara-saudaranya yang masih memeluk
agama Hindu. Dari sisi seni rupa akan sangat terlihat dari arsitektur dan dekorasi
gedung gereja lamanya di Blimbingsari, yang ber-arsitektur Eropa, sedangkan di
sisi seni pertunjukan akan terlihat pada upacara kebaktian, puji-pujiannya diisi
dengan koor tanpa menggunakan alat musik pengiring. Pada hari raya Natal, diisi
dengan sandiwara kelahiran Tuhan Yesus dan Paskah, sandiwara penyaliban.
Sangat berbeda dengan tampilan gedung gereja saat ini, seperti yang dikatakan
Mastra (Mantan Ketua Sinode5 GKPB
6), akan sangat sulit membedakannya
dengan Pura.
5 Sinode adalah Lembaga yang menaungi beberapa gereja di bawah satu atap. 6 GKPB merupakan singkatan dari Gereja Kristen Protestan di Bali.
6
Ukiran dan dekorasi dengan ornamen Bali, dilengkapi dengan simbol-simbol yang
ada pada agama Kristen. Gamelan Gong Kebyar7 dan Jegog
8, menghiasi satu sisi
dari gedung gereja yang ditabuh sebagai ilustrasi, untuk mengiringi lagu, tarian,
dan sendratari (Adams, 1997:201).
Peningkatan jumlah penduduk Bali yang terjadi dengan pesat dan
meletusnya Gunung Agung pada awal tahun 1963 (Mastra, 2010:51),
mengakibatkan banyaknya penduduk Bali berpindah untuk mencari tempat yang
lebih aman dan dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Tempat
yang dituju diantaranya Bali barat di Kabupaten Jembrana, namun tidak sedikit
pula yang meninggalkan Bali. Mereka pada umumnya mengikuti program
pemerintah yaitu transmigrasi. Beberapa keluarga yang berpindah tempat tersebut
membentuk komunitas di sekitar desa Blimbingsari dan Ekasari, sehingga daerah
tersebut menjadi daerah hunian yang sebelumnya merupakan daerah kosong. Hal
yang sama terjadi di Blimbingsari, banyak keluarga dari berbagai desa di Bali
datang dan menetap di Blimbingsari karena berbagai himpitan yang disebabkan
memeluk agama Kristen. Di Blimbingsari mereka merasa nyaman walaupun
hidupnya tidak seberuntung yang datang di sana lebih awal, namun dengan rasa
aman dari intimidasi saudara-saudaranya mereka merasa senang (Wawancara
dengan I Gede Togor, 15 Maret 2012).
7 Gong kebyar merupakan salah satu jenis gamelan Bali yang umumnya digunakan untuk
menyajikan pertunjukan yang profan. 8 Jegog merupakan gamelan khas Kabupaten Jembrana yang terbuat dari bambu dengan
lubang diameter besar.
7
Karena jumlah penduduk Blimbingsari yang terus meningkat dan tidak
diimbangi dengan perluasan wilayah yang hanya terdiri dari dua Banjar9 yaitu
Banjar Blimbingsari dan Banjar Ambyarsari. Mereka juga tidak mendapatkan
ijin untuk memperluas wilayah lagi, maka Sinode GKPB mengupayakan adanya
program transmigrasi. Upaya tersebut berhasil dilaksanakan atas ijin pemerintah,
transmigrasi dilaksanakan dengan daerah tujuan Sulawesi Tengah (daerah
Parigi)10
, Maluku dan Timor Timur (saat itu masih bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia). Gelombang perpindahan penduduk dari desa
Blimbingsari terjadi mulai tahun 1950-an sampai 1970-an dan pada tahun-tahun
berikutnya terjadi perpindahan atas prakarsa sendiri, karena diajak oleh
keluarganya yang sudah berhasil di daerah transmigran (Mastra, 2010: 64,78,94).
(Gambar 1. Blimbingsari Tahun 1950an, Dokumentasi GKPB)
Peningkatan jumlah penduduk Blimbingsari yang bentuk huniannya
dirancang menyerupai salib dari timur ke barat ini, mendapat perhatian yang
serius dari pihak desa karena untuk perluasan wilayah yang kemungkinannya
9 Banjar merupakan istilah Bali untuk menyebutkan bagian dari desa yang diketuai oleh
seorang kliyan, di Jawa setara dengan dukuh. 10 Transmigran orang Bali Kristen (diaspora Blimbingsari) dengan jumlah terbesar ada di
Parigi Butong Sulawesi Tengah, dengan jumlah sekitar dua kali lipat jumlah penduduk desa
Blimbingsari (namun jumlahnya pastinya belum pernah diteliti).
8
sangat kecil, maka dengan tidak mengalami kesulitan karena keadaan yang
memaksa program Keluarga Berencana (KB) berhasil sukses yaitu sejak tahun
1980-an setiap keluarga hanya memiliki dua anak dan paling banyak empat anak.
Bersamaan dengan dilancarkannya program Keluarga Berencana (KB) oleh
pemerintah saat itu, maka berbagai penghargaan KB dapat diperoleh warga desa
Blimbingsari (wawancara dengan I Gede Togor 20 Sept 2010, salah seorang
tokoh penggerak KB di desa Blimbingsari tahun 1975). Upaya lain dari
masyarakat Blimbingsari dalam mengatasi kekuatiran akan lonjakan jumlah
penduduk desa maka seluruh keluarga apalagi yang terlahir sebelum adanya
program KB, berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin
sesuai kemampuan finansial yang dimiliki, dengan harapan setelah menyelesaikan
pendidikan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan untuk menghidupi
keluarganya kelak. Upaya yang dilakukan semuanya berdampak positif terhadap
keberlangsungan desa Blimbingsari saat ini, karena berbanding lurus dengan
peningkatan ekonomi yaitu pengolahan lahan yang ada menjadi semakin efektif.
Dengan pendidikan yang baik dan memadai, sebagian besar putra-putri
Blimbingsari bekerja di kota-kota besar di seluruh Indonesia bahkan beberapa
orang ada yang menetap di luar negeri.
Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya
dua pengertian desa. Desa dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan
batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979
tentang pemerintahan desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai
kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan
9
istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian yang kedua,
yaitu „desa adat‟ atau „Desa Pakraman’, mengacu kepada kelompok tradisional
dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama
(Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung,
Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem). Dasar pembentukan desa adat
dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah
penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat.
Desa adat mempunyai identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat
hukum adat, serta mempunyai beberapa ciri khas yang membedakannya dengan
kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara lain adanya wilayah tertentu
yang mempunyai batas-batas yang jelas, sebagian besar warganya berdomisili di
wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik desa adat berupa kahyangan tiga
atau kahyangan desa (Dharmayuda, 2001).
Dengan adanya sistem pemerintahan desa yang khas untuk seluruh desa
di Propinsi Bali, maka untuk desa adat orang Bali Kristen di Blimbingsari adalah
desa adat Kristen yang luas wilayahnya sama dengan desa Dinas. Desa adatnya
dipimpin oleh seorang ketua adat yang bernama bendesa. Awig-awig atau aturan
adat yang ada dan berlaku, disesuaikan dengan agama Kristen yang dianut
masyarakat desa Blimbingsari, yang saat ini memiliki tiga gedung gereja sebagai
tempat ibadah.
Di desa-desa selain desa Blimbingsari, ada beberapa orang Bali Kristen
yang hidup secara berkelompok kepala keluarga dan ada pula yang berada
ditengah-tengah keluarganya yang beragama Hindu. Beberapa desa itu termasuk
10
desa awal yang ada penduduk Kristennya, seperti; desa Untal-Untal, Buduk,
Abianbase, Tuka, Plambingan, dan Carangsari di Badung serta Bubunan di
Buleleng. Saat ini, gereja yang bernaung di bawah GKPB tersebar diberbagai
tempat di Bali, gereja-gereja tersebut berada di Untal-untal, Buduk, Abianbase,
Carangsari, Tumbakbayuh, Padangtawang, Legian, Padangluwih, Sading,
Pegending, Bongan, Dukuh/Plambingan, Penataran, Lalanglinggah, Ulun Uma,
Piling, Selabih, Pengeraguan, Tibu Poh, Sudimara, Blatungan, Bubunan,
Banyupoh, patas, Sangsit, Sega, Galungan, Pakisan, Blimbingsari, Ambyarsari,
Pangkung Tanah, Melaya, Negara, Gilimanuk, Teluk Terima, Patas, Gitgit,
Ngis/Jegu, Amlapura, Sibetan, Singaraja, Klungkung dan Badung. Selain di
bawah naungan GKPB, ada pula beberapa gereja berdiri di seluruh kabupaten di
Bali (Ripa dkk.,2012).
Sebagai orang Bali, orang Bali Kristen akan sangat merasakan disisihkan
dan tidak dianggap sebagai orang Bali oleh orang Bali Hindu, ketika orang Bali
Kristen diketahui identitas agamanya. Sebagai contoh pengalaman menarik, yang
pernah dirasakan oleh seorang anak Bali Kristen. Ketika itu, anak ini menempuh
pendidikan di satu sekolah menengah atas. Dia siswa satu-satunya yang beragama
Kristen di sekolah tersebut, teman-temannya mengejeknya sebagai “anak spritus”
(yang memberikan nama julukan itu adalah guru agama yang mengajar di sekolah
tersebut, “anak spritus” yang merupakan ejekan sebagai anak Kristus). Suatu saat
pada saat latihan menaikkan bendera untuk upacara bendera setiap hari Senin,
anak ini diancam akan “dikerek” di tiang bendera oleh teman-temannya agar
nasibnya sama seperti “spritus” yang disembahnya tersalib di kayu salib. Tidak
11
boleh masuk ke pura walaupun dengan pakaian adat lengkap, padahal anak ini
menyaksikan banyak orang asing dan orang luar Bali yang tidak beragama Hindu
diijinkan masuk ke pura, hanya dengan sarana sebuah amed (selendang yang
diikatkan pada pinggang). Perlakuan berbeda yang diterima anak ini hanya karena
dia orang Bali yang beragama Kristen.
Pengalaman seorang anak Bali di atas dapat menjadi cerminan
keberadaan orang Bali Kristen, sebagai orang Bali yang menganut agama Kristen,
terusik nuraninya untuk menanyakan identitas ke-Bali-an yang melekat pada
dirinya. Lahir di Bali, berbahasa ibu bahasa Bali, menjalankan kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan kesenian yang sama sebagai orang Bali. Tetapi di dalam
banyak hal tidak mendapatkan hak-haknya sebagai orang Bali, terutama hak atas
adat sebagai orang Bali walaupun beragama Kristen.
