Upload
dewi-kharisma-michellia
View
182
Download
18
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tentang iklan masa kolonial ditinjau dari kajian sosiohistoris.
Citation preview
About DGI
Contact Us
Desain Grafis Indonesia
Desain Grafis Indonesia
Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and
society
Iklan Masa Kolonial 1930-1942 — Tinjauan Sosiohistoris
June 21, 2014 | Academic Writing, DKV ISI (Institut Seni Indonesia), Yogyakarta, National, School &College | 2
IKLAN MASA KOLONIAL 1930-1942
TINJAUAN SOSIOHISTORIS
Baskoro Suryo BanindroDosen Disain Komunikasi Visual
FSR ISI Yogyakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
Dutch colonial culture that come to enrich the culture of Indonesia, it joined the growing culture of
modern Indonesia, it can be observed through the lifestyles of people and uptake of aesthetic value.
Graphic design style developed in the colonial Indies Dutch East Indies and had peaks in the artistic
developments of the 1930s. The design style developed by Dutch graphic designer is a blend ofmodern design style that flourished in Europe early 20th-century art with a product of local culture.The combination has created a style of indie that became a source of inspiration for creativity
designer graphic design of the future. Advertising colonial period in Indonesia, developed along withthe progress of knowledge, especially in the fields of economy and industry, idiom – idioms unsure
that are tailored to its target audience. In the context of social phenomena and the idea of ??modern
advertising in Indonesia now, of course, inseparable from the history of the Dutch East Indies
colonialism itself.
Keyword: Advertising colonial period, westernization, a zeitgeist
Pengoemoeman !!!
Dag Inlander,….. Hajoo Oerang Melajoe,….
Kowe Mahoe Kerdja???
Governement Nederlandsch Indie Perloe Kowe
Oentoek Djadi Boedak
Ataoe Tjentenk Di Perkeboenan – Perkeboenan
Onderneming
Kepoenjaan GovernementNederlandsch Indie
Djika Kowe Poenya Sjarat Dan Njali
(Batavia 31 Maart 1889 Niet Laat te Zijn Hoor. Onder de naam van Nederlandsch IndieGovernor Generaal H.M.S Van den Bergh S.J.J de Gooij)
PENDAHULUAN
Iklan mempunyai nilai kredibilitas yang tinggi sebagai data dalam suatu rekonstruksi sejarah (Garraghan,1957: 252). Sebagai sebuah medium, iklan adalah relik yang dapat digunakan sebagai bukti rujukan
infersential evidence bagi sejarawan (Sjamsuddin, 2007: 113). Oleh karena itu, melalui iklan dapat
dipelajari sejarah peradaban suatu masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Selain itu, melalui hasil
pengamatan terhadap iklan-iklan pada masa kolonial, jelas sekali mencerminkan suatu identitas, melalui
pendekatan bahasa visual, iklan berperan sebagai elemen yang mampu merekfleksikan zeitgeist pada
temponya.
Akhir tahun 1929 menandai berakhirnya satu periode sejarah Hindia Belanda, untuk masuk ke periode baru
yang lebih baik (Vlekke, 2008:433). Periode 1930-1942 merupakan awal perekonomian masa kolonial
Hindia Belanda pulih dari pengaruh depresi ekonomi dunia, biro reklame tumbuh dan kembali bergairah(Setiyono, 2004: 42). Dengan diberlakukannya kebijakan liberalisasi dan swastanisasi perekonomian masa
kolonial, secara umum telah mengakibatkan terjadinya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan tingkatkesejahteraan penduduk di pulau Jawa, yang memasuki kemapanannya pada masa pemberlakuan politik etis
dan puncaknya pada tahun 1930an (Riyanto, 2000: 3). Politik Etis adalah suatu pemikiran yang dipeloporioleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus). Kalangan
industrialis Belanda yang berfikiran liberal, menyambut baik keputusan ini karena mengharapkan ekspansipasar mereka sebagai akibat dari meningkatnya kesejahteraan kaum sosialis dan konservatif di Belanda, yang
memandang ideologi liberal dengan ketidakpercayaan secara kritis (Wertheim, 1999:70).
