13
i ISBN: 978-602-61512-0-9

ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

i

ISBN: 978-602-61512-0-9

Page 2: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

ii

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017

ISBN : 978-602-61512-0-9

REVIEWER

1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri Jakarta)

2. Dr. Supardi US, M.Pd, MM (Universitas Indraprasta PGRI)

3. Dr. Fathiaty Murthado, M.Pd (Universitas Negeri Jakarta)

4. Dr. Tahrun, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)

5. Dr. Dessy Wardiah, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)

6. Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)

7. Dr. Sigit Ricahyono, S.S, M.Pd (Universitas PGRI Madiun)

8. Dr. Hasbullah (Universitas Indraprasta PGRI)

9. Dian Nuzulia, M.Pd (Universitas PGRI Palembang)

10. Yudi Darma, M.Pd (IKIP PGRI Pontianak)

11. Rahmatullah, M.Si (Universitas Indraprasta PGRI)

Diterbitkan oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB

PGRI)

Jl. Tanah Abang III No. 24 Jakarta 10160 Indonesia

Email : [email protected]

Cetakan Pertama, April 2017

Hak Cipta dilindungi undang-undang pada Penulis. Dilarang memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun

mekanik. Termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan system

penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

UNDANG – UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima

milyar rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau

Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak RP.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah.

Page 3: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

vi

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ...................................................................................................................... iii

PENGANTAR .................................................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... vi

PEMAKALAH UTAMA

1. Peranan LPTK Dalam Penguatan Karakter Calon Pendidik

Dr. H. Syarwani Ahmad, M.M. - Universitas PGRI Palembang........................

1-10

2. Pendidikan Karakter Dan Pembiasaan Akhlak Mulia Dalam Pembelajaran

Prof. Dr. Samion, H.AR.,M.Pd. - IKIP PGRI Pontianak....................................

11-16

3. Peran Strategis Perguruan Tinggi Dalam Mengembangkan Karakter Dan Daya

Saing Bangsa

Dr. Parji, M.Pd – Universitas PGRI Madiun.......................................................

17-23

4. Wayang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Karakter

Dendi Pratama - Universitas Indraprasta PGRI Jakarta......................................

24-29

TEMA I : PENDIDIKAN KAREKTER TERKAIT PENDIDIKAN IPS

5. Implementasi Pendidikan Karakter di Program Studi Pendidikan Geografi

Universitas PGRI Palangka Raya

Dedy Norsansi - Universitas PGRI Palangka Raya.................................................

30-38

6. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pijakan Menumbuhkembangkan Karakter

Patriotisme

Maryanto dan Nor Khoiriyah - Universitas PGRI Semarang................................

39-45

7. Nilai-Nilai Karakter Dalam Pelajaran Akuntansi

Fitriyanti - Universitas Sriwijaya Palembang.........................................................

46-50

8. Penerapan Model Mind Mapping Untuk Meningkatkan Penguasaan Materi IPS

Tahun Ajaran 2016/2017

Kukuh Wurdianto - Universitas PGRI Palangka Raya...........................................

51-55

9. Persepsi Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan

(Studi Kasus Universitas PGRI Madiun)

Moh. Ubaidillah - Universitas PGRI Madiun.........................................................

56-60

Page 4: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

xiv

94. Mendesain Bahan Ajar Matematika Interaktif Menggunakan Macromedia Flash

Retni Paradesa - Universitas PGRI Palembang.....................................................

634-641

95. Mengembangkan Karakter Mahasiswa Calon Guru Melalui Pembelajaran

Reflektif

Rohana - Universitas PGRI Palembang.................................................................

642-650

96. Reaktualisasi Pendidikan Nasional

Unifah Rosyidi-Universitas Negeri Jakarta............................................................

651-661

97. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Kinerja Guru

Wenny Daryani-SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III.................................................

662-668

TEMA VII: SEJARAH, BUDAYA DAN NILAI KARAKTER BANGSA.

98. Identifikasi Kebutuhan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Negeri 1 Belida

Darat Kecamatan Belida Darat Kabupaten Muara Enim Tahun Pelajaran

2016/2017

Anizah - Universitas PGRI Palembang................................................................

669-674

99. Pembelajaran Perilaku Keteladanan dan Antikorupsi Guna Meningkatkan

Kualitas Karakter Generasi Muda Menuju Indonesia Emas

Dwi Rohman Soleh - Universitas PGRI Madiun..................................................

675-682

100. Kosmologi Dalam Relief Candi Borobudur Sebagai Sumber Pembelajaran

Sejarah (Studi Ikonografi Candi Borobudur)

Feri Fitriansyah, M. Idris dan Ahmad Zamhari-Universitas PGRI Palembang...

683-690

101. Teknologi Dalam Kebudayaan Mataram Kuno Sebagai Sumber Pembelajaran

Sejarah (Studi Ikonografi Relief Candi Borobudur)

Idil Putra dan Sukardi - Universitas PGRI Palembang......................................

691-699

102. Mengembangkan Pendidikan Karakter Untuk Mengembalikan Marwah Bangsa

Melalui Kearifan Lokal

Moh. Zuhdi - STKIP PGRI Sumenep....................................................................

700-709

103. Siter Arah (Pensil Karakter Sejarah) Sebagai Media Penanaman Nasionalisme

Peserta Didik Kelas IV SDN Klumpit Kabupaten Madiun

Novi Triana Habsari - Universitas PGRI Madiun.................................................

