25
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama- sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan. Berikut ini aspek penting mengenai masyarakat pesisir : a) Ciri Khas Wilayah Pesisir Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal. Dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-

sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas

yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir

(Satria, 2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga

pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan. Berikut ini aspek

penting mengenai masyarakat pesisir :

a) Ciri Khas Wilayah Pesisir

Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta

sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya

intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang

signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan

air laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Ditinjau dari

aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di

dalamnya sering memiliki sifat terbuka (open access). Kondisi tersebut berbeda

dengan sifat kepemilikan bersama (common property) seperti yang terdapat di

beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon dengan kelembagaan Sasi, NTB

dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan Sangihe, Talaud dengan

kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya diatur secara komunal.

Dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak diatur, setiap orang

bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan pemanfaatan

sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan ruang dan

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

15

sumberdaya serta peluang terjadinya degradasi lingkungan dan problem

eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya.

b) Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya

bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource

based), seperti nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi

laut. Penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2010 berpenduduk 21.071

jiwa, sekitar 69,36 % merupakan nelayan sedangkan sisanya terdiri dari pedagang,

buruh, PNS, swasta dan lain-lain (BPS Kabupaten Administratif Kepulauan

Seribu, 2010). Tingkat pendidikan penduduk wilayah pesisir juga tergolong

rendah, dimana penduduk Kabupaten Kepulauan Seribu sekitar 6.800 jiwa hanya

menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.463 jiwa tamat SMP dan 1.076 jiwa tamat

SMA dengan fasilitas pendidikan yang ada masih sangat terbatas.

Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan

masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial

ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah,

maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin

besar guna pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2.2 Sea Farming

2.2.1 Sejarah Sea Farming

Menurut PKSPL-IPB (2004), konsep sea farming sudah dimulai sejak

abad ke-17 di Jepang, Norwegia dan Amerika Serikat. Pada awal

pengembangannya, teknologi sea farming merupakan teknologi yang ditujukan

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

16

kepada aktivitas perikanan berupa ranching, sehingga disebut sea ranching.

Istilah ini didefinisikan sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenile atau ikan

muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan dan meningkatkan hasil

tangkapan. Di Norwegia dan Amerika Serikat, kegiatan pelepasan larva ikan yang

masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini terus

berlanjut sampai dengan tahun 1967. Hanya saja, di Norwegia kegiatan ini tanpa

diikuti oleh evaluasi keberhasilan maupun dampak kegiatan tersebut terhadap

populasi ikan ataupun hasil tangkapan sehingga tidak diketahui secara pasti

dampak ekologis dari aktivitas yang sudah dilakukan.

Strategi yang digunakan untuk melepas larva ke laut pada saat itu adalah

dengan mensinkronkan waktu penglepasan dengan waktu dimana makanan larva

di area penglepasan mencapai kepadatan yang tertinggi agar kelangsungan hidup

larva dapat ditingkatkan. Strategi tersebut masih dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti pemangsa, pola arus dan sangat sulit sekali menentukan waktu yang tepat

(terkait dengan kelimpahan prey) untuk melepaskan larva di suatu area. Faktor-

faktor ini tentu mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan di

awal kehidupan larva ikan yang dilepas. Sehingga tingkat keberhasilan

penglepasan larva ini diperkirakan sangat kecil sekali bahkan mendekati tingkat

nol. Dari pengamatan yang dilakukan, pada umumnya kematian total larva ikan

yang dilepas terjadi pada akhir stadia pertama dari perkembangan larva (ikan laut

memiliki beberapa tahapan tumbuh kembang stadia pada saat larva).

Berdasarkan hal diatas, maka dikembangkan suatu teknik baru agar ikan

yang dilepas dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya. Hasil dari teknologi

tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa tingkat keberhasilan atau

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

17

kelangsungan hidup penglepasan juvenile lebih baik dibandingkan dengan

penglepasan stadia larva. Oleh sebab itu, penglepasan ikan pada stadia juvenile

atau ikan muda dijadikan landasan dalam proses kegiatan sea farming. Tentunya

dibutuhkan upaya dan biaya untuk mendapatkan juvenile ikan untuk dilepas

dibanding melepas ikan dalam stadia larva.

