Upload
pramita-sari
View
50
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
universal coverage
Citation preview
Cakupan jaminan kesehatan semesta di Thailand: Pelajaran Apa yang Dapat
Diambil oleh India?
-Renu Khanna
1. Pendahuluan
Di tahun 2001 Thailand menjadi negara berkembang pertama yang
memperkenalkan sistem Cakupan jaminan kesehatan semesta setelah melakukan
berbagai percobaan sejak tahun 1971 saat negara ini mulai menginvestasikan dana
untuk infrastruktur dan sumber daya pelayanan kesehatan. Di tahun 2002,
Thailand telah berhasil memberikan cakupan jaminan kesehatan semesta untuk
seluruh populasi penduduknya melalui suatu Skema Asuransi Kesehatan yang
dibiayai oleh pendapatan pajak umum. Artikel ini ditulis untuk mengetahui
pelajaran apa yang dapat diambil oleh India dari pengalaman di Thailand. Penulis
memulai dengan membahas konteks reformasi kesehatan dan penerapan Cakupan
jaminan kesehatan semesta di Thailand, desain dan karakteristik paket Cakupan
jaminan kesehatan semesta, pencapaian dan pengaruhnya, termasuk pada
pelayanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta terakhir akan membahas
pelajaran apa yang dapat diambil oleh India dari pengalaman Thailand.
Kondisi Sebelum Diberlakukannya Pembiayaan Universal
Seperti di India, kondisi sebelum diberlakukannya jaminan kesehatan semesta
ditandai dengan adanya fragmentasi, duplikasi dan kesenjangan. Di tahun 1991,
lebih dari dua pertiga populasi penduduk belum memiliki asuransi. Sejak tahun
1975, diberlakukan Skema Kartu Pendapatan Rendah (juga disebut sebagai Skema
Kesejahteraan Publik) untuk warga yang miskin dan kekurangan serta warga
berusia lebih dari 60 tahun, biksu dan anak berusia kurang dari 12 tahun. Skema
ini dibiayai dari pendapatan pajak umum. Skema ini mengalami kekurangan dana
dan menghasilkan tingkat kepuasan pasien/pengguna yang sangat rendah. Karena
adanya dukungan politik yang kuat, Pemegang Kartu Sukarela meningkat dari
1.4% di tahun 1991 menjadi 20.8 % di tahun 2001 dimana pemerintah
memberikan subsidi untuk 50% premi yang dibayarkan (Tangcharoensathien dkk.,
2007). Namun, seperti pada penggunaan kartu BPL (Below Poverty Line – Di
bawah Garis Kemiskinan) di India, warga yang tidak miskin justru lebih
diuntungkan. Walaupun 35% pemegang kartu memang benar-benar miskin, hanya
17% warga miskin yang ditanggung oleh skema ini. Di tahun 1983, terdapat suatu
skema Kartu Kesehatan Sukarela untuk rumah tangga berpendapatan rendah di
luar kategori miskin yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk menerima LIC.
Karena bersifat ‘sukarela’, sistem ini memiliki risiko pemilihan – warga yang
sakit akan bergabung sementara warga yang sehat akan meninggalkan skema ini
sehingga skema akan menjadi unviable secara finansial. Juga terdapat suatu
Skema Asuransi Kesehatan untuk Pegawai Negeri – Civil Servants Medical
Benefit Scheme (CSMBS), seperti Skema Kesehatan Pemerintah Pusat (Central
Government Health Scheme) atau CGHS yang kita gunakan. Ini adalah skema
yang paling generous namun juga sangat mahal dan menunjukkan peningkatan
biaya dengan sangat cepat. Skema ini covers 15.3% populasi penduduk di tahun
1991. Pada tahun 2001, saat dilakukan pengurangan jumlah pegawai di sektor
swasta, penyusutan ini mengurangi tingkat coverage sampai 8.5%
(Tangcharoensathien dkk., 2007).
Juga terdapat Jaring Pengaman Sosial untuk mantan pegawai sektor
swasta. Ini merupakan skema kontribusi pembayaran pajak dari pihak ke tiga dan
wajib diberikan. Sistem ini diterapkan mulai dari firma besar dengan jumlah
pegawai sebanyak 20 orang atau lebih di tahun 1990 sampai ke firma yang hanya
memiliki satu orang pegawai saja di tahun 2002.
Penelitian di tahun 1996 menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki
asuransi adalah warga yang paling miskin dan memiliki tingkat pendidikan paling
rendah (Tangcharoensathien dkk., 2002).
Tabel 1: Riwayat Sistem Kesehatan di Thailand (sebelum UC)
2. Faktor yang Mempengaruhi Proses Reformasi
Values yang Menjadi Pedoman
Thailand merupakan sebuah negara monarki dan mayoritas beragama Budha.
Keinginan Raja untuk menghasilkan suatu ‘Kecukupan Ekonomi’ – jalur
perkembangan yang seimbang dan berkelanjutan, menjadi dasar bagi pemerintah
untuk membuat berbagai kebijakan nasional.