Orang Bali menunjukkan identitasnya melalui berbagai hal yang sangat
khas, dibandingkan dengan identitas kelompok lain yang ada di Indonesia. Agama
Hindu Bali memberikan warna pada kehidupan spiritual orang Bali, mereka
sangat taat pada berbagai upacara yang wajib diikuti. Walaupun aturan itu hanya
bersifat lisan secara turun temurun, mereka sangat patuh mengikuti. Pura dan
sanggah sebagai tempat pemujaan berdiri berimbang dengan pemukiman yang
ada, karena pada tiap-tiap rumah dapat dipastikan terdapat tempat pemujaannya.
Pernak-pernik peralatan penunjang upacara menghiasi setiap sisi ruang pura dan
rumah, yang setiap hari mengalami pembaharuan bagaikan tidak ada waktu yang
tersisa hanya untuk membuat dan membenahi peralatan upacara. Setiap hari ada
ratusan upacara sedang dan besar yang dilaksanakan di pulau Bali yang sangat
12
kecil ini, jika dibandingkan dengan pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua dan
pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Upacara kecil dengan sarana canang
dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari di setiap rumah dan instansi
pemerintah maupun swasta, dengan demikian sangat layak untuk dikatakan
sebagai “tiada hari tanpa upacara”.
Bahasa Bali dengan logatnya yang sangat khas, sering menjadi bahan
gurauan karena tidak bisa bilang “t”. Walaupun memiliki keterbatasan huruf
dibandingkan dengan aksara Jawa dengan tidak adanya huruf “th” dan “dh”,
namun dapat bertahan hingga saat ini sebagai sarana komunikasi sehari-hari pada
keluarga di pedesaan. Struktur huruf yang artistik mengandung unsur-unsur magis
menghiasi tiap rumah sebagai simbol kekuatan kuasa Tuhan. Penduduk Bali
dalam kesehariannya sebagian besar menggunakan bahasa Bali sebagai sarana
komunikasi dengan sesama maupun dengan Tuhan sebagai ucapan doa untuk
memohon kepada dewa-dewanya, agar diberikan kekuatan dan keselamatan.
Kesenian Bali yang berupa seni pertunjukan dan seni rupa, menempati
posisi sentral sebagai sarana upacara dan penunjang upacara. Tarian sakral dan
benda-benda seni yang dikeramatkan selalu hadir pada upacara ritual diberbagai
pura, seni dipercaya memiliki kekuatan gaib sebagai sarana komunikasi antara
umat dengan Tuhan. Pada sisi lain kesenian memberikan nuansa keindahan, yang
hadir pada seluruh sisi kehidupan orang Bali pada umumnya. Bangunan dengan
arsitektur khas Bali dengan hiasan pernak-pernik ukiran, lukisan terpajang dengan
artistik, patung-patung dengan berbagai wujud berposisi bagaikan penjaga
mengawasi lalu-lalang orang yang lewat di depannya. Suara berbagai jenis
13
gamelan menggema berbaur, di wantilan11
dan bale banjar12
gadis-gadis dan pria
remaja berlatih tari dengan kesungguhannya mengikuti instruksi pelatih.
Kehidupan bermasyarakat ditunjukan dengan kerja sama saling tolong menolong,
melalui kelompok profesi yang bernama seka13
.
Konstruksi identitas agama dan seni pada orang Bali Kristen terjadi,
karena desakan kuasa mayoritas yang tidak mengakui orang Bali Kristen sebagai
orang Bali. Tekanan kuasa mayoritas melalui diskriminasi terhadap hak-hak
kepemilikan termasuk hak waris, awig-awig di desa pakraman yang hanya
berlaku untuk orang Bali Hindu dan munculnya gerakan ajeg Bali. Sikap orang
Bali Hindu yang menempatkan ke-Bali-an dan ke-Hindu-an pada pemahaman
yang sama, mendorong orang Bali Kristen untuk menanyakan identitas ke-Bali-
annya.
Orang yang menyebut dirinya orang Bali Kristen adalah orang Bali
Kristen yang berada di Bali dan yang berada di luar Bali. Orang Bali Kristen yang
berasal dari Desa Blimbingsari yang bertempat tinggal di luar Blimbingsari,
menyebut dirinya dan kelompoknya sebagai “diaspora Blimbingsari”. “Diaspora
Blimbingsari” adalah: Semua orang yang berasal dari desa Blimbingsari
Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana Bali, memiliki ikatan keturunan dengan
orang Blimbingsari, mengakui Blimbingsari sebagai tanah leluhurnya dan tinggal
11 Wantilan adalah tempat yang awalnya didirikan khusus untuk tujuan belajar dan berlatih
gamelan dan tari Bali. 12 Balai Banjar mempunyai arti yang sama dengan tempat pertemuan warga desa di Bali. 13 Seka merupakan kelompok yang terdiri dari sekitar 5 sampai 40 orang, untuk
melaksanakan suatu kegiatan secara bersama-sama atau gotong royong untuk mencapai hasil atau
tujuan yang diinginkan. Contohnya; seka gong (perkumpulan penabuh gamelan), seka mederep
(kelompok penggarap sawah dari menanam sampai memetik padi), seka joged bumbung
(kelompok penabuh dan penari joged bumbung), dan banyak lagi seka lainnya.
14
di luar desa Blimbingsari sebagai perantauan. Kesenian orang Bali Kristen adalah
kesenian yang sama dengan kesenian Bali pada umumnya dan tidak menggunakan
kesenian yang fungsinya sebagai ritual (wali) dan pendukung ritual (bebali)
agama Hindu di Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian dengan judul “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang
Bali Kristen”, difokuskan pada kehidupan orang Bali Kristen Protestan di desa
Blimbingsari dan diaspora Bali Kristen. Latar belakang kehadiran Orang Bali
Kristen disajikan untuk mengungkap awal mula beberapa orang Bali yang
menganut agama Kristen, yang merupakan cikal bakal terjadinya perpindahan
orang Bali timur dan utara, berdasarkan pada persetujuan yang diberikan
pemerintah Kolonial Belanda, sehingga terbentuknya sebuah desa yang diberi
nama Blimbingsari. Perjalanan kehidupan bermasyarakat sebagai orang Bali
Kristen, karena disingkirkan dari lingkungannya di daerah asal, sehingga
memutuskan untuk meninggalkan adat istiadatnya terutama yang tidak sesuai
dengan agama baru yang dianutnya dan kesenian Bali. Namun kemudian
kesadaran muncul sebagai orang Bali tidak bisa lepas dari budaya Bali yang
sangat dipahaminya, tanpa meninggalkan keyakinan Kristen yang baru dianutnya
berupaya menyatukan budaya Bali dan agama Kristen dalam setiap upacara
keagamaannya.
Kepadatan penduduk Blimbingsari yang diakibatkan oleh pesatnya
kelahiran dan kedatangan penduduk dari berbagai daerah, dan tidak mendapat ijin
15
untuk memperluas wilayah hunian, memaksa para orang tua menyekolahkan
anaknya setinggi mungkin, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di kota.
Harapan tersebut saat ini terwujud dengan tersebarnya orang Blimbingsari di
berbagai daerah di Indonesia, yang menamakan dirinya sebagai “Diaspora
Blimbingsari”. Kelompok diaspora Blimbingsari menjalin komunikasi melalui
media yang ada, baik antara diaspora Blimbingsari maupun dengan orang yang
masih tinggal di Blimbingsari.
Rumusan masalah ini terbentuk dari berbagai persoalan yang
mengemuka dalam penelitian ini yaitu: Pertama, menyatunya budaya Bali dan
agama Hindu sebagai “inkulturasi” atau menyatunya antara ke-Bali-an dan ke-
Hindu-an orang Bali Hindu, tidak memberikan celah dan rongga sedikitpun bagi
orang Bali Kristen sebagai orang Bali yang beragama Kristen. Kedua, ajaran
Kristen yang diajarkan Hang masuk pada kelompok karismatik (“dekulturasi”)
yang mengajarkan untuk membuang seluruh unsur ke-Bali-an yang dianggap
sebagai penyembahan berhala. Penghancuran tempat persembahyangan Hindu
yang dianggap sebagai penyembahan berhala, menimbulkan kebencian yang
sangat mendalam sehingga terjadi penyiksaan, pengusiran dan pengucilan serta
menghilangkan seluruh hak-hak orang Bali Kristen sebagai orang Bali. Ketiga,
diusirnya Hang dari Bali dimanfaatkan oleh orang Bali Hindu untuk memaksa
saudara-saudaranya yang telah menjadi pengikut Hang, untuk kembali menjadi
Hindu. Sehingga jumlah orang Bali Kristen yang tersisa tinggal sedikit. Keempat,
peluang hidup orang Bali Kristen tumbuh kembali setelah dibukanya desa
Blimbingsari sebagai tempat bermukim untuk orang Bali Kristen, yang berangsur
16
kehilangan ajaran karismatiknya setelah mendapat pengaruh dari Gereja Kristen
Jawi Wetan14
. Sehingga terbentuknya Gereja Kristen Protestan Bali yang
menyadari arti ke-Bali-an walaupun tetap beragama Kristen. Kelima, Pesatnya
angka pertumbuhan jumlah orang Bali Kristen sehingga harus diatasi dengan
upaya transmigrasi dan sekolah setinggi mungkin untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak di luar Blimbingsari dan mereka disebut sebagai “diaspora
Blimbingsari”.
Beberapa masalah di atas dirangkum dan dirumuskan menjadi: (1)
Bagaimana latar belakang kehidupan dan sosial orang Bali Kristen, sebelum dan
setelah tinggal di desa Blimbingsari? (2) Bagaimana orang Bali Kristen bersiasat
sebagai minoritas dari mayoritas masyarakat Bali terhadap tekanan fisik dan
mental? (3) Bagaimana peran diaspora Blimbingsari dalam memperjuangkan
eksistensinya sebagai Orang Bali Kristen?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diajukan, maka penelitian yang akan
dilakukan bertujuan untuk (1) mengungkap latar belakang kehidupan sosial orang
Bali Kristen dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kehidupan
masyarakatnya ditinjau dari sisi organisasi kemasyarakatan, mata pencaharian
yang menunjang kehidupan ekonomi, pendidikan, keagamaan, adat istiadat dan
14 Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah Sinode yang membawahi Gereja-gereja
Kristen Jawa yang ada di wilayah Jawa Timur.