710-726

104. Pendidikan Antikorupsi Dalam Membentuk Kompetensi Kepribadian

Mahasiswa di Perguruan Tinggi LPTK

Ratna Nurdiana - STKIP PGRI Lamongan..........................................................

727-738

105. Pengembangan Profesionalitas Guru dan Pendidikan Karakter Dalam

Meningkatkan Marwah Bangsa

Renata - Universitas PGRI Palembang.................................................................

739-744

106. Dunia Fauna Dalam Kebudayaan Mataram Kuno Sebagai Sumber Pembelajaran

Sejarah (Studi Ikonografi Relief Candi Borobudur)

Riky Febrianto dan Muhamad idris - Universitas PGRI Palembang....................

745-753

Page 5: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

642

MENGEMBANGKAN KARAKTER MAHASISWA CALON GURU

MELALUI PEMBELAJARAN REFLEKTIF

Rohana

Prodi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP, Universitas PGRI Palembang

[email protected]

Kata Kunci ABSTRAK

Karakter,

pembelajaran reflektif,

mahasiswa calon guru

Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter

merupakan fungsi pendidikan nasional yang harus dilaksanakan

melalui proses pembelajaran. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan

dan penguatan kompetensi guru dan calon guru menjadi sangat

penting. Salah satu upaya tersebut menyangkut

pendekatan/model/strategi yang digunakan dalam pembelajaran.

Adapun yang menjadi pertimbangan dalam memilih

pendekatan/model/strategi pembelajaran diantaranya adalah

pengembangan model pembelajaran sesuai konteks peningkatan

mutu hasil belajar secara terus-menerus dan bersifat komprehensif.

Pembelajaran reflektif merupakan pembelajaran yang melibatkan

proses berfikir reflektif dalam prosesnya. Beberapa aktivitas yang

ditawarkan untuk mendorong mahasiswa calon guru melakukan

proses berfikir reflektif. Penerapan pembelajaran reflektif secara

konsisten dan berkelanjutan akan membentuk kebiasaan berefleksi

terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu seperti kebiasaan

memonitor, mengontrol, dan mengevaluasi apa yang telah

dilakukan. Melalui penerapan pembelajaran reflektif, tidak hanya

aspek kognitif yang berkembang, namun juga aspek afektifnya.

Pada akhirnya diharapkan dapat membentuk insan cerdas yang

berkarakter. Makalah ini akan mengkaji secara teoritis kaitan

pembelajaran reflektif untuk mengembangkan karakter

mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru.

PENDAHULUAN

Pentingnya pendidikan sebagai landasan

bagi pembangunan bangsa sudah disadari oleh

para pendiri bangsa ini melalui paradigma

”Build Nation Build School” (Muhajir &

Khatimah, 2013:4). Bahkan, Plato (dalam

Suyitno, 2011:3) menegaskan bahwa ”seperti di

sekolah, itulah negara”. Makna ucapan Plato ini

adalah keadaan apa yang diinginkan dalam

suatu negara harus dibangun melalui

pendidikan di sekolah. Hasil pendidikan yang

diberikan di sekolah akan menentukan dan

membentuk corak kehidupan suatu bangsa di

masa depan. Sebagaimana dinyatakan oleh

Dewantara (1962:3) bahwa,

mendidik anak, itulah mendidik rakjat.

Keadaan dalam hidup dan penghidupan

kita pada djaman sekarang itulah

buahnja pendidikan jang kita terima dari

orang tua pada waktu kita masih kanak-

kanak. Sebaliknja, anak-anak jang pada

waktu ini kita didik, kelak akan mendjadi

warganegara kita.

Makna pendidikan yang dimaksud oleh Ki

Hajar Dewantara adalah pendidikan sebagai

upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan

batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh

anak didik. Oleh sebab itu guru atau calon guru

memiliki peran yang sangat penting dalam

membangun karakter bangsa.

Secara historis, pendidikan karakter

bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan

nasional Indonesia, semua undang-undang yang

berlaku (UU 4/1950; 12/1954; 2/1989) dengan

rumusannya yang berbeda secara substansif

memuat pendidikan karakter (Saepudin, 2010).

Saat ini, pendidikan karakter kembali menjadi

komitmen nasional di Indonesia yang

dituangkan dalam Undang-Undang No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (UUSPN). Dalam Pasal 3 UUSPN

disebutkan bahwa pendidikan nasional

Page 6: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

643

berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk karakter serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi siswa agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga Negara yang demokratis serta

bertanggung jawab. Amanat dari UUSPN ini

adalah bahwa pendidikan tidak hanya

melahirkan insan yang cerdas secara

intelektual, namun juga berkarakter. Pada

akhirnya diharapkan peserta didik memiliki

kompetensi sikap (attitude), keterampilan

(skill), dan pengetahuan (knowledge) jauh lebih

baik dengan lebih kreatif, inovatif, dan lebih

produktif, sehingga nantinya mereka bisa

sukses dalam menghadapi berbagai persoalan

dan tantangan di zamannya, memasuki masa

depan yang lebih baik.

Namun kenyataannya, saat ini bangsa

Indonesia mengalami keterpurukan dalam

kualitas pendidikan. Sudah menjadi

keprihatinan umum apabila berbagai perilaku

spontan destruktif telah menggejala pada

peserta didik di Indonesia, seperti: perkelahian

antar pelajar, pesta narkoba, geng motor, kebut-

kebutan di jalan raya, dan sebagainya. Menurut

Sirajuddin (2009:189), hal tersebut dikarenakan

miskinnya pengalaman berefleksi pada peserta

didik kita dan dimensi reflektif telah lama

diabaikan dalam praksis pembelajaran di negeri

ini.