‘Ekonomi yang berkecukupan menempatkan manusia pada pusatnya,
difokuskan pada kesejahteraan dan bukan kekayaan, dimana kondisi yang
berkecukupan dijadikan sebagai pusat proses pemikiran, memahami
kebutuhan untuk adanya keamanan bagi manusia dan lebih mementingkan
pembangunan kemampuan dibandingkan dengan potensi penduduk. Hal ini
menambahkan suatu dimensi spiritual pada proses perkembangan manusia.’
(Laporan Perkembangan Sumber Daya Manusia Thailand tahun 2007)
Laporan Perkembangan Sumber Daya Manusia tahun 1997 menyatakan bahwa
negara harus ‘menghindari pertumbuhan yang mindless’, yaitu pertumbuhan yang
‘tidak menjamin kesempatan kerja, kejam, tidak memberikan kebebasan
berpendapat, tidak menjamin tempat tinggal, dan tidak menjamin masa depan.’
Definisi Kesehatan dan Sistem Kesehatan: Undang-Undang Jaminan
Kesehatan Nasional tahun 2002 memberikan definisi baru untuk Kesehatan
dengan
i. Menghilangkan ‘tidak adanya penyakit’, dan
ii. Menambahkan Kesehatan Spiritual pada dua tingkat – di tingkat individual
dengan memasukkan ‘komitmen yang kuat untuk kehidupan yang sehat’, dan
di tingkat sosial dengan mempromosikan ‘harapan masyarakat untuk menapai
kesetaraan’.
‘Sistem Kesehatan’, didefinisikan kembali sebagai ‘semua sistem yang saling
berhubungan secara holistik dan dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat’.
Konteks Politik
Thailand mengalami proses demokratisasi yang berat dan berhasil membuat
Undang-Undang yang baru di tahun 1997 saat para pemain baru mulai memasuki
arena pembuatan kebijakan. Partai Thai Rak Thai (TRT) menggunakan slogan ‘30
Baht untuk mengobati semua penyakit’ sebagai kampanye utamanya. Partai ini
memanfaatkan krisis ekonomi yang sedang terjadi sebagai suatu kesempatan
untuk melakukan kapitalisasi pada masalah pelayanan kesehatan yang memang
sedang memerlukan suatu perbaikan. Setelah memenangkan pemilihan umum,
partai TRT memenuhi janjinya untuk menjadikan jaminan kesehatan semesta
sebagai salah satu prioritas utamanya. Berbagai kelompok masyarakat sipil juga
turut berkontribusi. Di tahun 2001, sebelas kelompok jaringan LSM
mengumpulkan 50.000 tanda tangan dan memberikan rancangan Undang-Undang
Jaminan kesehatan semesta pada parlemen. Juga terdapat dukungan yang kuat dari
Kementrian Kesehatan Umum dan para peneliti kebijakan. Generasi aktivis
mahasiswa dari tahun 70an dan 80an sekarang sudah menjadi peneliti, pimpinan
di pemerintahan baru, pembuat kebijakan, dan pimpinan gerakan civic yang kuat.
Terdapat hubungan yang erat antara para reformis dan politisi, serta antara para
reformis dengan peneliti. Sehingga reformis dapat memainkan peranan sebagai
penengah. Oleh karena itu, terdapat tiga bahan penting – kapasitas teknis,
keinginan politik yang kuat dan dukungan publik yang sangat besar – yang
memungkinkan diterapkannya sistem Cakupan jaminan kesehatan semesta.
Hubungan ini juga menjadi slogan lain – ‘segitiga yang dapat menggeser gunung.’
Undang-Undang yang baru mendefinisikan kesehatan sebagai hak
seseorang untuk dilindungi oleh negara. Undang-Undang ini memaparkan bahwa
penduduk usia lanjut, orang cacat, anak terlantar dan berbagai kelompok
vulnerable lain memiliki hak yang setara untuk memperoleh pelayanan kesehatan
serta mengharuskan adanya perlindungan konsumen dan lingkungan demi
menjaga kesehatan. Peranan penting dari negara adalah ‘untuk memberikan
pelayanan kesehatan umum pada semua orang dengan standar yang sama’, ‘....
mengatasi penyakit tanpa biaya’, pelayanan kesehatan yang diatur oleh Undang-
Undang ditandai dengan adanya ‘kesetaraan, efisiensi, kuantitas, transparansi dan
akuntabilitas publik’.
Reformasi politik di tahun 1997 mengharuskan dilakukannya peninjauan
kembali mengenai peranan dan pendekatan yang diambil pada sektor kesehatan.
Sektor kesehatan diharuskan untuk menentukan kembali arah visi dan misinya
untuk memenuhi tugas yang dibebankan oleh Undang-Undang.