17
kesenian. Mendeskripsikan hasil penelitian tentang budaya orang Bali Kristen,
serta mengeksplanasikan budaya orang Bali Kristen. (2) Menemukan jawaban atas
pertanyaan Bagaimana orang Bali Kristen bersiasat sebagai minoritas dari
mayoritas masyarakat Bali terhadap tekanan fisik dan mental. (3) Mengungkap
upaya diaspora Bali Kristen dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai orang
Bali Kristen, untuk selalu berinteraksi dan mengetahui situasi dan mendukung
perkembangan daerah asalnya.
Siasat
Identitas
Agama
Seni
Orang
Blimbingsari
Diaspora
Blimbingsari
Orang Bali Kristen
Identitas Bali Etnik
Bali Kristen Sub-kultur
(Gambar 2.
Alur Pemikiran Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen)
1.3.2 Manfaat Penelitian
(1) Menumbuhkan pemahaman kritis tentang identitas di Bali khususnya
yang berkenaan dengan keterkaitan antara identitas etnik/budaya dengan agama.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di Bali itu terdapat orang Bali yang bukan
18
beragama Hindu saja, tetapi ada pula yang beragama Kristen Protestan, Katolik,
Budha, Islam, dan Konghucu. (2) Bermanfaat bagi orang Bali Kristen, dalam
menempatkan diri sebagai orang Bali dan juga sebagai orang Kristen yang dapat
menerapkan ke-Bali-an dan ke-Kristen-an dalam aktivitas kehidupannya. (3)
Bermanfaat bagi pemerintah, dalam menerapkan arti keragaman dalam kehidupan
bermasyarakat dan sebagai bahan yang utuh tentang “Konstruksi Identitas Agama
dan Seni Orang Bali Kristen” yang dikaji secara ilmiah, serta (4) memberi peluang
bagi peneliti selanjutnya untuk mendapatkan referensi yang lebih lengkap.
1.4 Kajian Pustaka
Penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap beberapa pustaka yang
menyajikan tentang konstruksi identitas ke-Bali-an, ke-Kristen-an, diaspora serta
hubungan agama dan seni ditemukan beberapa pustaka yang dapat digunakan
sebagai pijakan di dalam melangkah pada penelitian ini. Hal yang menyebabkan
orang Bali Hindu pindah menjadi Kristen, dapat peneliti gunakan untuk menggali
lebih dalam terhadap identitas ke-Bali-an dan ke-Kristen-an orang Bali Kristen.
Penelitian yang berupa skripsi dari Kadek Surpi ini, menguraikan tentang konversi
agama dari Hindu ke Kristen pada beberapa orang Bali. Begitu pula penelitian
yang berupa tesis dari Sukmi tentang “akulturasi” budaya dengan lokasi penelitian
di Desa Blimbingsari, memandang hubungan agama dengan budaya yang terjadi
pada orang Bali Kristen sebagai hubungan yang bersifat akulturasi. Namun
peneliti berpandangan hubungan antara agama dan budaya yang terjadi pada
orang Bali Kristen sudah masuk pada hubungan secara “inkulturasi”.
19
Memasukkan budaya Bali ke dalam bentuk peribadatan, mengarah pada proses
terjadinya “inkulturasi” pada orang Bali Kristen. Uraian sejarah tentang orang
Bali Kristen dari Wijaya dan Ripa, memberikan celah bagi peneliti untuk
mencermati sisi konstruksi identitas dari orang Bali Kristen.
Serat Salib Dalam Lintas Bali Sejarah Konversi Agama di Bali 1931-
2001 oleh Nyoman Wijaya. Sejarah munculnya agama Kristen di Bali diungkap
dengan begitu gamblang, sejak awal mula bagaimana orang-perorang mempelajari
agama Kristen masuk dan meresap ke hati sanubari bagaikan serat-serat kayu.
Munculnya GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) yang merupakan bagian dari
sejarah Bali, membuktikan keberadaan orang Bali yang menganut agama Kristen.
Kajian sejarah dari tulisan Nyoman Wijaya, tentang kehidupan umat Kristen di
Bali memberikan kemudahan dalam penelitian ini, karena dalam sub judulnya
Maselong ke Alas Cekik di halaman 239-272 menguraikan tentang sejarah
terjadinya Desa Blimbingsari. Namun ada beberapa hal perlu dikaji kebenarannya
tentang istilah-istilah yang digunakan dalam buku ini antara lain, rumah penduduk
yang berjajar menyerupai bentuk salib, pada awalnya berujung di barat dengan
pangkalnya di timur menunjukkan perlawanan terhadap budaya Bali yang
meyakini kaja (utara) adalah tempat yang dianggap suci. Hal itu dapat dibuktikan
dari jumlah awal enjungan (wilayah) yaitu kangin, kauh, kaja, kelod, dan tengah.
Enjungan tengah terletak memanjang ke arah timur, sehingga kaki salib yang
panjang ada di sebelah timur. Walaupun dalam perkembangannya setelah
masyarakat Blimbingsari menerapkan kembali budayanya, pemahaman terhadap
arah salib itu dibenahi dengan memberikan alasan-alasan yang ada. Begitu pula
20
istilah tempekan tidak dikenal dimasyarakat Blimbingsari, istilah untuk wilayah
atau bagian dari banjar dinamakan enjungan (Wijaya, 2007, 239-272).
Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah yang ditulis oleh tim penulis
terdiri dari I Nengah Ripa, Tjatra Puspita, I Ketut S. Waspada dan I Ketut Suyaga
Ayub, berusaha mengungkap sejarah lahirnya gereja di Bali. Tidak jauh berbeda
dengan apa yang ditulis Nyoman Wijaya, mengungkapkan dari waktu kewaktu
awal mula dibaptisnya orang Bali menjadi Kristen. Karena buku ini ditulis oleh
empat orang dan semuanya berjabatan pendeta, maka isu sejarah yang diangkat
kurang didasari dengan kajian sejarah yang mendalam dan melibatkan dogma
agama sebagai fakta sejarah. Sebagai contoh di halaman 5 terungkap kalimat
“gereja sebagai tubuh Kristus, dan keyakinan bahwa Tuhan sendirilah kepala dari
tubuh tersebut, membuat tim penulis meyakini bahwa keberadaan GKPB, waktu
dan prosesnya hanya Tuhan sendirilah yang menentukan”. Beberapa fakta baru
tentang sejarah GKPB terungkap melalui data, dapat digunakan sebagai tambahan
referensi (Ripa dkk,. 2012:5)
Bab dua buku ini yang ditulis oleh Tjatra Puspita mengungkap tentang
keyakinan yang dianut oleh penduduk Bali sejak abad ke delapan, masuknya
agama Budha dan Hindu dapat melebur dengan keyakinan yang telah dimiliki
orang Bali. Tjatra Puspita mengungkapkan bagi orang Bali apapun agama yang
masuk tidak dipermasalahkan, yang penting bisa melebur dengan apa yang
diyakini oleh orang Bali saat itu. Sehingga pada saat ada tuntutan untuk
menyebutkan memeluk agama apa, terutama pada awal Indonesia merdeka, orang
Bali bingung menyebut agamanya. Pernyataan yang dikutip dari buku Prasasti
21
Bali yang ditulis oleh R.Goris terbit tahun 1954 mengungkapkan orang Bali saat
itu menganut Budha bercampur dengan ajaran Hindu yang terpadu dengan
keyakinan mula-mula yaitu penyembahan terhadap roh leluhur, yang diungkapkan
dengan menggunakan sesajen yang sama artinya dengan Bali. Bali itulah yang
kemudian menjadi nama dari pulau Bali. (Ripa dkk.,2012:12).
Bab tiga yang diberi judul “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya
Gereja Bali”, ditulis oleh I Ketut S. Waspada, menekankan penulisan pada usaha
awal penyebaran agama Kristen di Bali. Kekuatan adat yang menyatu dengan
keyakinan pada roh leluhur, menjadikan orang Bali merasa nyaman dengan
kondisinya saat itu (sebelum ada kewajiban untuk mencantumkan agama atau
masa sebelum Indonesia merdeka). Agama apapun yang masuk ke Bali asalkan
sejalan dengan pola kehidupan dan upacara-upacara dalam penyembahan terhadap
leluhur, akan diterima dan disatukan dengan keyakinannya. Masuknya Hindu dan
Budha sebagai dua agama yang masuk dan menyatu dengan keyakinan orang Bali.
Masuknya misionaris Kristen yang ajarannya menentang penyembahan leluhur,
mendapat penolakan serius dan berlangsung selama ratusan tahun. Sehingga baru
tahun 1931 melalui dua belas orang Bali yang dibaptis di tukad Yeh Poh,
menghasilkan ratusan orang Bali meninggalkan keyakinannya terhadap
penyembahan roh leluhur. (Ripa dkk.,2012:136).
Keputusan menjadi orang Bali Kristen, ternyata merupakan awal
penderitaan yang sangat berat karena penolakan keras sehingga orang Bali yang
masuk agama Kristen dianggap sudah mati walaupun masih hidup. Dengan kata
lain dapat diperlakukan sesuka hati, karena sudah meninggalkan keyakinannya
22
menyembah leluhur. Tentang penderitaan karena menjadi Kristen ini, diulas pada
bab empat “Umat Kristen Bali Mula-mula Mengalami Penganiyaan” oleh I Ketut
Suyaga Ayub. Penyiksaan yang sangat tragis terjadi di berbagai tempat yang ada
orang Bali Kristennya, pengusiran delapan kepala keluarga dari Madangan,
Gianyar tahun 1942, yang akhirnya menetap di Blimbingsari, dengan berjalan
kaki selama tujuh hari tujuh malam. Penolakan dari warga masyarakat yang
megama Canang (istilah Bali bagi umat Hindu Bali tahun 1940-an), meniadakan
keberadaan orang Bali Kristen karena orang Bali Kristen tidak mau nyungsung
sanggah (menyembah di tempat roh leluhur tinggal) (Ripa dkk.,2012:234).
Pada Buku Palms and The Cross: Socio-economic Development in Nusa
Tenggara, 1930-1975 tulisan Paul Webb, tersebar pada beberapa halaman
bukunya mengungkapkan tentang tekanan ekonomi yang dialami masyarakat Bali
pada saat itu sehingga melakukan migrasi untuk mendapatkan lahan yang lebih
subur ke bagian barat pulau tersebut. Blimbingsari dan Palasari merupakan dua
tempat yang dituju untuk membentuk komunitas baru yang beranggotakan
masyarakat dari berbagai desa yang ada di Bali bagian timur dan utara. Krisis
ekonomi yang menyebabkan kelaparan pada sebagian besar penduduk Bali,
berakibat pula pada krisis rohani. Pada saat itu ada beberapa orang yang sudah
pindah agama menjadi Kristen atau Katolik, setelah ekonomi pulih, kembali
memeluk Hindu (Webb, 1986:114-215).
