28
Paper Seminar on Knowledge Innovation & Change Inovasi Bisnis: Dari Mimpi Hingga Prestasi Studi Literatur Ditulis Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah SKIC Dosen: Dr. Avanti Fontana Nama Mahasiswa : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi 8605210299 Program Doktor Strategic Management Program Studi Ilmu Manajemen Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta, 2007

Inovasi dari mimpi hingga prestasi - insteps.or.id Management/Inovasi dari mimpi... · maupun non-keuangan. Lebih jauh lagi, mimpi – mimpi yang mengawali inovasi perlu dipupuk secara

Embed Size (px)

Citation preview

Paper

Seminar on Knowledge Innovation & Change

Inovasi Bisnis: Dari Mimpi Hingga Prestasi

Studi Literatur

Ditulis Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah SKIC

Dosen: Dr. Avanti Fontana

Nama Mahasiswa : Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

8605210299

Program Doktor Strategic Management Program Studi Ilmu Manajemen

Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Jakarta, 2007

2

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan

2. Permasalahan

3. Kerangka Teori

3.1. Berawal Dari Ide

3.2. Strategi Inovasi

3.3. Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi

3.4. Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi

3.5. Mengantisipasi Inovasi Disruptif

3.6. Dinamika Inovasi

3.7. Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja

3.8. Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara

Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu

3.9. Dilema Inovator

3.10. Level Inovasi

4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia

5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut

Daftar Pustaka

3

1. Pendahuluan

Inovasi dalam konteks perdagangan dan industri pertama kali didefinisikan

sebagai “The successful bringing to market ot new or improved products, processes or services.”

Definisi ini diterbitkan pada tahun 1967 oleh Robert L Charpie dalam laporannya

kepada US Department of Commerce dengan tajuk “Technological Innovation: its

Environment and Management”(Zairi, 1999). Pendapat senada, bahwa inovasi berkaian

dengan alur proses dari memimpikan sesuatu, menciptakannya, mengenalkannya

kepada publik agar nilai dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat,

dinyatakan juga oleh pakar lain (Chesbrough, 2006; Prahalad & Ramaswamy, 2004).

Dari kelompok pakar ini dapat ditarik benang merah bahwa inovasi merupakan

eksploitasi gagasan – gagasan baru yang diupayakan agar berhasil meraih sukses.

Interaksi antara penggagas, pelaksana dan pengguna inovasi dapat menjadi sebuah

mekanisme dinamis, terjadi transfer nilai (value) di antara elemen inovasi yang saling

mengumpan maju (fedforward) dan mengumpan balik (fedback). Pengalaman inovasi

tidak hanya dilakukan oleh internal perusahaan dan memerlakukan konsumen

sebagai pengguna karya inovasi yang terpisah dari strategi inovasi, namun

sebagaimana argumen Prahalad & Ramaswamy, telah melibatkan pelanggan.

Mereka dilibatkan dalam proses pencipataan produk-produk baru, dan memberikan

fedback atas kualitas produk yang telah dipasarkan.

Dalam pekembangan selanjutnya, sasaran inovasi tidak terbatas hanya pada

mewujudkan gagasan yang dapat sukses ketika diperkenalkan ke pasar, namun

inovasi juga berevolusi menjadi alat persaingan (competitive tools), sebagaimana

Porter (1998) menyebut inovasi sebagai isu sentral dari upaya peningkatan daya

saing. Inovasi pada perkembangan selanjutnya menjadi bagian kegiatan dari

perusahaan atau organisasi yang memerlukan perhatian khusus dalam sebuah

strategi. Strategi Inovasi pada dasarnya menuntut perubahan (Barney, 2002).

Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa inovasi sudah menjadi bagian dari

strategi bisnis (Drucker, 1993; Christensen & Overdorf, 2001; Pyka, 2002;

Christensen, 2005; Govindarajan & Trimble, 2005;). Banyak kajian tentang inovasi

yang menelaah bagaimana organisasi merancang dan sekaligus melaksanakannya.

4

Salah satu di antaranya dikembangkan oleh Terziovski (2002) yang mengajukan tiga

alternatif strategi inovasi: bertahap (incremental), radikal, dan terintegrasi (integrated).

Seringkali upaya inovasi berawal dari “mimpi” mewujudkan sesuatu yang

belum pernah ada sebelumnya, atau mengubah yang sudah ada menjadi lebih baik.

Keinginan kuat yang didukung oleh kemampuan teknologi dan sumber daya

organisasi lainnya, menjadikan “mimpi” tersebut dapat diwujudkan. Sebagaimana

layaknya suatu upaya, selalu ada hambatan, demikian pula inovasi, ia tidak sepi dari

hambatan, baik yang berasal dari lingkungan internal perusahaan, maupun eksternal.

Resistensi dari pihak internal merupakan hal yang wajar pula, karena pada dasarnya

inovasi adala perubahan, sementara kecenderungan individu resistan terhadap

perubahan. Resistensi dari pihak luar, dapat datang dari pesaing, pelanggan atau

pemerintah, tergantung siapa yang merasa akan dirugikan dari inovasi tersebut.

Kemampuan perusahaan mengatasi semua resistensi yang menghambat upaya

inovasi pada akhirnya membuahkan prestasi, dapat berupa prestasi keuangan

maupun non-keuangan. Lebih jauh lagi, mimpi – mimpi yang mengawali inovasi

perlu dipupuk secara terus menerus, pada semua anggota organisasi, agar prestasi

yang telah dicapai tidak segera hilang atau dikalahkan oleh pesaing yang melakukan

hal serupa. Dalam konteks ini, inovasi yang berkelanjutan memiliki potensi untuk

mendukung sustainable competitive advantage.

