Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IMPLEMENTASI MANAJEMEN QOLBU
DALAM MEMBENTUK AKHLAK SANTRI
DI PONDOK PESANTREN AN-NUR DUSUN KLEGO DESA
CANDIREJO KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN
SEMARANG
TAHUN 2020
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Fatma Kholifatu Nur ‘Aziza
NIM : 23010160149
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2020
ii
iii
IMPLEMENTASI MANAJEMEN QOLBU
DALAM MEMBENTUK AKHLAK SANTRI
DI PONDOK PESANTREN AN-NUR DUSUN KLEGO DESA
CANDIREJO KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN
SEMARANG
TAHUN 2020
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Fatma Kholifatu Nur ‘Aziza
NIM : 23010160149
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2020
iv
v
K KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jalan Lingkar Salatiga KM.2 Telepon (0298) 6031364 Kode Pos 50716 Salatiga Website:http://tarbiyah.iainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected]
http://tarbiyah.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]
vi
vii
MOTTO
“Jangan pernah meremehkan kebaikan, bisa jadi seseorang itu masuk surga
bukan karena puasa sunnahnya, bukan karena panjang sholat malamnya, tapi
bisa jadi karena akhlak baiknya dan sabarnya ia ketika musibah datang
melanda”.
K.H. Maimun Zubair
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, skripsi
ini penulis persembahkan untuk:
1. Ibuku tersayang Isnatun Asrifah dan Bapakku tercinta Achmad Choerun yang
telah menjadi motivator terbaik, mensupport setiap langkah penulis, yang tak
henti-hentinya memberikan doa dan restu kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini dan menyelesaikan studi.
2. Adikku Muhammad Faqih Ikhwannudin dan Nenekku Siti Aminah yang telah
mensupport dan mendoakan setiap langkah penulis.
3. Saudara sepupu Siti Ulfatul Nadhiroh yang mengajarkan berbagai hal dan
pengalamannya kepada penulis.
4. Santriwan santriwati Pondok Pesantren An-Nur, baik alumni maupun yang
masih dalam sangkar pesantren, terimakasih atas doa dan bantuannya.
5. Sahabatku Shofi Azzura yang telah menjadi motivator untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabatku Widhi Astuti yang telah menjadi sahabat dari awal mondok sampai
saat ini, terimakasih telah bersedia menjadi partner dalam segala hal.
7. Nurul Afdhilah, Erika Rohharjanti, Annisa Nuriyana, Sofiatun A’yuni yang
selalu penulis repotkan dalam hal apapun.
8. Teman seperjuangan Ujik, mbak Sari, Nova, mbak Muta, mbak Ani, mbak
Momo, Ela, Choir, yang telah banyak membantu.
9. Keluarga kamar 13, yang selalu menemani keseharian penulis dalam
pengerjaan skripsi.
10. Keluarga besar mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2016
yang telah membantu, memberikan motivasi, serta dorongan kepada penulis.
11. Keluarga PAI E angkatan 2016, yang selalu dalam lindungan Allah Swt.
12. Keluarga PPL MTS Negeri Salatiga, KKN Desa Mejing dan AKAR, atas
dorongan dan doanya.
13. Semua orang yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. shalawat serta
salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad
SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaumul qiyamah kelak.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Adapun judul skripsi ini adalah
“IMPLEMENTASI MANAJEMEN QOLBU DALAM MEMBENTUK
AKHLAK SANTRI DI PONDOK PESANTREN AN-NUR DUSUN KLEGO
DESA CANDIREJO KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG
TAHUN 2020”.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis memberikan ucapan terimakasih
kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga, Bapak Prof. Dr. Zakiyyudin, M.Ag.
2. Dekan FTIK IAIN Salatiga, Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag.
3. Ketua Program Studi PAI IAIN Salatiga, Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si.
4. Bapak Dr. Ahmad Sultoni, M.Pd. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;
5. Seluruh dosen IAIN Salatiga dan para stafnya yang telah memberikan ilmu
dan bantuannya bagi penulis.
6. Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, Gus Ali Munabah, S.Pd.I yang telah
memberikan izin untuk penelitian.
7. Seluruh Asatidz/Asatidzah Pondok Pesantren An-Nur, yang telah
memberikan ilmu dan pengalamannya.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada mereka semua tidak ada sesuatu yang dapat penulis berikan
sebagai imbalan, kecuali doa semoga Allah selalu membalas kebaikannya
x
dengan balasan yang lebih banyak dan lebih baik. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi
ini. semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Salatiga, 29 April 2020
Penulis
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL JUDUL i
LEMBAR BERLOGO ii
HALAMAN SAMPUL DALAM iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN v
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN vi
MOTTO vii
PERSEMBAHAN viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
ABSTRAK xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Penelitian 6
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 7
E. Penegasan Istilah 7
F. Sistematika Penulisan 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA 12
A. Landasan Teori 12
xii
1. Implementasi Manajemen Qolbu 12
a. Definisi Manajemen Qolbu 12
b. Dasar-dasar Manajemen Qolbu 20
c. Fungsi dan Tahapan Manajemen Qolbu 22
2. Pembentukan Akhlak Santri 25
a. Definisi Akhlak Santri 25
b. Macam-macam Akhlak 28
c. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Santri 34
B. Kajian Penelitian Terdahulu 39
BAB III METODE PENELITIAN 41
A. Jenis Penelitian 41
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian 42
C. Sumber Data 42
D. Prosedur Pengumpulan Data 43
E. Analisis Data 44
F. Pengecekan Keabsahan Data 45
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA 47
A. Paparan Data 47
1. Profil Pondok Pesantren An-Nur 47
a. Sejarah Singkat Berdirinya Pondok Pesantren An-Nur 47
b. Letak Geografis Pondok Pesantren An-Nur 48
c. Visi Dan Misi 48
d. Keadaan Asatidz/Asatidzah 49
e. Tata Tertib 51
f. Sarana Dan Prasarana 53
g. Mekanisme Pengelolaan Pesantren 54
h. Latar Belakang Keberadaan Santri 56
i. Kelembagaan 57
j. Kegiatan Secara Umum Yang Wajib Diikuti Oleh Santri 59
xiii
k. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren 62
2. Konsep Manajemen Qolbu di Pondok Pesantren An-Nur 63
3. Implementasi Manajemen Qolbu dalam Membentuk Akhlak
Santri di Pondok Pesantren An-Nur 65
4. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Manajemen
Qolbu di Pondok Pesantren An-Nur 78
B. Analisis Data 81
1. Konsep Manajemen Qolbu di Pondok Pesantren An-Nur 81
2. Implementasi Manajemen Qolbu dalam Membentuk Akhlak
Santri di Pondok Pesantren An-Nur 83
3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Manajemen
Qolbu di Pondok Pesantren An-Nur 86
BAB V PENUTUP 88
A. Kesimpulan 88
B. Saran 89
DAFTAR PUSTAKA 90
LAMPIRAN 94
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Daftar Nama Pengajar Pondok Pesantren An-Nur 49
Tabel 4.2 Daftar Nama Pengajar Madrasah Diniyah An-Nur 50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Instrumen Wawancara 94
Lampiran 2 Transkip Wawancara Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 95
Lampiran 3 Transkip Wawancara Kesantrian Pondok Pesantren An-Nur 98
Lampiran 4 Transkip Wawancara Ketua Madin Pondok Pesantren An-Nur 100
Lampiran 5 Transkip Wawancara Asatidz Pondok Pesantren An-Nur 103
Lampiran 6 Transkrip Wawancara Pengurus Pondok Pesantren An-Nur 105
Lampiran 7 Transkrip Wawancara Pengurus Pondok Pesantren An-Nur 108
Lampiran 8 Transkip Wawancara Santri Pondok Pesantren An-Nur 109
Lampiran 9 Transkip Wawancara Santri Pondok Pesantren An-Nur 111
Lampiran 10 Transkip Wawancara Santri Pondok Pesantren An-Nur 113
Lampiran 11 Dokumentasi Foto Penelitian 115
Lampiran 12 Dokumen Data Pengajar Pondok Pesantren An-Nur 121
Lampiran 13 Dokumen Jadwal Pelajaran Pondok Pesantren An-Nur 122
Lampiran 14 Dokumen Jadwal Pelajaran Madin An-Nur 123
Lampiran 15 Dokumen Tata Tertib Pondok Pesantren An-Nur 124
Lampiran 16 Dokumen Struktur Kepengurusan Santri Putra 125
Lampiran 17 Dokumen Struktur Kepengurusan Santri Putri 126
Lampiran 18 Surat Izin Penelitian 127
Lampiran 19 Surat Keterangan Penelitian 128
Lampiran 20 Laporan Satuan Kredit Kegiatan 129
Lampiran 21 Surat Penunjukkan Pembimbing Skripsi 130
Lampiran 22 Lembar konsultasi 131
Lampiran 23 Daftar Riwayat Hidup Penulis 133
xvi
ABSTRAK
‘Aziza, Fatma Kholifatu Nur. 2020. Implementasi Manajemen Qolbu Dalam
Membentuk Akhlak Santri Di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa
Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun 2020. Skripsi,
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Dr. Ahmad
Sultoni, M.Pd.