Bali yang hilang: Pendatang, Islam, dan Etnisitas di Bali, Yudhis M.
Burhanuddin pada halaman 129 menyinggung tentang Bali sebagai pulau dimana
multikulturalitas dan pluralitas sangat kentara terbukti dari hadirnya berbagai
23
tempat ibadah yang sudah barang tentu didukung oleh pemeluk agamanya
masing-masing. Multikulturalitas itu lebih tampak menonjol di daerah Denpasar,
Singaraja dan Jembrana. Berbagai etnis juga hadir di Bali bahkan kehadirannya
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, seperti etnis Bugis yang beragama Islam di
desa Loloan Jembrana, etnis Cina, Arab, dan India menunjukkan masyarakat Bali
adalah masyarakat yang heterogen. Hadirnya masyarakat Bali Kristen Protestan di
Blimbingsari dan Katolik di Palasari juga diungkap sebagai bukti bahwa Bali
sejak lama telah menerima hadirnya agama lain selain Hindu. (Burhanuddin,
2008:129).
Sisi di Balik Bali Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global
karya I Ngurah Suryawan. Sebuah tulisan yang memandang Bali dari sisi lain,
untuk mengurai keadaan Bali yang sebenarnya terjadi saat ini. Kekerasan dengan
mengatasnamakan adat yang menimpa anggota adatnya sendiri, yang melanggar
aturan adat kasepekang (dikucilkan atau disisihkan) oleh krama desa adat. Hal
yang ditulis ini benar-benar terjadi dengan beberapa contoh, pada buku ini diberi
sub judul “Suara Lirih Manusia Bali dalam Politik”. (Suryawan, 2012:14). Sisi
yang berbeda dari penilaian umum terhadap Bali yang indah dan damai, diuraikan
secara rinci dan penuh kehati-hatian. Politik yang dipengaruhi oleh relasi kuasa
dan kepentingan, menonjolkan suryak siyu (bersorak untuk mendukung yang
dominan), menjadikan hembusan suara politik orang Bali sangat lirih di
permukaan Negara Indonesia. Kaum berkasta diperalat sebagai obyek dalam
politik, tidak berbeda jauh dengan apa yang pernah diterapkan pemerintah
penjajah pada awal sampai pertengahan tahun 1900. (Suryawan, 2012:73).
24
I Wayan Mastra dalam bukunya Jejakku Mengikut Kristus, menuliskan
tentang perjalanan hidupnya yang ditekankan setelah menjadi Kristen dan
kemudian terpilih sebagai pemimpin atau Ketua Sinode Gereja Kristen Protestan
di Bali. Bagaimana awal mula orang Bali ada yang menjadi Kristen juga diungkap
di sebagian kecil halaman, yang sebagian besar menuliskan tentang riwayat hidup
dirinya. (Mastra, 2010).
I Ngurah Suryawan dalam buku Rintihan Negri Sorga pada halaman 217
yang diberi judul “Ajeg Bali dan Politik Identitas ke-Bali-an”, menguraikan
tentang sebuah gerakan yang diberi nama Ajeg Bali yang dilontarkan oleh
Kelompok Media Bali Post (KMB). Gerakan ini bertujuan untuk menggugah
kesadaran masyarakat Bali, menjaga, mengokohkan, dan melestarikan budaya
mereka dari pengaruh luar. Gerakan Ajeg Bali ini secara tidak langsung membawa
serta “politik identitas” ke-Bali-an untuk merevitalisasi posisi diri menghadapi
terjangan globalisasi yang mengepung Bali. (Suryawan (2009:217).
Putu Fajar Arcana dalam bukunya Surat Merah Untuk Bali, pada bagian
prolog yang ditulis oleh Jean Couteau menjelaskan tentang rancangan untuk Bali
mengutip karya Covarrubias dalam tulisannya Island of Bali. Covarrubias melihat
Bali sebagai sosok perempuan cantik yang mengusung sesaji, atau tengah mandi
di pancuran tanpa busana, yaitu suatu keadaan yang indah seperti di surga.
Kekhawatiran di masa depan akan masuknya pengaruh asing melalui pariwisata,
akan menghancurkan surga Bali, maka dirancanglah oleh kolonial Belanda agar
Bali dapat dinikmati sebagai musium hidup. Arcana mengupas kondisi Bali saat
ini, dengan menekankan pada kekuatan multikulturalisme dengan menuangkan
25
argumentasinya bahwa pada daerah yang multikulturalismenya kuat justru lebih
tahan menghadapi tantangan globalisasi yang terjadi. Beberapa contoh daerah
yang masyarakatnya multi-etnis dan multi-agama seperti antara lain Jembrana
justru mengalami pertumbuhan dalam ketahanan tradisinya, hubungan sosial
kemasyarakatan, birokrasi kepemimpinan, keamanan, yang sekaligus membawa
peningkatan secara ekonomi masyarakatnya. (Arcana, 2007).
Daniel J Adams sebagai editor buku From East To West, pada halaman
201, I Wayan Mastra memberi judul tulisannya “The Mother Temple of
Blimbingsari: A Sermon in Stone”, mengungkapkan tentang arsitektur bangunan
gereja yang ada di Blimbingsari sangat sulit dibedakan apakah itu Pura atau
Gereja. (Adams, 1997:201). Seperti yang diungkapkan Mastra, bahwa inkulturasi
telah terjadi pada pembangunan gedung gereja yang baru. Gedung gereja lama
yang telah dibongkar berarsitektur Eropa, dengan ornamen gambar yang
ditampilkan seperti ornamen gereja yang ada di Eropa juga. Pendapat dari Mastra
ini, dapat peneliti gunakan sebagai acuan dalam mengkaji dari sisi seni rupa dan
arsitektur.
Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi tulisan dari
Nengah Bawa Atmaja mengutarakan arti penting dari identitas kultural orang Bali,
yang diwujudkan dalam Ajeg Bali. Pertanyaan yang dimunculkan sesudahnya,
apakah identitas kultural orang Bali sama dengan agama Hindu? Jika sama, berarti
ajeg Bali sama dengan Ajeg Hindu. Sayangnya pertanyaan ini tidak dijawab,
tetapi disamarkan sebagai wacana. Berwacana secara global, sebaiknya
menguatkan kultur lokal terlebih dahulu, agar dalam berbicara secara global sudah
26
mewakili seluruh kepentingan lokal (Atmaja, 2010). Buku karya Atmaja ini, dapat
peneliti gunakan sebagai pijakan dalam rumusan masalah pada pertanyaan,
apakah orang Bali Kristen di desa Blimbingsari dengan latar belakang keyakinan
yang dianutnya dan berkesenian Bali, tetap menjadi orang Bali? Begitupula orang
Bali yang beragama lain seperti Budha, Katolik, dan Islam juga berhak
menanyakan apakah masih diakui sebagai orang Bali atau berhak menyandang
predikat sebagai orang Bali? Jika jawabannya ya, maka Ajeg Bali tidak sama
dengan Ajeg Hindu.
Kewargaan Multikultural tulisan dari Will Kymlicka mengungkapkan,
politik multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas, Tuntutan hak
terhadap kewargaan bukan berdasar pada keberadaan masyarakat pribumi atau
non pribumi. Gelombang migrasi yang terjadi pada abad kedua puluh, merupakan
awal terjadinya masyarakat polietnis. Banyak orang melintasi perbatasan
menjadikan setiap Negara dihuni oleh berbagai etnis yang berbeda dalam banyak
hal kehidupan. Politik perbedaan ini menjadi ancaman bagi banyak orang,
perbedaaan menimbulkan berbagai permasalahan yang sangat rumit dipecahkan,
namun sebenarnya perbedaan itu dapat dikelola secara damai. Ketidakadilan
selalu mengancam kelompok minoritas, bahkan sampai pada pemusnahan
kelompok etnis tertentu seperti yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Justru di
Negara-negara liberal seperti Inggris Raya, Prancis dan Amerika Serikat, hak-hak
minoritas diabaikan, atau diperlakukan hanya sebagai hal yang aneh dan anomali.
Negara-negara demokrasi baru, mengalami permasalahan yang lebih berat dalam
menegakkan hak-hak minoritas, karena kepemimpinannya ada pada kelompok
27
nasionalis yang benci akan keberadaan orang asing (xenophobia). (Kymlicka,
2003).
Tesis untuk menempuh jenjang S2 dari Sih Natalia Sukmi yang berjudul
Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi, baru penulis dapatkan setelah penelitian
ini selesai, ternyata penelitiannya dilakukan pada lokasi yang sama yaitu desa
Blimbingsari. Sub judulnya, “Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis
Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh
Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali”. Sih Natalia dapat penulis jumpai
setelah mendapat informasi dari masyarakat Blimbingsari, karena penelitiannya
dilakukan hampir pada saat bersamaan penulis memulainya pada tahun 2010
sedangkan Sih Natalia tahun 2011 dan diujikan di Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tahun 2012.
Kajian pustaka dari sisi sejarah pindahnya beberapa orang Bali Hindu
menjadi Kristen, menyandingkan penelitian Serat Salib dari Wijaya dengan
Dinamika GKPB dari Ripa dkk., serta didukung skripsi dari Surpi dan thesis
Sukmi. Kajian pustaka sejarah tersebut melihat orang Bali Kristen dari berbagai
sisi pandang yang berbeda sehingga mengungkap secara utuh tentang kajian
sejarah dari orang Bali Kristen. Sedangkan kajian pustaka lainnya yang
menjelaskan tentang orang Bali dari sisi agama, adat-istiadat, dan dinamika
kehidupan orang Bali, berkaitan dengan tulisan dalam penelitian ini. Kuatnya
hubungan antara agama Hindu dan adat-istiadat begitu pula hubungan agama
Hindu dengan kesenian seakan menafikan orang Bali untuk pindah agama. Namun
kenyataan yang ada menunjukkan semakin hari semakin banyak orang Bali
28
beralih agama, bahkan di Bali ada penduduk desanya yang sebagian besar
beragama Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan.
