27
IIFF: DRAFT KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL (ESSF) 1 A. Latar Belakang 1. Infrastruktur saat ini dilihat sebagai hambatan kritis bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dimana serangkaian upaya untuk menarik kembali para investor swasta, banyak diantaranya adalah investor asing, yang telah mendorong pembangunan infrastruktur lewat investasi swasta di awal era 1990-an, telah gagal. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah besar langkah-langkah untuk mengajak keikutsertaan investasi swasta, khususnya dalam negeri, agar tertarik ikut mengembangkan infrastruktur. Satu elemen penting dari upaya tersebut adalah mengembangkan kemampuan dalam negeri untuk mendanai sendiri proyek-proyek infrastruktur yang secara komersial dianggap menguntungkan, dengan cara mendukung lembaga- lembaga pembiayaan dalam negeri yang sudah ada. Sebagai bagian dari upaya ini, Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk mendirikan satu lembaga pendanaan baru dan khusus, yang disebut sebagai Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (Indonesian Infrastructure Financing Facility atau disingkat “IIFF”), yang akan menawarkan pembiayaan bagi proyek- proyek pembangunan infrastruktur, dalam jangka panjang dan menggunakan mata uang setempat. 2. IIFF sedang didirikan sebagai satu lembaga pembiayaan komersial, untuk memobilisasi program pembiayaan dalam mata uang setempat dalam tenor, ketentuan serta harga yang tepat, untuk proyek-proyek infrastruktur yang dianggap pantas didanai, dengan cara: (i) menggunakan rating kreditnya yang bagus untuk meminjam dana dari lembaga investasi dan perbankan dalam negeri yang mencari cara menempatkan dana mereka dalam jangka panjang dengan marjin yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh korporasi besar atau pihak sovereign lainnya, dan dengan cara (ii) menyediakan produk-produk pendanaan/keuangan yang memenuhi kebutuhan infrastruktur PPP dan proyek yang sepenuhnya didanai oleh swasta. IIFF akan menjadi semacam pihak perantara keuangan non-bank yang memiliki kapasitas untuk menilai kelaikan proyek- proyek infrastruktur dan dengan kewajiban bayar jangka panjang yang sesuai dengan suatu portofolio dari aset-aset jangka panjang. Diharapkan lembaga ini akan berfokus pada senior jangka panjang dan subordinated debt serta minority equity position, namun rangkaian produk yang ditawarkannya kemungkinan dapat meluas sampai meliputi jasa credit enhancement, securitization, advisory services serta mekanisme lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan investasi di bidang pembangunan infrastruktur. 3. IIFF akan beroperasi sebagai suatu badan usaha komersial, menggunakan tingkat rate dan fee yang berlaku di pasar. Badan usahan ini akan menanggapi kebutuhan pasar, dan mengikuti metode praktek terbaik di dunia internasional dalam hal tata laksana korporasi yang baik, dengan menjalankan kebijakan serta langkah manajemen resiko; memberikan Indonesia suatu ketrampilan pengelolaan pembiayaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan saat ini. Pemerintah Indonesia telah memasukkan konsep ini ke dalam pernyataan kebijakannya mengenai IIFF dan hal tersebut akan ditunjukkan dalam struktur serta pengelolaan lembaga keuangan ini. 1 Rancangan ESSF ini diberikan sebagai draft awal saja, draft ini akan diperbarui dan difinalisasi sebelum pemberlakuan pinjaman. RP817 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

IIFF: DRAFT KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN … file3. IIFF akan beroperasi sebagai suatu badan usaha komersial, menggunakan tingkat rate dan ... dengan cara menyediakan jasa pembiayaan

  • Upload
    vuquynh

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

IIFF: DRAFT KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL (ESSF)1

A. Latar Belakang

1. Infrastruktur saat ini dilihat sebagai hambatan kritis bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dimana serangkaian upaya untuk menarik kembali para investor swasta, banyak diantaranya adalah investor asing, yang telah mendorong pembangunan infrastruktur lewat investasi swasta di awal era 1990-an, telah gagal. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah besar langkah-langkah untuk mengajak keikutsertaan investasi swasta, khususnya dalam negeri, agar tertarik ikut mengembangkan infrastruktur. Satu elemen penting dari upaya tersebut adalah mengembangkan kemampuan dalam negeri untuk mendanai sendiri proyek-proyek infrastruktur yang secara komersial dianggap menguntungkan, dengan cara mendukung lembaga-lembaga pembiayaan dalam negeri yang sudah ada. Sebagai bagian dari upaya ini, Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk mendirikan satu lembaga pendanaan baru dan khusus, yang disebut sebagai Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (Indonesian Infrastructure Financing Facility atau disingkat “IIFF”), yang akan menawarkan pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan infrastruktur, dalam jangka panjang dan menggunakan mata uang setempat.

2. IIFF sedang didirikan sebagai satu lembaga pembiayaan komersial, untuk memobilisasi program pembiayaan dalam mata uang setempat dalam tenor, ketentuan serta harga yang tepat, untuk proyek-proyek infrastruktur yang dianggap pantas didanai, dengan cara: (i) menggunakan rating kreditnya yang bagus untuk meminjam dana dari lembaga investasi dan perbankan dalam negeri yang mencari cara menempatkan dana mereka dalam jangka panjang dengan marjin yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh korporasi besar atau pihak sovereign lainnya, dan dengan cara (ii) menyediakan produk-produk pendanaan/keuangan yang memenuhi kebutuhan infrastruktur PPP dan proyek yang sepenuhnya didanai oleh swasta. IIFF akan menjadi semacam pihak perantara keuangan non-bank yang memiliki kapasitas untuk menilai kelaikan proyek-proyek infrastruktur dan dengan kewajiban bayar jangka panjang yang sesuai dengan suatu portofolio dari aset-aset jangka panjang. Diharapkan lembaga ini akan berfokus pada senior jangka panjang dan subordinated debt serta minority equity position, namun rangkaian produk yang ditawarkannya kemungkinan dapat meluas sampai meliputi jasa credit enhancement,securitization, advisory services serta mekanisme lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan investasi di bidang pembangunan infrastruktur.

3. IIFF akan beroperasi sebagai suatu badan usaha komersial, menggunakan tingkat rate dan fee yang berlaku di pasar. Badan usahan ini akan menanggapi kebutuhan pasar, dan mengikuti metode praktek terbaik di dunia internasional dalam hal tata laksana korporasi yang baik, dengan menjalankan kebijakan serta langkah manajemen resiko; memberikan Indonesia suatu ketrampilan pengelolaan pembiayaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan saat ini. Pemerintah Indonesia telah memasukkan konsep ini ke dalam pernyataan kebijakannya mengenai IIFF dan hal tersebut akan ditunjukkan dalam struktur serta pengelolaan lembaga keuangan ini.

1 Rancangan ESSF ini diberikan sebagai draft awal saja, draft ini akan diperbarui dan difinalisasi sebelum pemberlakuan pinjaman.

RP817 P

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

ed

B. Tujuan Proyek Ini

4. Usulan proyek ini memiliki dua tujuan menyeluruh, yaitu: (i) memperkuat dan mengembangkan lebih jauh kerangka kerja kelembagaan dari sektor finansial untuk mempermudah pembiayaan dari proyek-proyek infrastruktur yang dianggap layak secara komersial; dan hal ini berakibat pada (ii) peningkatan jumlah infrastruktur di Indonesia. IIFF diharapkan dapat mencapai tujuan pertamanya dengan cara membangun kapasitas dan kemampuan yang dibutuhkan, dengan cara menyediakan jasa pembiayaan jangka panjang, produk-produk keuangan lain yang inovatif, serta layanan advisory. Tujuan akhir dari IIFF adalah meningkatkan pengadaan infrastruktur di Indonesia guna mendukung suatu iklim investasi yang lebih menarik, pertumbuhan yang terus terjaga, serta pengurangan tingkat kemiskinan dalam jangka panjang.

5. IIFF akan menjadi satu lembaga pembiayaan swasta non-bank yang akan meminjam dana dari pasar hutang lokal dan meminjamkannya ke proyek-proyek infrastruktur yang dianggap layak. Dalam tahap awal pembentukannya, lembaga ini akan mendapatkan sumber dana dari pinjaman ADB dan IBRD, serta dari IFC, KfW, ADB dan penyertaan modal oleh Pemerintah Indonesia sendiri.

6. Amanat yang diemban IIFF akan bersifat fleksibel, guna memungkinkan investasi dilakukan pada pembangunan infrastruktur berdasarkan penghitungan komersial. Pada awalnya, dana yang disediakan akan dipusatkan pada sektor-sektor pembangunan yang memungkinkan proyek pembangunan dilakukan berdasarkan penghitungan komersial, guna menarik perhatian investasi pihak swasta. Sektor-sektor pembangunan yang menjadi bagian dari mandat investasi IIFF adalah, antara lain: enerji (termasuk pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik), air bersih dan sanitasi, transportasi publik (termasuk jalan, kereta api, pelabuhan laut dan bandar udara), infrastruktur di sektor industri dan komersial, serta proyek-proyek pembangunan telekomunikasi.

C. Komponen Proyek Ini serta Produk-Produk Keuangan

7. Proyek ini akan memiliki satu komponen: suatu pinjaman investasi kepada Pihak Peminjam Dana (Borrower) yang akan disediakan kepada IIFF sebagai subordinated debt oleh Pihak Peminjam Dana. Pihak World Bank – termasuk juga para partner pembangunan yang mendukung proyek ini – akan menyetujui suatu Operations Manual (OM) yang membentuk dasar dari proses seleksi oleh IIFF untuk menentukan proyek-proyek pembangunan infrastruktur manakah yang akan didanai, melalui instrumen-instrumen finansial yang disediakan. World Bank tidak akan terlibat dalam persetujuan untuk masing-masing sub-proyek yang dipilih oleh IIFF untuk didanai, dengan syarat bahwa Unit Lingkungan Hidup dan Sosial di IIFF telah memiliki kapasitas yang memadai untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan IIFF di bidang lingkungan hidup dan sosial akan terpenuhi. Meskipun demikian, World Bank (dan IFC) akan mengkaji ulang pelaksanaan dari sub-sub proyek tersebut guna memastikan agar kebijakan perlindungan yang ada telah diikuti dengan benar.

8. Di awal operasinya, IIFF akan berpusat pada sektor-sektor berikut ini: (i) enerji; (ii) air bersih dan sanitasi; (iii) transportasi publik; serta (iv) infrastruktur industrial dan komersial. Dengan mempertimbangkan bahwa program pembangunan infrastruktur oleh dana swasta di Indonesia masih dalam taraf pengembangan awal, dan fakta bahwa IIFF sendiri diharapkan memainkan peran yang signifikan dalam dalam pengembangan cara penyaluran dana ini kedepannya, maka tim World Bank dengan sengaja mengasumsikan pola pertumbuhan yang lambat di dalam balance sheet IIFF. Pinjaman dari World Bank diharapkan dapat sepenuhnya diserap dalam kurun waktu empat tahun ini (tahun 2009-2012).

9. IIFF akan mempunyai tiga kategori produk finansial utama:

� Fee based products yaitu produk-produk yang mendatangkan pembayaran fee bagi IIFF (misalnya: memberikan layanan penasihat/advisory) dan hal ini tidak menyangkut pengeluaran apapun dari dana IIFF.

� Fund based products yaitu produk pembiayaan atau pendanaan, (sebagai contohnya: senior debt, subordinated debt, mezzanine funding, equity investment, bridge finance, refinancing, securitization) yang hal tersebut melibatkan pengucuran dana aktual dari World Bank (melalui IIFF). 5 kategori pertama, yaitu senior debt, subordinated debt, mezzanine funding, equity investment, bridge finance – kesemuanya melibatkan pembiayaan bagi infrastruktur yang baru. Dua kategori terakhir (refinancing dan securitization) lebih melibatkan pembiayaan yang didapat atas dasar infrastruktur yang sudah ada (yang digunakan secara efektif sebagai collateral atau jaminan pinjaman), untuk tujuan membangun infrastruktur baru.