Konteks Sektor Kesehatan
Beberapa periode pemerintahan telah melakukan investasi pada infrastruktur
pelayanan kesehatan selama dua dekade. Kebijakan yang mendukung warga
miskin dan warga pedesaan tidak hanya bersifat retoris. Antara tahun 1982 sampai
1987, dana untuk membuat rumah sakit provinsial di perkotaan dibekukan dan
dialihkan untuk mengembangkan rumah sakit daerah dengan tingkat yang lebih
rendah dan puskesmas di pedesaan. Meskipun Thailand sempat mengalami
periode perkembangan ekonomi yang rendah akibat krisis minyak, dapat
dilakukan re-alokasi di dalam sektor kesehatan. Hasilnya adalah peningkatan
penggunaan pusat kesehatan masyarakat di pedesaan serta meningkatnya cakupan
geografis ke tingkat yang paling perifer. Thailand juga mengikuti rencana
produksi sumber daya manusia jangka panjang, dimana dilakukan pelatihan pada
para bidan. Semua kategori petugas pelayanan kesehatan yang dilatih di institusi
yang dibiayai oleh pemerintah diwajibkan melakukan pelayanan pedesaan di
rumah sakit daerah sejak tahun 1972. Antara tahun 1994 sampai 2004, rasio
sumber daya manusia dibandingkan dengan populasi umum telah mengalami
perubahan seperti yang dapat dipaparkan di bawah ini.
Tabel 2: Peningkatan Sumber Daya Manusia
Namun kesenjangan perkotaan-pedesaan terus menjadi masalah bagi
sistem kesehatan Thailand.
Tidak ada program vertikal, integrasi usaha pencegahan, pengendalian
penyakit dan promosi kesehatan adalah aturan yang harus dijalankan dan bukan
merupakan pengecualian. (was the rule and not an exception)
Pertumbuhan ekonomi nampak terjadi dengan sangat cepat selama dekade
90an. Adanya keamanan dan stabilitas internal memungkinkan negara untuk
memberikan 12% dari total anggaran nasional pada sektor sosial. Anggaran untuk
Kementrian Kesehatan Umum meningkat dari 4% di tahun 1980an menjadi 10%
di tahun 2001 (Tangcharoensathien dkk., 2007).
Negara ini memiliki kapasitas institusional untuk menghasilkan bukti dan
mengelola pengetahuan. Terdapat hubungan yang efektif antara para peneliti
dengan pembuat kebijakan dalam mengembangkan kebijakan berbasis bukti.
Beberapa pihak nampak bekerjasama untuk pembangunan kapasitas sistem
kesehatan serta penelitian kebijakan. USAID memiliki Program Pembiayaan
Pelayanan Kesehatan, Yayasan Pew yang mendukung Program Kebijakan
kesehatan Internasional (IHPP), Institusi Penelitian Sistem kesehatan dan dana
untuk penelitian di Thailand (Thai Research Fund). Terdapat kerjasama
institusional antara Kementrian Kesehatan Umum, IHPP dan Fakultas Ilmu
Kedokteran Tropis dari London School.
Analisis dari berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan kesehatan
menunjukkan adanya lima masalah penting:
i. Biaya pelayanan kesehatan yang lebih mahal
ii. Perkembangan ekonomi yang tidak seimbang
iii. Perkembangan teknologi yang sangat cepat
iv. Reformasi politik dan sosial
v. Reformasi sektor pemerintahan
Biaya pelayanan kesehatan yang lebih mahal. Walaupun terdapat
infrastruktur kesehatan dan program penanganan penyakit yang cukup baik,
sistem pelayanan kesehatan nampak mengalami suatu krisis. Karena ekspansi
sektor pelayanan kesehatan negara dan swasta, penduduk Thailand mulai lebih
banyak menggunakan pelayanan di fasilitas kesehatan. Antara tahun 1980 sampai
1998, anggaran kesehatan nasional mengalami peningkatan sampai 11 kali lipat
dan anggaran kesehatan per kapita mengalami peningkatan sampai 9 kali lipat,
lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan DGP per kapita sebesar 7%. Jumlah GDP
yang digunakan untuk pelayanan kesehatan mengalami peningkatan sampai dua
kali lipat mulai dari 3.82% di tahun 1980 menjadi 6-21% di tahun 1998. Akses
dan kualitas pelayanan kesehatan masih belum cukup baik, dan petugas pelayanan
kesehatan memiliki beban kerja yang terlalu tinggi. (Badan Komisi Kesehatan
Nasional, Thailand, 2008)
Perkembangan ekonomi yang tidak seimbang. Kemiskinan mengalami
penurunan dari 33% di tahun 1988 menjadi 11% di tahun 1996 (Badan Komisi
Kesehatan Nasional, Thailand, 2008). Namun perkembangan nampak tidak
seimbang dengan adanya semakin banyak kesenjangan pada populasi marginal.
Kebijakan ekonomi bergeser ke eksport jasa dan manufacturing. Terjadi
peningkatan polusi lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam. Migrasi dari
desa ke kota menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan agrikultura.