Pada awalnya, istilah diaspora digunakan oleh orang-orang Yunani
untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah
jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam
kerajaan. Asal usul kata itu diduga dari Kitab Ulangan 28:64, “sehingga engkau
menjadi diaspora (bahasa Yunani untuk penyebaran) bagi segala kerajaan di
bumi.” Istilah ini telah digunakan dalam pengertian modernnya sejak akhir abad
ke-20. Makna aslinya terlepas dari maknanya yang sekarang ketika Perjanjian
Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan kata diaspora digunakan untuk
merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada
586 M oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh kekaisaran Romawi. Istilah
ini digunakan berganti-ganti untuk merujuk kepada gerakan historis dari
penduduk etnis Israel yang tersebar, perkembangan budaya penduduk itu, atau
penduduk itu sendiri. Seiring waktu, istilah diaspora juga digunakan dalam proses
migrasi yang bukan saja pada pengusiran dari negara asal dengan kekuatan.
Orang-orang Yahudi sendiri kadang-kadang lebih suka tinggal di diaspora
Yahudi atau untuk bermigrasi dari satu diaspora ke diaspora lainnya dari pada
kembali ke tanah air mereka. Bidang akademik dari studi diaspora mulai muncul
pada akhir abad ke-20, khususnya setelah terjadi krisis pengungsi etnis besar-
besaran. Pengungsian yang diakibatkan oleh peperangan dan bangkitnya
nasionalisme, fasisme, komunisme dan rasisme, serta karena berbagai bencana
alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruh pertama dari abad ke-20 ratusan
29
juta orang terpaksa mengungsi di seluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Diaspora, diakses 4 Juni 2014).
Vertovec mengatakan, Secara sosiologis dan antropologis masyarakat
diasporik mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan
masyarakat lokal. Pola perubahan seputar migrasi dan status minoritas
biasanya meliputi: organisasi dan mobilisasi, politik pengakuan, posisi dan
aturan tentang wanita, regenerasi, etnis dan pluralisme agama, identitas dan
kemasyarakatan, praktik ritual, respasialisasi, jaringan: horisontal-vertikal,
kesadaran identitas keagamaan global, lokalitas menghadapi universalitas,
reorientasi pengabdian, dan lintasan (Vertovec, 1999:1).
Diaspora dan migrasi adalah sebuah fenomena yang banyak
dijumpai dalam perjalanan sejarah bangsa- bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu fenomena yang paling menonjol dalam sejarah diaspora di kepulauan
Indonesia adalah diaspora suku bangsa Bugis sejak abad ke- 17. Orang-orang
Bugis membangun koloni-koloni di Kalimantan bagian timur, di Kalimantan
bagian tenggara, Pontianak, Semenanjung Melayu, khususnya di barat daya Johor,
dan di wilayah lainnya. Dari beberapa koloni tersebut, orang Bugis
mengembangkan pelayaran dan perdagangan, perikanan, pertanian dan
pembukaan lahan perkebunan. Kemampuan menyesuaikan diri merupakan
modal terbesar yang memungkinkan orang Bugis dapat bertahan di mana-mana
selama berabad-abad. Menariknya, walau mereka terus menyesuaikan diri
dengan keadaan sekitarnya, orang Bugis tetap mampu mempertahankan
identitas kebugisan mereka (Husain, 2011:1).
30
Disertasi Kathryn Gray Anderson, The Open Door: Early Modern
Wajorese Statecraft and Diaspora. Disertasi ini membahas hubungan antara
Wajo, sebuah pemerintahan konfederasi Bugis di Sulawesi Selatan, dengan
kelompok-kelompok migran Wajo di luar daerahnya seperti di Makassar,
Sumatera Barat, Selat Malaka, serta Kalimantan Timur dan Tenggara, setelah
Perang Makassar (1666- 1669). Anderson berpendapat bahwa orang Bugis
yang berdiaspora ke daerah lain, berinteraksi dengan „daerah pusat‟ dalam
cara yang mirip dengan „konstituen lokal‟ , dan bahwa daerah tujuan diaspora
dapat dilihat sebagai bagian dari negara. Migran Wajo menurut Anderson
memiliki fleksibilitas yang luar biasa dalam beradaptasi dengan kondisi lokal di
daerah di mana mereka menetap. Sementara itu, tiap komunitas Bugis yang
berkembang di daerah tujuan bisa bekerja sama dan memiliki strategi
sehingga bisa membaur. Terutama lewat jalan perkawinan, diplomasi dan
peperangan. Berbagai komunitas Bugis di berbagai daerah juga bekerja sama
dalam membangun daerah komersial dan saling memberikan bantuan militer.
Kerjasama tersebut didukung adanya konsep Bugis yakni “pesse” dan solidaritas
atau simpati. “Pesse” adalah ikatan emosional yang mengikat imigran dengan
“tanah air”nya di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu kunci untuk
pemeliharaan hubungan antara pemukim Bugis Wajo di beberapa daerah,
adalah hubungan antara perantau Wajo dengan “tanah air”nya yang
diintensifkan pada awal abad ke- 18 ketika penguasa Wajo berusaha untuk
memanfaatkan kekuatan militer dan potensi komersial daerah tujuan migran.
Upaya ini mencapai puncaknya tahun l736 ketika salah seorang penguasa
31
Wajo, La Maddukelleng, yang terusir dari Wajo kembali dari Kalimantan Timur
ke daerah Wajo di Sulawesi Selatan. La Maddukelleng mendapat dukungan
orang Wajo di Makassar dan Sumbawa untuk mengusir Belanda dari
Sulawesi Selatan. Walaupun pada akhirnya gagal, tindakan ini mencontohkan
“budaya diaspora” orang-orang Wajo, walaupun berada di luar daerahnya tetap
menjadi bagian penting dari daerah Wajo yang menjadi homeland. Adapun
kelebihan dari tulisan Anderson ini , adalah pembahasannya yang cukup rinci
tentang diaspora orang Bugis Wajo pada abad ke-18. Menunjuk pada perjuangan
diaspora orang Bugis Wajo dalam mendukung daerah asalnya. Kemudian dari
tulisan ini juga dapat dijadikan acuan sekaligus perbandingan dalam menuangkan
bahan tulisan untuk penulisan diaspora pada disertasi ini, khususnya pada bagian
diaspora Blimbingsari yang turut ambil bagian dalam memperjuangkan identitas
sebagai orang Bali sekaligus sebagai orang Kristen (Anderson, 2003: 141-168).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang digunakan pada penelitian
sebelumnya tentang hal yang berkaitan dengan orang Bali Kristen dan
Blimbingsari, sebegitu jauh dapat dikatakan bahwa penelitian tentang identitas,
agama dan seni orang Bali Kristen hanya penelitian Sih Natalia dan I Nyoman
Wijaya yang meneliti dengan tempat penelitian yang sama namun mengupas sisi
yang berbeda. Sih Natalia mengkaji dari sisi studi etnografi komunikasi dan I
Nyoman Wijaya pada sisi sejarahnya. Sementara itu meskipun selama ini telah
ada beberapa penelitian tentang orang Bali Kristen, akan tetapi belum ada yang
mengupas tentang konstruksi identitas ke-Bali-an dan ke-Kristen-an dari sisi
Kajian Budaya dan Media (KBM). Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk
32
melakukan penelitian tentang identitas, agama dan seni orang Bali Kristen
khususnya di desa Blimbingsari.
1.5 Kerangka/ Landasan Teori
1.5.1 Perspektif Teoritik
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini mengarah pada beberapa
isu konseptual. Oleh karenanya, dalam sub bab ini akan dibahas beberapa konsep
yang menempati posisi sentral pada penelitian ini. Konsep-konsep tersebut secara
berturut-turut adalah konsep identitas dan politik identitas, identitas etnik, agama,
dan seni.
Konsep Identitas dan Politik Identitas. Usaha untuk memahami konsep
identitas tidak bisa hanya menggunakan perpektif konvensional sebagaimana yang
selama ini difahami oleh banyak orang. Ketika orang mendiskusikan soal
identitas, senantiasa diidentikan dengan jati diri sebuah entitas. Misalnya sering
terdengar dalam percakapan umum, bahwa suatu bangsa harus memiliki identitas,
maka kata identitas di sini disamakan maknanya dengan jati diri. Konsep identitas
juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan Antony Giddens, yang memahami
identitas diri sebagai keahlian menarasikan tentang diri, dengan demikian
menceriterakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Cerita
identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan?
Bagaimana melakukan? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksi
cerita identitas yang saling bertalian dimana diri membentuk lintasan
perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (Giddens,
33
1991:75). Oleh karena itu identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau
merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu, identitas diri adalah
diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografinya (Giddens,
1991:53).
Identitas Etnik. Istilah etnik pada umumnya menunjuk pada suatu
kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun
kombinasi dari beberapa kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang
melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak, mempunyai nilai
budaya yang sama dan sadar akan kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi internal, serta menentukan ciri
kelompoknya yang diterima oleh kelompok lain serta dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain. Namun demikian pengertian kelompok etnik seperti di
atas, yang mengidentifikasikannya terutama berdasar pada hubungan darah dan
kesatuan tempat hidup, mendapat kritik dari cara pandang lain. Kritik tersebut
antara lain dapat tergambar dari pertanyaan: apabila seseorang mengadopsi semua
nilai dan tradisi suatu etnik tertentu yang bukan merupakan warisan genealogisnya
maka orang tersebut tidak dapat ditempatkan sebagai warga etnik tersebut? Dari
pertanyaan tersebut, tampak bahwa sebenarnya pengertian umum tentang
kelompok etnik masih memerlukan pemikiran lebih lanjut, yang tidak sekedar
memahami kelompok etnik sebagai sebuah gejala (fenomena) primordial yang
statis. Sebagai konsekuensinya, etnisitas mesti dipahami sebagai proses konstruksi
34
formasi terbatas dan dilestarikan oleh kondisi-kondisi sosio-historis yang spesifik
(Barker, 2000: 195).
Orang Bali Kristen adalah „orang Bali‟ yang sudah tentu masuk ke dalam
etnik Bali, namun dalam aktivitas kehidupannya sering tidak diakui sebagai etnik
Bali hanya karena agama yang dianutnya Kristen. Oleh karena itu pengakuan
sebagai etnik Bali itu penting artinya, sehubungan dengan munculnya ajeg Bali
yang pengertiannya disamakan dengan ajeg Hindu. Awig-awig yang mengabaikan
keberadaan orang Bali Kristen dan kebijakan kepala pemerintah daerah yang
merugikan orang Bali Kristen, seperti dalam hal kesamaan hak, penerimaan
pegawai dan pelayanan umum lainnya.