� Non-fund based products atau produk-produk yang tidak berdasarkan pendanaan - contohnya penjaminan – melibatkan penyaluran dana secara terpisah (contingent disbursement) dari dana World Bank (melalui IIFF). Jika IIFF menyatakan akan menjaminsuatu sub-proyek dengan guarantee defaults atas kewajiban pembayaran hutangnya ke lembaga pembiayaan lain atau investor lain, maka hanya jika demikian, IIFF diharuskan membayar pinjaman untuk menggantikan posisi sub-proyek tersebut. Dengan demikian, ini menjadi suatu pengeluaran dana terpisah oleh dana World Bank. Meskipun demikian, mengingat adanya kemungkinan bahwa dana World Bank mungkin dapat didistribusikan, secara ex-ante, maka persyaratan keamanan yang sama sebagaimana produk berdasarkan pendanaan akan harus diterapkan juga.

D. Jenis Sub-proyek Sesuai Dengan Tingkat Kesiapan

10. IIFF akan menawarkan produk-produk keuangan yang berbeda, serta mempertimbangkan sub-sub proyek berdasarkan tingkat kesiapan implementasi yang berbeda-beda. Ada empat kategori sub-proyek, yang masing-masing akan membutuhkan jenis prosedur kajian yang berbeda pula:

� Jenis 1 –Sub-proyek selama tahap-tahap awal persiapan (dimana lokasi proyek belum ditentukan dan opsi-opsi desain proyek masih terbuka): Klien IIFF akan mempersiapkan dan memaparkan semua dokumen Asesmen Lingkungan (EA) (yaitu EIA, EMP, SIA, RAP, IPP, dll.) sebelum persetujuan pendanaan sub-proyek tersebut oleh IIFF.

� Jenis 2 – Sub-proyek yang telah dianggap sepenuhnya siap (dimana para perusahaan konstruksi telah diundang ikut tender): IIFF akan mengkaji dokumen-dokumen EA yang sudah ada dan meminta klien untuk melengkapi atau mengembangkan dokumen yang baru. Semua dokumen yang dipersyaratkan harus dipaparkan sebelum persetujuan pendanaan sub-proyek.

� Jenis 3 – Sub-proyek yang masih dalam tahap pembangunan atau fasilitas yang telah selesai dibangun: dalam hal ini IIFF akan menjalankan kajian kelayakan atau duediligence guna memastikan bahwa: (a) sub-proyek ini telah menjalankan kepatuhan atas semua aturan serta hukum nasional terkait perlindungan lingkungan dan sosial; (b) tidak ada resiko reputasi bagi IIFF dan bagi pihak World Bank Group (WBG); dan (c) tidak ada masalah yang dibawa dari masa lalu, atau ketidak-sepakatan atau tanggungjawab pembayaran yang belum selesai dari masa sebelumnya. Berdasarkan

temuan-temuan asesmen tersebut, maka IIFF akan meminta klien untuk menerapkan langkah remedial atau perbaikan, sejauh diperlukan, atau untuk melakukan mitigasi bagi resiko reputasi potensial, atau menangani masalah-masalah atau tunggakan kewajiban pembayaran dari periode sebelumnya.

� Jenis 4 – Layanan advisory berdasarkan fee: ESSF harus memasukkan prosedur yang dapat memastikan agar semua layanan advisory berdasarkan fee disediakan dengan cara yang konsisten dengan tujuan kebijakan IIFF dan yang tidak menimbulkan resiko reputasi bagi World Bank Group.

E. Tujuan dari Kerangka Kerja Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sosial (Environmental & Social Safeguard Framework atau ESSF)

11. Tujuan dari ESSF adalah memberikan bagi IIFF, khususnya Unit Lingkungan Hidup dan Sosial IIFF, di dalam struktur organisasinya, satu rangkaian kebijakan dan panduan yang akan membantu Unit tersebut menyeleksi, menilai dan mengawasi aspek-aspek lingkungan hidup dan sosial dari suatu sub-proyek.

12. Kerangka kerja ini menjelaskan garis besar (1) Kebijakan World Bank Group (WBG) yang akan diterapkan pada sub-proyek yang didukung oleh IIFF dan (2) pengaturan implementasi guna memastikan agar kebijakan-kebijakan ini diterapkan sepenuhnya dan bahwa sub-proyek tersebut memenuhi semua persyaratan yang harus diterapkan sesuai permintaan WBG, sebagaimana juga sesuai dengan hukum dan peraturan Indonesia.

13. IIFF akan mengembangkan prosedur terinci untuk melakukan kajian lingkungan hidup dan sosial atas suatu sub-proyek. Prosedur-prosedur tersebut, yang akan diintegrasikan ke dalam Operations Manual IIFF, akan mencakup seleksi, penilaian dan pengawasan sub-proyek.

F. Kebijakan yang Dapat Diterapkan

14. Tidaklah mungkin sebelum implementasi proyek ini untuk menentukan cakupan beragam kegiatan yang akan membutuhkan pendanaan dari lembaga ini nantinya. Yang jelas, pembiayaan tersebut disediakan untuk sub-sub proyek ukuran menengah dan besar yang memenuhi berbagai kriteria kelayakan.

15. IIFF, sebagai suatu Badan Perantara Pendanaan atau Financial Intermediary (FI) yang didukung oleh baik World Bank dan IFC, akan mendanai sebagian besar dari sub-proyek sektor swasta. Untuk alasan inilah, maka ESSF akan menggunakan Performance Standards (PSs) dari IFC sebagai inti dari aturan dan standar dasar. ESSF dalam bentuk final akan menggabungkan komponen-komponen yang berbeda antara PSs dan kebijakan WB dengan mengikuti panduan yang disediakan di dalam dokumen “Environment and Social Policy dan Procedural Guidelines for Projects Financed Jointly by World Bank, IFC and/or MIGA”, tertanggal 21 Januari 2009.

16. Dokumen Operations Manual saat ini sedang disusun dengan mempertimbangkan:

� Hukum dan peraturan Indonesia;

� Delapan Standar Kinerja / Performance Standard (PS) dari IFC (PS 1: Asesmen Lingkungan Hidup dan Lingkungan Sosial dan Sistem Manajemen; PS 2: Kondisi Pekerja dan Lingkungan Kerja; PS 3: Pencegahan dan Penanganan Polusi; PS 4: Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat; PS 5: Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali ; PS 6: Konservasi Keragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber Alam secara Keberlanjutan; PS 7: Masyarakat Asli Daerah atau Indigenous Peoples;dan PS 8: Warisan Budaya);

� Tujuh Kebijakan Perlindungan World Bank yang dapat terpicu oleh sub-sub proyek IIFF adalah (Asesmen Lingkungan (OP/BP 4.01); Habitat Alamiah (OP/BP 4.04); Hak Milik Budaya (OP 4.11); Pemukiman Kembali secara Sukarela (OP/BP 4.12); Masyarakat Asli Daerah (OP 4.10); Hutan (OP/BP 4.36); dan Keamanan Bendungan (OP/BP 4.37); dan

� Panduan yang disediakan di dalam dokumen “Environment & Social Policy and Procedural Guidelines for Projects Financed Jointly by World Bank, IFC and/or MIGA”, tertanggal 21 Januari 2009 diharapkan dapat memecahkan perbedaan yang ada antara standar IFC dan kebijakan World Bank.

17. IIFF akan mengikuti satu set standar yang akan ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen ESSF dan Operations Manual.

G. Seleksi Aspek Lingkungan

18. Setiap sub-proyek akan diseleksi untuk menentukan cakupan kesesuaiannya dan jenis Asesmen Lingkungan (EA)-nya. Satu kategori lingkungan akan dimasukkan ke dalam sub-proyek yang disetujui, tergantung dari jenis, lokasi, sensitivitas, dan skala dari sub-proyek tersebut dan sifat serta besaran dari potensi dampaknya terhadap lingkungan. Proses seleksi tersebut juga akan menentukan cakupan instrumen perlindungan yang harus disiapkan (misalnya EA, RAP).

19. Investasi di bidang sub-proyek pembangunan infrastruktur (Jenis 1, 2 dan 3) dalam proyek ini kemungkinan besar akan berdampak di tingkat sedang ke signifikan dalam hal lingkungan hidup dan lingkungan sosial; yang akan dianggap sebagai Sub-Proyek Kategori A atau B sesuai dokumen OP 4.12 Asesmen Lingkungan World Bank dan Prosedur IFC bagi Kajian Lingkungan Hidup dan Sosial dari Proyek). Sub-proyek yang melibatkan fee-based advisory services (Jenis 4) akan dimasukkan kedalam Kategori C.

H. Pengaturan Implementasi

20. Prosedur yang harus diikuti untuk setiap jenis akan ditegaskan di dalam dokumen Operations Manual, yang saat ini sedang disusun. Dokumen OM tersebut – yang akan sesuai dengan persyaratan WBG – akan disusun sebelum pemberlakuan pinjaman. Dokumen OM tersebut akan berisi prosedur-prosedur untuk melakukan seleksi sub-proyek dan untuk memastikan agar semua dampak negatif yang terkait dengan proyek ini telah diidentifikasi, dimitigasi secara efektif, dan diawasi pelaksanaannya.

21. OM bagi proyek ini akan mengarah ke pembentukan dari Sistem Manajemen Lingkungan Hidup dan Sosial (Environmental and Social Management System/ESMS) IIFF. Suatu Unit Lingkungan Hidup dan Sosial akan diciptakan di bawah struktur organisasi IIFF. Unit ini akan mempekerjakan para spesialis lingkungan hidup dan sosial.

22. Dokumen OM tersebut akan berisi semua prosedur yang diperlukan guna memastikan agar sub-proyek yang disetujui memenuhi persyaratan IFC di bidang PS dan Kebijakan Perlindungan World Bank. Prosedur seleksi akan mencakup aspek-aspek berikut ini:

� seleksi lingkungan dan penentuan kategori lingkungan;

� identifikasi dampak sub-proyek terhadap lingkungan hidup dan sosial serta resiko-resiko lainnya;

� asesmen dan manajemen dampak dari suatu sub-proyek, termasuk dampaknya atas habitat alamiah, hutan, dan keamanan bendungan, sejauh dapat diterapkan;

� persyaratan keharusan melakukan konsultasi dan penyebarluasan informasi/publikasi (disclosure) untuk setiap jenis dari sub-proyek, konsisten dengan peraturan di Indonesia dan kebijakan World Bank Group;

� Pembebasan lahan dan pemukiman kembali, termasuk prosedur pemberian kompensasi dan rehabilitasi warga masyarakat setempat yang terkena imbas proyek;

� Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples), termasuk prosedur-prosedur untuk konsultasi yang bebas dan konstruktif yang dilakukan di awal ; serta

� kajian atas dokumen-dokumen EA (Environmental Assessment) dan kapasitas yang dimiliki oleh klien IIFF dalam mengelola masalah-masalah terkait lingkungan hidup dan sosial.

23. Dokumen OM tersebut akan termasuk pula suatu Kerangka Kerja Kebijakan Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples Policy Framework/IPPF) dan Kerangka Kerja Kebijakan Pemukiman Kembali (Resettlement Policy Framework/RPF), dengan kepatuhan pada persyaratan-persyaratan dalam dokumen OP 4.10 dan OP 4.12, serta konsisten dengan persyaratan-persyaratan dalam PS5 dan PS7. Versi awal dari dokumen-dokumen tersebut telah dimasukkan ke dalam Lampiran 1 dan 2 pada Draft ESSF ini.

I. Konsultasi dan Publikasi ESSF

24. Draft ESSF ini dikembangkan atas dasar dokumen Safeguards Planning Document yang telah disetujui oleh ADB, yang mempersyaratkan dilakukannya beberapa kali perundingan dan akan dipublikasikan secara setempat dan di Website ADB dalam bahasa Inggris. Draft ini telah dibicarakan dengan para pemangku kepentingan proyek ini, termasuk para partner yang berpartisipasi dalam pengembangan.

25. Kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup dan sosial yang diadopsi di dalam draft ESSF ini telah dibicarakan di antara para pemangku kepentingan kunci proyek ini, termasuk IFC, World Bank, ADB dan Pihak Peminjam Dana (yaitu Direktorat Jendral Aset Negara). Telah disepakati bahwa IIFF akan memegang satu ESSF yang disetujui dan sejalan dengan kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup dan sosial yang diberlakukan oleh semua pihak yang akan turut mendanai IIFF. Draft ESSF ini akan diperbarui setelah adanya konsultasi tambahan yang dilakukan dengan para pemangku kepentingan kunci proyek ini, termasuk masyarakat. Versi final dari dokumen ESSF ini, yang telah akan siap sebelum pemberlakuan pinjaman, akan dipublikasikan secara setempat dan di InfoShop World Bank. Versi final tersebut akan menjadi dasar dari bagian penjelasan mengenai prosedur lingkungan hidup dan lingkungan sosial dalam dokumen Operations Manual.

26. Kegiatan konsultasi dan penyebarluasan informasi yang dijalankan sampai hari ini sudah tepat, sesuai dengan fakta bahwa sub-sub proyek spesifik yang akan didanai lewat IIFF saat ini belumlah diidentifikasi. Pihak Peminjam Dana akan melanjutkan kegiatan konsultasi dan penyebarluasan informasi tersebut sejalan dengan pembaruan dokumen ESSF ini. Instrumen perlindungan bagi sub-proyek tertentu akan diharuskan untuk dikonsultasikan dan dipublikasikan oleh klien IIFF, sebagaimana dituntut oleh kebijakan World Bank.

27. Klien IIFF akan mempublikasikan laporan Kajian Lingkungan (Environmental Assessment/EA), Rencana Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali (Land Acquisition and Resettlement Action Plan/LARAP), Rencana Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples Plan/IPP), dll., di suatu lokasi publik yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat yang terkena dampak, LSM setempat dan para pemangku kepentingan lainnya.

J. Daftar Pengecualian

28. IIFF tidak akan mendanai aktivitas-aktivitas yang dianggap tidak layak mendapatkan pembiayaan dari World Bank atau IFC (lihat Lampiran 3).

Lampiran 1

Kerangka Kerja Kebijakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali

TUJUAN DAN CAKUPAN PELAKSANAAN 1. Tujuan dari Kerangka Kerja Kebijakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali (Land Acquisition and Resettlement Policy Framework/LARPF) ini adalah untuk mengklarifikasi prinsip, prosedur dan pengaturan organisasi yang perlu diterapkan pada pembebasan lahan untuk sub-sub proyek yang didanai lewat IIFF ini, dimana pihak yang bertanggungjawab untuk pembebasan lahan adalah pemerintah daerah atau badan pemerintahan lainnya. LARPF akan memberikan panduan bagi persiapan melakukan Pembebasan Lahan dan Pemukiman kembali (Land Acquisition and Resettlement Action Plan/LARAP) bagi sub-sub proyek semacam ini. Dalam kasus dimana area lahan untuk suatu sub-proyek dibeli secara langsung oleh satu sektor swasta dari IIFF, tanpa adanya bantuan atau intervensi dari pemerintah daerah atau badan pemerintahan lainnya, maka aturan Performance Standard 5 dari IFC akan berlaku. 2

2. Kerangka kerja ini berlaku bagi semua sub-sub proyek yang menjadi bagian kepentingan publik, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden No.36/2005 mengenai “Penyediaan Lahan untuk Aktivitas Pembangunan yang Menjadi Kepentingan Publik”, sebagaimana direvisi oleh Peraturan Presiden No.65/2006, dan Panduan Pelaksanaan No.3/2007 untuk Perpres No.36/2005 dan Perpres No.65/2006 yang diterbitkan oleh BPN (Badan Perlahanan Nasional). Sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut, maka proyek-proyek berikut ini dianggap sebagai bagian dari kepentingan publik: yaitu konstruksi jalan umum, jalan toll, rel kereta api, sistem pasokan air bersih, sistem pembuangan air dan sanitasi; bendungan, sistem irigasi; bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api dan kendaraan lainnya; fasilitas pembuangan sampah padat, sumberdaya budaya dan alamiah; pembangkit tenaga listrik, jalur transmisi dan distribusi listrik; serta keselamatan publik. PRINSIP-PRINSIP UTAMA 3. Prinsip-prinsip berikut ini akan memandu persiapan dan pelaksanaan suatu sub-proyek yang mengharuskan suatu kegiatan pembebasan lahan:

• Pembebasan lahan dan pemukiman kembali haruslah dihindari sejauh mungkin, atau diminimalkan sesedikit mungkin. Selama proses persiapan suatu sub-proyek, dampak-dampak potensial dari pembebasan lahan sudah harus dikaji, sehingga, apabila memungkinkan, dapat merancang alternatif untuk meminimalisir dampak merugikan secepat mungkin.

• Mereka yang akan kehilangan lahan dan/atau aset lainnya di atas lahan tersebut sebagai dampak dari pembebasan lahan untuk sub-proyek harus mendapatkan suatu bentuk kompensasi yang segera dan adil.

• Warga masyarakat setempat yang terkena imbas proyek (PAP) yang harus dipindahkan ke lokasi lainnya sebagai dampak dari pembebasan lahan untuk sub-proyek tersebut haruslah (i) sudah diajak bicara dan menyetujui pilihan-pilihan kompensasi dan relokasi yang tersedia untuk mereka, (ii) ditawarkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan dan implementasi rencana relokasi, dan (iii) dibantu selama proses relokasi.

• PAP yang kehilangan sumber penghasilan atau sarana penghidupan sebagai dampak dari pembebasan lahan untuk sub-proyek tersebut harus mendapatkan bantuan dalam mengembalikan cara hidup dan penghidupan mereka, serta standar kehidupan mereka seperti semula.

2 Prosedur khusus terkait pelaksanaan PS5 ini akan dikembangkan tersendiri dalam dokumen OM IIFF.

KELOMPOK WARGA MASYARAKAT YANG TERKENA DAMPAK PROYEK (PROJECT AFFECTED PERSONS/PAP) DAN HAK-HAK MEREKA 4. Secara umum, ada dua kelompok PAP yang dibagi sesuai haknya, dalam LARPF:

• PAP yang memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek tersebut • PAP yang tidak memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek tersebut

5. PAP yang memiliki hak atas lahan yang terkena dampak sub-proyek. Sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, warga masyarakat yang memiliki hak atas lahan yang terkena dampak suatu proyek yang menjadi kepentingan publik berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya lahan dan aset mereka terkait ke lahan tersebut. Warga masyarakat dalam kelompok ini termasuk “para pemilik tanah sah, yang terkena dampak, atau siapapun yang memegang hak-hak atas lahan tersebut, dan dalam hal ini termasuk Nazhir atau penerima dari tanah wakaf yang dihibahkan”.3

6. Hak atas tanah di Indonesia diatur oleh UU No.5/19604 dan aturan yang diterbitkan oleh BPN. Hak-hak atas tanah tersebut, atau juga disebut sertifikat tanah, termasuk:

• HM - Hak Milik atau hak untuk memiliki kepemilikan atas tanah, dalam hal ini memberikan hak-hak kepemilikan secara sepenuhnya atas lahan dan kira-kira sama dengan pengertian Freehold Title dalam jurisdiksi hukum negara Barat;

• HGB - Hak Guna Bangunan atau hak untuk membangun, memberikan hak kepada satu pihak untuk membangun dan memiliki bangunan tersebut, di atas lahan milik negara;5

• HP - Hak Pakai atau hak untuk menggunakan lahan, memberikan hak kepada satu pihak untuk menggunakan lahan tersebut untuk tujuan apapun;6 dan

• HGU - Hak Guna Usaha adalah hak untuk memanfaatkan lahan tersebut, memberikan hak kepada satu pihak untuk menggunakan suatu lahan milik negara untuk tujuan pertanian/perkebunan.7

7. Meskipun demikian, sebagian besar lahan di Indonesia tidaklah didaftarkan di BPN. Hak atas tanah tersebut berdasarkan hak adat atau dokumen diterbitkan oleh pejabat setempat yang menunjukkan kepemilikan atas suatu bidang tanah, misalnya adalah tanda terima pembayaran pajak PBB dan kontrak jual-beli tanah dan sebagainya. 8. Dalam proposal sub-proyek, warga masyarakat dan komunitas setempat akan disebut

3 Perpres No.36/2005, Pasal 16 (1) ; Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 43 (1). Wakaf adalah cara seorang Muslim untuk mendedikasikan suatu hak miliknya melalui suatu surat wasiat, atau cara lain, untuk digunakan untuk tujuan-tujuan yang dianggap dalam ajaran agama Islam sebagai cara yang suci, relijius serta sosial.

4 UU No.5/1960, atau dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria). Walaupun kata “Agraria” dipakai dalam judulnya, namun UU No.5/1960 ini tidak hanya mengatur tanah pedesaan, melainkan semua jenis lahan, yaitu perkotaan, hutan, ladang dan sawah, perkebunan, pertambangan, dan wilayah perairan/pantai, termasuk perikanan.

5 HGB memberikan suatu hak untuk membangun dan mempergunakan suatu bangunan kepada warga negara Indonesia untuk periode maksimum 30 tahun, dan dapat diperbaharui setiap 20 tahun sekali. Hak ini dapat dikonversikan menjadi sertifikat HM.

6 Suatu HP pada umumnya diberikan untuk periode 25 tahun, dan dapat diperbaharui setiap 20 tahun sekali.

7 Hak Guna Usaha (HGU) diberikan kepada para warga Indonesia untuk periode waktu 25 sampai 35 tahun, dan dapat diperbaharui setiap 25 tahun jika lahan tersebut dianggap telah dikelola dan digunakan dengan baik.

sebagai “para pemegang hak atas tanah”, yaitu, warga masyarakat atau sekelompok masyarakat yang memiliki hak atas lahan, yang terkena dampak suatu sub-proyek tersebut:

• PAP yang memegang hak atas tanah atau sertifikat tahan yang diterbitkan oleh kantor BPN setempat, termasuk hak milik penuh, hak guna bangunan, hak pakai, atau hak hak guna usaha.

• PAP yang memegang dokumen yang diterbitkan oleh pejabat setempat8 yang menunjukkan kepemilikan tanah (biasanya suatu tanda terima bayar pajak PBB,9 yang disertai oleh dokumen lain, contohnya kontrak jual-beli tanah dan tanda terima pembayaran layanan utilitas publik, contohnya air bersih dan listrik);

• Kelompok masyarakat yang memiliki hak traditional atas tanah (hak ulayat); • Individual PAP yang memiliki hak adat atas tanah; dan • Nazhir atau pihak penerima tanah wakaf.

9. Sesuai dengan Perpres 36/2005, semua pemegang hak atas tanah yang terkena dampak oleh suatu sub-proyek akan berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya lahan dan aset-aset lainnya di atas tanah tersebut. Dalam proposal suatu sub-proyek, pemegang hak atas tanah adalah juga berhak mendapatkan bantuan relokasi (jika mereka harus dipindahkan sebagai dampak dari pembebasan lahan proyek ini) dan dukungan rehabilitasi (jika mereka menderita kehilangan sumber mata pencaharian dan/atau cara penghidupan). 10. Dalam suatu proposal sub-proyek, PAP yang tidak termasuk satu dari kategori dalam paragraf diatas pada saat dilakukan sensus penduduk di daerah itu, namun mengajukan klaim kepemilikan atas lahan atau aset tersebut (akibat, contohnya, kepemilikan yang dipindahkan atau pendudukan suatu lahan kosong selama bertahun-tahun tanpa ada upaya pemerintah untuk mengosongkan tanah tersebut), akan diperlakukan sebagai para pemegang hak atas tanah, sejauh klaim mereka tersebut dapat dianggap sah sesuai hukum di Indonesia10 atau melalui suatu proses yang dijelaskan di dalam rencana pemukiman kembali. 11. PAP yang tidak memiliki hak atas lahan dan terkena dampak sub-proyek tersebut. PAP yang menempati lahan-lahan yang diperlukan bagi pembangunan sub-proyek tersebut, namun mereka tidak memiliki hak apapun atas tanah yang mereka tempati, akan dimasukkan ke dalam dua kelompok:

• para penyewa atau tenant, termasuk disini petani penggarap tanah dan pemanen. • penghuni lahan tidak resmi atau liar, tanpa memiliki sertifikat tanah atau klaim atas tanah

tersebut (berdasarkan suatu bukti pembayaran pajak tanah atau bukti kepemilikan lainnya, hak adat, atau bukti lain yang sah), termasuk: - Para penghuni liar dari suatu tanah yang dimiliki oleh perseorangan (baik dalam zona

residensial, pertanian, komersial ataupun industrial) yang tidak memiliki hak untuk lahan tersebut, tidak membayar sewa, tidak memiliki perjanjian sewa atau bentuk sah lainnya; dan

- Para penghuni liar dari suatu tanah negara yang tidak memiliki klaim apapun atas tanah tersebut, namun sudah bertahun-tahun tinggal di lahan kosong tersebut, tanpa ada upaya pemerintah untuk mengusir mereka, termasuk penghuni dari pinggir jalan, taman kota, atau fasilitas publik dan sebagainya.