Thailand menghadapi gangguan pada struktur serta hubungan sosial dan
mengalami pengikisan sumber daya (capital) sosial dan budaya. Penurunan
kondisi ekologi sosial menyebabkan peningkatan infeksi HIV dan AIDS,
kecelakaan lalu lintas, stress, dan kanker.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat. Penelitian teknologi
kesehatan di negara industri banyak diimport ke negara berkembang dengan biaya
yang sangat mahal. Terdapat kesenjangan yang semakin luas dalam hal ketidak-
setaraan – akses obat-obatan, misalnya, untuk HIV dan AIDS, hanya tersedia
untuk orang yang memiliki banyak uang. Serupa dengan itu, untuk kanker,
radioterapi dan peralatan medis lain hanya dapat digunakan oleh orang yang
memiliki banyak uang. Pemerintah menyadari bahwa ‘Pelayanan kesehatan
universal tidak akan pernah bisa tercapai dengan mengandalkan import teknologi
kesehatan yang sangat mahal.’ Investasi pemerintah di bidang penelitian
kesehatan mengalami peningkatan dari 0.2% anggaran kesehatan masyarakat di
tahun 1992-96 menjadi 0.52% di tahun 1999, walaupun dibandingkan penelitian
di bidang lain, penelitian kesehatan bukanlah prioritas yang utama (Badan Komisi
Kesehatan Nasional, Thailand, 2008).
Reformasi politik dan sosial. Gerakan masyarakat sipil nampak semakin
kuat di tahun 90an. Gerakan ini memainkan peranan penting dalam membentuk
agenda reformasi berdasarkan pada hak asasi manusia, demokrasi dan partisipasi.
Reformasi sektor pemerintahan. Undang-Undang menekankan pentingnya
akuntabilitas dan transparansi dari sektor pemerintahan. Pemerintah kemudian
membuat suatu Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional dan membuat Undang-
Undang Informasi Official. Pada tahun 1999, telah diluncurkan suatu Program
Reformasi Sektor Pemerintahan selama tiga tahun yang menekankan pada proses
desentralisasi, pengelolaan pengeluaran, pengelolaan pendapatan, serta
pengelolaan sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya manusia dilakukan
untuk menghasilkan tingkat efisiensi, kualitas dan integritas yang paling tinggi.
Sektor Kesehatan Swasta
Sektor swasta umumnya kurang berkembang di daerah pedesaan. Hanya tersedia
sejumlah kecil dokter praktek umum dan mereka tidak dapat memberikan
pelayanan yang komprehensif. Namun, ‘internal brain drain’ merupakan
fenomena yang banyak disebut-sebut di Thailand. Kebijakan Thailand untuk
mempromosikan negara ini sebagai medical hub di Asia menyebabkan para dokter
terlatih dari fasilitas kehesatan umum di pedesaan memilih untuk bergabung
dengan rumah sakit swasta di perkotaan.
3. Isi dari Reformasi Sektor Kesehatan
Reformasi Sektor Kesehatan memiliki empat tujuan:
i. Meningkatkan efisiensi sektor kesehatan – penggunaan fasilitas pelayanan
kesehatan secara mulai dari pelayanan tingkat pertama, pelayanan rujukan di
tingkat kedua dan ketiga, serta penggunaan Daftar Obat Esensial dan Model
Kontrak Kapitasi untuk membatasi biaya yang dikeluarkan.
ii. Mempromosikan kesetaraan – standardisasi paket asuransi (benefit) pada
semua skema, memastikan adanya akses yang setara pada pelayanan
kesehatan, serta konvergensi dan standardisasi dari tingkat penggunaan
sumber daya.
iii. Memastikan adanya governance yang baik – dengan meminimalkan konflik
kepentingan melalui pembagian fungsi Penyedia-Pembeli, dimana Badan
Jaminan Kesehatan Nasional berperan sebagai pembeli dan Kementrian
Kesehatan Umum serta sektor swasta berperan sebagai penyedia dan
kontraktor.
iv. Memastikan kualitas pelayanan melalui suatu sistem akreditasi dan penilaian
penggunaan pelayanan.
Jaminan kesehatan semesta
Perlindungan kesehatan sosial yang diimplementasikan di Thailand sejak April
2002 dapat dibagi menjadi tiga kelompok – skema untuk pegawai pemerintahan,
skema untuk pegawai swasta dan skema untuk populasi masyarakat Thailand lain,
yaitu mereka yang berada pada sektor informal. Skema Jaminan kesehatan
semesta berusaha memperbaiki kualitas dari desain Asuransi Kesehatan Sosial di
awal tahun 1990an. Tabel 3 menunjukkan perbandingan antara Skema Jaminan
kesehatan semesta dengan Asuransi Kesehatan Sosial.