Cultural Studies memahami etnisitas sebagai suatu konstruk yang
diberikan pada realita fisik, mental dan material sekelompok orang. Sebagai
sebuah konstruk, dengan demikian, persoalan yang diajukan oleh cultural studies
cenderung pada pemahaman mengenai proses dan kekuatan yang membentuk atau
mengklasifikasikan orang-orang ke dalam kelompok etnik. Dengan kata lain,
perhatian yang diberikan bergeser dari kelompok etnik menuju persoalan etnisitas,
yakni persoalan perolehan, pengakuan dan pemeliharaan ciri-ciri fisik, mental,
dan material untuk menyatakan diri sebagai kelompok etnik tertentu bukannya
kelompok etnik lain (Barker, 2000:196).
Tak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap etnik, para ahli
cultural studies pun memahami identitas sebagai sebuah konstruk, sesuatu yang
dibentuk dari bahan-bahan yang dimiliki sebelumnya. Cara pandang ini tidak
melihat identitas sebagai suatu status yang tetap atau statis, melainkan sebagai
35
fenomena yang cair dan dinamis. Identitas bisa digambarkan sebagai semacam
„kesepakatan‟ bersama mengenai „siapa saya/kami‟ yang ditentukan dalam
relasinya dengan „kamu/mereka.‟ Sudah barang tentu, „kesepakatan‟ bersama itu
sendiri dapat bergeser, berubah sesuai dengan konteks relasi antara „saya/kami‟
dan „kamu/mereka.‟ Relasi atau interaksi tersebut bergerak secara dinamis selaras
dengan komposisi modal ekonomi, sosial, politik, dan kultural yang dimiliki.
(Hall, 1996: 4).
Dalam tradisi kajian akademik, usaha untuk menjelaskan konsep etnisitas
dapat diurai melalui dua perspektif, yaitu perspektif esensialis dan
konstruktivistik. Dalam pandangan esensialistik, konsep etnisitas dipahami
sebagai entitas yang tetap, baku, dan berorientasi pada karakter biologis. Apa
yang disebut oleh Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Culture
sebagai “primordial” merujuk pada anggapan bahwa etnisitas adalah sebuah
identitas yang telah dibawa seseorang sejak lahir. “Primordial” merupakan sesuatu
yang bersifat askriptif dan melekat pada setiap orang. Meskipun semua adalah
orang Indonesia, masing-masing tetap memiliki identitas primordialnya sebagai
orang Jawa, orang Sunda, orang Batak, orang Bugis, orang Madura, Orang
Minang, orang Melayu, orang Minahasa, orang Dayak, orang Bali, orang Ambon,
orang Buton, orang Serui, orang Aceh, orang Papua dan seterusnya
(Tirtosudarmo, 2007: 142-143). Sedangkan perspektif konstruktivistik melihat
konsep etnisitas sebagai sesuatu yang bisa berubah dan tidak menetap. Bagi
penganut persepektif ini, identitas etnik bersifat situasional dan bisa setiap saat
bergeser atau berubah jika situasi atau konteks sosialnya berubah (Hall, 1996:4).
36
Agama. Clifford Geertz, dalam The Interpretation Of Cultures
mengatakan, Religion as a cultural system. Geertz mengungkapkan bahwa agama
harus dilihat sebagai suatu sistem, yang mampu mengubah suatu tatanan
masyarakat. Geertz berkeyakinan bahwa agama adalah sistem budaya itu sendiri,
yang dapat membentuk karakter masyarakat. Geertz mendefinisikan agama
sebagai berikut;
“Religion is (1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful,
pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating
conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions
with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem
uniquely realistic” (Geertz, 1973:90).
Agama merupakan (1) sistem simbol yang bertindak untuk (2) menetapkan
perasaan dan motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam diri manusia dengan
cara (3) memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum keberadaan
(eksistensi) dan (4) menyandangi konsep-konsep tersebut dengan aura
faktualitas sehingga (5) perasaan dan motivasi tersebut tampak secara khusus
(unik) nyata.”
Geertz mengartikan agama merupakan simbol sebagai suatu kendaraan
(vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz, norma
atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang
menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak
yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang
lainnya ia merupakan modes of reality. Modes for reality menyajikan keberadaan
agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam tatanan
tertentu, sementara itu modes of reality merupakan pengakuan Geertz sisi agama
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Konsep penting terkait
dengan agama dalam hal ini adalah keberagamaan, dimengerti sebagai ruang yang
37
lebih sempit dari pengertian luas agama. Keberagamaan lebih merujuk pada
dimensi praktik dan perilaku para pemeluk agama, bukan menyoroti persoalan
dimensi keyakinan yang dianut pemeluk agama. Sistem simbol agama Kristen
pada orang Bali Kristen di Blimbingsari akan dikaji keberadaannya, terkait
dengan budaya Bali yang masih melekat secara lahiriah dan wilayah tempat
tinggalnya yang masih berada di Bali.
Seni. Geertz juga menawarkan keterkaitan agama dan seni sebagai sistem
simbol. Simbol-simbol yang dibicarakan oleh Geertz sebagai simbol agama,
apabila dilucuti dari unsur keagamaannya, dapat pula dipahami sebagai gejala
seni. Persis seperti itulah yang terjadi di kalangan orang Bali Kristen. Secara rupa
dan aktivitas pertunjukan, sejumlah ekspresi yang digunakan dalam ritual orang
Bali Kristen memiliki kesamaan atau keserupaan dengan ekspresi keagamaan
orang Bali Hindu. Namun, bagi orang Bali Kristen, ekspresi-ekspresi tersebut
dipandang tidak lebih dari sekedar perlengkapan ritual yang kehadirannya bukan
sentral dalam ritual.
Seni sering pula dipahami sebagai salah satu indikator identitas etnik.
Mereka yang memandang seni sebagai identitas etnik berasumsi bahwa ekspresi
artistik sekelompok orang berakar pada sistem nilai budaya dan pengalaman hidup
masyarakatnya yang spesifik, sehingga bentuk ekspresi artistik suatu kelompok
etnik tidak sama dengan bentuk ekspresi artistik kelompok etnik lain (Geertz,
1973:90). Perspektif serupa ini signifikan bagi kajian mengenai orang Bali
Kristen, yang mengartikulasikan gagasan artistiknya dalam bentuk-bentuk yang
serupa dengan orang Bali Hindu. Dari sisi ini bisa saja orang luar Bali akan
38
menengarai bentuk-bentuk ekspresi artistik mereka sebagai ciri orang Bali pada
umumnya. Keterkaitan antara identitas agama dan seni, terjadi pada pemanfaatan
simbol-simbol agama yang juga merupakan gejala seni.
Relasi antara etnisitas dan agama dari Hoon dalam artikelnya “By race
I am Chinese; and by grace I am Christian” mengungkapkan; hubungan antara
budaya dan agama merupakan sesuatu yang kompleks dan berbelit-belit seperti
benang kusut, yang coba dia uraikan dan Hoon membaginya ke dalam tiga
kelompok. “Dekulturasi” digunakan untuk menyebutkan hubungan yang terjadi
ketika agama membuang dan memusnahkan seluruh budaya tradisi yang dianggap
sebagai berhala. “Akulturasi” yaitu agama dan budaya tumbuh dan berkembang
bersama, meletakkan budaya dan agama sebagai dua hal yang terpisah namun
keduanya bersifat cair dan saling mempengaruhi. “Inkulturasi” yaitu budaya dan
agama menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tidak adanya celah di antara
keduanya karena terjadinya proses adaptasi agama ke dalam budaya atau
sebaliknya budaya ke dalam agama (Hoon, 2013:160).
1.5.2 Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian, diperlukan pemikiran secara runtut dan
sistematik, untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah. “Siasat Identitas, Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, akan dikaji
berdasarkan beberapa landasan teori.
“...The major tradition of cultural studies combine – at their best – social
theory, cultural analysis, history, philosophy, and specific political
interventions, thus overcoming the standard academic division of labor by
surmounting specialization which bifurcates the filed of study of the media,
39
culture, and communications. Cultural studies thus operate with a
transdisciplinary conception that draws on social theory, economics, politics,
history, communication studies, literary and cultural theory, philosophy, and
other theoretical discourses. Transdisciplinary approach to culture and
society transgress borders between various academic disciplines. In
particular, they argue that one should not stop at the border of a text, but
should see how it fits into system of textual production, and how various texts
are thus part of system genres or type of production and have an intertextual
construction” (Kellner, 1995: 37).
(Beragam tradisi besar kajian budaya menggabungkan-sebaik yang mereka
mampu-teori sosial, analisis budaya, sejarah, filsafat, dan beberapa intervensi
politis tertentu, dan dengan demikian mengatasi pembagian tugas akademis
yang standar dengan melampaui spesialisasi yang memecah-belah bidang
kajian media, budaya, dan komunikasi. Kajian budaya bekerja dengan
pemahaman lintas disiplin ilmu yang berangkat dari teori sosial, ekonomi,
politik, sejarah, kajian komunikasi, teori sastra dan budaya, filsafat dan
berbagai wacana teoritis lainnya. Pendekatan lintas disiplin ilmu terhadap
budaya dan masyarakat melampaui batas-batas antara berbagai disiplin
akademik. Berbagai pendekatan tersebut secara khusus berpendapat, agar kita
tidak berhenti hanya pada batas sebuah teks, tetapi juga melihat teks tersebut
masuk ke dalam sistem produksi tekstual dan bagaimana beragam teks
tersebut menjadi bagian dari berbagai system genre atau jenis produksi serta
memiliki bangunan intertekstual).
Berbicara tentang cultural studies dapat dideskripsikan sebagai
permainan bahasa atau pembentukan wacana yang terkait dengan isu kekuasaan
dan signifikasi kehidupan manusia. Cultural studies adalah suatu proyek yang
mengasyikkan dan cair yang mengisahkan kepada kita cerita tentang dunia yang
tengah berubah dengan harapan agar kita dapat memperbaikinya (Barker, 2000:
195).