8 Camat atau Lurah (perkotaan) atau Kepala Desa (pedesaan).

9 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

10 Sesuai Peraturan Pemerintah PP No.24/1997, seseorang yang telah menempati sebidang tanah selama dua puluh tahun secara terus menerus berhak untuk mendapatkan hak atas tanah, atau sertifikat atas tanah yang mereka telah tempati tersebut.

12. Para penyewa atau tenant. Sesuai dengan UU No.20/1961 mengenai Pembatalan Hak atas Tanah, warga yang kehilangan tempat tinggal ataupun sumber mata pencaharian akibat dari pembatalan atas hak tanah tersebut harus mendapatkan tempat penampungan (rumah pengganti) atau lahan pengganti.11 13. Dalam suatu proposal sub-proyek, para penyewa yang dipindahkan tersebut, yang pada saat dilakukan sensus penduduk terdaftar, akan dibantu menemukan rumah sewa lainnya, atau fasilitas perumahan yang ukurannya sama dengan yang sudah mereka tinggali selama ini, yang dapat disewa, atau disewa-beli melalui cicilan yang terjangkau. 14. Para penghuni lahan tidak resmi (liar). Penghuni yang tidak memiliki hak atas tanah tidak berhak mendapatkan kompensasi apapun, bantuan relokasi atau dukungan rehabilitasi sesuai hukum di Indonesia, kecuali untuk warga masyarakat yang menempati tanah sebagai lahan garapan dan hak pakai tanah lainnya, mereka akan berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya aset dan pekerjaan terkait ke lahan tersebut.12 Para penghuni lahan tidak resmi dan liar yang tidak memiliki hak apapun atas suatu lahan tidak disebutkan di dalam Perpres No.36/2005 (yang telah diperbarui oleh Perpres No.65/2006) atau dalam Aturan BPN No.3/2007; meskipun demikian, sudah dianggap biasa di kalangan pemerintah daerah atau pemerintah kota untuk memberikan kepada mereka sejumlah kecil uang kontan untuk mendorong mereka meninggalkan tanah kosong tersebut. Praktek ini lalu mendorong para penghuni liar tersebut untuk pindah menempati ruang-ruang terbuka publik ataupun wilayah berbahaya, tanpa memiliki akses ke infrastruktur dasar atau layanan hidup. 15. Dalam suatu proposal sub-proyek, para penghuni liar yang tidak memiliki hak atas tanah, sebagaimana dijelaskan dalam paragraf 11, berhak mendapatkan kompensasi untuk hilangnya aset lain selain tanah tersebut, plus bantuan relokasi (jika mereka harus pindah sebagai dampak dari pembebasan lahan untuk proyek ini) dan dukungan rehabilitasi (jika mereka kehilangan mata pencaharian dan/atau cara penghidupannya). Para warga yang dipindahkan tanpa memiliki hak atas tanah termasuk juga penghuni daerah berbahaya, contohnya di pinggir-pinggir jalan, di bawah jalan toll, dan daerah publi terbuka lainnya, dimana hak atas tanah tidak dapat diberikan. PERSIAPAN, PERSETUJUAN DAN PELAKSANAAN INSTRUMEN PEMUKIMAN KEMBALI 16. Persiapan dan Persetujuan Instrumen Pemukiman Kembali. Pihak sub-borrower akan mempersiapkan suatu Rencana Tindakan Pembebasan Lahan dan Pemukiman kembali (LARAP) atau suatu dokumen LARAP yang lebih singkat (LARAP Sederhana), tergantung dari dampak yang diantisipasi dari kegiatan pembebasan lahan untuk suatu sub-proyek, yang akan diidentifikasi lewat Asesmen Lingkungan dan Sosial. Jika kurang dari 200 PAP diidentifikasikan untuk harus dipindahkan, atau jika tidak satupun dari PAP tersebut kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka, maka suatu dokumen LARAP Sederhana dapat disusun. Jika tidak, maka suatu dokumen LARAP Penuh akan harus disusun. Isi dari suatu dokumen LARAP Penuh ataupun Sederhana dijelaskan di dalam Operation Manual (OM) IIFF. 17. Dalam kasus dimana dokumen LARAP Penuh atau LARAP Sederhana dibuat dalam kerjasama dengan pihak pemerintah daerah, maka IIFF akan memastikan agar dokumen-dokumen tersebut konsisten dengan panduan LARPF ini sebelum diserahkan ke IIFF untuk mendapatkan persetujuan. 18. IIFF akan memberikan Surat Tidak Berkeberatan (No Objection Latter/NOL) jika LARAP tersebut telah konsisten dengan LARPF. Setelah IIFF memberikan persetujuan, maka pihak sub-borrower tersebut akan memberikan konfirmasi tertulis bahwa mereka berkomitmen

11 UU No.20/1961, Penjelasan Pasal 2.

12 UU No.20/1961, Penjelasan Pasal 2 dan Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 43 (2).

untuk mematuhi kewajiban-kewajiban semacam itu, termasuk pengadaan anggaran yang memadai bagi aktivitas yang menjadi tanggungjawab mereka. Proses pembebasan lahan hanya dapat dimulai setelah dokumen LARAP disetujui oleh IIFF. 19. Pelaksanan Instrumen Pemukiman Kembali. Selama pelaksanaan LARAP Penuh ataupun Sederhana pihak sub-borrower akan memberikan laporan kemajuan perkembangan proyek secara reguler ke IIFF (unit E&S). IIFF akan menerbitkan Surat Tidak Berkeberatan (NOL) untuk pekerjaan konstruksi fisik dari sub-proyek tersebut pada saat pembebasan lahan selesai sepenuhnya dan PAP telah menerima kompensasi sesuai dengan LARAP. Konstruksi dapat dimulai hanya setelah PAP menerima dan menyepakati kompensasi yang ditawarkan, dan kemudian menyerah-terimakan hak mereka atas tanah dan aset yang ada diatasnya, untuk kepentingan proyek ini.13

PROSEDUR PEMBEBASAN LAHAN 20. Prosedur yang harus diikuti dalam pembebasan lahan untuk kepentingan publik telah dijelaskan dalam (1) Peraturan Presiden No.36/2005 mengenai “Penyediaan Lahan untuk Aktivitas Pembangunan yang Menjadi Kepentingan Publik”, sebagaimana telah direvisi oleh Peraturan Presiden No.65/2006 dan (2) Panduan Pelaksanaan No.3/2007 untuk Perpres No.36/2005 dan Perpres No.65/2006 yang diterbitkan oleh BPN. Prosedur-prosedur tersebut dijelaskan secara rangkumannya di bawah ini, termasuk dengan tindakan tambahan yang perlu dilakukan dalam menanggapi proposal sub-sub proyek (tindakan tambahan akan dijelaskan dalam paragraf yang menjorok ke dalam). A. Definisi Area Proyek 21. Lembaga pemerintah yang memerlukan lahan untuk sub-proyek menyerahkan proposal proyek terlebih dahulu kepada Bupati/Walikota dimana sub-proyek tersebut berlokasi, atau ke Gubernur Jakarta dalam kasus dimana suatu sub-proyek berada di wilayah DKI Jakarta.14 Jika Bupati, Walikota atau Pemda DKI Jakarta tersebut memutuskan bahwa sub-proyek tersebut layak dilaksanakan, mereka akan menerbitkan suatu “penunjukan wilayah proyek”, yang menegaskan area tertentu untuk digunakan sebagai lokasi sub-proyek tersebut.15 B. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah 22. Bupati/Walikota (atau Pemda DKI Jakarta) kemudian akan mendirikan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) untuk mempermudah urusan pembebasan lahan. P2T tersebut dipimpin oleh Sekda dan terdiri dari para pemimpin pemerintahan setempat termasuk pula anggota dari instansi pemerintah setempat yang relevan (misalnya, BPN, Badan Teknis yang membutuhkan lahan tersebut, Badan Administratif, para Camat dan Lurah setempat. C. Konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak sub-proyek dan/atau para pemegang

hak atas tanah 23. Setelah lokasi lahan sub-proyek tersebut ditegaskan, P2T akan menjelaskan keberadaan sub-proyek tersebut kepada anggota / kelompok masyarakat yang akan terkena dampak dan /atau

13 Perpres No.36/2005, Pasal 3, paragraph 1; Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 67, paragraph 1.

14 Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 2, sub-bagian (1); Pasal 5, sub-bagian (3).

15 Ibid, Pasal 5, sub-bagian (1) sampai (3).

para pemegang hak atas tanah tersebut, melalu konsultasi publik, konsultasi tatap muka, dan sosialisasi informasi melalui media yang ada.16

Tindakan atau prosedur tambahan: • Rapat-rapat konsultasi perlu diorganisir melibatkan semua tingkatan PAP (tidak

hanya para pemilik tanah). PAP akan mendapatkan informasi mengenai dampak-dampak potensial proyek ini serta hak dan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan LARPF.

• Kekhawatiran yang diutarakan oleh PAP selama rapat-rapat konsultasi tersebut dan tanggapan atas usulan ataupun tindakan untuk menanggapi kekhawatiran tersebut perlu didokumentasikan di dalam dokumen LARAP.

D. Inventarisasi lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak 24. P2T tersebut melaksanakan suatu inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang akan terkena dampak sub-proyek.17 Inventarisasi lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak tersebut dijalankan setelah rancangan sub-proyek tersebut tersedia.

Tindakan atau prosedur tambahan: • P2T tersebut akan melaksanakan inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang

terkena dampak dengan bantuan satu konsultan proyek, jika bantuan tersebut dibutuhkan oleh P2T.

• Inventarisasi atas lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak termasuk informasi-informasi mengenai hal-hal berikut dari setiap rumahtangga yang kehilangan tanah atau aset mereka, yaitu: (i) berapa total ukuran dari tanah yang terkena dampak, wilayah yang digunakan untuk sub-proyek tersebut, dan tanah sisa lahan; (ii) bangunan yang terkena dampak, yang menunjukkan berapa persen bangunan yang akan terkena dampak sub-proyek tersebut; status legal dari tanah yang terkena tersebut; dan (iii) penjelasan untuk tanah yang terkena dampak itu –apakah daerah residensial, lahan komersial, atau pertanian.

• Inventarisasi tersebut akan membedakan antara tanah yang diambil seluruhnya dan sebagian saja. Dalam hal tanah yang diambil sebagian, daftar inventaris tersebut akan menunjukkan berapa sisa lahan yang masih ada nilainya. Dalam hal terdapat bangunan rumah tinggal dan bisnis, maka daftar inventaris tersebut akan menunjukkan apakah sisa lahan/gedung itu cukup untuk masih dijadikan tempat tinggal atau tempat bekerja.

E. Identifikasi dari orang/keluarga yang harus pindah (displaced)

25. P2T tersebut menghasilkan suatu daftar berisi nama-nama dari para pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah yang terkena dampak sub-proyek tersebut.18

Tindakan/prosedur tambahan • P2T akan melaksanakan suatu sensus untuk menghitung semua penghuni wilayah

yang terkena dampak, termasuk para penyewa dan penghuni yang tidak memiliki hak

16 Perpres No.36/2005, Pasal 7, sebagaimana telah direvisi oleh Perpres No.65/2006; Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 8.

17 Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 20 sampai 24.