Iklan masa kolonial di Indonesia, berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan terutama di bidangekonomi dan industri. Tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan percetakan negara di Jakarta(Zoo, 1995: 165), yang mau tidak mau kedatangannya membawa pengetahuan cetak-mencetak dari daratan
Eropa. Beberapa produk cetak kuno, seperti etiket/label, sampul buku/majalah, iklan koran dan iklan yangdicetak pada enamel, beberapa artefaknya masih dapat dilihat sekarang ini, hal ini membuktikan bahwa sejak
lama di Nusantara telah mengenal produk grafis.
MASA KOLONIAL
Di Indonesia sendiri perjalanan dunia periklanan tentunya tidak lepas dari sejarah kolonialis Belanda, yaknisuatu masa ketika bangsa Indonesia berada di bawah kontrol penjajah Belanda. Masa penjajahan dihitung
sejak pertamakalinya Belanda membentuk pemerintahan di Nusantara yang pada waktu itu disebutNederland Indie, tepatnya pada tanggal 12 Maret 1619 di Batavia (Ricklefs, 2008: 78), setelah sebelumnya
sekelompok anggota garnisun kecil VOC menghancurkan “kota pribumi” di Jayakarta yang ada disekitar lojidan membangun sebuah benteng kecil (Lombard, 2007: 61), dan berakhir hingga Belanda menyerah tanpa
syarat kepada tentara pendudukan Jepang pada tanggal 12 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Era kolonialisme adalah masa pembaratan budaya feodal agraris tradisional, dengan agent of change parabangsawan kraton dan para priyayi profesional, pejabat birokrasi kolonial yang dididik sekolah-sekolahmodern Belanda, dan pribumisasi kebudayaan barat modern masyarakat elit kulit putih terutama di Jawa
(Riyanto, 2005: 134-143). Selanjutnya, penerapan sistem pendidikan Barat yang telah merebak di perkotaansemakin mempercepat lajunya proses modernisasi yang merubah secara struktural lapisan sosial tertentu di
masyarakat Jawa awal abad ke-20, tentu saja hal ini membawa implikasi secara tidak langsung pada gayahidup, termasuk perubahan perilaku seksualitas. Kenyataannya rangkaian proses perubahan-perubahan yang
berkembang telah mereduksi struktur masyarakat agraris, feodalisme, tradisional menuju masyarakat
perkotaan yang bersifat modern (kasuma, 2006). Hal ini tentu saja telah membawa dampak pada budayavisual jaman itu. Sosok wanita pada dekade ini juga banyak menghiasi tampilan visual iklan pada produk yang
tidak di konsumsi wanita sekalipun, misalnya rokok, minuman bir dan anggur.
Iklan rokok cap “Doro” tahun 1931, menampilkan sosok
wanita bercengkerama dengan pria di alam bebas sambilmenghisap rokok.
(Sumber: Buku Sejarah Periklanan Indonesia, PPPI)
Iklan rokok “Marikangen” Surakarta, menggunakan model
wanita pada etiketnya, pengaruh pembaratan mendobrak
kemapanan budaya timur.(Sumber: Katalog Pameran Grafis Etiket Rokok Tempo
Doeloe)
HINDIA BELANDA ERA 1930 AN
Secara sosiohistoris (Kartodirdjo, 1993:157) pada abad ke 17 dan 18, Kolonial Belanda telah
menumbuhkan sistem status sosial yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Batavia, pegawaikompeni Belanda menempati lapisan sosial teratas, kemudian di bawahnya adalah warga merdeka (bebas),
yang terdiri dari Belanda, mestizo, dan budak-budak Kristen yang diberi hak suara. Setelah itu lapisan atas
orang Cina, penduduk Indonesia, sebagian besar adalah orang rendahan, menempati urutan paling bawah.
Sistem status ini membentuk titik awal bagi masyarakat kolonial di Jawa pada abad sembilan belas(Wertheim, 1999: 107). Sartono Kartodirdjo membagi stratifikasi masyarakat Hindia Belanda menjadi: elit
birokrasi yang tediri dari Pangreh Praja Eropa ( Europees Binnenland Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi.
Kemudian Priyayi Birokrasi termasuk priyayi ningrat, priyayi profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik).