2. Permasalahan

Dalam perjalanan waktu inovasi tidak selalu berhasil (Franklin, 2003;

Christensen, 2003). Inovasi gagal karena berbagai alasan (Roger, 1995) antara lain:

apakah masyarakat melihatnya sebagai suatu peningkatan dari yang sudah ada

(relative advantage); apakah inovasi konsisten dengan sistem nilai (value system),

pengalaman dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan menggunakannya

(compatibility); akankah pengguna potensial mudah memahami dan memanfaatkan

karya inovasi (complexity); dapatkah masyarakat mencobanya dengan aman sebelum

memutuskan untuk menggunakannya (trialability); dan seberapa mudah bagi

masyarakat untuk melihat hasilnya (observability).

5

Di tengah janji memberikan manfaat, inovasi jika tidak dikelola dengan hati –

hati dapat menyebabkan kegagalan organisasi (Christensen, Raynor, 2003; Davila,

Epstein, Shelton, 2006). Terjadi dilema antara manfaat investasi yang diharapakan

dan dampak yang diperoleh dari pemanfaatan hasil inovasi (Christensen, 2005).

Untuk mengatasi masalah kemungkinan kegagalan inovasi atau dalam kata lain

guna meningkatkan probabilitas keberhasilan inovasi, diperlukan strategi inovasi

(Govindarajan & Trimble, 2005).

Studi mengenai kinerja inovasi di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh

perusahaan, belum cukup banyak dilakukan. Paper ini bermaksud melakukan kajian

literatur mengenai inovasi dan perannya dalam mendukung tercapainya prestasi

perusahaan berupa keunggulan daya saing yang kontinyu. Beberapa data yang

diperoleh dari situs Internet perusahaan – perusahaan Indonesia digunakan sebagai

objek analisa.

3. Kerangka Teori

3.1. Berawal Dari Ide

Inovasi berangkat dari ide. Berasal dari mana saja, karyawan, pemilik

perusahaan, atau manajemen. Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan

majikan, yang memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap

memegang idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan

(Hannah, 2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan

menghasilkan produk atau layanan baru. Ada beberapa faktor yang memengaruhi

kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide yang dimilikinya:

keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki idenya dipengaruhi secara

langsung oleh keyakinan karyawan tentang kekuatan upayanya mengajukan klaim

melawan kekuatan upaya perusahaan mengajukan klaim yang sama. Kedua variable

ini (kekuatan karyawan dan kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh

sifat dan kegunaan ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses

pembentukan ide, serta dipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung

6

jawab atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan

terhadap prosedur organisasi.

Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas ide

dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali diusulkan,

dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi kepada karyawan

bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk memberikan hak atas ide yang

dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai dengan substansi yang termaktub dalam

undang-undang hak atas kekayaan intelektual, yang menyatakan bahwa setiap

penemuan atau karya cipta yang dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas

kekayaan intelektual yang muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi

kerja.

3.2. Strategi Inovasi

Inovasi memiliki peran ganda: sebagai penentu daya saing ekonomi dan

sebagai sarana bagi pembebasan (liberation) dari keterbelakangan sosial budaya,

kebodohan, dan kemiskinan (Bobb, 2005). Sukses bisnis di abad milenium

ditentukan oleh inovasi (Hammel, 1999). Inovasi diartikan sebagai proses di dalam

organisasi untuk meman-faatkan ketrampilan dan sumber daya untuk

mengembangkan produk dan atau jasa baru atau untuk membangun sistem produksi

dan operasional baru sehingga mampu menjawab kebutuhan pelanggan (Jones,

2004).

Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi,

kemampuan untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang

dimiliki merupakan kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan bersaing

(Jones, 2004). Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi perusahaan.

Inovasi pada dasarnya berkenaan dengan perubahan, selain itu juga berkaitan

dengan resiko karena seringkali inovasi merupakan luaran aktivitas penelitian dan

pengembangan yang hasilnya tidak dapat dipastikan. Inovasi diawali dengan ide

kreatif. Ide kreatif ini tidak selalu harus berupa upaya penemuan atau atau

pencapaian sesuatu yang “besar” namun dapat juga berwujud upaya perubahan kecil

untuk memperbaiki praktek yang sedang berlaku.

7

Teknologi, peluang bisnis, modal, kewira-usahaan, regulasi dan budaya, dan

metodologi merupakan variabel yang mempengaruhi praktek inovasi di suatu

organisasi (Abend, 2005). Inovasi di lain pihak juga merupakan dilema bagi

manajemen, kelangsungan hidup organisasi dalam jangka panjang memerlukan

komitmen untuk selalu melakukan transformasi melalui disruptive growth, namun

demikian fakta membuktikan hanya sedikit perusahaan yang dapat sukses dengan

strategi ini (Denning, 2005). Organisasi inovatif memiliki komitmen untuk

mengendalikan lingkungan; struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk

berkreasi; kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem

manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998). Hambatan alamiah yang

seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi yang padat

(dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk mendelegasikan kewenangan,

dan tingkat pemeriksaan internal yang tinggi (Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan

Delbecq, 1977).

Agar inovasi dapat berkelanjutan dan mendukung kinerja perusahaan

diperlukan strategi inovasi (Terziovski, 2002). Terzioski menggolongkan strategi

inovasi ke dalam tiga kelompok: radical, incremental, dan integrated. Radical

merupakan strategi yang merujuk pada aktivitas inovasi yang tidak pernah ada

sebelumnya, mengubah secara drastis kemapanan, menghasilkan produk atau proses

baru yang berbeda dari sebelumnya. Incremental merupakan strategi berkembang

secara bertahap, memperbaiki produk atau proses bisnis yang sudah ada dengan

langkah inovatif. Integrated menggabungkan dua pendekatan terdahulu – radical dan

incremental – selain menemukan hal – hal baru (invention) strategi integrated juga

menganjurkan inovasi dengan cara mengembangkan dari yang sudah ada.

Manajer perlu mencermati faktor-faktor yang memengaruhi kinerja inovasi.

Blayse A. M & Manley K (2004) dari studi tentang pengaruh utama pada inovasi di

bidang konstruksi menyebut enam faktor yang mendorong atau menghambat

inovasi: Klien dan Penyedia Peralatan Produksi; Struktur Produksi; Hubungan

antara individu dengan perusahaan di dalam industri dan antara industri dengan

pihak luar; Sistem pengadaan barang dan jasa; Regulasi dan standar; serta sifat dan

kualitas sumber daya organisasi.