Kata Kunci; Manajemen Qolbu, Akhlak Santri
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Konsep manajemen qolbu di
Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa Candirejo Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang. (2) Implementasi manajemen qolbu dalam membentuk
akhlak santri di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa Candirejo
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. (3) Faktor pendukung dan penghambat
pelaksanaan manajemen qolbu di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa
Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat
deskriptif kualitatif. Sumber data di dalam penelitian ini terbagi atas dua bagian,
yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data ditentukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling, dengan menunjuk langsung informan
yang dapat memberikan informasi yang valid dan akurat menyangkut topik yang
sedang diteliti. Sedangkan metode pengumpulan data atau instrumen penelitian
menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
Hasil penelitian ini adalah (1) konsep manajemen qolbu di Pondok
Pesantren An-Nur Klego Candirejo menggunakan tiga langkah pencapaian yaitu
takhalli, tahalli, dan tajalli. Mengeluarkan sifat tercela kemudian memasukkan
sifat terpuji baru dapat merasakan kehadiran atau keagungan Allah. (2)
implementasi manajemen qolbu dalam membentuk akhlak santri di Pondok
Pesantren An-Nur dengan melakukan beberapa upaya seperti; memberikan
keteladanan, melalui pembiasaan, pembelajaran kitab akhlak, kegiatan
keagamaan, adanya tata tertib pondok dan pemberlakuan ta’zir. Dari keenam
upaya tersebut inti dari pembentukan akhlak santri adalah manajemen qolbu,
dengan melakukan kegiatan amaliah yang wajib diikuti oleh santri yaitu: sholat
berjamaah, membaca asmaul husna, membaca Al-Qur’an, mujahadah, dzikir Ratib
Al-Haddad, dzibaan, berjanji dan ziarah kubur, sedangkan kegiatan yang
dilakukan santri secara individu dengan sholat malam, sholat dhuha, puasa senin
kamis, puasa dawud, dan puasa ngrowot. (3) faktor pendukung pelaksanaan
manajemen qolbu diantaranya; lingkungan pesantren yang agamis, adanya
kepercayaan wali santri terhadap Pondok Pesantren An-Nur, dan adanya
kerjasama antara guru dengan santri. sedangkan faktor penghambat pelaksanaan
manajemen qolbu diantaranya; pemanfaatan tehnologi yang tidak tepat,
kurangnya kesadaran santri dan dari dirinya sendiri.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi sekarang ini ditandai dengan adanya kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan dan tehnologi (IPTEK). Berkembangnya IPTEK yang
mengagumkan membuat manusia tertarik untuk ikut berkecimpung dan
tenggelam di dalamnya. Manusia dihadapkan pada perubahan yang begitu
cepat dalam berbagai dimensi kehidupan, terbawa oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang setiap saat menawarkan sesuatu yang lebih
baru, dan lebih canggih. Setiap orang berusaha memanfaatkan kemajuan
IPTEK tersebut, tetapi banyak pula di antara mereka yang tak mampu
memilih dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua itu
dikemas dalam kemasan yang istimewa, yang sulit diketahui isinya dari luar
(Daradjat,1995:51). Kemajuan IPTEK yang ditandai dengan modernisasi
disamping membawa dampak positif juga membawa dampak negatif.
Dampak positifnya modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan
dalam kehidupan manusia, sementara dampak negatif modernisasi telah
menimbulkan krisis makna hidup, kehampaan spiritual dan tersingkirnya
agama dalam kehidupan manusia (Maksun, 2003:69).
Dampak negatif lain yang paling berbahaya ialah dengan adanya
kecenderungan menganggap bahwa sumber kebahagiaan hidup satu-satunya
adalah faktor materi. Manusia terlampau disibukkan dalam mengejar materi,
sehingga menghiraukan ajaran agama yang sebenarnya berfungsi untuk
memelihara dan mengendalikan akhlak. Apabila manusia meninggalkan
ajaran agama, maka akan mudah terjerumus kedalam berbagai tindakan
penyelewengan, sehingga kerusakan akhlak menjadi akibat yang tidak dapat
dihindarkan (Amin,2016:78). Menurut Ki Bagus Hadikusumo, dengan
agamalah krisis akhlak dapat diatasi. Seseorang yang senantiasa berpedoman
pada agama tidak akan menjalankan suatu kebijakan yang hanya akan
menimbulkan krisis akhlak. Jadi, salah satu kunci untuk memajukan tujuan
2
Islam dalam suatu masyarakat Islam adalah akhlak yang baik (Alamsyah,
2017:66).
Di tengah masalah-masalah tersebut, perlu adanya solusi untuk
memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran agama
Islam, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan kembali kepada
ajaran Al-Qur’an melalui pendidikan akhlak yang berbasis manajemen qolbu.
Bagaimana manusia itu bisa mengontrol dan mengatur dirinya sendiri, dengan
hati sebagai rajanya dan penentu sebuah kebajikan. Manajemen qolbu
merupakan proses menata hati. Artinya, menjaga niat agar selalu terjaga lurus
dan ikhlas, sehingga setiap perilaku yang muncul dapat terkendali dan dapat
dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat (Gymnastiar,
2002:25).
Dalam hal ini qolbu mempunyai kedudukan yang sentral bagi seluruh
gerak manusia. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia bersumber dari
bisikan hati yang dicerna oleh akal kemudian direalisasikan melalui
perbuatan. Bisikan hati memang tidak selamanya benar. Terkadang ia
merupakan bisikan malaikat dan kadang merupakan bisikan syaitan atau
bisikan nafsu. Bisikan yang datang dari syaitan, biasanya mengajak manusia
untuk memenuhi panggilan syahwat, ambisi, keinginan nafsu dan berbagai
ragamnya. Bisikan yang datang dari nafsu biasanya enggan berhenti sebelum
keinginannya terpenuhi, dan tidak akan pernah puas kecuali meraih apa yang
diinginkannya. Sementara itu, bisikan yang datang dari malaikat merupakan
ilham yang dicampakkan Tuhan guna menerangi jalan manusia. Biasanya
manusia ragu-ragu dalam melakukan suatu perbuatan yang bertentangan
dengan agama disinilah keimanan manusia itu diuji.
Rasulullah Saw bersabda :
َسُد ُكلُُّه َأََلَوِهَي َسُد ُكلُُّه َوِإَذا َفَسَدتج َفَسَد اْلَج َغًة ِإَذاَصَلَحتج َصَلَح اْلَج َسِد ُمضج ِانَّ ِِف اْلَج
البخاري ومسلم( الجَقلجُب .)رواه
3
“Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika baik
tubuh itu maka akan baiklah semuanya, dan jika rusak maka akan rusaklah
seluruh tubuh itu, ketahuilah bahwa gumpalan daging itu adalah qolbu (hati)
.” (HR. Bukhari Muslim) (Nofiar, 2015:60).
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw tersebut, menunjukkan betapa
pentingnya hati untuk dibina demi baiknya kondisi seseorang terutama
akhlaknya. Perlu diketahui bahwa orang yang berakhlak pastilah berilmu,
tetapi orang yang berilmu belum tentu berakhlak. Fenomena yang terjadi di
masyarakat saat ini, banyak orang yang memiliki banyak ilmu tetapi dia tidak
bisa menghargai sesamanya. Artinya, akhlak itu sangatlah penting untuk
dimiliki setiap individu sehingga memerlukan upaya untuk membentuk
akhlak yang baik. Jika hati dibina dengan baik maka akhlak berupa tingkah
laku, tutur kata, maupun kecerdasannya akan baik, sehingga akan
berimplikasi terhadap meningkatnya kualitas diri seseorang dan lahir
manusia-manusia yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh pendidikan di
Indonesia.
Berbicara mengenai pendidikan Islam di Indonesia, tidak mungkin
terlepas dari pesantren. Menurut Abd A’la, pesantren ditantang untuk
menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mencari solusi
yang benar-benar mencerahkan sehingga dapat menumbuhkembangkan kaum
santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gampang menatap globalisasi
dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya. Pesantren diyakini
dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang menyadari tentang
persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian
dan keadaban (A’la, 2006:8-9).
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
yang bersifat nonformal dan religius. Pada awal didirikannya, pesantren tidak
semata-mata ditujukan untuk memperkaya pikiran santri tetapi meningkatkan
akhlak, memotivasi, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan tingkah laku dan bermoral, membiasakan untuk hidup sederhana
dan memaknai hidup serta mempersiapkan calon penerus bangsa yang unggul
4
dan bermartabat. Dalam pelaksanaannya, pendidikan pesantren melakukan
proses pembinaan pengetahuan, sikap dan kecakapan yang menyangkut segi
keagamaan. Tujuan intinya yaitu mengusahakan pembentukan manusia
berbudi luhur dengan pengamalan-pengamalan yang istiqomah. Seorang
santri di pesantren juga harus mengemban fungsi untuk mencari kebenaran
mutlak, sebagaimana kaum sufi mengembara untuk mendapatkan pendidikan
tasawuf.
Menurut Abdul Qadir seperti yang dikutip Mihmidaty Ya’cub,
pendidikan tasawuf mengandung upaya secara terus menerus agar manusia
dapat mengharmoniskan antara raga dan jiwa, merasakan makna dari
kebersihan hati dan keluhuran pekerti dan mencapai ma’rifat Allah
(Mengenal Allah Swt) dengan seyakin-yakinnya, sehingga hatinya dihiasi
cinta, ketentraman batin dan merasa dekat dengan Allah Swt karena
senantiasa dzikir kepada-Nya (Mihmidaty,2013:12). Karena senantiasa
mengistiqomahkan amalan yang berhubungan dengan Allah Swt. Di sinilah
peran pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan
pembentukan akhlak individu. Proses pendidikan di pondok pesantren
diharapkan mampu melahirkan generasi yang bertakwa dan berkarakter
unggul sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia.
Pondok Pesantren An-Nur menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam
yang ada di Kabupaten Semarang. Dalam membentuk akhlak santrinya
pesantren ini membekali, melatih dan juga mempersiapkan santrinya dengan
berbagai kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan terstruktur. Berbagai
kegiatan tersebut tidak serta merta diberlakukan oleh semua santri karena
sifatnya fleksibel dan tidak memaksa. Artinya kegiatan tersebut dilakukan
atas kesadaran pribadi tanpa pemberian ijazah dari guru atau Kyai dengan
dasar pengelolaan hati sebagai kendali utamanya. Biasanya orang Jawa
menyebut hati sebagai manah di mana di dalam manah tersebut tidak ada
seorang pun yang mengetahui isinya kecuali yang memiliki manah dan yang
menciptakan manah tersebut. Bahkan dalam pintu masuk pendopo atau
tempat ngajinya para santri di Pondok Pesantren An-Nur terpampang secara
5
jelas dengan coretan warna merah menyala yang bertuliskan Lembah Manah
artinya rendah hati, menerima, dan mengalah. Bahkan nama Lembah Manah
menjadi populer setelah dijadikan sebagai nama cucu presiden Indonesia Joko
Widodo. Gibran Rakabuming Raka mengharapkan putranya menjadi putra
yang rendah hati, lembut, luwes, dan murah hati sesuai dengan namanya.