Penglepasan ikan pada stadia juvenile diawali atau dipelopori oleh Jepang

pada tahun 1965, yang kemudian diikuti oleh Norwegia pada tahun 1976 dan

Amerika Serikat pada tahun 1979. Selanjutnya teknologi penglepasan ikan

berkembang dimana metode evaluasi, hitungan ekonomis dan dampak sosialnya

terus dikembangkan hingga saat ini. Sampai saat ini hanya tiga negara tersebut

yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap kegiatan sea farming, dan Jepang

menjadi kiblat dari kegiatan ini.

2.2.2 Pengertian dan Tujuan Sea Farming

Menurut Adrianto (2005), sea farming dalam istilah Bahasa Jepang

disebut saibai gyogyou adalah salah satu kegiatan perikanan yang memegang

peranan cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang. Pada

dasarnya, sea farming di Jepang berfungsi sebagai penyedia stok ikan yang akan

dilepas kembali ke laut sehingga sumberdaya ikan yang berkurang akibat kegiatan

perikanan tangkap tetap terpelihara volume stoknya (restocking).

Pada umumnya tujuan sea farming dapat dikategorikan menjadi tiga

kegiatan berdasarkan tujuannya, yaitu :

1. Membangun suatu populasi atau meningkatkan populasi ikan di suatu

areal

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

18

2. Menopang kegiatan sportfishing dan rekreasi

3. Meningkatkan hasil tangkapan nelayan

Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki

pengalaman yang cukup tinggi dan teknologi yang sudah lanjut memiliki tujuan

yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Amerika Serikat

mempraktekkan penglepasan ikan ke laut untuk tujuan meningkatkan populasi

ikan dan untuk menopang kegiatan rekreasi dan sport fishing. Sedangkan Jepang

dan negara-negara Skandinavia (Norwegia dan Denmark) memfokuskan kegiatan

penglepasan ikan ke laut untuk commercial fishery sebagai tujuan primernya,

disamping penglepasan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi ikan yang

hampir punah di suatu areal. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan

penangkapan ikan memegang peranan yang cukup besar baik secara sosial

maupun ekonomi di Jepang.

Berdasarkan arealnya maka penglepasan ikan dibagi menjadi dua macam

yaitu untuk high sea fishery (200 mil laut dari garis pantai) dan coastal fishery.

Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran ikan dan

daerah penglepasan.

Penglepasan ikan pada daerah tertentu harus memperhatikan aspek ekologi

dan ekonomi. Aspek ekologi ini dimaksudkan agar tidak mengganggu proses

rantai makanan disuatu areal tertentu dimana ikan yang dilepas haruslah ikan asli

daerah tersebut atau ikan yang ada pada daerah tersebut. Aspek ekonomi yang

dimaksud adalah bahwa ikan yang dilepas haruslah memiliki nilai ekonomi yang

penting pada suatu areal/daerah/negara tertentu.

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

19

Sea farming yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktivitas berbasis

marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan

menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya

seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, sea farming pada

dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-

sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output. Marikultur

berfungsi sebagai penyedia sumberdaya perikanan yang dalam salah satu mata

rantainya adalah kegiatan ekonomi masyarakat berbasis budidaya perikanan dan

peningkatan cadangan sumberdaya ikan (stock enhancement) sebagai mata rantai

penting lainnya. Oleh sebab itu, sea farming merupakan kegiatan pemanfaatan

perairan laut di pesisir pantai atau laut. Tentu saja, pemanfaatan perairan tersebut

harus sesuai dengan kondisi kegiatan budidaya perikanan laut maupun

sumberdaya dan lingkungan pesisir dan laut. Dalam kegiatan sea farming di

sekitar perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, jenis ikan yang

dibudidayakan adalah ikan kerapu.