Proses belajar mengajar di kelas

merupakan suatu kegiatan yang dapat

menumbuhkembangkan karakter melalui

pembiasaan. Agar hasil dari pendidikan

karakter dalam lingkup pembelajaran di kelas

terlaksana secara optimal hendaknya pendidik

merancang dan melaksanakan suatu strategi,

model, ataupun pendekatan pembelajaran yang

dapat mengembangkan kemampuan akademik

sekaligus mengembangkan karakter peserta

didik. Terlebih lagi bagi institusi LPTK yang

mendidik calon guru, harus mampu

menghasilkan lulusan yang mampu

memunculkan dan mengembangkan nilai-nilai

karakter tersebut.

Pembelajaran reflektif (Reflective

Learning) dapat dijadikan salah satu alternatif

pembelajaran karena mampu mengakomodasi

kegiatan berfikir reflektif pada prosesnya.

Refleksi dalam konteks pembelajaran

dirumuskan Boud, Keogh & Walker (Boud,

2001) sebagai kegiatan intelektual dan afektif

yang melibatkan peserta didik dalam upaya

mengekplorasi pengalaman mereka untuk

mencapai pemahaman dan apresiasi-apresiasi

baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Insuasty

dan Castillo (2010) bahwa refleksi harus

menjadi bagian yang mendasar bagi

pengembangan guru karena guru memiliki

kewajiban untuk mampu mengevaluasi dan

menata kembali kemampuan mengajar agar

dapat mengoptimalkan proses belajar-

mengajar. Selain itu, Zeichner dan Liston

(dalam Radulescu, 2013) menegaskan bahwa

konsep pembelajaran reflektif sebagai sarana

untuk mengembangkan kemampuan

profesional guru. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa pembelajaran reflektif dapat

mengembangkan kesadaran individu untuk

melakukan refleksi terhadap dirinya sehingga

terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol

dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya.

Pada akhirnya, individu tersebut akan terlatih

untuk selalu merancang strategi terbaik dalam

memilih, mengingat, mengenali kembali,

mengorganisasi informasi yang dihadapinya,

serta dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal

ini tidak hanya aspek kognitif individu yang

berkembang, namun juga aspek afektifnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, makalah

ini akan menguraikan secara teoritis konsep

karakter dan pendidikan karakter, serta

bagaimana pembelajaran reflektif berpotensi

mengembangkan karakter individu khususnya

bagi mahasiswa calon guru.

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Karakter

Istilah karakter baru dipakai secara

khusus dalam konteks pendidikan pada akhir

abad 18 yang dicetuskan pertama kalinya oleh

pedagog Jerman F.W. Foerster. Terminologi ini

mengacu pada sebuah pendekatan idealis-

spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal

dengan teori pendidikan normatif. Adapun yang

menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden

yang dipercaya sebagai motor penggerak

sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah

perubahan sosial (Muslich, 2011:37).

Menurut Kevin Ryan dan Karen Bohlin

dalam Gelpi (2008:28) istilah karakter berasal

dari bahasa Yunani ”charassein”, yang

berarti ukiran di atas batu permata atau

permukaan besi yang keras. Dari sinilah

kemudian berkembang pengertian karakter

yang diartikan sebagai tanda khusus. Pada

Page 7: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

644

manusia dimaknai sebagai pola perilaku

individu yang merupakan cerminan dari dasar

moralitasnya (an individual’s pattern of

behavior...his moral constitution).

Karakter dalam Bahasa Indonesia berarti

watak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

watak adalah “sifat batin manusia yg

mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah

laku”. Kevin Ryan (dalam Vincent, 2007)

menyatakan bahwa karakter adalah dasar

moral seseorang yang tercermin dalam pola

perilakunya. Dasar moral seseorang terbangun

melalui pengamatan terhadap apa yang ada di

sekitarnya seperti: orang tua, kerabat, guru,

pelatih, tetangga. Melalui apa yang diamati

itulah mulai ditumbuhkan kebiasaan bersikap

sopan atau bersikap tidak sopan. Karakter

ditumbuhkan melalui pemahaman mengenai

nilai-nilai kemanusiaan dan penerapannya

yang akan mempertajam respon intelektualitas

serta pemikiran dibentuk sebagai sebuah peta

jalan moral. Karakter juga dibentuk oleh apa

yang telah dilakukan untuk orang lain dan

pelayanan untuk orang lain baik di lingkungan

sekolah maupun di masyarakat.

Sementara itu, Prayitno dan Khaidir

(dalam Budimansyah, 2012:3)

mendefinisikan karakter sebagai sifat pribadi

yang relatif stabil pada diri individu yang

menjadi landasan bagi penampilan perilaku

dalam standar nilai dan norma yang tinggi.

Prayitno dan Khaidir menyatakan bahwa

hidup berkarakter adalah hidup yang

dikehendaki, yakni yang menempuh jalan

lurus mengikuti kaidah-kaidah nilai dan

norma sesuai dengan fitrah manusia yang

berorientasi kebenaran dan keluhuran.