8

3.3. Hubungan Knowledge Manajemen dan Inovasi

Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena

knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari pada data,

informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan knowledge terletak

pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi yang menjadi pondasi bagi

proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Dari pemahaman ini, dapat

dikatakan bahwa knowledge management (KM) serta sumber daya manusia

merupakan elemen penting dalam menjalankan setiap bisnis. Namun demikian,

banyak organisasi tidak konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi

karena dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT)

atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004)

menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi perhatian

lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM) ketika membangun

strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM mendukung kinerja inovasi jika

pendekatan simultan dari soft HRM practices dan hard IT practices diimplementasikan

bersama-sama secara sinergi.

KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan

berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991; Nonaka

& Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999; Moore &

Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM mendapat kritik dari

berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah yang tidak cocok (misnomer)

atau oxymoron, penggunaan dua kata yang maknanya saling bertentangan (Coleman,

1999), atau membingungkan dan tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini,

akhirnya menjadikan KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta

ruang lingkup yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya

(Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada

pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan baru,

mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan customer value

(Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999) mendefinisikan KM sebagai

sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling berketergantungan dan terkait satu

9

dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge creation; knowledge valuation dan metrics;

knowledge mapping dan indexing; knowledge transport, storage dan distribusi; serta

knowledge sharing.

Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari

organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini

dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada aspek

tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan informasi,

menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk organisasi sebagai

sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis paradigm lebih menekankan

pada sifat pembelajaran dan peningkatan pengetahuan sebagai sumber daya

organisasi, menyorot peran individu dan kelompok dalam proses penyebaran

knowledge.

Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki

kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi.

Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur (Beckman,

1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan kepemimpinan

yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-dayaan karyawan

(Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998), memahami KM sebagai

strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999), ssaluran komunikasi yang kuat

(Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan komitmen untuk membangun dan

memertahankan iklim pembelajaran di dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz

& Beckman, 1998).

Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk

menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan competitive

advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu berubah (Nystrom, 1990).

Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi sebagai “sesuatu yang baru atau

ditingkatkan yang dihasilkan oleh perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang

signifikan baik secara langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada

perusahaan dan atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat

inovasi sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan

value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme yang

10

memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus, yaitu

kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).

Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja,

menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive advantage

bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum dapat dijelaskan

sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil rekayasa (inventions) serta

proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru, apakah berupa produk, sistem atau

proses (William, 1999). Lebih jauh, inovasi menempati posisi sangat penting dalam

organisasi (Davenport & Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal

intelektual berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis

perlu memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital,

inovasi).

Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik

dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge, ketrampilan

dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain, competitive advantage juga

membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam organisasi (Davenport & Prusak,

1998; Zand, 1997). Guna memahami inovasi dengan lebih baik, manajemen harus

memastikan bahwa inovasi menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan

(Cottrill, 1998). Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan

instrumen yang dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan

hubungan antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan

positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi

TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan bahawa

organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang integratif guna

memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai competitive advantage.

Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup

signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada

pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini dapat

dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan, dan oleh

karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong utama dalam

11

peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum dianggap nyata oleh para

manajer.

Organisasi sebaiknya berupaya mengimplementasikan Knowledge

Management secara terintegrasi guna memaksimalkan kinerja inovasi yang berujung

pada keunggulan kompetitif (Gloet & Terziovski, 2004). Namun demikian, ada

hubungan negatif yang cukup signifikan antara element – element TI yang fokus

pada kemajuan teknologi, seperti e-commerce, dengan kinerja inovasi. Adanya

hubungan negatif ini kemungkinan karena e-commerce masih pada tahap awal, dan

keyakinan kepada e-commerce sebagai pendorong utama dalam meningkatkan serta

memertahankan kinerja inovasi belum dimiliki oleh para manajer, khususnya di

industri manufaktur. Di sektor jasa, kondisinya agak berbeda. Studi Gloet dan

Terziovski (2004) menyebutkan ada indikasi para manajer di industri jasa memiliki

keyakinan yang lebih tinggi bisnisnya akan sukses dengan e-commerce dan inovasi

yang berbasis TI. Namun demikian kajian komprehensif tentang hubungan antara e-

commerce dan kinerja inovasi masih memiliki peluang yang cukup besar untuk

dieksplorasi.

3.4. Pengaruh Pasar Dalam Implementasi Inovasi

Dalam pengaruh berbagai kondisi pasar, semakin besar potensi pasar bagi

suatu produk, yang menjanjikan tingkat keutungan yang lebih besar, akan memacu

inovasi produk tersebut lebih cepat lagi. Artinya, ukuran pasar menjadi kunci

penentu bagi kinerja inovasi (Acemoglu & Linn, 2003). Bagaimanapun hebatnya

suatu produk inovasi berbasis teknologi canggih, namun kalau pasar untuk produk

tersebut tidak ada, atau produsen beserta pemasarnya tidak mampu menciptakan

pasar, maka tidak akan ada insentif bagi inovator atau produsen untuk terus

memroduksinya. Para ekonom selalu mengingatkan perlunya penciptaan pasar dan

insentif bagi karya inovasi dan invensi (Griliches & Schmookler, 1963 dalam

Acemoglu & Linn, 2003). Di sisi lain, inovasi lebih banyak dilatar-belakangi motif

ekonomi, dan motif inilah yang acapkali menjadi pendobrak (breakthrough) eknologi

dan ilmu pengetahuan. Schmookler menyebut beberapa contoh inovasi yang

dilandasi motif ekonomi antara lain, layanan jaringan kereta api, penyulingan

12

minyak dan gas bumi, pembuatan kertas, varietas baru tanaman, dan asih banyak

lagi.