Bagi Hall, yang membedakan cultural studies dengan wilayah subyek
lain adalah persoalan kekuasaan dan politik, Hall mengatakan kebutuhan akan
perubahan dan dengan representasi atas dan bagi kelompok-kelompok sosial yang
terpinggirkan, khususnya kelas, gender dan ras (bahkan termasuk umur,
kecacatan, nasionalitas, dll.). Dengan demikian cultural studies adalah perspektif
40
teori yang dibangun oleh pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritis
sebagai praktik politik. Disini pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral
atau obyektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara,
kepada siapa dan untuk apa. Dalam tulisannya yang berjudul Cultural Studies and
Its Theoretical Legacies, Stuart Hall mengatakan bahwa harus ada sesuatu yang
dipertaruhkan dalam cultural studies untuk membedakannya dari wilayah subyek
lain. Hal yang dipertaruhkan adalah kaitan-kaitan cultural studies dengan
persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan
representasi dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama
representasi yang menyangkut klas, gender dan ras (bahkan juga usia,
penyandang cacat, nasionalitas, dan sebagainya). Dengan menggunakan perspektif
ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan
pengetahuan yang netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan
pengetahuan adalah tindakan politik. (Grossberg, 1992).
Homi K. Bhabha dalam The Location of Culture berpendapat bahwa
identitas budaya bukanlah identitas bawaan yang sudah diberikan sejak lahir dari
kekosongan. Identitas kultural bukan entitas yang ditakdirkan, tidak bisa
direduksi, atau ciri ahistoris yang menetapkan konvensi kultural. Pandangan
oposisi biner “penjajah” dan “terjajah” tidak lagi sebagai sesuatu yang terpisah
satu dari yang lainnya dan masing-masing berdiri sendiri. Bhabha menganjurkan
bahwa negoisasi kultural mencakup perjumpaan dan pertukaran tampilan budaya
yang terus menerus yang pada saatnya akan menghasilkan pengalaman timbal
balik akan perbedaan budaya. Bahwa bukan hanya yang terjajah yang mengambil
41
atau meniru kaum penjajah, dalam beberapa hal kaum penjajah pun mengambil
atau meniru dari kaum terjajah walaupun dalam porsi yang lebih sedikit.
Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak
independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-
bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara
penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya
untuk bernegosiasi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu
resistensi (Bhabha, 2007:4).
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu
“ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antar-
budaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat
dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses
gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus.
Pencarian identitas itu idealnya tidak pernah berhenti, identitas mengalir sebagai
sesuatu yang senantiasa mengalami proses perubahan. Bhabha melukiskan
bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk ruang ketiga sebagai tempat
bernegosiasi. Teori liminalitas Bhabha ini memang mengesankan menghindari
oposisi biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Sebaliknya, yang hendak
ditawarkan Bhabha adalah bahwa ruang ambang itu mampu berperan sebagai
ruang untuk interaksi simbolik Ruang ketiga Bhabha dengan demikian
memberikan kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya. (Bhabha,
2007:34).
42
Teori liminalitas Bhabha meletakkan orang Bali Kristen pada posisi
ruang ketiga atau ruang antara, yang mempertemukan budaya Bali dengan budaya
Kristen. Seperti juga telah terjadi jauh pada masa sebelumnya, antara budaya Bali
dengan budaya Hindu. Konstruksi identitas berlangsung atau terus berproses tanpa
ada ujung yang jelas. Seperti ungkapan Bhabha bahwa tidak ada konfrontatif
saling menaklukkan di antara dua budaya yang ada, tetapi justru terjadi negosiasi-
negosiasi di ruang ketiga.
Dalam kajian ilmu sosial, kemudian ada upaya memformulasikan konsep
fisikal identitas secara lebih dinamis. Satu faktor yang mendorong perumusan
baru terhadap konsep identitas adalah banyaknya konflik sosial, politik, dan
kebudayaan yang mengeksploitir perbedaan. Di samping itu ketika perkembangan
dunia semakin mengglobal, maka mobilitas sosial, migrasi penduduk,
perdagangan bebas, lintas batas, dan serba berjejaring, maka problem identitas
menjadi semakin kabur. Karena itu identitas tidak ada yang bersifat tetap dan
mengkristal. Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan
suatu usaha berkelanjutan tanpa akhir. Oleh karena itu identitas bukan merupakan
suatu entitas konstruksi dasar/spiritual yang final dan statis, melainkan sesuatu
yang selalu tumbuh dan relasional. Sejalan dengan ungkapan Hall yang
menyebutnya sebagai ”suatu yang tidak pernah sempurna, selalu dalam proses dan
selalu dibangun dari dalam” (Hall 1996: 160). Orang Bali Kristen dalam posisinya
sebagai orang Bali dan diaspora Blimbingsari, meletakkan identitas diri sebagai
orang Bali yaitu sebagai “primordial” merujuk pada anggapan bahwa etnisitas
adalah sebuah identitas yang dibawa seseorang sejak lahir. Namun sesuatu hal
43
dinamis, tumbuh dan relasional serta terbuka terhadap masuknya tradisi yang
diterapkan dalam ajaran Kristen yang dianutnya.
Geertz memberi batasan pengertian agama sebagai berikut; agama
merupakan sistem simbol yang bertindak untuk menetapkan perasaan dan
motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam diri manusia dengan cara
memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum keberadaan atau
eksistensi dan mengisi konsep-konsep tersebut dengan aura faktualitas sehingga
perasaan dan motivasi tersebut tampak secara khusus, unik, dan nyata (Geertz,
1973:90). Batasan agama yang diungkapkan Geertz ini dirasa tepat bagi studi ini
karena didalamnya tidak terkandung elemen-elemen keilahian (wahyu), dan
sejenisnya; melainkan agama didekati sebagai suatu gejala sosial-budaya yang
mewujud dalam berbagai sistem simbol. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan G.R. Lono Lastoro Simatupang pada makalah dengan judul; “Seni
dan Agama dalam Wacana Akademis”, yang disampaikan dalam Pembekalan
Jelajah Budaya, BPSNT Yogyakarta, tanggal 12 Juli 2010. Sebagai batasan
pembanding, perhatikan pendapat Koentjaraningrat tentang sistem religi.
Koentjaraningrat memandang sistem religi (agama) sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari empat usur dasar. Keempat unsur dasar tersebut adalah; emosi
keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan kelompok keagamaan.
Keempat unsur dasar tersebut harus ada, agar suatu fenomena dapat dipahami
sebagai agama. Lebih lanjut Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa sistem
upacara melibatkan sejumlah unsur, termasuk tindakan, peralatan, tempat, waktu,
maupun pelaku (pemimpin dan umat). Upacara dibagi lagi menjadi dua macam
44
yaitu upacara kolektif dan upacara individual. Namun pada upacara individual,
tidak dibedakan antara pemimpin dan pengikut upacara. Pendapat
Koentjaraningrat tentang sistem upacara tersebut di atas sejalan dengan batasan
agama dari Geertz, yaitu apa yang disebut Geertz merupakan simbol-simbol yang
dihadirkan atau dilakukan untuk membangkitkan emosi keagamaan. Hal ini oleh
Koentjaraningrat disejajarkan dengan apa yang disebut sebagai peralatan dan
tindakan upacara.
Dengan demikian pendapat Geertz dan Koentjaraningrat, dapat
membantu dalam penelitian agama pada orang Bali Kristen ini. Sebagai orang
Bali Kristen, penerapan simbol-simbol agama dituangkan untuk menetapkan
perasaan dan motivasi yang kuat, meluas, dan awet dalam dirinya dengan cara
memformulasikan konsep-konsep tentang tatanan umum sebagai orang Bali.
Sehingga keberadaannya dengan mempergunakan konsep-konsep orang Bali,
akan dapat menyatakan eksistensinya sebagai orang Bali yang beragama Kristen.
Konsep penting terkait dengan agama dalam hal ini adalah keberagamaan,
dimengerti sebagai ruang yang lebih sempit dari pengertian luas agama.
Keberagamaan lebih merujuk pada dimensi praktik dan perilaku para pemeluk
agama, bukan menyoroti persoalan dimensi keyakinan yang dianut pemeluk
agama.
Konsep agama sebagai sistem simbol yang ditawarkan oleh Geertz dapat
dengan mudah ditemukan kaitannya dengan seni. Simbol-simbol yang dibicarakan
oleh Geertz sebagai simbol agama, apabila dilucuti dari unsur keagamaannya,
dapat pula dipahami sebagai gejala seni. Persis seperti itulah yang terjadi di
45
kalangan orang Bali Kristen. Secara rupa dan aktivitas pertunjukan, sejumlah
ekspresi yang digunakan dalam ritual orang Bali Kristen memiliki kesamaan atau
keserupaan dengan ekspresi keagamaan orang Bali Hindu. Namun, bagi orang
Bali Kristen, ekspresi-ekspresi tersebut dipandang tidak lebih dari sekedar
perlengkapan ritual yang kehadirannya bukan sentral dalam ritual. Dengan
demikian, penelitian ini memahami seni sebagai fenomena material dan perilaku
yang memiliki daya pesona tanpa mempersoalkan apakah pesona yang terdapat
dalam gejala seni tersebut dipandang berasal dari sesuatu yang „maha tinggi‟ atau
bukan. Dapat pula dikatakan bahwa studi ini akan lebih menekankan dimensi
fungsi seni, yang antara lain dapat difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan.
Namun, seni sering pula dipahami sebagai salah satu indikator identitas
etnik. Mereka yang memandang seni sebagai identitas etnik berasumsi bahwa
ekspresi artistik sekelompok orang berakar pada sistem nilai budaya dan
pengalaman hidup masyarakatnya yang spesifik, sehingga bentuk ekspresi artistik
suatu kelompok etnik tidak sama dengan bentuk ekspresi artistik kelompok etnik
lain. Perspektif serupa ini signifikan bagi kajian mengenai orang Bali Kristen,
yang mengartikulasikan gagasan artistiknya dalam bentuk-bentuk yang serupa
dengan orang Bali Hindu. Dari sisi ini bisa saja orang luar Bali akan menengarai
bentuk-bentuk ekspresi artistik mereka sebagai ciri orang Bali pada umumnya.
Melalui seluruh pendekatan teori yang dipergunakan dalam penelitian
“Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, berupaya dikupas
secara mendalam tentang keberadaan orang orang Bali Kristen yang berjuang
dalam mengkonstruksi identitasnya. Identitas sebagai orang Bali yang beragama
46
Kristen, dapat menerapkan kesenian Bali dalam kehidupannya dan melakukan
aktivitas kehidupannya sebagai orang Bali yang beragama Kristen.
1.6 Metode Penelitian
Dalam upaya untuk memahami sebuah produk budaya, dan upaya
mengungkap “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, maka
metode penelitian kualitatif digunakan dengan fokus pada makna kultural
(Sugiyono, 2011:7). Untuk dapat mengumpulkan data tentang “Konstruksi
Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”, maka dalam penelitian ini
dilakukan beberapa metode pengumpulan data yang dianggap relevan dengan
permasalahannya. Pengumpulan data melalui sumber pustaka, dokumen tertulis
dan arsip, dokumen fotografi, dan data visual, benda artifact, dan barang kenang-
kenangan lainnya.