Realita di Pondok Pesantren An-Nur, mayoritas santrinya belajar di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Artinya, mereka nyantri di
pondok pesantren sambil belajar di pendidikan umum. Latar belakang
masing-masing santri pun berbeda-beda. Ada yang berasal dari sekolah
formal non agama seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sehingga
banyak dari mereka yang belum pernah mengalami atau merasakan hidup di
sebuah pondok pesantren. Sebaliknya, ada yang sudah pernah nyantri atau
mondok di pondok pesantren yang kemungkinan besar mereka sudah pernah
diajari tentang ilmu kepesantrenan dan memahami ilmu agama. Tetapi dari
latar belakang tersebut, belum menjamin seorang santri dapat
mengaplikasikannya dalam perbuatan dan tingkah laku yang mencerminkan
dirinya pernah nyantri di sebuah pondok pesantren. Untuk itu, pesantren
dijadikan harapan setiap orang tua untuk mengawasi anaknya serta
memberikan berbagai pendidikan terkait dengan ilmu pengetahuan sosial dan
ilmu pengetahuan agama.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa titik sentral perbuatan
manusia terletak pada hati. Oleh sebab itu, alangkah baiknya jika seluruh
aktivitas pendidikan didasarkan pada hati yang bersih. Karena dengan hati
yang bersih diharapkan akan mampu mencetak generasi muda yang berakhlak
mulia. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berupaya untuk melakukan
kajian terhadap pelaksanaan manajemen qolbu sebagai salah satu cara untuk
membentuk akhlak santri di pondok pesantren. Penelitian ini dilakukan di
Pondok Pesantren An-Nur dengan alasan karena pondok pesantren ini
memiliki beberapa kegiatan pesantren dalam berhubungan dengan Allah Swt
dan berhubungan dengan sesama manusia. Pondok Pesantren An-Nur
mengutamakan pembinaan hati yang mana ada yang dilakukan secara
6
individu dan dilakukan secara bersama-sama. Salah satu contohnya
pembiasaan membaca dzikir Ratib Al-Haddad yang dilakukan setiap satu
minggu sekali di dalam masjid, membaca asmaul khusna setelah sholat
maghrib, membaca surat Al-Waqi’ah setelah sholat subuh dan lain
sebagainya. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
dengan judul “Implementasi Manajemen Qolbu Dalam Membentuk
Akhlak Santri Di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego, Desa
Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun 2020”
B. Fokus Penelitian
Mengacu pada latar belakang masalah secara definitif masalah yang
penulis teliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep manajemen qolbu di Pondok Pesantren An-Nur Dusun
Klego Desa Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ?
2. Bagaimana implementasi manajemen qolbu dalam membentuk akhlak
santri di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa Candirejo
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan manajemen
qolbu di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa Candirejo
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai dalam penulisan skripsi ini, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep manajemen qolbu di Pondok Pesantren An-Nur
Dusun Klego Desa Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui implementasi manajemen qolbu dalam membentuk
akhlak santri di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa Candirejo
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
manajemen qolbu di Pondok Pesantren An-Nur Dusun Klego Desa
Candirejo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang.
7
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau
penjelas tentang manajemen qolbu yang dilakukan melalui suatu proses yang
berhubungan dengan Allah Swt dan di implementasikan dalam setiap
individu dalam kehidupannya serta dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan antara lain
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan
berupa hasil penelitian ilmiah sebagai bahan kajian dunia pendidikan
Islam.
b. Memberikan sumbangan pemikiran sebagai solusi atas masalah yang
dihadapi lembaga pendidikan Islam khususnya pondok pesantren.
c. Dapat menambah khasanah temuan penelitian khususnya pada fakultas
tarbiyah tentang manajemen qolbu dalam membentuk akhlak santri.
2. Manfaat Praktis
a. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dari pihak pengasuh, asatidz,
dan pengurus lebih memperhatikan santri Pondok Pesantren An-Nur
dalam bertingkah laku maupun bertutur kata.
b. Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menjadi motivasi bagi kita
semua khususnya santri Pondok Pesantren An-Nur untuk meningkatkan
dan memperbaiki akhlak masing-masing.
c. Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menjadikan masukan bagi
pengasuh, asatidz dan pengurus agar lebih memperhatikan akan
pentingnya manajemen qolbu dalam membentuk akhlak santri.
E. Penegasan Istilah
Untuk mengetahui secara jelas dan untuk menghindari kesalahpahaman
pengertian terhadap judul skripsi yang penulis bahas, maka akan penulis
sampaikan batasan-batasan istilah yang terdapat pada judul, yaitu:
8
1. Implementasi Manajemen Qolbu.
Implementasi merupakan suatu proses penerapan atau pelaksanaan
ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis
sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan,
keterampilan, nilai, maupun sikap (Mulyasa, 2010:178). Jadi,
implementasi bisa diartikan sebagai suatu tindakan untuk melaksanakan
atau menerapkan sebuah ide atau gagasan sehingga dapat memberikan
efek atau dampak tertentu.
Secara etimologis, istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris
manage yang berarti memegang, mengurus, mengelola (Djamaries,
2008:206). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) manajemen
adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran
(Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007:81). Manajemen
mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh individu-
induividu yang menyumbang upayanya yang terbaik melalui tindakan-
tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut meliputi
pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara
bagaimana melakukannya, memahami bagaimana dan mengatur dari
efektifitas dari usaha-usahanya (Hasanudin, 2005:3).
Ungkapan qolbu sering disebut dengan hati. Secara bahasa qolbu
berasal dari bahasa Arab, yang berakar pada kata kerja qolaba yang
artinya membalik, berpotensi untuk berbolak-balik, yaitu di suatu saat
merasa senang, di saat yang lain merasa susah, suatu kali mau menerima
dan suatu kali menolak. Menurut istilah qolbu berarti sesuatu yang
berbolak-balik atau sesuatu yang lebih. Menurut M. Quraish Shihab, hati
tidak konsisten, kecuali yang mendapat bimbingan cahaya ilahi (Shihab,
2004:3).
Sedangkan implementasi manajemen qolbu dalam penelitian ini
adalah tazkiyatul qolb atau pembersihan hati, yaitu segala usaha dan
upaya yang dilakukan oleh individu untuk membersihkan hatinya dari
segala macam hal yang dapat mengotori hati sehingga menghasilkan
9
perbuatan baik yang berdampak bagi diri sendiri dan orang lain di
sekitarnya.
2. Akhlak Santri
Akhlak adalah rangkaian amal kebajikan yang diharapkan akan
mencukupi untuk menjadi bekal ke negeri akhirat nanti (Gymnastiar,
2002:6). Menurut Al-Ghozali, akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada
seseorang, yang mendorong untuk melakukan suatu perbuatan yang
mudah tanpa membutuhkan sebuah pemikiran (Aziz,2004:118). Lain
halnya menurut Ibn Miskawaih yang mengatakan bahwa akhlak tidak
bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan secara
bertahap, diantaranya melalui pendidikan di pondok pesantren.
Sedangkan santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar
mendalami agama di pesantren. mereka belajar tanpa terikat waktu untuk
belajar, sebab mereka mengutamakan beribadah. Para santri tinggal
dalam pondok yang menyerupai asrama, dan mereka disana memasak
dan mencuci pakaiannya sendiri (Suprayogo,2009:10-11). Santri adalah
orang yang menuntut ilmu agama di pesantren. pada perkembangan
selanjutnya santri juga memperdalam ilmu-ilmu umum yang telah
diprogramkan oleh pesantren yang telah mengalami modernisasi (Zuhriy,
2013:34).
Dari paparan di atas, penulis mendefinisikan akhlak santri sebagai
suatu proses perbuatan yang menjadi kebiasaan seorang santri. dengan
adanya manajemen qolbu seperti yang penulis paparkan di atas
diharapkan dapat merubah akhlak santri yang semula tidak baik menjadi
baik, yang semula belum melakukan pengamalan menjadi termotivasi
untuk melakukannya. Karena akhlak santri terbentuk dari proses
keterpaksaan yang membuahkan kebiasaan dalam diri santri. Akhlak
santri yang terbentuk melalui berbagai kebaikan dapat berdampak bagi
dirinya sendiri terlebih bagi orang lain.
10
3. Pondok Pesantren
Pondok merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional
dimana para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
seseorang atau guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai. Sedangkan
pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan “pe” dan akhiran “an”
yang berarti tempat tinggal para santri (Dhofier,1994:18). Menurut
Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari (Mastuhu, 1994:55). Dalam (Hamid,
2017:47-48) pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem
asrama atau pondok dimana kyai sebagai pusat perhatian utama dan
masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwai dan pengajaran agama
Islam itu berasa di bawah bimbingan kyai yang diikuti oleh para santri.
Marwan Sarijo juga mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama
Islam dengan sistem bandongan, sorogan, dan wetonan. Para santri
disediakan pondok yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi
kriteria sebagai pendidikan non formal, dan menyelenggarakan
pendidikan formal berbentuk madrasah. Bahkan, pesantren juga
menyediakan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka
kebutuhan masyarakat (Junaedi, 2005:96).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam dimana terdapat santri yang tinggal atau menetap di
asrama dengan tujuan untuk mempelajari, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan moral keagamaan yang
digunakan sebagai pedoman sehari-hari.
Sedangkan yang dimaksud peneliti disini yaitu Pondok Pesantren
An-Nur dimana sistem pengajarannya masih mengedapankan sistem
pengajaran salafi atau pengajaran kitab kuning dan tetap membiasakan
santrinya untuk membaca Al-Qur’an setiap hari. Disamping itu, santri di
11
Pondok Pesantren An-Nur melakukan berbagai pengamalan yang
dilakukan guna untuk mengelola hatinya agar tidak terikat oleh
kehidupan dunia dan membekali dirinya untuk kehidupan di akhirat.
Yaitu dengan manajemen qolbu, dengan adanya manajemen qolbu atau
pembersihan hati melalui berbagai kegiatan keagamaan yang ada di
Pondok Pesantren An-Nur diharapkan para santri dapat mengatur sikap,
perilaku, tutur kata bahkan pikirannya dalam realita kesehariannya.
Sehingga dari sinilah eksistensi pesantren terwujudkan untuk membentuk
generasi yang berakhlakul karimah.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini penulis susun dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bagian awal ini terdiri dari: sampul luar, lembar berlogo IAIN, sampul
dalam, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan
keaslian tulisan, motto dan persembahan, abstrak, kata pengantar, daftar
isi, daftar tabel, lampiran-lampiran.
2. Bagian inti ini terdiri dari beberapa bab, yaitu:
Bab I : Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab II : Kajian Pustaka, memuat tentang teori implementasi manajemen
qolbu, teori tentang akhlak santri dan kajian penelitian terdahulu.