18 Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007, Pasal 20 sampai 24.

atas lahan. Tanggal selesainya sensus tersebut menjadi tanggal batas waktu (cut-off date) dalam menentukan berapa dan siapa warga masyarakat di atas lahan sub-proyek tersebut yang akan berhak mendapatkan kompensasi, bantuan rehabilitasi dan dukungan rehabilitasi. Para pendatang yang tidak memiliki hak atas tanah dikecualikan dari program ganti rugi ini.

• Sensus terhadap penduduk yang akan dipindahkan dijalankan dengan bantuan satu konsultan proyek, jika bantuan tersebut memang diperlukan oleh P2T.

• Sensus penduduk tersebut mengidentifikasi orang/keluarga yang harus dipindahkan ke lokasi lain, dan dibeda-bedakan antara: - PAP yang harus pindah secara permanen dan PAP yang harus pindah sementara

waktu saja; dan - PAP yang dapat membangun rumah baru dengan sisa tanah yang masih ada, dan

PAP yang harus pindah lokasi baru lain karena tanah sisa mereka tidak lagi memungkinkan untuk membangun rumah baru.

• Sensus penduduk tersebut juga mengidentifikasi warga masyarakat atau rumahtangga yang harus dipindahkan itu yang kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka (aset yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan).

• Satu studi sosial-ekonomi perlu dilaksanakan, mencakup semua warga/rumah tangga yang terkena (PAP/PAHs) yang kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka tersebut dan/atau yang terpaksa pindah ke lokasi lain. Dalam kasus tersebut, relokasi warga setempat ini dapat berdampak pada peluang mereka mendapatkan penghasilan dan penghidupan bagi orang-orang yang terpaksa pindah ini, dan dengan demikian perlu mengumpulkan data dasar kondisi sosial-ekonomi sebelum dipindahkan, termasuk data pendapatan, sumber penghasilan dan kondisi kesejahteraan, apabila dipandang perlu. Survei ini akan menghasilkan suatu data “baseline” atau dasar dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat sebelum pelaksanaan sub-proyek tersebut. Kemajuan dari pelaksanaan langkah dan upaya pengembalian penghasilan atau penghidupan ini nantinya akan diawasi dan dibandingkan dengan data baseline yang dihasilkan oleh survei tersebut.19

F. Diseminasi informasi bagi warga masyarakat dan aset yang terkena imbas proyek 26. Daftar berisi aset-aset yang akan terkena imbas proyek dan para pemilik dari aset-aset tersebut akan diumumkan di kantor desa atau kantor kecamatan / walikota, dan di website selama 7 hari dan/atau dalam dua koran lokal, agar dapat memberi tahu para pihak yang akan terkena dampak untuk menyampaikan keberatan-keberatan mereka.20

Tindakan/prosedur tambahan: • Hasil dari pendaftaran nama warga masyarakat serta aset mereka yang terkena imbas

proyek dipajang selama 30 hari di kantor kelurahan untuk wilayah perkotaan dan kantor desa untuk wilayah pedesaan) agar para warga masyarakat yang terkena imbas proyek dapat mengajukan keberatan-keberatan mereka. Jika warga masyarakat yang

19 Survei tersebut harus memungkinkan dilakukannya asesmen atau penilaian atas dampak dari pembebasan lahan dan/atau relokasi penduduk pada pola-pola kegiatan ekonomi dan sosial penduduk yang akan dipindahkan (PAP), termasuk dampak pada jejaring sosial dan sistem pendukung sosial mereka. Survei tersebut harus menghasilkan semua informasi yang penting yang nantinya akan dipakai untuk memantau kemajuan dari program rehabilitasi sepenuhnya dari para warga dan keluarga-keluarga yang terpaksa dipindahkan. 20 Panduan Pelaksanaan BPN No 3/2007, Pasal 23 (3).

terkena imbas proyek tersebut menyatakan keberatan selama masa tersebut, maka prosedur penanganan keluhan akan diaktifkan (lihat paragraf 33 dan 38).

G. Penilaian atas lahan dan aset-aset lainnya yang terkena dampak 27. Penilaian atas lahan. Nilai dari lahan yang terkena dampak ditentukan melalui bantuan satu Lembaga Apraisal Nilai Tanah21 yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta. Dalam kasus dimana tidak ada Lembaga Apraisal Nilai Tanah di kota atau kabupaten tersebut, dimana proyek ini berlokasi, atau di kota-kota sekitarnya, maka Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta akan membentuk suatu “Tim Penilai Harga Lahan” (LAT), yang menilai harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau dengan cara melihat berapa NJOP tanah di wilayah tersebut pada tahun tersebut. Tim LAT ini dapat juga mempertimbangkan faktor lain yang mempengaruhi harga lahan, misalnya lokasinya.22

Tindakan/prosedur tambahan: • Nilai dari lahan yang terkena dampak akan ditentukan oleh satu Lembaga Apraisal

Nilai Tanah atau seorang penilai tanah berlisensi. 28. Penilaian harga bangunan dan obyek lain terkait ke lahan tersebut. Penilaian harga bangunan dan obyek lainnya terkait ke lahan (termasuk pepohonan dan tanaman) akan dilakukan oleh kantor pemerintah di Kabupaten atau Kotamadya yang bertanggungjawab atas gedung, tanaman dan obyek lainnya terkait ke lahan tersebut, berdasarkan standar harga yang telah dijelaskan dalam undang-undang yang berlaku.23

Tindakan/prosedur tambahan: • Bangunan dan obyek lainnya terkait ke lahan tersebut akan diberi suatu “biaya

penggantian” (“replacement cost”), yaitu, harga pasar dari bahan bangunan yang digunakan untuk membangun suatu bangunan pengganti di tempat dan dengan kualitas yang sama dengan bangunan yang akan terkena dampak sub-proyek tersebut, atau biaya untuk mengganti sebagian bangunan yang akan terkena dampak, ditambah biaya transportasi bahan bangunan ke lokasi pembangunan gedung pengganti tersebut, ditambah biaya tukang, buruh dan biaya kontraktor lainnya. Dalam menerapkan metode valuasi semacam ini, depresiasi aset dan bangunan tidaklah dimasukkan ke dalam penghitungan.

H. Kompensasi 29. Musyawarah mengenai kompensasi. hasil dari valuasi / penilaian tersebut akan diserahkan ke P2T dan digunakan sebagai dasar dalam musyawarah mengenai bentuk dan / atau jumlah kompensasi antara lembaga pemerintah yang memerlukan lahan tersebut dan pemilik lahan yang terkena dampak.24 Musyawarah dilakukan “secara langsung dan kolektif” antara

21 “Lembaga Apraisal Nilai Tanah” dijelaskan di dalam Pasal 1 Panduan Pelaksanaan BPN No 3/2007 sebagai “lembaga profesional dan independen yang memiliki ketrampilan dan kemampuan menilai harga tanah”. Pasal 25, sub-bagian 2, pada Panduan yang sama, juga menjelaskan bahwa Lembaga Apraisal Nilai Tanah tersebut haruslah terdaftar di BPN.

22 Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 26, sub-bagian (1); Pasal 28.

23 Ibid, Pasal 29.

24 Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 30 dan 31.

lembaga pemerintah dan pemilik lahan.25 Jika jumlah pemilik lahannya banyak sekali sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan musyawarah secara langsung, maka musyawarah dapat dilakukan secara bertahap.26 Proses musyawarah dapat makan waktu sampai 120 hari kalender.27

Tindakan/prosedur tambahan: • Sebelum memulai musyawarah mengenai bentuk dan/atau jumlah kompensasi yang

akan dibayarkan, P2T akan membagikan dulu hasil penilaian yang dijalankan oleh Lembaga Apraisal Nilai Tanah atau penilai tanah yang berijin tersebut, kepada para pemilik lahan-lahan yang terkena dampak.

• Dalam kasus dimana sebuah sub-proyek terpaksa memindahkan warga masyarakat yang penghidupannya berdasarkan atas sumberdaya lahan, maka warga masyarakat tersebut akan ditawari lahan pengganti apabila memungkinkan.

30. Pembayaran atau Tawaran Kompensasi. Setelah akhir periode musyawarah, lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut mengajukan tawaran kompensasi atau pembayaran kompensasi , dan ini dilakukan dalam suatu laporan resmi. Jika kompensasi tersebut akan diberikan dalam bentuk uang, P2T akan memerintahkan lembaga yang membutuhkan lahan tersebut untuk membayar kompensasi dalam waktu paling lambat 60 hari sejak tanggal keputusan P2T Lahan yang menyebutkan bentuk dan jumlah ganti ruginya.28 Undangan menerima pembayaran kompensasi haruslah sudah diterima oleh para pemilik tanah paling tidak 3 hari sebelum tanggal pembayaran.29 Jika kompensasi dibagikan dalam bentuk bukan uang, maka penentuan waktu pemberian kompensasi akan disepakati bersama dengan para pemilik dan lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut. Warga masyarakat yang kehilangan tanah atau aset-aset lainnya haruslah mendapatkan kompensasi sebelum tanah atau aset lainnya tersebut diambil alih untuk keperluan pembangunan sub-proyek tersebut. 31. Bentuk-bentuk Kompensasi. Kompensasi atau ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk (1) uang kontan; (2) lahan pengganti dan/atau gedung pengganti; (3) pemukiman kembali warga yang terkena proyek; atau (4) suatu kombinasi satu atau lebih metode kompensasi yang sebelumnya dijelaskan disini.30 Kompensasi dalam bentuk lahan pengganti dan/atau gedung pengganti akan diberikan sesuai permintaan si pemilik dan sebagaimana disetujui oleh lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut.31

Tindakan/prosedur tambahan:

25 Ibid, Pasal 32, sub-bagian (1). Jika ada hak tanah kolektif yang terkena dampak, maka keputusan diambil harus juga melibatkan semua pemegang hak di dalam kepemilikan kolektif tersebut; dan jika suatu tanah atau bangunan wakaf terkena dampaknya, keputusan diambil bersama pihak yang disebutkan di dalam UU No.41/2004 mengenai wakaf (Pasal 32, sub-bagian (2). Wakif didefinisikan di dalam Pasal 1, sub-bagian (1) dari UU No.41/2004 sebagai tindakan legal seorang Wakif (donatur) dalam membagi dan/atau menyerahkan hak sebagian dari kekayaannya, baik secara permanen ataupun untuk waktu tertentu, bagi tujuan aktivitas keagamaan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan hukum islam Syar’iyah.

26 Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 33.

27 Ibid, Pasal 37, sub-bagian (1).

28 Ibid, Pasal 40 dan 44.

29 Ibid, Pasal 44.

30 Perpres 65/2006, Pasal 13 ; Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45.

31 Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45 (a).

• Jika lahan pengganti memang ditawarkan, lahan tersebut harus setara atau lebih tinggi nilainya, dengan pertimbangan faktor antara lain ukuran, lokasi, potensi, dll.

• Dalam kasus dimana satu sub-proyek memindahkan warga masyarakat yang cara penghidupannya bergantung pada sumberdaya lahan, warga masyarakat semacam itu akan harus ditawari lahan pengganti apabila memungkinkan. Pengadaan ganti rugi uang kontan untuk jenis warga seperti ini tidak cocok diterapkan, kecuali dalam kasus dimana lahan yang diambil untuk proyek ini hanya sebagian kecil (kurang dari 20%) dari keseluruhan lahan produktif, dan sisa lahan yang ada masih dapat diolah secara ekonomis, atau ada cadangan lahan yang luas di dekat lahan sub-proyek tersebut dan memungkinkan untuk melakukan pertukaran lahan.

• Jika tidak mungkin menawarkan lahan pengganti bagi warga masyarakat yang cara penghidupannya bergantung pada sumberdaya lahan dan yang akan kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka, maka prosedur yang telah dijelaskan di paragraf 37 akan dijalankan.