Namun, kata karakter (character)

sering ditukarpakaikan dengan kata

kepribadian (personality), padahal kedua kata

ini adalah dua hal yang berbeda. Sebagaimana

dikemukakan oleh Kupperman (1991:5)

bahwa, ”the word personality sometimes

treated as interchangeable with character,

although its connotations are often very

different”. Karakter (character) tidak sama

dengan kepribadian (personality). Dalam

referensi yang sama, Kupperman

mengemukakan bahwa karakter lebih

berkonotasi morality dibandingkan dengan

kepribadian (personality). Selanjutnya,

Kupperman mengartikan personality sebagai

kualitas atau kumpulan dari kualitas yang

membuat seseorang berbeda dari yang lain,

”that quality or assemblage of qualities which

makes a person what he is, as distinct from

other persons”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat

dipahami bahwa karakter merupakan

perwujudan/manifestasi/cerminan dari segala

nilai kebaikan dan segala potensi kebaikan yang

telah ada dalam diri manusia yang disebut

fitrah. Tetapi fitrah itu tidak dapat muncul

secara otomatis menjadi karakter, melainkan

perlu dimunculkan dengan sengaja dengan cara

membangun kemampuan berpikir secara

berkesinambungan. Manusia yang berkarakter

adalah manusia yang sikap batiniah dan

perilaku lahiriahnya merupakan cerminan dari

segala nilai kebaikan yang telah ada di dalam

dirinya. Jadi, karakter adalah perwujudan segala

nilai-nilai kebaikan dan potensi kebaikan yang

ada dalam diri manusia.

1.2 Konsep Pendidikan Karakter

Meskipun nilai-nilai kebaikan dan

potensi kebaikan (fitrah) itu sudah ada dalam

setiap diri manusia, namun fitrah tersebut

tidak muncul secara otomatis, dan harus

dimunculkan lewat suatu usaha. Jika usaha

terarah secara benar maka fitrah itu akan

muncul dan menghasilkan karakter. Tetapi

jika usaha itu terarah ke arah yang salah maka

fitrah tidak akan muncul. Douglas (dalam

Samani dan Haryanto, 2012:41) menegaskan

bahwa karakter tidak diwariskan tetapi

sesuatu yang dibangun secara

berkesinambungan hari demi hari melalui

pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran,

tindakan demi tindakan. Untuk memunculkan

karakter tersebut dilakukan melalui

pendidikan, yang lebih dikenal dengan

pendidikan karakter.

Elkind & Sweet (Kemdiknas, 2010),

memaknai pendidikan karakter sebagai:

“character education is the

deliberate effort to help people

understand, care about, and act upon

core ethical values. When we think

about the kind of character we want

for our children, it is clear that we

want them to be able to judge what is

right, care deeply about what is right,

and then do what they believe to be

right, even in the face of pressure from

without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan

karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan

pendidik, yang mampu mempengaruhi karakter

Page 8: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

645

peserta didik. Pendidik membantu

memunculkan karakter peserta didik. Hal ini

mencakup keteladanan, diantaranya:

bagaimana perilaku pendidik, cara pendidik

berbicara atau menyampaikan materi,

bagaimana pendidik bertoleransi, dan berbagai

hal terkait lainnya. Dengan demikian terlihat

pendidik memiliki peran besar dalam

menyentuh karakter peserta didik kearah yang

lebih baik. Situasi pembelajaran di kelas sangat

memungkinkan sekali bagi pendidik untuk

memunculkan dan mengembangkan karakter

kepada pada peserta didik sehingga dapat

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam aplikasi pendidikan karakter,

pendidik dihadapkan dilema yang terletak pada

kurikulum tersembunyi dan perlunya

komitmen dalam mengajar yang terbuka dan

menyeluruh pada aspek-aspek sekolah.

Sebagaimana dinyatakan Narvaez (dalam

Anwar, 2012), ba h wa :

“ the dilemma that faces teacher

educator, then is whether it is

acceptance to allow character

education to remain part of a

school’s hidden curriculum or whether

advocacy for the value commitments

immanent to education and teaching

should be transparent, intentional

and public”.

Kegamangan para pengajar ini dapat dimaklumi,

mengingat hal itu bukanlah sesuatu yang

sederhana. Apabila pendidikan karakter

diposisikan sebagai hidden curriculum, berarti

pendidikan karakter bukanlah sebagai mata

pelajaran yang berdiri sendiri, bukan sesuatu

yang terstruktur, juga bukan sesuatu yang

terencana. Padahal pendidikan karakter harus

diajarkan di kelas bersama-sama dengan

berbagai mata pelajaran lainnya dan harus

dievaluasi. Sesuatu yang harus diajarkan di

kelas, tidak mungkin dilakukan tanpa

perencanaan dan tanpa langkah aplikasi yang

sistematis. Kemudian pada saat evaluasi para

pengajar pun dihadapkan pada kebingungan

bagaimana cara mengevaluasi sesuatu yang

tersembunyi/ terselubung itu. Jika pendidikan

karakter bersifat terencana, terbuka,

terstruktur/sistematis, ada materinya dan ada alat

ukurnya, maka itu berarti sudah bukan materi

terselubung lagi. Inilah dilema yang dihadapi

para pengajar di lapangan.