Tabel 3: Perbandingan Desain Sistem antara Skema Jaminan kesehatan
semesta (UC) dan Asuransi Kesehatan Sosial (SHI)
Tabel 4: Karakteristik Skema Jaminan Kesehatan Umum di bawah
kebijakan Jaminan kesehatan semesta
Sebagaimana yang dapat dilihat dari tabel 4, jumlah populasi maksimal – 47 juta
atau 76% populasi berada dalam naungan Skema Jaminan kesehatan semesta yang
disebut sebagai Skema Kesejahteraan Sosial. Sistem ini terdiri atas suatu paket
komprehensif termasuk pelayanan rawat jalan, pelayanan pasien rawat inap,
perawatan dengan biaya mahal, penanganan kecelakaan dan kegawatan,
pelayanan persalinan, dan pemeriksaan fisik tahunan, serta pelayanan kesehatan
pencegahan dan promotif yang diberikan berdasarkan pada sistem kedokteran
yang dibuat sendiri oleh Thailand. Obat-obatan diberikan sesuai Daftar Obat
Esensial Nasional. Tempat tidur pribadi, perawat khusus dan kaca mata tidak
ditanggung. Perawatan dengan biaya mahal serta kecelakaan dan kegawatan akan
ditanggung menggunakan sistem fee for service. Skema Jaminan kesehatan
semesta dibiayai melalui pendapatan pajak umum. Tidak ada pembiayaan lain.
Fasilitas kesehatan harus mendaftar untuk bergabung dalam skema ini. Pihak yang
ditanggung tidak dapat langsung memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan tingkat
kedua atau ketiga tanpa rujukan dari petugas kesehatan tingkat pertama, kecuali
pada kondisi kegawatan dan kecelakaan.
Apakah Karakteristik Utama dari Skema Jaminan kesehatan semesta?
Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan mekanisme utama untuk
memberikan pelayanan pada kebijakan Jaminan kesehatan semesta karena dua
alasan. Pertama, pelayanan tingkat pertama dianggap sebagai posisi yang
paling baik untuk memberikan perawatan yang berkualitas berdasarkan
pendekatan holistik. Lokasinya dekat dengan masyarakat sehingga perawatan
dapat lebih diterima dan dianggap sesuai secara sosio-kultural. Kedua, sistem
dengan pelayanan tingkat pertama sebagai penjaga gerbang dapat menurunkan
jumlah pengeluaran total untuk pelayanan kesehatan.
Sehingga, fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah kontraktor
dan unit utama untuk pencatatan keluarga. Fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama adalah pemegang dana. Rujukan harus dilakukan oleh
kontraktor pelayanan tingkat pertama serta dibayar oleh kontraktor. Akses
langsung pada fasilitas kesehatan tingkat kedua dan ketiga harus dibayar
sendiri oleh pasien, kecuali pada kondisi darurat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
Di daerah pedesaan, Sistem Pelayanan Kesehatan Daerah adalah Kontraktor
atau Penyedia layanan kesehatan. Di daerah perkotaan, rumah sakit swasta
dapat menjadi Kontraktor. Terdapat sekitar 900 fasilitas kontraktor yang
memberikan pelayanan berdasarkan skema Jaminan kesehatan semesta.
Kontraktor yang terdaftar akan memberikan pelayanan gratis. Sebelumnya ada
biaya tambahan sebesar 30 Baht yang harus dibayarkan pada kunjungan pasien
di klinik rawat jalan atau saat pasien akan dirawat inap. Pemerintah menghapus
kebijakan ini pada tahun 2006.
Hanya ada sedikit syarat eksklusi – bedah kosmetik, masalah kesehatan jiwa
(karena sudah ada Program Kesehatan Jiwa Nasional) dan Terapi Pengganti
Ginjal. (Terapi Pengganti Ginjal, Dialisis, dll. Mulai dimasukkan pada akhir
tahun 2007.) Awalnya terapi ARV tidak dimasukkan, namun mulai tahun 2003
sudah tersedia ART Universal untuk semua orang yang hidup dengan HIV
AIDS.
Pembayaran untuk penyedia layanan:
Kapitasi untuk pelayanan pasien rawat jalan
Diberikan kapitasi ditambah biaya untuk pelayanan pencegahan dan
promotif, misalnya, untuk pap smear.
Jadwal pembayaran untuk biaya penanganan Kecelakaan dan Kegawatan
akan ditentukan oleh Badan Jaminan Kesehatan Nasional (NHSO)
Anggaran Global ditambah Rumus Kapitasi untuk rawat inap yang
disesuaikan dengan kelompok diagnosis serta usia akan ditentukan di tingkat
provinsi. Pengeluaran lain pada skema Jaminan kesehatan semesta adalah biaya
penggantian modal dan tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsur
kesalahan (no fault liability) seperti uang kompensasi yang dibayar oleh NHSO
untuk menyelesaikan klaim pasien yang berhubungan dengan masalah pada
praktek kedokteran.
Jumlah kapitasi ditentukan berdasarkan pada based perkiraan aktuaria,
yang sudah diperiksa ulang oleh para rekanan serta diperiksa secara eksternal
oleh ILO.
Di tahun 2007 pemerintah menghabiskan sampai sebanyak 1988 Baht per
kapita menggunakan pendapatan pajak umum. Untuk Skema Jaminan
kesehatan semesta, dihabiskan sebanyak 1202 Baht per kapita.
Pencapaian dari Skema Jaminan kesehatan semesta
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Badan Statistika Nasional di tahun
2003, 34% penerima Skema Universal berada pada quintil termiskin (Q1) dan
26% berada di Q2. Sebaliknya, 39% dan 43% dari SSS dan CSMBS berada
pada quintil terkaya (Q5), sementara hanya 7% anggota Skema Jaminan
kesehatan semesta yang berada di Q5.