Determinan utama tercapainya tingkat profitabilitas atas karya atau produk

inovasi adalah ukuran dan daya serap pasar. Ukuran pasar yang semakin besar, memberi

peluang bagi diperolehnya profit yang lebih besar, dan pada dampak sirkularnya akan

menguatkan minat menjalankan inovasi atau invensi. Profit dan ukuran pasar di dalam

inovasi juga merupakan stimulus (Brogan & Amstrong, 2004) serta hal penting dalam

model – model perubahan teknologi, yang menggunakan profit sebagai pendorong utama

dalam kemajuan teknologi (Aghion & Hewit, 1992; Grossman & Helpman, 1991; Romer,

1990).

3.5. Mengantisipasi Inovasi Yang Disruptif Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang semakin

sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme: berfungsi secara efisien,

sementara juga melakukan inovasi secara efektif guna memersiapkan diri menghadapi

hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola

kedua hal tersebut secara simultan. Untuk melaku-kannya perusahaan harus memahami

dan belajar mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan

berkelanjutan. Pendapat ini didukung oleh Tushman dan O’Reily (1997) yang

menunjukkan bagaimana inovasi telah mengacaukan kemapanan yang sudah dinikmati

oleh perusahaan. Kamera film berangsur hilang dari pasar sejak mulai diperkenalkan dan

berkembangnya kamera digital.

Demikian juga televisi hitam putih, sekarang sudah sulit ditemukan sejak

digantikan oleh televisi berwarna. Namun demikian televisi berwarna yang

menggunakan tabung katoda (Chatode Ray Tube), sekarangpun sudah mulai

menjelang hilang dari pasar sejak diperkenalkan televisi liquid crystal display (LCD).

Tushman dan O’Reily mengutip pendapat W.E Deming bahwa di berbagai industri

selalu ada perusahaan terkemuka yang dengan mudah mengalami kemunduran

setelah muncul inovasi yang berhasil mengacaukan pasar.

Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai

pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya dalam

13

menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru. Perusahaan

yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba kehilangan pasar yang

sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami kebangkrutan akibat munculnya

produk dengan teknologi baru yang menggantikan produk lama. Kondisi semacam

ini disebut tyranny of success, di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi

yang dikalahkan, karena kehilangan daya saingnya.

Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan,

penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi faktor-

faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan competitive advantage

pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika teknologi dan kondisi pasar

berubah dengan berjalannya waktu. Sukses merupakan pencapaian yang tidak

permanen yang dapat lepas dari tangan (Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal

tersebut, menjadi penting untuk mengenali pola sukses yang diikuti dengan

kegagalan – inovasi yang dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan

rasa puas diri (complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap

waktu. Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi

pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan dua

perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi perubahan

kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.

Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan

organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan mengelola

dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-tahankan suksesnya

model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang bersifat disruptif yang akan

memungkinkan mereka mampu bersaing di masa depan. Perusahaan sebaiknya tidak

hanya menaruh perhatian pada sukses keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka

juga harus fokus pada kemampuan jangka panjang guna membangun atau

mengomersialkan apa yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan

disukai oleh pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.

Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya

memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal mereka

juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-lumnya. Industri jam

14

tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam tangan Swis

menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz batteries dan jam

tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-sahaan Jepang dan

mengalahkan perusahaan Swis.

Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive

technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar yang

disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan perusahaan

besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak berhasil mengadopsi

teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat. Memahami kapan dan bagaimana

teknologi baru perlu diadopsi dapat membantu mengantisipasi pengenalan teknologi

masa depan, di mana beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif.

Menjadi penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada

kebu-tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada tidak

mampu bersaing menghadapi teknologi baru.

3.6. Dinamika Inovasi

Dinamika inovasi merupakan keterkaitan antara kebutuhan lama dan baru,

serta teknologi lama dan baru. Kelemahan yang banyak terjadi dalam penelitgian

sebelumnya antara lain mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap hubungan

antara kebutuhan dan teknologi. Return dari suatu teknologi bukan hanya

merupakan fungsi investasi, namun juga berupa pengaruh dari perubahan yang

dihasilkan dari investasi tersebut. Meyer dan Marquis menyajikan sebuah model

inovsi yang didasarkan pada studi dari ratusan inovasi industri beberapa dekade lalu.

Sementara itu, para ahli lain juga telah mengembangkan model – model inovasi;

seperti Robert Cooper yang membangun model dan kemudian dikembangkan dan

dikenal sebagai prose StateGate; juga Edward Roberts, yang mengemukakan

pengembangan flowchart dilengkapi dengan feedback loop. Menggunakan model

Meyer Dan Marquis, inonasi diawali hubungan antara kebutuhan (need) dengan

tekhnologi. Kombinasi keduanya mengilhami munculnya gagasan/ide, yang pada

tahap selanjutnya disaring, diuji, dikembangkan, ditimbang, dan kemudian

digunakan serta disebar-luaskan.

15

Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga

pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi: teknologi lama

mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver; driver mengalami

pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama tidak mampu memenuhi

kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh dominant driver baru; lingkungan

berubah menciptakan dominant driver baru. Mengenali teknologi baru yang dapat

menyebabkan disrutif merupakan tantangan, terutama ketika pelanggan tidak

mengenali bahwa kebutuhan kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu

tidak mengubah keputusan masa depan.

Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1) memahami dinamika inovasi dan

substitusi. Ada alasan-alasan tertentu mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan

yang tidak terpenuhi (baru atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan

untuk memenuhi kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau

yang akan dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang

diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka

butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver masa

depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas maksimum, dan

yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3) tidak meninggalkan

teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua. Kecuali ada kebutuhan yang

tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya untuk menggantinya dengan

teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan hanya fokus pada bagaimana dapat

menggunakan teknologi yang ada untuk menjawab driver yang sedang berkembang.

Beralih ke teknologi yang lebih baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas

kemampuan driver lama mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan

minimum driver baru; (5) implemen proses yang membantu mengantisipasi dan

mengelola perubahan.