Studi kepustakaan ditempuh untuk memperoleh data tertulis tentang
Siasat Identitas, Agama, dan Seni Orang Bali Kristen yang berupa buku, jurnal,
ensiklopedi dan kamus, brosur, surat kabar, surat berharga, arsip, serta dokumen,
terutama yang berkaitan dengan budaya. Data empiris yang diperoleh dari
lapangan diperlukan untuk mengetahui “Siasat Identitas Agama dan Seni Orang
Bali Kristen”, dan hal-hal lain yang perlu dipahami secara komprehensif. Karena
pada dasarnya penelitian merupakan usaha dari seseorang untuk mendekati,
memahami, mengurai, dan menjelaskan fenomena yang terkait dengan obyek
tertentu (Ignas Kleden, 1987: 60).
47
Pada studi observasi partisipasi, penulis berusaha terlibat secara langsung
dalam aktivitas masyarakat desa Blimbingsari. Pengamatan langsung di lokasi
penelitian diperlukan untuk mengetahui secara detail, tentang berbagai aspek
kehidupan masyarakat Blimbingsari. Untuk pengamatan langsung ini penulis tidak
mengalami masalah, karena penulis lahir dan dibesarkan di desa ini sehingga
sempat mengalami sendiri kehidupan di tempat ini.
Selain data yang diperoleh melalui observasi di lapangan, informasi dari
narasumber melalui wawancara sangat besar manfaatnya (Paula Saukko, 2003).
Untuk kepentingan wawancara pada informan terdiri dari ketua adat (Bendesa),
Kepala Desa (Prebekel), Pendeta dan tokoh masyarakat dan pengelola kesenian
dari Desa Blimbingsari, ketua adat dan Kepala desa dari desa Melaya dan desa
Ekasari, beberapa orang Blimbingsari yang menduduki jabatan atau pernah
menjabat di pemerintahan daerah Kabupaten Jembrana, serta diaspora Bali
Kristen. Wawancara dilengkapi dengan alat perekam, sehingga diperoleh
informasi mendalam berkait dengan pokok permasalahan. Menggunakan
wawancara sebagai teknik pengumpulan data merupakan konsekuensi dari pilihan
metodologi. Ketika seorang peneliti memilih metode penelitian kualitatif maka
wawancara yang biasanya dikombinasikan dengan observasi menjadi pilihan
utama sebagai teknik pengumpulan data. Meskipun demikian, teknik wawancara
bukan monopoli metode penelitian kualitatif, dalam penelitian kuantitatif pun
teknik ini juga bisa digunakan. Hanya saja, biasanya pertanyaannya lebih
terstruktur.
48
Dengan teknik wawancara akan diperoleh data verbal dan non-verbal,
tetapi dalam wawancara yang sering diutamakan adalah data verbal yang
diperoleh melalui percakapan atau tanya jawab. Pada umumnya ucapan seorang
responden atau informan disertai oleh gerak-gerik tubuh, perubahan raut
muka,intonasi bicara, gerak bibir, gerak mata dan lainnya, semua itu adalah data
non-verbal. Dalam aktivitas penelitian data non-verbal perlu diperhatikan karena
kaya akan konteks, sedangkan data verbal kaya akan informasi. Keduanya
merupakan data yang diperlukan untuk memahami makna ucapan dalam
wawancara. Dalam wawancara, data berupa persepsi dari responden atau informan
seperti pendapat, pengalaman, perasaan, pengetahuan, dan sikap. Karena iti tujuan
utama dari wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam
pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangan tentang dunia, yaitu hal-hal
yang tidak dapat diketahui melalui observasi.
Wawancara dikenal ada beberapa jenis, seperti wawancara berstruktur
dan tidak berstruktur. Dalam tradisi penelitian kualitatif, terutama pada kegiatan
wawancara awal sering tidak berstruktur. Tujuannya adalah untuk memperoleh
keterangan terinci dan mendalam mengenai pandangan informan terhadap sesuatu.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti biasanya belum mempersiapkan pertanyaan
spesifik kepada informan, karena belum dapat memprediksi apa kira-kira jawaban
yang akan diberikan oleh informan. Karena itu pertanyaan yang bersifat tidak
berstruktur, artinya memberi kebebasan dan kesempatan kepada responden atau
informan untuk mengeluarkan pendapatnya, buah pikirannya, dan perasaannya
tanpa diatur secara ketat oleh peneliti. Karena itu, pada fase ini seorang peneliti
49
perlu mempunyai “tradisi mendengar” yang baik, dengan membiarkan informan
memberikan informasi menurut pandangan dunianya terhadap suatu masalah atau
peristiwa. Akan tetapi, setelah peneliti kemudian memperoleh sejumlah data yang
relevan dengan fokus penelitiannya, maka wawancara mengarah pada wawancara
berstruktur yang disusun berdasarkan keterangan data dari informan yang
diperoleh sebelumnya. Dalam wawancara berstruktur ini memasukan sejumlah
pertanyaan yang lebih bersifat etik, yaitu suatu pertanyaan yang diatur oleh
peneliti.
Wawancara juga digolongkan pada wawancara formal dan informal.
Pada wawancara formal, artinya sejak awal peneliti sudah menyampaikan kepada
informan apa tujuan wawancaranya. Dengan teknik ini, materi wawancara terjaga
relevansinya dengan topik utama yang ingin diperoleh informasinya. Wawancara
tidak melompat-lompat dari topik yang satu ke topik yang lainnya, sehingga
banyak memperoleh informasi yang relevan. Sedangkan wawancara informal,
dilakukan secara santai dalam suatu waktu senggang sambil minum teh,
tempatnya digardu ronda yang berlangsung secara santai dan dalam suasana yang
akrab. Model ini memang akan memakan waktu lama dan mengharuskan peneliti
tinggal cukup lama dalam suatu lokasi penelitian. Akan tetapi, model ini akan
dapat memperoleh keterangan dan informasi dari informan yang lebih seperti apa
adanya, sehingga kadar representativitasnya lebih tinggi. Dalam studi ini,
wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci yang dianggap
mengetahui atau terlibat secara intensif dalam kegiatan yang menyangkut pada
identitas, agama dan seni di desa Blimbingsari. Informan yang dianggap paling
50
kompeten untuk memberikan informasi secara mendalam tentang identitas, agama
dan seni pada orang Bali Kristen meliputi ketua adat (bendesa), pejabat
pemerintah desa (prebekel), tokoh yang dituakan, pendeta dan lain-lain.
Selain mengumpulkan data dengan teknik observasi langsung dan
wawancara mendalam, dilakukan pula studi dokumentasi untuk melengkapi data
dan informasi yang telah terkumpul. Studi dokumentasi ini sekaligus dapat
digunakan sebagai pembanding dan alat pengecekan ulang kebenaran hasil
wawancara yang telah dilakukan dengan informan. Dengan cara pengumpulan
data melalui lintas metode ini menurut Moleong diharapkan dapat menjamin
kelengkapan dan kesahihan data. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat
interpretatif terhadap suatu topik, yaitu identitas, agama dan seni pada orang Bali
Kristen. Meskipun demikian, tidak berarti mengesampingkan validitas penelitian.
Oleh karena itu langkah yang ditempuh adalah menyadari bahwa validitasnya
bergantung pada bagaimana validitas pertanyaan, reliabilitas kajian, dan integritas
peneliti yang mampu mengambil jarak.
Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk mengorganisasikan
data. Semua data tentang identitas, agama dan seni orang Bali Kristen, terdiri dari
catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, video, artikel, hasil wawancara,
dan lain-lain. Pekerjaan analisis data dalam hal ini adalah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode, dan mengkatagorikannya (Moleong, 2000:
103). Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Sedangkan
51
interpretasi data diartikan sebagai pemberian arti yang signifikan terhadap
analisis, penjelasan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi
uraian. Dalam penelitian kualitatif ini analisis dilakukan mulai dari proses
pengumpulan data. Informasi data yang diperoleh dari awal kegiatan penelitian ini
yaitu mulai tahap observasi pendahuluan sampai wawancara, kemudian langsung
diorganisir yaitu disusun dan dikelompokan berdasarkan jenis, kategori data, dan
satuan uraian sesuai dengan keperluan dan prioritas penafsiran atau pembahasan
hasil penelitian.
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dalam suatu proses. Proses di
sini berarti analisis data sudah dilakukan dan dikerjakan secara intensif, selama
proses pencarian dan pengumpulan data dilapangan penelitian. Sesuai dengan sifat
data, semua informasi dan data yang dapat dikumpulkan, dianalisis dengan
menggunakan teknik deskriptif analitis. Hal ini dimaksud untuk memperoleh
pemahaman tentang “Konstruksi Identitas Agama dan Seni Orang Bali Kristen”.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk dapat memberikan gambaran utuh penelitian yang dilakukan,
maka sistematika penulisan penelitian ini disusun sebagai berikut: Bab pertama
merupakan pengantar yang berkenaan dengan latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka/landasan teori
yang meliputi perspektif teoritik dan teori. Bagian akhir dari bab pertama adalah
metode penelitian yang meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara, teknik
dokumentasi, dan analisis data. Bab kedua tentang tinjauan sosial kemasyarakatan
52
antar sesama orang Bali Kristen dan dengan orang Bali Hindu di Bali,
menguraikan keberadaan orang Bali Kristen yang jumlahnya sangat sedikit
dibandingkan dengan orang Bali Hindu dan dijelaskan pula tentang keberadaan
desa yang hampir seluruh penduduknya beragama Kristen yaitu Blimbingsari. Bab
ketiga menyajikan Siasat Identitas bagi orang Bali Kristen melalui nama, bahasa,
pendidikan, ibadah dan upacara agama. Disajikan sebagai upaya untuk
menguatkan analisis tentang ke-Bali-annya, disamping yang utama berdasarkan
cultural studies dan tempat tinggal. Bab keempat menguraikan tentang agama dan
seni sebagai identitas orang Bali Kristen, yang diawali dengan penolakan terhadap
masuknya seni tradisi Bali ke dalam peribadatan gereja. Namun lambat laun
berangsur-angsur digunakan setelah melalui penyaringan makna, baik secara
internal maupun dari eksternal. Bab kelima membahas tentang dampak adanya
otonomi daerah, awig-awig dan ajeg Bali bagi orang Bali Kristen serta kuasa
mayoritas dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Bab keenam merupakan
kesimpulan.