32. Dalam kasus tanah/bangunan wakaf (yaitu yang hak kepemilikannya didonasikan untuk tujuan agamis atau sosial dan dikelola oleh satu trust) maka kompensasi akan disediakan dalam bentuk lahan pengganti dan/atau gedung dan/atau fasilitas pengganti yang paling tidak nilainya sama dengan properti yang diwakafkan tersebut.32 Dalam kasus dimana tanah ulayat (lahan dimana satu masyarakat adat memiliki hak secara turun-temurun) akan terkena dampak suatu sub-proyek, maka kompensasi yang ditawarkan akan dalam bentuk fasilitas publik atau fasilitas lain yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak sub-proyek.33

Tindakan/prosedur tambahan: • Masyarakat yang terkena dampak oleh hilangnya lahan yang menjadi bagian dari

suatu tanah ulayat akan ditawari kompensasi berdasarkan konsultasi / pembicaraan dengan para pemuka masyarakat tersebut, dan kompensasinya dapat berupa fasilitas publik, lahan pengganti atau uang kontan, tergantung dari yang mereka kehendaki.

33. Prosedur penanganan keluhan. Pemilik lahan yang merasa keberatan dengan keputusan P2T dalam hal bentuk dan/atau jumlah uang kompensasi akan diberi kesempatan mengajukan keberatan-keberatan mereka kepada Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta atau ke Menteri Dalam Negeri, selama periode waktu 14 hari, setelah dikeluarkannya keputusan P2T tersebut. Pihak-pihak yang berwenang tersebut harus membuat keputusan mengenai keberatan tersebut dalam waktu 30 hari dan menjawab atau mengubah bentuk dan/atau jumlah dari uang kompensasinya.34 I. Prosedur jika Negosiasi Gagal

34. Jika para pemilik tanah tidak sepakat dan tidak mau melepaskan hal atas tanah mereka, dan lokasi sub-proyek tersebut tidak dapat digeser, maka P2T akan mengusulkan kepada Bupati/Walikota atau Pemda DKI Jakarta untuk menerapkan UU No.20/1961 (Pembatalan Hak atas Tanah dan Obyek yang berdiri di atasnya).35 Jika pihak yang berwenang ataupun Menteri Dalam Negeri memutuskan untuk memecahkan masalah ketidaksepakatan tersebut dengan cara

32 Panduan Pelaksanaan BPN No. 3/2007, Pasal 45 (b).

33 Ibid, Pasal 45 (c).

34 Ibid, Pasal 41.

35 Ibid, Pasal 19.

membatalkan hak atas tanah atas dasar UU No.20/1961,36 maka P2T akan mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan/atau jumlah kompensasi yang akan dibayarkan dan memerintahkan kepada lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut untuk membayarkan kompensasi tersebut lewat Pengadilan Negeri yang wilayah yurisdiksinya mencakup lokasi tanah proyek yang akan digunakan untuk kepentingan publik tersebut.37 Proyek hanya dapat dimulai setelah dana kompensasi telah diserahkan (dikonsinyasikan) lewat Pengadilan Negeri setempat dan Bupati/Walikota setempat telah mengeluarkan putusan pelaksanaan pembangunan fisik.38

Tindakan/prosedur tambahan: • Jika para pemilik tanah yang terkena dampak suatu sub-proyek tidak juga sepakat

untuk melepaskan hak tanah mereka, maka sub-proyek tersebut akan dikeluarkan dari program pembiayaan proyek IIFF ini.

J. Pengecualian dalam hal pembebasan lahan skala kecil 35. Prosedur yang dijelaskan di atas tidak akan berlaku apabila sub-proyek hanya membutuhkan lahan seluas satu hektar atau kurang. Dalam kasus tersebut, lahan haruslah dibeli secara langsung dari pemiliknya melalui suatu pembelian, penjualan, atau metode lain yang disetujui oleh lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan dan pemilik lahan, tanpa bantuan P2T.39

PROSEDUR DALAM KASUS DIMANA RELOKASI PERLU DILAKUKAN 36. Kompensasi untuk kerugian-kerugian terkait ke akuisisi lahan untuk suatu sub-proyek dapat diberikan dalam bentuk pemukiman kembali atau relokasi.40

Tindakan/prosedur tambahan: • Jika suatu sub-proyek memaksa warga setempat untuk pindah ke lokasi lain, maka

dokumen LARAP akan memasukkan pula suatu rencana relokasi warga.

Prosedur dalam hal relokasi sekelompok warga: • Para warga yang dipindahkan mungkin dapat ditawarkan tempat relokasi yang sudah

jadi berupa perumahan murah, yaitu perumahan yang disediakan lewat fasilitas kredit dari Bank Tabungan Negara (BTN), atau skema lainnya yang diorganisir di tingkat pemerintahan yang tepat. Para warga yang dipindahkan tersebut dapat juga membentuk koperasi perumahan untuk membangun sendiri rumah mereka, dibantu oleh pemerintah daerah atau lembaga pemerintah yang mensponsori proyek ini, yaitu proyek yang menjadi kepentingan publik, yang telah mengakibakan terjadinya relokasi warga setempat ini.

• Tempat relokasi haruslah dipilih setelah melalui konsultasi dengan para warga yang dipindahkan dan masyarakat tuan rumah, apabila memungkinkan. Para warga yang dipindahkan haruslah:

36 Ibid, Pasal 41 dan 42.

37 Ibid, Pasal 38 dan 40.

38 Ibid, Pasal 67.

39 Pasal 20 dalam Perpres No.36/2005 dan Pasal 54 dari Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007.

40 Pasal 13 dalam Perpres No.65/2006; Pasal 45 (a) dari Panduan Pelaksanaan BPN No.3/2007.

- Diberikan informasi yang lengkap mengenai lokasi pemukiman kembali yang telah dipilih, termasuk apa saja fasilitas dan infrastruktur yang tersedia, dan hasil dari konsultasi yang dijalankan dengan masyarakat tuan rumah, jika ada.

- Diberitahu mengenai tanggal siapnya lokasi pemukiman kembali tersebut paling tidak satu bulan sebelum pemindahan warga ini, dan sebelumnya mereka juga haruslah diundang untuk melihat-lihat lokasi yang baru tersebut.

• Karakteristik dan lokasi dari perumahan tersebut paling tidak haruslah setara dengan kondisi di tempat perumahan yang lama

• Lokasi pemukiman kembali harus memiliki infrastruktur dasar, contohnya jalan masuk (atau jalur pejalan kaki apabila dipandang perlu), listrik, sistem saluran air dan pasokan air bersih. Jika tidak tersedia jaringan distribusi pipa air bersih, haruslah ada sumur-sumur yang sesuai dengan standar kesehatan setempat. Para warga yang dipindahkan juga perlu mendapatkan akses memadai ke layanan transportasi publik, layanan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak, pekerjaan, peluang kerja, layanan keagamaan, dan fasilitas olahraga, sesuai dengan ukuran yang berlaku di masyarakat yang menerima mereka.

• Dokumen LARAP memasukkan pula informasi mengenai penentuan waktu pindah, urusan logistik dan transportasi publik untuk warga dan barang mereka, serta pengaturan tempat bernaung sementara, bila perlu.

• Para warga yang dipindahkan menerima sertifikat tanah di lokasi yang baru, dan mereka tidak boleh dibebani biaya untuk mendapatkannya. Sertifikat tanah tersebut haruslah sesuai atau lebih tinggi tingkat tenure security-nya (apabila memungkinkan) daripada di lokasi yang lama. Hak atas tanah atau sertifikat tanah tersebut harus sudah diterbitkan 6 bulan sejak tanggal pemindahan tersebut.

Prosedur dalam kasus dimana rumahtangga dan keluarga yang dipindahkan bertanggungjawab sendiri untuk relokasi itu: • Kompensasi uang tunai akan diberikan kepada para warga yang akan pindah sendiri

tersebut sebelum mereka pindah. • Para warga yang dipindahkan akan menerima juga tunjangan pindah, untuk menutup

biaya perpindahan ke tempat yang baru tersebut. Pembayaran tunjangan relokasi tersebut harus didokumentasikan di dalam LARAP.

PROSEDUR DALAM HAL DAMPAK EKONOMI PEMINDAHAN WARGA INI 37. Peraturan di Indonesia tidak mengatur dampak ekonomis dari pemindahan warga ini, yaitu, hilangnya sumber penghasilan atau penghidupan warga.

Tindakan/prosedur tambahan: • Suatu survei sosio-ekonomi akan dilakukan jika beberapa dari warga masyarakat atau

rumahtangga yang harus dipindahkan itu kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka. Semua warga masyarakat /rumahtangga yang terkena imbas proyek haruslah diidentifikasi melalui suatu sensus; namun survei sosio-ekonomi tersebut haruslah lebih difokuskan pada orang/keluarga yang akan kehilangan lebih daripada 20% aset produktif mereka bila pindah ke lokasi lain. Dalam kasus tersebut, relokasi warga setempat ini dapat berdampak besar pada peluang mereka mendapatkan penghasilan dan tingkat penghidupan orang-orang yang terpaksa pindah ini, yang membuat perlu untuk mengumpulkan data dasar mengenai kondisi sosial-ekonomi mereka sebelum dipindahkan. Survei ini akan membentuk data dasar atau “baseline” yang menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi mereka saat ini, sebelum sub-proyek tersebut dilaksanakan. Kemajuan dari pelaksanaan suatu

pemulihan mata pencaharian atau tingkat penghidupan tersebut akan diawasi dan dibandingkan dengan informasi dasar yang dihasilkan oleh survei tersebut.41

• Para warga yang dipindahkan yang cara penghidupannya bergantung pada sumberdaya lahan berhak mendapatkan dukungan rehabilitasi jika kondisi-kondisi berikut ini dijumpai di lapangan: (1) ganti rugi uang kontan untuk lahan tidak cocok diterapkan (lihat paragraf 31); (2) tidak mungkin menawarkan lahan pengganti; dan (3) 20% atau lebih dari aset produktif milik para warga yang dipindahkan tersebut terkena dampak.

• Para warga yang dipindahkan yang cara penghidupannya tidak tergantung pada lahan, namun kehilangan pekerjaan atau sarana penghidupan mereka sebagai dampak dari relokasi warga setempat ini, berhak mendapatkan dukungan rehabilitasi sehingga mereka akan dapat menemukan pekerjaan alternatif ataupun sarana penghidupan lainnya di tempat baru.

• Dukungan rehabilitasi harus dapat memampukan para warga yang dipindahkan tersebut untuk meningkatkan atau paling tidak mengembalikan tingkat pendapatan mereka dan/atau cara penghidupannya. Bantuan rehabilitasi disediakan secara paralel dengan fase konstruksi dan implementasi sub-proyek dan dapat berupa tawaran pekerjaan, pelatihan ketrampilan dan keahlian khusus, uang tunjangan dalam masa transisi, bantuan dana untuk memulai bisnis sendiri, kredit, dll., selain dari kompensasi uang kontan untuk lahan dan aset-aset lainnya yang hilang.

• Durasi dari program rehabilitasi haruslah dijelaskan di dalam dokumen LARAP.