Bab III : Metode Penelitian, memuat tentang jenis penelitian, lokasi dan
waktu penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data,
dan pengecekan keabsahan data.
Bab IV : Paparan dan Analisis Data, mencakup tentang paparan data
hasil penelitian, meliputi deskripsi data umum dan khusus, dan analisis
hasil penelitian, yang meliputi implementasi manajemen qalbu,
implementasi manajemen qolbu dalam membentuk akhlak santri, serta
faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan manajemen qalbu.
Bab V : Penutup, memuat tentang kesimpulan, saran.
3. Bagian akhir terdiri dari: daftar pustaka, lampiran, daftar riwayat hidup.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Implementasi Manajemen Qolbu
a. Definisi Manajemen Qolbu
Manajemen qolbu di Indonesia dipopulerkan oleh salah seorang
pendakwah terkenal yakni Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal
dengan sebutan Aa Gym. Manajemen qolbu terdiri dari dua kata yaitu,
manajemen dan qolbu. Istilah manajemen mengandung makna yang luas,
yaitu manajemen sebagai suatu sistem, sebagai proses dan sebagai fungsi.
Menurut G.R Terry manajemen merupakan sebuah kegiatan, pelaksananya
disebut manajer dan proses pelaksanaannya disebut manajemen.
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Irenius dan Ratna, merumuskan
fungsi manajemen yang terdiri dari Planning, Organizing, Actuating, dan
Controlling.
Planning adalah proses mendefinisikan tujuan organisasi, membuat
strategi untuk mencapai tujuan itu dan mengembangkan rencana aktivitas
kerja dalam sebuah organisasi. Perencanaan merupakan proses yang
penting dari segala bentuk fungsi manajemen, karena tanpa adanya
perencanaan semua fungsi-fungsi lainnya tidak akan dapat berjalan
Organizing adalah fungsi kedua dalam manajemen. Organizing adalah
proses kegiatan dalam menyusun struktur organisasi sesuai dengan tujuan-
tujuan, sumber-sumber dan lingkungannya. Dengan demikian, hasil dari
pengorganisasian itu berupa struktur organisasi. Setiap tujuan di sebuah
organisasi pasti ingin dicapai, dan untuk meraih hal tersebut
pengorganisasian sangat berperan penting. Di sinilah letak salah satu
prinsip manajemen yang membagi setiap tugas dan tanggung jawab pada
semua anggota organisasi. Actuating atau pelaksanaan adalah suatu
tindakan yang mengusahakan agar semua perencanaan dan tujuan bisa
terwujud dengan baik seperti yang diharapkan. Controlling atau
pengawasan adalah proses pengamatan, penentuan standar yang akan
13
diwujudkan, menilai kinerja pelaksanaan, dan menciptakan kegiatan yang
dinamis dan terwujud secara efektif dan efisien. (Irenus dan Ratna, 2013:
245-246).
Manajemen mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan
oleh individu-individu yang menyumbang upayanya yang terbaik melalui
tindakan-tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut meliputi
pengetahuan tentang apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara
bagaimana melakukannya, memahami bagaimana dan mengatur dari
efektifitas dari usaha-usahanya (Hasanudin,2005:3). Manajemen juga
berarti mengatur, mengelola, mengarahkan sesuatu untuk mencapai suatu
tujuan yang diinginkan (Kristiawan, dkk,2017:1).
Sedangkan pengertian qolbu atau hati menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah inti organ badan yang berwarna kemerah-
merahan di bagian atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari
makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu (Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2007:392). Makna hati secara umum
ialah sesuatu yang suka berbolak-balik, kembali, pergi maju mundur,
berubah, naik turun (Munawir,1997:1145). Hati mempunyai sifat yang
selalu berubah karena hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan,
kebenaran dan kesalahan, hati adalah tempat dimana Tuhan
mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia (Al-Kuwarasani,
2015:23).
Qolbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran
ilahiyah, yaitu ruh. Sebagaimana sejak di alam ruh, kita telah melakukan
kesaksian kebenaran, dalam firman-Nya:
يَّتَُهْم َوأَْشَهدَهُْم َعلَى أَنفُِسِهْم َوإِذْ أََخذَ َربَُّك ِمن بَنِي آدََم ِمن ُظُهوِرِهْم ذُر ِ
واْ يَْوَم اْلِقيَاَمِة إِنَّا كُنَّا َعْن َهذَا َغافِِليَن أَلَْسَت بَِرب ُِكْم قَالُواْ بَلَى َشِهدْنَا أَن تَقُولُ
﴿١٧٢﴾
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap mereka
14
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab:
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)". (Q.S. Al-A’raaf:172).
Qolbu merupakan lokus atau tempat di dalam wahana jiwa manusia
yang merupakan titik sentral atau awal segala awal yang menggerakkan
perbuatan manusia yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan.
Qolbu juga merupakan saghafa atau hamparan yang menerima suara hati
yang berasal dari ruh dan sering pula disebut dengan nurani yang
menerangi atau memberikan arah pada manusia untuk bertindak dan
bersikap berdasarkan keyakinan atau prinsip yang dimilikinya (Tasmara,
2001:46).
Menurut Al-Ghazali, perilaku manusia ditentukan oleh qolbu. Qolbu
adalah raja yang mengatur dan mengarahkan semua anggota badan, baik
akal, nafs atau jiwa, mata, telinga, dan seluruh tubuh manusia. Qolbu
menjadi pemimpin terhadap jiwa, dan seluruh anggota badan taat pada
perintah dan larangan pemimpinnya. Sebagai raja qolbu memiliki dua
tentara yakni bashar (semua anggota badan), dan bashiroh (sifat dasar
hakiki qolbu). Pernyataan ini menggambarkan bahwa qolbu adalah
substansi yang menjadi kendali perilaku, baik atau buruknya dengan
demikian sangat tergantung pada kualitas qolbu. Sementara anggota badan
lainnya sebagai pasukan dan aktivitasnya menunggu komando dari qolbu
(suparlan, 2015:195).
Struktur perilaku menurut Al-Ghazali yang bertumpu pada dinamika
qolbu, qolbu berperan menengahi atau menyeimbangkan dua pertemuan
antara hawa nafsu yang mengarah pada fujur atau maksiat, dengan ruh
yang mengarahkan manusia pada taqwa. Bagaikan seorang raja yang
menjadi pusat pemimpin qolbu akan menengahi kedua tentaranya yang
berbeda watak dan perilakunya (suparlan, 2015:196). Jadi, qolbu sebagai
sentral yang akan mengatur dan menentukan perilaku manusia.
15
Qolbu adalah sentral penentu baik buruknya diri manusia. Pada area
qolbu terdapat empat lapisan. Lapisan pertama adalah shadar, yaitu suatu
tempat dimana terjadinya tarik-menarik antara kutub kebaikan dan kutub
kefasikan. Lapisan kedua adalah qolbu, yaitu tempat memancarnya cahaya
imaniah. Lapisan ketiga adalah fuad, yaitu wilayah qolbu yang lebih dalam
tempat dimana terpancarnya cahaya ma’rifah. Sedangkan lapisan yang
paling dalam adalah lubb, merupakan pusat kekuatan spiritual manusia
karena disinilah tersimpan kekuatan ilahiyah (spiritual power). Apabila
kutub kebaikan lebih kuat daripada lapisan pertama (shadar) maka praktis
qolbu (cahaya imaniyah) dan fuad (cahaya ma’rifah) semakin bersinar. Ini
mengindikasikan bahwa qolbu manusia sehat (qolbu salim). Qolbu yang
sehat menyebabkan cara berpikir atau akal manusia baik dan secara
otomatis perilakunya menjadi terarah dan terkontrol dengan baik (Razak,
dkk, 2013:146).
Hati adalah penghulu segala anggota dan pemimpinnya. Padanya,
tersimpan semua asas kaidah, akhlak, budi pekerti, niat yang baik dan niat
yang buruk. Tidak ada kebahagiaan di dunia dan akherat, selagi hati belum
disucikan dan dibersihkan dari sifat-sifat buruk yang tercela, dan segera
menyemarakkan dan menghias dengan sifat-sifat yang baik dan terpuji
(Maaf,1996:71).
Segumpal daging yang bernama hati itu adalah bak permata berharga
bagi manusia, sedangkan puncaknya akan dapat mengenal Allah Swt dan
akan menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Beberapa
keistimewaan hati, atara lain:
1) Hati adalah tempat pertarungan antara hawa nafsu dan akal.
2) Hati banyak sekali menerima saran-saran atau usul-usul yang sukar
sekali untuk membendungnya.
3) Hati merupakan perhatian musuh, sebagai tempat ilham yang baik atau
sebagai tempat was-was kejelekan (yang berasal dari syetan).
4) Penyakit hati seringkali bergejolak dan lebih cepat gemuruhnya
daripada air panas yang sedang mendidih.
16
5) Mengobati penyakit hati itu sulit, sehingga diperlukan banyak perhatian
dan latihan-latihan untuk dapat menyembuhkannya. (Maaf, 1996:74-75)
Qolbu bisa membawa manfaat, bisa juga membawa mudharat bagi
seseorang, itu semua tergantung bagaimana cara mengelola qolbu agar
dapat memberi manfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat atau malah
memberi mudharat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Berikut adalah
jenis-jenis qolbu menurut Ibnu Qayyim:
1) Qolbu yang Sehat
Qolbu yang sehat ialah qolbu yang selamat pada hari kiamat kelak.
Allah Swt berfirman:
َ بِقَْلٍب َسِليٍم ﴿٨٨يَْوَم ََل يَنفَُع َماٌل َوََل بَنُوَن ﴿ ﴾٨٩﴾ إَِلَّ َمْن أَتَى َّللاَّ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat”. (Q.S.
Asy-Syuara’: 88-89).
Maksud kata salim pada ayat diatas ialah sehat. Al-Qur’an
menggunakan kata salim, karena itu merupakan kata sifat. Jadi, qolbu
yang sehat ialah qolbu yang memiliki ciri tersebut dan melekat
padanya. Pada umumnya qolbu yang sehat itu diartikan sebagai qolbu
yang bersih dari semua nafsu, segala yang syubhat dan larangan yang
bertentangan dengan perintah Allah Swt, bersih dari segala
penyembahan kepada selain Allah Swt, kecintaannya bersih untuk
Allah Swt, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, bertawakal
kepada-Nya, kembali kepada-Nya dengan ketaatan dan menjauhi
maksiat, merendahkan diri kepada-Nya, mengutamakan keridhaan-Nya
dalam segala situasi dan kondisi, dan menjauhkan diri dari segala yang
membuat-Nya murka. Inilah esensi ubudiyah yang hanya pantas
diberikan kepada Allah Swt.