2.3 Gambaran Umum Komoditas Ikan Kerapu

Ikan kerapu dapat diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut

(Ghufran 2001):

Filum : Chordata

Klas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Serranidae

Genus : Cromileptes

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

20

Spesies : Cromileptes altivelis

Genus : Plectropama

Spesies : Plectropama maculates, P. Leopardus, dan

P.oligacanthus

Genus : Epinephelus

Spesies : Epinepheleus suillus, E. malabaricus,

E. fuscoguttatus, E. merra, dan E. maculates

Ikan kerapu biasa disebut goropa atau kasai, diperkirakan terdiri atas

sekitar 46 spesies yang hidup di berbagai tipe habitat (tempat hidup). Semua

spesies tersebut ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca,

Anyperodon, Chepalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan

Varicla. Dari tujuh genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan

Epinephelus merupakan golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi yang

diusahakan melalui penangkapan di alam maupun pembudidayaan (Ghufran,

2001).

Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang menyukai hidup di

perairan karang, diantaranya pada celah-celah karang atau di dalam gua di dasar

perairan (DKP, 2004). Secara umum, ikan kerapu memiliki kepala yang besar,

mulut lebar dan tubuhnya ditutupi sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum,

bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya

terpisah. Semua jenis kerapu mempunyai tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri

pada bagian tepi operculum (Ghufran, 2001).

Ikan kerapu dikenal sebagai ikan pemangsa (predator) yang memangsa

jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, udang-udangan, dan udang-udang kecil

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

21

lainnya. Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous (hermaprodit protogini),

yang berarti setelah mencapai ukuran tertentu akan berganti kelamin (change sex)

dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang

bersifat hermaphrodit synchroni, yaitu di dalam satu gonad satu individu ikan,

terdapat sel seks betina dan sel seks jantan yang dapat masak dalam waktu yang

sama, sehingga ikan dapat mengadakan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak.

Ikan kerapu merupakan ikan berukuran besar yang bobotnya mencapai 4,5 kg atau

lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat di berbagai perairan di dunia antara lain di

Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia, dan Papua Nugini.

Sementara di Indonesia, ikan kerapu ditemukan diseluruh perairan nusantara

(Ghufran, 2001)

2.4 Jenis-Jenis Ikan Kerapu

1) Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)

Kerapu bebek sering juga disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran

internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang

menyebutnya hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan

warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh

permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing.

Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini popular dengan

sebutan ikan kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya kerapu tikus,

karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus

(Gambar 1).

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

22

Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes activelis)

Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot

tubuhnya telah mencapai 0,5 kg sampai 2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan

konsumsi, ikan kerapu bebek ini juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan

sebutan grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat.

Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Ikan ini bisa

mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi umumnya

ukuran 30-50 cm. Kerapu bebek tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan

dan hewan-hewan kecil lainnya (predator). Ikan kerapu bebek merupakan salah

satu ikan laut komersial yang mulai dibududayakan baik dengan tujuan

pembenihan maupun pembesaran.

2) Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Bentuk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan kerapu

lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar. Dalam masyarakat internasional

dikenal dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran, 2001). Kerapu macan

memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan

sirip ekor yang membulat (rounded). Warna dasar sawo matang, perut bagian

bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah

kecokelatan, serta terlihat pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

23

ekornya. Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng

(Antoro, Sarwono, Sudjiharno, 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat

pada Gambar 2.

Sumber : (http://www.fishyforum.com/t1081/)

Gambar 2. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

2.5 Budidaya Ikan Kerapu

Usaha budidaya ikan kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua

kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan adalah

kegiatan produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7 cm yang biasa

disebut dengan fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling

berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan

pembenihan sampai dengan fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup

menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2-3 cm menjadi

berukuran 5-7 cm dalam jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 20-30 hari.

Perbandingan harga benih yang berukuran 2-3 cm dengan yang berukuran 5-7 cm

meningkat sampai sekitar 100% yang memberikan keuntungan sekitar 70 %.

Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki budidaya berkapasitas

1-2 m3

atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x 1,5 m dan mesh

size 3-4 mm) dengan kepadatan 300-500 ekor per m3. Pakan yang diberikan

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

24

sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sebesar 40% (Nainggolan et.al,

2003).