3.7. Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja

Teknologi tidak secara langsung menghasilkan return; peran teknologi mendo-

rong adanya perubahan di dalam proses, material, fungsi atau kegunaan suatu

prioduk atau layanan (Paap & Katz, 2004). Kemampuan teknologi dalam membuat

16

semua perubahan tersebut disebut sebagai produktivitas. Kondisi dimana perubahan

bermanfaat bagi operasional internal (dalam inovasi proses) atau bagi perluasan basis

pelanggan (dalam inovasi produk atau layanan) dinamakan sebagai Leverage. Inovasi

memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted U-shape); dan

Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan pada kinerja

perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan interaksi antara inovasi

dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan (Cheng & Chun, 2005). Dari

pernyataan di atas dapat ditarik pendapat bahwa lebih banyak investasi pada modal

intelektual tidak selalu lebih baik. Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan

perbedaan perspektif dari modal intelektual guna meningkatkan kinerja.

Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa

inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-negara yang relatif

maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi pada pengembangan sain

dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir pengembangan TI telah berubah

sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan investasi TI membentuk infrastruktur

knowledge management di dalam organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker,

2003; Youndt et al, 2004). Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah

menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat

menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena TI dapat

dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open standard juga

mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan kemitraan lebih mudah

(Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat yang inkonsisten tentang

apakah investasi TI dapat memberi manfaat substansial bagi perusahaan.

Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi yang

dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan profesional yang

dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar tertentu, merupakan

definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997). Yang menjadi persoalan, tidak

selalu intelectual capital dapat memberi keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini

tidak hanya dihadapi oleh pelaku bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di

kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa investasi intellectual capital

17

secara nyata memberi kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002;

Youndt, et al, 2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa

intellectual capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan

(Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat tentang

peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar sependapat tentang

korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.

Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi

dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini bersifat

unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit untuk ditiru,

penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi kontribusi bagi

sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi lingkungan ekonomi yang

diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan harus memiliki kemampuan dalam

inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam membangun daya saing. Oleh karena itu,

memberi perhatian khusus pada sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan

TI akan memiliki dampak positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan

investasi TI memiliki asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan

(Bharadwaj et al, 1999; Abody & Lev, 2001).

Berdasar pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan

memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik. Namun

demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang konsisten. Berdasarkan

teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki batasan untuk berkembang,

salah satunya disebabkan oleh kemampuan manajemen (Penrose, 1959). Demikian

pula teori kurva-S, dan investasi R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat

menghasilkan kinerja (Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu,

produktivitas R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat

kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi

teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan return

yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.

Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja perusahaan,

besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir (Chang &

Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal ini terjadi.

18

Pertama, disebabkan oleh perubahan teknologi yang sangat cepat, investasi TI

cenderung terdepresiasi dengan cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah

menjadi lebih canggih dengan memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan

membuat duplikasi kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang

dimiliki perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi

lebih singkat.

3.8. Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi

Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu

Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi dengan

mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak selalu mudah

untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan meningkatnya intensitas

kompetisi internasional dan siklus produk yang semakin singkat, tekanan bagi

dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat. Strategi peningkatan yang dilakukan

secara kontinyu dari bawah ke atas (bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan

guna meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan

manufaktur. Di pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna

meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi memiliki

pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran praktis, strategi

peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu merupakan pendorong

utama di belakang berbagai upaya peningkatan kinerja, dan inovasi radikal

sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-produk kritikal, layanan dan proses.

3.9. Dilema Inovator

Kesulitan di dalam inovasi tidak hanya berupa pemikiran sempit, buah

pemikiran yang keliru, serta bias. Konflik yang terjadi di dalam inovasi berkaitan

dengan pilihan – pilihan. Di lingkungan organisasi publik, inovator seringkali

menghadapi tantangan dan dilema. Robert Behn (1997) mengemukakan dilema

inovasi, yakni: perma-salahan paradigma, disebabkan oleh kuatnya pengaruh pola

pikir (mental model) tertentu yang terdapat pada pemimpin, manajer, staf yang

19

menghambat proses kreatif untuk lahirnya inovasi; perangkap pemadam kebakaran,

inovasi seringkali dianggap sebagai pemenuhan kebutuhan penting guna menjawab

tuntutan keadaan yang baru saja timbul, padahal inovasi sejatinya merupakan proses

panjang serta membutuhkan strategi jangka panjang meski organisasi masih harus

mengelola krisis yang timbul dalam jangka pendek; ketakutan terhadap inovasi,

keyakinan bahwa suatu organisasi membutuhkan lebih banyak inovasi rutinisasi,

skala inovasi, dilema analitik, dilema struktural, dilema replikasi, dan dilema

motivasi.

Christensen (2003) melihat dilema inovator muncul ketika keputusan logis

oleh manejemen yang kompeten, yang merupakan faktor kritikal bagi sukses

perusahaan, menjadi penyebab perusahaan kehilangan kepemimpinan pasar.

Manajer oleh karenanya, perlu memahami bagaimana dan dalam kondisi apa

teknologi baru hasil inovasi dapat menyebabkan perusahaan besar mengalami

kegagalan. Dalam hal ini, manajer dituntut untuk dapat secara simultan

mengerjakan apa saja yang tepat untuk jangka pendek dengan mengutamakan

kesehatan perusahaan, dan dalam waktu yang bersamaan memberi perhatian besar

terhadap penyediaan sumber daya guna menghadapi munculnya disruptive

innovation, agar kinerja perusahaan tidak menurun.

3.10. Level Inovasi

Meski di dunia ini banyak terdapat perusahaan yang bisa dianggap inovatif,

ternyata tidak semua perusahaan inovatif berada pada level yang sama. Sama seperti

para ahli bela diri, ada beberapa tingkatan perusahaan inovatif. Level pertama,

perusahaan inovatif sabuk putih, adalah perusahaan yang memiliki individu inovatif

yang berbakat, atau perusahaan yang sesekali beruntung melahirkan inovasi melalui

departemen R&D-nya. Di perusahaan ini, inovasi akan muncul, tetapi hanya selama

individu kreatif tersebut masih bersama perusahaan. Bila sang jenius kreatif tersebut

keluar atau pensiun, inovasi perusahaan juga akan ikut berhenti. Kasus Sony dan

Akio Morita adalah contoh yang baik (Sony/Morita dan Apple/Jobs). Perusahaan

yang hanya bisa mengeluarkan satu kali produk inovatif dan setelah itu berhenti juga

bisa dimasukkan dalam kategori ini.