Kesimpangsiuran pengertian pendidikan

karakter ini sudah disadari oleh beberapa ahli

dengan cara memberikan sebuah konsep yang

utuh tentang pendidikan karakter beserta

metodenya. Pertama, Ryan (dalam Vincent,

2007) mengungkapkan pengertian pendidikan

karakter dalam bahasa kiasan yang tegas

“Character education is not another thing to be

added to the plate. It is the plate”, pendidikan

karakter bukanlah kegiatan ‘menuangkan suatu

benda asing ke atas piring’, tetapi karakter

adalah ‘piring’ itu sendiri. Kedua, Mulyasa

(2011:5) mengemukakan bahwa pendidikan

karakter memiliki makna yang lebih tinggi

daripada pendidikan moral karena pendidikan

karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah

benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan

kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik

dalam kehidupan, sehingga peserta didik

memiliki kesadaran, dan pemahaman yang

tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk

menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-

hari. Hal ini sejalan dengan ungkapan

Aristoteles (Aristotle, 1958) bahwa karakter

erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang

terus menerus dipraktikkan dan diamalkan.

Ketiga, Su’ud, dkk. (2011:50) menegaskan

bahwa nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan.

Hal ini mengandung makna bahwa materi nilai

budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan

ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan

pokok bahasan yang dikemukakan seperti

halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,

prosedur, ataupun fakta seperti yang tercantum

dalam mata kuliah. Mata kuliah digunakan

sebagai bahan atau media untuk

mengembangkan nilai-nilai budaya dan

karakter bangsa.

Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pendidikan karakter adalah usaha untuk

membangkitkan karakter peserta didik

(siswa/mahasiswa) melalui pembentukan

kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir

peserta didik dibentuk melalui sebuah

pembelajaran yang sistematis. Hal ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1

Proses Membentuk Karakter Peserta didik

KARAKTER PEMBELAJARAN KEMAMPUAN

BERPIKIR

Page 9: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

646

Proses membentuk karakter peserta didik

merupakan usaha yang harus terus menerus

dilakukan tanpa mengenal kata berhenti.

Sebagaimana ditegaskan oleh Aristotle (dalam

Megawangi, 2007:59) bahwa manusia tidak

secara alami atau spontan tumbuh menjadi

manusia yang bermoral baik atau menjadi

bijaksana, mereka bisa demikian hanya karena

usaha yang dilakukan seumur hidup oleh

individu atau masyarakat.

1.3 Makna Belajar dan Pembelajaran

dalam Pendidikan Karakter

Surya (2003) mengemukakan bahwa

pembelajaran merupakan suatu proses yang

dilakukan oleh individu untuk memperoleh

suatu perubahan perilaku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman

individu itu sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya. Menurut Hergenhahn & Olson

(2009), kebanyakan teoritisi/ahli psikologi

memandang bahwa belajar adalah sesuatu yang

terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman

dan mendahului perubahan perilaku.

Hergenhahn&Olson(2009) menggambarkan

situasi belajar dalam diagram berikut ini:

Gambar 2

Pengaruh belajar terhadap perubahan perilaku

Dapat dikatakan bahwa jika seorang individu

belajar maka sangat memungkinkan terjadi

perubahan perilaku pada individu tersebut.

Begitupun dengan perilaku berkarakter akan

terbentuk melalui proses belajar, didesain

secara sadar dan bukan secara kebetulan.

Pusat Pengkajian Pedagogik (P3) UPI

(Kesuma, Permana &Triatna, 2010)

menyatakan bahwa belajar dalam konteks

pendidikan karakter merupakan proses

menerima atau menolak dan menyalurkan nilai

untuk diadopsi atau diabaikan dalam perilaku

keseharian anak yang dipengaruhi oleh

kondisi/potensi awal yang dimiliki anak. Dalam

referensi yang sama dikatakan bahwa belajar

dideskripsikan sebagai proses yang

memunculkan analisis kognisi, afeksi dan

psikomotor secara terpadu dan menghasilkan

keputusan apakah hal tersebut akan diterima

atau ditolak. Proses belajar dalam konteks

membentuk karakter akan digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 3

Proses Belajar dalam Konteks Pendidikan Karakter

(Sumber: Kesuma, Permana&Triatna, 2010: 423)

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran dari sudut

pandang pendidikan karakter merupakan proses

interaksi alamiah antara peserta didik dan

lingkungan belajarnya yang merujuk pada

penanaman nilai. Oleh karena itu tidak ada

perilaku yang bebas nilai. Pendidik berperan

Variabel Independen

Variabel Perantara

Variabel Dependen

Pengalaman

Belajar

Perubahan Perilaku

+ +

(Potensi Awal)

++++

(Hasil Belajar)

Proses Belajar

-

_

+

_

+

_

-

Page 10: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

647

untuk menetralisir energi negatif menjadi energi

positif.

1.4 Prinsip-prisip Pembelajaran Reflektif

Pembelajaran reflektif dikembangkan

berdasarkan landasan filosofis konstruktivisme

dan landasan psikologi kognitif (teori belajar).

Pada hakekatnya konstruktivisme dalam

pembelajaran merupakan suatu pendekatan

dalam pembelajaran yang didasarkan pada

pengalaman (experience is the only basis for

knowledge and wisdom), yang kemudian

direorganisasi dan direkonstruksikan. Oleh

karena pengetahuan itu dikonstruksi oleh

peserta didik sendiri secara personal maupun

sosial, maka pengetahuan tidak dapat

dipindahkan dari pendidik ke peserta didik,

kecuali dengan keaktifan nalar peserta didik

sendiri yang berlangsung secara terus menerus.

Dewey menekankan peranan

pengalaman dalam proses belajar manusia yang

diperoleh melalui proses berfikir reflektif.