Pembesaran jenis kerapu sampai dengan ukuran konsumsi berkisar antara

7-10 bulan, tergantung dari jenis kerapu yang dibesarkan (untuk kerapu macan

dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk kerapu bebek sekitar 10 bulan).

Pembesaran kerapu untuk menjadi kerapu muda ukuran 100 g per ekor dari

ukuran fingerling diperlukan waktu 3-4 bulan pada kerapu macan dan 7-10 bulan

pada kerapu bebek. Pembesaran kerapu umumnya dilakukan dengan

menggunakan keramba jaring apung atau di dalam tangki pembesaran dengan

sistem air mengalir (Nainggolan et.al, 2003).

Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet. Usaha

pembesaran kerapu di lapangan cukup bervariasi. Ada yang membesarkan dari

fingerling sampai dengan ukuran konsumsi, ada pula yang membesarkan dari

fingerling sampai dengan ukuran 100 g per ekor (kerapu muda) dan dari kerapu

muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1200 g per ekor). Pemeliharaan dari

ukuran 100 g per ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan

waktu 3-5 bulan untuk kerapu macan dan 8-10 bulan untuk kerapu bebek

(Nainggolan et.al, 2003).

2.6 Keramba Jaring Apung

Kata keramba jaring apung biasa digunakan untuk menamai wadah

pemeliharan ikan, terbuat dari jaring yang dibentuk segi empat atau silindris dan

diapungkan dalam air permukaan menggunakan pelampung dan kerangka kayu,

bambu atau besi, serta sistem penjangkaran. Sesuai dengan sifatnya yang sangat

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

25

dipengaruhi oleh kondisi perairan, lingkungan bagi kegiatan budidaya laut dalam

bentuk keramba jaring apung sangat menentukan keberhasilan usaha. Pemilihan

lokasi merupakan hal yang sangat penting bagi usaha pemeliharaan ikan dalam

keramba jaring apung. Komoditas yang dapat dipelihara dalam keramba jaring

apung di laut tropis yaitu berbagai spesies ikan kerapu seperti kerapu lumpur,

kerapu macan, kerapu sunu, kerapu bebek, dan kerapu lemak serta beberapa

spesies lain seperti ikan baronang, kuwe, lobster, kakap merah, kakap putih,

bandeng dan nila merah (Achmad et.al, 1995).

Pemilihan komoditas yang akan dibudidayakan mempengaruhi konstruksi

keramba jaring apung. Keramba jaring apung dengan banyak sudut seperti segi

enam, segi delapan, atau segi empat cocok untuk pemeliharaan kerapu. Hal ini

dikarenakan semua spesies kerapu cenderung hidup bersembunyi, berbaring di

dasar perairan di bawah naungan (Achmad et.al, 1995)

Konstruksi keramba jaring apung selain dipengaruhi oleh spesies yang

dipelihara juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, metode budidaya, sifat

bahan, dan keterampilan tenaga lokal. Secara ideal, bahan yang digunakan untuk

keramba jaring apung harus kuat, ringan, tahan cuaca dan korosi, mudah

dikerjakan dan diperbaiki, bebas gesekan, tekstur halus agar tidak melukai ikan.

Selain itu tata letak keramba jaring apung harus diperhitungkan berdasarkan arah

dan kekuatan arus karena bentuk keramba jaring apung di laut sangat dipengaruhi

oleh arus (Achmad et.al, 1995).

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

26

2.7 Teori Produksi

Teori produksi merupakan analisis mengenai bagaimana seharusnya

seorang pengusaha atau produsen, dengan teknologi tertentu memilih dan

mengkombinasikan berbagai macam faktor produksi untuk menghasilkan

sejumlah produk tertentu, seefisien mungkin (Sudarman, 1989). Produksi adalah

suatu proses pengubahan faktor produksi atau input menjadi output sehingga nilai

barang tersebut bertambah. Penentuan kombinasi faktor-faktor produksi yang

digunakan dalam proses produksi sangatlah penting agar proses produksi yang

dilaksanakan dapat efisien dan hasil produksi yang didapat menjadi optimal. Input

pada suatu proses produksi terdiri dari perairan, tenaga kerja, kapital dan bahan

baku, jadi input adalah barang atau jasa yang digunakan sebagai masukan pada

suatu proses produksi sedangkan yang dimaksud dengan output adalah barang dan

jasa yang dihasilkan dari suatu proses produksi.

Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara faktor produksi

dengan hasil produksi. Fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah barang yang

diproduksi tergantung pada jumlah faktor produksi yang digunakan.

Fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut :

Q = f (K, L, R, T)

Keterangan :

Q = output

K = modal (capital)

L = tenaga kerja (labour)

R = sumber daya (resources)

T = teknologi (technology)

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

27

Berdasarkan persamaan tersebut berarti bahwa besar kecilnya tingkat

produksi suatu barang tergantung kepada jumlah modal, jumlah tenaga kerja,

jumlah kekayaan alam dan tingkat produksi yang digunakan. Jumlah produksi

yang berbeda-beda tentunya memerlukan faktor produksi yang berbeda pula.

Jumlah produksi yang tidak sama akan dihasilkan oleh faktor produksi yang

dianggap tetap, biasanya adalah faktor produksi seperti modal, mesin,

peralatannya serta bangunan perusahaan. Sedangkan faktor produksi yang

mengalami perubahan adalah tenaga kerja. Berkaitan dengan periode produksi,

situasi produksi dimana perusahaan tidak dapat mengubah outputnya disebut

jangka waktu yang sangat pendek, sedangkan situasi produksi dimana output

dapat dirubah namun demikian ada sebagian faktor produksi yang bersifat tetap

atau input tetap dan sebagian lagi faktor produksinya dapat diubah atau input

variabel disebut produksi jangka pendek. Produksi jangka panjang yaitu suatu

produksi tidak hanya output dapat berubah tetapi mungkin semua input dapat

diubah dan hanya teknologi dasar produksi yang tidak mengalami perubahan.

Pendugaan hubungan antara produksi dan faktor produksi dapat dilakukan dengan

model regresi. Menurut Soekartawi (1994), diantara berbagai model pendugaan

hubungan tersebut salah satunya adalah fungsi produksi Cobb-Douglas, yang

secara matematis model tersebut dituliskan sebagai berikut :

n

ne

dimana : Y = Variabel dependen

a = Konstanta regresi

X1...,Xn = Variabel independen

1...., n = Koefisien regresi variabel independen ke 1-n

e = Galat atau error

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

28

2.8 Uji Statistik

Selanjutnya untuk mengetahui keakuratan data maka perlu dilakukan

beberapa pengujian (Gujarati, 2003):

a. Uji t Statistik

Uji t statistik melihat hubungan atau pengaruh antara variabel independen

secara individual terhadap variabel dependen.

1. Hipotesis yang digunakan :

a. Jika Hipotesis positif

Ho : i ≤ 0 => variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara

signifikan

H1 : i > 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara

positif dan signifikan

b Jik Hipotesis neg tif Ho : i ≥ 0 => variabel independen tidak mempengaruhi

variabel dependen secara signifikan

H1 : i < 0 => variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara

negatif dan signifikan

2. Pengujian satu sisi

Jika t tabel ≥ t hitung, Ho diterim ber rti v ri bel independen sec r

individual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Jika t

tabel < t hitung, Ho ditolak berarti variabel independen secara individu

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.

b. Uji F statistik

Uji F digunakan untuk menghitung apakah model yang digunakan secara

keseluruhan tepat digunakan dengan tingkat kepercayaan tertentu.