20

Level kedua, perusahaan inovatif sabuk kuning. Perusahaan ini sudah

berhasil memasukkan inovasi ke dalam prosesnya. Proses seperti berinteraksi dengan

konsumen untuk mengenali kebutuhan mereka, rapid prototyping, manajemen proyek

untuk pengembangan produk baru, atau brainstorming kelompok untuk mendapatkan

ide-ide baru sudah menjadi bagian dari SOP yang dilaksanakan secara disiplin.

Sistem insentif juga sudah ditata sehingga segala upaya inovatif, baik yang gagal

ataupun yang berhasil, dihargai secara layak. Di perusahaan seperti ini, para

karyawan dan individu kreatif boleh datang dan pergi, tetapi karena inovasi sudah

merasuk ke dalam sistem dan proses perusahaan, inovasi akan terjadi terus menerus.

Google, 3M dan IDEO sudah berada pada tingkatan ini. Kelihatannya level ini

sudah cukup tinggi, tetapi kenapa masih mendapat sabuk kuning? Karena, tentu saja,

masih ada level yang lebih tinggi lagi.

Level ketiga, perusahaan inovatif sabuk coklat. Perusahaan yang masuk level

ini telah memiliki proses untuk terus menerus memikirkan bagaimana meningkatkan

cara berinovasi. Perusahaan pada tingkatan ini akan melihat proses manajemen

proyek, atau prototyping, atau upaya mengenali kebutuhan konsumen mereka; dan

bertanya: Apakah ada cara untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses ini?

Apakah bisa dilakukan dengan cara lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik?

Perusahaan pada level ini bukan saja mampu mengeluarkan inovasi terus menerus,

tetapi malah mampu menginovasi cara untuk berinovasi secara terus menerus. P&G

adalah contoh perusahaan yang sudah menginjak level ini.

Level keempat, perusahaan inovatif sabuk hitam. Inilah puncaknya. Di

sinilah berdiam sang Master. Sang Yoda untuk para ksatria Jedi. Perusahaan di level

ini telah memiliki proses untuk memikirkan terus menerus bagaimana meningkatkan

proses untuk menginovasi proses-proses lainnya. Perusahaan di sini akan bertanya:

Apakah ada cara lain agar proses untuk meningkatkan inovasi bisa ditingkatkan lagi?

Adakah perusahaan yang berhasil mencapai tingkatan tertinggi tersebut? Tentu ada.

Toyota kelihatannya sedang menuju ke sana.

Tentu tidak mudah mencapai level tertinggi tersebut. Untuk menjadi ksatria

Jedi saja tidak semua makhluk cerdas bisa mencapainya, apalagi untuk menjadi

Yoda. Untuk hampir semua perusahaan yang ada di muka bumi ini, level tertinggi

21

tersebut selamanya akan hanya berupa mimpi. Untuk mencapai tingkatan tersebut,

inovasi bukan lagi sekumpulan teknik-teknik atau strategi atau taktik, tetapi sudah

merupakan filosofi hidup sehari-hari. Inovasi adalah Tao. Inovasi adalah Zen.

Sebuah jalan hidup. A state of being, not doing. Perusahaan dan inovasi sudah menjadi

satu. Inovasi bukan lagi merupakan lompatan besar yang terjadi sewaktu-waktu,

tetapi inovasi-inovasi kecil yang terjadi setiap hari, setiap menit, setiap detik.

Bagi sebagian besar perusahaan, mencapai sabuk kuning sudah merupakan

pencapaian yang patut dibanggakan. Tetapi tidak ada salahnya memasang target

yang lebih tinggi karena stretching goal seperti itu akan selalu membantu kita

mencapai sesuatu yang lebih tinggi dari yang bisa dibayangkan.

4. Profil Beberapa Perusahaan Inovator di Indonesia

4.1. Excelcomindo Pratama (XL) Layanan korporat dari XL. Persaingan antar operator telepon mobile, dan

juga antara GSM dan CDMA membuat XL melirik ke pasar korporat. Perusahaan

ini meluncurkan layanan Office Zone dan GSM PABX yang cukup inovatif. Lewat

fasilitas terbaru tersebut, XL berfungsi sebagai “extention” sistem komunikasi

perusahaan. Staf perusahaan yang memakai layanan ini bisa menelepon ke kantor

pusat tanpa dikenakan biaya sama sekali selama masih berada pada zona yang

ditentukan. Keluar dari zona tersebut, dikenakan biaya flat fee yang masih cukup

murah. Solusi ini termasuk inovatif karena didasarkan atas kebutuhan korporat yang

selama ini jarang diperhatikan. Solusi ini juga mampu menghemat biaya komunikasi

korporat, dan sekaligus menjamin pendapatan untuk XL dari segmen yang cukup

loyal tersebut.

4.2. PT Hartono Istana Teknologi (HIT) Produsen Polytron ini telah melahirkan beberapa inovasi yang pantas untuk

dicatat, antara lain teknologi Singasong (teknologi audiovisual di dalam kaset

audio), kulkas dua fungsi (pendingin dan penghangat), dan TV Xcel Home Theater

yang sudah dilengkapi dengan perangkat home theater dan DVD player. Inovasi dan

22

kualitas Polytron membuat banyak pembeli yang tidak tahu jika merek ini adalah

merek lokal.

4.3. Lain - lain

Sabun Harmony dan Lervia dari PT Megasurya Mas.