Selain itu Degeng (Sirajuddin, 2009)

menyebutkan bahwa dalam pandangan

konstruktivisme belajar merupakan penyusunan

pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas

kolaboratif, refleksi, dan interpretasi. Jadi

dalam proses pembelajaran, individu

mempelajari sesuatu tidak dilakukan secara

pasif tapi secara aktif. Artinya peserta didik

harus aktif membangun pengetahuan maupun

pemahaman dengan cara menemukan makna

dari apa yang dipelajari. Dalam hal ini, pendidik

berfungsi sebagai mediator dan fasilitator yang

membantu dan membimbing peserta didik

dalam proses membangun pengetahuannya agar

tahu cara dan memiliki kemampuan untuk dapat

belajar.

Setiap individu dikarunia dengan banyak

pengalaman. Baik atau buruk, pengalaman ini

dapat digunakan untuk melanjutkan belajar dan

membuat pilihan penting bagi kehidupan

mereka. Hal ini dapat dicapai dengan alat

penting yang disebut pembelajaran reflektif.

Boyd & Fales (Tebow, 2008) mendefinisikan

pembelajaran reflektif sebagai "the process of

internally examining and exploring an issue of

concern, triggered by an experience, which

creates and clarifies meaning in terms of self,

and which results in a changed conceptual

perspective", yaitu suatu proses internal

memeriksa dan mengeksplorasi isu yang

memprihatinkan, dipicu oleh pengalaman, yang

menciptakan dan menjelaskan makna dari segi

diri, dan yang menghasilkan perspektif

konseptual perubahan".

Berpikir reflektif harus ada dalam

proses belajar mengajar di kelas. Berpikir

reflektif membuat siswa lebih menyadari apa

yang sedang dipelajarinya dan memberikan

kemungkinan pemahaman yang lebih

mendalam dalam setiap apapun yang

dipelajarinya. Menurut Perkins (Dharma,

2007:302) pembelajaran reflektif

memungkinkan kita menjadi apapun yang kita

mampu jika kecerdasan reflektif dipupuk dan

dikembangkan dengan serius. Sparrow, Tim

and Jo Maddock (2006) dalam artikelnya

tentang reflective lerning menyatakan:

The practice of reflective learning is

part of a continuous process of learning

and developing: I become aware of my

next experience, reflect upon it and

evaluate it in relation to my other

experiences and reinforce or revise my

self knowledge.

Adapun makna dari kalimat diatas, praktek

pembelajaran reflektif adalah bagian dari

proses pembelajaran dan perkembangan secara

terus-menerus. Seseorang menjadi sadar

melalui pengalamannya. Dengan

merefleksikan dan mengevaluasi

pengalamannya, seseorang dapat memperkuat

atau merevisi pengetahuannya.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya,

dapat dikatakan bahwa pembelajaran reflektif

bertumpu pada pengalaman dan kemampuan

berpikir reflektif, memberikan kesempatan

kepada siswa untuk melakukan analisis atau

pengalaman individual yang dialami, dan

memfasilitasi pembelajaran dari pengalaman

tersebut. Dengan adanya kebiasaan berpikir

reflektif, seseorang dapat menanggapi secara

mendalam dan kritis atas pengalamannya

sendiri yang pada akhirnya mampu memilih

tindakan yang cocok untuk pengembangan

dirinya.

1.5 Penerapan Pembelajaran Reflektif

Belum ada konsensus yang menetapkan

bagaimana tepatnya pembelajaran reflektif ini

diaplikasikan di dalam kelas. Namun, menurut

Song, Koszalka dan Grabowski (2005)

setidaknya ada 3 hal penting yang harus

diperhatikan pendidik dalam mendorong proses

berfikir reflektif di kelas, yaitu:

a. Metode mengajar dapat

Page 11: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

648

mempengaruhi perkembangan

keterampilan berpikir reflektif

p e s e r t a d i d i k , misalnya:

metode mengajar dengan aktivitas

berorientasi inquiri dengan memberi

peserta didik pertanyaan yang sarat

akan pemikiran, penjelasan yang

mendeskripsikan konsep baru,

pemberian waktu-tunggu yang

efektif bagi p e s e r t a d i d i k untuk

berpikir sebelum memberikan reaksi,

dan menyediakan situasi nyata dan

ilmu pengetahuan yang kontekstual

tentang informasi baru yang sedang

dipelajari.

b. Scaffolding tools (alat perancah),

seperti jurnal interaktif,

pertanyaan-pertanyaan yang

mendorong, dan peta konsep.

c. Learning Environment (lingkungan

belajar) mendorong peserta

didik untuk mengkonstruksi makna

secara aktif dan reflektif, misalnya

dengan menyediakan instruksi yang

memungkinkan kontrol dari peserta

didik sehingga mendorong mereka

untuk membuat keputusan mereka

sendiri berkaitan dengan proses

belajar mereka.