Jadi, qolbu yang sehat ialah qolbu yang hanya untuk Allah Swt
tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika ia mencintai sesuatu atau seseorang, ia
mencintainya karena Allah. Begitu pun sebaliknya jika ia marah ia
marah karena Allah, jika ia memberi ia memberi karena Allah, dan jika
17
ia menolak ia pun menolak karena Allah. Bukan hanya itu saja, qolbu
yang sehat ialah yang tunduk dan berhukum hanya kepada Rasul-Nya.
Ia mengikat qolbunya dengan ikatan yang kokoh hanya meniru
Rasulullah dalam hal ucapan, perbuatan dan taqrirnya (Al-Jauziyah,
1999:17-18).
2) Qolbu yang Mati
Qolbu yang mati ialah qolbu yang tidak ada kehidupan didalamnya.
Ia tidak mengetahui perintah dan tidak menyembah Allah Swt. Ia selalu
mengikuti hawa nafsu dan kelezatan dirinya, walaupun itu semua akan
dibenci dan akan mendatangkan murka Allah, ia tidak memperdulikan
itu semua, yang terpenting baginya ialah ia mendapatkan semua bagian
dan apapun yang diinginkannya. Ia menghamba kepada selain Allah,
dalam cinta, benci, takut harap didasari oleh hawa nafsunya. Jika ia
membenci maka ia membenci karena hawa nafsunya, begitupun jika ia
mencintai ia lebih mengutamakan mencintai hawa nafsunya daripada
keridhaan Allah. Dalam qolbu yang mati, nafsu adalah pemimpinnya,
syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah supirnya, kelalaian
adalah kendaraannya.
Qolbu yang mati pikirannya akan terbuai dengan kesenangan
dunia, tujuannya ialah untuk dunia. Hawa nafsu dan kesenangan
sementara. Ia dipanggil kepada Allah dan ke akhirat dari tempat
kejauhan. Ia tidak selalu mengikuti setiap langkah dan keinginan
syaitan. Ia mengabaikan orang yang memberinya nasihat kebaikan.
Dunia terkadang membuatnya benci dan terkadang membuatnya
senang. Hawa nafsunya membuat ia hanya melihat dan mendengar
kebathilan. Qolbu yang mati ini adalah penyakit, harus dihindari karena
akan mendatangkan kehancuran untuk dirinya sendiri maupun orang
yang menjadi temannya.
3) Qolbu yang Sakit
Qolbu yang sakit yaitu qolbu yang hidup tetapi didalamnya
terdapat benih-benih penyakit yang menyebabkannya cacat. Qolbu yang
18
sakit bisa lebih dekat dengan keselamatan dan bisa lebih dekat pada
kehancuran, karena terkadang ia hidup sehat, dan terkadang dalam
keadaan tertentu ia berpenyakit. Kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan
tawakal kepada Allah ialah makanan yang dapat menghidupkan qolbu
yang sakit (Selamat,2005:53). Sebaliknya, yang lebih mengutamakan
keduniaan, tamak, dengki, cinta syahwat, takabur, dan ujub itu semua
merupakan racun yang dapat menghancurkan qolbu manusia, bahkan
bisa sampai mematikannya. Qolbu yang sakit pada dasarnya
mempunyai dua motivasi. Motivasi yang pertama mengajar kepada
Allah dan Rasul-Nya untuk mencari kebahagiaan abadi di akhirat,
motivasi yang kedua mengajak kepada kebahagiaan yang bersifat
sementara yaitu kebahagiaan dunia. Qolbu yang semacam ini akan
mengikuti pengaruh yang lebih kuat menguasai dirinya.
Manajemen qolbu ialah pengelolaan sekecil apapun potensi, setiap
keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari dalam diri
seseorang agar tersaring niatnya, sehingga melahirkan suatu kebaikan dan
kemuliaan serta penuh dengan manfaat, tidak hanya untuk kehidupan di
dunia tapi juga kehidupan di akhirat kelak (Gymnastiar,2004: xvii-xviii).
Lebih dari itu, dengan pengelolaan qolbu yang baik maka seseorang juga
dapat merespon segala bentuk tindakan dari luar dirinya, baik itu yang
positif maupun yang negatif secara seimbang. Respon yang terkelola
dengan sangat baik akan menimbulkan reaksi yang dikeluarkannya
menjadi positif dan jauh dari hal negatif.
Allah Swt berfirman:
َن اللَّْيِل إِنَّ اْلَحَسنَاِت يُذِْهْبَن َوأَقِِم الصَّالَةَ َطَرفَيِ النََّهاِر َوُزلَفاً م ِ
ـي ِئَاِت ذَِلَك ِذْكَرى ﴾١١٤ِللذَّاِكِريَن ﴿السَّ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Q.S. Huud:114)
19
Dalam ayat Al-Qur’an tersebut dijelaskan bahwasannya perbuatan
yang baik dapat menghapuskan dosa atau perbuatan yang buruk. Artinya
dengan melakukan pengamalan terkait dengan manajemen qolbu seperti
sholat malam, puasa, dan dzikir dapat menghapus dosa dari perbuatan
buruk yang pernah dilakukan sehingga menghasilkan perilaku atau akhlak
yang baik. Diibaratkan sebuah kopi yang keruh kemudian dituang air putih
secara terus menerus maka kopi tersebut akan berubah menjadi air putih
dan bersih, sama halnya dengan manusia apabila manusia itu berbuat
maksiat kemudian ia bertaubat dan mengisinya dengan kebaikan yang
dilakukan secara terus menerus maka akan menghapus dosa-dosa yang
dulu ia lakukan.
ْحَمِن ُمعَاِذْبِن َجبٍَل َرِضَي هللاُ َعْن أَبِْي ذَر ٍ ُجْندُِب بْ ِن ُجنَادَةَ َوأَبِي َعْبِد الرَّ
َعْنُهَما َعْن َرُسْوِل هللاِ َصلَّى هللاُ َعلَْيِه َوَسلََّم قَاَل:إِتَِّق هللاَ َحْيثَُما ُكْنَت َوأَتْبِعِ
ي ِئَةَ اْلَحَسنَةَ تَْمُحَها َوَخاِلِق النَّاِس بُِخلٍُق َحَسٍن. )رو اه الترمذي و قال: السَّ
حديث حسن وفي بعض النسخ:حسٌن صحيح(.
“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin
Jabar r.a, dari Rasulullah Saw bersabda: bertakwalah kepada Allah
dimana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebaikan maka
ia akan menghapusnya, dan pergauilah manusia dengan akhlak yang
baik”. (diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan berkata hadits Hasan, dalam
redaksi lain, hadits Shahih) (Ad-Dimasqi,2007:17).
Berdasarkan hadits tersebut, penulis mendefinisikan manajemen qolbu
sebagai upaya pengelolaan hati yang dilakukan individu untuk
membersihkan hati dari segala macam hal yang mengotori hati melalui
berbagai pembiasaan baik yang dapat menghasilkan perilaku atau akhlak
yang baik. Dengan begitu manusia dapat menjalankan kehidupannya
dengan melakukan berbagai kebaikan yang berdampak bagi dirinya di
dunia maupun di akhirat.
20
b. Dasar-dasar Manajemen Qolbu
Manajemen qolbu memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu niat dan
perbuatannya akan bernilai mulia yang dapat dipertanggungjawabkan di
dunia maupun di akhirat. Dalam pelaksanaannya, manajemen qolbu
memerlukan perpaduan antara ilmu dengan seni, yaitu bagaimana hati
dapat menyikapi persoalan hidup, ketika mendapatkan musibah, ketika
mendapatkan kenikmatan, ketika sedih, dan ketika ditimpa kesusahan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan proses pelatihan dan
pembiasaan yang sistematis dan berkesinambungan.
Adapun visi manajemen qolbu adalah menyatukan dimensi dzikir,
pikir, dan ikhtiar. Dimensi dzikir sangat menekankan keikhlasan dan
ketawakalan. Sedangkan dimensi pikir menegaskan pentingnya
rasionalitas dalam setiap pemikiran dan tindakan. Sementara dimensi
ikhtiar memfokuskan pada etos kerja yang tak mengenal lelah dan pasrah
(Asmaya,2003: 114-116).
Dzikir secara sederhana diartikan ingat. Ingat ada kalanya dengan hati
atau dengan lidah, ingat dari kelupaan dan ketidaklupaan, serta sikap
senantiasa menjaga sesuatu dalam ingatan. Istilah dzikir atau dzikr Allah
dalam Islam secara umum diartikan mengingat Allah atau menyebut asma
Allah. Allah Swt berfirman:
بََّك إِذَا نَِسيَت َوقُْل َعَسى أَن يَْهِديَِن َرب ِي ُ َواذُْكر رَّ إَِلَّ أَن يََشاَء َّللاَّ
﴾٢٤ِِلَْقَرَب ِمْن َهذَا َرَشداً ﴿
“kecuali (dengan menyebut): "Insya-Allah". Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku
akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya
daripada ini”. (Q.S. Al-Kahfi:24)
Ketika seseorang ingat kepada Allah berarti ia merasakan kehadiran
Allah dalam kehidupannya, dan sebaliknya jika ia lupa kepada Allah maka
hidupnya jauh dari-Nya. Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat di
jalan menuju Allah Swt (Ilham dan Yakin, 2004:64). Dzikir
21
dikelompokkan menjadi empat bentuk, Pertama, dzikir qabliyah atau
dzikir hati adalah merasakan kehadiran Allah. Jika hendak melakukan
suatu tindakan ataupun perbuatan maka ia meyakini dalam hatinya yang
paling dalam bahwa Allah senantiasa bersamanya. Sadar bahwa Allah Swt
selalu melihatnya. Oleh karena itu, setiap kita ingin melakukan suatu
perbuatan yang tidak baik, kita akan menyadari dan merasa bahwa setiap
perbuatan yang kita lakukan pastilah akan dibalas oleh Allah di akhirat
nanti. Jika kita sudah mencapai pada kesadaran ini, maka akan
menimbulkan dampak yang besar, yaitu hati akan selalu bersih, apapun
yang kita kerjakan menjadi ibadah, dan akan memperoleh nilai dalam
hidup yakni nilai keridhaan Allah Swt.