Sabun beraroma buah ini bukan saja diterima di Indonesia, namun sudah

diekspor ke mancanegara. Di India dan beberapa negara Timur Tengah, merek

Harmony cukup disegani. Bahkan, di negara Turki, nama Harmony sudah identik

dengan kategori sabun bearoma buah. Selain Harmony, Megasurya Mas juga

memproduksi Lervia Milk Soap, sabun mandi dengan ekstrak susu dan moisturizer

yang juga sudah diekspor ke lebih dari 30 negara.

Suplemen Stimuno dari PT Dexa Medica

Suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh ini menggunakan

tumbuhan khas Indonesia, meniran. Meniran, sebagaimana sudah diuji di

laboratorium, mampu mengobati infeksi kronis dan viral. Saat ini, produk tersebut

juga sudah diekspor ke negara-negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Vietnam,

dan Singapura.

Smart Diva

Dua sahabat keturunan blasteran yang kebetulan berhobi sama Jessica

Schwarze dan Amanda Sari mendapatkan ide untuk membuka usaha penyewaan tas

pesta. Meski ide ini sudah dijalankan sebelumnya di US, namun ide tersebut mereka

dapatkan sebelum mengetahui tentang perusahaan di US tersebut. Mereka juga

mengatakan bahwa ide ini adalah yang pertama kali dijalankan di Asia. Meski agak

ragu-ragu di awalnya, bisnis yang diberi nama Smart Diva ini sekarang sudah

dikenal di Jakarta.

PT Suwastama

Kala orang-orang melihat enceng gondok sebagai sesuatu yang mengganggu,

perusahaan ini justru melihatnya sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan.

23

Produk enceng gondok tersebut bukan saja sudah diekspor ke mancanegara, tetapi

perusahaan ini juga merangkul ribuan perajin di sekitarnya dan memberi mereka

bantuan fasilitas kepemilikan rumah.

The Electronic Doctor Indonesia (EDI)

Ide Henry Indraguna ini pantas diacungi jempol. Dengan membebankan

biaya keanggotaan Rp. 100.000,-, pelanggan akan mendapatkan garansi servis

setahun penuh untuk satu jenis produk elektroniknya. Untuk menjaga kualitas,

Henry menjamin pemakaian spare parts asli. EDI ini juga diwaralabakan ke kota-

kota lain di Indonesia.

5. Kesimpulan dan Peluang Penelitian Lanjut Dari beberapa contoh perusahaan di atas yang jauh dari lengkap, apalagi

yang ditampilkan hanya para inovator produk, sementara inovasi proses yang tak

kalah pentingnya belum terwakili, menunjukkan bahwa inovasi demi inovasi

sebenarnya bisa dilahirkan di Indonesia. Tidak ada persyaratan khusus untuk

menjadi inovator. Mereka yang membuat inovasi pada umumny aberawal dari

keinginan besar membuat perubahan, sesuatu yang baru. Dalam keadaan tertentu

teknologi tinggi dan perlindungan hak cipta tidak dibutuhkan, dan ketiadaan

perlindungan hukum tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak melakukan

inovasi. Inovasi yang sebenarnya justru bertitik tolak dari kebutuhan konsumen yang

belum terpenuhi dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara-

cara yang lebih baik dari kompetitor.

Pengetahuan terhadap kebutuhan lokal (seperti Teh Sosro) mampu dijadikan

alat bersaing dengan perusahaan multinasional yang terkadang kurang sensitif

terhadap perbedaan konsumen Indonesia dengan konsumen negara asalnya. Tidak

ada yang berani menjamin semua inovasi akan menghasilkan keuntungan. Secara

statistik, malah lebih banyak inovasi yang gagal. Beberapa produk/layanan yang

sekarang menguntungkan pasti akan mengalami masa-masa surut suatu saat nanti.

Inovasi hari ini akan menjadi produk umum di kemudian hari, apalagi dengan

cepatnya peniruan saat ini. Akan tetapi, kegagalan dan pasang surut tersebut

24

memang dibutuhkan sebagai upaya pembelajaran. Kegagalan sesungguhnya justru

terjadi bila kita takut mencoba karena takut gagal.

Banyaknya ragam inovasi yang dilakukan di Indonesia membuka peluang

bagi penelitian lanjut. Mengetahui kegagalan dan dilema yang dihadapi dalam

menawarkan gagasan dan melakukan inovasi serta kaitannya dengan tingkat sukses

di tangah iklim persaingan yang didominasi oleh produk-produk asing menjadi

peluang penelitain yang menarik. Di pihak lain, sebagai negara pengguna teknologi,

perusahaan Indonesia acapkali dihadapkan pada ketidak-seimbangan posisi tawar

dengan prinsipal. Akibatnya, agar masih tetap dapat kompetitif, banyak perusahaan

Indonesia yang melakukan perubahan atau bahkan modifikasi dari produk yang

sudah ada. Tindakan semacam ini, meski dapat mengandung resiko hukum, namun

dapat digolongkan sebagai sustaining innovation. Penelitian untuk mengetahui

bagaimana perusahaan Indonesia menghasilkan sustaining innovation menjadi

kajian yang cukup menarik.

Keterbatasan sumberdaya, seperti yang dialami oleh para penggiat Internet,

karena mahalnya harga bandwidth, memunculkan alternatif penggunaan pita

frekuensi 2.4GHz yang semula diatur menjadi tidak diatur oleh Pemerintah. Dalam

perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa inovasi yang semula dimaksudkan

untuk kemaslhatan masyarakat, dalam implementasinya mengalami kegagalan.

Antar pengguna spektrum frekuensi 2.4 GHz saling mengganggu, sehingga akhirnya

secara umum tidak ada yang diuntungkan. Kinerja inivasi yang dilakukan secara

komunal, jika tidak dibatasi dengan rambu-rambu kebijakan publik ternyata

memiliki dampak negatif. Kasus semacam ini layak dijadikan objek penelitian dalam

konteks manajemen stratejik lembaga publik.

25

Daftar Pustaka

Text Books: Abend, C.J., 2005, In Search of Innovation Synthesis, Ideas for a Unified Innovation

Theory, Technology Transfer Society.