Terjadi peningkatan penggunaan pelayanan rawat jalan (OP) maupun rawat
(IP).
Penggunaan pelayanan telah bergeser dari rumah sakit provinsi tingkat
ketiga ke unit pelayanan tingkat pertama dan rumah sakit daerah. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama mulai digunakan secara efisien. Lihat Tabel 5.
Tingkat penggunaan ini mengalami peningkatan baik untuk pasien rawat jalan
(OP) maupun rawat inap (IP).
Tabel 5: Peningkatan Penggunaan Pelayanan
Survei sosial-ekonomi yang dilakukan oleh Badan Statistika Nasional
melaporkan adanya penurunan insidensi pengeluaran kesehatan akibat bencana
(dari 5.4% pada masa sebelum diberlakukannya Pembiayaan Universal
menjadi 208% di tahun 2004) dan kemiskinan akibat mahalnya tagihan biaya
pelayanan kesehatan (dari 2.1% menjadi 0.5%).
Kesenjangan antara jumlah kapitasi yang diajukan dan disetujui juga semakin
berkurang.
Indeks Konsentrasi (CI) kontribusi finansial merupakan suatu indeks distribusi
pembayaran. Indeks berkisar dari -1 sampai +1. Nilai positif menunjukkan
bahwa penduduk yang kaya memiliki andil yang lebih besar dibandingkan
penduduk miskin, nilai nol menunjukkan bahwa semua penduduk membayar
dalam jumlah yang sama tanpa melihat kemampuan mereka untuk membayar.
Bukti empiris menunjukkan bahwa total pembiayaan kesehatan di Thailand
nampak cukup progresif dengan CI sebesar 0.5929. Pajak langsung adalah
sumber yang paling progresif untuk pembiayaan pelayanan kesehatan dengan
CI sebesar 0.9057, sementara pajak tak langsung dan kontribusi asuransi sosial
menunjukkan progresi yang paling rendah dengan CI sebesar 0.57. CI untuk
pajak umum (langsung dan tak langsung sebesar 0.6996, yang dianggap
memuaskan (Tangcharoensathien dkk, 2007)
4. Kesehatan Reproduksi dan Seksual terkait Cakupan jaminan kesehatan
semesta
Sebelum Reformasi
Pelayanan Kesehatan Reproduksi telah diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan
nasional di Thailand. Serangkaian pelayanan kesehatan reproduksi ini umumnya
disediakan oleh pusat kesehatan kecamatan, kabupaten, rumah sakit provinsi, serta
penyedia layanan kesehatan swasta. Kebijakan pengendalian penduduk di
Thailand sudah diterapkan sejak tahun 1970 dan negara ini telah mencapai angka
kesuburan di bawah tingkat penggantian. Kebijakan populasi yang diterapkan saat
ini lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi dasar dan
kesejahteraan individu. Thailand juga memiliki Kebijakan Kesehatan Reproduksi
(1997) yang menyatakan bahwa semua warga negara Thailand, dari semua usia,
harus memiliki kesehatan reproduksi yang baik selama masa hidupnya. Hal ini
dapat dicapai dengan ‘memperbaiki akses, kesetaraan, hak untuk menentukan
pilihan pada pelayanan kesehatan reproduksi.’ (Tangcharoesathien dkk. 2002)
Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dibagi menjadi dua kategori:
preventif dan kuratif. Pelayanan preventif dan promotof meliputi: pendidikan
seksual dan perawatan kesehatan reproduksi remaja, keluarga berencana.
Pelayanan kuratif meliputi pelayanan obstetri darurat, terapi infeksi saluran
reproduksi dan kanker, membatasi jumlah aborsi yang diijinkan menurut undang-
undang, komplikasi dari aborsi yang tidak aman, infertilitas, dan perawatan untuk
menopause. Promosi kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual untuk remaja
diterapkan melalui fasilitas kesehatan, sekolah, dan tempat kerja menggunakan
media massa. Thailand telah menunjukkan hasil yang sangat baik dalam
memberikan edukasi HIV-AIDS, kampanye hubungan seksual yang aman dan
promosi penggunana kondom. Program keluarga berencana juga berhasil
dilaksanakan dengan Angka Prevalensi Kontrasepsi meningkat sampai 79.2% di
tahun 2000 (Tangcharoesathien dkk. 2002) dan Angka Kesuburan Total menurun
sampai 1.9. Perawat dan bidan di pusat kesehatan kecamatan dan rumah sakit
daerah adalah tulang punggung pelayanan kesehatan maternal. Di tahun 2001,
angka mortalitas maternal di Thailand adalah sebesar 28 per 100.000 kelahiran
hidup, standar empat kali kunjungan perawatan ante natal untuk semua wanita
hamil dapat tercapai pada 92.9% wanita dan 97.9% dari semua persalinan
dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih (Tangcharoesathien 2002). Penanganan
infertilitas tidak menjadi prioritas bagi sistem pelayanan kesehatan masyarakat
karena keyakinan para penentu kebijakan bahwa infertilitas merupakan masalah
dari orang kaya dan perlu dibiayai sendiri serta diserahkan sepenuhnya pada pasar
swasta. Perawatan untuk menopause yang dibiayai oleh pemerintah, seperti terapi
sulih hormon – dibatasi hanya di daerah perkotaan saja. Cakupan skrining kanker
payudara adalah sebesar 20%. Walaupun pedoman nasional sudah menyarankan
dilakukannya skrining Pap Smear sekali setahun selama tiga tahun berturut-turut
untuk semua wanita berusia lebih dari 35 tahun, dilanjutkan tiap tiga tahun sekali
bila semua hasil pemeriksaan nampak normal, cakupan skrining ini masih kurang
dari 40%.