PROSEDUR PENANGANAN KELUHAN

38. Keluhan berkaitan dengan jumlah dan bentuk kompensasi akan ditangani sesuai dengan prosedur yang telah dijelaskan di paragraf 33 di atas. Keluhan berkaitan dengan aspek lain dari LARAP akan diarahkan ke bagian-bagian yang sesuai, yaitu: (1) unit perencana (BAPPEDA) dari pemkot atau pemkab setempat; (2) manajer sub-proyek tersebut; atau (3) tim pemantau setempat (lihat bagian Pemantauan & evaluasi di bawah). Penerima keluhan akan menyelidiki keluhan tersebut dan memberikan tanggapan dalam waktu 14 hari. PENGATURAN ORGANISASIO, PENDANAAN DAN PEMANTAUAN 39. Pengaturan organisasi. Dalam hal dimana klien IIFF (sub-borrower) yang menyusun dokumen LARAP, maka IIFF akan perlu memastikan agar pihak sub-borrower sebagai pelaksana sub-proyek infrastruktur akan menyusun dan melaksanakan dokumen LARAP secara konsisten. Sama halnya, pihak sub-borrower akan bertanggungjawab memastikan agar pemerintah daerah menyusun dan melaksanakan dokumen LARAP, dengan bantuan dari satu konsultan sub-proyek apabila perlu. Pihak sub-borrower tersebut akan harus bekerja dengan unit-unit di pemerintah daerah (contohnya BAPPEDA sebagai badan perencanaan pembangunan daerah) yang akan memiliki tanggungjawab sebagaimana berikut: mengkoordinasikan semua aspek-aspek LARAP, termasuk aktivitas konsultasi dengan masyarakat, pembebasan lahan dan aset-aset lainnya, bantuan relokasi dan dukungan bagi rehabilitasi; memfasilitasi komunikasi dengan para pemangku kepentingan proyek ini; mengorganisir rapat-rapat untuk mengkoordinasikan aktivitas terkait ke LARAP dan mengevaluasi pelaksanaannya; dan memberikan laporan kemajuan proyek

41 Survei tersebut harus melakukan asesmen atau penilaian atas dampak dari pembebasan lahan dan/atau relokasi penduduk pada pola-pola kegiatan ekonomi dan sosial penduduk yang dipindahkan (PAP), termasuk dampak pada jejaring sosial dan sistem pendukung sosial mereka. Survei tersebut harus menghasilkan semua informasi yang perlu dalam melakukan pemantauan kemajuan program rehabilitasi sepenuhnya dari keluarga/rumahtangga yang dipindahkan.

secara teratur kepada pihak sub-borrower tersebut mengenai pelaksanaan LARAP. Pihak sub-borrower akan melaporkan status dan kemajuan pelaksanaan LARAP ke unit E&S dari IIFF. 40. Satu lembaga independen dapat dipekerjakan oleh IIFF guna melaksanakan pemantauan dan penilaian secara periodik atas pelaksanaan LARAP sebagaimana disusun oleh pemerintah daerah dan pihak sub-borrower tersebut. 41. World Bank mungkin dapat melaksanakan inspeksi ke lokasi kandidat sub-proyek dengan memberitahukannya kepada IIFF sebelumnya, meskipun inspeksi semacam ini dapat pula dilakukan secara independen. Pihak World Bank akan mendiskusikan hasil inspeksi dengan badan pemerintah daerah terkait, pihak sub-borrower untuk sub-proyek tersebut dan dengan IIFF. 42. Hal-hal tambahan mengenai pengaturan organisasion akan dikembangkan sebagai bagian dari Operation Manual IIFF. 43. Pendanaan. Biaya pembebasan lahan akan ditanggung oleh lembaga pemerintah yang membutuhkan lahan tersebut atau oleh pihak sub-borrower. Hal ini termasuk pula biaya pengukuran dan pemetaan lahan, pembayaran uang kompensasi ke pemilik lahan, fee untuk komite LPC, fee untuk Lembaga Penilaian Tanah atau Tim Penilaian Harga Tanah; biaya penerbitan sertifikat tanah; dan biaya-biaya koordinasi dan pemantauan.42

PEMANTAUAN & EVALUASI 44. Pemantauan dan pelaporan secara internal. Pemantauan dan pelaporan secara internal mengenai pelaksanaan LARAP Penuh dan Sederhana akan dilaksanakan oleh unit E&S (lingkungan dan sosial) dengan bantuan konsultan independen, apabila perlu. 45. Laporan pemantauan akan dibuat oleh unit E&S setiap bulannya dan dibagikan dengan unit-unit lain dalam IIFF, contohnya unit disbursement dan unit teknis. Laporan ini akan termasuk pula informasi mengenai status dan tingkat kepatuhan pelaksanaan LARAP. 46. Informasi dasar (baseline) mengenai aset dan warga masyarakat yang terkena imbas proyek yang termasuk di dalam dokumen LARAP akan digunakan untuk menilai tingkat kemajuan pelaksanaan LARAP dan mengevaluasi efektivitas dari program kompensasi, bantuan dan dukungan yang ditawarkan kepada warga masyarakat yang terkena imbas proyek. 47. Pemantauan & Evaluasi Eksternal. IIFF akan melaksanakan suatu pemantauan & evaluasi eksternal atas semua portfolio sub-proyek setiap tahunnya. Aktivitas ini akan dijalankan oleh satu konsultan independen untuk menilai kecukupan kompensasi yang diberikan dan menentukan apakah langkah-langkah yang sudah dilaksanakan sebagai bagian dari LARAP telah memungkinkan PAP untuk paling tidak memulihkan tingkat kehidupan penghidupan mereka atau apakah mereka masih menghadapi masalah yang membutuhkan bantuan tambahan lagi. Anggaran untuk Pemantauan & Evaluasi Eksternal ini akan ditanggung oleh IIFF.

42 Panduan Pelaksanaan BPN, Pasal 53.

Lampiran 2 : Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Asli Daerah (IPPF) OBJECTIVE 4. Tujuan dari dokumen Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples Policy Framework/IPPF) ini adalah untuk memperjelas prinsip-prinsip, prosedur dan pengaturan organisasional yang akan diterapkan ke Masyarakat Asli Daerah (IP) dalam kaitan ke suatu sub-proyek yang didanai IIFF. IPFF memberikan panduan bagi IIFF guna memastikan agar sub-proyek yang didanai oleh IIFF memenuhi persyaratan Kebijakan World Bank mengenai IP. IPPF akan memandu IIFF dalam memastikan agar sub-borrower mempersiapkan suatu Rencana Masyarakat Asli Daerah (Indigenous Peoples Plan/IPP) untuk sub-proyek yang sedang dipertimbangkan untuk diberikan pembiayaan oleh IIFF sesuai dengan kebijakan pihak World Bank. Dokumen IPPF ini akan dijelaskan secara terinci dalam dokumen OM IIFF, untuk:

� Memandu IIFF dalam memastikan agar semua sub-sub proyek yang melibatkan IP memiliki tingkat kepatuhan terhadap IPPF, dan

� Memandu pihak sub-borrower tersebut dalam menyusun dan melaksanakan IPP. PRINSIP-PRINSIP UTAMA 5. Prinsip-prinsip utama ini akan membimbing persiapan dan implementasi dari suatu sub-proyek yang berdampak pada IP:

� Selalu hindari dampak yang merugikan pada masyarakat kelompok IP � Jika penghindaran tidak lagi dimungkinkan, maka minimalkan, lakukan mitigasi, atau

berikan ganti rugi untuk dampak tersebut � Rancang sub-proyek yang berdampak pada IP agar memastikan kelompok IP

menerima manfaat sosial dan ekonomi yang secara budaya tepat bagi mereka, dengan memasukkan nilai-nilai jender dan antar generasi yang tepat pula

� Libatkan kelompok IP yang akan terkena dampak ini dalam proses pembuatan keputusan mengenai lahan untuk sub-proyek.

DEFINISI IP (MASYARAKAT ASLI DAERAH) 6. Definisi IP yang digunakan dalam kerangka kerja ini adalah suatu pengertian generik yang mengacu ke suatu kelompok budaya, sosial, tertentu dan rentan, yang memiliki sifat-sifat berikut ini, dalam tingkatan yang berbeda-beda:

� Adanya identifikasi diri sendiri sebagai anggota dari satu kelompok budaya asli yang berbeda, dan kelompok lain pun mengakui identitas tersebut;

� Secara kolektif kelompok ini tergantung pada suatu habitat lingkungan tertentu, dan wilayah budaya turun-temurun, dan sumber daya alam yang ada di dalam habitat dan wilayah tersebut.

� Memiliki kelembagaan budaya, ekonomi, sosial ataupun politis yang terpisah dari masyarakat mayoritas, dan budaya mayoritas, serta

� Menggunakan satu bahasa asli yang mereka gunakan sendiri, berbeda dengan bahasa resmi yang digunakan di negara atau wilayah tersebut.

DAMPAK POTENSIAL ATAS IP 7. Mengingat kemungkinan keragaman jenis-jenis infrastruktur dari sub-proyek dan lokasii proyek yang bisa ditentukan di manapun di negara ini, semua kemungkinan ini dapat mempengaruhi IP baik secara positif yaitu memberikan manfaat peningkatan kondisi sosial dan ekonomi bagi para kelompok IP dan/atau mendatangkan dampak negatif bagi IP. Jenis, ukuran, cakupan, dan lokasi dari dampak serta langkah-langkah mitigasi yang perlu untuk menangani dampak negatif tersebut akan diidentifikasi selama persiapan sub-proyek tersebut oleh pihak sub-borrower.ASESMEN SOSIAL

8. Dalam hal dimana IP memang ada, atau mempunyai suatu keterkaitan kolektif ke area dimana suatu sub-proyek akan dilakukan, maka IIFF perlu memastikan agar pihak sub-borrower melakukan dulu suatu asesmen sosial (social assessment/SA) guna mengevaluasi potensi dampak negatif dan positif dari sub-proyek tersebut terhadap IP, dan meneliti alternatif-alternatif ataupun langkah-langkah yang mungkin dilakukan sub-proyek tersebut jika dampak negatifnya cukup signifikan. Kajian SA tersebut akan harus dilakukan melalui konsultasi yang bebas dan konstruktif dengan IP yang akan terkena dampak. 9. Guna melaksanakan kajian SA tersebut, pihak sub-borrower perlu melibatkan para ilmuwan sosial yang memiliki kualifikasi, pengalaman dan dipekerjakan dengan kerangka acuan (terms of reference) yang dapat diterima oleh IIFF dan disetujui oleh pihak World Bank. 10. IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower harus menyusun suatu laporan SA yang memasukkan elemen-elemen berikut ini, apabila diperlukan, dan yang rinciannya telah dimasukkan ke dalam OM IIFF:

� Suatu kajian, dalam skala yang disesuaikan dengan proyek ini, mulai dari kajian legal dan kerangka kerja kelembagaan yang dapat diterapkan ke Masyarakat Asli Daerah.

� Pengumpulan informasi dasar (baseline) mengenai karakteristik demografis, sosial,

budaya, dan politik dari Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, lahan dan wilayah yang secara turun-temurun telah mereka miliki atau gunakan secara adat, atau kuasai, dan sumber-sumber alam yang menjadi ketergantungan masyarakat ini.

� Penggunaan hasil kajian dan informasi baseline sebagai bahan pertimbangan,

identifikasi dari pemangku kepentingan sub-proyek utama dan keterlibatan proses budaya yang tepat dalam melakukan konsultasi dengan Masyarakat Asli Daerah di setiap tahapan dalam persiapan dan pelaksanaan suatu sub-proyek (lihat paragraf 9 dari kebijakan ini).

� Suatu asesmen, berdasarkan konsultasi yang bebas dan konstruktif dengan kelompok

Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, perlu dilakukan untuk menghitung potensi dampak positif dan negatif dari sub-proyek ini. Terutama yang sangat penting adalah potensi dampak merugikan sebagai suatu analisa kerentanan dan resiko bagi kelompok Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, mengingat kondisi dan situasi kehidupan mereka yang turun-temurun telah terikat dengan lahan dan sumber-sumber alamnya, sebagaimana juga kurangnya akses yang mereka miliki, dibandingkan dengan kelompok-kelompok sosial di tempat lain, atau di perkotaan, atau dibandingkan dengan mayoritas kelompok di negara ini.

� Identifikasi dan evaluasi tersebut, yang dibuat berdasarkan konsultasi yang bebas dan

konstruktif dengan kelompok Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak, juga menunjukkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghindari dampak negatif tersebut. Atau jika langkah-langkah tersebut tidak mungkin dilakukan, perlu suatu identifikasi langkah-langkah untuk meminimalisir, memitigasi, atau menawarkan suatu ganti rugi untuk dampak semacam itu, dan perlu memastikan agar Masyarakat Asli Daerah tersebut menerima manfaat yang tepat secara budaya mereka, dari sub-proyek tersebut.