Kemudian golongan Belanda dan Indo yang secara formal masuk status Eropa, dan yang terakhir ialah OrangKecil (Wong Cilik) yang tinggal di kampung (Kartodirdjo, 2005). Selo Sumardjan menambahkan satu
kelompok priyayi lagi yaitu mereka yang berasal dari kalangan swasta, Van Miert menyebut mereka sebagai
kaum muda yang tidak mau mengikuti jejak orang tuanya. Mereka memilih jabatan yang merdeka sebagaidokter praktek, guru sekolah, swasta, pengacara, atau wartawan (Miert, 2003: 3). Di samping struktur yang
tebentuk akibat posisi resmi dalam kepegawaian pemerintah terdapat kelompok masyarakat lain yang
terbentuk karena orientasi agamanya yaitu kaum Muslim. Sodagar Kauman, istilah ini ditujukan masyarakat
Jawa yang biasanya berprofesi sebagai pedagang yang taat menjalankan syariat Islam (Surjomohardjo,2008:40).
Sesudah tahun 1920 pertumbuhan penduduk di Hindia Belanda berlangsung dengan cepat. Antara tahun
1920 dan 1930 pertumbuhan penduduk pulau Jawa sekitar 17,6 per seribu jiwa. Ketika sensus tahun 1930diadakan, penduduk Indonesia telah berjumlah 60,7 juta jiwa. Dari jumlah itu 41,7 juta jiwa berdiam di Pulau
Jawa. Berdasarkan perhitungan pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 79,4 juta jiwa. Di Jawa jumlah
penduduknya sekitar 48,4 juta jiwa, sedangkan di daerah luar Jawa jumlah penduduknya sekitar 22 juta Jiwa
(www.indonbiu.com). Penerimaan pajak cukup besar, menurut Lance Castles dalam bukunya berjudul“Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus”, pajak tembakau saja, pada
tahun 1938 mencapai Rp 1.790.000, atau 6,2 persen dari total pemasukan pajak dan bea (Noertjahyo,
2009). Era dasawarsa ini merek pabrikan besar mulai membangun tempat perakitan di Hindia Belandasebagai contoh pabrik lampu Philips, bir dan limun, industri logam seperti Lindeteves - Stokvis yang
menghasilkan lampu petromaks, alat pertanian dan perkebunan, dan suku cadang untuk pabrik gula. Pada
tahun-tahun itu terjadi pergeseran dari industri pertanian ke arah industri dagang yang mengarah pada sistem
industri moderen (Sachari, 2007: 70).
IKLAN AWAL DI MASA KOLONIAL
Iklan pertama kali diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Hindia Belandatahun 1619 hingga 1629, Ia juga penerbit Bataviasche Nouvelle, isi iklan ialah informasi tentang teritorial
wilayah dagang VOC, semacam iklan korporat sekarang ini, dan pengumuman-pengumuman pemerintah
Hindia Belanda berkaitan dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah (Setiyono: 3). Iklan susu
bubuk sudah ada di Betawi lebih dari seabad silam. Importirnya adalah Firma L. Platon, perusahaan besarpenjual makanan dan minuman Belanda yang terkenal di Betawi. Salah satu iklannya dapat dilhat di koran
“Bintang Barat” tanggal 12 Januari 1887 dengan lingua franca bahasa Melayu sebagai pengantar: “Pastinja
soesoe jang toelen, dibikin boeboek dari paberik soesoe Switzerland, Si Gallen”. Selanjutnya terdapatpetunjuk cara pembuatan antara lain: “Soesoe dengen goela teboe, dalem tjamboel 160 gram, tjampoer 1
liter aer panas, dapet 1 liter soesoe toelen, Soeda dipereksa sama dokter”. Adapun yang dimaksud dengan
“tjamboel” ialah kaleng (Betawi Blogger).
Tahun dasawarsa tigapuluhan merupakan era keemasan dan kejayaan periklanan di Indonesia era penjajahan.
Hampir semua barang kebutuhan rumah tangga tersedia dan dipasarkan di kota-kota besar, iklan yang
beredar waktu itu : iklan rokok, minuman, susu, obat-obatan, tembakau, pasta gigi, sabun, radio, lampu,
sepeda sampai mobil dan perjalaan wisata (Hermanu, 2006: 15). Menjelang memasuki tahun empat puluhan,dua majalah mode masing-masing “de Mode Revue” 1939 dengan penerbit N.V. Boekhandel en Drukkerij
v/h H. Van Ingen-Soerabaia, memuat iklan yang berisi artikel-artikel berkaitan dengan mode dan juga foto-
foto serta sketsa aneka mode untuk wanita dewasa maupun anak-anak. Beberapa artikel umum lainnya,misalnya tentang makanan, perawatan tubuh, profil orang, dan lain-lain. Semua artikelnya ditulis dalam bahasa
Belanda. Kondisi ini menunjukan bahwa di Hindia Belanda pada waktu itu selain telah terjadi perubahan
sosial juga telah terjadi adanya perubahan estetis di masyarakat pribumi.