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

29

Adapun langkah – langkah pengujian untuk uji F adalah sebagai berikut :

1. Menentukan hipotesis

H0 : 1 = 2 3 4 5 = 6 = 0

(tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel

dependen secara bersama – sama)

H0 : 1 ≠ 2 ≠ 3 ≠ 4 ≠ 5 ≠ 6 ≠ 0

(ada pengaruh yang signifikan dari variabel indipenden terhadap variabel

dependen secara bersama – sama)

2. Perhitungan nilai F-test:

Fhitung =

keterangan :

k = jumlah variabel

N = jumlah sampel

= koefisien determinasi

3. Pengambilan keputusan uji F

Apabila F-hitung > F-tabel, maka Ho ditolak berarti secara bersama–sama

variabel independen secara signifikan mempengaruhi variabel dependen. Apabila

F-hitung < F-tabel maka Ho diterima yang berarti secara bersama–sama variabel

independen secara signifikan tidak mempengaruhi variabel dependen.

c. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi digunakan untuk menghitung seberapa besar varian

dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel

independent. Nilai R2

paling besar 1 dan paling kecil 0 (0<R2<1). Bila R

2

sama

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

30

dengan 0 maka garis regresi tidak dapat digunakan untuk membuat ramalan

variabel dependen, sebab variabel-variabel yang dimasukan kedalam persamaan

regresi tidak mempunyai pengaruh varian variabel dependen adalah 0. Semakin

dekat R2

dengan 1, maka semakin tepat regresi untuk meramalkan variabel

dependen, dan hal ini menunjukan hasil estimasi keadaan yang sebenarnya.

Pengujian asumsi klasik juga perlu dilakukan. Pengujian ini dimaksudkan

untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi, multikolinearitas, dan

heterokedastisitas. Apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik tersebut

uji t dan uji F yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik

dapat mengacaukan kesimpulan (Gujarati, 2003).

a. Multikolinearitas

Pengujian multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana satu atau

lebih variabel independen dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari variabel

lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui adanya multikolinearitas adalah dengan

pengujian terhadap masing-masing variabel independen untuk mengetahui

seberapa jauh korelasinya (r2) yang dapat kemudian dibandingkan dengan R

2

yang

didapat dari hasil regresi secara bersama variabel independent dengan variabel

dependen. Jika r2

melebihi R2

pada model regresi maka dari hasil regresi tersebut

terdapat multikolinearitas, sebaliknya apabila R2

lebih besar dari semua r2

maka

ini menunjukan tidak terdapatnya multikolinearitas pada model regresi yang diuji.

b. Heteroskedastisitas

Adanya heteroskedastisitas dalam model analisis mengakibatkan varian

dan koefisien-koefisien OLS tidak lagi minimum dan penaksir-penaksir OLS

menjadi tidak efisien meskipun penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten.

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

31

Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas pada

penelitian ini adalah pengujian White, langkah pengujiannya antara lain:

a. Melakukan regresi pada persamaan berikut yang disebut regresi auxiliary

b. Hipotesis nul dalam uji ini adalah tidak ada heteroskedastisitas. Uji White

didasarkan pada jumlah sampel (n) dikalikan dengan R2

yang akan mengikuti

distribusi Chi-squares dengan degree of freedom sebanyak variabel independen

tidak termasuk konstanta dalam regresi auxiliary. Nilai hitung statistik Chi-

squ res (χ2

) dapat dicari dengan formula sebagai berikut:

n R2

≈ χ2

df

c. Jika nilai Chi-squares hitung (n. R2

) lebih bes r d ri nil i χ2

kritis dengan

derajat keperc y n tertentu (α) m k d heterosked stisit s d n seb likny

jika Chi-squ res hitung lebih kecil d ri nil i χ2

kritis menunjukkan tidak adanya

heteroskedastisitas

c. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antar anggota

serangkaian observasi menurut waktu. Dalam konteks regresi, model linear klasik

mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi

atau gangguan Ui dengan menggunakan lambang:

E (Ui Uj) = 0 ; 1 ≠J

Secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa

unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur

disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang

manapun (Gujarati, 2003).

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

32

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi digunakan Durbin

Watson (D-W test), dengan hipotesa sebagai berikut:

1) Jika nilai D-W statistik < DL, atau D-W statistik > 4-DL, maka Ho ditolak

yang berarti terdapat autokorelasi

2) Jika nilai DU < D-W < 4-DU, maka Ho diterima, berarti tidak terdapat

autokorelasi.

) Jik DL ≤ D-W ≤ DU t u 4- DU ≤ D-W ≤ 4-DL, berarti dianggap tidak

meyakinkan.