Berikut ini adalah argumentasi bagi

penerapan pembelajaran reflektif menurut

Drost (dalam Sirajuddin, 2009), yaitu:

a. Pembelajaran reflektif dapat diterapkan

pada semua jenis kurikulum sebagai

suatu sikap, mentalitas, dan pendekatan

yang konsisten yang mewarnai seluruh

proses pembelajaran.

b. Pembelajaran reflektif dapat diterapkan

tidak hanya pada disiplin akademis tapi

juga pada ranah non akademis.

c. Memungkinkan para pendidik untuk

memperkaya baik isi maupun susunan

bahan pelajaran, sedangkan peserta

didik dapat belajar lebih aktif dan

bertanggungjawab.

d. Memungkinkan peserta didik

menghubungkan bahan pelajaran

dengan pengalaman mereka dan belajar

dari pengalaman tersebut.

e. Penerapan pembelajaran reflektif

secara konsisten dan berkelanjutan

akan membentuk kebiasaan berefleksi

terlebih dahulu sebelum melakukan

sesuatu.

f. Membangun kepekaan nurani terhadap

hubungan-hubungan manusiawi,

sehingga membuat peserta didik

semakin peduli terhadap sesama.

1.6 Strategi Mengembangkan Karakter

melalui Pembelajaran Reflektif

Menurut Kesuma, Permana & Triatna

(2010), proses pembelajaran reflektif dapat

diimplementasikan melalui integrasi materi-

materi pada setiap mata pelajaran/perkuliahan

dengan nilai-nilai tertentu yang akan diperkuat

menjadi sikap/perilaku individu.

Berikut merupakan tahapan yang

sebaiknya dilakukan oleh pendidik untuk

mengintegrasikan nilai-nilai karakter melalui

pembelajaran reflektif yang dimodifikasi

berdasarkan pendapat Kesuma, Permana &

Triatna (2010) adalah sebagai berikut:

a. Pendidik menyusun Rencana

Pembelajaran berbasis karakter. Lebih

baik lagi jika nilai-nilai karakter yang

dirujuk tersebut merupakan hasil

kesepakatan antara institusi dan

stakeholder yang menjadi visi institusi

tersebut.

b. Pendidik

merancang/menyusun/menggunakan

bahan ajar yang mengintegrasikan

nilai-nilai karakter di dalamnya. Bahan

ajar tersebut diharapkan tidak hanya

menyajikan materi/pengetahuan, tetapi

yang juga menguraikan nilai-nilai

yang yang terkait dengan

materi/pengetahuan tersebut. Nilai-

nilai tersebut diinternalisasi dalam

aktifitas-aktifitas belajar aktif sehingga

mampu mendorong terjadinya

autonomous learning dan bersifat

learner-centered.

c. Pendidik melakukan apersepsi yang

kontekstual dengan kehidupan peserta

didik dan terkait dengan materi yang

akan dibahas.

d. Melakukan pembelajaran sebagaimana

didesain dalam Rencana Pembelajaran.

Dalam pelaksanaan kegiatan inti

pembelajaran, pendidik melakukan

elaborasi terhadap berbagai makna dari

materi yang dibahas/dikaji.

e. Melakukan evaluasi melalui

pengamatan terhadap sejauhmana nilai-

nilai yang akan dikuatkan atau

dikembangkan muncul dalam perilaku

peserta didik.

Page 12: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

649

f. Memberi catatan khusus jika ada

peserta didik yang secara khusus

memiliki perkembangan perilaku yang

berbeda dengan kelompoknya atau

tidak sesuai dengan tahapan

perkembangannya, apakah bersifat

positif atau negatif.

g. Memberikan referensi/rujukan kepada

pendidik lain atau pihak yang

berkepentingan untuk menangani

peserta didik yang dikategorikan

memiliki kekhususan dalam

perkembangan nilai dan karakter.

h. Pelaksanaan pembelajaran reflektif

dapat terjadi pada setiap tahap dari

tahap proses pembelajaran. Misal,

ketika pendidik membiasakan untuk

menyapa peserta didik sebelum

pembelajaran dimulai secara reflekif

pendidik tersebut membelajarkan nilai

keramahan kepada peserta didiknya.

i. Aktivitas belajar yang dapat membantu

peserta didik menginternalisasi nilai-

nilai adalah aktivitas-aktivitas belajar

aktif yang antara lain mendorong

terjadinya autonomous learning dan

bersifat learner-centered.

Pembelajaran yang memfasilitasi

autonomous learning dan berpusat

pada peserta didik secara otomatis akan

membantu siswa memperoleh banyak

nilai.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pembahasan

sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:

a. Karakter merupakan perwujudan segala

nilai-nilai kebaikan dan potensi kebaikan

yang ada dalam diri manusia, dimunculkan

secara sengaja dengan cara membangun

kemampuan berpikir yang

berkesinambungan. Manusia yang

berkarakter adalah manusia yang sikap

batiniah dan perilaku lahiriahnya

merupakan cerminan dari segala nilai

kebaikan yang telah ada di dalam dirinya.

b. Pembelajaran dari sudut pandang

pendidikan karakter merupakan proses

interaksi alamiah antara peserta didik dan

lingkungan belajarnya yang merujuk pada

penanaman nilai. Oleh karena itu tidak ada

perilaku yang bebas nilai. Pendidik berperan

untuk menetralisir energi negatif menjadi

energi positif.

c. Pembelajaran reflektif dapat

mengembangkan kesadaran peserta didik

untuk melakukan refleksi terhadap dirinya,

peserta didik akan terlatih untuk selalu

merancang strategi terbaik dalam memilih,

mengingat, mengenali kembali,

mengorganisasi informasi yang

dihadapinya, serta dalam menyelesaikan

masalah. Tidak hanya aspek kognitif peserta

didik yang berkembang, namun juga aspek

afektifnya. Melalui pengembangan

kesadaran untuk melakukan proses refleksi

inilah, peserta didik diharapkan akan

terbiasa untuk selalu memonitor,

mengontrol dan mengevaluasi apa yang

telah dilakukannya. Oleh karena itu

pembelajaran reflektif berpotensi

memunculkan karakter peserta didik

khususnya pada mahasiswa calon guru.