Promosi penerbangan Dutch Lines ke Hindia Belanda,menawarkan eksotika timur dengan latar belakang rumah
Dewa dan perempuan Bali.
(Sumber: Lavis Flicker Documentary)
Iklan susu Milk Maid, menawarkan suplemen Belanda
dengan pesan singkat dan efektif.
(Sumber: Iklan Enamel 1938)
Menurut data dari Handboek of the Netherlands East Indies 1930 jumlah makananmakanan kaleng yang
diimpor dari luar negeri memiliki nilai cukup besar. Selain makanan kaleng ada pula iklan peternakan sapi di
beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Misalnya Melkerij “Petamboeran” yang
merupakan peternakan tertua dan terbesar serta terletak di Petamboeran, Paalmerah. Ada pula tokoFROSCHER’S di Batavia-Centrum yang menyediakan roti dan kue. Selain yang segar ada pula susu dalam
kaleng seperti iklan NESTLE’S MELK CO di Batavi a -Cent rum yang menyediakan susu kalengan seperti
yang kita nikmati sekarang (Sangkelana Blogg). Masuknya produk industri modern ke Hindia Belandasekaligus membawa iklan sebagai penunjang kegiatan promosi, oleh karenanya idiom yang dihadirkan sangat
terasa nuansa budaya Eropanya (Kompas, 2007).
Produk impor menandai peradaban baru hidup sehat kaum
inlander.(Sumber: Pikat, Katalog Pameran Iklan Cetak di
Bentara Budaya)
DESAINER DAN BIRO IKLAN MASA
KOLONIAL
Jejak “Politik Etis” sangat kuat mewarnai bahasa iklan, terutama di majalah Kadjawen periode 1930-1940.Sejumlah iklan tak hanya menginformasikan produk tertentu, tetapi juga berusaha “mendidik” dan mengubah
kebiasaan rakyat di tanah jajahan yang belum mengadopsi cara hidup modern. Pendirian industri yang
melibatkan pengusaha pribumi sebagai pemilik perusahaan bermunculan, bahkan beberapa diantaranya
mengiklankan produk mereka dengan iklan yang menggunakan idiom khas lokal.
Hidup sehat dengan merawat gigi, dijelaskan dengan panduan
lengkap,iklan memudahkan penduduk pribumi meningkatkan
kualitas hidup.
(Sumber: Koleksi Tempo Doeloe – mht)
Idiom visual khas lokal”Gareng-Petruk” , menjadi model
iklan minuman cokelat, strategi visual dengan pendekatanbudaya yang tepat.
(Sumber: Koleksi K. Atmojo: Iklan Lawas)
Iklan majalah Kadjawen tercatat sebagai salah satu majalah dengan pemuatan iklan paling besar dibanding
majalah lain. Antara lain mempromosikan teknologi modern, seperti listrik dan mobil-otomotif (Mrazek,
2006: 115). Teksteks iklan dalam majalah Kadjawen sebagian besar menggunakan bahasa Jawa (dengan
huruf Jawa dan Latin) dan bahasa Belanda. Teks berbahasa Melayu (Indonesia) digunakan pada produk
yang merupakan keperluan sehari-hari, seperti sabun mandi Lux, arloji Titus dan atau obat-obatan. MajalahKadjawen juga berisi berbagai informasi praktis, termasuk iklan produk yang mengkampanyekan cara-cara
hidup modern bagi rakyat jajahan atau “kaum bumiputra. (Pokok-Pokok Pikiran Budi Irwanto, disampaikan
dalam Diskusi bertajuk “Jejak Iklan dan Imaji Konsumsi” yang diselenggarakan oleh TeMBI Yogyakarta,
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni
“Anjani”, Universitas Sanata Dharma, Ruang Seminar FISIPOL UGM, Yogyakarta, 4 Juni 2007.” )
Untuk meningkatkan kualitas hidup lebih sehat, Inlander
mendapat tawaran menu bervitamin yang lebih murah dari
mentega.