2.9 Elastisitas Produksi

Elastisitas produksi digunakan untuk melihat seberapa besar perubahan

produksi akibat perubahan pemakaian input (faktor produksi). Koefisien regresi

(b1) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukkan elastisitas

input (X) terhadap output (Y) (Soekartawi, 2003). Elastisitas produksi (Ep) dapat

dihitung dengan menjumlahkan pangkat pada fungsi produksi Cobb-Douglas.

Elastisitas produksi dapat dituliskan melalui rumus sebagai berikut:

Karena

adalah produk marjinal (MPP), maka besarnya Ep tergantung dari

besarnya MPP suatu input.

Dengan demikian, elastisitas produksi merupakan perbandingan antara

produk marjinal dengan produk rata-rata.

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

33

Berdasarkan persamaan di atas rumus elastisitas produksi dapat dituliskan sebagai

berikut:

2.10 Skala Usaha (Return to Scale)

Skala penerimaan (return to scale) perlu dihitung untuk mengetahui

apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah increasing,

constant atau decreasing return to scale. Nilai return to scale dapat diketahui

dengan menjumlahkan koefisien regresi (bi) yang terdapat pada fungsi produksi

Cobb-Douglas. Secara rinci dapat dituliskan sebagai berikut:

2.11 Analisis Optimasi

Optimasi merupakan pencapaian tingkat faktor produksi yang mana

memaksimumkan pendapatan bersih dari penggunaan sumberdaya. Tingkat

optimal dari penggunaan faktor produksi dapat dijelaskan dengan fungsi produksi.

Pendapatan bersih merupakan hasil selisih dari total revenue (TR) dan total cost

(TC). Hal ini tercapai pada saat nilai produk marjinal (NPM) sama dengan harga

input produksi (Px), atau biaya marjinal dari tambahan input.

Secara matematis, hal ini berarti keuntungan dapat dimaksimumkan bila

NPM = Px, karena NPM = MPP . Py. Produk marjinal (MPP) merupakan

perkalian antara elastisitas produksi (Ep) dengan produksi rata-rata (APP).

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

34

Koefisien regresi (bi) yang terdapat pada fungsi produksi Cobb-Douglas

menunjukkan elastisitas produksi, maka :

Sehingga nilai produk marjinal (NPM) dapat dihitung dengan rumus:

dimana:

NPM = nilai produk marjinal input ke-i

bi = koefisien regresi dari input ke-i

Y = produksi

= input ke-i

Py = harga persatuan produksi

Berdasarkan persamaan MPP dan NPM diatas, maka dapat diketahui input

optimal (Xi*) dengan rumus:

dimana:

* = input optimal ke-i

= produksi (output) rata-rata

= koefisien regresi dari input ke-i

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

35

2.12 Analisis Kelayakan

Dalam mengevaluasi sebuah usaha biasanya digunakan dua macam

analisis, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam analisis finansial

usaha dilihat dari sudut badan usaha atau perorangan yang menanam modalnya di

dalam usaha atau yang berkepentingan langsung di dalam usaha, sedangkan

analisis ekonomi, usaha dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan.

Dalam analisis ekonomi, yang diperhitungkan adalah analisis total, atau

produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai

dalam usaha, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber yang dipakai

dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari usaha tersebut. Hasil dari

hal ini disebut social returns atau the economic returns (Kadariah, 2001).

Menurut Gittinger (1978), analisis ekonomi atau analisis sosial adalah

analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya dari segi

pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang

berkepentingan dalam usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan

untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari segi individu atau swasta sebagai

pihak yang berkepentingan dalam usaha.

Bagi pemegang kebijakan (policy makers), yang penting adalah

mengarahkan pembangunan sumber-sumber yang langka kepada usaha-usaha

yang dapat memberikan hasil yang paling baik bagi perekonomian, sebagai

keseluruhan, yang menghasilkan social return dan economic return yang tinggi

(Kadariah, 2001).

Ada beberapa unsur yang berbeda penilaiannya dalam analisis finansial

dan analisis ekonomi, (Kadariah 2001).