Kedua, dzikir aqliyah adalah kemampuan menangkap bahwa Allah di
balik setiap gerak alam semesta ini. menyadari bahwa semua gerak alam,
Allah lah yang menjadi sumber gerak dan yang menggerakkannya. Berarti
Allah senantiasa hadir dan terlibat dalam setiap peristiwa kejadian-
kejadian alam, setiap peristiwa sejarah dan dalam setiap tindakan yang kita
lakukan. Jadi, manusia harus saling menjaga baik menjaga diri sendiri atau
makhluk lain yang allah ciptakan. Seperti halnya menjaga alam. Saat ini,
manusia kurang menyadari betapa pentingnya menjaga alam untuk
kepentingan bersama. Dapat kita rasakan saat ini banyak terjadi kekacauan
yang terjadi mulai dari gunung meletus, banjir, tanah longsor bahkan virus
corona yang saat ini sedang terjadi, itu semua akibat ulah manusia sendiri.
Untuk itu, sebagai manusia haruslah menyadari dan intropeksi diri, dan
lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah serta berupaya sebaik
mungkin untuk menjaga ciptaan-Nya.
Ketiga, dzikir lisan adalah buah dzikir hati dan akal. Setelah
melakukan dzikir hati dan akal, barulah lisan berfungsi untuk senantiasa
berdzikir, memahasucikan dan mengagungkan Allah Swt. Keempat, dzikir
amaliyah adalah hasil akhir yang ingin dicapai dari dzikir, yaitu akhlak
yang mulia. Dalam berdzikir ini, sebenarnya merupakan proses
pembersihan hati dari berbagai hal yang mengotorinya. Karena setiap
22
lafadz dzikir punya kekuatan, setiap dzikir merupakan sebuah tali yang
dapat menghubungkan secara langsung dengan Allah Swt (Ilham dan
Yakin, 2004:35-54).
c. Fungsi dan Tahapan Manajemen Qolbu
Manajemen qolbu memiliki fungsi yang sangat penting, berperan
untuk mengelola hati manusia menuju kebaikan secara sistematis dan
terencana. Artinya, sekecil apapun potensi yang ada apabila dikelola
dengan tepat dapat terbaca, tergali, tertata dan berkembang secara optimal.
Misalnya, seseorang yang pandai mengelola waktu, baginya tak ada satu
detik pun yang disia-siakan, setiap waktu yang dia lalui akan jauh lebih
banyak untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat dibandingkan waktu
yang sama oleh mereka yang tidak pandai mengelolanya (Mumtahanah,
2011:132).
Dalam Islam, kesuksesan tidak hanya terlihat dari aspek duniawi,
tetapi juga aspek ukhrawi, barang siapa yang mengejar dunia selama masa
hidupnya, maka ia hanya akan mendapatkan dunianya saja. Lain halnya
dengan seseorang yang mengejar akhirat ia akan mendapatkan keduanya.
Kebahagiaan merupakan dambaan setiap manusia, tidak ada satu manusia
pun yang tidak ingin bahagia. Maka, banyak jalan yang ditempuhnya
untuk meraih suatu kebahagiaan. Di sinilah kunci dari ketenteraman hidup
manusia adalah dengan pengendalian hati, karena tidak ada penderitaan
dalam hidup ini, kecuali orang yang membuat dirinya sendiri menderita.
Tidak ada kesulitan sebesar dan seberat apapun di dunia ini, kecuali hasil
dari buah pikirannya sendiri.
Untuk menuju hati yang bersih maka dapat dipahami melalui empat
aktivitas atau tahapan primer, yaitu:
1. Membebaskan diri dari distorsi dan kompleks psikologi yang
menghalangi pembentukan individualitas yang utuh dan sehat.
2. Membebaskan diri menjadi budak daya tarik dunia.
3. Mengangkat tabir yang paling halus dan sifat mementingkan diri
sendiri.
23
4. Memusatkan diri dan semua atensia pada realitas cinta ilahi
(Helminski,2002:92-93).
Dari tahapan itu, manusia dapat memusatkan diri di hadapan realitas
ilahi, bukan hanya menjadi satu dengan diri sendiri tapi menyatu dengan
sumber kehidupan. Hati yang sadar akan bersedia menerima perbuatan
yang salah yang ada pada dirinya dan mau berbuat baik untuk
memperbaikinya, dan dengan ketenangan hati hidup akan bahagia, maka
dari itu, menurut Gulam ada beberapa macam perbuatan untuk sebuah
ketenangan hati, di antaranya: ikhlas, bijaksana, sopan santun, rendah hati,
sabar, tawakal, ridha, syukur, jujur, menepati janji, prasangka baik,
pemaaf, toleran, wara’, taqwa, zuhud dan semangat (Sultoni, 2006:23).
Dalam penjelasan lain menyebutkan setidaknya ada dua kunci utama
untuk menyelenggarakan manajemen qolbu. (Abdullah,2003:225).
Pertama, dimulai dengan membiasakan diri untuk senantiasa melakukan
pembersihan diri atau hati. Dalam hal ini, membersihkan diri dari
keburukan-keburukan termasuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
merupakan dinding tebal yang membatasi manusia dari kebaikan dan
membatasi manusia dengan Allah Swt. Untuk mendapatkan hati yang
bersih dan sehat, maka seseorang harus melakukan berbagai tindakan
untuk memperkuat kondisi hati. Sejumlah tindakan berdasarkan Al-Qur’an
dan As-Sunnah telah disampaikan oleh para ulama terdahulu sebagai
upaya yang bisa dilakukan terkait dengan hal tersebut, diantaranya:
a) Dengan memperkuat iman.
b) Memiliki sifat ikhlas dan ittiba’.
c) Dengan memperbanyak taubat.
d) Mengistiqomahkan membaca Al-Qur’an.
e) Memperbanyak dzikir agar terus mengingat Allah Swt.
Kedua, senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas atau
profesionalitas diri dalam hal apapun. Untuk meningkatkan kualitas diri,
ada berbagai hal yang bisa dilakukan salah satu diantaranya adalah dengan
membiasakan diri untuk melakukan perilaku-perilaku terpuji atau
24
menghiasi diri dengan akhlak yang baik. Proses pembiasan ini dilakukan
melalui sebuah proses yang dapat menghantarkan manusia menuju
gerbang kebahagiaan.
Dalam menjaga kestabilan fungsi hati dalam proses peningkatan
kualitas diri, terdapat tiga fase pendidikan dan seni menata hati, yakni
Takhalli, Tahalli, dan Tajalli (Nawawi,2014:213). Takhalli berarti
mengkosongkan atau membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan dari
kotoran penyakit hati yang merusak. Hal ini akan dapat dicapai dengan
jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan segala bentuk dan
berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat. Menurut kelompok sufi,
maksiat dibagi menjadi dua yaitu maksiat lahir dan bathin. Maksiat bathin
yang terdapat pada manusia tentu lebih berbahaya lagi, karena ia tidak
kelihatan dan kadang tidak disadari. Selama maksiat bathin belum bisa
dihilangkan, maksiat lahir juga tidak bisa dibersihkan karena maksiat
bathin menjadi penggerak dari maksiat lahir. Di antara jalan untuk dapat
mengkosongkan diri tersebut antara lain:
1) Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksanaannya tidak
sekedar apa yang terlihat secara lahiriyyah, namun lebih memahami
makna hakikinya.
2) Riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) yakni berjuang dan
berlatih membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu, dan
mengendalikan diri tidak menuruti keinginan hawa nafsunya tersebut.
3) Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sifat buruk dan mempunyai
daya tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikannya dengan
kebiasaan yang baik.
4) Muhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya
meninggalkan sifat-sifat jelek dengan memohon pertolongan Allah dari
godaan syaitan (Husnaini, tt: 65).
Tahalli berarti berhias. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan
sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap
gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban luar
25
maupun kewajiban dalam ketaatan lahir maupun bathin. Ketaatan lahir
maksudnya adalah kewajiban yang bersifat formal seperti, sholat, puasa,
zakat, haji, dan lain sebagainya. sedangkan ketaatan bathin seperti, iman,
ihsan dan lain sebagainya. beberapa cara untuk menghiasai diri untuk
mendekatkan diri pada Allah diantaranya dengan zuhud, qona’ah, sabar,
tawakal, mujahadah, rida, syukur yang masuk pada aktivitas bathin
(Husnaini, tt: 67)
Apabila seseorang bisa melalui dua tahap takhalli dan tahalli maka dia
akan mencapai tahap ketiga yakni tajalli, yang berarti lenyap atau
hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu
tersembunyi sehingga yang tampak hanya wajah Allah. Tajalli merupakan
tanda-tanda yang Allah tanamkan di dalam diri manusia supaya ia dapat
disaksikan (Husnaini, tt: 71).
Manusia memiliki potensi yang berupa jasad, akal dan qolbu. Jasad
atau fisik menjalankan sebuah keputusan yang merupakan produk akal
pikiran dimana mampu mengefektifkan tindakan seseorang, dan qolbu
membuat sesuatu yang diwujudkan fisik dan akal menjadi berharga.
Sehingga, dengan hal yang bersih maka potensi jasad dan akal akan
terkendali dengan baik.
2. Pembentukan Akhlak Santri
a. Definisi Akhlak Santri
Dalam mendefinisikan akhlak santri, penulis mengartikan kata
akhlak dan santri dengan merujuk pada berbagai sumber yang ada. Kata
akhlak berasal dari bahasa Arab, jama dari khuluqun, yang menurut bahasa
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat (Mustafa, 1997:19).
Akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan
tanpa memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu). Lafadz khuluq dan
khalq adalah dua sifat yang dapat dipakai bersamaan. Jika menggunakan
kata khalq maka yang dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika
menggunakan kata khuluq maka yang dimaksud adalah bentuk bathin.
26
Karena manusia tersusun dari jasad yang dapat disadari adanya dengan
kasat mata (bashar) dari ruh dan nafs yang dapat disadari adanya dengan
penglihatan mata hati (bashiroh). Sehingga kekuatan nafs yang adanya
disadari dengan mata hati lebih besar daripada jasad yang adanya disadari
dengan kasat mata (Al-Ghazali, 2002:49).