(Sumber: Volks Almanak Melajoe)
Buku dan majalah telah dicetak dengan sampul berwarna, beberapa diantaranya diterbitkan oleh percetakan
besar pada waktu itu antara lain Kolf dan Balai Pustaka. Adapun produknya meliputi buku bacaan anak,buku pelajaran, majalah budaya, dan majalah wanita. Selain itu muncul pula grafis untuk sampul majalah
“Penghidoepan” bertahun 1931, Kemudian majalah yang lain ialah “Kawroeh” pada tahun 1932.
Untuk memenuhi audien, majalah menggunakan pendekatan
berbeda sesuai target sasarnya, sehingga digunakan bahasa
Jawa dan Melayu.
(Sumber: Koleksi K. Atmojo – Iklan Lawas)
Tidak hanya produk kebutuhan rumah tangga, alat pertanian
menjadi komoditas jual yang diiklankan, salah satunya paculcap ”Maesa”
(Sumber: Koleksi Tempo Doeloe – mht)
Bacaan babad salah satu produk kolonial, bagian dari Politik Etis.
(Sumber: Koleksi Tempo Doeloe – mht)
Bahasa Jawa sebagai pengantar isi iklan agar mudah
dipahami.(Sumber: Almanak Djawi)
Budaya barat – timur berpadu dalam merek dan produkminuman bir.
(Sumber: www.baranglawas.com)
Iklan-iklan yang bermunculan dibarengi dengan mulai berdirinya biro iklan. Bentuk pribumisasi dalam desaingrafis iklan surat kabar dimulai sejak abad ke 20 yakni dengan tampilnya rancangan iklan yang mengangkat
khazanah visual kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh perupaan barat, yakni gaya art noveau atau art decojuga mulai tampak (Setiyono, 2004: 8). Salah satu desainer advertensi yang terkenal ialah Jan Lavies (1902-
2005), pemuda Belanda yang datang ke Hindia Belanda setelah menyelesaikan studinya di Royal Academy,Belanda. Hampir semua perusahaan besar yang mengiklankan produknya di surat kabar Indonesia, mulai dari“Soerabaiaasch Handelsblad” sampai “D’Orient” , memakai jasa keahlian Lavies.
Art Deco adalah gayanya yang khas dalam menciptakan kreasinya. Art Deco sendiri adalah sebuah gerakandesain yang populer dari 1920 hingga 1939, Lavies tidak tanggung-tanggung, mulai dari poster pertunjukan
teater sampai iklan pelayaran mendapatkan sentuhan artistiknya. Ia bisa disebut raja promosi duniaperhotelan. Logo Hotel Des Indes Batavia, Oranje Hotel Soerabaia, Hotel Nongkodjadjar Lawang, Hotel
Homann, Grand Hotel Garoet, Hotel Toegoe Djokdja, Hotel Tjandi Semarang, Hotel De Burr di Deli danmasih banyak lagi.
Karya klasiknya, Fly to Java, menampilkan gambar sebuah pesawat melayang di atas Borobudur. Langit
kuning, sementara stupa-stupa Borobudur berwarna biru. Rancangan Lavies era 30an yang bergayanaturalisme mooi indie – Indonesia nan Indah sangat terasa mencolok pada desain rancangan Lavies,
sehingga dianggap sebagai The spirit of modern advertising (Kompas, 2002).
Eksotika pulau Jawa diwakili landmark Borobudur,untuk
menggambarkan kemegahan dan kebesaran candi,ditampilkan sosok kecil “de jonge inlander” dan “meneer
Belanda” di antara stup- stupa besar.(Sumber: Lavies Flicker Documentary)
Desainer advertensi yang lain ialah M. Van Meeteren Brouwer (1882-1974), Brouwer membuat seri promositembakau merk Van Nelle, dengan motto sama: Tembaco Van Nelle njang Paling Baik tapi dengan gambarbeda-beda (Tempo, 2002), dengan seting penduduk pribumi dengan warna iklannya yang khas bernuansa
sephia. Selain itu masih ada seniman reklame profesional seperti Besten Pieter den (1894-1972), dengankaryanya yang terkenal Van Nelle Koffie Thee dan Jongert Jac. (1883-1942) dengan visualisasi iklan
rokoknya yang berjudul Van Nelle’s lichte shag met de Jiffy sigarettenmachine.