Acemoglu D & Linn J (2003), Market Size in Innovation: Theory and Evidence from

Pharmaceutical Industry, MIT.

Applegate L. M|Austin R.D. |McFarlan W. F., 2003, Corporate Information Strategy

and Management, McGraw Hill

Callon J.D, 1996, Competitive Advantage Through Information Technology,

McGraw Hill

Christensen C.M, 2005, The Innovator’s Dilemma, Collins Business Essentials

Christensen C.M., Raynor M.E., 2003, The Innovator’s Solution, Creating And

SustainingSuccessful Growth, Harvard Business School Publishing Corporations

Christensen C.M.| Overdroft M., 2001, Meeting the Challenge of Disruptive Change

dalam Harvard Business Review on Innovation

Davenport T.H., 1999, Putting The Enterprise Into The Enterprise System, dalam

Harvard Business Review on The Business Value of IT.

Davila | Epstein | Shelton, 2006, Making Innovation Work, How to Manage it, Measure

it, and Profit from it, Wharton School Publishing

Davis J.|Miller G.|Russell A., 2006, Information Revolution, Using The Information

Evolution Model to Grow Your Business, John Wiley & Son.

Drucker P. F., 1993, Innovation and Entrepreneurship, Harper & Row Publisher

Franklin C., 2003, Why Innovation Fails, Spiro Press

Galliers R.|Dorothy L., 2003, Strategic Information Management, Challenges and

Strategies in Managing Information Systems, Butterworth & Heinemann

Govindarajan V.| Trimble C., 2005, 10 Rules for Strategic Innovators, From Idea to

Execution, Harvard Business School Press

Harrison N.|Samson D., 2002, Technology Management, Text and International Cases,

McGraw Hill

Indrajit, R.E. 2003, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi. Renaissance.

Jones G. R. 2004, Organizational Theory, Design, and Change, Prentice Hall.

26

Khalil T., 2000, Management of Technology, The Key to Competitiveness and Wealth

Creation, McGraw Hill

Laudon & Laudon, 2004, Management Information Systems

Light P. 1998, Sustaining Innovation: Creating nonprofit and Government Organizations

That Innovate Naturally, Jossey-Bass Publishers

Lucas H.C, Jr., 1999, Information Technology and the Productivity Paradox, Assessing the

Value of Investing in IT, Oxford Univerisity Press.

McCarty M.H., 2001, The Nobel Laureates, McGraw Hill

Prahalad C.K. & Ramaswamy V. (2004), The Future of Competition, Co-Creating

Unique Value With Customers, Harvard Business School Press.

Porter M. (1998), On Competition, Harvard Business Review Book

Ward, John & Joe Peppard, 2002, Strategic Planning for Information Systems

Wheelen, Thomas L. & J. David Hunger, 2004, Strategic Management & Business

Policy

Journal Innovation Strategy:

Berawi, M.A., Quality Revolution: Leading the Innovation and Competitive Advantages,

The International Journal of Quality and Relaibility Management, 2004; 21, 4.

Bobb, K.I. (2005), The Duality of Innovation: Liberation and Economic

Competitiveness, Georgia Institute of Technology.

Blayse A.M & Manley K (2004), Key Influence On Construction Innovation, School of

Construction and Management Property, Queensland University of Technology,

Australian Cooperatove Research Center for Construction Innovation.

Brogan M & Amstrong L, 2004, C-Commerce Innovation: Unraveling The Effects of

Knowledge Ties On Embedded Network Structure, School of Computer and

Information Science, Edith Cowan University.

Cheng Jen Huang | Chun Ju Liu, Exploration for the relationship between

innovation, IT and performance, Journal of Intellectual Capital: 2005; 6, 2.

Chesbrough, H.W. (2006), Open Innovation, The New Imperative for Creating and

Profiting from Technology, Harvard Business School Press.

27

Eibel-Spanyi, Katalin, Innovation in a Re-emerging Economy: Leasons from the Hungarian

Experience, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal,

Volume 11, Number 2, 2004.

Girardi, Antonia | Soutar, Geoffrey N | Ward, Steven, The Validation of a Use

Innovativeness Scale, European Journal of Innovation Management, Volume 8,

Number 4, 2005.

Gloet, Marianne | Tersziovski, Mile, Exploring the relationship between knowledge

management practices and inovation performance, Journal of

ManufacturingTechnology Management, Volume 15, Number 5, 2004, 402-409.

Greenhalgh, Trisha | Robert, Glenn | Macfarlane, Fraser | Bate, Paul | Kyriakidou,

Olivia, Diffusion of Innovation in Service Organizations: Systematic Review and

Recommendations, The Milbank Quarterly, Volume 82, Number 4, 2004, pp 581-

629.

Hannah, David R., Who Owns Ideas? An Investigation of Employees’Beliefs about the Legal

Ownership of Ideas, Creativity and Innovation Management, Volume 13, Number

4, December 2004.

Kodama, Mitsuru, Tehnological Innovation Through Networked Strategic Communities: A

Case Study on a High-Tech Company in Japan, SAM Advanced Management

Journal, Winter 2005; 70, 1.

Leiponen, Aija, Organization of Knowledge and Innovation: The Case of Finnish Business

Service, Journal of Industry and Innovation, June 2005; 12,2.

Paap, Jay | Katz, Ralph, Predicting the Unpredictable, Anticipating Disruptive Innovation,

Research Technology Management, Sep/Oct 2004; 47, 5.

Pijpers, Guus G.M. | Monfort, van Kees, An Investigation of Factors that Influence

Senior Executives to Accept Innovations in Information Technology, International

Journal of Management, March 2006, 23, 1.

Terziovski, Mile, Achieveing Performance Excellence Through an Integrated Strategy of

Radical Innovation and Continuous Improvement, Measuring Business Excellence,

2002; 6, 2.

Zairi, M (1999), Process Innovation Management, Best Practice, Butterworth-Heienmann.

28

Websites:

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 2005/1005/06/cakrawala/lain03.htm

http://aufklarung.wordpress.com/2005/10/06/seluler-yang-sarat-inovasi/