RENCANA MASYARAKAT ASLI DAERAH (INDIGENOUS PEOPLES PLAN/IPP) 11. Dalam hal dimana suatu sub-proyek berdampak negatif pada suatu kelompok IP yang teridentifikasi, maka IIFF akan memastikan agar pihak sub-borrower mempersiapkan suatu Rencana Masyarakat Asli Daerah (IPP) yang dapat diterima, yang dibuat atas dasar asesmen sosial dan konsultasi dengan kelompok IP yang akan terkena dampak tersebut. Pihak sub-borrower akan mengintegrasikan IPP tersebut ke dalam rancang-bangun sub-proyek tersebut. Dokumen IPP juga harus ikut disetujui oleh pihak World Bank. 12. Dalam kasus dimana kelompok IP ini menjadi satu-satunya kelompok, atau mayoritas kelompok yang mendapatkan manfaat langsung dari hasil sub-proyek tersebut, maka IIFF perlu memastikan agar elemen-elemen dari IPP sudah termasuk di dalam keseluruhan rancang-bangun dari sub-sub proyek tersebut, dan dengan demikian, suatu IPP terpisah tidaklah diperlukan. 13. IPP dipersiapkan dalam suatu cara yang fleksibel dan pragmatis, dan dengan tingkat rincian yang tergantung dari sifat khusus atau karakter suatu sub-proyek dan dampak yang perlu ditangani. IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower tersebut menyusun suatu dokumen IPP yang memasukkan elemen-elemen berikut ini, apabila diperlukan (rincian lebih lanjut disediakan di dlaam dokumen OM IIFF):

� Satu rangkuman informasi yang mengacu pada bagian F, paragraf 10, poin pertama dan kedua;

� Satu rangkuman dari hasil asesmen sosial yang sudah dilakukan;

� Satu rangkuman dari hasil konsultasi dengan pihak Masyarakat Asli Daerah yang

terkena dampak yang dijalankan selama tahap persiapan sub-proyek (Annex A) dan yang mendorong ke tercapainya dukungan luas dari masyarakat bagi sub-proyek tersebut.

� Satu kerangka kerja untuk memastikan berlangsungnya konsultasi yang bebas dan

konstruktif dengan Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak tersebut selama pelaksanaan sub-proyek;

� Suatu rencana tindakan guna memastikan agar Masyarakat Asli Daerah menerima

manfaat sosial dan ekonomi yang sesuai dari sudut budaya mereka, termasuk, apabila perlu, langkah untuk meningkatkan kapasitas badan pelaksana sub-proyek tersebut.

� Pada saat suatu dampak negatif terhadap Masyarakat Asli Daerah diidentifikasi, suatu

rencana kerja yang tepat terdiri dari langkah-langkah untuk menghindari, meminimalisir, dan memitigasi dampak tersebut, atau menyediakan kompensasi harus dibuat.

� Perkiraan biaya dan rencana pembiayaan untuk program IPP.

� Prosedur penanganan keluhan yang mudah diakses, yang tepat bagi sub-proyek

tersebut dalam menangani keluhan yang timbul dari Masyarakat Asli Daerah yang terkena dampak pelaksanaan sub-proyek. Saat merancang prosedur penanganan keluhan, pihak sub-borrower perlu mempertimbangkan peluang judicial recourse dan mekanisme penyelesaian persengketaan secara adat di antara IP.

� Mekanisme dan tolok ukur yang tepat bagi proyek ini untuk pemantauan, evaluasi,

dan pelaporan mengenai pelaksanaan program IPP. Pemantauan & evaluasi harus

memasukkan pengaturan untuk penyelenggaraan konsultasi yang bebas dan konstruktif dengan IP yang akan terkena dampak.

KONSULTASI & PARTISIPASI 14. IIFF perlu memastikan agar jika suatu proposal sub-proyek akan berdampak pada IP, pihak sub-borrower tersebut harus mengadakan suatu konsultasi yang bebas dan konstruktif dengan mereka. Dalam memastikan konsultasi semacam itu berjalan baik, pihak sub-borrower harus:

� Menetapkan, apabila dipandang perlu, suatu kerangka kerja jender dan antar generasi yang inklusif, yang memberikan peluang untuk diajak konsultasi di setiap tahapan persiapan dan implementasi sub-proyek, yang melibatkan sub-borrower, IP yang akan terkena dampak masyarakat, organisasi masyarakat IP jika ada, dan organisasi masyarakat setempat lain (civil society organization/ CSO) sebagaimana diidentifikasikan akan terkena dampak proyek ini

� Menggunakan metode konsultasi yang tepat sesuai dengan nilai sosial dan budaya kelompok IP yang akan terkena dampak tersebut, serta kondisi kehidupan mereka. Dalam merancang metode ini, perlu memperhatikan khususnya kekhawatiran di antara para wanita, anak muda, dan anak-anak penduduk asli, serta akses mereka mendapatkan peluang dan manfaat yang dihasilkan proyek ini. Dan

� Memberikan kelompok IP tersebut semua informasi yang relevan mengenai sub-proyek tersebut, termasuk apa saja kemungkinan dampak yang merugikan, dengan cara yang tepat sesuai budaya mereka, di setiap tahapan dari persiapan dan implementasi suatu sub-proyek.

PENGATURAN INSTITUSIONAL 15. Dalam hal dimana pihak sub-borrower tersebut yang menyusun IPP, maka Unit Risk Management/ES IIFF akan harus memastikan agar pihak sub-borrower tersebut menyusun serta melaksanakannya secara konsisten dengan mengacu pada dokumen OM yang ada, dimana IPPF menjadi salah satu bagiannya. Dalam hal dimana staf Unit Risk Management/ES tidak memiliki keahlian di bidang IP, maka IIFF akan harus mempekerjakan satu ahli IP untuk mendampingin mereka mengkaji dokumen IPP pihak sub-borrower tersebut dan mengawasi pelaksanaannya. 16. IIFF akan perlu memastikan agar sub-borrower melibatkan instansi pemerintah daerah, LSM dan CSO dimana kelompok IP yang terkena dampak tersebut berada. 17. IIFF mungkin dapat menyelenggarakan program pelatihan peningkatan kapasitas bagi pihak sub-borrower dalam menangani dan melaksanakan langkah-langkah menghindari atau mitigasi resiko dampak negatif bagi masyarakat IP. Dalam pelatihan tersebut, IIFF mungkin dapat melibatkan LSM dan CBO yang memiliki pengalaman serta keahlian bekerja dengan kelompok IP tersebut. 18. Satu lembaga independen mungkin dapat dipekerjakan oleh IIFF guna melaksanakan pemantauan dan penilaian periodik atas pelaksanaan program IPP yang disiapkan oleh pihak sub-borrower tersebut. 19. Unit Risk Management/ES IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower melaporkan status dan kemajuan pelaksanaan program IPP. 20. Pihak World Bank mungkin dapat melakukan inspeksi ke site atau lokasi kandidat sub-proyek dengan terlebih dahulu memberitahu pihak IIFF, meskipun inspeksi tersebut dapat juga dilaksanakan secara independen. Pihak World Bank akan membicarakan hasil inspeksi tersebut dengan badan pemerintah daerah terkait, pihak sub-borrower untuk sub-proyek tersebut dan dengan Unit Risk Management/ES IIFF. 21. Rincian lain dari pengaturan organisasional akan dikembangkan sebagai bagian dari Operation Manual.

22. Biaya pelaksanaan IPP akan ditanggung oleh pihak sub-borrower sendiri. Unit Risk Management/ES perlu memastikan agar biaya sub-proyek tersebut sudah termasuk biaya pelaksanaan langkah-langkah yang perlu untuk menangani dampak negatif terhadap masyarakat IP tersebut. Langkah ini haruslah dimasukkan ke dalam rancangan sub-proyek tersebut. PEMANTAUAN & PELAPORAN 23. Pemantauan dan pelaporan internal. Pemantauan dan pelaporan internal mengenai pelaksanaan IPP akan dilaksanakan oleh Unit Risk Management/ES IIFF dengan bantuan satu konsultan independen, apabila perlu. 24. Laporan pemantauan akan dibuat oleh Unit Risk Management/ES IIFF setiap bulannya dan dibagikan dengan unit-unit lainnya di bawah IIFF, contohnya unit disbursement, legal dan teknis. Dalam laporan ini, akan termasuk pula informasi mengenai status dan tingkat kepatuhan pelaksanaan IPP. 25. Pemantauan & Evaluasi Eksternal. IIFF akan melaksanakan pemantauan & evaluasi eksternal atas harga dalam semua protfolio sub-proyek setiap tahunnya. Aktivitas ini akan dijalankan oleh satu konsultan independen yang ditunjuk untuk menilai efektivitas pelaksanaan dari langkah-langkah program IPP dan menentukan apakah langkah yang diterapkan telah memungkinkan masyarakat IP tersebut menerima manfaat dari sub-proyek tersebut dan/atau memulihkan mata pencaharian atau standar kehidupan mereka, atau apakah mereka masih menghadapi masalah dan membutuhkan bantuan lainnya. Anggaran untuk Pemantauan & Evaluasi Eksternal tersebut akan ditanggung oleh IIFF. PENYEBARLUASAN INFORMASI (DISCLOSURE) 26. Unit Risk Management/ES IIFF akan memastikan bahwa pihak sub-borrower tersebut membuat laporan kajian SA dan draft IPP tersedia bagi masyarakat IP yang akan terkena dampak tersebut, dengan cara dan bahasa yang tepat, sebelum diberikan persetujuan pendanaan sub-proyek. IIFF juga akan membuat hasil kajian SA dan IPP tersebut tersedia bagi publik di website mereka, dan dalam website pihak sub-borrower tersebut, termasuk juga bagi instansni pemerintah daerah dan bagi jaringan LSM yang bekerja di antara kelompok IP tersebut. Unit Risk Management/ES IIFF akan perlu memastikan agar pihak sub-borrower menyerahkan Laporan Implementasi Program IPP dan diberikan juga ke masyarakat IP, ke badan pemerintah daerah dan ke publik.

Lampiran 3: Daftar Aktivitas yang tidak akan didanai oleh IIFF 1. Aktivitas apapun yang menggunakan bahan radioaktif 2. Operasi pemangkasan kayu hutan yang dilakukan di hutan tropis basah. 3. Penangkapan ikan menggunakan drift net (pukat harimau) di lingkungan laut 4. Pengenalan suatu organisme yang direkayasa secara genetis 5. Perjudian, pengelolaan kasino dan bisnis-bisnis serupa 6. Pertambangan atau eksploitasi terumbu karang hidup 7. Produksi cat yang mengandung timah 8. Produksi atau perdagangan tembakau 9. Produksi atau perdagangan bahan radioaktif 10. Produksi atau perdagangan produk-produk yang mengandung PCB 11. Produksi atau perdagangan minuman alkohol. 12. Produksi atau perdagangan senjata dan munisinya. 13. Produksi dan/atau penggunaan produk-produk yang mengandung asbestos 14. Produksi, penyebaran dan penjualan pestisida illegal 15. Produksi atau perdagangan atau penggunaan unbonded asbestos fibers 16. Produksi atau perdagangan kertas atau produk lainnya dari hutan yang tidak dikelola

dengan benar 17. Produksi atau perdagangan bahan perusak ozon mengikuti fase penghapusan produk ini

di dunia internasional 18. Produksi atau perdagangan barang yang di pasar internasional akan dihapus atau sudah

dilarang. 19. Produksi atau perdagangan pestisida/herbisida yang di pasar internasional akan dihapus

atau sudah dilarang. 20. Produksi atau perdagangan produk barang atau aktivitas apapun yang dianggap ilegal

menurut hukum negara tuan rumah, atau peraturan-peraturan serupa atau konvensi dan perjanjian internasional.

21. Produksi atau aktivitas yang melibatkan bentuk-bentuk yang membahayakan atau eksploitatif tenaga kerja paksa/ tenaga kerja anak-anak.

22. Produksi, perdagangan, penyimpanan barang, atau transportasi dalam jumlah banyak, barang-barang kimia berbahaya, atau penjualan komersial dari bahan kimia berbahaya.

23. Produksi atau aktivitas yang merampas hak kepemilikan atas tanah, atau mengklaim kepemilikan dari Masyarakat Asli Daerah, tanpa adanya persetujuan tertulis dari masyarakat tersebut.

24. Pembelian peralatan penebangan hutan untuk terutama digunakan di hutan tropis basah. 25. Perdagangan binatang liar atau produk barang yang dihasilkan dari binatang liar. 26. 27. wb152996 28. C:\Documents and Settings\wb152996\My Documents\MARCH 30-2009\IIFF\E&S_Framework_Bahasa_-

_revised_22_May[1]_Nin-DD.doc 29. 25.05.2009 20:06:00