Van Nelle “sahabat kerja yang baik”,pendekatan sosiokultural digunakan
sebagai daya tarik visual iklan rokok.(Sumber: Indonesian Cigars&Tobaco-Cowe Koleksi Rokok Indie)
Dekade itu muncul pula biro iklan Reclamebedrijt di Batavia, dan merupakan perusahaan iklan yang sangat
maju. Bukan hanya karena ditunjang peralatan memadai, namun juga tenaga-tenaga reklame dari Eropa.Tenaga-tenaga artisitk periklanan yang menonjol antara lain: F. Van Bemmel, Is. Van mens dan Cor vanDeutekom (Hannykardinata, 2009). Adapun klien mereka umumnya perusahaan besar seperti BPM
(Bataafche Petroleum Maatschappij) di Surabaya, serta General Motor dan KPM (Koninklijke PekevaartMaatschappi) di Batavia waktu itu. Iklan dari Reclamebedrijt menyebar di berbagai surat kabar di luar
Batavia, seperti Soerabaiasch Handelsblad di Surabaya dan Semarang (Maters, 2003: 198)..
Fenomena depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan
ekonomi Indonesia di masa kolonial. Krisis keuangan dunia pada awalnya sangat memukul industri di wilayahHindia Belanda, terlebih akibat membanjirnya barangbarang impor yang harganya jauh lebih murah (Wahid,2009: 184). Segera saja industri reklame pada waktu itu menyambut dengan tangan terbuka, untuk
membantu penyebaran produk impor dengan serangkaian promosi iklannya. Di antaranya ialah produk sabunmandi bayi Aunty Mays, cerutu lisong buatan Holland bermerek Karel I, dan sepeda impor berbagai merek
dari Belanda untuk kaum pria dan wanita.
Contoh iklan produk impor, bedakomoditas beda penyajian dan media.
(Sumber: Iklan Lawas – mht)
Penggunaan permesinan dalam industri tekstil di Hindia Belanda waktu itu berkembang pesat sejak tahun1930an atau yang dikenal dengan era penggunaan mesin tenun. Gaya estetik modern di masa pemerintahan
Hindia Belanda secara umum merupakan serapan gaya estetik Eropa yang diimplementasikan melalui gayahidup, terutama pilihan benda. Meskipun masih terbatas di lingkungan kota-kota besar, fenomena tersebut
menunjukkan adanya keterbukaan budaya masyarakat di wilayah Nusantara untuk menyerap trenkebudayaan baru serta adanya kecenderungan menyerap citra moderen (Sachari, 2007: 70, 138).
Gaya hidup moderen ala barat telah
menjadi tren di tahun 1930an, pribumiwanita mendapat kesempatan memilih
modeste yang dikehendaki.(Sumber: Pikat: Pameran Iklan Cetak
BentaraBudaya)
KESIMPULAN
Iklan masa kolonial era tahun 1930an, telah memberi kesempatan kepada pribumi di Nusantara melihat duniabaru tentang produk barat dan budayanya. Penggambaran figur pribumi dan idiom visual budaya Indonesia,
dimanfaatkan sebagai obyek yang menjadi daya tarik eksotik pariwisata atau pendekatan visual dalammenawarkan produk. Dari visualisasi relik yang ada, secara ideologis kolonial Belanda menggunakan
parameter barat, sehingga visualisasi iklan tidak jarang menimbulkan kontradiksi terhadap budaya timur yangmemunculkan pergeseran baik etik maupun estetik. Hal ini berakibat pada penampilan masyarakat lokal yangmulai mengadopsi nilainilai barat ke dalam kehidupannya sehari-hari dalam berbudaya. Gaya desain atau style
yang ada, mensiratkan pada semangat jamannya, hal ini dapat dilihat dari tema, teknik dan medianya atauproduk dalam sajian iklan yang dibuat.