Tujuan akhlak adalah hendak menciptakan manusia sebagai makhluk
yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk lainnya.
Akhlak hendak menjadikan manusia berakhlak baik, bertindak-tanduk
yang baik terhadap sesama manusa, terhadap makhluk, dan terhadap
Tuhan. Yang hendak dikendalikan oleh akhlak ialah tindakan lahir. Akan
tetapi, tindakan lahir tidak dapat terjadi apabila tidak didahului oleh
tindakan hati. Misalnya, tidak akan terjadi perkelahian apabila tidak ada
tindakan hati seperti membenci atau hasad. Oleh karena itu, setiap manusia
diwajibkan menguasai hatinya dan mengendalikan hawa nafsunya karena
tindakan hati merupakan motor dari segala tindakan lahir (Masy’ari,
1990:4). Tujuan akhlak dapat dikatakan sebagai pedoman atau petunjuk
bagi manusia dalam mengetahui perbuatan baik dan buruk, ketika sudah
dapat membedakan maka harus memilih mana yang baik dan
meninggalkan yang buruk (Abdullah, 2007:17). Sementara tujuan
pendidikan akhlak ialah untuk membentuk manusia yang bermoral baik,
keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
bertingkah laku, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas,
jujur dan suci (Khozin, 2013:143)
Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman
dan ibadah, karena iman dan ibadah manusia akan sempurna setelah
munculnya akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam Islam bersumber
pada iman dan takwa dan mempunyai tujuan langsung yang dekat yaitu
harga diri, dan tujuan yang jauh yaitu ridha Allah. Salah satu aspek
ibadah dalam hal ini adalah shalat, yang mana dalam tataran normatif
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan mengingat
Allah itu lebih besar keutamaannya daripada ibadah yang lain, dengan
27
demikian prinsip akhlak Islam adalah terletak pada moral force. Moral
force akhlak Islam terletak pada iman sebagai internal power yang
dimiliki oleh setiap mukmin, yang berfungsi sebagai motor penggerak
dan motivasi terbentuknya kehendak untuk merefleksikan dalam tata
rasa, tata karsa, dan tata karya yang konkret (Khozin, 2013:141).
Sedangkan kata santri adalah mereka yang dengan taat
melaksanakan perintah agamanya, yaitu agama Islam. sedangkan asal
usul perkataan santri setidaknya ada dua pendapat yang bisa dijadikan
rujukan. Pertama, dari kata “santri” dari bahasa sanksekerta yang artinya
melek huruf. Kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa cantrik yang
berarti seseorang yang mengikuti seorang ustadz kemanapun pergi atau
menetap dengan tujuan dapat belajar suatu keilmuan padanya. Pengertian
ini senada dengan pengertian santri secara umum, yakni orang yang
belajar agama Islam di sebuah pesantren yang menjadi tempat belajar
bagi santri. Jika diruntut dengan adat pesantren, terdapat dua kelompok
santri, yakni santri kalong adalah santri yang berada di sekitar pesantren
yang ingin menumpang belajar di pesantren pada waktu-waktu tertentu
tanpa tinggal atau menginap di asrama pesantren. Santri mukim yakni
santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren biasanya
menjadi kelompok tersendiri dan sudah memikul tanggung jawab
mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, seperti halnya mengajar
santri-santri muda tentang kitab-kitab tingkatan rendah dan menengah
(Hidayat,2016:387)
Terlepas dari pengertian diatas, penulis mendefinisikan akhlak santri
sebagai suatu proses perbuatan atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan
seorang santri dilakukan secara spontan tanpa adanya paksaan. Ketika
dilakukan secara spontan maka akhlak ini merujuk pada kebiasaan
kesehariannya tanpa dibuat-buat. Disinilah eksistensi pesantren dalam
membentuk akhlak santri agar menjadi manusia yang berakhlak mulia.
28
b. Macam-macam Akhlak
Jenis akhlak yang diungkapkan oleh ulama menyatakan bahwa akhlak
yang baik merupakan sifat Nabi dan orang-orang shiddiq, sedangkan
akhlak yang buruk merupakan sifat syaitan dan orang-orang yang tercela.
Maka pada dasarnya, akhlak itu menjadi dua macam jenis, yaitu:
1. Akhlak baik atau terpuji (akhlakul mahmudah) yaitu perbuatan baik
terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya. Di antara
akhlak terpuji antara lain (Latuconsinah,2014:129):
a) Sabar artinya bersikap tabah, tidak lekas putus asa dalam
menghadapi cobaan, dan terus berjuang sambil memperbaiki diri.
Sabar diperlukan dalam berinteraksi dengan Allah dan sesama
manusia, serta menghadapi musibah. Sabar dalam berhubungan
dengan Allah misalnya dengan sabar dalam melakukan ibadah
(shalat, puasa, haji). Ibadah-ibadah tersebut memerlukan gerakan
waktu, bukan penderitaan. Demikian pula dalam berdoa dan
memohon pertolongan Allah perlu kesabaran. Sabar berarti tidak
bergeser dari jalan yang mereka tempuh. Sabar berkaitan pula
dengan masa depan. Janji Allah memberikan nuansa waktu masa
depan. Sehingga, sabar berkaitan dengan harapan waktu dan proses
berikhtiar untuk menjadi nyata.
b) Rajin juga akan menjadi salah satu daya tarik dalam berhubungan
dengan manusia, karena orang rajin disukai oleh orang lain lebih-
lebih dalam pekerjaan.
c) Teliti, sikap teliti sangat dibutuhkan dalam segala aktivitas yang
dilakukan manusia. Orang yang teliti akan menghindar dari
kekeliruan, dan ini sangat diperlukan lebih-lebih dalam pekerjaan
yang rumit misalnya menimbang, meneliti dan memutuskan perkara.
d) Hemat, artinya perhitungan dari segi kegunaannya dan daya yang
dimilikinya serta segala sesuatu sebelum dikeluarkan. Dapat
menghemat uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
29
e) Ikhlas, yaitu salah sikap terpuji karena dalam melakukan
pekerjaannya ia semata-mata hanya mengharap ridha Allah Swt, dan
sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya, ia akan tetap bekerja
keras. Keikhlasan dalam beribadah menjadi syarat menentukan
diterimanya amal ibadah oleh Allah Swt.
f) Jujur, dalam bahasa Arab shiddiq artinya benar yaitu ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan isi hatinya. Kejujuran yang dimiliki
seseorang sangat diperlukan terutama dalam hubungannya dengan
seseorang yang diserahi tugas dan amanah.
g) Pemaaf, sikap lainnya yang terpuji dalam hubungannya dengan
orang lain adalah sikap pemaaf, sebagai lawan dari sikap dendam.
Orang yang pemaaf biasanya disukai oleh Allah dan manusia, orang
yang jujur termasuk ciri orang yang bertaqwa.
Akhlak terpuji juga merupakan bentuk representasi ketakwaan
manusia. Ada tujuh indikator seseorang disebut sebagai manusia yang
mempunyai tingkat ketakwaan yang tinggi, yaitu (Khozin, 2013:144-
146):
1) Ia memiliki lidah yang selalu sibuk untuk berdzikir kepada Allah.
Lisannya tidak pernah digunakan untuk berdusta, menggunjing,
mengadu domba, dan lain sebagainya.
2) Ia memiliki qolbu yang selalu melahirkan perasaan tidak bermusuhan,
dengki, marah kepada orang lain.
3) Penglihatannya tidak terfokus pada hal-hal yang diharamkan oleh
agama, ia memandang dunia, materi tidak dengan dorongan nafsu,
tetapi didasarkan dorongan mengambil pelajaran (i’tibar).
4) Tidak pernah mengkonsumsi makanan kedalam perutnya sesuatu yang
diharamkan oleh agama, karena yang demikian adalah dosa.
5) Tidak pernah panjang tangan kepada hal yang negatif.
6) Telapak kakinya tidak pernah berjalan dalam maksiat, tetapi ia
berjalan di jalan Allah dan berteman dengan orang shaleh.
30
7) Ketaatannya ia perlihatkan sebagai ketaatan murni dan tulus karena
Allah semata.
Dari tujuh indikator tersebut, dapat dikatakan telah mencakup
ranah akhlak manusia sebagai orang yang bertakwa apabila mampu
memperlihatkan akhlak mulia kepada dirinya sendiri, kepada orang lain,
dan lingkungan. Dan menciptakan hubungan dengan Allah dan manusia
dengan cara yang baik.
2. Akhlak buruk atau tercela (akhlakul madzmumah) yaitu perbuatan
buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya. Di antara
akhlak tercela antara lain:
a) Dusta atau bohong, adalah pernyataan (perkataan dan perbuatan)
tentang suatu hal yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya.
b) Dzalim, berarti berbuat aniaya tidak adil dalam memutuskan perkara.
Keputusannya tidak didasarkan pada kebenaran akan tetapi dapat
menguntungkan pihak-pihak tertentu.
c) Takabur, merasa dan mengaku dirinya lebih (mulia, pandai, cakap
dan lain sebagainya).
d) Putus asa, hilang harapan hidup atau ketidakmampuan seseorang
menanggung derita atas musibah dan kesedihan.
e) Pengecut, sifat ini selalu membuat orang ragu sebelum memulai
mengerjakan sesuatu, ia merasa tidak mampu atau kadang berbuat
atau berjuang.
Adapun penerapan akhlak dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai
berikut :
1. Akhlak Kepada Allah Swt.
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada tuhan selain Allah. Banyak alasan mengapa manusia harus
berakhlak baik terhadap Allah, di antaranya adalah karena Allah telah
menciptakan manusia dengan segala keistimewaann, Allah telah
memberikan perlengkapan panca indera, hati nurani dan naluri kepada
31
manusia dan Allah menyediakan berbagai bahan dan sarana kehidupan
yang terdapat di bumi, seperti tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang
dan lain sebagainya. semua itu tunduk kepada kemauan manusia atau
siap untuk dimanfaatkan (Ardani, 2005:49).