Sebelum adanya Cakupan jaminan kesehatan semesta, skema PWS dan
skema VHC tidak membatasi jumlah persalinan yang dapat ditanggung. Namun,
setelah diberlakukannya Jaminan kesehatan semesta, hanya dua kali persalinan
saja yang akan ditanggung. Wanita yang melahirkan lebih dari dua anak tidak
dapat memperoleh perawatan obstetri gratis. Wanita miskin mungkin akan perlu
membayar sendiri biaya pelayanan untuk persalinan ketiga atau lebih.
Tabel 6 menunjukkan ringkasan paket pelayanan kesehatan reproduksi
sebelum dan sesudah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Semesta.
Tabel 6: Ringkasan Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi sebelum dan
sesudah Diperkenalkannya Jaminan Kesehatan Semesta
Penulis berpendapat bahwa kesadaran akan hak dan manfaat dari jaminan
kesehatan nampak memainkan peranan penting dalam penggunaan pelayanan
kesehatan. Pelayanan preventif seperti skrining kanker, pendidikan seksual dan
konseling sebelum pernikahan masih memerlukan lebih banyak usaha edukasi.
Pasien tidak menunjukkan adanya permintaan atau menggunakan pelayanan
secara adekuat. Pelayanan ini mecakup, misalnya, skrining untuk kanker
serviks dan payudara; pendidikan seksual; promosi kondom; keluarga
berencana dan pencegahan kehamilan yang tidak terencana; konseling
sebelum pernikahan dan pemeriksaan HIV sukarela. Berbagai pelayanan ini
memiliki manfaat sosial yang positif untuk pengendalian penyakit, namun hal
ini tidak disadari dan diharapkan secara efektif oleh pasien. Intervensi
seperti ini cenderung jarang digunakan, bahkan saat biayanya murah serta
memiliki manfaat yang positif. Pembuat kebijakan perlu memicu konsumsi
dari jenis pelayanan semacam ini dengan memberikan informasi serta
edukasi, serta memberikan insentif untuk petugas kesehatan. Biaya yang
dibayarkan untuk tiap pelayanan yang dilakukan umumnya dapat
memberikan sinyal yang lebih kuat bagi petugas kesehatan dibandingkan
dengan kapitasi. Gaji tambahan saat dokter dapat memenuhi target jumlah
skrining kanker serviks, misalnya, dapat menjadi salah satu pilihan
pembayaran yang menarik.
(Sumber: Teerawattananon Y. dan Tangcharoensathien V., 2004)
Petugas kesehatan yang terikat kontrak jangka panjang dengan sistem
kapitasi sebaiknya melakukan pelayanan preventif karena nantinya hal ini dapat
mengurangi biaya pengobatan pasien dalam jangka panjang. Kompetisi dapat
meningkatkan kualitas pemberian pelayanan yang diberikan. Pengawasan dari
konsumen juga dapat mempertahankan standar kualitas pelayanan. Sehingga,
regulasi dianggap sangat penting. Sistem untuk menyelesaikan masalah dan
keluhan dari pengguna harus dikembangkan dengan baik dan dipaparkan secara
jelas pada kontrak. Tabel 7 memaparkan berbagai pendapat tersebut.
Tabel 7: Kerangka Konsep untuk Analisis Pengaruh UC pada Penggunaan
dan Pemberian Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Berbagai mekanisme ini akan mendukung konsumen untuk memilih
petugas kesehatan yang mereka inginkan dan meningkatkan respon petugas
kesehatan terhadap harapan dari konsumen, sehingga akan merubah posisi
kekuatan dalam hubungan antara pengguna dan penyedia jasa.
Teerawattananon dan Tangcharoensathien berpendapat bahwa pelayanan
SRH yang tidak ditawarkan pada paket awal (seperti terapi infeksi HIV, pelayaan
aborsi) perlu dipertimbangkan dan kita perlu menyediakan sumber daya tambahan
yang diperlukan. Penulis mengutip data yang menyatakan bahwa aborsi
merupakan penyumbang terbesar (36%) dari beban maternal.