Kebudayaan kolonial Belanda yang datang memperkaya kebudayaan Indonesia, hal itu ikut menumbuhkankebudayaan moderen di Indonesia, ini dapat dicermati melalui gaya hidup masyarakat dan serapan nilaiestetiknya (Soekiman, 2000: 73). Gaya desain grafis Indies berkembang di masa kolonial Hindia Belanda dan
mengalami puncak perkembangan artistiknya di tahun 1930-an. Gaya Desain yang dikembangkan paraperancang grafis Belanda merupakan perpaduan antara gaya desain modern yang berkembang di Eropa awal
abad ke- 20 dengan seni rupa yang merupakan produk budaya lokal. Perpaduan itu membentuk suatu gayaindies yang menjadi sumber inspirasi bagi kreativitas perancang desain grafis masa selanjutnya. Iklan masa
kolonial di Indonesia, berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan terutama di bidang perekonomiandan industri, berunsur idiom – idiom yang disesuaikan dengan target pasarnya. Dalam konteks fenomenasosial dan gagasan tentang kemoderenan iklan di Indonesia kini, tentunya tak bisa dilepaskan dari sejarah
kolonialisme Hindia Belanda itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, Yogyakarta,Penerbit Ombak, 2009
Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah Sosial 1880-1930, Depok,Penerbit Komunitas Bambu, 2008
Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2007
Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar, dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915,Yogyakarta, Penerbit Terawang,2000
Budi Setiyono (ed), Reka Reklame, Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984, Yogyakarta, Penerbit GalangPres, 2004
Budi Setiyono (ed), Cakap Kecap (1972-2003), Yogyakarta, Penerbit Galang Press, 2004
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII –Medio Abad X, Yogyakarta, Penerbit Bentang, 2000
Garraghan, Gilbert J., SJ, A Guide to Historical Method, New York, Fordham University Press, 1957
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2007
Hermanu, Pikat Pameran Iklan Cetak Generasi ke 2, Yogyakarta, Penerbit Bentara Budaya, 2006
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan, Jakarta, Penerbit Gramedia, 2007
Miert, Hans van. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-
1930, Jakarta, Penerbit Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu, 2003
Mrazek, Rudolf, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni,
Alihbahasa Hermojo, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2006
Maters, Mirjam, Dari Perintah Halus ke Tindakan kekerasan, Pers Zaman Kolonial antara kebebasan danPemberangusan 1906-1942, Jakarta, Penerbit Hasta Mitra-Pustaka Utan kayu, 2003
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004, Jakarta, Penerbit Serambi, 2008
Sartono Kartodirdjo, Kategori Sejarah pada Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta,
Penerbit Gramedia, 1993
Vlekke, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia, 2008
Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta, Penerbit Tiara
Wacana, 1999
[Z]oo Produkties, “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya “, Den Haag, 1995
PENERBITAN KHUSUS
Bedjo Riyanto, Gaya Indies: Gaya Desain Grafis Indonesia Tempo Doeloe, Jurnal NIRMANA, UK Petra,
Vol.7, No. 2, Juli 2005
Gayung Kasuma, S.S, M.Hum, Dari Privacy ke Vulgar: Perilaku Seks di Jawa Awal Abad ke-20.
Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17, November 2006 di HotelMillenium, Jakarta.
Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische Sampai Indonesia. Jakarta, Kompas. 2005.
Noertjahyo, J.A Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa, Kompas edisi Milenium, 18 June 2009
Nota Forum Betawi Blogger: “Cerite Soal Iklan Di Betawi Jaman Duluuu Banget”
Sangkelana, “Djongos Kassie Kartoe Makan!”: Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Jawa Disajikan dalamSeminar Hasil Penelitian Departemen Sejarah FIB UI, Desember 2006
Budi Irwanto, “Jejak Iklan dan Imaji Konsumsi” yang diselenggarakan oleh TeMBI Yogyakarta, Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni “Anjani” ,Universitas Sanata Dharma, Ruang Seminar FISIPOL UGM, Yogyakarta, 4 Juni 2007.
Mesin Waktu Itu Bernama Enamel, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007.