Akhlak terhadap Allah merupakan cerminan hubungan baik antara
manusia dengan Allah, pada dasarnya mengambil sikap mematuhi
perintah-Nya. Dengan kata lain sikap tersebut adalah sikap taqwa, taat
dan berbakti kepada Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Akhlak
yang baik terhadap Allah Swt, secara garis besar meliputi:
a) Bertaubat, adalah sikap yang menyesali perbuatan buruk yang
pernah dilakukannya dan berusaha menjauhi serta melakukan
perbuatan baik.
b) Bersabar, adalah sikap menahan diri pada kesulitan yang
dihadapinya.
c) Bersyukur, adalah sikap yang selalu ingin memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
d) Bertawakal, adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah
berbuat semaksimal mungkin.
e) Ikhlas, adalah sikap yang menjauhkan diri dari riya ketika
mengerjakan amal baik.
f) Berharap atau raja’, adalah sikap yang sedang menunggu sesuatu
yang disenangi dari Allah.
g) Bersikap takut atau khauf, adalah sikap yang sedang menunggu
sesuatu yang tidak disenangi dari Allah (Ardani, 2005:70).
Jadi, akhlak kepada Allah dapat terealisasi dengan penghambaan
hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan dengan apapun dan siapa
pun. Hal itu dapat dilakukan dengan menjalankan perintah Allah dan
berusaha semaksimal mungkin menghindari segala larangan.
2. Akhlak Kepada Rasulullah Saw.
Seperti halnya akhlak kepada Allah harus beriman kepada-Nya,
maka akhlak kepada Rasulullah yaitu percaya beliau adalah Nabi dan
32
Rasul Allah Swt kepada seluruh umat manusia. Iman bukan hanya
sekedar percaya terhadap sesuatu yang diyakini, melainkan harus
dibuktikan dengan amal perbuatan. Amal perbuatan yang dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist tentang bagaimana bersikap kepada
Rasulullah Saw. Di antara perilaku atau macam-macam akhlak yang
harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah terhadap Rasulullah,
ialah sebagai berikut:
a) Ikhlas beriman kepada Rasulullah Saw.
b) Mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw.
c) Taat kepada Rasulullah Saw.
d) Cinta kepada Rasulullah Saw.
e) Percaya atas semua berita yang disampaikan Rasulullah Saw.
f) Tidak boleh mengabaikan Rasulullah Saw.
g) Menghidupkan sunnah Rasulullah Saw.
h) Menghormati pewaris Rasulullah Saw.
i) Laksanakan hukum Allah Swt dan Rasulullah Saw (Ardani,
2005:73).
Akhlak mulia kepada Rasulullah dapat juga dilakukan dengan
mencintai dan mengikuti jejak kehidupan Rasulullah dan melaksanakan
perintah atau sunnah Rasulullah Saw.
3. Akhlak Kepada Orang Tua
Adapun akhlak kepada orang tua adalah sebagai berikut:
a) Bersikap baik kepada orang tua meskipun kurang menyenangkan
hatinya.
b) Berkata halus dan mulia baik bahasanya, isi perkataannya maupun
cara mengungkapkanya, berkata kepada orang tua dengan lemah
lembut, sopan, agar hati keduanya bahagia.
c) Merendahkan diri terhadap keduanya.
d) Berbuat baik kepada orang tua yang sudah meninggal, ketika kedua
orang tuanya sudah tidak ada lagi di dunia, kewajiban anak adalah
dengan mendoakannya, menepati janji keduanya apabila semasa
33
hidup masih ada janji yang belum dilaksanakan maka itulah
kewajiban seorang anak, dan bersilaturahmi kepada orang yang
mempunyai hubungan dengan orang tua (Ardani, 2005:80).
4. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Manusia selain sebagai makhluk individu juga makhluk sosial,
karena manusia tidak dapat hidup sendirian, tetapi membutuhkan orang
lain atau masyarakat lain untuk dapat hidup. Manusia agar dapat hidup
tentram, serasi dan selamat bersama orang lain dalam masyarakat,
membutuhkan etika pergaulan yang mengatur hubungan dengan orang
lain. Di antara etika pergaulan atau akhlak kepada sesama manusia
antara lain, bermuka manis dan berkata lemah lembut, susila dalam
tingkah laku dan menghindarkan kecurigaan, berbicara yang halus dan
enak didengar, ramah tamah dan memperlihatkan keakraban, pandai
membawa diri dan menyesuaikannya dengan adab masyarakat luas,
merendahkan diri meski berpangkat tinggi, berbicara yang bermanfaat
atau jika tidak demikian lebih baik diam, sederhana dan wajar dalam
tingkah laku dan bukan dibuat-buat (Ardani, 2005:84).
5. Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Selaku individu, manusia diciptakan oleh Allah dengan segala
kelengkapan jasmaniah dan ruhaniyah. Manusia diciptakan dengan
dilengkapi ruhani seperti akal pikiran, hati nurani, naluri, perasaan, dan
kecakapan batiniah atau bakat. Dengan kelengkapan ruhani ini manusia
dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya secara
konseptual dan terencana, dapat menimbang antara baik dan salah,
dapat memberikan kasih sayang, yang selanjutnya dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan
peradaban yang menyangkut harkat dan rtabatnya.
Seorang muslim juga beriman dan percaya, bahwa yang dapat
membersihkan hati dan menyelamatkannya ialah iman yang baik dan
amal shaleh, sedangkan yang mengotori dan merusaknya ialah dampak
negatif dari kekafiran dan perbuatan dosa maksiat. Dalam rangka inilah
34
seorang muslim dalam hidup dan kehidupanya senantiasa berlaku hidup
sopan santun dalam menjaga hatinya agar selalu bersih, dapat terhidar
dari perbuatan dosa, maksiat, dengan menjaga hatinya dapat
menyelamatkannya dari hal-hal yang mengotori atau merusaknya dari
aqidah atau kepercayaan yang menyesatkan, dan perbuatan amoral,
kemudian hati juga sebaiknya mendapat pembinaan secara khusus,
pengawasan sepenuhnya yang menghasilkan perbuatan baik yang
mendorongnya kepada ketaatan, seperti usaha dalam mencegahnya dari
kejahatan dan kerusakan dengan penuh disiplin dan ketekunan menuju
perbaikan dan pembinaan manusia mukmin yang kamil seutuhnya
(Ardani, 2005:54).
Berakhlak yang baik pada diri sendiri dapat diartikan menghargai,
menghormati, menyayangi dan menjaga diri sendiri dengan sebaik-
baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah
Allah yang harus dipertanggung jawabkan dengan sebaik-baiknya dan
akhlak yang baik ini merupakan suatu tuntutan yang harus
direalisasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
1. Insting
Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang
digerakkan oleh naluri (insting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa
sejak lahir, jadi insting merupakan suatu pembawaan asli. Insting dalam
bahasa Arab disebut garizah atau fitrah dan dalam bahasa Inggris
disebut instinct. Naluri adalah sifat yang dapat menimbulkan perbuatan
yang menyampaikan pada tujuan dengan terpikir lebih dahulu kearah
tujuan itu tanpa didahului latihan dalam melakukan perbuatan.
Ahli psikologi menerangkan macam-macam naluri yang ada pada
manusia yang menjadi pendorong tingkah lakunya, diantaranya adalah:
a) Naluri makan, yaitu dari manusia lahir telah membawa suatu hasrat
makan tanpa didorong oleh orang lain.
35
b) Naluri mendapatkan pasangan, yaitu laki-laki menginginkan wanita
dan wanita ingin berpasangan dengan laki-laki.
c) Naluri keibuan atau kebapaan, yaitu tabiat kecintaan orang tua
kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak kepada orang tuanya.
d) Naluri berjuang, yaitu tabiat manusia yang cenderung
mempertahankan diri dari gangguan dan tantangan.
e) Naluri ber-Tuhan, yaitu tabiat manusia mencari dan merindukan
penciptanya yang mengatur dan memberikan rahmat kepadanya,
naluri ini disalurkan dalam hidup beragama.
Kekuatan naluri di dalam diri masing-masing pribadi berbeda
antara satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan daya
pendorong dan kesanggupan berbuat masing-masing berbeda pula
(Ya’qub,1988:56).
2. Kebiasaan
Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah
kebiasaan atau adat kebiasaan, yang dimaksud dengan kebiasaan adalah
perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga menjadi mudah
dikerjakan. Dalam usaha menjadikan akhlak yang baik menjadi
kebiasaan, hendaklah dibina melalui latihan yang didahului dengan
kesadaran. Sebagaimana halnya dalam membina kebiasaan yang baik
terkadang mengalami rintangan, demikian pula dalam merubah suatu
kebiasaan buruk, juga mengalami rintangan yang terkadang lebih berat
lagi. Kebiasaan yang perlu dirubah tentulah kebiasaan yang buruk.
Untuk merubah suatu kebiasaan yang buruk, para ahli akhlak
mengajarkan beberapa teori, yaitu sebagai berikut:
a) Niat yang sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun untuk
merubah kebiasaan itu, niat itu perlu disertai dengan kemauan keras.
b) Pengertian dan kesadaran yang mendalam akan perlunya kebiasaan
itu ditinggalkan.
36
c) Dalam melaksanakan niat itu hendaklah terus-menerus, sesuai
dengan yang diniatkan, yakni tidak bergeser dari pendirian dan niat
semula walaupun bertemu dengan kesukaran.
d) Mengisi waktu kosong dengan kebaikan setelah kebiasan buruk itu
digeser.
e) Mencari waktu yang baik dan tepat untuk melaksanakan niat itu
(Ya’qub,1988:61).
3. Lingkungan
Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan seseorang
adalah lingkungan (milieu). Milieu adalah suatu yang melingkupi suatu
tubuh yang hidup, misalnya tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara
dan lingkungan pergaulan. Dalam hubungan ini lingkungan dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
a) Lingkungan alam, alam yang melingkupi manusia merupakan faktor
yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku seseorang.
Lingkungan alam dapat mematahkan atau mematangkan
pertumbuhan bakat yang dibawa oleh seseorang. Dengan kata lain,
kondisi alam ini turut mempengaruhi akhlak manusia yang berada di
dalamnya.
b) Lingkungan pergaulan, mausia hidup selalu berhubunan dengan
manusia lainnya. Itulah sebabnya manusia harus bergaul. Dan dalam
pergaulan itu timbul saling mempengaruhi dalam pikiran, sifat, dan
tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dapat dibagi menjadi
beberapa kategori, yaitu:
1. Lingkungan dalam rumah tangga, yaitu akhlak orang tua di rumah
yang dapat mempengaruhi akhlak anak-anaknya.
2. Lingkungan sekolah, yaitu akhlak anak sekolah dapat terbina dan
terb