Page 23: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

36

1) Harga

Dalam analisis ekonomi selalu dipakai harga bayangan (shadow price), yaitu

harga yang menggambarkan nilai sosial dan ekonomi yang sesungguhnya,

sedangkan dalam analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga privat atau

harga pasar (accounting price).

2) Biaya

Dalam analisis ekonomi biaya bagi input proyek adalah manfaat yang

hilang (the benefit forgone) bagi perekonomian karena input itu dipakai dalam

perekonomian atau the opportunity cost bagi input

3) Pembayaran Transfer

a) Pajak.

Dalam analisis ekonomi, pajak tidak dianggap sebagai biaya dalam

proyek. Pajak merupakan bagian dari hasil netto proyek yang diserahkan

kepada masyarakat.

b) Subsidi.

Subsidi merupakan suatu pembayaran transfer dari masyarakat kepada

proyek. Dalam analisis finansial subsidi mengurangi biaya proyek. Jadi

menambah manfaat bagi proyek, sedangkan dalam analisis ekonomi

subsidi merupakan transfer yang dikeluarkan pemerintah yang dibebankan

kepada masyarakat.

c) Bunga.

Dalam analisis ekonomi bunga modal tidak dipisahkan atau dikurangkan

dari hasil bruto. Dalam analisis finansial dibedakan antara :

Page 24: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

37

- Bunga yang dibayarkan pelaku usaha kepada pihak-pihak diluar usaha

yang meminjamkan uangnya kepada usaha tersebut. Bunga ini

dianggap biaya (cost).

- Bunga atas modal usaha (inputed or paid to entity) tidak dianggap

sebagai biaya, karena bunga merupakan bagian dari financial return

yang diterima oleh modal usaha.

Untuk mengevaluasi kelayakan sebuah usaha digunakan kriteria-kriteria

sebagai berikut (Kadariah, 2001) :

1) Net Present Value (NPV)

Tujuan dari kebijakan pembangunan adalah untuk mendapatkan hasil netto

(net benefit) yang maksimal yang dapat tercapai dengan investasi modal atau

pengorbanan sumber-sumber lain. Sebagai ukuran dalam hal ini adalah net

present value dari usaha yang merupakan selisih antara NPV dari benefit dan

NPV dari cost.

2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C adalah perbandingan antara present value dari net benefit yang

positif dengan present value dari net benefit yang negatif (Net Cost).

3) Internal Rate of Return (IRR)

Perhitungan Internal Rate of Return atau tingkat pengembalian internal

adalah tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar oleh suatu usaha untuk

sumberdaya yang digunakan karena suatu usaha membutuhkan dana lagi untuk

biaya-biaya operasional dan investasi dan usaha baru sampai pada tingkat pulang

modal (Gittinger, 1986). Perhitungan IRR digunakan untuk mengetahui persentase

keuntungan dari suatu usaha tiap tahunnya dan menunjukkan kemampuan usaha

Page 25: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir

38

dalam mengembalikan pinjaman. Jika dengan tingkat diskonto tertentu, nilai NPV

menjadi sebesar nol, maka usaha yang bersangkutan berada dalam posisi pulang

modal yang berarti proyek dapat mengembalikan modal dan biaya operasional

yang dikeluarkan serta dapat melunasi penggunaan uang.

2.13 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara

sistematis apa yang terjadi pada total penerimaan apabila terjadi perubahan-

perubahan yang tak terduga dan berbeda dengan perkiraan dan perencanaan.

Tujuan analisis sensitivitas yaitu untuk mengetahui apakah yang akan terjadi

apabila terdapat perubahan pada unsur-unsur biaya atau penerimaan, sehingga

dapat diketahui apakah suatu proyek layak untuk diteruskan atau tidak (Kadariah,

2001). Selain itu, analisis sensitivitas membantu menentukan unsur yang sangat

menentukan hasil usaha dan dapat membantu pengelola usaha dengan

menunjukkan bagian-bagian peka yang memerlukan pengawasan yang lebih ketat

untuk menjamin hasil yang diharapkan akan menguntungkan usaha.