Menengok Seni Poster Jan Lavies, Kompas 16 November 2002
Reklame-Reklame ‘Meneer’ Lavies, Tempo, 37/XXXI 11 November 2002
Hannykardinata, Desain grafis dalam sejarah, Napak Tilas Desain Grafis Indonesia, Bulletin Desain, Senin,19 Januari 2009
Perkembangan Ekonomi Dan Demografi Di Indonesia Pada Masa Kolonial – www.idonbiu.com
« Previous Article Next Article »
Share this!
deliciousmailtweet this
share on facebookAdd to Google Bookmarks
Add to Yahoo! Buzz
Tags:
Related Posts
COMMENTS
1. karna (June 24, 2014 )
Jadi, sejak awal desain grafis Indonesia ciri-cirinya telah pun mengikuti trend gaya grafis yang tengah
marak di dunia eropa dan amerika.Lalu, mengapa sekarang ramai yang sibuk meributkan desain grafis gaya ‘Indonesia’, sedangkan gaya
desain itu hanya menunjukkan ciri trend zamannya yang mendunia, bukan representasi dari sebuahlanggam bangsa tertentu ?
2. Gada Bina Usaha (July 3, 2014 )
Terimakasih …keren tulisannya
Add Your Comments
Your Message...
Name
URL (optional)
Add Comments
Notify me of follow-up comments by email.
Notify me of new posts by email.
“DKV adalah salah satu upaya pemecahan masalah komunikasi visual untuk menghasilkan suatu desain yangpaling baru di antara desain yang terbaru” Sumbo Tinarbuko
SEARCH THE SITE
type keyword search by media Search
BY YEARS:
1930-1939
1940-19491950-1959
1960-19691970-1979
1980-19891990-1999
2000-20092010-2019
INSIDE DGI
Award & Competition
Online GalleryAcademic Writing
HistoryArticle
BUKAMATAProfile
City Creative DiaryOnline Exhibition
Association & CommunityDesigner’s DiarySchool & College
About DGIBibliographyDGI Activities
DGI Bookstore
DGI PressDGI Store
MuseumNews & EventPartner's Profile
Portfolio & InspirationSocial Issue
UPDATES BY
NEWSLETTER
Untuk mendapatkan berita terbaru dari aktivitas DGI silakan memasukkan nama dan alamat emailanda di bawah ini. Jangan lupa untuk melakukan konfirmasi ulang lewat email yang kami kirimkan.
FACEBOOK GROUP
Login using Facebook:view more...
WRITE FOR US
Ingin menjadi kontributor tulisan kami?
Kirim tulisan anda mengenai desain grafis Indonesia, baik itu berupa wacana, pemikiran, ulasan,maupun liputan kegiatan.
Learn More...
SPONSORS
Advertise Here Advertise Here
COMMENTS
BUKAMATA #1: Apa itu Desain Grafis? Siapa itu Desainer Grafis? | Surianto Rustan: […]Oleh FDGI – Surianto Ruaveira smartoon: Salam, mohon gabung dengan kelir. tHanny Kardinata: Advismu dahsyat, Erie. Ini masih be
Erie Haryanto: Hanny yang memiliki perhatian besarHanny Kardinata: @Koskow: Terima kasih atas masukannVivi Octavia: Sayang acara Yogyakarta Contemporaradhikari: Betul.DGI: Halo Amalia, Buku dijual secara o
koskow: Terimakasih mas Slamet A. Sjukur. Kmarvhint: keren,,, tpi kok krang di update yaAdmin DGi Bookstore: Info per Juli 2014, Buku Nirmana stAmalia: Permisi, apakah bukunya dijual onli
SPONSORS
Advertise Here Advertise Here Advertise Here Advertise Here
ABOUT US
DESAIN GRAFIS INDONESIA or INDONESIAN GRAPHIC DESIGN is a collaborative sitefocused on the History of Graphic Design in Indonesia as an integral part of the international graphicdesign collective heritage.
IGDA adalah wujud penghargaan bermartabat bagi insan Desain Grafis Indonesia atas pencapaian
kualitas karyanya yang diselenggarakan setiap tahun di Indonesia.
MERCHANDISE
Buy Merchandise...
RECOMMENDED READING
1. Nirmana: Elemen-elemen Seni dan Desain | Sadjiman Ebdi Sanyoto
2. Desain Komunikasi Visual Terpadu | Yongky Safanayong
3. Hurufontipografi | Surianto Rustan
RECOMMENDED SITE
www.underconsideration.comApa kata Dunia Desain Grafis Internasional tentang DGI?
ASSOCIATION & FORUM
© DGI-Indonesia.com | Powered by Wordpress | DGI Logo, DGI's Elements & IGDA Logo by HenricusKusbiantoro | Web's Framing by Danu Widhyatmoko | Developed by Bloggingly
loading