Daftar Pustaka

Anwar, Vita Nova. (2012). Pengaruh

Pembelajaran Eksploratif terhadap

Peningkatan Kemampuan Penalaran,

Kemampuan Komunikasi, dan Karakter

Matematis Siswa Menengah Pertama.

Tesis Pendidikan Matematika SPS UPI.

Aristotle. (1958). The Pocket of Aristotle.

Edited with Prefatory Notes by Justin D.

Kaplan. Pocket Books. New York: Inc

Publisher.

Boud, D. (2001). Using journal writing to

enhance reflective practice. In English,

L. M. and Gillen, M. A. (Eds.)

Promoting Journal Writing in Adult

Education. New Directions in Adult and

Continuing Education No. 90. San

Francisco: Jossey-Bass, 9-18.

Budimansyah, D. (2012). Perancangan

Pembelajaran Berbasis Karakter.

Bandung: Widya Aksara Press.

Dewantara, K.H. (1962). Pendidikan.

Jogjakarta: Pertjetakan Taman Siswa.

Dharma, Lala Herawati. (2007). Brain Based

Teaching: Merancang Kegiatan Belajar

Mengajar yang Melibatkan Otak,

Emosional, Sosial, Kognitif, Kinestetik

dan Reflektif. Bandung: Kaifa.

Page 13: ISBN: 978-602-61512-0-9 · 2020. 6. 9. · ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN PGRI TAHUN 2017 ISBN : 978-602-61512-0-9 REVIEWER 1. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd (Universitas Negeri

Seminar Nasional Pendidikan PGRI 2017

650

Gelpi, M.D. 2008. Jesuit High Schools as

Communities of Character. United

States: ProQuest LLC. [Online]. Diakses

dari http://www.books.google.com

books?isbn=054963861X. Hergenhahn, B.R & Olson, M.H.(2008).

Theories of Learning (Teori Belajar),

Edisi Ketujuh. Pearson Education. Alih

Bahasa oleh Tri Wibowo (2009). Jakarta:

Kencana.

Insuasty, E.A. dan Castillo, L.C.Z. (2010).

Exploring Reflective Teaching through

Informed Journal Keeping and Blog

Group Discussion in the Teaching

Practicum. PROFILE: Issues in Teachers` Professional Development Vol.12 No.2, October 2010. ISSN 1657-

0790. Bogotá, Columbia, hlm 87-105.

Kemdiknas. (2010). Panduan Pendidikan

Karakter di SMP. Jakarta: Kemdiknas.

Kesuma, D, Permana, J, Triatna, Cepi. (2010).

Model Pembelajaran dalam Pendidikan

Karakter. Proceedings of The 4th

International Conference on Teacher

Education, Join Conference UPI &

UPSI. Bandung, Indonesia, 8-10

November 2010.

Kupperman, J.J. (1991). Character. New York:

Oxford University Press.

Megawangi, R. (2007). Pendidikan Karakter:

Solusi yang Tepat untuk Membangun

Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage

Fondation

Muhajir & Khatimah, Y.R. (2013). Buku

Pedoman Pengembangan dan

Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:

Kemdikbud RI.

Mulyasa. (2011). Manajemen Pendidikan

Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter:

Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Radulescu, C. (2013). Reinventing Reflective

Learning Methods in Teacher Education.

Procedia - Social and Behavioral

Sciences 78 (2013) 11 – 15.

Saepudin, Asep. (2010). Membangun Karakter

Bangsa melalui Pembelajaran di Sekolah.

Proceedings of The 4th International

Conference on Teacher Education, Join

Conference UPI & UPSI. Bandung,

Indonesia, 8-10 November 2010.

Samani, M. dan Hariyanto. (2012). Konsep dan

Model Pendidikan Karakter. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Su’ud, A., Suwandi, Sudharto, & Tim IKIP

PGRI Semarang. (2011). Pendidikan

Karakter di Sekolah dan Perguruan

Tinggi. Semarang: IKIP PGRI Semarang

Press.

Suyitno, H. (2011). Nilai-nilai Matematika dan

Relevansinya dengan Pendidikan

Kewarganegaraan. Disampaikan sebagai

Pidato Pengukuhan Guru Besar FMIPA

Unnes pada tanggal 16 Maret 2011.

Semarang: Unnes (Tidak Diterbitkan).

Sirajuddin. (2009). Model Pembelajaran

Reflektif: Suatu Model Belajar Berbasis

Pengalaman. Dalam Didaktika Jurnal

Kependidikan Vol 4 No.2 hal 189-200.

Song, H.D., Koszalka, T. A., dan Grabowski, B.

(2005). Exploring Instructional Design

Factors Prompting Reflective Thinking

in Young Adolescents. In Canadian

Journal of Learning and Technology, Vol

31, No. 2, 49-68.

Tebow, Fall Melinda. (2008). “Reflective

Learning in Adult Education”.

Dalam Artikel [online]. Tersedia:

http://adulteducation.wikibook.us/index. php?title=Reflective LearninginAdult_Education. [20 Januari

2013].

Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:

Depdiknas.

Vincent, P.F. (2007). An Introduction to

Character Education for Parents and

Guardians. [Online]. Diakses dari

http://www.charactered.net/parent/

vincentintro.asp.