Sebagian besar masalah disebabkan oleh infertilitas yang terjadi setelah
menjalani abortus septik yang tidak aman. Berdasarkan pada Survei
Pemeriksaan Kesehatan Nasional tahun 1999, Kelompok Kerja
memperkirakan bahwa dilakukan total 0.3 juta aborsi per tahun. 74% induksi
aborsi dilakukan di luar rumah sakit, dan 71% diantaranya tidak dilakukan
petugas kesehatan, sering kali dengan memberikan larutan garam hipotonik
atau hipertonik. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa aborsi, kecuali pada
kasus perkosaan dan saat kehamilan dianggap membahayakan kesehatan
ibu, masih dianggap ilegal.
Terdapat sejumlah kebutuhan untuk pelayanan kesehatan tertentu, namun
hal ini tidak diungkapkan oleh konsumen, karena alasan pribadi, dan tidak
ditawarkan pada paket. Pelayanan pada kelompok ini meliputi program
pencegahan kekerasan seksual dan kekerasan terkait jenis kelamin dengan
meningkatkan kewaspadaan konsumen untuk mengajukan permintaan.
Tidak ada perubahan yang bermakna pada paket UC, terutama, pada
paket SRH. Cakupan paket SRH ditentukan berdasarkan pada skema
sebelumnya tanpa adanya perubahan, namun alokasi dana per kapita untuk
UC nampak jauh lebih tinggi dari skema kesejahteraan masyarakat
sebelumnya
(Sumber: Teerawattananon Y. and Tangcharoensathien V., 2004)
5. Pelajaran untuk India
i. Negara dengan pendapatan rendah sampai sedang dapat menerapkan cakupan
Jaminan Kesehatan Semesta dan asuransi kesehatan sosial yang dibayai oleh
pajak umum serta sepenuhnya memberikan pelayanan gratis dimana
masyarakat tidak perlu membayar dengan uang mereka sendiri.
Meningkatkan pendapatan pajak umum terbukti dapat dilakukan dan cukup
berhasil di sejumlah negara berkembang, seperti Bolivia, Armenia, Estonia,
dan Slovakia (Wagstaff, 2007).
ii. Ada tiga faktor yang dibutuhkan untuk keberhasilan reformasi pelayanan
kesehatan: komitmen politik, dukungan yang kuat dan perasaan "berhak" dari
masyarakat untuk memperoleh pelayanan, adanya agenda dari jajaran
pimpinan Kementrian Kesehatan, peneliti kebijakan dan advokasi kesehatan.
iii. Semua usaha harus dilakukan melalui proses kelembagaan untuk
meningkatkan kesadaran akan adanya hak memperoleh pelayanan pada par
pengguna serta memberikan pemahaman bahwa mereka berhak mengawasi
pelayanan yang diberikan oleh kontraktor.
iv. Salah satu syarat penting An important pre requisite is investment in health
infrastructure and health human resources, as well as a human resource policy
to enable retention of staff in rural areas.
v. It is possible to harmonise existing schemes – for India CGHS, ESI, RSBY, etc
- to ensure equity across the schemes and universal coverage.
vi. A robust primary health system (with contracting out and provider
payment) reforms can play a critical role in achieving both equity and
efficiency. Health services closer to people will lower over-all costs and
acceptability of services. Primary care model with an emphasis on
prevention and health promotion will over time, reduce the burden on
curative services.
vii. A contract model with the District Health System will enable primary
health care, rational use of integrated services and ensure proper referrals.
A Provider- Purchaser split is desirable – in Thailand’s case the National
Health Security Organization is the purchaser and the District Health
System is the Provider.
viii. Universal Coverage can provide a comprehensive package of curative
services and preventive and promotive services.
ix. Lessons from various Health Insurance schemes can be used to design the
Universal Coverage Scheme. For example, Voluntary Health Insurance
can lead to adverse selection because only the sick will join the scheme
and the healthy will opt out. It is difficult to achieve universal coverage by
a contributory scheme especially among the informal sector because of
their livelihood insecurity. Also administration and premium collection
costs will be high.
x. There is a need to build institutional partnerships between the statisticians’
constituency who generate health data and the health constituency who use
information for policy making, equity monitoring, and to insert social
determinants in national and sub-national health surveys.
xi. Concentration Index (CI) shows that general tax revenue is more
progressive than Social Health Insurance contribution. The tax financed
scheme is sustainable in the long run. It links providers
through a contracting model with close ended provider payment methods –
capitation for out patient services and global budget with application of DRG for
inpatient services. The capitation contract model is an effective means of cost
containment and to support adequate quality of care, with assured monitoring. The
fee for service payment mechanism can lead to cost escalations and inefficiency.
xii. We have a lot to learn from Thailand about reaching out reproductive and
sexual health services. A strong primary health care system, a well trained cadre
of midwives and skilled birth attendants, emergency obstetric care, safe abortion
services, adolescent sex education, quality contraceptive services, anaemia and
malnutrition management programme, and other women’s health services
including cervical and breast cancer management programmes, need to be part of
the essential Jaminan kesehatan semesta package. Gradually other issues like
infertility services, health services for violence against women, mental health
services can be brought into the package.